reskiati wiradhika anwar (g 611 08 276)
Post on 23-Oct-2015
38 Views
Preview:
TRANSCRIPT
STUDI PENGARUH SUHU DAN JENIS BAHAN PANGAN TERHADAP STABILITAS MINYAK KELAPA
SELAMA PROSES PENGGORENGAN
Oleh
RESKIATI WIRADHIKA ANWARG 611 08 276
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGANJURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2012
STUDI PENGARUH SUHU DAN JENIS BAHAN PANGANTERHADAP STABILITAS MINYAK KELAPA
SELAMA PROSES PENGGORENGAN
Oleh
RESKIATI WIRADHIKA ANWARG 611 08 276
SKRIPSISebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIANpada
Jurusan Teknologi Pertanian
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGANJURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2012
2
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Studi Pengaruh Suhu dan Jenis Bahan Pangan Terhadap Stabilitas Mutu Minyak Kelapa Selama Proses Penggorengan
Nama : Reskiati Wiradhika Anwar
Stambuk : G 611 08 276
Program Studi : Ilmu dan Teknologi Pangan
Disetujui :
1. Tim Pembimbing
Dr.rer.nat. Zainal, STP. M.FoodTech Ir. Nandi K. Sukendar, M.AppSc
Mengetahui :
2. Ketua Jurusan Teknologi Pertanian 3. Ketua Panitia Ujian Sarjana
Prof. Dr. Ir. Hj. Mulyati M. Tahir. MS Prof. Dr.Ir. Elly Ishak, M.Sc
Tanggal Lulus : 26 Juli 2012
3
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar STP (Sarjana
Teknologi Pertanian). Terima kasih yang terkira kepada Allah SWT, yang
telah memberikan penulis kesempatan untuk mampu menjalani hidup ini
dengan sebaik-baiknya dan memberikan warna yang indah di hati
orang-orang yang menyayangi penulis dan penulis sayangi.
Sembah sujud penulis persembahkan untuk kedua orang tua penulis
tercinta Ayah ku Mayor CAJ Drs. H. Anwar Zainuddin dan Ibu ku
Hj. Sunarti Djumadi. Terima kasih atas semua do’a, perhatian, kasih
sayang, bantuan dan dukungan baik materi maupun moril yang tak pernah
henti-hentinya hingga penulis mampu berdiri sampai saat ini. Hanya dengan
kehadiran Ayah dan Ibu lah yang membuat penulis merasa tak akan pernah
sendiri dalam keadaan dan kondisi bagaimanapun. Semuanya itu tak akan
pernah dapat tergantikan dengan apapun dan sampai kapanpun. Ayah dan
Ibu adalah orang tua terhebat yang dihadiahkan Allah SWT untuk penulis
miliki.
Penelitian ini dapat penulis rampungkan berkat kesediaan
pembimbing untuk meluangkan waktunya guna memberikan petunjuk dan
arahan demi menghasilkan sesuatu yang lebih baik dalam penulisan skripsi
ini, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada
Dr.rer.nat. Zainal STP, M.FoodTech, selaku pembimbing I dan Ir. Nandi K.
Sukendar M.App.Sc, selaku pembimbing II. Tak lupa pula ucapan terima
4
kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hj. Mulyati M.Tahir, MS dan Dr. Ir. Rindam
Latief, MS selaku penguji yang telah meluangkan waktunya guna
memberikan masukan dan petunjuk menuju kesempurnaan dalam
penyusunan skripsi ini.
Penulis tak lupa menyampaikan terima kasih kepada :
1. Ketua Jurusan Teknologi Pertanian beserta seluruh staf dan karyawan
Jurusan Teknologi Pertanian.
2. Ketua Panitia Ujian Sarjana, Prof. Dr. Ir. Elly Ishak, M.Sc.
3. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, dan
4. Staf Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan
Yang telah banyak memberikan bantuan dan pengetahuan sehingga penulis
dapat menyelesaikan studi dan penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT
senantiasa melimpahkan Rahmat-Nya baik di dunia dan di akhirat.
Kakak adikku tersayang (Prihartini Amalia Anwar, Puspita
Hardianti Anwar, dan Aidah Nabilah Anwar), makasih sudah memberi
warna dalam hidup penulis. Maaf jika penulis pernah berbuat yang tak
mengenakkan hati, tetapi ketahuilah bahwa penulis sangat menyayangi
kalian.
Untuk Emi Hudria, Reskiyani Hasan K, Nesha PRM Sitompul, Sri
Rahmawati P, Meilty Christy Ishak, Nur Ilma, Andi Marina Reski dan tak
lupa Nurfajar Humair, terima kasih telah memberikan warna dan menjadi
salah satu bagian indah dalam hidupku, terima kasih atas segala bantuan
dan semangatnya, atas semua moment lucu, gembira, ataupun sedih yang
telah kita lalui bersama. Semoga hubungan yang indah ini akan tetap terjalin
sampai aku menutup mata. Amin....
5
Untuk rekan-rekanku se-PARANG’08, kanda-kanda, dan dinda-
dinda se-KMJ TP UH, terima kasih atas semua kisah seru yang takkan
terlupakan selama penulis mengenyam pendidikan di Teknologi Pertanian.
Kalian merupakan bagian dari perjalan hidup penulis. Dan penulis juga
mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang tak mampu penulis
jabarkan, atas segala do’a dan bantuannya yang telah ikhlas diberikan untuk
penulis hingga penulis mendapatkan gelar sarjana ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini. Untuk itu penulis sangat menanti saran dan kritik yang
membangun agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini
dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang pangan. Amin.
Makassar, 26 Juli 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP PENULIS
6
Reskiati Wiradhika Anwar lahir di Ujung Pandang tepatnya pada Tanggal
15 Januari 1991. Penulis dilahirkan dari pasangan Anwar Zainuddin dan
Sunarti.
Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah :
1. TK Yayasan Beribu, Bandung. Tahun 1994-1996.
2. Sekolah Dasar Sejahtera III, Bandung. Tahun 1996-1999.
3. Sekolah Dasar Inpres Perumnas, Makassar. Tahun 1999-2002.
4. Sekolah Lanjut Tingkat Pertama 2, Kendari. Tahun 2002-2005.
5. Sekolah Menengah Umum 5, Makassar. Tahun 2005-2008.
6. Pada tahun 2008, penulis diterima di Perguruan Tinggi Universitas
Hasanuddin Makassar, Program Strata Satu (S1) sebagai mahasiswa
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian,
Fakultas Pertanian.
Selama menjalani studinya di Universitas Hasanuddin, penulis pernah
menjadi asisten Aplikasi Teknik Laboratorium, Pengantar Komputer, Aplikasi
Perubahan Kimia Pangan, Aplikasi Bioteknologi Pangan dan Aplikasi
Biokimia Pasca Panen. Penulis juga aktif dalam organisasi Himpunan
Mahasiswa Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin (HIMATEPA UH).
Reskiati Wiradhika Anwar, G 61108276. Studi Pengaruh Suhu dan Jenis
Bahan Pangan Terhadap Stabilitas Minyak Kelapa Selama Proses
7
Penggorengan. Dibawah bimbingan Zainal dan Nandi K Sukendar.
RINGKASAN
Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh suhu dan bahan pangan terhadap stabilitas mutu minyak kelapa selama proses penggorengan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas minyak kelapa produksi enzimatik yang belum pernah dipakai, lima kali pemakaian, sepuluh kali pemakaian, dan lima belas kali pemakaian, serta tingkat kesukaan panelis dari bahan pangan yang digoreng. Dengan variabel suhu (170C dan 190C) dan bahan pangan (french fries dan ayam tepung). Parameter pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kadar asam lemak bebas, total materi polar (Total Polar Material, TPM), viskositas, dan organoleptik dengan metode hedonik pada minyak serta produk gorengan. Pengolahan data yang digunakan menggunakan RAK Faktorial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan minyak disarankan hanya hingga 10 kali pemakaian. Hal ini berdasarkan analisa yang digunakan dari analisa fisik dan kimia dari minyak goreng dan produk goreng yang dihasilkan.
Kata Kunci : penggorengan, suhu, deep fryer, ayam tepung, french fries
Reskiati Wiradhika Anwar, G 61108276. Study Effect of Temperature and
Kind Foods to The Stability Coconut Oils During Frying Processing.
8
Supervised by Zainal and Nandi K Sukendar.
ABSTRACK
The research about the effect of temperature and fried foods on the stability of coconut oils during frying process has been conducted. The aim of the research to know the quality changes of coconut oil during frying process. It is also evaluated the preference of panelist fried foods. The treatments were frying temperature (170C and 190C) and type of foods (french fries and floured fried chicken). It was analysed the free fatty acid, total polar material (TPM), viscosity of the frying oils and the organoleptic propertice (hedonic methods) of the frying oils and food goods. Data was processed by using Factorial RCBD. The results showed that the use of cooking oil is recommended just until ten times used. This based on the chemical and physical analysis of frying oils and fried goods.
Keyword : frying,temperature, deep fryer, flured fried chicken, french fries
DAFTAR ISI
9
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................ x
DAFTAR TABEL ................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xiv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ....................................................... 2
C. Tujuan dan Kegunaan ..................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Minyak Goreng ................................................................ 4
B. Minyak Kelapa ................................................................. 7
C. Sifat-Sifat Minyak ............................................................ 10
D. Stabilitas Minyak Goreng ................................................. 13
E. Proses Penggorengan ..................................................... 18
F. Perubahan Sifat Fisiko Kimia Minyak Selama
Penggorengan.................................................................. 26
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat .......................................................... 30
B. Alat dan Bahan ................................................................ 30
C. Prosedur Penelitian ......................................................... 30
D. Perlakuan Penelitian ....................................................... 31
E. Parameter Pengamatan .................................................. 32
F. Pengolahan Data ............................................................. 34
10
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kandungan Asam Lemak Bebas ..................................... 35
B. Kandungan Total Polar Materials (TPM) ......................... 37
C. Viskositas ........................................................................ 39
D. Organoleptik .................................................................... 41
1. Pada Minyak Goreng ................................................. 41
2. Pada Produk Goreng ................................................. 45
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...................................................................... 51
B. Saran ............................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 52
LAMPIRAN .......................................................................................... 55
DAFTAR TABEL
11
No Teks Halaman
01 SNI 01-3741-2002 tentang Standar Mutu Minyak Goreng 6
02 Perbandingan Sifat Fisika-Kimia Minyak Kelapa, Minyak Kelapa Sawit dan Lemak Hewani
8
03 Minyak yang Terserap pada Produk Deep Frying 24
04 Nilai Kandungan Gizi Kentang dan Ayam 25
DAFTAR GAMBAR
12
No Teks Halaman
01 Proses Oksidasi Lemak (Winarno, 2002) 15
02 Arah Medan Listrik (a), Orientasi Medan Listrik dengan dan Tanpa Molekul Polar (b) (Zainal, 2010)
17
03 Reaksi-Reaksi yang Terjadi Selama Proses Deep Frying (Quaglia dan Bucarelli, 2001)
22
04 Struktur Dasar Bahan Pangan Yang Digoreng (Ketaren, 2008)
22
05 Reaksi Hidrolisis yang Terjadi pada Minyak Goreng (Ketaren, 2008)
28
06 Perbandingan Kandungan Asam Lemak Bebas pada Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
36
07 Perbandingan Total Polar Materials (TPM) pada Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
38
08 Perbandingan Viskositas pada Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
40
09 Perbandingan Hasil Organoleptik Warna Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
42
10 Perbandingan Hasil Organoleptik Aroma Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
43
11 Perbandingan Hasil Organoleptik Warna Produk Gorengan Hasil Pemakain Minyak Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
45
12 Perbandingan Hasil Organoleptik Aroma Produk Gorengan Hasil Pemakaian Minyak Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
47
13 Perbandingan Hasil Organoleptik Tekstur Produk Gorengan Hasil Pemakaian Minyak Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
48
14 Perbandingan Hasil Organoleptik Rasa Produk Gorengan Hasil Pemakaian Minyak Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
49
DAFTAR LAMPIRAN
13
No Teks Halaman
1a Data Hasil Analisa Asam Lemak Bebas pada Minyak yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
55
1b Data Asam Lemak Bebas Hubungan Antara Suhu dan Pemakaian Minyak Berulang Kali
55
1c Hasil Analisa Sidik Ragam Asam Lemak Bebas pada Minyak yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
55
1d Hasil Uji BNT Pengaruh Jenis Bahan Pangan Terhadap Kadar Asam Lemak Bebas pada Minyak Goreng
56
2a Data Hasil Analisa Total Polar Materials (TPM) pada Minyak yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
56
2b Data Total Polar Materials (TPM) Hubungan Antara Suhu dan Pemakaian Minyak Berulang Kali
56
2c Hasil Analisa Sidik Ragam Total Polar Materials (TPM) pada Minyak yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
56
2d Hasil Uji BNT Pengaruh Jenis Bahan Pangan Terhadap Total Polar Materials (TPM) pada Minyak Goreng
57
2e Hasil Uji BNT Pengaruh Pemakaian Minyak Berulang Kali pada French Fries Terhadap Total Polar Materials (TPM) pada Minyak Goreng
57
2f Hasil Uji BNT Pengaruh Pemakaian Minyak Berulang Kali pada Ayam Tepung Terhadap Total Polar Materials (TPM) pada Minyak Goreng
57
3a Data Hasil Analisa Viskositas pada Minyak yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
57
3b Data Viskositas Hubungan Antara Suhu dan Pemakaian Minyak Berulang Kali
58
3c Hasil Analisa Sidik Ragam Viskositas pada Minyak yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
58
3d Hasil Uji BNT Pengaruh Bahan Pangan Terhadap Viskositas pada Minyak Goreng
58
14
4a Data Hasil Organoleptik Terhadap Warna Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
59
4b Data Hasil Organoleptik Terhadap Aroma Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
59
5a Data Hasil Organoleptik Terhadap Warna Produk Goreng yang Digoreng dengan Minyak Pemakaian Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
60
5b Data Hasil Organoleptik Terhadap Aroma Produk Goreng yang Digoreng dengan Minyak Pemakaian Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
60
5c Data Hasil Organoleptik Terhadap Tekstur Produk Goreng yang Digoreng dengan Minyak Pemakaian Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
61
5d Data Hasil Organoleptik Terhadap Rasa Produk Goreng yang Digoreng dengan Minyak Pemakaian Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
61
6 Dokumentasi Gambar 62
15
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Minyak erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Minyak
terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang
berbeda-beda. Minyak seringkali ditambahkan dengan sengaja ke bahan
makanan dengan berbagai tujuan. Minyak kelapa yang digunakan
sebagai minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat
Indonesia dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Proses ekstraksi minyak kelapa dapat dilakukan dengan cara
kering maupun cara basah. Proses ekstraksi secara kering tujuannya
mengekstraksi minyak dari kopra dengan pengepresan. Sedangkan
dengan cara basah dilakukan untuk memisahkan minyak dari santan
kelapa. Cara basah ini telah banyak dikembangkan salah satunya dengan
adanya penambahan enzim yang bertujuan untuk mempercepat proses
pemisahan minyak dari komponen lain. Enzim yang dapat digunakan
berupa enzim protease yang dapat memecah molekul protein pada
santan tanpa merusak komponen lemak didalamnya. Dalam
pengembangan proses ekstraksi minyak kelapa dengan menggunakan
metode enzimatik untuk mendapatkan kualitas minyak goreng yang baik
sangat erat kaitannya dalam pengaplikasian penggunaannya selama
proses penggorengan.
16
Menggoreng bahan pangan banyak dilakukan di Indonesia karena
merupakan suatu metode memasak bahan pangan yang umum
dilakukan. Bahan pangan hasil gorengan merupakan sebagian besar dari
menu makanan manusia. Pada proses penggorengan, minyak goreng
berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih,
menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan. Minyak goreng yang
dikonsumsi sangat erat kaitannya bagi kesehatan kita. Minyak yang
berulang kali digunakan dapat menyebabkan penurunan mutu bahkan
akan menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
Banyak faktor penyebab kerusakan mutu minyak goreng, selain
penggunaan minyak goreng yang berulang kali juga tingkat suhu serta
bahan pangan yang digoreng. Penggunaan suhu pada saat
penggorengan mempengaruhi kualitas minyak yang telah digunakan.
Sedangkan komponen yang terdapat pada bahan pangan akan
terdispersi kedalam minyak goreng yang digunakan dan dapat
menimbulkan dampak yang berbeda-beda pada setiap bahan pangan
tergantung dari komponen apa saja yang terkandung didalamnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati stabilitas mutu minyak goreng
yang dihasilkan secara enzimatis (enzim bromelin) selama proses
penggorengan.
B. Perumusan Masalah
Stabilitas mutu minyak kelapa hasil ekstraksi dengan enzim
bromelin akan diuji dalam penggunaannya yang berulang kali serta
penetapan tingkat suhu dan bahan pangan yang berbeda yang akan
17
digoreng. Pengujian tersebut dapat dilakukan dengan mengamati
beberapa parameter tingkat kestabilan minyak goreng selama proses
penggorengan. Parameter stabilitas minyak yang digunakan berupa
viskositas, kandungan asam lemak bebas, kadar total materi polar, dan
pengujian organoleptik berupa warna dan aroma.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui tingkat kestabilan minyak goreng yang dihasilkan
dengan metode enzimatik selama proses penggorengan.
2. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahan pangan dan suhu
selama proses penggorengan terhadap minyak goreng yang
digunakan.
3. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan minyak goreng pada produk
pangan yang dihasilkan dari proses penggorengan terhadap sifat
organoleptik.
Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai informasi dan referensi mengenai karakteristik tingkat
kestabilan minyak goreng yang digunakan selama proses
penggorengan.
2. Untuk memberikan informasi mengenai penggunaan suhu dan
pemakaian minyak yang tepat untuk diterapkan pada kehidupan
sehari-hari.
18
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Minyak Goreng
Minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas,
penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori (Winarno, 2004).
Menurut SNI 01-3741-2002 (BSN, 2002), minyak goreng didefinisikan
sebagai minyak yang diperoleh dengan cara memurnikan minyak makan
nabati. Minyak nabati merupakan minyak yang diperoleh dari serealia
(jagung, gandum, beras, dan lain-lain), kacang-kacangan (kacang
kedelai, kacang tanah, dan lain-lain), palma-palmaan (kelapa dan kelapa
sawit), dan biji-bijian (biji bunga matahari, biji wijen, biji tengkawang, biji
kakao, dan lain-lain) (Nugraha, 2004).
Tidak semua minyak nabati dapat dipakai untuk menggoreng.
Menurut Ketaren (2008), minyak yang termasuk golongan setengah
mengering (semi drying oil) misalnya minyak biji kapas, minyak kedelai,
dan minyak biji bunga matahari tidak dapat digunakan sebagai minyak
goreng. Hal ini disebabkan karena jika minyak tersebut kontak dengan
udara pada suhu tinggi akan mudah teroksidasi sehingga berbau tengik.
Minyak yang dipakai menggoreng adalah minyak yang tergolong dalam
kelompok non drying oil, yaitu minyak yang tidak akan membentuk
lapisan keras bila dibiarkan mengering di udara, contohnya adalah
minyak sawit.
Mutu minyak goreng sangat dipengaruhi oleh komponen asam
lemaknya karena asam lemak tersebut akan mempengaruhi sifat fisik,
kimia, dan stabilitas minyak selama proses penggorengan. Menurut Stier
19
(2003), trigliserida dari suatu minyak atau lemak mengandung sekitar
94-96% asam lemak. Selain komponen asam lemaknya, stabilitas minyak
goreng dipengaruhi pula derajat ketidakjenuhan asam lemaknya,
penyebaran ikatan rangkap dari asam lemaknya, serta bahan-bahan yang
dapat mempercepat atau memperlambat terjadinya proses kerusakan
minyak goreng yang terdapat secara alami atau yang sengaja
ditambahkan.
Mutu minyak goreng ditentukan pula oleh titik asapnya, yaitu suhu
pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan
dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Bila minyak mengalami
pemanasan yang berlebihan, gliserol akan mengalami kerusakan dan
kehancuran dan minyak tersebut segera mengeluarkan asap biru yang
sangat mengganggu lapisan selaput mata. Hidrasi gliserol akan
membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik
asap, makin tinggi mutu minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak
goreng tergantung dari kadar gliserol bebasnya. Lemak yang telah
digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan menurun, karena telah
terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena itu untuk menekan terjadinya
hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada suhu
yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada umumnya suhu
penggorengan adalah 177-221C (Winarno, 2004).
Minyak goreng yang telah digunakan berulang kali atau yang lebih
dikenal dengan minyak jelantah adalah minyak limbah. Minyak ini
merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga
umumnya, dapat digunakan kembali untuk keperluaran kuliner, akan
20
tetapi bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung
senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses
penggorengan (Anonim, 2011a).
Standar mutu minyak goreng telah dirumuskan dan ditetapkan
oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) yaitu SNI 01-3741-2002, SNI ini
merupakan revisi dari SNI 01-3741-1995, menetapkan bahwa standar
mutu minyak goreng seperti pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. SNI 01-3741-2002 tentang Standar Mutu Minyak GorengKRITERIA UJI SATUAN SYARAT
Keadaan bau, warna dan rasa - NormalAir % b/b Maks 0.30Asam lemak bebas (dihitung sebagai asam laurat)
% b/b Maks 0.30
Bahan Makanan Tambahan Sesuai SNI. 022-M dan Permenkes
No. 722/Menkes/Per/IX/88Cemaran Logam : - Besi (Fe) - Tembaga (Cu) - Raksa (Hg) - Timbal (Pb) - Timah (Sn) - Seng (Zn)
Mg/kgMg/kgMg/kgMg/kgMg/kgMg/kg
Maks 1.5Maks 0.1Maks 0.1Maks 40.0Maks0.005
Maks 40.0/250.0)*Arsen (As) % b/b Maks 0.1Angka Peroksida % mg 02/gr Maks 1Catatan * Dalam kemasan kaleng
Sumber : Standar Nasional Indonesia
Dalam memilih minyak goreng ada beberapa syarat yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1. Minyak goreng harus memiliki umur pakai yang lama dan ekonomis.
2. Tahan terhadap tekanan oksidatif.
3. Memiliki kualitas seragam.
4. Mudah untuk digunakan, baik dari segi bentuk (fluid shortening lebih
mudah dari pada solid shortening) maupun dari kemudahan
pengemasan.
21
5. Memiliki titik asap yang tinggi dan kandungan asapnya rendah setelah
digunakan untuk menggoreng.
6. Mengandung flavor alami dan tidak menimbulkan off flavor pada
produk yang digoreng.
7. Mampu menghasilkan tekstur, warna, dan tidak menimbulkan
pengaruh greasy pada permukaan produk.
Mohamed Sulieman et al. (2001), menyatakan bahwa pemilihan minyak
goreng tergantung pada banyak faktor seperti ketersediaan, performa
penggorengan, aroma, dan kestabilan produk pada saat penyimpanan.
B. Minyak Kelapa
Minyak kelapa berdasarkan kandungan asam lemak digolongkan
ke dalam minyak asam laurat, karena kandungan asam lauratnya paling
besar jika dibandingkan dengan asam lemak lainnya. Berdasarkan tingkat
ketidakjenuhannya yang dinyatakan dengan bilangan iod (iodine value),
maka minyak kelapa dapat dimasukkan ke dalam golongan non drying
oils, karena bilangan iod minyak tersebut berkisar antara 7,5-10,5.
Komposisi asam lemak minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 2. Dari
tabel tersebut dapat dilihat bahwa asam lemak jenuh minyak kelapa lebih
kurang 9%. Minyak kelapa mengandung 84% trigliserida dengan tiga
molekul asam lemak jenuh, 12% trigliserida dengan dua asam lemak
jenuh dan 4% trigliserida dengan satu asam lemak jenuh (Ketaren, 2008).
22
Tabel 2. Perbandingan Sifat Fisika-Kimia Minyak Kelapa, Minyak Kelapa Sawit dan Lemak Hewani
Karakteristik Minyak Kelapa Minyak Kelapa Sawit Minyak Hewani
Berat spesifik 0.915-0.920 (30C) 0.888-0.889 (50C) 0.893-0.904 (20C)
Indeks bias 1.448-1.449 (40C) 1.455-1.456 (50C) 1.448-1.460 (40C)
Titik leleh (C) 25-28 35.5-45 40-49
Titik cair (C) 20-24 40.7-49 45-48
Bilangan iod 7.5-10.5 46-56 40-49
Angka tak tersaponifikasi
0.1-0.8 0.15-0.99 <0.8
Angka penyabunan 248-264 190-202 190-202
Komponen Asam Lemak (%) :Kaproat (C-6:0)Kaprilat (C-8:0)Kaprat (C-10:0)Laurat (C-12:0)Miristat (C-14:0)Palmitat (C-16:0)Stearat (C-18:0)Oleat (C-18:1)Linoleat (C-18:2)Arachidat(C-21:0)
0.4-0.66.9-9.46.2-7.8
45.9-50.316.8-19.2
7.7-9.72.3-3.25.4-7.43.1-2.1
<0.2
---
0.1-1.00.9-1.5
41.8-46.84.5-5.1
37.3-40.89.1-11.00.2-0.7
---
<0.21.4-7.8
17.0-37.06.0-40.0
26.0-50.00.5-5.0
<0.5Sumber :O’Brien, 2003.
Minyak kelapa yang belum dimurnikan mengandung sejumlah
kecil komponen bukan minyak, misalnya fosfotida, gum, sterol
(0,06-0,08%), tokoferol (0,003%) dan asam lemak bebas (kurang dari
5%), sterol yang terdapat di dalam minyak nabati disebut phitosterol dan
mempunyai dua isomer, yaitu beta sitosterol (C29H50O) dan stigmasterol
(C29H48O). Sterol bersifat tidak berwarna, tidak berbau, stabil, dan
berfungsi sebagai stabilizer dalam minyak. Tokoferol mempunyai empat
isomer, yaitu α-tokoferol, -tokoferol, -tokoferol, dan -tokoferol.
Persenyawaan tokoferol bersifat tidak dapat disabunkan, dan berfungsi
sebagai antioksidan. Warna cokelat pada minyak yang mengandung
protein dan karbohidrat bukan disebabkan oleh zat warna alamiah, tetapi
oleh reaksi browning. Warna ini merupakan hasil reaksi dari senyawa
karbonil (berasal dari pemecahan peroksida) dengan asam amino dari
23
protein, dan terjadi terutama pada suhu tinggi. Warna pada minyak
kelapa disebabkan oleh zat warna dan kotoran-kotoran lainnya. Zat
warna alamiah yang terdapat pada minyak kelapa adalah karoten yang
merupakan hidrokarbon tidak jenuh dan tidak stabil pada suhu tinggi.
Pada pengolahan minyak menggunakan uap panas, maka
warna kuning yang disebabkan oleh karoten akan mengalami
degradasi (Ketaren, 2008).
Teknik enzimatik pada proses pembuatan minyak kelapa
merupakan metode untuk denaturasi protein dengan bantuan enzim.
Beberapa jenis enzim yang dapat digunakan pada proses ini misalnya
papain, bromelin, poligalakturonase, atau protease. Enzim yang
digunakan diharapkan mempunyai kegiatan yang berperan sebagai
proteolitik, amilolitik, dan lipolitik dalam hidrolisis dari protein, karbohidrat
dan lemak (Anonim, 2011b).
Salah satu enzim protease yang umum dilakukan adalah enzim
bromelin. Enzim bromelin merupakan enzim proteolitik yang ditemukan
pada bagian batang dan buah nanas (Ananas comosus). Enzim ini
diproduksi sebagai hasil sampingan dari pabrik jus nanas. Dalam
memproduksi bromelin, beberapa senyawa yang dapat digunakan untuk
presipitasi (pengendapan) enzim ini adalah amonium sulfat dan alkohol.
Bromelin merupakan salah satu jenis enzim protease sulfhidril
yang mampu menghidrolisis ikatan peptida pada protein atau polipeptida
menjadi molekul yang lebih kecil yaitu asam amino. Bromelin ini
24
berbentuk serbuk dengan warna putih bening sampai kekuning-kuningan,
berbau khas, larut sebagian dalam aseton, eter, dan CHCl3, stabil pada
pH 3,0-5,5. Suhu optimum enzim bromelin adalah 50-80°C (Anonim,
2011c).
C. Sifat-Sifat Minyak
Sifat-sifat minyak goreng dibagi ke sifat fisik dan kimia. Sifat fisik
terdiri dari warna, odor dan flavor, kelarutan, titik cair dan polymorphism,
titik didih (boiling point), titik lunak (softening point), slipping point, shot
melting point, bobot jenis, indeks bias, titik asap, dan titik kekeruhan
(turbidity point). Sedangkan sifat kimia terdiri dari hidrolisa, oksidasi,
hidrogenasi, dan esterfikasi (Anonim, 2011d).
Zat warna dalam minyak terdiri dari dua golongan yaitu zat warna
alamiah dan warna dari hasil degradasi zat warna alamiah. Zat warna
yang tergolong zat warna alamiah yaitu zat warna yang secara alamiah
di dalam bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama
minyak pada proses ekstraksi. Zat warna tersebut antara lain terdiri
dari α dan β karoten, xantofil, klorofil, dan antosianin, zat warna ini
menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecokelatan,
kehijau-hijauan dan kemerahan-merahan. Pigmen berwarna merah jingga
atau kuning disebabkan oleh karotenoid yang bersifat larut dalam minyak.
Karotenoid merupakan persenyawaan hidrokarbon tidak jenuh. Jika
minyak dihidrogenasi, karoten tersebut juga ikut terhidrogenasi, sehingga
25
intensitas warna kuning berkurang. Karotenoid bersifat tidak stabil
padasuhu tinggi, dan jika minyak dialiri uap panas, maka warna kuning
akan hilang. Karotenoid tersebut tidak dapat dihilangkan dengan proses
oksidasi (Ketaren, 2008).
Golongan kedua yaitu zat warna dari hasil degradasi zat warna
alamiah, yaitu warna gelap disebabkan oleh proses oksidasi terhadap
tokoferol (vitamin E). Warna cokelat disebabkan oleh bahan untuk
membuat minyak yang telah busuk atau rusak, warna kuning umumnya
terjadi pada minyak tidak jenuh (Anonim, 2011d).
Warna gelap dapat terjadi selama proses pengolahan dan
penyimpanan, yang disebabkan oleh suhu pemanasan yang terlalu tinggi
pada waktu pengepresan dengan cara hidraulik atau expeller, sehingga
sebagian minyak teroksidasi. Disamping itu minyak yang terdapat dalam
suatu bahan, dalam keadaan panas akan mengektsraksi zat warna yang
terdapat dalam bahan tersebut. Pengepresan bahan yang mengandung
minyak dengan tekanan dan suhu yang lebih tinggi akan menghasilkan
minyak dengan warna yang lebih gelap. Logam Fe, Cu, dan Mn akan
menimbulkan warna yang tidak diingini dalam minyak (Ketaren, 2008).
Pengukuran warna telah digunakan sebagai parameter kualitas
minyak goreng. Namun, warna tidak dapat digunakan sebagai indikator
degradasi atau kerusakan minyak. Hal ini disebabkan oleh tidak
terdapatnya korelasi antara perubahan warna minyak goreng dengan
hasil degradasi minyak goreng yang mempengaruhi kualitas produk akhir.
26
Warna minyak goreng yang telah digunakan berulang kali lebih
gelap dibandingkan minyak goreng segar. Hal ini disebabkan
senyawa-senyawa hasil degradasi minyak goreng akibat pemanasan
(Blumenthal, 1996).
Odor dan flavor, terdapat secara alami dalam minyak dan juga
terjadi karena pembentukan asam-asam yang berantai sangat pendek.
Kelarutan, minyak tidak larut dalam air kecuali minyak jarak (castor oil),
dan minyak sedikit larut dalam alkohol, etil eter, karbon disulfida dan
pelarut-pelarut halogen. Titik cair dan polymorphism, minyak tidak
mencair dengan tepat pada suatu nilai temperatur tertentu. Polymorphism
adalah keadaan dimana terdapat lebih dari satu bentuk kristal. Titik didih
(boiling point), titik didih akan semakin meningkat dengan bertambah
panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut. Titik lunak (softening
point), dimaksudkan untuk identifikasi minyak tersebut. Sliping point,
digunakan untuk pengenalan minyak serta pengaruh kehadiran
komponen-komponennya. Shot melting point, yaitu temperatur pada saat
terjadi tetesan pertama dari minyak atau lemak. Bobot jenis, biasanya
ditentukan pada temperatur 25C, dan juga perlu dilakukan pengukuran
pada temperatur 40C. Titik asap, titik nyala dan titik api, dapat dilakukan
apabila minyak dipanaskan. Merupakan kriteria mutu yang penting dalam
hubungannya dengan minyak yang akan digunakan untuk menggoreng.
Titik kekeruhan (turbidity point), ditetapkan dengan cara mendinginkan
campuran minyak dengan pelarut lemak (Anonim, 2011d).
27
D. Stabilitas Minyak Goreng
Menurut Blumethal (1996), proses penggorengan yang
menggunakan energi panas menimbulkan berbagai perubahan yang
terjadi pada minyak dan menghasilkan komponen flavor. Perubahan sifat
fisiko kimia akibat pemanasan ini mengakibatkan terjadinya kerusakan
pada minyak dan menurunkan mutu produk gorengnya. Lebih jauh lagi
penurunan kualitas minyak ini berhubungan dengan masalah keamanan
produk goreng yang dihasilkan.
Pada saat minyak digunakan, akan terjadi perubahan sifat fisiko
kimia dari minyak. Perubahan ini akan berpengaruh terhadap kualitas
produk yang dihasilkan. Terlebih lagi perubahan pada minyak ini
berhubungan dengan keamanan produk yang dihasilkan. Oleh karena itu,
ahli pangan telah lama meneliti untuk menentukan indikator kualitas
minyak yang tepat (Hawson, 1995). Beberapa tes direkomendasikan
sebagai indikator yang tepat, seperti komponen polar (TPM) dan polimer.
Selain itu, terdapat uji-uji lain yang sering digunakan oleh industri
penggorengan, seperti peroksida, asam lemak bebas, viskositas, anisidin,
dan warna.
Kadar asam lemak bebas mungkin karakteristik yang paling umum
digunakan sebagai kontrol kualitas minyak. Pada saat saat awal proses
penggorengan, asam lemak bebas dihasilkan dari proses oksidasi, tetapi
pada tahap selanjutnya asam lemak bebas dihasilkan dari proses
hidrolisis yang disebabkan oleh keberadaan air. Proses ini sangat
dinamis, sebagian asam lemak akan hilang karena oksidasi dan destilasi
uap dari makanan. Labih jauh lagi, asam lemak bebas akan mengkatalis
28
hidrolisis minyak yang digunakan pada proses penggorengan. Pada saat
akumulasi asam lemak bebas berada dalam jumlah yang signifikan, akan
terbentuk asap yang berlebihan dan kualitas dari makanan hasil goreng
menurun. Pada saat ini, minyak harus diganti (Krishnamurthy dan
Vernon, 1996).
Kadar asam lemak bebas merupakan penentuan dari jumlah
rantai asam lemak hasil hidrolisis ikatan trigliserida yang belum
didegradasi menjadi komponen tak tertitrasi atau mungkin dibentuk
melalui proses oksidasi. Penentuan kadar asam lemak bebas pada
minyak goreng digunakan metode titrasi asam basa dengan
menggunakan NaOH sebagai titran. Jumlah asam lemak di dalam minyak
dinyatakan dengan persen (%) (Blumethal, 1996; Krishnamurthy dan
Vernon, 1996).
Bilangan peroksida merupakan metode yang paling luas untuk
menentukan derajat degradasi minyak. Produk oksidasi primer dari
minyak adalah hidroperoksida. Peroksida dapat dihitung secara kuantitatif
dengan penentuan jumlah iodin yang dibebaskan oleh reaksi peroksida
dengan KI. Bilangan peroksida dapat dinyatakan sebagai meq O2/kg,
meqO2/100g, atau meq O2/g. Minyak segar yang telah dideodorisasi
seharusnya memiliki nilai peroksida nol. Pada kebanyakan kasus, minyak
goreng dianggap masih memiliki kemampuan baik pada penyimpanan
jika memiliki nilai bilangan peroksida 1,0 meq/kg.
Hidroperoksida merupakan produk primer dari oksidasi lemak.
Komponen hidroperoksida ini bersifat sangat tidak stabil dan sangat
sensitif terhadap suhu minyak (Krishnamurthy dan Vernon, 1996;
29
Blumethal, 1996). Hal ini karena hidroperoksida merupakan radikal bebas
yang bersifat sangat reaktif. Radikal bebas adalah molekul yang amat
tidak stabil, sangat reaktif terhadap molekul lain yang berada di dekatnya,
berusaha merampas elektron milik molekul lain guna mendapatkan
kondisi stabil kembali. Apabila molekul yang telah diserangnya menjadi
ganjil karena kehilangan elektronnya, molekul tersebut berubah menjadi
molekul radikal bebas dan berusaha merampas elektron milik molekul
lainnya, tetapi elektron yang telah berhasil dirampasnya biasanya lepas
sebelum berhasil dimasukkan dalam orbitnya. Hal ini menyebabkan
proses ini terus berlangsung (Anonim, 2007). Proses oksidasi lemak
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Proses Oksidasi Lemak (Winarno, 2002)
30
Komponen polar didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang
tertinggal di dalam kolom setelah proses elusi pertama pada saat minyak
goreng yang telah dipanaskan diuji dengan menggunakan kromatrografi
kolom silika gel. Komponen polar termasuk semua senyawa
nontrigliserida dan partikel-partikel di dalam minyak. Minyak segar
umumnya mengandung 2-4% komponen non-trigliserida. Sekali saja
minyak goreng dipanaskan sampai suhu penggorengan, perubahan dari
senyawa trigliserida mulai terjadi. Oleh karena komponen polar dapat
digunakan untuk menghitung degradasi total dari minyak yang digunakan
pada proses penggorengan. Total komponen polar pada minyak goreng
harus kurang dari 24% (Stier, 2001). Komponen polar direkomendasikan
pada simposium internasional ke-3 deep frying sebagai uji yang harus
dilakukan untuk menentukan kualitas minyak goreng. Jumlah komponen
polar (TMP, Total Polar Materials) dinyatakan dengan satuan % (DGF,
2004).
Metode alternatif yang dapat digunakan untuk mengukur TPM
dalam minyak goreng yaitu pengukuran konstanta dielektrik. Prinsip
utama dari pengukuran ini didasarkan pada perubahan bagian dielektrik
sampel cair. Teknik ini bekerja berdasarkan medan listrik. Medan listrik
adalah radial keluar dari muatan positif dan ke arah muatan negatif. Yang
terakhir ini telah digunakan dalam metode listrik. Jika material yang
memiliki kandungan molekul polar, mereka umumnya akan berada dalam
orientasi acak ketika tidak ada medan listrik diterapkan. Medan listrik
diterapkan akan polarisasi material dengan orientasi momen dipol
molekul polar (Zainal, 2010).
31
a b
Gambar 2. Arah Medan Listrik (a), Orientasi Medan Listrik dengan dan Tanpa Molekul Polar (b) (Zainal, 2010)
Metode dielektrik dengan memasukkan sensor alat ke dalam
minyak panas. Jumlah TPM ditampilkan di display. Dalam kasus
makanan gorengan, pengukuran TPM diambil setelah mengeluarkan
makanan dari minyak goreng dan ditunggu sekitar 10 menit agar air
dapat menguap meninggalkan minyak goreng (Zainal, 2010 dalam
pernyataan Isengaerd dan Landerdörfer, 2009)
Pada saat minyak goreng teroksidasi akan terbentuk senyawa
polimer yang menyebabkan minyak berbusa. Pembentukan senyawa
polimer ini merupakan penanda kimia yang baik untuk degradasi minyak.
Namun penentuan senyawa polimer sulit untuk diaplikasikan di dalam
memantau kualitas produk karena waktu yang dibutuhkan untuk analisis
cukup lama. Metode resmi dalam menentukan senyawa polimer
digunakan high performance liquid chromatography (HPLC). Pemahaman
mekanisme pembentukkan senyawa polimer sangat penting untuk
memahami bagaimana minyak terdegradasi dan optimasi proses.
Kenaikan senyawa polimer menyebabkan kenaikan viskositas minyak.
32
Oleh karena itu, viskositas sering digunakan sebagai indikator sifat fisik
untuk memantau kualitas minyak goreng (Stier, 2001). Selain itu, adanya
kenaikan viskositas minyak ini membuat produk hasil goreng lebih
berminyak karena banyaknya jumlah minyak yang tertahan pada
permukaan produk.
Warna minyak sudah lama digunakan sebagai indikator fisik
dalam melihat kerusakan minyak. Namun, sebenarnya tidak tepat
menggunakan warna sebagai indikator kerusakan minyak. Hal ini karena
perubahan warna minyak goreng yang tidak diikuti dengan kenaikan
jumlah senyawa hasil degradasi minyak hanya akan mempengaruhi
warna produk dan tidak akan mempengaruhi rasa produk. Warna minyak
dapat ditentukan dengan menggunakan Lovibond tintometer atau
spektrofotometer. Penentuan dengan menggunakan Lovibond bersifat
subjektif, sedangkan penentuan warna menggunakan spektrofotometer
lebih bersifat objektif (Krishnamurthy dan Vernon, 1996).
E. Proses Penggorengan
Penggorengan merupakan salah satu proses olahan pangan yang
sangat populer. Penggorengan dapat didefinisikan sebagai proses
pemasakan dan pengeringan produk dengan media panas berupa
minyak sebagai media pindah panas. Ketika bahan pangan digoreng
menggunakan minyak goreng panas, banyak reaksi kompleks terjadi
didalam minyak dan pada saat itu minyak akan mulai mengalami
kerusakan. Selama penggorengan minyak dalam kondisi suhu tinggi,
adanya udara dan air yang dikandung oleh bahan menyebabkan minyak
33
mengalami kerusakan. Adanya interaksi antara produk dan minyak
menyebabkan terjadinya reaksi yang sangat kompleks, akan terbentuk
senyawa volatil maupun nonvolatil yang akan memberikan tanda bahwa
minyak telah rusak (Anonim, 2009a).
Menggoreng adalah suatu proses untuk memasak bahan pangan
menggunakan lemak atau minyak pangan. Prosesnya diawali dengan
memasukkan minyak goreng kedalam ketel penggorengan, kemudian
dipanaskan, selanjutnya dimasukkan bahan yang akan digoreng. Dari
ketel akan diperoleh hasil gorengan, uap yang dihasilkan dari lemak,
serta hasil samping lemak akibat pemanasan dan penggorengan serta
kerak. Berbagai faktor mempengaruhi kondisi penggorengan dalam ketel,
yaitu pemanasan dengan adanya udara, minyak yang kelewat panas
(local over heating of fat), aerasi pada lemak, kontak lemak dengan
logam dari ketel, kontak bahan pangan dengan minyak, adanya kerak
dan partikel yang gosong. Dari faktor-faktor tersebut, maka pemanasan
dengan adanya udara merupakan faktor yang sangat berpengaruh
(Ketaren, 2008).
Sistem menggoreng bahan pangan menurut Ketaren (2008) pada
umumnya terdapat dua cara, yaitu : gangsa (pan frying) dan menggoreng
biasa (deep frying).
Proses Gangsa (Pan Frying)
Proses gangsa (pan frying) dapat menggunakan minyak dengan
titik asap yang lebih rendah, karena suhu pemanasan yang digunakan
umumnya lebih rendah dari suhu pemanasan pada sistem deep frying.
Ciri khas dari proses “gangsa” ialah bahan pangan yang digoreng tidak
34
sampai terendam dalam minyak. Minyak yang digunakan pada sistem ini
adalah minyak kelapa, mentega, margarin, minyak olive, dan lemak
ayam. Khususnya mentega dan margarin, menghasilkan cita rasa yang
enak pada bahan pangan yang digoreng.
Menggoreng Biasa (Deep Frying)
Proses penggorengan dengan sistem deep frying, bahan pangan
yang digoreng terendam dalam minyak dan suhu minyak dapat mencapai
200-205C. Lemak yang digunakan tidak berbentuk emulsi dan
mempunyai titik asap (smoking point) diatas suhu penggorengan,
sehingga asap tidak terbentuk selama proses penggorengan. Jika pada
proses penggorengan terbentuk asap maka ini berarti, lemak tersebut
mengalami dekomposisi sehingga mengakibatkan bau dan rasa yang
tidak enak.
Lemak yang dapat digunakan dalam proses penggorengan secara
deep frying adalah lemak nabati yang mengalami proses hidrogenasi
(kecuali minyak olive), minyak babi (lard) bermutu tinggi, dan beberapa
jenis “senyawaan shortening” yang tidak mengandung emulsifier. Secara
komersil, bahan pangan yang digoreng (fried food) biasanya digoreng
dengan menggunakan sistem deep frying. Bagi bahan pangan yang
digoreng dalam jumlah besar, misalnya doughnut, dan berbagai macam
jenis keripik, ketel-ketel penggorengan biasanya dilengkapi dengan
thermostat untuk menjaga suhu agar tetap konstan.
35
Pemanasan yang tidak mencapai suhu penggorengan
menyebabkan minyak membentuk busa, sehingga proses penggorengan
tidak praktis. Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi minyak dalam
ketel adalah uap yang dilepaskan dan penambahan minyak segar pada
periode turn over untuk menggantikan minyak yang hilang dari ketel
selama proses menggoreng. Uap yang dihasilkan dalam proses
menggoreng berfungsi untuk mencuci dan memisahkan hasil
dekomposisi lemak dapat menguap (Volatile Decomposition Products,
VDP) yang dapat menimbulkan bau tengik (Ketaren, 2008).
Transfer panas berlangsung secara langsung dari minyak panas
ke bahan pangan dingin. Aplikasi panas secara langsung dari minyak ke
bahan pangan akan menyebabkan proses menggoreng berlangsung
secara cepat (Lawson, 1995). Menurut Blumenthal (1996), proses
penggorengan deep frying memiliki keuntungan seperti bahan pangan
goreng lebih mudah diterima secara organoleptik karena menghasilkan
rasa yang enak, memiliki permukaan yang renyah, warna yang disukai,
dan mouthfeel yang diinginkan karena adanya minyak yang terserap.
Selama proses deep frying minyak dipanaskan dan dibiarkan kontak
dengan udara. Skema reaksi yang terjadi selama proses deep frying
dapat dilihat pada Gambar 3.
36
Gambar 3. Reaksi-Reaksi yang Terjadi Selama Proses Deep Frying (Quaglia dan Bucarelli, 2001)
Proses penggorengan bukan hanya mempengaruhi minyak yang
digunakan tetapi dapat pula mempengaruhi bahan pangan
yang digoreng. Untuk memahami pengertian bahan pangan
digoreng, dapat dilihat dari aspek anatomi bahan pangannya.
Semua bahan pangan digoreng mempunyai struktur dasar yang
sama (Ketaren, 2008).
Core (inner zone)Lapisan luar (outer zone)
Permukaan luar = kerak (outer zonesurface)
Gambar 4. Struktur Dasar Bahan Panganyang Digoreng (Ketaren, 2008)
37
Gambar diatas memperlihatkan potongan melintang dari bahan
pangan digoreng. Inner zone atau core merupakan bagian dalam dari
bahan pangan berkadar air tinggi dan umumnya terdapat pada bahan
pangan yang digoreng. Proses pemasakan berlangsung oleh penetrasi
panas dari minyak yang masuk ke dalam bahan pangan. Proses
pemasakan ini dapat mengubah atau tidak mengubah karakter bahan
pangan, tergantung dari bahan pangan yang digoreng. Hasil gorengan
yang berukuran tipis seperti keripik kentang, keripik jagung dan mie
merupakan pengecualian. Permukaan lapisan luar (outer zone surface)
akan berwarna cokelat keemasan akibat penggorengan. Timbulnya
warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau
reaksi maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan
suhu menggoreng, juga komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan
pangan. Jenis lemak yang digunakan berpengaruh sangat kecil terhadap
warna permukaan bahan pangan (Ketaren, 2008).
Kerusakan minyak selama proses penggorengan akan
mempengaruhi mutu dan nilai gizi dari bahan yang digoreng (Ketaren,
2008). Karena menurut Pokorny (1999), proses penggorengan
memungkinkan makanan menyerap sejumlah minyak. Penyerapan
minyak oleh produk goreng dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya : 1) suhu dan waktu yang berbandung lurus dengan
peningkatan jumlah minyak yang diserap oleh produk goreng, 2) air yang
terkandung dalam bahan pangan yang akan tergantikan oleh minyak
selama proses penggorengan, dan 3) kualitas minyak yang digunakan.
Jenis bahan pangan yang digoreng pun akan mempengaruhi penyerapan
38
minyak. Produk goreng yang berasal dari bahan pangan nabati dan
mengandung pati akan menyerap minyak lebih banyak dari pada bahan
pangan hewani.
Tabel 3. Minyak yang Terserap pada Produk Deep FryerProduk pangan goreng Kandungan minyak (%)
Kentang (french fries dan keripik) 15 - 36Serealia (doughnut) 18 - 30Sayuran (dengan atau tanpa butter) 35 - 75Jamur (dengan butter) 65 - 80Daging, sapi, babi 10 - 25Ayam (tepung dan butter) 10 - 30Ikan (tepung) 20 - 42Sosis 38 - 70
Sumber : Pokorny (1999)
Kualitas minyak goreng akan mempengaruhi tingkat penyerapan
minyak dalam produk pangan. Tegangan permukaan antara minyak
goreng dan bahan pangan tinggi saat minyak yang digunakan merupakan
fresh oil. Selama penggorengan berulang, polaritas minyak meningkat
akibat proses pemanasan sehingga tegangan permukaan antara minyak
goreng dan bahan pangan yang digoreng menurun. Penyerapan minyak
akan meningkat dengan semakin banyak penggorengan berulang
(Pinthus dan Saguy, 1994).
Menurut Blumenthal (1996), proses goreng merupakan fenomena
transfer panas yang terjadi secara simultan, yaitu transfer panas, transfer
massa air, dan transfer massa minyak. Ketiga proses transfer tersebut
akan menentukan kualitas akhir produk goreng yang dicirikan dengan
perubahan aroma, warna produk menjadi kecoklatan, dan tekstur renyah.
Selama proses goreng berlangsung terjadi transfer air dari bahan pangan
dengan minyak. Minyak yang masuk akan menempati pori-pori yang
ditinggalkan oleh air, proses difusi ini akan berlangsung terus sampai
39
akhir penggorengan bahkan pada waktu pendinginan setelah
penggorengan. Pori-pori yang terbentuk disebabkan perbedaan tekanan
ketika produk tercelup ke dalam minyak panas. Air yang terdapat dalam
bahan akan keluar dengan cepat dalam bentuk uap airsehingga
terbentuklah pori dalam produk. Semakin banyak pori yang terdapat pada
produk dikatakan produk semakin renyah (Mellema, 2003).
Tabel 4. Nilai Kandungan Gizi Kentang dan AyamKarakteristik Kentang (100 gram) Ayam (100 gram)
Energi 321 kJ (77 kcal) 302 kJKarbohidrat 19 g -Pati 15 g -Kolesterol - 60 gDiet serat 2,2 g -Lemak 0,1 g 25 gramProtein 2 g 18,20 gAir 75 g 75 gVitamin A - 243Thiamine (Vitamin B1) 0,08 mg 0,08 mgRiboflavin (Vitamin B2) 0,03 mg 0,16 mgVitamin C 20 mg 0,00 mgKalsium 12 mg 14 mgBesi 1,8 mg 1,5 mgMagnesium 23 mg -Fosfor 57 mg 200 mgKalium 421 mg -
Sumber : Winarno, 2004
Kombinasi lamanya pemanasan dan suhu yang tinggi
mengakibatkan terjadinya beberapa reaksi penyebab kerusakan minyak.
Reaksi-reaksi yang terjadi adalah hidrolisa, oksidasi dan polimerisasi.
Minyak yang rusak akibat dari proses hidrolisa, oksidasi dan polimerisasi
akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita
rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak
esensial yang terdapat dalam minyak. Minyak yang telah rusak tidak
hanya mengakibatkan kerusakan nilai gizi, tetapi juga merusak tekstur,
flavor dari bahan pangan yang digoreng (Anonim, 2009).
40
F. Perubahan Sifat Fisiko Kimia Minyak Selama Proses Penggorengan
Menurut Lawson (1995), pada saat minyak dipanaskan akan
terjadi perubahan sifat fisiko kimia dari minyak. Penentuan stabilitas
miyak dan lemak dapat ditentukan baik secara fisik dan kimia. Produk
degradasi dari pemanasan minyak terdiri dari komponen volatil dan
nonvolatil. Perubahan ini akan berpengaruh terhadap kualitas produk
yang dihasilkan.
Menurut Warner (2002), produk degradasi minyak berupa
komponen nonvolatil yang memiliki bobot molekul tinggi merupakan
indikator nyata kerusakan minyak karena komponen nonvolatil akan
terakumulasi dan bersifat tetap selama pemanasan. Metode untuk
mengukur komponen nonvolatil hasil kerusakan minyak diantaranya
analisis asam lemak bebas, bilangan iod, nonureaadduct-forming ester,
total komponen polar, viskositas, indeks bias, dan warna. Akumulasi
danpembentukan komponen nonvolatil bertanggung jawab atas
perubahan sifat fisik yang terjadi pada minyak goreng.
Reaksi penting pada minyak dan lemak adalah reaksi hidrolisis,
oksidasi, polimerisasi, dan pembentukan warna (Lawson, 1995).
Perubahan sifat kimia yang terjadi menyebabkan kenaikan kandungan
asam lemak bebas hasil reaksi hidrolisis, penurunan asam lemak tak
jenuh, dan kenaikan bilangan peroksida yang berhubungan dengan
kerusakan minyak. Menurut Choe dan Min (2007), selama proses
pemanasan reaksi hidrolisis, oksidasi, polimerisasi akan menyebabkan
minyak berasap, berbusa, dan meninggalkan warna coklat serta flavor
yang tidak disukai.
41
Perubahan sifat fisik minyak yang terjadi selama pemanasan
menyebabkan kenaikan indeks bias, viskositas, warna, dan penurunan
titikasap. Viskositas yang meningkat selama pemanasan disebabkan
peningkatan komponen hasil degradasi minyak. Komponen nonvolatil
yang memiliki berat molekul tinggi hasil reaksi polimerisasi meningkatkan
viskositas minyak selama proses penggorengan. Indeks bias merupakan
perbandingan perbandingan kecepatan cahaya di udara dengan
kecepatan cahaya di dalam medium tertentu. Indeks bias pada minyak
meningkat dengan semakin panjang rantai karbon, jumlah ikatan
rangkap, dan meningkatnya kekentalan hasil reaksi polimerisasi (Wan,
2000). Warna minyak yang terbentuk selama proses penggorengan
merupakan hasil degradasi warna alami minyak atau komponen bahan
pangan yang digoreng (Akoh dan Min, 2002).
Reaksi hidrolisis dapat terjadi pada proses penggorengan suhu
tinggi. Bahan pangan yang digoreng akan menghasilkan air dan uap air.
Air dan uap air akan menghidrolisis trigliserida pada suhu tinggi sehingga
menghasilkan monogliserida, digliserida, gliserol, dan asam lemak bebas.
Reaksi ini akan mengakibatkan ketengikan hidrolisa yang menghasilkan
flavor dan bau tengik pada minyak tersebut. Gliserida akan terevaporasi
sebagian pada suhu 150C. Peningkatan asam lemak bebas dan produk
asam lemak yang memiliki bobot molekul rendah hasil oksidasi lemak
dapat memicu reaksi hidrolisis dengan adanya uap selama proses
penggorengan (Warner, 2002).
42
Jumlah asam lemak bebas semakin meningkat dengan lama
waktu proses penggorengan. Asam lemak yang terkandung dalam
minyak goreng digunakan sebagai salah satu indikasi kualitas minyak
goreng. Reaksi hidrolisis lebih mudah terjadi pada minyak yang
mengandung komponen asam lemak rantai pendek dan tak jenuh dari
pada asam lemak rantai panjang dan jenuh karena asam lemak rantai
pendek dan tak jenuh bersifat lebih larut dalam air. Penambahan minyak
baru pada proses penggorengan akan memperlambat terjadinya reaksi
hidrolisis (Choe dan Min, 2007).
Gambar 5. Reaksi Hidrolisis yang Terjadi Pada Minyak Goreng (Ketaren, 2008)
Menurut Lawson (1995), laju hidrolisis trigliserida meningkat oleh
beberapa faktor : jumlah air yang dibebaskan pada minyak selama proses
pemanasan, suhu minyak saat pemanasan, regenerasi minyak yang
digunakan dengan fresh oil, perlakuan pemanasan dan pendinginan
minyak goreng selama digunakan. Proses oksidasi disebabkan
keberadaan oksigen yang bereaksi dengan minyak atau lemak. Reaksi
43
oksidasi minyak dan lemak berjalan relatif lambat pada suhu ruang,
namun pada suhu tinggi (suhu goreng) reaksi oksidasi berjalan sangat
cepat (Choe dan Min, 2007). Menurut Lawson (1995), beberapa faktor
yang mempengaruhi jalannya kecepatan laju oksidasi selain suhu yaitu :
laju minyak atau lemak terserap dalam bahan pangan dan penambahan
fresh oil, luas permukaan minyak yang terpapar oleh oksigen,
keberadaan logam seperti tembaga yang bersifat prooksidan, dan
kualitas minyak untuk menggoreng.
Pemanasan berlebih pada minyak selama proses penggorengan
akan menghasilkan komponen volatil dan nonvolatil. Komponen volatil
yang terbentuk diantaranya peroksida, mono, dan digliserida tidak terlalu
bertanggung jawab atas terbentuknya polimer selama proses pemanasan
(Lawson, 1995). Reaksi polimerisasi yang terjadi pada minyak dalam
proses penggorengan menghasilkan komponen polar nonvolatil dimer
dan polimer. Dimer dan polimer hasil reaksi polimerisasi memiliki berat
molekul tinggi antara 692-1600. Polimer dapat terbentuk dari radikal
bebas atau trigliserida. Penggorengan berulang dan suhu yang tinggi
dapat meningkatkan komponen polimer (Akoh dan Min, 2002).
Minyak yang telah mengalami polimerisasi ditandai dengan
peningkatan viskositas dan penurunan bilangan iod. Hasil polimerisasi
akan mempengaruhi kulitas minyak goreng menghasilkan warna coklat
pada minyak dan terbentuk bahan berupa gum yang mengendap dan bau
serta rasa yang tidak enak. Minyak goreng dengan viskositas tinggi akan
menghasilkan produk akhir yang berminyak karena minyak goreng
tertahan di dalam produk (Blumenthal, 1996).
44
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai bulan
Mei 2012 di Laboratorium Kimia Analisa dan Pengawasan Mutu Pangan,
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah deep fryer,
alat TPM (Kostanta dielektrik), viskometer, timbangan analitik,
thermometer, gelas kimia, gelas ukur, erlenmeyer, pipet tetes, hot plate,
refrigerator, buret digital, batang statif, botol sampel, batang pengaduk,
pisau, kolom pemurnian, oven vakum, sentrifuge, wadah, dan sendok.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak
kelapa enzimatik, french fries, ayam potong, tepung bumbu, NaOH,
indikator pp (phenopthalin), aquadest, alkohol, zeolit, kapas, aluminium
foil, dan tissue roll.
C. Prosedur Penelitian
Pada penelitian ini, akan dilakukan proses penggorengan dengan
menggunakan minyak kelapa yang dihasilkan dengan metode enzimatik
(Eni Fajrin, 2012). Setelah itu akan dilakukan pengujian stabilitas dari
minyak yang dihasilkan dari proses penggorengan yang sebelumnya
telah dilakukan. Proses penggorengan dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut :
45
1. Ditimbang bahan pangan yang akan digoreng berupa french fries dan
ayam tepung.
2. Dimasukkan minyak kelapa didalam alat deep fryer sesuai kapasitas
lalu dinyalakan.
3. Minyak kelapa dipanaskan hingga mencapai temperatur sesuai
perlakuan.
4. Kemudian dilakukan penggorengan selama 10 menit.
5. Bahan pangan diangkat dan ditiriskan.
6. Dilakukan proses penggorengan sebanyak 15 kali dengan
menggunakan minyak goreng yang sama dan dalam temperatur yang
sama pula.
7. Diambil sampel minyak yang akan diuji kestabilannya yaitu minyak
segar, minyak pemakaian 5 kali, 10 kali, dan 15 kali.
8. Diambil pula produk goreng hasil penggorengan ke-1, ke-5, ke-10,
dan ke-15.
D. Perlakuan Penelitian
Perlakuan penelitian yang digunakan adalah penetapan suhu yang
digunakan selama proses penggorengan dan penggunaan bahan pangan
untuk digoreng, yaitu:
A (Suhu Pemanasan)
A1 = 170C
A2 = 190C
B (Bahan Pangan yang Digoreng)
B1 = French Fries
B2 = Ayam Tepung
46
E. Parameter Pengamatan
Parameter pengamatan yang digunakan pada penelitian ini
diterapkan pada sampel minyak dan produk goreng yang dihasilkan
dengan masing-masing kombinasi perlakuan.
1. Pengamatan yang dilakukan pada sampel minyak segar, setelah
pemakaian 5 kali, 10 kali, dan 15 kali yang berupa hasil penggunaan
2 jenis perlakuan yaitu suhu dan bahan pangan yang digoreng berupa
analisa kimia dan fisika. Analisa kimia yang digunakan meliputi asam
lemak jenuh, viskositas, dan total polar materials (TPM), sedangkan
analisa fisik berupa warna dan aroma. Metode analisa dipaparkan
sebagai berikut:
Viskositas (AOAC, 1995)
Pengukuran viskometer dilakukan dengan menggunakan
viskometer Brookfield LV dengan memasukkan sampel sebanyak
100 ml ke dalam gelas kimia dan ditempatkan pada spindle rotasi dan
dengan kecepatan 100 rpm hingga dicapai kestabilan pengukuran
pada display. Dengan suhu sampel sekitar 30C yang berupa suhu
ruang.
Asam Lemak Bebas (Mehlenbacher, 1960)
Pengujian asam lemak bebas dilakukan dengan metode titrasi
sebagai berikut :
1. Sampel diaduk kemudian ditimbang sebanyak 5 gram dan
dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer yang telah diketahui berat
kosongnya.
47
2. Dicampurkan 50 ml alkohol lalu dipanaskan dengan suhu
50-75C.
3. Ditambahkan 3 tetes indikator pp.
4. Dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai terbentuk larutan berwarna
merah muda.
5. Dicatat volume NaOH yang digunakan.
6. Dilakukan perhitungan kadar ALB dengan rumus :
KadarALB=V NaOH x25,6 xMNaOH
1000 xBeratSampelx 100%
Kandungan Total Polar Materials (Konstanta Dielektrik)
Pengukuran kandungan materi polar dilakukan dengan
menggunakan alat TPM meter konstanta dielektrik sebagai berikut:
1) Sampel minyak dipanaskan minimal 40C.
2) Alat ukur TPM (konstanta dielektrik) dimasukkan kedalam minyak
sampai semua sensor terendam.
3) Alat ukur dinyalakan dan ditunggu 10 detik.
4) Dicatat kandungan TPM yang muncul pada display alat ukur.
Pengujian Organoleptik
Pengujian organoleptik yang dilakukan meliputi aroma dan warna
dari minyak yang dihasilkan. Pengujian ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap sampel dengan
menggunakan 10 panelis yang memberikan penilaiannya berdasarkan
tingkat kesukaannya. Data yang diperoleh diolah secara deskriptif.
Skala pengujian 1-5 yaitu : 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 = agak suka,
2 = tidak suka, 1 = sangat tidak suka.
48
2. Parameter pengamatan yang dilakukan pada sampel produk
penggorengan 1 kali, 5 kali, 10 kali, dan 15 kali berupa pengujian
organoleptik yang dilakukan meliputi warna, aroma, tekstur, dan rasa
dari produk goreng yang dihasilkan. Pengujian ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap sampel dengan
menggunakan 10 panelis yang memberikan penilaiannya berdasarkan
tingkat kesukaannya. Data yang diperoleh diolah secara deskriptif.
Skala pengujian 1-5 yaitu : 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 = agak suka,
2 = tidak suka, 1 = sangat tidak suka.
F. Pengolahan Data
Data yang diperoleh setelah dilakukan pengujian dari penelitian ini
akan diolah dengan menggunakan metode eksperimen Rancangan Acak
Kelompok (RAK).
49
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa kualitas minyak yang diamati hasil dari kombinasi perlakuan
suhu dan produk yang digoreng meliputi analisa kimia dan fisik. Analisa
kualitas minyak secara kimia didasarkan pada senyawa-senyawa hasil
dekomposisi minyak yang bersifat non-volatil karena senyawa-senyawa yang
bersifat volatil akan menguap selama proses penggorengan berlangsung.
Sedangkan analisa fisik yang dilakukan berupa metode organoleptik
parameter fisik yang mengalami perubahan karena adanya perubahan sifat
kimia dari minyak dan produk goreng yang dihasilkan.
A. Kandungan Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas erat kaitannya dalam mengukur kualitas
minyak goreng. Asam lemak bebas merupakan hasil perombakan yang
terjadi pada asam lemak yang disebabkan adanya reaksi kompleks pada
minyak. Semakin tinggi kandungan asam lemak bebas pada minyak
menandakan semakin menurunnya mutu dari minyak goreng tersebut.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Ketaren (2008), bahwa reaksi hidrolisa
yang terjadi pada minyak akan mengakibatkan kerusakan minyak karena
terdapat sejumlah air dalam minyak tersebut dan menyebabkan
terbentuknya asam lemak bebas dan beberapa gliserol.
Hasil analisa asam lemak bebas dari minyak goreng yang
dihasilkan dari kombinasi perlakuan suhu dan jenis bahan pangan yang
digoreng pada Gambar 6, memperlihatkan adanya peningkatan yang
terjadi untuk setiap jenis bahan pangan yang digoreng seiring pemakaian
minyak yang berulang kali. Persentase asam lemak bebas yang
50
tertertinggi terdapat pada pemakaian minyak 15 kali dengan produk
goreng french fries dengan menggunakan suhu 170C yaitu sebesar
0,26%. Dan persentase asam lemak bebas yang terendah terdapat pada
minyak segar dan pada pemakaian minyak 5 kali dengan produk goreng
ayam goreng tepung yaitu sebesar 0,17%.
segar 5 kali 10 kali 15 kali segar 5 kali 10 kali 15 kaliFrench Fries Ayam Tepung
0.15
0.20
0.25
0.30
0.17
0.20
0.24
0.26
0.17
0.17
0.19
0.25
0.17
0.20 0.
21
0.23
0.17
0.17
0.20
0.23
170°C
190°C
Pemakaian Minyak
% A
LB
Gambar 6.Perbandingan Kandungan Asam Lemak Bebas pada Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
Hasil analisa sidik ragam memperlihatkan terjadi perbedaan yang
sangat nyata terhadap penggunaan jenis bahan pangan yang digoreng
yaitu antara french fries dan ayam tepung terhadap kadar asam lemak
bebas pada minyak goreng yang digunakan sedangkan pemakaian
minyak goreng berulang kali dan suhu penggorengan yang digunakan
tidak berpengaruh nyata (Lampiran 1c).
Peningkatan persentase asam lemak bebas ini disebabkan
adanya pertukaran komponen air pada bahan pangan yang digoreng
dengan minyak yang dijadikan media penggorengan. Hal ini sesuai
dengan Ketaren (2008), bahwa kerusakan yang terjadi pada minyak
51
goreng yang digunakan berulang kali dalam proses penggorengan
disebabkan adanya reaksi kompleks yang terjadi pada saat bahan
pangan digoreng. Adanya kandungan air dan udara pada bahan pangan
semakin meningkatkan kerusakan yang terjadi pada minyak yang dapat
dianalisa dengan menghitung kadar asam lemak bebas dari minyak
tersebut. Semakin lama penggunan minyak untuk menggoreng semakin
tinggi pula kandungan asam lemak bebas yang terbentuk. Dari data
diatas, kadar asam lemak bebas yang tertinggi mencapai 0,26% yang
berarti belum melewati ambang batas persentase asam lemak bebas
yang ditetapkan oleh SNI 01-3741-2002 yang berisi syarat kandungan
asam lemak bebas maksimal adalah 0,30%.
B. Kandungan Total Polar Material(TPM)
Minyak goreng yang telah digunakan untuk menggoreng akan
mengandung komponen polar yang umumnya disebut dengan materi
polar. Materi polar ini terbentuk diakibatkan adanya reaksi kimia kompleks
pada minyak goreng, seperti hidrolisa, oksidasi, dan polimerisasi. Materi
polar ini dapat dihitung dengan presentasi total pada setiap minyak hasil
penggorengan dengan simbol TPM. TPM dapat dijadikan sebagai salah
satu parameter penentuan kualitas minyak goreng. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Pokorny (1989) bahwa, peningkatan komponen polar
menyebabkan penurunan kualitas produk pangan. Selain
menggambarkan kualitas, analisis komponen polar juga berhubungan
dengan keamanan produk pangan yang dihasilkan.
52
segar 5 kali 10 kali 15 kali segar 5 kali 10 kali 15 kaliFrench Fries Ayam Tepung
30.0
32.0
34.0
36.0
34.0
35.0
33.8
32.5
34.0
35.3
33.3
31.5
34.0
34.0
33.5
31.0
34.0
35.0
34.5
32.8 170°C
190°C
Pemakaian Minyak
% T
PM
Gambar 7.Perbandingan Total Polar Materials (TPM) pada Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
Hasil analisa TPM dari minyak goreng berdasarkan kombinasi
perlakuan suhu dan jenis bahan pangan yang digoreng pada Gambar 7,
memperlihatkan kadarTPM pada minyak segar sebelum pemakaian yaitu
34 % yang menandakan persentase yang relatif tinggi, walaupun di
Indonesia belum memiliki standar pasti mengenai persentase TPM yang
ditetapkan. Kemudian persentase TPM relatif meningkat kembali pada
pemakaian minyak 5 kali. Tetapi pada pemakaian minyak 10 kali dan
15 kali, persentase TPM yang diperoleh semakin menurun pada setiap
perlakuan. Dari data diatas menunjukkan penggunaan minyak kelapa
sebagai minyak goreng yang digunakan secara berulang kali
menghasilkan TPM yang semakin berkurang.
Hasil analisa sidik ragam memperlihatkan perbedaan yang sangat
nyata yang disebabkan penggunaan french fries dan ayam tepung
sebagai bahan pangan yang digoreng terhadap TPM yang terdapat pada
minyak yang digunakan. Hasil analisis sidik ragam juga memperlihatkan
53
penggunaan minyak goreng berulang kali berpengaruh sangat nyata
terhadap persentase TPM pada minyak goreng (Lampiran 2c). Hasil uji
lanjut BNT dengan taraf 1% untuk pengaruh penggorengan
memperlihatkan pengelompokan terjadi untuk minyak segar sampai
minyak yang dipakai hingga 10 kali, yang berbeda dengan minyak yang
dipakai hingga 15 kali (Lampiran. 2d).
Kandungan TPM merupakan komponen yang teakumulasi dari
seluruh reaksi kompleks yang terjadi pada minyak selama proses
penggorengan yang dilakukan berulang kali. Dan dari data yang diperoleh
terjadi penurunan persentase TPM yang terdapat pada minyak seiring
penggunaannya hingga 15 kali. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan
Yates dan Caldwell (1992), bahwa komponen polar akan semakin
meningkat pada minyak yang telah digunakan dalam penggorengan yang
berulang kali.
C. Viskositas
Viskositas merupakan salah satu pengukuran yang dapat
menggambarkan sifat fisik dari suatu minyak. Viskositas dapat digunakan
sebagai salah satu indikator dalam penentuan kerusakan minyak.
Viskositas pada minyak goreng akan mengalami peningkatan seiring
dengan lama waktu penggorengan. Semakin lama waktu penggorengan,
viskositas minyak akan mengalami kenaikan yang sangat nyata.
Peningkatan viskositas ini terbentuk akibat minyak mengalami
pembentukan senyawa polimer akibat proses pemanasan dan oksidasi.
Hal ini sesuai dengan penyataan Andarwulan dkk (1997), bahwa
54
peningkatan viskositas minyak merupakan salah satu indikasi dari
peningkatan kerusakan minyak. Minyak yang telah mengalami proses
pemanasan dan oksidasi akan mengalami peningkatan viskositas yang
disebabkan oleh terbentuknya senyawa polimer di dalam minyak.
segar 5 kali 10 kali 15 kali segar 5 kali 10 kali 15 kaliFrench Fries Ayam Tepung
1300.00
1350.00
1400.00
1450.00
1500.0013
10.4
8
1332
.26 13
84.8
4
1466
.90
1310
.48
1303
.30
1324
.96
1361
.62
1310
.48
1325
.00
1324
.96 13
76.5
0
1310
.48
1346
.98
1369
.04
1361
.62
170°C
190°C
Pemakaian Minyak
Vis
ko
sit
as
(c
ps
)
Gambar 8.Perbandingan Viskositas pada Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
Hasil analisa viskositas yang dilakukan pada minyak hasil
penggorengan 2 jenis bahan pangan dan dengan menggunaan 2 jenis
suhu dalam pemakaian minyak yang berulang kali dapat dilihat pada
Gambar 8. Pada gambar tersebut dapat dilihat relatif terjadi peningkatan
pada setiap perlakuan seiring penggunaannya pada penggorengan
hingga 15 kali pemakaian. Jika diamati pada setiap durasi penggorengan,
viskositas yang tertinggi relatif terdapat pada perlakuan yang
menggunakan suhu 170C dalam menggoreng french fries. Sedangkan
55
jika membandingkan jenis bahan pangan yang digoreng, dalam
menggoreng ayam tepung viskositas yang dihasilkan jauh lebih rendah
dibandingkan menggoreng french fries. Serta jika membandingkan suhu
yang digunakan tidak memiliki perbedaan yang menonjol.
Hasil analisa sidik ragam memperlihatkan terjadi perbedaan yang
sangat nyata terhadap penggunaan jenis bahan pangan yang digoreng
yaitu antara french fries dan ayam tepung terhadap viskositas pada
minyak yang digunakan (Lampiran 3c). Ini disebabkan adanya perbedaan
komponen dari kedua jenis pangan tersebut. Hal ini sesuai dengan
Blumenthal (1996), bahwa viskositas minyak goreng mengalami
peningkatan yang sangat nyata seiring dengan pemakaiannya dalam
proses penggorengan. Minyak yang telah mengalami proses pemanasan
dan oksidasi akan mengalami peningkatan viskositas yang disebabkan
oleh terbentuknya senyawa polimer di dalam minyak. Dan oksidasi yang
terjadi pada minyak disebabkan adanya pertukaran air pada produk
goreng dengan minyak yang digunakan.
D. Organoleptik
1. Pada Minyak Goreng
Warna pada minyak terdiri atas warna alamiah dan warna yang
berasal dari hasil degradasi zat warna alamiah. Warna alamiah ini
merupakan warna yang terdapat pada bahan secara alamiah ketika
diekstrak menjadi minyak. Sedangkan warna hasil degradasi akibat
adanya pemanasan pada suhu tinggi yang menyebabkan warna alamiah
akan hilang. Warna pada minyak yang telah digunakan umumnya
56
berubah menjadi agak gelap. Ini disebabkan adanya degradasi warna
yang terjadi selama proses penggorengan yang merupakan akibat dari
penggunaan suhu tinggi dan kontaminasi komponen dari bahan pangan
yang digoreng. Hal ini sesuai dengan pernyataan Blumenthal (1996)
bahwa, warna minyak goreng yang telah digunakan berulang kali lebih
gelap dibandingkan minyak goreng segar. Hal ini disebabkan
senyawa-senyawa hasil degradasi minyak goreng akibat pemanasan.
segar 5 kali 10 kali 15 kali segar 5 kali 10 kali 15 kaliFrench Fries Ayam Tepung
0
1
2
3
4
5
170°C
190°C
Pemakaian Minyak
Org
ano
lep
tik
War
na
(Ska
la 1
-5)
Gambar 9. Perbandingan Hasil Organoleptik Warna Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
Hasil uji organoleptik pada Gambar 9 menunjukkan bahwa warna
minyak goreng segar disukai oleh panelis. Sedangkan pada minyak 5 kali
pemakaian untuk perlakuan suhu 170C dengan menggoreng french fries
tidak disukai oleh panelis dibandingkan dengan tiga perlakuan lainnya. Ini
disebabkan sampel yang dimaksud memiliki warna yang agak jernih. Hal
ini disebabkan warna alami yang terdapat pada minyak berupa karotenoid
menguap pada saat proses penggorengan disaat-saat awal sebelum
timbul warna yang lebih gelap akibat degradasi tokoferol (vitamin E).
57
Pada minyak 10 kali pemakaian, warna minyak yang dihasilkan semakin
mengkeruh yang menyebabkan panelis relatif memilih tidak menyukai
pada beberapa perlakuan. Dan pada minyak 15 kali pemakaian panelis
kembali memilih agak menyukainya pada beberapa perlakuan.Ini
disebabkan warna minyak yang kembali menguning walau tampak lebih
gelap. Tetapi panelis lebih mengenal warna tersebut dibandingkan
dengan warna yang pucat. Warna yang semakin menggelap dikarenakan
adanya degradasi tokoferol yang terdapat pada minyak.
segar 5 kali 10 kali 15 kali segar 5 kali 10 kali 15 kaliFrench Fries Ayam Tepung
0
1
2
3
4
5
170°C
190°C
Pemakaian Minyak
Org
ano
lep
tik
Aro
ma
(Ska
la 1
-5)
Gambar 10. Perbandingan Hasil Organoleptik Aroma Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
Hasil uji organoleptik pada Gambar 10 menunjukkan penilaian
panelis terhadap aroma pada minyak yang digunakan dalam proses
penggorengan yang berulang kali dalam beberapa perlakuan. Minyak
segar dinilai sama oleh panelis pada setiap perlakuan yaitu disukai. Pada
minyak 5 kali pemakaian panelis tetap menilai disukai untuk 1 perlakuan
yaitu perlakuan dengan suhu 190C dengan bahan pangan french fries,
dan agak disukai untuk perlakuan lainnya. Sedangkan pada minyak
58
10 kali pemakaian panelis menilai agak disukai pada dua perlakuan yaitu
pada perlakuan suhu 170C dengan bahan pangan french fries dan pada
perlakuan suhu 190C dengan bahan pangan ayam tepung sedangkan
dua perlakuan lainnya dinilai hanya agak disukai oleh panelis. Sedangkan
pada minyak 15 kali pemakaian panelis memberikan penilaian agak
disukai untuk setiap perlakuan.
Cita rasa dan bau yang tidak enak pada minyak goreng
disebabkan oleh proses kerusakan akibat hidrolisis dan oksidasi. Reaksi
ini dapat menyebabkan terbentuknya senyawa-senyawa peroksida dan
asam-asam lemak berantai pendek. Perubahan ini menimbulkan
perubahan organoleptik dari segi bau (ketengikan). Semakin lama dan
semakin tinggi suhu pemanasan yang digunakan semakin cepat proses
oksidasi berjalan. Hal ini sesuai dengan Anonim (2009), bahwa
ketengikan adalah proses kerusakan minyak goreng yang menyebabkan
adanya citarasa dan bau yang tidak enak. Ini akibat dari proses peruraian
minyak karena rembesan air (hidrolisis) dan kerusakan minyak karena
adanya oksigen (oksidasi). Reaksi oksidasi oleh oksigen terhadap asam
lemak tidak jenuh akan menyebabkan terbentuknya peroksida, aldehid,
keton serta asam-asam lemak berantai pendek yang dapat menimbulkan
perubahan organoleptik yang tidak disukai seperti perubahan bau dan
flavour (ketengikan). Derajat oksidasi ditandai dengan penyerapan
oksigen, semakin lama, dan tinggi suhu pemanasan, proses oksidasi
berjalan cepat.
59
2. Pada Produk Goreng
Bahan pangan yang digoreng akan mengalami perubahan warna
yang dapat dijadikan parameter dalam penentuan tingkat kematangan
dari bahan pangan tersebut. Warna bahan pangan yang digoreng dapat
dihasilkan beragam tetapi pada umumnya warna pada bahan pangan
yang telah digoreng akan berwarna cokelat keemasan. Warna cokelat
keemasan ini muncul diakibatkan adanya proses browning atau reaksi
Maillard pada bahan pangan tersebut yang disebabkan oleh penggunaan
suhu penggorengan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Ketaren (2008) bahwa, permukaan atau lapisan luar bahan pangan yang
digoreng akan berubah warna menjadi cokelat keemasan akibat
penggorengan yang disebabkan adanya proses browning atau reaksi
Maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu
menggoreng, juga komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan
pangan.
1 kali 5 kali 10 kali 15 kali 1 kali 5 kali 10 kali 15 kaliFrench Fries Ayam Tepung
0
1
2
3
4
5
170°C
190°C
Pemakaian Minyak
Org
ano
lep
tik
War
na
(Ska
la 1
-5)
Gambar 11. Perbandingan Hasil Organoleptik Warna Produk Gorengan Hasil Pemakain Minyak Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
60
Hasil organoleptik pada gambar diatas menunjukkan tingkat
perbandingan warna bahan pangan yang digoreng dengan kombinasi
suhu dan bahan pangan dalam beberapa durasi penggorengan. Pada
penggorengan dengan menggunakan minyak yang pertama
menunjukkan bahwa panelis agak menyukai warna yang dihasilkan dari
penggorengan pertama. Kemudian pada penggorengan menggunakan
minyak yang telah digunakan 5 kali, panelis juga agak menyukai warna
dari bahan pangan ayam goreng dengan suhu 170C dibandingkan
dengan perlakuan lainnya yang hanya disukai. Pada penggorengan
menggunakan minyak yang telah digunakan 10 kali, panelis kembali
menyukai warna dari produk goreng yang dihasilkan. Dan pada
penggorengan menggunakan minyak yang telah digunakan 15 kali,
panelis memberikan penilaian yang relatif agak menyukai warna dari
semua perlakuan tersebut.
Terdapat peningkatan tingkat kesukaan panelis yang diberikan
seiiring dengan penggorengan yang berulang kali.Ini disebabkan warna
bahan pangan yang digoreng semakin tampak cerah untuk setiap
perlakuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggorengan yang
dilakukan berulang kali tidak berpengaruh nyata pada warna bahan
pangan. Dan penggunaan suhu 170C dan 190C baik digunakan dalam
menggoreng ayam tepung dan french fries. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Ketaren (2008) bahwa, tingkat intensitas warna ini tergantung
dari lama dan suhu menggoreng, juga komposisi kimia pada permukaan
luar dari bahan pangan. Jenis lemak yang digunakan berpengaruh sangat
kecil terhadap warna permukaan bahan pangan.
61
1 kali 5 kali 10 kali 15 kali 1 kali 5 kali 10 kali 15 kaliFrench Fries Ayam Tepung
0
1
2
3
4
5
170°C
190°C
Pemakaian Minyak
Org
ano
lep
tik
Aro
ma
(Ska
la 1
-5)
Gambar 12. Perbandingan Hasil Organoleptik Aroma Produk Gorengan Hasil Pemakaian Minyak Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
Hasil uji organoleptik pada gambar diatas menunjukkan
perbandingan aroma yang terdapat pada beberapa bahan pangan
setelah dilakukan penggorengan dengan beberapa suhu dan dalam
penggunaan minyak berulang kali. Aroma yang dihasilkan pada
penggorengan pertama dinilai panelis tidak disukai untuk bahan pangan
french fries dengan suhu 170C, sedangkan untuk perlakuan lainnya
panelis hanya agak menyukainya. Pada penggorengan menggunakan
minyak yang telah digunakan 5 kali, panelis menyukai aroma dari ayam
goreng tepung dengan suhu penggorengan suhu 190C dibandingkan
dengan perlakuan lain yang hanya agak disukai. Pada penggorengan
menggunakan minyak yang telah digunakan 10 kali, panelis memberikan
penilaian yang meningkat yaitu disukai untuk semua perlakuan. Dan pada
penggorengan menggunakan minyak yang telah digunakan 15 kali,
panelis hanya agak menyukai aroma dari penggunaan suhu 170C pada
kedua produk goreng sedangkan disukai pada penggunaan suhu 190C
62
pada kedua produk goreng pula. Aroma bahan pangan yang telah
digoreng dapat dihasilkan dari bahan pangan itu sendiri ataupun dari
aroma minyak apabila telah terjadi dekomposisi selama proses
penggorengan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ketaren (2008) bahwa,
jika pada proses penggorengan terbentuk asap maka ini berarti, lemak
tersebut mengalami dekomposisi sehingga mengakibatkan bau dan rasa
yang tidak enak.
1 kali 5 kali 10 kali 15 kali 1 kali 5 kali 10 kali 15 kaliFrench Fries Ayam Tepung
0
1
2
3
4
5
170°C
190°C
Pemakaian Minyak
Org
an
ole
pti
k T
ek
stu
r (S
ka
la 1
-5)
Gambar 13. Perbandingan Hasil Organoleptik Tekstur Produk Gorengan Hasil Pemakaian Minyak Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
Hasil uji organoleptik tekstur yang disajikan diatas menunjukkan
bahwa pada penggorengan pertama, dapat dibandingkan untuk
perlakuan ayam goreng tepung dengan setiap suhu penggorengan
panelis menyukai tekstur yang dihasilkan. Sedangkan untuk perlakuan
french fries panelis hanya memberikan penilai agak disukai untuk suhu
170C dan tidak disukai untuk suhu 190C. Sedangkan pada
penggorengan menggunakan minyak yang telah digunakan 5 kali dan
10 kali, penelis tetap memberikan penilaian disukai untuk ayam goreng
63
tepung dengan setiap suhu penggorengan dan hanyak agak disukai
untuk french fries dan dengan setiap suhu penggorengan pula. Dan pada
penggorengan menggunakan minyak yang telah digunakan 15 kali,
panelis memberikan penilai disukai untuk produk ayam tepung dengan
suhu 190C dan agak disukai diberikan untuk perlakuan lainnya.
Bahan pangan yang digoreng identik dengan kerenyahan dan
tekstur yang keras berbeda dengan produk yang diolah dengan cara lain.
Hal ini disebabkan kandungan air yang terdapat pada bahan pangan
yang digoreng sangatlah sedikit. Hal ini dapat terjadi mengingat
mengolah bahan pangan dengan menggoreng menggunakan media
minyak atau lemak dan dengan suhu yang tinggi yang dapat
menyebabkan air yang terkandung dalam bahan pangan dapat menguap.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Ketaren (2008), bahwa selam proses
penggorengan air yang terkandung pada bahan pangan akan keluar dan
menghindrolisa minyak sebagai media dalam penggorengan.
1 kali 5 kali 10 kali 15 kali 1 kali 5 kali 10 kali 15 kaliFrench Fries Ayam Tepung
0
1
2
3
4
5
170°C
190°C
Pemakaian Minyak
Org
ano
lep
tik
Ras
a (S
kala
1-5
)
Gambar 14.Perbandingan Hasil Organoleptik Rasa Produk Gorengan Hasil Pemakaian Minyak Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan.
64
Hasil uji organoleptik rasa dari bahan pangan diatas menunjukkan
bahwa pada penggorengan pertama untuk penggunaan suhu 170C pada
kedua produk goreng tidak menyukai rasanya, sedangkan untuk
penggunaan suhu 190C pada kedua produk goreng panelis
menyukainya. Pada penggorengan menggunakan minyak yang telah
digunakan 5 kali, untuk penggunaan suhu 170C pada kedua produk
goreng hanya agak disukai rasanya, sedangkan untuk penggunaan suhu
190C pada kedua produk goreng panelis menyukainya. Pada
penggorengan menggunakan minyak yang telah digunakan 10 kali,
panelis memberikan penilaian yang seragam yaitu disukai untuk semua
perlakuan. Dan pada penggorengan menggunakan minyak yang telah
digunakan 15 kali, panelis kembali memberikan penilaian yang seragam
tetapi kali ini hanya agak disukai.
Rasa pada bahan pangan hasil olahan dengan cara menggoreng
erat kaitan dengan sifat fisik dan kimia dari minyak yang digunakan. Rasa
dari bahan pangan dapat disebabkan oleh perombakan kompleks yang
dapat menimbulkan rasa sepat serta viskositas dari minyak jika semakin
tinggi maka akan menyebabkan minyak tertahan pada bahan pangan
yang akan menyebakan cita rasa yang berkurang pada bahan pangan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Ketaren (1998), bahwa minyak yang
telah mengalami kerusakan yang disebabkan oleh perombakan kompleks
akan menyebabkan produk akhir hasil gorengan bercita rasa yang tidak
enak. Dan pernyataan Blumenthal (1996), bahwa minyak goreng dengan
viskositas yang tinggi akan menghasilkan produk akhir yang berminyak
karena minyak yang tertahan didalamnya.
65
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Stabilitas minyak kelapa berdasarkan parameter viskositas dan asam
lemak bebas mengalami perubahan yang diakibatkan oleh pengaruh
jenis bahan pangan yang digoreng, tetapi belum dipengaruhi oleh
suhu yang digunakan dan penggunaan minyak yang berulang kali
hingga pemakaian 15 kali.
2. Stabilitas minyak kelapa berdasarkan parameter TPM mengalami
perubahan tidak hanya diakibatkan oleh pengaruh jenis bahan pangan
tetapi dipengaruhi oleh pemakaian minyak setelah 10 kali, tetapi suhu
belum berpengaruh.
3. Hasil organoleptik yang diperoleh dari minyak yang dipakai berulang
kali dan produk goreng yang dihasilkan dari penggorengan berulang
kali tidak disukai panelis setelah pemakaian minyak lebih dari 10 kali.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
1. Ketelitian dalam menguji stabilitas minyak kelapa selama proses
penggorengan sangatlah penting, sehingga diharapkan untuk
melakukan pengujian parameter lebih lengkap termasuk total asam
lemak bebasnya.
2. Penggunaan minyak goreng dianjurkan hanya hingga pemakaian
10 kali, karena berdasarkan penelitian ini minyak yang demikian telah
sangat menurun stabilitasnya.
66
DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan, N., Y. T. Sadikin dan F. G. Winarno., 1997. Pengaruh Lama Penggorengan dan Penggunaan Adsorben Terhadap Mutu Minyak Goreng Bekas Penggorengan Tahu- Tempe.http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/81974045.pdf. [15 Desember 2011]
Anonim, 2011a. Minyak Jelantah. http://id.wikipedia.org/wiki/Minyak_jelantah. [15 Desember 2011]
, 2011a. Bromelin. http://id.wikipedia.org/wiki/Bromelin. [17 November 2011]
, 2011b. Minyak Goreng. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20973/4/Chapter%20II.pdf. [15 Desember 2011]
Blumenthal, M.M. 1996. Frying Technology.Di dalam : Romaria, Mayland. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada Proses Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang Dihasilkan. Institute Pertanian Bogor, Bogor.
BSN, 1995. Minyak Goreng. SNI 01-3741-1995. Badan Standarisasi Nasional.
DGF, 2006a. Polar Compounds : determination of the content in fats and oils. Wissenschaftliche Verlagsgesellschaft, Stuttgart. Germany.
DGF, 2006b. Polar Compounds content : micromethod according to Schulte. Wissenschaftliche Verlagsgesellschaft, Stuttgart. Germany.
Firestone, D., H. Wlliam, F., Leo., dan M., Glen 1960. The examination of fats and fatty acids for toxic substances. J. Amer. Chem. Soc. 38 :418-422.
Hariskal, 2009. Kerusakan Minyak Goreng. http://hariskal.wordpress.com/2009/05/09/kerusakan-minyak-goreng/. [15 Desember 2011]
Huda, T., 2009. Teknik-Teknik Pembuatan Minyak Kelapa. http://diploma.chemistry.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=119. [15 Desember 2011]
Ketaren, S., 2008. Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Krishnamurthy, R.G. dan Vernon C. W. 1996. Salad oil and oil-based dressings. Di dalam: Bailey’s Industrial Oil and Fat Technology; Edible Oil and Fat Product: Product and Application Technology (4th ed., Vol 3). Wiley-Interscience Publication. New York. pp. 193-224
67
Lawson, H. 1995. Food Oils and Fats : Technology, Utilization, and Nutrition. Chapman and Hall, New York.
Mellema, M. 2003. Mechanism and Reduction of Fat Uptake in Deep Fat Fried Food. Food Sci. 14 : 364-373.
Mohamed Sulieman, Abd El-Rahman, Attya El-Makhzangy, dan Mohamed Fawzy Ramadan, 2001. Antiradikal Performance and Physicochemical Characteristics of Vegetable Oils upon Frying of French Fries: A Preliminary Comparative. Electronic Journal of Environmental, Agricultural and Food Chemistry. www.ejeafche.uvigo.es. [22 Februari 2012]
Nugraha, W.S. 2004. Kendali Adsorben Karbon Aktif dan Magnesium Silikat dalam Efisiensi Pemakaian Minyak Goreng di Further Processing PT. Chaeroen Pokhand Indonesia-Serang. Skripsi.Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Tenologi Pertanian. IPB. Bogor.
O’Brien, Richard. D.,2003. Fats and Oils 2nd ed. CRC Press, New York. Washington D.C.
Pinthus, E.J. dan I.S. Saguy. 1994. Initial Interfacial Tension and Oil Uptake by Deep Fat Fried Food. J. Food Sci. 59: 804-807
Pokorny, J. 1989. Flavor Chemistry of Deep-Fat Frying ini Oil. Di dalam : Romaria, Mayland. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada Proses Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang Dihasilkan. Institute Pertanian Bogor, Bogor.
Quaglia, G.B., dan Bucarelli, F.M., 2001. Efective process control in frying.Di dalam : Rossell, J.B. (ed.). Frying : Improving quality. CRC Press. New York. pp.236-259.
Romaria, Mayland, 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada Proses Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang Dihasilkan. Institute Pertanian Bogor, Bogor.
Stier, R. F., 2003. Finding Functionality in Fat and Oil. www.preparedFood.com. [22 Februari 2012]
Wan, P.J., 2000. Properties of Fats and Oils. Di dalam: O’Brien, R.D., W.E. Farr, dan P.J. Wan (eds). Introduction to Fats and Oils Technology 2nd ed. AOCS Press, Illnois.
Warner, K., 2002. Chemistry of Frying Oils. Di dalam: C.C. Akoh dan D.B. Min (ed). Food Lipids 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Winarno, F., G., 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
68
Yates, R. A dan J.d. Caldwell., 1992. Adsorptive Capacity of Active Filter Aids for Used Cooking Oil. Di dalam : Kadarwati, Sri., Sri, Wahyuni. Regenerasi Minyak Jelantah Dengan Zeolit Alam Sebagai Upaya Peningkatan Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang.
Zainal, 2010. Investigaion on The Stability of Different Frying Oils During Frying With And Without Foods. Shaker Verlag, Germany.
69
LAMPIRAN
Lampiran 1a. Data Hasil Analisa Asam Lemak Bebas pada Minyak yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
Suhu Pemakaian MinyakFrench Fries Ayam Tepung
TOTALUlg.1 Ulg.2 Ulg.1 Ulg.2
170C Segar 0.18 0.16 0.18 0.16 0.34
Pemakaian 5 kali 0.21 0.19 0.17 0.17 0.40
Pemakaian 10 kali 0.23 0.24 0.21 0.17 0.47
Pemakaian 15 kali 0.26 0.26 0.25 0.25 0.51
190C Segar 0.18 0.16 0.18 0.16 0.34
Pemakaian 5 kali 0.17 0.19 0.16 0.18 0.36
Pemakaian 10 kali 0.21 0.20 0.20 0.20 0.41
Pemakaian 15 kali 0.23 0.23 0.24 0.22 0.46
Total 1.67 1.62 1.60 1.51 3.69
Lampiran 1b. Data Asam Lemak Bebas Hubungan Antara Suhu dan Pemakaian Minyak Berulang Kali
Pemakaian MinyakSuhu
Jumlah170°C 190°C
Segar 0.68 0.68 1.36Pemakaian 5 kali 0.74 0.71 1.44
Pemakaian 10 kali 0.85 0.81 1.67Pemakaian 15 kali 1.01 0.92 1.94
Jumlah 3.29 3.12 6.41
Lampiran 1c. Hasil Analisa Sidik Ragam Asam Lemak Bebas pada Minyak yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
SK Db JK KT F HitungF Tabel
5% 1%
Bahan Pangan 1 0.946 0.9456 289.92** 5.59 12.25Kombinasi 7 0.007 0.0011 0.33 3.79 7.00Suhu 1 0.001 0.0008 0.23 5.59 12.25Penggorengan 3 0.006 0.0021 0.65 4.35 8.45Interaksi 3 0.000 0.0001 0.03 4.35 8.45Galat 7 0.023 0.0033
Total 15 0.976 Keterangan : * = Nyata, ** = Sangat Nyata (KK = 2,50 %)
Lampiran 1d. Hasil Uji BNT Pengaruh Jenis Bahan Pangan Terhadap Kadar Asam Lemak Bebas pada Minyak Goreng
70
Bahan Pangan Taraf 5 % Taraf 1%French Fries a A
Ayam Tepung b B
Lampiran 2a. Data Hasil Analisa Total Polar Materials (TPM) pada Minyak yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
Suhu Pemakaian MinyakFrench Fries Ayam Tepung
TOTALUlg.1 Ulg.2 Ulg.1 Ulg.2
170C Segar 35.0 33.0 35.0 33.0 136.0 Pemakaian 5 kali 35.5 34.5 36.0 34.5 140.5 Pemakaian 10 kali 34.5 33.0 34.0 32.5 134.0
Pemakaian 15 kali 33.5 31.5 32.0 31.0 128.0190C Segar 35.0 33.0 35.0 33.0 136.0
Pemakaian 5 kali 35.0 33.0 36.0 34.0 138.0 Pemakaian 10 kali 34.5 32.5 35.5 33.5 136.0 Pemakaian 15 kali 32.0 30.0 33.5 32.0 127.5
Total 275.0 260.5 277.0 263.5 1076.0
Lampiran 2b. Data Total Polar Materials (TPM) Hubungan Antara Suhu dan Pemakaian Minyak Berulang Kali
Pemakaian MinyakSuhu
JumlahA1 A2
Segar 136.0 136.0 272.0Pemakaian 5 kali 140.5 138.0 278.5
Pemakaian 10 kali 134.0 136.0 270.0Pemakaian 15 kali 128.0 127.5 255.5
Jumlah 538.5 557.5 1176.0
Lampiran 2c. Hasil Analisa Sidik Ragam Total Polar Materials (TPM) pada Minyak yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
SK db JK KT F HitungF Tabel
5% 1%
Bahan Pangan 1 25.3125 25.3125 27.00** 5.59 12.25Kombinasi 7 36.6250 5.2321 5.58 3.79 7.00Suhu 1 0.0313 0.0313 0.03 5.59 12.25Penggorengan 3 35.3125 11.7708 12.56** 4.35 8.45Interaksi 3 1.2813 0.4271 0.46 4.35 8.45Galat 7 6.5625 0.9375
Total 15 68.500 Keterangan : * = Nyata, ** = Sangat Nyata (KK = 1,44 %)
Lampiran 2d. Hasil Uji BNT Pengaruh Jenis Bahan Pangan Terhadap Total Polar Materials (TPM) pada Minyak Goreng
71
Bahan Pangan Taraf 5 % Taraf 1%
French Fries a A
Ayam Tepung b B
Lampiran 2e. Hasil Uji BNT Pengaruh Pemakaian Minyak Berulang Kali pada French Fries Terhadap Total Polar Materials (TPM) pada Minyak Goreng
Pemakaian Minyak Taraf 5 % Taraf 1%
Segar b B
Pemakaian 5 kali b B
Pemakaian 10 kali b B
Pemakaian 15 kali a A
Lampiran 2f. Hasil Uji BNT Pengaruh Pemakaian Minyak Berulang Kali pada Ayam Tepung Terhadap Total Polar Materials (TPM) pada Minyak Goreng
Pemakaian Minyak Taraf 5 % Taraf 1%
Segar c B
Pemakaian 5 kali c B
Pemakaian 10 kali b B
Pemakaian 15 kali a A
Lampiran 3a. Data Hasil Analisa Viskositas pada Minyak yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
Suhu Pemakaian MinyakFrench Fries Ayam Tepung
TOTALUlg.1 Ulg.2 Ulg.1 Ulg.2
170°C Segar 1296.00 1324.96 1296.00 1324.96 3916.96 Pemakaian 5 kali 1324.96 1339.56 1281.64 1324.96 3946.16 Pemakaian 10 kali 1310.44 1459.24 1324.96 1324.96 4094.64 Pemakaian 15 kali 1459.24 1474.56 1354.24 1369.00 4288.04
190°C Segar 1296.00 1324.96 1296.00 1324.96 3916.96 Pemakaian 5 kali 1310.44 1339.56 1324.96 1369.00 3974.96 Pemakaian 10 kali 1324.96 1324.96 1354.24 1383.84 4004.16 Pemakaian 15 kali 1354.24 1398.76 1354.24 1369.00 4107.24
Total10676.2
8 10986.5610586.2
810790.6
832249.1
2
72
Lampiran 3b. Data Viskositas Hubungan Antara Suhu dan Pemakaian Minyak Berulang Kali
Pemakaian MinyakSuhu
JumlahA1 A2
Segar 3916.96 3916.96 7833.92Pemakaian 5 kali 3946.16 3974.96 7921.12
Pemakaian 10 kali 4094.64 4004.16 8098.80Pemakaian 15 kali 4288.04 4107.24 8395.28
Jumlah 16245.80 16003.32 32249.12
SK db JK KT F HitungF Tabel
5 % 1 %
Bahan Pangan 1 25399264.90 25399265 5847.15** 5.59 12.25Perlakuan 7 28250.23 4035.75 0.93 3.79 7.00Suhu 1 1837.39 1837.39 0.42 5.59 12.25Penggorengan 3 23037.14 7679.05 1.77 4.35 8.45Interaksi 3 3375.70 1125.23 0.26 4.35 8.45Galat 7 30407.10 4343.87
Total 15 25457922.22
Lampiran 3d. Hasil Uji BNT Pengaruh Jenis Bahan Pangan Terhadap Viskositas pada Minyak Goreng
Bahan Pangan Taraf 5 % Taraf 1%
French Fries a A
Ayam Tepung b B
Lampiran 4a. Data Hasil Organoleptik Terhadap Warna Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
PanelisSampel
Jumlah981 442 719 151 848 794 263 135 814 498 675 235 853 179 588 214
1 2 5 4 4 2 5 2 2 5 2 2 4 4 5 4 4 56
73
2 4 4 3 4 2 4 3 4 5 3 3 4 4 4 5 4 60
3 2 5 4 4 1 5 3 3 3 3 3 4 3 4 4 3 54
4 2 5 4 4 2 5 3 5 5 2 1 3 3 5 4 4 57
5 3 4 3 3 2 4 2 3 3 2 2 3 3 4 4 3 48
6 3 4 2 2 2 3 1 2 4 3 2 2 4 3 3 3 43
7 3 5 4 5 3 5 3 4 5 4 2 5 4 5 5 4 66
8 2 3 5 4 3 4 5 3 5 3 3 4 5 4 3 3 59
9 3 4 3 3 2 4 2 3 4 2 3 4 2 4 2 4 49
10 4 4 3 4 1 4 2 2 3 2 2 2 4 3 4 3 47
Jumlah 28 43 35 37 20 43 26 31 42 26 23 35 36 41 38 35539
Rerata 3 4 4 4 2 4 3 3 4 3 2 4 4 4 4 4
Lampiran 4b. Data Hasil Organoleptik Terhadap Aroma Minyak Goreng yang Dipakai Berulang Kali dengan Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
PanelisSampel
Jumlah981
442 719 151 848 794 263135
814 498 675 235 853 179588
214
1 3 4 3 3 2 4 3 3 4 2 2 3 4 5 4 4 53
2 3 5 4 4 2 4 2 2 4 4 4 5 4 4 4 4 59
3 4 4 4 4 3 4 3 3 3 3 3 4 3 3 4 4 56
4 3 2 5 4 4 3 5 4 4 3 3 5 4 5 3 3 60
5 4 5 4 4 2 3 2 2 4 4 4 3 2 4 3 4 54
6 2 3 2 2 3 4 3 4 2 3 3 3 2 2 3 3 44
7 4 5 3 4 4 5 4 4 4 5 4 5 4 5 4 4 68
8 3 5 3 4 3 3 4 5 4 4 3 3 4 3 4 4 59
9 2 2 4 2 3 2 4 3 2 2 3 3 2 2 4 2 42
10 4 4 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 4 3 4 3 50
Jumlah 32 39 35 34 29 35 33 32 33 33 32 37 33 36 37 35545
Rerata 3 4 4 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 4 4 4
Lampiran 5a. Data Hasil Organoleptik Terhadap Warna Produk Goreng yang Digoreng dengan Minyak Pemakaian Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
PanelisA1B1 A1B2 A2B1 A2B2
1x 5x 10x 15x 1x 5x 10x 15x 1x 5x 10x 15x 1x 5x 10x 15x
1 5 5 5 5 4 3 3 2 3 3 4 2 3 3 3 3
2 4 2 3 4 1 3 3 5 3 4 4 4 3 4 3 5
74
3 1 3 4 4 3 4 2 3 2 3 3 5 4 4 4 3
4 4 2 5 3 4 4 4 3 4 5 5 2 3 4 4 4
5 1 3 4 3 4 4 4 4 3 4 4 5 4 3 3 3
6 3 3 3 4 2 5 5 5 2 2 3 2 2 3 3 4
7 3 3 3 2 1 4 5 4 2 4 3 4 1 4 5 3
8 3 4 5 2 3 5 4 4 4 5 5 4 3 4 5 2
9 4 3 4 3 4 3 3 3 3 2 4 3 2 2 4 3
10 2 4 5 4 5 4 3 4 3 4 4 3 4 4 4 3
Jumlah 30 32 41 34 31 39 36 37 29 36 39 34 29 35 38 33
Rerata 3 3 4 3 3 4 4 4 3 4 4 3 3 4 4 3
Lampiran 5b. Data Hasil Organoleptik Terhadap Aroma Produk Goreng yang Digoreng dengan Minyak Pemakaian Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
PanelisA1B1 A1B2 A2B1 A2B2
1x 5x 10x 15x 1x 5x 10x 15x 1x 5x 10x 15x 1x 5x 10x 15x
1 2 3 4 2 2 5 4 3 3 5 4 3 3 4 4 4
2 1 2 4 3 4 3 4 4 2 4 3 3 4 4 5 4
3 2 2 4 2 3 3 3 3 4 4 4 3 2 4 4 4
4 3 4 4 3 3 4 4 5 3 2 4 4 3 3 4 4
5 4 4 4 4 4 2 3 5 4 2 3 4 4 4 3 5
6 3 3 4 3 2 3 3 3 3 3 4 3 3 5 4 4
7 4 3 4 4 2 4 3 4 2 3 5 2 3 5 5 4
8 1 2 4 5 3 4 5 4 1 2 4 4 4 4 4 5
9 1 1 3 4 4 3 4 5 1 1 3 3 4 5 4 3
10 2 2 4 3 2 3 5 5 2 4 4 4 3 4 4 3
Jumlah 23 26 39 33 29 34 38 41 25 30 38 33 33 42 41 40
Rerata 2 3 4 3 3 3 4 4 3 3 4 3 3 4 4 4
Lampiran 5c. Data Hasil Organoleptik Terhadap Tekstur Produk Goreng yang Digoreng dengan Minyak Pemakaian Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
PanelisA1B1 A1B2 A2B1 A2B2
1x 5x 10x 15x 1x 5x 10x 15x 1x 5x 10x 15x 1x 5x 10x 15x
1 2 2 4 3 2 4 4 4 4 4 2 3 3 4 4 4
2 3 2 2 2 3 3 4 3 1 3 3 4 3 4 4 3
75
3 4 4 4 2 4 4 5 2 2 4 3 4 4 3 3 4
4 3 4 3 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 2 4
5 3 5 4 3 4 5 4 4 2 3 5 3 4 5 5 4
6 2 4 4 3 5 4 3 4 2 2 4 4 4 4 5 3
7 3 4 4 3 4 4 4 3 3 3 4 3 3 3 4 4
8 2 3 5 4 3 5 5 4 3 4 4 3 4 4 3 5
9 1 4 4 3 4 3 3 4 2 4 3 2 4 5 4 5
10 2 3 3 4 4 3 4 3 2 3 3 4 5 4 5 4
Jumlah 25 35 37 31 37 39 40 34 24 34 35 34 38 40 39 40
Rerata 3 4 4 3 4 4 4 3 2 3 4 3 4 4 4 4
Lampiran 5d. Data Hasil Organoleptik Terhadap Rasa Produk Goreng yang Digoreng dengan Minyak Pemakaian Berulang Kali dengan Perlakuan Antara Suhu dan Jenis Bahan Pangan
PanelisA1B1 A1B2 A2B1 A2B2
1x 5x 10x 15x 1x 5x 10x 15x 1x 5x 10x 15x 1x 5x 10x 15x
1 2 5 5 3 3 5 3 4 3 4 5 3 3 4 4 4
2 1 3 2 4 4 4 4 3 2 1 3 2 4 4 5 2
3 3 2 4 2 3 4 5 2 1 2 4 2 4 4 5 4
4 4 2 4 5 4 5 3 4 2 4 4 5 4 5 4 3
5 4 4 5 4 3 5 5 3 2 2 5 4 3 5 5 5
6 2 2 3 3 3 4 4 4 3 3 3 2 3 4 3 4
7 3 2 2 4 3 5 3 3 3 3 4 4 5 3 4 3
8 1 2 3 2 4 5 5 3 2 4 4 3 4 5 3 3
9 1 4 3 4 5 3 3 4 1 2 5 5 5 4 5 2
10 2 3 4 3 5 4 4 4 1 2 4 4 5 4 4 3
Jumlah 23 29 35 34 37 44 39 34 20 27 41 34 40 42 42 33
Rerata 2 3 4 3 4 4 4 3 2 3 4 3 4 4 4 3
Lampiran 6. Dokumentasi Gambar
76
Alat Deep Fryer
Minyak Kelapa yang digunakan
Proses Menggoreng French Fries dan Ayam Tepung
77
Produk French Fries dan Ayam Goreng Tepung
Minyak Goreng untuk Perlakuan A1B1
Minyak Goreng untuk Perlakuan A1B2
Minyak Goreng untuk Perlakuan A2B1
Minyak Goreng untuk Perlakuan A2B2
78
top related