referat sindrome hepatorenal
Post on 11-Jul-2016
18 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma Hepatorenal merupakan sindroma klinis yang terjadi pada
pasien penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang
ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi
arteri dan aktivitas faktor vasoaktif endogen.1,2
Pada SHR kelainan yang dijumpai pada ginjal hanya berupa kegagalan
fungsi tanpa ditandai dengan kelainan anatomi. Hal ini dapat dibuktikan bila
ginjal tersebut ditansplantasikan pada penderita lain yang tidak didapati kelainan
hati, maka fungsi ginjal tersebut akan kembali normal atau penderita yang
mengalami SHR dilakukan transpalantasi hati maka fungsi ginjalnya akan
kembali normal.
SHR dilaporkan pertama sekali oleh Austin Flint dan Frerichs (1863),
yang masing-masing melaporkan timbulnya oligura pada pasien-pasien sirosis
dengan asites, mereka tidak menemukan adanya perubahan histologi ginjal yang
nyata pada pemeriksaan post mortem. Pierre Vesin salah satu peneliti tentang
aspek klinis fungsi ginjal pada sirosis, mengusulkan definisi SHR dengan nama
terminal “fungtional renal failure”. Beliau menekankan gagal ginjal pada SHR
tidak berhubungan dengan kerusakan struktur ginjal dan berkembangnya
sindroma ini merupakan keadaan terminal dan irreversible pada sirosis dengan
asites. Pada tahun 1956, Hecker dan Sherlock melaporkan sembilan pasien
penyakit hati bersamaan dengan gagal ginjal yang ditandai dengan proteinuria dan
ekskresi NA+ yang rendah.6
BAB II
SINDROMA HEPATORENAL
DEFINISI
Definisi Sindroma Hepatorenal yang diusulkan oleh International Ascites
Club (1994) adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik
dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan
fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktivitas faktor
vasoaktif endogen. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju
filtrasi glomerulus rendah, dimana sirkulasi diluar ginjal terdapat vasodilatasi
arteriol yang luas menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan
hipotensi. 1,2,5
EPIDEMIOLOGI
Sekitar 20% pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi ginjal yang
normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun dan 39%
setelah 5 tahun perjalanan penyakit.3 Gines dkk melaporkan kemungkinan insiden
SHR pada pasien sirosis hepatis mencapai 18% pada tahun pertama dan akan
meningkat hingga 39% pada tahun ke lima.1,5Pasien dengan peritonitis bakterial
spontan memiliki kesempatan sepertiga untuk men-galami perkembangan menjadi
SHR. 2
PATOFISIOLOGI
Ada dua jenis teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal
yang timbul pada penderita SHR. Teori pertama, menjelaskan hipoperfusi ginjal
berhubungan dengan penyakit hati itu sendiri tanpa ada patogenetik yang
berhubungan dengan gangguan sistem hemodinamik. Teori ini berdasarkan
hubungan langsung hati – ginjal, yang didukung oleh dua mekanisme yang
berbeda yang mana penyakit hati dapat menyebabkan vasokonstriksi ginjal
dengan penurunan pembentukan atau pelepasan vasodilator yang dihasilkan hati
yang dapat menyebabkan pengurangan perfusi ginjal dan pada percobaan binatang
diperlihatkan bahwa hati mengatur fungsi ginjal melalui refleks hepatorenal. Teori
kedua menerangkan bahwa hipoperfusi ginjal berhubungan dengan perubahan
patogenetik dalam sistem hemodinamik dan SHR adalah bentuk terakhir dari
pengurangan pengisian arteri pada sirosis. Hipotesis ini menerangkan bahwa
kekurangan pengisian sirkulasi arteri menyebabkan hipoperfusi yang bukan
sebagai akibat penurunan volume vaskuler, tetapi vasodilatasi arteriolar yang luar
biasa terjadi terutama pada sirkulasi splanik. Hal ini dapat menyebabkan aktifasi
yang progresif dari mediator baroreseptor sistem vasokonstriktor (Gambar1), yang
mana dapat menimbulkan vasokonstruksi tidak hanya pada sirkulasi ginjal tetapi
juga pada pembuluh darah yang lain. Splanik dapat bebas dari efek
vasokonstriktor dan vasodilasi dapat bertahan, kemungkinan karena adanya
rangsangan vasodilator lokal yang sangat kuat. Timbulnya hipoperfusi ginjal
menyebabkan SHR dapat terjadi sebagai akibat aktifitas yang maksimal
vasokonstriktor sistemik yang tidak dapat dihalangi oleh vasodilator, penurunan
aktifitas vasodilator atau peningkatan produksi vasokonstriktor ginjal atau
keduanya.1,2,5
Gambar 1 : Patofisiologi sindroma hepatorenal.
Faktor-faktor vasoaktif yang berperan dalam pengaturan perfusi ke ginjal
pada penderita sindrom hepatorenal, yaitu :
Vasokonstriktor
Angiotension II
Norepineprine
Neuropeptide Y
Endothelin
Adenosine
Cysteinyl leukotrines
F2-isoprostanes
Vasodilators :
Prostaglandins
Nitric oxide
Natriuretic peptides
Kallikrein – kinin system
Pada sirosis hati, awalnya terjadi bendungan di sistem vena porta akibat
penyempitan pembuluh darah di dalam hati. Tekanan hidrostatik di kapiler
meningkat dan jumlah cairan yang berlebihan akan difiltrasi ke dalam rongga
abdomen yang disebut dengan asites. Karena sinusoid hati memiliki
permeabilitas yang tinggi terhadap protein, protein plasma juga berpindah ke
dalam ruang ekstrasel. Selain itu, protein plasma yang dihasilkan di parenkim hati
juga lebih sedikit. Akibatnya, terjadi hipoproteinemia yang menyebabkan filtrasi
cairan plasma meningkat dan mendorong terjadinya edema perifer. Pembentukan
asites dan edema perifer terjadi dengan menggunakan volume plasma yang
bersirkulasi, akibatnya terjadi hipovolemia.7
Dalam perjalanan penyakit yang lebih lanjut terjadi vasodilatasi perifer.
Mediator vasodilatasi (misal, substansi P) dihasilkan di usus dan endotoksin yang
dilepaskan oleh bakteri umumnya didetoksifikasi di hati. Pada sirosis hati,
kerusakan parenkim hati dan peningkatan jumlah darah sirkulasi portal secara
langsung akan menuju ke sirkulasi sistemik, sehingga mediator tersebut dapat
masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Mediator memiliki efek vasodilatasi secara
langsung, sedangkan endotoksin memiliki efek vasodilatasi dengan merangsang
sintase nitrat oksida (iNOS). Hal ini dapat menurunkan tekanan darah sehingga
menyebabkan rangsangan persarafan simpatis yang hebat. Keadaan ini
menyebabkan penurunan dari perfusi ginjal sehingga menurunkan GFR. Aliran
darah ginjal yang menurun akan mendorong pelepasan renin dan pembentukan
angiotensisn II, ADH serta aldosterone. ADH dan aldosterone akan meningkatkan
reabsorbsi air dan NaCl di tubulus, dan ginjal akan mengeluarkan urine yang
sedikit dengan konsentrasi yang sangat pekat (oliguria).
Inaktivasi mediator hepatik yang tidak total, yang memiliki efek
vasokonstriktor langsung terhadap ginjal (misal,leukotriene) juga berperan pada
vasokonstriksi ginjal.
Iskemia ginjal biasanya merangsang pelepasan Prostaglandin yang
memiliki efek vasodilatasi sehingga mencegah penurunan fungsi ginjal lebih
lanjut. Jika terdapat kekurangan pembentukan Prostaglandin (misal, akibat
penghambatan Postaglandin), mekanisme kompensasi tersebut terhambat dan
terjadinya gagal ginjal menjadi lebih cepat. Penurunan kemampuan tubuh untuk
mensintesa Prostaglandin juga ditemukan pada Sindroma Hepatorenal.
Vasokonstriksi ginjal dapat juga dicetuskan oleh Ensefalopati hepatikum.
Penurunan aktivitas metabolik di hati menyebabkan perubahan konsentrasi asam
amino dan meningkatkan konsentrasi NH4+ di dalam darah dan otak. Keadaan ini
menyebabkan pembengkakan sel glia dan menimbulkan gangguan yang hebat
pada metabolism transmitter di otak, melalui perangsangan sistem saraf simpatis,
menyebabkan kontriksi pembuluh darah ginjal.
Oleh karena aktivitas sintesis di hati terganggu, kininogen yang dihasilkan
menjadi lebih sedikit sehingga jumlah kinin yang bersifat vasodilatasi menjadi
lebih sedikit dan produksi kinin yang bersifat vasodilatasi menjadi berkurang,
mendorong terjadinya vasokonstriksi di ginjal.
Gambar Patofisiologi Sindroma Hepatorenal.7
GAMBARAN KLINIS
Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal
ginjal, gangguan sirkulasi dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara
perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang
menimbulkan ascites, edema dan hyponatremia, yang ditandai oleh ekskresi
natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan buang air (oliguri –
anuria ). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan arteri
yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh
darah sistemik.1,2,3
Secara klinis Sindroma Hepatorenal dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu :
1. Sindroma Hepatorenal tipe I
Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN
(Blood urea nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai kreatinin >2,5 mg/dl
atau penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini
timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering
dihubungkan dengan penurunan yang progresif jumlah urin, retensi
natrium dan hiponatremi . Penderita dengan tipe ini biasanya dalam
kondisi klinik yang sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti
ikterus, ensefalopati atau koagulopati. Tipe ini umum pada sirosis
alkoholik berhubungan dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga timbul
pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah kasus SHR tipe ini timbul
spontan tanpa ada faktor presipitasi yang diketahui, kadang-kadang pada
sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang erat dengan
beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti infeksi bakteri,
perdarahan gastrointestinal, parasintesis). Spontaneus bacterial peritonitis
(SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis.
Kira-kira 35% penderita sirosis dengan SBP timbul SHR tipe I. SHR Tipe
I adalah komplikasi dengan prognosis yang sangat buruk pada penderita
sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%.
2. Sindroma Hepatorenal Tipe II
Tipe II SHR ini ditandai dengan penurunan yang sedang dan stabil
dari laju filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum
< 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR biasanya terjadi pada
penderita dengan fungsi hati relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita
dengan ascites resisten diuretic.
DIAGNOSIS
Kriteria diagnostik berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic Criteria
of Hepatorenal Syndrome.1,2,8,9
Kriteria Mayor diagnostik SHR berdasarkan International Axcites Club 4
1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi
portal.
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40
ml/mnt.
3. Tidak ada syok,infeksi bakteri yang sedang berlangsung, kehilangan cairan
dan
mendapat obat nefrotoksik.
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5
ltr
dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau
peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai obstruktif uropati atau penyakit
parenkim ginjal secara ultrasonografi.
Kriteria tambahan :
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 meg / liter
Semua kriteria mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosis Sindroma
Hepatorenal, sedangkan kriteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnosis
tersebut.
Penatalaksanaan Sindroma Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR oleh karena itu
pencegahannya terjadinya SHR harus mendapatkan perhatian yang utama.
Penatalaksanaan Umum
SHR sebagian besar dipacu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
pada pasien sirosis hati. Oleh karena pasien sirosis hati sangat sensitif dengan
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit maka hindari pemakaian diuretic
agresif, parasentesis asites, dan retraksi cairan yang berlebihan. Terapi suportif
berupa :
- Diet tinggi kalori dan rendah protein
- Koreksi keseimbangan asam basa
- Hindari pemakaian OAINS
- Peritonitis bakterial spontan pada sirosis hati harus segera diobati sedini
dan seadekuat mungkin
- Hemodialisis belum pernah secara formal diteliti pada pasien SHR, namun
tampaknya tidak cukup efektif dan efek samping tindakan cukup berat
misalnya hipotensi, sepsis, dan pendarahan saluran cerna.
Pengobatan medikamentosa
a.Vasodilator
Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator terutama PGs telah dipakai pada
penderita dengan SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal.
Pemberian PGs intra vena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral
aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan
fungsi renal. Dopamin pada dosis nonpressor juga digunakan dalam usaha
menimbulkan vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus dopamin selama 24
jam hanya menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah ginjal tanpa
perubahan yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis
endotelin spesifik dapat segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada
pasien dengan SHR.
b.Vasokonstriktor
Hipoperfusi ginjal pada SHR pada penderita sirosis berhubungan dengan
pengurangan pengisian sirkulasi arteri. Rasionalisasi penggunaan Vasokonstriktor
adalah untuk mengatasi vasodilatasi splanik (yang merupakan salah satu hipotesis
terjadinya sindroma hepatorenal). Vasokonstriktor telah digunakan dalam usaha
memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik dan
menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik.
Pemberian Terlipressin berdampak positif terutama bila dikombinasikan
dengan pemberian infuse albumin atau koreksi albumin serum merupakan
vasokonstriktor yang baik pada kasus SHR.
Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi
ornipressin dengan penambahan volume plasma dengan albumin memperbaiki
fungsi ginjal dan menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis
dengan SHR. Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat
menormalkan aktifitas yang berlebihan dari rennin – angiotensin dan sistem saraf
simpatis, peningkatan kadar natriuetik peptida arteri, dan hanya memperbaiki
sedikit fungsi ginjal. Pemberian ornipressin dan albumin selama 15 hari,
perbaikan fungsi ginjal dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus. Terapi ini dapat digunakan dengan kewaspadaan yang tinggi.
Pada beberapa pasien hal ini tidak dilanjutkan karena komplikasi iskemik.
Pada beberapa penelitian pemberian Midodrine dan Octreotide pada 13
penderita SHR tipe I, setelah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas
plasma renin, vasopressin dan glukagon. 1 penderita bertahan hidup sampai 472
hari, 1 penderita dilakukan transplantasi hati, dan yang lain meninggal setelah 75
hari karena gagal hati.
Tindakan invasif
a. Peritoneovenous shunt
Peritoneovenous shunt telah digunakan pada masa lalu untuk
penatalaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis. Pemasangan shunt
menyebabkan cairan ascites mengalir terus menerus dari rongga peritoneum ke
sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah jantung (cardiac
output) dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari
peritoneovenous shunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari aktifitas
sistem vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium, dan pada beberapa kasus
dapat memperbaiki aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal inilah yang
menyebabkan rasionalisasi tindakan pada penderita SHR.
b. Portosystemic shunt
Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode non bedah untuk
kompresi portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS).
Keuntungan metode ini dibanding dengan operasi portocaval shunt adalah
penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada pasien
yang mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan
obstruksi dari stent. TIPS bermanfaat pada 75% kasus, dengan angka ketahanan
hidup SHR tipe 2 lebih baik dibandingkan SHR tipe 1. Beberapa laporan yang
melibatkan sejumlah pasien cenderung memperlihatkan bahwa prosedur ini
meningkatkan fungsi ginjal pada pasien sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat
lagi untuk dilakukan transplantasi hati. Penelitian diatas menunjukkan bahwa
TIPS memberikan banyak keuntungan pada penatalaksanaan SHR. Walaupun
demikian, penggunaan TIPS masih memerlukan penelitian kontrol untuk dapat
direkomendasikan. Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1
dan menyimpulkan TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal, menurunkan aktifitas
renin angiotension dan sistem saraf simpatis.
c.Dialisis
Hemodialisis atau peritoneal dialisis telah dipergunakan pada
penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan
dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang
mengevaluasi efektifitas dari dialisis pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian
tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang
meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup
tinggi. Pada beberapa pusat penelitian, hemodialisis masih tetap digunakan untuk
pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati.
d. Transplantasi Hati
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita
SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya.
Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk
dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat
transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat
diamati selama 48 jam sampai 72 jam pertama. Setelah itu laju filtrasi glomerulus
mulai mengalami perbaikan.
Angka harapan hidup pada SHR tipe 1 umumnya pendek, sehingaa
transplantasi hati pada SHR tipe 1 sulit dilaksanaakan. Pada SHR tipe 2
transplantasi hati terbukti bermanfaat pada 90% kasus dengan angka ketahanan
hidup yang lebih kurang sama dengan transplantasi pada pasin tanpa SHR.
PENCEGAHAN
Resiko SHR dapat dikurangi dengan pemakaian terapi diuretik secara
berhati-hati dan pemantauan ketat, penemuan dini setiap komplikasi seperti
ketidakseimbangan elektrolit, perdarahan atau infeksi. Obat nefrotoksik dihindari.
Resiko perburukan ginjal setelah parasintesis volume besar dikurangi dengan
pemberian albumin rendah garam.
Resiko serangan ulangan peritonitis bakterial spontan dikurangi dengan
pemberian antibiotik profilaksis. Bila pasien SBP mendapat terapi antibiotika,
pemberian albumin akan mengurangi frekuensi disfungsi ginjal. Pencegahan
infeksi bakteri : infeksi bakteri terjadi pada hampir 50% pasien dengan perdarahan
varises dan antibiotika profilaksis memperbaiki survival sekitar 10%. Ekspansi
volume : untuk mencegah terjadinya gagal ginjal pada pasien SBP,
direkomendasikan pemberian ekspansi volume plasma dengan albumin 20% (1-
1,5 gram/kgBB selama 1-3 hari) pada saat diagnosis untuk mencegah disfungsi
sirkulasi, gangguan ginjal, dan mortalitas. Pemakaian diuretik dengan bijaksana :
mengidentifikasi dosis efektif terendah diuretik untuk setiap individu pasien
adalah sangat penting karena gangguan fungsi ginjal akibat diuretik terjadi pada
sekitar 20% pasien asites sehingga terjadi penurunan volume intravaskular.
Menghindari pemakaian obat nefrotoksik : pasien dengan sirosis dan asites
merupakan predisposisi mendapat aminoglikosida dengan gagal ginjal terjadi
sekitar 33%. Penyebab penting lain kegagalan ginjal adalah pemakaian NSAIDs.
Obat ini menghambat pembentukan prostaglandin intra renal yang mengakibatkan
penurunan nyata fungsi ginjal dan eksresi Na+/H2O2 pada pasien sirosis dengan
asites.
PROGNOSIS
SHR merupakan komplikasi terminal penyakit hati yang sudah lanjut atau
berat, sehingga prognosis penyakit ini buruk dengan angka kematian lebih dari
90%.
BAB III
KESIMPULAN
SHR adalah komplikasi dari penyakit hati yang lanjut yang ditandai tidak
hanya gagal ginjal, tapi juga gangguan sistem hemodinamik dan aktifitas sistem
vasoaktif endogen. Patogenesis SHR belum diketahui pasti, tetapi diduga
gangguan keseimbangan antara faktor vasokonstriktor dan vasodilator, serta
sistem persarafan simpatis. Diagnosa SHR berdasarkan International Ascites
Club’s Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome. Pilihan pengobatan yang
baik adalah transplantasi hati. Pengobatan pendukung hanya diberikan jika fungsi
hati dapat kembali normal atau sebagai jembatan untuk menunggu tindakan
transplantasi hati.
DAFTAR PUSTAKA
1. Platt JF,Ellis JH, Rubin JM et al. Renal Duplex Doppler Ultrasonography:
A Noninvasive Predictor Of Kidney Dysfunction and Hepatorenal Failure
in Liver Disease. Hepatology 1994;20:362-9.
2. Gines P, Arroyo V. Hepatorenal Syndrome.J Am Soc Nephrol
1999;10:1833-9
3. Setiawan, P. B, Hernomo K. Sindrom Hepatorenal. Dalam: ed. Sudoyo,
Ari Wdkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbi-tan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas In-donesia; 2006. Hal 452 – 454
4. Steven Silbernagl, Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
EGC. Edisi Pertama, Jakarta, 2007
5. Dagher L, Moore K. The Hepatorenal Syndrome. Gut 2001;49:729-737
6. Arroyo V, Gines P,Gerbes Al et al. Defenition and Diagnostic criteria of
Refractory ascites and Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis Hepatology
1996;23:164-76
7. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.2007.Balai
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
8. Emedicine. Hepatorenal Syndrome. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/178208, update 4th jan 2012
9. CJASN. Hepatorenal Syndrome : Pathophisiology and Management.
Available at http://cjasn.asnjournals.org/content/1/5/1066.full ,update 5th
Oct 2012.
top related