resume scene 2 d
Post on 07-Feb-2016
55 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
RESUME
BLOK 7 SKENARIO 2
RESPIRASI
Oleh kelompok D:
Yulia Puspitasari (122010101006)
Izzatul Mufidah M. (122010101015)
Rinda Yanuarisa (122010101024)
M. Avin Zamroni (122010101027)
Farmitalia Nisa T. (122010101037)
Fawziah Putri Maulida (122010101041)
Dimes Atika Permanasari (122010101045)
Asyirah Mujahidah F. (122010101047)
Aulia Suri A. (122010101052)
Laily Rahmawati (122010101054)
Mochamad Fatchi (122010101061)
Aditya Widya P. (122010101073)
Abdurrozaq (122010101086)
Silvi Ahmada Chasya (122010101095)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013
SKENARIO 2
BATUK
Ny. Aminah, 35 tahun, datang ke Puskesmas dengan keluhan batuk. Batuk
sejak 3 hari yang lalu disertai pilek, demam, dan nyeri kepala. Pasien sudah
minum obat flu yang dibeli di warung tetapi tidak ada perbaikan, bahkan batuknya
semakin sering dan disertai sesak nafas. Anamnesis lebih lanjut diketahui bahwa
pasien tinggal dekat dengan peternakan ayam. Seminggu sebelumnya tetangga
pasien yang berumur 1 tahun meninggal di RS karena sesak nafas berat disertai
kebiruan di tangan dan kaki.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan: tekanan darah 110/70 mmHg, denyut
nadi 116 x/menit, frekuensi napas 32 x/menit, suhu 390C. Didapatkan juga nyeri
tekan di bagian dahi, retraksi intercostal space dan rhonkhi di kedua hemithoraks.
Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang, didapatkan leukositosis dan pada foto
rontgen thoraks PA tampak gambaran konsolidasi serta peningkatan corak
bronkhovaskuler.
I. Klarifikasi Istilah
Ronkhi : adalah suara napas tambahan bernada rendah sehingga bersifat
sonor, terdengar tidak mengenakkan (raspy), terjadi pada saluran napas
besar seperti trakea bagian bwah dan bronkus utama. Disebabkan
karena udara melewati penyempitan, dapat terjadi pada inspirasi
maupun ekspirasi. Ronkhi dibagi menjadi ronkhi basah dan ronkhi
kering.
Retraksi : penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam saat
bernapas dan penggunaan otot tambahan yang terlihat bersamaan
dengan peningkatan frekuensi nafas.
Konsolidasi : pengkerasan/pemadatan, proses menjadi keras/padat
seperti pada paru yang menjadi keraskarena ruang udara terisi eksudat
pada pneumonia
Leukositosis : peningkatan jumlah total leukosit karena kerusakan
jaringan, infeksi, dan peradangan dengan nilai normal
Pilek : gejala yang disebabkan oleh virus influenza
II. Rumusan Masalah
1. Dari semua gejala di skenario, apa penyebab dan manifestasinya?
2. Bagaimana proses terjadinya infeksi?
3. Bagaimana terapi farmako dari gejala di skenario?
4. Apa saja diagnosis banding dari kasus di atas? Bagaimana
tatalaksananya dan hubungan penyakit dengan lingkungan?
5. Dari pemeriksaan rontgen thorax didapatkan corak tertentu, apa
penyebab dari gambaran tersebut?
6. Menjelaskan tentang foto rontgen dada.
III. Tujuan Belajar
Mampu menjelaskan etiologi, patofisiologi, gejala, pemeriksaan, dan
tatalaksana Rhinitis, Influenza, Sinusitis, Faringitis, Laringitis, Trakeitis,
Frunkel Hidung, Bronkhitis, Bronkhiolitis, Bronkiektasis,
Bronkopneumonia,Pneumonia, Avian Influenza, SARS, dan ARDS.
IV. Analisis Masalah
A. Infeksi Saluran Pernafasan Atas
1. Rhinitis
Rinitis Alergi
Definisi adalah infeksi pada hidung akibat terpaparalergen yang
diperantarai oleh IgE.
Patofisiologi
1. Tahap sensitisasi
Alergen masuk hidung, ditangkap APC membentuk fragmen
pendek peptida, berikatan dengan HLA II menjadi komplek
peptida MHC II dipresentasikan ke sel T helper (T0) APC
melepas sitokin mengaktifkan sel T0 Sel T0 berproliferasi
menjadi Th1 dan Th2
Th2 menghasilkan sitokin ditangkap reseptor limfosit B
limfosit B aktif dan memproduksi IgE masuk sirkulasi darah
dan masuk jaringan diikat reseptor mastosit dan basofil.
2. Tahap reaksi
Ada paparan alergen yang sama 2 ikatan IgE teraktivasi
alergen ditangkap komplek ikatan akan berdegranulasi
melepaskan mediator kimia terutama histamin histamin
merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus timbul
gejala rinitis.
Gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung
Penatalaksanaan
1. Menghindari kontak dengan alergen & eliminasi
2. Medikamentosa antihistamin
3. Operatif
4. Imunoterapi IgG blocking antibody & menurunkan IgE.
2. Influenza
Influenza, yang lebih dikenal dengan sebutan flu, merupakan
penyakit menular yang disebabkan oleh virus RNA dari famili
Orthomyxoviridae (virus influenza), yang menyerang unggas ataupun
manusia.
Dalam klasifikasi virus, virus influenza termasuk virus RNA yang
merupakan tiga dari lima genera dalam famili Oethomyxoviridae: [18]
Virus influenza A
Virus influenza B
Virus influenza C
Virus-virus tersebut memiliki kekerabatan yang jauh dengan virus
parainfluenza manusia, yang merupakan virus RNA yang merupakan
bagian dari famili paramyxovirusyang merupakan penyebab umum dari
infeksi pernapasan pada anak, seperti croup (laryngotracheobronchitis),
namun dapat juga menimbulkan penyakit yang serupa dengan influenza
pada orang dewasa.
a. Gejala dan Tanda
Demam dan perasaan dingin yang ekstrem (menggigil, gemetar)
Batuk
Hidung tersumbat
Nyeri tubuh, terutama sendi dan tenggorok
Kelelahan
Nyeri kepala
Iritasi mata, mata berair
Mata merah, kulit merah (terutama wajah), serta kemerahan
pada mulut, tenggorok, dan hidung
Pada anak, gejala gastrointestinal seperti diare dan nyeri
abdomen, (dapat menjadi parah pada anak dengan influenza B).
b. Pengobatan
Orang yang menderita flu disarankan untuk banyak beristirahat,
meminum banyak cairan, menghindari penggunaan alkohol dan
rokok, dan apabila diperlukan, mengonsumsi obat seperti
asetaminofen (parasetamol) untuk meredakan gejala demam dan
nyeri otot yang berhubungan dengan flu. Anak-anak dan remaja
dengan gejala flu (terutama demam) sebaiknya menghindari
penggunaan aspirin pada saat infeksi influenza (terutama influenza
tipe B), karena hal tersebut dapat menimbulkan Sindrom Reye, suatu
penyakit hati yang langka namun memiliki potensi menimbulkan
kematian. Karena influenza disebabkan oleh virus, antibiotik tidak
memiliki pengaruh terhadap infeksi; kecuali diberikan untuk infeksi
sekunder seperti pneumonia bakterialis. Pengobatan antiviral dapat
efektif, namun sebagian galur inflenza dapat menunjukkan resistensi
terhadap obat-obat antivirus standar
3. Sinusitis
a. Definisi
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal yang umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai
semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena
ialah sinus ethmoidalis dan maxillaris, sedangkan sinus frontalis jarang
terkena, dan sinus sphenoidalis lebih jarang lagi.
Sinus maxillaris disebut juga antrum Highmore, karena letaknya yang
dekat dengan akar gigi rahang atas. Hal itu menyebabkan infeksi gigi
mudah menyebar ke sinus maxillaris, yang disebut dengan Sinusitis
Dentogen. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan
komplikasi ke orbita dan intracranial, serta menyebabkan peningkatan
serangan asma yang sulit diobati.
b. Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita
hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau
hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil,
infeksi gigi, kelainan imunologik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab
sinusitis. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi,
udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok.
c. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal
(KOM). Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial
dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem,
sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini
menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan
tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau
penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah
keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial
yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret
yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk
tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi
purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi
antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan
terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan
ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid
atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini diperlukan tindakan
operasi.
d. Gejala
Hidung tersumbat disertai nyeri pada muka dan ingus purulen
yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip)
Nyeri pada daerah sinus yang terkena (ciri khas sinusitis akut)
Referred pain, misalnya:
Nyeri pipi sinus maksila
Nyeri di antara/di belakang kedua bola mata sinus edhmoid
Nyeri di dahi sinus frontal
Gejala lain: sakit kepala, hiposmia/anosmia, batuk.
e. Diagnosis
Rinoskopi anterior
Mukosa merah, udim
Mukopus di meatus nasi medius (tidak selalu)
Adanya nyeri tekan pada sisi yang sakit
Transiluminasi : kesuraman pada sisi yang sakit
CT Scan gold standard diagnosis sinusitis mahal
Foto posisi waters, PA, dan lateral umumnya hanya mampu
menilai kondisi sinus yang besar-besar
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi untuk
mengambil sekret dari meatus media untuk mendapatkan
antibiotik tepat guna
Sinoskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial
sinus maksila, melalui meatus inferior
f. Tata Laksana
Terapi medikamentosa berupa antibiotic selama 10-14 hari,
namun diperpanjang sampai gejala hilang. Jika dalam 48-72
jam tidak ada perubahan klinis, diganti dengan antibiotik untuk
kuman yang menghasilkan beta laktamase, yaitu amoksisilin
atau ampisilin yang dikombinasi dengan asam klavunat
Pemberian dekongestan untuk memperlancar drainase sinus.
Dapat diberikan sistemik maupun topical. Pemberian secara
topical harus dibatasi yaitu selama 5 hari untuk menghindari
terjadinya rhinitis medikamentosa
g. Pemeriksaan
Laboratorium
Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat
membantu diagnosis sinusitis akut
Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada
sinusitis akut, tapi harus dilakukan pada pasien
immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada
anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang
tidak adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang
disebabkan sinusitis.
Imaging
Rontgen sinus, dapat menunjukan suatu penebalan
mukosa, air-fluid level, dan perselubungan.Pada sinusitis
maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk
mengetahui adanya abses gigi.
CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis
sinusitis akut, menunjukan suatu air-fluid level pada 87%
pasien yang mengalami infeksi pernafasan atas dan 40%
pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan
untuk luas dan beratnya sinusitis.
MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada
jaringan lunak yang menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai
yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis akut.
h. Komplikasi
Kelainan orbita
Kelainan intrakranial
Osteomielitis dan abses superiostal
Kelainan paru
i. Prognosis
Prognosis pada sinusitis akut baik apabila tidak terjadi infeksi sekunder.
Apabila hanya mencapai infeksi primer, maka sinusitis dapat sembuh
dengan sendirinya.
4. Faringitis
a. Definisi
Adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan
sekitarnya, biasanya timbul bersama dengan tonsillitis, rhinitis, dan
laryngitis.
Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring dan/atau
tonsil yang disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang
berbeda. Faringitis dapat menjadi bagian dari infeksi saluran napas
atas atau infeksi lokal didaerah faring
b. Etiologi
Bakteri streptococcus pyogenes (streptococcus group A
hemoliticus)
Streptokokus group C
Corynebacteria diphteriae
Neisseria gonorrhoe
Non bakteri misalnya adenovirus, influenza virus, parainfluenza,
rhinovirus, RSV, echovirus, coxsackievirus, herpes simplex virus,
EBV,dll.
Kebanyakan disebabkan oleh virus, termasuk virus penyebab
common cold, flu, adenovirus, mononukleosis atau HIV (40-60%).
Bakteri yang menyebabkan faringitis adalah streptokokus grup A,
korine bakterium, arkano bakterium, Neisseria gonorrhoeae atau
Chlamydia pneumonia (5-40%).
Bisa juga karena alergi, toksin, dan trauma.
c. Patofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,
kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial
bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian
edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat mula - mula serosa tapi
menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan dapat
melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah
dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning,
putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid.
Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring
posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan
membengkak.
d. Gejala
o Demam tiba-tiba
o Faring, palatum, tonsil berwarna merah dan bengkak
o Nyeri tenggorokan
o Terdapat eksudat purulen
o Nyeri telan
o Leukositosis dan dominasi neutrofil
o Adenopati servikal
o Malaise
o Mual
Khusus untuk Faringitis oleh streptokokus :
o Demam tiba2
o Sakit kepala
o Anoreksia
o Nyeri tenggorokan
o Nyeri abdomen
o Rash/urtikaria
o Tonsillitis eksudatif
o Muntah
o Adenopati servical anterior
o Malaise
Gejala tersebut bisa ditemukan pada infeksi karena virus maupun
bakteri, tetapi lebih merupakan gejala khas untuk infeksi karena
bakteri.
FARINGITIS VIRUS FARINGITIS BAKTERI
Biasanya tidak ditemukan
nanah di tenggorokan
Demam ringan atau tanpa
demam
Jumlah sel darah putih
normal atau agak meningkat
Kelenjar getah bening normal
atau sedikit membesar
Tes apus tenggorokan
memberikan hasil negative
Pada biakan di laboratorium
tidak tumbuh bakteri
Sering ditemukan nanah di
tenggorokan
Demam ringan sampai
sedang
Jumlah sel darah putih
normal – sedang
Pembengkakan ringan
sampai sedang pada
kelenjar getah bening
Tes apus tenggorokan
memberikan hasil positif
untuk strep throat
Pada biakan di laboratorium
tumbuh bakteri
e. Pemeriksaan
Manifestasi klinis berbeda-beda tergantung apakah streptokokus atau
virus yang menyebabkan penyakit tersebut. Bagaimanapun, terdapat
banyak tumpang tindih dalam tanda-tanda serta gejala penyakit
tersebut dan secara klinis seringkali sukar untuk membedakan satu
bentuk faringitis dari bentuk lainnya.
Faringitis oleh virus biasanya merupakan penyakit dengan awitan
yang relatif lambat, umumnya terdapat demam, malaise, penurunan
nafsu makan disertai rasa nyeri sedang pada tenggorokan sebagai
tanda dini. Rasa nyeri pada tenggorokan dapat muncul pada awal
penyakit tetapi biasanya baru mulai terasa satu atau dua hari setelah
awitan gejala-gejala dan mencapai puncaknya pada hari ke-2-3. Suara
serak, batuk, rinitis juga sering ditemukan. Walau pada puncaknya
sekalipun, peradangan faring mungkin berlangsung ringan tetapi
kadang-kadang dapat terjadi begitu hebat serta ulkus-ulkus kecil
mungkin terbentuk pada langit-langit lunak dan dinding belakang
faring. Eksudat-eksudat dapat terlihat pada folikel-folikel kelenjar
limfoid langit-langit dan tonsil serta sukar dibedakan dari eksudat-
eksudat yang ditemukan pada penyakit yang disebabkan oleh
streptokokus. Biasanya nodus-nodus kelenjar limfe servikal akan
membesar, berbentuk keras dan dapat mengalami nyeri tekan atau
tidak. Keterlibatan laring sering ditemukan pada penyakit ini tetapi
trakea, bronkus-bronkus dan paru-paru jarang terkena. Jumlah leukosit
berkisar 6000 hingga lebih dari 30.000, suatu jumlah yang meningkat
(16.000-18.000) dengan sel-sel polimorfonuklear menonjol
merupakan hal yang sering ditemukan pada fase dini penyakit
tersebut. Karena itu jumlah leukosit hanya kecil artinya dalam
melakukan pembedaan penyakit yang disebabkan oleh virus dengan
bakteri. Seluruh masa sakit dapat berlangsung kurang dari 24 jam dan
biasanya tidaka kan bertahan lebih lamna dari 5 hari. Penyulit-penyulit
lainnya jarang ditemukan.
Faringitis streptokokus pada seorang anak berumur lebih dari 2 tahun,
seringkali dimulai dengan keluhan-keluhan sakit kepala, nyeri
abdomen dan muntah-muntah. Gajala-gajala tersebut mungkin
berkaitan dengan terjadinya demam yang dapat mencapai suhu 40OC
(104O F); kadang-kadang kenaikan suhu tersebut tidak ditemukan
selama 12 jam. Berjam-jam setelah keluhan-keluhan awal maka
tenggorokan penderita mulai terasa sakit dan pada sekitar sepertiga
penderita mengalami pembesaran kelenjar-kelenjar tonsil, eksudasi
serta eritem faring. Derajat rasa nyeri faring tidak tetap dan dapat
bervariasi dari yang sedikit hingga rasa nyeri demikian hebat sehingga
membuat para penderita sukar menelan. Dua per tiga dari para
penderita mungkin hanya mengalami eritema tanpa pembesaran
khusus kelenjar tonsil serta tidak terdapat eksudasi. Limfadenopati
servikal anterior biasanya terjadi secara dini dan nodus-nodus kelenjar
mengalami nyeri tekan. Demam mungkin berlangsung hingga 1-4
hari; pada kasus-kasus sangat berat penderita tetap dapat sakit hingga
2 minggu. Temuan-temuan fisik yang paling mungkin ditemukan
berhubungan dengan penyakit yang disebabkan oleh streptokokus
adalah kemerahan pada kelenjar-kelenjar tonsil beserta tiang-tiang
lunak, terlepas dari ada atau tidaknya limfadenitis dan eksudasi-
eksudasi. Gambaran-gambaran ini walaupun sering ditemukan pada
faringitis yang disebabkan oleh streptokokus, tidak bersifat diagnostik
dan dengan frekuensi tertentu dapat pula dijumpai pada faringitis yang
disebabkan oleh virus4. Konjungtivitis, rinitis, batuk, dan suara serak
jarang terjadi pada faringitis yang disebabkan streptokokus dan telah
dibuktikan, adanya 2 atau lebih banyak lagi tanda-tanda atau gejala-
gejala ini memberikan petunjuk pada diagnosis infeksi virus.
Bahan biakan tenggorokan merupakan satu-satunya metode yang
dapat dipercaya untuk membedakan faringitis oleh virus dengan
streptokokus2,4. Menurut Simon, diagnosa standar streptokokus beta
hemolitikus kelompok A adalah kultur tenggorok karena mempunyai
sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi tergantung dari teknik, sample
dan media. Bakteri yang lain seperti gonokokus dapat diskrening
dengan media Thayer-Martin hangat. Virus dapat dikultur dengan
media yang khusus seperti pada Epstein-Bar virus menggunakan
monospot. Secara keseluruhan dari pemeriksaan laboratorium
ditemukan adanya leukositosis.
Anamnesa
- Tenggorok terasa kering dan panas, kemudian timbul nyeri
menelan di bagian tengah tenggorok.
- Demam, sakit kepala, malaise.
Pemeriksaan
Tampak folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring
posterior atau terletak lebih lateral menjadi radang dan membengkak.
Tampak hiperemi, serta sekresi mucus meningkat.
f. Tata laksana
Untuk mengurangi nyeri tenggorokan diberikan obat pereda nyeri
(analgetik).
Obat hisap atau berkumur dengan larutan garam hangat.
Aspirin tidak boleh diberikan kepada anak-anak dan remaja yang
berusia dibawah 18 tahun karena bisa menyebabkan sindroma
Reye.
Jika diduga penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik.
Untuk mengatasi infeksi dan mencegah komplikasi (misalnya
demam rematik).
Jika penyebabnya streptokokus, diberikan tablet penicillin. Jika
penderita memiliki alergi terhadap penicillin bisa diganti dengan
erythromycin atau antibiotik lainnya.
Anti panas bila penderita panas
Makanan lembek, panas & pedas dilarang
g. Komplikasi
Sinusitis
Otitis media
Mastoidis
Abses Peritonsilar
Demam rematik
Glomerulonefritis
Komplikasi terpenting yaitu Deman Rematik (DR). Merupakan
penyakit peradangan akut yang menindak lanjuti faringitis yang
disebabkan oleh Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Penyakit
ini cenderung berulang dan dipandang sebagai penyebab penyakit
jantung didapat pada anak dan dewasa muda.
5. Laringitis
Laringitis adalah inflamasi laring yang dapat disebabkan oleh proses
infeksi ataupun noninfeksi.
a. Etiologi
Laringitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri atau jamur. Virus
merupakan etiologi laringitis yang paling sering, yaitu rhinovirus,
virus influenza, virus parainfluenza, adenovirus, coxsackievirus,
coronavirus, dan respiratory synsitial virus (RSV).
Sedangkan, beberapa bakteri yang menyebabkan laringitis yaitu :
Streptokokus grup A
Diphtheriae
Moraxella Catarrhalis
Mycobacterium tuberculosis; laringitis akibat bakteri ini
biasanya sulit dibedakan dengan kanker laring karena tidak
terdapat tanda, gejala, dan hasil pemeriksaan radiologis yang
spesifik
Jamur juga dapat menyebabkan laringitis, yaitu :
Histoplasma
Blastomyces; biasanya menyebabkan laringitis sebagai
komplikasi dari inflamasi sistemik
Candida; biasanya menyebabkan laringitis dan esofagitis pada
pasien imunosupresi
Coccidioides
Cryptococcus
Laringitis juga merupakan akibat dari penggunaan suara yang
berlebihan, pajanan terhadap polutan eksogen, atau infeksi pada pita
suara. Refluks gastroesofageal, bronkitis, dan pneumonia juga dapat
menyebabkan laringitis. Selain itu, laringitis berkaitan dengan rinitis
alergi. Onset dari laringitis berhubungan dengan perubahan suhu
yang tiba-tiba, malnutrisi, atau keadaan menurunnya sistem imun.
b. Patofisiologi
Laringitis diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu laringitis
akut dan laringitis kronik.Laringitis akut terjadi akibat infeksi bakteri
atau virus, penggunaan suara yang berlebih, inhalasi polutan
lingkungan. Laringitis akut ditandai dengan afonia atau hilang suara
dan batuk menahun. Gejala ini semakin diperparah dengan keadaan
lingkungan yang dingin dan kering. Sedangkan, laringitis kronik
ditandai dengan afonia yang persisten. Pada pagi hari, biasanya
tenggorokan terasa sakit namun membaik pada suhu yang lebih
hangat. Nyeri tenggorokan dan batuk memburuk kembali menjelang
siang. Batuk ini dapat juga dipicu oleh udara dingin atau minuman
dingin. Pada pasien yang memiliki alergi, uvula akan terlihat
kemerahan.
Laringitis kronik dapat terjadi setelah laringitis akut yang
berulang, dan juga dapat diakibatkan oleh penyakit traktus urinarisu
atas kronik, merokok, pajanan terhadap iritan yang bersifat konstan,
dan konsumsi alkohol berlebih. Tanda dari laringitis kronik ini yaitu
nyeri tenggorokan yang tidak signifikan, suara serak, dan terdapat
edema pada laring.
Laringitis pada anak sering diderita oleh anak usia 3 bulan
hingga 3 tahun, dan biasanya disertai inflamasi pada trakea dan
bronkus dan disebut sebagai penyakit croup. Penyakit ini seringkali
disebabkan oleh virus, yaitu virus parainfluenza, adenovirus, virus
influenza A dan B, RSV, dan virus campak. Selain itu, M.
Pneumoniae juga dapat menyebabkan croup.
Infeksi oleh bakteri dan virus menyebabkan inflamasi dan
edema pada laring, trakea, dan bronkus, sehingga menyebabkan
obstruksi jalan napas dan menimbulkan gejala, yaitu berupa afonia,
suara stridor, dan batuk. Produksi mukus dapat terjadi dan
menyebabkan obstruksi jalan napas semakin parah. Tidak terdapat
gangguan menelan. Gejala ini biasanya muncul saat malam hari dan
dapat membaik di pagi hari. Penyakit croup dapat sembuh sendiri
dalam waktu 3 – 5 hari.
c. Tanda dan Gejala
Afonia, yaitu suara serak atau hilang suara
Nyeri tenggorokan
Batuk karena teriritasi
Stridor, biasanya ditemukan pada anak-anak
Iritasi pada tenggorokan yang menggelitik sehingga memicu
keinginan untuk batuk, demam, dan nyeri tenggorokan
Rhinorrhea
Kongesti nasal
Pada pemeriksaan dengan laringoskopi, ditemukan tanda
laringitis yaitu eritem laring difus, edema, dan pembengkakan
vaskular pada pita suara. Pada laringitis kronik, dapat ditemukan
nodul dan ulkus pada mukosa.
d. Diagnosa
Diagnosis laringitis dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Hasil anamnesis
yang berkaitan dengan laringitis ini yaitu adanya batuk yang timbul
sering di malam hari dan terdengar kasar. Pemeriksaan fisik ini
mencakup pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan, dan leher.
Pemeriksaan tenggorokan ini dapat menggunakan scope yang kecil.
Scope ini dimasukkan melalui hidung hingga terlihat laringnya.
Pemeriksaan ini dapat memperoleh informasi mengenai keadaan
saraf laringeal yang mengatur pergerakan pita suara. Selain itu, suhu
tubuh dapat normal atau naik sedikit. Auskultasi perlu dilakukan
untuk menilai suara napas di kedua paru.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu :
Laringoskop, yang menunjukkan adanya pita suara yang
membengkak dan kemerahan
Kultur eksudat pada kasus laringitis yang lebih berat
Biopsi, yang biasanya dilakukan pada pasien laringitis kronik
dengan riwayat merokok atau ketergantungan alkohol
pemeriksaan laboratorium CBC (complete blood cell count)
pemeriksaan foto toraks pada tanda dan gejala yang berat
e. Penatalaksanaan
Istirahat yang cukup, terutama pada laringitis akibat virus.
Istirahat ini juga meliputi pengistirahatan pita suara
Pemberian antibiotik; antibiotik tidak disarankan kecuali bila
penyebab berupa streptokokus grup A dapat ditemukan melalui
kultur. Pada kasus ini, antibiotik yang dapat digunakan yaitu
penicillin
menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk
menghindari udara kering
konsumsi cairan yang banyak
konsumsi asetaminofen atau ibuprofen untuk mengurangi nyeri
berhenti merokok dan konsumsi alkohol
trakeostomi, jika terjadi edema laring
konsumsi antasida atau bloker histamin-2 pada laringitis dengan
penyebab GERD9
Sedangkan, penatalaksanaan laringitis kronik bergantung pada
mikroorganisme penyebabnya, yang biasanya ditemukan melalui
biopsi dan kultur.
f. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu laringitis kronik. Selain
itu, dapat terjadi perubahan suara jika gejala suara serak tersebut
terjadi selama 2 – 3 minggu. Perubahan suara ini dapat diakibatkan
oleh refluks asam lambung atau pajanan terhadap bahan iritan. Hal
tersebut berisiko untuk menimbulkan keganasan pada pita
suara. Pada pasien yang berusia lebih tua, laringitis bisa lebih parah
dan dapat menimbulkan pneumonia.
Penyakit croup jarang menimbulkan komplikasi, namun
beberapa komplikasi yang terjadi berkaitan dengan obstruksi jalan
napas, yaitu respiratory distress, hipoksia, atau superinfeksi bakteri.
Kortikostreoid dapat digunakan untuk mengurangi inflamasi.
Pemberian epinefrin aerosol menimbulkan efek konstriksi pada
mukosa dan dapat mengurangi edema.
Prognosis dari laringitis ini biasanya baik. Langkah
pencegahan laringitis yang dapat dilakukan yaitu :
- Menghindari pasien laringitis
- Mencuci tangan secara teratur
- Menghindari keramaian8
- Pemberian vaksin H. Influenzae pada anak-anak
- Tidak menggunakan suara secara berlebihan
6. Trakeitis
Suatu infeksi akut saluran pernafasan atas, tidak melibatkan epiglottis,
tetapi seperti epiglotitis dan croup dan mampu menyebabkan obstruksi
jalan nafas yang mengancam jiwa. Walaupun trakeitis seperti croup
namun pengobatan yang biasanya digunakan untuk croup (kabut, cairan
intravena, epinefrin rasemik aerosolisasi) tidak efektif untuk trakeitis.
Kebanyakan para penderita berumur kurang dari 3 tahun. Trakeitis
bakteri biasanya terjadi pada pascainfeksi virus pernafasan yang jelas
(terutama laringotrakeitis). Trakeitis merupakan komplikasi bakteri
penyakit virus, bukan penyakit bakteri primer.
a. Etiologi
Staphylococcus aureus
S. pyogenes, Streptococcus pneumoniae, dan alpha hemolytic
streptococcal species lainnya
Moraxella catarrhalis
Haemophilus influenzae type B (Hib)
Spesies Klebsiella
Spesies Pseudomonas
Bakteri anaerob
Mycoplasma pneumonia
b. Manifestasi Klinis
Batuk keras dan kasar
Demam tinggi
Stridor inspirasi yang perlahan bertambah buruk
Fase inspirasi memanjang, suara nafas tambahan biasanya
tidak terdengar
Pembengkakan mukosa pada setinggi kartilago krikoid
Sekresi purulen
c. Terapi
Terapi antimikroba yang tepat, yang biasanya meliputi agen
antistafilokokus diberikan pada penderita dengan croup yang
perjalanannya memberi kesan trakeitis bakteri sekunder. Bila
didiagnosis trakeitis bakteri dengan laringoskopi langsung atau
sangat dicurigai atas dasar klinis, jalan nafas buatan biasanya
terindikasi.
7. Frunkel Hidung
Furunkel adalah nyeri terbentuk pada mukosa oleh akibat inflamasi
disebabkan bakteri staphylococcus melalui folikel rambut.
a. Patofisiologi Furunkel
Infeksi dimulai dari peradangan pada folikel rambut pada kulit
(folikulitis) atau mukosa hidung yang menyebar pada jaringan
sekitarnya. Radang nanah yang dekat sekali dengan kulit disebut
pustule. Kulit diatasnya sangat tipis, sehingga nanah di dalamnya
dapat dengna mudah mengalir keluar. Sedangkan bisulnya sendiri
berada pada daerah kulit yang lebih dalam. Kadang-kadang nanah
yang berada dalam bisul diserap sendiri oleh tubuh tetapi lebih
sering mengalir sendiri melalui lubang pada kulit Pada vestibulum
nasi dapat menginfeksi vena facialis dan vena oftalmika lalu menuju
sinus kavernosus.
b. Etiologi
Permukaan kulit normal atau sehat dapat dirusak oleh karena iritasi,
tekanan, gesekan, hiperhidrosis, dermatitis, dermatofitosis, dan
beberapa faktor yang lain, sehingga kerusakan dari kulit tersebut
dipakai sebagai jalan masuknya Staphylococcus aureus maupun
bakteri penyebab lainnya. Penularannya dapat melalui kontak atau
auto inokulasi dari lesi penderita. Furunkulosis dapat menjadi
kelainan sistemik karena faktor predisposisi antara lain, alcohol,
malnutrisi, diskrasia darah, iatrogenic atau keadaan imunosupresi
termasuk AIDS dan diabetes mellitus. Jadi, furunkel dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Iritasi pada kulit atau mukosa
2. Kebersihan hidung yang kurang terjaga
3. Daya tahan tubuh yang rendah
4. Infeksi oleh Staphylococcus aureus
c. Gejala
Gejala yang sering ditemui pada furunkel adalah :
1. Nyeri pada daerah ruam
2. Ruam pada derah kulit yang berbentuk kerucut dan memiliki
pustule
3. Pustule dapat melunak dan mengalami nekrosis
4. Setelah seminggu kebanyakan akan pecah sendiri dan sebagian
dapat menghilang dengan sendirinya
d. Terapi
Dapat melakukan insisi dengan dan operasi.
B. Infeksi Saluran Pernafasan Bawah
1. Bronkitis
Infeksi dan inflamasi akut saluran napas besar
a. Etiologi
Virus (minimal 40%):
Influenza A dan B, Adenovirus, Rhinovirus, Coronavirus,
Parainfluenza virus, Respiratory synsitial virus, Herpes simplex.
Bakteri :
M. pneumoniae, M. catarrhalis, Chlamydia, S. Pneumonia
b. Gejala Klinis
Keluhan
1. Batuk dengan atau tanpa dahak
2. Demam ringan / sumer-sumer
3. Rasa tidak enak substernal
4. Sesak napas
5. Batuk darah
Pemeriksaan fisik : auskultasi dijumpai ronki basah, krepitasi, dan
wheezing.
c. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium : sputum cat gram, leukosit PMN dan kemungkinan
bakteri pathogen
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dengan foto
toraks tidak dijumpai infiltrat.
e. Diagnosis Banding
- Pneumoni
- Asma bronchial
f. Penyulit
Bronkospasme pasca infeksi yang ditandai dengan batuk tanpa
dahak dan wheezing sampai 4-6 minggu setelah infeksi reda.
Pneumoni.
g. Penatalaksanaan
1. Simtomatis
Antitusif : DMP 15 mg sehari 2 kali, codein 10 mg sehari 3 kali,
doveri 100 mg sehari 3 kali
Antipiretika : paracetamol 500 mg sehari 3 kali
Tidak perlu antibiotik
2. Terapi terhadap penyulit : bronkodilator, antibiotik.
2. Bronkiolitis
a. Definisi
Merupakan penyakit saluran pernapasan bagian bawah yang sering
ditemukan pada bayi-bayi, terjadi akibat obstruksi pada bronkiolus.
Penyakit ini terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan dengan puncak
kejadian pada usia kira-kira 6 bulan dan di berbagai daerah penyakit
ini merupakan penyebab perawatan bayi di rumah sakit.
b. Etiologi
RSV/ Respiratory syncytial virus (95% kasus)
Parainfluenza virus
Adenovirus
Rhinovirus
Virus Influenza
Mycoplasma pneumoni
c. Patofisiologi
1. Virus melekat pd sel epitel kolumner bersilia pembelahan virus,
sitonekrosis, odem dan radang penyempitan lumen bronkiolus
tekanan intratorak negatif selama inspirasi udara masuk,
terperangkap dalam ruang alveolus hiperinflasi, ventilasi dan
oksigenisasi terganggu
2. Obstruksi partial Emfisema
3. Obstruksi total Atelektasis
d. Gejala
Manifestasi Klinis
1. Biasanya didahului infeksi saluran nafas atas dengan batuk, pilek,
tanpa demam atau subfebris
2. Sesak napas makin hebat, disertai napas cepat dan dangkal. Terdapat dispneu
dengan expiratory effort , retraksi otot bantu napas, napas cepat dangkal
disertai napas cuping hidung,
3. sianosis sekitar hidung dan mulut
4. gelisah
5. ekspirium memanjang atau mengi
6. Jika obstruksi hebat suara napas nyaris tak terdengar, ronki basah halus
nyaring kadang terdengar pada akhir atau awal ekspirasi, suara perkusi paru
hipersonor.(2)
Gejalanya berupa:
1. Batuk
2. Wheezing
3. Sianosis
4. Takipneu (pernapasan cepat)
5. Retraksi Intercostal
Pemeriksaan Fisik : Inspeksi : Suhu subfebris, retraksi ICS
Perkusi : Hipersonor
Auskultasi : Ekspirasi Panjang, wheezing sound, ronkhi
Palpasi : Hepar lien teraba akibat hiper inflasi paru
e. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan foto dada anteropasterior dan lateral dapat
terlihat gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan diameter
anteroposterior membesar pada foto lateral serta dapat terlihat
bercak konsolidasi yang tersebar.
Analisis gas darah menunjukkan hiperkarbia sebagai tanda air
trapping asidosis respiratorik/metabolik.
f. Diagnosa
1. Diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran klinis yang khas
pemeriksaan fisik.
2. Foto Rontgen toraks menunjukkan paru-paru dalam keadaan
hipererasi dan diameter antero-posterior membesar pada foto
lateral. Pada sepertiga dari penderita ditemukan bercak-bercak
konsolidasi tersebar disebabkan atelektasis atau radang.
3. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran darah tepi
dalam batas normal, kimia darah menunjukkan gambaran asidosis
respiratorik maupun metabolik.
4. Usapan nasofaring menunjukkan flora bakteri normal.
g. Diagnosa Banding
1. Asma bronchial
Keadaan ini harus dibedakan dengan asma yang kadang-kadang
juga timbul pada usia muda. Anak dengan asma akan memberikan
respons terhadap pengobatan dengan bronkodilator, sedangkan
anak dengan bronkiolitis tidak.
2. Aspirasi benda asing
3. Bronkopneumonia
4. Bronkiolitis juga harus dibedakan dengan bronkopneumonia yang
disertai emfisema obstruktif dan gagal jantung.
5. Gagal jantung
6. Miokarditis
7. Fibrosis kistik
h. Penatalaksanaan
Untuk mengurangi demam dan rasa tidak enak badan, kepada
penderita dewasa bisa diberikan asetosal atau parasetamol; kepada
anak-anak sebaiknya hanya diberikan parasetamol.
Dianjurkan untuk beristirahat dan minum banyak cairan, serta
menghentikan kebiasaan merokok.
Antibiotik diberikan kepada penderita yang gejalanya menunjukkan
bahwa penyebabnya adalah infeksi bakteri (dahaknya berwarna
kuning atau hijau dan demamnya tetap tinggi) dan penderita yang
sebelumnya memiliki penyakit paru-paru.
Kepada penderita dewasa diberikan Kotrimoksazol. Tetrasiklin 250
– 500 mg 4 x sehari. Eritromisin 250 – 500 mg 4 x sehari diberikan
selama 7 – 10 hari. Dosis untuk anak : eritromisin 40 – 50
mg/kgBB/hari. Walaupun dicurigai penyebabnya adalah
Mycoplasma pneumoniae.
Kepada penderita anak-anak diberikan amoxicillin.
Bila ada tanda obstruksi pada pasien segera rujuk.
Anak harus ditempatkan dalam ruangan dengan kelembaban udara
yang tinggi, sebaiknya dengan uap dingin ('mist-tenf). Keadaan ini
dapat mencairkan sekret bronkus yang liat. Untuk tujuan ini dapat
juga diberikan pengobatan inhalasi.
Oksigen perlu diberikan walaupun anak belum dalam keadaan
sianosis.
Cairan intravena dengan elektrolit yang diperlukan diberikan untuk
mengoreksi asidosis respiratorik dan metabolik yang mungkin
timbul dan juga untuk mengoreksi kemungkinan dehidrasi
i. Komplikasi
1. Dehidrasi
2. Infeksi sekunder oleh bakteri
3. Pneumothorak
4. Emfisema paru
5. Gagal napas
6. Otitis media akut
7. Pneumonia bakterial
8. Gagal jantung jarang dijumpai.
j. Prognosis
Tergantung berat-ringannya penyakit, cepatnya pengananan dan
peny. penyerta (peny. jantung)
Masa kritis 48-72 jam sesudah dispneu dimulai
Angka,kematian < 1%
Anak biasanya meninggal karena jatuh dalam keadaan apnu yang
lama, asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau karena
dehidrasi yang disebabkan oleh takipnea dan kurang makan-
minum.
Perbedaan bronchitis akut dengan bronkhiolitis akut
Bronchitis akut Bronchiolitis akut
Pada anak (penderita
morbili, pertusis) dan
orang tua (dengan
penyakit paru
menahun, asma)
Lebih sering menyerang
anak (usia 2 bulan-
2tahun), juga bias
menyerang orang dewasa
(namun gejala kliniknya
tidak tampak)
Radang/infeksi pada
bronkus
Radang/infeksi pada
bronkiolus
Perbedaan Asma dengan BronchiolotisDIAGNOSIS Tanda
Asma - Riwayat mengi berulang, beberapa
diantaranya tidak berkaitan dengan
serangan batuk dan pilek
- Hiperinflasi dada
- Ekspirasi memanjang
- Pengurangan pemasukan udara
(jika berat terjadi obstruksi udara)
- Respon baik terhadap
bronkhodilator
Bronkhiolitis - episode pertama mengi pada anak
umur < 2 tahun
- Hiperinflasi dada
- Ekspirasi memanjang
- Pengurangan pemasukan udara
(jika berat terjadi obstruksi udara)
- Kurang / tidak respon terhadap
bronkhodilator
3. Bronkiektasis
a. Definisi :
Suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasis) dan
distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis, yang terkena umumnya
bronkus kecil
b. Etiologi :
Kongenital : terjadi sejak individu dalam kandungan , bronkhiektasis
mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru
Didapat :
- Infeksi : sering terjadi setelah anak menderita pneumonia yang sering
kambuh dan berlangsung lama,
- Obstruksi bronkus : obstruksi bronkus yang dimaksud dapat
disebabkan oleh :korpus alienum, karsinoma bronkus, atau tekanan
dari luar lainnya terhadap bronkus. Namun adanya infeksi ataupun
obstruksi tidak secara otomatis menyebabkan bronkhiektasis, faktor
intrinsik juga ikut berperan
c. Gejala
- Batuk kronik disertai produksi sputum
- Hemoptisis
- Pneumonia berulang
- Dispnea
- Demam berulang
d. Pemeriksaan
a. Darah : sering ditemukan anemia dan leukositosis
b. Urine : umumnya normal, kecuali bila sudah ada komplikasi
amiloidosis akan ditemukan proteinuria
c. Sputum : untuk menentukan kuman yang terdapat dalam sputum
d. Radiologis : kadang menunjukkan gambaran yang normal, ataupun
menunjukkan kista-kista kecil dengan fluid level mirip seperti
gambaran sarang tawon pada daerah yang terkena
e. Diagnosis
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan penunjang, dapat ditegakkan bila telah ditemukan
adanya dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan pemeriksaan
bronkografi
f. Diagnosis banding
- Bronkhitis kronik
- Tuberkulosis paru
- Abses paru
- Penyakit paru penyebab hemoptisis, misalnya: karsinoma paru,
adenoma paru
- Fistula bronkopleural dengan emplema
g. Prognosis
- Tergantung pada berat ringannya serta luasnya penyakit waktu
pasien berobat pertama kali
- Pemilihan obat secara tepat dapat memperbaiki prognosis penyakit.
4. Bronkopneumonia
Bronkopneumoniae merupakan salah satu jenis pneumonia yang
mempunyai pola penyebaran bercak, teratur dalam satu atau lebih area
terlokalisasi di dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru yang
berdekatan di sekitarnya (Smelzer & Suzanne C, 2002:57).
a. Etiologi
1. Bakteri : Streptococcus, Staphylococcus, H. Influenza,
Klebsiella
2. Virus : Legionella pneumonia
3. Jamur : Aspergillus spesies, Candida albicans
4. Aspirasi makana, sekresi orofaringeal
b. Patofisiologi
Bronkopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas
bagian atas. Dari saluran pernafasan bagian atas, bakteri bisa
menjalar ke saluran nafas bagian bawah dan juga bisa masuk ke
pembuluh darah.
Infeksi saluran nafas bagian bawah menyebabkan dilatasi
pembuluh darah alveoli, peningkatan suhu, dan edema antara kapiler
dan alveoli.
Ekspansi kuman melalui pembuluh darah bisa sampai ke
pencernaan dan menginfeksi sehingga terjadi peningkatan flora
normal di usus. Hal itu menyebabkan peningkatan gerakan peristaltik
sehingga terjadi diare. Diare ini akan menyebabkan keseimbangan
cairan tubuh akan terganggu.
c. Gejala
Demam
Batuk berdahak
Sesak nafas
Nyeri dada
Sakit kepala
Nyeri otot
Fatigue (kelelahan)
Delirium (kebingungan)
d. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah
Pada penderita bronkopneumoni pada pemeriksaan darah akan
ditemukan leukositosis.
Pemeriksaan sputum
Berguna untuk pemeriksaan mikroskopis dan kultur serta tes
sensifitas untuk mendeteksi agen infeksi.
Analisa gas garah
Untuk mengevaluasi status oksigenasi dan status asam basa.
Kultur darah untuk mendeteksi bakterimia,
Sampel darah, sputum, dan urine untuk tes imunologi untuk
mendeteksi antigen mikroba.
e. Pemeriksaan Radiologi
Rontgen Thorax
Jika pada foto toraks terdapat konsolidasi lobar maka terjadi
infeksi oleh pneumokokus atau klebsiella. Jika terdapat
gambaran infiltrate multiple makan terjadi infeksi oleh
sstafilokokus dan haemofilus.
Laringoskopi atau Bronkoskopi
Untuk menentukan apakan jalan nafas tersumbat oleh benda
padat atau tidak.
f. Penatalaksanaan
Oksigen 1-2 liter / menit
Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan
salin normal dan beta agonis untuk transpor muskusilier.
Koreksi gangguan keseimbangan asam basa elektrolit.
g. Komplikasi
Atelektasis
Empyema
Abses paru
Endokarditis
Meningitis
5. Pneumonia
a. Definisi
Pneumonia adalah penyakit infeksi saluran nafas bagian bawah akut
yang mengenai parenkim paru dan distal dari bronkiolus terminalis
(bronkiolus respiratori dan alveolus) yang menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan gas setempat.
Terutama menyerang bayi dan anak kecil. Kejadian tertinggi
ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan berkurang dengan
meningkatnya umur.
b. Etiologi
Cara terjadinya penularan berkaitan pula dengan jenis kuman,
misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan oleh Streotococcus
Pneumoniae, sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh P.
aeruginosa dan Enterobacter. Pada masa kini terjadi perubahan pola
mikroorganisme penyebab ISNBA akibat adanya perubahan keadaan
pasien seperti gangguan kekebalan, penyakit kronik, polusi
lingkungan, dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat.
JENIS MIKROORGANISME
Bakteri Pneumokokus, Streptokokus,
Stafilokokus, Hemophilus influenzae,
Pseudomonas aeruginosa
Virus atau
kemungkinan virus
Respiratory syncitial virus,
adenovirus, Sitomegalovirus, Virus
Influenza
Jamur Aspergilus, Koksidiomikosis,
Histoplasma, dll
Aspirasi Cairan amnion, makanan, cairan
lambung, benda asing
USIA BAKTERI PATOGEN
Neonatus Streptococcus group B, Escheria
coli, Klebsiella sp, Enterobactericeae
1-3 bulan Clamydia trachomatis
Usia prasekolah Streptococcus pneumonia,
Hemophilus influenzae type B,
Staphylococcus aureus,
Jarang : Streptococcus group A,
Moraxella catarhallis, Pseudomonas
Aeruginosa
Usia Sekolah Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumoniae
Ada tahapan-tahapan dalam infeksi pneumonia:
1. Kongesti (4 sampai 12 jam pertama)
Eksudat serosa masuk ke dalam alveoli melalui pembuluh darah yang
berdilatasi dan bocor.
2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya)
Paru tampak merah dan bergranula karena sel-sel darah merah, fibrin,
dan leukosit PMN mengisi alveoli.
3. Hepatisasi kelabu (3 sampai 8 hari berikutnya)
Paru tampak kelabu karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi
di dalam alveoli yang terserang.
c. Patofisiologi
Ketika manusia sakit, daya tahan tubuh menurun, sehingga terjadi
pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit.
Mekanisme mikroorganisme mencapai saluran pernapasan antara lain:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi
4. Kolonisasi di permukaan mukosa
Cara menginfeksinya:
Mikroorganisme dan sekret bronkus masuk ke dalam alveoli yang
nantinya menimbulkan radang (oedem). Lalu datanglah sel PMN dan
diapedesis sel eritrosit menginfiltrasi sekret tersebut sebagai
permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibody. Kemudian sel
PMN dengan bantuan leukosit mengelilingi lalu memfagosit bakteri.
Ketika itu, ada 4 zona :
- Zona luar: alveolus terisi cairan oedem dan mikroorganisme
- Zona permulaan konsolidasi: ketika terjadi infiltrasi PMN dan
eksudasi eritrosit
- Zona konsolidasi: ketika terjadi fagositosis, dan jumlah PMN
sangat banyak
- Zona resolusi: tempat terjadi resolusi dengan banyak
mikroorganisme mati, leukosit, makrofag alveolar
Beberapa orang yang rentan (mudah terkena) pneumonia adalah:
- Peminum alkohol
- Perokok
- Penderita diabetes
- Penderita gagal jantung
- Penderita penyakit paru obstruktif menahun
- Gangguan sistem kekebalan karena obat tertentu (penderita kanker,
penerima organ cangkokan)
- Gangguan sistem kekebalan karena penyakit (penderita AIDS).
- Pneumonia juga bisa terjadi setelah pembedahan (terutama
pembedahan perut) atau cedera (terutama cedera dada), sebagai akibat
dari dangkalnya pernafasan, gangguan terhadap kemampuan batuk
dan lendir yang tertahan.
Yang sering menjadi penyebabnya adalah Staphylococcus aureus,
pneumokokus, Hemophilus influenzae atau kombinasi ketiganya.
d. Gejala
Gejala-gejala yang biasa ditemukan adalah:
Batuk berdahak (dahaknya seperti lendir, kehijauan atau seperti
nanah)
Nyeri dada (bisa tajam atau tumpul dan bertambah hebat jika
penderita menarik nafas dalam atau terbatuk)
Menggigil
Demam
Mudah merasa lelah
Sesak nafas
e. Diagnosis
o Anamnesis
Diajukan untuk mengetahaui kemungkinan kuman penyebab yang
berhubungan dengan faktor infeksi
o Pemeriksaan fisik
Memperhatikan gejala klinis yang mengarah pada tipe kuman
penyebab/patogenesis kuman dan tingkat berat penyakit
o X-foto torax: infiltrat tersebar sampai bercak konsolidasi merata
o Laboratorium: leukositosis 15.000-40.000/mm, predominan PMN,
hitung jenis bergeser ke kiri, LED meningkat. Jika leukositosis
50.000-100.000/mm atau kurang dari 5000/mmprognosis buruk
o Pemeriksaan mikrobiologi atau serologi: untuk diagnosa etiologi
f. Diagnosa Banding
o Bronkiolitis
o Gagal jantung
o Aspirasi benda asing
o Ateletaksis
o Abses paru
o Tuberkulosis
g. Penatalaksanaan
o Antibiotika awal (24-72 jam pertama)
o Umur 1-2bln: ampicilin + aminoglikosida (gentamicin)
respons baik dilanjutkan 10-14 hari
o Umur >2bln: penicilin/ampicilin + kloramfenikoljika respons
baik dilanjutkan sd. 3 hari (biasanya cukup 5-7 hari)
o Antibiotika selanjutnya
o ditentukan atas dasar pemantauan ketat terhadap respons klinis
dalam 24-72 jam pengobatan awal
o Antibiotik pengganti
o tergantung pada kuman penyebab (gol. Sefalosporin)
o Simptomatik & Suportif
o Oksigen
o Cairan, kalori dan nutrisi yang memadai
o Fisioterapi
o Koreksi elektrolit-metabolik
o Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tat
laksana rutin yang harus diberikan. Inhalasi dengan B2 agonis
dapat dilakukan bila terdapat lendir yang berlebihan.
o Evaluasi hasil pengobatan
o Perbaikan klinis+radiologis
o Bila kelainan radiologis tidak membaik selam 4-6minggu perlu
dipikirkan adanya TB, CA dll.
h. Pengobatan
Pengobatan terdiri atas antibiotic dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotic pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data
mikroorganisme dan hasil uji kepekaan, akan tetapi akan tetapi karena
beberapa alasan, yaitu :
o Pneumonia yang berat dapat mengancam jiwa.
o Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai
penyebab pneumonia.
o Hasil pembiakan kuman memerlukan waktu maka pada penderita
pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris.
i. Komplikasi
Efusi pleura dan empiema: terjadi sekitar 45% kasus
Komplikasi sistemik: meningitis, endokarditis, perikarditis, dapat
terjadi bersamaan dengan abses paru, sepsis.
C. Penyakit Tropik
1. Avian Influenza
Avian influenza merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus
influenza A subtipe H5N1 (H=hemaglutinin; N=neuraminidase) yang pada
umumnya menyerang unggas (burung dan ayam).
Penyakit ini menular dari unggas ke unggas tetapi dapat juga
menular ke manusia (zoonosis).Sebagian besar kasus infeksi pada manusia
berhubungan dengan adanya riwayat kontak dengan peternakan unggas
atau benda yang terkontaminasi. Sumber virus diduga berasal dari migrasi
burung dan transportasi unggas yang terinfeksi.
Kejadian avian influenza menyebar di seluruh dunia. World Health
Organization (WHO) malaporkan negara-negara yang terjangkit avian
influenza adalah : Hongkong, Cina, Belanda, Vietnam, dan Thailand. Di
Hongkong avian influenza menyerang ayam dan manusia (tahun 1997).
Jumlah penderita sebanyak 18 orang dengan 6 kematian. Kejadian ini
merupakan pertama kali dilaporkan adanya penularan langsung dari
unggas ke manusia.
Etiologi
Avian influenza merupakan infeksi akibat virus influenza tipe
A.Virus influenza tipe A merupakan golongan orthomyxoviridae.Virus
influenza terdiri dari tiga tipe, yaitu: A,B dan C. Virus influenza tipe B dan
C dapat menyebabkan gejala penyakit yang ringan pada manusia dan
biasanya tidak fatal.
Virus influenza pada unggas dapat bertahan hidup di air sampai 4
hari pada suhu 22o C dan lebih dari 30 hari pada suhu 00 C. Didalam tinja
unggas dan dalam tubuh unggas yang sakit virus influenza dapat hidup
lebih lama, tetapi mati pada pemanasan 600 selama 30 menit, 56oC selama
3 jam dan pemanasan 80oC selama 1 menit. Virus akan mati dengan
deterjen, desinfektan misalnya: formalin cairan yang mengandung iodine
atau alkohol 70% .
Gejala Klinis
Masa inkubasi avian influenza sangat pendek, yaitu: 3 hari, dengan
rentang 2-4 hari.7,8 Virus avian influenza dapat menyerang berbagai organ
pada manusia, yaitu: paru-paru, mata, saluran pencernaan, dan sistem
syaraf pusat. Manifestasi klinis avian influenza pada manusia terdiri dari:
• Gejala penyakit seperti influenza tipikal, yaitu: demam, batuk, sakit
tenggorokan dan nyeri otot, sakit kepala, malaise
• Infeksi mata (konjungtivitis)
• Pneumonia
• Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
• Gangguan pada saluran cerna, yaitu: diare
• Kejang dan komaManifestasi klinis saluran napas bagian bawah biasanya timbul
pada awal penyakit. Dispnu timbul pada ari ke-5 setelah awal penyakit.
Disstres pernapasan dan takipnu sering dijumpai. Produksi sputum
bervariasi dan kadang-kadang disertai darah. Hamper pada semua pasien
menunjukkan gejala klinis pneumonia.
Laboratorium
Kelainan laboratorium yang sering dijumpai adalah: leukopeni,
limfopeni, trombositopeni dan peningkatan kadar aminotransferase. Di
Thailand peningkatan resiko kematian berhubungan dengan penurunan
jumlah leukosit, limfosit dan trombosit.
Radiologi
Kelainan radiologi pada avian influenza berlangsung sangat
progresif dan terdiri dari infiltrat yang difus dan multifokal, infiltrat pada
interstisial dan konsolidasi pada segmen atau lobus paru dengan air
bronchogram. Kelainan radiologis biasanya dijumpai 7 hari setelah
demam. Efusi pleura jarang dijumpai, data mikrobiologi yang terbatas
menyatakan bahwa efusi pleura terjadi apabila terdapat infeksi skunder
bakteri ketika di rawat di RS.
Diagnosis
Diagnosis pasti avian influenza dapat dilakukan dengan biakan
virus avian influenza. Pemeriksaan definitif lainnya adalah dengan
pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan lain adalah
imunofluoresen menggunakan H5N1 antibodi monoklonal, serta uji
serologi menggunakan ELISA atau IFAT untuk mendeteksi antibodi
spesifik. Tetapi berbagai pemeriksaan tersebut belum dapat dilakukan
secara luas di Indonesia dan hanya dapat dilakukan di laboratorium
Balitbang Depkes dan laboratorium NAMRU, serta masih memerlukan
konfirmasi laboratorium WHO di Hongkong.
Panduan klasifikasi avian influenza menurut Departemen
Kesehatan RI mengacu pada WHO adalah:
1. Kasus observasi, yaitu: pasien dengan demam > 38oC DAN salah satu
gejala berikut: batuk, radang tenggorokan, sesak nafas yang
pemeriksaan laboratoriumnya masih berlangsung.
2. Kasus tersangka, yaitu: kasus observasi DAN salah satu di bawah ini:
Hasil tes laboratorium positif untuk virus influenza A tanpa
mengetahui subtipenya
Kontak satu minggu sebelum timbul gejala dengan pasien flu
burung yang confirmed
Kontak 1 minggu sebelum timbul gejala dengan unggas yang mati
karena sakit
Bekerja di laboratorium 1 minggu sebelum timbul gejala yang
memproses sampel dari orang atau binatang yang disangka
terinfeksi Highly Pathogenic Avian Influenza.
3. Kasus kemungkinan (probable case) adalah kasus tersangka DAN hasil
laboratorium tertentu positif untuk virus influenza A (H5) seperti tes
antibodi spesifik pada 1 spesimen serum.
4. Kasus terbukti (confirmed case) adalah kasus tersangka yang
menunjukkan salah satu positif dari berikut ini:
Hasil biakan virus positif Influenza A (H5N1) ATAU
Hasil dengan pemeriksaan PCR positif untuk influenza H5 ATAU
Peningkatan titer antibodi spesifik H5 sebesar >4x
Hasil dengan IFA positif untuk antigen H5
Penatalaksanaan Tiga prinsip penatalaksanaan pasien dengan avian influenza adalah:
1. Implementasi dini dalam mengontrol infeksi untuk meminimalisasi
penyebaran nosokomial.
2. Penatalaksanaan secara tepat untuk mencegah semakin beratnya
penyakit dan mencegah kematian.
3. Identifikasi dini dan pemantauan terhadap resiko infeksi untuk
mempermudah intervensi dini dengan terapi antiviral untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas serta membatasi penyebaran
penyakit.
Medikamentosa yang digunakan sebagai terapi avian influenza
adalah obat yang selama ini bermanfaat dan telah dibuktikan berhasil
mengatasi virus influenza lainnya dan diekstrapolasikan untuk avian
influenza. Obat-obatan anti viral tersebut adalah: oseltamivir, zanamivir,
amantadin dan rimantadin. Tetapi dilaporkan bahwa resistensi cepat terjadi
pada obat tersebut, kecuali terhadap obat penghambat neuroamidase, yaitu:
oseltamivir dan zanamivir.
Saat ini antiviral yang direkomendasikan penggunaannya pada
avian influenza adalah oseltamivir. Oseltamivir harus diberikan 48 jam
setelah awitan gejala. Menurut American Academy of Pediatrics,
oseltamivir dapat diberikan pada anak dengan usia 1 tahun ke atas dan
tidak direkomendasikan untuk anak yang berumur kurang dari 1 tahun.
Dosis untuk terapi oseltamivir adalah: 2mg/kgBB/kali, diberikan dua kali
sehari selama 5 hari. Sedangkan untuk profilaksis diberikan pada anak
dengan usia 12 tahun ke atas, diberikan sekali sehari selama 7 hari.
Alternatif dosis lain yang dapat juga digunakan menurut WHO adalah:
Anak dengan BB ≤ 15 kg : 2x30mg/hari
Anak dengan BB 15-23 kg : 2x45mg/hari
Anak dengan BB 23-40 kg : 2x60mg/hari
Anak dengan BB >40kg : 2x75mg/hari
Oseltamivir tersedia dengan merek dagang Tamiflu. Walaupun oseltamivir
dan zanamivir dinyatakan berkhasiat untuk mengobati avian influenza
tetapi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan
efektifitasnya.
Pada tahun 2005 de Jong MD dkk, melaporkan 2 kasus resistensi
terhadap oseltamivir meskipun resistensi pada oseltamivir jarang terjadi ,
tetapi resistensi telah di deteksi pada 18% anak yang mendapat terapi
oseltamivir. Resistensi pada oseltamivir lebih sering terjadi pada anak di
bandingkan orang dewasa.
Selain pemberian terapi anti viral, pasien dengan infeksi avian
influenza juga di beri terapi berupa anti biotik.
2. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
a. Definisi
SARS merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh
virus Corona dengan sekumpulan gejala klinis yang berat.
b. Penularan
Melalui kontak langsung dengan membran mukosa (mata, hidung,
mulut) dengan droplet pasien yang terinfeksi.
Berbagai prosedur aerolisasi di RS (inhibisi, nebulisasi, suction,
dan ventilasi)dapat meningkatkan resiko penularan SARS.
c. Gejala
Demam >38oC
Myalgia
Menggigil dan rasa kaku-kaku di tubuh
Batuk non produktif
Nyeri kepala dan pusing
d. Pemeriksaan Penunjang
Foto thoraks untuk mengetahui ada tidaknya gambaran infiltrat
pneumonia pada pulmo.
Pemeriksaan darah perifer lengkap untuk menilai komposisi sel
darah dan pemeriksaan SGOT/SGPT.
Pemeriksaan spesifik CoV SARS
e. Tatalaksana
Suspek SARS
1. Observasi 2x24 jam keadaan umum, kesadaran, dan tanda
vital.
2. Terapi suportif
3. Antibiotik : Amoksilin / amoksilin + antibeta laktamase oral
ditambah makrolid generasi baru oral (roksitromisin,
klaritromisin, azitromisin).
Probable SARS
o Ringan / Sedang
1. Terapi suportif
2. Antibiotik
- Golongan betalaktam + anti betalaktamase
(intravena) ditambah makrolid generasi baru (oral)
- Sefalosporin generasi 2 atau 3 (intravena) +
makrolid generasi baru.
- Fluororkuinolon respirasi (intravena) :
Moxifloxacin, Levofloxacin, Gatifloxacin.
o Berat
1. Terapi Suportif
2. Antibiotik
Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas :
- Sefalosporin generasi ke 3 (intravena) non
pseudomonas + makrolid generasi baru.
- Fluorokuinolon respirasi
Ada faktor resiko infeksi pseudomonas :
- Sefalosporin anti pseudomonas (seftazidim,
sefoperazon, sefipim) / karbapenem (intravena) +
Fluorokuinolon anti pseudomonas (siprofloksasin)
ditambah makrolid generasi baru.
3. Kortikosteroid
- Hidrokortison (intravena) 4mg/kgBB tiap 8 jam
- Metilprednisolon (intravena) 240-320mg/hari
4. Ribavirin 1,2 gram oral tiap 8 jam/8mg/kgBB intravena
tiap 8 jam.
3. ARDS
ARDS adalah suatu sindrom gagal napas akut akibat kerusakan sawar
membran kapiler alveoli sehingga menyebabkan edema paru akibat
peningkatan permeabilitas. Hal ini dapat timbul sebagai komplikasi pada
berbagai penyakit interna dan bedah. Harus dibedakan antara ARDS
dengan acute lung injury (ALI) yaitu suatu bentuk ARDS yang lebih
ringan.
a. Patogenesis
Edema paru biasanya disebabkan peningkatan tekanan pembuluh
kapiler paru (misalnya pada gagal jantung kiri), tapi edema paru pada
ARDS timbul akibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar.
Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara tekanan onkotik
(osmotik) dan hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan
hidrostatik yang pada gagal jantung menyebabkan edema paru.
Sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan
volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada
sindrom nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik
sehingga terjadi edema paru.
Pada tahap awal terjadinya edema paru terdapat peningkatan
kandungan cairan di jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli.
Pada ARDS dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam
kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh.
Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel
endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin,
radikal bebas, dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin,
dan histamin. Proses kompleks ini dapat diinisiasi oleh berbagai
macam keadaan atau penyakit dan hasilnya adalah kerusakan endotel
yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli
menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak
mengandung neutrofil dan sel inflamasi sehingga terbentuk membran
hialin.
Karakteristik edema paru pada ARDS/ALI adalah tidak adanya
peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal). Hal ini dapat
dibuktikan dengan pemeriksaan Swan-Ganz cathether. Tekanan baji
paru menggambarkan tekanan atrium kiri dan pada ARDS < 18
mmHg.
b. Etiologi
ARDS terjadi jika paru-paru terkena cedera baik secara
langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan mekanisme
patogenesisnya maka penyakit dasar yang menyebabkan sindrom ini
dapat dibagi menjadi 2 kelompok :
1. Penyakit yang langsung mengenai paru-paru
- Aspirasi asam lambung
- Tenggelam
- Kontusio paru
- Infeksi paru yang difus
- Inhalasi gas toksik
- Keracunan oksigen
2. Penyakit yang tidak langsung mengenai paru-paru
- Sepsis
- Pankreatitis akut
- Trauma multipel
- Penyalahgunaan obat
- Renjatan hipovolemik
- Transfusi berlebihan
- Pasca transplantasi paru
- Pasca operasi pintas jantung-paru
c. Terapi ARDS
Terapi umum
- Istirahat
- Mutlak rawat inap untuk :
o Mengobati penyakit dasarnya
o Dipasang ventilator/intubasi dengan kecepatan pernapasan
15-25x/menit, kadar oksigen 100% lalu berangsur-angsur
diturunkan
o Continous positive airway pressure (CPAP) dapat mencegah
atelektaksis alveolar, mengurangi disfungsi ventilasi/perfusi
dan membantu kerja pernapasan
o Pemberian PEEP (positive End Expiratory Pressure) bila
kadar oksigen rendah, mulai dari tekanan 5 cm H2O
o Fisioterapi dan perubahan ke posisi telungkup
o Pemberian nitrat oksida (vasodilator pulmonal) dengan dosis
20 ppm
top related