salat sunah setelah wudu: studi kritik sanad dan matan hadis...
Post on 29-Mar-2019
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SALAT SUNAH SETELAH WUDU:
STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS
DALAM KITAB IHYĀ’ ‘ULŪM AL-DĪN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Awaludin Ramdhan Sujada
NIM: 1111034000005
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M.
i
SALAT SUNAH SETELAH WUDU:
STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS
DALAM KITAB IHYĀ’ ‘ULŪM AL-DĪN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Awaludin Ramdhan Sujada
NIM: 1111034000005
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M.
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 21 Maret 2017
Awaludin Ramdhan S.
iii
SALAT SUNAH SETELAH WUDU:
STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS
DALAM KITAB IHYĀ’ ‘ULŪM AL-DĪN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Awaludin Ramdhan S.
NIM: 1111034000005
Pembimbing,
Drs. Harun Rasyid, M.Ag
NIP: 19600902 198703 1 001
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M.
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul SALAT SUNAH SETELAH WUDU: STUDI KRITIK
SANAD DAN MATAN HADIS DALAM KITAB IHYĀ’ ‘ULŪM AL-DĪN telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 11 April 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu al-
Quran dan Tafsir.
Jakarta, 11 April 2017
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Dr. Lilik Umi Kaltsum, MA
NIP: 19711003 199903 1 010
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dra. Banun Binaningrum, M.Pd
NIP: 19680618 199903 2 001
Anggota,
Penguji I
Dr. M. Isa H. A. Salam, M.Ag
NIP: 19531231 198603 1 010
Penguji II
Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag
NIP: 19740510 200501 1 009
Pembimbing,
Drs. Harun Rasyid, M.Ag
NIP: 19600902 198703 1 001
v
PEDOMAN PENULISAN
A. Pedoman Transliterasi Arab-Latin1
1. Konsonan
Arab Latin Arab Latin
ṭ ط Tidak dilambangkan ا
ẓ ظ b ب
‘ ع t ت
g غ ṡ ث
f ف j ج
q ق ḥ ح
k ك kh خ
l ل d د
m م ż ذ
n ن r ر
w و z ز
h ه s س
' ء sy ش
y ي ṣ ص
ḍ ض
2. Vokal Panjang
qāla قال
qīla قيل
qālū قالوا
3. Kata Sandang
al-qamariyyah القمرية
al-syamsiyyah الشمسية
B. Singkatan2
swt. subḥānahu wa ta’ālā saw. ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam
QS al-Qur'ān Sūrah ra. raḍiyallāhu ‘anhu/‘anhum
HR Hadis riwayat as. ‘alaihi/‘alaihim al-salaam
1 Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K, Nomor: 158 Tahun 1987 –
Nomor: 0543 b/u/1987. 2 Dion Yuliaonto, ed., Pedoman Umum EYD dan Dasar Umum Pembentukan Istilah
(Jogjakarta: DIVA Press, 2011), h. 47-52.
vi
ABSTRAK
Awaludin Ramdhan Sujada
Salat Sunah setelah Wudu: Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis dalam
Kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn
Salat merupakan amalan utama bagi setiap Muslim. Dilaksanakan dalam
keadaan suci dari hadas kecil dan besar dengan cara berwudu atau mandi junub.
Salat ada yang hukumnya wajib dan ada yang sunnah. Waktu salat wajib,
sebagaimana telah dijelaskan di dalam al-Qur'ān, dalam satu hari satu malam ada
lima waktu, sedangkan salat sunah memiliki beragam waktu. Salah satunya yaitu
setelah berwudu, sebagaimana hadis dari Buraidah yang terdapat dalam Ihyā'
‘Ulūm al-Dīn karya Abū Ḥāmid Muḥammad al-Ghazālī.
Hadis memiliki sejarah yang kelam, yaitu terjadinya pemalsuan dengan
tujuan kepentingan pribadi atau kelompok. Hal ini tentu akan mengganggu
perannya sebagai ta'kīd dan tafsīr bagi al-Qur'ān. Kitab terkenal seperti Ihyā'
‘Ulūm al-Dīn-pun banyak mendapat komentar negatif dari para ulama, seperti al-
Mazari dan al-Jauzī yang menyatakan bahwa hadis-hadis di dalamnya lemah.
Maka para ulama merumuskan berbagai ilmu untuk menyingkirkan pemalsuan
pada hadis. Salah satu ilmu tersebut adalah takhrij hadis. Takhrij adalah
mengeluarkan asal suatu hadis pada kitab-kitab induk hadis dengan menerangkan
kualitasnya. Kegiatan ini memiliki berbagai metode, dan metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah takhrij dengan kata/lafal dan takhrij dengan tema.
Kitab kamus yang digunakan dalam metode ini adalah Mu’jam al-Mufahharas li
Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī dan Miftāḥ Kunūz al-Sunnah karya A. J. Wensinck dkk.
yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab oleh Muḥammad Fu'ād ‘Abd al-Bāqī.
Setelah letak-letak hadis ditemukan, kesahihan hadis tersebut diteliti,
dimulai dari setiap perawi pada seluruh sanadnya sampai pada kandungan
matannya. Setelah melakukan penelitian yang panjang dapatlah disimpulkan
bahwa hadis mengenai salat sunah setelah wudu di dalam kitab Ihyā' ‘Ulūm al-
Dīn karya karya Abū Ḥāmid Muḥammad al-Ghazālī berkualitas ṣaḥīḥ dan dapat
dijadikan hujah.
vii
KATA PENGATAR
Segala puji penulis ucapkan ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan
nikmat tiada henti sehingga penulis dapat menyelasaikan salah satu karya ilmiah
berjudul Ṣalat Sunah setelah Wuḍū': Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis dalam
Kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn yang menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Agama. Selawat serta salam semoga dilimpahkan kepada uswah ḥasanaḥ
Nabi Muhammad saw., semoga kita mendapatkan syafaat beliau di akhirat nanti.
Penelitian ini dapat diselesaikan dengan usaha penuh penulis, dan tentunya
dengan bantuan-bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu penulis mengucapkan
terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:
1. Kedua orang tua yang tidak henti-hentinya berdoa dan memberikan tenaga dan
waktunya bagi penulis, dari awal masuk perkuliahan sampai selesainya karya
ini. Adik-adik tercinta, Andi dan Adam yang menjadi sumber inspirasi dan
motivasi selama karir pendidikan ini.
2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta seluruh jajarannya.
3. Prof. Masri Mansoer, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan seluruh fasilitas yang
dibutuhkan.
4. Dr. Lilik Umi Kaltsum, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur'an dan
Tafsir dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu al-Qur'an dan Tafsir beserta jajarannya yang selalu menyempatkan
waktunya dalam menyiapkan berbagai kebutuhan yang diperlukan penulis.
viii
5. Drs. Harun Rasyid, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan banyak arahan yang sangat membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian.
6. Prof. Dr. M. Ridwan Lubis, MA selaku dosen penasehat akademik yang telah
memberikan masukan dan arahan sepanjang perkuliahan.
7. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir
dan prodi Ilmu Hadis yang telah memberikan pengajaran serta pemahaman
yang baru bagi penulis.
8. Bapak dan Ibu petugas Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Pusat Studi al-Quran,
Perpustakaan Iman Jama’, dan pihak-pihak lain yang telah mempersiapkan
tempat dan berbagai referensi yang digunakan oleh penulis.
9. Teman-teman Fakultas Ushuluddin angkatan 2011, hususnya prodi Tafsir
Hadis (dulu), yang telah memberikan banyak informasi seputar perkuliahan.
Sebagai penutup, penulis berharap semoga karya tulis ini memberikan
manfaat akademis bagi perguruan dan manfaat praktis bagi pembaca pada
umumnya. Tidak lupa semoga karya ini menjadi ilmu yang bermanfaat bagi
penulis sampai akhir nanti.
Ciputat, 21 Maret 2017
Awaludin
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ....................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ........................................................... iv
LEMBAR PEDOMAN PENULISAN ....................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 6
D. Kajian Pustaka .......................................................................................... 7
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 8
2. Sumber Data ........................................................................................ 8
3. Metode Analisis ................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ............................................................................... 11
BAB II AL- GHAZĀLĪ DAN IHYĀ' ‘ULŪM AL-DĪN
A. Riwayat Hidup al-Ghazālī
1. Biografi al- Ghazālī ............................................................................. 13
x
2. Karya-karya al- Ghazālī ....................................................................... 16
B. Kitab Ihyā' ‘Ulūm al-Dīn
1. Karakteristik Kitab ............................................................................... 17
2. Komentar Para Ulama .......................................................................... 18
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SALAT
A. Pengertian dan Waktu Salat ..................................................................... 21
B. Salat Sunah dan Salat Makruh .................................................................. 23
C. Wudu dan Salat Sunah Setelahnya ........................................................... 26
BAB IV PENELITIAN HADIS TENTANG SALAT SUNAH SETELAH
WUDU
A. Penelusuran Hadis .................................................................................... 29
B. Asbāb al-Wurūd ........................................................................................ 36
C. Kritik Sanad
1. Al-I’tibār .............................................................................................. 37
2. Penelitian Kualitas Periwayat dan Metode Periwayatan ..................... 42
3. Kesimpulan Kualitas Sanad ................................................................. 51
D. Kritik Matan
1. Penelitian Kualitas Matan
a. Meneliti susunan matan yang semakna ........................................... 53
b. Meneliti matan dengan pendekatan al-Qur'ān ................................ 55
c. Meneliti matan dengan pendekatan hadis sahih .............................. 56
d. Meneliti matan dengan pendekatan bahasa ..................................... 57
2. Kesimpulan Kualitas Matan ................................................................ 58
xi
E. Pemahaman Hadis .................................................................................... 58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 62
B. Saran ......................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 64
xii
DAFTAR GAMBAR
1. Skema sanad hadis pertama ...................................................................... 39
2. Skema sanad hadis kedua ......................................................................... 40
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah swt. berfirman dalam al-Qur‟ān sūrah al-Nisā'/4: 59 yang berbunyi
وو لذين آمنوا أطيعوا للا يبأيهب ا ي أأألي المز منكم فئن تنبسعتم ف أأطيعوا الز
وو إ شيء فزدأه إلى للا أاليو اخآرز لل ريزو أأسنن ن كنتم تؤمنون ببلل أالز
(95تأأيلا )“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-
Nya), dan ūl al-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'ān)
dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”
Ayat tersebut merupakan salah satu dalil yang menerangkan bahwa
sumber yang dijadikan rujukkan bagi ummat Islam adalah al-Qur'ān dan Sunnah.
Al-Qur'ān menjadi rujukkan yang pertama karena seluruhnya diriwayatkan secara
mutawatir (para periwayat secara kolektif dalam segala tingkatan), sehingga
kebenaranya sudah absolut (qaṭ’i al-ṡubūt). Sunnah atau yang biasa disebut hadis
menjadi urutan kedua karena periwayatannya ada yang mutawatir dan ada yang
ahad.1
Hadis memiliki peran yang sangat penting bagi al-Qur'ān, di antaranya
memperkuat keterangan (ta'kīd/taqrīr), sebagai penjelas (tafsīr), merinci yang
global (tafṣīl al-mujmal), mengkhususkan yang umum (takhṣīs al-‘am),
membatasi yang mutlak (taqyīd al-muṭlaq), dan membuat hukum syariat
(tasyrī’).2 Namun, peran tersebut tidak diiringi dengan penulisan dan pembukuan,
bahkan Nabi saw. secara umum melarang penulisan hadis. Berbeda dengan
1 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 22.
2 Ibid., h. 16-21.
2
al-Qur'ān yang telah ditulis pada masa Nabi masih hidup, walaupun masih sangat
sederhana. Di balik pelarangan tersebut, perhatian para sahabat terhadap hadis
sangatlah kuat, menurut Ahmad Umar Hasyim, sebagaimana dikutip oleh Abdul
Majid Khon, ada beberapa faktor yang menyebabkan perhatian tersebut, yaitu:
1. Nabi masih hidup merupakan panutan yang baik bagi umatnya
2. Kandungan ayat al-Qur'ān dan hadis yang menganjurkan menuntut ilmu dan
mengamalkannya
3. Fithrah orang Arab yang memiliki ingatan yang kuat.3
Keadaan tersebut berubah setelah Nabi wafat dan lengsernya masa
Khulafā' al-Rāsyidīn. Hadis-hadis mauḍū’/palsu mulai bermunculan disebabkan
oleh beberapa faktor, di antaranya kepentingan politik/kekuasaan, dendam musuh
Islam, fanatisme, cerita-cerita dari para qaṣṣāṣ, perbedaan dalam mazhab, dan
lain-lain. Kondisi itu menarik para ulama untuk mengantisipasi hadis mauḍū’. Di
antara usaha tersebut yaitu:
1. Memelihara sanad hadis. Ketika ulama mendengar suatu matan, mereka
meminta menyebutkan rawi-rawi dari hadis tersebut. Hal ini tidak dilakukan
sebelum adanya hadis mauḍū’
2. Meningkatkan semangat ilmiah, dengan melakukan perjalanan untuk mencari
asal-usul hadis
3. Mengisolir para pendusta dengan menjauhkannya dari masyarakat
4. Menerangkan keadaan para rawi. Ahli hadis menelusuri sejarah kehidupan rawi
dari lahir hingga wafat, sampai pada kualitas keilmuan dan moralnya
3 Aḥmad „Umar Hāsyim, al-Sunnah al-Nabawiyyah wa ‘Ulūmuhā (Kairo: Dār Maktabah
Gharīb, 1989), h. 46.
3
5. Memberikan kaidah-kaidah hadis.4
Untuk meminimalisir ke-mauḍū’-an tersebut, kitab-kitab terkenal pun
tidak luput dari komentar negatif para ulama. Seperti Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn yang
dikritik oleh al-Mazari (536 H). Ia menyatakan bahwa sanad di dalam Ihyā’
‘Ulūm al-Dīn lemah dan banyak menganjurkan hal-hal yang tidak memiliki dasar.
Ia juga mengingkari klaim yang menyatakan bahwa al-Ghazālī, pengarang Ihyā’
‘Ulūm al-Dīn, memiliki ilmu yang tidak mungkin dituliskan dalam suatu kitab
–walaupun komentar ini telah dibantah al-Subky dalam Thabaqat-nya.–5
Kemudian Ibnu Taimiyah (661-728 H) juga mengkritisi Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Ia
berpendapat bahwa di beberapa bagian Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn terdapat pemikiran
para filsuf yang layak untuk dihindari.6
Dari komentar-komentar tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji kitab
Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya al-Ghazālī. Setelah melakukan penelusuran, penulis
menemukan hadis-hadis di dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn tidak disertai dengan sanad
dan matan yang sempurna. Mukhārij dari hadisnya juga tidak disebutkan. Di sini
penulis melihat pembahasan mengenai salat yang berjudul Rahasia dan
Keutamaan Salat yang memuat tujuh bab.
Salat secara bahasa berarti berdoa dan berselawat, berasal dari bentuk
masdar Bahasa Arab ة ل ص yang berakar dari kata kerja ىيصل – ىل ص .7 Salat secara
istilah dalam ilmu fikih berarti suatu bentuk ibadah yang diwujudkan dalam
4 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 199, dan M. „Ajaj al-Khatib, Pokok-Pokok Ilmu
Hadis, penerjemah Nur Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama), h. 353. 5 Mahbub Djamaluddin, Imam al-Ghazali Sang Ensiklopedia Islam (Senja Publishing,
2015), h. 126. 6 Ibid., h. 131.
7 Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk-Beluk Ibadah dalam Islam
(Bogor: Kencana, 2003), h. 173-175.
4
bentuk gerakan, ucapan dan syarat-syarat tertentu yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam.8 Gerakan, ucapan, rukun dan syarat tersebut tidak tertulis
di dalam al-Qur'an, melainkan dijelaskan di dalam hadis-hadis Nabi. Tata caranya
diajarkan langsung oleh Jibril as. kepada Nabi saw. saat turun memberi tahu
bahwa beliau akan menjadi utusan Allah swt., kemudian Nabi saw. menirukannya
dan salat bersama Jibril as. Setelah itu, Nabi saw. mengajari Khadijah ra. seperti
apa yang telah dipelajari Nabi saw. dari Jibril as.9
Salah satu syarat sah untuk melaksanakan salat adalah suci dari hadas
kecil dengan cara berwudu. Bahkan salat sunah setelah wudu yang menjadi salah
satu keutamaan dari berwudu, juga disebut dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya al-
Ghazālī, tepatnya pada bab VII dari Rahasia dan Keutamaan Salat, yaitu Rahasia
dan Keutamaan di Balik Salat Sunah. Di dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, al-Ghazali
mengutip Hadis riwayat Abū Hurairah, namun tidak disertai dengan mukhārij,
sanad yang disebut hanya pada tingaktan sahabat, dan matan yang dicantumkan
tidak secara keseluruhan. Kutipan tersebut yaitu
ل و ل ب ب ق ف ت ن ى الج ل ي إ ن قت ب و م ب ل ب ل لت ق ب ف يه ف لا ل ب يت أ ز ف ت ن الج لت ر ملسو هيلع هللا ىلص د ب ق
ين ت كع ر و يب ق ي ع ل ص أ ل ا إ وءا ض أ ث سد أ ي ل ن أ ل ب إ يئا ش ف عز أ “Nabi bersabda, „Aku masuk surga kemudian melihat Bilāl,
sehingga Aku bertanya kepada Bilāl, dengan apa engkau mendahului Aku
masuk ke surga?‟ Bilāl menjawab, „aku tidak mengetahui apapun, kecuali
jika aku berhadas aku mengambil air wudu kemudian langsung salat dua
rakaat dengan wudu tersebut.”10
Dilatarbelakangi dengan komentar-komentar negatif dan cara al-Ghazālī
mengutip hadis, penulis merasa tertarik untuk mengkaji kualitas hadis di dalam
8 Baihaqi, Fiqih Ibadah (Bandung: Penerbt M2S, 1996), h. 37-38.
9 Jawwad „Ali, Sejarah Shalat. Penerjemah Irwan Masduki (Tangerang: Penerbit Lentera
Hati, 2013), h. 30. 10
Abū Ḥāmid Muḥammad ibn al-Ghazālī, Ihyā' ‘Ulūm al-Dīn, vol. I (Kairo: Dār al-
Ḥadīṡ, 2004), h. 271.
5
Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Setelah melakukan penelusuran, penulis menemukan buku
yang telah mentakhrij hadis-hadis di kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, yaitu Takhrīj
Aḥādīṡ Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya al-„Irāqī, Ibn al-Sabkī, dan al-Zubaidī. Takhrīj
adalah menunjukkan asal beberapa hadis pada kitab-kitab yang ada (kitab induk
hadis) dengan menerangkan hukum/kualitasnya.11
Penelitian ini bertujuan untuk
mencari tahu apakah hadis tersebut termasuk hadis mauḍū’ atau tidak, agar dapat
diketahui apakah hadisnya dapat diterima dan diamalkan atau tertolak.
Di dalam Takhrīj Aḥādīṡ Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, disebutkan letak-letak hadis
di atas pada kitab induk hadis, namun tidak disebutkan kualitas periwayatnya satu
persatu. Kemudian penulis menemukan sahabat yang meriwayatkan hadis ini
adalah Buraidah, bukan Abū Hurairah seperti yang disebutkan di dalam Ihyā’
‘Ulūm al-Dīn. Selain itu, memperhatikan bunyi matan hadis di atas, terdapat
indikasi hadis mauḍū’, yaitu besarnya ganjaran terhadap amal yang kecil, seperti
dijelaskan „Ajaj al-Khatib dalam Uṣūl al-Ḥadīṡ.12
Di sini berarti amalan dua
rakaat setelah wudu yang memiliki ganjaran masuk surga.
Melihat keadaan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
berupa studi sanad dan matan terhadap hadis di atas, karena kita selaku umat
muslim harus bersikap kritis terhadap buku yang kita baca, mengambil yang baik
dan membuang yang buruk. Maka dari itu penulis memberi judul penelitian ini
dengan “SALAT SUNAH SETELAH WUDU: STUDI KRITIK SANAD DAN
MATAN HADIS DALAM KITAB IHYĀ’ ‘ULŪM AL-DĪN.”
11
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 116. 12
Muhammad „Ajaj al-Khatib, Uṣūl al-Ḥadīṡ, penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), h. 371.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengkaji atau meneliti masalah dalam karya tulis haruslah dibatasi agar
pembahasan dalam karya tulis tersebut terarah dan tidak melebar. Penulis dalam
skripsi ini akan mencari tahu kualitas hadis yang tersebut di latar belakang di atas,
apakah ṣahīḥ, ḥasan, ḍa’īf, atau bahkan mauḍū’. Hadis-hadis yang diteliti juga
terbatas hanya yang terdapat pada sembilan kitab induk hadis (al-kutub al-tis’ah),
kecuali al-Bukhari dan Muslim, karena kesahihan hadis yang diriwayatkan oleh
keduanya telah disepakati. Sehingga masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini
adalah “Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis mengenai salat setelah wudu
di dalam Iḥyā' ‘Ulūm al-Dīn?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Melihat latar belakang dan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai
dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menjadi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana di Program Studi
Ilmu al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Melanjutkan penelitian dari kitab Takhrīj Aḥādīṡ Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn yang
hanya mengemukakan hadis-hadis pada Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn di kitab-kitab
induk hadis
3. Untuk mengetahui kualitas dan derajat hadis mengenai salat setelah wudu
4. Menjadi acuan dalam menyikapi dan mengamalkan hadis tersebut.
7
D. Kajian Pustaka
Karya tulis terdahulu yang pernah membahas tema salat dan kritik hadis
dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn seperti skripsi ini sangat banyak, yang dapat penulis
sampaikan di antaranya; Skripsi S1 Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Jakarta berjudul “Keistemewaan Salat Sunah Tobat
(Studi Analisis Sanad dan Matan Hadis)” karya Eni Nuraini tahun 2008 yang
membahas kualitas Hadis riwayat Buraidah tentang salat sunah taubat. Skripsi S1
Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta
berjudul “Takhrij al-Hadis tentang Salat Sunnah Ba’diyah ‘Asar (Studi Kritis
Kualitas Sanad dan Matan)” karya Ulfah Latifah tahun 2009 yang membahas
kualitas hadis tentang salat sunah setelah Asar. Skripsi S1 Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta berjudul “Takhrij Hadis
tentang Shalat Istikharah (Studi Kritis Kualitas Sanad dan Matan)” karya
Fitriatul Munawaroh tahun 2010 yang membahas kualitas hadis-hadis tentang
salat istikharah. Skripsi S1 Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Jakarta berjudul “Bahaya Lisan: Studi Kualitas Hadis Senda
Gurau dalam Kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn” karya Zaenuri tahun 2014 yang
membahas kualitas hadis-hadis tentang bersenda gurau. Skripsi S1 Jurusan Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta berjudul “Korupsi
dalam Perspektif al-Ghazali: Kajian Hadis-Hadis dalam Kitab Ihya
‘Ulummiddin” karya Taufik Hidayatulloh tahun 2013 yang membahas korupsi
secara tematik di dalam kitab Ihyā‟ „Ulūm al-Dīn.
8
Buku dan kitab yang membahas salat sunah juga tidak sedikit, seperti buku
berjudul Kumpulan Shalat Sunnah dan Keutamaanya karya Sa‟id ibn Ali ibn
Wahf yang berisi tentang salat-salat sunah serta manfaat dan faedahnya, kitab
dengan judul Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya al-Ghazali yang di dalamnya terdapat juga
pembahasan mengenai salat sunah dua rakaat setelah wudu, kitab Takhrīj Aḥādīṡ
Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya al-„Irāqī, Ibn al-Sabkī, dan al-Zubaidī. Di buku dan
kitab tersebut tidak disebutkan kualitas serta kritik sanad dan matan dari Hadis
riwayat Abu Hurairah ini, maka dalam skripsi ini penulis akan meneliti hal-ihwal
hadis tersebut.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Objek penelitian dalam skripsi ini adalah mencari kualitas suatu hadis
yang terdapat dalam kitab-kitab induk hadis, maka dari itu penelitian ini
tergolong kepada jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu suatu
penelitian yang data-datanya diambil dari kitab-kitab dan buku-buku yang
berkaitan dengan tema tersebut, baik dari media cetak ataupun media
elektronik.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua,
yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber-sumber primer di
antaranya:
9
a. Kitab takhrij. Terdapat beberapa kitab dengan metode penyusunan yang
berbeda-beda. Di sini penulis menggunakan kitab Mu’jam al-Mufahharas li
al-Fāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī yang menggunakan metode lafal dan Miftāḥ
Kunūz al-Sunnah yang menggunakan metode tematik dalam penyusunanya,
keduanya merupakan karya A. J. Wensinck. Di dalamnya dimuat hadis-hadis
yang terdapat dalam kitab yang terkenal.
b. Untuk menelusuri biodata para rawi, penulis menggunakan kitab rijāl al-
ḥadīṡ seperti Tahżīb al-Kamāl fī Asmā' al-Rijāl karya Jamāl al-Dīn Abū al-
Ḥajjāj Yūsuf al-Mizī, al-Jarḥ wa al-Ta’dīl karya Abū Muḥammad „Abd al-
Raḥmān ibn Abī Ḥātim, al-Ṡiqqāt Muḥammad ibn Ḥibbān ibn Aḥmad ibn
Abī Ḥātim, al-Kāsyif fī Ma’rifah man lahu Riwāyah fī al-Kutub al-Sittah
karya Syams al-Dīn Abū Abdullah Muḥammad ibn Aḥmad ibn „Uṡmān al-
Żahabī, Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Hadiṡ karya Nur al-Din Muhammad „Itr
al-Halbi, dan lain-lain.
Sumber-sumber sekunder di antaranya buku dan kitab lainnya yang
mendukung pembahasan, seperti buku metode kritik hadis atau metode takhrij
hadis.
3. Metode Analisis
Metode yang digunakan untuk meneliti hadis-hadis yang berkaitan
dengan tema adalah metode takhrij. Takhrij adalah penisbatan riwayat hadis
10
kepada kitab-kitab yang ada berserta penjelasan kriteria-kriteria hukum hadis-
hadis tersebut.13
Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode ini adalah:
a. Melakukan kegiatan takhrīj al-ḥadīṡ. Pada langkah ini penulis akan
menelusuri hadis yang semakna menggunakan kitab takhrij, kemudian
merujuk kitab asli yang ditunjuk oleh kitab tersebut agar didapat rangkaian
sanad yang sempurna.
b. Melakukan kegiatan i’tibār. Setelah mendapatkan hadis dengan rangkaian
sanad yang sempurna, sanad-sanad tersebut disusun ke dalam sebuah skema.
c. Melakukan penelitian sanad. Langkah ini bertujuan untuk mencari kualitas
hadis dari segi sanad. Para rawi yang ada pada rangkaian sanad tersebut dicari
biodatanya serta penilaian para ulama di kitab rijāl al-ḥadīṡ.
d. Penelitian matan hadis. Kriteria yang dapat diambil dalam tahap ini,
sebagaimana dijelaskan oleh Ṣalāḥ al-Dīn ibn Aḥmad al-Adabī, adalah:
1) Meneliti susunan matan yang semakna
2) Meneliti matan dengan pendekatan al-Qur'an
3) Meneliti matan dengan pendekatan hadis sahih
4) Meneliti matan dengan pendekatan bahasa.14
e. Menyimpulkan hasil penelitian. Setelah mendapatkan kualitas hadis dari
segi sanad dan matan, ditariklah kesimpulan dari hadis tersebut beserta
pemahaman-pemahaman dengan argumen yang jelas.
13
Abu Muhammad Mahdi, Metode Takhrij Hadits, penerjemah Said Agil Husin
Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h. 4. 14
Bustamin dan M. Isa H. A., Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), h. 64.
11
Teknik penulisan pada skripsi ini berpedoman kepada Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Desartasi) yang diterbitkan oleh CeQDA pada
tahun 2007. Transilterasi arab-latin berpedoman kepada Keputusan Bersama
Menteri Agama dan Menteri P dan K, Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543
b/u/1987. Beberapa hal yang tidak tercantum penulis sesuaikan dengan EYD yang
berlaku saat ini.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun secara sistematis berdasarkan urutan bab dengan isi
pembahasan yang berbeda. Adapun susunan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab pertama. Berisikan latar belakang masalah yang menjadi acuan
penulis dalam melaksanakan penelitian ini. Rumusan masalah agar penelitian ini
tetap terarah. Tujuan dan manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini. Kajian
pustaka yang mengemukakan bahwa penelitian ini belum dibahas sebelumnya.
Metodologi yang menjadi alat untuk menyelesaikan masalah dalam penelitian ini.
Terakhir sistematika penulisan untuk mengurai isi penelitian ini secara luas dan
lengkap.
Bab kedua. Berisi riwayat singkat al-Ghazali beserta karya-karyanya, dan
karaktersitik dari kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn beserta komentar para ulama.
Bab ketiga. Berisi tinjauan umum tentang salat dan ruang lingkupnya. Di
dalamnya dikemukakan pengertian, waktu, dan salat berdasarkan hukumnya. Bab
ini ditutup dengan pemaparan singkat mengenai wudu dan salat sunah setelahnya
yang telah dijelaskan dalam beberapa buku dan kitab.
12
Bab keempat. Bab ini merupakan inti dari pembahasan dalam penelitian
ini. Di dalamnya dibahas penelusuran hadis serta kritik sanad yang terdiri dari
kualitas para rawi dan ketersambungannya dan kritik matan. Selain itu dipaparkan
juga asbāb al-wurūd dan pemahaman hadis secara ringkas. Data-data dalam bab
ini sangat menentukan kesimpulan akhir dalam bab berikutnya.
Bab kelima. Berisikan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan
pada bab sebelumnya dan saran untuk penelitian berikutnya.
13
BAB II
AL-GHAZALI DAN IHYĀ' ‘ULŪM AL-DĪN
A. Riwayat Hidup al-Ghazali
1. Biografi al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn
Ahmad. Putra darinya bernama Hamid, maka sesuai tradisi di masyarakatnya,
Muhammad pun dipanggil Abu Hamid. Mengenai akhir namanya „al-Ghazali‟,
para peneliti sejarah mengalami perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat
kadang diucapkan „al-Ghazzali‟ (dengan tasydid pada z). Pengucapan ini diambil
dari ghazzal (tukang pemintal benang), yang merupakan profesi dari ayahnya,
yaitu pemintal benang wol. Pendapat lain menyebutkan „al-Ghazali‟ (dengan satu
z), diambil dari kata Ghazalah yang merupakan nama kampung kelahirannya di
Thus1. Pendapat ini sesuai dengan riwayat dari keturunan Sittun Nisa, putri
Muhammad seperti yang disebut al-Fayumi dalam al-Mishbah al-Munir.2 Maka
dikenal lah ia dengan Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad
ibn Ahmad al-Ghazali yang lebih terkenal dengan laqab-nya, al-Ghazali.
Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H di distrik Thabaran, Thus, yang
merupakan bagian dari Negeri Khurasan. Al-Ghazali lahir dalam keluarga yang
biasa, ayahnya bukan seorang yang terpelajar, demikian pula kakek dan
leluhurnya yang lain. Keseharian ayah al-Ghazali disibukkan dengan
pekerjaannya, yaitu memintal bulu domba dan menjualnya di kiosnya di pasar
1 Wilayah Thus berada di Provinsi Khurasan, salah satu wilayah di Negeri Persia, atau
kita kenal saat ini dengan sebutan Iran. 2 Mahbub Djamaluddin, Imam al-Ghazali Sang Ensiklopedia Islam (Senja Publishing,
2015), h. 27-28.
14
Thabaran. Al-Ghazali memiliki adik kandung bernama Ahmad dengan laqab
Majduddin. Ketika ayahnya sakit dan dirasa makin parah, dipanggilnya seorang
kawannya yang soleh (dikatakan ahli fiqih dan ahli tasawuf) beserta kedua
anaknya. Ia menyerahkan harta warisannya kepada kawannya tersebut sambil
berpesan agar bersedia merawat kedua anaknya. Ia pun berkata, “Sungguh aku
memiliki satu penyesalan yang sangat besar karena tidak dapat belajar menulis.
Aku ingin apa yang tidak dapat aku pelajari dalam hidupku ini dapat dipelajari
oleh kedua anakku.”3
Sepeninggal ayahnya, al-Ghazali bersaudara dirawat oleh kawan ayahnya.
Keduanya digembleng, diberi pelajaran menulis, dan diajari dasar-dasar etika
keagamaan. Setelah harta warisan itu habis dan dirasa berat mengasuh al-Ghazali
bersaudara, ayah angkatnya meminta keduanya untuk belajar di sebuah madrasah.
Madrasah yang dituju berada di Thus dan diasuh oleh Ahmad ibn Muhammad ar-
Radakani. Di bawah bimbingan ar-Radakani keduanya menempa dasar-dasar ilmu
keagamaan, khususunya Bahasa Arab dan fiqih.4
Setelah menguasai dasar-dasar ilmu, sekitar tahun 465 H, al-Ghazali
melakukan rihlah ilmiah. Tempat pertama yang dituju olehnya adalah Jurjan.5 Di
sana ia bertemu seorang guru bernama Abu Qasim al-Isma‟ili (407-477 H).
Kepadanya, al-Ghazali men-ta’līq karangannya yang berjudul al-Ta’līqāt fī Furū’
al-Mażhab. Tidak lama di Jurjan, al-Ghazali kembali ke Thus, tanah kelahirannya
selama tiga tahun. Pada 468 H, al-Ghazali melanjutkan rihlahnya ke Naisabur. Di
3 Ibid., h. 29-30 dan al-Ghazali, Ihyā' ‘Ulūm al-Dīn, penerjemah Ibnu Ibrahim Ba‟adillah
(Jakarta: Gramedia, 2011), h. vii-viii. 4 Mahbub Djamaluddin, Imam al-Ghazali, h. 30-33.
5 Distrik yang terdekat dengan wilayah Thus.
15
sana ia bertemu sorang syaikh di Universitas Nizamiyah yang bernama Abu al-
Ma‟ali Abd al-Mulk ibn Abdillah ibn Yusuf al-Juwaini an-Naisaburi (419-478 H),
yang lebih populer dengan al-Juwaini dengan gelar Imam al-Haramain.
Kepadanya, al-Ghazali belajar berbagai bidang ilmu, seperti fiqh, ushul fiqh,
manthiq, teologi (kalam), dan lain-lain. Setelah 10 tahun belajar kepada al-
Juwaini, al-Ghazali bertolak ke Mu‟askar. Di sana al-Ghazali bertemu dengan
Abu Ali Hasan ibn Ali ibn Ishaq al-Thusi, dengan gelar Nizamul Mulk. Setelah
tinggal sekitar enam tahun lamanya, Nizamul Mulk melihat potensi yang luar
biasa dalam diri al-Ghazali. Maka, pada 484 H, bertepatan dengan usia 34 tahun,
al-Ghazali diminta untuk menjadi pengajar di Madrasah Nizamiyah Baghdad. Al-
Ghazali pun mendapatkan gelar Syaikh al-Islam, pangkat tertinggi dari segi
akademik dan keagamaan yang resmi. Di tengah-tengah kesibukannya, al-Ghazali
masih menyempatkan untuk belajar. Ia mempelajari filsafat secara otodidak. Di
anatara buku filsafat yang dibacanya adalah al-Syifa' karya Ibnu Sina (370-427),
dan juga mempelajari pemikiran al-Farabi (261-339 H). Dari pembelajaran
tersebut ia menuliskan buku berjudul Maqāṣid al-Falsafah dan Tahāfut al-
Falāsifah. Pada tahun 488 H, al-Ghazali mundur dari Universitas Nizamiyah.
Dikabarkan beliau mengalami sakit, bahkan ia meninggalkan Baghdad pada tahun
yang sama.6
Masih begitu panjang masa hidup al-Ghazali. Perjalanan terakhirnya ia
kembali ke Thus sekitar tahun 503 H. Di usianya yang sudah tua, al-Ghazali
masih melayani para santri yang datang membaca al-Qur'ān hingga tamat,
6 Ibid., h. 33-53.
16
berdiskusi dengan para sufi dan menyampaikan kajian. Pada tahun 504, al-Ghazali
sempat menolak permintaan mengajar kembali di Nizamiyah seolah telah
mengisyaratkan kewafatannya. Satu tahun kemudian, tepatnya pada Senin 14
Jumadil Akhir 505 H, al-Ghazali wafat. Jasadnya dimakamkan di Thabaran,
Thus.7
2. Karya-karya al-Ghazali
Warisan Abu Hamid al-Ghazali yang berupa karya tulis jumlahnya cukup
banyak, baik secara kualitas maupun kuantitas. Karya-karyanya juga mencakup
berbagai bidang ilmu. Berkualitas karena karya-karyanya hingga sekarang masih
digunakan di kalangan pesantren maupun akademisi, dijadikan rujukkan dan
bahan kajian. Sedangkan kuantitas karyanya para peneliti memiliki pendapat yang
beragam. Salah satu sarjana muslim yang cukup serius meneliti karya-karyanya
adalah Abdurrahman Badawi dengan bukunya yang sangat penting, Muallafāt al-
Ghazalī. Adapun karya-karyanya secara kronologi sebagai berikut8
Fase Hidup Kisaran Tahun
(dalam hijriah)
Usia
al-Ghazali
Kitab yang Ditulis
I
Fase permulaan
465-478 15-28 Menulis dua kitab
- Ta’liqat fi Furu’ al-
Madzhab
- al-Mankhūl fi ‘Ilmi al-
Ushūl
II
Fase mengajar
pertama
478-488 28-38 Menulis lebih dari 20 kitab,
di antara yang populer
- al-Basith
- al-Wasith
- Mi’yar al-‘Ilmi
- dll.
7 Ibid., h. 96-99.
8 Ibid., h. 135-140.
17
III
Fase khalwat &
mengembara
488-499 38-49 Menulis lebih dari 25 kitab,
di antaranya
- Ihyā' ‘Ulūmiddīn
- Bidāyah al-Hidāyah
- Jawāhir al-Qur'ān
- Nashīhat al-Mulūk
- dll.
IV
Fase mengajar
kedua
499-503 49-53 Menulis beberapa kitab, di
antaranya
- al-Munqidh min adh-Dhalāl
- al-Imlā' ‘ala Musykil al-
Ihyā'
- dll.
V
Fase menjelang
wafat
503-505 53-55 Menulis tiga buah kitab
- ad-Durrah al-Fākirah fi
Kasyf ‘Ulūm al-Ākhirah
- Iljām al-‘Awām fi ‘Ilmi al-
Kalām
- Minhāj al-‘Ābidīn
B. Kitab Ihyā' ‘Ulūm al-Dīn
1. Karakteristik Kitab
Dr. Badawi, sebagaimana dikutip dari „Pintu Masuk Buku Ini‟,
menyampaikan, bahwa Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn pada dasarnya terbagi kepada tiga
bahasan pokok, yaitu
a. Al-„Aqliyyah al-Syar‟iyyah
Pokok bahasan dari bagian ini disarikan dari hukum-hukum yang berkaitan
dengan persoalan fikih dan usulnya, yang itu dinukilkan dari sumber hukum Islam
terbesar, al-Qur'ān, hadis Nabi saw., perkataan sahabat, tābi’īn, serta disarikan
dari pendapat para imam mazhab. Ditambahkan pula dari perkataan para ahli
fikih, ulama syariah, ulama hadis, dan takwil.9
9 Badawi, “Pintu Masuk Buku Ini,” dalam al-Ghazali, Ihyā' ‘Ulūm al-Dīn, penerjemah
Ibnu Ibrahim Ba‟adillah, h. xiii.
18
b. Al-„Aqliyyah al-Falsafiyyah
Pokok bahasan dari bagian ini disandarkan kepada kemampuan akal
manusia untuk memahami, sebagai sarana yang telah Allah swt. anugerahkan
kepada setiap manusia yang mau menggunakan akal sesuai aturan dan petunjuk-
Nya. Sekaligus sebagai pembenar dan saksi atas kebenaran aturan hidup yang
disampaikan, yang bertujuan untuk memudahkan kita dalam menjalani hidup,
serta seluruh aturan yang diperintahkan Allah di dalamnya.10
c. Al-„Aqliyyah al-Ṣūfiyyah
Pokok bahasan dari bagian inidisandarkan unutk lebih mempersiapkan
kepentingan urusan akhirat, melalui cara-cara seperti bersikap zuhud terhadap
urusan dunia, menyucikan diri dari segala bentuk urusan yang meragukan,
maupun urusan pembersihan jiwa dari kotoran yang sanggup melingkupinya.
Kitab ini diperkaya pula dengan bahasan seputar ilmu-ilmu yang
dianjurkan untuk dipelajari. Dilengkapi dengan kekhususan bahasan dalam urusan
pendidikan, peningkatan kualitas akhlak dan introspeksi diri. Sandaran aqidah
yang al-Ghazali guanakan bersumber dari keyakinan ahlu al-sunnah wa al-
jama’ah.11
2. Komentar Para Ulama
Dalam menyikapi kitab yang sangat terkenal dimana pun sampai sekarang,
para ulama memiliki komentar yang beragam. Ada yang berpandangan positif
terhadap al-Ghazālī dan karyanya ini, ada juga yang berpandangan negatif
10
Ibid., h. xiv. 11
Ibid., h. xiv.
19
terhadap kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Berikut penulis rangkum komentar-komentar
tersebut:
a. al-Juwaini (447 H), guru al-Ghazālī, berkata bahwa al-Ghazālī adalah lautan
tanpa tepi.12
b. Abu Bakar ibn al-„Arabiy (468-543 H), murid terdekat al-Ghazālī yang berjasa
membawa dan mengenalkan Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn ke negeri-negeri Barat Islam,
berkata, “Ulama paling masyhur yang pernah kutemui di dunia ini, yang
namanya terus disebut-sebut adalah al-Ghazālī.”13
c. al-Mazari (536 H), menyatakan bahwa sanad di dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn
lemah dan banyak menganjurkan hal-hal yang tidak memiliki dasar. Ia juga
mengingkari klaim yang menyatakan bahwa al-Ghazali memiliki ilmu yang
tidak mungkin dituliskan dalam suatu kitab, namun komentar ini telah dibantah
al-Subky dalam Thabaqat-nya.14
d. Ibn al-Jauzī (597 H), mengatakan bahwa hadis-hadis di dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-
Dīn adalah palsu dan batil. Ada juga hadis mauqūf (ucapan sahabat atau tabiin)
yang dijadikan hadis marfū’ (ucapan Rasulullah saw.).15
Ia juga meragukan
seorang ahli fiqih seperti al-Ghazālī dapat mengiyakan fenomena-fenomena
tasawuf.16
12
Mahbub Djamaluddin, Imam al-Ghazali, h. 120. 13
Ibid., h. 121. 14
Ibid., h. 126. 15
Ibn al-Jauzī, Minhāj al-Qāṣidīn, sebagaimana dikutip oleh Ali Hasan Ali Abdul Hamid,
Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn pandangan Ulama, penerjemah Yoga (Jakarta: Dār al-Qalam, t.t.), 14. 16
Mahbub Djamaluddin, Imam al-Ghazali, h. 129.
20
e. Ibnu Taimiyah (661-728 H), mengkritisi bahwa di beberapa bagian Ihyā’
‘Ulūm al-Dīn terdapat pemikiran para filsuf yang layak untuk dihindari.17
17
Ibid., h. 130.
21
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG SALAT
A. Pengertian dan Waktu Salat
Secara bahasa, ṣalāt berasal dari Bahasa Arab dari kata kerja ص yang
diartikan dengan do‟a, salat/sembahyang.1 Di dalam al-Qur'an, salat mengandung
beberapa pengertian. Diantaranya doa, seperti dalam al-Qur‟ān sūrah al-Taubah/9:
103
إ ػ١ ص ب ث ١ رضو ش رط صذلخ ا أ للاهرصلخز سى
١غ )س ١ (301ػ“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Salat berarti rahmat dan mohon ampun, seperti dalam al-Qur‟ān sūrah al-
Ahzab/33: 43 dan al-Qur‟ān sūrah al-Ahzab/33: 56
از ٠ص ١ ؤ ثب وب س إا بد اظ ١خشجى لئىز ػ١ى
ب) (41سح١“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
(memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari
kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang
kepada orang-orang yang beriman.”
للا إ لئىز ب٠ص ١ رس ا س ػ١ ا ص ا آ از٠ ب ٠بأ٠ اج ػ
(65) “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk
Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Bershalawat dari Allah kepada Nabi saw. mempunyai arti memberi
rahmat, dari malaikat mempunyai arti memohonkan ampunan, dari orang-orang
1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pusaka
Progresif, 1984), h. 847.
22
mukmin mempunyai arti berdoa supaya Allah swt. memberi rahmat kepada Nabi
saw.2
Menurut istilah ilmu fikih, salat adalah salah satu bentuk ibadah dengan
perbuatan-perbuatan, ucapan-ucapan dan syarat-syarat tertentu yang dimulai
dengan takbir dan diakhiri dengan salam.3
Dilihat dari segi hukumnya, salat terbagi kepada salat fardu dan salat
sunah.4 Salat wajib adalah salat yang mendapatkan pahala jika dilaksanakan dan
mendapat dosa jika ditinggalkan.5 Salat fardu terdiri dari lima waktu, sesuai
dengan firman Allah swt. dalam al-Qur‟ān sūrah Hūd/11: 114 dan al-Qur‟ān sūrah
al-Isrā'/17: 78 yang berbunyi
اص أل روش ه ر اس١ئبد ج ٠ز حسبد ا إ ا١ صفب بس ا طشف ح
( (334زاوش٠“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan
petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-
perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.”
اص أل داح ش فجشوب ا لشآ فجشإ ا لشآ سإغسكا١ ذناش
(87) “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu
disaksikan (oleh malaikat)”
Kewajiban salat lima waktu dalam sehari semalam ini diterima oleh Nabi
saw. saat beliau melakukan mi’rāj ke sidrat al-muntahā. Pada mulanya, Nabi saw.
mendapatkan kewajiban salat sebanyak 50 waktu, namun saat perjalanan pulang
Nabi saw. bertemu dengan Nabi Musa as. dan menganjurkan untuk meminta
keringanan karena umatnya paling lemah kekuatannya dan paling pendek
2 Baihaqi, Fiqih Ibadah (Bandung: Penerbit M2S, 1996), h. 37.
3 Ibid., h. 38.
4 A. Rahman Ritonga dan Zainuddin MA, Fiqih Ibadah (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2002), h. 113. 5 Baihaqi, Fiqih Ibadah, h. 44-46.
23
umurnya. Setelah beberapa kali kembali meminta keringanan, akhirnya ditetapkan
kewajiban bagi Nabi saw. dan umatnya salat lima waktu dalam sehari semalam.6
Adapun waktu-waktu salat wajib yang lima, yaitu ẓuhur, „aṣr, magrib, „isya', dan
ṣubuḥ dengan rincian sebagai berikut:
1. Ẓuhur, dimulai dari tergelincirnya matahari sampai bayangan suatu benda sama
panjang dengan bendanya.
2. „Aṣr, dimulai dari berakhirnya waktu salat Ẓuhur hingga sebelum terbenamnya
matahari.
3. Magrib, waktunya sangat singkat/pendek, dimulai dari terbenamnya matahari
sampai hilangnya warna kemerah-merahan di ufuk barat.
4. „Isya', dimulai dari hilangnya warna kemerah-merahan di ufuk barat hingga
sebelum terbitnya fajar sadiq. Waktunya cukup panjang namun lebih baik
dilakukan pada saat tengah malam atau dua pertiga malam.
5. Ṣubuḥ, dimulai dari terbitnya fajar sadiq sampai terbitnya matahari. Fajar sadiq
ialah fajar yang sinarnya terbentang di ufuk.7
B. Salat Sunah dan Salat Makruh
Salat sunah adalah salat yang dianjurkan saja karena tidak berdosa jika
ditinggalkan dan mendapat pahala jika dilaksanakan. Salat ini terbagi dua, yaitu
sunah muakkadah dan sunah ghair muakkadah. Sunah muakkadah yaitu salat
6 Jawwad „Ali, Sejarah Shalat. Penerjemah Irwan Masduki (Tangerang: Penerbit Lentera
Hati, 2013), h. xv-xvi, dan Syahruddin El-Fikri, Sejarah Ibadah (Jakarta: Republika, 2014), h. 33. 7 Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1983), h. 117-
123, Muhammad Taufiq Ali Yahya, Sholat: Hikmah, Syariat & Wirid-wiridnya (Jakarta: Penerbit
Lentera, 2006), h. 265-283, dan Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk-
Beluk Ibadah dalam Islam (Bogor: Kencana, 2003), h. 186-188.
24
yang sangat dianjurkan, sedangkan sunah ghair muakkadah adalah salat yang
anjurannya tidak sekuat sunah muakkadah.8 Salat ini memiliki lebih banyak waktu
dan lebih beragam dibandingkan dengan salat fardu. Nama lain dari salat ini
sering digunakan juga, misalnya salat nawafil, salat mandūb, salat mustaḥab, atau
salat taṭawwu’.9 Salat-salat ini ada yang muakkad dan ada yang ghair muakkad.
Salat yang termasuk muakkad diantaranya salat rawatib (salat yang beriringan
dengan salat wajib)10
, salat witir, salat ḍuhā, salat tarawih (salat malam di bulan
Ramadan, dilakukan pada awal malam,)11
, salat tahiyyat al-masjid, dan lain-lain.
Di dalam al-Qur‟ān sūrah al-Baqarah/2: 184 Allah swt. berfirman
خ١ش عخ١شاف رط (374)...ف“Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
maka itulah yang lebih baik baginya.”
Jadi salat ini memiliki arti suatu perbuatan yang dilakukan secara suka rela
oleh seorang muslim atas kemauannya sendiri, yang bukan merupakan kewajiban
baginya.12
Salat sunah memiliki beberapa keutamaan, diantaranya:
1. Menyempurnakan salat wajib dan menutupi kekurangannya
2. Mengangkat derajat seseorang dan menghapuskan kesalahannya
3. Dapat menanamkan kecintaan seorang hamba terhadap Allah
4. Dapat menambah rasa syukur seorang hamba kepada Allah, dll.13
Salat sunah ada beberapa macam. Diantaranya salat sunah rawatib yang
dilakukan beriringan dengan salat wajib; salat ḍuḥā, salat witir, salat tahajud dll.
8 A. Rahman Ritonga, Fiqih Ibadah, h. 113.
9 Baihaqi, Fiqih Ibadah, h. 46.
10 Sa‟id ibn Ali ibn Wahf al-Qahthani, Kumpulan Shalat Sunnah dan Keutamaanya,
penerjemah Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2014), h. 29-48. 11
Ibid., h. 121. 12
Ibid., h. 3. 13
Sa‟id ibn Ali,. Kumpulan Shalat Sunnah, h. 3-10 dan Firdaus Wajdi dan Saira Rahmani,
Buku Pintar Salat Wajib dan Sunnah (Jakarta: Penerbit Zaman, 2010), h. 116-119.
25
yang dilakukan pada waktu tertentu; salat istisqa, salat istikharah, salat gerhana
dll. yang dilakukan karena sebab tertentu. Salat-salat tersebut ada yang
diutamakan berjamaah dalam pelaksanaanya dan ada yang munfarid saja.14
Salat-salat sunah memiliki waktu yang luas, namun waktu tersebut dibatasi
oleh waktu-waktu dilarangnya salat. Pelarangan ini tidak berlaku untuk salat
wajib. Banyak hadis yang menerangkan waktu dilarangnya salat, diantaranya:
،أث اخذس ؼذسسيللاسؼ١ذ س ٠مي: ٠مي: س ػ١ للا صلح»ص ال
ثؼذ صلح ال س، اش رشرفغ حز جح اص سثؼذ اش رغ١ت حز سا«اؼصش
اجخبس“Abū Sa‟īd al-Khudrī berkata, aku mendengar Nabi saw. Bersabda,
„Tidak ada salat setelah ṣubuḥ hingga matahari meninggi, dan tidak ada
salat setelah salat „aṣr hingga matahari tenggelam‟.” HR Bukhari.15
ػم س ػ١ للا ص للا سسي وب سبػبد ثلس ٠مي: ، ج ا ش ػب ث جخ
ربب: ف١ مجش أ أ ، ف١ ص أ بب ٠« حز ثبصغخ س اش رطغ ح١
٠م ح١ غشةرشرفغ، س رض١فاش ح١ س، اش ١ ر حز ١شح اظ لبئ
رغشة ساس«حز “‟Uqbah ibn „Āmir berkata, „Ada tiga waktu dimana Rasulullah
saw. melarang kami untuk salat padanya dan juga untuk menguburkan
orang yang meninggal dunia di antara kami, yaitu ketika matahari terbit
persis, hingga meninggi; ketika matahari tepat di atas kepala, hingga
condong; dan di kala matahari mulai tenggelam, hingga betul-betul
tenggelam.” HR Muslim.16
Secara ringkas menurut hadis-hadis di atas, waktu-waktu dilarangnya salat
yaitu:
1. Setelah salat ṣubuḥ hingga matahari setinggi satu tombak
2. Ketika matahari di pertengahan siang hingga tergelincir, dan
3. Setelah salat „aṣr hingga matahari tenggelam.17
14
Sa‟id ibn Ali, Kumpulan Shalat Sunnah, h. 28. 15
Muḥammad ibn Ismā‟īl al-Bukhārī, al-Jāmi’ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar, vol. I
(Dār Tūq al-Najāh, 1422 H), h. 121. 16
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣahīh Muslim, vol. I (Kairo: Dār al-Hadīṡ, 1994), h. 568. 17
Sa‟id ibn Ali, Kumpulan Shalat Sunnah, h. 227.
26
C. Wudu dan Salat Sunah Setelahnya
Wudu menurut bahasa berasal dari kata اضبءح yang berarti kebersihan
dan kecerahan. Apabila huruf dibaca dengan ḍammah (ضء artinya (ا
berwudu, jika dibaca dengan fatḥaḥ (ضء artinya air untuk berwudu. Menurut (ا
syariat, wudu ialah menggunakan air yang suci dan mensucikan untuk mencuci
(membasuh) anggota badan tertentu yang telah diterangkan dan disyariatkan oleh
Allah swt. guna menghilangkan apa yang menghalangi seseorang dari
melaksanakan salat dan ibadah lainnya.18
Salah satu dalil disyariatkannya wudu
adalah al-Qur‟ān sūrah al-Mā'idah/5: 6
آ از٠ ب ٠بأ٠ اص إ ز ل إرا شافكا ا إ أ٠ذ٠ى ى ج فبغسا ح
ىؼج١ إا أسجى سحاثشءسى ا ...(5) “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak
melasanakan solat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata
kaki.”
Hikmah dari pencucian anggota wudu adalah karena anggota badan
tersebut merupakan yang paling sering terkena kotoran dan debu. Hukum wudu
juga bermacam-macam, sesuai dengan situasi yang dihadapi.19
Keutamaan dari
berwudu diantaranya
1. Sebagian dari iman
2. Cahaya bagi hamba pada hari kiamat
3. Menghapus dosa-dosa kecil
4. Mengurai ikatan setan
18
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Sifat Wudu & Salat Nabi (Jakarta: Pustaka Imam asy-
Syafi‟i, 2014), h. 21. 19
Wahbah al-Zuhaily, Fikih Thaharah: Kajian Berbagai Mazhab, penerjemah Masdar
Helmy (Bandung: Pustaka Media Utama), h. 128.
27
5. Mengangkat derajat seorang hamba.20
Salat sunah setelah wudu juga merupakan salah satu keutamaan yang
dimilikinya. Salat ini termasuk kepada kategori salat sunat karena sebab tertentu.
Tata cara, syarat, serta rukunnya serupa dengan salat wajib, tidak ada hal-hal
khusus yang berbeda.
أثصسػخ،-3341 ،ػ أثح١ب ػ خ، صش،حذثبأثأسب حذثبإسحبقث
جلي: لبي س للاػ١ ص اج :أ ػ للا ش٠شحسض أث ذ»ػ صلحػ
ث١ ؼ١ه ؼذدف فئس ، فاإلسل ز ػ ثثأسجػ حذ ثلي ٠ب افجش
فاجخ سا،فسبػخ«٠ذ شط أرط ذ:أ لأسجػ ذػ بػ لبي:
أ ١: "لبيأثػجذللا أص أ بوزت س هاط ص١ذثز بس،إال « دف
«ؼ١ه٠ؼرحش٠ه21
“Dari Abu Hurairah ra., Nabi saw. pernah berkata kepada Bilal saat
salat Fajar, „Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amalan yang paling engkau
harapkan dan yang engkau biasa lakukan, karena aku telah mendengar
suara kedua sandalmu di depanku di dalam surga.‟ Bilal menjawab,
„Tidaklah aku mengamalkan suatu amalan yang lebih aku harapkan, hanya
saja aku tidak bersuci pada satu saat di malam atau di siang hari melainkan
aku salat dengan hasil bersuci tersebut (salat) yang dituliskan bagiku untuk
aku lakukan.‟ Abu Abdullah berkata, „daffa na’laika artinya
gerakannya.‟”22
Hadis di atas menunjukkan bahwa salat ini dapat dilakukan siang atau
malam (kapan pun). Namun bagaimana jika bersamaan dengan waktu dilarangnya
salat? Meskipun dilaksanakan dalam waktu dilarangnya salat, salat ini masih
boleh dikerjakan, sebagaimana diterangkan oleh al-Nawawī dalam al-Manhaj fī
Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim ibn al-Ḥajjāj, “Hukum salat ini adalah sunah, dan boleh
dilakukan di waktu larangan, ketika matahari terbit, di waktu istiwā', ketika
20
Ibid., h. 25-35. 21
al-Bukhārī, al-Jāmi’ al-Musnad, vol. II, h. 53. 22
Ibnu Hājar al-„Asqalani, Fatḥ al-Bārī, penerjemah Gazirah Abdi Ummah, vol. VI
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 291.
28
matahari tenggelam, sesudah salat subuh, dan sesudah salat asar. Karena ia
termasuk salat yang memiliki sebab.”23
Ibn al-Tin berpendapat lain. Menurutnya salat yang dilaksanakan Bilāl
pada hadis tersebut tidak menunjukkan salat dengan segera setelah selesainya
berwudu, maka bisa dipahami salat tersebut dapat dilakukan setelah berakhirnya
waktu yang dilarang untuk salat. Bisa juga berwudu pada akhir waktu-waktu yang
dilarang salat, agar pelaksanaan salatnya terjadi pada waktu yang dibolehkan.24
23
Sa‟id ibn Ali,. Kumpulan Shalat Sunnah, h. 201. 24
al-„Asqalani, Fatḥ al-Bārī, h. 293.
29
BAB IV
PENELITIAN HADIS TENTANG
SALAT SUNAH SETELAH WUDU
A. Penelusuran Hadis
Menelusuri hadis yang terdapat dalam sebuah buku atau kitab biasa
diistilahkan dengan takhrij. Takhrij berasal dari kata بع ش خ ط خش ٠ ط ش خ kemudian
mendapat tambahan syiddah ( ) pada huruf س sehingga menjadi ط ش ٠ خ ط ش خ
ب٠غ خش ر yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan,
dan menumbuhkan.1 Menurut istilah takhrij berarti:
1. Menunjukkan asal beberapa hadis pada kitab-kitab yang ada (kitab induk
hadis) dengan menerangkan hukum/kualitasnya.
2. Mengambil suatu hadis dari suatu kitab, lalu mencari sanad yang lain dari
sanad penyusun kitab itu.
3. Menerangkan bahwa hadis itu terdapat dalam suatu kitab yang dinukilkan ke
dalamnya oleh penyusunnya dari kitab lain.2
Melihat pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa takhrij
adalah sebuah kegiatan/penelitian untuk mencari hadis pada suatu kitab dalam
buku induk hadis agar didapatkan hadis dengan sanad dan matan yang sempurna.
Untuk menempuhnya terdapat beberapa metode yang bisa digunakan, setiap
metode memiliki tata cara dan kitab kamus yang masing-masing memiliki
karakter berbeda. Metode-metode tersebut yaitu:
1 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 127.
2 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2009), h. 148.
30
1. Takhrij dengan kata. Penulusuran hadis melalui kata matan hadis, baik dari permulaan,
pertengahan, dan/atau akhiran. Kamus yang digunakan dalam metode ini salah satunya
al-Mu‟jam al-Mufahharas li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī yang disusun oleh Arnold John
Wensinck dkk. Kitab ini bereferensi kepada sembilan kitab induk hadis (al-kutub al-
tis’ah). 3
2. Takhrij dengan tema. Penelusuran dengan metode ini mengharuskan peneliti untuk
mengetahui terlebih dahulu tema/topik yang dibahas oleh suatu matan. Setelah
diketahui barulah merujuk kamusnya, yaitu Miftāḥ min Kunūz al-Sunnah karya A. J.
Wensinck dkk. Kitab ini memuat 14 kitab induk hadis sebagai referensinya.4
3. Takhrij dengan permulaan matan. Menggunakan metode ini harus benar-benar
mengetahui matan hadis dari awalnya. Kitab kamus yang bisa digunakan diantaranya
al-Jāmi‟ al-Ṣaghīr atau al-Jāmi‟ al-Kabīr karya al-Suyūṭī atau Mu‟jam Jāmi‟ al-Uṣūl fī
Aḥādīṡ al-Rasūl karya Ibn al-Aṡir. Di dalam kitab al-Jāmi‟, al-Suyūṭī telah
menyebutkan kualitas dari hadis yang tertera.5
4. Takhrij dengan perawi yang paling atas. Perawi yang paling atas adalah kalangan
sahabat (muttaṣil isnād) atau tabi‟in (mursal). Jadi peneliti harus mengetahui terlebih
dahulu siapa sahabat/tabi‟in yang meriwayatkan suatu hadis. Kitab yang digunakan
dalam metode ini adalah kitab hadis yang termasuk kepada kategori musnad atau al-
aṭrāf, diantaranya Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal karya Aḥmad yang susunanya
disesuaikan dengan sifat-sifat tertentu dan Tuḥfat al-Asyrāf bi Ma‟rifat al-Aṭrāf karya
al-Mizzi yang disusun sesuai dengan urutan alfabet Arab.6
5. Takhrij dengan sifat. Menggunakan metode ini harus diketahui sifat dari hadis, seperti
mauḍū’, ṣaḥīḥ, qudsī, mutawātir, dll. Setelah diketahui barulah mencari di kitab yang
3 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 132.
4 Ibid., h. 134.
5 Ibid., h. 137.
6 Ibid., h. 139.
31
sesuai dengan sifat hadis tersebut, seperti al-Muḍū‟āt karya Ibn al-Jauzī untuk hadis
mauḍū’, al-Azhār al-Mutanāṡirah „an al-Akhbār al-Mutawātirah karya al-Suyūṭī untuk
hadis mutawatir dan lain-lain.7
Setelah mengetahui metode-metode takhrij, penulis akan menggunakan
dua metode saja, yaitu takhrij hadis dengan kata/lafal dan takrij hadis dengan
tema. Hadis yang akan ditakhrij berbunyi
ث ٠ذ أ ش ف خ اغ ذ خ ملسو هيلع هللا ىلصد بي ل ل ف ل ف ١ ج ذ م ب ث بي م ف خ اغ إ مز ج ع ث ي ل ي ل ل
بإ ١ئ ش ف عش أ أ ل اإ ء ض س ؽذ أ ل ز وع س ١ج م ع ط أ ل ١8
Kitab yang digunakan pada takhrij dengan lafal adalah kitab kamus
Mu’jam al-Mufahharas li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī karya A. J. Wensinck, penulis
menggunakan lafal عجك dalam mencari hadis di dalam kitab kamus tersebut. Data
yang ditunjukkan olehnya adalah:
ثعجمزااغخ...ثعجمزااغخ
360،5،354ؽ9
Melihat data tersebut, dapat diketahui bahwa hadis ini terdapat pada
Musnad Aḥmad, jilid V halaman 354 dan 360. Setelah mengetahui letak-letak
hadis tersebut, penulis langsung merujuk kepada kitab-kitab yang ditunjukkan
data tersebut. Hasil dari penelusurannya sebagai berikut:
-: ل بي ٠ذ ح ث ش ث هللا ع جذ أ خج ش ، ال ذ ث ١ غ ؽ ذ ص ؽ ج بة ، ؾ ا ث ٠ذ ص ذ ص ب ؽ
٠ذ ح أ ث ث ش عذ :"٠ بع ف م بي ل :ف ذ ع بث ل ع هللا ع ١ هللا ط ع ي س :أ طج ؼ ي ٠ م
إ ، ب أ ش ز ه شخ خ عذ ع إ ل ل ظ خ غ ا ذ د خ ب خ ؟ غ ا إ ع ج مز ث ي ث ل
ف غ خ غ ا خ ؽ ج بس ا ذ د خ ف شش شر ف ع ت ر ع ل ظش ،ف أ ر ١ذ ش ز ه شخ خ عذ
؟ م ظش ا ز ا ، ث أ بع ش : ذ ل ة . ع ش ا ع ش ا: ؟ل ب م ظش ا ز ا : ذ ف م
ل . ذ ؾ خ أ ١ غ ا ع ش ا: ا:ل ب ل ب ؟ م ظش ا ز ا ذ ، ؾ ب ف أ : ذ
ش ع ٠ ب ر ه غ ١ش ل " : ع ١ ع هللا ط هللا ع ي س ف م بي ." ط بة خ ا ث ش ع
7 Ibid., h. 140.
8 Abū Ḥāmid Muḥammad ibn al-Ghazālī, Ihyā' ‘Ulūm al-Dīn, vol. I (Kairo: Dār al-Ḥadīṡ,
2004), h. 271. 9 Arnold John Wensinck, Mu’jam al-Mufahharas li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī,
penerjemah Muḥammad Fu'ād „Abd al-Bāqī, v. II (Leiden: E. J. Brill, 1955), h. 401.
32
. ع ١ه ل غ بس ذ و ب هللا ، ع ي ٠ بس : ف م بي ." م ظش ا ذ ذ خ :"ث ي ج ل ل بي : ل بي
؟ خ غ ج مز إ ا هللا ع ع ي س .ف م بي وع ز ١ س ١ذ ط أد ض ر إ ل بأ ؽذ صذ : "ل بي
ز ا" :"ث ع ع ١ هللا ط 10
ش م - اث غ ؾ ا ث ذ ص بع ؽ ٠ذ ح ،ع ث ش ذ ص باث ،ؽ ال ذ ث ١ غ ؾ ذ ص با ،ؽ ١ك
ع ج مز إ ،ث ي :"٠ بث ل ،ف م بي ل ث ل ع ١ هللا ع هللا ط ع ي :د ع بس ،ل بي أ ث ١
ف خ ، ؽ ج بس ا خ غ ا ذ إ د خ ، خ غ ا ع ل ظش ف أ ر ١ذ ، ب أ ش ز ه شخ خ عذ غ
ذ ، ؾ ب ف أ : ذ ل ، ذ ؾ خ أ ع ش ا: ل ب ؟ م ظش ا ز ا : ذ ف م ث ع ، ش ت ر
ع ش أ ب : ذ ل ة ، ع ش ا ع ش : ل ب ؟ م ظش ا ز ا ا: ل ب ؟ م ظش ا ز ا ، ث
ط بة "،ف م بي خ ا ث ش ا: ع ؟ل ب م ظش ز اا ، ش بل ش :ف أ ذ ،ل ٠ش ل ش ع ش بث أ ط ب ، وع ز ١ س ١ذ ط إ ل ل ظ ذ أ ر ب هللا ، ع ي س ٠ ب : ي ث ل إ ل ل ظ ذ س ؽ
ز ا" :"ث ع ع ١ هللا ط هللا ع ي س ب،ف م بي ذ ع أد ض ر 11
Adapun takhrij dengan tema kitab yang digunakan adalah Miftāḥ Kunūz
al-Sunnah karya A. J. Wensinck juga. Setelah melakukan penelusuran, penulis
menemukan data sebagai berikut:
ععاجدفعثليفاغخ
23ة62؛ن17ة19ن–ثخ
لب106لب108ػ44ن–ظ
17ة46ن–رش
259354؛خبظص372389؛صبشص333439صبص–ؽ
360
1719ػ–ط12
Melihat data tersebut, dapat diketahui bahwa hadis-hadis ini terdapat pada:
1. Ṣaḥīḥ al-Bukhari, kitab ke-19 bab ke-17 dan kitab ke-62 bab ke-23
2. Ṣaḥīḥ Muslim, kitab ke-44 hadis nomor 108, nomor 106
3. Sunan al-Tirmiżī, kitab ke-46 bab ke-17
4. Musnad Aḥmad, jilid II halaman 333 dan 439, jilid III halaman 372 dan 389,
jilid V halaman 259, 354, dan 360
10
Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal, Musnad al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal, vol. V
(Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1978), h. 354. 11
Ibid., vol. V, h. 360. 12
Arnold John Wensinck, Miftāḥ Kunūz al-Sunnah, penerjemah Muḥammad Fu'ād „Abd
al-Bāqī (1978), h. 82.
33
5. Musnad al-Ṭayālisī, hadis nomor 1719, kitab ini tidak termasuk kepada kutub
al-tis’ah.
Setelah mengetahui letak-letak hadis tersebut, penulis langsung merujuk
kepada kitab-kitab yang ditunjukkan data tersebut. Hasil dari penelusurannya
sebagai berikut:
1. Ṣaḥīḥ al-Bukhari Kitab ke-19, yaitu Tahajud, bab ke-17.
سع خ ،-1149 أ ث ص ،ع ١ ب أ ث ؽ خ ،ع ب أ ع ذ ص بأ ث ،ؽ ظش ث بق ذ ص بإ عؾ ؽ
ل ح ذ ط :ع ج ل ي ل بي ع ١ هللا ع ط ا ج :أ للا ع ض ح س ٠ش ش أ ث ع
٠ بث ل »اف غش ث ١ ع ١ه د ف عذ ،ف إ ع عل ف اإل ز ع ع ص ث أ سع ذ ؽ ي
خ ف اغ ا،ف ع بع خ «٠ ذ س شط أ ر ط :أ ذ ع أ سع ل ع ذ بع : ل بي
ث ز ١ذ ط ،إ ل بس أ للا : ١ ع جذ أ ث "ل بي أ ط أ بو ز ت س اط » ه د ف
٠ه ٠ ع ر ؾش « ع ١ه 13
Kitab ke-62, yaitu Keutamaan Sahabat Nabi saw., bab ke-23, hadis ini tidak
menjelaskan salat sunah setelah wudu.
ث- بل ت ث ل ي بث بة ع للا ض ،س أ ث ث ىش ث بػ ، س
: ع ع ١ هللا ط ا ج ل بي خ » ف اغ ٠ ذ ث ١ ع ١ه د ف عذ «ع 14
2. Ṣaḥīḥ Muslim Kitab ke-44, yaitu Keutamaan Sahabat Nabi saw., nomor 106
dan 108, namun hadis nomor 106 tidak menjelaskan salat sunah setelah wudu.
106-(2457 ج بة ،أ خج ش ؾ ا ث ٠ذ ذ ص بص ط ،ؽ ف ش ا ث ذ ؾ عف ش ع ذ ص أ ث (ؽ
،ع س ى ذ ا ث ذ ؾ ب خ ،أ خج ش ع أ ث ث ٠ض ع ض ا جذ ع ع ي س هللا ،أ ع جذ ث بث ش ع
: ل بي ع ع ١ هللا ط »هللا عذ ع ص خ ، ؾ ط أ ث أ ح ش ا أ ٠ذ ف ش خ غ ا ٠ذ أ س ي ف إ ر اث ل ب أ ش خ شخ «خ
15
ذ 2458)-108 ؾ ، ١ش ٠ ع ث ذ ص بع ج ١ذ (ؽ أ ث ذ ص ب :ؽ ،ل بل ذ ا ا ء ع ل ا ث
ث ذ ؾ ذ ص ب ؽ ،ػ ١ ب أ ث ؽ خ ،ع ب ا فع -،عجذهللاث١شأ ع -، ذ ص بأ ث ؽ
سع ص أ ث ع ، ١ذ ع ع ث ٠ ؾ١ از ١ ١ ب ؽ أ ث ذ ص ب ؽ ل بي : ل بي ح ، ٠ش ش أ ث ع خ ،
غ ذ اح ح ا ل ط ذ :ع ي ج ل ع ١ ع هللا ط هللا ع ي »س ع ث أ سع ص ذ ؽ ي ٠ بث ل
ع شف ا ١ خ خ عذ ف ع خ ،ف إ ع عل ف اإل ذ ن ز ،ع خ ع غ ف ا ٠ ذ ث ١ «١ه
ا س ط ش أ ر ط ل أ ف ع خ ، ذ ع أ سع عل اإل ف ل ع ذ بع : ي ث ل ل بي
13
Muḥammad ibn Ismā‟īl al-Bukhārī, al-Jāmi’ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar, v. II
(Dār ṭūq al-Najāh, 1422 H), h. 53. 14
Ibid., v. V, h. 27. 15
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, v. IV (Kairo: Dār al-Hadīṡ, 1994), h. 1908.
34
هللا و ز ت ب ، س اط ه ث ز ١ذ ط إ ل ، بس ل ١ ع بع خ ف ب، ر ب أ
أ ط
16
3. Sunan al-Tirmiżī, kitab ke-46, yaitu Etika/Moral Nabi saw., bab ke-17
3689- ١ غ اؾ ث ذ ص بع :ؽ ،ل بي ص ش ا بس ع أ ث ٠ش ش ؽ ث ١ غ ذ ص باؾ ؽ
٠ذ ح ،ل بي أ ث ث ش ذ ص :ؽ ٠ذ ح ،ل بي ث ش ع جذ هللا ث ذ ص :ؽ ل بي ذ ص أ ث :ؽ ل بي ال ذ :ث
هللا ع ي س ؟أ طج ؼ خ إ اغ ع ج مز ث :٠ بث ل ي ف ذ ع بث ل ل ف م بي ع ١ ع للا ط
عذ ف غ خ اغ خ ؽ اج بس ذ د خ ، ب أ ش ز ه شخ خ عذ ع إ ل ل ظ خ اغ ذ د خ ب ع ،ف أ ر ١ذ ب أ ش ز ه شخ ؟خ ز اام ظش : ذ ت ،ف م ر ف شش ث ع ش ل ظش
، ٠ش ل ش ع ش ا ؟ل ب ز اام ظش ، ث :أ بع ش ذ ة ،ف م اع ش ع ش ا: ف م ب
ش ا: ؟ل ب ز اام ظش ، ش :أ بل ش ذ ،ف م ع للا ع ١ ط ذ ؾ خ أ ع
ب هللا ع ي :٠ بس ث ل ي ط بة .ف م بي اخ ث ش ع ا: ؟ل ب ز اام ظش ذ ؾ :أ ب ذ ف م ذ س بث ؽ بأ ط ، وع ز ١ س ١ذ إ ل ط ل ظ ذ أ ر لل أ أ ٠ذ س ب ذ ع أد ض ر إ ل ل ظ
للا ط هللا ع ي س .ف م بي وع ز ١ س ع :ث ع ١ ب.ع 17
4. Musnad Aḥmad, jilid II halaman 333 dan 439.
-، ١ ب ؽ ذ ص بأ ث ،ؽ ث شش ث ذ ؾ ذ ص ب ؽ :ل بي ح ،ل بي ٠ش ش أ ث سع خ ،ع ص أ ث ع
ع ث أ سع ج ش ،خ ي :"٠ بث ل ف غش ح ا ل ذ ط ع ي ج ل ع ١ ع هللا هللا ط ج
ا ١ خ عذ ع ل ذ ف إ ، عل ف اإل ف ع خ ز "،ع خ غ ف ا ٠ ذ ث ١ ع ١ه شف خ
ش أ ر ط أ ف ع خ ، ذ ع أ سع ل ع عل هللا ف اإل ع ي ٠ بس ذ بع : ل بي
ث ز ١ذ ط ،إ ل بس أ ١ ف ع بع خ بل ظ ر ب ا س ط بو ز ت ث ، ش س اط ه
أ ط أ
18
سع خ ،- ص أ ث ،ع ١ ب ؽ ذ ص بأ ث :ؽ ،ل بي ١ش ذ ص باث ؽ :ل بي ح ،ل بي ٠ش ش أ ث ع
ص ذ ،ؽ ي ث ل :"٠ ب ع ١ ع هللا ط هللا ع ي س عل ف اإل ز ع ع ث أ سع
ب : ي ث ل ف م بي ،" خ غ ف ا ٠ ذ ث ١ ع ١ه شف خ ا ١ خ عذ ف إ ع ف ع خ ، ذ ن ع
أ ر ط أ ف ع خ ،إ ل ذ ع أ سع عل ف اإل ل ع ذ بف ع بع خ ع ار ب س شط
" أ ط أ هللا بو ز ت س اط ه ث ز ١ذ ط ،إ ل بس أ ١
19
Jilid III halaman 372 dan 389 yang tidak menjelaskan salat sunah setelah
wudu.
ع - ذ ص ب ؽ ، ١ذ ع ع أ ث ذ ص ب ؽ ث ذ ؾ ذ ص ب ؽ خ ، ع أ ث ث هللا ع جذ ث ٠ض ع ض ا جذ
ف ز و ش : ع ع ١ هللا ط هللا ع ي س ل بي : ل بي هللا ، ع جذ ث بث ش ع ذ ص ب ؽ ، س ى ذ ا
"٠ ع ب شف بأ خ عذ :"ف غ ل بي ع ب ر ب ط 20
16
Ibid., v. IV, h. 1910. 17
Muḥammad ibn „Īsā ibn Saurah ibn Mūsā, Sunan al-Tirmiżī, vol. VI (Beirut: Dar al-
Gharb al-Islami, 1998), h. 58. 18
Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad, v. II, h. 333. 19
Ibid., v. II, h. 439. 20
Ibid., v. III, h. 372.
35
- ،ع س ى ذ ا ث ذ ؾ خ ،ع أ ث ع ٠ ع اث ٠ض ع ض ا ذ ص بع جذ ،ؽ ٠ظ ذ ص بع ش ؽ خ غ ا ذ ٠ز د خ :"أ س ع ١ ع هللا ط هللا ع ي س :ل بي هللا ،ل بي جذ ع ث بث ش ع
؟ف ٠ جش ز ا٠ بع : ذ ،ل ب شف خ أ خ عذ ع خ ، ؾ ط أ ث أ ح ش ا بء ١ظ إ ر اأ بث بش
: ؟ل بي م ظش ز اا : ذ ٠ خ ،ف م بس ع ث ف بئ اأ ث١ ض ل ظش أ ٠ذ س : ل بي ي ز اث ل : ل بي
(2 ع ز ا ) ف م بي " ر ه غ ١ش ف ز و شد إ ١ ظ ش ف أ ، أ دخ أ دد ف أ س ط بة ، خ ا ث ش
هللا ، ع ي ٠ بس أ ، ذ أ :ث أ ث ش ؟ع أ غ بس ع ١ه أ 21
Jilid V halaman 259 yang tidak menjelaskan salat sunah setelah wudu.
٠ خ - ذ ٠ ع ٠ خ ذ ا ذ غغ ف ظ ٠ غ ب ،و عف غ ا ى ف ا ١ ث ز ٠ ذ ص با ؽ
٠ ل ذ ز اش ١خ ع جذ هللا ،ل بي عف ش أ ث ع ث هللا ع ج ١ذ ٠ذ ،ع ٠ ض ث ػ ط ش ،ع و ف
،ع ؽش هللا ص ط هللا ع ي س :ل بي ل بي خ ب أ ث أ ،ع م بع ا ٠ذ ،ع ٠ ض ث ع
." ي :ث ل ز ا؟"ل بي ب : ذ ف م ٠ ذ ث ١ شف خ بخ ف ١ عذ ف غ خ غ ا ذ :"د خ ع ١ ع
ف إ ر اأ و ١ذ ض :"ف بل بي ف ١ أ س ، ١ غ ا اس ر س ٠ ش بع ا اء ف م ش خ غ ا أ ض ش
بع ج ٠ ؾ ج بة ث ب ب ب ف ال غ ١ بء ب أ : ل ١ . ا غ بء ال غ ١ بء أ ل ذ ا أ ؽ
با غ بء أ ، ؾ ظ ٠ ع ب ش خ :"ص ".ل بي ٠ش ش ؾ ا ت :از ا ش ال ؽ ب ف أ
ع ذ ض ب، ف ١ عذ ض ف ف خ ث ى أ ر ١ذ ج بة ا ذ ع ذ و ب ف ، ب ١ خ اض خ غ ا اة أ ث ذ أ ؽ
ص ب ث ؾذ ع ف ش ، ف خ و ف ز أ ز أ ١ع ث غ ء ع ، ف خ و ف ع ض ف ث أ ث ث ىش ر أ
ز أ ١ع ث غ ء ع ، ف خ ف و ع ض ف ش ث ع ر أ .ص أ ث ث ىش ؼ ع ،ف ش ف خ ع ذف و ض ف
س ل ع ز س أ ذع ض ع ش ، ش ع ؼ ع ف ش ا ع ض ف ف بعز جط أد . ش ٠ ا ع ف غ ل ع
أ :ث أ ث "ف م بي ؽ :"ع جذ اش ذ ف م ٠ بط ث عذ اإل بء ع ،ص ف ع ث ؽ جذ اش ع
أ ذ ظ ز ؽ إ ١ه ظذ بخ ك ؾ ث ب ث ع ض ه ا ز هللا ع ي ٠ بس أ ث ذ اإ ل إ ١ه ظ ش أ ل
: .ل بي ١ج بد ش ا "ث عذ ؾ ض أ بع ت أ ؽ ب ح و ضش : ؟ل بي بر ان 22
Jilid V halaman 354 dan 360 yang telah disebutkan di halaman 29-30.
Setelah menemukan hadis dengan sanad dan matan yang sempurna,
penelitian dilanjutkan kepada kritik sanad berupa meneliti hal ihwal para perawi
dan kritik matan menggunakan kriteria-kriteria tertentu. Sebelum melaksa-
nakannya, penulis terlebih dahulu memaparkan asbāb al-wurūd dari hadis ini
untuk menambah pemahamannya.
21
Ibid., v. III, h. 389. 22
Ibid., v. V, h. 259.
36
B. Asbāb al-Wurūd
Menurut bahasa, kata asbāb merupakan bentuk plural dari sabab yang
berarti al-ḥabl, tali. Dalam Lisān al-„Arab, disebutkan bahwa kata ini di dalam
Bahasa Arab berarti saluran, yaitu segala yang menghubungkan satu benda
dengan benda yang lainnya. Menurut istilah asbāb adalah و إ غ ب٠ ز ع ٠ ز ش ١ئ ,
artinya segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan. Kata wurūd merupakan
bentuk masdar dari د ا س د ٠ ش د س yang berarti datang, sampai.23
Di dalam Lisān
al-„Arab diartikan dengan د ش ٠ ز ا بء ا , artinya air yang memancar atau air yang
mengalir.24
Menurut istilah, asbāb al-wurūd al-ḥadīṡ adalah kasus yang dibicarakan
oleh suatu hadis pada waktu kasus tersebut terjadi.25
Menurut al-Suyūṭī, asbāb al-
wurūd al-ḥadīṡ adalah suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat
kemunculannya.26
Ilmu ini tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap
penelitian kualitas hadis, namun dapat mempermudah dalam memahami
kandungan hadis. Hadis yang memiliki asbāb al-wurūd juga hanya sedikit, seperti
halnya asbāb al-nuzūl terhadap al-Qur'ān.27
Asbāb al-wurūd ini bisa terdapat pada
tubuh hadis itu sendiri, bisa juga terdapat pada riwayat lain yang menerangkan
suatu hadis.28
Maka dari itu, penulis hanya sedikit memaparkan dari apa yang
23
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.
1551. 24
M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), h. 80. 25
Nur al-Din, Manhaj al-Naqd, penerjemah Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2012), h. 346. 26
M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis, h. 81. 27
Bustamin dan M. Isa H. A., Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), h. 85. 28
M. Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi: Cara Praktis Menguasai Ulumul
Hadits dan Musthalah Hadits (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), h. 91.
37
terdapat pada kitab-kitab syarah hadis mengenai latar belakang keluarnya hadis
ini.
Pada hadis-hadis di atas, terdapat kalimat ع ١ ع هللا ط هللا ع ي س أ طج ؼ
(pada pagi hari), اف غش ذ ط ل ح غ ذ اح dan ع ا ح ل ذ ط Kata-kata .(saat salat subuh) ع
tersebut menunjukkan bahwa kejadian Nabi saw. mendengar suara sandal Bilāl di
dalam surga adalah ketika malam hari, yaitu dalam mimpi saat tidur. Ini sudah
menjadi kebiasaan Nabi saw. mengisahkan mimpinya dan menafsirkan mimpi
para sahabat, karena mimpi Nabi saw. merupakan wahyu.29
Berakhirlah kegiatan
penulusuran hadis menggunakan metode takhrīj yang berikutnya akan dilanjutkan
dengan kritik sanad dan kritik matan.
C. Kritik Sanad
1. Al-I’tibār
I‟tibār menurut bahasa merupakan bentuk maṣdar dari ا إ عز ج بس ش ج عز ا ٠ عز ج ش
yang berarti pemeriksaan (analisa) terhadap sesuatu untuk mengetahui sesuatu
yang lain atau sejenis. Menurut istilah, i‟tibār adalah pemeriksaan terhadap sanad
hadis yang diperkirakan gharib dengan maksud untuk mengetahui apakah ada
perawi lain melalui sanad yang lain pula yang meriwayatkan hadis tersebut.30
Perawi lain itu disebut mutābi‟ dan syāhid.
29
Ibnu Hājar al-„Asqalāni, Fatḥ al-Bārī Syarah Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, penerjemah Gazirah
Abdi Ummah, vol VI (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 292. 30
Mahmud Thahhan, Taisir Mustalah al-Hadits, penerjemah A. Muhtadi Ridwan
(Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 154
38
Mutābi‟ menurut bahasa merupakan bentuk isim fā‟il dari ع بث ر yang
semakna dengan افك dengan arti yang sesuai. Menurut istilah adalah kesesuaian
riwayat hadis para perawi dengan perawi hadis gharib, baik secara lafal dan
maknanya atau maknanya saja pada tingkatan selain sahabat. Syāhid menurut
bahasa merupakan isim fā‟il dari bentuk masdar شبدح. Dikatakan demikian karena
terbukti bahwa hadis gharib mempunyai asal yang bisa menguatkan kualitasnya
seperti halnya seorang saksi menguatkan ucapan pendakwa. Menurut istilah
adalah kesesuaian riwayat hadis para perawi dengan perawi hadis gharib, baik
secara lafal dan maknanya atau maknanya saja pada tingkatan sahabat.31
Untuk
memudahkan prosesnya, penulis menguraikan rangkaian sanad yang terdapat pada
hadis-hadis di atas ke dalam bentuk skema. Ada beberapa catatan dalam
pembuatan skema ini, diantaranya:
a. Skema sanad dibagi menjadi dua karena ada kandungan matan hadis yang
berbeda
b. Rangkaian sanad yang dijadikan skema hanya yang membahas tentang
percakapan Nabi saw. dan Bilal, sebagaimana dalam kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn.
c. Nama perawi yang sama dalam rangkaian sanad yang berbeda akan digabung,
sehingga tidak ada pengulangan
d. Lafal اث dalam sanad Muslim merupakan ayah dari Muḥammad ibn
„Abdullah, yaitu „Abdullah ibn Numair.
31
Ibid., h. 155.
39
اج
٠ذ ح (63)ث ش
ث هللا ع جذ ٠ذ ح (115)ث ش
ث ١ غ ؽ ال ذ (157)
ث ٠ذ ص ج بة ؾ ا
(203)
اؽذ
ث ع غ ؾ ا
(211)
(241)اؽذ
ث ع غ ١ اؾ
(211)
ث ١ غ اؾ ٠ش ش (244)ؽ
ازشز(279)
،إ خ غ ا إ ع ج مز ،ث ي ٠ بث ل ش ز ه شخ خ عذ خ ،ف غ ؽ ج بس ا خ غ ا ذ د خ
ب ...أ
Skema sanad hadis pertama
Memperhatikan skema hadis pertama, hadis ini memliki dua rangkaian
sanad, yaitu riwayat Aḥmad ibn Ḥanbal dan al-Tirmiżī. Pada tingkatan sahabat
hanya ada satu perawi, yaitu Buraidah, maka hadis ini tidak memiliki syāhid. Pada
tingkatan ke-4 atau perawi ke-4, terdapat tiga perawi, maka dua diantaranya -yaitu
„Alī ibn al-Ḥasan dan „Alī ibn al-Ḥusain- merupakan mutābi‟ bagi Zaid ibn al-
Ḥubāb. Pada tingkatan ke-5 ada al-Ḥusain ibn Ḥuraiṡ sebagai mutābi‟ bagi
Aḥmad. Hadis ini memiliki satu perawi pada tingkatan ke-1, ke-2, ke-3, dan ke-6;
40
اج
ح ٠ش ش أ ث (58)
سع خ أ ث ص
أ ث ١ ب ؽ (145)
خ أ ع ب أ ث (201)
ث بق إ عؾ
(242) ظش
اجخبس(256)
ث ذ ؾ ء ع ل (248)ا
غ
ث ع ج ١ذ
١ش (228)٠ ع
غ
ث هللا ع جذ
١ش (190)
ع جذ ث ذ ؾ (234)هللا
اؽذ (261)غ
ث ذ ؾ (203)ث شش
(241)اؽذ
ذ ؽ ٠ بث ل ي ث ١ ع ١ه د ف عذ ع ،ف إ عل اإل ف ز ع ع ث أ سع ص
خ اغ ف ...٠ ذ
tiga perawi pada tingkatan ke-4 dan dua perawi pada tingkatan ke-5. Melihat
jumlah tersebut, hadis ini termasuk golongan gharīb. Gharīb adalah hadis yang
bersendiri seorang perawi di mana saja tingkatan dari pada beberapa tingkatan
sanad. Gharīb merupakan salah satu jenis dari hadis āḥād.32
Skema sanad hadis kedua
Pada skema hadis kedua, terdapat tiga riwayat, yaitu al-Bukhārī, Muslim,
dan Aḥmad ibn Ḥanbal. Pada tingkatan sahabat hanya ada satu perawi, yaitu Abū
32
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 160.
41
Hurairah, maka hadis ini tidak memiliki syāhid. Pada tingkatan ke-4 atau perawi
ke-4, terdapat tiga perawi, maka dua diantaranya -yaitu „Abdullah ibn Numair dan
Muḥammad ibn Bisyr- merupakan mutābi‟ bagi Abū Usāmah. Pada tingkatan ke-
5 juga terdapat perawi yang cukup banyak, yaitu Muḥammad ibn al-„Alā', „Ubaid
ibn Ya‟īsy, Muḥammad ibn „Abdullah, dan Aḥmad ibn Ḥanbal. Semuanya
menjadi mutābi‟ bagi Isḥāq ibn Naṣr. Pada tingkatan ke-6 ada Muslim yang
menjadi mutābi‟ bagi al-Bukhārī. Melihat jumlah perawi, hadis ini memiliki satu
perawi pada tingkatan ke-1, ke-2, dan ke-3, tiga perawi pada tingkatan ke-4, lima
perawi pada tingkatan ke-5, dan dua perawi pada tingkatan ke-6. Jumlah tersebut
tidak sampai memenuhi kriteria mutawātir, jadi hadis ini termasuk āḥād. Karena
terdapat perawi yang berjumlah satu pada beberapa tingkatan, maka hadis kedua
ini tergolong gharīb, sama seperti hadis pertama.
Melihat jumlah perawi pada setiap tingkatan sanad hadis di atas, masih
diperlukan penelitian selanjutnya berupa kritik sanad dan matan untuk kedua
hadis ini. Berbeda dengan hadis mutawatir yang sudah tidak memerlukan
penelitian berlanjut, karena dengan status kemutawatirannya sudah memberi bukti
bahwa hadis tersebut benar-benar berasal dari Nabi saw. Kedudukan
periwayatannya juga sama dengan kedudukan periwayatan al-Qur'ān yang
mutawatir. Sedangkan untuk hadis āḥād masih diperlukan penelitian berlanjut
sampai diketahui kualitas sanad dan matannya.33
33
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007),
h. 29.
42
2. Penelitian Kualitas Perawi dan Metode Periwayatan
Sebelum meneliti, terlebih dahulu penulis akan menerangkan pengertian
dan kriteria hadis sahih. Menurut Ibn al-Ṣalāḥ, hadis sahih adalah
ب ز إ بث ظ اض ع ذي ا ع بث ظ اض ع ذي ا ث م إ ع بد ٠ ز ظ ا ز غ ذ ا ٠ش ذ ؾ ،ا
٠ ل . ع ل ل ش برا، ى “Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang
adil dan ḍābiṭ sampai akhir sanadnya, tidak terdapat kejanggalan, dan tidak
terdapat cacat.”34
Dari pengertian di atas, dapat dilihat kriteria kesahihan hadis, yaitu 1)
Sanadnya bersambung, 2) Diriwayatkan oleh perawi yang adil, 3) Diriwayatkan
oleh perawi yang ḍabṭ, 4) Terhindar dari syāż, 5) Terhindar dari ‘illat.35
Untuk dapat meneliti kriteria tersebut, langkah-langkah yang dapat
ditempuh yaitu:
1. Mencatat semua perawi dalam rangkaian sanad
2. Mempelajari masa hidup dan kualitas masing-masing perawi
3. Mempelajari ṣighaṭ tahammul wa al-adā' (bentuk lafal ketika menerima atau
mengajarkan hadis)36
4. Meneliti hubungan guru dan murid.37
Hadis pertama yang diriwayatkan oleh Buraidah memiliki dua jalur sanad,
yaitu Ahmad dan al-Tirmiżī, berikut rinciannya. Hadis dari Musnad Aḥmad, jilid
V halaman 254 dan 260 yang memiliki enam perawi.
34
„Uṡmān ibn „Abd al-Raḥmān, Ma’rifat Anwā’ ‘Ulūm al-Ḥadīṡ (Beirut: Dār al-Fikr,
1986), h. 11. 35
Bustamin, Metodologi Kritik Hadis, h. 24. 36
Pada penelitian ini, banyak lafal yang muncul, diantaranya اخجشؽذصب ععذ، ؽذص، ،
yang para ulama telah sepakat bahwa periwayatan menggunakan lafal itu bersambung, dan ع
dianggap bersambung sanadnya jika tidak ada cacat dan ada kemungkinan pertemuan antara
periwayat. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 110-113. 37
M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset, 2013), h. 14.
43
a. Aḥmad
Nama lengkapnya Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥanbal ibn Hilāl ibn Asad
al-Syaibānī.38
Wafat di usia 77 tahun pada Rabī‟ al-Awwal 241 H.39
Semasa
hidupnya ia pernah mengunjungi Baghdad, Kūfah, Baṣrah, Makkah, Madīnah,
Yaman, dan Syam. Gurunya banyak, diantaranya „Abdullāh ibn Idrīs al-Audī,
„Abdullāh ibn Numair al-Hamdānī, „Affān ibn Muslim al-Ṣafār, Zaid ibn al-
Ḥubāb, Wakī‟ ibn al-Jarāḥ, dll. Murid-muridnya antara lain al-Bukhārī, Muslim,
Abū Dāwud, Ibrāhīm ibn Isḥāq al-Ḥarbī. Mengenai kualitasnya, Ibn Ḥibbān
menyebutnya dalam kitab al-Ṡiqqāt.
b. Zaid ibn al-Ḥubāb
Bernama lengkap Zaid ibn al-Ḥubāb ibn al-Rayān.40
Menurut Abū Hisyām
al-Rafā‟ī, Zaid wafat pada 203 H. Tempat yang pernah dikunjungi adalah Kūfah,
„Irāq, Mesir, Hijāz, Khurasān, Andalus, dll. Gurunya cukup banyak, diantaranya
al-Aghlab ibn Tamīm, al-Ḥusain ibn Wāqid al-Marwazī, Syu‟bah ibn al-Ḥajāj,
„Uṡmān ibn Wāqid, Abū Salamah al-Kandī, Mu‟āwiyah ibn Ṣāliḥ, Kāmal Abū al-
„Alā', dll. Muridnya antara lain Yazīd ibn Hārūn, Muḥammad ibn Ḥamīd al-Rāzī,
„Alī ibn al-Madīnī, „Abbās ibn Muḥammad al-Daurī, Aḥmad ibn Muḥammad ibn
Ḥanbal, Aḥmad ibn Ḥarb, dll. Abū ḥātim berkomentar ṣudūq, ṣāliḥ, sedangkan
„Uṡmān ibn Sa‟īd dari Yaḥyā ibn Ma‟īn berkomentar ṡiqqah.
38
Jamāl al-Dīn Abū al-Ḥajjāj Yūsuf al-Mizī, Tahżīb al-Kamāl fī Asmā al-Rijāl, vol. I
(Beirut: Muassasah al-Risalah, 1980), h. 437. 39
Syams al-Dīn Abū „Abdullah Muḥammad ibn Aḥmad ibn „Uṣmān, al-Kāsyif fī
Ma’rifati man lahu Riwāyatin fī al-Kutubi al-Sittati, vol. I (Jeddah: Dār al-Qiblah li al-Ṣaqāfah al-
Islāmiyyah, 1992), h. 202. 40
al-Mizī, Tahżīb al-Kamāl, vol. X, h. 40.
44
Aḥmad dengan Zaid ibn al-Ḥubāb memiliki hubungan guru-murid,
persamaan tempat yang pernah dikunjungi, tahun wafat yang tidak berjauhan, dan
ṣighaṭ yang digunakan ؽذصب, sehingga bisa disimpulkan keduanya bertemu dan
meriwayatkan hadis.
c. „Alī ibn al-Ḥasan
Memiliki nama lengkap „Alī ibn al-Ḥasan ibn Syaqīq ibn Dīnār ibn
Musy‟ab al-„Abdī,41
memiliki kuniyah Abū „Abd al-Raḥmān.42
Lahir pada 137 H,
meninggal di usia 78 tahun pada 211 H.43
„Alī pernah berkunjung ke Khurasān.
Guru-gurunya antara lain Ibrāhīm ibn Ṭahmān, al-Ḥusain ibn Wāqid, Qais ibn al-
Rabī‟ dll., dan murid-muridnya al-Bukhārī, Aḥmad ibn Ḥanbal, Aḥmad ibn al-
Amlī, „Abbās ibn Muḥammad al-Daurī, Yaḥyā ibn Ma‟īn, dll. Mengenai
kualitasnya, Ibn Ḥibbān menyebutnya dalam kitab al-Ṡiqqāt.
Aḥmad dengan „Alī ibn al-Ḥasan memiliki hubungan guru-murid, tahun
wafat yang berdekatan, dan ṣighaṭ yang digunakan ؽذصب, sehingga bisa
disimpulkan keduanya bertemu dan meriwayatkan hadis.
d. Ḥusain ibn Wāqid
Bernama lengkap al-Ḥusain ibn Wāqid al-Marwazī.44
Menurut anaknya,
„Alī ibn Ḥusain, ia wafat pada 157 H. Gurunya diantaranya „Abdullāh ibn
Buraidah, Yaḥyā ibn „Aqīl, dll. Muridnya antara lain Zaid ibn al-Ḥubāb, „Alī ibn
al-Ḥasan ibn Syaqīq, anaknya „Alī ibn al-Ḥusain, Mu‟āż ibn Khālid ibn Syafīq,
41
Ibid., vol. XX, h. 371. 42
Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad, al-Ṡiqqāt, vol. VIII (Dā'irah al-Ma‟ārif al-
„Uṡmāniyyah, 1973), h. 460. 43
Ibid., vol. VIII, h. 460. 44
al-Mizī, Tahżīb al-Kamāl, vol. VI, h. 491.
45
dll. Ulama yang berkomentar antara lain Aḥmad ibn Ḥanbal, lā ba'sa bih; Yaḥyā
ibn Ma‟īn ṡiqqah; Abū Zur‟ah dan al-Nasā'ī laisa bihi ba's.
Zaid ibn al-Ḥubāb dan „Alī ibn al-Ḥasan dengan Ḥusain ibn Wāqid
memiliki hubungan guru-murid, tahun wafat yang berdekatan, dan ṣighaṭ yang
digunakan ؽذصب/ؽذص, sehingga bisa disimpulkan ketiganya bertemu dan
meriwayatkan hadis.
e. „Abdullāh ibn Buraidah
Nama lengkapnya „Abdullāh ibn Buraidah ibn al-Ḥaṣīb al-Aslamī.
Menurut Abū Ḥātim ibn Ḥibbān, „Abdullāh lahir pada 15 H,45
dan wafat di usia
100 tahun pada 115 H.46
Berguru kepada ayahnya Buraidah ibn al-Ḥaṣīb, „Imrān
ibn Ḥuṣain, Abū Hurairah, „A'isyah, Ummu Salāmah, dll., dan muridnya yaitu
Ḥusain ibn Wāqid, Ḥammād ibn Abū Sulaiman, „Uṡmān ibn Ghayāṡ, Yūsuf ibn
Ṣahīb, dll. Menurut Yaḥyā ibn Ma‟īn, Abū Ḥātim, dan al-„Ajlī beliau ṡiqqah.
Ḥusain ibn Wāqid dengan „Abdullāh ibn Buraidah memiliki hubungan
guru-murid, tahun wafat yang tidak berjauhan, dan ṣighaṭ yang digunakan
sehingga bisa disimpulkan keduanya bertemu dan meriwayatkan ,ؽذصب/اخجش
hadis.
f. Buraidah
Nama lengkapnya Buraidah ibn al-Ḥaṣīb ibn „Abdullāh ibn al-Ḥāriṡ ibn
al-A‟raj.47
Ia masuk Islam sebelum Badr. Menurut Muḥammad ibn Sa‟d, Buraidah
wafat di Khurasan pada 63 H. Berguru langsung kepada Nabi Saw., dan yang
45
Ibid., vol. XIV, h. 328. 46
Syams al-Dīn, al-Kāsyif, vol. I, h. 540. 47
al-Mizī, Tahżīb al-Kamāl, vol. IV, h. 53.
46
menjadi muridnya antara lain anak-anaknya Sulaimān dan „Abdulah, Nafī‟ Abū
Dāwud, dll. Mengenai kualitas sorang sahabat, para ulama telah sepakat bahwa
seluruh sahabat memiliki keadilan yang paling tinggi. Banyak dalil yang
digunakan untuk memperkuat argumen tersebut, salah satunya al-Qur'ān sūrah al-
Baqarah/2: 143 yang berbunyi:
و ز ١ذ ا ش ١ى ع ع ي اش ٠ ى ع ا بط ذ اء اش ز ى ع ط ب خ أ بو ع ع ...ه
(143)“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam)
umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatanmu.”48
„Abdullāh ibn Buraidah dengan ayahnya, Buraidah memiliki hubungan
guru-murid dan ayah-anak, tahun wafat yang tidak berjauhan, dan ṣighaṭ yang
digunakan ععذ/ع, sehingga bisa disimpulkan keduanya bertemu dan
meriwayatkan hadis.
Hadis berikutnya dari Sunan al-Tirmiżī, kitab Etika/Moral Nabi saw., bab
ke-17 yang memiliki enam perawi.
a. Al-Tirmiżī
Bernama lengkap Muḥammad ibn „Īsā ibn Saurah ibn Mūsā ibn al-Ḍaḥāk.
Menurut Ja‟far ibn Muḥammad ibn al-Mu‟taz ia wafat di Tirmiżi pada malam hari
13 Rajab 279 H. Muridnya antara lain Aḥmad ibn Yūsuf al-Nasfī, al-Faḍl ibn
„Ammār, Maḥmūd ibn „Anbar al-Nasfī, dll. Ibn Ḥibbān menyebutnya dalam al-
Ṡiqqāt.
b. Al-Ḥusain ibn Ḥuraiṡ
Bernama lengkap al-Ḥusain ibn Ḥuraiṡ ibn al-Ḥasan ibn Ṡābit ibn Quṭbah
al-Khazā‟ī. Menurut Abū al-„Abbās al-Sirāj ia wafat di Qarmīsīn pada 244 H.
48
M. Abdurrahman, Metode Kritik Hadis, h. 33-42.
47
Memiliki guru Ismā‟īl ibn „Aliyyah, „Alī ibn al-Ḥusain, Muḥammad ibn Yazīd al-
Wāsiṭī, Wakī‟ ibn al-Jarāḥ, dll., dan murid al-Jamā’ah selain Ibn Mājah, al-Ḥasan
ibn Sufyān, Muḥammad ibn Yaḥyā al-Żahlī, dll.
Al-Tirmiżī dengan Al-Ḥusain ibn Ḥuraiṡ memiliki hubungan guru-murid,
tahun wafat yang tidak berjauhan, dan ṣighaṭ yang digunakan ؽذصب, sehingga bisa
disimpulkan keduanya bertemu dan meriwayatkan hadis.
c. „Alī ibn al-Ḥusain
Nama lengkapnya „Alī ibn al-Ḥusain ibn Wāqid al-Qursyī. Lahir pada 130
H, menurut al-Bukhārī wafat pada 211 H. Gurunya sedikit, diantaranya ayahnya
al-Ḥusain ibn Wāqid, „Abdullāh ibn al-Mubārak, Hisyām, ibn Sa‟d al-Madanī,
dll., dan muridnya al-Ḥusain ibn Ḥuraiṡ, Dārim ibn Ibrāhīm al-Bajlī, Maḥmūd ibn
Ghailān, dll. Komentar ulama sangat beragam, diantaranya Abū Ḥātim dalam al-
Jarḥ wa al-Ta’dīl ḍa’īf al-ḥadīṡ, al-Nasā'ī laisa bihi ba's, Ibn Ḥajr dalam al-
Taqrīb ṣudūq bihim, Ibn Ḥibbān menyebutnya dalam al-ṡiqqāt, al-„Aqīlī
menyebutnya dalam al-Ḍu’afā'.
Al-Ḥusain ibn Ḥuraiṡ dengan „Alī ibn al-Ḥusain memiliki hubungan guru-
murid, tahun wafat yang berdekatan, dan ṣighaṭ yang digunakan ؽذصب, sehingga
bisa disimpulkan keduanya bertemu dan meriwayatkan hadis.
d. al-Ḥusain ibn Wāqid
Biografi beliau telah disebutkan di halaman 44.
„Alī ibn al-Ḥusain dengan Al-Ḥusain ibn Wāqid memiliki hubungan guru-
murid dan ayah-anak, tahun wafat yang tidak berjauhan, dan ṣighaṭ yang
48
digunakan ذ ص sehingga bisa disimpulkan keduanya bertemu dan meriwayatkan ,ؽ
hadis.
e. „Abdullāh ibn Buraidah
Biografi beliau telah disebutkan di halaman 45.
f. Buraidah
Biografi beliau telah disebutkan di halaman 45.
„Abdullāh ibn Buraidah dengan ayahnya, Buraidah memiliki hubungan
guru-murid dan ayah-anak, tahun wafat yang tidak berjauhan, dan ṣighaṭ yang
digunakan ذ ص sehingga bisa disimpulkan keduanya bertemu dan meriwayatkan ,ؽ
hadis.
Hadis kedua yang diriwayatkan Abū Hurairah memiliki tiga jalur sanad,
yaitu Bukhari, Muslim, dan Ahmad, berikut rinciannya. Di sini penulis hanya
memaparkan perawi-perawi dari jalur Aḥmad, karena riwayat Bukhari dan
Muslim telah disepakati kesahihannya sehingga tidak diperlukan penelitian
terhadap perawi-perawinya.
Hadis dari Musnad Aḥmad, jilid II halaman 333 dan halaman 439 yang
memiliki enam perawi.
a. Aḥmad
Biografi beliau telah disebutkan di halaman 42.
b. „Abdullāh ibn Numair
Bernama „Abdullāh ibn Numair al-Hamdānī al-Khāriqī.49
Lahir pada 115
H dan wafat pada Rabī‟ al-Awwal 190 H. Gurunya cukup banyak, diantaranya
49
al-Mizī, Tahżīb al-Kamāl, vol. XVI, h. 225.
49
Yaḥyā ibn Sa‟īd al-Anṣārī, Hāsyim ibn al-Barīd, „Ubaidah ibn Mu‟tab al-Ḍabī,
Sufyān al-Ṡaurī, Asy‟aṡ ibn Suwār, dll. Muridnya pun cukup banyak, diantaranya
Aḥmad ibn Ḥanbal, „Ubaid ibn Ya‟īsy, Muḥammad ibn Sulaimān al-Anbārī,
anaknya Muḥammad ibn „Abdullāh ibn Numair, dll. Ibn Ḥibbān menyebutnya
dalam al-Ṡiqqāt dan Abū Ḥātim berkata mustaqīm al-amr.
Aḥmad dengan „Abdullāh ibn Numair ada kemungkinan untuk bertemu
dan meriwayatkan hadis karena keduanya memiliki hubungan guru-murid dan
lafal ؽذصب yang digunakan untuk periwayatannya.
c. Muḥammad ibn Bisyr
Nama lengkapnya Muḥammad ibn Bisyr ibn al-Farāfaṣah ibn al-Mukhtār
ibn Radīḥ al-„Abdī.50
Menurut al-Bukhārī dan Ibn Ḥibbān, ia meninggal pada 203
H. Berguru kepada Abū Ḥayyān al-Taimī, Mas‟ar ibn Kidām, „Amr ibn Kaṡīr ibn
Aflaḥ, Ḥajjāj ibn Dīnār, dll., sedangkan muridnya antara lain Aḥmad ibn
Sulaimān al-Rahāwī, „Abd ibn Ḥamīd, Hārūn ibn „Abdullah al-Ḥammāl, dll.
Mengenai kualitasnya, Ibn Ḥibbān menyebutnya dalam al-Ṡiqqāt, dan menurut
Yaḥyā ibn Ma‟īn ṡiqqah.
Aḥmad dengan Muḥammad ibn Bisyr tidak memiliki hubungan guru-
murid, namun tahun wafat keduanya berdekatan dan lafal yang digunakan ؽذصب
yang menunjukkan keduanya pernah bertemu dan meriwayatkan hadis.
50
Ibid., vol. XXIV, h. 520.
50
d. Abū Ḥayyān
Nama lengkapnya Yaḥyā ibn Sa‟īd ibn Ḥayyān.51
Menurut Ibn ḥibbān
wafat pada 145 H. Berguru kepada ayahnya Sa‟īd ibn Ḥayyān al-Taimī, „Āmir al-
Syu‟bī, al-Munżir ibn Jarīr, Abū Zur‟ah ibn „Amr ibn Jarīr, dll. Muridnya
diantaranya Ibrāhīm ibn „Uyainah, Abū Usāmah Ḥammād ibn Usāmah, „Alī ibn
Mashar, Yazīd ibn Zurai‟, „Abdullāh ibn Numair, Muḥammad ibn Basyar al-
„Abdī. Mengenai kualitasnya, Ibn Ḥibbān menyebutnya dalam kitab al-Ṡiqqāt,
Abū Ḥayyān al-Taimī ṣudūq; Yaḥyā ibn Ma‟īn ṡiqqah; Aḥmad ibn „Abdullāh al-
„Ajlī ṡiqqah ṣālih, ṣāḥib sunnah; Abū Ḥātim ṣālih.
Melihat tahun lahir dan wafatnya, „Abdullāh ibn Numair dengan Abū
Ḥayyān memiliki kemungkinan bertemu ditambah lagi lafal yang digunakan
adalah ؽذصب, dan Muḥammad ibn Bisyr dengan Abū Ḥayyān selain alasan tersebut
juga ditambah keduanya memiliki hubungan guru-murid.
e. Abū Zur‟ah
Nama lengkapnya Abū Zur‟ah ibn „Amr ibn Jarīr ibn „Abdullāh al-Bajlī
al-Kūfī. Ia pernah mengunjungi Kūfah dan Madīnah. Gurunya antara lain
Khurasyah ibn al-Ḥur, Mu‟āwiyyah ibn Abū Sufyān, Abū Hurairah, dll. dan
muridnya antara lain Ibrāhīm ibn Yazīd al-Nakha‟ī, Ṭalaq ibn Mu‟āwiyyah, Mūsā
al-Juhnī, Abū Ḥayyān al-Taimī, dll. Menurut Yaḥyā ibn Ma‟īn ia ṡiqqah.
Abū Ḥayyān dengan Abū Zur‟ah tidak dapat diteliti berdasarkan masa
hidupnya, karena belum ditemukan tahun lahir atau wafatnya Abū Zur‟ah. Namun
51
Ibid., vol. XXXI , h. 323.
51
keduanya memiliki hubungan guru-murid, walaupun lafal periwatan
menggunakan ع, masih bisa disimpulkan keduanya saling meriwayatkan hadis.
f. Abu Hurairah
Namanya Abū Hurairah al-Dausī al-Yamānī, di masa jahiliyah namanya
„Abd Syams dan kuniyahnya Abū al-Aswad.52
Abū al-Qāsim al-ṭabrānī
menyebutkan nama ibunya Maimūnah binti Ṣabīḥ. Banyak yang berkomentar
mengenai kapan Abū Hurairah meninggal, ada yang menyebut 57 H, 58 H, dan 59
H. Ia meriwayatkan hadis dari Nabi Saw., „Umar ibn al-Khaṭṭāb, „Āisyah istri
Nabi, dll., dan muridnya sangat banyak sekali diantaranya Abū Hāsyim al-Dausī,
Abū al-Ḍahāk, Abū Ayyūb al-Marāghī, Abū Zur‟ah ibn „Amr ibn Jarīr, Yazīd ibn
al-Aṣm, Mūsā ibn Wardān, Mujāhid ibn Jabar, „Umar ibn al-Ḥākim, „Aṭā' ibn
Yazīd, dll. Mengenai kualitasnya, sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan
Buraidah mengenai keadilan sahabat.
Abū Zur‟ah meriwayatkan hadis ini dari Abū Hurairah dengan lafal ع,
namun keduanya memiliki hubungan guru-murid, jadi bisa disimpulkan keduanya
saling meriwayatkan hadis.
3. Kesimpulan Kualitas Sanad
Melihat data-data di atas, semua perawi pada rangkaian sanad hadis
pertama memiliki kualitas yang ṡiqqah (‘ādil dan ḍābiṭ), kecuali „Alī ibn al-
Ḥusain pada riwayat al-Tirmiżī yang komentarnya beragam. Di sini penulis
mendahulukan ta’dīl dari pada jarḥ, karena salah satu ulama yang tasyaddud
52
Ibid., vol. XXXIV , h. 366.
52
(ketat dalam penilaian), yaitu al-Nasā'ī, men-ta’dīl dengan lafal laisa bihi ba's.
Sanad pada hadis ini bersambung dari awal sampai akhir, ṣighaṭ tahammul wa al-
adā' yang digunakan ؽذصب/ؽذص/اخجش/ععذ, yang telah disepakati oleh para
ulama bahwa sanadnya bersambung dan menduduki peringkat yang tinggi dalam
lafal penerimaan hadis. Maka penulis menyimpulkan sanad hadis pertama
bersambung dan memenuhi kriteria hadis sahih secara sanad.
Rangkaian sanad pada hadis kedua juga memiliki kualitas yang ṡiqqah
(‘ādil dan ḍābiṭ) dan sanadnya bersambung dari awal sampai akhir. Walaupun
ṣighaṭ tahammul wa al-adā'-nya beragam, bahkan banyak yang menggunakan
tetapi tidak ditemukan adanya cacat dalam perawi-perawi di atas, maka ,ع
penulis menyimpulkan rangkaian sanad hadis kedua bersambung dan memenuhi
kriteria hadis yang sahih secara sanad.
D. Kritik Matan
Masih menggunakan kriteria hadis sahih menurut Ibn al-Ṣalaḥ di atas,
dalam penelitian matan hanya dua kriteria yang digunakan, yaitu 1) Terhindar dari
syāż, 2) Terhindar dari ‘illat. Dari dua kriteria tersebut, para ulama
mengemukakan langkah-langkah yang berbeda. Perbedaan ini bisa disebabkan
oleh berbedanya latar belakang, keahlian alat bantu dan persoalan, serta
masyarakat yang dihadapi oleh mereka.53
Dari banyak dan beragamnya langkah-langkah tersebut, tidak semuanya
dapat digunakana untuk meneliti suatu matan. Hal ini bisa terjadi karena persoalan
53
Bustamin, Metodologi Kritik Hadis, h. 62.
53
yang perlu diteliti pada berbagai matan tidak selalu sama, dengan kata lain
disesuaikan dengan masalah yang terdapat pada matan yang bersangkutan.54
Adapun pada matan hadis ini, langkah yang diambil penulis dalam meneliti
matan, sebagaimana dijelaskan oleh Ṣalāḥ al-Dīn ibn Aḥmad al-Adabī, yaitu
1. Meneliti susunan matan yang semakna
2. Meneliti matan dengan pendekatan al-Qur'an
3. Meneliti matan dengan pendekatan hadis sahih
4. Meneliti matan dengan pendekatan bahasa55
1. Penelitian Kualitas Matan
a. Meneliti Susunan Matan yang Semakna
Pada langkah ini matan hadis yang diteliti berasal dari sanad hadis yang
sama dengan isi matan yang serupa. Hadis pertama, yaitu hadis dari Buraidah
yang terdiri dari tiga matan, yaitu
-: ل بي ٠ذ ح ث ش ث هللا ع جذ أ خج ش ، ال ذ ث ١ غ ؽ ذ ص ؽ ج بة ، ؾ ا ث ٠ذ ص ذ ص ب ؽ
: ي ٠ م ٠ذ ح أ ث ث ش عذ ع ع هللا ع ١ هللا ط ع ي س أ طج ؼ ل :"٠ ب:ف ذ ع بث ل ف م بي
ع ث ي ث ل خ ؟ غ ا إ ل ظج مز خ غ ا ذ د خ ب إ ، ب أ ش ز ه شخ خ عذ ع إ ل
ت ر ل ظش ع ،ف أ ر ١ذ ش ز ه شخ خ عذ ف غ خ غ ا خ ؽ ج بس ا ذ شر ف ع د خ ف شش
؟ل ب م ظش ا ز ا : ذ ؟ف م م ظش ا ز ا ، ث أ بع ش : ذ ل ة . ع ش ا ع ش ا:
ا: ل ب ؟ م ظش ا ز ا ذ ، ؾ ب ف أ : ذ ل . ذ ؾ خ أ ١ غ ا ع ش ا: ل ب
." ط بة خ ا ث ش ع ط هللا ع ي س ف م بي ش ع ٠ ب ر ه غ ١ش ل " : ع ١ ع هللا
ع ١ه ل غ بس ذ و ب هللا ، ع ي س ٠ ب : ف م بي ." م ظش ا ذ ذ خ ث " : ي ج ل ل بي : ل بي .
؟ خ غ ج مز إ ا ط ع أد ض ر إ ل بأ ؽذ صذ : هللا "ل بي ع ي س .ف م بي وع ز ١ س ١ذ
ز ا" :"ث ع ع ١ هللا ط 56
٠ذ ح ،- ث ش ذ ص باث ،ؽ ال ذ ث ١ غ ؾ ذ ص با ،ؽ ش م ١ك اث غ ؾ ا ث ذ ص بع ؽ ع
هللا ط ع ي :د ع بس ،ل بي أ ث ١ ع ج مز إ ،ث ي :"٠ بث ل ،ف م بي ل ث ل ع ١ هللا ع
54
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, h. 117. 55
Bustamin, Metodologi Kritik Hadis, h. 64. 56
Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad, vol. V, h. 354.
54
ع ل ظش ف أ ر ١ذ ، ب أ ش ز ه شخ خ عذ ف غ خ ، ؽ ج بس ا خ غ ا ذ إ د خ ، خ غ ا
ل ؟ م ظش ا ز ا : ذ ف م ث ع ، ش ت ذ ،ر ؾ ب ف أ : ذ ل ، ذ ؾ خ أ ع ش ا: ب
ا: ل ب ؟ م ظش ا ز ا ، ث ع ش أ ب : ذ ل ة ، ع ش ا ع ش : ل ب ؟ م ظش ا ز ا
ش بل ش :ف أ ذ ،ل ٠ش ل ش ع م ظش ش ز اا ط بة ؟ل ب، خ ا ث ش ا: ع "،ف م بي
إ ل ل ظ ذ س ؽ بث أ ط ب ، وع ز ١ س ١ذ ط إ ل ل ظ ذ أ ر ب هللا ، ع ي س ٠ ب : ي ث ل
ط هللا ع ي س ب،ف م بي ذ ع أد ض :"ر ع ع ١ ز ا"هللا ث 57
3689- ١ غ اؾ ث ذ ص بع :ؽ ،ل بي ص ش ا بس ع أ ث ٠ش ش ؽ ث ١ غ ذ ص باؾ ؽ
٠ذ ح ،ل بي أ ث ث ش ذ ص :ؽ ٠ذ ح ،ل بي ث ش ع جذ هللا ث ذ ص :ؽ ل بي ذ ص أ ث :ؽ ل بي ال ذ :ث
ع س أ طج ؼ ع ١ ع للا هللا ط خ ؟ي إ اغ ع ج مز ث :٠ بث ل ي ف ذ ع بث ل ل ف م بي ل ظ خ اغ ذ د خ ب عذ ف غ خ اغ خ ؽ اج بس ذ د خ ، ب أ ش ز ه شخ خ عذ ع إ ل
،ف أ ر ب أ ش ز ه شخ ث ع خ ش ل ظش ع ف ١ذ شش ؟ ز اام ظش : ذ ت ،ف م ر ا ؟ل ب ز اام ظش ، ث :أ بع ش ذ ة ،ف م اع ش ع ش ا: ،ف م ب ٠ش ل ش ع ش
ش :أ بل ش ذ ؟ل ب ف م ز اام ظش ،، ع للا ع ١ ط ذ ؾ خ أ ع ش ا:
ب هللا ع ي :٠ بس ث ل ي ط بة .ف م بي اخ ث ش ع ا: ؟ل ب ز اام ظش ذ ؾ :أ ب ذ ف م
بث بأ ط ، وع ز ١ س ١ذ إ ل ط ل ظ ذ أ ر لل أ أ ٠ذ س ب ذ ع أد ض ر إ ل ل ظ ذ س ؽ
للا ط هللا ع ي س .ف م بي وع ز ١ س ع :ث ع ١ ب.ع 58
Melihat perbandingan di atas, ada beberapa lafal yang berbeda (seperti
urutan kata dan beberapa tambahan –digarisbawahi–), namun semuanya masih di
dalam persamaan secara makna dan tidak menimbulkan pertentangan. Maka dapat
disimpulkan bahwa hadis ini diriwayatkan dengan bī al-ma’nā. Periwayatan bī al-
ma’nā masih dapat diterima jika sanadnya sama-sama sahih, dan sanad hadis ini
keduanya memang sahih.59
Hadis kedua, yaitu hadis dari Abū Hurairah yang terdiri dari empat matan
dengan enam jalur sanad. Matan menjadi empat karena pada riwayat Muslim
hanya disebutkan satu matan, yaitu lafal dari Muḥammad ibn „Abdullah ibn
Numair. Sama dengan kritik sanad di atas, penulis hanya memaparkan matan dari
Aḥmad yang berjumlah dua, yaitu
:ل بي - ح ،ل بي ٠ش ش أ ث سع خ ،ع ص أ ث ،ع ١ ب ؽ ذ ص بأ ث ،ؽ ث شش ث ذ ؾ ذ ص ب ؽ
ي ج ل ع ١ ع هللا هللا ط ف غش ج ح ا ل ذ ط ،ع ي ج ش :"٠ بث ل خ ع ث أ سع
57
Ibid., vol. V, h. 360. 58
Muḥammad ibn „Īsā, Sunan al-Tirmiżī, vol. VI, h. 58. 59
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, h. 123.
55
ز ع عل ف اإل ف ع خ عذ ع ل ذ ف إ شف ، خ "،ا ١ خ خ غ ف ا ٠ ذ ث ١ ع ١ه
شل بي أ ر ط أ ف ع خ ، ذ ع أ سع ل ع عل هللا ف اإل ع ي ٠ بس ذ بع :
ب ر ب ا س ل ظط س اط ه ث ز ١ذ ط ،إ ل بس أ ١ ث ف ع بع خ ش ب و ز ت ،
أ ط أ
60
سع خ ،- ص أ ث ،ع ١ ب ؽ ذ ص بأ ث :ؽ ،ل بي ١ش ذ ص باث ؽ :ل بي ح ،ل بي ٠ش ش أ ث ع
ز ع ع ص ث أ سع ذ ،ؽ ي ث ل :"٠ ب ع ١ ع هللا ط هللا ع ي س عل ف اإل
ف ع خ ذ ن ع عذ ف إ ع شف ، خ با ١ خ : ي ث ل ف م بي ،" خ غ ف ا ٠ ذ ث ١ ع ١ه
بف ع بع خ ار ب س شط أ ر ط أ ف ع خ ،إ ل ذ ع أ سع عل ف اإل ل ع ذ ع
ب س اط ه ث ز ١ذ ط ،إ ل بس أ ١ هللا و ز ت أ ط " أ
61
Hadis kedua ini sama halnya dengan hadis pertama, ada perbedaan pada
lafal matan (yaitu pada urutan kata dan beberapa tambahan –digarisbawahi–),
maka hadis ini juga diriwayatkan dengan bī al-ma’nā.
b. Meneliti Matan dengan Pendekatan al-Qur'an
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam latar belakang, bahwa hadis
merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur'an, maka kandungan
matan hadis harus sejalan dengan al-Qur'an. Mengenai hadis ini, penulis
menyandingkannya dengan al-Qur'ān sūrah al-Taubah/9: 108
ع س ف ١ ف ١ ر م أ ك أ ؽ ٠ ي أ ع از م ظ أ ع ذ غغ أ ث ذ ا ف ١ ر م ل بي
( ٠ ش ط ا ت ٠ ؾ للا ا ش ٠ ز ط أ ج (٠108 ؾ “Janganlah kamu salat dalam masjid itu selama-lamanya.
Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjiq Quba),
sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya. Di dalamnya
ada orang-orang yang menyucikan diri. Dan Allah menyukai orang-orang
yang menyucikan diri”.
Akhir dari ayat itu menjelaskan bahwa Allah swt. memuji orang yang suka
bersuci dan mengutamakan kebersihan, karena kebersihan merupakan bukti
kepribadian seseorang, sekaligus memenuhi misi syariat.62
Arti „yang menyucikan
60
Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad, v. II, h. 333. 61
Ibid., v. II, h. 439. 62
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurtubi, penerjemah Budi Rosyadi, Fathurrahman, dan
Nashiulhaq, vol. VIII (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 659.
56
diri‟ dipahami dalam dua arti, yaitu kesucian lahir dan kesucian batin. Kesucian
lahir harus ditekankan karena perlunya meningkatkan perhatian kaum muslimin
terhadap kebersihan, sedangkan kesucian batin, menurut al-Rāzi, diperlukan
karena dengan kebersihan dari dosalah yang dapat mengantar menuju kedekatan
diri kepada Allah swt. dan mengundang pujian serta ganjaran-Nya.63
c. Meneliti Matan dengan Pendekatan Hadis Sahih
Langkah ini membandingkan matan hadis yang bertema sama dengan
sanad yang berbeda. Penulis menemukan hadis yang matannya serupa, berasal
dari Ḥumrān budak „Uṡmān. Hadis ini diriwayatkan oleh sembilan imam.64
Salah
satu hadis tersebut berbunyi
159- اث ،ع ع عذ ث ١ ا إ ثش ذ ص :ؽ ،ل بي ٠غ ال للا جذ ع ث ٠ض اع ض جذ ذ ص بع ؽ
ث ب ع ض أ ،س أ أ خج ش ب ع ض ا ش ؽ أ ٠ذ ،أ خج ش ٠ ض ث ع ط بء بة ،أ ش
د ع ب ف ب ،ع بء اإل ف ١ ٠ أ دخ ص ب، ف غ غ ، اس ش ص ل س ف ١ و ع غ ف أ فش ، ث إ بء
غ ؼ ،ص اس ش ص ل س شف م ١ إ ا ٠ ذ ٠ ص ل ص ب، ع غ غ ،ص ش ك اعز ، ض ض ف
غ غ ص ، أع هللا ث ش ط للا ع ي س ل بي : ل بي ص ، إ اى عج ١ اس ش ص ل س ع ١ س
ع ١ فغ ،»ع ب ف ١ س ذ ٠ ؾ ل وع ز ١ س ط ص ز ا، ض ئ ؾ أ ض ر ج ر بر م ذ ،«غ ف ش
65
“Humran mengabarkan bahwa dia telah melihat „Uṡmān ibn „Affān
meminta dibawakan sebuah bejana, lalu ia menuangkan air ke telapak
tangannya seraya membasuh kedua telapak tangannya tiga kali. Kemudian
ia memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana lalu berkumur-kumur
seraya memasukkan air ke hidung serta mengeluarkannya, setelah itu ia
membasuh mukanya tiga kali dan kedua tangannya hingga siku tiga kali.
Selanjutnya ia menyapu kepalanya lalu membasuh kakinya tiga kali
hingga ke mata kaki. Kemudian ia berkata, „Rasulullah saw. bersabda,
„Barangsiapa yang berwudu sebagaimana wuduku ini lalu ia salat dua
rakaat tanpa menyibukkan dirinya (dengan perkara-perkara lain) dalam
melakukan dua rakaat tersebut, maka akan diampuni dosa-dosanya yang
telah lalu‟.”
63
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, vol. V
(Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 721. 64
A. J. Wensinck, Mu’jam, v. VII, h. 232. 65
Al-Bukhārī, al-Jāmi’ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar, v. I, h. 43.
57
Hadis tersebut menunjukkan bahwa salat dua rakaat setelah wudu yang
dibaguskan dapat menghapuskan dosa-dosa. Ampunan ini tidak boleh diartikan
untuk semua dosa sehingga perbuatan dosa dilakukan semaunya. Padahal salat
yang menghapuskan dosa-dosa adalah salat yang diterima.66
Adapun dosa di sini
hanya dosa kecil yang diampuni. Sedangkan mereka yang hanya memiliki dosa
besar maka diringankan untuknya, sebagaimana kadar dosa kecil yang diampuni.
Adapun mereka yang tidak memiliki dosa besar maupun dosa kecil, maka
ditambahkan kebaikannya sama dengan kadar dosa kecil yang diampuni.67
Menurut penulis matan ini sejalan dengan hadis dari Buraidah dan Abū Hurairah
yang menjelaskan salat setelah wudu dengan keutamaan masuk surga.
d. Meneliti Matan dengan Pendekatan Bahasa
Objek yang dapat diteliti pada langkah ini diantaranya:
1) Struktur bahasa, artinya apakah susunan kata dalam matan hadis sesuai dengan
kaidah bahasa arab atau tidak
2) Kata-kata yang terdapat pada matan hadis, apakah menggunakan bahasa yang
digunakan pada masa Nabi atau bahasa yang muncul setelah kenabian
3) Matan hadis menggambarkan bahasa kenabian atau tidak
4) Menelusuri makna kata-kata yang terdapat pada matan, apakah sama atau tidak
antara ucapan Nabi saw. dengan yang dipahami oleh pembaca/peneliti.68
Mengenai bahasa kenabian, Ṣalaḥuddīn al-Adabi berpendapat, bahwa
perkataan kenabian itu:
66
Al-„Asqalāni, Fatḥ al-Bārī, vol XXXI, h. 72. 67
Ibid., vol II, h. 86. 68
Bustamin, Metodologi Kritik Hadis, h. 76.
58
1) Tidak mengandung keserampangan
2) Tidak mengandung makna yang rendah
3) Tidak menyerupai perkataan ulama khalaf.69
Memperhatikan kata-kata pada matan-matan hadis di atas, menurut penulis
sudah sesuai dengan struktur bahasa Arab dan merupakan ciri khas dari bahasa
kenabian, maka dapat disimpulkan bahwa matan hadis ini merupakan perkataan
Nabi saw.
2. Kesimpulan Kualitas Matan
Memperhatikan keempat langkah di atas, tidak terdapat syāż dan ‘illat
pada hadis pertama dari Buraidah dan hadis kedua dari Abū Hurairah. Walaupun
keduanya diriwayatkan secara bī al-ma’nā, tidak terdapat pertentangan sedikitpun
dengan al-Qur'ān dan hadis yang sahih, kata yang digunakan juga merupakan ciri
khas bahasa Nabi saw., maka dari itu penulis menyimpulkan matan hadis ini
sahih.
E. PEMAHAMAN HADIS
Hadis ini menceritakan tentang keutamaan sahabat Nabi saw., yaitu Bilāl.
Walaupun pada matan riwayat Abū Hurairah disebutkan juga keutamaan „Umar
ibn al-Khaṭṭāb, namun di sini penulis berfokus kepada perbuatan Bilāl yang
mengantarkan suara sandalnya sampai terdengar di Surga oleh Nabi saw.
69
Ṣalāḥ al-Dīn ibn Aḥmad al-Adabī, Metedologi Kritik Matan Hadis, penerjemah
Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), h. 270.
59
Aḥmad dan Ibn Mājah meriwayatkan dari Ibn Mas‟ūd, “Yang pertama
menganut Islam sebanyak tujuh orang yaitu Rasulullah saw., Abū Bakar, „Ammār,
ibunya Sumayyah, Bilāl, dan Miqdād ibn Aswad ra.” Rasulullah sendiri
terlindung oleh pamannya, sedangkan Abū Bakar terlindung oleh kaumnya. Lima
yang lain ditimpa siksaan oleh kaum Quraisy sehingga mereka terpaksa
memenuhi kehendak mereka, yaitu mengatakan “Tuhanku Lata dan „Uzza”,
kecuali Bilāl yang tabah sambil mengatakan “Ahad! Ahad!” padahal kondisinya
beralaskan pasir dan ditimpa batu saat panas yang terik.70
Bilāl adalah seorang Habsyī dari golongan orang berkulit hitam. Ayahnya
Rabāḥ dan ibunya Ḥamāmah. Keluarganya merupakan hamba sahaya dari Bani
Jamḥ di Makkah, dan majikan Bilāl bernama Umayyah ibn Khalaf.71
Bilāl ibn
Rabāḥ adalah seorang mu'ażżin pada masa Rasulullah saw. Setelah beliau wafat,
Bilāl berjihad di Syām atas izin dari Abū Bakr. Ia wafat pada tahun 20 H dan
dikuburkan di Damaskus.72
Hadis ini menjelaskan tentang keutamaan Bilāl yang senantiasa bersuci
dan melakukan salat setelahnya. Keutamaan ini didapat karena Nabi saw. telah
melihat Bilāl di dalam surga. Hadis ini juga menganjurkan untuk melanggengkan
bersuci, karena orang yang senantiasa bersuci ketika tidur pun akan dalam
70
M. Yusuf al-Kandahlawy, Kehidupan para Sahabat Rasulullah saw., penerjemah Bey
Arifin, dkk., vol. I (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), h. 281, dan Khalid Muhammad Khalid,
Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, penerjemah Mahyuddin Syaf, dkk. (Bandung: CV
Diponegoro, 1993), h. 107. 71
Khalid, Karakteristik Sahabat Rasulullah, h. 103. 72
Ibn Hibban, al-Ṡiqqāt, vol. III, h. 28.
60
keadaan suci. Hal ini mengantarkan ruhnya naik dan bersujud di bawah „Arasy.73
Tata cara salat ini sebagai berikut:
1. Berwudu dengan baik dan sempurna
2. Setelah berwudu membaca ع س هللا ذ اع جذ ؾ أ هللا إ ل إ ل أ ذ أ ش
3. Salat dua rakaat dengan niat ر ع ب لل وع ز ١ س ض ء ا ع خ أ ط
4. Tidak ada ketentuan khusus tentang bacaan yang disunahkan dalam salat sunah
ini.74
Diantara dua rakaat salat tersebut tidak ada hal-hal lain yang mengganggu,
sebagaimana hadis yang disampaikan oleh „Uṡmān kepada Ḥumrān
159- ... ع ١ ع هللا ط للا ع ي س »ل بي ص ز ا، ض ئ ؾ أ ض ر
ج ر بر م ذ ب فغ ،غ ف ش ف ١ س ذ ٠ ؾ ل وع ز ١ س «ط 75
“Rasulullah saw. bersabda, „Barangsiapa yang berwudu
sebagaimana wuduku ini lalu ia salat dua rakaat tanpa menyibukkan
dirinya (dengan perkara-perkara lain) dalam melakukan dua rakaat
tersebut, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu‟.”
Kata فغ ب ف ١ س ذ ٠ ؾ maksudnya adalah perkara yang biasa ,ل
mengganggu pikiran tetapi masih mungkin dihilangkan. Adapun gangguan berupa
bisikan hati dan rasa waswas yang sulit dihilangkan, maka hal itu dimaafkan.76
Menurut al-Qaḍī Iyāḍ, menukil dari sebagian ulama, ل٠ؾذس berarti tidak
terbetik sedikitpun dalam hati dan pikirannya perkara-perkara selain salat.
Sedangkan al-Nawawi berkata, “Keutamaan tersebut bisa dicapai jika salat
disertai dengan bisikan-bisikan namun tidak membuatnya larut.”77
Menurut hemat
73
Al-„Asqalāni, Fatḥ al-Bārī, vol VI, h. 294. 74
Firdaus Wajdi dan Saira Rahmani, Buku Pintar Shalat Wajib dan Sunnah (Jakarta:
Zaman, 2010), h. 149. 75
Al-Bukhārī, al-Jāmi’ al-Musnad, v. VIII, h. 92. 76
al-„Asqalāni, Fatḥ al-Bārī, vol II, h. 85. 77
Ibid., vol II, h. 86.
61
penulis, ada atau tidaknya gangguan tersebut dapat dibiarkan selama tidak
mengganggu kekhusyuan salatnya.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian terhadap sanad dan matan hadis tentang salat
sunah setelah wudu yang terdapat dalam kitab iḥyā ‘ulūm al-dīn karya Abu Hamid
Muhammad al-Ghazali, penulis dapat mengikhtisarkan beberapa poin,
diantaranya:
1. Berdasarkan jumlah perawi pada tiap tingkatan sanad, hadis ini tergolong
kepada hadis gharīb.
2. Berdasarkan penelitian sanad, seluruh perawi pada setiap tingkatan memenuhi
kriteria hadis sahih, maka hadis ini sahih secara sanad.
3. Berdasarkan penelitian terhadap matan hadis, tidak ditemukan kejanggalan dan
cacat, maka hadis ini sahih secara matan.
Dari ikhtisar-ikhtisar di atas, penulis menyimpulkan bahwa hadis ini
berkualitas sahih dan dapat dijadikan hujah sebagai dalil salat sunah setelah wudu.
B. Saran
Berakhirlah penelitian hadis tentang salat sunah setelah wudu ini. Penulis
berharap kiranya para pembaca dapat memberikan kritik serta koreksi yang
membangun, karena penulis sadar bahwa penelitian ini masih meninggalkan
kekurangan. Adapun kelebihan dan kebenarannya merupakan rahmat dari Allah
swt. untuk kita semua selaku hamba-Nya. Berkaitan dengan hadis yang penulis
angkat, ada beberapa saran yang ingin disampaikan, yaitu
63
1. Hendaknya kita, selain menunaikan ibadah fardu, juga rajin dalam menunaikan
ibadah-ibadah sunah karena dengannya kekurangan pada ibadah fardu dapat
dilengkapi
2. Sebelum melaksanakan ibadah yang hanya disampaikan oleh hadis, alangkah
baiknya kita terlebih dahulu menanyakan atau meneliti kehujahan dari hadis
tersebut, agar kita terhindar dari api neraka seperti yang telah disabdakan Nabi
saw.
64
DATAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. dan Elan Sumarna. Metode Kritik Hadis. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset, 2013.
al-Adabi, Ṣalāḥ al-Dīn ibn Aḥmad. Metedologi Kritik Matan Hadis. Penerjemah
Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
‘Ali, Jawwad. Sejarah Shalat. Penerjemah Irwan Masduki. Tangerang: Penerbit
Lentera Hati, 2013.
Aḥmad, Muḥammad ibn Ḥibbān ibn. Al-Ṡiqqāt. Dā'irah al-Ma’ārif al-
‘Uṡmāniyyah, 1973.
al-‘Asqalāni, Ibnu Hājar. Fatḥ al-Bārī Syarah Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Penerjemah
Gazirah Abdi Ummah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Ashiddieqy, Muhammad Hasbi. Pedoman Shalat. Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1983.
_ _ _ _. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
_ _ _ _. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Baihaqi. Fiqih Ibadah. Bandung: Penerbt M2S, 1996.
al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismā’īl. Al-Jāmi’ al-Musnad al-Ṣaḥīḥ al-Mukhtaṣar.
Dār ṭūq al-Najāh, 1422 H.
Bustamin dan Hasanuddin. Membahas Kitab Hadis. Tangerang: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2010.
Bustamin dan M. Isa H. A. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
65
Djamaluddin, Mahbub. Imam al-Ghazali Sang Ensiklopedia Islam. Senja
Publishing, 2015.
El-Fikri, Syahruddin. Sejarah Ibadah. Jakarta: Republika, 2014.
al-Ghazālī, Abū Ḥāmid Muḥammad ibn. Ihyā' ‘Ulūm al-Dīn. Kairo: Dār al-Ḥadīṡ,
2004.
_ _ _ _. Ihyā' ‘Ulūm al-Dīn. Penerjemah Ibnu Ibrahim Ba’adillah. Jakarta:
Gramedia, 2011.
al-Ḥajjāj, Muslim ibn. Shahih Muslim. Kairo: Dar al-Hadits, 1994.
al-Ḥalbi, Nūr al-Dīn Muḥammad ‘Itr. Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Hadiṡ.
Damaskus: Dar al-Fikr, 1997.
Ḥanbal, Aḥmad ibn Muḥammad ibn. Musnad al-Imām Aḥmad ibn Ḥanbal. Beirut:
al-Maktab al-Islāmī, 1978.
Hasan, Hamka. Metodologi Penelitian Tafsir Hadis. Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta, 2008.
Hāsyim, Aḥmad ‘Umar. al-Sunnah al-Nabawiyyah wa ‘Ulūmuhā. Kairo: Dār
Maktabah Gharīb, 1989.
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: Bulan
Bintang, 2009.
_ _ _ _. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 2014.
_ _ _ _. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 2007.
Jawas, Yazid ibn Abdul Qadir. Sifat Wudu & Salat Nabi. Jakarta: Pustaka Imam
asy-Syafi’i, 2014.
66
al-Kandahlawy, M. Yusuf. Kehidupan para Sahabat Rasulullah saw. Penerjemah
Bey Arifin, dkk. Surabaya: Bina Ilmu, 1993.
Khalid, Khalid Muhammad. Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah.
Penerjemah Mahyuddin Syaf, dkk. Bandung: CV Diponegoro, 1993.
al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. Uṣūl al-Ḥadīṡ. Penerjemah Nur Ahmad Musyafiq.
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: AMZAH, 2013.
Mahdi, Abu Muhammad. Metode Takhrij Hadits. Penerjemah Said Agil Husin
Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar. Semarang: Dina Utama Semarang,
1994.
al-Miṣrī, Jamāl al-Dīn Abū Ḥajjāj Yūsuf. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar al-Sadr,
1989.
al-Mizī, Jamāl al-Dīn Abū al-Ḥajjāj Yūsuf. Tahżīb al-Kamāl fī Asmā al-Rijāl.
Beirut: Muassasah al-Risalah, 1980.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta:
Pusaka Progresif, 1984.
Mūsā, Muḥammad ibn ‘Īsā ibn Saurah ibn. Sunan al-Tirmiżī. Beirut: Dar al-Gharb
al-Islami, 1998.
Nasuhi, Hamid, dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Desartasi). Tangerang: CeQDA, 2007.
al-Qahṭāni, Sā’id ibn ‘Alī ibn Wahf. Kumpulan Shalat Sunnah dan Keutamaanya.
Penerjemah Abu Umar Basyir. Jakarta: Darul Haq, 2014.
67
al-Qurṭubi. Tafsir al-Qurṭubi. Penerjemah Budi Rosyadi, Fathurrahman, dan
Nashiulhaq. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
al-Raḥmān, ‘Uṡmān ibn ‘Abd. Ma’rifat Anwā’ ‘Ulūm al-Ḥadīṡ. Beirut: Dār al-
Fikr, 1986.
Raya, Ahmad Thib dan Siti Musdah Mulia. Menyelami Seluk-Beluk Ibadah dalam
Islam. Bogor: Kencana, 2003.
Ritonga, A. Rahman dan Zainuddin MA, Fiqih Ibadah. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002.
al-Ṣāliḥ, Ṣubḥi. Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu. Penerjemah Tim Pustaka
Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an.
Jakarta: Lentera Hati, 2004.
Sholikhin, Muhammad. Panduan Shalat Sunah Terlengkap. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2013.
Sulaiman, M. Noor. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Ṭahhan, Maḥmūd. Taisir Mustalah al-Hadits. Penerjemah A. Muhtadi Ridwan.
Malang: UIN-Malang Press, 2007.
‘Uṣmān, Syams al-Dīn Abū ‘Abdullah Muḥammad ibn Aḥmad ibn. Al-Kāsyif fī
Ma’rifati man lahu Riwāyatin fī al-Kutubi al-Sittati. Jeddah: Dār al-Qiblah
li al-Ṣaqāfah al-Islāmiyyah, 1992.
Wajdi, Firdaus dan Saira Rahmani. Buku Pintar Salat Wajib dan Sunnah. Jakarta:
Penerbit Zaman, 2010.
68
Wensinck, Arnold John. Miftāḥ Kunūz al-Sunnah. Penerjemah Muḥammad Fu'ād
‘Abd al-Bāqī, 1978.
_ _ _ _. Mu’jam al-Mufahharas li Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī Penerjemah
Muḥammad Fu'ād ‘Abd al-Bāqī. Leiden: E. J. Brill, 1955.
Yahya, Muhammad Taufiq Ali. Sholat: Hikmah, Syariat & Wirid-wiridnya.
Jakarta: Penerbit Lentera, 2006.
Yuliaonto, Dion. Pedoman Umum EYD dan Dasar Umum Pembentukan Istilah.
Jogjakarta: DIVA Press, 2011.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.
Zein, M. Ma’shum. Ilmu Memahami Hadits Nabi: Cara Praktis Menguasai
Ulumul Hadits dan Musthalah Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2013.
al-Zuhaily, Wahbah. Fikih Thaharah: Kajian Berbagai Mazhab. Penerjemah
Masdar Helmy. Bandung: Pustaka Media Utama, t.t.
top related