refarat tuberculosis
Post on 16-Jan-2016
60 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
mycrobacterium tuberkulosis ini, sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya18.
2.2 Etiologi
Mycobacterium tuberkulosis adalah kuman obligat aerob, berbentuk batang
yang tidak membentuk spora. Walaupun tidak mudah diwarna, jika telah diwarnai
kuman ini tahan penghilangan warna (dekolorisasi) oleh asam atau alkohol oleh
karena itu dinamakan basil tahan asam. Pada proses pertumbuhannya kuman ini
mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Kenaikan tekanan
CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimianya tidak khas, dan laju
pertumbuhannya lebih lambat dari pada kebanyakan kuman lain. Waktu penggandaan
basil tuberkel adalah sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih
cepat,berkembang biak dengan baik pada suhu 22-23 derajat celcius, menghasilkan
banyak pigmen, dan kurang tahan asam dari pada bentuk yang patogen.
Mycobacterium tuberkulosis menyebabkan tuberkulosis dan merupakan patogen yang
sangat penting bagi manusia. Terdapat lebih dari 50 spesies mikobakterium, antara
lain banyak yang merupakan saprofit7.
8
2.3 Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu
“definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu18:
a. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru-paru atau ekstrapulmonal.
b. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikrokopis): BTA positif
atau BTA negatif.
c. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
d. Riwayat pengobatan TB paru sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
Beberapa istilah dalam definisi kasus:
1) Kasus TB Baru: pasien Tuberkulosis paru yang telah dibuktikan secara
mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter.
2) Kasus TB paru pasti (definitif): pasien dengan biakan BTA positif untuk
mycobacterium tuberkulosis atau bila tidak ada fasilitas biakan,sekurang
kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) hasilnya
BTA positif.
1. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh Yang Terkena
a. TB paru
TB paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru,tidak termasuk pleura dan kelenjar getah bening pada hilus.
b. TB ekstrapulmunal
9
TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru,misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain6.
2. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Mikroskopis
A. TB Paru BTA Positif
1) Sekurang-kurangnya dua dari tiga spesimen dahak spss hasilnya
positif.
2) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukan gambaran tuberkulosis.
3) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
paru positif.
4) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah tiga spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA positif dan
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non- obat anti
tuberkulosis (OAT)6.
B. TB Paru BTA Negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis paru BTA positif.
Kriteria diagnostik Tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi6:
1) Paling tidak tiga spesimen sputum SPS hasilnya BTA negatif
2) Foto toraks abnormal menunjukan gambaran TB.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian anti biotika non-OAT.
10
4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan:
a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT
sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.
b. Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang
pernah mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih. Kasus ini diklasifikasikan
lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut:
Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap
pada akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode
rekuren (baik untuk kasus yang benar-benar kambuh atau episode
baru yang disebabkan reinfeksi).
Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
Kasus setelah putus obat adalah pasien yang pernah menelan OAT
1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2
bulan berturut-turut atau dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir
pengobatan. (Pada revisi guideline WHO tahun 2013 klasifikasi ini
direvisi menjadi pasien
11
dengan perjalanan pengobatan tidak dapat dilacak (loss to
follow up)
yaitu pasien yang pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan tidak
dapat dilacak pada akhir pengobatan).
Klasifikasi berikut ini baru ditambahkan pada revisi guideline WHO
tahun 2013 yaitu: kasus dengan riwayat pengobatan lainnya
adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan hasil akhir
pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
Pasien pindah adalah pasien yang dipindah dari register TB (TB 03)
lain untuk melanjutkan pengobatan. (Klasifikasi ini tidak lagi
terdapat dalam revisi guideline WHO tahun 2013).
Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
adalah pasien yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu
kategori di atas.
4. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit
Pada TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk6
2.4. Gejala Klinis
12
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik
• batuk ≥ 3 minggu
• batuk darah
• sesak napas
• nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam
proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang
pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari
organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi
pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada
meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada
sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Gejala sistemik
13
• Demam subfebris <37,5ºC
• gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun
2.5. Patogenisis dan Patologi TB paru
1. Patogenesis TB Paru Primer
Ketika seorang penderita TB paru batuk, bersin atau berbicara maka droplet
nucleus akan jatuh dan menguap akibat suhu udara yang panas, maka kuman
TB akan berterbangan di udara berpotensi sebagai sumber infeksi pada orang
sehat. Hal ini yang sering disebut sebagai airborne infection. pada sekali batuk
dikeluarkan tiga ribu droplet. Setelah melewati barrier mukusilier saluran
nafas, basil TB paru-paru dikenal sebagai focus ghon. Basil juga mencapai
kelenjar limfe hilus melalui aliran limfe sehingga terjadi limfadenopati hilus.
Focus Ghon dan limfadenopati hilus akan membentuk kompleks primer.
Kompleks primer berlokasi di lobus bawah karena ventilasi lebih baik di area
tersebut8.
Respon imun seluler berupa hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada empat
sampai enam minggu setelah infeksi primer. Banyaknya basil TB paru dan
kemampuan daya tahan tubuh akan menentukan perjalanan penyakit
selanjutnya. Pada kebanyakan kasus, respon imun tubuh dapat menghentikan
multiplikasi kuman dan sebagian kuman menjadi dorman11.
14
Berawal dari kompleks primer infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui
berbagai jalan:
Secara Bronkogen
Menyebar ke paru-paru yang bersangkutan atau melalui seputum ke paru-paru
sebelahnya dan dapat tertelan sehingga dapat menyebabkan TB paru pada
gastrointestinal12.
Secara Hematogen dan Limfogen
Vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa material yang
mengandung kuman TB dan kuman ini dapat mencapai berbagai organ melalui
aliran darah dan system limfatik. Penyebaran secara hematogen lebih sering
terjadi pada tempat dengan tekanan oksigen yang tinggi seperti pada otak,
epifisis tulang panjang, ginjal, tulang vertebra dan daerah apikal-posterior paru-
paru. Reaktivasi TB lebih cenderung berkembang didaerah apikal oleh karena
PO2 yang lebih tinggi sehingga cocok untuk pertumbuhan kuman. Daerah
apikal-posterior juga merupakan area yang defisensi produksi limfe sehingga
jadi penurunan drainase sehingga kuman TB susah dieliminasi diarea
tersebut12.
2. Patogenesis Reaktivasi TB paru
Banyak sebutan terhadap fase ini seperti penyakit kronik paska TB paru primer,
reinfeksi atau TB paru progresif dewasa, endogen reinfeksi, reaktifasi terjadi
setelah priode laten (beberapa bulan atau tahun) setelah infeksi primer. Dapat
15
terjadi karena reaktifasi atau reinfeksi. Reaktifasi oleh karena kuman dormant
mengalami multipikasi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer.
Reinfeksi diartikan sebagai infeksi ulang pada seseorang yang sebelumnya
pernah mengalami infeksi primer. TB paru pos-primer dimulai dari sarang
pneumonia dini yang umumnya pada segmen apikal lobus superior atau lobus
inferior, yang awalnya berbentuk sarang pneumonik kecil. Sarang pneumonia
ini dapat mengalami suatu keadaan, direabsobsi dan sembuh tanpa
meninggalkan cacat, sarang pneumonia meluas,tetapi mengalami penyembuhan
berupa jaringan fibrosis dan perkapuran. Sarang pneumonia meluas membentuk
jaringan keju yang bila dibatukkan akan membentuk kavitas awalnya
berdinding tipis kemudian menjadi tebal12.
Bentuk dari TB paru pos-primer dapat sebagai tuberculosis paru seperti adanya
kavitas, infiltrat, fibrosis dan endobronkial TB, atau dapat sebagai TB paru
ekstra pulmunal seperti efusi pleura, limfa denopati, meningitis, TB tulang13.
2.6. Patologi TB Paru
Perubahan mendasar pada jaringn paru akibat infeksi kuman TB paru berupa
lesi eksudatif, fibrinomacrophagic alveolitis, polymorphonuclear alveolitis, kaseosa
dan kavitas, tuberkuloma8.
2.7. Diagnosis TB Paru
Diagnosis TB paru ditegakan berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan fisik,
pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinis
16
tuberculosis dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala sistemik dan gejala lokal.
Gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan
menurun. Pada paru-paru akan timbul gejala lokal berupa gejala respiratori. Norman
Horne membuat daftar gejala dan tanda TB paru seperti tidak ada gejala, batuk,
sputum purulen, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas, “mengi” yang terlokalisir.
Akan tetapi, tanda dan gejala ini tergantung pada luas lesi. Pada pemeriksaan fisik,
kelainan jasmani tergantung dari organ yang terlibat dan luas kelainan struktur paru18.
Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan paru pada
pemeriksaan fisik. Kelainan paru terutama pada daerah lobus superior terutama apeks
dan segmen posterior, serta apeks lobus inferior14.
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus
inferior.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. 14.
Diagnosis yang paling baik adalah dengan cara mengisolasi kuman. Untuk
membedakan spesies mikobakterium satu dari yang lain harus dilihat sifat-sifat
koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media dan perbedaan
17
kepekaan terhadap OAT. Bahan pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari sputum,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bronchoalveolar lavage, urin,
jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologi yang menggunakan sputum, cara
pengambilannya terdiri dari tiga kali yaitu sewaktu (pada saat kunjungan), pagi
(keesokan harinya), sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi)13.
Ada beberapa tipe interpretasi pemeriksaan mikroskopis. WHO
merekomendasikan pembacaan dengan sekala International Union Against
Tuberkulosis and Lung Disease (IUATLD)1:
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang,disebut negatif.
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut + (1+).
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang,disebut ++ (2+).
e. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
Pada tahun 2014 ISTC (Internasional Standards For Tuberculosis Care) merilis
standar untuk mendiagnosa Tuberculosis. ISTC harus dipandang sebagai dokumen
hidup yang akan direvisi sebagai teknologi, sumber daya, dan keadaan berubah.
Seperti yang tertulis, standar di ISTC disajikan dalam konteks dari apa yang
umumnya dianggap layak sekarang atau dalam waktu dekat.
Standar adalah sebagai berikut:
Standar 1
18
Untuk memastikan diagnosis dini, penyedia harus menyadari individu dan
kelompok faktor risiko TBC dan melakukan evaluasi klinis yang cepat dan tes
diagnostik yang tepat bagi orang-orang dengan gejala dan temuan konsisten dengan
TB.
Standar 2
Semua pasien, termasuk anak-anak, dengan batuk yang tidak dapat dijelaskan
yang berlangsung dua atau lebih minggu atau dengan temuan yang tidak dapat
dijelaskan mengarah ke TB pada rontgent thorak harus dievaluasi untuk tuberkulosis.
Standar 3
Semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga menderita TBC paru dan
mampu menghasilkan dahak harus memiliki minimal dua pemeriksaan sputum atau
sputum tunggal spesimen untuk Xpert® MTB / RIF * pengujian di laboratorium
kualitas terjamin. Pasien pada risiko resistensi obat, yang memiliki risiko HIV, atau
yang sakit serius, harus memiliki Xpert MTB / RIF dilakukan sebagai awal diagnostic
tes. Tes serologi berbasis darah dan interferon-gamma release assay tidak boleh
digunakan untuk diagnosis TB aktif.
* Xpert®MTB / RIF (Cepheid Corp Sunnyvale, California, Amerika Serikat) adalah
satu-satunya Uji molekul yang cepat dan disetujui oleh WHO untuk penggunaan awal
dalam mendiagnosis TB, dengan demikian, secara khusus.
19
Standar 4
Untuk semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga menderita TBC ekstra
paru, spesimen yang tepat dari organ yang diduga terlibat harus diperoleh untuk
pemeriksaan mikrobiologi dan histologi. Tes Xpert MTB / RIF direkomendasikan
sebagai mikrobiologi awal yang lebih direkomendasikan untuk tersangka meningitis
TB karena kebutuhan untuk diagnosis yang cepat.
Standar 5
Pada pasien yang diduga menderita TB paru yang hasil sputumnya negatif,
Xpert MTB / RIF dan atau kultur dahak harus dilakukan. Di antara orang-orang yang
negatif BTA dan Xpert MTB / RIF dengan bukti klinis sangat mendukung TB,
pengobatan anti tuberculosis harus dimulai setelah koleksi spesimen untuk
pemeriksaan kultur.
Standar 6
Untuk semua anak yang diduga menderita TB intratoraks (yakni, paru, pleura,
dan hilus atau mediastinum kelenjar getah bening), konfirmasi bakteriologi harus
dicari melalui pemeriksaan sekret pernapasan (ekspektorasi dahak, induksi dahak,
bilas lambung) untuk mikroskopi, sebuah Xpert MTB / RIF tes, dan atau kultur.
2.8. Penatalaksanaan
Sejarah pengobatan pada TB paru dimulai pada tahun 1943, dimana Wacksman
dan Schatz di New Jersey menemukan Stroptomyces griseus yang dikenal sebagai
streptomisin, merupakan OAT pertama yang digunakan. Penggunaan streptomisin
20
sebagai obat tunggal terjadi sampai tahun 1949. Kemudian ditemukan Para Amino
Salsilat (PAS), sehingga mulai dilakukan kombinasi antara keduanya, tetapi pada
akhir 1946, pemakaian PAS sudah jarang dipublikasikan. Pada tahun 1952 ditemukan
isoniazid (INH) yang kemudian menjadi komponen penting dalam pengobatan TB
paru, sejak saat itu durasi pengobatan dapat diturunkan. Pada tahun 1972 mulai
digunakan Rifampisin (R) sebagai panduan obat dikombinasi dengan Etambutol (E)
dan Pirazinamid21.
Dalam standar penatalaksanaan TB, ISTC membuat 8 standar penatalaksanaan,
diantaranya sebagai berikut :
Standar 7
Untuk memenuhinya, tanggung jawab kesehatan publik, serta tanggung jawab
kepada individu pasien, penyedia harus meresepkan pengobatan yang tepat,
memantau kepatuhan terhadap pasien, dan bila perlu memberitahu faktor yang
menyebabkan gangguan atau penghentian pengobatan. Memenuhi tanggung jawab ini
kemungkinan akan memerlukan koordinasi dengan kesehatan masyarakat setempat
jasa dan atau lembaga lainnya.
Standar 8
Semua pasien yang belum pernah diobati dan tidak memiliki faktor risiko
resistensi obat harus menerima lini pertama pengobatanWHO menggunakan obat
kualitas terjamin. Tahap awal harus terdiri dari dua bulan isoniazid, rifampisin,
21
pirazinamid, dan etambutol. *Fase lanjutan harus terdiri dari isoniazid dan rifampicin
diberikan selama 4 bulan. Dosis obat anti tuberkulosis yang digunakan harus sesuai
rekomendasi WHO. Obat kombinasi dosis tetap dapat memberikan perbaikan dari
pemberian obat.
* Etambutol dapat diabaikan pada anak yang HIV-negatif dan yang memiliki non-
kavitas TBC.
Standar 9
Pendekatan berpusat pada pasien untuk pengobatan harus dikembangkan
untuk semua pasien dalam rangka untuk mempromosikan kepatuhan, meningkatkan
kualitas hidup, dan meredakan menderita. Pendekatan ini harus didasarkan pada
kebutuhan pasien dan saling menghormati antara pasien dan penyedia.
Standar 10
Respon terhadap pengobatan pada pasien dengan TB paru (termasuk orang-
orang dengan TB didiagnosis dengan tes molekuler cepat) harus dipantau oleh BTA
mikroskop pada saat penyelesaian dari fase awal pengobatan (dua bulan). Jika BTA
adalah positif pada penyelesaian tahap awal, tes sputum harus dilakukan lagi pada 3
bulan dan, jika positif lakukan tes kepekaan obat molekuler pengujian cepat (jalur
pemeriksaan tes atau Xpert MTB / RIF) atau kultur pengujian dengan kerentanan
terhadap obat harus dilakukan. Pada pasien dengan TBC paru dan pada anak-anak,
respon pengobatan terbaik dinilai Klinis
22
Standar 11
Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat, riwayat pengobatan
sebelumnya, paparan kasus kemungkinan sumber organisme yang resistan terhadap
obat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat (jika diketahui), harus
diketahui untuk semua pasien. pengujian kerentanan Obat harus dilakukan pada awal
terapi untuk semua pasien pada risiko resistensi obat. Pasien yang tetap BTA positif
pada penyelesaian 3 bulan pengobatan, pasien yang pengobatan telah gagal, dan
pasien yang putus obat atau kambuh setelah satu atau lebih program pengobatan
harus selalu dinilai untuk resistensi obat. Untuk pasien yang dianggap resistensi obat
tes / RIF Xpert MTB harus dilakukan untuk diagnostik awal. Jika resisten rifampisin
terdeteksi, kultur dan pengujian untuk kerentanan terhadap isoniazid,
fluoroquinolones, dan lini kedua obat suntik harus dilakukan segera. Konseling
pasien dan pendidikan, serta pengobatan dengan empiris obat lini kedu, harus segera
dilaksanakan untuk meminimalkan potensi transmisi.
Standar 12
Pasien dengan atau sangat mungkin untuk menderita tuberkulosis yang
disebabkan oleh resisten-obat (Khususnya MDR / XDR) seharusnya diobati dengan
paduan obat khusus mengandung lini kedua obat antituberkulosis kualitas terjamin.
Dosis obat anti tuberkulosis harus sesuai dengan rekomendasi WHO. Obat yang
dipilih dapat distandardisasi atau berdasarkan diduga atau dikonfirmasi pola
23
kerentanan terhadap obat. Setidaknya lima obat, pirazinamid dan empat obat yang
diketahui atau diduga rentan, termasuk agen suntik, harus digunakan dalam 6-8 bulan
fase intensif, dan setidaknya 3 obat yang diketahui atau dianggap rentan, harus
digunakan dalam fase lanjutan. Pengobatan harus diberikan paling sedikit 18-24
bulan di luar kultur. Tindakan berpusat pada pasien, termasuk pengamatan
pengobatan, diperlukan untuk memastikan kepatuhan. Konsultasi dengan spesialis
yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan TB MDR / XDR harus
dilakukan.
Standar 13
Catatan sistematis dari semua obat yang diberikan, respon bakteriologis, hasil,
dan efek samping harus didapatkan dari semua pasien.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting
untuk menyembuhkan pasien dan mengindari Multi Drug Resistant Tuberkulosis
(MDR TB). Pengembangan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse
(DOTS) untuk mengontrol epidemik TB merupakan prioritas utama WHO.
Pengobatan TB paru bertujuan untuk tiga hal yaitu18.
a. Untuk mengurangi secara cepat jumlah dari basil mikobakterium, sehingga
dapat mengurangi durasi dari pengobatan.
b. Untuk mencegah resistensi obat. Pengobatan yang tidak adekuat dapat
menyebabkan resistensi obat dengan segera, sehingga dapat meningkatkan
24
kegagalan pengobatan dan kekambuhan. Resistensi tidak hanya pada
pasien yang bersangkutan,tetapi juga dapat menular pada seseorang yang
sebelumnya belum pernah terinfeksi.
c. Sterilisasi untuk mencegah kekambuhan dan mengurangi jumlah dan
kelangsungan hidup kuman.
1. Kombinasi Dosis Tetap (KDT)
Di Indonesia OAT KDT pertama kali digunakan pada tahun 1999 di
Sulawesi Selatan dengan hasil cukup memuaskan. Dari 172 penderita yang
diobati dengan KDT di enam belas pukesmas, tidak ada yang menolak dengan
pengobatan KDT dan hanya 10 % dengan efek samping ringan tanpa harus
menghentikan pengobatan dan hanya 0,6 % yang dapat efek samping berat18.
OAT KDT adalah tablet yang berisi kombinasi beberapa jenis obat anti TB
dengan dosis tetap. Jenis tablet KDT untuk dewasa18:
a. Tablet yang mengandung empat macam obat dikenal sebagai empat
KDT. Sebab tablet mengandung: 75 mg INH, 150 mg Rifampisin, 400
mg Pirazinamid, 275 mg Etambutol. Tablet ini digunakan setiap hari
untuk pengobatan setiap hari dalam tahap intensif dan untuk sisipan,
jumlah tablet yang digunakan sesuai dengan berat badan penderita.
b. Tablet yang mengandung dua macam obat dikenal sebagai empat KDT.
Setiap tablet mengandung 150 mg INH dan 150 mg Rifampisin. Tablet
ini digunakan untuk pengobatan intermiten tiga kali seminggu dalam
25
tahap lanjutan. Jumlah tablet yang digunakan sesuai dengan berat badan
penderita. Pada katagori I obat yang digunakan bila terdapat BTA
positif ialah 2RHZE/4RH.
Dasar perhitungan pemberian OAT KDT adalah:
1) Dosis sesuai dengan berat badan penderita
2) Lama dan jumlah dosis pemberian pada Katagori I adalah:
a. Tahap intensif adalah:2 bulan x 4 minggu x 7 hari =56 dosis.
b. Tahap lanjutan 4 bulan x 4 minggu x 3 kali =48 dosis
Kombinasi empat komponen aktif OAT atau KDT akan mampu mengurangi
resistensi kuman TB paru terhadap obat TB paru karena penderita kecil
kemungkinannya untuk memilih salah satu dari obat TB paru yang akan
diminum6.
Efek samping dapat timbul pada penggunaan tablet KDT, apabila efek samping
timbul, maka tablet KDT harus diubah dalam bentuk OAT yang terpisah.
Reaski efek samping biasanya terjadi hanya pada 3-6% pasien-pasien dalam
pengobatan TB paru. Reaksi efek samping lebih sering terjadi pada pasien
dengan koinfeksi dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) (khususnya
Thioacetazone), bagaimanapun KDT tidak dikontraindikasikan absolut pada
pasien-pasien ini18.
KDT dapat digunakan pada beberapa kondisi khusus, misalnya pada gagal
ginjal, dosis Rifampisin, INH dan pirazinamid dan dapat digunakan dosis
26
normal. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal dosis Etambutol harus
dikurangin karena ekskresi primer dari obat tersebut adalah melalui ginjal18.
2. Tujuan
Tujuan pengobatan Tuberkulosis pada dasarnya adalah:
Menyembuhkan penderita
Mencegah kematian
Mencegah kekambuhan
Menurunkan tingkat penularan
3. Jenis Dosis Obat
Lini pertama :
a. Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi
kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif
terhadap kuman dalam keadaan metabolic aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB (berat badan),
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan
dosis 10 mg/kg BB1.
b. Rifampisin (R)
27
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dormant (persister) yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk
pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu1.
c. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dosis 35 mg/kg BB1.
d. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama.
Penderita TB paru yang berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gram/hari,
sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gram/hari1.
e. Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik, Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB,
sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30
mg/kg BB1.
28
Tabel 2.1. Dosis obat TB pada anak dan dewasa
Tahap intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita dapat obat setiap hari dan di awasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama
Rifampisin. Bila tahap intensif di berikan secara tepat, biasanya penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
penderita TB paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir
pengobatan intensif1.
29
Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama1.
Pembentukan dan perkembangan lesi serta penyembuhannya atau progresivitas
penyakit tuberkulosis terutama ditentukan oleh:
jumlah mikobakteria dalam inokulum dan perkembangbiakan selanjutnya
resistensi dan hipersensitivitas dari inang
secara eksperimen, populasi mycobacterium tuberkulosis didalam lesi
dikelompokkan menjadi 4 golongan yaitu6:
Populasi A, yang terdiri atas kuman yang secara aktif berkembang biak
dengan cepat. Kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau
dalam lesi yang pHnya netral.
Populasi B, terdiri atas kuman yang tumbuhnya sangat lamban dan
berada dalam lingkungan pH yang rendah. Lingkungan asam inilah
yang melindunginya terhadap obat anti tuberkulosis tertentu.
Populasi C, yang terdiri atas kuman tuberkulosis yang berada dalam
keadaan dormant hampir sepanjang waktu, hanya kadang-kadang saja
kuman ini mengadakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang
singkat. Kuman jenis ini banyak terdapat dalam dinding kavitas.
Populasi D, terdiri atas kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat
dormant sehingga sama sekali tidak bias dipengaruhi oleh obat-obat anti
30
tuberkulosis. Jumlah populasi ini tidak jelas dan hanya dapat
dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh manusia.
Bila kuman TB paru kontak dengan OAT, maka pertumbuhannya akan
melemah dalam 2 atau 3 hari,dan kemudian aktif kembali. Masa dua atau tiga
hari ini disebut lag phase, dan ini merupakan dasar mengapa obat TB paru
dapat diberikan secara intermiten dua atau tiga kali seminggu.selain itu dalama
suatu populasi kuman sejak awal sudah ada sebagian yang resisten terhadap
satu jenis obat. Bila pada populasi itu hanya diberi satu jenis obat saja maka
kuman yang sensitive akan turun jumlahnya sedang yang resisten akan naik,
sehingga setelah beberapa waktu populasi kuman telah berubah menjadi kuman
yang resisten saja. Hal inilah yang disebut fall and rise phenomena, dan
menjadi salah satu dasar mengapa kita harus memberikan beberapa obat
sekaligus pada penderita TB paru6.
4. Panduan OAT di Indonesia
WHO dan IUATLD merekomendasikan panduan OAT standar dimana
pemerintah melalui Program Nasional Penanggulangan TB paru di Indonesia
menggunakan paduan OAT1:
Kategori 1 : 2 HRZE/4H3R3
Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
31
5. Kategori Pengobatan TB Paru Menurut WHO6 :
Kategori Kasus Paduan obat yang diajurkan Keterangan
I - TB paru BTA +,
BTA - , lesi luas
2 RHZE / 4 RH atau2 RHZE / 6 HE*2RHZE / 4R3H3
II - Kambuh- Gagal pengobatan
-RHZES / 1RHZE / sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES / 1RHZE / 5 RHE-3-6 kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin / 15-18 ofloksasin, etionamid, sikloserin atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE
Bila streptomisin alergi, dapat diganti kanamisin
II - TB paru putus berobat
Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama berhenti minum obat dan keadaan klinis, bakteriologi dan radiologi saat ini (lihat uraiannya) atau*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3
III -TB paru BTA neg. lesi minimal
2 RHZE / 4 RH atau6 RHE atau*2RHZE /4 R3H3
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan)
IV - MDR TB
Sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau H seumur hidup
2.9. Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada minggu awal, sesudah 2 minggu dan 8 minggu pada
fase pengobatan intensif yang meliputi gejala klinis seperti batuk, demam, nyeri
dada, perubahan berat badan sedangkan evaluasi bakteriologis dilakukan sampai
hasil pemeriksaan 2 kali berturut-turut negatif. Konversi sputum umumnya terjadi
50% pada satu bulan pengobatan, 85% setelah pengobatan intensif18.
32
2.10. komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi karena infekti mikobakterium
tuberculosis adalah :
1. Batuk Darah (Haemoptoe) Pada dasar nya proses TB Paru adalah proses
nekrotis, dan jaringan yang mengalami nekrotis terdapat pada pembulub
darah. Jumlah darah yang dibatukkan keluar bervariasi mulai dari sangat
sedikit sampai banyak sekali, tergantung pada pembuluh darah yang terkena.
2. Hematogen Penyebaran hematogen terjadi bilamana proses nekrotis mengenai
pembuluh darah. Bahan-bahan nekrotis yang penuh basil-basil TB akan
tertumpah dalam aliran darah. Basil-basil ini kemudian akan bersarang di
organorgan tubuh. hariya ada dua organ tubuh yang memang secara alamiah
tidak dapat diserang TB, yaitu otot sekiet dan otot jantung.
3. TB Larings Karena tiap kali dahak yang mengandung basil TB dikeluarkan
melalui lanings, maka basil yang tersangkut di larings akan menimbulkan
proses TB di larings. Maka terjadilah TB larings.
4. Penumotoraks Apabila proses riekrotis dekat dengan pleura maka pleura akan
bocor. Sehingga terjadilah penumathorules (pecahnya dinding kavitas yang
berdekatan dengan pleura).
5. Abses paru Infeksi sekunder dapat pula mengenai jaringan nekrotis itu
langsung, sehingga terjadi abses paru.
33
top related