rekonstruksi dan pengelompokan bahasa-bahasa
Post on 15-Jan-2017
236 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Fungsi dan kedudukan bahasa daerah sangat penting karena tidak dapat
dipisahkan dari pengembangan bahasa nasional. Salah satu upaya untuk
mengembangkan bahasa daerah adalah melakukan penelitian terhadap bahasa-
bahasa tersebut dalam semua aspek linguistik. Hingga kini penelitian terhadap
bahasa-bahasa daerah di Indonesia masih didominasi oleh penelitian sinkronis.
Parera (1984:19) mengatakan bahwa penelitian diakronis terhadap bahasa-bahasa
daerah di Indonesia tidak dilakukan secara serius dan bersifat kebetulan.
Hampir semua masalah dalam penelitian skripsi, tesis, dan disertasi
merupakan masalah-masalah sinkronis. Tidak mengherankan apabila di
perpustakaan-perpustakaan yang ada di seluruh Indonesia, termasuk Badan
Bahasa, hasil penelitian dan buku mengenai linguistik historis komparatif sangat
jarang. Pada tataran rumpun bahasa Austronesia, penelitian diakronis juga masih
sangat terbatas dibandingkan dengan penelitian diakronis terhadap bahasa-bahasa
Indo-Eropa meskipun hampir tidak ada naskah tua bahasa-bahasa Austronesia,
sedangkan naskah tua bahasa-bahasa Indo-Eropa sangat banyak.
Walaupun tercatat sejumlah penelitian diakronis tentang rumpun bahasa
Austronesia, termasuk bahasa-bahasa Indonesia, penelitian tersebut masih terbatas
pada hubungan genetis antarbahasa yang jumlah penuturnya sangat besar seperti
bahasa Sunda, bahasa Jawa, bahasa Madura, dan bahasa Batak. Hubungan bahasa-
bahasa berkerabat (sister languages) yang ada dalam masing-masing bahasa
belum dilakukan secara memadai. Misalnya, hubungan genetis antara bahasa-
Universitas Sumatera Utara
bahasa Batak, (selanjutnya disingkat bbB), bahasa Toba (disingkat bT), bahasa
Simalungun (disingkat bS), bahasa Pak Pak Dairi (disingkat bPD), bahasa
Angkola (disingkat bA), bahasa Karo (disingkat bK) dan bahasa Mandailing
(disingkat bM) yang merupakan sumber data penelitian ini, belum diteliti secara
tuntas.
Voorhoeve (1955:88), misalnya, dalam penelitiannya mengenai hubungan
genetis bahasa-bahasa Batak belum menerapkan leksikostatistik untuk
menentukan waktu pisah (time depth) antara satu dengan yang lain dan belum
menunjukkan data rekurensi perangkat fonem atau klaster fonem serta faktor-
faktor yang menimbulkan perubahan bunyi. Dia mengatakan bahwa bahasa Toba
dan bahasa Angkola adalah kelompok Batak Selatan, bahasa Karo, bahasa
Alas, dan bahasa Dairi adalah kelompok Batak Utara, sedangkan bahasa
Simalungun adalah bahasa Batak Timur. Namun dia hanya memberikan data
mengenai variasi bunyi tertentu dalam bahasa-bahasa Batak (misalnya, fonem /*k/
berinovasi menjadi fonem /h/ dalam bahasa Batak Selatan dan Batak Simalungun
dan tetap dipertahankan dalam Batak Utara) untuk menunjukkan pengelompokan
(sub-grouping). Menurut Keraf (1990:112), pengelompokan seperti ini disebut
pengelompokan sekilas (inspection).
Akibat terbatasnya penelitian diakronis tentang bbB, Keraf (1991:37)
membuat kesalahan pada data bahasa Batak (tanpa menyebutkan bahasa Batak
apa) untuk glos padi, yakni page dan untuk glos pandan, yakni
pandan. Padanan glos padi dalam bT adalah /m/ dan padanan glos
pandan adalah /pddn/.
Universitas Sumatera Utara
Akibat alasan yang sama, sebagian masyarakat Batak beranggapan bahwa
bahasa yang dipakainya dan bahasa atau bahasa-bahasa Batak lainnya adalah
dialek-dialek dari bahasa Batak (bahasa Batak dipakai untuk menunjuk bT).
Maksud anggapan itu adalah bT adalah proto-bbB. Di samping itu, sebagian
masyarakat Angkola/Mandailing menganggap bahasanya sebagai bA, sebagian
masyarakat Karo menganggap bahasanya sebagai bK, sebagian masyarakat
Pakpak Dairi menganggap bahasanya sebagai bPD, dan seterusnya. Akan tetapi,
sebagian masyarakat lainnya menganggap bahwa hubungan bT-bA-bM, bPD-bK,
dan bPD-bK-bS adalah dialek.
Anggapan-anggapan masyarakat tadi tidak didasarkan pada data hubungan
genetis antara bahasa-bahasa tersebut melainkan pada fakta sosiolinguistik.
Haugen (1979:102) mengatakan bahwa dari segi penggunaan fungsional,
masyarakat berhak memberikan nama bahasa atau dialek kepada bahasa yang
digunakannya. Sementara itu, McManis dkk. (1987:116) mengatakan bahwa batas
dua dialek atau dua bahasa tidak dapat dilakukan secara tepat karena sering
dipengaruhi oleh faktor non-linguistik (misalnya, faktor politik).
Ada dua kemungkinan mengapa perbedaan anggapan-anggapan
masyarakat tersebut muncul. Pertama, sebagian masyarakat yang menganggap
bahasanya sebagai dialek bT berpedoman kepada sejarah bahwa masyarakat Batak
berasal dari daerah Toba, Tapanuli Utara yakni Sianjur Mula Mula tempat bahasa
Batak digunakan (Siahaan, 1964: Voorhoeve, 1975). Kedua, sebagian masyarakat
yang menganggap bahasanya bukan merupakan dialek bahasa Batak mempunyai
pemikiran bahwa mereka dan kelompok masyarakat lainnya tidak saling mengerti
atau menganggap dialek lebih rendah dari bahasa (Gleason, 1955:441; Haugen
1979:102).
Universitas Sumatera Utara
Kedua anggapan yang berbeda tersebut sama-sama dapat diterima. Namun
setidaknya, harus ada data diakronis untuk menjelaskan anggapan para penutur
bbB dalam konteks status dialek atau bahasa. Masalah dialek atau bahasa
merupakan bidang penelitian diakronis yang dianalisis dengan teknik
leksikostatistik melalui pengelompokan bahasa-bahasa berkerabat berdasarkan
persentase kekerabatan dan waktu pisah. Masalah tersebut tidak merupakan
cakupan penelitian ini.
Mengenai anggapan bahwa bT adalah bahasa purba (proto-bbB) atas
asumsi bahwa Toba adalah daerah asal masyarakat Batak, dibutuhkan penjelasan
linguistik diakronis, yakni metode komparatif yang merupakan bidang penelitian
ini.
Sehubungan dengan uraian di atas, penelitian diakronis yang meliputi
rekonstruksi proto-bahasa dan pengelompokan bahasa-bahasa daerah sangat
strategis, baik secara teoretis maupun secara praktis. Penelitian bahasa-bahasa
daerah, khususnya bbB, secara diakronis semakin mendesak karena bahasa-
bahasa tersebut tidak mempunyai naskah-naskah fonetis tua yang dapat dijadikan
sebagai data untuk menganalisis perkembangan bahasa-bahasa tersebut melalui
rekonstruksi.
Walaupun suatu bahasa mempunyai naskah tua, rekonstruksi proto-bahasa
sangat diperlukan karena naskah tua tersebut tidak ditulis secara fonetis. Atas
dasar itu, pernyataan Keraf (1992:26) bahwa rekonstruksi proto-bahasa yang
mempunyai naskah tua tidak diperlukan karena bentuk-bentuk tuanya sudah
ditemukan dalam naskah-naskah tua tersebut, menurut peneliti, tidak berdasar.
Universitas Sumatera Utara
Bolton (1982:260) mengatakan, tulisan seperti fosil-fosil tidak membawa
kita lebih dari satu atau dua langkah ke belakang untuk mengetahui
perkembangan bahasa-bahasa sekarang.
Meskipun bahasa-bahasa berkerabat mempunyai naskah-naskah tua, proto-
fonem dan proto-morfemnya tidak serta merta dapat diketahui karena naskah-
naskah bahasa baik tua maupun kontemporer tidak diwujudkan secara fonetis
yang menunjukkan bagaimana bunyi-bunyi bahasa diartikulasikan oleh alat-alat
ucap manusia. Dengan menggunakan ortografi sebagai data, tidak dapat
ditentukan proto-fonem dan proto-morfem tanpa melakukan rekonstruksi. Di
samping itu, hubungan bahasa-bahasa berkerabat tidak selalu langsung ke proto-
bahasa tetapi juga melalui fase perantara (intermediate) yang juga disebut sebagai
bahasa meso (meso language) seperti terlihat pada diagram Hymes (1960:33)
berikut:
pAC(=pBC)
p(AB)
A B C
pAB=meso language
pAC=proto language untuk A,B, dan C Diagram 1.1 Proto-bahasa Perantara
Diagram di atas menunjukkan, terdapat proto perantara/ tengah
(intermediate) untuk bahasa A dan bahasa B yang disebut meso language.
Sementara itu, bahasa A dan bahasa C secara langsung mempunyai proto-bahasa
A dan bahasa C atau p(AC) dan bahasa A, bahasa B, dan bahasa C mempunyai
proto-bahasa ABC atau p(ABC).
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, meskipun naskah tua p(ABC) tersedia, diperlukan
rekonstruksi p(ABC). Analisis seperti itu akan menunjukkan bentuk p(ABC)
melalui perbandingan bahasa A, bahasa B, dan bahasa C. Hal yang sama dapat
dilakukan dalam menentukan proto-bbB atau p(bbB).
Bukti lain tentang pentingnya rekonstruksi meskipun terdapat naskah-
naskah tua adalah fakta bahwa rekonstruksi bahasa Inggris Kuno (Old English),
Bahasa Inggris Pertengahan (Middle English), dan bahasa Inggris Chaucer
(Chaucer’s English) yang mempunyai naskah-naskah tua, dilakukan secara
ekstensif dengan menerapkan hukum bunyi Grim (Grimm’s Law) dan hukum
bunyi Verner (Verner’s Law). Sama halnnya, meskipun Dahl (1976) telah
menginventarisasi proto-bahasa-bahasa Austronesia (PAN), banyak peneliti yang
menganalisis perkembangan fonem-fonem PAN menjadi fonem-fonem
kontemporer pada bahasa-bahasa berkerabat yang diturunkannya.
Memang naskah-naskah tua, seperti naskah-naskah Jawa Kuno (Jawa
Kuno awal, pertengahan, dan akhir ) dan naskah Jawa Pertengahan akan sangat
bermanfaat dalam rekonstruksi proto-bahasa. Namun, ketersediaan naskah-
naskah tersebut tidak berarti bahwa rekonstruksi proto-bahasa Jawa tidak
diperlukan. Untuk tujuan seperti inilah dilakukan rekonstruksi satu bahasa dalam
dua atau lebih kurun waktu (rekonstruksi internal).
Kembali pada masalah pentingnya rekonstruksi proto-bbB, penelitian pada
bidang ini dipandang sangat penting di tengah semakin terdesaknya bahasa-bahasa
daerah oleh bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa global, khususnya bahasa
Inggris. Akibat berbagai faktor, khususnya alasan tersebut, kini bahasa-bahasa
daerah di Indonesia terancam kepunahan. Menurut Kepala Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Patji
Universitas Sumatera Utara
(2011), 169 bahasa etnis di Indonesia terancam punah (diunduh 20 Desember
2012 dari http://www.antaranews.com/berita/289143).
Rekonstruksi, selain bermanfaat untuk studi linguistik komparatif, juga
merupakan langkah konkret untuk menggali bentuk-bentuk bahasa purba yang
tidak nampak sebagai bagian dari unsur budaya bangsa. Dengan adanya
rekonstruksi bbB, misalnya, fonem-fonem dan morfem-morfem bbB yang dulu
diperkirakan ada dapat dipulihkan dan dihubungkan dengan fonem-fonem dan
morfem-morfem yang ada sekarang sehingga sejarah perkembangannya dapat
diketahui. Penemuan itu identik dengan penemuan unsur-unsur budaya moyang
lainnya yang hubungannya dapat ditelusuri dengan unsur-unsur budaya
kontemporer.
Penelitian diakronis didasarkan pada fakta bahwa bahasa mengalami
perubahan secara perlahan-lahan dan teratur yang terlihat pada pasangan-
pasangan bunyi berkorespondensi. Artinya, bahasa-bahasa yang ada sekarang
tidak lahir begitu saja tetapi merupakan warisan dari proto-bahasa yang pernah
ada. Itu sebabnya mengapa bahasa-bahasa kontemporer yang diturunkan oleh
proto-bahasa yang sama mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lain.
Contoh, bT, bS, bPD, bA, bK, dan bM mempunyai kesamaan atau kemiripan satu
sama lainnya. Hal itu dapat dilihat dari kesamaan atau kemiripan pada tataran
kosakata dasar (basic core vacubalary).
Meskipun tidak ada teori yang mengatakan bahwa bahasa dapat diwakili
kosakata dasar, data yang digunakan penelitian diakronis untuk menentukan
tingkat kekerabatan, waktu pisah, pengelompokan, dan rekonstruksi proto-bahasa
yang berhubungan secara genetis adalah kosakata dasar. Prinsip yang harus
diingat dalam studi komparatif adalah data yang digunakan adalah kata-kata yang
Universitas Sumatera Utara
merupakan pantulan proto-bahasa dan tidak merupakan kata-kata pinjaman atau
kata-kata yang dibentuk berdasarkan analogi dan ketabuan. Menurut Swadesh
(1952:117), kosakata dasar mencakup kata-kata yang menunjuk kata ganti, kata
bilangan, anggota tubuh (dan sifat atau aktivitasnya), alam dan sekitarnya serta
alat-alat perlengkapan sehari-hari.
Kata-kata yang termasuk dalam kosakata dasar lebih sulit berubah dari
kata-kata lain dan mempunyai retensi sampai ribuan tahun sesuai dengan
penelitian yang telah dilakukan terhadap bahasa-bahasa Indo-Eropa. Kata-kata
tersebut sulit digantikan oleh kata-kata pinjaman. Lehmann (1973:124)
mengatakan,
The first is that some items of the vocabulary are better maintained than others; the lower numerals, pronouns items referring to parts of the body and to natural objects_animals, plants, heavenly bodies, and so on. These items are referred to as the basic core vocabulary. Walaupun kosakata dasar bertahan lebih lama dan sulit digantikan kata-
kata lain, dalam penelitian diakronis, peneliti harus memastikan bahwa data yang
dikumpulkan tidak boleh mengandung kata pinjaman (loan words), kata-kata
dalam bahasa-bahasa tertentu yang kebetulan mempunyai bentuk dan arti yang
sama dengan padanan-padanannya yang tidak mempunyai hubungan genetis
dengan bahasa-bahasa yang diteliti, dan kontak bahasa antara bahasa berkerabat
yang diteliti.
Inovasi atau perubahan bahasa terjadi sebagai akibat dari fakta bahwa
bahasa yang ada penuturnya bersifat dinamis atau hidup. Segala sesuatu yang
hidup, termasuk bahasa, mengalami perubahan secara teratur. Seperti mahluk-
mahluk biologis yang menurut teori Darwin mengalami evolusi, bahasa
mengalami evolusi akibat adanya inovasi. Misalnya, kata betis (bahasa Indonesia)
Universitas Sumatera Utara
adalah bitis dalam bT, bitis dalam bS, bitis dalam bPD,
bitis dalam bA, bites dalam bK, dan bitis dalam bM.
Terlihat inovasi pada bK dengan berubahnya e dari fonem i dalam
bahasa-bahasa kerabatnya. Fonem-fonem yang berkorespondensi pada bbB
adalah b-b-b-b-b-b, i-i-i-i-i-i, t-t-t-t-t-t , i-i-i-i-e-i, dan s-s-s-s-
s-s yang dapat digambarkan sebagai berikut:
bT bS bPD bA bK bM
b b b b b b i i i i i i t t t t t t i i i i e i s s s s s s Pada masa yang lampau, bitis, bitis, bitis, bitis
bites, dan bitis adalah morfem yang sama. Proto-fonem dan proto-
morfem kata betis dan kata-kata lainnya dapat ditentukan melalui rekonstruksi
proto-bbB.
Menurut Crowley (1996:26), perubahan proto-bahasa (parent language)
terjadi secara perlahan-lahan dan teratur dan dapat ditelusuri pada bahasa-bahasa
yang diturunkannya (sister languages). Untuk mengetahui perubahan-perubahan
tersebut, refleksi-refleksi bentuk pada bahasa-bahasa berkerabat yang
diperkirakan berasal dari proto-bahasa yang sama harus dianalisis dengan metode
komparatif.
Sebagian kata-kata mengalami perubahan secara teratur melalui inovasi
bunyi dalam bahasa-bahasa berkerabat tetapi sebagian lainnya mengalami
kebertahanan (retensi) dalam kurun waktu yang cukup lama (ribuan tahun).
Inovasi dan retensi dapat dijelaskan melalui analisis rekurensi perangkat-
Universitas Sumatera Utara
perangkat korespondensi. Fenomena tersebut terjadi pada semua bahasa,
termasuk bbB.
Dalam bbB, contoh kata-kata yang mengalami perubahan fonem-fonem
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 Perubahan Fonem
Glos bT bS bD bA bK bM
bambu bulu buluh buluh bulu buluh bulu
bodoh t mt mt t mtu t
empat pat pat empat pat mpat pat
Dalam bahasa-bahasa tersebut, contoh kata-kata dan bunyi-bunyi yang
tidak mengalami perubahan atau bertahan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2 Retensi Fonem
Glos bT bS bD bA bK bM minum minum minum minum minum minum minum
ratus ratus ratus ratus ratus ratus ratus
ayam manuk manuk manuk manuk manuk manuk
Fonem pada kata yang mengalami perubahan dapat direkonstruksi melalui
analisis terhadap keteraturan perubahan bunyi-bunyi yang mempunyai
korespondensi.
Perubahan bunyi dari proto-bahasa menjadi bunyi-bunyi dalam bahasa-
bahasa yang diturunkannya dapat terjadi dalam bentuk perubahan bunyi bersyarat
(conditioned sound change) dan perubahan tidak bersyarat (unconditioned sound
change). Perubahan bunyi bersyarat adalah perubahan yang diakibatkan
lingkungan berupa perubahan bunyi-bunyi yang berdekatan, posisi suku kata, dan
tekanan. Perubahan bunyi yang tidak bersyarat adalah perubahan yang terjadi
Universitas Sumatera Utara
pada posisi-posisi yang berbeda (awal, tengah, dan akhir kata) tanpa dipengaruhi
lingkungan.
Perubahan-perubahan bunyi tersebut dapat digolongkan dalam jenis
afresis, apakop, sinkop, reduksi klaster, haplologi, eksresens, epentetis atau
anaptiks, protesis, metatesis, fusi, unpaking, pemisahan vokal, asimilasi,
disimilasi, perubahan tak normal, penghilangan fonem, penambahan fonem,
paragog dan lain-lain. Melalui analisis terhadap rekurensi perubahan fonem-
fonem dalam kata-kata berkerabat (kognat), proto-fonem dan proto-morfem
(kata-kata) dalam bbB dapat ditentukan.
Rekonstruksi dapat dilakukan dengan dua cara yakni rekonstruksi internal
(internal reconstruction) dan rekonstruksi komparatif (comparative
reconstruction). Dalam penelitian ini, rekonstruksi yang dilakukan adalah
rekonstruksi komparatif atau rekonstruksi dari bawah ke atas (bottom-up) untuk
menemukan proto-fonem dan proto-morfem bbB. Untuk mengetahui perubahan
fonem dan morfem dari proto-bahasa menjadi fonem dan morfem dalam bahasa-
bahasa berkerabat dilakukan analisis dari atas ke bawah (top-down) dengan
membandingkan proto-bbB dengan bbB kontemporer.
Untuk merekonstruksi proto-fonem dan proto-morfem, pasangan-
pasangan bunyi kognat (cognate sets) dibandingkan. Gudschinsky (1956:72)
memerinci prosedur yang harus diikuti untuk membandingkan kata-kata dan
menetapkan kriteria-kriteria untuk menentukan apakah pasangan-pasangan kata
yang dibandingkan berkerabat atau tidak.
Menurutnya, dalam analisis komparatif, pasangan yang dibandingkan
adalah fonem dengan fonem, fonem dengan klaster fonem atau klaster fonem
dengan klaster fonem. Perbandingan hanya dapat dilakukan pada fonem dengan
Universitas Sumatera Utara
fonem atau fonem dengan klaster fonem dalam posisi yang dapat dibandingkan
(comparable sets). Contoh, untuk membandingkan cu (dialek Ixcatec
'mengatakan' dengan co (dialek Mazatec) 'mengatakan' yang dibandingkan
adalah fonem c dengan fonem c dan fonem o dengan fonem u,
untuk membandingkan ku 'dan' dengan kao 'dan' yang dibandingkan
adalah k dengan k dan u dengan ao, dan untuk
membandingkan suwa 'datang' dengan nčoa 'datang' yang
dibandingkan adalah s dengan nč dan uwa dengan oa.
Perbandingan tersebut dapat digunakan sesuai dengan yang dikemukakan
Crowley (1992:92-94), untuk melakukan rekonstruksi bentuk-bentuk proto-
bahasa, dilakukan tiga langkah sebagai berikut.
Langkah pertama adalah memisahkan kata atau kata-kata yang berkerabat
dari kata-kata yang tidak berkerabat. Langkah kedua adalah menentukan
korespondensi bunyi pada bahasa-bahasa yang berkerabat. Langkah ketiga adalah
memeriksa bunyi-bunyi yang berkorespondensi yang perbedaannya pada bahasa-
bahasa berkerabat paling sedikit. Ketiga langkah itu dan langkah-langkah
tambahan akan diperinci pada bagian berikut disertasi ini.
Berdasarkan prosedur tersebut, perangkat-perangkat korespondensi fonem
dalam bbB untuk glos mati pada tabel 1 di atas adalah m-m-m-m-m-m, a-
a-a-a-a-a, t-t-t-t-t-t, dan e-e-e-e-e-e. Karena perangkat-perangkat
korespondensi tersebut tidak mengalami inovasi atau diwariskan secara linear
kepada bahasa-bahasa yang diturunkannya, maka proto-fonem-fonem adalah
*m, *a, *t, dan *e.
Dengan ditemukannya proto-fonem, proto-morfem dapat ditentukan
karena proto-fonemlah yang membangun proto-morfem. Berdasarkan hal itu,
Universitas Sumatera Utara
proto-morfem (kata) glos mati adalah *mate yang dibangun oleh *m,
*a, *t, dan *e.
Melalui prosedur yang sama, proto-fonem untuk glos ratus dalam bbB
adalah *r, *a, *t, *u, dan *s sedangkan proto-morfemnya
adalah *ratus. Sama halnya, proto-fonem untuk glos ayam adalah *m,
*a, *n, *u, dan *k sedangkan proto-morfemnya adalah
*manuk.
Data ini menunjukkan bahwa proto-fonem dan proto-morfem untuk glos
mati, ratus, dan ayam tidak mengalami inovasi atau perubahan dalam bbB dan
semua perangkat korespondensi diwariskan secara linear oleh proto-fonem-fonem
dan proto-morfem.
Untuk menentukan proto-fonem dan proto-morfem (kata) pada tabel 2 di
atas, dilakukan prosedur yang sama. Untuk glos bambu, dibandingkan bunyi-
bunyi dalam masing-masing bahasa yakni b-b-b-b-b-b, u-u-u-u-u-u, l-l-
l-l-l-l, u-u-u-u-u-u, dan -h-h--h-. Proto-fonem untuk perangkat
korespondensi (correspondence sets atau cognate sets) pertama adalah *b,
untuk perangkat kedua adalah *u, untuk perangkat ketiga adalah *l,
untuk perangkat keempat adalah *u, dan untuk perangkat kelima adalah
*h yang dalam semua bahasa mudah hilang (akan dibahas lebih jauh pada
analisis data). Perangkat-perangkat korespondensi yang tidak mengalami
perbedaan pada setiap bahasa yakni b-b-b-b-b-b, u-u-u-u-u-u, dan l-l-
l-l-l-l menunjukkan pewarisan langsung atau linear dari proto-bahasa ke bahasa-
bahasa yang diturunkannya (daughter languages). Dengan demikian, proto-fonem
perangkat-perangkat bunyi tersebut adalah *b, *u, dan *l, yang
masing-masing mengalami kebertahanan (retensi). Sementara itu, proto-fonem
Universitas Sumatera Utara
-h-h--h- adalah *h yang mengalami inovasi pada bbB dengan
alasan seperti disebutkan tadi. Atas dasar itu, proto-morfem (kata) glos bambu
adalah *buluh yang dibangun oleh *b,*u,*l, *u, dan *h.
Sementara itu, untuk menentukan proto-fonem untuk glos bodoh,
dilakukan prosedur yang sama dengan membandingkan --m--m-,
----- , t-t-t-t-t-t, dan ----u-. Dengan data yang
terbatas, tidak dapat ditentukan apakah merupakan proto-fonem -
-m--m- dan * merupakan proto-fonem ----u-.
Namun demikian, karena salah satu kriteria penentuan proto-fonem adalah
distribusi terluas, seperti dijelaskan oleh Crowley (1992: 110) bahwa bunyi yang
mempunyai distribusi paling luas dalam bahasa-bahasa berkerabat paling
mungkin sebagai proto-fonem, maka untuk sementara proto-fonem perangkat
korespondensi --m--m- adalah * dan proto-fonem
perangkat ----u- adalah *. Atas dasar itu, proto-morfem glos
bodoh adalah *t yang dibangun oleh , , *t, dan *.
Untuk glos empat, pasangan yang dibandingkan adalah --e---
, --m--m-, p-p-p-p-p-p, a-a-a-a-a-a, dan t-t-t-t-t-t.
Proto-fonem kata tersebut adalah *, *p, *a, dan *t,
sedangkan proto-morfemnya adalah *pat. * dan diperkirakan
sebagai proto-fonem atas alasan seperti di atas (distribusi terluas).
Penentuan proto-fonem seperti ini bersifat tentatif akibat keterbatasan
data. Perangkat-perangkat korespondensi itu masih merupakan indikasi dan harus
diuji dalam data yang lebih banyak seperti yang akan terlihat pada analisis data
disertasi ini. Pengujian tersebut dimaksudkan untuk memperoleh validitas
Universitas Sumatera Utara
rekonstruksi melalui penemuan keberulangan secara teratur (rekurensi) perangkat-
perangkat korespondensi.
Rekurensi terjadi pada posisi di mana perangkat-perangkat korespondensi
didistribusikan yang dapat ditunjukkan dengan rumus-rumus bunyi (rules of
sounds). Misalnya, rumus perubahan bunyi untuk glos bambu pada tabel 1 di atas
Glos bT bS bD bA bK bM
bambu bulu buluh buluh bulu buluh bulu
adalah *h berubah menjadi atau hilang dalam bT, bA, dan bM pada
posisi akhir kata akibat hilangnya *h setelah bunyi vokal.
Perubahan bunyi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
h → /___#
V
Rumus ini masih bersifat tentatif karena rekurensi perubahan atau
pergeseran bunyi tersebut masih harus diuji dalam data yang lebih banyak.
Rekurensi perangkat korespondensi proto-fonem bbB akan menunjukkan
tingkat kemiripan (kedekatan) antara sesamanya. Bahasa-bahasa yang
mempunyai kemiripan yang lebih dekat dikelompokkan dalam satu proto-bahasa
tengah (meso language).
Setelah ditemukannya bunyi-bunyi yang terdapat dalam alat penjaring data
dan setelah diketahuinya proto-fonem melalui rekonstruksi, semua bunyi yang
berwujud fonem dan realisasi fonetisnya dapat diinventarisasi.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dalam bbB terlihat adanya keteraturan
perubahan bunyi dalam perangkat korespondensi bunyi, proto-fonem yang
menurunkan bunyi-bunyi tersebut yang dapat dijadikan sebagai landasan
rekonstruksi proto-morfem, rumus perubahan bunyi, serta berbagai fonem dan
realisasi fonetisnya.
Atas dasar itu, masalah-masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Perangkat korespondensi bunyi apakah yang terdapat dalam bT, bS, bPD,
bA, bK, dan bM?
2. Proto-fonem dan proto-morfem apakah yang memantulkan fonem-fonem
dan morfem-morfem bT, bS, bPD, bA, bK, dan bM?
3. Bagaimanakah proto-fonem tersebut mengalami inovasi dalam bT, bS,
bPD, bA, bK, dan bM serta bagaimanakah inovasi tersebut dirumuskan?
4. Bagaimanakah pengelompokan bbB?
5. Fonem-fonem dan realisi fonetis apakah yang terdapat dalam bT, bS, bD,
bA, bK, dan bM?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menemukan perangkat-perangkat korespondensi dalam bT, bS,
bPD, bA, bK, dan bM.
2. Untuk merekonstruksi proto-fonem dan proto morfem bT, bS, bD, bA,
bK, dan bM.
3. Untuk menemukan inovasi proto-fonem bbB dan merumuskan inovasi
tersebut dalam bT, bS, bPD, bA, bK, dan bM.
Universitas Sumatera Utara
4. Untuk mengelompok bT, bS, bD, bA, bK, dan bM berdasarkan kesamaan
atau kemiripan fonem-fonem bbB.
5. Untuk mengiventarisasi fonem-fonem bbB dan realisasi fonetisnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai manfaat praktis dan teoretis seperti yang
tercantum di bawah ini.
1.4.1. Manfaat Praktis
1. Penelitian ini memberikan solusi atas perbedaan pendapat
berkepanjangan di kalangan masyarakat Batak tentang bahasa apa di
antara bbB yang merupakan p(bbB). Tanpa adanya solusi tersebut,
perbedaan pendapat dan polemik berkepanjangan itu yang bersumber
dari dugaan-dugaan non-linguistik dapat menimbulkan permusuhan
dan ketidakharmonisan rasial.
2. Rekonstruksi proto-bahasa, termasuk proto-bbB merupakan langkah
konkret untuk menggali bentuk-bentuk bahasa purba yang tidak
nampak sebagai salah satu unsur kebudayaan bangsa Indonesia. Di
tengah pengaruh globalisasi, Indonesia cenderung mengadopsi budaya
asing dengan melupakan budayanya sendiri, khususnya budaya kuno.
Penelitian yang menggali sejarah bbB merupakan upaya untuk
melahirkan kesadaran tentang pentingnya melestarikan masa lalu
budaya, termasuk bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia.
3. Membaca penelitian ini, para pembaca akan mengetahui persamaan
dan perbedaan kosakata bT, bS, bPD, bA, bK, dan bM. Dengan
Universitas Sumatera Utara
adanya pengetahuan tersebut, mereka akan mempunyai kemampuan
komunikasi yang lebih besar.
4. Kosakata dasar dalam bahasa-bahasa tersebut dapat dijadikan sebagai
rujukan bagi pembelajaran perbendaharaan kata yang menunjuk
anggota tubuh, kata bilangan, hubungan kekerabatan, alam dan
sekitarnya serta kegiatan-kegiatan sehari-hari baik untuk tujuan
pembelajaran bahasa-bahasa itu, secara khusus maupun untuk
pembelajaran perbandingan bahasa, secara umum.
5. Dengan mengetahui kata-kata yang digunakan untuk menunjuk alam
dan sekitarnya, para pembaca dapat mengetahui keadaan alam,
tumbuh-tumbuhan, dan hewan yang ada di setiap daerah pemakai
bahasa masing-masing.
6. Penelitian ini dapat memotivasi para peneliti untuk melakukan
penelitian dalam bidang linguistik historis komparatif terhadap bahasa-
bahasa daerah, khususnya bahasa-bahasa daerah yang tidak mendapat
perhatian dari para ahli bahasa.
7. Di tengah banyaknya bahasa daerah di Indonesia yang terancam
kepunahan, penelitian ini sangat bermanfaat untuk melestarikan
kosakata dasar bbB yang belakangan ini mulai dipakai
berdampingan dengan atau digantikan oleh kosakata bahasa Indonesia,
dan bahasa-bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Misalnya, kata
maan makan dalam bT dipakai berdampingan dengan
atau diganti oleh makkan, akka abang dipakai
berdampingan dengan atau diganti oleh aba, agi
Universitas Sumatera Utara
adik laki-laki dipakai berdampingan dengan atau diganti oleh
adek, dan mardlndln berjalan-jalan
dipakai berdampingan dengan atau diganti oleh runrun
yang berasal dari kata bahasa Inggris round mengelilingi.
1.4.2 Manfaat Teoretis
1. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam studi sejarah
perkembangan bahasa-bahasa yang berkerabat (sister languages), dalam
hal ini bbB, dari bahasa purba (proto/parent language) dalam lingkup
Linguistik Historis Komparatif (Historical Comparative Linguistics).
2. Penelitian ini menunjukkan cara menentukan perangkat-perangkat fonem
atau klaster fonem yang berkorespondensi melalui analisis komparatif
dan diakronis serta merekonstruksi proto-bahasa dan mengelompokkan
bahasa-bahasa berdasarkan tingkat kemiripan antara satu dengan yang
lain.
3. Karena perbandingan bahasa dalam penelitian ini didasarkan pada
perangkat perangkat bunyi atau klaster bunyi berkerabat, penelitian ini
sangat bermanfaat untuk studi fonetik dan fonologi.
4. Keteraturan perubahan dan kebertahanan bunyi dalam bbB yang
ditunjukkan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk
menentukan rumus-rumus bunyi.
Universitas Sumatera Utara
1.5 Keterbatasan Penelitian
Merekonstruksi proto-bahasa dapat dilakukan melalui rekonstruksi
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Penelitian ini terbatas pada
rekonstruksi perangkat korespondensi bunyi, klaster bunyi, dan morfem-morfem
bebas yang dibangunnya. Pembatasan tersebut dilakukan karena rekonstruksi
dalam bidang-bidang linguistik lainnya, termasuk sintaksis dan semantik kurang
berkembang dibanding dengan rekonstruksi proto-bahasa dalam bidang fonologi,
baik pada rumpun bahasa Indo-Eropa maupun pada rumpun bahasa Austronesia,
sehingga sulit menemukan referensi untuk penelitian di luar fonologi. Sebeok
(1971) mengatakan, rekonstruksi dalam bidang fonologi proto-Austronesia (PAN)
lebih maju dibanding dengan rekonstruksi bidang-bidang lainnya. Menurutnya,
belum ada penelitian tentang morfologi dan sintaksis PAN, kecuali penelitian
yang dilakukan secara kebetulan.
Rekonstruksi dalam penelitian ini terbatas pada rekonstruksi proto-
morfem bbB dengan membandingkan fonem-fonem yang ada dalam bahasa-
bahasa tersebut dan tidak mencakup rekonstruksi sintaksis dan semantik. Pada
umumnya, ketika para peneliti menggunakan istilah rekonstruksi, secara implisit
istilah itu mengandung makna rekonstruksi proto-morfem akibat lebih
dominannya penelitian yang didasarkan pada analisis fonemis dibanding dengan
penelitian di bidang sintaksis dan semantik.
Sementara itu, meskipun rekonstruksi proto-bahasa mempunyai persamaan
dengan rekonstruksi kejahatan (kriminal), kedua rekonstruksi tersebut mempunyai
perbedaan. Rekonstruksi proto-bahasa tidak dapat menunjukkan proto-bahasa
yang sesungguhnya, sedangkan rekonstruksi kejahatan (kriminal) dapat
menunjukkan pelaku kejahatan berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Tentang keterbatasan rekonstruksi proto-bahasa, Keraf (1983:76)
mengatakan,
Disadari sepenuhnya, bahwa apa yang dihasilkan dari rekonstruksi itu mungkin tidak paralel dengan keadaan yang sebenarnya dengan perkembangan sejarah yang faktual. Bentuk-bentuk rekonstruksi secara pasti dapat memberikan implikasi tentang wujud kata-kata proto, tetapi ia bukan kata-kata proto itu sendiri.
Keterbatasan rekonstruksi fonetis atau fonologis juga dikemukakan Mbete
(2010) sebagai berikut, “Proto-bahasa bukanlah wujud nyata bahasa, melainkan
suatu “bangunan bahasa” yang dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa
lalu, yang juga tidak utuh”.
Sementara itu, McManis dkk., (1987: 265) mengatakan bahwa Teori
Pohon Keluarga Bahasa (maksudnya, hubungan genetis bahasa yang merupakan
landasan rekonstruksi proto-bahasa) dan Teori Gelombang tidak dapat
memberikan jawaban yang memuaskan dan akurat tentang perubahan bahasa dan
keberhubungan bahasa-bahasa. Mereka mengatakan selengkapnya sebagai
berikut:
In fact, neither the family tree model nor the wave model presents entirely adequate or accurate accounts of language change or the relatedness of language. For example, it is now known that languages can exhibit linguistic similarities without necessarily being related. Nonetheless, the family tree and wave model do provide useful frame works for the discussion of language change.
Meskipun rekonstruksi proto-bahasa tidak menghasilkan bentuk-bentuk
proto-bahasa yang sesungguhnya, rekonstruksi proto-bahasa bukan tidak berguna.
Rekonstruksi moyang manusia yang sudah berusia ratusan juta tahun juga tidak
mampu menemukan hubungan yang hilang antara satu bentuk rangka dengan
rangka lainnya (missing link) yang sampai sekarang masih didasarkan pada
Universitas Sumatera Utara
prakiraan, tetapi sangat bermanfaat untuk mengestimasi evolusi mahluk hidup,
khususnya manusia, dari suatu masa ke masa lainnya untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan. Sama halnya, rekonstruksi bahasa sangat
bermanfaat untuk memprediksi bentuk-bentuk proto-bahasa yang sangat
bermanfaat, bukan saja untuk studi linguistik tetapi juga untuk studi evolusi,
kebudayaan, sejarah, dan lain-lain.
Selain dari keterbatasan di atas, penelitian ini juga mempunyai
keterbatasan karena tidak mencakup faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perubahan bunyi bbB seperti anatomi dan karakter etnik, iklim dan geografi,
substrata, identifikasi daerah, kebutuhan fungsional, dan simplifikasi. Analisis
perubahan bunyi dalam penelitian ini terbatas pada jenis-jenis perubahan bunyi
dari proto-bahasa ke bahasa-bahasa kontemporer.
Universitas Sumatera Utara
top related