salinitas
Post on 23-Oct-2015
44 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Salinitas LautFEBRUARI 11, 2010Definisi Salinitas
Salinitas adalah tingkat keasinan atau
kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat
mengacu pada kandungan garam dalam tanah.
Kandungan garam pada sebagian besar danau,sungai,
dan saluran air alami sangat kecil sehingga air di tempat
ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan garam
sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari
0,05%. Jika lebih dari itu, air dikategorikan sebagai air
payau atau menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai
5%. Lebih dari 5%, ia disebut brine.
Faktor – faktor yang mempengaruhi salinitas
1.Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut
di suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan
sebaliknya pada daerah yang rendah tingkat
penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah
kadar garamnya.
2.Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di
suatu wilayah laut maka salinitas air laut itu akan
rendah dan sebaliknya makin sedikit/kecil curah
hujan yang turun salinitas akan tinggi.
i. Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut
tersebut, makin banyak sungai yang bermuara ke
laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan
rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang
bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan
tinggi.
Air laut secara alami merupakan air saline dengan
kandungan garam sekitar 3,5%. Beberapadanau
garam di daratan dan beberapa lautan memiliki kadar
garam lebih tinggi dari air laut umumnya. Sebagai
contoh, Laut Mati memiliki kadar garam sekitar 30%.
Walaupun kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar
garam sekitar 3,5 %, air laut juga berbeda-beda
kandungan garamnya. Yang paling tawar adalah di timur
Teluk Finlandia dan di utara Teluk Bothnia, keduanya
bagian dari Laut Baltik. Yang paling asin adalah di Laut
Merah, di mana suhu tinggi dan sirkulasi terbatas
membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air dari
sungai-sungai. Kadar garam di beberapa danau dapat
lebih tinggi lagi.
Tabel 1. Salinitas air berdasarkan persentase
garam terlarut
Salinitas Air Berdasarkan Persentase Garam TerlarutAir Tawar Air Payau Air Saline Brine< 0.05 % 0.05 – 3 % 3 – 5 % > 5 %
Zat terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-
senyawa organik yang berasal dari organisme hidup, dan
gas-gas yang terlarut. Garam-garaman utama yang
terdapat dalam air laut adalah klorida (55,04%), natrium
(30,61%), sulfat (7,68%), magnesium (3.69%), kalsium
(1,16%), kalium (1,10%) dan sisanya (kurang dari 1%)
teridiri dari bikarbonat, bromida, asam borak, strontium
dan florida. Tiga sumber utama dari garam-garaman di
laut adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik
dan sirkulasi lubang-lubang hidrotermal (hydrothermal
vents) di laut dalam. Keberadaan garam-garaman
mempengaruhi sifat fisis air laut (seperti: densitas,
kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana
densitas menjadi maksimum) beberapa tingkat, tetapi
tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya
serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh
salinitas. Dua sifat yang sangat ditentukan oleh jumlah
garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik
(konduktivitas) dan tekanan osmosis.
Kandungan garam mempunyai pengaruh pada sifat-sifat
air laut. Karena mengandung garam, titik beku air laut
menjadi lebih rendah daripada 0 0C (air laut yang
bersalinitas 35 %o titik bekunya -1,9 0C), sementara
kerapatannya meningkat sampai titik beku (kerapatan
maksimum air murni terjadi pada suhu 4 0C). Sifat ini
sangat penting sebagai penggerak pertukaran massa air
panas dan dingin, memungkinkan air permukaan yang
dingin terbentuk dan tenggelam ke dasar sementara air
dengan suhu yang lebih hangat akan terangkat ke atas.
Sedangkan titik beku dibawah 00 C memungkinkan
kolom air laut tidak membeku. Sifat air laut yang
dipengaruhi langsung oleh salinitas adalah konduktivitas
dan tekanan osmosis.
Istilah teknik untuk keasinan lautan adalah halinitas,
dengan didasarkan bahwa halida-halida
terutama klorida adalah anion yang paling banyak dari
elemen-elemen terlarut. Dalamoseanografi, halinitas
biasa dinyatakan bukan dalam persen tetapi dalam
“bagian perseribu” (parts per thousand , ppt) atau
permil (‰), kira-kira sama dengan jumlah gram garam
untuk setiap liter larutan. Sebelum tahun 1978, salinitas
atau halinitas dinyatakan sebagai ‰ dengan didasarkan
pada rasio konduktivitas elektrik sampel
terhadap “Copenhagen water”, air laut buatan yang
digunakan sebagai standar air laut dunia. Pada 1978,
oseanografer meredifinisikan salinitas dalam Practical
Salinity Units (psu, Unit Salinitas Praktis): rasio
konduktivitas sampel air laut terhadap larutan KCL
standar. Rasio tidak memiliki unit, sehingga tidak bisa
dinyatakan bahwa 35 psu sama dengan 35 gram garam
per liter larutan.
Teori Asal-Usul Garam-Garam di laut
Mula-mula diperkirakan bahwa zat-zat kimia yang
menyebabkan air laut asin berasal dari darat yang
dibawa oleh sungai-sungai yang mengalir ke laut, entah
itu dari pengikisan batu-batuan darat, dari tanah
longsor, dari air hujan atau dari gejala alam lainnya,
yang terbawa oleh air sungai ke laut. Jika hal ini benar
tentunya susunan kimiawi air sungai tidak akan berbeda
dengan susunan kimiawi air laut. Namun tabel 2
menunjukkan bahwa ada perbedaan besar dalam
susunan kimiawi kedua macam air tersebut. Jadi dugaan
itu tidak benar. Lalu dari mana sebenarnya asal garam-
garam tersebut.
Menurut teori, zat-zat garam tersebut berasal dari
dalam dasar laut melalui proses outgassing, yakni
rembesan dari kulit bumi di dasar laut yang berbentuk
gas ke permukaan dasar laut. Bersama gas-gas ini,
terlarut pula hasil kikisan kerak bumi dan bersama-sama
garam-garam ini merembes pula air, semua dalam
perbandingan yang tetap sehingga terbentuk garam di
laut. Kadar garam ini tetap tidak berubah sepanjang
masa. Artinya kita tidak menjumpai bahwa air laut
makin lama makin asin.
Zat-zat yang terlarut yang membentuk garam, yang
kadarnya diukur dengan istilah salinitas dapat dibagi
menjadi empat kelompok, yakni:
1.Konstituen utama : Cl, Na, SO4, dan Mg.
2.Gas terlarut : CO2, N2, dan O2.
3.Unsur Hara : Si, N, dan P.
4.Unsur Runut : I, Fe, Mn, Pb, dan Hg.
Konstituen utama merupakan 99,7% dari seluruh zat
terlarut dalam air laut, sedangkan sisanya 0,3% terdiri
dari ketiga kelompok zat lainnya. Akan tetapi meskipun
kelompok zat terakhir ini sangat kecil persentasenya,
mereka banyak menentukan kehidupan di laut.
Sebaliknya kepekatan zat-zat ini banyak ditentukan oleh
aktivitas kehidupan di laut.
Selain zat-zat terlarut ini, air juga mengandung butiran-
butiran halus dalam suspense. Sebagian dari zat ini
akhirnya terlarut, sebagian lagi mengendap ke dasar
laut dan sisanya diurai oleh bakteri menjadi zat-zat hara
yang dimanfaatkan tumbuhan untuk fotosintesis.
Tabel 2. Perbedaan kandungan garam dan ion
utama antara air laut dan air sungai
NAMA UNSUR% jumlah berat seluruh gramAIR LAUT AIR SUNGAI
Klorida 55,04 5,68Natrium 30,61 5,79Sulfat 7,68 12,14Magnesium 3,69 3,41Kalsium 1,16 20,29Kalium 1,10 2,12Bikarbonat 0,41 -Karbonat - 35,15Brom 0,19 -Asam borak 0,07 -Strontium 0,04 -Flour 0,00 -Silika - 11,67Oksida - 2,75Nitrat - 0,90
2.3 Sebaran Salinitas di Laut
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan,
aliran sungai. Perairan estuaria atau daerah sekitar
kuala dapat mempunyai struktur salinitas yang
kompleks, karena selain merupakan pertemuan antara
air tawar yang relatif lebih ringan dan air laut yang
lebih berat, juga pengadukan air sangat menentukan.
Beberapa kemungkinan ditunjukkan secara diagramatis
pada gambar 1. Pertama adalah perairan dengan
stratifikasi salinitas yang sangat kuat, terjadi di mana air
tawar merupakan lapisan yang tipis di permukaan
sedangkan di bawahnya terdapat air laut. Ini bisa
ditemukan di depan muara sungai yang alirannya kuat
sedangkan pengaruh pasang-surut kecil. Nelayan atau
pelaut di pantai Sumatra yang dalam keadaan darurat
kehabisan air tawar kadang-kadang masih dapat
menyiduk air tawar di lapisan tipis teratas dengan
menggunakan piring, bila berada di depan muara sungai
besar.
Kedua, adalah perairan dengan stratifikasi sedang. Ini
terjadi karena adanya gerak pasang-surut yang
menyebabkan terjadinya pengadukan pada kolom air
hingga terjadi pertukaran air secara vertikal. Di
permukaan, air cenderung mengalir keluar sedangkan
air laut merayap masuk dari bawah. Antara keduanya
terjadi percampuran. Akibatnya garis isohalin (=garis
yang menghubungkan salinitas yang sama) mempunyai
arah yang condong ke luar. Keadaan semacam ini juaga
bisa dijumpai di beberapa perairan estuaria di Sumatra.
Gambar 1. Tiga jenis struktur salinitas di daerah
estuaria: A. dengan stratifikasi kuat; B. dengan
stratifiksi sedang; C. dengan pencampuran vertikal.
Garis dengan angka menunjukan nilai salinitas yang
sama.
Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula
melakukan pengadukan di lapisan atas hingga
membentuk lapisan homogen kira-kira setebal 50-70 m
atau lebih bergantung intensitas pengadukan. Di
perairan dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai
ke dasar. Di lapisan dengan salinitas homogen, suhu
juga biasanya homogen. Baru di bawahnya terdapat
lapisan pegat (discontinuity layer) dengan gradasi
densitas yang tajam yang menghambat percampuran
antara lapisan di atas dan di bawahnya.
Di bawah lapisan homogen, sebaran salinitas tidak
banyak lagi ditentukan oleh angin tetapi oleh pola
sirkulasi massa air di lapisan massa air di lapisan dalam.
Gerakan massa air ini bisa ditelusuri antara lain dengan
mengakji sifat-sifat sebaran salinitas maksimum dan
salinitas minimum dengan metode inti (core layer
method).
Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah
subtropis hingga mendekati kutub) rendah di permukaan
dan bertambah secara tetap (monotonik) terhadap
kedalaman. Di daerah subtropis (atau semi tropis, yaitu
daerah antara 23,5o – 40oLU atau 23,5o – 40oLS),
salinitas di permukaan lebih besar daripada di
kedalaman akibat besarnya evaporasi (penguapan). Di
kedalaman sekitar 500 sampai 1000 meter harga
salinitasnya rendah dan kembali bertambah secara
monotonik terhadap kedalaman. Sementara itu, di
daerah tropis salinitas di permukaan lebih rendah
daripada di kedalaman akibatnya tingginya presipitasi
(curah hujan).
2.3.1 Dinamika Salinitas di Daerah Estuaria
Estuaria adalah perairan muara sungai semi tertutup
yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut
dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air
tawar. Estuaria dapat terjadi pada lembah-lembah
sungai yang tergenang air laut, baik karena permukaan
laut yang naik (misalnya pada zaman es mencair) atau
pun karena turunnya sebagian daratan oleh sebab-sebab
tektonis. Estuaria juga dapat terbentuk pada muara-
muara sungai yang sebagian terlindungi oleh beting
pasir atau lumpur.
Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar akan
menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan
lingkungan yang bervariasi, antara lain:
(1) Tempat bertemunya arus air tawar dengan arus
pasang-surut, yang berlawanan menyebabkan suatu
pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air,
dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh
besar pada biotanya.
(2) Pencampuran kedua macam air tersebut
menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang
tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut.
(3) Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut
mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian
secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya.
(4) Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung
pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar
dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuaria
tersebut.
2.3.2 Sifat-sifat Ekologis
Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar,
salinitas di estuaria sangat bervariasi. Baik menurut
lokasinya di estuaria, ataupun menurut waktu.
Secara umum salinitas yang tertinggi berada pada
bagian luar, yakni pada batas wilayah estuaria dengan
laut, sementara yang terendah berada pada tempat-
tempat di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada garis
vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air
lebih rendah daripada salinitas air di lapisan bawahnya.
Ini disebabkan karena air tawar cenderung ‘terapung’ di
atas air laut yang lebih berat oleh kandungan garam.
Kondisi ini disebut ‘estuaria positif’ atau ‘estuaria baji
garam’ (salt wedge estuary).
Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki kondisi
berkebalikan, dan karenanya dinamai ‘estuaria negatif’.
Misalnya pada estuaria-estuaria yang aliran air tawarnya
sangat rendah, seperti di daerah gurun pada musim
kemarau. Laju penguapan air di permukaan, yang lebih
tinggi daripada laju masuknya air tawar ke estuaria,
menjadikan air permukaan dekat mulut sungai lebih
tinggi kadar garamnya. Air yang hipersalin itu kemudian
tenggelam dan mengalir ke arah laut di bawah
permukaan. Dengan demikian gradien salinitas airnya
berbentuk kebalikan daripada ‘estuaria positif’.
Dalam pada itu, dinamika pasang surut air laut sangat
mempengaruhi perubahan-perubahan salinitas dan pola
persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh
geomorfologi dasar estuaria.
Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air
dapat berlangsung cepat dan dinamis, salinitas substrat
di dasar estuaria berubah dengan sangat lambat.
Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir
berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa
aliran air, baik dari darat maupun dari laut. Sebabnya
adalah karena pertukaran partikel garam dan air yang
terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan
yang berada pada kolom air di atasnya berlangsung
dengan lamban.
2.4 Model Salinitas
”Model Salinitas” adalah suatu penggambaran atas
kadar garam yang terdapat pada air, baik kandungan
atau perbedaannya sehingga untuk tiap daerah
dimungkinkan terdapat perbedaan ”model salinitas”nya.
Perubahan salinitas dipengaruhi oleh pasang surut dan
musim. Ke arah darat, salinitas muara cenderung lebih
rendah. Tetapi selama musim kemarau pada saat aliran
air sungai berkurang, air laut dapat masuk lebih jauh ke
arah darat sehingga salinitas muara meningkat.
Sebaliknya pada musim hujan, air tawar mengalir dari
sungai ke laut dalam jumlah yang lebih besar sehingga
salinitas air di muara menurun.
Perbedaan salinitas dapat mengakibatkan terjadinya
lidah air tawar dan pergerakan massa di muara.
Perbedaan salinitas air laut dengan air sungai yang
bertemu di muara menyebabkan keduanya bercampur
membentuk air payau. Karena kadar garam air laut lebih
besar, maka air laut cenderung bergerak di dasar
perairan sedangkan air tawar di bagian permukaan.
Keadaan ini mengakibatkan terjadinya sirkulasi air di
muara.
Aliran air tawar yang terjadi terus-menerus dari hulu
sungai membawa mineral, bahan organik, dan sedimen
ke perairan muara. Di samping itu, unsur hara terangkut
dari laut ke daerah muara oleh adanya gerakan air
akibat arus dan pasang surut. Unsur-unsur hara yang
terbawa ke muara merupakan bahan dasar yang
diperlukan untuk fotosintesis yang menunjang
produktifitas perairan. Itulah sebabnya produktifitas
muara melebihi produktifitas ekosistem laut lepas dan
perairan tawar. Lingkungan muara yang paling produktif
di jumpai di daerah yang ditumbuhi komunitas bakau.
2.5 Hubungan Densitas Ikan Dengan Salinitas
Salinitas dipengaruhi oleh massa air oseanis di bagian
utara hingga bagian tengah perairan, dan massa air
tawar dari daratan yang mempengaruhi massa air di
bagian selatan dan bagian utara dekat pantai. Kondisi ini
mempengaruhi densitas ikan, dan kebanyakan kelompok
ikan yang ditemukan dengan densitas tinggi (0,9
ikan/mł) pada daerah bagian selatan dengan salinitas
antara 29,36-31,84 ‰, dan densitas 0,4 ikan/mł di
bagian utara dengan salinitas 29,97-32,59 ‰ . Densitas
ikan tertinggi pada lapisan kedalaman 5-15 m (0,8
ikan/mł) ditemukan pada daerah dengan salinitas ≥31,5
‰ yaitu pada bagian utara perairan. Dibagian selatan,
densitas ikan tertinggi sebesar 0,6-0,7 ikan/mł
ditemukan pada daerah dengan salinitas ≤30,0 ‰. Pola
pergeseran nilai salinitas hampir sama di tiap
kedalaman, dengan nilai yang makin bertambah sesuai
dengan makin dalam perairan. Pada lapisan kedalaman
15-25 m, kisaran salinitas meningkat hingga lebih dari
32 ‰, dan konsentrasi densitas ikan ditemukan lebih
dari 0,4 ikan/mł dengan areal yang lebih besar pada
konsentrasi salinitas ≤31,5 ‰. Konsentrasi ikan yang
ditemukan pada daerah dengan salinitas ≥32,0 ‰, yaitu
di bagian utara perairan sebesar 0,2-0,3 ikan/mł.
2.6 Hubungan Antara Distribusi Densitas Ikan Dengan
Salinitas
Pada lapisan kedalaman 25-35 m dan 35-45 m dijumpai
kisaran salinitas yang hampir sama yaitu 31,43-32,53 ‰
dan 31,77-32,73 ‰, dengan distribusi densitas ikan
lebih banyak ditemukan pada daerah dengan salinitas
32,0-32,5 ‰ yaitu sebesar 0,1-0,8 ikan/mł, dan
kelompok ikan dengan densitas lebih kecil dari 0,1
ikan/mł banyakditemukan pada perairan dengan
salinitas ≤32,0 ‰. Pada lapisan kedalaman 35-45 m,
konsentrasi densitas ikan makin berkurang. Densitas
tertinggi di lapisan ini hanya sebesar 0,17 ikan/mł, atau
rata-rata densitas ikan yang ditemukan di bawah 0,1
ikan/mł. Hal ini sesuai dengan ukuran ikan yang
terdeteksi, yang umumnya merupakan ikan-ikan
berukuran kecil. Dimana lebih condong terkonsentrasi
pada daerah permukaan dan dekat pantai.
2.7 Pengaruh Faktor Salinitas Di Laut Pada Tingkah
Laku Dan Kelimpahan Ikan.
1.Suhu air laut
Ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya
selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya.
Selanjutnya dikatakan pula bahwa ikan mempunyai
kemampuan untuk mengenali dan memilih range suhu
tertentu yang memberikan kesempatan untuk
melakukan aktivitas secara maksimum dan pada
akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya.
Pengaruh suhu terhadap ikan adalah dalam proses
vertikall, seperti pertumbuhan dan pengambilan
makanan, aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang,
serta dalam rangsangan syaraf. Pengaruh suhu air pada
tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan.
Suhu air laut dapat mempercepat atau memperlambat
mulainya pemijahan pada beberapa jenis ikan. Suhu air
dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-
faktor yang paling penting yang menentukan “kekuatan
keturunan” dan daya tahan larva pada spesies-spesies
ikan yang paling penting secara komersil. Suhu ekstrim
pada daerah pemijahan (spawning ground) selama
musim pemijahan dapat memaksa ikan untuk memijah di
daerah lain daripada di daerah tersebut. Perubahan
suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan
tempat pemijahan (spawning ground) dan fishing
ground secara vertikal.
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan
hangat karena mendapat radiasi matahari pada siang
hari. Karena pengaruh angin, maka di lapisan teratas
sampai kedalaman kira-kira 50-70 m terjadi
pengadukan, hingga di lapisan tersebut terdapat suhu
hangat (sekitar 28°C) yang ertical. Oleh sebab itu
lapisan teratas ini sering pula disebut lapisan vertikal.
Karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan
ini bisa menjadi lebih tebal lagi. Di perairan dangkal
lapisan vertikal ini sampai ke dasar. Lapisan permukaan
laut yang hangat terpisah dari lapisan dalam yang dingin
oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat
yang disebut termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu.
Suhu pada lapisan permukaan adalah seragam karena
percampuran oleh angin dan gelombang sehingga
lapisan ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed
layer). Mixed layer mendukung kehidupan ikan-ikan
pelagis, secara pasif mengapungkan plankton, telur
ikan, dan larva, sementara lapisan air dingin di bawah
termoklin mendukung kehidupan hewan-hewan bentik
dan hewan laut dalam.
Pada saat terjadi penaikan massa air (upwelling), lapisan
termoklin ini bergerak ke atas dan gradiennya menjadi
tidak terlalu tajam sehingga massa air yang kaya zat
hara dari lapisan dalam naik ke lapisan atas.jangka
pendek dari kedalaman termoklin dipengaruhi oleh
pergerakan permukaan, pasang surut, dan arus. Di
bawah lapisan termoklin suhu menurun secara perlahan-
lahan dengan bertambahnya kedalaman.
Kedalaman termoklin di dalam lautan Hindia mencapai
120 meter. Menuju ke selatan di daerah arus equatorial
selatan, kedalaman termoklin mencapai 140 meter.
1.Pengaruh arus
Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan
lingkungan yang dipengaruhi oleh arus dengan
mengarahkan dirinya secara langsung pada arus. Arus
tampak jelas dalam organmechanoreceptor yang
terletak garis mendatar pada tubuh ikan.
Mechanoreceptoradalah reseptor yang ada pada vertikal
yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis
dalam lingkungan seperti gerakan, tegangan atau
tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu mengarah menuju
arus. Fishing ground yang paling baik biasanya terletak
pada daerah batas antara dua arus atau di daerah
upwelling dan divergensi. Batas arus (konvergensi dan
divergensi) dan kondisi oseanografi dinamis yang lain
(seperti eddies), berfungsi tidak hanya sebagai
perbatasan distribusi lingkungan bagi ikan, tetapi juga
menyebabkan pengumpulan ikan pada kondisi ini.
Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil
biasanya berada pada tengah-tengah aruseddies.
Akumulasi plankton, telur ikan juga berada di tengah-
tengah antisiklon eddies. Pengumpulan ini bisa
berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam
arus eddi (melalui rantai makanan).
1.Pengaruh cahaya
Ikan bersifat fototaktik baik secara positif maupun
vertikal. Banyak ikan yang tertarik pada cahaya buatan
pada malam hari, satu fakta yang digunakan dalam
penangkapan ikan. Pengaruh cahaya buatan pada ikan
juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan lain dan pada
beberapa spesies bervariasi terhadap waktu dalam
sehari. Secara umum, sebagian besar ikan pelagis naik
ke permukaan sebelum matahari terbenam. Setelah
matahari terbenam, ikan-ikan ini menyebar pada kolom
air, dan tenggelam ke lapisan lebih dalam setelah
matahari terbit. Ikan demersal biasanya menghabiskan
waktu siang hari di dasar selanjutnya naik dan menyebar
pada kolom air pada malam hari. Cahaya mempengaruhi
ikan pada waktu memijah dan pada larva. Jumlah cahaya
yang tersedia dapat mempengaruhi waktu kematangan
ikan. Jumlah cahaya juga mempengaruhi daya hidup
larva ikan secara tidak langsung, hal ini diduga
berkaitan dengan jumlah produksi organik yang sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya. Cahaya juga
mempengaruhi tingkah laku larva. Penangkapan
beberapa larva ikan pelagis ditemukan lebih banyak
pada malam hari dibandingkan pada siang hari.
1.Upwelling
Upwelling adalah penaikan massa air laut dari suatu
lapisan dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini
membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas
tinggi, dan zat-zat hara yang vertikal permukaan.
Proses upwelling ini dapat terjadi dalam tiga bentuk.
Pertama, pada waktu arus dalam (deep current) bertemu
dengan rintangan seperti mid-ocean ridge (suatu
sistem ridge bagian tengah lautan) di mana arus
tersebut dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir
deras ke permukaan. Kedua, ketika dua massa air
bergerak berdampingan, misalnya saat massa air yang
di utara di bawah pengaruh gaya coriolis dan massa air
di selatan ekuator bergerak ke selatan di bawah
pengaruh gaya coriolis juga, keadaan tersebut akan
menimbulkan “ruang kosong” pada lapisan di bawahnya.
Kedalaman di mana massa air itu naik tergantung pada
jumlah massa air permukaan yang bergerak ke sisi
ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya. Hal
ini terjadi karena adanya divergensi pada perairan laut
tersebut. Ketiga, upwellingdapat pula disebabkan oleh
arus yang menjauhi pantai akibat tiupan angin darat
yang terus-menerus selama beberapa waktu. Arus ini
membawa massa air permukaan pantai ke laut lepas
yang mengakibatkan ruang kosong di daerah pantai
yang kemudian diisi dengan massa air di bawahnya.
Meningkatnya produksi perikanan di suatu perairan
dapat disebabkan karena terjadinya proses air naik
(upwelling). Karena gerakan air naik ini membawa serta
air yang suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi dan
tak kalah pentingnya zat-zat hara yang kaya seperti
fosfat dan nitrat naik ke permukaan. Selain itu proses
air naik tersebut disertai dengan produksi plankton yang
tinggi. Di perairan Selat Makasar bagian selatan
diketahui terjadi upwelling. Proses
terjadinya upwellingtersebut disebabkan karena
pertemuan arus dari Selat Makasar dan Laut Flores
bergabung kuat menjadi satu dan mengalir kuat ke barat
menuju Laut Jawa. Dengan kondisi demikian
dimungkinkan massa air di permukaan di dekat pantai
Ujung Pandang secara cepat terseret oleh aliran
tersebut dan untuk menggantikannya massa air dari
lapisan bawah naik ke atas. Proses air naik di Selat
Makasar bagian selatan ini terjadi sekitar Juni sampai
September dan berkaitan erat dengan sistem arus. Air
laut di lapisan permukaan umumnya mempunyai suhu
tinggi, salinitas, dan kandungan zat hara yang rendah.
Sebaliknya pada lapisan yang lebih dalam air laut
mempunyai suhu yang rendah, salinitas, dan kandungan
zat hara yang lebih tinggi. Pada waktu
terjadinya upwelling, akan terangkat massa air dari
lapisan bawah dengan suhu rendah, salinitas, dan
kandungan zat hara yang tinggi. Keadaan ini
mengakibatkan air laut di lapisan permukaan memiliki
suhu rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan massa air laut
sebelum terjadinya proses upwelling ataupun massa air
sekitarnya. Sebaran suhu, salinitas, dan zat hara secara
vertical maupun horizontal sangat membantu dalam
menduga kemungkinan terjadinya upwelling di suatu
perairan. Pola-pola sebaran oseanografi tersebut
digunakan untuk mengetahui jarak vertikal yang
ditempuh oleh massa air yang terangkat. Sebaran suhu
permukaan laut merupakan salah satu parameter yang
dapat dipergunakan untuk mengetahui terjadinya
proses upwelling di suatu perairan. Dalam
prosesupwelling ini terjadi penurunan suhu permukaan
laut dan tingginya kandungan zat hara dibandingkan
daerah sekitarnya. Tingginya kadar zat hara tersebut
merangsang perkembangan fitoplankton di permukaan.
Karena perkembangan fitoplankton sangat erat
kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka
proses air naik selalu dihubungkan dengan
meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan
dan selalu diikuti dengan meningkatnya populasi ikan di
perairan tersebut. Upwelling di perairan Indonesia
dijumpai di Laut Banda, Laut Arafura, selatan Jawa
hingga selatan Sumbawa, Selat Makasar, Selat Bali, dan
diduga terjadi di Laut Maluku, Laut Halmahera, Barat
Sumatra, serta di Laut Flores dan Teluk
Bone. Upwelling berskala besar terjadi di selatan Jawa,
sedangkan berskala kecil terjadi di Selat Bali dan Selat
Makasar. Upwelling di perairan Indonesia bersifat
musiman terjadi pada Musim Timur (Mei-September),
hal ini menunjukan adanya hubungan yang erat antara
upwelling dan musim.
2.8 Penentuan Nilai salinitas
Ciri yang paling khas pada air laut yang diketahui oleh
semua orang adalah rasanya yang asin. Ini disebabkan
karena di dalam air laut terlarut bermacam-macam
garam, yang paling utama adalah garam natrium korida
(NaCl) yang sering pula disebut garam dapur. Selain
garam-garam korida, di dalam air laut terdapat pula
garam-garam magnesium, kalsium, kalium dan
sebagainya. Dalam literatur oseanologi dikenal istilah
salinitas (acapkali pula disebut kadar garam atau
kegaraman) yang maksudnya ialah jumlah berat semua
garam (dalam garam) yang terlarutdalam satu liter air,
biasanya dinyatakan dengan satuan 0/00 (per mil, gram
per liter).
Ada berbagai cara menentukan salinitas, baik secara
kimia maupun fisika. Secara kimia untuk menentukan
nilai salinitas dilakukan dengan cara menghitung jumlah
kadar klor dalam sample air laut. Hal ini dilakukan
karena sangat susah untuk menentukan salinitas
senyawa terlarut secara keseluruhan. Oleh sebab itu
hanya dilakukan peninjauan pada komponen terbesar
yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida ditetapkan pada
tahun 1902 sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada
satu kilogram air laut jika semua halogen digantikan
oleh klorida. Penetapan ini mencerminkan proses
kimiawi titrasi untuk menentukan kandungan klorida.
Salinitas ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah
total dalam gram bahan-bahan terlarut dalam satu
kilogram air laut jika semua karbonat dirubah menjadi
oksida, semua bromida dan yodium dirubah menjadi
klorida dan semua bahan-bahan organik dioksidasi.
Selanjutnya hubungan antara salinitas dan klorida
ditentukan melalui suatu rangkaian pengukuran dasar
laboratorium berdasarkan pada sampel air laut di
seluruh dunia dan dinyatakan sebagai: S (o/oo) = 0.03
+1.805 Cl (o/oo) (1902) Lambang o/oo (dibaca per mil)
adalah bagian per seribu. Kandungan garam 3,5%
sebanding dengan 35o/oo atau 35 gram garam di dalam
satu kilogram air laut. Persamaan tahun 1902 di atas
akan memberikan harga salinitas sebesar 0,03o/oo jika
klorinitas sama dengan nol dan hal ini sangat menarik
perhatian dan menunjukkan adanya masalah dalam
sampel air yang digunakan untuk pengukuran
laboratorium. Oleh karena itu, pada tahun 1969
UNESCO memutuskan untuk mengulang kembali
penentuan dasar hubungan antara klorinitas dan
salinitas dan memperkenalkan definisi baru yang dikenal
sebagai salinitas absolut dengan rumus: S (o/oo) =
1.80655 Cl (o/oo) (1969) Namun demikian, dari hasil
pengulangan definisi ini ternyata didapatkan hasil yang
sama dengan definisi sebelumnya.
Definisi salinitas ditinjau kembali ketika tekhnik untuk
menentukan salinitas dari pengukuran konduktivitas,
temperatur dan tekanan dikembangkan. Sejak tahun
1978, didefinisikan suatu satuan baru yaitu Practical
Salinity Scale (Skala Salinitas Praktis) dengan simbol S,
sebagai rasio dari konduktivitas. “Salinitas praktis dari
suatu sampel air laut ditetapkan sebagai rasio dari
konduktivitas listrik (K) sampel air laut pada temperatur
15oC dan tekanan satu standar atmosfer terhadap
larutan kalium klorida (KCl), dimana bagian massa KCl
adalah 0,0324356 pada temperatur dan tekanan yang
sama. Rumus dari definisi ini adalah: S = 0.0080 –
0.1692 K1/2 + 25.3853 K + 14.0941 K3/2 – 7.0261 K2 +
2.7081 K5/2 Sebagai catatan: dari penggunaan definisi
baru ini, dimana salinitas dinyatakan sebagai rasio,
maka satuan o/oo tidak lagi berlaku, nilai 35o/oo
berkaitan dengan nilai 35 dalam satuan praktis.
Beberapa oseanografer menggunakan satuan “psu”
dalam menuliskan harga salinitas, yang merupakan
singkatan dari “practical salinity unit”. Karena salinitas
praktis adalah rasio, maka sebenarnya ia tidak memiliki
satuan, jadi penggunaan satuan “psu” sebenarnya tidak
mengandung makna apapun dan tidak diperlukan.
Kemudian untuk menghitung nilai salinitas secara fisik
adalah ini untuk menentukan salinitas melalui
konduktivitas air laut. Alat-alat elektronik canggih
menggunakan prinsip konduktivitas. Salah satu alat
yang paling popular untuk mengukur salinitas dengan
ketelitian tinggi ialah salinometer yang bekerjanya
didasarkan pada daya hantar listrik. Makin besar
salinitas, makin besar pula daya hantar listriknya. Selain
itu telah pula dikembangkan pula alat STD (salinity-
temperature-depth recorder) yang apabila diturunkan ke
dalam laut dapat dengan otomatis membuat kurva
salinitas dan suhu terhadap kedalaman di lokasi
tersebut.
4. Desalinisasi
Desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan
untuk mengurangi kandungan garam terlarut dari air
garam hingga level tertentu sehingga air dapat
digunakan. Proses desalinasi melibatkan tiga aliran
cairan, yaitu umpan berupa air garam (misalnya air
laut), produk bersalinitas rendah, dan konsentrat
bersalinitas tinggi. Produk proses desalinasi umumnya
merupakan air dengan kandungan garam terlarut
kurang dari 500 mg/l, yang dapat digunakan untuk
keperluan domestik, industri, dan pertanian. Hasil
sampingan dari proses desalinasi
adalah brine. Brineadalah larutan garam berkonsentrasi
tinggi (lebih dari 35000 mg/l garam terlarut).
Distilasi merupakan metode desalinasi yang paling lama
dan paling umum digunakan. Distilasi adalah metode
pemisahan dengan cara memanaskan air laut untuk
menghasilkan uap air, yang selanjutnya dikondensasi
untuk menghasilkan air bersih. Berbagai macam proses
distilasi yang umum digunakan, seperti multistage flash,
multiple effect distillation, dan vapor
compressionumumnya menggunakan prinsip
mengurangi tekanan uap dari air agar pendidihan dapat
terjadi pada temperatur yang lebih rendah, tanpa
menggunakan panas tambahan.
Metode lain desalinasi adalah dengan menggunakan
membran. Terdapat dua tipe membran yang dapat
digunakan untuk proses desalinasi, yaitu reverse
osmosis (RO) dan electrodialysis (ED). Pada proses
desalinasi menggunakan membran RO, ialah sebuah
istilah teknologi yang berasal dari
osmosis. Osmosis adalah sebuah fenomena alam dalam
sel hidup di mana molekul “solvent” (biasanya air) akan
mengalir dari daerah “solute” rendah ke daerah “solute”
tinggi melalui sebuah membran “semipermeable”.
Membran “semipermeable” ini menunjuk ke membran
sel atau membran apa pun yang memiliki struktur yang
mirip atau bagian dari membran sel. Gerakan dari
“solvent” berlanjut sampai sebuah konsentrasi yang
seimbang tercapai di kedua sisi membrane. Reverse
osmosis dapat diartikan proses pemaksaan
sebuah solvent dari daerah konsentrasi “solute” tinggi
melalui sebuah membran ke sebuah daerah “solute”
rendah dengan menggunakan sebuah tekanan
melebihi tekanan osmotik. Dalam istilah lebih mudah,
reverse osmosis adalah mendorong sebuah solusi
melalui filter yang menangkap “solute” dari satu sisi
dan membiarkan pendapatan “solvent” murni dari sisi
satunya. air pada larutan garam dipisahkan dari garam
terlarutnya dengan mengalirkannya melalui membran
water-permeable. Permeate dapat mengalir melalui
membran akibat adanya perbedaan tekanan yang
diciptakan antara umpan bertekanan dan produk, yang
memiliki tekanan dekat dengan tekanan atmosfer. Sisa
umpan selanjutnya akan terus mengalir melalui sisi
reaktor bertekanan sebagai brine. Proses ini tidak
melalui tahap pemanasan ataupun perubahan fasa.
Kebutuhan energi utama adalah untuk memberi tekanan
pada air umpan. Desalinasi air payau membutuhkan
tekanan operasi berkisar antara 250 hingga 400 psi,
sedangkan desalinasi air laut memiliki kisaran tekanan
operasi antara 800 hingga 1000 psi.
Dalam praktiknya, umpan dipompa ke
dalam container tertutup, pada membran, untuk
meningkatkan tekanan. Saat produk berupa air bersih
dapat mengalir melalui membran, sisa umpan dan
larutan brine menjadi semakin terkonsentrasi. Untuk
mengurangi konsentrasi garam terlarut pada larutan
sisa, sebagian larutan terkonsentrasi ini diambil
dari container untuk mencegah konsentrasi garam terus
meningkat.
Sistem RO terdiri dari 4 proses utama, yaitu
(1) pretreatment, (2) pressurization, (3) membrane
separation, (4) post teatment stabilization.
desalinasi dengan RO
Pretreatment: Air umpan pada
tahap pretreatment disesuaikan dengan membran
dengan cara memisahkan padatan tersuspensi,
menyesuaikan pH, dan menambahkan inhibitor untuk
mengontrol scaling yang dapat disebabkan oleh senyawa
tetentu, seperti kalsium sulfat.
Pressurization: Pompa akan meningkatkan tekanan dari
umpan yang sudah melalui prosespretreatment hingga
tekanan operasi yang sesuai dengan membran dan
salinitas air umpan.
Separation: Membran permeable akan menghalangi
aliran garam terlarut, sementara membran akan
memperbolehkan air produk terdesalinasi melewatinya.
Efek permeabilitas membran ini akan menyebabkan
terdapatnya dua aliran, yaitu aliran produk air bersih,
dan aliran brineterkonsentrasi. Karena tidak ada
membran yang sempurna pada proses pemisahan ini,
sedikit garam dapat mengalir melewati membran dan
tersisa pada air produk. Membran RO memiliki berbagai
jenis konfigurasi, antara lain spiral wound dan hollow
fine fiber membranes.
tipe membran RO
Stabilization: Air produk hasil pemisahan dengan
membran biasanya membutuhkan penyesuaian pH
sebelum dialirkan ke sistem distribusi untuk dapat
digunakan sebagai air minum. Produk mengalir melalui
kolom aerasi dimana pH akan ditingkatkan dari sekitar 5
hingga mendekati 7.
Dua metode yang paling banyak digunakan adalah
Reverse Osmosis (47,2%) ialah sebuah istilah teknologi
yang berasal dari osmosis. Osmosis adalah sebuah
fenomena alam dalm sel hidup di mana molekul
“solvent” (biasanya air) akan mengalir dari daerah
“solute” rendah ke daerah “solute” tinggi melalui sebuah
membran “semipermeable”. Membran “semipermeable”
ini menunjuk ke membran sel atau membran apa pun
yang memiliki struktur yang mirip atau bagian dari
membran sel. Gerakan dari “solvent” berlanjut sampai
sebuah konsentrasi yang seimbang tercapai di kedua sisi
membrane. Reverse osmosis dapat diartikan proses
pemaksaan sebuahsolvent dari daerah konsentrasi
“solute” tinggi melalui sebuah membran ke sebuah
daerah “solute” rendah dengan menggunakan sebuah
tekanan melebihi tekanan osmotik. Dalam istilah lebih
mudah, reverse osmosis adalah mendorong sebuah
solusi melalui filter yang menangkap “solute” dari satu
sisi dan membiarkan pendapatan “solvent” murni dari
sisi satunya. Proses ini telah digunakan untuk
mengolah air laut untuk mendapatkan air tawar, sejak
awal 1970-an.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.gewater.com/what_we_do/
water_scarcity/desalination.jsp
http://www.oas.org/dsd/publications/Unit/oea59e/
ch20.htm#TopOfPage
top related