penerapan e-budgeting sebagai wujud penerapan …
Post on 21-Oct-2021
17 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENERAPAN E-BUDGETING SEBAGAI WUJUD PENERAPAN GOOD
PUBLIC GOVERNANCE: STUDI KASUS PROVINSI DKI JAKARTA
Fajri Ramadhan, Purwatiningsih
Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia
E-mail: fajri.ramadhan@ui.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis E-Budgeting dalam proses penganggaran daerah di provinsi DKI Jakarta. Pembahasan meliputi uraian umum atas penganggaran daerah dan sistem-sistem lainnya yang menunjang proses penganggaran daerah di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini juga membahas dan menganalisis sistem E-Budgeting dan hubungannya dengan penerapan Good Public Governance terutama aspek transparansi dan akuntabilitas. Data yang digunakan adalah data primer dari hasil wawancara yang dilakukan pada narasumber dan data sekunder yang berasal dari literatur-literatur terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem E-Budgeting Provinsi DKI Jakarta telah menerapkan prinsip-prinsip dan asas-asas Good Public Governance. Kata Kunci: Tata Kelola Pemerintahan yang baik, anggaran, keuangan daerah, transparansi, akuntabilitas.
The Implementation of E-Budgeting system as an Implementation of Good Public
Governance: Case Study DKI Jakarta Province.
Abstract
This study aims to describe and analyze the E-Budgeting in local budgeting process in the province of Jakarta. The discussion includes a general description on budgeting and other systems that support the local budgeting process in Jakarta. This study also discusses and analyzes the E-Budgeting system and its relation to the implementation of Good Public Governance, especially the aspect of transparency and accountability. The data used are primary data from interviews conducted on informants and secondary data derived from relevant literature. The results showed that the system of E-Budgeting Jakarta has implemented the principles of Good Public Governance. Keyword: Good Public Governance, budgeting, local government finance, transparency, accountability. PENDAHULUAN
Globalisasi, menjadi satu kata yang sangat familiar di era milenium ini. Fenomena
globalisasi ditandai oleh dunia yang bergerak sangat cepat dalam hal arus informasi. Media
sosial sebagai pionir utama komunikasi seperti twitter, facebook dan berbagai bentuk media
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
sosial lainnya telah membuat transmisi informasi menjadi cepat dan mudah di seluruh dunia
(Mehrabanfar,2015). Perkembangan kecepatan arus informasi tidak hanya terjadi akibat
peran media sosial saja, namun pertumbuhan teknologi yang pesat juga menjadi faktor
penentu cepatnya penyebaran informasi. Di awal abad ke 21 pada tahun 2000 terdapat 400
juta pengguna internet, namun pada tahun 2015, pengguna internet telah mencapai 3,2 milliar
orang dengan 2 milliar pengguna berasal dari negara berkembang (ITU, 2015). Nilai ekspor
produk berteknologi tinggi atau produk dengan intensitas riset dan pengembangan yang
tinggi juga naik secara agregat di seluruh dunia. Produk-produk ini adalah produk-produk
yang dihasilkan industri-industri seperti industri pesawat,komputer,farmasi dan lain-lain.
Kenaikan ekspor produk berteknologi tinggi ini naik dari USD 1,994 triliun pada tahun 2012
menjadi USD 2,106 triliun pada tahun 2013 (Bank Dunia, 2016).
Perkembangan teknologi informasi pada era globalisasi yang sangat pesat ini
mencakup hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Fotopoulos (2001) pada Mehrabanfar
(2015) menyatakan bahwa terdapat 6 dimensi globalisasi yaitu: ekonomi, politik, budaya,
sosial, teknologi, dan ideologi.
Pengaruh proses globalisasi juga terjadi di sektor pemerintahan yang berdampak pada
cepatnya arus penyebaran informasi. Pengaruh globalisasi di sektor pemerintahan ini seperti
mengetahui indeks persepsi korupsi melalui www.transparency.org , mengetahui skor tata
kelola pemerintahan dan aspek-aspeknya yang didapat dari www.info.worldbank.org , hingga
bertindak langsung melakukan mobilisasi massa menggunakan media sosial seperti twitter,
facebook, YouTube dan media lainnya melawan pemerintah seperti yang terjadi di Negara-
Negara Arab saat peristiwa “Arab Spring”(Benmamoun et al , 2012). Kemajuan teknologi
informasi dalam sektor pemerintahan juga memunculkan suatu konsep yang bernama E-
Government. E-Government memiliki tujuan utama untuk meningkatkan produktivitas
organisasi sektor publik, menyediakan layanan pemerintahan kepada masyarakat dan bisnis
dengan cara yang sederhana, transparan dan nyaman, dan untuk menyediakan informasi yang
diperlukan dalam cara yang tepat dan waktu yang akurat (Alcaide-Munoz dan Bolivar, 2015).
Republik Indonesia sendiri pada tahun 2016 ini telah mengakhiri dekade ke 7 sebagai
sebuah negara merdeka, namun korupsi masih menjadi suatu masalah yang utama. Menurut
survey Corruption Perceptions Index (CPI) yang dirilis oleh Transparency International
(www.transparency.org, 2015), pada tahun 2015 Indonesia menempati urutan ke 88 dari 167
negara dengan skor 36. Walaupun kondisi ini masih lebih baik dibanding negara ASEAN
lainnya seperti Filipina (skor 35), Vietnam (skor 31) , Laos (skor 25), Myanmar (skor 22)
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
dan Cambodia (skor 21). Posisi Indonesia ini masih dibawah negara ASEAN lainnya seperti
Singapore (skor 85), Malaysia (skor 50), dan Thailand (skor 38).
Terkait pencegahan korupsi, Penerapan Tata Kelola pada Pemerintahan yang baik
(Good Public Governance/GPG) atau Good Government Governance (GGG) adalah salah
satu aspek yang sangat penting. OECD (2011) memberikan gambaran bahwa GPG
setidaknya memiliki elemen-elemen berikut: akuntabilitas, transparansi, efisiensi, efektivitas,
responsivitas dan supremasi hukum. Elemen-elemen ini terutama transparansi dan
akuntabilitas diyakini dapat membantu mencegah korupsi bahkan memperbaiki kinerja
pemerintahan. Kondisi Pemerintahan di Indonesia yang saat ini sedang berupaya
memperbaiki kehidupan bernegara dengan perbaikan kinerja pemerintahan mendorong
penulis untuk melakukan kajian atas penerapan GPG, dalam hal ini tentang transparansi
melalui penerapan sistem penganggaran elektronik atau E-Budgeting , sebagai upaya untuk
meningkatkan kinerja sektor publik. Mengenai istilah, E-Budgeting merupakan istilah yang
masih samar-samar secara pengertian, karena setidaknya dapat menimbulkan 2 persepsi,
apakah yang dimaksud dengan E-Budgeting adalah pelaksanaan anggaran dengan basis
elektronik untuk memudahkan partisipasi publik dalam proses penganggaran, atau sebatas
pelaksanaan anggaran yang berbasiskan eletronik yang hanya digunakan terbatas pada
aparatur negara yang memiliki wewenang dalam proses penganggaran? Apabila E-Budgeting
merupakan sistem penganggaran dengan pengertian yang pertama, maka sistem ini dianggap
sesuai dengan prinsip-prinsip dan asas-asas GPG, terutama mengenai transparansi dan
akuntabilitas. Apabila ternyata sistem E-Budgeting hanya memenuhi definisi yang kedua,
maka ada kemungkinan bahwa sistem ini belum sesuai dengan prinsip-prinsip dan asas-asas
GPG.
TINJAUAN TEORITIS
Governance
Governance merupakan suatu konsep yang luas cakupannya. World Bank (2013)
menyebutkan bahwa Governance adalah “proses” yang mana kekuasaan diberikan kepada
penguasa. Dengan kekuasaan ini penguasa membuat peraturan dan peraturan ini ditegakkan
dan dimodifikasi. Sementara itu, Internasional Development Association (1998) memberikan
sudut pandang lain tentang governance yaitu: elemen yang dilibatkan dalam menentukan
ukuran alokasi sumber daya pada suatu negara. Definisi-definisi mengenai governance ini
memberikan gambaran umum pentingnya governance dan relevansinya untuk proses
penganggaran, terutama penganggaran dengan menggunakan sistem E-Budgeting.
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
Good Public Governance
Terdapat beberapa definisi GPG atau yang pada beberapa penelitian disebut
Government Governance (GG). Tata kelola sektor publik adalah meletakkan segala faktor
(sektor publik) pada tempat yang semestinya, untuk memastikan hasil untuk pemangku
kepentingan dapat terdefinisikan dan tercapai (IFAC,2013). Cakupan dari tata kelola sektor
publik ini mencakup sekumpulan tanggungjawab, praktik, kebijakan dan prosedur yang
diterapkan oleh agen eksekutif, untuk menyediakan arahan strategis, memastikan objektif
tercapai, mengendalikan risiko dan menggunakan sumberdaya secara bertanggungjawab dan
menerapkan prinsip akuntabilitas (Institute of Internal Auditors,2012 pada IFAC,2013).
KNKG (2010) menyebutkan bahwa untuk menciptakan situasi kondusif untuk
melaksanakan GPG diperlukan tiga pillar, yaitu negara, dunia usaha dan masyarakat. Negara
dalam hal ini harus merumuskan dan menerapkan GPG sebagai pedoman dasar dalam
melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya. Dunia usaha harus merumuskan dan
menerapkan GCG falam melakukan usahanya sehingga dapat meningkatkan produktivitas
nasional. Masyarakat harus melakukan kontrol sosial secara efektif terhadap pelaksanaan
fungsi, tugas dan kewenangan negara. Ketiga unsur ini tidak dapat terpisahkan dalam
mewujudkan GPG secara keseluruhan, karena tiap unsurnya saling berhubungan dan
bergantung satu sama lainnya.
Selain teori dasar, GPG juga memiliki prinsip-prinsip menurut lembaga dan ahli baik
internasional maupun dalam negeri. Berikut 14 prinsip GPG menurut Bappenas (2007):
1. Wawasan ke Depan (Visionary): pembangunan di segala bidang harus didasarkan visi
dan misi serta strategi pelaksanaan yang jelas dan tepat sasaran. Visi, Misi dan Strategi
ini harus dimiliki oleh seluruh lembaga pemerintah baik di tingkat pusat atau daerah.
2. Keterbukaan dan Transparansi (Opennes and Transparency): Keterbukaan merujuk
pada ketersediaan dan kejelasan informasi bagi masyarakat umum. Hal-hal yang harus
diungkapkan secara terbuka oleh pemerintah seperti:kebijakan-kebijakan publik, isi dan
alasan keputusan, informasi tentang pelaksanaan suatu kegiatan, dan hasil dari
pelaksanaan suatu kegiatan.
3. Partisipasi Masyarakat (Participation): Partisipasi merujuk pada keterlibatan aktif
masyarakat dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Tujuannya adalah
terakomodasinya kepentingan dan aspirasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan
publik.
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
4. Tanggung Gugat (Accountability): Akuntabilitas publik adalah standar yang
menunjukkan tingkat kesesuaian penyelenggaraan kebijakan publik dengan peraturan
hukum atas suatu organisasi publik. Penerapan prinsip akuntabilitas dimulai dari
akuntabilitas penyusunan program, akuntabilitas pembiayaan, akuntabilitas proses dan
akuntabilitas hasil pelaksanaan program kegiatan.
5. Supremasi Hukum (Rule of Law): atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
lembaga publik, hukum harus ditegakkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum.
6. Demokrasi (Democracy): Atas prinsip ini, rakyat secara aktif menyuarakan aspirasi dan
pengabilan keputusan yang dilakukan lembaga eksekutif dan legislatif dilakukan
berdasarkan konsensus.
7. Profesionalisme dan Kompetensi (Profesionalism and Competency): Prinsip ini terkait
dengan penempatan Sumber Daya Manusia secara tepat sesuai dengan kecocokan antara
kualifikasi dan kemampuan.
8. Daya Tanggap (Responsiveness): Merupakan bentuk reaksi dari pemerintah atas
permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat. Wujud nyata atas prinsip ini
adalah penyediaan pusat pelayanan dan pengaduan,ketersediaan forum-forum publik,
dan lain-lain.
9. Efisiensi dan Efektivitas (Efficiency and Effectiveness): prinsip ini terkait penilaian
struktur kelembagaan yang ada untuk dapat beroperasi secara optimal. Selain itu prinsip
ini mendorong lembaga pemerintahan untuk dapat bertindak efisien dalam menggunakan
sumber daya.
10. Desentralisasi (Decentralization): prinsip ini terkait pendelegasian urusan pemerintahan
disertai sumber daya pendukung kepada lembaga dan aparat yang ada dibawah suatu
lembaga untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
11. Kemitraan dengan Dunia Usaha Swasta dan Masyarakat (Private Sector and Civil
Society Partnership): Peranan swasta sangat penting dalam pembangunanm sehingga
diperlukan suatu kemitraan yang baik antara pemerintah dengan dunia swasta. Bentuk
kemitraan ini seperti perbaikan pelayanan kepada pihak masyarakat dan swasta.
12. Komitmen pada Pengurangan Kesenjangan (Commitment to Reduce Inequality):
saat ini kesenjangan baik antara pusat dengan daerah maupun kesenjangan antar daerah
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
menjadi suatu isu utama ekonomi. Usaha pengurangan kesenjangan ini penting untuk
mengurangi potensi konflik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
13. Komitmen pada Perlindungan Lingkungan Hidup (Commitment to Environmental
Protection): Masalah lingkungan menjadi isu yang sangat penting pada tataran nasional
maupun internasional. Isu ini menjadi penting karena tanpa adanya komitmen untuk
menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, sumber daya yang ada tidak akan bisa
untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
14. Komitmen pada Pasar yang Fair (Commitment to Fair Market):wujud nyata prinsip
ini adalah pengaitan kegiatan ekonomi masyarakat dengan pasar baik di dalam daerah
maupun antar daerah.
Public Budgeting
Secara ringkas terkait budgeting pada sektor publik, Kelly (2005) menyebutkan
terdapat 2 aspek penting pada budgeting yaitu: budgeting sebagai sistem terbuka yang dapat
berubah dalam merefleksikan opini publik dan anggaran secara primer merupakan instrumen
pengendalian, antara memfasilitasi atau membatasi pemerintah dalam intervensinya atas
hubungan kepada publik dan swasta. Teig (2006) menyebutkan bahwa anggaran adalah
sebuah dokumen pemerintah yang paling penting, dimana objektif kebijakan
direkonsiliasikan dan diimplementasikan pada tujuan yang spesifik.
Di Indonesia, penganggaran publik secara umum dibagi menjadi 2, yaitu penganggaran
nasional yang umumnya disebut sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
penganggaran daerah yang umumnya disebut sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Untuk proses penyusunan APBD dalam satu tahun, proses secara keseluruhan
dirangkum pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2015 Tentang Pedoman
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2016 dan secara
konseptual dapat diringkas pada Gambar 1 mengenai proses penyusunan APBD menurut
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah:
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
Gambar 1 Bagan alir Proses Penyusunan APBD Sumber: Kementerian Dalam Negeri (2015)
Sesuai dengan Gambar 1 yang merupakan penjelasan diagram alur dari Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah, diketahui bahwa secara umum, proses penyusunan APBD di Indonesia
dibagi menjadi 3 tahapan besar yaitu: tahap penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA)
dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), Penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah tentang APBD (Raperda APBD),dan Penetapan Perda APBD . Penyusunan APBD
dimulai pada akhir bulan Mei pada fase penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD). RKPD merupakan dokumen perencanaan jangka pendek daerah untuk periode satu
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
tahun. Tahap selanjutnya adalah penyusunan KUA dan PPAS yang menjelaskan kebijakan
makro anggaran seperti sumber pendapatan daerah dan kegiatan-kegiatan yang menjadi
prioritas pemerintah daerah. Rancangan awal KUA dan PPAS dibuat oleh TAPD dan dibahas
oleh Gubernur dan DPRD.
Setelah tercapainya kesepakatan antara Kepala Daerah dengan DPRD, proses
penyusunan APBD berlanjut ke tahap penyusunan Raperda APBD. Penyusunan Raperda
APBD dimulai dengan Penerbitan Surat Edaran Kepala Daerah terkait Pedoman Penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah (RKA-SKPD) dan Rencana
Kerja dan Anggaran Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (RKA-PPKD). Surat Edaran ini
dibuat melalui proses perancangan awal hingga penerbitan dan ditujukan kepada seluruh
SKPD. Selanjutnya setelah Surat Edaran Pedoman penyusunan RKA-SKPD diterbitkan,
dimulailah proses penyusunan RKA-SKPD. Secara garis besar proses penyusunan RKA-
SKPD ini terdiri dari penyusunan Rincian Anggaran Pendapatan, Rincian Anggaran Belanja
Tidak langsung, Rincian Anggaran Belanja Langsung, Rincian Penerimaan Pembiayaan
Daerah dan Rincian Pengeluaran Pembiayaan Daerah. Seluruh elemen ini kemudian
dikompilasi menjadi RKA-SKPD dan diserahkan kepada PPKD untuk menjadi bahan proses
penyusunan Raperda APBD.
Setelah terkompilasinya RKA-SKPD, maka tahapan besar selanjutnya adalah proses
Penetapan Peraturan Daerah (Perda) APBD. Tahapan ini dimulai dengan pembahasan
Raperda APBD. Pada proses ini, Raperda APBD beserta lampiran dan nota keuangan akan
dibahas antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Pembahasan ini dilakukan untuk membahas
kesesuaian Raperda APBD dengan KUA dan PPAS. Setelah Raperda APBD dinyatakan
sesuai , DPRD dan Kepala Daerah menetapkan persetujuan selambat-lambatnya 1 bulan
sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan. 3 hari setelah dilakukan persetujuan
bersama dengan DPRD, Kepala Daerah menyerahkan Raperda APBD kepada Menteri Dalam
Negeri untuk dievaluasi. Penyampaian Raperda APBD disertai: persetujuan bersama Pemda-
DPRD terhadap Raperda APBD, KUA dan PPAS yang telah disepakati,Risalah sidang
jalannya pembahasan Raperda APBD, dan Nota Keuangan dan pidato kepala daerah perihal
penyampaian pengantar nota keuangan pada sidang DPRD. Evaluasi yang dilakukan Menteri
Dalam Negeri terutama terkait kesesuaian Raperda APBD beserta lampiran dengan
Permendagri tentang evaluasi Raperda. Paling lambat 15 setelah Raperda APBD diterima
Menteri Dalam Negeri, hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri telah selesai. Dalam hal
Raperda APBD tidak diterima dalam proses evaluasi, Pemda dan DPRD harus melakukan
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
penyempurnaan dalam jangka waktu 7 hari. Setelah perbaikan dilakukan, maka DPRD
menyampaikan keputusan terkait penyempurnaan Raperda APBD kepada Menteri Dalam
Negeri. Paling lambat akhir bulan Desember, Raperda APBD ditetapkan menjadi Perda
APBD. Paling lambat 7 hari setelah ditetapkan, Perda APBD disampaikan kepada Menteri
Dalam Negeri.
E-Budgeting dan Penggunaanya di seluruh dunia
Sebelum penjelasan mengenai terminologi Electronic budgeting, terdapat terminologi
yang lebih familiar pada konteks penelitian ini untuk dijelaskan terlebih dahulu yaitu
Participatory Budgeting (PB). PB adalah proses demokratis dimana anggota komunitas
secara langsung dapat memilih bagaimana cara untuk membelanjakan anggaran dengan
tujuan utama dari PB ini adalah meningkatkan inklusivitas warga yang tidak terpilih (dalam
pemerintahan) untuk berpartisipasi pada proses manajemen perkotaan (Polko, 2015).
Saat ini masih sedikit penelitian yang membahas mengenai PB dan hubungannya
dengan E-Budgeting atau E-Government. Secara keseluruhan, E-government masih
merepresentasikan bidang riset yang masih “muda”, namun saat ini menjadi topik yang
dominan pada pembahasan administratif dan politik (Nitzsche et al, 2012). Senada dengan
Nitzsche et al. (2012) , Styliani (2010) menyatakan bahwa walaupun beberapa tahun
belakangan banyak kota-kota yang menggunakan teknologi informasi dalam PB, namun
karena PB merupakan suatu konsep baru, belum terdapat definisi yang jelas mengenai E-PB.
Pada tahun 2012 Nitzsche et al (2012) melakukan penelitian yang cukup komprehensif
mengenai “ Electronic Participatory Budgeting “ (E-PB) di Jerman. Definisi E-PB menurut
penelitian ini adalah keterlibatan dari warga dalam proses pengambilan keputusan pada
pembelanjaan anggaran publik dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi
modern.
Saat ini sistem PB dan E-PB digunakan oleh beberapa negara di seluruh dunia seperti:
Ø Swedia
Styliani (2010) memaparkan penelitian studi kasusnya mengenai implementasi E-PB
pada 3 kota di Swedia yaitu kota Orebro, Haninge dan Uddevalla. Berikut hasil analisis
hasil studi kasus penerapan E-PB pada kota-kota di Negara Swedia:
1. Kota Orebro
Fase perencanaan E-PB di kota Orebro merupakan fase yang tergolong lama
(mencapai 1 tahun). Sebagai hasilnya, tim proyek PB telah siap mengenai apa yang
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
akan mereka lakukan, pihak mana yang mereka inginkan untuk terlibat dan bagaimana
mereka penanganan atas keterlbatan suatu pihak. Fakta bahwa kota ini melibatkan
murid-murid SMA sebagai sasaran, memastikan keterlibatan yang tinggi dalam proses
dan merupakan penggambaran tingkat interaksi yang tinggi, karena pengerjaan
proposal PB menjadi bagian dari tugas sekolah mereka. Terkait penggunaan teknologi
informasi, pada proyek PB di kota Orebro hampir tidak ada penggunaanya. Namun
demikian pimpinan proyek PB di kota Orebro tidak menutup kemungkinan
penggunaan teknologi informasi untuk proses PB.
2. Kota Haninge
Inisiatif pelaksanaan PB di Kota Haninge dimulai oleh unsur politisi. Pihak politisi
menetapkan waktu pelaksanaan PB, namun terkait pemikiran mengenai rencana dan
implementasi proyek PB diserahkan kepada pemimpin proyek PB. Hal ini merupakan
sebuah efek negatif bagi pimpinan proyek ditambah sebuah fakta bahwa pimpinan
proyek dipekerjakan sebagai pekerja paruh waktu. Selain itu pegawai negeri yang
terlibat tidak ditanyakan terlebih dahulu apakah mereka siap mengerjakan proyek PB
yang merupakan pekerjaan ekstra diluar jam kerja reguler mereka. Lebih daripada hal-
hal tersebut, diketahui bahwa teknologi online untuk diskusi dan pengambilan suara
belum diuji. Walaupun telah diketahui fakta-fakta proses PB di Kota Haninge dan
belum adanya objektif yang didefinisikan secara jelas, bagi masyarakat, pegawai
negeri dan politisi, pelaksanaan PB pada tahun dilaksanakannya penelitian ini menjadi
suatu pembelajaran dan pengalaman yang menjadikan pelaksanaan PB pada tahun-
tahun selanjutnya dapat membaik
3. Kota Uddevalla
Studi kasus Kota Uddevalla menunjukkan bahwa ketika proyek PB menjadi bagian
dari proyek besar mengenai interaksi masyarakat, maka pelaksanaan PB menjadi
mudah dalam awalan dan prosesnya. Hal ini karena visi dan tujuan umum telah
terdefinisi. Lebih dari itu, kesuksesan pelaksanaan program di Uddevalla dikarenakan
keberhasilan pelibatan siswa dalam seluruh proses proyek PB: perencanaan,
pembentukan dan pengumpulan proposal hingga implementasi. Kedepannya,
diharapkan masyarakat luas juga dilibatkan dalam proses. Pada akhirnya walaupun
pada proyek ini Uddevalla mendapat bantuan pendanaan dari Uni Eropa, mereka lebih
memilih untuk investasi pada proyek ini tetap rendah. Uddevalla dan 2 kota lainnya
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
(Orebro dan Haninge) tidak mau menerima risiko atas besarnya jumlah uang untuk
pelaksanaan PB dan E-PB.
Ø Brazil
Peixoto (2008) pada penelitiannya menjelaskan mengenai penerapan E-PB di Kota
Belo Horizonte Negara Brazil. Proyek E-PB di Kota Belo Horizonte diluncurkan pada
tahun 2006 dengan anggaran mencapai US$ 11 Juta. E-PB terdiri atas skema dimana
masyarakat terdaftar sebagai pemilih di Kota Belo Horizonte. Terlepas dari lokasi tempat
tinggal di kota, masyarakat secara eksklusif memilih secara online untuk 1 dari 4
pekerjaan publik untuk tiap 9 distrik di kota. Menurut pelaksana, peluncuran E-PB
didasarkan atas 3 sebab: 1) Untuk memodernisasi PB melalui teknologi informasi,
2)Untuk meningkatkan partisipasi publik pada proses PB, 3)Untuk memperlebar cakupan
publik untuk memilih.
Gambaran umum sistem penganggaran Provinsi DKI Jakarta
Seperti Provinsi lainnya di Indonesia, penganggaran Provinsi DKI Jakarta mengacu
pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai dan Permendagri Nomor 52 tahun 2015
Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran
201
5
seb
aga
i
das
ar
hukum pelaksanaanya. Gambar 2 menunjukkan skema penyusunan APBD Provinsi DKI
Jakarta yang secara umum sesuai dengan konsep Permendagri Nomor 12 Tahun 2006.
Penyusunan APBD Provinsi DKI Jakarta disokong oleh 3 sistem utama yaitu sistem E-
Musrenbang, E-Planning dan E-Budgeting.
Sistem E-Musrenbang adalah sistem informasi yang dibangun untuk mencatat,
memverifikasi(kondisi existing/lapangan) dan mempublikasi hasil Rembuk RW di Provinsi
Gambar 2: Alur Penyusunan APBD Provinsi DKI Jakarta Sumber: Al-Anshori (Wawancara, 2016)
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
DKI Jakarta dalam bentuk web dan aplikasi mobile. E-Musrenbang dimulai dari proses
rembuk RW yang dimulai sekitar bulan Januari. Mulai dari proses rembug RW ini, usulan
masyarakat yang dihimpun dan diurutkan berdasarkan prioritas akan diinput secara online.
Pada proses E-Musrenbang tahun 2015 diketahui bahwa tiap RW mengusulkan maksimal 10
usulan ke kelurahan, 5 usulan ke Kecamatan dan 3 usulan ke Dinas/ Suku Dinas (Sudin).
Namun untuk sistem E-Musrenbang tahun 2016 tidak ada pembatasan usulan maupun
pembatasan tujuan pemberian usulan. Secara teori PB, sistem E-Musrenbang tergolong
sebagai sistem yang menganut model PB. Hal ini karena pada sistem ini terjalin komunikasi
yang sifatnya antar pihak. Komunikasi ini dapat berupa Bottom Up dan Top Down diantara
Politisi Terpilih, Pegawai Negeri dan seluruh elemen masyarakat. Masyarakat dapat secara
langsung mengusulkan penggunaan anggaran kepada pihak pengelola anggaran yang dalam
hal ini adalah Pegawai Negeri. Disamping dapat menyuarakan langsung, masyarakat juga
dapat meninjau langsung apakah permintaanya ditindaklanjuti atau tidak disertai dengan
alasan yang memadai dari pemerintah.
E-Planning adalah sebuah tahapan sistem yang dilaksanakan setelah proses
musrenbang dan E-Musrenbang pada siklus penyusunan APBD. Proses E-Planning adalah
proses penginputan rencana kerja dan komponen-komponen biaya kedalam sistem. Yang
melakukan proses input adalah SKPD/UKPD dengan koordinasi kepada BAPPEDA terkait
kegiatan dan BPKAD terkait kode rekening dan komponen. Selain berdasarkan usulan dari
masyarakat yang sifatnya dari bawah ke atas melalui E-Musrenbang, sistem E-Planning juga
memuat perencanaan yang berasal dari Rencana Kerja SKPD terkait yang sifatnya
teknokratis atau perencanaan yang berasal dari SKPD itu sendiri. Setelah usulan-usulan dari
E-Musrenbang sudah final dan diseleksi pada proses verifikasi, maka hasil usulan dan
aspirasi masyarakat menjadi dasar penyusunan RKA-SKPD yang digabung dengan rencana
kerja dari SKPD itu sendiri. Setelah data pada sistem E-Planning ini lengkap, maka data-data
tersebut akan dimigrasikan menuju sistem E-Budgeting untuk proses penyusunan RKA-
SKPD. Dapat diidentifikasi bahwa sistem E-Planning ini merupakan sistem penghubung
antara sistem E-Musrenbang yang memberikan akses aspirasi dari masyarakat secara
langsung dan program serta kegiatan yang sifatnya teknokratis yang dirangkum pada rencana
kerja SKPD dan arahan pada KUA-PPAS.
Sistem E-Budgeting
Sistem E-Budgeting di Provinsi DKI Jakarta diciptakan oleh Gagat Sidi Wahono,
seorang konsultan asal Surabaya. Menurut Wahono (Wawancara,2016), sistem E-Budgeting
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
ini sendiri mulai dirintis pembuatannya sejak tahun 2003 dan pertama kali diciptakan untuk
Pemerintah Kota Surabaya. Pembuatan sistem E-Budgeting ini sendiri dilatarbelakangi
perubahan sistem penganggaran yang berubah menjadi sistem penganggaran berbasis kinerja.
Karena terjadinya perubahan peraturan mengenai sistem penganggaran, maka proses
penganggaran tidak mudah dilakukan apabila dilakukan secara manual, maka penganggaran
harus menggunakan sistem informasi. Pemda Provinsi DKI Jakarta menggunakan sistem E-
Budgeting ini dimulai sejak masa pemerintahan Gubernur Joko Widodo pada tahun 2013
untuk masa anggaran 2014. Secara konsep dasar, menurut Al-Anshori (Wawancara, 2016),
terdapat 5 prinsip yang mendasari sistem E-Budgeting ini yaitu :
1. Accountable: Perhitungan anggaran dapat dihitung dan dimengerti dengan mudah
2. Transparency: Semua informasi yang ada terbuka dan dapat diakses sesuai dengan
kebutuhan
3. Predictable: Perhitungan anggaran dapat diprediksikan dengan jelas
4. Measurable: setiap belanja dapat terukur dengan jelas dan dapat dilakukan analisa
5. Controllable:kendali proses penyusunan dan penetapan anggaran
Secara platform dasar sistem, menurut Wahono (Wawancara,2016), sistem E-Budgeting
DKI Jakarta serupa dengan sistem E-Budgeting di Kota Surabaya, namun sistem E-Budgeting
di Provinsi DKI Jakarta jauh lebih kompleks daripada di Surabaya. Kompleksitas ini karena
DKI Jakarta yang merupakan provinsi, sementara Surabaya secara tingkat wilayah adalah
Kota Administratif. Kompleksitas dan kelebihan sistem E-Budgeting dibandingkan sistem
penganggaran lain adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan kode-kode
Atas setiap aspek sistem E-Budgeting, yaitu mengenai urusan, program,kegiatan,
subtitle anggaran, jenis belanja, rekening dan komponen, terdapat kode-kode yang
berlaku. Kode-kode ini menandakan identitas kegiatan,dinas yang terkait kegiatan, dan
prioritas kegiatan. Misalkan kode kegiatan 1.01.01.001.139, angka pertama menandakan
urusan wajib, 2 angka kedua menandakan urusan wajib pendidikan, 2 angka ketiga
menandakan nama program yaitu program pendidikan anak usia dini, 3 angka keempat
menandakan dinas yaitu dinas pendidikan dan 3 angka terakhir menandakan urutan nomor
kegiatan. Menurut Al-Anshori (Wawancara,2016), penggunaan sistem pengkodean yang
teratur dan sistematis dalam suatu sistem hanya ada di Jakarta dan Surabaya. Dengan
adanya pengkodean seperti ini menjadi salah satu faktor kompleksitas sistem E-Budgeting
di Provinsi DKI Jakarta.
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
2. Manajemen kendali anggaran
Pada sistem E-Budgeting provinsi DKI Jakarta ini terdapat 5 aspek pengendalian
anggaran, yaitu: kendali atas SKPD,kegiatan,belanja,rekening, dan komponen. Kendali
atas SKPD maksudnya adalah, admin sistem E-Budgeting dapat melakukan pengendalian
kepada suatu SKPD, apakah SKPD tersebut dapat menginput anggaran atau tidak. Hal ini
misalnya, terdapat SKPD kelurahan yang melakukan input kegiatan atau belanja yang
tidak sesuai dengan arahan dari Pemda Provinsi DKI Jakarta, maka penyelia sistem E-
Budgeting (lihat Gambar 4.6) dapat melakukan penguncian atas SKPD Kelurahan tersebut.
Dengan penguncian ini maka kelurahan tersebut tidak dapat melakukan akses kedalam
sistem E-Budgeting. Sistem lock atas SKPD ini juga berlaku tidak hanya pada proses
penginputan komponen anggaran, namun sistem lock SKPD ini juga ikut mengendalikan
pihak-pihak dalam proses E-Budgeting.Sebagai contoh, ketika dalam tahap penyusunan
RKA-SKPD, Anggota DPRD DKI Jakarta tidak dapat masuk kedalam sistem, walaupun
sudah memiliki username dan password. Hal ini karena Anggota DPRD hanya dapat ikut
masuk kedalam sistem ketika siklus anggaran pada fase yang menjadi wewenang Anggota
DPRD.
Selain penguncian terhadap SKPD, penguncian atau lock dapat dilakukan atas belanja.
Penyelia sistem E-Budgeting bisa saja melakukan lock atas suatu jenis belanja secara
spesifik. Contoh kasus penguncian atas belanja ini misalnya adalah SKPD Kelurahan yang
tidak dapat membeli gerobak motor untuk menghindari penggandaan anggaran dengan
SKPD Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Penyelia sistem E-Budgeting bisa saja melakukan
lock atas belanja gerobak motor. Lock lain juga dapat diberlakukan, misalnya tidak dapat
melakukan belanja kendaraan, alat bangunan, dan lain-lain.
Kendali atas rekening juga menjadi salah satu metode ampuh pengendalian pada sistem
E-Budgeting. Karena sistem penganggaran dan E-Budgeting mengharuskan transaksi
melalui rekening dan tidak menggunakan kas sedikitpun, maka pengendalian juga dapat
dilakukan melalui rekening. Metode pengendalian adalah dengan sistem lock atas suatu
kode rekening. Dengan adanya sistem lock yang dilakukan oleh admin sistem E-
Budgeting, SKPD tidak dapat mengakses suatu rekening, misalnya rekening pembayaran
mobil truk sampah.
Pada akhirnya, sistem lock yang dilakukan oleh admin sistem E-Budgeting ini berguna
untuk seluruh aspek E-Budgeting. Dengan adanya “Jaring Pengaman” di tiap aspek-aspek
E-Budgeting, maka pengendalian yang ada pada sistem E-Budgeting merupakan
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
pengendalian dengan dimensi yang banyak. Pengendalian ini juga yang menjadi ciri khas
kompleksitas sistem E-Budgeting di Provinsi DKI Jakarta.
3. Standardisasi biaya kegiatan
St
anda
rdisasi biaya kegiatan juga menjadi ciri khas kompleksitas sistem E-Budgeting Provinsi
DKI Jakarta. Menurut Al-Anshori (Wawancara,2016), sebenarnya sebelum adanya sistem
E-Budgeting, sudah ada standar harga atas kegiatan-kegiatan. Standar ini misalnya yang
terdapat pada “Buku Kuning”yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan umum. Pada
“Buku Kuning” ini terdapat daftar harga bahan-bahan bangunan seperti harga semen, batu
bata, pipa, dan lain-lain. Namun standar yang sudah ada ini belum tentu digunakan pada
saat proses penyusunan APBD dan tidak ada metode pengendalian atau pengawasan
mengenai penggunaan standar ini yang dapat memastikan apakah standar tersebut benar-
benar dipergunakan atau tidak. Standar harga pada sistem E-Budgeting menurut Wahono
(Wawancara,2016) adalah standar berdasarkan harga pasar ditambah akresi. Adanya
akresi ini adalah antisipasi menghadapi perubahan harga selama satu tahun, sehingga ada
ruang bagi perubahan harga apabila terjadi inflasi.
Skema teknis standardisasi biaya kegiatan pada sistem E-Budgeting Provinsi DKI
Jakarta dibagi menjadi 3 komponen seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.4 Komponen
pertama adalah Standar Satuan Harga (SSH). SSH merupakan komponen terkecil dalam
tingkat standardisasi biaya kegiatan. Apabila dianalogikan dengan kegiatan pembangunan
rumah, yang tergolong kedalam SSH adalah bahan-bahan seperti semen, batu
bata,paku,dan lain-lain. Komponen kedua adalah Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK).
Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.4, HSPK merupakan hasil dari penggabungan
Gambar 4.4 Ilustrasi sistem standardisasi biaya kegiatan pada E-Budgeting Sumber: Al-Anshori (Wawancara,2016)
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
elemen-elemen SSH. Apabila dianalogikan dengan kegiatan pembangunan rumah, HSPK
merupakan 1 komponen penyusun rumah, misalnya pembangunan sistem listrik rumah.
HSPK “pembangunan sistem listrik rumah” ini terdiri dari komponen-komponen SSH
seperti SSH Kabel, SSH Paku, dan SSH lainnya yang menjadi elemen HSPK sistem listrik
rumah. Komponen terakhir dalam sistem standardisasi biaya kegiatan adalah komponen
Analisis Standar Belanja (ASB). Apabila dianalogikan dengan kegiatan pembangunan
rumah, ASB merupakan proses pembangunan rumah itu sendiri. Pada Gambar 4.4 terlihat
bahwa ASB merupakan komponen yang tersusun dari HSPK-HSPK.
Dengan adanya standardisasi biaya kegiatan pada sistem E-Budgeting ini, sistem E-
Budgeting Provinsi DKI Jakarta tidak hanya sekadar sistem pencatatan biasa, namun lebih
dari itu sistem ini mengintegrasikan standar-standar harga yang ada untuk menjadi input
sistem. Dengan adanya sistem seperti ini maka seperti yang dipaparkan oleh Wahono
(Wawancara,2016), pengguna sistem E-Budgeting tidak dapat melakukan input berupa
nilai rupiah kedalam sistem, karena daftar harga dan jenis kegiatan sudah tersedia dalam
sistem. Pengguna sistem E-Budgeting hanya perlu melakukan penginputan kuantitas
sesuai kegiatan. Mekanisme seperti ini menjadikan sistem E-Budgeting tidak akan terkena
potensi penggelembungan anggaran akibat penggelembungan harga pada anggaran.
Selain itu dengan adanya sistem seperti ini, perencanaan harus dilakukan sedetil
mungkin dan pengurangan anggaran tidak dapat dilakukan sesukanya. Harus mendetil
karena keberhasilan kegiatan juga ditentukan dari anggaran yang benar. Apabila
perencanaan anggaran dilakukan dengan salah, maka risikonya adalah kekurangan
anggaran untuk suatu kegiatan yang berdampak pada tidak sempurnanya hasil akhir dari
kegiatan. Apabila hasil akhir kegiatan tidak sempurna maka dapat menjadi biaya lagi
untuk melakukan perawatan dan renovasi, sehingga perencanaan harus dilakukan secara
matang. Bagi pihak DPRD juga tidak bisa mengurangi anggaran tanpa patokan yang benar
saat proses pembahasan RAPBD. Hal ini misalnya terjadi pengurangan anggaran untuk
ASB Gedung Sekolah Dasar (SD). Apabila ASB dikurangi tanpa pertimbangan dan
perhitungan yang matang, maka dapat berdampak pada hasil akhir kegiatan, dalam hal ini
kualitas bangunan SD yang tidak sesuai standar dan tidak maksimal. Proses standardisasi
biaya kegiatan sudah dikalkulasi sedemikian hingga, sehingga pengurangan dengan cara
yang tidak benar juga dapat berdampak pada kualitas kegiatan.
4. Transparansi sistem
Seluruh proses penyusunan APBD menggunakan sistem E-Budgeting adalah proses
yang transparan. Secara internal, pengguna dan admin sistem E-Budgeting dapat
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
mengetahui siapa saja pihak-pihak yang melakukan perubahan pada saat proses
penyusunan APBD. Menurut Wahono (Wawancara,2016), dengan adanya sistem E-
Budgeting ini tidak ada lagi yang dapat menuduh kepada sembarang orang ketika terdapat
kasus korupsi, karena setiap tindakan akan terekam dalam sistem dan semua pihak dapat
mengawasi langsung. Hal ini juga senada dengan Marsudi (Wawancara, 2016) yang
menyatakan bahwa dengan menggunakan sistem E-Budgeting ini,tidak ada lagi hal yang
pembahasannya disembunyikan.
Analisis Transparansi dan Akuntabilitas
Secara fundamental, sistem E-Budgeting berusaha mewujudkan transparansi baik secara
internal maupun secara eksternal dalam proses penyusunan APBD. Secara internal artinya
transparansi berhasil menyediakan informasi dan melakukan pengungkapan yang memadai
kepada pihak internal yaitu Pemda Provinsi DKI Jakarta. Secara eksternal sistem E-
Budgeting juga sudah menyediakan transparansi yang memadai. Menurut Al-Anshori
(Wawancara,2016) , dengan adanya sistem E-Budgeting, apa yang dilihat oleh aparat Pemda
Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan apa yang dilihat oleh publik. Dibanding dengan daerah
lain di Indonesia, Provinsi DKI Jakarta juga sudah terdepan dalam menyajikan anggaran yang
transparan dan dapat diakses oleh publik dibandingkan provinsi lain di Indonesia.
Tahap lebih lanjut dari aspek transparansi adalah aspek akuntabilitas. Konteks
akuntabilitas terkait sistem E-Budgeting adalah bagaimana anggaran dapat menjadi suatu
kriteria atas keberhasilan program kerja yang dilaksanakan oleh pemerintah. Disamping
Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah selama 1 tahun, masyarakat dapat menggunakan
anggaran sebagai alat yang dapat menilai dan mengevaluasi kinerja pemerintah. Karena
akuntabilitas keuangan mencakup efisiensi penggunaan sumber daya dan pengendalian
pengeluaran (PBB,2007), maka sistem E-Budgeting telah berhasil mewujudkan hal tersebut.
Aspek efisiensi tercapai karena standar harga ditentukan di dalam sistem E-Budgeting,
sehingga harga yang digunakan dalam proses transaksi sesuai dengan harga yang berlaku
umum. Selain itu menurut Al-Anshori (Wawancara,2016), sistem E-Budgeting berhasil
melakukan terobosan seperti: tereliminasinya duplikasi anggaran, nilai anggaran yang lebih
terukur, dan berkurangnya komponen belanja pendukung kegiatan. Komponen belanja
pendukung kegiatan ini seperti penggunaan hotel untuk acara-acara dinas yang sifatnya hanya
sebagai pendukung terlaksananya kegiatan.
Kesimpulan
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
Tujuan penelitian ini adalah secara umum adalah mendeskripsikan sistem E-Budgeting
yang digunakan oleh Pemda Provinsi DKI Jakarta dan meninjau sistem ini dari sudut
pandang transparansi proses penyelenggaraan pemerintahan. Kesimpulan penelitian ini secara
umum adalah:
1. Sistem E-Budgeting merupakan sistem yang di buat oleh Gagat Sidi Wahono. Sistem ini
mulai diterapkan di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2013. Terdapat 5 pihak yang
dianggap sebagai pemangku kepentingan dan pengguna sistem ini yaitu: Gubernur/Wakil
Gubernur,TAPD Provinsi DKI Jakarta (terdiri dari BAPPEDA, Sekretaris Daerah, dan
BPKAD),SKPD,DPRD DKI Jakarta dan Masyarakat. Partisipasi masyarakat pada
penyusunan APBD didukung oleh sistem E-Musrenbang dalam hal pemberian usulan
pembangunan dan sistem E-Budgeting untuk mengawasi anggaran tiap SKPD. Secara
umum terdapat 4 hal yang membedakan sistem ini dengan sistem penganggaran lainnya di
Indonesia, 4 unsur pembeda ini adalah penggunaan kode-kode, manajemen kendali
anggaran, standardisasi biaya kegiatan dan transparansi sistem. Penggunaan kode-kode
yang kompleks, manajemen kendali anggaran yang berlapis, penggunaan komponen dan
sistem yang sangat transparan menjadi ciri khas sistem ini dan menjadikan sistem ini
sesuai dengan prinsip-prinsip dan asas GPG.
2. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara hukum yang berlaku ,proses
penyusunan APBD Provinsi DKI Jakarta telah sesuai dengan hukum yang berlaku. Secara
garis besar proses penyusunan APBD DKI Jakarta terdiri dari 3 sistem utama yaitu E-
Musrenbang, E-Planning, dan E-Budgeting. BAPPEDA menjadi pihak yang
bertanggungjawab saat tahapan E-Musrenbang dan E-Planning, sementara BPKAD
bertangungjawab saat pelaksanaan E-Budgeting. Secara sistem, E-Musrenbang merupakan
sistem yang serupa dengan sistem Participatory Budgeting (PB) yang dilakukan di banyak
negara Eropa dan Amerika. Setelah tahapan sistem E-Musrenbang, usulan-usulan dari
sistem E-Musrenbang diinput kedalam sistem E-Planning untuk kemudian menjadi basis
penganggaran pada sistem E-Budgeting.
3. Secara performa, sistem E-Budgeting banyak membantu terwujudnya perubahan-
perubahan di Provinsi DKI Jakarta, karena sistem E-Budgeting dapat melakukan analisis
anggaran dengan spesifik dan detil hingga ke unit-unit dibawah SKPD. Performa dalam
pencegahan korupsi juga menjadi notabene sistem E-Budgeting , karena sistem ini
mencegah penggunaan kas dalam transaksi dan dapat menghentikan transaksi apabila
terdapat permasalahan hukum terkait pelaksanaan transaksi tersebut. Dalam menegakkan
prinsip GPG, sistem ini mencerminkan terlaksananya prinsip wawasan ke depan,
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
partisipasi masyarakat, efisiensi dan efektivitas, komitmen pada pasar yang fair dan
mengoptimalkan performa melalui perencanaan dan inovasi. Selain prinsip-prinsip GPG
yang dipaparkan sebelumnya, transparansi dan akuntabilitas juga menjadi prinsip dan asas
GPG yang tidak terpisahkan dari sistem E-Budgeting. Sistem E-Budgeting merupakan
sistem pertama di Indonesia yang menyediakan informasi anggaran suatu pemerintah
daerah secara umum dan secara khusus hingga tingkat unit dibawah satuan kerja.
Informasi yang disajikan juga mencakup detil item anggaran. Transparansi ini menggiring
pada tercerminnya prinsip akuntabilitas pada penerapan sistem E-Budgeting. Dengan
adanya sistem E-Budgeting, masyarakat dapat menilai dan mengawasi kinerja tiap SKPD
dan unit dibawahnya di Provinsi DKI Jakarta.
Daftar Referensi Alcaide-Muñoz, L. and Rodríguez Bolívar, M.P. (2015) ‘Understanding e-government research’, Internet
Research, 25(4), pp. 633–673. doi: 10.1108/intr-12-2013-0259. Anti Corruption Clearing House (ACCH). (2015). Sejarah Panjang Pemberantasan Korupsi di Indonesia : “Tak
Pernah Terhenti”. http://acch.kpk.go.id/sejarah-panjang-pemberantasan-korupsi-di-indonesia Australian National Audit Office. (2014). Public Sector Governance, Strenghthening Performance Through
Good Governance. https://www.anao.gov.au/sites/g/files/net616/f/2014_ANAO%20-%20BPG%20Public%20Sector%20Governance.pdf
Aydın, E. and Savrul, B.K. (2014) ‘The relationship between globalization and e-commerce: Turkish case’, Procedia - Social and Behavioral Sciences, 150, pp. 1267–1276. doi: 10.1016/j.sbspro.2014.09.143.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.2007. Penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Basri, H., & Nabiha, A. S. (2014). Accountability Of Local Government : The Case Of Aceh Province, Indonesia. Asia Pacific Journal of Accounting and Finance, 3, 1.
Beatriz Cuadrado-Ballesteros , Luis Andrés Vaquero-Cacho , (2015) "The “need to know” and the lack of online transparency among political parties", Transforming Government: People, Process and Policy, Vol. 9 Iss: 1, pp.85 – 103
Benmamoun, M., Kalliny, M. and Cropf, R.A. (2012) ‘The Arab spring, MNEs, and virtual public spheres’, Multinational Business Review, 20(1), pp. 26–43. doi: 10.1108/15253831211217189.
Bertot, J.C., Jaeger, P.T. and Grimes, J.M. (2010) ‘Using ICTs to create a culture of transparency: E-government and social media as openness and anti-corruption tools for societies’, Government Information Quarterly, 27(3), pp. 264–271. doi: 10.1016/j.giq.2010.03.001.
Birskyte, L. (2013). Involving citizens in public decision making: the case of participatory budgeting in Lithuania. Financial Theory and Practice, 37(4), 383-402.
Department of Local Government Finance, Indiana. (2013). A Guide through the Process of Budgeting for Indiana Local Governments. http://www.in.gov/dlgf/files/2013_Budget_Manual_10_9_2013.pdf
Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri. (2013). Transparansi Keuangan Daerah. http://keuda.kemendagri.go.id/transparansikeuangan/rekapProvinsi
Internasional Federation of Accountants. (2013). Good Governance in the Public Sector-Consultation Draft for an Internasional Framework. http://www.ifac.org/system/files/publications/files/Good-Governance-in-the-Public-Sector.pdf
Internasional Fund For Agricultural Development. (1999). Good Governance: An Overview. http://www.ipa.government.bg/sites/default/files/pregled-dobro_upravlenie.pdf
Internasional Monetary Fund. (2016). Factsheet, The IMF and Good Governance. http://www.imf.org/external/np/exr/facts/gov.htm
ITU. (2015). ICT Facts & Figures. http://www.itu.int/en/ITU-D/Statistics/Documents/facts/ICTFactsFigures2015.pdf
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
Kelly, J. M. (2005). A Century of Public Budgeting Reform The “Key” Question. Administration & society, 37(1), 89-109.
Kementerian Dalam Negeri. (2013). Bagan Alir Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah. http://keuda.kemendagri.go.id/baganalir
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (2014). Laporan Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013. http://www.djpk.kemenkeu.go.id/web/attachments/article/532/Realisasi%20APBD%202014.pdf
KNKG, 2010, Pedoman Good Public Governance. Lindstedt, C. and Naurin, D. (2010) ‘Transparency is not enough: Making transparency effective in reducing
corruption’, International Political Science Review, 31(3), pp. 301–322. doi: 10.1177/0192512110377602 Mehrabanfar, E. (2015) ‘Globalization streams in futures studies’, Informatica Economica, 19(3/2015), pp. 96–
106. doi:10.12948/issn14531305/19.3.2015.09. Menifield, C. E. (2013). The Basics of Public Budgeting and Financial Management Updates. University Press
of America. Ministry of the Interior and Kingdom Relations,The Netherlands. (2009). Netherlands Code for Good Public
Governance, Principles of Proper Public Administration.http://www.integriteitoverheid.nl/fileadmin/BIOS/data/Internationaal/Netherlands_Code_for_Good_Public_Governance.pdf
Miori, V., & Russo, D. (2011). Integrating online and traditional involvement in participatory budgeting. Electronic Journal of e-Government, 9(1), 41-57.
Nitzsche, et al. 2012. Development of an Evaluation Tool for Participative E-Government Services: A Case Study of Electronic Participatory Budgeting Projects in Germany. Administratie si Management Public, No. 18. (2012), pp. 6-25
OECD. (2013). Electronic Commerce. http://info.worldbank.org/governance/wgi/index.aspx#home Pangestu, M. (2003). The Indonesian bank crisis and restructuring: Lessons and implications for other
developing countries. UN. Patapas,Aleksandras. Raipa, Alvydas. Smalskys, Vainius. (2014). New Public Governance: The Tracks of
Changes. Internasional Journal of Business and Social Research (IJBSR), Volume-4,No.-5 PBB. (___). Public Governance Indicators: A Literature Review.
https://publicadministration.un.org/publications/content/PDFs/E-Library%20Archives/2007%20Public%20Governance%20Indicators_a%20Literature%20Review.pdf
Peixoto, T. (2008). e-Participatory Budgeting: e-Democracy from theory to success?. Available at SSRN 1273554.
Polko, A. (2015). Models of participatory budgeting–the case study of Polish city. Journal of Economics & Management, 19, 34-44.
Teig, M.(2006). Fiscal Transparency and Economic Growth. Tidak Dipublikasikan. Transparency International. (2016). Corruption Perceptions Index 2015. http://www.transparency.org/cpi2015 USAID Indonesia. (2013). Investing in Indonesia: A stronger Indonesia advancing national and global
development. https://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/1861/Indonesia%20CDCS%20FINAL%20Version.pdf
Utama, Siddharta. 2003. Corporate Governance, Disclosure and its Evidence In Indonesia: Part I. Manajemen Usahawan Indonesia XXXII (04) April 2003: 28-32
Veiga, L. G., Kurian, M., & Ardakanian, R. (2015). Public Budgets: Governance Structures, Norms, and Organizational Practices. In Intergovernmental Fiscal Relations (pp. 25-46). Springer International Publishing.
Vishwanath, T., & Kaufmann, D. (1999). Towards transparency in finance and governance. Available at SSRN 258978.
Wawancara Bapak Djarot Saiful Hidayat, 9 Mei 2016 Wawancara Bapak Gagat Sidi Wahono, 28 April 2016 Wawancara Bapak Ismail Al-Anshori, 13 Mei 2016 Wawancara Bapak Prasetyo Edi Marsudi, 19 Mei 2016 Zafeiropoulou, S. (2010). Implementing Electronic Participatory Budgeting in Swedish Municipalities. Tidak
dipublikasikan.
Penerapan E-Budgeting ..., Fajri Ramadhan, FEB UI, 2016
top related