perkembagan bank syariah di indonesia
Post on 26-Jul-2015
36 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERKEMBAGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA
PENGERTIAN BANK
Pengertian Bank (cara pengucapan: [Bang]) adalah sebuah tempat di mana uang
disimpan dan dipinjamkan.Menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidur rakyat banyak.
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan secara lebih luas lagi bahwa bank merupakan
perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu
berkaitan dalam bidang keuangan. Fungsi utama dari bank adalah menyediakan jasa
menyangkut penyimpanan nilai dan perluasan kredit. Evolusi bank berawal dari awal tulisan,
dan berlanjut sampai sekarang di mana bank sebagai institusi keuangan yang menyediakan
jasa keuangan. Sekarang ini bank adalah institusi yang memegang lisensi bank. Lisensi bank
diberikan oleh otoriter supervisi keuangan dan memberikan hak untuk melakukan jasa
perbankan dasar, seperti menerima tabungan dan memberikan pinjaman. Kata bank berasal
dari bahasa Italia banca atau uang. Biasanya bank menghasilkan untung dari biaya transaksi
atas jasa yang diberikan dan bunga dari pinjaman.Source:http://id.wikipedia.org/wiki/Bank
Situs lain mengatakan, Masyarakat pada umumnya telah mengetahui bahwa bank itu
adalah tempat menabung, menyimpan uang ataupun meminjam uang bagi masyarakat yang
membutuhkan. Berikut akan disampaikan dua definisi bank, sebagai berikut:
a) Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, tentang Perbankan menyatakan: Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
b) Menurut Prof. G.M. Verryn Stuart mendefinisikan: Bank adalah suatu badan yang
bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat pembayarannya sendiri atau
dengan uang yang diperolehnya dariorang lain maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat
penukar baru berupa uang giral.
c) Somary berpendapat bahwa bank adalah suatu badan yang berfungsi sebagai pengambil
dan pemberi kredit, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bank merupakan tempat penyimpanan uang,
pemberi atau penyalur kredit dan juga perantara dalam lalu lintas pembayaran.
Perbankan, terutama bank umum merupakan suatu lembaga keuangan yang sangat penting
perananya dalam sebuah kegiatan ekonomi dan perdagangan karena melalui kegiatan
perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan oleh bank maka dapat melayani berbagai
kebutuhan pada berbagai sektor ekonomi dan perdagangan. Sehingga bisa dibilang bahwa
bank terutama bank umum merupakan inti dari sistem keuangan setiap negara. Berikut ini
adalah pengertian dan definisi bank:
# THOMAS SUYATNO
Bank adalah suatu badan yang tugas utamanya sebagai perantara untuk menyalurkan
penawaran dan permintaan kredit pada waktu yang ditentukan
# T. SUNARYO
Bank adalah lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai macam jasa, seperti
memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak
sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, embiayai usaha perusahaan-perusahaan,
dan lain-lain
# UU No. 14/1967 PASAL 1
Bank merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa
dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang
# GUNARTO SUHARDI
Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan, badan-badan
pemerintah dan swasta, maupun perorangan menyimpan dana - dananya
# RACHMADI USMAN
Bank merupakan suatu lembaga keuangan yang melayani kepentingan masyarakat dalam
segala bentuk transaksi yang menyangkut kepentingan dari pihak yang memakai jasa bank,
dengan tanpa mengabaikan keuntungan bank baik secara langsung maupun tidak
# SULAD S. HARDANTO
Bank adalah sebuah institusi yang memiliki surat izin bank, menerima tabungan dan deposito,
memberikan pinjaman, dan menerima serta menerbitkan check
# M. ZAMRONI S.Pd
Bank adalah badan usaha milik negara atau swasta yang berfungsi menghimpun dana
masyarakat dalam bentuk tabungan dan menyalurkannya kepada masyarakat (individu,
kelompok, perusahaan) dalam bentuk kredit
# UU NO. 10 TAHUN 1998
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lain
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak
# DRS. T. GILARSO, SJ
Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah menghimpun dana,
memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.
Mengenai arti bank bisa dipastikan semua orang sudah mengerti, baik yang pernah
mengenyam pendidikan di sekolah ataupun yang tidak sekolahpun pasti tahu arti umum dari
bank. Meskipun tidak semua orang mempunyai tabungan di bank, tapi kata bank sering
dijumpai dalam kehidupan sehari hari, seperti iklan di TV yang sering menampilkan iklan
bank, atau ketika bepergian kita melihat gedung bank.Saya rasa kita semua sepakat bahwa
arti pendek dari bank adalah tempat menyimpan uang atau menabung, dan juga tempat untuk
meminjam uang. Pada artikel ini akan dibahas mengenai pengertian bank secara lengkap,
mulai asal kata bank, pengertian bank secara umum, dan pengertian bank menurut udang-
undang pemerintah.
Asal dari kata bank adalah dari bahasa Italia yaitu banca yang berarti tempat
penukaran uang. Secara umum pengertian bank adalah sebuah lembaga intermediasi
keuangan yang umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang,
meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote.
Sedangkan pengertian bank menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dari pengertian bank menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1998 dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu
menghimpun dana, menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya. Kegiatan
menghimpun dan menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok bank sedangkan memberikan
jasa bank lainnya hanya kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun dana, berupa
mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito.
Biasanya sambil diberikan balas jasa yang menarik seperti, bunga dan hadiah sebagai
rangsangan bagi masyarakat agar lebih senang menabung. Kegiatan menyalurkan dana,
berupa pemberian pinjaman kepada masyarakat. Sedangkan jasa-jasa perbankan lainnya
diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan utama tersebut. Adanya bank tentunya
memberikan manfaat bagi banyak pihak, manfaat tersebut antara lain
1. Sebagai model investasi, yang berarti, transaksi derivatif dapat dijadikan sebagai salah
satu model berinvestasi. Walaupun pada umumnya merupakan jenis investasi jangka
pendek (yield enhancement).
2. Sebagai cara lindung nilai, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai salah
satu cara untuk menghilangkan risiko dengan jalan lindung nilai (hedging), atau disebut
juga sebagai risk management.
3. Informasi harga, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai sarana mencari
atau memberikan informasi tentang harga barang komoditi tertentu dikemudian hari
(price discovery).
4. Fungsi spekulatif, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan kesempatan
spekulasi (untung-untungan) terhadap perubahan nilai pasar dari transaksi derivatif itu
sendiri.
5. Fungsi manajemen produksi berjalan dengan baik dan efisien, yang berarti, transaksi
derivatif dapat memberikan gambaran kepada manajemen produksi sebuah produsen
dalam menilai suatu permintaan dan kebutuhan pasar di masa mendatang. Terlepas dari
funsi-fungsi perbankan (bank) yang utama atau turunannya, maka yang perlu
diperhatikan untuk dunia perbankan, ialah tujuan secara filosofis dari eksistensi bank di
Indonesia. Hal ini sangat jelas tercermin dalam Pasal empat (4) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 yang menjelaskan, ”Perbankan Indonesia bertujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat
banyak”. Meninjau lebih dalam terhadap kegiatan usaha bank, maka bank (perbankan)
Indonesia dalam melakukan usahanya harus didasarkan atas asas demokrasi ekonomi
yang menggunakan prinsip kehati-hatian. 4 Hal ini, jelas tergambar, karena secara
filosofis bank memiliki fungsi makro dan mikro terhadap proses pembangunan bangsa.
PENGERTIAN SYARIAH
Secara bahasa syariat berasal dari kata syara’ yang berarti menjelaskan dan
menyatakan sesuatu atau dari kata Asy-Syir dan Asy Syari’atu yang berarti suatu tempat
yang dapat menghubungkan sesuatu untuk sampai pada sumber air yang tak ada habis-
habisnya sehingga orang membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk mengambilnya.
Menurut istilah, syariah berarti aturan atau undang-undang yang diturunkan Allah untuk
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan
hubungan manusia dengan alam semesta.
Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat,
tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah
dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh
syariah Islam. Syariah Islam mengatur pula tata hubungan antara seseorang dengan dirinya
sendiri untuk mewujudkan sosok individu yang saleh.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2071352-pengertian-
syariah/#ixzz1xUiPIn00
1. Syariah = Undang-undang Islam
2. Definisi : Jalan yang lurus
3. Sumber : Al Quran (45:18) ~ “kemudian Kami jadikan kamu (ya Muhammad) berada di atas
suatu syariat (peraturan) dariurusan (agama), maka ikutilah syariat itu dan jangan kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak berilmu”
Syariah (berarti jalan besar) dalam makna generik adalah keseluruhan ajaran Islam itu
sendiri (42 :13). Dalam pengertian teknis-ilmiah syariah mencakup aspek hukum dari ajaran
Islam, yang lebih berorientasi pada aspek lahir (esetoris). Namum demikian karena Islam
merupakan ajaran yang tunggal, syariah Islam tidak bisa dilepaskan dari aqidah sebagai
fondasi dan akhlaq yang menjiwai dan tujuan dari syariah itu sendiri.
Syariah memberikan kepastian hukum yang penting bagi pengembangan diri manusia
dan pembentukan dan pengembangan masyarakat yang berperadaban (masyarakat madani).
Syariah meliputi 2 bagian utama :
1. Ibadah ( dalam arti khusus), yang membahas hubungan manusia dengan Allah (vertikal).
Tatacara dan syarat-rukunya terinci dalam Quran dan Sunah. Misalnya : salat, zakat, puasa
2. Mu'amalah, yang membahas hubungan horisontal (manusia dan lingkungannya) . Dalam
hal ini aturannya aturannya lebih bersifat garis besar. Misalnya munakahat, dagang,
bernegara, dll.
Syariah Islam secara mendalam dan mendetil dibahas dalam ilmu fiqh.
Dalam menjalankan syariah Islam, beberpa yang perlu menjadi pegangan :
a. Berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunah (24 :51, 4:59) menjauhi bid'ah (perkara yang
diada-adakan)
b. Syariah Islam telah memberi aturan yangjelas apa yang halal dan haram (7 :33, 156-157),
maka :
-Tinggalkan yang subhat (meragukan)
- ikuti yang wajib, jauhi yang harap, terhadap yang didiamkan jangan bertele-tele
c. Syariah Islam diberikan sesuai dengan kemampuan manusia (2:286), dan menghendaki
kemudahan (2 :185, 22 :78). Sehingga terhadap kekeliruan yang tidak disengaja & kelupaan
diampuni Allah, amal dilakukan sesuai kemampuan
d. hendaklah mementingkan persatuan dan menjauhi perpecahan dalam syariah (3:103, 8:46)
PENGERTIAN BANK SYARIAH
Pengertian Bank Syariah.
Pengertian bank menurut UU No 7 tahun 1992 adalah badan usaha yang
menghimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Istilah Bank dalam
literatur Islam tidak dikenal. Suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat
dan menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam literature Islam dikenal dengan istilah
baitul mal atau baitul tamwil. Isitilah lain yang digunakan untuk sebutan Bank Islam
adalah Bank Syariah. Secara akademik, istilah Islam dan Syariah memang mempunyai
pengertian berbeda. Namun secara teknis untuk penyebutan Bank Islam dan Bank
Syariah mempunyai pengertian yang sama.
Dalam Undang-Undang No 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa Bank Umum
merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu litas
pembayaran . Lebih lanjut dijelaskan bahwa prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpannya, pembiayaan
atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah. Berdasarkan rumusan
masalah tersebut, Bank Syari’ah berarti bank yang tata cara operasionalnya didasari
dengan tatacara Islam yang mengacu kepada ketentuan Al-Quran dan Al Hadist.
Sejarah Bank Syariah di Indonesia.
Ide pendirian bank syariah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970. dimana
pembicaraan mengenai bank syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia – Timur
Tengah pada tahun 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar yang diselenggarakan oleh
Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan ( LSIK ) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika .
Di tingkat internasional,gagasan untuk mendirikan Bank Islam terdapat dalam
konferensi negara – negara islam di Kuala Lumpur,Malaysia pada tanggal 21 sampai
dengan 27 April 1969 yang diikuti 19 negara peserta. Konferensi tersebut memutuskan
beberapa hal yaitu :
1. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika ia tidak
termasuk riba dan riba itu sedikit atau banyak hukumnya haram
2. Diusulkan supaya dibentuk suatu Bank Islam yang bersih dari system riba dalam
waktu secepat mungkin.
3. Sementara menunggu berdirinya Bank Islam, bank-bank yang menerapkan
bunga diperbolehkan beroperasi. Namun jika benar-benar dalam keadaan darurat.
Gagasan berdirinya Bank Islam di Indonesia lebih konkret pada saat lokakarya ”Bunga
Bank dan Perbankan” pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Ide tersebut ditindaklanjuti
dalam Munas IV Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) di hotel Sahid tanggal 22-25 Agustus
1990. Setelah itu, MUI membentuk suatu Tim Steering Committee yang diketuai oleh
Dr.Ir.Amin Aziz. Tim ini bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan
dengan berdirinya Bank Islam di Indonesia. Tim Mui ternyata dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik, tebukti dalam waktu 1 tahun sejak ide berdirinya Bank Islam
tersebut, dukungan umat Islam dari berbagai pihak sangat kuat. Setelah semua
persyaratan terpenuhi pada tanggal 1 November 1991 dilakukan penandatanganan akte
pendirian Bank Mu’amalat Indonesia ( BMI ) di Sahid Jaya Hotel dengan akte Notaris
Yudo Paripurno,S.H dengan izin Menteri Kehakiman No.C.2.2413 HT.01.01. Akhirnya,
dengan izin prinsip Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No.1223/MK.013/1991
tanggal 5 November 1991 BMI bias memulai operasi untuk melayani kebutuhan
masyarakat melalui jasa-jasanya.
Setelah BMI mulai beroperasi sebagai bank yang menerapkan prinsip syariah di
Indonesia, frekuensi kegairahan umat Islam untuk menetapkan dan mempraktikan
system syariah dalam kehidupan berekonomi sehari-hari menjadi tinggi. Setelah lahirnya
BMI, kini di masa reformasi ,telah beroperasi pula lembaga-lembaga perbankan
konvensional yang menerapkan prinsip-prinsip syariah, baik yang dimiliki pemerintah
maupun swasta. Kemunculan bank-bank syariah ‘baru’, seperti Bank IFI Cabang
Syariah,Bank Syariah Mandiri,Bank BNI Divisi Syariah sebenarnya tidak terlepas dari
peristiwa krisis moneter yang cukup parah sejak 1998 atau pasca-likuidasi ratusan bank
konvesional, karena pengelolaanya yang menyimpang.
Prinsip-Prinsip Perbankan Syariah
Meskipun UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah telah dikeluarkan,
namun Indonesia masih menganut dual banking system ( dua system perbankan ). Ini
berarti memperkenankan dua system perbankan secara co-existance. Dua system
perbankan itu adalah bank umum dan bank berdasarkan bagi hasil ( yang secara impisit
mengakui system perbankan berdasarkan prinsip Islam ). Bank Syariah dapat dilakukan
melalui 1) bank umum syariah 2) bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) ; 3) Islamic
windows; dan 4) office channeling. Bank umum syariah adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran. Bank Perkreditan Rakyat Syariah adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Office Chanelling merupakan istilah
yang diberikan guna menandai dimungkinkannya melakukan kegiatan usaha perbankan
syariah di kantor cabang dan/atau kantor cabang pembantu bank umum konvesional.
Praktik perbankan syariah tidak diperkenankan dilakukan bersama-sama dalam satu
kantor yang berpraktik konvesional. Dalam PBI No.4/1/PBI/2002, dibuka kesempatan
kepada bank umum konvesional untuk membuka cabang syariah dengan prsyaratan yang
cukup ketat, yaitu adanya pemisahan pembukuan,pemisahan modal,pemisahan
pegawai,dan pemisahan keragaan ruangan.
Pengelolaan dan Pengawasan Bank Syariah Bank Syariah, selain berfungsi
menjembatani antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana,
juga secara khusus mempunyai fungsi amanah. Untuk menjaga fungsi amanah tersebut,
perlu adanya pengawasan yang melekat pada setiap orang yang terlibat di dalam
aktivitas perbankan berupa motivasi keagamaan maupun pengawasan melalui
kelembagaan. Supaya upaya pengendalian, meskipun suatu lembaga telah menyandang
nama syariah, namun tidak tertutup kemungkinan dalam menjalankan usahanya
menyimpang dari nama yang disandang tersebut. Di dalam menjalankan usahanya, bank
berdasarkan prinsip-prinsip syariah berupaya menjaga dan memelihara agar prinsip-
prinsip syariah tersebut tetap terpelihara dalam operasionalnya. Di dalam menjalankan
fungsi kelembagaan agar operasional Bank Syariah tidak menyimpang dari tuntutan
syariah Islam, maka diadakan “Dewan Pengawas Syariah” yang tidak terdapat di dalam
bank-bank konvesional.
Dewan pengawas syariah adalah suatu lembaga dewan yang dibentuk untuk
mengawasi jalannya Bank Syariah agar di dalam operasionalnya tidak menyimpang dari
prinsip-prinsip muamalah menurut Islam. Dewan pengawas syariah biasanya
ditempatkan pada posisi setingkat dewan komisaris pada setiap bank. Anggota dewan
syariah ditetapkan oleh rapa pemegang saham dari calon yang telah mendapat
rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
Dewan syariah bertugas meneliti produk-produk baru bank syariah dan
memberikan rekomendasi terhadap produk-produk baru tersebut serta membuat surat
pernyataan bahwa bank yang diawasinya masih tetap menjalankan usaha berdasarkan
prinsip-prinsip syariah. Dewan pengawas syariah juga bertugas untuk mendiskusikan
masalah-masalah dan transaksi bisnis yang diajukan kepada dewan sehingga dapat
ditentukan tentang sesuai atau tidaknya masalah-masalah tersebut dnegan ketentuan-
ketentuan syariah Islam. Adapun wewenang Dewan Pengawas Syariah adalah :
1. Memberikan pedoman secara garis besar tentang aspek syariah dari operasional Bank
Syariah, baik penyerahan dana,penyaluran dana maupun kegiatan-kegiatan bank lainnya.
2. Mengadakan perbaikan terhadap suatu produk Bank Syariah yang telah atau sedang
berjalan. Namun, dinilai pelaksanaanya bertentangan ketentuan syariah.
Keberhasilan pelaksanaan tugas dan wewenang dewan syariah sangat tergantung kepada
independesinya di dalam membuat suatu putusan atau penilaian yang dibutuhkan.
Independasi dewan ini diharapkan dapat dijamin karena :
- Mereka bukan staf bank, sehingga tidak tunduk di bawah kekuasaan administratif
- Mereka dipilih oleh Rapat Umum Pemegang Saham, demikian juga penentuan tentang
honorariumnya
- Dewan pengawas mempunyai sistem kerja dan tugas-tugas khusus seperti halnya
Badan Pengawas lainnya.
Selain Dewan Pengawas Syariah, pada tingkat nasional ada pula Dewan Syariah
Nasional ( DSN ). Tugas lembaga ini antara lain, adalah sebagai berikut :
1. Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah, seperti bank syariah, asuransi
syariah, reksadana syariah, modal ventura, dan lain-lain
2. Meneliti dan memberi fatwa terhadap produk-produk yang akan dikembangkan pada
bank-bank syariah yang diajukan manajemen bank yang bersangkutan setelah mendapat
rekomendasi dari dewan pengawas syariah,
3. Mengeluarkan pedoman yang akan digunakan oleh dewan pengawas syariah dalam
mengawasi bank-bank syariah
4. Merekomendasikann para ulama yang akan ditugaskan menjadi anggota dewan
pengawas syariah.
Bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah,
demokrasi ekokomi, dan prinsip kehati-hatian. Di dalam bank syariah terdapat suatu
badan yang tidak ada di dalam bank-bank konvesional yaitu Dewan Pengawas Syariah.
Dewan ini memiliki tugas untuk meneliti produk-produk baru bank syariah dan
memberikan rekomendasi terhadap produk-produk baru tersebut serta membuat surat
pernyataan bahwa bank yang diawasinya masih tetap menjalankan usaha berdasarkan
prinsip-prinsip syariah.
Sejarah Awal Perbankan Syariah
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan
eksistensi ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi
pioneer bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah
menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah
menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan
system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah dapat tetap eksis
dan mampu bertahan.
Tidak hanya itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada
penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya
tahannya dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan
memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya,
pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah.
Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang terjadi pada
tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima
sepeser pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, bank Muamalat
bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.
Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa
perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan.
Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk merealisasikannya.
Langkah strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah
pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit Usaha
Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank syariah. Langkah
strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan Undang – Undang perbankan no.
10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU no.7 tahun 1992 tersebut mengatur dengan
jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan
oleh bank syariah.
Tabel 1.1 Perkembangan
Bank Syariah Indonesia
In 19 20 20 20 20 20 20 20
di
ka
si
98
K
P/
U
U
S
03
K
P/
U
U
S
04
K
P/
U
U
S
05
K
P/
U
U
S
06
K
P/
U
U
S
07
K
P/
U
U
S
08
K
P/
U
U
S
09
K
P/
U
U
S
B
U
S
1 2 3 3 3 3 5 6
U
U
S
- 8 15 19 20 25 27 25
B
P
R
S
76 84 88 9210
5
11
4
13
1
13
9
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009.
Keterangan :
BUS = Bank Umum Syariah
UUS = Unit Usaha Syariah
BPRS = Bank Perkreditan Rakyat Syariah
KP/UUS = Kantor Pusat/Unit Usaha Syariah
Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan perbankan syariah berdasarkan laporan tahunan BI
2009 (Desember 2009). secara kuantitas, pencapaian perbankan syariah sungguh
membanggakan dan terus mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Jika pada tahun 1998
hanya ada satu Bank Umum Syariah dan 76 Bank Perkreditan Rakyat Syariah, maka pada
Desember 2009 (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank
Indonesia) jumlah bank syariah telah mencapai 31 unit yang terdiri atas 6 Bank Umum
Syariah dan 25 Unit Usaha Syariah. Selain itu, jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS) telah mencapai 139 unit pada periode yang sama.
Tabel 1.2 Indikator Utama Perbankan Syariah
(dalam milyar rupiah)
Indikas
i
200
3
200
4
200
5
200
6
200
72008
200
9
Aset7.94
5
15.2
10
20.8
80
28.7
22
36,5
37
49.55
5
66.0
90
DPK5.72
5
11.7
18
15.5
84
20.6
72
28.0
11
36.85
2
52.2
71
Pembia
yaan
5.56
1
11.3
24
15.2
70
20.4
45
27.9
44
38.19
8
46.8
86
FDR97,1
4%
96,6
4%
97,7
6%
98,9
0%
99.7
6%
103.6
5%
89.7
0%
NPF2,34
%
2,38
%
2,82
%
4,75
%
4,07
%
3.95
%
4.01
%
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009.
Tabel 1.2 menunjukkan perkembangan terakhir indikasi-indikasi perbankan syariah.
Perkembangan asset perbankan syariah meningkat sangat signifikan dari akhir tahun 2008
sampai dengan akhir tahun 2009 sebesar lebih dari 33.37 persen. Penghimpunan dana dan
pembiayaan mencapai peningkatan sebesar 41.84 dan 22.74 persen.
Jika dilihat dari rasio pembiayaan yang disalurkan dengan besarnya dana pihak ketiga (DPK)
yang dinyatakan dengan nilai Financing to Deposit Ratio (FDR), maka bank syariah memiliki
rata-rata FDR sebesar 97.65 persen. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dan tahun
sesudahnya, pada tahun 2008 Financing to Defosit Ratio perbankan syariah lebih dari 100 %.
Tingginya tingkat FDR tersebut karena pembiayaan yang disalurkan selama bulan maret –
November 2008 lebih besar dari Dana Pihak ketiga.
Yang perlu di catat disini adalah, meskipun pembiayaan yang disalurkan lebih besar dari
DPK, tetapi tingkat kegalalan bayar atau yang dinyatakan dalam Non Performing Financing
(NPF) ternyata lebih sedikit dari periode tahun 2006-2007, yakni hanya sebesar 3.95%, masih
dibawah batas ketentuan minimal sebesar 5 persen. Artinya bank syariah betul betul
menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan tidak mengabaikan
prinsip kehati-hatian. Selain itu juga, secara keseluruhan perbankan syariah relatif lebih sehat.
Tabel 1.3. Perbandingan Pangsa Perbankan Syariah Terhadap
Total Bank
Islamic
Bank(Des 08)
Total
Bank
Islamic
Bank(Des 09)
Total
Bank
Nominal Share Nominal Share
Total Asset 49,56 2.14% 2,310.60 66,09 2.61% 2,534.10
Deposit
Fund36,85 2.10% 1,753.30 52,27 2.65% 1,973.00
Credit
Financial
Extended
38,20 - - 46,88 - -
FDR/LDR 103.66% - - 89.70% - -
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009
Pada tabel 1.3 terlihat bahwa pangsa perbankan syariah meningkat jika dibandingkan dengan
tahun 2008 pada bulan yang sama, yaitu asset menjadi 2.61% meningkat sebesar 0.47% ,
Deposit Fund atau DPK juga mengalami pertumbuhan menjadi 2,02%, meningkat 0,24%. hal
ini menunjukkan kinerja dan potensi perbankan syariah mengalami perkembangan yang baik.
Realita Perkembangan Syariah di Indonesia
Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni
sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang
membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam
jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank
konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari
apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau
profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga
(interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional
adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat
multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank
Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan
pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip
murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.
Tulisan ini dibuat dengan tujuan utama untuk memberi pengantar bagi sejarah perkembangan
Bank Islam di Indonesia dengan pembahasan pokok menyangkut perkembangan teoritis,
kelembagaan dan hukum positif mengenai Perbankan Islam. Namun mengingat perbankan
Islam bukan merupakan fenomena khas Indonesia serta perkembangannya tidak mungkin
terjadi tanpa pengaruh dunia luar, maka bab sebelumnya akan membahas perkembangan
perbankan Islam secara umum di luar Indonesia dan secara internasional.
Perkembangan Perbankan Islam
Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan
Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat
anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak
lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan
membiayai operasinya.
Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan
gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat
disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem
Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan
pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la
Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) .
Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank.
Didirikan di Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi
dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank
dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah
Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah
pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena
persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun
1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank,
hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil.
Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun
1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua
bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula
pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House . Secara internasional, perkembangan
perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri
Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember
1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional
untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and
Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) .
Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan
bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan
maupun kerugian.
Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam
Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula
pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-
negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan
perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic
Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam .
Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan
sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang
mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan
pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang
Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic
Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua
negara anggota OKI .
Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir,
Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis
besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam
dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal
Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic
Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for
Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding
companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the
Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan),
Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).
Perbankan Islam di Indonesia
Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui
diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang
terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A
Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba,
gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di
Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai
gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank
Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha
menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi
masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan
berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun
1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil
lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di
Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja
pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI
dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang
terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat
Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991.
Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp
106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain
sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili
Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif
memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam
negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban
bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum
mendukung.
Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya
bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru
setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada
tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti
(BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang
syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di
Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah,
yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD
Aceh.
Hukum Perbankan Islam
Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank Islam baru dirintis sejak tahun 1940-an
dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya
baik secara teoritis maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian.
Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf
m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta
penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah
sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya
menyebutkan:
“menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.”
Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan
frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya
disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71
Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan
Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam
penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”.
Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam
atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan
bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan
Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank.
Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992,
keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka
seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan
hanya diberikan dalam hal :
1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya
kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan
Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula
Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang
melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas
produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip
Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan
Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi
peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum
mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini
dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan
dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk
mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk
penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang
berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank
Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan
Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang
diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi
yang bersifat perbankan konvensional.
Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat
berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober
1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya
sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di
kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau
perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu
choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang
mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan
kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No.
Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama
BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk
badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah
MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI.
Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan
syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus
Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di
dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional.
Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional”
beliau mengatakan sebagai berikut :
“Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah
perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan
“sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No.
14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri
dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”.
… Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum
keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum
ekonomi (bisnis).”
Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-
undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3
jo. angka 13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas
perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan
Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah
Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan
melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni :
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum,
khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang
Syariah;
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank
Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga
Peraturan Bank Indonesia, yakni :
1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah
Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
2. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau
pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan
3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(SWBI) , yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana
berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan
pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan
konvensional.
Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam
hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan
kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip
syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga
memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan
jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan
demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah
mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank
Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.
Tantangan Perbankan Syariah di Indonesia
Walaupun sudah ada dewan pengawas syariah yang memastikan kesesuaian bank tersebut
terhadap syariah, tidak dapat dipungkiri masih ada beberapa hal yang belum sesuai syariah,
seperti: ketika pinjaman yang diberikan kepada mudharib usahanya ada kemungkinan loss,
mudharib harus memberikan jaminan pengembalian kepada bank
sebagai intermediaries. Atau contoh pemberlakuan denda bagi mudharib yang lalai. Hal ini
tentu bersifat sangat logis untuk diberlakukan dalam perbankan syariah sekarang, mengingat
masyarakat sekarang yang moralnya tidak semulia masyarakat di zaman Rasulullah Saw.
Selain itu, hal-hal tersebut dilakukan juga tentunya untuk menjaga kestabilan dari bank
syariah tersebut Namun kedepannya, perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian lagi agar
pendekatan syariah makin tersempurnakan.
Pemenuhan kebutuhan SDM syariah
Seperti yang penulis ceritakan sebelumnya, kebutuhan SDM yang mengerti dan paham
mengenai perbankan syariah masih sangat minim. Setidaknya dibutuhkan 14.000 pekerja
untuk membantu meningkatkan pertumbuhan perbankan syariah terhadap pangsa pasar
keseluruhan. SDM yang memadai tentunya dapat menyokong cita-cita tersebut.
Inovasi produk perbankan syariah
Lambatnya perkembangan perbankan syariah dinilai karena kurang inovatif . Hal yang
mendasari pernyataan tersebut adalah kebanyakan produk di perbankan syariah masih
mengacu pada produk bank konvensional, yang membedakan ’hanya’ terkait riba. Bahkan
cenderung hanya mencontek dengan mengganti istilah yang berbeda untuk produk yang
sama
top related