pengertian pelestarian
Post on 01-Dec-2015
2.908 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian Pelestarian
Filosofi pelestarian didasarkan pada kecenderungan manusia untuk
melestarikan nilai-nilai budaya pada masa yang telah lewat namun memiliki arti
penting bagi generasi selanjutnya. Namun demikian tindakan pelestarian makin
menjadi kompleks jika dihadapkan pada kenyataan sebenarnya. Tindakan pelestarian
yang dimaksudkan guna menjaga karya seni sebagai kesaksian sejarah, kerap kali
berbenturan dengan kepentingan lain, khususnya dalam kegiatan pembangunan.
James Mastron (1982) mengungkapkan bahwa hal ini menggambarkan begitu
kompleksnya masalah yang ada dalam aktivitas pelestarian.
Lewat kajian historis terhadap peristiwa-peristiwa penting di masa lampau,
kita yang hidup sekarang bisa mempelajari pola tingkah laku (behavioral patterns)
manusia dan menganalisisnya demi kepentingan hidup kita sekarang dan masa-masa
selanjutnya. Sejarah eksistensi sebuah peradaban tidak hanya dapat ditelusuri lewat
historiografi ataupun catatan aktivitas pejuangan masyarakatnya. Selain misalnya
memerinci kajian geologis, masih banyak saksi bisu lainnya yang bisa menceritakan
perjalanan masa lalu sebuah kota, terutama ketika kota tersebut mengalami masa
kejayaan. Salah satu dari saksi bisu itu adalah bangunan-bangunan tua, yang banyak
di antaranya menyimpan catatan sejarah autentik.
Pelestarian secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu usaha atau kegiatan
untuk merawat, melindungi dan mengembangkan objek pelestarian yang memiliki
nilai guna untuk dilestarikan. Namun sejauh ini belum terdapat pengertian yang baku
yang disepakati bersama. Berbagai pengertian dan istilah pelestarian coba
diungkapkan oleh para ahli perkotaan dalam melihat permasalahan yang timbul
berdasarkan konsep dan persepsi tersendiri. Berikut pernyataan para ahli :
12
1. Nia Kurmasih Pontoh (1992:36), mengemukakan bahwa konsep awal
pelestarian adalah konservasi, yaitu upaya melestarikan dan melindungi
sekaligus memanfaatkan sumber daya suatu tempat dengan adaptasi terhadap
fungsi baru, tanpa menghilangkan makna kehidupan budaya.
2. Eko budihardjo (1994:22), upaya preservasi mengandung arti
mempertahankan peninggalan arsitektur dan lingkungan tradisional/kuno
persis seperti keadaan asli semula. Karena sifat prservasi yang stastis, upaya
pelestarian memerlukan pula pendekatan konservasi yang dinamis, tidak hanya
mencakup bangunannya saja tetapi juga lingkungannya (conservation areas)
dan bahkan kota bersejarah (histories towns). Dengan pendekatan konservasi,
berbagai kegiatan dapat dilakukan, menilai dari inventarisasi bangunan
bersejarah kolonial maupun tradisional, upaya pemugaran (restorasi),
rehabilitasi, rekonstruksi, sampai dengan revitalisasi yaitu memberikan nafas
kehidupan baru.
3. Dalam Piagam Burra Tahun 1981 (Sumargo, 1990), disepakati istilah
konservasi sebagai istilah bagi semua kegiatan pelestarian, yaitu segenap
proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultral yang dikandungnya
terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi segala kegiatan
pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dapat pula
mencakup preservasi, restorasi, rekontruksi, adaptasi dan revitalisasi.
4. Mundardjito (2002) : Terbentuknya suatu kota dalam banyak sisi dapat
dilihat sebagai suatu produk dari perkembangan kebudayaan di dalamnya
terdapat perwujudan ideologi sosial serta perkembangan teknologi yang
membantu mengkonstruksikan suatu daerah menjadi kota yang kita kenal kini.
Artinya, terbentuknya kota sedikit banyak berdasarkan atas pengetahuan,
norma, kepercayaan dan nilai-nilai budaya dari masyarakatnya di masa lalu.
13
2.2 Manfaat Pelestarian
Sebagaimana telah digariskan dalam Undang Undang Republik Indonesia No.
5 Tahun 1992, perlindungan terhadap benda cagar budaya dan situs, bertujuan
melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional
Indonesia, mengingat bahwa benda cagar budaya memiliki arti penting bagi
pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Pelestarian bangunan bersejarah juga merupakan suatu pendekatan yang strategis
dalam pembangunan kota, karena pelestarian menjamin kesinambungan nilai-nilai
kehidupan dalam proses pembangunan yang dilakukan manusia. Manfaat pelestarian
juga dikemukakan oleh beberapa ahli di bidang pelestarian di antaranya :
a. Menurut Budihardjo dalam Thamrin (1988 : 11), terdapat beberapa manfaat
yang dapat diperoleh dari pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah di
antaranya :
1. Pelestarian memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat untuk
kontinuitas, memberi kaitan yang berarti dengan masa lalu, serta memberi
pilihan untuk tinggal dan bekerja di samping lingkungan modern.
2. Pada saat perubahan dan pertumbuhan terjadi secara cepat seperti sekarang,
kelestarian lingkungan lama memberi suasana permanen yang menyegarkan.
3. Pelestarian memberi keamanan psikologis bagi seseorang untuk dapat melihat
menyentuh dan merasakan bukti-bukti fisik sejarah.
4. Kelestarian mewariskan arsitektur, menyediakan catatan historis tentang masa
lalu dan melambangkan keterbatasan masa hidup manusia.
5. Kelestarian lingkungan lama adalah salah satu aset komersial dalam kegiatan
wisata internasional.
6. Dengan dilestarikannya warisan yang berharga dalam keadaan baik maka
generasi yang akan datang dapat belajar dari warisan-warisan tersebut dan
menghargainya sebagaimana yang dilakukan pendahulunya.
b. Menurut Shirvani (1985:44-45) terdapat beberapa manfaat yang dapat
diperoleh dari pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah di antaranya :
1. Manfaat kebudayaan yaitu sumber-sumber sejarah yang dilestarikan dapat
menjadi sumber pendidikan dan memperkaya estetika.
14
2. Manfaat ekonomi yaitu adanya peningkatan nilai property, peningkatan pada
penjualan ritel dan sewa komersil, penanggulangan biaya-biaya relokasi dan
peningkatan pada penerima pajak serta pendapatan dari sektor pariwisata.
3. Manfaat sosial dan perencanaan, karena upaya pelestarian dapat menjadi
kekuatan yang tepat dalam memulihkan kepercayaan masyarakat.
c. Menurut (Gufron, 1994:21), manfaat pelestarian diantaranya :
1. Warisan sejarah yang mengganbarkan kebesaran atau peristiwa yang terjadi di
zamannya.
2. Memperkaya seni budaya setempat dan nasional, yang dapat menggambarkan
jati diri bangsa.
3. Sebagai bukti kelengkapan sejarah perkembangan arsitektur di kota tersebut.
4. Merupakan hasil prestasi sejarah arsitektur di kota tersebut.
5. Sebagai bahan kajian yang sangat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, terutama
yang menyangkut masalah perkotaan.
6. Merupakan bukti hasil prestasi sejarah penataan kota di kota tersebut.
7. Adanya bangunan bersejarah dengan bentuk arsitektur yang unik dan menarik
dapat dijadikan studi perbandingan oleh para arsitek dan perencana kota dalam
mendesain bangunan dan menata lingkungannya.
8. Tetap terjaganya keutuhan elemen pembentuk citra dan estetika kota tersebut.
9. Sebagai orientasi lokasi yang jelas bagi masyarakat sehingga mereka
mengetahui di bagian mana mereka berada.
10. Pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah dapat dijadikan paket wisata
bagi turis asing dan lokal yang ingin mengenang peristiwa masa lalu.
Pelaksanaan upaya pelestarian bangunan bersejarah di beberapa negara telah
menunjukan hasil yang tidak terlalu mengecewakan. Banyak negara-negara Eropa
yang merasakan keuntungan dari upaya pelestarian dengan mendapat tambahan
pendapatan dari sektor pariwisata disamping terjaganya kesinambungan peninggalan
sejarah elemen-elemen pembentuk citra dan estetika kota-kotanya.
2.3 Masalah Pelestarian
15
Dalam pelaksanaan pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah, selain
terdapat manfaatnya ada juga berbagai masalah yang di hadapi. Beberapa masalah
diantaranya:
:Pelestarian sering dianggap penghambat perubahan dan kemajuan baik dari
segi material maupun imajinasi.
Di Inggris pelestarian dianggap menimbulkan destorsi terhadap situasi pasar
sehingga mengurangi probabilitas kepentingan umum.
Para developer dan ekonom memandang pelestarian sebagai suatu yang
menghambat pertumbuhan alam dan perubahan dari suatu daerah kehidupan
modern.
Menurut Iskandar dalam tulisannya “Problem Pelestarian Warisan Budaya“
(Konstruksi, Mei 1996) mengemukakan beberapa masalah dalam pelestarian warisan
budaya yang dapat diidentifikasi diantaranya :
1. Masalah Historis
Secara historis, upaya pelestarian bangunan hanya dianggap sebagai pekerjaan
arkeolog dan tidak berkontribusi bagi pembangunan masa depan. Dalam kultur
modern yang beriorentasi ke masa depan, maka memelihara warisan sejarah
hanya dianggap pemborosan. Padahal, warisan arsitektur lama adalah sumber
ilham bagi ilmu pengetahuan untuk kini dan masa depan yang berkarakter dan
jati diri yang khas serta selaras dengan lingkungan kultural maupun fisiknya.
2. Masalah Sosial dan Budaya
Cara berpikir tentang pelestarian bangunan yang sempit dan naïf, kadang-
kadang diakibatkan oleh prasangka negatif dalam aspek sosial budaya atau
bahkan religi. Sebagai contoh, konservasi bangunan kolonial dinilai
merendahkan martabat bangsa karena mengingat bahwa kita pernah dijajah.
3. Masalah Ekonomi
Pelestarian bangunan bersejarah dianggap tidak efektif terhadap anggaran
yang dikeluarkaan dan terlihat mewah, sejarah dianggap masa lalu yang tidak
memiliki makna apa-apa.
4. Masalah Teknologi dan Sumber Daya
16
Pelestarian bangunan khususnya untuk bangunan-bangunan monumental yang
sudah tua membutuhkan anggaran dan teknologi yang tinggi. Upaya
pelestarian bangunan bersejarah seolah berbenturan dengan orientasi mencari
keuntungan ekonomi.
5. Masalah Hukum dan Peraturan Pemerintah
Meskipun sudah ada peraturan menyangkut pelestarian lingkungan dan
bangunan bersejarah, namun masih terdapat kelemahan pada faktor lingkup,
sanksi, pengawasan dan evaluasinya. Banyaknya pelanggaran terjadi dan
peraturan serta sanksinya tidak memadai atau tidak dilaksanakan sebagaimana
mestinya untuk menangani pelanggaran itu.
2.4 Kriteria Pelestarian
Dalam menentukan apakah suatu bangunan, artefak, situs, kawasan, dan benda
bersejarah lainnya termasuk dalam obyek yang perlu dilestarikan, digunakan kriteria-
kriteria pelestarian. Berikut terdapat kriteria-kriteria pelestarian diantaranya :
2.4.1 Kriteria Umum
1. Estetika Bangunan
Istilah estetika dapat digunakan untuk mengganti pengertian indah, bagus ,
menarik atau mempesona (Lubis, 1990 : 96). Penilaian estetika suatu bangunan sangat
tergantung dari perasaan, pikiran, pengaruh lingkugan dan norma yang bekerja pada
diri pengamat. Estetika suatu bangunan sangat terkait erat dengan penampilan
bangunan, wajah bangunan dan tampak bangunan yang kita lihat dengan mata
sebelum dirasakan kesan estetisnya dalam perasaan. Dalam menilai estetika suatu
bangunan.
2. Contoh dari gaya/langgam arsitekutur tertentu (kejamakan)
Kejamakan suatu bangunan dinilai dari seberapa jauh karya arsitetur tersebut
mewakili suatu ragam atau jenis khusus yang spesifik, mewakili kurun waktu
sekurang-kurangnya 50 tahun. Dalam hal ini ragam/lagam yang spesifik yang pada
arsitektur bangunan-bangunan bersejarah (Ellisa, 1996) :
17
Langgam arsitektur Klasik/Kolonial (Neoklasik/ Art Deco/ Gothic/
Renaisans/ Romanik.
Langgam arsitektur Kolonial tropis (langgam arsitektur Klasik yang telah
diadaptasi dengan iklim tropis di Indonesia).
Langgam arsitektur Eklektik/Indisch Style (langgam arsitektur
Klasik/Kolonial tropis yang mengandung unsur tradisional Melayu atau
daerah lainnya di Indonesia).
Langgam arsitektur campuran (Klasik/Kolonial dengan Cina, Islam, atau
India, atau campuran diantaranya)
3. Kelangkaan
Kriteria kelangkaan menyangkut jumlah dari jenis bangunan peninggalan
sejarah dari langgam tertentu. Tolak ukur kelangkaan yang digunakan adalah
bangunan dengan langgam arsitektur yang masih asli sesuai dengan asalnya. Yang
termasuk kategori langgam arsitektur yang masih asli (Ellisa, 1996) :
1. Langgam arsitektur Klasik/Kolonial (Neoklasik/ Art Deco/ Gothic/
Renaisans/Romanik.
2. Langgam arsitektur Cina
3. Langgam arsitektur melayu
4. Langgam arsitektur India
5. Langgam arsitektur Malaka (Melayu-Cina)
6. Langgam arsitektur Islam
4. Keistimewaan/Keluarbiasaan
Tolak ukur yang digunakan untuk menilai keitimewaan/keluarbiasaan suatu
bangunan adalah bangunan yang memiliki sifat keistimewaan tertentu sehingga
memberikan kesan monumental, atau merupakan bangunan yang pertama didirikan
untuk fungsi tertentu (misalnya Mesjid pertama, Gereja pertama, Sekolah pertama,
dll).
Kesan monumental suatu bangunan dinilai dari skala monumental yang
dimiliki bangunan tersebut. Pengertian skala dalam arsitektur adalah suatu kualitas
yang menghubungkan banguna atau ruang dengan kemampuan manusia dalam
memahami bangunan atau ruang tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan skala
18
menumental adalah suatu skala ruang yang besar dengan suatu obyeknya yang
mempunyai nilai tertentu, sehingga manusia akan merasakan keagungan dalam
ruangan. Dengan melihat bangunan yang memiliki skala menumental diharapkan
pengamat akan merasa terkesan (impressed) dan kagum, tetapi bukannya merasa takut
karena merasa kecil dan rapuh.
5 Peranan sejarah
Tolak ukur yang digunakan untuk menilai bangunan yang memilki peranan
sejarah adalah :
Bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan masa lalu kota dan bangsa,
merupakan suatu peristiwa sejarah, baik sejarah Kota Bandung, sejarah
Nasional, maupun sejarah perkembangan kota .
Bangunan atau lokasi yang berhubungan dengan orang terkenal atau tokoh
penting.
Bangunan hasil pekerjaan seorang arsitek tertentu, dalam hal ini arsitek yang
berperan dalam perkembangan arsitektur di Indonesia pada masa Kolonial.
6. Penguat kawasan disekitarnya
Tolak ukur yang digunakan adalah bangunan yang menjadi landmark bagi
lingkungannya, dimana kehadiran bangunan tersebut dapat meningkatkan
mutu/kualitas dan citra lingkungan sekitarnya. Beberapa keadaan yang dapat
memudahkan pengenalan terhadap suatu bangunan sehingga dapat menjadi ciri dari
suatu landmark antara lain adalah (lynch, 1992 : 79-83) :
Bangunan yang terletak disuatu tempat yang strategis dari segi visual, yaitu di
persimpangan jalan utama atau pada posisi “tusuk sate” dari suatu pertigaan
jalan.
Bentuknya istimewa karena besarnya, panjangnya, keindahannya,
ketinggiannya, atau karena keunikan bentuk.
Jenis penggunaannya, semakin banyak orang yang menggunakannya maka
akan semakin mudah pula pengenalan terhadapnya.
Sejarah perkembangannya yaitu semakin besar peristiwa sejarah yang terkait
terhadapnya maka semakin mudah pula pengenalan terhadapnya.
19
2.4.2 Kriteria Menurut Para Ahli
1. Menurut Catanese (dalam Pontoh, 1992 : 36), kriteria yang perlu
diperhatikan dalam menentukan obyek pelestarian mencakup :
1. Estetika : berkaitan dengan nilai arsitektural, meliputi bentuk, gaya, struktur,
tata kota, mewakili prestasi khusus atau gaya sejarah tertentu.
2. Kejamakan : obyek yang akan dilestarikan mewakili kelas dan jenis khusus.
Tolak ukur kejamakan ditentukan oleh bentuk suatu ragam atau jenis khusus
yang spesifik.
3. Kelangkaan : kelangkaan suatu jenis karya yang merupakan sisa warisan
peninggalan terahir dari gaya tertentu yang mewakili jamannya dan tidak
dimiliki daerah lain.
4. Keluarbiasaan : suatu obyek konservasi yang memiliki bentuk menonjol,
tinggi dan besar. Keistimewan memberi tanda atau ciri kawasan tertentu.
5. Peranan sejarah : lingkungan kota atau bangunan yang memiliki nilai sejarah,
suatu peristiwa yang mencatat peran ikatan simbolis suatu rangkaian sejarah,
dan babak perkembangan suatu kota.
6. Memperkuat kawasan : kehadiran suatu obyek atau karya akan mempengaruhi
kawasan-kawasan sekitarnya dan bermakna untuk meningkatkan mutu dan
citra lingkungannya.
2. Menurut Haryoto Kunto dalam buku "Wajah Bandoeng Tempo Doloe"
1. Sesuai dengan "Monumenten Ondonantie" tahun 1931, yaitu bangunan yang
sudah berumur 50 tahun atau lebih, yang "kekunoannya" (antiquity) dan
"keasliannya" telah teruji.
2. Ditinjau dari segi estetika dan seni bangunan, memiliki "mutu" cukup tinggi
(master piece) dan mewakili gaya corak-bentuk seni arsitektur yang langka.
3. Bangunan atau monumen, yang representetif mewakili jamannya.
4. Monumen/Bangunan mempunyai anti dan kaitan sejarah dengan Kota
Bandung, maupun peristiwa nasional/internasional.
3. Snyder dan Catanese (1979)
20
Sebagai pengkajian suatu kawasan/bangunan kuno/bersejarah guna
dikonservasi memiliki 6 (enam) tolak ukur yaitu dilihat dari segi :
1. Kelangkaan (karya sangat langka, tidak memiliki oleh daerah lain).
2. Kesejarahan (lokasi Peristiwa bersejarah yang penting), Estetika (memiliki
keindahan bentuk, struktur, atau ornament).
3. Superlativitas (tertua, tertinggi, terpanjang), Kejamakan (karya yang tipikal,
mewakili suatu jenis atau ragam bangunan tertentu).
4. Kualitas Pengaruh (keberadaannya akan meningkatkan citra lingkungan
sekitarnya).
4. Pontoh (1992 :37)
Kriteria dalam memperimbangkan obyek yang akan dikonservasi dapat pula
dikategorikan sebagai berikut
1. Nilai (value) dari obyek, mencakup nilai estetik yang didasarkan
pada kualitas bentuk maupun detilnya. Suatu obyek yang unik dan karya yang
mewakili gaya zaman tertentu, dapat digunkan sebagai contoh suatu obyek
konservasi.
2. Fungsi obyek dalam lingkungan kota, berkaitan dengan kualitas
lingkungan secara menyeluruh, obyek merupakan bagian dari kawasan
bersejarah dan sangat berharga bagi kota. Obyek juga merupakan tengeran
(landmark) yang memperkuat karakter kota yang memiliki keterkaitan
emosional dengan warga setempat.
3. Fungsi lingkungan dan budaya : penetapan kriteria konservasi tidak
terlepas dari keunikan pola hidup suatu lingkungan social tertentu yang
memiliki tradisi kuat. Sesuatu obyek akan berkaitan erat dengan fase
perkembangan wujud budaya tersebut.
Untuk skala yang lebih luas, yaitu bagian kota atau wilayah, kriteria yang
dapat digunakan untuk menentukan obyek pelestarian adalah (Pontoh, 1992 : 37) :
1. Kriteria Arsitektural : suatu kota atau kawasan yang akan dipreservasikan atau
konservasikan memiliki kriteria kualitas arsitektur yang tinggi, disamping
21
memiliki proses pembentukan waktu yang lama atau keteraturan dan
kebanggaan (elegance).
2. Kriteria Historis : kawasan yang dikonservasikan memiliki nilai historis dan
kelangkaan yang memberikan inspirasi dan referensi bagi kehadiran bangunan
baru, meningkatkan vitalitas bahkan menghidupkan kembali keberadaannya
yang memudar.
3. Kriteria Simbolis : kawasan yang memiliki makna simbolis paling efektif bagi
pembentukan citra suatu kota.
5. Attoe (dalam Catanese & Snyder 1992 : 423-424)
Perbedaan kualitas dan tingkat pentingnya dalam menentukan obyek
pelestarian didasarkan pada lima pertimbangan sebagai berikut :
1. Karena dianggap yang pertama : bangunan yang dianggap sebagai bangunan
yang pertama dibangun, misalnya gereja pertama, bangunan bertingkat
pertama, dan lain-lain.
2. Karena menurut sejarah patut diperhatikan : bangunan yang memiliki kaitan
dengan peristiwa atau tokoh sejarah tertentu.
3. Karena patut dicontoh : bangunan yang merupakan hasil karya besar dengan
prestasi khusus untuk golongannya dan karena keistimewaannya ini patut
dicontoh.
4. Karena tipikal : bangunan yang melambangkan tradisi kebudayaan, yaitu
mencerminkan kedaan sebenarnya, cara kehidupan dan cara melakukan
sesuatu pada sesuatu tempat dan suatu waktu tertentu.
5. Karena langka : bangunan yang unik dan langka dan merupakan warisan
terahir dari suau tipe bangunan.
2.5 Lingkup Kegiatan Pelestarian
Lingkup kegiatan pelestarian mencakup objek-objek yang dianggap sesuatu
yang patut dijaga karena terdapat nilai-nilai ilmu pengetahuan dan manfaat lain bagi
22
kehidupan umat manusia sehingga ditetapkan sebagai objek pelestarian. Berikut
lingkup kegiatan pelestarian diantara :
1. Lingkungan alami (Natural Area) ; daerah pesisir, daerah pertanian hutan,
daerah archeologis dan lain-lain.
2. Kota dan Desa (Town and Villages) seperti Williamsburg, Deerfield, dan
Nantucket di USA atau west Wycmbe dan Lacock di Inggris.
3. Garis cakrawala dan koridor pandang (Skylines and View Corridor) seperti
pengendalian terhadap ketinggian bangunan dan pengarahan pandangan
terhadap ‘view’ dan ‘vista’ yang baik.
4. Kawasan (Districts) seperti kawasan yang mewakili gaya tradisi tertentu yang
dilindungi terhadap kehancuran dan penambahan figure-figur baru.
5. Wajah jalan (Street-Scapes) seperti pelestarian fasade bangunan-bangunan dan
perlengkapan jalan.
6. Bangunan (Buildings) merupakan obyek pelestarian yang paling tua dan paling
lazim.
7. Benda dan penggalan seperti puing-puing akibat ledakan, bagian tembok kota,
fasade bangunan, trem listrik, kereta kabel, dan sebagainya.
Attoe (1986), mengklasifikasikan objek pelestarian secara lebih bervariasi.
Lingkup pelestarian tidak hanya terbatas pada bangunan, melainkan mencakup :
1. Lingkungan alami seperti kawasan pesisir, kehutanan, kawasan
arkeologi dan sebagainya.
2. Kota dan desa
3. Garis langit (sky line) dan koridor pandang (view corridor).
4. Kawasan yang mewakili gaya tradisi tertentu dan patut dilindungi.
5. Wajah jalan (streetscape) seperti pelestarian fasade bangunan dan
kelengkapan jalan.
6. Bangunan tua yang memenuhi kriteria untuk dilestarikan.
7. Benda seperti puing sejarah, trem listrik, kereta kabel dan sebagainya
yang memiliki arti penting.
23
top related