pola asuh makan pada baduta gizi kurang · pola asuh makan atau perilaku ibu baduta gizi kurang...
Post on 07-Feb-2020
16 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
GAMBARAN POLA ASUH MAKAN PADA ANAK USIA BAWAH DUA
TAHUN (BADUTA) GIZI KURANG DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
SUKAMULYA KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2012
SKRIPSI
Oleh :
SITI JULAEHA
105101003255
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1433H/2012
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 30 Desember 2012
Siti Julaeha
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, 30 Desember 2012 Siti Julaeha, NIM: 105101003255 Gambaran Pola Asuh Makan Pada Baduta Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang Tahun 2012 xxvii + 148 halaman, 8 tabel, 2 bagan, 5 lampiran
ABSTRAK
Kekurangan gizi pada baduta baik akut maupun kronis, dapat dipastikan mempengaruhi daya tahan tubuh, pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif baduta, yang pada gilirannya memberikan kontribusi pada meningkatnya kematian dan kesakitan baduta, serta menurunnya prestasi akademik dan produktivitas sumber daya manusia di masa mendatang. Pola asuh anak yang tidak memadai merupakan faktor penting dalam menyebabkan masalah gizi kurang pada Baduta. Pola asuh makan merupakan bagian dari pola asuh gizi, yang dapat dilihat dari perilaku ibu dalam pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola asuh makan pada baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang Tahun 2012 yang dilakukan pada bulan April - Desember tahun 2012. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sampel yang digunakan sebanyak 15 orang yang terdiri dari 7 orang informan utama dan 9 orang informan pendukung. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi mengenai pengetahuan, sikap, dan praktik ibu dalam hal perilaku pemberian ASI dan MP-ASI pada baduta, penilaian status gizi baduta dilakukan dengan cara mengukur berat badan anak dengan menggunakandacin dan panjang badan dengan menggunakanSECA atau microtoice. Penilaian status gizi berdasarkan z-score BB/U dan PB/U dibandingkan dengan baku WHO-NCHS. Informan utama dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak gizi kurang yang berusia dibawah dua tahun (baduta) di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012. Gambaran pola asuh makan ibu baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya secara umum buruk karena sebagian besar informan memiliki pengetahuan, sikap dan praktik pemberian ASI dan MP-ASI yang buruk. Hampir semua informan memiliki pengetahuan, sikap dan praktik yang buruk terkait ASI eksklusif, kolostrum, waktu yang tepat untuk memberikan ASI pertama kali, tidak mengerti komposisi ASI, bahaya pemberian MP-ASI dini, serta tidak mengetahui waktu yang tepat untuk melakukan penyapihan. Namun meskipun demikian, ada beberapa informan utama memiliki pengetahuan yang baik dalam hal frekuensi pemberian ASI dan lamanya pemberian ASI, selain itu mereka juga memiliki sikap
iii
yang baik terhadap frekuensi pemberian ASI dan memiliki praktik yang baik dalam hal frekuensi pemberian ASI dan lamanya pemberian ASI. Gambaran pola pemberian MP-ASI pada ibu baduta gizi kurang juga secara umum juga buruk. Sebagian informan memiliki pengetahuan, sikap dan praktek yang buruk terhadap pemberian MP-ASI, waktu pemberian MP-ASI pertama kali, tahapan pemberian MP-ASI, dan manfaat MP-ASI yang tepat bagi anak. Namun meskipun demikian pengetahuan, sikap dan praktik ibu baduta gizi kurang terhadap komposisi dan porsi MP-ASI, frekuensi pemberian MP-Asi serta cara pembuatan MP-ASI sudah cukup baik. Pola asuh makan atau perilaku ibu baduta gizi kurang yang buruk dalam hal pemberian ASI dan MP-ASI, merupakan penyebab baduta menderita gizi kurang. Perilaku ibu baduta yang buruk, mungkin disebabkan oleh kurangnya penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan atau kurangnya pemahaman dan kesadaran mereka dalam hal pentingnya ASI eksklusif dan MP-ASI yang tepat untuk pertumbuhan dan perkrmbangan anak serta dimungkinkan karena kebiasaan-kebiasaan pemberian makanan baduta yang sejak awal memang sudah buruk. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan kepada petugas Puskesmas sebaiknya melakukan pendekatan-pendekatan dengan cara bekerjasama denga tokoh masyarakat yang berpengaruh diwilayah setempat dalam upaya memperbaiki perilaku atau kebiasaan-kebiasaan buruk terkait pemberian ASI dan MP-ASI yang sudah mendarah daging di masyarakat, selain itu perlu dilakukan peningkatan program penyuluhan kesehatan dan pendampingan gizi baik secara individu maupun kelompok dengan menggunakan contoh menu makanan yang dilengkapi dengan komposisi, porsi, frekuensi dan cara penyajiannya sehingga dapat mudah dipahami oleh ibu baduta, serta memberikan reward kepada ibu baduta yang memiliki perilaku baik dalam hal pemberian ASI dan MP-ASI. Daftar bacaan: 52 (1987-2011) Kata kunci: Pola Asuh Makan, Perilaku, Status Gizi.
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH Undergraduate Thesis, 30 December 2012 Siti Julaeha, NIM: 105101003255 DescribeParentingEatAtChildren Under The Age Of Two Years(Baduta)MalnutritionIn The Working AreaSukamulyaTangerang DistrictHealth Centers (Puskesmas)In 2012 xxvii + 148 pages, 8 tables, 2 charts, 5 attachments
ABSTRACT
This studyaims to describeparentingeatatchildren under the age of two years(baduta)malnutritionin the working areaSukamulyaTangerang districthealth centers (Puskesmas)in 2012. It wasconducted inApril-Decemberin 2012.This study used a qualitative approach. Samples used as many as 15 people consisting of 7 the key informants and 9 secondary informants.Data was collected by in-depth interviews and observations of the knowledge, attitudes and practices of mothers in breastfeeding behaviors and MP-ASI on baduta, assessment of nutritional status baduta done by measuring the child's weight using the balance scales and the length of the body by using a SECA or microtoice. Assessment of nutritional status based on z-score W / A and PB / U compared with standard WHO-NCHS. Key informants in this study were mothers of undernourished baduta in the working area of Tangerang District Health Center Sukamulya 2012. This study shows that the parenting maternal eating baduta malnutrition at health center working area Sukamulya is generally bad because most of the informants have the poor knowledge, attitude and practice of breastfeeding and complementary feeding. Almost all informants have poor knowledge, attitude and practices related toexclusive breastfeeding, colostrum, good timingat first time breastfeeding. They do not understand the composition of breast milk, the dangers of early complementary feeding, and the right time to do the weaning. However, some mothers’ baduta malnutrition have good knowledge in terms of frequency and duration of breastfeeding, in addition they have a good attitude towards the frequency of breast-feeding and weaning age and they also have a good practices in terms of the frequency of breast-feeding and duration of breastfeeding. The pattern of provision of complementary feeding on maternal malnutrition baduta is also generally too bad. Some informants have the knowledge, attitudes and practices that adversely affect the provision of complementary feeding, timing of complementary feeding first time, giving MP-ASI stages, and the benefits of appropriate complementary feeding for children. However, they have good knowledge, attitude and practice of maternal malnutrition on the composition baduta and share complementary feeding, frequency of MP-ASI and ways of making the MP-ASI.
v
The bad parenting dining or maternal behavior baduta malnutrition,in terms of breastfeeding and complementary feeding, is a cause baduta suffer malnutrition. Baduta poor maternal behavior may be caused by a lack of health education from health personnel or lack of understanding and awareness on the importance of exclusive breastfeeding and appropriate complementary feeding for children growth. This is also may be caused by the feeding habits baduta that since the beginning gone bad. Based on these results, it is recommended to the health center personnel make approaches by working premises of influential community leaders local region in an effort to improve behavior or bad habits associated with breastfeeding and complementary feeding which is ingrained in the community, but it needs to be done increased health education programs and nutrition assistance either individually or in groups using a sample menu of food that comes with the composition, portion, frequency and manner of presentation so that it can be easily understood by the mother baduta, and give rewards to baduta mother who had good behavior in terms of breastfeeding and MP-ASI. The reading list : 52 (1987-2011) Keywords: Eating Parenting, Behavior, Nutritional Status.
vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN
GAMBARAN POLA ASUH MAKAN PADA BADUTA GIZI KURANG
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKAMULYA KABUPATEN
TANGERANG TAHUN 2012
Telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 30 Desember2012
Mengetahui
Febrianti, M.Si Minsarnawati, SKM, M.Kes Pembimbing I Pembimbing II
vii
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta,16 Januari 2013
Mengetahui,
Penguji I
Raihana N.Alkaff, M. MA
Penguji II
Ratri Ciptaningtyas, SSN. Kes
Penguji III
Catur Rosidati, SKM.MKM
viii
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Identitas Diri
Nama : Siti Julaeha
Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang 27 Juni 1986
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Menikah
Alamat : Kp. Palis Tegal Ds. Kaliasin RT. 07/01 Kecamatan
Sukamulya Kabupaten Tangerang 15610
Nomor Telepon : 083870926723/ 082110705689
Riwayat Pendidikan
1994 – 2000 SDN Jengkol III Kecamatan Kresek
2000 – 2003 Madrasah Tsanawiyah Negeri Sukamulya
2003 – 2006 SMAN I Kabupaten Tangerang (Kelas III bidang studi
IPA)
2005 – 2012 Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
ix
LEMBAR PERSEMBAHAN
Sembah Bakti penulis haturkan kepada ayahanda tercinta abah H. Asnali yang
sudah banyak membekali penulis dengan pendidikan/ sekolah sebagai bekal untuk
masa depan dalam mengarungi hidup.
Teruntuk ibunda tercinta Hj. Jamsah yang telah melahirkan, membesarkan
dan mendidik anaknya dengan penuh cinta kasih dan sayang. Semoga penulis dapat
mengikuti jejak bunda menjadi orangtua yang bijaksana dalam mendidik,
membesarkan dan mengantar anak-anak menggapai masa depan yang cerah. Do’akan
anakmu bunda...
Ayahanda mertua Alm. H. Buang dan ibunda mertua Hj. Arimah atas doa
yang tulus yang senantiasa mengiringi langkahku menapak hari-hari dalam hidup.
Kakanda tercinta Mr. Kusnadi M.Pd, Abdul Rohim, Jaelani beserta bidadari-
bidadari nan cantik & baik hati (Mama Hilal, Ami Kiki, Bunda Afsel, De eva) serta
Adik-adiku tersayang (Su’ud, Lila, Anam dan Cuel) Terimakasih untuk segala cinta
dan kasih sayang.
Suamiku tercinta (Hidayat S.Ag), terima kasih atas pengertian, dukungan dan
pengorbanan lahir batin yang telah diberikan. Doa setiap waktu dalam Shalat
malammu yang memberi kekuatan dan semangat penulis dalam menyelesaikan
pendidikan.
Anakku tercinta Muhammad Farhan Kamil “Bunda sayang Ade..” Doa, tawa
dan ceriamu menjadi energi positif yang memberi kekuatan buat bunda dalam
menyelesaikan pendidikan ini.
x
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan
limpahan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul “Gambaran Pola Asuh Makan Pada Baduta Gizi Kurang di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukamulya Tahun 2012”. Shalawat serta salam penulis mohonkan
ke hadirat Allah SWT, semoga selalu dialirkan kepada nabi dan rasul akhir zaman,
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, segenap sahabat dan umat-Nya. Amin.
Ucapan terima kasih teruntukIbu Febrianti, M.Si dan Ibu Minsarnawati,
SKM, M.Kes,selakuPembimbing I dan Pembimbing IIyang dengan penuh kesabaran,
ketekunan dan kelembutan telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta
motivasi dalam penyusunan skripsi.
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu tersusunnya skripsi ini. Terima kasih ini penulis haturkan kepada :
1. Bapak Prof. DR (HC) dr. MK Tajudin S.And, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Febrianti, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kesehatan masyarakat UIN
syarif Hidayatullah Jakarta beserta para Dosen yang sangat berjasa dalam
memberikan pendidikan sebagai bekal hidup yang berharga bagi penulis.
3. Ibu Raihana N.Alkaff, M. MA, Ibu Ratri Ciptaningtyas, SSN. Kes, Ibu Catur
Rosidati, SKM.MKM, selaku dosen penguji skripsi sekaligus pembimbing
yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi.
xi
4. Staf Puskesmas Sukamulya, Ibu Henalusti (TPG) dan Bpk.Khaerudin,
SKMserta staf Puskesmas lain yang sudah banyak membantu, Selamat
bertugas.
5. Para Ibu bayi beserta keluarga informan, terimakasih atas kesediaannya
menjadi informan .
6. Sahabat-sahabatku Endah, Giri, Ita, Retno, Eka dan sahabat satu bimbingan
yang lain. Terimakasih atas doa, semangat dan bantuannya selama ini.
Bersama kalian aku jadi berani untuk melangkah maju.
7. Sahabat-sahabatku Nungky, Eva, Rahma,Rofa, Pipit, Riri dan Elok.
Terimakasih atas saran, doa dan dukungannya, sampai kapanpun kalian tetap
sahabatku.
8. Sahabat-sahabatku sedari kecil “wong palis kabeh”, terimakasih untuk semua.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih kurang dari sempurna, sehingga
sangat diharapkan saran dan kritikanya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.
Jakarta, 15 Desember 2012
Penulis
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................................................................ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................................................................................ vi
RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................................... viii
LEMBAR PERSEMBAHAN ................................................................................................ ix
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. x
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 8
1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................... 10
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................................. 10
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................................ 10
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................................................... 10
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................................ 10
1.5.1 Manfaat Bagi Puskesmas .............................................................................. 10
1.5.2 Manfaat Bagi Ibu Baduta ............................................................................. 11
1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti .................................................................................... 11
1.6 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................................... 12
BAB II ..................................................................................................................................... 13
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 13
2.1 Perilaku .................................................................................................................. 13
2.1.1 Pengertian ...................................................................................................... 13
2.1.2 Proses Adopsi Perilaku ................................................................................. 17
2.1.3 Domain Perilaku ............................................................................................ 18
xiii
2.1.4 Perilaku Kesehatan ....................................................................................... 21
2.1.5 Pengukuran dan Indikator Perilaku Kesehatan ......................................... 22
2.2 Pola Asuh Anak ..................................................................................................... 26
2.3 Pola Asuh Makan .................................................................................................. 30
2.4 Jenis-jenis makanan anak usia 0-24 bulan .......................................................... 32
2.4.1 Air Susu Ibu (ASI) ......................................................................................... 32
2.4.2 Makanan Pengganti Air Susu Ibu (PASI) ................................................... 34
2.4.3 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) ......................................................... 37
2.4.4 Kebutuhan Gizi Anak Usia 0 sampai 24 Bulan........................................... 45
2.4.5 Persiapan dan Penyimpanan Makanan ....................................................... 55
2.4.6 Perawatan Kesehatan .................................................................................... 55
2.5 Status Gizi .............................................................................................................. 58
2.5.1 Penilaian Status Gizi ..................................................................................... 60
2.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi ........................................ 66
BAB III ................................................................................................................................... 70
KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH ............................................................... 70
3.1 Kerangka Pikir ...................................................................................................... 70
3.2 Definisi Istilah ........................................................................................................ 71
BAB IV ................................................................................................................................... 76
METODE PENELITIAN ..................................................................................................... 76
4.1 Jenis Penelitian ...................................................................................................... 76
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian.............................................................................. 76
4.3 Informan Penelitian ............................................................................................... 77
4.4 Instrumen Penelitian ............................................................................................. 78
4.5 Pengumpulan Data ................................................................................................ 78
4.6 Analisis Data .......................................................................................................... 79
4.7 Validasi Data .......................................................................................................... 80
BAB V ..................................................................................................................................... 81
HASIL PENELITIAN ........................................................................................................... 81
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................................... 81
5.1.1 Profil Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang Tahun 2012........... 81
xiv
5.1.2 Gambaran Umum Program Perbaikan Gizi di Puskesmas Sukamulya .. 82
5.2 Karakteristik Informan ........................................................................................ 83
5.2.1 Informan Utama ............................................................................................ 84
5.2.2 Informan Pendukung .................................................................................... 88
5.3 Hasil Penelitian ...................................................................................................... 91
5.3.1 Gambaran Pola Asuh Makan ....................................................................... 91
BAB VI ................................................................................................................................. 104
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 104
6.1 Pengetahuan Pemberian ASI .............................................................................. 104
6.2 Sikap Pemberian ASI .......................................................................................... 106
6.3 Praktek Pemberian ASI ...................................................................................... 108
6.4 Pengetahuan Pemberian MP-ASI ...................................................................... 110
6.5 Sikap Pemberian MP-ASI .................................................................................. 113
6.6 Praktek Pemberian MP-ASI............................................................................... 113
BAB VII .................................................................................. Error! Bookmark not defined.
KESIMPULAN DAN SARAN .............................................. Error! Bookmark not defined.
7.1 Kesimpulan ............................................................... Error! Bookmark not defined.
7.2 Saran .......................................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 120
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Usia 0 sampai 24 bulan atau yang biasa dikenal dengan istilah baduta (bayi
dibawah dua tahun) merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat,
sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode
emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi
yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada
masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas
akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi
dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Depkes RI, 2006).
Baduta merupakan salah satu kelompok rawan gizi. Kekurangan gizi pada
baduta dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, social,
dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa.
Selain itu kekurangan gizi dapat menyebabkan terjadinya penurunan atau rendahnya
daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. World Healthy Organization (WHO)
menyatakan terjadinya gagal tumbuh akibat kurang gizi pada masa bayi
mengakibatkan terjadinya penurunan Intelektual Question (IQ) 11 point lebih rendah
dibandingkan dengan anak yang tidak kurang gizi (Depkes RI, 2006)
Pola asuh makan pada bayi meliputi pemberian gizi yang cukup dan seimbang
melalui pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI (MP-ASI).
Memberikan hanya ASI dalam enam bulan pertama kehidupan bayi adalah yang
2
paling baik dalam memenuhi kebutuhan gizi bayi, dilanjutkan dengan pemberian MP-
ASI yang tepat serta ASI dilanjutkan pemberiannya sampai usia dua tahun merupakan
kunci agar anak dapat tumbuh kembang secara optimal (Dinkes Prop SU, 2006).
Anjuran WHO adalah memberikan ASI secara maksimal, tetapi sampai usia
tertentu ASI tidak dapat lagi memenuhi seluruh kebutuhan, karena bayi memerlukan
makanan tambahan sebagai pendamping ASI. (WHO, 1999).
MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan
kepada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya.MP-ASI adalah makanan yang
diberikan pada bayi yang telah berusia enam bulan atau lebih karena ASI tidak lagi
memenuhi gizi bayi. Pemberian makanan pendamping dilakukan secara berangsur-
angsur untuk mengembangkan kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta
menerima macam-macam makanan dengan berbagai tekstur dan rasa. MP-ASI
merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan
yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan ketrampilan motorikoral.
Ketrampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan
makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah
bagian depan ke lidah bagian belakang (Sulistijani, 2001).
Dalam periode pemberian MP-ASI, bayi tergantung sepenuhnya pada
perawatan dan pemberian makanan oleh ibunya. Oleh karena itu pengetahuan dan
sikap ibu sangat berperanan, sebab pengetahuan tentang ASI danMP-ASI dan sikap
yang baik terhadap pemberian ASI dan MP-ASI akan menyebabkan seseorang
mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi oleh bayinya. Semakin baik
3
pengetahuan gizi seseorang maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan
jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi (Ahmad Djaeni, 2000).
Untuk dapat menyusun menu yang adekuat, seseorang perlu memiliki
pengetahuan dan sikap yang baik mengenai bahan makanan dan zat gizi, kebutuhan
gizi seseorang serta pengetahuan hidangan dan pengolahannya. Umumnya menu
disusun oleh ibu (Soegeng Santoso dan Anna Lies Ranti, 1999).
Pemberian MP-ASI meliputi terutama mengenai kapan MP-ASI harus
diberikan, jenis bentuk dan jumlahnya (Krisnatuti, 2000). Waktu yang tepat untuk
pemberian MP-ASI adalah usia 4 sampai 6 bulan (Lawson, 2003). Cara pemberian
pertama kali berbentuk cair menjadi lebih kental secara bertahap (Octopus, 2006).
Jadi pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas ataupun kuantitas, penting
untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak (Graimes, 2008).
Pemberian MP-ASI ini juga harus memperhatikan kondisi anak, ciri anak
yang siap diberikan MP-ASI diantaranya adalah bayi dapat duduk dengan baik tanpa
dibantu; Reflek lidah bayi sudah hilang dan tidak secara otomatis mendorong
makanan padat keluar dari mulutnya dengan lidah; Bayi sudah siap dan mau
mengunyah; Bayi sudah bisa “menjumput”, dimana dia bisa memegang makanan atau
benda lainnya dengan jempol dan telunjuknya. Menggunakan jari dan menggosokkan
makanan ke telapak tangan tidak bisa menggantikan gerakan “menjumput”. Bayi
kelihatan bersemangat untuk ikut serta pada saat makan dan mungkin akan mencoba
untuk meraih makanan dan memasukkannya ke dalam mulut (Sulistijani, 2001).
Dari hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada
bayi dan anak disebabkan karena kebiasaan pemberian makanan pendamping ASI
4
yang tidak tepat. Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta
adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung
menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada
anak usia dibawah 2 tahun (Depkes RI, 2000).
Penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2006) pada keluarga miskin di
Kelurahan Gundaling-I Kecamatan Brastagi, menunjukkan bahwa ada hubungan
antara praktek pemberian makan yang baik dengan status gizi anak 0 sampai 2 tahun.
Analisis analitik yang dilakukan oleh Alphara Anggraeni menunjukkan bahwa ada
hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan ibu tentang MP-ASI dengan tingkat
konsumsi protein anak usia 0 sampai 24 bulan (nilai p=0,001). Hasil uji analitik juga
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan ibu
tentang MP-ASI dengan tingkat konsumsi energi (nilai p=0,105) anak usia baduta,
tidak ada hubungan bermakna antara usia awal pemberian MP-ASI dengan tingkat
konsumsi energi (nilai p=0,140) dan tingkat konsumsi protein (nilai p=0,174) anak
usia baduta dan tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi energi
dengan status gizi (nilai p=0,577) dan tingkat konsumsi protein dengan status gizi
anak usia baduta (nilai p=0,458).
Di Indonesia umumnya MP-ASI diberikan terlalu dini, terlalu banyak, dan
terlalu sering padahal keadaan lingkungan kurang menguntungkan sehingga infeksi
sering terjadi pada anak masa penyapihan. Disamping itu makanan yang diberikan
mempunyai kualitas rendah baik energi, protein, vitamin maupun mineral (Krause V,
2000). Pemberian makanan yang terlalu dini, terlalu sering dan terlalu banyak ini
dapat menyebabkan anak akan lama kenyang, sehingga frekuensi menyusui
5
berkurang, akibatnya produksi ASI berkurang, padahal makanan sapihan yang
diberikan tidak sebaik ASI. Jadi sudah ada perubahan praktek pemberian makanan
dari makanan pendamping ASI menjadi makanan pengganti ASI (Susanto JC, 2003).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rita Mutia Bahri Terdapat hubungan
yang signifikan antara pengetahuan dengan pemberian MP-ASI (0,001), dan
hubungan yang signifikan antara sikap dengan pemberian MP-ASI (0,002).
Berdasarkan study kasus yang dilakukan di puskesmas kuala leumping kota bengkulu
diketahui bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang MP-ASI dengan status
gizi anak usia 6 sampai 24 bulan dimana semakin baik pengetahuan ibu maka
semakin baik pula status gizi anak usia 6 sampai 24 bulan (Susanto JC, 2003).
Hasil Riskesdas tahun 2007 memperlihatkan bahwa secara umum prevalensi
gizi buruk dan gizi kurang menurut indikator BB/U di Indonesia yaitu gizi buruk
sebesar 5,4% dan gizi kurang sebesar 13,0%. Untuk Provinsi Banten prevalensi gizi
buruk yaitu sebesar 4,4% dan gizi kurang 12,2%. Sedangkan untuk Kabupaten
Tangerang prevalensi gizi buruk yaitu sebesar 2,6% dan gizi kurang sebesar 10,3%.
Meskipun prevalensi gizi buruk di Kabupaten Tangerang dan Provinsi Banten
dibawah angka prevalensi nasional, namun masalah ini merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius (Depkes RI, 2008).
Kekurangan gizi pada anak baik akut maupun kronis, dapat dipastikan
mempengaruhi daya tahan tubuh, pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif anak
yang pada gilirannya memberikan kontribusi pada meningkatnya kematian dan
kesakitan anak serta menurunnya prestasi akademik dan produktivitas sumber daya
manusia di masa mendatang (Depkes RI, 2009). Sedangkan menurut Almatsier
6
(2001), kurang gizi pada usia muda dapat berpengaruh terhadap perkembangan
mental (kemampuan berfikir). Otak mencapai bentuk maksimal pada usia dua tahun,
kekurangan gizi pada usia ini dapat berakibat terganggunya fungsi otak secara
permanen (Almatsier, 2001).
Pada umumnya bayi mempunyai status gizi saat lahir yang kurang lebih sama
dengan status gizi bayi di Amerika. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya umur,
disertai dengan adanya asupan zat gizi yang lebih rendah dibandingkan kebutuhari
serta tingginya beban penyakit infeksi pada awal-awal kehidupan maka sebagian
besar bayi Indonesia terus mengalami penurunan status gizi dengan puncak
penurunan pada umur kurang lebih 18 sampai 24 bulan. Pada kelompok umur inilah
prevalensi balita kurus (wasting) dan balita pendek (stunting) mencapai tertinggi
(Hadi, 2001). Setelah melewati umur 24 bulan, status gizi balita umumnya
mengalami perbaikan meskipun tidak sempurna. Balita yang kurang gizi mempunyai
risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak kurang gizi. Setiap tahun
kurang lebih 11 juta dan balita di seluruh dunia meninggal oleh karena penyakit-
penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), diare, malaria,
campak, dan lainnya. Ironisnya, 54% dan kematian tersebut berkaitan dengan adanya
kurang gizi (WHO, 2002).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 memperlihatkan bahwa
secara umum prevalensi balita kurang gizi (balita yang mempunyai berat badan
kurang) secara nasional adalah sebesar 17,9 persen diantaranya 4,9 persen yang
gizi buruk. Prevalensi balita gizi kurang menurut provinsi yang tertinggi adalah
Provinsi NTB (30,5%), dan terendah adalah Provinsi Sulawesi utara (10,6%).
7
Sementara itu prevalensi balita pendek (stunting) secara nasional adalah sebesar
35,6 persen, dengan rentang 22,5 persen (DI Yogyakarta) sampai 58,4 persen
(NTT). Prevalensi balita kurus (wasting) secara nasional adalah sebesar 13,3
persen, dengan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Jambi (20%), dan terendah
adalah Bangka Belitung (7,6%). Hasil Riskesdas 2010 menunjukan 40,6 persen
penduduk mengonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal (kurang dari 70%
dari Angka Kecukupan Gizi/AKG) yang dianjurkan tahun 2004. Berdasarkan
kelompok umur dijumpai 24,4 persen Balita, 41,2 persen anak usia sekolah,
54,5 persen remaja, 40.2 persen Dewasa, serta 44,2 persen ibu hamil
mengonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal. Untuk Provinsi Banten
prevalensi gizi buruk yaitu sebesar 4,4% dan gizi kurang 12,2%. Sedangkan untuk
Kabupaten Tangerang prevalensi gizi buruk yaitu sebesar 2,6% dan gizi kurang
sebesar 10,3%. Meskipun prevalensi gizi buruk di Kabupaten Tangerang dan Provinsi
Banten dibawah angka prevalensi nasional yaitu sebesar 17,9% , namun masalah ini
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius(Depkes RI, 2008).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Sukamulya
pada bulan februaritahun 2012 diketahui bahwa jumlah keseluruhan balita yang ada
di wilayah kerja puskesmas sukamulya berjumlah 5.980 dan jumlah balita yang
ditimbang sebanyak 4.576 dengan jumlah kasus gizi buruk sebanyak 33 kasus
(0,72%), dan gizi kurang sebanyak 165 kasus (3,61%). Setelah dilakukan validasi
data gizi buruk pada tanggal 5-19 november 2012 diketahui dari jumlah 33 kasus
balita gizi buruk yang divalidasi berdasarkan indikator berat badan per umur (BB/U)
dan berat badan per tinggi badan (BB/TB) sebanyak 7 orang balita berstatus gizi
8
buruk dan sebanyak 26 balita berstatus gizi kurang. Dari hasil validasi data gizi buruk
tersebut diketahui jumlah kasus balita gizi kurang yang berusia antara 12 sampai 24
bulan sebanyak 8 kasus (Data Puskesmas, 2011).
Pada keluarga dengan pengetahuan tentang MP-ASI yang rendah seringkali
anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan
gizinya. Pada umumnya anak-anak yang masih kecil (bayi dan balita) mendapat
makanannya secara dijatah oleh ibunya dan tidak memilih serta mengambil sendiri
mana yang disukainya (Ahmad Djaeni,2000). Sehingga dapat dipastikan bahwa
terjadinya kasus gizi kurang dan gizi buruk pada baduta di wilayah kerja Puskesmas
Sukamulya ditengarai akibat pemberian ASI dan MP-ASI yang tidak tepat.
Maka berdasarkan hal tersebut peneliti terdorong untuk mengetahui
gambaran praktik pola asuh makan yang meliputi pemberian ASI dan MP-ASI pada
baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang
yang perlu diketahui apakah sudah dilakukan dengan baik dan benar atau sebaliknya.
Selain itu, di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya belum pernah dilakukan penelitian
sebelumnya terkait pola asuh makan pada baduta.
1.2 Rumusan Masalah
Manfaat ASI untuk pertumbuhan dan perkembangan anak sudah dibuktikan
secara akurat yaitu untuk imunitas tubuh, ekonomis, psikologis, praktis dan lain-lain.
Pemberian ASI secara eksklusif yaitu pemberian ASI saja tanpa makanan lain dan
direkomendasikan selama 6 bulan. Sedangkan MP-ASI direkomendasikan setelah
usia bayi 6 bulan seiring dengan bertambahnya kebutuhan gizi bayi dan menurunnya
produksi ASI (Depkes RI, 2008).
9
Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan dan pemberian makanan
pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat serta ASI yang dilanjutkan pemberiannya
sampai usia dua tahun merupakan kunci agar anak dapat tumbuh kembang secara
optimal. (Dinkes Prop SU, 2006).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Sukamulya pada
bulan februari tahun 2012 diketahui bahwa jumlah keseluruhan balita yang ada di
wilayah kerja puskesmas sukamulya berjumlah 5.980 dan jumlah balita yang
ditimbang sebanyak 4.576 dengan jumlah kasus gizi buruk sebanyak 33 kasus
(0,72%), dan gizi kurang sebanyak 165 kasus (3,61%). Setelah dilakukan validasi
data gizi buruk pada tanggal 5 sampai 19 november 2012 diketahui dari jumlah 33
kasus balita gizi buruk yang divalidasi berdasarkan indikator BB/U dan BB/TB
sebanyak 7 orang balita berstatus gizi buruk dan sebanyak 26 balita berstatus gizi
kurang. Dari hasil validasi data gizi buruk tersebut diketahui jumlah kasus balita gizi
kurang yang berusia antara 12 sampai 24 bulan sebanyak 8 kasus (Data Puskesmas,
2011).
Dari hasil pengamatan yang dilakukan peneliti di lingkungan sekitar terhadap
ibu yang memiliki baduta diketahui pola asuh makan yang meliputi pemberian ASI
dan MP-ASI tidak sesuai seperti ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif,
pemberian MP-ASI dini serta praktik pemberian MP-ASI yang tidak sesuai dengan
umur dan kebutuhan gizi bayi.
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti memfokuskan pada gambaran
praktik pola asuh makan yang meliputi pemberian ASI dan MP-ASI pada baduta gizi
kurang yang belum diketahui apakah dilakukan dengan baik dan benar atau tidak.
10
Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk mengetahui gambaran pola asuh makan
pada baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten
Tangerang tahun 2012.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Bagaimana gambaran pola asuh makan pada baduta gizi kurang yang
meliputi pemberian ASI dan MP-ASI di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya
Kabupaten Tangerang tahun 2012?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pola asuh makan pada baduta gizi kurang di wilayah
kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan praktik ibu dalam pemberian
ASI pada baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya
Kabupaten Tangerang tahun 2012.
2. Mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan praktik ibu dalam pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada baduta gizi kurang di wilayah kerja
Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Bagi Puskesmas
1. Memberikan informasi kepada Puskesmas Sukamulya maupun Dinas
Kesehatan Kabupaten Tangerang mengenai pola pemberian ASI dan
MP-ASI di masyarakat sehingga dapat mempertimbangkannya dalam
11
berbagai program ataupun upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
status gizi baduta dan peningkatan pemberian ASI eksklusif.
2. Dapat menjadi masukan dan informasi mengenai status gizi anak yang
ada di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya.
3. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi Puskesmas Sukamulya
maupun Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang dalam menentukan
arah kebijakan gizi masyarakat maupun penyempurnaan program
khususnya yang berkaitan dengan program peningkatan status gizi
anak di masa yang akan datang.
1.5.2 Manfaat Bagi Ibu Baduta
1. Memberikan pengetahuan mengenai pentingnya pemberian ASI
eksklusif pada ibu baduta di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya
dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang
optimal.
2. Memberikan pengetahuan mengenai pentingnya pemberian MP-ASI
yang tepat sesuai dengan kebutuhan gizi dan usia anak dalam
mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal.
1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti
1. Memberikan pengetahuan mengenai pola asuh makan pada baduta gizi
kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang
tahun 2012.
2. Sebagai bahan masukan untuk penelitian di tempat yang berbeda atau
ditempat yang sama lima tahun mendatang.
12
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang berjudul Gambaran Pola Asuh Makan pada Baduta Gizi
Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang Tahun 2012
ini bertujuan melakukan analisis mendalam mengenai perilaku ibu dalam
memberikan ASI dan makanan pendamping ASI pada baduta gizi kurang di wilayah
kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012. Penelitian ini
dilakukan dengan melihat gambaran pengetahuan, sikap dan praktik pola asuh makan
yang meliputi pemberian ASI dan makanan pendamping ASI pada baduta gizi kurang
di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012.
Penelitian ini dilakukan oleh Mahasiswa Peminatan Gizi Program Studi
Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan menggunakan
pendekatan kualitatif dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara mendalam (Indepth Interview), pengamatan atau observasi sebagai data
primer serta pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengumpulkan data profil
puskesmas dan data-data terkait masalah gizi yang diperoleh dari Puskesmas
Sukamulya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Desember tahun 2012.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku
2.1.1 Pengertian
Menurut Notoatmodjo (2007), dari segi biologis, perilaku adalah suatu
kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab
itu, dari sudut pandang bilogis semua makhluk hidup mulai dari tumbuhan, binatang
sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing
– masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia pada hakikatnya adalah
tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang
sagat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah,
menulis, membaca dan lain sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas
manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh
pihak luar. (Notoatmodjo, 2010)
Menurut Lewit yang dikutip oleh Maulana (2009) perilaku merupakan hasil
pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara
kekuatan atau pendorong dan kekuatan penahan. Perilaku seseorang dapat berubah
jika terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan didalam diri seseorang.
Sedangkan menurut Skiner (1938) seorang ahli psikologi yang dikutip dalam
Notoatmodjo (2007) merumuskan bahwa perilaku adalah merupakan respons atau
14
reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini
terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme
tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus
Organisme Respons.Skiner mebedakan adanya dua respons.
1. Respondent respons atau reflexive, yankni respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulasi) tertentu. Stimulus semacam ini disebut
elicting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.
Misalnya: makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya
terang menyebabkan mata tertutup, dan sebaliknya. Respondent respons ini
juga mencakup perilaku emosional misalnya mendengar berita musibah
menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan
mengadakan pesta, dan sebagainya.
2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau prangsang tertentu.
Prangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena
memperkuat respons. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan
melaksanakan tugasnya dengan baik (respon terhadap tugasnya atau job
skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atasnnya (stimulus baru),
maka petugas kesehatan itu akan lebih baik lagi dalam melaksanakan
tugasnya (Notoatmodjo, 2010).
15
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, menurut Notoatmodjo (2007)
perilaku dapat dibedakan menjadi dua:
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup
(covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,
persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima
stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Misalnya:
seorang ibu hamil tahu pentingnya periksa kehamilan, seorang pemuda tahu bahwa
HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks, dan sebagainya.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek
(practice). Misalnya seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa
anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi.
Seperti telah disebutkan di atas, sebagaian besar perilaku manusia adalah
operant respone. Oleh sebab itu, untuk membentuk jenis respons atau perilaku perlu
diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur
pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut Skiner adalah sebagai
berikut :
1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau
reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan
dibentuk.
16
2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil
yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-
komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju
kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.
3. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan
sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-
masing komponen tersebut.
4. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan
komponen yang telah tersusun. Apabila komponen pertama telah
dilakukan, maka hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakbatkan
komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering
dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk maka dilakukan komponen
(perilaku) yang kedua yang kemudian diberi hadiah (komponen
pertama tidak memerlukan hadiah lagi).
Demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu
dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh
perilaku yang diharapkan terbentuk.
Sebagai ilustrasi, misalnya dikehendaki agar anak mempunyai kebiasaan
menggosok gigi sebelum tidur. Untuk berperilaku seperti ini maka anak tersebut
harus :
1. Pergi ke kamar mandi sebelum tidur,
2. Mengambil sikat dan odol,
3. Mengambil air dan berkumur,
17
4. Melaksanakan gosok gigi,
5. Menyimpan sikat gigi dan odol,
6. Pergi ke kamar tidur
Kalau dapat diidentifikasi hadiah-hadiah (tidak berupa uang) bagi masing-
masing komponen perilaku tersebut (komponen 1-6), maka akan dapat dilakukan
pembentukan kebiasaan tersebut.
Contoh di atas adalah suatu penyederhanaan prodesur pembentukan perilku
operant melalui operant coditioning. Di dalm kenyataanya prosedur itu banyak dan
bervariasi sekali dan lebih kompleks daripada contoh di atas. Teori Skiner ini sangat
besar pengaruhnya terutama di Amerika Serikat. Konsep-konsep behaviour control,
behaviour therapy, dan behaviour modification yang dewasa ini berkembang adalah
bersum ber pada teori ini.
2.1.2 Proses Adopsi Perilaku
Rogers (1974) dalam Maulana (2009) mengungkapkan bahwa sebelum
individu mengadopsi perilaku baru, terjadi proses berurutan dalam dirinya. Proses ini
disebut AIETA, meliputi awareness (individu menyadari atau mengetahui adanya
stimulus/objek), interest (orang mulai tertarik pada stimulus), evaluation (menimbang
baik buruknya stimulus bagi dirinya), trial (orang mulai mencoba perilaku baru), dan
adoption (orang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus). Dalam penelitian berikutnya Rogers menyimpulkan,
proses adopsi perilaku tidak selalu melalui tahap-tahap tersebut (Maulana, 2009).
Selain itu menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2003), apabila penerimaan
perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh
18
pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat
langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh
pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.
2.1.3 Domain Perilaku
Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2005) membagi perilaku
manusia itu ke dalam tiga ranah atau domain yakni: kognitif (cognitive), afektif
(affective), dan psikomotor (psychomotor). Kemudian oleh ahli pendidikan di
Indonesia, ketiga domain ini diterjemahkan kedalam cipta (kognitif), rasa (afektif),
dan karsa (psikomotor), atau peri cipta, peri rasa, dan peri tindak (Notoatmodjo,
2005).
Dalam perkembangan selanjutnya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk
pengukuran hasil pendidikan kesehatan yakni menjadi tiga tingkat ranah perilaku
sebagai berikut:
1. Pengetahuan
Menurut Engel, Blackwell dan Mianiard (1995) dalam Khomsan dkk (2007),
pengetahuan adalah informasi yang disimpan dalam ingatan dan menjadi penentu
utama perilaku seseorang. Sedangkan menurut Notoatmodjo (2005) pengetahuan
adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui
indera yang dimilikinya.
Selanjutnya menurut Winkel (1984) dalam Khomsan dkk (2007)
mengemukakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh
kemampuan intelektualnya. Tingkat pengetahuan akan berpengaruh terhadap sikap
19
dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan
kejelasan konsep mengenai objek tertentu (Khomsan dkk, 2007).
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Tingkat pengetahuan di
dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu: tahu, memahami, aplikasi,
analisis, sintesis dan evaluasi.
2. Sikap
Menurut Campbell (1950) dalam Notoatmodjo (2005), sikap adalah suatu
sindroma atau kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau objek. Sedangkan
menurut Notoatmodjo (2005), sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap
stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan
sebagainya). Sikap itu melibatkan pikiran perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan
yang lain.
Menurut Mar’at (1981) dalam Khomsan dkk (2007), sikap belum merupakan
suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi berupa predisposisi tingkah laku. Predisposisi
untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu mencakup
komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Komponen kognisi akan menjawab pertanyaan
apa yang dipikirkan tentang apa yang dirasakan, senang atau tidak senang terhadap
suatu obyek. Komponen konasi akan menjawab pertanyaan bagaimana/kesiapan
untuk bertindak terhadap obyek (Khomsan dkk, 2007).
Senada dengan hal diatas Newcomb dalam Notoatmodjo (2005) menyatakan
bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
20
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap belum
merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi perilaku (tindakan) atau rekasi tertutup (Notoatmodjo, 2005).
Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2005) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
komponen pokok:
a. Kepercayaan (keyakinan) ide, dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Menurut Notoatmodjo (2005), ketiga komponen diatas secara bersama-sama
membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini,
pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Seperti
halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatan berdasarkan intentitasnya, yaitu
terdiri dari menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing) dan
bertanggung jawab (responsible).
Maulana (2009) menyatakan bahwa sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi
dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan
individu. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak lepas dari pengaruh interaksi dengan
orang lain (eksternal), selain mahluk individual (internal). Kedua faktor tersebut
berpengaruh terhadap sikap.
3. Praktik atau tindakan (practice)
Menurut Notoatmodjo (2005) sikap belum tentu terwujud dalam tindakan,
sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas
atau sarana dan prasarana.
21
Menurut Maulana (2009), praktik atau tindakan memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.
2. Respon terpimpin (guided response)
Hal ini berarti dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh.
3. Mekanisme (mechanism)
Mekanisme berarti dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,
atau telah merupakan kebiasaan.
4. Adopsi (adoption)
Adalah suatu praktik atau tindakan yang telah berkembang dengan baik. Hal
ini berarti tindakan tersebut telah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan
tersebut.
2.1.4 Perilaku Kesehatan
Berdasarkan teori perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan
adalah respons seseorang (orgnisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan
dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta
lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3
kelompok.
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintanance)
22
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan,
atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking
beahaviour)
3. Perilaku kesehatan lingkungan(Notoatmodjo, 2007)
2.1.5 Pengukuran dan Indikator Perilaku Kesehatan
Notoatmodjo (2005) menyatakan untuk mengukur perilaku dan perubahannya,
khususnya perilaku kesehatan mengacu pada tiga domain perilaku.
1. Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), sebelum seseorang mengadopsi perilaku
(berperilaku baru), ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku
tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Masih menurut Notoatmodjo (2005),
pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang diketahui oleh seseorang
terhadap cara-cara memelihara kesehatan.
Indikator-indikator apa yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi:
a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi penyebab penyakit,
gejala atau tanda-tanda penyakit, bagaimana cara pengobatan, atau kemana
mencari pengobatan, bagaimana cara penularannya, bagaimana cara
pencegahannya termasuk imunisasi, dan sebagainya.
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat yang
meliputi jenis-jenis makanan yang bergizi, manfaat makan yang bergizi bagi
kesehatan, pentingnya olahraga bagi kesehatan dan sebagainya.
23
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan yang meliputi manfaat air bersih,
cara-cara pembuangan limbah yang sehat dan sampah, manfaat pencahayaan
dan penerangan rumah yang sehat, akibat polusi bagi kesehatan dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2005), untuk mengukur pengetahuan kesehatan adalah
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau
melalui pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket. Indikator pengetahuan kesehatan
adalah “tingginya pengetahuan” responden tentang kesehatan, atau besarnya
presentase kelompok responden atau masyarakat tentang variabel-variabel atau
komponen-komponen kesehatan.
2. Sikap
Pranadji (1988) dalam Khomsan dkk (2007) mengemukakan bahwa sikap
seseorang dapat diketahui dari kecenderungan tingkah laku yang mengarah pada
obyek tertentu. Sikap positif akan menumbuhkan perilaku positif dan sebaliknya
sikap negatif akan menumbuhkan perilaku negatif pula seperti: menolak, menjauhi,
meninggalkan bahkan sampai hal-hal yang merusak. Melalui pendidikan baik formal
maupun nonformal akan memungkinkan terjadinya perubahan sikap dan kepercayaan.
Pendidikan akan menimbulkan pengalaman belajar pada seseorang, sehingga
mengetahui dan lebih mengerti fakta-fakta tentang berbagai obyek baik positif
maupun negatif.
Notoatmojdo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan penilaian (bisa
berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus atau objek (dalam hal ini adalah
masalah kesehatan, termasuk penyakit). Setelah seseorang mengetahui stimulus
24
ataobjek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek
kesehatan tersebut. Oleh sebab itu indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan
dengan pengetahuan kesehatan, yakni:
a. Sikap terhadap sakit dan penyakit
Adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap: gejala atau
tanda- tanda penyakit, penyebab penyakit, cara pencegahannya atau cara
mengatasinya.
b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat
Adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara-cara memelihara dan
berperilaku hidup sehat. Dengan perkataan lain pendapat atau penilaian lain
terhadap makanan, minuman, olahraga dan sebagainya.
c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan
Adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap cara-cara memelihara dan
berperilaku hidup sehat. Misalnya pendapat atau penilaian terhadap air bersih,
pembuangan limbah, polusi, dan sebagainya (Notoatmojdo, 2003).
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.
Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. Misalnya, bagaimana
pendapat responden tentang imunisasi pada anak balita dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2005).
3. Praktek atau Tindakan (practice)
Menurut Notoatmodjo (2003) setelah seseorang mengetahui stimulus atau
objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang
25
diketahui atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan
ia akan melaksanakan atau mempraktekan apa yang diketahui atau disikapinya
(dinilai baik). Inilah yang disebut praktek (practice) kesehatan, atau dapat juga
dikatakan perilaku kesehatan (overt behavior). Oleh sebab itu indikator praktek
kesehatan menurut Notoatmodjo (2003) ini juga mencakup hal-hal tersebut diatas,
yakni:
a. Tindakan (praktek) sehubungan dengan penyakit
Mencakup pencegahan penyakit misalnya dengan mengimunisasikan anaknya
dan penyembuhan penyakit misalnya dengan minum obat sesuai anjuran
dokter dan sebagainya.
b. Tindakan (praktek) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
Mencakup antara lain: mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang,
melakukan olahraga secara teratur dan sebagainya.
c. Tindakan (praktek) kesehatan lingkungan
Mencakup antara lain: membuang air besar di jamban, membuang sampah
pada tempatnya dan sebagainya.
Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui dua cara,
secara langsung maupun secara tidak langsung. Pengukuran perilaku yang paling baik
adalah secara langsung, yakni dengan pengamatan (observasi), yaitu mengamati
tindakan dari subjek dalam rangka memelihara kesehatannya, misalnya: dimana
responden membuang air besar, makanan yang disajikan ibu dalam keluarga untuk
mengamati praktik gizi dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).
26
Sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode mengingat kembali
(recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap subjek tentang
apa yang telah dilakukan berhubungan dengan objek tertentu (Notoatmodjo, 2005)
2.2 Pola Asuh Anak
Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga, jantung dalam tubuh
merupakan alat yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Apabila jantung
berhenti berdenyut maka orang itu tidak bisa melangsungkan hidupnya. Dari
perumpaan ini bisa disimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral
dan sangat penting untuk melaksanakan kehidupan. Pentingnya seorang ibu terutama
terlihat sejak kelahiran anaknya. (Gunarsa, 1993).
Agar pola hidup anak bisa sesuai dengan standar kesehatan, disamping harus
mengatur pola makan yang benar juga tak kalah pentingnya mengatur pola asuh yang
benar pula. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang
penuh serta kasih sayang pada anak, memberinya waktu yang cukup untuk menikmati
kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga. Dalam masa pengasuhan, lingkungan
pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan
berkembang di bawah asuhan dan perawatan orang tua oleh karena itu orang tua
merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak
beradaptasi dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya serta pola
pergaulan hidup yang berlaku dilingkungannya. Dengan demikian dasar
pengembangan dari seorang individu telah diletakkan oleh orang tua melalui praktek
pengasuhan anak sejak ia masih bayi (Supanto, 1990).
27
Pengasuhan berasal dari kata asuh (to rear) yang mempunyai makna menjaga,
merawat dan mendidik anak yang masih kecil. Wagnel dan Funk menyebutkan bahwa
mengasuh itu meliputi menjaga serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan ke
arah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh Webster yang mengatakan bahwa
mengasuh itu membimbing menuju ke pertumbuhan ke arah kedewasaan dengan
memberikan pendidikan, makanan dan sebagainya terhadap mereka yang di asuh
(Sunarti, 1989).
Dari beberapa pengertian tentang batas asuh, menurut Whiting dan Child
dalam proses pengasuhan anak yang harus diperhatikan adalah orang-orang yang
mengasuh dan cara penerapan larangan atau keharusan yang dipergunakan. Larangan
maupun keharusan terhadap pola pengasuhan anak beraneka ragam. Tetapi pada
prinsipnya cara pengasuhan anak mengandung sifat : pengajaran (instructing),
pengganjaran (rewarding) dan pembujukan (inciting) (Sunarti, 1989). Di negara
timur seperti Indonesia, keluarga besar masih lazim dianut dan peran ibu seringkali di
pegang oleh beberapa orang lainnya seperti nenek, keluarga dekat atau saudara serta
dapat juga di asuh oleh pembantu (Nadesul, 1995).
Pola asuh anak merupakan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk
menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan
berkembang dengan sebaik-baiknya baik fisik, mental, dan sosial, berupa sikap dan
perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan
makan, merawat kebersihan, dan memberi kasih sayang (Zeitlin, 2000 dalam
Rosmana, 2003). Sedangkan pola asuh anak menurut Sayogyo (1993) adalah praktek
28
pengasuhan yang diterapkan kepada anak balita yang berkaitan dengan makanan
balita dan pemeliharaan kesehatan.
Sedangkan menurut Moersintowarti dkk (2002) kebutuhan akan asuh pada
anak meliputi kebutuhan akan nutrisi yang adekuat dan seimbang, perawatan
kesehatan dasar, pakaian, perumahan, higiene diri dan sanitasi lingkungan, dan
kesegaran jasmani berupa olahraga dan rekreasi.
Teori positive deviance (Zeitlin, 1990) menyatakan bahwa berbagai stimulus
yang rutin diberikan oleh ibu atau pengasuh terhadap bayi, baikstimulus visual,
verbal dan auditif akan dapat menyebabkan stimulasigrowth hormone, metabolisme
energi menjadi normal dan imun responlebih baik.
Peranan pengasuhan ini pertama kali diindentifikasi dalam JointNutrition
Support Program in Iringa, Tanzania dan kemudian digunakanpada berbagai studi
positive deviance di berbagai negara. Peranandeterminan pola asuhan terhadap
pertumbuhan bayi cukup besar, dimanapola asuhan yang baik dapat meningkatkan
tingkat kecukupan gizi dankesehatan bayi. Determinan pola asuhan dan kesehatan
langsungberpengaruh terhadap pertumbuhan bayi (Engel, 1992).
Pola pengasuhan anak adalah pengasuhan anak dalam pra danpasca kelahiran,
pemberian ASI, pemberian makanan, dan pengasuhanbermain (Hamzat A, 2000).
Menurut Jus’at (2000) pola pengasuhan adalah kemampuankeluarga untuk
menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadapanak agar dapat tumbuh dan
berkembang dengan sebaik-baiknya secarafisik, mental dan sosial. Pola pengasuhan
anak berupa sikap dan praktikpengasuhan ibu lainnya dalam kedekatannya dengan
anak, merawat,cara memberi makan serta kasih sayang.
29
Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagaikelompok sosial
dan kelompok budaya. Fungsi ini meliputi pemenuhankebutuhan dasar anak seperti
pemberian makanan, mandi, danmenyediakan dan memakaikan pakaian buat anak.
Termasuk didalamnya adalah monitoring kesehatan si anak, menyediakan obat, dan
merawat serta membawanya ke petugas kesehatan profesional.Tambahan lain adalah
diterimanya fungsi hiburan, pendidikan,sosialisasi, penerimaan informasi pandangan
serta nilai dari pengasuhmereka (O'Connel,1994 Bahar, 2002). Pengasuhan anak
adalah aktivitasyang berhubungan dengan pemenuhan pangan, pemeliharaan fisikdan
perhatian terhadap anak (Haviland,1988 Bahar, 2002). Berdasarkan pengertian
tersebut "pengasuhan" pada dasarnya adalah suatu praktekyang dijalankan oleh orang
lebih dewasa terhadap anak yangdihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan
pangan/gizi, perawatandasar (termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit), rumah atau
tempatyang layak, higine perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaranjasmani
(Soetjiningsih, 1995). Serupa dengan yang diajukan oleh Mosleydan Chen 1988
(Bahar,2002) pengasuhan anak meliputi aktivitasperawatan terkait gizi/penyiapan
makanan dan menyusui, pencegahandan pengobatan penyakit, memandikan anak,
membersihkan pakaiananak, membersihkan rumah.
Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang sangat pentingkarena akan
mempengaruhi proses tumbuh kembang balita. Polapengasuhan anak berkaitan erat
dengan keadaan ibu terutamakesehatan, pendidikan, pengetahuan, sikap dan praktik
tentangpengasuhan anak ( Suharsih, 2001).
Pola asuh gizi merupakan bagian dari pola asuh anak yaitu praktik di rumah
tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta
30
sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.
Aspek kunci dalam pola asuh gizi meliputi perawatan dan perlindungan bagi ibu,
praktik menyusui, pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI),
penyiapan makanan, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, praktik kesehatan di
rumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan (Zeitlin, 2000 dalam Rosmana, 2003).
Berdasarkan kerangka konseptual yang dikemukan oleh UNICEF yang
dikembangkan lebih lanjut oleh Engle et al (1997) menekankan bahwa ada tiga
komponen yang merupakan faktor-faktor yang berperan dalam menunjang
pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal diantaranya adalah : makanan,
kesehatan, dan asuhan. Engle et al (1997) mengemukakan bahwa pola asuh meliputi
6 hal yaitu : (1) perhatian / dukungan ibu terhadap anak, (2) pemberian ASI atau
makanan pendamping pada anak, (3) rangsangan psikososial terhadap anak, (4)
persiapan dan penyimpanan makanan, (5) praktek kebersihan atau higiene dan
sanitasi lingkungan dan (6) perawatan balita dalam keadaan sakit seperti pencarian
pelayanan kesehatan.
Pemberian ASI dan makanan pendamping ASI pada anak serta persiapan dan
penyimpanan makanan tercakup dalam praktek pemberian makan atau pola asuh
makan (Engle, 1997).
2.3 Pola Asuh Makan
Pengaturan makan untuk bayi dan anak dibahas secara tersendiri, sebab bayi
dan anak mempunyai ciri khas yang membedakannya dari orang dewasa, yaitu berada
dalam masa pertumbuhan dan perkembangan.(Prabantini, 2010)
31
Untuk kebutuhan pangan/gizi, ibu menyiapkan diri sejak prenataldalam mengatur
dietnya selama kehamilan, masa neo-natal berupapemberian ASI, menyiapkan
makanan tambahan berupa makanan padatyang lebih bervariasi bahannya atau
makanan yang diperkaya, dandukungan emosional untuk anak. Status sakit, pola
aktivitas, asupan gizirendah, frekuensi konsepsi terkait pertumbuhan anak melalui
status giziibu (Pengasuhan makanan anak terdiri atas hal yang berhubungandengan
menyusui, dan pemberian makanan selain ASI buat anak).Pengasuhan makanan anak
fase 6 bulan pertama adalahpemenuhan kebutuhan anak oleh ibu dalam bentuk
pemberian ASI ataumakanan pendamping/pengganti ASI pada anak. Dinyatakan
cukup biladiberi ASI semata sejak lahir sampai usia 4-6 bulan dengan frekuensikapan
saja anak minta dan dinyatakan kurang bila tak memenuhi kriteriatersebut.
Pengasuhan makanan anak pada fase 6 bulan ke-dua adalahpemenuhan
kebutuhan makanan untuk bayi yang dilakukan ibu,dinyatakan cukup bila anak
diberikan ASI plus makanan lumat yangterdiri dari tepung-tepungan dicampur susu,
dan atau nasi (berupa buburatau nasi biasa) bersama ikan, daging atau putih telur
lainnya ditambahsayuran (dalam bentuk kombinasi atau tunggal) diberi dalam
frekuensisama atau lebih 3 x per hari, dan kurang bila tidak memenuhi
kriteriatersebut (Bahar, 2002).
Ada dua tujuan pengaturan makan untuk bayi dan anak yang pertama adalah
memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup, yaitu untuk pemeliharaan dan
atau pemulihan serta peningkatan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan fisik
dan psikomotor serta melakukan aktivitas fisik. Yang kedua adalah untuk mendidik
kebiasaan makan yang baik. (Prabantini, 2010)
32
Makanan untuk bayi dan anak haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur
2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan
yang tersedia setempat, kebiasaan makan, dan selera terhadap makan
3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan
keadaan faali bayi / anak.
4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan. (Prabantini, 2010).
Pola asuh makan pada bayi meliputi pemberian gizi yang cukup dan seimbang
melalui pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI (MP-ASI).
2.4 Jenis-jenis makanan anak usia 0-24 bulan
Jenis-jenis makanan Anak usia 0 sampai 24 bulan terdiri dari : Air Susu Ibu
(ASI), Pengganti Air Susu Ibu (PASI), dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).
(Prabantini, 2010)
2.4.1 Air Susu Ibu (ASI)
ASI merupakan pangan kompleks yang mengandung zat-zat gizi lengkap dan
bahan-bahan bioaktif yang diperlukan untuk tumbuh kembang dan pemeliharaan
kesehatan bayi. Sebelumnya ASI eksklusif (hanya memberikan ASI sebagai makanan
bayi) dianjurkan hingga bayi berumur 4 bulan. Setelah itu bayi diberi makanan
pendamping berupa sari buah dan bubur. Namun sejak tahun 2001, berdasarkan hasil-
hasil penelitian, world health organization (WHO) menganjurkan pemberian ASI
eksklusif hingga bayi berumur 6 bulan.setelah itu diperkenalkan makanan
pendamping ASI (MPASI) yang memenuhi kebutuhan gizi yang sesuai dan aman
33
dimakan. ASI dianjurkan tetap diberikan hingga bayi berumur 2 tahun.(Almatsier,dkk
2011).
Menurut Soetjiningsih (1997), Dibandingkan dengan susu lainnya, ASI
memiliki beberapa keunggulan, yaitu:
a. Mengandung semua zat gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan gizi bayi.
b. Tidak memberatkan fungsi saluran pencernaan dan ginjal.
c. Mengandung beberapa zat antibodi sehingga mencegah terjadinya infeksi
d. Ekonomis dan praktis. Tersedia setiap waktu pada suhu ideal dan dalam
keadaan segar serta bebas dari kuman.
e. Berfungsi menjarangkan kehamilan.
f. Membina hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang antara ibu dan bayi.
Bila ibu dan bayi sehat, ASI hendaknya secepatnya diberikan karena ASI
merupakan makanan terbaik dan dapat memenuhi kebutuhan gizi selama 3 – 4 bulan
pertama. ASI yang diproduksi pada 1 – 5 hari pertama dinamakan kolostrum, yaitu
cairan kental yang berwarna kekuningan. Kolostrum ini sangat menguntungkan bayi
karena mengandung lebih banyak antibodi, protein, mineral dan vitamin A.
Pemberian ASI tidak dibatasi dan dapat diberikan setiap saat. Produksi ASI
dirangsang oleh isapan bayi dan keadaan ibu yang tenang. Disamping itu perlu
diperhatikan kesehatan ibu pada umumnya, status gizi dan perawatan payudara.
Pemberian ASI tidak dibatasi dan dapat diberikan setiap saat terutama ASI eksklusif
(As’ad, 2002).
34
ASI eksklusif adalah bayi yang diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain
seperti susu formula, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat
seperti pisang, pepaya, bubur, biskuit dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini
dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin
sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan harus mulai diperkenalkan dengan
makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau
bahkan lebih dari 2 tahun (Roesli, 2000).
Menurut Suhardjo (1992) pemberian MP-ASI dinimengakibatkan beberapa
gangguan atau masalah kesehatan yaitu : gangguan menyusui, beban ginjal yang
terlalu berat sehingga mengakibatkan hyperosmolitas plasma, alergi terhadap
makanan dan mungkin gangguan terhadap pengaturan selera makan.
Bayi perlu menyusu sesegera mungkin. Pemberian kesempatan isap pada anak
akan merangsang proses lactogenesis dan selanjutnyagalactopoiesis. Frekuensi
menyusui sesuai permintaan bayi dan tiapkali diberikan 5-10 menit per payudara.
Pemberian ASI pada anakdilakukan pada satu sisi payudara ibu sampai selesai
kemudianberpindah pada sisi lainnya. Produksi ASI bisa maksimum bila anakdiberi
menyusu kedua payudara saat minggu-minggu pertama. Praktek yang baik bila ibu
hanya memberi ASI semata sampai usia anak 4-6bulan. Pemberian ASI selanjutnya
sampai usia 2 tahun amat menunjangpertumbuhan yang baik (Bahar, 2002).
2.4.2 Makanan Pengganti Air Susu Ibu (PASI)
Walaupun ASI adalah makanan paling ideal bagi bayi, namun tidak semua ibu
dapat memberikan ASI pada bayinya. Menurut Sulistijani (2001), pemberian PASI
dapat dimengerti jika alasannya adalah:
35
1. Bayi sakit seperti kekurangan cairan, radang mulut atau infeksi
paru-paru
2. Bayi lahir dengan berat badan rendah
3. Bayi lahir sumbing (bawaan)
Pemberian PASI juga dapat disebabkan oleh masalah pada pihak ibu :
1. Jumlah dan mutu ASI kurang memadai sehingga tidak mencukupi kebutuhan
bayi
2. Ibu menderita sakit dan karena sakitnya dilarang menyusui oleh dokter baik
untuk kepentingan ibu maupun bayinya, seperti ginjal atau penyakit menular
3. Ibu menderita infeksi, luka puting (mastitis)
4. Ibu mengalami gangguan jiwa atau epilepsi
5. Ibu sedang menjalani terapi obat yang tidak aman bagi bayi.
Untuk alasan-alasan tersebut, pada umumnya bayi harus diberi makanan
pengganti ASI (PASI) berupa susu formula. Pada umumnya susu formula untuk bayi
terbuat dari susu sapi yang susunan zat gizinya diubah sedemikian rupa sehingga
dapat diberikan kepada bayi tanpa menimbulkan efek samping. Oleh karena ASI
yangpaling ideal untuk bayi maka perubahan yang dilakukan pada komponen gizi
susu sapi harus mendekati susunan zat gizi ASI. Meskipun para ahli teknologi pangan
telah berusaha untuk memperbaiki susunan zat gizi susu sapi agar komposisinya
mendekati susunan zat gizi ASI, sampai saat ini usaha tersebut belum menunjukkan
hasil yang baik (Krisnatuti, 2004).
Dibandingkan dengan ASI, susu formula memiliki banyak kelemahan
terutama dalam hal kandungan gizinya. Selain itu penggunaan susu formula harus di
36
kontrol dari kemungkinan masuknya organisme-organisme patogen atau terjadinya
kontaminasi yang dapat menyebabkan diare.
Pengaturan makanan bayi dengan PASI sama dengan pengaturan makanan
dengan ASI. Pemberian PASI dilakukan berdasarkan kebutuhan gizi bayi terutama
dalam hal kebutuhan air, energi dan protein (RSCM dan Persagi, 1992).
Untuk mencukupi kebutuhan bayi, susu diberikan sesuai dengan takarannya.
Takaran akan bertambah sesuai dengan bertambahnya umur bayi. Jadwal menyusu
dengan susu formula tetap seperti pada bayi yang diberi ASI (Nadesul, 2005).
Bayi sehat pada umumnya tidak memerlukan makanan tambahan sampai usia
6 bulan. Pada keadaan-keadaan khusus dibenarkan untuk mulai memberi makanan
padat setelah bayi berumur 4 bulan tetapi belum mencapai 6 bulan. Misalnya karena
terjadi peningkatan berat badan bayi yang kurang dari standar atau didapatkan
tandatanda lain yang menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak berjalan
dengan baik. Namun, sebelum diberi makanan tambahan sebaiknya coba diperbaiki
dahulu cara menyusuinya. Cobalah hanya memberi bayi ASI saja tanpa memberi
minuman atau makanan lain. Selain itu, bayi harus sering disusui, perhatikan posisi
menyusui. Secara umum usahakan dahulu agar cara pemberian ASI dilakukan sebaik
mungkin. Apabila setelah 1 – 2 minggu ternyata upaya perbaikan tersebut tidak
menyebabkan peningkatan berat badan, maka pemberian makanan tambahan atau
padat diberikan bagi bayi berusia diatas 4 bulan (Roesli, 2000).
Bila oleh suatu sebab (misalnya ibu bekerja atau hamil lagi) bayi tidak
memperoleh ASI, maka kepada bayi diberikan PASI (Pengganti Air Susu Ibu). PASI
dibuat dari susu sapi yang susunan gizinya sudah diubah menjadi hampir sama
37
dengan susunan gizi ASI, sehingga dapat diberikan kepada bayi tanpa menyebabkan
akibat sampingan. Akan tetapi belum ada PASI yang tepat menyerupai susunan ASI
(As’ad, 2002).
Proses penyapihan dimulai pada saat yang berlainan. Pada beberapa kelompok
masyarakat (budaya) tertentu, bayi tidak akan disapih sebelum berusia 6 bulan.
Bahkan ada yang baru memulai penyapihan setelah bayi berusia 2 tahun. Sebaliknya,
pada masyarkat urban bayi disapih terlalu dini yaitu baru beberapa hari lahir sudah
diberi makanan tambahan (Arisman, 2004).
Menurut Sulistjani (2001), seiring bertambahnya usia anak, ragam makanan
yang diberikan harus bergizi lengkap dan seimbang yang mana penting untuk
menunjang tumbuh kembang dan status gizi anak. Dalam hal pengaturan pola
konsumsi makan, ibu mempunyai peran yang sangat penting dalam memilih jenis
makanan yang bergizi seimbang. Setelah berumur 6 bulan, bayi memerlukan
makanan pendamping karena kebutuhan gizi bayi meningkat dan tidak seluruhnya
dapat dipenuhi oleh ASI.
2.4.3 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan yang diberikan pada
bayi yang telah berusia enam bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi gizi
bayi. Pemberian makanan pendamping dilakukan secara berangsur-angsur untuk
mengembangkan kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta menerima macam-
macam makanan dengan berbagai tekstur dan rasa.
Untuk menjamin kesehatan dan pertumbuhan yang baik butuhmenu seimbang
dengan susunan hidangan empat sehat lima sempurna.Menu seimbang, cukup energi,
38
protein bagi pertumbuhan dan imunitasserta reparasi dan pemeliharaan, cukup lemak
esensial dan vitamin larutlemak, vitamin lain dan mineral dalam jumlah memadai.
Empat sehatlima sempurna cermin pola makanan yang dianjurkan bagi
keluarga.Terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah, susu. Makananpokok
adalah makanan dalam porsi besar, sebagai sumber energi. Laukpauk adalah
penyedap makanan pokok (lazimnya adalah sumberprotein). Sayuran maupun buah
adalah sumber vitamin dan mineral.
Anak yang berusia 0-4 bulan cukup diberi ASI, makanan laintidak diperlukan.
Pemberian makanan pendamping ASI pada usia 0-4bulan memberi risiko terkena
sakit seperti diare dan penyakit lainnya.penelitian di Bangladesh menemukan 41%
sampel makanan dan 50%sampel air telah terkontaminasi bakteri E. Coli (Black,
seperti dikutipAkre, 1994). Risiko jangka pendek pemberian makanan selain ASI
padasaat yang belum tepat berupa penurunan frekuensi dan intensitaspengisapan
payudara yang akhirnya menurunkan produksi ASI. Risikojangka panjang menimpa
anak melalui dua mekanisme, efek kumulatifdan praktek diet yang tak
menguntungkan tetapi terpolakan pada anak(Akre,1994).
Makanan anak 0-4 bulan adalah ASI semata. Pada usia 4-6 bulananak diberi ASI
serta buah 1-2 kali dan makanan lunak 1 kali. Saatberumur 6-9 bulan anak diberi ASI
plus buah 1-2 kali dan makanan lunak1 kali dan makanan lembek 2 kali. Umur 9-12
bulan anak tetap diberiASI, plus buah 1-2 kali dan makanan lembek 3 kali. Pada anak
usialebih 1 tahun masih tetap diberi ASI plus buah 1-2 kali, makanan pokok
serta lauk pauk 4 kali atau lebih (Depkes, 2000; Krisnatuti, 2000)
39
Makanan lumat adalah makanan bentuk lumat atau halus,misalnya bubur
susu. Makanan lembek adalah makanan dengankonsistensi mendekati makanan padat
tetapi tidak sepenuhnya padat,seperti nasi atau bubur tim (Almatsier, 2004).
Pemberian makanan pendamping harus bertahap dan bervariasi, mulai dari
bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat,
makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Sulistijani, 2001).
Memasuki usia enam bulan bayi telah siap menerima makanan bukan cair,
karena gigi telah tumbuh dan lidah tidak lagi menolak makanan setengah padat.
Disamping itu, lambung juga telah lebih baik mencerna zat tepung. Menjelang usia
sembilan bulan bayi telah pandai menggunakan tangan untuk memasukkan benda ke
dalam mulut. Karena itu jelaslah, bahwa pada saat tersebut bayi siap mengkonsumsi
makanan (setengah padat) (Arisman, 2004).
Selain itu saat bayi berumur enam bulan ke atas, sistem percernaannya juga
sudah relatif sempurna dan siap menerima MP-ASI. Beberapa enzim pemecah protein
seperti asam lambung, pepsin, lipase, enzim amilase dan sebagainya juga telah
diproduksi sempurna pada saat ia berumur enam bulan (Anonim, 2005).
Ada dua tujuan pengaturan makanan untuk anak usia 0-24 bulan (As’ad,
2002) :
1. Untuk mendidik kebiasaan makan anak yang baik
2. Memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup yaitu untuk
pemeliharaan atau pemulihan serta peningkatan kesehatan,
40
pertumbuhan, perkembangan fisik dan psikomotor serta melakukan
aktivitas fisik.
Makanan untuk anak usia 0-24 bulan harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut (As’ad, 2002) :
1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur
2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan
makanan yang tersedia setempat, kebiasaan makan dan selera makan
3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi
dan keadaan faali anak
4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan.
Pemberian makanan padat sebaiknya diberikan pada umur yang tepat. Resiko
pemberian makanan padat sebelum umur adalah :
1. Kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas
2. Alergi terhadap salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan
tersebut
3. Mendapat zat-zat tambahan seperti garam dan nitrat yang dapat
merugikan
4. Mungkin saja dalam makanan padat yang dipasarkan terdapat zat
pewarna atau zat pengawet yang tidak diinginkan
41
5. Kemungkinan pencemaran dalam penyediaan atau penyimpanannya.
Sebaliknya, penundaan pemberian makanan padat menghambat pertumbuhan
jika energi dan zat-zat gizi yang dihasilkan oleh ASI tidak mencukupi lagi
kebutuhannya (Pudjiadi, 1990).
Makanan tambahan untuk bayi sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai
berikut : nilai energi dan kandungan protein cukup, dapat diterima dengan baik,
harganya relatif murah, sebaiknya dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia
secara lokal. Makanan tambahan pada bayi hendaknya juga bersifat padat gizi dan
mengandung serat kasar serta bahan lain yang sukar dicerna sedikit mungkin. Sebab
serat kasar yang terlalu banyak jumlahnya akan mengganggu pencernaan
(Muchtadi,1994).
Menurut Arisman (2004), pemberian makanan pendamping harus bertahap
dan bervariasi, dari mulai bentuk bubur cair kebentuk bubur kental, sari buah, buah
segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat.Pemberian
pertama cukup 2 kali sehari, satu atau dua sendok teh penuh. Pada usia 6-9 bulan bayi
setidak-tidaknya membutuhkan empat porsi. Menginjak usia 9 bulan bayi telah
mempunyai gigi dan mulai pandai menguyah makanan. Sekitar usia 1 tahun bayi
sudah mampu memakan makanan orang dewasa. Anak usia 2 tahun memerlukan
makanan separuh takaran orang dewasa.
Makanan sapihan yang ideal harus mengandung makanan pokok, lauk pauk,
sayur-sayuran, buah-buahan dan minyak atau lemak. Makanan sapihan baru boleh
diberikan setelah bayi disusui atau diantara dua jadwal penyusunan. Sebab, diawal
42
masa penyapihan, ASI masih merupakan makanan pokok. Sementara makanan
sapihan hanyalah sebagai pelengkap. Kemudian secara berangsur ASI berubah fungsi
sebagai makanan tambahan, sementara makanan sapihan menjadi santapan utama
(Arisman, 2004).
Pemberian makanan padat atau tambahan yang terlalu dini dapat mengganggu
pemberian ASI eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan pada bayi. Selain itu,
tidak ditemukan bukti yang menyokong bahwa pemberian makanan padat atau
tambahan pada usia 4 – 6 bulan lebih menguntungkan. Bahkan sebaliknya, hal ini
akan mempunyai dampak yang negatif terhadap kesehatan bayi (Roesli, 2000).
Pola Pemberian Makanan Anak Usia 0 sampai 24 Bulan
Makanan Bayi Umur 0-6 bulan adalah sbb :
1. Berikan hanya ASI saja sampai berumur enam bulan (ASI Eksklusif). Kontak
fisik dan hisapan bayi akan merangsang produksi ASI terutama 30 menit
pertama setelah lahir. Pada periode ini ASI saja sudah dapat memenuhi
kebutuhan gizi bayi. Berikan ASI dari kedua payudara. Berikan ASI dari satu
payudara sampai kosong, kemudian pindah ke payudara lainnya (Depkes,
2000).
2. Kolostrum jangan dibuang tetapi harus segera diberikan pada bayi. Walaupun
jumlahnya sedikit, namun sudah memenuhi kebutuhan gizi bayi pada hari-hari
pertama. Waktu dan lama menyusui tidak perlu dibatasi dan frekuensinya
tidak perlu dijadwal (diberikan pagi, siang, dan malam hari). Serta sebaiknya
jangan memberikan makanan atau minuman (air kelapa, air tajin, air teh,
43
madu, pisang dan lain-lain) pada bayi sebelum diberikan ASI karena sangat
membahayakan kesehatan bayi dan mengganggu keberhasilan menyusui
(Dinkes Prop SU, 2005).
Makanan Bayi Umur 6 sampai 9 Bulan adalah sbb :
1. Pemberian ASI diteruskan
2. Bayi mulai diperkenalkan dengan MP-ASI berbentuk lumat halus karena bayi
sudah memiliki refleks mengunyah. Contoh MP-ASI terbentuk halus antara
lain bubur susu, biskuit yang ditambah air atau susu, pisang dan pepaya yang
dilumatkan. Berikan untuk pertama kali salah satu jenis MP-ASI dan berikan
sedikit demi sedikit mulai dengan jumlah 1 sampai 2 sendok makan, 1 sampai
2 kali sehari. Berikan untuk beberapa hari secara tetap, kemudian baru dapat
diberikan jenis MP-ASI yang lainnya.
3. Perlu diingat tiap kali berikan ASI lebih dulu baru MP-ASI, agar ASI
dimanfaatkan seoptimal mungkin.
4. Memperkenalkan makanan baru pada bayi, jangan dipaksa. Kalau bayi sulit
menerima, ulangi pemberiannya pada waktu bayi lapar, sedikit demi sedikit
dengan sabar, sampai bayi terbiasa dengan rasa makanan tersebut.
Makanan bayi umur 9 sampai 12 bulan sbb :
1. Pemberian ASI diteruskan
44
2. Bayi mulai diperkenalkan dengan makanan lembek yaitu berupa nasi tim
saring/bubur campur saring dengan frekuensi dua kali dalam sehari
3. Untuk mempertinggi nilai gizi dalam makanan, nasi tim bayi ditambah sedikit
demi sedikit dengan sumber zat lemak, yaitu santan atau minyak
kelapa/margarin. Bahan makanan ini dapat menambah kalori makanan bayi,
disamping memberikan rasa enak juga mempertinggi penyerapan vitamin A
dan zat gizi lain yang larut dalam lemak.
4. Kepadatan nasi tim bayi harus diatur secara berangsur, lambat laun mendekati
bentuk dan kepadatan makanan keluarga.
5. Berikan makanan selingan satu kali sehari, dipilih makanan selingan yang
bernilai gizi tinggi, seperti bubur kacang ijo, buah dan lain-lain dan
diusahakan agar makanan selingan dibuat sendiri agar kebersihannya terjamin.
6. Bayi perlu diperkenalkan dengan beraneka ragam bahan makanan. Pengenalan
berbagai bahan makanan sejak usia dini akan berpengaruh baik terhadap
kebiasaan makan yang sehat dikemudian hari.
Makanan anak umur 12 sampai 24 bulan :
1. Pemberian ASI diteruskan.
2. Pemberian MP-ASI atau makanan keluarga sekurang-kurangnya 3 kali sehari
dengan porsi separuh makanan orang dewasa setiap kali makan. Disamping
itu tetap berikan makanan selingan 2 kali sehari.
45
3. Berikan makanan bervariasi dengan menggunakan padanan bahan makanan.
4. Menyapih anak harus dilakukan secara bertahap dan jangan secara tiba-tiba
5. Kurangi frekuensi pemberian ASI sedikit demi sedikit
2.4.4 Kebutuhan Gizi Anak Usia 0 sampai 24 Bulan
Kebutuhan gizi seseorang adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk
memelihara kesehatan pada umumnya. Secara garis besar, kebutuhan gizi ditentukan
oleh usia, jenis kelamin, aktifitas, berat badan dan tinggi badan (Uripi,2004).
Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Oleh karena itu, pangan harus tersedia pada
setiap saat dan tempat dengan jumlah dan mutu yang memadai (Soekirman, 2000).
Kebutuhan energi dan protein bayi dan balita relatif besar jika dibandingkan
dengan orang dewasa sebab pada usia tersebut pertumbuhannya masih sangat pesat.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara anak perempuan dan laki-laki dalam hal
kebutuhan energi dan protein. Kecukupan akan semakin menurun seiring dengan
bertambahnya usia. Namun untuk protein, angka kebutuhannya bergantung pada
mutu protein. Semakin baik mutu protein, semakin rendah angka kebutuhan protein.
Mutu protein bergantung pada susunan asam amino yang membentuknya, terutama
asam amino essensial. (Sulistijani,2001).
Konsumsi pangan anak bayi dan balita harus cukup dan seimbang karena anak
balita sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Berikut
46
penjelasan masing-masing zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi usia 0 sampai 24 bulan
:
1. Energi
AKG (2004) untuk bayi berumur 0 sampai 6 bulan adalah 550 kkal/hari dan
untuk bayi berumur 7 sampai 11 bulan 650 kkal/hari. Angka untuk bayi sehat
dengan berat ini ditetapkan untuk bayi sehat dengan berat badan rata-rata 6,0
kg dan panjang badan dan rata-rata 60 cm untuk bayi berumur 0 sampai 6
bulan, dan rata-rata 8,5 dan 71 cm untuk bayi berumur 7 sampai 11 bulan.
Kebutuhan energi bayi terutama ditetapkan oleh ukuran tubuhh, aktivitas fisik,
dan kecepatan pertumbuhan. Kebutuhan energi sehari meningkat selama tahun
pertama, akan tetapi kebutuhan energi per unit ukuran tubuh turun sesuai
dengan perubahan pada kecepatan tumbuh bayi. Pengaruh aktivitas fisik
terhadap pengeluaran energi berbeda dengan tiap bayi, namun rata-rata
meningkat seiring dengan meningkatnya umur sesuai dengan perkembangan
keterampilan motorik. Ada bayi yang diam dan tenang, ada pula yang lebih
banyak bergerak dan menagis. Cara paling baik menilai kecukupan asupan
energi bayi adalah dengan memonitor perkembangna berat badan dan panjang
badan bayi. Kurva berat badan dan panjang bayi mengikuti umur (0 sampai 12
bulan) menurut standar WHO (2005).
2. Protein
Bayi memerlukan protein untuk mesintetiskan jaringn baru yang diperlukan
untuk pertumbuhan serta mensintesis enzim, hormon dan berbagai ikatan
47
fisiologis penting lainnya. Kandungan protein tubuh meningkat sebanyak
kurang lebih 11% hingga 15% selama tahun pertama. AKG protein (2004)
untuk bayi berumur 0 sampai 6 bulan adalah sebanyak 10g/hari, dan untuk
bayi berumur 7 sampai 11 bulan sebanyak 16 g/hari.
3. Air
Bayi membutuhkan air per unit ukuran tubuh yang lebih tinggi dari pada
orang dewasa. Sebagian besar air berada didalam ruangan ekstraseluler. Ginjal
bayi belum berfungsi dengna sempurna. Kdua hal ini menyebabkan bayi
rentan terhadap ketidakseimbangan air. Kebutuhan air ditetapkan oleh jumlah
air yang keluar, kebutuhan air untuk untuk pertumbuhan, dan cairan yang
diperoleh dari makanan.
Kehilangna air terjadi melalui penguapan melalui kulit dan saluran pernapasan
(kehilangna air tidak terasa), melalui keringat, urine, dan feses. Selama
pertumbuhan, diperlukan tambahan air, karena air merupakan bagian dari
jaringan dan untuk penambahan cairan tubuh.
Kehilangan air pada bayi dan anak-anak melalui penguapan merupakan lebih
dari 60% dari asupan air yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan tubuh
(homeostasisi). Untuk orang dewasa angka iin adalah 40-50%. Pada semua
umur, kurang lebih 24% kehilangan panas basal terjadi melalui penguapan
melelui kulit dan saluran pernapasan. Ini sama dengan 45 ml kehilangan air
yang tidak terasa per 100 kkal energi yang dikelaurkan. Kehilangan air rata-
rata melalui penguapan pada bayi berusia satu bulan diperkirakan sebanyak
210 ml/hari, sedangkan pada usia satu tahun sebanyak 500 ml/hari.
48
Kehilangna air melalui penguapan meningkat dengan kenaikan suhu tubuh
(demam) dan kenaikan suhu udara. Kenaikan kelembaban udara menurunkan
pengeluaran air melalui pernapasan. Kehilangan air pada bayi diperkirakan
sebanyak 10 ml/kg berat badan. Kebutuhan air bayi yang dianjurkan adalah
sebanyak 1,5 ml/kkal energi yang dibutuhkan (National Research Council,
1989 dalam Worthington Roberts dan Wiliams, 2000). Bila bayi diberi terlalu
banyak air, dapat menimbulkan keracunan air yang menyebabkan
hyponatremia, mudah tersinggung dan tidak sadarkan diri (koma). Dalam
keadaan normal bayi yang mendapat ASI atau susu formula saja selama enam
bulan pertama kelahiran tidak membutuhkan tambahan air.
4. Lemak
Lemak merupakan zat gizi penghasil energi yang paling tinggi konsentrasinya.
Lemak kurang lebih meliputi 50% energi yang diperoleh bayi apabila ASI
atau susu formula merupakan satu-satunya sumber gizi yang diperolehnya.
Energi yang diperoleh dari lemak menghemat protein agar digunakan untuk
sintesis jaringan. Dengna diberikannya makanan pendamping ASI (MP-ASI)
kepada bayi pada usia enam bulan, persen energi berasal dari lemak ini akan
menurun. Proporsi lemak energi akan meningkat bila bayi secara berangsur
memeakan makanan keluarga yang mengandung lemak tinggi.
5. Vitamin dan Mineral
Kebutuahan mineral dan vitamin dipengaruhi oleh kecepatan tumbuh,
mineralisasi tulang, peningkatan panjang tulang dan volume darah, serta
asupan energi, protein, dan lemak. AKG tahun 2004 untuk kalsium, fosfor,
49
magnesium, vitamin A, D, E, K, tiamin, riboflavin, niasin, asam folat,
piridoksin, vitamin , dan vitamin C. dapat dilihat pada Tabel 5.1.
6. Besi
Tidak ada catatan tentang angka Anemi Gizi Besi pada bayi di Indonesia.
Angka Anemi Gizi Besi untuk balita pada tahun 2001 sebesar 48,1%
(Atmarita dan Tatang S. Falah dalam Prosiding Widyakarya Nasional Pangan
dan Gizi, 2004). Bayi yang mendapat ASI atau susu formula yang difortifikasi
dengan besi diharapkan tidak mengalami Anemi Gizi Besi. Bayi kemungkinan
menderita Anemi Gizi Besi bila tidak mendapat ASI atau susu formula yang
tidak difortifikasi dengan besi. Dan tidak mendapt asupan MP-ASI yang
cukup mengandung besi umur enam belas keatas. Kekurangan besi pada bayi
dapat menimbulkan akibat jangka panjang.
7. Kalsium dan fosfor
AKG (2004) untuk kalsium dan fosfor didasarkan pengamatan terhadap bayi
yang terutama mendapat ASI. Kalsium yang berasal dari ASI dapat di
absorpsi dengna baik, sedangkan kalsium dari susu formula hanya diabsorpsi
sebesar 38%. Susu formula komersial hanya mengandung kalsium lebih tinggi
daripada ASI untuk kompensasi absorpsi yang lebih rendah ini.
Di waktu yang lalu banyak perhatian diberikan terhadap perbandingan antara
jumlah kalsium dan fosfor (Ca:P) yang dikonsumsi. Bayi sehat ternyata dapat
menyesuaikan diri terhadap banyknya fosfor yang dikonsumsi, sehingga
jumlah asupan fosfor dari susu formula tidak perlu dipermasalahkan.
50
8. Asam Lemak
Untuk menjaga oertumbuhan dan perkembangan neurologis, hendaknya
makanan bayi mengandung cukup asam lemak esensial berupa asam linoleat
dan linolenat. Asam arakidonat bukan asam lemak esensial karena dapat
dibentuk dalam tubuh dari alasan linoleat. Asam linoleat merupakan asam
lemak dengan rantai karbon -18 dari kelompok -6, sedangkan asam linolenat
adalah sam lemak dengan rantai karbon -18 dari kelompok -3. Kekurangan
asam linolenat atau asam arakidonat (karbon-20, -6) menyebabkan kulit
bersisik, rambut rontok, diare, dan luka sukar sembuh. Kandungan energi ASI
sebanyak 3-7% berasal dari asam linoleat. American Academy of Pediactrics
dan Food and Drug Administration dalam Washington-Roberts dan Williams
(2000) menyatakn bahwa susu formula hendaknya sekurangnya mengandung
300 mg asam linoleat/ 100 kkal, atau 2,7% energi totalnya berasal dari sam
linoleat.
Asam lemak esensial merupakan perkursor asam lemak rantai panjang lain
yang diperlukan untuk fungsi normal sel. Manusia memppunyai kemampuan
untuk membuat asam lemak ini bila asam lemak esensial tersedia dalam
jumlah cukup. Kemampuan ini hanya dimiliki bayi secara terbatas, terutama
pada bayi yang lahir sebelum waktunya ( prematur ). Akhir-akhir ini perhatian
banyak ditunjukan terhadap pentingnya asupan asam lemak rantai panjang
dari jenis -3 dan -6.
ASI mengandung asam lemak rantai panjang berupa asam lemak -3 dan -
6. Jaringan otak dan jaringan saraf lain pada janin dan bayi selama enam bulan
51
sesudah lahir banyak mengnadung asam lemak -3 dokosahetksanoat (DHA).
Bayi mempunyai kemampuan terbatas untuk mensintesis DHA dari asam
lemak -3 linolenat. Karena itulah lebih tingginya tingkat kecerdasan anak
yang diberi ASI mungkin disebabkan oleh ketersediaan DHA yang cukup di
dalam ASI. Banyak hasil penelitian menunjukan peningkatan kemampuan
visual pada bayi yang mnedapat susu formula dengan penambahan DHA.
Namun, beberapa hasil penelitian menunjukan penambahan DHA pada susu
formula untuk bayi prematur menunjukan penambahan DHA pada susu
formula untuk bayi prematur menunjukan laju pertumbuhan yang lebih
rendah. Yang paling utama yang perlu diperhatikan adlah keseimbangan
antara lemak -3 dan -6.
9. Vitamin larut-air
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2004 menetapkan Angka
Kecukupan Gizi untuk tubuh jenis vitamin larut-air, yaitu tiamin ( ),
ribovlafin ( ), niasin ( ), pridoksin ( ), folat ( ), siankobalamin
( ), dan asam akrobat (vitamin C ). Kebutuhan bayi didasarkan asupan rata-
rata sehari yang diperoleh dari ASI. Pertimbangan yang diambil dalam
penentuan ini adalah : (1) Kebutuahn akan tiamin dan ribovlafin berhubungan
dengan asupan energi, karena perananannya ribovflavin berhubungan dengan
asupan energi; (2) Karena triptofan dapat dirubah menjadi niasian, penetapan
kebutuahn dasar akan niasin sulit dilakukan. ASI mengandung 15 mg niasin
dan 210 mg triptofan per liter; (3) Piridoksin mempunyai fungsi sebagai faktor
52
koenzim dalam metabolisme asam amino dan lipdia, serta merupakan
komponene kunci dari struktur genetik deoxrybonucleic acid (DNA) dalam
inti sel. Kebutuhan akan piridoksin meningkat sesuai dengan asupan protein;
(4) Kobalamin ( vitamin ) terutama terdapat dalam makanan hewani.
Tanda-tanda kekurangan vitamin terlihat pada bayi yang ibunya
mengikuti diet vegetarian atau yang mengalami anemi pernisiosa; (5)
Simpanan folat dalam tubuh bayi waktu lahir sangat sedikit dan cepat habis.
Folat dalam serum dan eritrosit turun di bawah nilai folat orang dewasa
setelah bayi berumur dua minggu dan tetap pada niali tersebut selama tahun
pertama kehidupan. Kebutuhan folat bayi dapat dipenuhi melalu ASI dan susu
formula; (6) Bayi baru lahir yang mengkonsumsu sebanyak 7 hingga 12
mg/hari vitamin C (asam askorbat) dapat dilindungi dari scurvy. Asupan
sebanyak 30 mg/hari, berdasarkan jumlah yang dapat dipenuhi ASI,
dianjurkan selama 6 bulan pertama kehidupan. Bayi yang mendapat ASI atau
susu formula memperoleh cukup vitamin C.
10. Seng
Dibadingkan dengan besi, tidak banyak diketahui tentang kebutuhan dan
absorpsi seng pada bayi. Bayi tampaknya menyesuaikan diri dengna berbagai
tingkat asupan seng dengan cara meningkatkan atau menurunkan tingkat
absorpsinya. Tingkat absorpsi seng yang berasal dari susu formula dilaporkan
berkisar antara 41% pada asupan total yang rendah hingga 17% pada asupan
total yang tinggi.
53
11. Flour
Konsumsi flour yang cukup diperlukan untuk pembentukan gigi. Sebaliknya
kelebihan dapat menimulkan florosis. Kecukupan flour tubuh hendaknya
diperiksa pada usia enam bulan. Bila konsumsi flour rendah, sebaiknya bayi
diberikan suplemen flour. Kandungan flour ASI sangat rendah. Di Indonesia
penggunaan air minum yang ditambahkan flour belum merata, namun belum
ada anjuran untuk memberi suplemen flour pada bayi.
12. Vitamin A
Sejak tahun 1992 kekurangan vitamin A tidak merupakan masalah nasional di
Indonesia( BennyKodiyat dkk. Dalam risalah Widykarya Nasional Pangan
dan Gizi, 1994). ASI, susu formula, dan susu sapi meruakan sumber-sumber
vitamin A. Vitamin A diperlukan bayi untuk pengelihatan normal, mencegah
infeksi, untuk pertumbuhan dan perkembangan. Untuk pencegahan,
dilanjutkan pemebrian vitamin A dosis tinggi (100.000 SI) satu kali kepada
bayi yang berumur 6-12 bulan (Depkes RI, 2006).
13. Vitamin D
Vitamin D bersama dengan kalsium, fosfor, dan protein berfungsi dalam
pembentukan tulang. Bayi yang tinggal di daerah tropis, termasuk Indonesia
jarang mengalami kekurangan vitamin D karen avitamin D dapt dibentuk di
bawah kulit bila terkena sinar matahari. Oleh karena itulah bayi perlu kena
sinar matahari tiap pagi
14. Vitamin E
54
Vitamin E merupakan antioksiden yang di perluka untuk memelihara
kebutuhan dinding sel tubuh. Angka kecukupan vitamin E sehari (2004) bagi
bayi berumur 0-6 adalah 4 mg sedangkan bagi bayi berumur 7-11 bulan
sejumlah 5 mg. ASI mengandung cukup vitamin E.
15. Vitamin K
Vitamin K dperlukan untuk pembekuan ( koagulasi) darah dan proses
fisiologis lannya. Pada waktu lahir, bayi mempunyai simpanan vitamin K
yang rendah sehingga beresiko tinggi mengalami pendarahan, yang dapat
terjadi dua hingga sepuluh hari sesuda lahir. Bayi mendapat ASI beresiko
lebih tinggi untuk mengalaminya. Oleh sebab itu, dianjurkan memeberi bayi
sebanyak 1 mg melalui suntikan intramuskular segera setelah lahir.
Menurut Widyakarya Pangan dan Gizi (2004) bahwa jumlah zat gizi
yang dibutuhkan bayi berusia 7-12 bulan adalah sebesar 650 kalori energi
dan16 gram protein. Demikian juga zat-zat gizi lainnya yang dibutuhkan
seperti vitamin, niasin, dan lain-lain dapat dilihat pada tabel 2.1. berikut :
Tabel 2.1 Jumlah Kebutuhan Zat Gizi Pada Bayi Zat Gizi Kelompok Umur Nama Satuan 0-6 7-12 12-36 Energi Protein Vitamin A Tiamin Riboflavin Niasin Vitamin B12 Asam Folat Vitamin C
Kkal gr RE mg mg mg mg μg mg mg mg
550 10 375 0,3 0,3 2 0,4 65 40 200 100
650 16 400 0,4 0,4 4 0,5 80 40 400 225
1000 25 400 0,5 0,5 6 0,9 150 40 500 400
55
Kalsium Fosfor Besi Seng Iodium
mg mg μg
5 1,3 90
7 7,5 90
8 8,2 90
Sumber : Widyakarya Pangan dan Gizi (2004)
Sumber: Nelson, Textbook of Pediatrics. Dalam : Penuntun Diit Anak, 1992
2.4.5 Persiapan dan Penyimpanan Makanan
Pada saat mempersiapkan makanan, kebersihan makanan perlu mendapat
perhatian khusus. Makanan yang kurang bersih dan sudah tercemar dapat
menyebabkan diare atau cacingan pada anak. Begitu juga dengan si pembuat
makanan dan peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok, gelas, piring dan
sebagainya sangat menentukan bersih tidaknya makanan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan dan menyimpan
makanan adalah (Soenardi, 2000) :
1. Simpan makanan dalam keadaan bersih, hindari pencemaran dari debu dan
binatang.
2. Alat makan dan memasak harus bersih.
3. Ibu atau anggota keluarga yang memberikan makanan harus mencuci
tangan dengan sabun sebelum memberi makan.
4. Makanan selingan sebaiknya dibuat sendiri.
2.4.6 Perawatan Kesehatan
2.4.6.1 Praktek Kebersihan / Hygiene dan Sanitasi Lingkungan
Widaninggar (2003) menyatakan kondisi lingkungan anak harus benar-benar
diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan
56
dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan ruang (bermain
anak), pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan
sampah/limbah, kamar mandi dan jamban/ WC dan halaman rumah. Kebersihan
perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh
kembang anak. Kebersihan perorangan yang kurang akan memudahkan terjadinya
penyakit-penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare dan cacingan.
Sedangkan kebersihan lingkungan erat hubungannya dengan penyakit saluran
pernafasan, saluran pencernaan, serta penyakit akibat nyamuk. Oleh karena itu
penting membuat lingkungan menjadi layak untuk tumbuh kembang anak sehingga
meningkatkan rasa aman bagi ibu atau pengasuh anak dalam menyediakan
kesempatan bagi anaknya untuk mengeksplorasi lingkungan. Menurut Soetjiningsih
(1995), keadaan perumahan yang layak dengan konstruksi bangunan yang tidak
membahayakan penghuninya akan menjamin keselamatan dan kesehatan
penghuninya yaitu ventilasi dan pencahayaan yang cukup, tidak sesak, cukup leluasa
bagi anak untuk bermain dan bebas polusi.
Sulistijani (2001) mengatakan bahwa lingkungan yang sehat perlu diupayakan
dan dibiasakan tetapi tidak dilakukan sekaligus, harus perlahan-lahan dan terus
menerus. Lingkungan sehat terkait dengan keadaan bersih, rapi dan teratur. Oleh
karena itu, anak perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut :
1. Mandi 2 kali sehari.
2. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan.
3. Makan teratur 3 kali sehari.
4. Menyikat gigi sebelum tidur.
57
5. Buang air kecil pada tempatnya / WC.
Awalnya mungkin anak keberatan dengan berbagai latihan tersebut. Namun,
dengan latihan terus-menerus dan diimbangi rasa kasih sayang dan dukungan oarang
tua, anak akan menerima kebijaksanaan dan tindakan disiplin tersebut.
2.4.6.2 Perawatan bayi dalam Keadaan Sakit
Kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang tua yaitu dengan
cara segera membawa anaknya yang sakit ketempat pelayanan kesehatan yang
terdekat (Soetjiningsih, 1995).
Masa bayi dan balita sangat rentan terhadap penyakit seperti flu, diare atau
penyakit infeksi lainnya. Jika anak sering menderita sakit dapat menghambat atau
mengganggu proses tumbuh kembang anak. Ada beberapa penyebab seorang anak
mudah terserang penyakit adalah :
1. Apabila kecukupan gizi terganggu karena anak sulit makan dan nafsu makan
menurun. Akibatnya daya tahan tubuh menurun sehingga anak menjadi rentan
terhadap penyakit.
2. Lingkungan yang kurang mendukung sehingga perlu diciptakan lingkungan dan
perilaku yang sehat.
3. Jika orang tua lalai dalam memperhatikan proses tumbuh kembang anak oleh
karena itu perlu memantau dan menstimulasi tumbuh kembang bayi dan anak
secara teratur sesuai dengan tahapan usianya dan segera memeriksakan
kedokter jika anak menderita sakit.
Status kesehatan merupakan salah satu aspek pola asuh yang dapat
mempengaruhi status gizi anak kearah membaik. Status kesehatan adalah hal-hal
58
yang dilakukan untuk menjaga status gizi anak, menjauhkan dan menghindarkan
penyakit serta yang dapat menyebabkan turunnya keadaan kesehatan anak. Status
kesehatan ini meliputi hal pengobatan penyakit pada anak apabila anak menderita
sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena
suatu penyakit. Status kesehatan anak dapat ditempuh dengan cara memperhatikan
keadaan gizi anak, kelengkapan imunisasinya, kebersihan diri anak dan lingkungan
dimana anak berada, serta upaya ibu dalam hal mencari pengobatan terhadap anak
apabila anak sakit. Jika anak sakit hendaknya ibu membawanya ketempat pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas dan lain-lain (Zeitlin et al, 1990).
2.5 Status Gizi
Menurut Santoso (1999) yang dikutip dari Ellyana, status gizi adalah keadaan
kesehatan anak akibat interaksi antara makanan dalam tubuh dengan lingkungan
sekitarnya. Nilai keadaan gizi anak sebagai refleksi kecukupan gizi, merupakan salah
satu parameter yang penting untuk nilai tumbuh kembang fisik anak dan nilai
kesehatan anak tersebut.
Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan
penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut atau keadaan fisiologik
akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh. Sehingga status gizi dapat
diartikan sebagai ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu,
atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa dkk, 2001)
Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat
dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh.
59
Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi
lebih (Almatsier, 2005).
Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat
keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang
dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk ke
dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya (Nix,
2005). Status gizi normal merupakan keadaan yang sangat diinginkan oleh semua
orang (Apriadji, 1986).
Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan
keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi
yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit
dari anjuran kebutuhan individu (Wardlaw, 2007).
Status gizi menurut Riyadi (1995) dalam Khomsan dkk (2007) adalah keadaan
kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi makanan. Sedangkan menurut Supariasa dkk
(2002) status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel
tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu.
Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana
jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang
dikeluarkan (Nix, 2005). Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk melebihi
kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan zat gizi
disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk
(Apriadji, 1986).
60
Bawah Garis Merah (BGM) adalah balita yang ditimbang berat badannya
berada pada garis merah atau dibawah garis merah pada KMS ( Depkes RI,2005).
Jumlah BGM dirinci menurut :
1. Gizi Buruk (BB/U < - 3 SD) atau ada tanda klinis.
2. Gizi Kurang (BB/U < - 2 SD) ( Depkes RI 2003).
2.5.1 Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan
gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif
maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia
(Arisman, 2004).
Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang
diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu
populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih
(Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
Menurut Supariasa dkk (2001), penilaian status gizi dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu:
1. Penilaian status gizi secara langsung, dapat dibagi menjadi empat
penilaian yaitu: antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik
2. Penilaian status gizi secara tidak langsung, dapat dibagi tiga yaitu:
survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
1. Penilaian Status Gizi Langsung
a. Antropometri
61
Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang
berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan
tingkat
gizi seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi dan
komposisi tubuh seseorang (Supariasa, 2001). Metode antropometri sangat
berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein. Akan tetapi,
antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi zat-zat gizi yang
spesifik (Gibson, 2005).
b. Klinis
Pemeriksaan klinis merupakan cara penilaian status gizi berdasarkan
perubahan yang terjadi yang berhubungan erat dengan kekurangan maupun
kelebihan asupan zat gizi. Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan
epitel yang terdapat di mata, kulit, rambut, mukosa mulut, dan organ yang
dekat dengan permukaan tubuh (kelenjar tiroid) (Hartriyanti dan Triyanti,
2007).
c. Biokimia
Pemeriksaan biokimia disebut juga cara laboratorium. Pemeriksaan
biokimia pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya defisiensi
zat gizi pada kasus yang lebih parah lagi, dimana dilakukan pemeriksaan
dalam suatu bahan biopsi sehingga dapat diketahui kadar zat gizi atau
adanya simpanan di jaringan yang paling sensitif terhadap deplesi, uji ini
disebut uji biokimia statis. Cara lain adalah dengan menggunakan uji
gangguan fungsional yang berfungsi untuk mengukur besarnya
62
konsekuensi fungsional daru suatu zat gizi yang spesifik Untuk
pemeriksaan biokimia sebaiknya digunakan perpaduan antara uji biokimia
statis dan uji gangguan fungsional (Baliwati, 2004).
d. Biofisik
Pemeriksaan biofisik merupakan salah satu penilaian status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi jaringan dan melihat perubahan
struktur jaringan yang dapat digunakan dalam keadaan tertentu, seperti
kejadian buta senja (Supariasa, 2001).
2. Penilaian Status Gizi Tidak Langsung
a. Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status gizi
dengan melihat jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu
maupun keluarga. Data yang didapat dapat berupa data kuantitatif maupun
kualitatif. Data kuantitatif dapat mengetahui jumlah dan jenis pangan yang
dikonsumsi, sedangkan data kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan
cara seseorang maupun keluarga dalam memperoleh pangan sesuai dengan
kebutuhan gizi (Baliwati, 2004)
b. Statistik Vital
Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi
melalui data-data mengenai statistik kesehatan yang berhubungan dengan
gizi, seperti angka kematian menurut umur tertentu, angka penyebab
kesakitan dan kematian, statistik pelayanan kesehatan, dan angka penyakit
63
infeksi yang berkaitan dengan kekurangan gizi (Hartriyanti dan Triyanti,
2007).
c. Faktor Ekologi
Penilaian status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena
masalah gizi dapat terjadi karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti
faktor biologis, faktor fisik, dan lingkungan budaya. Penilaian berdasarkan
faktor ekologi digunakan untuk mengetahui penyebab kejadian gizi salah
(malnutrition) di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat berguna
untuk melakukan intervensi gizi (Supariasa, 2001).
Di masyarakat, cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan
adalah antropometri gizi. Dewasa ini dalam program gizi masyarakat, pemantauan
status gizi anak balita menggunakan metode antropometri, sebagai cara untuk menilai
status gizi.
Antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas
dan tebal lemak di bawah kulit.
Terdapat beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat
Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat
Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB).
Indeks BB/U adalah pengukuran total berat badan, termasuk air, lemak, tulang
dan otot. Indeks TB/U adalah perubahan linier, sedangkan LLA (Lingkar Lengan
Atas) adalah pengukuran terhadap otot, lemak, dan tulang pada area yang diukur.
64
Hasil pengukuran tissue mass (dalam hal ini adalah BB dan LLA) dapat berubah
relatif cepat, naik atau turun tergantung makanan anak dan status kesehatannya. Tapi
diantara keduanya, BB lebih cepat terpengaruh oleh perbedaan konsumsi makanan
sehari-hari dibanding LLA. Sebaliknya, TB perubahannya terjadi perlahan-lahan dan
perbedaannya dapat diukur setelah beberapa waktu lamanya (Aritonang, 1996).
1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Untuk anak, pada umumnya pengukuran berat badan menurut umur (BB/U)
merupakan cara standar yang digunakan untuk pertumbuhan. Berat badan adalah
salah satu parameter yang sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan ang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan,
atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter
antropometri yang sangat labil, oleh sebab itu indeks BB/U lebih menggambarkan
status gizi seseorang saat ini.
Kelebihan indeks BB/U antara lain:
1. Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum
2. Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis
3. Berat badan dapat berfluktuasi
4. Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil
5. Dapat mendeteksi kegemukan (over weight)
Kelemahan Indeks BB/U antara lain:
1. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat
edema maupun asites
65
2. Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah
usia lima tahun
3. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian
atau gerakan anak pada saat penimbangan.
2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif
kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek.
Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang
relatif lama.
Berdasarkan karakteristik di atas, maka indeks ini menggambarkan status gizi
masa lalu. Menurut Bealon dan Bengoa (1973) yang dikutip dari Ellyana menyatakan
bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga
erat kaitannya dengan status sosial ekonomi.
Keuntungan Indeks TB/U
1. Baik untuk menilai status gizi masa lampau
2. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa.
Kelemahan Indeks TB/U
1. Tinggi badan tidak cepat naik bahkan tidak cepat turun.
2. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak,
sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya.
3. Ketepatan umur sulit didapat.
66
3. Berat Badan Menurut Panjang Badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi
badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik
untuk menilai status gizi saat kini (sekarang). Indeks BB/TB adalah merupakan
indeks yang independen terhadap umur.
Keuntungan indeks BB/TB:
1. Tidak memerlukan data umur
2. Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal dan kurus)
Kelemahan indeks BB/TB:
1. Tidak dapat memberikan gambaran, apakah anak tersebut pendek,
cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya,
karena faktor umur tidak dipertimbangkan
2. Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan
pengukuran panjang/tinggi badan pada akelompok balita
3. Membutuhkan dua macam alat ukur
4. Pengukuran relatif lebih lama
2.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Menurut Call dan Lavinson (1871) dalam Hasanudin (2001) faktor-faktor
yang menimbulkan masalah gizi dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi makanan
dan kesehatan seseorang. Dan kedua faktor tersebut dipengaruhi oleh kandungan zat
gizi dalam makanan; ada tidaknya program pemberian makanan diluar keluarga; daya
beli keluarga; kebiasaan makan; upaya pemeliharaan kesehatan; dan lingkungan fisik
67
serta sosial. Senada dengan hal itu, Paryanto (1996) yang dikutip Anonim (2008)
mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi status gizi adalah faktor langsung
seperti asupan makan dan penyakit infeksi. Latar belakang terjadinya faktor tersebut
adalah ekonomi keluarga, produksi pangan, kondisi perumahan, ketidaktahuan dan
pelayanan kesehatan yang kurang baik.
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup
zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan
fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu
atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat
gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau
membahayakan. Konsumsi makanan oleh keluarga atau oleh individu bergantung
pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga, dan
kebiasaan makan secara perorangan. Hal ini bergantung pula pada pendapatan,
agama, adat istiadat, pendidikan dan jumlah anggota keluarga (Almatsier, 2004).
Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang kurang tetapi juga
karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering
diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya anak
yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah,
sehingga mudah diserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah
terkena gizi kurang (Soekirman, 2000). Sehingga disini terlihat interaksi antara
konsumsi makanan yang kurang dan infeksi merupakan dua hal yang saling
mempengaruhi.
68
Menurut UNICEF (1998) dalam Husin (2008) akar masalah gizi adalah terjadi
krisis ekonomi, politik dan sosial dalam masyarakat, sehingga menyebabkan
terjadinya permasalahan kekurangan pangan, kemiskinan dan tingginya angka inflasi
dan pengangguran. Sedangkan pokok masalahnya dimasyarakat adalah kurangnya
pemberdayaan wanita, sumber daya manusia, rendahnya tingkat pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan.
Sedangkan yang menjadi penyebab tidak langsung yaitu tidak cukup
persediaan pangan, pola pengasuhan anak yang tidak memadai, serta Sanitasi
lingkungan, air bersih, Pelayanan Kesehatan yang tidak memadai. Rendahnya
ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, kurangnya
sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga
faktor yang saling berhubungan. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga
serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan,
ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil resiko anak terkena
penyakit dan kekurangan gizi (Husin, 2008).
Sedangkan penyebab mendasar atau akar masalah gizi di atas adalah
terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang
mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit
infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita (Soekirman, 2000).
69
Gambar2.1
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Sumber: UNICEF (1998) dalam Husin (2008)
STATUS GIZI
Infeksi Penyakit Asupan gizi
Pola asuh anak tidak memadai
Sanitasi lingkungan, air bersih, Pel Kes
yang tidak
Tidak cukup persediaan
pangan
Kurang pendidikan, pengetahuan, keterampilan ibu
Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumber
daya manusia
Kerisi ekonomi langsung
70
BAB III
KERANGKA PIKIR DANDEFINISI ISTILAH
3.1 Kerangka Pikir
Seperti landasan teoritis yang telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka, dapat
diketahui bahwa akar masalah gizi menurut UNICEF (1998) dalam Husin (2008),
adalah terjadi krisis ekonomi, politik dan sosial dalam masyarakat, sehingga
menyebabkan terjadinya permasalahan kekurangan pangan, kemiskinan dan tingginya
angka inflasi dan pengangguran. Sedangkan pokok masalahnya dimasyarakat adalah
kurangnya pemberdayaan wanita, sumber daya manusia, rendahnya tingkat
pendidikan, pengetahuan dan keterampilan. Hal ini erat kaitannya dengan perawatan
ibu yang tidak adekuat.Perilaku ibu yang kurang baik terhadap cara pemberian
makanan atau pola asuh makan adalah faktor penting dalam menyebabkan masalah
gizi kurang dan gizi buruk pada anak khususnya anak usia bawah 2 tahun yang
asupan makanannya masih sangat tergantung pada ASI dan MP-ASI yang disediakan
oleh ibu.
Pola asuh makan pada bayi meliputi pemberian gizi yang cukup dan seimbang
melalui pemberian ASI dan MP-ASI. Memberikan hanya ASI dalam enam bulan
pertama kehidupan bayi adalah yang paling baik dalam memenuhi kebutuhan gizi
71
bayi, dilanjutkan dengan pemberian MP-ASI yang tepat serta ASI dilanjutkan
pemberiannya sampai usia dua tahun merupakan kunci agar anak dapat tumbuh
kembang secara optimal (Depkes RI, 2006).
Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2005) membagi perilaku
manusia itu ke dalam tiga ranah atau domain yakni: kognitif (cognitive), afektif
(affective), dan psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangan selanjutnya, teori
Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan yakni menjadi
tiga tingkat ranah perilaku yaitu pengetahuan, sikap dan praktik (tindakan).
(Notoatmodjo, 2005).
Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa perilaku mencakup tiga domain
perilaku yaitu pengetahuan, sikap dan praktik oleh karena itu untuk mengukur
perilaku dan perubahannya, khususnya perilaku kesehatan mengacu pada tiga domain
perilaku yaitu pengetahuan, sikap, dan praktik atau tindakan.
Berdasarkan konsep dari UNICEF (1998) dalam Husin (2008),Depkes RI
(2006) Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2005), dan Notoatmodjo (2005)
yang telah dijelaskan diatas, maka terbentuklah kerangka pikirpada gambar 3.1
berikut ini :
72
Gambar3.1 Kerangka Pikir Pola Asuh Makan
Pola Pemberian MP-ASI
Pola Pemberian ASI
Status Gizi Anak
Pola Asuh Makan PengetahuanPola
Pemberian ASI
Sikap Pola Pemberian ASI
Praktik Pola Pemberian ASI
PengetahuanPola Pemberian MP-ASI
SikapPola Pemberian MP- ASI
PraktikPola Pemberian MP-ASI
71
3.2 Definisi Istilah
Tabel 3.1 Definisi Istilah
No Domain Penelitian Definisi Istilah Cara Pengambilan
Data
Alat Ukur Hasil Ukur Sasaran
1 Pola Asuh Makan Pengetahuan, sikap, dan praktik/tindakan ibu dalam upaya pemberian makanan yang meliputi pemberian ASI dan MP-ASI
Wawancara mendalam
Pedoman wawancara mendalam
Perilaku baik atau buruk yang dilihat dari segi pengetahuan, sikap, dan praktik/tindakan ibu dalam upaya pemberian makan pada anak usia 6 sampai 24 bulan.
Ibu baduta gizi kurang
2 Pola Pemberian ASI
Tanggapan atau pendapat, keyakinan dan kecenderungan ibu baduta terhadap pola pemberian ASI (pengetahuan, sikap dan praktek komposisi dan manfaat ASI, waktu/usia pemberian ASI pertama kali, Frekuensi pemberian ASI, lama pemberian ASI, dan usia penyapihan.)
Wawancara mendalam
Pedoman wawancara mendalam
Sikap baik atau buruk terkait pemberian ASI (komposisi dan manfaat ASI, waktu/usia pemberian ASI pertama kali, Frekuensi pemberian ASI, lama pemberian ASI, dan usia penyapihan).
Ibu baduta gizi kurang
3 Pengetahuan pola pemberian ASI
Pemahaman atau apa yang diketahui ibu bayi tentang komposisi dan manfaat air susu ibu (ASI) yang diberikan selama 6 bulan tanpa tambahan cairan lain
Wawancara mendalam
Pedoman wawancara mendalam
Mengetahui atau tidak mengetahui tentang komposisi dan manfaat apa saja yang terkandung dalam air susu ibu (ASI), waktu/usia yang tepat
Ibu baduta gizi kurang
72
seperti susu formula, jeruk, madu, air teh dan air putih,mengenai waktu/usia pemberian ASI pertama kali, frekuensi pemberian ASI, lama pemberian ASI dan Usia penyapihan
untuk pemberian ASI pertama kali, berapa kali frekuensi pemberian ASI dalam sehari, berapa lama waktu yang diperlukan untuk pemberian ASI dalam sehari dan kapan usia yang tepat untuk melakukan penyapihan.
4 Sikap pola pemberian ASI
Tanggapan atau pendapat, keyakinan dan kecenderungan ibu bayi terhadap pemberian ASI (waktu pemberian ASI pertama kali, frekuensi pemberian ASI, porsi pemberian ASI, jenis ASI, cara pembuatan ASI dan cara pemberian ASI)
Wawancara mendalam
Pedoman wawancara mendalam
Sikap baik atau buruk terkait pemberian MP-ASI (waktu pemberian ASI pertama kali, frekuensi pemberian ASI, porsi pemberian ASI, jenis ASI, cara pembuatan ASI dan cara pemberian ASI)
Ibu baduta gizi kurang
5 Praktik pola pemberian ASI
Cara atau hal-hal apa saja yang dilakukan ibu terkait komposisi dan manfaat air susu ibu (ASI) yang diberikan selama 6 bulan tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh dan air putih,mengenai waktu/usia pemberian ASI pertama kali, frekuensi pemberian ASI, lama
Wawancara mendalam
Pedoman wawancara mendalam
Ada atau tidak hal-hal terkait komposisi dan manfaat air susu ibu (ASI) yang diberikan selama 6 bulan tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh dan air putih,mengenai waktu/usia pemberian ASI pertama kali, frekuensi pemberian
Ibu baduta gizi kurang
73
pemberian ASI dan Usia penyapihan
ASI, lama pemberian ASI dan Usia penyapihan
6 Pola Pemberian MP-ASI
Tanggapan atau pendapat, keyakinan dan kecenderungan ibu baduta terhadap pemberian MP-ASI (waktu pemberian MP-ASI pertama kali, frekuensi pemberian MP-ASI, porsi pemberian MP-ASI, jenis MP-ASI, cara pembuatan MP-ASI dan cara pemberian MP-ASI)
Wawancara mendalam
Pedoman wawancara mendalam
Sikap baik atau buruk terkait pemberian MP-ASI (waktu pemberian MP-ASI pertama kali, frekuensi pemberian MP-ASI, porsi pemberian MP-ASI, jenis MP-ASI, cara pembuatan MP-ASI dan cara pemberian MP-ASI)
Ibu baduta gizi kurang
7 Pengetahuan pola pemberian MP-ASI
Tanggapan atau pendapat, keyakinan dan kecenderungan ibu baduta terhadap pola pemberian MP-ASI ((waktu pemberian MP-ASI pertama kali, frekuensi pemberian MP-ASI, porsi pemberian MP-ASI, jenis MP-ASI, cara pembuatan MP-ASI dan cara pemberian MP-ASI)
Wawancara mendalam
Pedoman wawancara mendalam
Sikap baik atau buruk terkait pemberian MP-ASI (waktu pemberian MP-ASI pertama kali, frekuensi pemberian MP-ASI, porsi pemberian MP-ASI, jenis MP-ASI, cara pembuatan MP-ASI dan cara pemberian MP-ASI)
Ibu baduta gizi kurang
8 Sikap pola pemberian MP-ASI
Tanggapan atau pendapat, keyakinan dan kecenderungan ibu bayi terhadap pemberian MP-ASI (waktu pemberian MP-ASI pertama kali,
Wawancara mendalam
Pedoman wawancara mendalam
Sikap baik atau buruk terkait pemberian MP-ASI (waktu pemberian MP-ASI pertama kali, frekuensi pemberian MP-ASI, porsi pemberian
Ibu baduta gizi kurang
74
frekuensi pemberian MP-ASI, porsi pemberian MP-ASI, jenis MP-ASI, cara pembuatan MP-ASI dan cara pemberian MP-ASI)
MP-ASI, jenis MP-ASI, cara pembuatan MP-ASI dan cara pemberian MP-ASI)
9 Praktik pola pemberian MP-ASI
Praktik atau cara-cara apa saja yang dilakukan ibu bayi mengenai pemberian MP-ASI (waktu pemberian MP-ASI pertama kali, frekuensi pemberian MP-ASI, porsi pemberian MP-ASI, jenis MP-ASI, cara pembuatan MP-ASI dan cara pemberian MP-ASI)
Wawancara mendalam
Pedoman wawancara mendalam
Ada atau tidak hal-hal yang dilakukan terkait pemberian MP-ASI (waktu pemberian MP-ASI pertama kali, frekuensi pemberian MP-ASI, porsi pemberian MP-ASI, jenis MP-ASI, cara pembuatan MP-ASI dan cara pemberian MP-ASI)
Ibu baduta gizi kurang
10 Status gizi Anak Keadaan gizi anak yang dinilai dari pengukuran antropometri berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U), PB/U dan BB/PB yang tercatat dalam kartu menuju sehat (KMS) kemudian dibandingkan dengan standar baku WHO-NCHS.
Mengukur berat badan dengan menggunakandacin dan panjang badan dengan SECA atau microtoice.Dan penilaian status gizi berdasarkan z-score BB/U, PB/U, dan BB/PB dibandingkan dengan WHO-NCHS
Timbangan berat badandacin dan microtoice serta kartu menuju sehat (KMS)
Peningkatan status gizi, tidak ada perubahan status gizi, atau penurunan status gizi yang dialami baduta setelah dilakukan penimbangan kemudian dibandingkan dengan hasil yang tercatat dalam kartu menuju sehat (KMS)
Ibu baduta gizi kurang
75
76
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif tentang gambaran pola
asuh makan pada baduta gizi kurang. Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara, pengamatan atau observasi serta pemanfaatan data-data
puskesmas. Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong (2010),
penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Pendekatan kualitatif diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik
(utuh) serta untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang suatu hal.
Sedangkan menurut penulis buku penelitian kualitatif lainnya Denzim dan
Lincoln (1987), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar
alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan jalan
melibatkan berbagai metode yang ada. Dari segi pengertian ini, para penulis
masih tetap mempersoalkan latar alamiah dengan maksud agar hasilnya dapat
digunakan untuk menafsirkan fenomena dan yang dimanfaatkan untuk penelitian
kualitatif adalah berbagai macam metode penelitian.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan mulai dari bulan Agustus sampai
Desember tahun 2012 di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya, Kabupaten
Tangerang Provinsi Banten.
77
Lokasi penelitian merupakan tempat dilaksanankannya kegiatan
penimbangan dan pemantauan status gizi bayi dan balita, konseling gizi kepada
ibu bayi dan balita yang memiliki anak dengan status gizi kurang maupun status
gizi buruk. Lokasi penelitian ini disebut dengan istilah klinik gizi puskesmas.
Kegiatan ini dilakukan setiap seminggu sekali yaitu pada hari senin dimana ibu
bayi dan balita yang memiliki masalah gizi seperti gizi kurang maupun gizi buruk
datang untuk mendapatkan konseling gizi dan memperoleh makanan tambahan
yang disediakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten yang biasanya berupa biskuit,
susu, bubur bayi, dan lainnya. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan di rumah
orangtua yang memiliki anak bayi dengan status gizi kurang.
4.3 Informan Penelitian
Pengambilan informan dalam penelitian ini didasarkan pada suatu
pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti berdasarkan ciri-ciri atau sifat-
sifat informan yang sudah diketahui sebelumnya (Baum, 1998). Infoman dalam
penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu informan utama dan informan pendukung :
1. Informan Utama
Informan utama merupakan objek utama dalam penelitian ini, yaitu ibu
yang memiliki anak dengan status gizi kurang yang berusia dibawah dua tahun
(Baduta).
2. Informan Pendukung
Informan pedukung merupakan informan yang secara langsung terlibat
dalam kegiatan pemberian makanan dan pemantauan status gizi baduta yang
terdiri dari :
a. Keluarga bayi yang turut serta dalam kegiatan pemberian makan bayi.
78
b. Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) Puskesmas Sukamulya yang terlibat
langsung dalam pelaksanaan kegiatan penimbangan BB dan TB anak.
4.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi:
1. Pedoman wawancara mendalam
2. Pedoman observasi
3. Alat perekam
4. Buku catatan
5. Alat tulis
4.5 Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan latar tertutup
dimana hubungan peneliti dengan informan perlu akrab (Loftland, 1984 ) dengan
menjamin kerahasiaan informan yang diwawancarai (Moleong, 1991). Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik yaitu
wawancara mendalam, observasi dan studi dokumen. Berikut penjelasan masing-
masing teknik:
1. Wawancara mendalam
Wawancara dilakukan secara langsung oleh peneliti dengan menggunakan
pedoman wawancara yang telah disusun terlebih dahulu.
2. Observasi
Observasi dilakukan dengan cara mengamati langsung praktek pemberian
MP-ASI terutama dalam hal komposisi dan porsi pemberian MP-ASI.
79
4.6 Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yang dikembangkan
atau lebih dikenal dengan analisis interaktif (interactive models of analysis).
Analisis interaktif ini terdiri dari tiga komponen utama, yaitu reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan yang dilakukan dalam bentuk interaktif
dengan proses pengumpulan data sebagai suatu siklus (Milles dan Hubberman,
1992).
Tiga komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Reduksi data
Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstraksian dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis
(fieldnote) di lapangan dengan memfokuskan data yang relevan melalui
pemisahan data, mempertegas data, membuang hal yang tidak penting dan
mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan.
2. Penyajian data
Merupakan suatu kegiatan dengan adanya penyajian bagi data kualitatif
dalam bentuk kolom, tabel, maupun deskripsi. Susunan penyajian data yang baik
dan jelas sistematikanya sangatlah diperlukan untuk melangkah pada tahapan
penelitian kualitatif selanjutnya.
3. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian dengan
memperhatikan hasil wawancara, observasi dan studi dokumen (berupa data-data
awal yang belum siap digunakan dalam analisis), setelah data tersebut direduksi
dan disajikan.
80
4.7 Validasi Data
Dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang valid maka dilakukan
triangulasi sumber dan triangulasi metode. Triangulasi sumber dilakukan dengan
mencari sumber data dari dua jenis informan, yaitu informan utama dan informan
pendukung. Triangulasi metode dilakukan dengan menggunakan dua metode
pengumpulan data, yaitu dengan metode wawancara dan pengamatan / observasi
Tabel 4.1 Sumber dan Metode Pengambilan Data
No Domain Penelitian Sumber Metode 1 Pengetahuan pemberian ASI Informan utama (Ibu
baduta gizi kurang) Wawancara mendalam
2 Sikap Pemberian ASI Informan utama (Ibu baduta gizi kurang)
Wawancara mendalam
3 Praktek Pemberian ASI Informan utama (Ibu baduta gizi kurang) dan informan pendukung (Keluarga baduta gizi kurang)
Wawancara mendalam
4 Pengetahuan Pemberian MP-ASI
Informan utama (Ibu baduta gizi kurang)
Wawancara mendalam
5 Sikap Pemberian MP-ASI Informan utama (Ibu baduta gizi kurang)
Wawancara mendalam
6 Praktek Pemberian MP-ASI Informan utama (Ibu baduta gizi kurang) dan informan pendukung (Keluarga baduta gizi kurang)
Wawancara mendalam dan observasi
81
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1 Profil Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang Tahun 2012
Puskesmas Sukamulya terletak di sebelah barat Kabupaten Tangerang tepatnya di
Kp. Palis Tegal Ds. Kaliasin Kecamatan Sukamulya. Puskesmas Sukamulya
dibangun diatas tanah seluas 1600m2 dengan luas bangunan 400m2. Sebelah barat
berbatasan dengan tempat pemakaman umum (TPU) , sebelah timur dan utara
dengan pemukiman penduduk, serta sebelah selatan dengan jalan raya kronjo.
Secara administrasi wilayah kerja Puskesmas Sukamulya terdiri dari 8 (delapan)
desa yaitu Desa Sukamulya, Desa Kaliasin, Desa Parahu, Desa Merak, Desa
Bunar, Desa Benda, Desa Buniayu dan Desa Kubang.
Wilayah Kecamatan Sukamulya berbatasan dengan :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kronjo
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kemiri dan Kecamatan
Rajeg
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Balaraja dan Kecamatan
Jayanti
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kresek
Berdasarkan profil Puskesmas Sukamulya tahun 2012 diketahui jumlah
penduduk di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya sebanyak 59.359 jiwa yang
terdiri dari penduduk berjenis kelamin laki-laki 27.832 jiwa (46,9%) dan
penduduk berjenis kelamin perempuan 31.527 jiwa (51,3%). Dengan komposisi
82
penduduk usia produktif sebanyak 31.013 jiwa (52,3%), penduduk berusia 0-4
tahun atau balita sebanyak 5.753 jiwa (9,7%), penduduk berusia 5-14 tahun
sebanyak 13.816 jiwa (23,3 %) dan penduduk usila (>60 tahun) sebanyak 2.932
jiwa (4,9 %). Jumlah penduduk miskin di Kecamatan Sukamulya tahun 2011
sebanyak 34.432 (58,01%) dari jumlah penduduk. Jumlah penduduk miskin
mengalami peningkatan dari tahun 2010. Jika dilihat dari jumlah penduduk tiga
tahun terakhir, jumlah penduduk miskin berbanding lurus dengan pertambahan
penduduk. Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka jumlah penduduk
miskin juga bertambah. (Data Puskesmas, 2011).
Tingkat pendidikan penduduk di wilayah kerja Kecamatan Sukamulya
sebagian besar masih tingkat SLTP/MTs yaitu sebesar 12,08%, SLTP/MTs
sebesar 11,2 %, SD/MI sebesar 10,4% dan tidak/belum pernah sekolah sebesar
8,04%, sedangkan tidak/belum tamat SD sebesar 5,7% dan perguruan tinggi
sebesar 3,9% (Data Puskesmas, 2011).
5.1.2 Gambaran Umum Program Perbaikan Gizi di Puskesmas Sukamulya
Pelaksanaan kegiatan semua program perbaikan gizi di Puskesmas
Sukamulya terus diupayakan semaksimal mungkin karena ini merupakan
indikator keberhasilan program gizi secara keseluruhan. Program-program
perbaikan gizi yang sudah dijalankan antara lain : Pemberian vitamin A dosis
tinggi yang bertujuan untuk mencegah terjadinya KVA, Distribusi zat besi (Fe),
Pemantauan status gizi dan bulan penimbangan balita, Pemberian makanan
tambahan, pemantauan garam beryodium, pos gizi balita, dan konseling gizi.
Konseling gizi merupakan kegiatan penyuluhan perorangan maupun
kelompok dengan tatap muka yang dilakukan dalam upaya perbaikan dan
83
peningkatan status gizi dengan sasaran ibu balita gizi buruk atau bawah garis
merah (BGM), gizi kurang dan balita yang selama 2 kali dilakukan penimbangan
tidak mengalami kenaikan BB (2T). Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan agar
balita yang mengalami gizi buruk mengalami perubahan status gizi menjadi baik,
yang berstatus gizi kurang dan 2T tidak sampai berlanjut ke status gizi buruk.
Konseling gizi adalah kegiatan dukungan dan layanan bagikeluarga agar
dapat mencegah dan mengatasi masalah gizi (gizi kurangdan gizi buruk) anggota
keluarganya. Konseling gizi dilakukan dengancara memberikan perhatian,
menyampaikan pesan, menyemangati,mengajak,memberikan pemikiran/solusi,
menyampaikan layanan/bantuan,memberikan nasihat, merujuk, menggerakkan
dan bekerjasama.
Kegiatan konseling gizi di klinik gizi Puskesmas Sukamulya melibatkan
Bidan Desa dan Kader-kader posyandu dengan cara merujuk ibu balita yang
mengalami masalah gizi untuk datang ke klinik gizi dan mengikuti konseling gizi
yang dilakukan bersama dengan tenaga pelaksana gizi (TPG) yang bertugas di
Puskesmas Sukamulya. Kegiatan ini dilakukan rutin setiap satu minggu sekali
tepatnya pada hari senin di klinik gizi Puskesmas Sukamulya. TPG yang bertugas
di klinik gizi Puskesmas Sukamulya terdiri dari satu orang tenaga kesehatan yang
berpengalaman dalam masalah gizi.
5.2 Karakteristik Informan
Dalam penelitian ini jumlah keseluruhan informan sebanyak 16 orang
yang terdiri dari 7 orang informan utama, 7 orang informan pendukung dari
keluarga ibu baduta gizi kurang yang terlibat dalam pemberian makanan serta 2
orang informan pendukung dari staf Puskesmas pemegang program perbaikan gizi
84
yang salah satunya merupakan tenaga pelaksana gizi (TPG) di Puskesmas
Sukamulya.
Data karakteristik informan diperoleh dari hasil wawancara yang
meliputi : nama, umur, usia menikah, pekerjaan, agama, pendidikan terakhir,
pendidikan suami, pekerjaan suami, pendapatan keluarga, jumlah anggota
keluarga, jumlah balita dalam keluarga dan alamat informan. Sedangkan data anak
meliputi : nama anak, umur, jenis kelamin, berat badan dan panjang badan anak.
Pengumpulan data status gizi anak baduta dilakukan dengan cara
melakukan penimbangan berat badan yang menggunakan dacin dan pengukuran
panjang badan dengan menggunakan microtoise dan dilakukan dengan metode
antropometrimenggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U) dan berat
badan menurut panjang badan (BB/PB). Selanjutnya dibandingkan dengan standar
WHO-NCHS.
5.2.1 Informan Utama
Informan utama dalam penelitan ini adalah ibu yang memiliki anak
gizi kurang yang berusia dibawah dua tahun (Baduta). Informan utama ini terdiri
dari 7 orang informan. Ke-tujuh orang informan ini didapatkan berdasarkan hasil
validasi data gizi buruk yang dilakukan Puskesmas Sukamulya pada bulan
Agustus tahun 2012 terhadap 33 balita di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya.
Berdasarkan data awal balita yang dijadikan informan dalam penelitian ini
termasuk dalam balita dengan status gizi buruk tetapi setelah dilakukan validasi
data dengan cara melakukan pengukuran BB dan TB dan dibandingkan dengan
standar baku WHO-NCHS di masing-masing kelurahan diperoleh hasil bahwa
85
sebagian besar anak tidak sampai berstatus gizi buruk atau masih berada pada
kondisi gizi kurang.
Dari 33 jumlah kasus gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas
Sukamulya 26 orang masih berstatus gizi kurang. Dan dari 26 balita yang
berstatus gizi kurang 7 orang berusia dibawah 2 tahun (Baduta) sehingga
berdasarkan hasil inilah penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 7 orang
informan utama. Karakteristik ibu baduta tersebut tersaji dalam bagan berikut :
Tabel 5.1 Karakteristik Ibu Baduta Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas
Sukamulya Tahun 2012 Karakteristik A J K R A S R Umur 35 Tahun 25 Tahun 37 Tahun 39 Tahun 29 Tahun 42 Tahun 40 Tahun Pekerjaan Ibu
Rumah Tangga
Ibu Rumah Tangga
Ibu Rumah Tangga
Ibu Rumah Tangga
Ibu Rumah Tangga
Ibu Rumah Tangga
Ibu Rumah Tangga
Agama Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam Pendidikan Terakhir
SLTP SLTA SD SD SLTP Tidak Sekolah
SD
Pekerjaan Suami
Buruh Guru Honorer
Wirausaha
Petani Buruh Petani Petani
Pendidikan Suami
SLTP SI SD Tidak Sekolah
SD SD Tidak Sekolah
Pendapatan Keluarga/Bulan
± 1.300.000
± 500.000 ± 650.000 ± Rp. 500.000
± Rp. 800.000
± Rp. 500.000
± Rp. 750.000
Jumlah Anggota Keluarga
5 Orang 4 Orang 6 Orang 6 Orang 4 Orang 7 Orang 5 Orang
Jumlah Balita Dalam Keluarga
1 Orang 1 Orang 1 Orang 2 Orang 1 Satu 2 Orang 1 Orang
86
Karakteristik Baduta Gizi Kurang Karakteristik S/A A/J I/K R/R D/A D/S B/R Umur 12 Bulan 23 Bulan 15 Bulan 24 Bulan 19 Bulan 19 Bulan 18 Bulan Anak ke- 1 1 4 4 3 4 3 Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-Laki Laki-Laki Laki-Laki Perempuan
Laki-Laki Laki-Laki
Berat Badan Lahir
3,1 Kg 2,7 Kg 3 Kg 3 kg 3.3 kg 2.9 kg 2.7 kg
Berat Badan 6,6 kg 9,1 kg 7,6 kg 8,5 kg 8,3 kg 8,4 kg 8,1 kg Panjang Badan
66,5 cm 79,5 cm 68,5 cm 76 cm 74,7 cm 75,3 cm 76,7 cm
Sumber : Data Primer Berdasarkan tabel 5.1 diatas dapat diketahui bahwa untuk informan A
berumur 35 tahun, menikah pada umur 22 tahun, pendidikan tamat SLTP,
pekerjaan ibu rumah tangga, memiliki suami yang bekerja sebagai buruh pabrik
dengan pendapatan keluarga maksimal Rp.1.300.000,-memiliki 5 anggota
keluarga dalam satu rumah, dan memiliki satu orang bayi dalam keluarga.
Karakteristik baduta yaituS berumur 12 bulan, merupakan anak ketiga dari tiga
bersaudara , berjenis kelamin perempuan yang memiliki berat lahir 3,1 kg, BB 6,6
kg, PB 66,5 cm.
Sedangkan untuk informan J berumur 25 tahun, menikah pada umur 22
tahun, pendidikan tamat SLTA, pekerjaan ibu rumah tangga, pekerjaan suami
sebagai Guru honorer, dengan pendapatan keluarga ± Rp.500.000 per bulan,
memiliki empat anggota keluarga dalam satu rumah, dan memiliki satu orang
balita dalam keluarga. Karakteristik baduta yaitu Aberumur 23 bulan, merupakan
anak pertama, berjenis kelamin laki-laki, memiliki berat lahir 2,7 kg, BB 9,1 kg
dan PB 79,5 cm.Kemudian untuk informan K berumur 37 tahun, menikah pada
umur 18 tahun, pendidikan tamat SD, pekerjaan ibu rumah tangga, pekerjaan
suami sebagai wirausaha, dengan pendapatan keluarga ± Rp.650.000 per bulan,
memiliki 6 anggota keluarga dalam satu rumah, dan memiliki satu orang balita
dalam keluarga. Karakteristikbaduta yaituI berumur 15 bulan, merupakan anak ke
87
empat dari empat bersaudara, berjenis kelamin laki-laki dengan berat lahir 3 kg,
BB 7,2 kg dan panjang badan 68,5 cm.
Karakteristik informan selanjutnya yaitu ibu baduta gizi kurang berinisial
R berumur 39 tahun, menikah pada umur 16 tahun, pendidikan SD, pekerjaan ibu
rumah tangga, memiliki suami yang bekerja sebagai petani dengan pendapatan
keluarga maksimal Rp.500.000,- memiliki 6 anggota keluarga dalam satu rumah,
dan memiliki satu orang baduta dalam keluarga. Karakteristik baduta yaitu R
berumur 24bulan dan merupakan anak ke-empat, berjenis kelamin laki-laki yang
memiliki berat lahir 3 kg, BB 8,5 kg, PB 76 cm.
Untuk informan A berumur 29 tahun, menikah pada umur 20 tahun,
pendidikan tamat SD, pekerjaan ibu rumah tangga, pekerjaan suami sebagai
buruh, dengan pendapatan keluarga Rp. 800.000 per bulan, memiliki 4 anggota
keluarga dalam satu rumah, dan memiliki satu orang balita dalam keluarga.
Karakteristik baduta gizi kurang yaituD berumur 19 bulan, merupakan anak ke-
dua, berjenis kelamin perempuan, memiliki berat lahir 3,3 kg, BB 8,3 kg dan
panjang badan 74,7 cm.
Sedangkan untuk informan S berumur 42 tahun, menikah pada umur 18
tahun, pendidikan tidak sekolah, pekerjaan ibu rumah tangga, pendidikan suami
SD, pekerjaan suami sebagai petani, dengan pendapatan keluarga ± Rp.500.000
per bulan, memiliki 7 anggota keluarga dalam satu rumah, dan memiliki dua
orang balita dalam keluarga. Karakteristik baduta yaitu D berumur 19 bulan,
merupakan anak ke-lima dari lima bersaudara, berjenis kelamin laki-laki dengan
berat lahir 2,9 kg, BB 8,4 kg dan panjang badan 75,3 cm.
88
Sedangkan untuk informan utama yang terakhir yaitu R berumur 40 tahun,
menikah pada umur 16 tahun, pendidikan SD, pekerjaan ibu rumah tangga,
pendidikan suami tidak sekolah, pekerjaan suami sebagai petani, dengan
pendapatan keluarga ± Rp.750.000 per bulan, memiliki 5 anggota keluarga dalam
satu rumah, dan memiliki satu orang balita dalam keluarga. Karakteristik baduta
yaitu B berumur 18 bulan, merupakan anak ke-lima dari lima bersaudara, berjenis
kelamin laki-laki dengan berat lahir 2,7 kg, BB 8,1 kg dan panjang badan 76,7
cm.
5.2.2 Informan Pendukung
1. Keluarga Informan Yang Turut Serta Dalam Kegiatan Pemberian
Makan Bayi
Informan pendukung dari keluarga ibu baduta yang mengalami gizi kurang
merupakan keluarga dari informan utama yang terlibat dalam kegiatan
pengasuhan anak terutama kegiatan pemberian makan, berikut adalah karakteristik
keluarga dari bayi gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya :
Tabel 5.3 Karakteristik Informan Keluarga Bayi Gizi Kurang Di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukamulya Tahun 2012 Karakter E/A A/J K/K E/R L/A K/S K/R Umur 15 Tahun 69 Tahun 14 Tahun 15 Tahun 17 Tahun 14 Tahun 14 Tahun Jenis Kelamin
Perempuan
Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan
Pendidikan
SD Tidak Sekolah
SLTP SD SLTP SLTP SLTP
Pekerjaan - - - - - - - Hubungan dengan Bayi
Kakak Nenek Kakak Kakak Kakak Kakak Kakak
Sumber : Data Primer Berdasarkan tabel 5.3 diatas dapat diketahui karakteristik informan
keluarga ibu baduta yang terlibat dalam kegiatan pengasuhan anak khususnya
kegiatan pemberian makan baduta gizi kurang yaitu terdiri dari informan keluarga
89
E yang merupakan keluarga informan utama A berumur 15 tahun, berjenis
kelamin perempuan, pendidikan tamat SD, tidak memiliki pekerjaan dan memiliki
hubungan sebagai kakak dari baduta gizi kurang.
Sedangkan untuk informan keluarga A yang merupakan keluarga informan
utama J berumur 69 tahun, berjenis kelamin perempuan, pendidikan tidak sekolah
yang tidak memilki pekerjaan dan memiliki hubungan sebagai nenek dari baduta
gizi kurangatau ibu dari ibu baduta gizi kurang.
Dan untuk informan keluarga K yang merupakan keluarga informan utama
K berumur 14 tahun, berjenis kelamin perempuan, pendidikan tamat SMP, tidak
memiliki pekerjaan dan memiliki hubungan sebagai kakak dari bayi. Kemudian
karakteristik keluarga baduta gizi kurang lainnya yaitu informan keluarga E yang
merupakan keluarga informan utama R berumur 15 tahun, berjenis kelamin
perempuan, pendidikan tamat SD, tidak memiliki pekerjaan dan memiliki
hubungan sebagai kakak dari bayi.
Untuk informan keluarga L yang merupakan keluarga informan utama A
berumur 17 tahun, berjenis kelamin perempuan, pendidikan SLTP yang tidak
memilki pekerjaan dan memiliki hubungan sebagai kakak dari bayi. Dan untuk
informan keluarga K yang merupakan keluarga informan utama S berumur 14
tahun, berjenis kelamin perempuan, pendidikan tamat SLTP, tidak memiliki
pekerjaan dan memiliki hubungan sebagai kakak dari baduta gizi kurang.
Sedangkan informan keluarga yang terakhir yaituL yang merupakan
keluarga informan utama A berumur 17 tahun, berjenis kelamin perempuan,
pendidikan SLTP yang tidak memilki pekerjaan dan memiliki hubungan sebagai
kakak daribaduta gizi kurang.
90
2. Karakteristik Staf Puskesmas Sukamulya Yang Terlibat Langsung
Dalam Program Perbaikan Gizi Di Klinik Gizi Puskesmas
Informan pendukung yang berasal dari staf Puskesmas terdiri dari dua
orang informan yang terdiri dari satu orang tenaga pelaksana gizi (TPG)
Puskesmas dan satu orang staf Puskesmas yang terlibat dalam program perbaikan
gizi di Puskesmas Sukamulya. Berikut adalah karakteristik TPG Puskesmas dan
staf Puskesmas yang terlibat dalam program perbaikan status gizi di Puskesmas
Sukamulya:
Tabel 5.4 Karakteristik Staf Puskesmas Yang Terlibat Langsung Dalam Program
Perbaikan Gizi Di Klinik Gizi Puskesmas Sukamulya Tahun 2012 Karakteristik H H
Umur 33 Tahun 35 Tahun Pendidikan D1 Kebidanan S1 Kesehatan
Masyarakat Jabatan TPG Staf Program
Anak Lama Bekerja 3 Tahun 2 Tahun
Sumber : Data Primer Berdasarkan tabel 5.4 diatas dapat diketahui bahwa karakteristikstaf
Puskesmasyang terlibat dalam program perbaikan gizi yaitu untuk
informanHberumur 33 tahun, pendidikan D1 Kebidanan, memiliki jabatan sebagai
TPG Puskesmas dan memiliki pengalaman bekerja di Puskesmas Sukamulya
selama tiga tahun.
Sedangkan untuk informan staf Puskesmas H berumur 35 tahun,
pendidikan SI Kesehatan Masyarakat, memiliki jabatan sebagai staf pemegang
program anak yang bertugas di balai pengobatan (BP) anak di Puskesmas
Sukamulya dan memiliki pengalaman bekerja di Puskesmas Sukamulya selama
dua tahun.
91
5.3 Hasil Penelitian
Hasil penelitian terdiri dari gambaran perilaku informan utama dalam pola
asuh makan yang digambarkan berdasarkan pengetahuan, sikap dan praktiknya
dalam pemberian makan yang meliputi pemberian ASI dan MP-ASI pada bayi
gizi kurang. Hasil penelitian diperoleh melalui wawancara mendalam dengan
informan utama dengan kriteria informan memiliki anak gizi kurang yang berusia
dibawah dua tahun (Baduta).
Untuk memvalidasi data mengenai praktik pola asuh makan yang didapat
dari informan utama, maka dilakukan cross cek data melalui wawancara
mendalam dengan beberapa informan pendukung baik dari informan keluarga
yang ikut serta dalam pemberian makanan maupun informan pendukung dari staf
Puskesmas Sukamulya yang terlibat dalam program perbaikan gizi di klinik gizi
Puskesmas Sukamulya. Selain itu, untuk memvalidasi data dalam penelitian ini
juga diupayakan dengan cara observasi yang dilakukan rata-rata lebih dari dua
kali di rumah informan utama maupun di klinik gizi Puskesmas Sukamulya
karena terdapat intensitas pertemuan setiap satu minggu sekali dengan informan di
klinik gizi Puskesmas Sukamulya yaitu pada hari senin dimana pada hari tersebut
biasanya ibu baduta gizi buruk dan gizi kurang datang untuk melakukan konseling
gizi dengan TPG Puskesmas Sukamulya. Selain itu dilakukan cross cek data antar
informasi yang didapat dari informan utama dengan catatan atau data yang ada di
Puskesmas.
5.3.1 Gambaran Pola Asuh Makan
Pola asuh makan pada baduta meliputi pemberian gizi yang cukup
dan seimbang melalui pemberian ASI dan MP-ASI. Gambaran pola pemberian
92
ASI meliputigambaran pengetahuan, sikap dan praktik pemberian ASI, komposisi
dan manfaat ASI, waktu/usia pemberian ASI pertama kali, Frekuensi pemberian
ASI, lama pemberian ASI, dan usia penyapihan.
Sedangkan gambaran pola pemberian MP-ASI meliputi gambaran
pengetahuan, sikap, dan praktik pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI)
yang meliputi cara pemberian MP-ASI, waktu/usia pemberian MP-ASI pertama
kali, frekuensi pemberian MP-ASI, komposisi dan porsi MP-ASI, jenis MP-ASI,
serta cara pembuatan MP-ASI yang baik dan tepat untuk anak.
5.3.1.1 Gambaran Pola Pemberian ASI
Pola pemberian ASI yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
gambaran pengetahuan, sikap dan praktik ibu yang memiliki baduta dengan status
gizi kurang terhadap Gambaran pola pemberian ASI meliputigambaran
pengetahuan, sikap dan praktik pemberian ASI, komposisi dan manfaat ASI,
waktu/usia pemberian ASI pertama kali, Frekuensi pemberian ASI, lama
pemberian ASI, dan pengetahuan mengenai usia penyapihan.
1. Pengetahuan Pemberian ASI
Pengetahuan mengenai pemberian ASI meliputi pengetahuan tentang ASI,
komposisi dan manfaat ASI, waktu/usia pemberian ASI pertama kali, Frekuensi
pemberian ASI, lama pemberian ASI, dan usia penyapihan.
Dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan informan utama,
didapatkan hanya ada satu orang informan yang memiliki pengetahuan yang baik
tentang ASI dan ASI eksklusif terutama tentang manfaat ASI, Frekuensi
pemberian ASI, lama pemberian ASI, dan usia penyapihan.Sedangkan
pengetahuan tentang komposisi ASI dan waktu yang tepat untuk pemberian ASI
93
pertama kali hampir keseluruhan informan tidak mengetahui kapan waktu yang
tepat sebaiknya anak di beri ASI pertama kali, hampir semua informan tidak
mengerti apa yang dimaksud dengan kolostrum dan ada lima orang informan yang
menjawab tidak tahu ketika ditanya apa yang dimaksud dengan ASI eksklusif
karna yang mereka ketahui hanya ASI adalah air susu ibu.
Berikut kutipannya:
“Sing arane ASI iku banyu susu sing emane dudu susu botol atau susu dot,
ASI iku ning jerone akeh mengandung vitamin sing bagus genah si bayi,
ari ASI eksklusif iku ASI apa yah?ASI dicampur ya nong?”
(“Yang namanya ASI itu adalah air susu ibu bukan susu botol atau susu
dot yang didalamnya banyak mengandung vitamin yang baik untuk si
bayi, kalau ASI eksklusif itu ASI apa yah? ASI campuran kali ya neng?”)
(Informan A).
“ASI iku ya banyu susu emak, manfa’ate akeh bisa genah kesehatan si
bayi, supaya anak ora gampang kena penyakit,lan lebih praktis daripada
susu botol, ari ASI eksklusif mah disusui sampe 6 bulan”
(“ ASI itu ya air susu ibu, manfaatnya banyak bisa untuk kesehatan bayi
supaya anak tidak mudah sakit dan lebih praktis dibandingkan susu
formula, kalau ASI eksklusif itu disusui sampai 6 bulan) (Informan J).
“ASI mah banyu susu emak, ari ASI eksklusif mah ora weruh nong”
(“ASI itu air susu ibu, kalau ASI eksklusif saya tidak tahu neng”)
(Informan K).
“ASI iku air susu ibu sing bagus genah si bayi”
(ASI itu adalah air susu ibu yang baik untuk bayi)(Informan R )
94
Sedangkan pengetahuan mengenai usia pemberian ASI pertama kali,
sebagian besar informan berpendapat bahwa pemberian ASI pertama kali yang
tepat ialah setelah tiga hari kelahiran anak. Sebagian besar informan berpendapat
bahwa ASI di hari pertama, hari kedua dan ketiga setelah kelahiran anak tidak
bagus karena berwarna kekuningan dan dianggap kotor. Berikut kutipannya:
“ Telung dina seentase lahiran nong karna banyu susu memiti mah
warnane kuning belok ”
(“Tiga hari setelah melahirkan neng, karna ASI yang pertama kali keluar
warnanya kuning dan kotor”) (Informan A).
“Embuh yah ora pati kelingan, pokone mah begitu banyu susu metu
langsung disedotaken tapi ikugah sing kuning-kuninge mah dibuang dipit
bokan ora teger”
(“ Tidak tahu sudah lupa, pokonya begitu ASI keluar langsung diberikan
kepada bayi tapi itupun dibuang dulu cairan kuningnya (kolostrum)
khawatir tidak baik” (Informan J).
“Biasane mah rong dina seentase lahir karna dina memiti mah biasane
durung metu”
(Biasanya dua hari setelah melahirkan karena hari pertama biasanya ASI
belum keluar”) (Informan K).
Tetapi ada juga informan yang mengetahui kapan sebaiknya ASI pertama
kali diberikan yaitu segera setelah bayi dilahirkan hanya saja menurut informan
ASI nya belum keluar sehingga bayi tidak mau mengisap puting susunya.
Berikut kutipannya :
95
“Atuh susu mah baguse mah digain langsung tembeke clek tapi ya
berhubung banyu susune ora metu ya si bayine ora gelem nyedot tapi
ya laju tek olesi madu susu kitane supaya dikecropi ning si bayi”
(ASI itu sebaiknya diberikan segera setelah bayi dilahirkan tapi berhubung
karna air susu saya tidak langsung keluar jadi si bayi tidak mau
menghisap puting susu tapi langsung saya olesi madu supaya bayi mau
menghisap susu) (Informan A).
“Atuh lah kitamah semetune banyu susu be ngko gah wis ana banyu
susune mah merengpeng lamun ora disedot ning si bayi”
(Kalau saya mah sekeluarnya air susu saja langsung saya kasih ke si bayi
karna nanti kalau tidak diberikan kepada bayi payudara saya akan
terasa sakit) (Informan R).
“Semetune be lah ari durung metu banyu susune mah digai mangan
gedang tah apatah bokan kelaparan ko anak kita”
(Sekeluarnya air susu aja lah kalau air susunya belum keluar dikasih
makan pisang juga tidak apa-apa daripada anak saya nanti kelaparan)
(Informan R).
Dan mengenai pengetahuan frekuensi pemberian ASI atau seberapa sering
anak diberi ASI dalam sehari rata-rata ibu bayi memberikan ASI kepada anaknya
setiap kali anaknya menangis meminta ASI. Berikut kutipannya:
“Pokone mah unggal anak nangis atuh ya di sosoni”
(“ Pokonya setiap anak menangis ya diberi ASI) (Informan A).
“Pirang balen yah ora keitung, sing jelasmah lamun anak ngelih atau
nangis buru-buru disosoni”
96
(“Berapa kali yah tidak terhitung pokoknya setiap anak lapar dan
menangis cepat-cepat disusui”) (Informan J).
“Pirang-pirang balen unggal anak pengen nyusu atuh disosoni”
(“Berkali-kali setiap anak pengen nyusu ya kita susui”) (Informan K).
Pengetahuan mengenai lama pemberian ASI atau berapa waktu yang
dibutuhkan setiap kali menyusui rata-rata informan menjawab sampai si bayi
merasa kenyang dan berhenti menangis. Berikut kutipannya :
“Biasane lamun wis wareg mah si bayi laju turu ngko gah ucul dewek”
(“Biasanya kalau sudah kenyang si bayi langsung tertidur nanti juga lepas
sendiri”) (Informan A).
“Atuh sewarege be ko gah wis wareg mah nyusune liren dewek”
(“Ya sampai kenyang nanti juga kalau sudah kenyang berhenti sendiri”)
(Informan J)
“Sampe wareg“
(“Sampai kenyang) (Informan K).
Sedangkan pengetahuan mengenai usia penyapihan hampir semua
informan berpendapat bahwa penyapiha sebaiknya dilakukan sampai anak berusia
2 tahun, tetapi ada satu informan yang berpendapat bahwa anak sebaiknya disapih
sebelum berusia 2 tahun karena kalau sudah lebih dari dua tahun biasanya akan
semakin sulit untuk melakukan penyapihan. Berikut kutipannya :
“Ari kitamah arep sampe rong taun bae lah supaya anak kita pinter lan
ngkone nurut ning wong tua”
(“Kalau saya mau sampe usia 2 tahun aja supaya anak saya pinter dan
nantinya nurut sama orangtua”) (Informan A).
97
“Biasane mah sampe umur rong tahun yah tapi embuh kih lah saikine wis
pegel nyokoti bae apamaning wis ana untune mah sampe bengkak
kadang”
(“Biasanya sih sampai usia dua tahun tapi tidak tau nih sekarang saja
sudah capek ngegigit terus apalagi sudah ada giginya kadang sampe
bengkak”) (Informan J).
“Umur rong tahun sing bagusmah”
(“Yang bagus sampe usia dua tahun”) (Informan K).
2. Sikap Pemberian ASI
Gambaran sikap pemberian ASI yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah pendapat informan utama dalam hal pentingnya ASI, komposisi dan
manfaat ASI, waktu/usia pemberian ASI pertama kali, Frekuensi pemberian ASI,
lama pemberian ASI, dan usia penyapihan.
Dari hasil wawancara yang dilakukan, seluruh informan berpendapat
bahwa pemberian ASI kepada baduta merupakan hal yang penting dilakukan.
Ketika ditanya alasannya, mereka menjawab karena ASI merupakan makanan
yang lengkap untuk balita dan tidak merepotkan atau lebih praktis dalam
pemberiannya dibandingkan dengan susu formula, serta dapat menjadikan bayi
mereka sehat dan pintar. Berikut kutipannya:
“Penting lah, wong jere bidan gah ASI sing paling bagus lan praktis
dibandingkan susu formula”
(Penting dong, orang kata bidan juga ASI yang paling bagus dan praktis
dibandingkan susu formula) (Informan A).
98
“Penting nong, lagian ora di gai ASI mah arep digain apa tuku susu botol
larang”
(Penting neng, lagian kalau tidak diberi ASI mau diberi apa beli susu
formula mahal) (Informan J).
“Penting nong, bayi sing ora disosoni mah gampang kena penyakit”
(Penting neng, bayi yang tidak diberi ASI mudah terkena penyakit)
(Informan K).
“Penting nong, ASI mah siji-sijine pepanganan si bayi sing bagus genah
kesehatan lan kecerdasan si bayi”
(Penting neng, ASI itu satu-satunya makanan bayi yang baik untuk
kesehatan dan kecerdasan si bayi)(Informan S ).
“Penting lah, wong wadon mah wis perantine nyosoni ora gelem nyosoni
mah aja dadi wong wadon”
(Penting donk, perempuan mah sudah seharusnya menyusui anaknya kalau
tidak mau menyusui jangan jadi perempuan)(Informan R).
Selain itu hampir seluruh informan berpendapat bahwa sebaiknya
melakukan penyapihan setelah bayi berusia 2 tahun karena mereka beranggapan
bahwa perintah agama yang mereka yakini adalah aturan yang paling bijaksana
dan paling tepat untuk kebaikan ibu dan bayi. Tetapi informan mengemukakan
bahwa itupun tergantung situasi dan kondisi ibu dan bayiartinya kalau ibunya
sehat dan memungkinkan untuk terus memberikan ASI maka ASI akan terus
diberikan sampai anak berusia 2 tahun.
3. Praktek Pemberian ASI
99
Praktek pemberian ASI yang dimaksud dalam penelitian ini adalah praktik
pemberian ASI yang dilakukan informan utama untuk bayinya, meliputi
pemberian ASI, komposisi dan manfaat ASI, waktu/usia pemberian ASI pertama
kali, Frekuensi pemberian ASI, lama pemberian ASI, dan usia penyapihan.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan informan utama,
didapatkan hasil bahwa sebagian besar informan berpendapat bahwa ASI memang
sebaiknya langsung diberikan kepada bayi segera setelah bayi dilahirkan. Namun
meskipun demikian, pada prakteknya sebagian besar informan mengatakan bahwa
ASI mereka baru keluar setelah tiga hari melahirkan sehingga mereka mengganti
ASI dengan susu formula,madu, dan air putih bahkan ada yang langsung diberi
pisang dan tape singkong sampai ASI mereka keluar. Masalah lain adalah banyak
informan yang tidak memberikan kolostrumnya kepada anak karena mereka
menganggap cairan tersebut kotor dan tidak baik untuk anak.
Selain itu untuk lamanya pemberian ASI, lima informan selalu
memberikan ASI sampai anak merasa kenyang dan berhenti menangis. Tidak ada
batasan waktu untuk lamanya pemberian ASI. Untuk usia penyapihan hampir
semua informan melakukan penyapihan sampai anak berusia dua tahun.
Berdasarkan penelitian diketahui gambaran praktik pemberian ASI pada
ibu baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya diketahui satu
orang informan mengaku sudah tidak memberikan ASI sejak bayi berusia empat
bulan karena bayi tidak mau menyusu dengan alasan ASI yang keluar sedikit, dan
beberapa informan lainnya mengaku sudah mulai memberikan makanan selain
ASI seperti buah pisang, tape singkong, madu, dan makanan maupun minuman
lain sejak bayi mereka dilahirkan. Sebagian informan tersebut berpendapat bahwa
100
anak yang langsung diberi makanan tambahan selain ASI sejak bayi berusia
kurang dari 6 bulan agar bayi tersebut memiliki badan yang kuat dan berisi selain
itu pemberian makanan selain ASI sebelum anak berusia 6 bulan dimaksudkan
agar anak tidak teru menangis karena merasa kelaparan.
Sedangkan frekuensi pemberian ASI menurut sebagian besar informan
tidak bisa memastikan berapa kali dalam sehari karena tidak terhitung mereka
hanya dapat memperkirakan yaitu sebanyak 8-10 kali dalam sehari. Dan waktu
pemberian ASI menurut seluruh informan adalah ketika anak menangis, minta
menyusu, mengantuk atau pada jam biasanya bayi diberikan ASI.
5.3.1.2 Pola Pemberian MP-ASI
Pola pemberian MP-ASI yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
gambaran pengetahuan, sikap dan praktik ibu yang memiliki bayi dengan status
gizi kurang yang ada di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya dalam hal
pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI)yang meliputi cara pemberian
MP-ASI, waktu/usia pemberian MP-ASI pertama kali, frekuensi pemberian MP-
ASI, komposisi dan porsi MP-ASI, jenis MP-ASI, serta cara pembuatan MP-ASI
yang baik dan tepat untuk bayi.
1. Pengetahuan Pemberian MP-ASI
Pengetahuan mengenai pemberian MP-ASI meliputi pengetahuan tentang
cara pemberian MP-ASI, waktu/usia pemberian MP-ASI pertama kali, frekuensi
pemberian MP-ASI, komposisi dan porsi MP-ASI, jenis MP-ASI, serta cara
pembuatan MP-ASI yang baik dan tepat untuk bayi.
Dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan informan
utama,lima dari tujuh orang informan utama memiliki pengetahuan yang sedikit
101
terkait MP-ASI. Dari ke lima orang informan tersebut tiga orang diantaranya
berpendapat bahwa MP-ASI adalah makanan pengganti ASI atau yang biasa
disebut PASI.Sedangkan 2 orang informan lain berpendapat bahwa MP-ASI
adalah produk makanan olahan atau bubur yang dijual khusus untuk bayi. Hampir
semua informan menyebutkan merek dagang bubur bayi karena yang mereka tahu
MP-ASI adalah bubur bayi.
Selain itu hampir semua informan tidak mengetahui komposisi MP-ASI
yang tepat untuk diberikan kepada bayi yang mereka ketahui hanya frekuensi
makan anak yaitu tiga kali dalam sehari. Hampir semua informan berpendapat
bahwa anak harus diberi makan sampai bayi merasa kenyang dan menolak untuk
disuapi.
Pengetahuan mengenai cara pembuatan MP-ASI yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah pengetahuan mengenai cara penyiapan dan pengolahan makanan
yang tepat, serta penyajian makanan yang baik bagi baduta. Menurut sebagian besar
informan utama cara pembuatan MP-ASI yang baik adalah bahan makanan dimasak
sampai matang, dengan cara dikukus dan direbus untuk bahan makanan seperti beras,
digoreng untuk bahan makanan sejenis lauk, dan direbus atau ditumis untuk bahan
makanan sejenis sayuran. Selain itu beberapa informan menambahkan bahan
makanan seperti telur. Berikut kutipannya:
2. Sikap Pemberian MP-ASI
Tingkat pengetahuan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku
seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan kejelasan
konsep mengenai objek tertentu (Khomsan dkk, 2007). Hal ini dibuktikan dengan
hasil penelitian yang menunjukkan bahwa informan utama yang memiliki
pengetahuan tidak baik mengenai cara pemberian MP-ASI, resiko pemberian
102
MP-ASI dini, tujuan MP-ASI, komposisi dan porsi pemberian MP-ASI, syarat-
syarat pemberian MP-ASI, jenis MP-ASI, serta cara pembuatan MP-ASI juga
memiliki sikap yang tidak baik terkait pemberian MP-ASI.
Selain itu informan utama yang memiliki pengetahuan yang buruk
mengenai waktu yang tepat dalam pemberian MP-ASI, ternyata juga
menunjukkan sikap yang buruk mengenai hal tersebut, yang bisa dilihat dari
ketidaksetujuan mereka jika balita hanya diberikan ASI saja sampai usia empat
atau enam bulan.
3. Praktek Pemberian MP-ASI
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa sebagian besar
informan utama memiliki praktik yang secara umum termasuk tidak sesuai dengan
yang seharusnya dilakukan. Hampir semua informan mengaku memberikan MP-
ASI jauh sebelum anak berusia enam bulan, selain itu mereka juga berpendapat
ASI saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi dengan alasan bayi
masih tetap menangis dan rewel meski sudah diberi ASI, sehingga mereka
beranggapan bahwa bayi harus diberi makanan selain ASI supaya tidak rewel dan
menangis.
Selain itu, hampir semua informan menunjukkan praktek yang tidak sesuai
terkait komposisi dan porsi MP-ASI yang diberikan kepada bayi. Hampir semua
informan hanya memberikan makanan pendamping ASI berupa bubur bayi yang
dijual bebas dipasaran, setelah usianya bertambah mereka mengganti makanannya
berupa nasi biasa yang diberi kuah sayur atau kecap.Hal ini dikarenakan tingkat
pendidikan informan yang rata-rata masih rendah yaitu tingkat SD sehingga
memungkinkan tingkat pengetahuan yang dimiliki juga masih sangat rendah.
103
Sebagaimana menurut pendapat Notoatmodjo (2003), yang mengatakan bahwa
pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Selain itu Sanjur (1982) dalam Khomsan dkk
(2007) juga menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh
pengetahuan dan sikap terhadap makanan.
104
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Pengetahuan Pemberian ASI
Pola asuh makan pada bayi meliputi pemberian gizi yang cukup dan
seimbang melalui pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI
(MP-ASI). Memberikan hanya ASI dalam enam bulan pertama kehidupan bayi
adalah yang paling baik dalam memenuhi kebutuhan gizi bayi, dilanjutkan dengan
pemberian MP-ASI yang tepat serta ASI dilanjutkan pemberiannya sampai usia
dua tahun merupakan kunci agar anak dapat tumbuh kembang secara optimal
(Depkes RI, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya,
dapat diketahui bahwa sebagian besar informan utama memiliki pengetahuan
yang sama hampir di semua aspek pemberian ASI kepada bayi dan baduta.
Terutama dalam pengetahuan terkait ASI eksklusif, ada tiga orang informan
utama yang berpendapat bahwa ASI eksklusif adalah air susu ibu yang diberikan
kepada bayi sampai anak berusia enam bulan. Pendapat ini dianggap kurang tepat
karena menurut WHO, ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja tanpa
makanan ataupun minuman selain ASI sampai bayi berusia enam
bulan.Sebelumnya ASI eksklusif (hanya memberikan ASI sebagai makanan bayi)
dianjurkan hingga bayi berumur 4 bulan. Setelah itu bayi diberi makanan
pendamping berupa sari buah dan bubur. Namun sejak tahun 2001, berdasarkan
hasil-hasil penelitian, world health organization (WHO) menganjurkan pemberian
105
ASI eksklusif hingga bayi berumur 6 bulan. Sedangkan ke empat informan utama
lainnya mengaku tidak tahu mengenai ASI eksklusif.
Sedangkan Ke empat informan lainnya tidak memiliki pengetahuan yang
baik terkait ASI eksklusif. Namun meskipun demikian semua informan utama
sedang atau masih menyusui anaknya pada saat penelitian ini berlangsung.
Permasalahannya adalah hampir semua ibu menyusui yang menjadi informan
dalam penelitian ini tidak memberikan ASI secara eksklusif karena mereka tidak
mengetahu dan mengerti pentingnya manfaat ASI eksklusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Selain itu hal ini dimungkinkan karena kebiasaan-kebiasaan
pola pemberian ASI yang sudah terbentuk sebelumnya. Hal ini bisa dilihat dari
gambaran beberapa informan yang pada dasarnya memiliki pengetahuan yang
cukup tetapi tetap tidak menyusui anaknya secara eksklusif.
Permasalahan lain yang timbul terkait pengetahuan pemberian ASI adalah
mengenai kolostrum, hampir semua informan tidak mengetahui apa yang
dimaksud dengan kolostrum. Mereka juga tidak mengetahui mengenai komposisi
ASI.Namun meskipun demikian beberapa informan utama mengetahui manfaaat
ASI mereka berpendapat bahwa ASI merupakan makanan utama bayi yang
banyak mengandung zat gizi yang penting bagi pertumbuhan dan kesehatan serta
kecerdasan bayi.
Hal ini sesuai dengan hasil-hasil penelitian WHO (1993) yang
berpendapat bahwa ASI merupakan pangan kompleks yang mengandung zat-zat
gizi lengkap dan bahan-bahan bioaktif yang diperlukan untuk tumbuh kembang
dan pemeliharaan kesehatan bayi.Selain itu, hampir semua informan juga
memiliki pengetahuan yang sama baik perihal frekuensi pemberian ASI,
106
waktu/lamanya pemberian ASI serta usia penyapihan. Mereka berpendapat bahwa
frekuensi pemberian ASI diberikan sesering mungkin atau setiap saat bayi
menginginkan ASI. Mengenai waktu/lamanya pemberian ASI semua informan
utama juga berpendapat bahwa tidak ada batasan waktu pemberian ASI. Hal ini
berarti ASI diberikan ibu setiap saat sampai bayi merasa puas dan kenyang.
Menurut As’ad (2002)bahwa pemberian ASI tidak dibatasi dan dapat diberikan
setiap saat terutama ASI eksklusif.
Pengetahuan mengenai waktu/usia yang tepat pemberian ASI pertama kali
ada empat orang informan utama yang berpendapat bahwa ASI seharusnya
diberikan segera setelah bayi dilahirkan. Ke tiga informan lainnya berpendapat
bahwa waktu pemberian ASI pertama kali ialah tiga sampai lima hari setelah bayi
dilahirkan, hal ini dikarenakan pada hari pertama biasanya ASI belum keluar dan
biasanya ASI masih berwarna kekuningan yang dianggap kotor dan tidak baik
untuk kesehatan bayi.
Hal ini jelas tidak sesuai karena menurut As’ad (2002), bila ibu dan bayi
sehat, ASI hendaknya secepatnya diberikan karena ASI merupakan makanan
terbaik dan dapat memenuhi kebutuhan gizi selama 3 – 4 bulan pertama. ASI yang
diproduksi pada 1 – 5 hari pertama dinamakan kolostrum, yaitu cairan kental yang
berwarna kekuningan. Kolostrum ini sangat menguntungkan bayi karena
mengandung lebih banyak antibodi, protein, mineral dan vitamin A.
6.2 Sikap Pemberian ASI
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya,
dapat diketahui bahwa sebagian besar informan utama secara umum menunjukkan
sikap yang baik terhadap pemberian ASI. Hampir semua informan berpendapat
107
bahwa ASI itu penting untuk pertumbuhan, kesehatan dan kecerdasan bayi.
Namun meskipun demikian sebagian besar informan utama menunjukkan
sikap yang tidak baik terhadap aspek-aspek yang lain dalam pemberian ASI
kepada bayinya seperti sikap terhadap waktu yangpaling tepat untuk memberikan
ASI pertama kali, sebanyaktiga orang informan utama berpendapat bahwa
pemberian ASI segera setelah bayi dilahirkan dianggap tidak terlalu penting
karena baik hari pertama, hari ke-dua, hari ke-tiga maupun seterusnya dianggap
sama saja asalkan ASI sudah keluar dan berwarna putih susu dan bukan ASI yang
berwarna bening atau kekuningan.
Sedangkan ke empat informan utama lainnya berpendapat bahwa
pemberian ASI pertama kali segera setelah bayi dilahirkan dianggap penting,
tetapi ketika diminta untuk menjelaskan kenapa pemberian ASI segera setelah
dilahirkan dianggap penting dua orang informan tersebut menjawab agar ASI
cepat keluar dan dua orang informan lainnya berpendapat bahwa kalau tidak cepat
diberikan dikhawatirkan bayi tidak mau ASI dan lebih memilih susu formula yang
disediakan oleh bidan.
Informan yang berpendapat bahwa sebaiknya pemberian ASI dilakukan
setelah cairan ASI berwarna putih dan bukan kekuningan seperti cairan kolostrum
karena informan tersebut tidak mengerti bahwa sebenarnya cairan kolostrum
tersebut sangat baik untuk kekebalan tubuh bayi. Hal ini dikarenakan tingkat
pendidikan informan yang rendah. Tingkat pengetahuan akan berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar,
pengalaman, dan kejelasan konsep mengenai objek tertentu (Khomsan dkk, 2007).
108
Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
informan utama yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai frekuensi
pemberian ASI dan usia penyapihan ternyata secara umum menunjukkan sikap
yang baik mengenai hal tersebut.
Sikap positif informan tersebut bisa dilihat dari pendapat mereka yang
mengatakan bahwa frekuensi pemberian ASI diberikan setiap saat anak
menginginkan ASI. Selain itu, seluruh informan utama juga menganggap penting
usia penyapihan bayi sampai usia 2 tahun karena yang mereka mengetahui bahwa
ini merupakan perintah agama yang mereka yakini sehingga mereka yakin bahwa
penyapihan yang dilakukan pada usia dua tahun adalah pilihan yang terbaik untuk
bayi.
6.3 Praktek Pemberian ASI
Praktik pemberian ASI yang dilakukan informan secara umum masih
buruk. Hal tersebut dapat dilihat dari kebiasaan sebagian besar informan utama
yang memberikan makanan atau minuman lain selain ASI sebelum bayi berusia
enam bulan. Bahkan ada beberapa informan yang memulai pemberian makanan
atau minuman lain selain ASI sejak bayinya baru dilahirkan. Hal ini dilakukan
dengan alasan hari pertama, hari ke dua bahkan hari ke tiga setelah bayi dilahirkan
ASI belum keluar sehingga dikhawatirkan bayi akan kelaparan jika tidak segera
diberikan makanan atau minuman selain ASI. Jenis makanan atau minuman yang
biasa diberikan selama ASI belum keluar adalah susu formula, madu, atau air
putih.
Hal ini jelas merupakan perilaku yang buruk. Karena menurut Menurut
Suhardjo (1992) pemberian MP-ASI dini mengakibatkan beberapa gangguan atau
109
masalah kesehatan yaitu : gangguan menyusui, beban ginjal yang terlalu berat
sehingga mengakibatkan hyperosmolitas plasma, alergi terhadap makanan dan
mungkin gangguan terhadap pengaturan selera makan.
Beberapa informan juga mengaku memberikan makanan atau minuman
selain ASI sebelum bayi berusia enam bulan, mereka beralasan ASI saja tidak
cukup karena bayi masih menangis meskipun telah diberi ASI sehingga mereka
berinisiatif untuk memberikan makanan pendamping ASI dini. Jenis makanan
pendamping ASI yang mereka berikan kepada bayi antara lain : Pisang, bubur
bayi, bahkan ada yang memberikan tape singkong padahal usia bayi masih
dibawah tiga bulan. Hal ini jelas bukan merupakan perilaku yang baik karena
dapat merugikan kesehatan bayi. Praktek pemberian ASI kaitannya
dengan usia yang tepat untuk pemberian ASI pertama kali juga masih belum
sesuai karena hampir semua informan tidak memberikan ASInya segara setelah
bayi di lahirkan, bahkan ada sebagian informan yang menganggap cairan yang
pertama kali keluar dari ASI (Kolostrum) tidak baik untuk diberikan kepada bayi
karena mereka menganggapbahwa cairan kolostrum itu kotor dan warnanya tidak
seperti warna air susu pada umumnya sehngga sebagian besar informan
membuang cairan kolostrum tersebut.
penyapihan sudah cukup baik karena hampir semua informan berpendapat bahwa
penyapihan dilakukan sampai bayi berusia dua tahun. Namun demikian ada
beberapa hal terkait praktek pemberian ASI yang belum sesuai dengan yang
seharusnya dilakukan seperti banyak informan yang membuang kolostrum.
Menurut pendapat Pudjiadi (2005), yang mengatakan bahwa ASI pada
lima hari pertama warnanya lebih kuning dan lebih kental, dan dinamakan
110
kolostrum. Walaupun kolostrum berwarna lain daripada ASI yang dikeluarkan
kemudian, jangan sekali-kali dianggap produk basi, melainkan susu yang bernilai
gizi baik sekali. Disamping mengandung kadar protein tinggi, kolostrum
mengandung banyak zat anti infeksi, hingga baik sekali bagi bayi pada hari-hari
pertama setelah dilahirkan.
Permasalahan lain terkait praktik pemberian ASI adalah ada 2 0rang
informan yang menghentikan pemberian ASI saat bayi masih berusia 2 bulan
karena bayi tidak mau menyusu dengan alasan ASI yang keluar sedikit. Menurut
Pudjiadi (2005), ASI merupakan makanan yang ideal untuk bayi terutama pada
bulan-bulan pertama. ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan
penyediaan energi dalam susunan yang belum berfungsi baik pada bayi yang baru
lahir, serta menghasilkan pertumbuhan fisik yang optimum.
6.4 Pengetahuan Pemberian MP-ASI
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya
diketahui bahwa hampir keseluruhan informan utama memiliki pengetahuan yang
tidak sesuai terkait cara pemberian MP-ASI, waktu / usia pertama kali pemberian
MP-ASI, resiko pemberian MP-ASI dini, tujuan MP-ASI, komposisi dan porsi
pemberian MP-ASI, syarat-syarat pemberian MP-ASI, jenis MP-ASI, serta cara
pembuatan MP-ASI.
Dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan informan utama,
hampir semua informan tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan MP-ASI.
Dari tujuh informan utama hanya dua orang informan yang mengetahui apa yang
dimaksud dengan MP-ASI. Dua orang informan utama tersebut berpendapat
bahwa MP-ASI adalah makanan pendamping ASI dan bukan makanan pengganti
111
ASI. Hal ini berarti bahwa dalam memberikan makanan pendamping ASI bayi
masih tetap memperoleh ASI dari sang ibu karena MP-ASI hanyalah makanan
pendamping ASI dan bukan makanan pengganti ASI. Sedangkan lima orang
informan utama lainnya memiliki pengetahuan yang sedikit terkait MP-ASI. Dari
ke lima orang informan tersebut tiga orang diantaranya berpendapat bahwa MP-
ASI adalah makanan pengganti ASI atau yang biasa disebut PASI.Sedangkan 2
orang informan lain berpendapat bahwa MP-ASI adalah produk makanan olahan
atau bubur yang dijual khusus untuk bayi. Hampir semua informan menyebutkan
merek dagang bubur bayi karena yang mereka tahu MP-ASI adalah bubur bayi.
Sedangkan pengetahuan mengenai waktu pemberian MP-ASI pertama
kali, empat orang informan berpendapat bahwa waktu pemberian MP-ASI
pertama kali yang tepat adalah pada saat anak tidak berhenti menangis setelah
diberi ASI. Ke empat informan tersebut menganggap bayi masih merasa lapar
meskipun telah diberi ASI sehingga ke empat informan tersebut berinisiatif untuk
memberikan makanan pendamping ASI secara dini. Hal ini dimungkinkan karena
informan tersebut tidak mengetahui resiko apa saja yang dapat ditimbulkan akibat
pemberian MP-ASI dini. Padahal sebenarnya menurut Suhardjo (1992) ada
beberapa akibat kurang baik yang ditimbulkan pemberian MP-ASI dini yaitu :
gangguan menyusui, beban ginjal yang terlalu berat sehingga mengakibatkan
hyperosmolitas plasma, alergi terhadap makanan dan mungkin gangguan terhadap
pengaturan selera makan.
Pengetahuan mengenai tujuan MP-ASI, komposisi dan porsi pemberian
MP-ASI, syarat-syarat pemberian MP-ASI, jenis MP-ASI, serta cara pembuatan
MP-ASI juga tidak banyak diketahui oleh kebanyakan informan. Hampir
112
kebanyakan informan berpendapat bahwa tujuan pemberian MP-ASI adalah
supaya bayi gemuk dan sehat selain itu ada satu informan yang mengatakan
bahwa tujuan pemberian MP-ASI pada anak adalah supaya anak bisa berlatih
untuk makan atau membiasakan kebiasaan makan. Hal ini hampir sesuai dengan
tujuan pemberian makan pada anak usia 0-24 bulan menurut As’ad(2002) yaitu
untuk mendidik kebiasaan makan anak yang baik serta memberikan zat gizi yang
cukup bagi kebutuhan hidup yaitu untuk pemeliharaan atau pemulihan serta
peningkatan kesehatan, pertumbuhan, perkembangan fisik dan psikomotor serta
melakukan aktivitas fisik.
Pengetahuan mengenai komposisi dan porsi MP-ASI juga tidak banyak
diketahui oleh hampir semua informan utama, mereka berpendapat bahwa yang
terpenting adalah anak diberi makan sampai ia merasa kenyang dan tidak rewel
tanpa diketahui dan diperhatikan komposisi dan porsi yang sesuai dengan
kebutuhan gizi bayi. Selain itu, pengetahuan mengenai syarat-syarat dan jenis
MP-ASI juga tidak banyak diketahui. Hampir semua informan berpendapat bahwa
syarat-syarat pemberian MP-ASI yang terpenting adalah MP-ASI yang diberikan
berupa makanan sehat dan bersih. Tetapi ketika ditanya makanan sehat seperti apa
yang dimaksud informan utama menyebutkan ayam, telur, sayur asem, dan bubur
bayi.
Menurut Depkes RI (2004) makanan untuk anak usia 0-24 bulan harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : Memenuhi kecukupan energi dan semua
zat gizi sesuai dengan umur , susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu
seimbang, bahan makanan yang tersedia setempat, kebiasaan makan dan selera
113
makan, bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi dan
keadaan faali anak, memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan.
6.5 Sikap Pemberian MP-ASI
Tingkat pengetahuan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku
seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan kejelasan
konsep mengenai objek tertentu (Khomsan dkk, 2007). Hal ini dibuktikan dengan
hasil penelitian yang menunjukkan bahwa informan utama yang memiliki
pengetahuan tidak baik mengenai carapemberian MP-ASI, resiko pemberian MP-
ASI dini, tujuan MP-ASI, komposisi dan porsi pemberian MP-ASI, syarat-syarat
pemberian MP-ASI, jenis MP-ASI, serta cara pembuatan MP-ASI juga memiliki
sikap yang tidak baik terkait pemberian MP-ASI.
Selain itu informan utama yang memiliki pengetahuan yang buruk
mengenai waktu yang tepat dalam pemberian MP-ASI, ternyata juga
menunjukkan sikap yang buruk mengenai hal tersebut, yang bisa dilihat dari
ketidaksetujuan mereka jika balita hanya diberikan ASI saja sampai usia empat
atau enam bulan.
6.6 Praktek Pemberian MP-ASI
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa sebagian besar
informan utama memiliki praktik yang secara umum termasuk tidak sesuai dengan
yang seharusnya dilakukan. Hampir semua informan mengaku memberikan MP-
ASI jauh sebelum anak berusia enam bulan, selain itu mereka juga berpendapat
ASI saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi dengan alasan bayi
masih tetap menangis dan rewel meski sudah diberi ASI, sehingga mereka
114
beranggapan bahwa bayi harus diberi makanan selain ASI supaya tidak rewel dan
menangis.
Selain itu, hampir semua informan menunjukkan praktek yang tidak sesuai
terkait komposisi dan porsi MP-ASI yang diberikan kepada bayi. Hampir semua
informan hanya memberikan makanan pendamping ASI berupa bubur bayi yang
dijual bebas dipasaran, setelah usianya bertambah mereka mengganti makanannya
berupa nasi biasa yang diberi kuah sayur atau kecap.Hal ini dikarenakan tingkat
pendidikan informan yang rata-rata masih rendah yaitu tingkat SD sehingga
memungkinkan tingkat pengetahuan yang dimiliki juga masih sangat rendah.
Sebagaimana menurut pendapat Notoatmodjo (2003), yang mengatakan bahwa
pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Selain itu Sanjur (1982) dalam Khomsan dkk
(2007) juga menyatakan bahwa konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh
pengetahuan dan sikap terhadap makanan.
115
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
1. Gambaran perilaku ibu yang memiliki baduta gizi kurang dalam hal
pemberian ASI dan makanan pendamping ASI (MP-ASI) secara umum
masih buruk karena sebagian besar ibu memiliki pengetahuan, sikap dan
praktik pemberian ASI dan MP-ASI yang tidak buuk.
a. Pengetahuan ibu baduta gizi kurang dalam pemberian ASI yang
meliputi pengetahuan tentang pemberian ASI dan ASI eksklusif,
komposisi dan manfaat ASI dan waktu/usia pemberian ASI pertama
kali termasuk buruk. Meskipun demikian pengetahuan informan
mengenai frekuensi pemberian ASI dan waktu/lamanya pemberian
ASI sudah termasuk baik karena hampir semua ibu baduta memiliki
pengetahuan yang baik dalam hal tersebut.
b. Sikap ibu baduta gizi kurang dalam pemberian ASI yang meliputi
sikap tentang pemberian pemberian ASI dan ASI eksklusif, komposisi
dan manfaat ASI dan waktu/usia pemberian ASI pertama kali
termasuk buruk. Meskipun demikian pengetahuan informan mengenai
frekuensi pemberian ASI dan waktu/lamanya pemberian ASI sudah
termasuk baik karena hampir semua ibu baduta memiliki pengetahuan
yang baik dalam hal tersebut.
c. Praktek ibu baduta gizi kurang dalam pemberian ASI yang meliputi
pemberian ASI dan ASI eksklusif, komposisi dan manfaat ASI dan
116
waktu/usia pemberian ASI pertama kali termasuk buruk. Meskipun
demikian pengetahuan ibu baduta mengenai frekuensi pemberian ASI
dan waktu/lamanya pemberian ASI sudah termasuk baik karena
hampir semua ibu baduta memiliki pengetahuan yang baik dalam hal
tersebut.
2. Gambaran perilaku ibu baduta gizi kurang dalam pemberian makanan
pendamping ASI (MP-ASI) secara umum masih belum sesuai karena
sebagian besar ibu baduta memiliki pengetahuan, sikap dan praktek
pemberian MP-ASI yang tidak tepat untuk pertumbuhan dan
perkembangan bayi.
a. Pengetahuan ibu baduta gizi kurang dalam pemberian MP-ASI
termasuk buruk karena hampir semua informan tidak mengetahui
banyak hal terkait pemberian MP-ASI terutama mengenai komposisi
dan porsi MP-ASI, waktu pertama kali pemberian MP-ASI, syarat-
syarat MP-ASI, tahapan MP-ASI serta cara membuat MP-ASI yang
tepat. Namun pengetahuan dalam hal frekuensi pemberian MP-ASI
rata-rataibu baduta mengetahui bahwa MP-ASI sebaiknya diberikan 3
kali dalam sehari.
b. Sikap ibu baduta gizi kurang dalam pemberian MP-ASI juga masih
belum sesuai karena hampir semua informan tidak setuju apabila MP-
ASI diberikan setelah bayi berusia enam bulan mereka beranggapan
bahwa ASI saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi.
c. Praktek ibu baduta gizi kurang dalam pemberian MP-ASI juga belum
sesuai karena pada kenyataannya ibu baduta tidak memberikan
117
makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi bayi. Mereka hanya
memberikan makanan berupa bubur bayi, tidak ada tambahan lauk
pauk, buah atau sayur.
3. Sebagian besar ibu baduta tidak menerapkan pola asuh makan yang baik
kepada balitanya, yang ditunjukkan dengan perilaku pemberian ASI dan
MP-ASI kepada bayi yang secara umum termasuk tidak sesuai. Hal
tersebut mungkin disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikanibu baduta
serta tingkat pendapatan keluarga yang sangat minim.
7.2 Saran
1. Disarankan kepada Petugas Puskesmas khususnya tenaga pelaksana gizi
(TPG), untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas konseling gizi kepada ibu
balita khususnya ibu baduta yang mengalami masalah gizi.
2. Sebaiknya konseling gizi yang berkaitan dengan pemberian makan dilakukan
dengan menggunakan contoh menu makanan dengan komposisi yang beragam
dan lengkap dengan takaran atau porsi yang harus diberikan, serta frekuensi dan
cara yang tepat dalam menyajikan makanan untuk balita, yang mudah
dimengerti ibu balita sehingga dapat dipraktikkan di rumah.
3. Disarankan kepada Petugas Kesehatan untuk meningkatkan program
penyuluhan kesehatan khususnya penyuluhan terkait masalah pentingnya
pemberian ASI eksklusif dan pemberian MP-ASI yang tepat sesuai dengan
kebutuhan gizi dan usia anak.
4. Disarankan kepada Petugas Kesehatan untuk meningkatkan program perbaikan
gizi dengan upaya pendampingan gizi baik secara individu maupun kelompok
kepada ibu yang memiliki anak dengan status gizi buruk maupun gizi kurang.
118
5. Sebaiknya Petugas Kesehatan melakukan upaya pendekatan dengan tokoh
masyarakat yang berpengaruh di wilayah setempat dalam rangka upaya
merubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang merugikan kesehatan di
masyarakat.
119
120
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita, 2004, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Cetakan ke Empat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. As’ad. S, 2002, Gizi-Kesehatan Ibu dan Anak. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Amalia, Nurfita, 2011, Pola Asuh Anak Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kejayan Kabupaten Pasuruan Tahun 2011. Skripsi FKM UI Jakarta. Almatsier, S. dan Soetardjo, S, dkk, 2011, Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan, PT Gramedia Pustaka utama, Jakarta. CORE, 2003, Buku Panduan Pemulihan yang berkesinambungan Bagi Anak Malnutrisi, Diterjemahkan oleh Project Concern International/PCI- Indonesia. Deddy, 1994, Masalah Program ASI Eksklusif dan Makanan Pendamping ASI, Jakarta. Depkes RI, 2002, Pemantauan Pertumbuhan Anak, Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI, Jakarta. ______, 2004, Pedoman Pelaksanaan Pendistribusian dan Pengelolaan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) , Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI, Jakarta. ______, 2006, Pedoman Umum Pemberian MP-ASI lokal, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI, Jakarta. ______, 2007, Buku Saku Rumah Tangga Sehat dengan PHBS, Pusat Promosi Kesehatan, Depkes RI, Jakarta. ______, 2008, Laporan Hasil RISKESDAS 2007, Depkes RI, Jakarta. ______, 2009, Pedoman Penanganan dan Pelacakan Balita Gizi Buruk, Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI, Jakarta. E.Beck, Mary, 2011, Ilmu Gizi dan Diet (Hubungannya dengan Penyakit- Penyakit untuk Perawat & Dokter), Andi Offset, Yogyakarta. Harsiki, Trinabasilih, 2003, Hubungan Pola Asuh Anak dan Faktor Lain Dengan Keadaan Gizi Anak Batita Keluarga Miskin Di Pedesaan dan Perkotaan Propinsi Sumatera Barat Tahun 2002, Tesis Program Pasca Sarjana FKM UI, Depok. Herawati, M.I. Tri Hadiah, 1999, Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Bagi Balita KEP Terhadap Perubahan Status Gizi Balita di Empat Puskesmas Kabupaten Sidoarjo Tahun 1998, Tesis Program Pasca Sarjana FKM UI, Depok. Husin, Cut Ruhana, 2008, Hubungan Pola Asuh Anak dengan Status Gizi Balita Umur 24-59 Bulan Di Wilayah Terkena Tsunami Kabupaten Pidie Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Tahun 2008, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Jahari, A.B. dan Sandjaya, dkk, 2000, Status Gizi Balita di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis (Analisis Data Antropometri Susenas 1989 s/d 1999), Jakarta, Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi.
121
Kartasapoetra dan Marsetyo, 2003, Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas Kerja), Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Karyadi, Lies Darwin, 1985, Pengaruh Pola Asuh Makan Terhadap Kesulitan Makan Anak Bawah Tiga Tahun (BATITA). Tesis Fakultas Pasca Sarjana IPB, Bogor. Khomsan, Ali, 2000, Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi, Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Khomsan, Ali dan Yayuk Farida, Baliwati. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya. Depok. Khomsan, Ali, Faisal Anwar, dkk, 2007a, Studi Implementasi Program Gizi: Pemanfaatan, Cakupan, Keefektifan dan Dampak Terhadap Status Gizi Balita, Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor. ______, dkk, 2007b, Studi Peningkatan Pengetahuan Gizi Ibu dan Kader Posyandu serta Perbaikan Gizi Balita, Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor. Kodariyah, Witri, 2010, Gambaran Faktor yang Mempengaruhi Kesulitan Makan Pada Anak Usia Prasekolah (1-3 Tahun) di Wilayah Kerja Puskesmas Bogor Timur Kota Bogor Tahun 2009. Skripsi FKIK KESMAS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Moeleong, Lexy J. 1991, Metode Penelitian Kualitatif, Penerbit PT Remaja Rosadakarya, Bandung. Maryunani, Anik, 2010, Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan, CV. Trans Info Media, Jakarta. Milles dan Hubberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, Gramedia, Jakarta. Moehji, Sjahmien, 1988, Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita, Penerbit Bhratara Karya Aksara, Jakarta. ______, 2003, Ilmu Gizi, Penerbit Bhratara Karya Aksara, Jakarta. ______, 2008, Bayi Sehat dan Cerdas Melalui Gizi dan Makanan Pilihan: Panduan Asupan Gizi untuk Bayi dan Balita, Pustaka Mina, Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo, 1993, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan, Andi Offset, Yogyakarta. Nadesul, SH, 2005, Makanan Sehat Untuk Bayi, Puspa Swara, Jakarta. ______, 2003a, Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. ______, 2003b, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. ______, 2004, Metodologi Penelitian Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. ______, 2005, Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. ______, 2007, Promosi Keshatan dan Ilmu Perlaku, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. RSCM, & PERSAGI, 1988, Penuntun Diit Anak, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Rosmana, Dadang, 2003, Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status Gizi Anak Usia 6- 24 Bulan di Kabupaten Serang Propinsi Banten Tahun 2003, Tesis, Program Pasca Sarjana FKM UI, Depok.
122
Soetjiningsih, 1997, ASI (Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan). Cetakan Pertama, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Surabaya. Soetjiningsih, 1998, Tumbuh kembang Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Surabaya. Santoso, Soegeng dan Ranti, Anne Lies, 1999, Kesehatan Dan Gizi. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Sunarti, E, 2004, Mengasuh dengan Hati Tantangan yang Menengah, Media Kompotindo, Jakarta. Sarmin dan Rachmawaty Fitri, 2009, Cara Mendeteksi Gizi Buruk Pada Balita. al- Mawaddah [online], [diakses pada 8 februari 2012], <http://almawaddah.wordpress.com/>. Sediaoetama, Acmad Djaeni, 2008, Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I, Cetakan ke Delapan, Dian Rakyat, Jakarta. ______, 2009, Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II, Cetakan ke Enam, Dian Rakyat, Jakarta. Susanto, 2003, Gizi dan Kesehatan, Bayu Media, Malang. Supariasa, I.D.N, dkk, 2002, Penilaian Status Gizi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Prabantini, Dwi, 2010, A to Z Makanan Pendamping ASI, Andi Offset, Yogyakarta. Pudjiadi, Solihin, 2005, Ilmu Gizi Klinis Pada Anak, Edisi Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Winarno, FG, 1987, Gizi dan Makanan (Bagi Bayi dan Anak Sapihan), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Yuniarti, 2010, Analisis Pola Makan dan Aktifitas Fisik Siswa-Siswi Gizi Lebih Di SMA LABSCHOOL Kebayoran Baru Jakarta Selatan Tahun 2009, Skripsi FKIK KESMAS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Zulkarnaen, 2008, Hubungan Karakteristik Keluarga Terhadap Kenaikan Berat Badan Balita Gizi Buruk Di Klinik Gizi Puslitbang Gizi Dan Makanan Bogor Tahun 2007. Skripsi FKIK KESMAS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
123
top related