pengaruh sistem penentuan nilai harta...
Post on 07-Sep-2018
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGARUH SISTEM PENENTUAN NILAI HARTA WARISAN DALAM
PEMBAGIAN WARISAN ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KECAMATAN
TEBET JAKARTA SELATAN
Oleh Taqwalloh
NIM : 101044222209
Program Studi Ahwal Syakhsiyyah / Administrasi Keperdataan Islam
Fakultas syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri ( UIN )
Syarif Hidayatullah
Jakarta
1431 H / 2010 M
PENGARUH SISTEM PENENTUAN NILAI HARTA WARISAN DALAM
PEMBAGIAN WARISAN ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KECAMATAN
TEBET JAKARTA SELATAN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hudayatullah Jakarta
Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Sarjana Syariah ( S.Sy )
Oleh :
Taqwalah
NIM : 101044222209
Pembimbing :
Drs.H.Hamid Farihi,M.A.
NIP : 195811191986031001
Program Studi Ahwal Syakhsiyyah / Administrasi Keperdataan Islam
Fakultas syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri ( UIN )
Syarif Hidayatullah
Jakarta
1431 H / 2010 M
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Almarhum Bapakku
Almarhumah Ibuku
Kakak-kakakku dan adikku
Keponakan-kaponakanku
Merekalah yang telah mengajariku arti “ semangat hidup”
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Almarhum Bapakku
Almarhumah Ibuku
Kakak-kakakku dan adikku
Keponakan-kaponakanku
Merekalah yang telah mengajariku arti “ semangat hidup”
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt, Tuhan semesta alam. Sholawat dan
salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, pembawa risalah
kedamaian.
Dengan selesainya penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun spiritual. Merekalah yang
telah berjasa mengajar, mendidik, memberikan inspirasi, dan semangat hidup kepada
penulis.
Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, MA, SH, MM, selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Drs. H.
A. Basiq Djalil, SH, MA, selaku ketua program studi Ahwal Syahsiyyah / Administrasi
Keperdataan Islam, Bapak Kamarusdiana, Sag, MH, selaku sekretaris program studi
Ahwal Syahsiyyah / Administrasi Keperdataan Islam yang telah membantu penulis
menyelesaikan tugas akademik, juga kepada seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
yang telah mengajar dengan penuh semangat sehingga penulis mampu “sedikit”
mengenal seputar hukum syariah.
Bapak Drs. H. Hamid Farihi, MA, selaku Dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu serta memberikan arahan dan saran-saran yang membangun bagi
penulis dalam menyusun skripsi ini.
Kepada seluruh staf perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik, khusunya kepada ibu
Yanti staf program studi Ahwal Syahsiyyah yang banyak membantu penulis dalam
melengkapi data-data dengan sangat tulus.
iv
Persembahan terbesar dan terimakasih tak terhingga untuk keluarga tercinta, Ibu
Bapakku yang telah berpulang kerahmatullah, semoga Allah menempatkan keduanya
ditempat yang layak disisiNya, kakak-kakak, adik, kedua keponakanku atas semua
dorongan dan do’a.
Keluarga besar Mayang production, group Kapak Merah, Mas Slamet Bagio, serta
teman-teman seperjuangan di SAS/AKI yang tidak henti-hentinya memberi motivasi dan
informasi, terimakasih atas partisipasinya.
Demikian
Penulis
Jakarta, 30 Agustus 2010
v
1
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i
LEMBAR PERSEMBAHAN .................................................................................. ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii
KATA PENGANTAR.............................................................................................. iv
DAFTAR ISI............................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1
B. Pembatasan dan perumusan masalah .................................................. 5
C. Tujuan dan kegunaan penelitian ......................................................... 6
D. Metodologi penelitian ......................................................................... 6
E. Sistematika penulisan.......................................................................... 8
BAB II SISTEM PENILAIAN, KEWARISAN DAN PERTANAHAN DI
INDONESIA
A. Sistem penilaian tanah dan bangunan di Indonesia .............................
B. Hukum kewarisan di Indonesia............................................................
C. Hukum tanah di Indonesia ...................................................................
BAB III GAMBARAN UMUM PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
(PPAT) DI KECAMATAN TEBET
A. Letak geografis kecamatan Tebet ....................................................... 10
B. Sejarah dan perkembangan PPAT....................................................... 20
C. Struktur organisasai dan kewenangan PPAT...................................... 58
BAB IV PEMBAGIAN WARISAN ATAS TANAH DAN ATAU
BANGUNAN STUDI KASUS MASYARAKAT DI WILAYAH
KECAMATAN TEBET
2
A. Pembagian warisan atas tanah dan bangunan menurut tradisi
masyarakat di kecamatan Tebet .......................................................... 90
B. Wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam kaitannya
dengan pembagian harta warisan atas tanah dan atau bangunan yang
diperjual belikan.................................................................................. 97
C. Instansi atau pejabat yang berhak menentukan nilai harga atas tanah
dan atau bangunan............................................................................... 102
D. Sistem penentuan nilai harga atas tanah dan atau bangunan yang
akan di waris ....................................................................................... 112
E. Penentuan nilai harga terhadap pembagian warisan atas tanah dan
bangunan menurut tradisi masyarakat Tebet ...................................... 114
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 118
B. Saran-saran.......................................................................................... 120
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 122
Lampiran I
Lampiran II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan umatnya. Semua
pemeluk agama Islam sepenuhnya meyakini bahwa Islam adalah agama yang
rahmatan lil ‘alamin. Dasar teologis ini memberikan pemaknaan bahwa Islam
meliputi semua dimensi kehidupan manusia, dari yang berskala duniawi hingga
ukhrowi, dari yang bertalian dengan Allah ataupun sesama manusia. Bahkan cakupan
hukum yang berkaitan dengan pola hubungan antar manusia memiliki porsi yang jauh
lebih besar. Di dalamnya tercakup pola-pola hukum seputar muamalah atau pula
hudud. Di antara norma hukum yang melatarbelakangi penulisan ini adalah masalah
mawaris atau faraid, sebagai bagian dari hukum keluarga yang pelaksanaannya
tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)1 serta dijadikan dasar hukum oleh
Pengadilan Agama di Indonesia.
Sebelum datang agama Islam, hukum kewarisan sudah dikenal dan dilakukan
oleh masyarakat jahiliyah dengan sistem sosial yang dianut oleh masyarakat yang ada
1 H. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004), hal. 12
1
dengan seperangkat aturan yang didominasi oleh laki-laki dewasa dan kuat, sehingga
kaum perempuan, anak-anak baik laki-laki maupun perempuan tidak mendapatkan
bagian warisan.2 Namun setelah datangnya Islam sebagai pedoman sekaligus
pencerahan bagi umat manusia, tata aturan hukum yang bersifat diskriminatif ini
setahap demi setahap mulai diperbaiki oleh syari’at Islam, sekaligus mengubah
perilaku jahiliyah yang mengebiri hak-hak manusia lain, sampai disempurnakannya
hukum Islam melalui wahyu terakhir yang diterima Nabi Muhammad pada saat haji
wada’.
Dari deskripsi di atas terlihat bahwa Islam sangat menghargai hak-hak setiap
umatnya, bahkan bayi yang masih di dalam kandungan pun diperhitungkan hak
warisnya. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., yang artinya,
apabila bayi yang dilahirkan itu berteriak, maka ia diberi bagian warisan, (Riwayat
Ashab al-Sunan),
Di sini penulis mencoba mengkorelasikan sistematika aturan hukum tentang
kewarisan menurut syariat Islam dengan sistem aturan hukum yang berlaku di
Indonesia, khususnya dalam hal pembagian warisan atas barang tidak bergerak yakni
tanah dan atau bangunan oleh masyarakat muslim di kecamatan Tebet Jakarta
Selatan, di mana jika ahli warisnya hanya satu orang, maka hal ini tidak akan
menimbulkan suatu permasalahan, namun jika ahli warisnya lebih dari satu orang dan
harta warisannya dalam hal ini tanah dan atau bangunan berada pada tempat yang
berlainan maka akan menimbulkan masalah atau sengketa, sebab harta yang akan 2 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris edisi revisi, Cet.ke-4 (Jakarta:PT RajaGrafindo, 2001) hal.8
2
dibagi adalah harta tidak bergerak serta memungkinkan memiliki nilai jual yang
berbeda, sebagaimana ungkapan Von Thunnen yang menyatakan bahwa perbedaan
sewa tanah disebabkan adanya perbedaan lokasi tanah terhadap pusat pasar.3 apalagi
jika di antara para ahli waris menganut sistem pembagian yang berlainan, sebab
walaupun sebagian besar masyarakat Indonesia beragama Islam, persoalan
keberadaan hokum adat di Indonesia yang telah “terlanjur” dianggap mengakar, akan
semakin sulit untuk memilih hokum waris Islam sebagai alternative. Ia terlahir sendiri
akibat adanya hubungan – hubungan hidup bersama dalam masyarakat yang secara
sosiologis telah lama melembaga.4
Hal inilah yang menjadikan permasalahan, mengapa homogenitas hukum
keluarga di Indonesia susah diwujudkan, bahkan dalam masyarakat yang seagama
sekalipun, terbukti dengan adanya orang Islam Indonesia yang cenderung membawa
permasalahan hukum keluarga ke dalam wilayah Pengadilan Umum. Dari deskripsi
ini, perlu dicari alternatif yang tepat untuk menyelesaikan masalah kewarisan dalam
bentuk barang tidak bergerak berupa tanah dan atau bangunan.
Di sini penulis akan mendeskripsikan sejauh mana pengaruh sistem penentuan
nilai harta warisan dalam bentuk tanah dan bangunan terhadap pembagian warisan
yang lebih efektif dan berkeadilan menurut syariat Islam, khususnya di wilayah
kecamatan Tebet Jakarta Selatan dan adakah peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah
3 Barlowe, R, Land Resourse Economic, (Prentice Hall Englewood Cliffs, New Jersey, 1972), page 167 4 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997). Hal 21
3
(PPAT) kecamatan, serta sejauh mana kewenangan PPAT dalam hal ini, dan adakah
lembaga diluar PPAT yang bersifat independen yang mempunyai kewenangan dalam
menentukan nilai harta tidak bergerak berupa tanah dan atau bangunan, agar dalam
menentukan nilai harga atas tanah dan atau bangunan yanag akan diwaris lebih akurat
dan efisien sesuai standar nasional.
Hipotesa inilah yang menjadikan kerangka berfikir penulis dalam menyusun
penulisan ini. Selain itu penulis juga akan mendeskripsikan sistem hukum kewarisan
di Indonesia yang berlainan sistematika dan redaksinya. Seperti sistem hukum Islam
yang mengklasifikasikan ahli waris berdasarkan keturunan atau nasab dan hubungan
perkawinan5 serta ketentuan masing-masing ahli waris telah di tentukan kadarnya
berdasarkan al-Qur’an sebagai sumber hukumnya. Lain halnya dengan sistem hukum
adat dengan aturan mainnya didasarkan pada ketentuan yang telah disepakati oleh
masyarakat setempat, karena masng-masing daerah memiliki aturan yang berbeda,
seperti hukum adat Jawa berbeda dengan hukum adat Minangkabau, dan juga sistem
hukum Barat dengan sistem pembagiannya didasarkan pada BW.
Setelah diketahui pengaruh serta efek dari sistem penentuan nilai harga atas
tanah dan atau bangunan sebagai harta warisan, penulis berharap masyarakat tidak
mengalami kesulitan dalam menentukan nilai harta tidak bergerak yang akan dibagi
secara waris dan tidak salah menunjuk orang atau instansi untuk menilai harta
peninggalan keluarganya untuk segera dibagikan kepada para ahli warisnya dengan
sistem pembagian yang telah disepakati oleh para ahli waris, sebab di Indonesia ada 5 Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 59
4
tiga sistem pembagian warisan yaitu sistem hukum Islam, sistem hukum adat, dan
sistem hukum BW. Serta masyarakat mengetahui bagaimana tata cara mendapatkan
akta otentik berupa Akta Jual Beli (AJB) dari harta warisan yang telah dilelang
kepada orang lain dihadapan PPAT agar memiliki kekuatan hukum sebab secara
administratif telah berpindah kepemilikannya.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.
Studi ini akan membatasi kajian tentang pengaruh sistem penilaian terhadap
obyek warisan berupa harta tidak bergerak dalam hal ini tanah dan atau bangunan
terhadap pembagian warisan khususnya masyarakat muslim, yang diharapkan mampu
memenuhi rasa keadilan di antara para ahli waris diwilayah kecamatan Tebet Jakarta
Selatan.
Untuk lebih memfokuskan kajian ini, penulis membatasi studi ini dengan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana cara masyarakat muslim Tebet membagi harta warisan berupa
tanah dan atau bangunan dengan jumlah ahli waris lebih dari satu orang dan
harta warisannya berada di beberapa tempat terpisah.
2. Apa peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) jika pembagian harta
tersebut di atas dibagi dengan cara menjual terlebih dahulu kepada orang lain.
3. Perlukah lembaga atau instansi yang bersifat independen dilibatkan untuk
menilai harta warisan dalam bentuk tanah dan atau bangunan tersebut.
5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Melakukan studi deskriptif terhadap sistematika pembagian warisan menurut
syariat Islam diwilayah kecamatan Tebet.
2. Melihat peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam rangka
pembuatan akta otentik berupa Akta Jual Beli (AJB) atas pembagian harta
warisan berupa tanah dan atau bangunan yang diperjual-belikan oleh para ahli
waris.
3. Mencari solusi atas sengketa penentuan nilai harta waris berupa tanah dan
atau bangunan di wilayah kecamatan Tebet Jakarta Selatan.
D. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, karena
penelitian kualitatif selalu berorientasi pada penemuan konsep-konsep atau
temuan evaluasi yang baru
2. Unit analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah para ahli yang mengerti dan
memahami tentang kebijakan dan implementasi hukum di bidang kewarisan
dan pertanahan. Sementara unit analisis teoritiknya adalah konsep-konsep
yang dikemukakan dalam rumusan permasalahan dan konseptualisasi di atas.
3. Tipe Penelitian
6
Penelitian ini bersifat descriptive-explanatory. Tipe penelitian ini bermaksud
melakukan pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dengan tujuan
untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual
dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan-hubungan antar
konsep yang diteliti.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penilitian ini adalah wawancara, observasi
dan kajian pustaka.
Wawancara; untuk mendapatkan informasi, peneliti akan melakukan
wawancara mendalam (depth interview), berbentuk terbuka, dan tidak
berstruktur (unstructured). Teknik ini dimaksudkan untuk memberikan
kebebasan berekspresi bagi informan sebagai unit analisis penelitian
sehingga dimungkinkan berbagai gagasan dan pemikiran berkaitan dengan
kebijakan dan implementasinya dapat tergali.
Observasi; teknik ini dilakukan untuk mengkonfrontir berbagai temuan
dalam wawancara dengan situasi riil lapangan. Obsrevasi juga sekaligus
merupakan teknik untuk membaca secara obyektif obyek-obyek praktis
lembaga-lenbaga yang terkait di dalamnya.
Penggunaan dokumen dan bahan pustaka; kedua bahan ini sebagai data
pijakan bagi proses penelitian sejak perencanaan hingga penulisan laporan.
5. Teknik Analisis Data
7
Analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan dengan
mengikuti struktur gaya berfikir ilmiah. Data kualitatif akan dianalisis
dengan menggunakan metode deduktif, content analys, dan fenomenologi.
Kesemuanya itu dilakukan dengan menurut data yang disesuaikan dengan
sistematika penulisan laporan.
E. SISTEMATIKA PENYUSUNAN
Sistem penyusunan laporan penelitian ini secara umum memuat tiga hal
pokok, yaitu, pendahuluan , temuan-temuan dalam riset yang dilakukan, dan terakhir
kesimpulan serta saran atau rekomendasi. Secara garis besar sistematika penulisan
dalam studi ini adalah sebagai berikut:
a. Pendahuluan sebagai bagian pembuka, dalam bagian ini penulis akan
memaparkan proses awal perencanaan penelitian yang meliputi latar belakang
masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan signifikasi gagasan,
konseptualisasi, metodologi penelitian, dan terakhir sistematika penulisan
laporan.
b. Bagian kedua adalah seputar pengertian dan dasar hukum tentang sistem
penilaian, kewarisan, dan tanah.
c. Bagian ketiga adalah deskripsi tentang letak geografis wilayah kecamatan
Tebet yang menjadi obyek penelitian, sejarah adanya PPAT serta tugas dan
wewenangnya terhadap masalah tanah dan atau bangunan yang berkaitan
dengan pembuatan akta otentik berupa Akta Jual Beli (AJB) atas harta
8
9
warisan berupa tanah dan atau bangunan yang diperjual belikan dari segi
administratif.
d. Bagian keempat akan dideskripsikan tentang kebiasaan masyarakat muslim
Tebet dalam membagi harta warisan berupa tanah dan atau bangunan,
kewenangan PPAT Kecamatan Tebet dalam keterkaitannya mendaftar serta
membuat akta otentik jual beli tanah, serta instansi atau lembaga independen
yang dianggap perlu untuk membantu menganalisa atau menilai jumlah harta
secara nominal dan pengaruh sistem penilaian harta warisan berupa tanah dan
atau bangunan dalam memudahkan para ahli waris dalam membagi harta
dalam bentuk barang tidak bergerak.
BAB II
SISTEM PENILAIAN, KEWARISAN DAN
PERTANAHAN DI INDONESIA
A. Sistem Penilaian Tanah dan Bangunan di Indonesia
1. Nilai tanah
Secara fisik tanah dapat diartikan sebagai permukaan, termasuk bagian yang
berada di bawah permukaan bumi serta yang terletak di atas permukaan bumi. Di
dalam kehidupan manusia, tanah mempunyai peran yang sangat penting, karena tanah
menjadi tempat segala aktivitas kehidupan manusia berlangsung seperti kegiatan
bercocok tanam, mendirikan tempat tinggal, tempat rekreasi dan berbagai aktivitas
lainnya.
Dalam teori ekonomi tanah, konsep sewa tanah merupakan konsep yang
penting, karena merupakan dasar teoritis untuk menjelaskan mengapa tanah memiliki
nilai. Selain itu, konsep tersebut juga mempengaruhi alokasi tanah antar individu dan
antar berbagai jenis penggunaan yang saling berkompetisi serta mempengaruhi
kebijakan perpajakan.1 Menurut David Ricardo dan John H von Thunne tentang teori
sewa tanah yang menitikberatkan analisisnya pada sewa untuk tanah pertanian, hal ini
disebabkan oleh perbedaan kesuburan antara sebidang tanah dengan bidang tanah
lainnya. Asumsi yang dipergunakan David Ricardo dalam melakukan analisis adalah
1 Barlowe, R., Land Resources Economic, (Prentice Hall Englewood Cliffs, New Jersey, 1972), page 156.
10
suatu daerah memiliki tanah subur yang luas, tetapi hanya sedikit tanah saja yang
dimanfaatkan untuk keperluan seluruh masyarakat di daerah tersebut.2
David Ricardo juga berpendapat bahwa hanya tanah yang paling subur saja
yang dimanfaatkan dan tidak ada sewa yang dikenakan terhadap penggunaan tanah
tersebut. Sewa dikenakan terhadap tanah hanya ketika peningkatan jumlah populasi
penduduk menyebabkan kenaikan kebutuhan tanah, sehingga tanah-tanah yang
kurang suburpun terpaksa dimanfaatkan.
Pemanfaatan tanah yang kurang subur menyebabkan peningkatan ongkos
produksi sehingga penggunaan tanah yang subur akan dikenai sewa sebagai
kompensasi ongkos produksi yang lebih rendah daripada tanah yang kurang subur.
Dengan demikian sewa tanah yang lebih subur akan lebih tinggi dibanding dengan
tanah yang kurang subur.
Berbeda dengan David Ricardo, von Thunnen menyatakan bahwa perbedaan
sewa tanah disebabkan adanya perbedaan lokasi tanah terhadap pusat pasar. Von
Thunnen berpendapat bahwa tanah yang terletak dekat pusat pasar memiliki sewa
tanah yang lebih tinggi daripada tanah yang terletak jauh dari pusat pasar. Perbedaan
sewa ini berkaitan dengan perbedaan ongkos transportasi diantara kedua bidang tanah
tersebut. Tanah yang terletak dekat pusat pasar membutuhkan ongkos transportasi
yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang terletak jauh dari pusat pasar.
Sewa tanah mempunyai pengaruh terhadap lokasi penggunaan tanah. Tanah
yang mempunyai kapasitas penggunaan potensi yang tinggi untuk menghasilkan
2 Id. at 163-167.
11
pendapatan cenderung memiliki sewa yang tinggi. Jenis penggunaan tanah yang
dipilih ditentukan oleh kemampuan jenis penggunaan tanah tersebut untuk
menghasilkan keuntungan yang maksimum pada lokasi tanah tersebut.3
Menurut Standar Penilaian Indonesia (SPI 2000), Nilai adalah konsep
ekonomi yang merujuk pada hubungan finansial antara barang dan jasa yang tersedia
untuk dibeli dan mereka yang membeli atau menjual. Nilai bukanlah fakta tetapi lebih
merupakan perkiraan manfaat ekonomi atas barang dan jasa pada suatu waktu tertentu
dalam hubungannya dengan nilai tertentu. Harga adalah sejumlah uang yang diminta,
ditawarkan, atau dibayarkan untuk sesuatu barang atau jasa. Hubungannya dengan
penilaian, harga adalah fakta historis baik diumumkan maupun tidak.
Firdaus mengemukakan Ada dua pengertian nilai tanah dikemukakan oleh
Northam (1975) yakni nilai pasar (market value), yaitu harga jual beli tanah yang
terjadi pada suatu persil pada suatu waktu tertentu dan nilai taksiran (assessed value),
yaitu nilai yang diestimasi oleh seorang penilai. Nilai pasar merupakan data bagi
nilai taksiran.4 Wolcott menyebutkan secara umum bahwa nilai tanah tidak saja
dipengaruhi oleh karakteristik fisik tanah saja tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor sosial, ekonomi, pemerintah dan karakteristik lingkungan.5 Wolcott
memberikan definisi tentang harga, bahwa harga direpresentasikan oleh sejumlah
3 Id. at 179.
4Firdaus. Awang, Analisis Pengaruh Jalan Lingkar Luar Terhadap Nilai Jual Properti
Perumahan di Kecamatan Depok Sleman-Yogyakarta, (Yogyakarta, Tesis S2, Program Pascasarjana, UGM, Yogyakarta: 1999), hal. 18 (tidak dipublikasikan).
5 Wolcott, Richard C., The Appraisal of Real Estate, (American Institute of Real Estate Appraissers, 430 North Michigan Avenue,Chicago, Illinois: 1987), hal. 39-41.
12
pembeli yang bersedia membayar dan penjual yang bersedia menerima transaksi
dalam keadaan tertentu.6
Nilai tanah mendasarkan pada prinsip penggunaan terbaik adalah sebagai
bentuk tolok ukur kemampuan tanah memproduksi sesuatu yang secara langsung
memberikan keuntungan ekonomis, sedangkan harga tanah adalah ukuran
nominalnya. Ciri-ciri tertentu yang harus dimiliki oleh suatu properti agar mempunyai
nilai menurut Eldred adalah demand (permintaan), utility (kegunaan), scarcity
(kelangkaan), dan transferability (dapat dialihkan).7
Secara khusus nilai properti di kawasan industri dipengaruhi oleh kondisi
alam wilayah, penawaran tenaga kerja, fasilitas transportasi, distribusi input dan
output yang ekonomis, iklim politik, ketersediaan utilitas dan energi dan efek kontrol
lingkungan.8 Hal ini secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ketersediaan tenaga
kerja, ketersediaan material dan faktor distribusi merujuk pada jarak ke tempat bahan
baku, pasar dan tenaga kerja. Jadi nilai properti industri terkait dengan ketersediaan
utilitas maupun fasilitas di kawasan tempatan (karakteristik geografis) yang ada
(establishment), dan aksesibilitas positif (transportasi) dan aksesibilitas negatif
(biaya) yang mengacu pada jarak.
6Wolcott, Richard C., The Appraisal of Real Estate, (American Institute of Real Estate
Appraissers, 430 North Michigan Avenue,Chicago, Illinois: 1987), hal. 15. 7 Eldred, Gary, Real Estate Analysis and Strategy, (Harper & Row, Publisher, New York;
1987), page. 24-25. 8 Appraisal Institute, The Appraisal of Real Estate, (Eleventh Edition, Chicago, Illinois: 1999),
page. 209-211 & AIREA, The Appraisal of Real Estate, (Ninth Edition, Chicago, Illinois: 1997), page. 179.
13
Lebih lanjut hubungan nilai tanah dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya sebagaimana dikemukakan Hoover bahwa lokasi adalah fungsi
dari aksesibilitas, karakteristik lingkungan dan biaya.9 Lusth mengemukakan, nilai
tanah adalah fungsi dari lokasi yang terkait dengan aksesibilitas yang diproxy dengan
jarak (distance) dan persekitaran (neighborhoods). Nilai tanah berkait dengan lokasi
dipengaruhi oleh hubungan keterkaitan lokasi dengan sistem transportasi dan
aksesibilitas (linkage), kedekatan dengan pelayanan umum (proximity to public
service) dan lingkungan /persekitaran (environmental/neighborhoods).10
2. Pemanfaatan tertinggi dan terbaik (highest and best use)
Definisi kegunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) adalah sebagai
penggunaan yang paling memungkinkan dan diijinkan dari suatu tanah kosong atau
tanah yang sudah dibangun, yang mana secara fisik memungkinkan, didukung atau
dibenarkan oleh peraturan, layak secara keuangan dan menghasilkan nilai tertinggi
AIREA.11 Nasucha mengatakan bahwa sumber daya tanah akan mencapai nilai
tertinggi dan terbaik bila dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga memperoleh
pendapatan optimum, baik untuk si pengguna maupun masyarakat. Konsep ini 9Hoover, Edgar M., The Evolving Form and Organization of the Metropolis : Principal Location Factors in William H. Leahy : Urban Economic, (The Free Press, New York: 1968), page.65-77.
10 Lusht, Kenneth M., Real Estate Valuation Principles and Applications, (Irwin. Chicago: 1997), page. 25-45.
11 AIREA, The Appraisal of Real Estate, (Ninth Edition, Chicago, Illinois: 1997), page. 269.
14
seringkali dibatasi oleh peraturan peruntukan tanah (zoning) dan kebijaksanaan umum
lainnya. Pada konsep ekonomis, sumber daya tanah dapat menghasilkan pendapatan
lebih tinggi jika dimanfaatkan untuk tujuan komersil dan industri.12
3. Pendekatan Penilaian
Penilaian merupakan suatu proses penentuan nilai, baik nilai pasar, nilai
investasi, nilai asuransi atau jenis nilai lainnya, dari suatu properti pada suatu tanggal
penilaian tertentu. Penilaian suatu properti menurut American Institute Of Real Estate
Appraiser dan Eckert et al. dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu;
a. Pendekatan data pasar (sales comparison approach),
b. Pendekatan biaya (cost approach), dan
c. Pendekatan pendapatan (income capitalization approach).
Dalam pendekatan perbandingan yakni mengestimasi nilai suatu properti
dengan menggunakan rata-rata perbandingan dengan properti sejenis yang
mempunyai karakteristik yang hampir sama letaknya berdekatan dan fungsinya sama
dan telah diketahui harga jualnya obyek lain yang sejenis, dengan melakukan
beberapa penyesuaian (adjustment). Langkah-langkah secara sederhana dalam
melakukan penilaian adalah:
1) Mengumpulkan harga jual properti yang karakteristiknya sama dan telah terjual.
12 Nasucha, Chaizi, Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas Tanah, (Megapoint, Divisi Kesaint Blanct, Jakarta: 1995), hal. 12-13.
15
2) Melakukan analisa dam penyesuaian-penyesuaian (adjustment) atas waktu
transaksi, konsisi fisik lainnya.
3) Melakukan pemilihan secara rata-rata atau diambil yang terbaik nilainya menurut
tujuan penilaian.
4) Membuat kesimpulan nilai.
Dalam pendekatan biaya, penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara
menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada
saat penilaian dilakukan, dikurangi dengan penyusutan kondisi fungsi, fisik dan
ekonomi.
1) Menghitung biaya yang digunakan untuk memperoleh nilai baru (dapat dilakukan
metode per unit pekerjaan, per meter2 maupun berdasarkan analisa detail
bangunan)
2) Menambahkan biaya konsultan dan keuntungan bagi kontraktor dalam analisa
tersebut.
3) Mengestimasi jumlah penyusutan fisik, fungsi dan ekonomi.
4) Membuat kesimpulan nilai.
Dalam pendekatan pendapatan, nilai properti adalah fungsi pendapatan, di
mana semakin tinggi pendapatan yang dapat dihasilkan oleh properti maka semakin
tinggi pula nilai properti tersebut. Untuk properti perumahan, pendapatan diperoleh
16
dari sewa bersihnya, yaitu pemasukan sewa properti tersebut dikurangi biaya
operasionalnya melalui pendekatan pendapatan. Nilai suatu properti diperoleh dari
pengkapitalisasian pendapatan bersihnya (net operating income) dengan suatu tingkat
kapitalisasi tertentu. Pendekatan pendapatan ini sesuai untuk digunakan untuk menilai
properti yang menghasilkan pendapatan (income producing property).13
International Association Assessing Officers (IAAO) menyatakan bahwa
dalam aplikasi pendekatan pendapatan ini, terdapat beberapa langkah-langkah dasar
sebagai berikut:
1) Mengestimasi pendapatan kotor potensial (potential gross income).
2) Melakukan pengurangan pendapatan kotor potensial dengan tingkat
kekosongannya (vacancy and collection loss).
3) Melakukan penjumlahan antara pendapatan lain-lain dan pendapatan kotor
potensial setelah dikurangi dengan tingkat kekosongannya untuk mendapatkan
perkiraan pendapatan kotor efektif (effective gross income).
4) Menentukan biaya-biaya operasi (operating expenses).
5) Mengurangkan pendapatan kotor efektif dengan biaya-biaya operasional untuk
mendapatkan pendapatan bersih operasi sebelum bunga dan pajak.
6) Menentukan tingkat kapitalisasi yang sesuai.
7) Menentukan prosedur pengkapitalisasian yang sesuai untuk diterapkan.
13Eckert, Joseph K., Gloudemans and Almy Richard R., Property Appraisal and Assessment
Administration, (The International Association of Assesing Officer, Chicago, Illinois: 1990), page. 151.
17
8) Melakukan pengkapitalisasian pendapatan bersih operasi (net operating income)
untuk mengestimasi nilai properti dengan formulasi umum sebagai berikut :
MV = I : R
di mana :
MV = estimasi nilai properti
I = pendapatan bersih operasi selama satu tahun
R = tingkat kapitalisasi.
Dalam penentuan tingkat kapitalisasi, terdapat dua metode yang lazim
dipakai, yaitu kapitalisasi langsung (direct capitalization) dan yield capitalization.
Perbedaan di antara keduanya adalah terletak pada asumsi yang dipakai. Kapitalisasi
langsung mengasumsikan bahwa pendapatan yang diterima pada tahun-tahun yang
akan datang adalah sama atau tercermin seperti pendapatan pada tahun penilaian,
sedangkan yield capitalization memasukkan asumsi-asumsi berkenaan dengan faktor-
faktor seperti tingkat pengembalian (rate of return) yang diharapkan oleh investor,
sisa umur ekonomis, jangka waktu kepemilikan dan antisipasi terjadinya
depresiasi/apresiasi.14
14 International Association Assessing Officers (IAAO), Standard on Ratio Studies,
(Assessment Journal, Volume 6 Nomor 5: 1999), page. 204.
18
4. Penilaian Tanah Menurut PBB (Nilai Jual Objek Pajak)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan
terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun
1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1994. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli nilai jual obyek pajak yang ditentukan melalui
perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau
nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak pengganti.
Pendekatan dalam penilaian:
a. Perbandingan dengan objek lain yang sejenis adalah suatu pendekatan/metode
penentuan nilai jual onyek pajak dengan cara membandingkan dengan yang
letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya obyek
lain yang sejenis.
b. Nilai perolehan baru adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu
obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, dikurangi dengan
penyusutan kondisi fungsi, fisik dan ekonomi.
c. Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu
objek pajak yang berdasarkan hasil produksi obyek pajak tersebut.
Nasucha (1995:59) menyatakan bahwa NJOP merupakan suatu kriterium yang
dipengaruhi banyak faktor yang saling berkorelasi (prediktor), maka analisis yang
19
sesuai dengan penyelesaian model matematis adalah analisis regresi linier berganda.
NJOP dapat dinyatakan sebagai variabel terikat (kriterium),sedangkan faktor-faktor
penentunya dinyatakan sebagai variabel bebas atau prediktor.15
B. Hukum kewarisan di Indonesia
Sejak Indonesia merdeka, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 45 tahun
1957 tentang pembentukan Mahkamah Syari’ah yang menetapkan salah satu
wewenang Pengadilan Agama adalah masalah kewarisan. Meskipun di Jawa dan
Madura Pengadilan Agama tidak menyelesaikan masalah warisan, tetapi Pengadilan
Agama mengeluarkan “Fatwa Waris” yang sangat dibutuhkan oleh para pencari
keadilan. Pada tahun 1989, pemerintah menetapkan UU No. 7 tahun 1989 yakni UU
Peradilan Agama (UUPA). Undang-Undang ini menetapkan wewenang Pengadilan
Agama untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan warisan atau faraid.
UUPA telah diamandemen menjadi UU No. 3 tahun 2006. Kewenangan Peradilan
Agama diperluas. Tidak hanya sebatas mengadili masalah perkawinan, waris, wasiat,
hibah, sedekah, wakaf orang Islam, tetapi juga bidang usaha ekonomi syari’ah.16
Selain itu, Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beribu-
ribu pulau membentang luas dari timur sampai ke barat, dengan adanya perbedaan
15 Nasucha, Chaizi, Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas Tanah,
(Megapoint, Divisi Kesaint Blanct, Jakarta: 1995), hal. 59.
16 “ Kedudukan Hukum Waris Indonesia”artikel diakses pada 10 Agustus 2010 dari http://notary-herman.blogspot.com/2009/03/kedudukan-hukum-waris-indonesia.html
20
tempat dan budaya sudah barang tentu akan mempengaruhi cara berfikir, tingkah laku
serta gaya hidup yang beraneka ragam. Dari deskripsi ini penulis akan memaparkan
sistem kewarisan di Indonesia dengan latar belakang masyarakatnya yang majemuk.
Di Indonesia terdapat tiga hukum waris yang biasa digunakan sebagai
landasan hukum dalam hal pembagian warisan, yaitu hukum waris Islam, hukum
waris Adat, dan hukum waris BW (Burgerlijk Weetbook).17
1. Hukum Waris Islam
Kata mawaris secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata tunggal mirast
artinya warisan. Al-Qur’an banyak menggunakan kata kerja warasa seperti QS.-
Naml: 16 “wa warisa Sulaimanu Dawud” yang artinya “dan Sulaiman mewarisi
Dawud”, artinya “ Nabi Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Dawud
as. Serta mewarisi ilmu pengetahuannya. Dalam QS. Al-Zumar: 74 “wa aurasana al-
ardla” yang artinya “..dan telah memberi kepada kami tempat ini”. Demikian juga
dalam QS. Maryam:6 “yarisuni wa yarisu min ali ya’qub” artinya “…yang akan
mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub.18
Mawaris juga disebut faraid, bentuk jamak dari kata faridah, kata ini bersal
dari kata farada yang artinya ketentuan, atau menentukan. Kata faridah ini banyak
juga disebut dalam al-Qur’an QS. Al-Baqarah: 237 misalnya disebutkan “wa qad
17 Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku di Indonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20 18 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1993:reprint, 2001), hal. 2
21
إن الذي فرض عليك القرآن لرادك إلى معاد قل ربي أعلم من جاء بالهدى )٨٥(ومن هو في ضالل مبين
Artinya :
Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Quran,
benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali. Katakanlah: "Tuhanku
mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang
nyata".
dan al-Ahzab:38
ن ما آان على النبي من حرج فيما فرض الله له سنة الله في الذين خلوا م )٣٨(قبل وآان أمر الله قدرا مقدورا
22
tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah
baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-
nabi yang telah berlalu dahulu. dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang
pasti berlaku,
Dengan demikian kata faraid atau faridah artinya adalah ketentuan – ketentuan
tentang siapa-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli
waris yang tidak berhak mendapatkannya, dan berapa bagian yang dapat diterima
oleh mereka.19
Adapun unsur – unsur hukum kewarisan Islam dalam pelaksanaan hukum
kewarisan, terdiri atas tiga unsure yang perlu diuraikan, yaitu (1) pewaris, (2) harta
warisan, dan (3) ahli waris. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-
masing mempunyai ketentuan tersendiri20
a. Pewaris
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan21. Istilah pewaris secara khusus
dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang
telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Oleh karena itu,
seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak
19 Ibid. 20 H. Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika,2008), hal.
45 21 Pasal 171 huruf b, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia
23
dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang
kematiannya.
Pewaris di dalam Alquran Surah An-Nisa’ ayat 7,11,12,33, dan 176
dapat diketahui bahwa “ Pewaris itu terdiri atas orang tua/ayah atau ibu (al-
walidain), dan kerabat (al-aqrabin). Al-walidain dapat diperluas pengertiannya
menjadi kakek atau nenek kalau ayah atau ibu tidak ada. Demikian pula
pengertian anak (al-walad) dapat diperluas menjadi cucu kalau tidak ada anak.
Begitu juga pengertian kerabat (al-aqrabin) adalah semua anggota keluarga
yang dapat dan sah menjadi pewaris, yaitu hubungan nasab dari garis lurus ke
atas, ke bawah, dan garis ke samping. Selain itu, hubungan nikah juga menjadi
pewaris, baik istri maupun suami.
Pewaris yang disebutkan di atas, perlu ditegaskan bahwa seseorang
menjadi pewaris bila telah nyata meninggal. Karena sepanjang belum jelas
meninggalnya seseorang, hartanya tetap menjadi miliknya sebagaimana halnya
orang yang masih hidup. Demikian juga, bila belum ada kepastian meninggal
seseorang itu dipandang masih hidup. Kepastian meninggal seseorang itu
dimungkinkan secara haqiqy, hukmy, dan taqdiry.22
- Mati haqiqy, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus
melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia.
- Mati hukmi, adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan
melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini biasa terjadi
22 H. Zainudin Ali, op.cit, hal. 45.
24
seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang (al-mafqud) tanpa
diketahui dimana dan bagaimana keadaannya. Setelah dilakukan upaya
tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal
dunia. Sebagai suatu keputusan hakim, maka ia mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, dan karena itu mengikat.
- Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah
meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke
medan perang, atau tujuan lain yang secara lahiriyah diduga dapat
mengancam keselamatan dirinya. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak
diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang
tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.23
b. Harta warisan
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta
bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran dan pemberian
untuk kerabat24.
Harta warisan atau harta peninggalan disebut oleh al-Quran Surah an-
Nisaa’ ayat 7 dengan istilah tarakah atau harta yang akan ditinggalkan (al-Quran
Surah an-Nisa’ ayat 180) beralih kepada orang yang berhak menerimanya (ahli
waris). Tarakah yang disebutkan oleh al-Quran Surah an-Nisa’ ayat 11 dan 12,
23 Ahamad Rofiq, Op.cit, 28-29.
24 Pasal 171 huruf e, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia
25
yang kemudian diterjemahkan sebagai harta peninggalan terdiri atas benda dan
hak-hak yang pembagiannya dilakukan menurut bagian yang ditentukan sesudah
ditunaikan pembayaran utang dan wasiat pewaris. Sisa harta sesudah
ditunaikannya berbagai kewajiban tersebut, itulah yang harus dibagi-bagi oleh
para ahli waris sebagai harta warisan. Namun bila harta yang ditinggalkan oleh
pewaris jumlahnya hanya sedikit, ulama menetapkan urutan kewajiban yang harus
ditunaikan oleh para ahli waris terhadap harta peninggalan pewaris.
Sehubungan dengan hak ahli waris yang disebutkan di atas, jumhur
ulama golongan Sunni menetapkan tiga kewajiban yang harus dilakukan ahli
waris sebelum melakukan pembagian harta peninggalan pewaris, yaitu biaya
pengurusan jenazah, pelunasan utang pewaris, menunaikan wasiat pewaris.25
Uraian di atas menunjukkan bahwa tidak semua harta peninggalan
menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, melainkan semua
harta warisan baik berupa benda maupun berupa hak-hak harus bersih dari segala
sangkut paut dengan orang lain. Dalam hukum kewarisan Islam terdapat
ketentuan mengenai beberapa hal yang perlu diselesaikan sebelum dilakukan
pembagian harta warisan, seperti penyelesaian urusan jenazah, pembayaran utang,
dan wasiat pewaris. Selain itu, perlu diketahui bahwa warisan yang berupa hak-
hak tidak berarti bendanya dapat diwarisi. Sebagai contoh, hak manfaat
penggunaan sebuah rumah kontrak dapat diwariskan kepada ahli waris, tetapi
rumahnya tetap menjadi hak bagi pemiliknya. 25 Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung:Al-ma’arif, 1981) hal. 121
26
c. Ahli Waris
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hokum untuk menjadi ahli waris.26
Asas- asas hukum waris Islam terdiri atas: a. ijbari, b. bilateral, c.
individual, d. keadilan berimbang, dan e. akibat kematian.27
a. Ijbari
Asas ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung
arti pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa
digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya
b. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam kewarisan Islam berarti seseorang menerima hak
atau bagian warisan dari kedua belah pihak; dari kerabat keturunan laki-laki
dan dari kerabat keturunan perempuan. Asas kebilateralan itu, mempunyai
2(dua) dimensi saling mewarisi dalam Al quran Surah An-Nisa’ ayat 7, 11,
12, dan 176, yaitu (1) antara anak dengan orang tuanya, dan (2) antara orang
yang bersaudara bila pewaris tidak mempunyai anak dan orang tua.
c. Asas Individual
26 Pasal 171 huruf c, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia 27 Amir, Syarifudin, Pelaksanaan Hujum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), hal. 18
27
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti, harta warisan
dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Untuk
itu dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai
tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak
menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.
d. Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan Islam berarti
keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan
dalam melaksanakan kewajiban. Perkataan adil banyak disebut dalam Alquran
yang kedudukannya sangat penting dalam system hukum Islam, termasuk
hukum kewarisan.
e. Asas Kematian
Asas akibat kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti kewarisan
ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari
meninggalnya seseorang. Oleh karena itu, pengalihan harta seseorang kepada
orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai
harta itu meninggal dunia.Ini berarti harta seseorang tidak dapat beralih
kepada orang lain dan disebut harta warisan, selama orang yang mempunyai
harta itu masih hidup. Demikian juga, segala bentuk pengalihan harta
seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun
yang akan dilaksanakan kemudian sesudah meninggalnya, tidak termasuk ke
dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.
28
Ahli waris dalam sistem kewarisan Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul
karena hubungan darah.
2. Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena suatu
sebab tertentu, yaitu:
- Perkawinan yang sah (al-musabarah)
- Memerdekakan hamba sahaya (al-wala) atau karena adanya perjanjian tolong
menolong28
Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat
dibedakan kepada:
1. Ahli waris ashab al-furudh, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang besar
kecilnya telah ditentukan dalam al-Qur’an, seperti 1/2, 1/3, atau 1/6
Adapun bagian ahli waris ashab al-furudh secara rinci adalah sebagai berikut :
a. Anak perempuan, berhak menerima bagian :
1. Setengah bila hanya seorang dan tidak disertai anak laki-laki,
2. Dua pertiga bila dua orang atau lebih dan tidak disertai anak laki-laki,
3. Bila bersama anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua
berbanding satu dengan anak perempuan (pasal 178 Kompilasi)
b. Ibu, berhak mendapat bagian :
1. Seperenam bila ada anak atau dua saudara atau lebih, 28 Ahmad Rofiq, op.cit, hal. 59
29
2. Sepertiga bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih
3. Sepertiga dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama
dengan ayah (pasal 178 Kompilasi )
c . Ayah, berhak mendapat bagian:
1. Sepertiga, bila pewaris tidak meninggalkan anak,
2. Seperenam, bila pewaris meninggalkan anak (pasal 177 Kompilasi )
d. Duda, berhak mendapat bagian :
1. Setengah, bila pewaris tidak meninggalkan anak,
2. Seperempat, bila pewaris meninggalkan anak (pasal 179 Kompilasi )
e. Janda, berhak mendapat bagian :
1. Seperempat. Bila pewaris tidak meninggalkan anak,
2. Seperdelapan, bila pewaris meninggalkan anak (pasal 180 Kompilasi )
f. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, berhak mendapat bagian :
1. Masing-masing seperenam, bila pewaris tidak meninggalkan anak dan
ayah,
2. Sepertiga secara bersama-sama, bila mereka dua orang atau lebih (pasal 181
Kompilasi)
g. Saudara perempuan kandung atau seayah, berhak mendapat bagian :
1. Setengah, bila sendiri tidak ada ayah dan anak,
2. Dua pertiga bagian, bila dua orang atau lebih,
3. Bila bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah maka
bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
30
h. Cucu perempuan dan laki-laki dari anak perempuan, berhak mendapat bagian
sama dengan akan perempuan (ibunya) dengan ketentuan :
1. Bila cucu perempuan bersama dengan cucu laki-laki, maka bagian cucu
laki-laki adalah dua berbanding satu dengan cucu perempuan.
2. Bila bersama ahli waris lain yang sederajat, bagiannya tidak boleh melebihi
dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti (pasal 178 jo. Pasal 185
Kompilasi ).
i. Kakek dan nenek dari ayah, berhak mendapat bagian yang sama dengan bagian
ayah, dan bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti (pasal 177 jo. Pasal 185 Kompilasi)
j. Kakek dan nenek dari ibu, berhak mendapat bagian yang sama dengan bagian
ibu dan bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti (pasal 178 jo. Pasal 185 Kompilasi)
k. Anak laki-laki dan perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan
seibu, berhak mendapat bagian yang sama dengan orang tuanya dan bagiannya
tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti
(pasal 181 jo. Pasal 185 Kompilasi)
l. Anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara kandung atau seayah, berhak
mendapat bagian yang sama dengan orang tuanya yang diganti dan bagiannya
31
tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan orang tuanya
(pasal 182 jo. Pasal 185 Kompilasi)29
2. Ahli waris “asabah, yaitu ahli waris bagian yang diterimanya adalah sisa setelah
harta warisan dibagikan kepada ahli waris ashab al-furudh.
Ahli waris ’asabah dibagi menjadi tiga, yaitu: ’asabah bi nafsih, ’asabah bi al-ghair
dan ’asabah ma’a al ghair.
1. Yang termasuk ’asabah bi nafsih adalah
(1). Anak laki-laki
(2). Cucu laki-laki dari garis laki-laki
(3) Bapak
(4) Kakek (dari garis bapak)
(5) Saudara laki-laki sekandung
(6) Saudara laki-laki seayah
(7) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
(8) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
(9) Paman sekandung
(10) Paman seayah
(11) Anak laki-laki paman sekandung
(12) Anak laki-laki paman seayah
29 H. Idris Djakfar dan Taufiq Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan, (Jakarta:PT Dunia Pustaka
Jaya, 1995), h 62-64.
32
(13) Mu’tiq dan atau mu’tiqah (orang laki-laki atau perempuan yang
memerdekakan hamba sahaya)
2. ’Asabah bi al ghair
(1) anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki
(2) cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki
(3) saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung
(4) saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.
Ketentuan yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian ’asabah,
maka bagian ahli waris laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Dasarnya
adalah firman Allah surah an-nisa’:11 dan 176.
3. ’Asabah ma’a al-ghair
(1) saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak
perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih)
(2) saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau
cucu perempuan (seorang atau lebih)30
Dasar hukum pembagian ’asabah ma’a al ghair adalah pelaksanaan pembagian
warisan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, dalam riwayat dar Ibn Mas’ud :
30 Ahmad rofiq,op.cit, hal.73-75.
33
3. Ahli waris dzawil al-arham, yaitu ahli waris yang sesungguhnya memiliki
hubungan darah, akan tetapi menurut ketentuan al Qur’an, tidak berhak menerima
warisan.
Apabila ahli waris dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatannya, sehingga
yang dekat lebih berhak menerima warisan dari pada yang jauh, dapat dibedakan:
1. Ahli waris hajib, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi ahli waris
yang jauh, atau karena garis keturunannya yang menyebabkannya dapat menghalangi
ahli waris yang lain.
2. Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang jauh yang terhalang oleh ahli waris
yang dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika
yang menghalanginya tidak ada.
d. Contoh-contoh Pembagian Harta Warisan
Sehubungan dengan pengelompokan ahli waris yang telah disebutkan, baik
ahli waris kelompok pertama, ahli waris kelompok kedua, maupun ahli waris
kelompok ketiga, maka dapat diuji melalui pembuktian ayat-ayat Alquran yang
menggambarkan ada pewaris yang meninggalkan anak, orang tua (ibu), janda saudara
laki-laki pewaris, dan ahli waris pengganti (cucu pewaris melalui anak perempuan
yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya); ada pewaris yang meninggalkan
anak, meninggalkan janda, dan meninggalkan saudara laki-laki (‘asabah); ada pewaris
yang meninggalkan anak, cucu melalui anak perempuan yang meninggal lebih dahulu
34
dari pewarisnya, cucu yang melalui anak laki-laki yang meninggal lebih dahulu dari
pewarisnya, janda, dan saudara perempuan. Sebagai contoh dapat diungkapkan
sebagai berikut.
1. Contoh Pembagian Ahli Waris Kelompok Pertama
Contoh pembagian ahli waris kelompok pertama sebagai berikut
Pembagian:
I adalah ibu pewaris mendapat bagian = 1/6 X harta warisan (Alquran Surah An-Nisa’
ayat 11d, sebagai dzawul faraid). AP + AP adalah dua orang anak perempuan pewaris
bersama seorang anak perempuan melalui anak perempuan yang meninggal lebih
dahulu dari pewarisnya (AWP) mendapat bagian =2/3 X harta warisan (Alqurqn
Surah An-Nisa” ayat 11b, sebagai dzawul faraid) J adalah janda pewaris mendapat
bagian = 1/8 dari harta warisan (Alqur’an Surah An-Nisa’ ayat 12d, sebagai dzawul
faraid). SP adalah saudara perempuan pewaris yang terhijab dari ibunya.31
2. Contoh Pembagian harta warisan kelompok kedua
Pembagian:
AP + AP adalah dua orang anak perempuan pewaris memperoleh = 2/3 X harta
warisan (Alquran Surah An-Nisa ayat 11b, sebagai dzawul faraid). J adalah janda
pewaris memperoleh = 1/8 X harta warisan (Alquran Surah An-Nisa ayat 12d,
sebagai dzawul faraid). Ibu mendapat 1/6 harta warisan (Alquran Surah An-Nisa ayat
11d sebagai dzawul faraid). SL adalah saudara laki-laki pewaris memperoleh = sisa
31 H. Zainudin Ali, op.cit, hal. 67
35
(1-(2/3 + 1/8 = 1- 19/24 = 5/24) sebagai ‘asabah). Pembagian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa =2/3 atau 16/24 + 1/8 atau 3/24 + 5/24 = 24/24 = 1
3. Contoh-contoh Pembagian Harta Warisan Kelompok Ketiga
Pembagian:
AP adalah anak perempuan memperoleh = 1/4 X harta warisan (Alquran Surah An-
Nisa’ ayat 11). AWL adalah anak laki-laki melalui anak perempuan yang meninggal
lebih dahulu dari orang tuanya memperoleh =1/4 X harta warisan (Alquran Surah An-
Nisa’ ayat 33 dan al-Quran Surah An-Nisa ayat: 11). AWP adalah anak perempuan
melalui anak laki-laki yang meninggal lebih dahulu dari orang tuanya memperoleh
=2/4 X harta warisan (al-Quran Surah An-Nisa ayat 33 dan al-Quran Surah An-Nisa
ayat 11). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bagian seorang anak
perempuan + bagian seorang anak laki-laki melalui anak perempuan yang meninggal
lebih dahulu dari pewarisnya + bagian seorang anak perempuan melalui anak laki-laki
yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya = 1/4 + 1/4 + 2/4 = 4/4 =1
4. Contoh-contoh Pembagian Harta Warisan Melalui Pemecahan Kasus-Kasus Awl
dan Radd
Selain contoh – contoh yang diungkapkan diatas, perlu juga diuraikan metode
pembagian harta warisan melalui metode pemecahan kasus – kasus awl dan rad. Awl
dan rad merupakan dua metode yang khas yang hanya dijumpai dalam kewarisan
Islam.32
a. Awl 32 H. Zainudin Ali, loc.cit, hal. 69
36
Awl adalah suatu cara penyelesaian kasus kewarisan bila terjadi ketekoran dalam
pembagian harta warisan, yaitu para ahli waris yang berhak menerima harta warisan,
jumlahnya lebih banyak dari harta warisan yang akan dibagi. Untuk menghilangkan
ketekoran itu supaya pembagiannya menjadi 1/1, dilakukan pengurangan terhdap
bagian masing-masing ahli waris secara berimbang.
Contoh:
Seorang istri meninggal dunia (P). Ia meninggalkan ahli waris yang terdiri atas
seorang suami (A) dan dua orang perempuan saudara kandung (B dan C). Harta
peninggalan pada saat meninggal dunia berjumlah Rp. 66.000.000,00. Selain itu, ia
meninggalkan biaya rumah sakit Rp. 1.500.000,00 dan wasiat yang senilai Rp
1.000.000 dan biaya penguburan Rp 500.000,00. Oleh karena itu, jumlah harta
peninggalan yang menjadi harta warisan berjumlah Rp. 63.000.000,00. Pembagian
harta dimaksud, sebagai berikut
A = 1/2 X Rp 63.000.000,00 = Rp 31.000.000,00
B dan C = 2/3 X Rp 63.000.000,00 = Rp 42.000.000,00
Jumlah = Rp 73.500.000,00
Menurut ketentuan Pasal 192 Kompilasi Hukum Islam, pembagian harta warisan
yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang ada di dalam Alquran tetapi tidak cukup
misalnya dalam kasus diatas, yaitu harta warisan berjumlah Rp 63.000.000 sedangkan
perhitungan bagia ahli waris yang ditetapkan bagiannya akan berjumlah Rp
31.500.000,00 + Rp 42.000.000,00 = Rp 73.000.500,00. Sehubungan kasus
dimaksud, dalam hal ini berlaku yang dinamakan AWL, yaitu suami seharusnya 1/2
37
sama dengan 3/6 dan dua orang saudara perempuan seharusnya menerima 2/3 atau
4/6 sehingga menjadi: 3/6 + 4/6 = 7/6. Perbandingannya 3:4. Dengan demikian,
pembagiannya disesuaikan dengan perbandingan, yaitu
Suami menerima 3/7 X Rp 63.000.000,00 = Rp 27.000.000,00
Dua orang saudara pr 4/7 X Rp 63.000.000,00 = Rp 36.000.000,00
Jumlah = Rp 63.000.000,00
b. Rad
Rad adalah sisa dari harta warisan sesudah dikeluarkan bagian dzul faraid,
sisa itu disebut oleh Hazairin sisa kecil, maka sisa tersebut harus ditambahkan kepada
semua dzul faraid secara berimbang. Dengan perkataan lain, rad adalah pengembalian
sisa dibagi secara berimbang kepada semua dzul faraid.33
Contoh:
Pembagian:
a = 1/8 X h.w; Alquran Surah An-Nisa ayat 12d
b,c,d = 2/3 X h.w; Alquran Surah An-Nisa ayat 11b
e = 1/6 X h.w; Alquran Surah An-Nisa ayat 11d
f = 0 terhalang dari ibunya
a + b + c + d + e + f = 1/8 + 2/3 + 1/6 + 0 33 Hazairin dan Imam Syafie berpendapat bahwa janda atau duda, meskipun mempunyai status dzul faraid, dikecualikan memperoleh sisa bagi. Sebab, janda atau duda tidak mempunyai hubungan darah dengan si pewaris, yaitu berdasarkan Alquran Surah Al-Anfal ayat 75. dalam hubungan ini Sajuti Thalib berpendapat bahwa rad dapat diberikan kepada janda dan/atau duda, oleh karena : (1) dalam hal awl semua dzul faraid dikenakan pengurangan secara berimbang (termasuk janda atau duda). Kalau dalam hal rad janda atau duda tidak memperoleh pembagian maka jalan pikiran dimaksud, tidak konsisten; (2) dalam Alquran sudah digariskan bahwa anak, bapak/ibu, janda atau duda, dan saudara memperoleh bagian kewarisan, maka dalam hal rad semestinya juga diikuti.
38
= 3/24 + 16/24 + 4/24 + 0
= 23/24
Jadi, ada sisa = 1-23/24 = 24/24 -23/24 = 1/24. Angka inilah yang di-rad-kan kepada
dzul faraid. Artinya dikembalikan kepada mereka secara berimbang. Oleh karena itu,
untuk menentukan berapa besar tambahan mereka masing-masing, harus dilihat
dahulu bagian perolehan mereka masing-masing dalam pembagian yang pertama,
yaitu
a = 3/24
b,c, dan d = 16/24
e = 4/24
Dengan demikian, perbandingan perolrhan mereka, yaitu 3: 16 : 4. Jumlahnya 3 + 16
+ 4 = 23. Angka ini dijadikan pembagi sehingga :
a mendapat tambahan = 3/23 X 1/24 = 3/552
b,c,dan d mendapat tambahan = 16/23 X 1/24 = 16/552
e mendapat tambahan = 4/23 X 1/24 = 4/552
Jadi, pembagian terakhir:
a = 1/8 + 3/552 = 69/552 + 3/552 = 72/552
b,c, dan d = 2/3 + 16/552 = 368/552 + 16/552 = 384/552
e = 1/6 + 4/552 = 92/552 + 4/552 = 96/552
a + b, c dan d + e = 72/552 + 384/552 + 96/552 = 552/552=1
contoh: seorang suami meninggal dunia tahun 2003. Ia meninggalkan seorang istri,
dua orang anak yang terdiri atas seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan,
39
dua orang cucu yang terdiri atas seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui
anak perempuan yang meninggal tahun 2002, dan seorang ibu. Harta warisan yang
ditinggalkan oleh pewaris adalah senilai Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta
rupiah)
Penentuan porsi pembagian harta warisan adalah sebagai berikut.
A + (B + C + d + e ) + F = 1/8 + (2/3) + 1/6 = 3/24 + 16/24 + 4/24 = 23/24
Jadi, ada sisa = 1-23/24 = 24/24-23/24 = 1/24. Angka inilah yang di-rad-kan kepada
dzul faraid. artinya dikembalikan kepada mereka secara berimbang. Oleh karena itu,
untuk menentukan berapa besar tambahan mereka masing-masing, harus dilihat
dahulu bagian perolehan mereka masing-masing dalam pembagian yang pertama,
yaitu
A = 3/24
B, C, d dan e = 16/24
F = 4/24
Dengan demikian, perbandingan perolehan mereka, yaitu 3:16 :4, jumlahnya 3 + 16 +
4 = 23. angka ini dijadikan pembagi sehingga
A mendapat tambahan = 3/23 X 1/24 = 3/552
B, C, d dan e mendapat tambahan = 16/23 X 1/24 = 16/552
F mendapat tambahan = 4/23 X 1/24 = 4/552
Jadi, pembagian terakhir:
A = 1/8 + 3/552 = 69/552 + 3/552 = 72/552
B, C, d, dan e = 2/3 + 16/552 = 368/552 + 16/552 = 384/552
40
F = 1/6 + 4/552 = 92/552 + 4/552 = 96/552
A + B, C, d dan e +F = 72/552 + 384/552 + 96/552 = 552/552 =1
Berdasarkan rumusan porsi pembagian ahli waris tersebut, maka:
Istri mendapat = 72/552 XRp 75.000.000,00 = Rp 9.782.609,00
Anak dan Cucu + 384/552 X Rp 75.000.000,00 = Rp 52.173.913,00
Ibu mendapat = 96/552 X Rp 75.000.000,00 = Rp 13.043.478,00
Jumlah = Rp 75.000.000,00
Anak dan Cucu masing-masing mendapat bagian sebagai berikut
Anak laki-laki = Rp 26.086.957,00
Anak peremouan = Rp 13.043.478,00
Cucu laki-laki melalui anak perempuan = Rp 8.695.652,00
Cucu perempuan melalui anak perempuan = Rp 4.347.826,00
Jumlah = Rp 52.173.913,0034
2. Hukum Waris Adat
Menurut pendapat para ahli mengenai hukum waris adat adalah sebagai berikut.
a. Betrand Ter Haar
34 H. Zainuddin Ali,op.cit, hal. 66-72
41
Hukum waris adat adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan materiil dan
immateriil dari turunan ke turunan.35
b. Soepomo
Hukum adat waris memuat peraturan –peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoper barang-barang benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda
(immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya.36
ng immaterial dari seseorang yang telah
eninggal dunia kepada ahli warisnya.37
ara Republik
Indonesia terdiri atas : (a) pewaris, (b) harta warisan, dan (c) ahli waris.
c. Soerojo Wignjodipoero
Hukum adat waris meliputi norma-norma hokum yang menetapkan harta kekayaan
baik yang bersifat meteriil maupun ya
m
a. Unsur – unsur Hukum Waris Adat
Unsur – unsur hukum waris adat masyarakat yang mendiami neg
1. Pewaris
35 Betrand Ter Harr, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan K. Ng. Soebakti
Poesponoto. (Surabaya: Fajar, 1953), hal. 197. 36 Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Cetakan ke-13, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1993),
hal. 79. 37 Soerojo Wignjodipoero. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Cet. Ke-8, (Jakarta: Haji Masagung, 1989), hlm. 161.
42
Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu
yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup, baik keluarga melalui
hubungan kekerabatan, perkawinan maupun keluarga melalui persekutuan hidup
dalam rumah tangga. Pengalihan harta kepada keluarga yang disebutkan terakhir
ini, biasanya bersifat jaminan keluarga yang diberikan oleh ahli waris melalui
pembagiannya. Oleh karena itu, yang tergolong sebagai pewaris adalah : (a) orang
tua (ayah dan ibu ), (b) saudara – saudara yang belum berkeluarga atau yang sudah
erkeluarga tetapi tidak mempunyai keturunan, dan (c) suami atau istri yang
an yang ditinggalkan oleh seseorang yang
meni gal d
en Donggala yang menetapkan harta bawaan atau
b
meninggal dunia.
2. Harta Warisan
Harta warisan adalah harta kekaya
ng unia kepada ahli warisnya. Harta warisan itu terdiri atas :
1. Harta Bawaan atau Harta Asal
Harta bawaan atau harta asal adalah harta yang dimiliki seseorang
sebelum kawin dan harta itu akan kembali kepada keluarganya bila ia
meninggal tanpa anak, Sebagai contoh, Putusan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri Kabupat
harta asal kembali kepada keluarga si pewaris bila ia meninggal tidak
mempunyai anak, yaitu38 :
38 Putusan pengadilan diambil dari registrasi Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala tahun 1990-1993. H. Zainudin Ali, op.cit, hal. 4
43
(1) Maryam versus Husen cs, putusan penetapan harta bawaan Nomor
79/Pdt.G/1993/PA. Palu, 28 Juli 1993
sus Erna Djempa, putusan Nomor 46/Pdt. G/1992/PN.
arang
nai harta bersama, yaitu:
1993;
s Husen cs, putusan penetapan harta bersama Nomor
runannya. Sebagai contoh, Harta pusaka tinggi diminang,
suku Kaili, alat rumah tangga, alat dapur dan
semacamnya.39
4. Harta yang Menunggu
(2) Marcopolo cs ver
Palu, 29 Maret 1993.
2. Harta Perkawinan
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh dari
hasil usaha suami-istri selama dalam ikatan perkawinan (waramp
sibalireso). Sebagai contoh dapat disebut putusan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala menge
(1) Abbas cs versus Drs. Damir Thalib, putusan penetapan harta bersama
Nomor 38/Pdt.G/1993/PA. Palu, 15 Juli
(2) Maryam versu
79/Pdt.G/1993/PA. Palu, 28 Juli 1993.
3. Harta Pusaka
Harta pusaka yang disebut mbara-mbara nimana adalah harta warisan
yang hanya diwariskan kepada ahli waris tertentu karena sifatnya tidak
terbagi, melainkan hanya dinikmati/dimanfaatkan bersama oleh semua ahli
waris dan ketu
pakaian adat perkawinan
39 Ibid.
44
Harta yang menunggu adalah harta yang akan diterima oleh ahli waris,
tetapi karena satu-satunya ahli waris yang akan menerimaharta itu tidak
diketahui di mana ia berada.
3. Ahli Waris
Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris,
yakni anak kandung, orang tua, saudara, ahli waris pengganti (pasambei), dan orang
yang mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris (janda atau duda). Selain
itu dikenal juga anak angkat, anak tiri, dan anak luar kawin, yang biasanya
diberikan bagian harta warisan dari ahli waris bila para ahli waris membagi harta
warisan di antara mereka. Selain itu, biasa juga diberikan harta dari pewaris, baik
melalui wasiat maupun melalui hibah.40
b. Penetapan Harta Warisan
Penetapan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia sebagai
harta warisan terlebih dahulu memenuhi ketentuan sebagaimana berlaku dalam
ungkapan hukum adat sossora, yaitu apabila seseorang telah meninggal dunia dan
mempunyai utang, maka didahulukan pembayaran utangnya kemudian diselesaikan
penyelenggaraan pemakaman jenazahnya. Sesudah jenazah pewaris dikuburkan,
maka ditunaikan wasiat pewaris. Ungkapan hukum adat sassora diatas,
menunjukkan bahwa dalam harta peninggalan seseorang masih terkait dengan hak- 40 H. Zainudin Ali, loc.cit, hal. 6
45
hak orang lain sehingga sebelum harta peninggalan seseorang dibagi oleh ahli
warisnya, terlebuh dahulu diselesaikan secara berurut hal – hal sebagai berikut.
(1) Melunasi Utang Pewaris
(2) Mengeluarkan Biaya Pengurusan Jenazah
(3) Menunaikan Wasiat Pewaris
c. Asas- Asas Hukum Waris Adat
1. Asas Ketuhanan dan Pengendalian Diri
Asas ketuhanan dan pengendalian diri, yaitu adanya kesadaran bagi para ahli waris
bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan dimiliki
merupakan karunia dan keridhaan Tuhan atas keberadaan harta kekayaan.
2. Asas Kesamaan dan Kebersamaan Hak
Asas kesamaan dan kebersamaan hak, yaitu setiap ahli waris mempunyai
kedudukan yang sama sebagai orang yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan
pewarisnya, seimbang antara hak dan kewajiban tanggung jawab bagi setiap ahli
waris untuk memperoleh harta warisan.
3. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan
Asas kerukunan dan kekeluargaan, yaitu para ahli waris mempertahankan untuk
memelihara hubungan kekerabatan yang tenteram dan damai, baik dalam
46
menikmati dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi maupun dalam
menyelesaikan pembagian harta warisan terbagi.
4. Asas Musyawarah dan Mufakat
Asas musyawarah dan mufakat, yaitu para ahli waris membagi harta warisannya
melalui musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang dituakan dan bila terjadi
kesepakatan dalam pembagian harta warisan, kesepakatan itu bersifat tulus ikhlas
yang dikemukakan dengan perkataan yang baik yang keluar dari hati nurani pada
setiap ahli waris.
5. Asas Keadilan
Asas keadilan, yaitu para ahli waris membagi harta warisannya melalui
musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang dituakan dan bila terjadi
kesepakatan dalam pembagian harta warisan, kesepakatan itu bersifat tulus ikhlas
maupun bagian sebagai bukan ahli waris, melainkan bagian jaminan harta sebagai
anggota keluarga pewaris.41
3. Hukum Waris Eropa (BW)
Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek (selanjutnya
disebut BW) adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena
wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si
41 H. Zainudin Ali, loc.cit, hal. 2-9
47
mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik
dalam hubungan antara mereka denga pihak ketiga42
Kekayaan dalam pengertian waris di atas adalah sejumlah harta kekayaan
yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan
pasiva. Namun, pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada
ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi karena adanya kematian. Oleh
karena itu, unsure-unsur terjadinya pewarisan mempunyai tiga persyaratan sebagai
berikut :
a. Ada orang yang meninngal dunia;
b. Ada orang yang masih hidup, sebagai ahli waris yang akan memperoleh
warisan pada saat pewaris meninggal dunia
c. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris.
Hukum waris menurut BW berlaku asas: “ apabila seseorang meninggal
dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian
ahli warisnya “.43 Hak –hak dan kewajiban dimaksud, yang beralih kepada ahli waris
adalah termasuk ruang lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang
Ciri khas hukum waris perdata Barat atau BW antara lain : adanya hak mutlak
dari para ahli waris masing – masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari
42 Lihat, A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-udang Hukum Perdata. Terjemahan
M. Isa Arief. Jakarta: Intermasa, 1979, hal. 1. 43 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata:(Jakarta:Intermasa, 1997) hal. 79
48
harta warisan. Hal itu berarti bila seseorang ahli waris menuntut pembagian harta
warisan dipengadilan, maka tuntutan dimaksud, tidak dapat ditolak oleh ahli waris
yang lainnya. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1066 BW sebagai berikut:
1. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan
tidak dapat dipaksa untuk membiarkan harta benda peninggalan dalam
keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada.
2. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada
perjanjian yang melarang hal tersebut.
3. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja
dilakukan hanya beberapa waktu tertentu.
4. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima
tahun, namun dapat diperbarui jika masih dikehendaki oleh para pihak.
Hukum waris Perdata Barat diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW). Yaitu yang mengatur tentang Benda. Hal ini didasari oleh
pemikiran: (1) memperoleh warisan merupakan satu cara untuk memperoleh harta
benda, dan (2) falsafah hidup orang Barat pada umumnya bersifat marerialistis dan
individualistis.
Dalam Kitab Undang –Undang Hukum Perdata di Indonesia ada dua cara
untuk mendapatkan harta warisan, yaitu
1. Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang (ab intestato).
2. Karena seorang ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair).
49
Pasal 834 BW mengungkapkan bahwa seorang ahli waris berhak untuk
menuntut segala apa saja yang termasuk harta peninggalan agar diserahkan
kepadanya, berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Pemilik hak dimaksud mirip
dengan hak seorang pemilik benda.
Hak menuntut ahli waris dimaksud, hanya terbatas pada seseorang yang
menguasai suatu harta warisan dengan maksud untuk memilikinya. Jadi, penuntutan
ini tidak dapat dilakukan terhadap pelaksanaan wasiat (executeur testamentair),
seorang curator atas harta peniggalan yang tidak terurus dan penyewa dari benda
warisan.44
a. Harta Warisan dalam Sistem Hukum Waris Eropa
Harta warisan dalam sistem hukum waris Eropa atau sistem hukum perdata
yang bersumber pada BW meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban
pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
Namun ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, yaitu hak dan kewajiban dalam
lapangan hukum harta kekayaan yang tidak dapat beralih kepada ahli waris antara
lain :
1. Hak untuk memungut hasil (vruchtgebruik).
2. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat
pribadi.
44 H. Zainudin Ali, op.cit, hal. 83.
50
3. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatcschap menurut BW
maupun firma menurut WvK, sebab perkongsian ini berakhir dengan
meninggalnya salah seorang anggota atau persero.
Pengecualian lain, yaitu ada beberapa hak yang terletak dalam lapangan
hukum keluarga, tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak, yaitu
a. hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak
b. hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari
ayah atau ibunya.
Sistem hukum waris BW tidak mengenal harta asal dan harta perkawinan atau
harta gono – gini. Sebab, harta warisan dalam BW dari siapa pun juga merupakan
“kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan si
peninggal harta warisan atau pewaris kepada seluruh ahli warisnya. Hal ini berarti
dalam system pembagian harta warisan dalam BW tidak dikenal perbedaan
pengaturan atas dasar asal – usul harta yang ditinggalkan oleh pewaris seperti yang
diungkapkan dalam pasal 849 BW, “Undang-undang tidak memandang akan sifat
atau asal dari barang– barang dalam sesuatu harta peninggalan untuk mengatur
pewarisan terhadapnya”.
b. Pewaris dan Dasar Hukum dalam Sistem Hukum Waris BW
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau
perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang
51
diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya,
baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.
Dasar hukum bagi ahli waris untuk mewarisi sejumlah harta pewaris menurut
sistem hukum waris BW adalah sebagai berikut :
a. Menurut ketentuan undang-undang.
b. Ditunjuk dalam surat wasiat45
Dasar hukum tersebut menetukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan
hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan
kehendak dari orang yang meninggal itu.Undang –undang berprinsip bahwa
seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia
meninggal dunia. Namun, bila orang dimaksud tidak menetukan sendiri ketika ia
masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya, dalam hal
demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang
ditinggalkan oleh seseorang dimaksud.
Di samping itu, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
bagi seseorang yang akan menjadi ahli waris terhadap seseorang yang meninggal
dunia adalah surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan dari
sesorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Sifat utama surat
wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku sesudah pembuat surat wasiat meninggal
dunia dan tidak dapat ditarik kembali.
45 R. Subekti, op.cit, hal. 78.
52
c. Ahli Waris Sistem BW dan Porsi Bagiannya
Peraturan perundang-undangan di dalam BW telah menetapkan keluarga yang
berhak menjadi ahli waris, serta porsi pembagian harta warisannya.
Ahli waris menurut peraturan perundang-undangan, yaitu istri atau suami
yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut
peraturan undang – undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah
terdapat empat golongan sebagai berikut.
a. Golongan Pertama
Golongan pertama adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak
– anak beserta keturunannya serta suami dan/atau istri yang ditinggalkan/
yang hidup paling lama. Bagian golongan pertama yang meliputi anggota
keluarga dalam garis lurus kebawah, yaitu anak-anak beserta keturunannya,
janda dan/atau duda yang ditinggalkan/ yang hidup paling lama, masing-
masing memperoleh satu bagian yang sama.oleh karena itu, bila terdapat
empat orang anak dan janda maka mereka masing-masing mendapat hak 1/5
bagian dari harta warisan. Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia
lebih dahulu dari pewaris tetapi mempunyai lima orang anak. Yaitu cucu-cucu
pewaris, maka bagian anak yang seperlima dibagi di antara anak-anaknya
yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal (dalam sistem
hukum waris BW disebut plaatsvervulling dan dalam sistem hukum waris
Islam disebut ahli waris pengganti dan dalam sitem hukum waris adat disebut
ahli waris pasembai) sehingga masing-masing cucu memperoleh 1/25 bagian.
53
b. Golongan kedua
Golongan kedua adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua
dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunannya. Bagi
orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak
akan kurang 1/4 (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun
mereka menjadi ahli waris bersama saudara pewaris. Oleh karena itu, bila
terdapat tiga orang saudara yang menjadi ahli waris bersama-sama dengan
ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh 1/4
bagian dari seluruh harta warisan; sedangkan separuh dari harta warisan itu
akan diwarisi oleh tiga orang saudara yang masing – masing memperoleh 1/6
bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia maka yang
hidup paling lama akan memperoleh sebagai berikut.
(1) 1/2 (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia menjadi ahli
waris bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan
sama saja.
(2) 1/3 (sepertiga) bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli
waris bersama – sama dengan dua orang saudara pewaris.
(3) 1/4 ( seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi
ahli waris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris
c. Golongan Ketiga
Golongan ketiga adalah ahli waris yang meliputi kakek, nenek dan leluhur
selanjutnya ke atas dari pewaris. Ahli waris golongan ketiga terdiri atas
54
keluarga dari garis lurus ke atas setelah ayah dan ibu, yaitu kakek dan nenek
serta terus ke atas tanpa batas dari pewaris. Hal dimaksud, menjadi ahli waris.
Oleh karena itu, bila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris
golongan pertama dan kedua. Dalam kondisi seperti ini sebelum harta warisan
dibagi, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving), selanjutnya separuh yang
satu merupakan bagian sanak keluarga dari garis ayah pewaris, dan bagian
yang separuhnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari garis ibu pewaris.
Bagian yang masing-masing separuh hasil kloving itu harus diberikan pada
kakek pewaris untuk bagian dari garis ayah; sedangkan untuk bagian dari
garis ibu harus diberikan kepada nenek.
d. Golongan Keempat
Ahli waris golongan keempat meliputi anggota keluarga dalam garis ke
samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Hal dimaksud,
terdiri atas keluarga garis samping, yaitu paman dan bibi serta keturunannya,
baik dari garis pihak ayah maupun garis dari pihak ibu. Keturunan paman dan
bibi sampai derajat keenam dihitung dari simayit atau yang meninggal (
pewaris),dan saudara kakek dan nenek beserta keturunannya sampai derajat
keenam dihitung dari simayit (yang meninggal). Apabila bagian dari garis ibu
sama sekali tidak ada ahli waris sampai derajat keenam maka bagian dari garis
ibu jatuh kepada para ahli waris dari garis ayah. Demikian pula sebaliknya.
Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan : “apabila ahli waris yang berhak
atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka seluruh harta peninggalan
55
jatuh menjadi milik negara, selanjutnya negara wajib melunasi utang-utang si
peninggal harta warisan, sepanjang harta warisan itu mencukupi”.
Cara pembagian harta warisan golongan keempat sama dengan ahli
waris golongan ketiga, yaitu harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk paman
dan bibi serta keturunannya dari garis ayah dan satu bagian lagi untuk paman dan
bibi serta keturunannya dari garis ibu.46
1. Ahli Waris Karena Wasiat
Menurut pasal 874 s.d. pasal 894, pasal 913 s.d. pasal 929 dan pasal 930 s.d. pasal
1022 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata )
mengatur tentang seseorang, dua orang dan/atau beberapa orang untuk menjadi
ahli waris berdasarkan wasiat.
Menurut pasal 874 harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia adalah
kepunyaan ahli waris menurut undang-undang, tetapi pewaris dengan surat wasiat
dapat menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang termuat dalam undang-undang.
Oleh karena itu, surat wasiat yang dilakukan oleh pewaris dapat menunjuk
seseorang atau beberapa orang menjadi ahli waris yang disebut erfstelling.
Erfstelling adalah orang yang ditunjuk melalui surat wasiat untuk menerima harta
peninggalan pewaris. Orang yang menerima wasiat itu disebut testamentaire
erfgenaam. Testamentaire erfgenaam adalah ahli waris menurut wasiat. Ahli waris
dimaksud, menurut undang-undang adalah ahli waris yang memperoleh segala
46 H. Zainudin Ali, op.cit, hal. 87-91.
56
hak dan kewajiban si meninggal onder algemene titel47. Oleh karena itu, catatan
para ahli waris dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah tidak dapat
dikecualikan sama sekali. Menurut undang-undang, mereka dijamin dengan
adanya legitieme portie (bagian mutlak). Ahli waris yang menerima legitieme
portie disebut legitimaris.
Porsi bagian ahli waris karena wasiat mengandung asas bahwa apabila pewaris
mempunyai ahli waris yang merupakan keluarga sedarah, maka bagiannya tidak
boleh mengurangi bagian mutlak dari para legitimaris.
Dari keempat golongan ahli waris yang telah diuraikan dan dicontohkan diatas,
berlaku ketentuan bahwa golongan yang terdahulu menutup golongan yang
kemudian. Karena itu, jika ada golongan kesatu, maka golongan kedua, ketiga dan
keempat tidak menjadi ahli waris, dan seterusnya.
d. Ahli Waris yang Tidak Patut Menerima Harta Warisan
Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan menurut peraturan
perundang – undangan sebagai berikut :
a. Ahli waris yang dengan putusan hakim telah dihukum karena dipersalahkan
membunuh atau setidaknya mencoba membunuh pewaris.
b. Ahali waris yang dengan putusan hakim telah dihukum karena dipersalahkan
memfitnah dan mengadukan pewaris, bahwa pewaris melakukan kejahatan
yang diancam hukuman penjara empat tahun lebih.
47 R. Subekti, Op. cit, hlm. 107.
57
c. Ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau
mencegah pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat.
d. Ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat
wasiat.48
Apabila ternyata ahli waris yang tidak patut ini mengasai sebagian atau
seluruh harta peninggalan dan ia berpura-pura sebagai ahli waris, ia wajib
mengembalikan semua harta yang dikuasainya termasuki hasil-hasil yang telah
dimanfaatkan atau dinikmatinya.
C. Hukum Tanah di Indonesia
Hukum tanah yang baru atau hukum tanah nasional mulai berlaku sejak 24
September 1960, dimuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1960 dengan judul resmi “Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria”, atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA mengakhiri berlakunya peraturan-peraturan hukum tanah kolonial, dan
sekaligus mengakhiri dualisme atau pluralisme hukum tanah di Indonesia, serta
menciptakan dasar-dasar bagi pembangunan hukum tanah nasional yang tunggal
berdasarkan hukum adat sebagai hukum nasional Indonesia yang asli.49
48 Erman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Mandar Madju, 1991), hal.
25. 49 “Pembentukan UUPA dan Perkembangan Hukum Tanah Di Indonesia”,artikel diakses pada 10 Agustus 2010 dari http://image, ymfreaklawyers.multiply.multiplycontent.com
58
1. Fungsi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
1. Menghapuskan dualisme hukum tanah yang lama dan menciptakan unifikasi
serta kodifikasi Hukum Agraria (Tanah) Nasional yang didasarkan pada
Hukum (Tanah) Adat
a. Penghapusan dualisme Hukum Tanah yang lama tersebut dilakukan
dengan cara sebagaimana yang tertuang di dalam diktum
“Memutuskan” dari UUPA, yakni mencabut:
b. Seluruh pasal 51 Indische Staatsregeling yang didalamnya termasuk
juga ayat-ayat yang merupakan Agrarische Wet (stbl. 1870-55);
c. Semua Domein Veklaring dari pemerintah Hindia Belanda baik
yang umum maupun yang khusus;
d. Peraturan mengenai Agrarische Eigendom yang dituangkan ke
dalam Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Stbl. 1872-
117 jo. Stbl. 1873-38);
e. Buku Kedua KUH-Perdata sepanjang yang mengenai bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-
ketentuan mengenai hipotik.
59
f. Dalam hal ini secara implisit ikut terhapus juga ketentuan-ketentuan
tentang larangan pengasingan tanah (Grond Vervreemding Verbod
Stbl. 1875-179).
2. Mengadakan unifikasi hak-hak atas tanah dan hak-hak jaminan atas tanah
melalui ketentuan-ketentuan konversi (Diktum ke-2 UUPA).
3. Meletakkan landasan hukum untuk pembangunan Hukum Agraria (Tanah)
Nasional, misalnya pasal 17 UUPA mengenai Landreform
2. Tujuan Undang- Undang Pokok Agraria
1. Menciptakan unifikasi Hukum Agraria dengan cara:
a. Menyatakan tidak berlaku lagi (mencabut/menghapus) produk peraturan-
peraturan hukum tanah yang lama
b. Menyatakan berlakunya Hukum Tanah Nasional berdasarkan Hukum Tanah
Adat yang tidak tertulis, sebagai bahan penyusunan hukum tanah nasional.
2. Menciptakan unifikasi hak-hak penguasaan atas tanah (hak-hak atas tanah dan hak
jaminan atas tanah) melalui ketentuan konversi:
a. Tanah-tanah hak barat maupun tanah-tanah hak Indonesia sebagai
hubungan konkrit, dikonversi (diubah) menjadi hak-hak atas tanah menurut
UUPA secara serentak dan demi hukum (rechtswege), terhitung mulai tanggal
24 September 1960.
60
b. Hak-hak jaminan atas tanah, yaitu hipotik dan credietverband (pasal 1162
KUH-Perdata pasal 15 Stbl. 1908-542) diubah demi hukum terhitung mulai
tanggal 24 September 1960, menjadi Hak Tanggungan (pasal 51 UUPA &
pasal IV Ketentuan Konversi UUPA jo. UU no. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan dengan Tanah).
3. Hubungan Fungsional Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Sebagai
Hukum Tanah Nasional Dengan Hukum Adat
Hubungan fungsional tersebut dapat kita temukan di dalam ketentuan-ketentuan
UUPA sendiri, yaitu:
a. Konsiderans “Berpendapat”, huruf “a” :
“Bahwa perlu adanya Hukum Agraria Nasional yang berdasarkan Hukum Adat
tentang tanah”.
b. Pasal 5:
“Bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
Hukum Adat”.
c. Penjelasan Umum III/1:
“Bahwa Hukum Agraria yang baru didasarkan pada ketentuan-ketentuan Hukum
Adat, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan
kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan
dunia Internasional, dan seterusnya....”
61
Hukum Adat yang Dimaksud di dalam Undang-Undang Pokok Agraria
a. Formal: “... bagian dari hukum positif Indonesia yang berlaku sebagai hukum
yang hidup dalam bentuk tidak tertulis di kalangan orang-orang Indonesia asli
yang mengandung ciri-ciri nasional, yaitu ...”
b. Material: “... sifat kemasyarakatan yang berasaskan keseimbangan dan diliputi
suasana keagamaan”.
4. Pengertian Substansi Hukum Adat
Dengan pengertian yang demikian, maka apa yang disebut Hukum Adat tidak
harus diartikan semata-mata sebagai rangkaian norma-norma hukum saja, akan tetapi
meliputi juga:
Konsepsi (ajaran, teori);
Asas-asas (yang merupakan perwujudan dari konsepsi);
Lembaga-lembaga hukum;
Sistem (tata susunan yang teratur).
Konsepsi Hak Penguasaan atas Tanah Menurut Hukum Tanah Nasional
62
Hak penguasaan atas tanah adalah suatu hubungan hukum yang memberi
wewenang untuk berbuat sesuatu kepada subyek hukum (orang/badan hukum)
terhadap obyek hukumnya, yaitu tanah yang dikuasainya
Berdasarkan kewenangannya, hak penguasaan tanah menurut UUPA dibagi
menjadi :
1. Hak Penguasaan atas tanah yang mempunyai kewenangan khusus yaitu
kewenangan yang bersifat publik dan perdata.
2. Hak Penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan yang bersifat
umum yaitu kewenangan di bidang perdata dalam penguasaan dan
penggunaan tanah sesuai dengan jenis-jenis hak atas tanah yang diberikan
(Hak Perorangan atas Tanah)
Hak Penguasaan atas Tanah yang Mempunyai Kewenangan Khusus yaitu
Kewenangan yang Bersifat Publik dan Perdata
Dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
a. Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA)
Adalah suatu hubungan yang bersifat abadi antara bangsa Indonesia dengan
tanah di seluruh wilayah Indonesia dengan subyeknya bangsa Indonesia. Hak Bangsa
Indonesia merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi di Indonesia.
b. Hak Menguasai Negara (Pasal 2 UUPA)
Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi seluruh rakyat melaksanakan
tugas untuk memimpin dan mengatur kewenangan bangsa Indonesia (kewenangan
63
publik). Melalui hak menguasai negara, negara akan dapat senantiasa mengendalikan
atau mengarahkan fungsi bumi, air, ruang angkasa sesuai dengan kebijaksanaan
pemerintah.
Adapun substansi kewenangan dalam Hak Menguasai Negara adalah:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan dan
pemeliharaan;
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai oleh subyek hukum
tanah;
3. Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan
hukum yang mengenai tanah.
c. Hak Ulayat Pada Masyarakat Hukum Adat (Pasal 3 UUPA)
Hubungan hukum yang terdapat antara masyarakat hukum adat dengan tanah
lingkungannya. Hak Ulayat oleh pasal 3 UUPA diakui dengan ketentuan:
1. Sepanjang menurut kenyataannya masih ada;
2. Pelaksanaannya tidak bertentangan dengan pembangunan nasional.
Pada tanggal 24 Juni 1999 pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai
hak ulayat yaitu dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 tahun 1999, tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat.
Bahkan perkembangan terhadap pengakuan dan penghormatan terhadap Hak
Ulayat masyarakat hukum adat tersebut dikukuhkan di dalam perubahan ke dua UUD
64
1945 oleh MPR-RI, para tanggal 18 Agustus 2000 di dalam Pasal 18B ayat (2)
disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”.
Hal itu tentunya akan memiliki implikasi yuridis dimasa mendatang terhadap
pengaturan mengenai tindakan, perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah Hak
Ulayat agar tidak berlanjut dampak-dampak negatif selama ini seperti dalam
berbagai kasus pelanggaran terhadap tanah Hak Ulayat di berbagai tempat.
65
MACAM HAK PENGUASAAN ATAS TANAH (Berdasarkan Kewenangannya)
HAK PENGUASAAN ATAS TANAH YANG MEMPUNYAI KEWENANGAN KHUSUS (Bersifat Publik dan Perdata)
HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT (Ps. 3 UUPA)
HAK MENGUASAI NEGARA (Ps. 2 UUPA)
HAK BANGSA INDONESIA (Ps. 1 UUPA)
66
HAK PERORANGAN ATAS TANAH
HAK ATAS TANAH
WAKAF
HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN (uu No. 16 Th. 1985)
HAK JAMINAN ATAS TANAH (Hak Tanggungan) UU No.4/1996
HAK PENGUASAAN ATAS TANAH YANG MEMPUNYAI KEWENANGAN UMUM (Bersifat Perdata)
HAT PRIMER
HAT SEKUNDER
BAB III
GAMBARAN UMUM PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)
DI KECAMATAN TEBET
A. Letak Geografis Kecamatan Tebet
Kecamatan Tebet terletak di Jakarta Selatan, Kecamatan ini memiliki luas
wilayah 9.53 km2. Untuk menyiapkan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade, maka
pada tahun 1960 pemerintah menyiapkan pembangunan Gedung Olahraga dan
Perkampungan Atlit di daerah Senayan. Waktu itulah penduduk didaerah Senayan
dipindahkan kedaerah Tebet.1
Sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur KDKI Jakarta Nomor 1251
Tahun 1986 Tanggal 29 Juli 1986 tentang Pemecahan, Penyatuan, Penetapan Batas,
Perubahan Nama Kelurahan yang sama atau kembar dan Penetapan luas wilayah
Kelurahan di DKI Jakarta, maka Kecamatan Tebet terbagi mejadi 7 (tujuh)
Kelurahan, 80 RW, 947 RT, dengan Jumlah Penduduk sampai dengan Bulan Maret
2007 adalah 238.387 Jiwa terdiri dari 125.027 laki-laki dan 113.360 perempuan, dan
59.682 Kepala Keluarga (KK) terdiri dari 48.170 laki-laki dan 10.972 perempuan,
jumlah pemegang KTP 141.677 jiwa dengan kepadatan penduduk 263 jiwa/Ha.2
1 Tebet, Jakarta Selatan, artikel diakses pada 10 Agustus 2010 dari:http//aby98.wordpress.com/Jakarta-selatan-tebet-kuningan. 2 Laporan penyelenggaraan pemerintah Wilayah kecamatan Tebet Jakarta Selatan, bulan Maret 2007, hal. 6
67
Tabel : Jumlah Penduduk
NO KELURAHAN LUAS
/ Ha RW RT
PENDUDUK
LAKI-LAKI
PENDUDUK
PEREMPUAN
JUMLAH
PENDUDUK
1 Menteng Dalam 264,1 13 139 19814 17825 37639
2 Tebet Barat 171,6 8 103 16619 16007 32626
3 Tebet Timur 138,9 11 110 13899 12897 26796
4 Kebon Baru 123,6 14 153 20185 16795 36980
5 Bukit Duri 107,4 12 152 21432 20825 42257
6 Manggarai Selatan 51,4 10 129 14857 13230 28087
7 Manggarai 95,3 12 161 18221 15781 34002
Jumlah 905,6 80 947 125027 113360 238387
Tabel : Prosentase Mata Pencaharian Penduduk
NO KELURAHAN PNS / TNI
POLRI SWASTA DAGANG LAINNYA
1 Menteng Dalam 35 40 14 11
2 Tebet Barat 29 38 16 17
3 Tebet Timur 32 35 21 12
4 Kebon Baru 35,11 44,11 11, 07 9,71
68
5 Bukit Duri 33 32 19 16
6 Manggarai Selatan 21 27 16 36
7 Manggarai 25,25 28,28 12,78 33,69
Kecamatan 30,05 34,91 15,70 19,34
Batas-batas Wilayah Kecamatan Tebet :
• Utara : Kali Ciliwung (Jakarta Pusat) dan Jln. Menteng Pulo Kec. Setiabudi.
• Timur : Kali Ciliwung (Jakarta Timur).
• Selatan : Jl. Jend. Gatot Subroto dan Jln. MT. Haryono
• Barat : Kali Cideng, Kali Kuningan Timur Kec. Seiabudi3
Sedangkan Dinas Pemetaan melalui foto udara pada Tahun 1989 Wilayah
Kecamatan Tebet terletak pada 106 derajat 48,06o Bujur Timur dan 6 derajat 14,22 o
Lintang Selatan, dan berada di ketinggian 26,2 m diatas permukaan laut dengan rata-
rata curah hujan 7,3 mm/hari (sumber : BMG Jakarta Selatan). Berdasarkan RUTR
dan RBWK sampai pada tahun 2005, wilayah Kecamatan Tebet diperuntukkan
sebagai :
1. Perumahan : 51,2 %
2. Fasilitas Umum : 4,68 %
3. Jasa Komersil : 13,57 %
4. Pemerintahan : 0,04 %
5. Industri / Gudang : 3,15 %
3 Id at, hal. 7
69
6. Bangunan Umum : 0,02 %
7. KDB Rendah : 0,07 %
8. Bangunan Umum : 0,04 %
9. Hijau Tanpa Bangunan : 5,05 %
10. Jalan / Saluran / Sungai : 18,64 %4
Pemeluk agama Wilayah Kecamatan Tebet sampai akhir Maret 2007
berjumlah 238.387 Jiwa, dengan perincian sebagai berikut :
Tabel : Prosentase Jumlah Pemeluk Agama
JUMLAH PEMELUK AGAMA (%) NO KELURAHAN
JUMLAH
PEND. ISLAM KATOLIK PROTESTAN HINDU BUDHA
1 Menteng Dalam 37,639 92,98 2,29 3,79 0,52 0,42
2 Tebet Barat 32,626 93,34 1,78 2,37 0,72 1,19
3 Tebet Timur 26,796 92,87 3,13 3,29 0,28 0,43
4 Kebon Baru 36,980 92,00 2,80 3,20 1,75 0,25
5 Bukit Duri 42,257 94, 95 1,54 2,25 0,35 0,91
6 Manggarai Selatan 28,087 97,13 1,08 1,42 0,13 0,24
7 Manggarai 34,002 79,13 3,97 7,5 5,1 4,4
JUMLAH 238,387 91,84 2,37 3,40 1,27 1,12
1. PENDIDIKAN
4 Ibid
70
Sarana Pendidikan adalah wadah untuk menciptakan insan yang cerdas
sebagai penerus dari generasi ke generasi. Tingkat SD dapat dikatakan sedah
memadai dibandingkan dengan anak usia sekolah. Hal ini disebabkan adanya
keikutsertaan dalam membangun sarana pendidikan Tingkat SD yang berstatus
swasta maupun Madrasah SDI yang pada umumnya mempunyai kurikulum dan mata
pelajaran disesuaikan dengan pendidikan pagi dan sore.5
Sarana pendidikan yang terdapat di Wilayah Kecamatan Tebet adalah seperti
tersaji dalam tabel dibawah ini :
SARANA PENDIDIKAN
SD SLTP SLTA AK /Univ.NO KELURAHAN SLB TK
N S N S N S N S
1 Menteng Dalam 1 7 2 2 1 3 - 1 . 1
2 Tebet Barat 2 8 6 5 - 5 2 4 - -
3 Tebet Timur 5 5 13 2 2 3 - 2 - -
4 Kebon Baru - 9 11 - 1 1 1 1 - -
5 Bukit Duri - 9 11 4 - 4 1 1 - 1
6 Manggarai Selatan - 6 4 1 - 1 - - - -
7 Manggarai 1 3 15 2 2 1 - 4 - -
JUMLAH 9 47 62 62 6 18 4 13 - 2
2. KESEHATAN
5 Loc.cit, hal. 17
71
Masalah kesehatan yang timbul akubat banjir / pasca banjir adalah
berjamgkitnya berbagai penyakit. Untuk menanggulanginya diadakan penyuluhan
tentang cara penanggulangan dan pencegahan dini oleh dokter puskesmas kepada
masyarakat.
Guna mendukung pelaksanaan Delapan Komitmenb Gubernur Pelayanan
puskesmas ditingkatkan dengan diadakannya klinik dokter jaga 24 jam dan pelayanan
kesehatan rutin yang dilaksanakan sejak pukul 08.00 s/d 15.00
WIB. Sebagai gambaran dari sarana kesehatanm yang ada diwilayah
Kecamatan Tebet sebagai berikut :
Tabel : Jumlah Sarana Kesehatan
SARANA KESEHATAN
NO KELURAHAN Rumah
Sakit
R.S.
Bersalin Puskesmas Posyandu
1 Menteng Dalam - 1 2 20
2 Tebet Barat 1 3 2 12
3 Tebet Timur - 1 1 12
4 Kebon Baru - - 1 18
5 Bukit Duri - 1 1 20
6 Manggarai Selatan - - 1 10
7 Manggarai - - 1 13
JUMLAH 1 6 9 105
72
Sedangkan jumlah tebaga kesehatan dapat dilihat seperti dibawah ini :
a. Tenaga Puskesmas
1. Dokter Puskesmas : 37 Orang
2. Perawat : 24 Orang
3. Bidan : 36 Orang
b. Praktek Dokter
1. Dokter Umum : 108 Orang
2. Dokter Anak : 5 Orang
3. Bidan : 50 Orang
4. Dokter Kulit / kelamin : 8 Orang
5. Dokter Spesialis : 35 Orang
6. Dokter Gigi : 68 Orang
7. Apotek / Apoteker : 21 Orang
8. Panti Pijat : 20 Orang
9. Perawat : 24 Orang
10. Klinik Bersalin : 6 Buah
11. Laboratorium : 9 Buah
12. Balai Kesehatan Masy. : 3 Buah
13. Prak. Bersama Dokter Spes. : 150 Orang
14. Balai Pengobatan Umum : 3 Buah
73
15. Balai Pengobatan Gigi : 2 Buah6
B. Sejarah dan Perkembangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Baru pertama kali semenjak diterbitkannya Undang-Undang No. 5 Tahun
1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) diterbitkan
suatu Peraturan Pemerintah tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut
PPAT) dengan Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998 (selanjutnya disebut PP
No. 37/1998), sebagai pelengkap dari Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran
Tanah dan telah dijanjikan pada Pasal 7 PP 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah (selanjutnya disebut PP No. 24/1997).
Menurut Prof. Dr A. P. Parlindungan7, hal ini merupakan hal yang positif
dalam pembangunan hukum keagrarian, karena keragu-raguan dan tidak teraturnya
dengan peraturan hukum tertentu telah banyak menimbulkan keributan dan kerusuhan
(chaos). Dalam kurun waktu 1961 hingga diterbitkannya PP No.37/1998 ini telah banyak
sekali kekacauan dan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pembuatan akta PPAT,
karena pelaksanaan tugas dari PPAT tidak tertuang dalam PMA No.18 Tahun 1961. PMA
No.10 Tahun 1961 yang terdiri atas 10 Pasal hanya mengatur tentang daerah kerja PPAT,
tentang kewenangan membuat akta tanah dalam daerah kerjanya dan keharusan meminta
izin jika melakukan pembuatan akta tanah di lain daerah kerjanya dan berkantor di daerah
6 Loc.cit, hal. 19
7 A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah (Bandung:Mandar Maju, 1990) hal. 25
74
kerjanya, kemudian siapa yang dapat diangkat sebagai PPAT. Setelah dikeluarkannya PP
No.37/1998, tugas dan ruang lingkup jabatan PPAT lebih jelas dan rinci .
PP No.37/1998 ini telah dikeluarkan oleh pemerintah sudah 10 tahun
lamanya, namun dalam pelaksanaannya masih banyak masyarakat belum mengetahui
dan memahami secara seksama apa dan bagaimana isi PP No.37/1998 yang mengatur
tentang jabatan PPAT tersebut. Seringkali pula ditemui adanya tumpang tindih
pengetahuan antara jabatan Notaris dan PPAT. Padahal seperti diketahui keduanya
merupakan 2 (dua) jabatan yang berbeda tugas dan kewenangannya.
Oleh sebab itu kami mencoba untuk menguraikan ruang lingkup
pengangkatan, pemberhentian, daerah kerja, tugas dan kewenangan PPAT dalam
menjalankan jabatannya dalam laporan ini.
C. Struktur Organisasi dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pasal 1 PP No.37/1998, menyebutkan :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat
umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun.
75
2. PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT
di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
3. PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk
karena jabatannya utnuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat
akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas
Pemerintah tertentu.
4. Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah
dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau atas
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
5. Protokol PPAT adalah kumpulan dokumen yang harus disimpan dan
dipelihara oleh PPAT yang terdiri dari daftar akta, asli akta, warkah
pendukung akta, arsip laporan, agenda dan surat-surat lainnya.
6. Warkah adalah dokumen yang dijadikan dasar pembuatan akta PPAT.
7. Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan
dalam satuan daerah kerja PPAT.
8. Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukan kewenangan
seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak didalamnya.
9. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang
agraria/pertanahan
76
Apa yang diuraikan pada Pasal 1 ini, telah memperjelas tentang perngertian
PPAT tersebut, sehingga kita mengenal beberapa PPAT. Disamping itu ada yang
disebut protokol PPAT yang terdiri dari daftar akta, akta-akta asli yang harus dijilid,
warkah pendukung data, arsip laporan, agenda dan surat-surat lainnya. Berbeda
dengan protokol Notaris masih ada yang tidak termasuk yaitu buku klapper yang
berisikan nama, alamat, pekerjaan, akta tentang apa dan singkatan isi akta, nomor dan
tanggal akta dibuat.
Formasi dari PPAT di sesuatu wilayah adalah maksimum boleh di tempatkannya
PPAT di sesuatu wilayah dan ini telah diatur oleh Pasal 14 PP No.24/1997 dan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun
1996 dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.640-679 tanggal 11
maret 1996.
Peraturan Menagria/KBPN no.1 tahun 1996 menyebutkan sebagai berikut :
Pasal 1 :
Formasi PPAT di Kabupaten/Kota daerah tingkat II ditetapkan berdasarkan
rumus sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini.
Formasi tersebut pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
y = a1×1 + a2×2 + b.
y = formasi PPAT di daerah tingkat II.
x1 = jumlah kecamatan dalam daerah tingkat II.
77
x2 = jumlah sertipikat non-proyek (sporadis) di daerah tingkat II rata-rata tiga
tahun terakhir.
a1 = 4 untuk Kota di DKI Jakarta.
a1 = 3 untuk daerah tingkat II lainnya atau yang disamakan.
a2 = 1/1000
b = angka pembulatan ke atas sampai lipatan lima.
Formasi PPAT daerah tingkat II berdasarkan Peraturan ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan dan berakhir pada tanggal 24 september tahun ketiga sejak tahun
penetapannya, dan ditetapkan kembali dengan mengikuti kemungkinan adanya
perubahan pada rumus dimaksud pada diktum pertama ayat (2) untuk selama tiga
tahun berikutnya dengan catatan apbila tidak ada perubahan maka rumus ini tetap
dipergunakan. Formasi PPAT dalam peraturan ini berlaku pula untuk PPAT
Sementara yang dijabat oleh Camat selama masih diangkat sebagai PPAT.
Pada Pasal 2 ayat (2), menyebutkan Kabupaten/Kota tingkat II yang jumlah PPAT-
nya telah mencapai jumlah sama atau lebih dari formasi yang ditetapkan dengan
rumus dimaksud pada pasal 1 di atas dinyatakan tertutup untuk pengangkatan PPAT
baru maupun pindahan dari daerah lain.
Daerah kerja suatu PPAT adalah yang menunjukan kewenangan dari PPAT tersebut
membuat akta-akta PPAT. Daerah ini pada umumnya meliputi satu kantor pertanahan
78
tertentu, namun tidak tertutup kemungkinan PPAT ini mempunyai daerah kerja
lainnya. Banyak protes dari para Notaris maupun dari ikatan PPAT tentang wilayah
para PPAT, seperti di daerah Jakarta Raya, karena ada Notaris-PPAT yang
mempunyai wilayah se-Jakarta Raya, tetapi ada juga PPAT yang baru dilantik hanya
daerah tingkat II di daerah Jakarta Raya.
Pengangkatan Dan Pemberhentian PPAT
Dalam Pasal 5 PP No.37/1998, diatur tentang pengangkatan PPAT, sebagai
berikut :
1. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
2. PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu.
3. Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum
cukup terdapat PPA atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam
pembutan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di
bawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus, yaitu:
a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT sebagai PPAT Sementara;
79
b. Kepala Kantor Pertanian untuk melayani pembuatan akta PPAT yang
diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat
atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat
berdasarkan asas reprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri,
sebagai PPAT Khusus.
Dari rumusan diatas dapat dipahami, bahwa :
a. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
b. Untuk suatu wilayah belum dipenuhi formasi pengangkatan PPAT dapat
ditunjuk Camat sebagai PPAT sementara, malahan jika ada suatu desa yang
jauh sekali letaknya dan jauh dari PPAT yang terdapat di kabupaten/kota
dapat ditujunjuk Kepala desa sebagai PPAT sementara. Dengan ketentuan ini
maka Camat tidak otomatis diangkat sebagai PPAT Sementara (dapat terbukti
dari surat pengangkatannya dan telah disumpah sebagai PPAT).
c. PPAT Khusus ini bertugas untuk melaksanakan perbuatan hukum atas Hak
Guna Usaha (HGU), terutama dalam hal mutasi.
Pengangkatan, Pemberhentian dan Daerah Kerja PPAT
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 PP No.37/1998, tentang syarat untuk
dapat diangkat menjadi PPAT adalah:
80
1. Berkewarganegaraan Indonesia;
2. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
3. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh
Instansi Kepolisian setempat;
4. Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
5. Sehat jasmani dan rohani;
6. Lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan
khusus
PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;
7. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan
Pertanahan Nasional.
Dengan adanya persyaratan dari Pasal 6 ini, maka sudah jelas siapa yang
dapat diangkat sebagai PPAT, yaitu telah mendapat pendidikan khusus spesialis
notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diadakan oleh lembaga
pendidikan tinggi di samping harus pula lulus dari ujian yang diadakan oleh Kantor
Menteri Negara Agraria/Kantor Pertanahan Nasional.
Dengan demikian kemungkinan diangkat sebagai PPAT tanpa ujian ataupun
yang belum pernah mendapatkan pendidikan khusus tentang PPAT tidak akan
81
mungkin. Kalaupun ada PPAT sementara Camat atau Kepala Desa maka tentunya
pemerintah perlu mengatur dengan suatu Peraturan Menteri atas dispensasi tersebut.
Didalam Pasal 8 PP No.37/1998, disebutkan PPAT berhenti menjabat karena:
a. Meninggal dunia; atau
b. Telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun; atau
c. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas
sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota Daerah
Tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau
d. Diberhentikan oleh Menteri. Sementara dalam ayat (2) pasal tersebut
menyebutkan :
(1). PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas
PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (3) huruf a dan b, atau diberhentikan oleh Menteri.
(2) Ayat 1 huruf c merupakan suatu penyelesaian dari ada seseorang
diangkat sebagai PPAT, tetapi kemudian diangkat sebagai notaris di kota
lain, sehingga menurut ketentuan ini yang bersangkutan berhenti sebagai
PPAT, sungguh pun kalau masih ada lowongan di kota yang bersangkutan
diangkat kembali sebagai PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai
notaris.
82
(3) Hal ini sebagai solusi seseorang yang diangkat sebagai PPAT dan
kemudian sebagai notaris di kota lain tetap memegang kedua jabatan
tersebut dan tetap melakukan tugas-tugas PPAT dan notarisnya dan
usahanya untuk diangkat sebagai PPAT di tempat yang bersangkutan
sebagai notaris tidak dikabulkan oleh Kepala BPN hanya disuruh berhenti
saja sebagai PPAT atau dia diangkat saja sebagai notaris di tempat
ditunjuk sebagai PPAT.
Sedangkan ayat (2) merupakan ketegasan dari PPAT sementara ataupun
PPAT khusus yang tidak mungkin melanjutkan tugas-tugasnya kalau mereka
dipindahkan ataupun berhenti sebagai pejabat di daerah itu baik sebagai atau kepala
desa dan demikian pula PPAT khusus itu dipindah ke lain jabatan ataupun berhenti
ataupun pensiun sebagai pegawai negeri.
Pasal 10 PP No. 37/ 1998, menyebutkan:
(1). PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. Permintaan sendiri;
b. Tidak lagi menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau
kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang
berwenang atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk;
c. Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT;
83
d. Diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI.
(2). PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena :
a. Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT;
b. Dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan
pidana yang diancam dengn hukuman kurungan atau penjara selama-
lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan
yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3). Pemberhentian PPAT karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dan ayat (2) dilakukan setelah PPAT yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
mengajukan pembelaan diri kepada Menteri.
(4) PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri dapat diangkat kembali menjadi
PPAT untuk daerah kerja lain daripada daerah kerjanya semula, apabila formasi
PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh.
Sementara Daerah kerja PPAT diatur dalam Pasal 12 PP No.37/1998, sebagai
berikut:
(1) Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
(2) Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya
sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.
84
Untuk daerah yang terjadi pemekaran atau pemecahan menjadi 2 (dua) atau
lebih tentunya dapat mengakibatkan perubahan daerah kerja PPAT didaerah yang
terjadi pemekaran atau pemecahan tersebut. Hal ini telah diatur dalam Pasal 13 PP
No.37/1998, sebagai berikut :
(1) Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih
wilayah Kabupaten/Kota, maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diundangkannya
Undang-Undang tentang pembentukan Kabupaten/Kota Daerah tingkat II yang baru
PPAT yang daerah kerjanya adalah Kabupaten/Kota semua harus memilih salah satu
wilayah Kabupaten/Kota sebagai daerah kerjanya, dengan ketentuan bahwa apabila
pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang pembentukan Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II
yang baru tersebut daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah
Kabupaten/Kota letak kantor PPAT yang bersangkutan.
(2) Pemilihan daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dengan
sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang pembentukan
Kabupaten/Kota daerah Tingkat II yang baru.
Dari rumusan diatas dapat dipahami bahwa dalam ayat (1) memberikan suatu
kemudahan kepada PPAT untuk memilih salah satu wilayah kerjanya, dan jika ada
kantor pertanahannya disitulah dianggap sebagai tempat kedudukannya dan
disamping itu diberi dia tenggang waktu satu tahun untuk memilih, dan jika dia tidak
85
memilih salah satu dari daerah tersebut, maka dianggap dia telah memilih kantor
pertanahan di daerah kerjanya dan atas daerah kerja lainnya setelah satu tahun tidak
lagi berwenang. Sedangkan dalam masa peralihan yang lamanya 1 (satu) tahun PPAT
yang bersangkutan berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik
Atas satuan rumah Susun yang terletak di wilayah Daerah Tingkat II yang baru
maupun yang lama.
Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT
Pasal 2 PP No.37/1998, sebagai berikut :
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan
membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar
bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian harta bersama;
86
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Sementara Pasal 101 Peraturan Menagria/KBPN No.3 Tahun 1997,
menyebutkan sebagai berikut :
1. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan
hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat
kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
saksi yang memuat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum,
yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau
kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukan dalam pembuatan
akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum yang bersangkutan.
3. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan
memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur
pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Atas ayat (1) maka tugas dari PPAT adalah melakukan perekaman perbuatan
hukum (recording of deeds of conveyance) sebagaimana diatur dalam ayat (2).
Dalam Pasal 3 PP No.37/1998, disebutkan :
87
(1) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 seorang
PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
(2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang
disebut secara khusus dalam penunjukannya.
Demikian PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta PPAT
berdasarkan penunjukannya sebagai PPAT, di sesuatu wilayah dan perbuatan-
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) PP No.37/1998 tersebut.
Sedangkan kewenangan PPAT khusus tersebut adalah pembuatan akta PPAT yang
secara khusus ditentukan.
Mengenai bentuk akta PPAT ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dalam
Pasal
21 PP No.37/1998, sebagai berikut :
(1) Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada tahun
pembuatan.
(3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu :
a. Lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT
bersangkutan, dan
88
89
b. Lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjasi obyek
perbuatan hukum dalam akta yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan
untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai
pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada
pemegang kuasa untuk dasar pembuatan akta Pemberian Hak Tanggungan,
dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya.
Yang mengherankan dalam penjelasan ayat (1) pasal diatas, bahwa untuk memenuhi
syarat otentiknya suatu akta, maka akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh
Menteri. Penulis tidak sependapat dengan penjelasan tersebut, karena yang
menentukan keotentikan suatu akta yaitu kewenangan pejabat yang membuatnya,
komparisi, nama-nama dan tanggal akta dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada, hal
itulah yang membuat akta itu otentik.8
8 Tugas dan Wewenang PPAT, artikel diakses pada 10 Agustus 2010 dari :http://kuliah-
notariat. Blogspot.com/2009/03/tugas-dan-wewenang-ppat.html.
BAB IV
PEMBAGIAN WARISAN ATAS TANAH DAN
ATAU BANGUNAN
STUDI KASUS MASYARAKAT TEBET
A. Pembagian Warisan atas Tanah dan Bangunan Menurut Tradisi
Masyarakat Tebet
Tebet merupakan sebuah kecamatan yang berada diwilayah Jakarta Selatan
dengan penduduknya mayoritas beragama Islam1. Dalam hal pembagian warisan,
sebagaimana kita ketahui bersama bahwa diIndonesia menganut tiga hukum
kewarisan, yakni Hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan adat, dan hukum
kewarisan Eropa (BW)2, walupun mayoritas penduduknya beragama Islam namun
dalam hal pembagian warisan, masyarakat tebet tidak sepenuhnya memakai hukum
waris Islam. Hal ini terjadi karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya,
diantaranya sangat minimnya pemahaman masyarakat tentang hukum kewarisan,
khusunya hukum waris Islam, kurang adanya sosialisasi akan pentingnya hukum
waris Islam oleh Pemerintah, tokoh masyarakat dalam hal ini ulama’, yang memiliki
hubungan lebih dekat dengan masyarakat setempat secara keagamaan, serta tidak
1 Laporan penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Bulan Maret 2007, hal. 16 2 Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku di Indonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20
90
ا القرآن و علموه الناس وتعلموا الفرائض وعلمواها الناس فاءني وملعت ال فةضيرى الففن انثامرؤ مقبوض والعلم مرفوع ويوشك ان يختلف ا
)أخرجه احمد والنسائى والدارقطنى. (امهربخا يدح ااندجي
” Pelajarilah oleh kalian al-Qur’an, dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah
(pula) ilmu faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang
akan terenggut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang
bersengketa tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorang pun yang dapat
memberikan fatwa kepada mereka. ” (HR. Ahamad. Al-Nasa’i, dan al-Daruquthny)
Hadist di atas menempatkan perintah untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraid
sejalan dengan perintah untuk mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an. Ini tidak lain
dimaksudkan, untuk menunjukkan bahwa ilmu faraid merupakan cabang ilmu yang
cukup penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Lagi pula,
tidak jarang dijumpai bahwa naluriah manusia memiliki kecenderungan materialistik,
serakah, tidak adil, dan kadang dengan mudah mengorbankan kepentingan orang lain
demi memenangkan hak-haknya sendiri. Maka, di sinilah letak pentingnya kegunaan
ilmu fiqh mawaris, karena itu wajib dipelajari dan diajarkannya kepada orang lain.
Maksudnya adalah, agar di dalam pembagian warisan, setiap orang menaati dan
melaksanakan ketentuan yang telah diatur dalam al-Quran secara detail.
91
Menurut beberapa nara sumber yang merupakan tokoh masyarakat dan
ulama’yang sering dijadikan rujukan dalam urusan pembagian warisan di wilayah
Tebet,3 sebagaimana penulis wawancarai secara dept interview (wawancara bebas)
menerangkan bahwa : masyarakat Tebet secara umum membagi harta warisan yang
berupa tanah dan atau bangunan berdasarkan kekeluargaan atau kesepakatan di antara
para ahli waris. Adapula di antara mereka yang membagi sama rata, adapula yang
menganut kaidah hukum waris Islam, namun demikian masalah kewarisan disini
seringkali menimbulkan konflik di antara para ahli waris, hal ini disebabkan ada
diantara para ahli waris yang tidak mau menerima hasil pembagian atas harta warisan
yang berupa tanah dan atau bangunan dikarenakan merasa kurang memenuhi rasa
keadilan bagi dirinya, walupun sudah ada ketentuan di masing – masing hukum waris
yang ada. Sebagai contoh, kasus pembagian warisan di kelurahan Bukit Duri
Kecamatan Tebet, yaitu keluarga Bpk Banin dan Ibu Sumiyah dengan dua orang
anaknya yang terdiri dari satu orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan.
Setelah bapak Banin meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang istri dan dua
orang anak maka di antara ahli waris ini saling berebut harta warisan, dari pihak anak
laki-laki meminta harta warisannya dibagi secara Islami, namun dari pihak anak
perempuan tidak mau menerima dengan pembagian secara hukum Islam, karena
menurutnya anak perempuan ini lebih dominan dalam hal perhatiannya terhadap
keluarganya dibandingkan anak laki-laki yang tidak pernah mempedulikan urusan
keluarganya di masa pewaris masih hidup. Setelah berlarut – larut tidak menemui 3 KH. Masyhuri Shahid, KH.M Thoyib AR, KH. A Hanafi, Ustd Luqman Hakim (tokoh Ulama)
92
hasil kesepakatan di antara ahli waris, akhirnya antara ahli waris sepakat membawa
masalah ini ke tokoh masyarakat setempat atau ulama’. Kemudian ulama’ yang
dimaksud disini adalah KH. M Thoyib AR. Pimpinan Majlis ta’lim Al-Husna Kebon
Baru, Kecamatan Tebet Jakarta Selatan. Setelah KH. M Thoyib mempelajari akar
masalahnya, ternyata anak perempuan ini merasa kurang banyak bagiannya jika
dibagi secara hukum waris Islam, pada tataran ini KH M. Thoyib memberikan
penjelasan dan pemahaman kepada para ahli waris tentang pentingnya hukum waris
Islam sebagai solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah kewarisan dan juga
sebagai umat Islam merupakan kewajiban bagi kita untuk mematuhi aturan hukum
Islam sebagaimana telah ditetapkan dalam Al-Quran, sebab di dalam Al-Qur’an
sendiri telah ditetapkan bagian masing – masing ahli waris, sebagaimana yang
termaktub dalam Surah An-Nisa ayat 7, 8, 11, 12, 33, dn 176. Untuk memenuhi rasa
keadilan disini, KH M. Thoyib meminta kesadaran dari ahli waris laki- laki untuk
membagi sebagaian hartanya kepada ahli waris perempuan setelah harta yang berupa
tanah dan atau bangunan disini dibagi secara waris Islam, sebagian harta yang
diberikan kepada ahli waris perempuan di sini diistilahkan oleh KH. M. Thoyib
sebagai ”kerohiman.”4 Dengan adanya cara pembagian harta warisan seperti ini, yaitu
tetap dibagi secara hukum waris Islam kemudian atas kesadaran diantara para ahli
waris, ahli waris yang merasa berkecukupan membagi sebagian bagaiannya kepada
ahli waris yang kurang mampu atau mendapat bagian yang lebih sedikit dengan
istilah kerohiman.
4 Wawancara pribadi dengan KH.M. Thoyib, Jakarta 01 Juli 2010
93
Di lain tempat pernah juga terjadi sengketa harta warisan berupa tanah dan
atau bangunan di wilayah kelurahan Menteng Dalam, tepatnya di Jl. Persada Raya
persis di samping lampu merah Saharjo, pewaris yaitu KH. Tabrani, merupakan
seorang tokoh agama di wilayah Menteng Dalam, namun demikian para ahli waris
mengindahkan norma-norma agama dalam hal pembagian warisan, sehingga di antara
para ahli waris tidak ada kesepakatan atau titik temu dalam rangka membagi harta
warisannya. Setelah berlarut-larut tidak ada kata sepakat akhirnya di antara para ahli
waris ada yang berinisiatif untuk melibatkan seorang ulama’ yang biasa dijadikan
rujukan jika ada masalah pembagian warisan, dalam hal ini almarhum KH. Mashuri
Syahid, MA yang tinggal di Jl. Tebet Barat dan juga pernah menjabat sebagai ketua
Komisi Fatwa MUI DKI. Namun demikian setelah diberikan pemahaman dan
pengertian tentang ilmu mawaris dan juga merupakan kewajiban bagi umat muslim
untuk mengaplikasikan nilai – nilai Islami dalam setiap lini kehidupan, khusunya
masalah kewarisan,ternyata para ahli waris tidak juga bisa menerima, hal ini kembali
kepada sifat manusia sendiri yang cenderung serakah, tidak adil, dan suka
mementingkan kepentingannya sendiri di atas kepentingan orang lain. Setelah melihat
kenyataan seperti ini akhirnya KH. Masyhuri Syahid mengembalikan sepenuhnya
masalah ini kepada keluarga almarhum H. Tabrani.5 Setelah melalui jalur
kekeluargaan tidak bisa juga, di antara para ahli waris ada yang melibatkan jasa
pengacara, disisi lain akhirnya masing – masing ahli waris saling mengklaim melalui
pengacaranya masing – masing, setelah cukup lama bertikai , akhirnya para ahli
5 Wawancara Pribadi dengan Alm. KH. Masyhuri Syahid, Jakarta 4 Oktober 2007.
94
waris harus mengeluarkan biaya besar untuk membayar para pengacara mereka,
naifnya, ternyata para ahli waris di sini tidak mampu membayar para pengacaranya,
sehingga sampai sekarang tanah dan atau bangunan yang diperebutkan tadi dikuasai
oleh pengacara sebagai jaminan dari para ahli waris untuk membayar jasanya.
Ada juga kasus pembagian warisan yang terjadi di daerah Pasar Pedok, masih
wilayah Menteng Dalam yaitu keluarga H. Yasin, masalahnya di sini adalah, semasa
hidupnya pewaris sudah membagi-bagi sebagian hartanya berupa tanah dan atau
bangunan kepada para ahli waris yang dianggap sudah dewasa, ketika pewaris
meninggal dunia masih ada salah satu anaknya yang belum dewasa, setelah ahli waris
yang satu ini sudah cukup umur, para ahli waris yang lain meminta harta yang
ditinggalkan pewaris dibagi lagi di antara mereka, secara otomatis pewaris yang
belum pernah mendapat bagian ini tidak bisa menerimanya, sehingga terjadilah
sengketa di antara ahli waris dan akhirnya para ahli waris sepakat untuk membawa
masalah ini kepada seorang tokoh agama yang biasa menyelesaikan masalah
pembagian warisan di daerah Pedok.
Menurut KH A. Hanfi LC. masalah yang terjadi pada keluarga H. Yasin ini
timbul akibat kurang adanya pemahaman terhadap ilmu mawaris oleh umat Islam,
jikalau umat Islam memahami betul dan mengamalkan al-Quran, maka hal-hal
semacam ini tidak akan terjadi, sebab di dalam hukum waris Islam, yang dikatakan
harta warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal dunia,
jadi jika ada orang yang telah membagi-bagi hartanya sebelum ia meninggal dunia
tidak bisa dikatakan sebagai pembagian warisan, kalau akadnya membagi warisan
95
maka dianggap tidak sah. Dengan demikian para ahli waris dari H. Yasin akhirnya
menghitung kembali semua harta yang ada, termasuk yang telah dibagi-bagikan
semasa pewaris masih hidup dan dianggap sebagai harta warisan. Setelah semuanya
sepakat dan semua harta dihitung semua, KH A. Hanafi LC, membagi harta tersebut
sesuai dengan porsi masing-masing ahli waris yang terdiri dari 4 orang anak, satu
laki-laki dan tiga orang anak perempuan serta seorang istri sesuai dengan hukum
waris Islam, dan juga KH A. Hanafi menganjurkan kepada ahli waris yang mendapat
bagian lebih banyak, untuk mambagi sebagian hartanya kepada ahli waris lain yang
porsi bagiannya lebih sedikit dengan istilah kerohiman.6
Menurut para kyai yang penulis wawancarai di antaranya, KH M. Thoyib AR,
KH Masyhuri Syahid, MA, KH. A. Hanafi LC, Drs Ustd. Luqman Hakim (pimpinan
PonPes Ar-Rahmah Bojong Gede) yang berdomosili di Jl. Flamboyan Menteng
Dalam Tebet dan beberapa warga masyarakat menyatakan bahwa pada umumnya
masyarakat menyelesaikan masalah kewarisan secara kekeluargaan tanpa melibatkan
orang lain dengan cara menjual dalam hal ini tanah dan bangunan kepada orang lain,
kemudian dari hasil penjualan ini baru dibagi di antara para ali waris sesuai
kesepakatan bersama. Jika di dalam pembagian warisan ini timbul masalah yang tidak
bisa diselesaikan, baru tokoh agama atau ulama’ dilibatkan untuk memberikan
pengarahan dan pemahaman sesuai syari’at Islam, jika dengan cara ini masih ada di
antara para ahli waris yang tidak bisa menerima, biasanya masyarakat akan membawa
masalah ini ke meja hijau, dalam hal ini Pengadilan Agama. Adapula yang memakai
6 Wawancara Pribadi dengan A. Hanafi , Jakarta 01 Juli 2010.
96
jasa pengacara, namun realita yang terjadi dibeberapa keluarga, seperti keluarga H.
Thabrani di Jl. Persada Raya, keluarga H. Jejen di Jl Palbatu Raya, Keluarga Hj.
Fatimah di Tebet Barat, yang semuanya dalam wilayah kecamatn Tebet, harta
warisan yang tadinya diperebutkan karena saling ingin menguasai akhirnya malah
jatuh ke tangan pengacara, disebabkan karena waktu yang dipakai untuk sengketa
terlalu lama dan biaya yang dibutuhkan untuk jasa pengacara sangatlah besar, sampai
para ahli waris tidak mampu membayar, sehingga harta yang berupa tanah dan
bangunan yang akan dibagi secara waris dibuat jaminan untuk membayar pengacara.7
B. Wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Tebet dalam Kaitannya
dengan Pembagian Harta Warisan atas Tanah dan Bangunan yang di Perjual
Belikan.
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pejabat yang berwenang
membuat akta otentik berupa Akta Jual Beli (AJB), jika diantara para ahli waris telah
sepakat untuk menjual harta warisannya berupa tanah dan atau bangunan kepada
pihak pembeli dengan kesepakatan harga tertentu serta keadaan tanah tidak dalam
sengketa atau ada tanggungan diatasnya.
Jual beli hak atas tanah merupakan proses peralihan hak yang sudah ada sejak
jaman dahulu. Jual beli ini didasarkan pada hukum Adat, dan harus memenuhi syarat-
syarat seperti: Terang, Tunai dan Rill. Terang artinya di lakukan di hadapan Pejabat
7 Wawancara Pribadi dengan Luqman Hakim, Jakarta 5 Agustus 2010.
97
Umum yang berwenang, Tunai artinya di bayarkan secara tunai, dan Rill artinya jual
beli dilakukan secara nyata. Jadi, apabila harga belum lunas, maka belum dapat
dilakukan proses jual beli sebagaimana dimaksud. Dewasa ini, yang diberi wewenang
untuk melaksanakan jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
terdiri dari:
1. PPAT sementara yakni Camat yang oleh karena jabatannya dapat
melaksanakan tugas PPAT untuk membuat akta jual beli tanah. Camat di sini
diangkat sebagai PPAT untuk daerah terpencil atau daerah – daerah yang
belum cukup jumlah PPAT nya.
2. PPAT yakni Pejabat Umum yang diangkat oleh kepala Badan Pertanahan
Nasional yang mempunyai kewenangan membuat akta jual beli yang bertugas
untuk wilayah kerja tertentu.
Adapun prosedur jual beli tanah yang harus ditempuh dalam pelaksanaan jual
beli tanah dan bangunan adalah sebagai berikut:
1. Akta Jual Beli (AJB) bila mana sudah tercapai kesepakatan mengenai harga
tanah termasuk didalamnya cara pembayaran dan siapa yang menangung
biaya pembuatan Akta Jual Beli (AJB) antara pihak penjual dan pembeli,
maka para pihak harus datang ke kantor PPAT untuk membuat akta jual beli
tanah.
98
2. Persyaratan Akta Jual Beli (AJB) hal-hal yang diperlukan dalam membuat
Akta Jual Beli tanah di kantor PPAT adalah sebagai berikut:
a. Syarat-syarat yang harus dibawa penjual:
1. Asli sertifikat hak atas tanah yang akan dijual;
2. Kartu Tanda Penduduk;
3. Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sepuluh
tahun terakhir;
4. Surat persetujuan suami isteri serta kartu keluarga bagi yang
telah berkeluarga.
b. Syarat-syarat yang harus dibawa oleh Calon Pembeli:
1. Kartu Tanda Penduduk
2. Kartu Keluarga
3. Proses pembuatan AJB di Kantor PPAT
a. Persiapan pembuatan AJB sebelum dilakukan proses jual beli:
1. Dilakukan pemeriksaan mengenai keaslian dari sertipikat
termaksud di kantor Pertanahan untuk mengetahui status
sertifikat saat ini seperti keasliannya, apakah sedang
dijaminkan kepada pihak lain atau sedang dalam sengketa
kepemilikan, dan terhadap keterangan sengketa atau tidak,
maka harus disertai surat pernyataan tidak sengketa atas tanah
tersebut;
99
2. Terkait status tanah dalam keadaan sengketa, maka PPAT akan
menolak pembuatan AJB atas tanah tersebut;
3. Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan
membeli tanah tersebut maka tidak lantas menjadi pemegang
hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum;
4. Penjual diwajibkan membayar Pajak Penghasilan (PPh) yakni
sebesar 5% dari nilai transaksi atau Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP), sedangkan pembeli diwajibkan membayar Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yakni
sebesar 5% dari nilai transaksi atau Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) setelah dikurangi terlebih dulu dengan Nilai Jual Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
b. Pembuatan Akta Jual Beli
1. Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon
pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa
tertulis;
2. Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya
dua orang saksi;
3. PPAT akan membacakan serta menjelaskan mengenai isi dan
maksud pembuatan akta, dan bila isi akta disetujui maka oleh
penjual dan calon pembeli akta tersebut akan ditandatangani
100
oleh para pihak, sekaligus saksi dan pejabat pembuat akta
tanah sendiri;
4. Akta dibuat dua lembar asli, satu disimpan oleh di kantor
PPAT dan lembar lainnya akan disampaikan kepada kantor
pertanahan setempat untuk keperluan balik nama atas tanah,
sedangkan salinannya akan diberikan kepada masing-masing
pihak.
c. Setelah Pembuatan Akta Jual Beli
1. Setelah Akta Jual Beli selesai dibuat, PPAT menyerahkan
berkas tersebut ke kantor pertanahan untuk balik nama
sertifikat; dan
2. Penyerahan akta harus dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja sejak ditandatangani, dengan berkas-berkas yang
harus diserahkan antara lain: surat permohonan balik nama
yang telah ditandatangani pembeli, Akta Jual Beli dari PPAT,
Sertipikat hak atas tanah, Kartu tanda penduduk kedua belah
pihak, Bukti lunas pembayaran Pph, serta bukti lunas
pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
d. Proses di Kantor Pertanahan
1. Saat berkas diserahkan kepada kantor pertanahan, maka kantor
pertanahan akan memberikan tanda bukti penerimaan
101
permohonan balik nama kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah
yang selanjutkan akan diberikan kepada pembeli;
2. Nama penjual dalam buku tanah dan sertifikat akan dicoret
dengan tinta hitam dan diberi paraf oleh kepala kantor
pertanahan atau pejabat yang ditunjuk;
3. Nama pembeli selaku pemegang hak atas tanah yang baru akan
ditulis pada halaman dan kolom yang terdapat pada buku tanah
dan sertipikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan serta
tandatangan kepala kantor pertanahan atau pejabat yang
ditunjuk; dan
4. Dalam waktu 14 (empat belas) hari pembeli berhak mengambil
sertipikat yang sudah dibalik atas nama pembeli di kantor
pertanahan setempat.8
Demikian deskripsi peranan PPAT dalam kaitannya pembagian harta warisan
berupa tanah dan atau bangunan jika harta tersebut dijual kepada pihak orang lain.
C. Instansi Atau Pejabat yang Berhak Menentukan Nilai Harga Atas Tanah dan Bangunan
Sejak tahun 1960 (UUPA) terjadi kekosongan kolektif dalam kebijakan
pertanahan secara nasional, regional dan sektoral, antara lain dalam hal kebijakan
8, “Prosedur data yang diperlukan dan syarat-syarat penandatanganan akta jual beli (AJB),” artikel diakses pada 31 maret 2009 dari http://kuliah-notariat.blogspot.com/label/akta jual beli (AJB)
102
penilaian tanah. Selama ini penilaian tanah dikenal untuk keperluan perpajakan
(NJOP), yang nilainya tidak mencerminkan nilai nyata atau sesungguhnya, karena
biasanya NJOP lebih rendah dari nilai pasaran, karena NJOP ditetapkan oleh Menteri
Keuangan pada dasarnya adalah 3 (tiga) tahun sekali kecuali untuk daerah yang
berkembang pesat yaitu setahun sekali, yakni per 1 Januari. Selain itu telah lama
berlangsung perdebatan apakah NJOP dapat digunakan untuk keperluan lain seperti:
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, jual beli, penilaian aset
negara/pemerintah, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini rakyat sering dirugikan, potensi pajak dan uang pemasukan
kepada negara juga terdegradasikan. Dan juga berkembangnya spekulan-spekulan
tanah serta tidak dihargainya nilai-nilai ekonomi sumber daya alam dan lingkungan,
semakin tertutupnya rakyat kelompok marginal untuk akses kepada sumber-sumber
kehidupan, yaitu tanah, sehingga tujuan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan
rakyat semakin jauh.
Dengan melihat realita yang terjadi di lapangan sebagaimana kasus di atas
maka kebutuhan akan penilai harga tanah dan atau bangunan yang profesional dan
independen merupakan sesuatu yang sangat urgen. Pemerintah juga pernah
mengeluarkan:
1. Perpres No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional:
(a) BPN RI menjalankan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara
nasional, regional dan sektoral (Pasal 2).
(b) Menjalankan fungsi pembinaan teknis Lembaga Penilai Tanah (Pasal 14).
103
2. Perpres No. 36 Tahun 2005 jo. Perpres No. 65 Tahun 2006 jo. Peraturan
Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2007 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum: “Lembaga Penilai
Harga Tanah adalah lembaga independen dan profesional yang sudah
mendapat lisensi dari BPN-RI.” (Pasal 25)
Pemberian Lisensi Lembaga Penilai Tanah
a. Sebelum Tahun 2003: Ijin Usaha Jasa Penilai diterbitkan oleh Direktorat Bina
Usaha dan Pendaftaran Perusahaan, DEPERINDAG.
b. Tahun 2004 – sekarang: Surat Ijin Jasa Penilaian (SIJP) diterbitkan oleh
Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai, sekarang Pusat Pembinaan
Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP), Kementerian Keuangan..
c. Sertifikat Keahlian diterbitkan oleh Masyarakat Asosiasi Profesi Penilai Indonesia
(MAPPI).
d. Sesudah Perpres No. 10 Tahun 2006 dan Perpres No. 36 Tahun 2005 jo. Perpres
No. 65 Tahun 2006 jo. Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2007:
e. Kepala BPN-RI menerbitkan Lisensi Lembaga Penilaian Tanah,
f. SIJP diterbitkan oleh PPATK Kementrian Keuangan, masih menjadi salah satu
persyaratan untuk memperoleh lisensi,
g. Sertifikat Keahlian dari MAPPI, masih menjadi salah satu persyaratan untuk
memperoleh lisensi,
h. Sertifikat Keahlian dan Ijasah Pendidikan Spesialis I dari institusi/lembaga yang
berwenang lainnya dapat juga menjadi persyaratan untuk memperoleh lisensi.
104
Mekanisme dan Tata Cara Pemberian Lisensi Kepada Badan Pertanahan
Nasional (BPN)
1. Standar ini diterapkan bagi Penilai Tanah yang dipersyaratkan untuk memperoleh
lisensi dalam menjalankan usahanya di bidang penilaian tanah dan Penilai Tanah
Berlisensi dalam rangka memelihara pengetahuan, kemampuan dan
kompetensinya untuk bekerja secara obyektif, independen dan profesional;
2. Lisensi penilai tanah diberikan pada:
a. Penilai Tanah Internal melaksanakan penilaian tanah dan properti (aset
pertanahan) sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Lembaga Penilai Harga Tanah melakukan penilaian tanah dalam rangka
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Penilai Tanah Perorangan melakukan penilaian tanah baik dalam rangka
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
maupun untuk kepentingan-kepentingan lainnya sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
3. Setiap Penilai Tanah sebelum menjalankan tugasnya wajib memiliki lisensi di
bidang penilaian tanah;
4. Badan Pertanahan Nasional bertanggung jawab dalam pemberian lisensi dan
memantau penggunaan lisensi oleh Penilai Tanah
105
5. Lisensi diberikan untuk periode waktu selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan
dimungkinkan untuk wilayah tertentu.9
Tata Cara Pemberian Lisensi
1. Pengumuman
a. Badan Pertanahan Nasional c.q. Deputi Bidang Survei Pengukuran dan
Pemetaan wajib menyebarluaskan pengumuman tentang tata cara dan
persyaratan pemberian lisensi melalui jalur struktural maupun situs resmi
Badan Pertanahan Nasional dan/atau media lainnya;
b. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi wajib
menyebarluaskan pengumuman tentang tata cara dan persyaratan pemberian
lisensi di kantornya masing-masing dan melalui Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota serta media lainnya;
2. Tempat Pendaftaran
a. Penilai yang memiliki domisili di DKI Jakarta melakukan pendaftaran kepada
Deputi Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan c.q. Direktur Survei Potensi
Tanah dengan memberi tembusan pada Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi setempat;
9 Ibid
106
b. Penilai yang tidak memiliki kantor di DKI Jakarta mengajukan pendaftaran
kepada Deputi Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan melalui Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi setempat;
c. Penilai yang tidak memiliki kantor di DKI Jakarta dan Ibukota Provinsi
mengajukan pendaftaran pada Deputi melalui Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat;
3. Syarat Pendaftaran
a. Penilai wajib menyampaikan persyaratan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan ini dalam pengajuan pendaftarannya;
b. Lembaga penilai harga tanah yang belum dapat memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f wajib menyampaikan
surat pernyataan yang menyatakan kesanggupan untuk menyediakan Penilai
Tanah Eksternal berlisensi dimaksud dalam waktu selambat-lambatnya 1
(satu) tahun;
4. Seleksi
a. Deputi Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan c.q. Direktur Survei Potensi
Tanah wajib menyelenggarakan seleksi;
b. Deputi Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan mengusulkan Penilai Tanah
kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk memperoleh lisensi;
c. Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan usulan tersebut memberikan
lisensi kepada Penilai Tanah;
107
d. Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat mendelegasikan pemberian lisensi
kepada Deputi Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan;
Jenis-Jenis Penilai Tanah
1. Penilai Tanah Internal
a. Perseorangan PNS BPN RI.
b. Memiliki keahlian dalam penilaian tanah.
c. Memiliki Sertifikat Penilai yang diterbitkan oleh BPN RI.
2. Penilai Tanah Eksternal, yaitu:
a. Lembaga Penilai Harga Tanah:
- Lembaga profesional dan independen.
- Mempunyai keahlian di bidang penilaian harga tanah.
- Memiliki lisensi dari Badan Pertanahan Nasional, dan
- Terdaftar sebagai rekanan mampu (DRM) oleh Bupati/Walikota.
b. Pejabat Penilai Tanah:
- Perseorangan yang profesional dan independen.
- Mempunyai keahlian di bidang penilaian tanah.
- Memiliki Sertipikat Penilai oleh instansi/ lembaga/ organisasi profesi.
- Memiliki lisensi dari Badan Pertanahan Nasional.
Wewenang Penilai Tanah
108
Melaksanakan penilaian tanah di daerah kerjanya;
a. Lembaga Penilai Tanah melaksanakan penilaian tanah untuk luas tanah lebih dari
10 Ha.
b. Pejabat Penilai Tanah melaksanakan penilaian tanah untuk luas tanah hingga 10
Ha.
c. melakukan verifikasi atas dokumen objek penilaian.
d. melakukan survei, pemeriksaan dan pemetaan objek penilaian.
e. melakukan survei dan pemeriksaan objek non-fisik penilaian.
f. melaporkan hasil penilaian kepada:
- Panitia Pengadaan Tanah,
- Pemberi kerja dan
- Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Hak dan Kewajiban
a. Hak:
- Memperoleh dokumen yang diperlukan dalam rangka tugas penilaian;
- Melengkapi data/informasi mengenai objek penilaian demi kelancaran tugas
penilaian;
- Memperoleh honorarium/biaya balas jasa dalam penilaian tanah dari pemberi
kerja.
b. Kewajiban:
109
- Melakukan surveidan pemetaan atas objek penilaian secara teliti berdasarkan
norma, standar, pedoman dan mekanisme yang berlaku;
- Melakukan tugas penilaian tanah secara profesional dan independen;
- Menyusun dan menandatangani laporan penilaian Tanah;
- Menjaga kerahasiaan hasil laporan penilaian tanah;
- Melaporkan hasil kegiatan secara periodik, 2 kali dalam setahun setiap tanggal
30 Juni dan 31 Desember.
Syarat Memperoleh Lisensi
a. Mengajukan permohonan lisensi kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia cq. Deputi Survei, Pengukuran dan Pemetaan:
- 2 (dua) kali setahun akhir Pebruari atau akhir Agustus;
- Sepanjang Tahun setiap akhir bulan.
b. Direktur Survei Potensi Tanah menetapkan kriterian evaluasi serta melaksanakan
evaluasi.
c. Lisensi diberikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional RI cq. Deputi Survei,
Pengukuran dan Pemetaan untuk jangka waktu 4 tahun dengan wilayah kerja
seluruh wilayah Republik Indonesia dan dapat diperbarui.
Pembaruan Lisensi
Penilai Tanah dicabut lisensinya apabila :
110
a. Mendapat dua kali peringatan tertulis dari Kepala Kantor Wilayah; atau
b. Dijatuhi hukuman kurungan dari pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap bagi pejabat penilai tanah; atau
c. Dijatuhi hukuman oleh pengadilan akibat kelalaian dalam melakukan penilaian
tanah; atau
d. Tidak memenuhi kewajiban untuk memperoleh lisensi tenaga ahli tetap bagi
lembaga penilai tanah; atau
e. Diberhentikan dengan tidak hormat dari keanggotaan asosiasi/organisasi profesi.
f. Mengajukan permohonan kepada Kepala BPN RI c.q. Deputi SPP, selambat-
lambatnya 2 (dua) bulan sebelum jangka waktu lisensi berakhir;
g. Apabila jangka waktu pada butir 1 (satu) tidak dipenuhi maka pemberian lisensi
diproses sesuai dengan permohonan pertama kali.
Pembinaan Penilai Tanah
Tugas Pembinaan diserahkan pada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi:
- Melakukan pembinaan terhadap lembaga/pejabat penilai tanah sesuai dengan
kedudukannya.
- Memberikan teguran dan peringatan secara tertulis apabila lembaga/pejabat
penilai tanah melanggar kewajiban.
Pemberhentian Penilai Tanah
Penilai Tanah dicabut lisensinya apabila :
111
- Mendapat dua kali peringatan tertulis dari Kepala Kantor Wilayah; atau
- Dijatuhi hukuman kurungan dari pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap bagi pejabat penilai tanah; atau
- Dijatuhi hukuman oleh pengadilan akibat kelalaian dalam melakukan
penilaian tanah; atau
- Tidak memenuhi kewajiban untuk memperoleh lisensi tenaga ahli tetap bagi
lembaga penilai tanah; atau
- Diberhentikan dengan tidak hormat dari keanggotaan asosiasi/organisasi
profesi.
D. Sistem Penentuan Nilai Harta atas Tanah dan Bangunan yang Akan Diwaris Harta warisan yang berupa tanah dan atau bangunan merupakan aktiva yang
tidak bergerak dan sifatnya permanen, artinya tidak mudah untuk dibagi begitu saja,
selain itu jika harta warisannya ada beberapa rumah atau tanah yang tempatnya
berbeda dari nilai strategis suatu wilayah, sudah barang tentu akan mempengaruhi
harga suatu tanah atau rumah tersebut. Dengan demikian agar pembagian harta
warisan yang telah disepakati dapat memenuhi rasa keadilan diantara para ahli waris
dan tidak menimbulkan sengketa dikemudian hari, maka harta warisan yang berupa
tanah dan atau bagunan tersebut selayaknya dinilai dulu secara nominal, sehingga
akan memudahkan para ahli waris untuk membaginya. Adapun sistem penilaian harta
atas tanah dan bangunan di Indonesia ini sebenarnya telah ditentukan oleh undang-
112
undang melalui Keputusan Menteri Keuangan, yaitu Peraturan Menteri Keuangan
nomor 125/PMK.01/2008 Tentang Jasa Penilai Publik. Dimana dengan melibatkan
jasa penilai tanah ini diharapkan lebih akurat penilaiannya dari pada penawaran harga
dipasaran yang sifatnya tidak tentu, tergantung pada kemampuan harga beli dari
pembeli dan kesepakatan dengan para ahli waris.
Tetapi kebanyakan masyarakat Tebet menentukan nilai harta atas tanah dan
bangunan berdasarkan harga pasar atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat,
karena dengan berpedoman pada harga pasar dianggapnya lebih ekonomis dan
efisien, hal ini disebabkan pihak ahli waris pada umumnya akan menawarkan harga
tanah atau bangunan yang akan diwaris kepada calon pembeli dengan harga setinggi-
tinginya untuk melihat sejauh mana hartanya ini akan dinilai oleh calon pembeli,
dengan mengindahkan berapa lama waktu yang diperlukan untuk menawarkan barang
berupa tanah dan atau bangunan, yang biasanya membutuhkan waktu yang lama
dalam menemukan calon pembeli, selain itu kadang – kadang dalam proses negosiasi
harga juga bisa memakan waktu yang cukup lama, karena antara penjual dan pembeli
biasanya tidak mempunyai standar harga yang pasti, melainkan berdasarkan perkiraan
harga pasar, dalam hal ini masyarakat dengan tetap berpegang pada harga tanah atau
bangunan pada umumnya didaerah tersebut. Setelah melalui proses tawar menawar
biasanya antara penjual dan pembeli mencari nilai yang dianggap wajar dengan
kesepakatan bersama, dengan metode inilah maka nilai akan harta warisan yang
berupa tanah dan bangunan tersebut dapat diketahui tanpa melibatkan pihak – pihak
113
lain seperti lembaga penilai harga tanah yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri
Keuangan nomor 125/PMK.01/2008 Tentang Jasa Penilai Publik.
E. Pengaruh Penentuan Nilai Harga terhadap Pembagian Warisan atas Tanah
dan Bangunan
Sebagaimana tata cara masyarakat Tebet dalam membagi warisan berupa
tanah dan atau bangunan biasanya dilakukan dengan cara menjual semua harta
warisannya untuk mendapatkan nilai nominal. Dengan cara ini akan diperoleh angka-
angka yang konkrit serta rill untuk memudahkan pembagian harta warisan, selain itu
kadang-kadang masyarakat juga menjadikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai
tolok ukur dalam menentukan nilai harta berupa tanah dan atau bangunan, walaupun
hanya sebatas dijadikan standar penilaian menurut masyarakat umum. Sedangkan
untuk lembaga penilai sendiri yang telah ditetapkan didalam Keputusan Menteri
Keuangan No. 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik, yang merupakan
lembaga independen dan profesiaonal kurang begitu dikenal oleh masyarkat kalangan
bawah, hal ini menurut penulis disebabkan kurang adanya sosialisasi tentang
keberadaan Keputusan Menteri Keuangan itu sendiri terhadap masyarakat luas,
sehingga dalam menentukan penilaian terhadap tanah dan atau bangunan yang akan
diwaris, terutama yang tidak dijual kepada orang lain, melainkan akan dipakai atau
ditempati oleh salah satu ahli waris, masyarakat lebih mengandalkan nilai NJOP dan
menawarkan secara langsung kepada calon pembeli, serta peran serta spekulan-
spekulan tanah.
114
Dalam hal ini, secara eksplisit keberadaan lembaga penilai tanah yang
independen dan profesional sebagaimana yang telah ditetapkan melalui Keputusan
Menteri Keuangan No 125/KMK.01/2008 seharusnya menempati peranan utama
dalam penilaian tanah nasional. Di samping itu, keberadaan lembaga yang akurat dan
independen bisa dijadikan tolak ukur untuk menjaga stabilitas nilai atas suatu benda
tak bergerak berupa tanah dan atau bangunan, sehingga kasus-kasus yang terjadi di
lapangan, seperti sering berubah-rubahnya nilai harga atas tanah dan atau bangunan
yang hanya akan membuat para ahli waris dan pembeli mengalami kerepotan dalam
menentukan nilai tanah dan atau bangunan harta warisan yang akan dibagi, serta
kepentingan akan tanah untuk kelangsungan hidup manusia tidak hanya dapat
dinikmati oleh segelintir orang, dalam hal ini para pemodal dari kalangan menengah
ke atas. Sedangkan masyarakat marjinal semakin terpinggirkan karena kurang mampu
untuk membeli sebidang tanah, disebabkan harga tanah dari tahun ketahun semakin
melambung tinggi akibat ulah para spekulan dan masyarakat sendiri yang melelang
tanahnya terlalu tinggi tanpa mengindahkan nilai pasar. Kondisi ini mengakibatkan
orang lain juga akan berlomba-lomba meningkatkan harga jual atas tanah dan
bangunan yang dimilikinya. Fenomena ini dapat kita lihat pada masyarakat di
lingkungan kita, terutama masyarakat Tebet dan pada umumnya warga ibu kota, di
mana setiap ada harta warisan berupa tanah dan atau bangunan secara umum akan
dilelang, kemudian keluarga mereka akan pindah ke daerah yang harga tanahnya
lebih terjangkau. Seperti contoh, banyaknya masyarakat Jakarta yang pindah ke
daerah Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi atau daerah-daerah lain yang lebih murah
115
harga beli tanahnya. Ironisnya setelah tanh-tanah mereka dijual habis, dan dimiliki
oleh sekelompok orang yang kaya, banyak warga masyarakat yang ingin bertahan
hidup di daerah lingkungan Tebet, sehingga ketimpangan sosial tidak bisa dielakkan
lagi, seperti orang yang kaya makin menguasai tanah-tanah yang ada, dan orang yang
miskin menempati tanah-tanah hijau atau tempat-tempat kumuh, yang otomatis akan
mengakibatkan dampak sosial yang besar. Seandainya nilai harga atas tanah di
Kecamatan Tebet pada khusunya bisa stabil, kemungkinan besar ketimpangan-
ketimpangan sosial sebagaimana deskripsi di atas dapat diminimalisir. Di sinilah
penekanan penelitian penulis, di mana pengaruh penentuan nilai harga atas tanah dan
bangunan yang merupakan harta warisan di Kecamatan Tebet sangat signifikan
terhadap stabilitas harga jual tanah atau bangunan, sehingga akan memudahkan
masyarakat luas yang akan membagi harta warisannya yang berupa tanah dan atau
bangunan tanpa harus menjualnya terlebih dahulu, karena keberadaan lembaga
penilai ini dapat dijadikan tolok ukur berdasarkan Standar Penilaian Indonesia (SPI),
apalagi jika harta warisannya tidak akan dijual kepada orang lain, sudah barang tentu
tim penilai menjadi suatu kebutuhan yang sangat urgen.
Selain itu dengan adanya stabilitas harga nilai jual atas tanah dan bangunan,
masyarakat yang akan membagi harta warisan (para ahli waris), tidak akan
mengalami kendala dalam menentukan nilai harta warisan, masalah-masalah yang
biasanya timbul akibat perselisihan antara para ahli waris dalam menentukan harga
jual juga akan terminimalisir, sebab masyarakat akan tahu dengan sendirinya dengan
melihat seberapa luas tanah dan atau bangunan yang dimilikinya, tanpa harus
116
117
menawarkan terlebih dahulu kepada orang lain. Masyarakat marjinal yang selama ini
selalu terpinggirkan juga tidak akan mengalami nasib seburuk yang dialami,
sebagaimana kita ketahui bersama, karena nilai akan tanah yang merupakan
kebutuhan pokok setiap manusia dalam rangka menunjang kelangsungan hidup
terjangkau dengan adanya stabilitas harga jual. Tayangan-tayangan di media
elektronik maupun cetak yang setiap hari mewarnai berita-berita nasional seperti,
adanya penggusuran tanah, atau rumah, penyerobotan lahan hijau (tanah untuk
kepentingan umum), sengketa tanah akibat surat-surat tanah yang dimanipulasi,
sengketa tanah akibat hak kepemilikian yang tidak jelas, dan lain sebaginya itu semua
merupakan dampak dari terlalu tingginya nilai jual akan tanah dan atau bangunan di
ibu kota, walaupun di wilayah-wilayah lain yang nilai tanahnya tidak terlalu tinggi
juga sering kita dengar terjadi beberapa kasus sengketa tanah, namun tingkat
kejadiannya tidak sesering yang terjadi di wilayah ibukota ini, khusunya wilayah
Kecamatn Tebet.
Dari deskripsi di atas, tampak jelaslah bahwa penetuan nilai harga atas tanah
dan atau bangunan secara benar, dalam artian ditangani oleh orang – orang yang
profesional dan independen akan sangat berpengaruh dalam rangka meningkatkan
ketertiban sosial, stabilitas harga pasar, serta pemerataan akan manfaat tanah dan atau
bangunan bagi setiap orang.10
10 “Prosedur data yang diperlukan dan syarat-syarat penandatanganan akta jual beli (AJB),”
artikel diakses pada 31 maret 2009 dari http://kuliah-notariat.blogspot.com/label/akta jual beli (AJB)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di wilayah Kecamatan Tebet, akhirnya
penulis dapat membuat suatu konklusi bahwa :
1. Masyarakat di wilayah Kecamatan Tebet dalam membagi harta warisan
berupa tanah dan atau bangunan secara umum dilakukan dengan cara
kekeluargaan, sebagaimana sistem bilateral yang dianut oleh masyarakat
Jawa, namun demikian, jika terjadi sengketa dalam hal pembagian warisan
menurut sistem kekeluargaan ini, maka para ahli waris biasanya akan
melibatkan tokoh masyarakat atau tokoh agama yang memahami betul akan
hukum waris, tetapi kadang-kadang dengan terlibatnya seorang atau beberapa
orang tokoh ini pun masih terjadi perselisihan di antara para ahli waris,
akhirnya ada beberapa kasus keluarga ahli waris tidak mendapatkan harta
warisannya. Hal ini terjadi karena melibatkan pengacara serta kasusnya
berlarut-larut dan memakan waktu yang cukup lama, sehingga alih-alih untuk
dinikmati, untuk membayar pengacara saja masih kurang dan akhirnya harta
warisan yang akan dibagi malah jatuh ke tangan pengacara sebab dijadikan
jaminan pelunasan hutang para ahli waris.
2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam hal pembagian harta warisan
berupa tanah dan atau bangunan, memiliki peranan yang cukup penting, yaitu
118
jika tanah dan atau bangunan yang merupakan harta warisan dijual, serta
antara penjual dan pembeli telah mendapatkan kesepakatan harga, kemudian
tanah dan bangunan yang akan diperjual belikan tidak ada tanggungan di
atasnya atau sengketa, maka para penjual dan pembeli yang akan membuat
akta jual beli harus datang ke kantor PPAT setempat, dan PPAT akan
menerbitkan akta otentik berupa Akta Jual Beli (AJB), sebagaimana tugas dan
wewenang PPAT yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui PP
No.37/1998, tugas dan ruang lingkup jabatan PPAT .
3. Peranan lembaga penilai independen dan professional, sebagaimana Peraturan
Menteri keuangan No. 125/PMK.01/2008 Tentang Jasa Penilai Publik kurang
dipakai jasanya oleh masyarakat Tebet pada umumnya. Sehingga jika ada ahli
waris yang menghendaki tanah dan atau bangunan yang akan diwaris untuk
dijadikan tempat tinggal salah satu keluarga ahli waris, akan mencari
kepastian nilai harga jual tanah dan atau bangunan tersebut melalui penawaran
kepada orang lain dahulu atau berdasarkan perkiraan harga umum yang
disepakati antar ahli waris. Jadi peran dan pengaruh lembaga penilai di sini
sangat besar dalam rangka memudahkan masyarakat untuk menilai hartanya
yang akan diwaris secara mudah dan ekonomis, tanpa menimbulkan masalah
baru, seperti silang pendapat antar ahli waris dalam menentukan nilai harga
atas tanah dan atau bangunan yang merupakan harta warisan.
119
B. Saran-Saran
1. Sebagai umat muslim, seharusnya dalam pembagian harta warisan memakai
hukum waris Islam, sebagaimana disyariatkan dalam Al Qur’an dan Sunnah.
Adapun jika para ahli waris menghendaki pembagiannya memenuhi rasa
keadilan dari sudut pandang banyak sedikitnya bagian, hendaknya tetap dibagi
secara hukum waris Islam, kemudian ahli waris yang mendapat bagian lebih
banyak membagi sebagian hartanya kepada ahli waris yang mendapatkan
bagian harta warisan lebih sedikit, yang diistilahkan oleh beberpa tokoh
masyarakat Tebet sebagai “kerohiman.”
2. Dalam menentukan nilai harga warisan atas tanah dan atau bangunan,
hendaknya melibatkan lembaga independen dan profesional yang telah
ditetapkan pemerintah melalui Peraturan menteri Keuangan nomor
125/PMK.01/2008 tentang jasa penilai publik, sebab dengan keterlibatan
lembaga independen ini diharapkan harga atas tanah dan atau bangunan akan
di dapat dengan mudah dalam waktu yang singkat dan akurat, sebab
berdasarkan Standar Penilaian Indonesia. Dan juga dalam rangka memenuhi
kebutuhan masyarakat banyak dalam menentukan nilai suatu property dalam
hal ini tanah dan atau bangunan yang akan dibagi secara waris tetapi tidak
dijual kepada orang lain, melainkan akan ditempati atau dimiliki oleh salah
satu ahli waris yang lain..
120
121
3. Pemerintah seharusnya membuat perundang-undangan khusus dalam bidang
kewarisan, seperti undang-undang perkawinan misalnya, yang dikodifikasikan
dan dilembagakan seperti adanya Petugas Pencatat Nikah (PPN), sehingga
ketertiban dalam pelaksanaan pembagian kewarisan akan terjaga, serta
masalah – masalah tentang kewarisan bisa terselesaikan dengan baik dan
benar.
DAFTAR PUSTAKA
AIREA, The Appraisal of Real Estate. Ninth Edition, Chicago, Illinois, 1997.
Ali, H. Zaenuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika,2008.
A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah .Bandung:Mandar Maju, 1990 Appraisal Institute, The Appraisal of Real Estate. Eleventh Edition, Chicago, Illinois,
1999.
Barlowe, R., Land Resources Economic. New Jersey: Prentice Hall Englewood Cliffs,
1972.
Djakfar, Idris dan Yahya,Taufiq, Kompilasi Hukum Kewarisan, Jakarta: PT Dunia
Pustaka Jaya, 1995.
Eckert, Joseph K., Gloudemans and Almy Richard R., Property Appraisal and
Assessment Administration. Chicago, Illinois: The International Association of
Assesing Officer, 1990.
Eldred, Gary, Real Estate Analysis and Strategy. New York: Harper & Row,
Publisher, 1987.
Firdaus. Awang, “Analisis Pengaruh Jalan Lingkar Luar Terhadap Nilai Jual
Properti Perumahan di Kecamatan Depok Sleman-Yogyakarta.” Tesis S2
Program Pascasarjana, UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
122
Harjanto, Budi, ”Analisis Tingkat Kapitalisasi Sektor Perumahan dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhinya di Kotamadya Malang.” Tesis S2, Program Pasca
Sarjana, UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
Hoover, Edgar M., The Evolving Form and Organization of the Metropolis :
Principal Location Factors in William H. Leahy : Urban Economic. New York:
The Free Press, 1970.
International Association Assessing Officers (IAAO), Improving Real Property
Assessment: A Reference Manual. Chicago, 1978.
International Association Assessing Officers (IAAO). 1990. Standard on Ratio
Studies. Chicago.
International Association Assessing Officers (IAAO). 1999. Standard on Ratio
Studies, Assessment Journal, Volume 6 Nomor 5.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Laporan penyelenggaraan pemerintah Wilayah kecamatan Tebet Jakarta Selatan,
bulan Maret 2007.
Lusht, Kenneth M., Real Estate Valuation Principles and Applications. Chicago:
Irvin, 1997.
Nasucha, Chaizi, Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas Tanah.
Jakarta: Megapoint, Divisi Kesaint Blanct, 1975.
Pitlo, A., Hukum Waris Menurut Kitab Undang-udang Hukum Perdata. Terjemahan
M. Isa Arief. Jakarta: Intermasa, 1979.
123
“Pembentukan UUPA dan Perkembangan Hukum Tanah Di Indonesia”,artikel diakses pada 10 Agustus 2010 dari http://image, ymfreaklawyers.multiply.multiplycontent.com
Prosedur data yang diperlukan dan syarat-syarat penandatanganan akta jual beli
(AJB),” artikel diakses pada 31 maret 2009 dari http://kuliah-
notariat.blogspot.com/label/akta jual beli (AJB)
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993, Reprint,
2001.
Subekti, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1977.
Suparman, Erman, Intisari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Mandar Madju, 1991.
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Cetakan ke-13. Jakarta: Pradnya Paramita,
1993.
Tugas dan Wewenang PPAT, artikel diakses pada 10 Agustus 2010 dari:
http://kuliah-notariat. Blogspot.com/2009/03/tugas-dan-wewenang-ppat.html
Ter Harr, Betrand, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan K. Ng. Soebakti
Poesponoto. Surabaya: Fajar, 1953.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994.
Wawancara pribadi dengan KH.M. Thoyib, Jakarta 01 Juli 2010
Wawancara Pribadi dengan Alm. KH. Masyhuri Syahid, Jakarta 4 Oktober 2007.
124
125
Wawancara Pribadi dengan A. Hanafi , Jakarta 01 Juli 2010.
Wawancara Pribadi dengan Luqman Hakim, Jakarta 5Agustus 2010.
Wignjodipoero, Soerodjo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Cet. Ke-8. Jakarta:
Haji Masagung, 1989.
Wolcott, Richard C., The Appraisal of Real Estate. Chicago, Illinois: American
Institute of Real Estate Appraisers, 430 North Michigan Avenue, 1987.
top related