pemanfaatan endomikoriza indigenus dari lahan kering di bali
Post on 31-Dec-2016
236 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagian wilayah di Provinsi Bali terutama di bagian Utara dan Timur
(Kabupaten Buleleng Barat dan sebagian Karangasem) tergolong lahan kering
(Antara, 2004 ; Daryana, 2010). Para petani di daerah tersebut menggunakan
sistem pertanian yang sangat bergantung pada musim (Aditya, 2011). Pada
musim penghujan para petani menanam tanaman jenis kacang-kacangan
(Kacang Tanah, Kacang Hijau, Kacang Panjang, Kacang Undis, Kacang Koma),
Cabai dan Jagung. Pada musim kemarau petani mengandalkan tanaman
Singkong atau bahkan untuk lahan yang sangat kering tidak ditanami tanaman
pertanian sama sekali (Arsana et al., 2010). Kondisi tanah pertanian yang
tersebut diatas merupakan faktor utama yang menyebabkan hasil pertaniannya
kurang produktif (Suprapto et al., 2001).
Salah satu jenis tanaman yang dikembangkan di lahan kering adalah mente.
(A. occidentale L). Tanaman mente merupakan salah satu komoditas ekspor
yang ekonomis dan mampu menghasilkan produksi biji (gelondong) mente yang
relatif stabil harganya sehingga status tanaman mente yang sebelumnya
merupakan tanaman penghijauan beralih menjadi tanaman komoditas unggulan
(Zaubin dan Daras, 2002). Salah satu usaha untuk menstabilkan produktifitas
tanaman mente diperlukan suatu pengembangan berorientasi agribisnis agar
dapat memberikan dampak positif kepada para petani dan industri (Hadad et al.,
2000). Kendala yang dihadapi para petani mente di Bali dan Nusa Tenggara
adalah hasil produksi buah mente tidak stabil karena petani cenderung
2
mempertahankan pohon mente yang sudah berumur tua tanpa melakukan
peremajaan pohon induk (Suharto, 2011). Dinas Perkebunan Provinsi Bali
selama ini melakukan pembibitan mente dengan para petani plasma.
Berdasarkan hasil survey di lapangan terdapat beberapa kendala yang dihadapi
para petani mente dalam melakukan pembibitan mente antara lain: akar bibit
mente mudah patah pada waktu pemindahan dari kebun bibit ke areal
perkebunan, bibit mudah mati bila sudah dipindahkan ke areal perkebunan,
pertumbuhan bibit yang tidak seragam, jumlah perakaran (serabut) yang
dihasilkan bibit mente sangat sedikit sehingga menyebabkan kemampuan
absorbsi hara dan mineral dari tanah rendah (Sukawidana, 2010 ; Darmais, 2011
pers.com). Kendala-kendala tersebut pada akhirnya menyebabkan produktivitas
mente di Bali dan Nusatenggara, khususnya di lahan kering perkebunan mente
Desa Sendang Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng dan Desa Sukadana
Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem khususnya menjadi tidak/kurang
maksimum.
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tanaman pertanian
khususnya mente di lahan kering tersebut adalah penggunaan cendawan
endomikoriza. Spora-spora cendawan endomikoriza yang diinokulasikan pada
akar tanaman inang pada fase pembibitan diharapkan dapat mengatasi salah satu
kendala pertumbuhan mente di lahan kering dengan asumsi bibit yang telah
diinokulasi dengan cendawan endomikoriza pada fase pembibitan, bibit mente
tersebut akan terkolonisasi oleh cendawan endomikoriza sehingga terbantu
dalam absorbsi air dari tanah dan terlindungi dari serangan penyakit sejak
dipembibitan sampai di areal perkebunan. Menurut Smith et al. (2010),
3
simbiosis cendawan endomikoriza dengan akar tanaman dapat meningkatkan
absorbsi air dan mineral seperti P, N, K, Cu, Mo, Zn, menstimulasi
pertumbuhan, meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan dan
serangan / infeksi mikroba patogen di tanah.
Penelitian tentang peran penting endomikoriza telah banyak dilakukan
antara lain; inokulasi cendawan endomikoriza untuk meningkatkan laju
pertumbuhan dan produktivitas tanaman jagung (Zea mays) di lahan kritis
(Idwar dan Ali. 2000); Inokulasi spora dan propagul endomikoriza Acaulospora
tuberculata dan Gigaspora margarita untuk meningkatkan serapan hara pada
bibit kelapa sawit yang dibudidayakan di tanah masam (Widiastuti et al., 2002);
Inokulasi spora endomikoriza untuk memacu proses reproduksi tanaman Barley
(Hordeum vulgare L.) (Therrien, 2008); Penggunaan endomikoriza untuk
meningkatkan produksi kedelai di lahan kering (Hapsoh, 2008); penambahan
endomikoriza Acaulospora sp. untuk meningkatkan produksi umbi pada
tanaman ubi kayu (Jauhari dan Sumarno, 1995); penambahan spora Glomus sp.
untuk meningkatkan toleransi tanaman hias yang ditanam pada tanah pertanian
pasca bioremediasi (Al-Zalzaleh et al., 2009). Hasil-hasil penelitian oleh Cruzz
et al. (2000) ; Hameeda et al. (2007) dan Douds et al. (2010) mampu
membuktikan bahwa simbiosis cendawan mikoriza dengan tanaman dapat
mengurangi ketergantungan tanaman tersebut pada pupuk dan pestisida sintetik
sehingga penggunaan mikoriza merupakan salah satu upaya untuk mengurangi
ketergantungan terhadap pupuk ataupun pestisida kimia.
Penggunaan endomikoriza komersial sudah diaplikasikan pada tanaman
pertanian di Bali meskipun masih dalam taraf skala uji coba (pilot project),
4
misalnya: pemberiaan pupuk mikoriza komersial “Biosfer” pada pembibitan
tanaman Vanili (Tirta, 2006); kombinasi mikoriza komersial dan cendawan
Trichoderma sp untuk mengurangi infeksi Jamur Akar Putih (JAP) pada
tanaman Mente (Priono, 2008); Aplikasi pupuk mikoriza “Technofert” untuk
meningkatkan pertumbuhan tanaman pakan ternak (Sukasta et al., 2010).
Penelitian aplikasi mikoriza komersial pada tanaman pertanian dan perkebunan
di Bali telah banyak dilakukan, namun penggunaan mikoriza komersial tersebut
belum terlihat hasilsecara nyata dalam meningkatkan pertumbuhan dan
produktifitas tanaman (pertanian dan perkebunan) ataupun menurunkan
intensitas infeksi tanaman yang terinfeksi oleh mikroba patogen tersebut.
Kurang berhasilnya kemampuan endomikoriza komersial tersebut untuk
aplikasi tanaman pertanian atau perkebunan diduga bahwa endomikoriza
komersial yang berasal dari “pabrik” atau “ Balai penelitian” dengan sumber
inokulum bukan berasal dari daerah setempat sehingga diasumsikan akan
memerlukan waktu adaptasi lebih lama terhadap kondisi lingkungan yang baru.
Menurut Bohrer dan Amon (2004); Thamsurakul dan Charoensook (2006)
dan Suryatmana et al. (2009), mikoriza indigenus memiliki potensi yang tinggi
untuk dijadikan sebagai “pupuk hayati” atau “Biofertilizer” tanaman pertanian
di lahan kering daerah setempat karena jenis-jenis endomikoriza indigenus lebih
adaptif sehingga hifa dan spora cendawan tersebut dapat dengan cepat
bergerminasi dan mengkolonisasi sistem perakaran tanaman disekitarnya
khususnya tanaman yang merupakan inang dari endomikoriza tersebut.
Penelitian ekplorasi endomikoriza di alam diperlukan faktor lingkungan
yang sehingga dapat diketahui jenis-jenis dan kepadatan populasi organisme
5
tersebut pada musim dan tempat yang berbeda (Begon et al., 1990 ; Brundrett
et al., 1996). Penelitian Bohrer et.al. (2001) yang dilakukan di Boswana
mengindikasikan bahwa kepadatan atau kerapatan jumlah spora endomikoriza
di alam sangat dipengaruhi oleh perbedaan tempat, musim dan curah hujan.
Hasil penelitian Danesh et al. (2007) di Iran mengindikasikan bahwa
keanekaragaman endomikoriza pada suatu kawasan sangat dipengaruhi
porositas dan tingkat kejenuhan tanah. Hal ini menjadi suatu alur pemikiran
bahwa untuk mengetahui kerapatan jumlah spora, kemampuan kolonisasi
endomikoriza pada tanaman inangnya dan jenis-jenis endomikoriza di Bali,
penelitian eksplorasi perlu dilakukan dalam satu siklus musim dan tempat yang
berbeda sehingga akan dapat diketahui apakah perbedaan tempat dan musim
akan berpengaruh terhadap keberadaan jumlah spora, persen kolonisasi pada
tanaman inang dan jenis endomikoriza tersebut di alam.
Kendala pada aplikasi endomikoriza di lapangan adalah keterbatasan akan
ketersediaan isolat mikoriza dalam bentuk pupuk hayati dan merupakan
masalah yang belum dapat terselesaikan sehingga kalangan petani sulit
mendapatkan pupuk hayati mikoriza tersebut. Pupuk hayati dapat dibeli atau
disediakan oleh produsen tetapi harganya mahal sehingga aplikasi di kalangan
petani sulit dilakukan (Aryantha et al., 2002; Sukasta et al., 2010).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, diperlukan suatu penelitian bagaimana
caranya memperbanyak endomikoriza indigenus Bali (spora dan atau propagul)
sehingga endomikoriza hasil eksplorasi tersebut dapat diaplikasikan atau siap
digunakan sebagai pupuk hayati yang dapat digunakan langsung oleh kalangan
petani, khususnya pada tahap pembibitan.
6
Perbanyakan spora dan propagul dipengaruhi oleh banyak faktor baik
faktor internal (kemampuan germinasi dari spesies endomikoriza) dan faktor
eksternal (bahan organik tanah dan ketersediaan hara). Penambahan pupuk
sebagai sumber hara dan mineral sangat diperlukan dalam perbanyakan spora
endomikoriza terutama untuk pertumbuhan akar tanaman inang (Novriani dan
Madjid, 2009Chalimah, 2007; Lukiwati, 2007). Salah satu sumber hara yang
standar digunakan sebagai pupuk untuk perbanyakan atau propagsi spora
endomikoriza adalah larutan Hara Johnson. Hara Johnson mempunyai
kandungan unsur hara makro dan mikro yang sudah standard namun larutan ini
dapat dimodifikasi konsentrasi hara makro dan mikro didalamnya sehingga hara
ini sering digunakan untuk memperbanyak spora dan hifa endomikoriza pada
tanaman inang (Widiastuti, 2002; Simanungkalit, 2003). Jenis tanaman inang
yang umum digunakan untuk memperbanyak spora adalah tanaman semusim
karena cepat tumbuh dan menghasilkan banyak akar serabut dibanding tanaman
perenial sehingga perbanyakan endomikoriza tidak membutuhkan waktu lama
(Widiastuti, 2004). Tanaman semusim seperti Jagung dan Shorgum merupakan
inang sangat kompatibel dengan endomikoriza (Simanungkalit, 2003; Hapsoh,
2008,) sehingga tanaman Jagung dan Shorgum merupakan inang yang
digunakan untuk perbanyakan spora endomikoriza (Widiastuti, 2004).
Berdasarkan paparan latar belakang tersebut di atas perlu dilakukan
penelitian tentang “Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus pada Lahan Kering di
Bali untuk Memacu Pertumbuhan Mente (Anacardium occidentale L.) “
1.2. Rumusan Masalah
Beberapa masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
7
1. Apa saja spesies endomikoriza dan bagaimana kerapatan spora serta
kolonisasi pada tanaman di lahan kering Buleleng dan Karangasem Bali.
2. Berapakah konsentrasi P dalam hara Johnson yang optimum untuk
perbanyakan spora endomikoriza indigenus Bali pada tanaman Jagung?
3. Bagaimanakah respon pertumbuhan bibit mente terhadap inokulasi
endomikoriza dalam bentuk spora tunggal dan campuran spora-propagul?
4. Bagaimanakah respon pertumbuhan bibit mente terhadap spora dan
propagul endomikoriza pada media pembawa yang berbeda?
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui spesies, kerapatan spora endomikoriza dan persentase kolonisasi
endomikoriza indigenus pada tanaman di lahan kering Buleleng dan
Karangasem Bali
2. Mengetahui konsentrasi P optimum dalam hara Johnson untuk perbanyakan
spora endomikoriza indigenus Bali pada tanaman Jagung
3. Mengetahui respon pertumbuhan bibit mente (A. occidentale L.) terhadap
inokulasi endomikoriza indigenus Bali dalam bentuk spora, propagul saja
dan campuran spora-propagul
4. Mengetahui pengaruh spora dan propagul endomikoriza dalam media
pembawa berbeda terhadap pertumbuhan bibit mente.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan yang baru
tentang spesies cendawan endomikoriza yang terdapat di lahan kering Bali dan
8
inokulasi cendawan endomikoriza terhadap respon pertumbuhan bibit mente
serta memberikan kontribusi secara akademik (untuk perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi) dan manfaat praktis (dapat digunakan untuk
memberikan solusi atau memecahkan masalah pertanian yang terdapat di
masyarakat), yaitu:
1.4.1. Manfaat akademik
1. Memberikan informasi spesies apa saja, kerapatan jumlah spora dan
kolonisasi endomikoriza indigenus pada tanaman-tanaman di lahan kering
Buleleng dan Karangasem Bali
2. Perbanyakan spora endomikoriza pada tanaman Jagung dengan variasi P
hara Johnson dapat memberikan informasi tentang propagasi spora.
3. Hasil uji coba endomikoriza pada tanaman mente memberikan informasi
tentang penggunaan endomikoriza indigenus Bali untuk memacu
pertumbuhan bibit mente.
1.4.2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan
dalam pembuatan dan pengembangan “pupuk hayati “ berbasis spora dan
propagul endomikoriza Indigenus Bali untuk diaplikasikan pada
pembibitan mente sehingga dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan dan
ketahanan hidup bibit tersebut pada lahan kering di Bali.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Biologi Cendawan Endomikoriza
Mikoriza berasal dari bahasa Yunani yang secara harfiah berarti “cendawan
akar” (mykos = miko= cendawan dan rhiza = akar ) atau “cendawan tanah”
karena hifa dan sporanya selalu berada di tanah terutama areal rhizosfer
tanaman (Mikola, 1980; Smith and Read, 1997). Asosiasi antara cendawan
mikoriza dengan tanaman inang merupakan hubungan simbiosis mutualisme
(Simanungkalit, 2003; Brundrett et al., 2008). Simbiosis tersebut bermanfaat
bagi keduanya, yaitu cendawan mikoriza memperoleh karbohidrat dalam bentuk
gula sederhana (glukosa) dan Karbon (C) dari tumbuhan, sebaliknya cendawan
melalui hifa eksternal yang terdistribusi di dalam tanah dapat menyalurkan air,
mineral dan hara tanah untuk membantu aktifitas metabolisme tumbuhan
inangnya (Brundrett et al., 2008; Smith et al., 2010).
Cendawan mikoriza terutama kelompok endomikoriza mendapat banyak
perhatian para peneliti karena beberapa spesies dari cendawan endomikoriza di
alam mampu bersimbiosis secara mutualistik dengan lebih dari 80% spesies
tanaman berpembuluh (Smith dan Read, 1997 ; Hapsoh, 2008; Brundrett et al.,
2008). Simbiosis cendawan mikoriza dapat terjadi secara alami atau dengan
cara diinokulasikan pada tanaman inangnya dan proses kolonisasi secara
intensif terjadi pada fase pembibitan tanaman tersebut (Alizadeh, 2011).
Tanaman yang telah terkolonisasi atau terinfeksi oleh cendawan mikoriza pada
fase pembibitan, tanaman tersebut akan membawa hifa ataupun spora cendawan
10
mikoriza tersebut selama tanaman tersebut tumbuh (Brundrett et al., 2008).
Peran simbiosis endomikoriza yang terutama adalah membantu tanaman-
tanaman yang terdapat pada tanah atau lahan yang miskin air dan hara
(Simanungkalit, 2003 ; Delvian, 2006a), khususnya tanah yang miskin akan
kandungan Fosfat, Zink, Nitrogen (Smith et.al., 2010).
Kondisi tanah pertanian atau perkebunan di Indonesia umumnya memiliki
kandungan Fosfat yang cukup tinggi (jenuh) (Delvian, 2006b). Kandungan
Fosfat yang terdapat di alam seringkali terikat dalam bentuk senyawa pada
mineral liat tanah sehingga menyebabkan P yang melimpah ditanah namun
tidak tersedia bagi tanaman (Brundrett et al., 2008; Smith et.al., 2010).
Cendawan mikoriza adalah salah satu mikroba yang dapat menghasilkan enzim
fosfatase sehingga dengan enzim tersebut hifa-hifa cendawan mampu
melepaskan ikatan P dari mineral liat pada tanah dan merombak P bentuk ion
fosfor sehingga dapat dimanfaatkan bagi tanaman (Novriani dan Madjid, 2009).
Pertumbuhan dan aktivitas endomikoriza di tanah atau rhizosfer tanaman
sangat tergantung oleh keberadaan jenis-jenis atau spesies endomikoriza yang
terdapat pada areal tersebut, lingkungan yang mendukung pertumbuhan spesies
endomikoriza dan tanaman inang yang kompatibel (Widiastuti et al., 2002 ;
Smith dan Read, 2008). Menurut Abbott dan Robson (1984) dan Danesh et al.,
(2007), setiap spesies endomikoriza mempunyai “innate effectiveness” atau
kemampuan yang spesifik dari spesies tersebut untuk meningkatkan
pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang kurang menguntungkan dengan
cara membentuk hifa ekstensif di dalam tanah dan pada seluruh sistem
perakaran tanaman untuk menyerap fosfor dari larutan tanah.
11
Cendawan mikoriza dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu
ektomikoriza, ektendomikoriza dan endomikoriza. Pengelompokan ini
berdasarkan pada bentuk morfologi hifa mikoriza yang mengkolonisasi akar
(Smith and read, 1997 ; Brundrett, 2008). Cendawan Ektomikoriza merupakan
kolonisasi hifa mikoriza di luar kortek akar dengan cara membentuk jaringan
hifa (mantel hifa) yang menyelimuti bagian luar epidermis akar tanaman
sebaliknya endomikoriza merupakan cendawan yang mampu membentuk
eksternal hifa dan internal hifa. Kolonisasi internal hifa berkembang di dalam
kortek akar dengan membentuk vesikel dan atau arbuskula tergantung pada tiap
genera (Brundrett et al., 2008; Smith dan Read, 2008). Ektendomikoriza adalah
cendawan mikoriza yang mampu mengkolonisasi perakaran baik secara internal
hifa di kortek maupun eksternal hifa yang menyelimuti epidermis akar. Hifa
yang terbentuk baik ekternal maupun internal sangat sedikit atau tipis sehingga
simbiosis ektendomikoriza tidak jelas peran dan fungisinya bagi tanaman
(Mikola, 1980 ; Smith dan Read, 1997).
Beberapa ahli dan peneliti yang fokus dalam cendawan endomikoriza
mengelompokkan cendawan endomikoriza dengan beberapa istilah yaitu, Fungi
Mikoriza Arbuskula (FMA) atau cendawan endomikoriza (Simanungkalit,
2003; Kramadibrata, 2008), Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) ( Delvian,
2006; Novriani dan Madjid, 2009, Hapsoh, 2008) atau Vesicular Arbuscular
Mycorrhiza (VAM)-fungi (Smith and Read, 1997; Schϋβler et al., 2001;
INVAM, 2005; Brundrett et al., 2008).
Menurut Smith dan Read (1997) dan Brundrett et al., (2008),
Arbuskula/Arbuscular adalah struktur hifa yang berasal dari percabangan hifa di
12
dalam korteks akar inang. Bentuk arbuskula menyerupai pohon kecil dan
berfungsi sebagai tempat pertukaran zat-zat metabolit primer (terutama Glukosa
dan Fosfor) antara cendawan endomikoriza dan akar tanaman. Brundrett et al
(2008) dan Hapsoh (2008) menyatakan bahwa arbuskula mempunyai peran
yang sangat vital dari cendawan endomikoriza karena berfungsi sebagai tempat
masuknya hara mineral dari tanah yang diabsorbsi oleh akar dan hifa ke dalam
sel inang. Proses tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan sitoplasma,
respirasi dan aktivitas enzim pada kedua organisme tersebut sehingga
tanaman/inang akan dapat memanfaatkan fosfor dari cendawan dan sebaliknya
cendawan endomikoriza mengabsorbsi glukosa dan karbon dari inangnya.
Vesikula atau vesikel (vesicular/vesicle) adalah merupakan hifa cendawan
endomikoriza yang mengalami penggembungan (melebar). Penggembungan
hifa bisa terjadi secara internal di dalam sel atau keluar dari sel akar inang yang
terbentuk pada hifa terminal dan interkalar. Bentuk vesikel bulat atau
oval/lonjong, berisi senyawa lemak sehingga vesikel merupakan organ
penyimpanan cadangan makanan bagi cendawan endomikoriza (Brundrett et.
al., 2008). Pada kondisi tertentu terutama vesikel yang telah dewasa dapat
berperan sebagai spora atau alat pertahanan cendawan tersebut jika berada pada
lingkungan yang tidak menguntungkan (Pattimahu, 2004; Mosse, 1991).
Vesikular Arbuskular Mikoriza (VAM-fungi) atau cendawan endomikoriza
yang dapat membentuk arbuskel dan atau vesikel merupakan kelompok
cendawan yang awal pengklasifikasiannya termasuk ke dalam kelas
Zygomycetes, ordo dan Glomales. Ordo Glomales terdiri dari dua (2) sub ordo,
yaitu Gigasporinea dan Glomineae. Sub-ordo Gigasporineae hanya
13
mempunyai satu famili Gigasporacaeae dan hanya terdiri 2 genus, yaitu
Gigaspora dan Scutellospora. Pada sub-ordo Glominea mempunyai 4 familia,
yaitu famili Glomaceae dengan genus Glomus, famili Acaulosporaceae dengan
genus Acaulospora dan Entrophospora, famili Paraglomaceae dengan genus
Paraglomus, dan famili Archaeosporaceae dengan genus Archaespora.
(INVAM, 2009).
Menurut Schϋβler et al (2012) perkembangan klasifikasi dan identifikasi
terbaru, genus Sclerocystis mempunyai kemiripan atau homolog dengan genus
Glomus, sehingga Sclerocystis pada beberapa acuan klasifikasi tidak lagi
sebagai genus tersendiri tetapi termasuk dalam genus Glomus
Menurut Schϋβler et al. (2001) dan INVAM (2005), perkembangan
klasifikasi dari cendawan endomikoriza dikelompokkan sebagai berikut:
Kingdom : Mycota
Phyllum : Glomeromycota
Kelas : Glomeromycetes
Ordo : Glomales
Familia 1 : Glomaceae
Genus : Entrophospora, Glomus, Paraglomus, Sclerocystis.
Famili 2 : Gigasporineae
Genus : Gigaspora, Scutellospora.
Famili 3 : Acaulosporaceae
Genus : Acaulospora
Pada cendawan endomikoriza, terbentuknya vesikel memiliki fungsi dan
karakter yang paling menonjol dibandingkan tipe cendawan mikoriza lainnya
14
(ektomikoriza) karena salah satu spesies cendawan endomikoriza yaitu Glomus
sp., merupakan cendawan endomikoriza yang selalu membentuk vesikel
struktur tersebut merupakan salah satu struktur inti untuk identifikasi sampai
pada tingkat genera pada Glomus (Mosse, 1991; Brundrett et al., 1996)).
Glomus sp. mempunyai spora yang tumbuh pada ujung hifa (hifa terminal)
dapat berupa spora tunggal, berkelompok (cluster) atau spora-sporanya
tersimpan dalam sporokarp (Smith dan Read, 1997). Gigaspora sp. merupakan
endomikoriza yang tidak menghasilkan vesikel dalam kortek akar inangnya
(Walker, 1983).
Salah satu karakter yang menarik dari endomikoriza adalah pada sporanya
karena spora-spora endomikoriza mampu bertahan di dalam tanah tanpa inang
sampai 6 bulan bahkan beberapa spesies seperti Scutelospora sp, Gigaspora
sp. dapat bertahan sampai satu–dua tahun (Brundrett et al., 2008). Spora-spora
yang dihasilkan secara aseksual maupun seksual pada prinsipnya merupakan
salah satu bentuk atau alat pertahanan diri di alam yang dapat berfungsi untuk
proses adaptasi terutama apabila mikoriza tersebut belum menemukan tanaman
inang yang kompatibel (Smith dan Read, 2008). Spora-spora endomikoriza
yang telah menemukan inang yang kompatibel akan segera bergerminasi
dengan cara membentuk appresorium pada permukaan dinding sel akar inangya
dan selanjutnya akan membentuk juluran-juluran hifa. Hifa-hifa tersebut
selanjutnya akan menginfeksi/mengkolonisasi ke dalam akar tanaman inang
dengan cara menembus atau melalui celah antar sel epidermis dan akhirnya
membentuk hifa yang dapat tersebar secara inter-intraseluler dalam korteks akar
tanaman (Mosse, 1991; Smith and Read, 1997 ; Brundrett et al., 2008).
15
2.2. Perkembangan dan Penyebaran Endomikoriza
Faktor biotik dan abiotik dapat mempengaruhi perkembangan dan
penyebaran endomikoriza di alam (Smith dan Read, 1997). Faktor lingkungan
abiotik mencakup faktor fisika-kimia antara lain: periode musim, perbedaan
tempat, suhu, tekstur tanah, intensitas cahaya, kadar air tanah, bahan organik,
ketersediaan hara-mineral tanah, logam berat dan fungisida (Sieverding, 1991).
Faktor lingkungan biotik adalah mikroorganisme tanah dan tanaman inang
(Smith dan Read, 2008).
2.2.1. Perbedaan musim dan lokasi
Perbedaan musim atau waktu (temporal) dan tempat (spatial) dapat
mempengaruhi persentasi kolonisasi hifa, pembentukan arbuskular,vesikel
endomikoriza pada akar-akar inangnya (Proborini, 1998; Reddy et al., 1998).
Menurut Oehl, et al.(2006) eksplorasi spora dan jenis-jenis endomikoriza pada
tanah dan rhizosfer tanaman inang yang dilakukan pada waktu atau musim
yang berbeda akan memperlihatkan keberadaan atau kerapatan jumlah spora
dan jenis-jenis endomikoriza karena keberadaan jenis-jenis mikoriza di alam
sangat dipengaruhi oleh perbedaan musim, temperatur yang ekstrim (minus 5 oC
atau diatas 40 oC), banyak sedikitnya curah hujan dan tekstur tanah pada daerah
tersebut.
.Wilayah yang memiliki empat musim (temperate season) dalam satu siklus
musimnya (12 bulan) menunjukkan bahwa persentase dan laju kolonisasi
endomikoriza pada akar tanaman pada saat musim dingin sangat rendah tetapi
kolonisasi tampak tinggi pada saat musim semi karena pada musim semi,
hampir semua tanaman tumbuh secara pesat dan diasumsikan hifa-hifa
16
endomikoriza tersebar di dalam korteks akar untuk mengabsorbsi gula hasil
fotosintesis tanaman inang (Proborini, 1998). Menurut Delvian (2006b) dan
Hartoyo et al. (2011) pada saat musim kemarau, kolonisasi endomikoriza
terlihat sangat sedikit atau menurun dibandingkan pada saat musim penghujan.
Musim penghujan spora-spora endomikoriza akan germinasi membentuk
hifa dan hifa akan tersebar ditanah dan akan mengkolonisasi akar-akar tanaman
disekitarnya, karena menurut hapsoh (2008) dan Smith et al (2010) cendawan
endomikoriza mampu mengkolonisasi lebih dari 80% tanaman, namun lahan
atau tanah yang selalu terendam air sepanjang tahun tidak terdapat kolonisasi
endomikoriza pada sistem perakarannya (Proborini, 1998). Perbedaan
kolonisasi endomikoriza pada akar tanaman areal kering dan terendam air
dilaporkan oleh Carvalho et al. (2001), infeksi/kolonisasi hifa endomikoriza
tanaman Aster tripolium, Puccinellia maritima dan Inula crithmoides yang di
tanam pada areal yang basah (wet areas) hanya terdapat kolonisasi <10 %,
sebaliknya tanaman Spartina maritima, Halimione portulacoides,
Arthrocnemum fruticosum dan Arthrocnemum perenne yang hidup di daerah
cukup kering (semi-arid areas) >25%. Disimpulkan bahwa ekplorasi
endomikoriza pada suatu kawasan dan dilakukan secara periodic dalam satu
musim dan kondisi tanah yang berbeda akan sangat bermanfaat untuk melihat
tanaman jenis apa saja yang mampu bersimbiosis dengan endomikoriza.
2.2.2. Tanaman inang
Pertumbuhan dan aktivitas mikoriza dapat berbeda antar spesies dan
lingkungan. Cendawan mikoriza akan mengkolonisasi inang yang kompatibel
(Brundrett et al., 2008). Cendawan mikoriza arbuskular (endomikoriza) adalah
17
mikroorganisme yang bersifat obligat karena tanpa tanaman inang (asimbiotik)
pertumbuhan hifanya sangat sedikit dan hifa hanya mampu bertahan hidup
diluar inang selama 20-30 hari (Smith et al., 2003). Menurut Hapsoh (2008)
dan Gautam et al. (2009) lebih dari 80% tanaman berpembuluh atau tanaman
tingkat tinggi dapat bersimbiosis dengan endomikoriza. Tanaman Jagung,
Shorgum dan Gandum merupakan contoh tanaman inang yang sangat
kompatibel yang dapat terkolonisasi sangat efektif oleh endomikoriza.
Beberapa tanaman budidaya dan tanaman perkebunan lainnya yang dapat
terkolonisasi endomikoriza adalah jenis Kacang-kacangan, Kedelai, Barley,
Bawang, Nenas, Padi Gogo, Pepaya, Singkong, Tebu, Teh, Tembakau, Palem,
Kopi, Karet, Kapas, Jeruk, Kakao, Apel, Mente dan Anggur (Adiningsih et al.,
1994; Setiadi, 2002, Hapsoh, 2008).
2.2.3. Suhu
Perkembangan dan aktifitas cendawan endomikoriza dipengaruhi oleh suhu
lingkungan. Suhu yang sangat rendah (< 00C) akan menghambat germinasi
spora (Brundrett et al., 2008). Menurut Smith et al. (2010), aktivitas dan
perkecambahan spora endomikoriza di daerah tropis relatif lebih tinggi
dibandingkan daerah sub-tropis karena daerah tropis memiliki kisaran suhu
rata-rata diatas 28 0 C dan endomikoriza relatif lebih tahan pada suhu yang
cukup tinggi (30 -380 C).
Suhu optimum untuk perkecambahan spora endomikoriza bervariasi dan
tergantung jenis mikoriza yang dikultur. Mosse (1991) menyatakan bahwa suhu
yang cukup tinggi pada siang hari namun masih dibawah 350C tidak
menghambat perkembangan akar dan aktivitas fisiologi endomikoriza. Aktifitas
18
mikoriza menurun pada suhu diatas 40 oC karena pada suhu tersebut akan
mengganggu proses metabolisme dan fisiologis tanaman inang sehingga akan
berpengaruh pula terhadap aktifitas endomikoriza di dalam korteks akar
tanaman inangnya.
Perbedaan suhu yang sangat sangat rendah (- 150C) atau terlalu tinggi dapat
(> 50 0C) akan mempengaruhi perkecambahan spora endomikoriza, namun
secara genetis ada perbedaan ketahanan enzim pada masing-masing spesies
mikoriza terhadap kisaran suhu yang bervariasi sehingga dapat disimpulkan
bahwa faktor suhu terhadap perkembangan mikoriza bersifat spesies spesificity
(Smith dan Read, 1997). Pada proses perkecambahan spora Gigaspora
coralloidea akan optimum jika spora tersebut ditumbuhkan pada media yang
mempunyai kisaran suhu 340C, sedangkan untuk spesies Gigaspora margarita
dan Gigaspora gigantea akan optimum bergeminasi pada suhu 310 C dan tidak
berkecambah pada suhu 150 C. Pada Glomus epigaeum berkecambah pada suhu
18-25oC, sedangkan Glomus moseae mempunyai toleransi suhu berkisar 25-33
oC. Secara umum spora-spora endomikoriza akan mati pada suhu 60oC hanya
dalam kurun waktu 5-15 menit (Mosse, 1981).
2.2.4. Kadar air tanah
Hasil survey di lapangan menunjukkan bahwa tanaman-tanaman semusim
dan perennial (menahun) yang tumbuh di lahan kering Bali Utara (Gerograk
Buleleng dan Kubu Karang Asem) mengalami kekurangan air bahkan hampir
tidak memperoleh air sama sekali terutama pada saat musim kemarau.
Kolonisasi hifa-hifa endomikoriza dalam kortek akar-akar serabutnya sangat
menguntungkan tanaman-tanaman tersebut karena dengan adanya hifa-hifa
19
endomikoriza dapat menjaga kemampuan tanaman untuk bertahan hidup pada
kondisi tanah yang kekeringan. Hal ini didukung Smith dan Read (1997) dan
Smith et al. (2010), bahwa assosiasi tanaman dengan endomikoriza dapat
memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air oleh tanaman inang
terutama tanaman-tanaman yang tumbuh didaerah marginal atau lahan kering
karena hifa eksternal mikoriza dalam menembus dan menyebar ke dalam tanah
lebih dari 8 meter yang memungkinkan masih terdapat kandungan air tanah
pada kedalaman tersebut.
Hasil penelitian Geeta et al. (2007) menunjukkan bahwa terdapat anomali
pada struktur morfologi dan anatomi bibit tanaman alpukat yang diinokulasi
endomikoriza. Pada tengah hari saat kadar air rendah, daun bibit alpukat yang
diinokulasi endomikoriza tetap terbuka (tidak layu) sedangkan tanaman yang
tidak dinokulasi endomikoriza (tanaman kontrol) tertutup daunnya (layu). Hal
ini menunjukkan bahwa akar tanaman yang tidak terkolonisasi oleh
endomikoriza mempunyai kapasitas serapan air yang lebih rendah dibanding
dengan akar tanaman yang berendomikoriza karena hifa-hifa eksternal
endomikoriza membantu dalam absorbsi air sedangkan hifa internal yang
terdapat dalam kortek akar akan membantu dalam peyimpanan ketersediaan air.
Meningkatnya kapasitas serapan air pada tanaman alpukat yang telah
diinokulasi endomikoriza dapat meningkatkan ketahanan bibit terhadap
kekeringan dan bibit lebih cepat beradaptasi apabila dipindahkan dari areal
pembibitan (nursery ground) kedaerah lain atau di perkebunan (field areas).
Hasil penelitian membuktikan bahwa tanaman yang terkolonisasi endomikoriza
lebih tahan terhadap kekeringan dibanding tanaman tidak terkolonisasi antara
20
lain: (1) mampu menurunkan resistensi akar terhadap gerakan air sehingga
transpor air ke akar meningkat, (2) meningkatkan status/kadar Fosfor pada
tanaman dan (3) hifa-hifa ekternal endomikoriza mampu berekspansi sehingga
dapat membantu tanaman memperluas radius penyerapan air diareal-areal
marginal yang sangat tandus (Smith dan Read, 2000).
Menurut Smith et al. (2010), penemuan yang menarik adalah adanya
korelasi positif antara potensial air tanah dan aktivitas hidup endomikoriza.
Tanaman bermikoriza memerlukan jumlah air lebih sedikit dibandingkan
dengan tanaman yang tidak bermikoriza untuk memproduksi satu (1) gram
bobot kering tanaman. Hal ini disebabkan tanaman bermikoriza lebih tahan
terhadap kekeringan dan lebih ekonomis dalam pemakaian air. Selain itu,
adanya miselium eksternal pada perakaran tanaman yang bermikoriza
menyebabkan endomikoriza lebih efektif dalam mengagregasi butir-butir tanah
sehingga hifa-hifa (miselium) endomikoriza dapat meningkatkan kemampuan
tanah dalam menyimpan air dibandingkan kondisi tanah tanpa miselium
eksternal.
2.2.5. Tingkat keasamam tanah (pH)
Tingkat keasaman tanah memiliki peranan penting dalam perkecambahan
spora endomikoriza. Menurut Powell dan Bagyaraj (1984), pH mempengaruhi
aktifitas enzim pada proses germinasi spora mikoriza arbuskula. Menurut
Widiastuti ( 2004), pada tanah dengan kondisi pH rendah ( keadaan asam) dapat
menghambat hifa eksternal endomikoriza untuk dapat mengabsorbsi P yang
penting untuk germinasi spora mikoriza. Hal ini berdampak pada proses
perkecambahan spora endomikoriza. Perkecambahan spora-spora mikoriza
21
termasuk endomikoriza bersifat spesies spesifik, misalnya Glomus mosseae
dapat berkecambah pada pH 6 – 9, sedangkan Gigaspora coralloidea dan G.
heterogama mampu berkecambah pada kisaran pH 4 -6 (Mikola, 1980).
2.2.6. Bahan organik dalam tanah
Bahan organik merupakan komponen penyusun tanah yang penting selain
bahan anorganik, air dan udara. Jumlah spora endomikoriza (VA-Mikoriza)
yang maksimum akan ditemukan pada tanah yang mengandung bahan organik
1-2 persen dan jumlah spora ditemukan dalam jumlah sedikit pada tanah
berbahan organik kurang dari 0.5 persen (Hameeda et.al., 2007). Serasah pada
permukaan dan di dalam tanah yang terkolonisasi oleh hifa mikoriza dapat
berperan sebagai media atau inokulum mikoriza sehingga dapat mengkolonisasi
akar tanaman lainnya pada satu areal (Adiningsih et al., 1994).
2.2.7. Mikroba tanah
Mikroba tanah memiliki pengaruh terhadap perkecambahan spora mikoriza.
Percobaan menggunakan spesies Glomus sp. yang ditumbuhkan pada media
agar ditambahkan tanah non steril dan air secukupnya diperoleh hasil
perkecambahan meningkat namun pada serangkaian percobaan lainnya
menggunakan spora Glomus epigaeum yang ditumbuhkan pada tanah steril
tidak terjadi perkecambahan spora mikoriza (Mikola, 1980 ; Imas et al., 1989 )..
Menurut Daniel dan Trappe (1980), kegagalan germinasi pada spora
endomikoriza dikarenakan pada tanah yang steril tidak terdapat kehidupan
berbagai mikroba tanah termasuk bakteri endofitik diazotrop. Bakteri tersebut
mampu memproduksi zat perangsang mirip dengan hormon pertumbuhan yang
berguna untuk memacu perkecambahan spora mikoriza. Hal serupa
22
dikemukakan oleh Hameeda et al. (2007) bahwa peningkatan perkecambahan
terjadi dikarenakan pada tanah nonsteril terdapat mikroba tanah yang
memberikan zat perangsang pertumbuhan bagi perkecambahan spora mikoriza.
Namun hasil penelitian Douds et al. (2010) menunjukkan bahwa diperoleh
jenis-jenis mikroba patogen baik bakteri maupun cendawan yang terdapat dalam
tanah non steril. Bakteri dan cendawan patogen tersebut cukup significan dalam
menghambat perkecambahan spora endomikoriza karena mikroba tersebut
banyak menginfeksi hifa dan spora mikoriza sehingga menyebabkan
kemampuan germinasi spora-spora tersebut terhambat.
2.2.8. Cahaya dan ketersediaan hara
Intensitas cahaya yang tinggi, kekurangan Nitrogen ataupun Fosfor pada
level/konsentrasi sedang akan meningkatkan jumlah karbohidrat di dalam akar
sehingga tanaman lebih peka terhadap kolonisasi endomikoriza. Prosentase
kolonisasi yang tinggi ditemukan pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan
rendah (Smith et al., 2010). Tanaman yang tumbuh pada daerah subur dan
memiliki pertumbuhan perakaran yang sangat intensif justru akan mengalami
penurunan jumlah persentase kolonisasi endomikoriza pada akar tersebut,
sebaliknya jika tanaman tumbuh pada lahan miskin hara mineral ditanah dengan
intensitas pertumbuhan cabang akar yang rendah menunjukkan peningkatan
kolonisasi endomikoriza pada akar, terutama akar-akar serabut (Oehl et al.,
2004). Hal ini membuktikan bahwa endomikoriza sangat bermanfaat pada
tanaman yang tiumbuh pada daerah kurang subur atau miskin hara.
Peran endomikoriza diasumsikan terkait dengan penyedian dan status
Fosfor dalam tanah. Daerah atau lahanberiklim sedang yang mengandung
23
konsentrasi Fosfor yang tinggi, kolonisasi endomikoriza pada perakaran
tanaman disekitarnya akan menurun atau rendah. Hal ini mungkin disebabkan
konsentrasi Fosfor internal yang tinggi dalam jaringan inang sehingga iang
tidak mengadakan simbiosis dengan endomikoriza (Smith dan Read, 2008).
Menurut Miyasaka et al. (2009), cendawan endomikoriza mampu mengeluarkan
enzim fosfatase dan asam-asam organik sehingga apabila terdapat banyak hifa
atau spora dari cendawan endomikoriza pada tanah yang miskin unsur fosfor
(P), endomikoriza dapat melepas P yang terikat sehingga membantu penyediaan
unsur P bagi tanaman inangnya. Hifa-hifa dari cendawan mikoriza akan
mengkolonisasi bagian apoplast dan sel korteks untuk memperoleh karbon hasil
fotosintesis dari tanaman inangnya sebagai satu keuntungan yang diperoleh oleh
cendawan endomikoriza apabila bersimbiosis dengan tanaman inangnya
(Delvian, 2006b).
2.2.9. Pengaruh logam berat dan unsur lain di tanah
Menurut Delvian (2006 b), tanah-tanah di lahan tropis sering mengalami
permasalahan dalam hal salinitas baik tanaman yang hidup pada lahan dengan
kadar garam yang tinggi atau rendah.atau terdapatnya kontaminasi Alumunium
maupun Mangan pada tanah. Pengaruh unsur-unsur Sodium, Klorida,
Aluminium dan Mangan pada keberadaan endomikoriza baik jumlah spora atau
kolonisasi pada tanaman masih sedikit diketahui. Menurut Setiadi (2000)
pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dari masing-masing ion
tersebut terhadap perkembangan endomikoriza berkaitan dengan proses
fotosintesis dan pertumbuhan tanaman ataupun metabolisme inang. Selanjutnya
Widiastuti et al. (2002) menyatakan bahwa infeksi atau kolonisasi
24
endomikoriza terlihat lebih tinggi pada tanaman yang tumbuh dan hidup di
tanah dengan kandungan logam rendah karena pada tanah dengan kandungan
logam yang tinggi dapat meracuni tanaman tersebut, namun dengan inokulasi
spora dan propagul endomikoriza pada fase pembibitan, tanaman tumbuh
dengan baik pada tanah dengan kondisi yang keasamannya tinggi karena
pengaruh logam Fe.
2.2.10. Fungisida
Fungisida memiliki pengaruh terhadap perkecambahan endomikoriza.
Menurut Cruz et al. (2000), pemberian konsentrasi pestisida benomyl yang
relatif rendah (0,001-0,1μm/ml) dapat meningkatkan perkecambahan spora
Glomus mosseae, pada konsentrasi yang relatif tinggi (1-2,12μm/ml) akan
menghambat perkecambahan spora namun konsentrasi yang sangat tinggi (10-
21,25μm/ml) dapat menyebabkan kegagalan spora untuk berkecambah.
Proses perkecambahan spora Glomus mosseae pada pemberian fungisida
benomyl konsentrasi relatif rendah (0,001-0,1μm/ml) tidak mempengaruhi
perkecambahan spora. Hal ini dikarenakan konsentrasi tersebut masih belum
menghalangi osmosis air dari larutan fungisida ke larutan sel spora, dan
pemberian fungisida tersebut diduga justru akan merangsang tanaman inang
menghasilkan eksudat akar yang berpengaruh dalam mempercepat
perkecambahan spora G. mosseae. Eksudat akar tersebut kemudian dikenal
dengan faktor M yang berfungsi seperti halnya hormon. Faktor M yang
dihasilkan eksudat akar dan spora endomikoriza dapat meningkatkan terjadinya
kolonisasi mikoriza dengan inang. Akar-akar tanaman dan endomikoriza yang
telah bersimbiosis membentuk kolinisasi/infeksi pada kortek akar dapat pula
25
meningkatkan produksi hormon pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan
giberelin bagi tanaman inangnya (Imas et al., 1989 ; Smith and Read, 1997).
Auksin berfungsi memperlambat proses penuaan akar sehingga fungsi akar
sebagai penyerap unsur hara dan air akan bertahan lebih lama (Imas, et al.,
1989). Hal ini tentunya akan sangat menguntungkan tanaman sehingga tanaman
akan lebih lama melakukan aktifitas hidupnya.
Pemberian fungisida jenis benomyl dengan konsentrasi yang cukup rendah
(1-2,12μm/ml) dapat berpengaruh pada penurunan laju osmosis air dari larutan
fungisida ke larutan sel spora sehingga pada konsentrasi fungisida yang
rendahpun sudah mampu menghambat perkecambahan spora endomikoriza.
Konsentrasi benomyl yang sangat tinggi (10- 21,25μm/ml) sangat tidak
direkomendasikan karena akan menghentikan osmosis air pada spora sehingga
menggagalkan germinasi spora endomikoriza (Alizadeh, 2011). Fungisida jenis
Agrosan, Benlate, Plantavax dalam konsentrasi yang sangat rendah (2.5 mg/g
tanah) dapat menurunkan kolonisasi endomikoriza pada akar tanaman sehingga
mengakibatkan penghambatan pertumbuhan tanaman (tahap pembibitan) karena
kemampuan penyerapan Fosfat yang rendah pada tanaman tersebut. ( Brundrett
et al., 2008 ; Smith et al., 2003).
Penelitian lapangan yang bersifat sinergis dan terpadu pada pengendalian
penyakit tanaman secara biologis perlu dikembangkan sehingga tidak
memberikan efek negatif terhadap kolonisasi endomikoriza pada akar. Hal ini
disebabkan spora dan hifa cendawan mikoriza peka terhadap fungisida sintetik
(Powell dan Bagyaraj, 1984; Alizadeh, 2011).
26
2.3. Tanaman mente (Anacardium occidentale L.)
Tanaman mente bukan merupakan tanaman asli Indonesia, Tanaman ini
berasaI dari pegunungan di benua Amerika yang beriklim tropis (Brasilia).
Tanaman mente tersebar di daerah tropis, terutama di Asia Selatan seperti India,
Burma, Filipina, Semenanjung Melayu dan Indonesia. Mente memiliki banyak
nama/istilah seperti Cashew-nut (Inggris), Jambu Moyet, Jambu Mente
(Indonesia); Jambu Mente (Jawa), Jambu Mede (Sunda), Gaju (Lampung)
(Mandal, 2000).
Penyebaran mente ke Indonesia dibawa oleh pelaut Portugis sekitar 400
tahun yang lalu, dan dibudidayakan di wilayah-lahankering di Kawasan Timur
Indonesia. Produktivitas jambu mente dipengaruhi oleh banyak faktor antara
lain mutu/kualitas benih yang digunakan, faktor abiotik (tekstur tanah,
kelembaban, suhu, cahaya) (Opoku-Ameyaw, et.al., 2007) faktor biotik
(mikrobia) (Zaubin dan Daras, 2002).
Tanaman mente diketahui sebagai tanaman budidaya tahunan. Tanaman
tersebut seringkali akan mengalami gagal panen apabila dalam periode
generative (periode pembungaan) kondisi lingkungannya tidak mendukung
seperti curah hujan tidak memadai dan tidak menentu atau terjadi kekeringan
selama 1-2 minggu berturut-turut (Mandal, 2000; Sudarto et al., 2004). Selain
hal tersebut diatas, salah satu kendala yang mempengaruhi kegagalan dalam
pembibitan yaitu pada periode penyimpanan biji mente (Ibiremo, 2010).
Periode penyimpanan biji mente yang terlalu lama (lebih dari 12 bulan)
dapat menurunkan kemampuan biji mente dalam berkecambah (Aliyu and
Akintaro, 2007 ; Ibiremo, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
27
penyimpanan biji mente yang dilakukan dari satu tahun setelah pemanenan
menghasilkan viabilitas yang rendah (<75%) dalam perkecambahan biji.
Berdasarkan pengamatan pada uji pendahuluan penelitian ini, biji mente hasil
penyimpanan produk panen yang disimpan lebih dari 12 bulan sangat terhambat
kemampuan germinasinya. Hasil pengamatan terlihat jelas bahwa meskipun
biji-biji mente tersebut mampu bergerminasi dan tumbuh menjadi bibit namun
membutuhkan waktu yang lama yaitu antara 15- 20 hari.
Berdasarkan survey dilapangan, faktor dominan yang sangat mempengaruhi
produktivitas tanaman mente masih sulit diketahui. Hal ini karena adanya
keterkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Rendahnya produktivitas
buah mente diduga berawal dari persepsi umum bahwa jambu mente tidak
menuntut persyaratan tumbuh yang ketat karena tanaman mente mampu
beradaptasi baik pada berbagai kondisi tanah baik tanah yang subur, tidak
subur, basah atau kering sehingga problem pada produktivitas mente belum
terselesaikan sampai saat ini (Sukawidana, 2010).
Hasil studi lapangan diketahui bahwa bibit jambu mente terutama yang
berumur kurang dari 1 tahun memiliki sistem perakaran yang sangat sedikit
dibanding bibit tanaman berkayu lainnya (misal: jati belanda dan intaran)
sehingga kemampuan bibit untuk bisa tumbuh sangat lambat pada periode
tanam yang sama. Salah satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut adalah
dengan cara memanipulasi daerah disekitar perakaran tanaman (daerah
rhizosfer) dengan menginokulasi endomikoriza terutama pada fase pembibitan
mente (Sukawidana, 2010). Inokulasi endomikoriza akan efektif dan mampu
mengkolonisasi akar jika biji-biji atau gelondong mente ditanam pada
28
kedalaman 7 – 10 cm (Kartini, 1997; Darmais, pers.com., 2011). Menurut Baon
(1997), bibit mente yang telah diinokulasi dengan spora cendawan mikoriza dan
akarnya telah terkolonisasi oleh hifa endomikoriza, bibit tersebut dapat
dipindahkan ke lapangan dan endomikoriza akan terkolonisasi terus pada
system perakaran tanaman tersebut sampai tanaman dewasa.
Pengembangan jambu mente di Indonesia umumnya ditanam pada
lahan/areal marginal yang memiliki kandungan bahan organik rendah.
Penggunaan pupuk organik sangat dianjurkan dalam budi daya jambu mente di
lahan marginal. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemupukan dengan
menggunakan bahan organik dan non organik serta ditambahkan inoklasi spora
dan propagul endomikoriza dapat memperbaiki kandungan hara tanah dan dapat
meningkatkan pertumbuhan dan hasil produksi jambu mente (Daras, 2007;
Opoku-Ameyaw et.al., 2007).
2.4. Manfaat Mikoriza Bagi Tanaman
Keuntungan yang didapat dari simbiosis mutualistik antara cendawan
endomikriza dan tanaman adalah tanaman memberi gula dan karbon untuk
cendawan dan cendawan membantu dalam penyerapan air, fosfat, mineral dan
nutrisi lainnya yang diperlukan bagi tumbuhan (Brundrett et al., 2008 ; Smith et
al., 2010). Fosfat merupakan unsur essensial yang diperlukan tanaman dalam
jumlah banyak (Smith dan Read, 2008 ; Smith et.al., 2010). Sementara pada
areal yang memiliki kondisi tanah cenderung bersifat asam dapat menyebabkan
fosfat yang terdapat ditanah dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman karena
kondisi asam menyebabkan fosfat terikat kuat dengan Fe sebagai senyawa.
Keberadaan endomikoriza pada tanah tanah tersebut mampu mengubah fosfat
29
yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Powell dan Bagyaraj, 1984;
Widiastuti, 2004).
Akar-akar tanaman yang telah terkolonisasi oleh mikoriza mampu
melakukan aktifitas fotosintesis dengan baik sehingga tanaman lebih sehat dan
pada akhirnya mampu menghambat infeksi patogen melalui mekanisme
enzimatis yang dihasilkan oleh tanaman dan mikoriza. Proses penghambatan
masuknya patogen ke akar tanaman yaitu dengan memanipulasi kondisi yang
tidak menguntungkan untuk pertumbuhan patogen pada tanaman yaitu dengan
jalan menggunakan karbohidrat dan eksudat akar oleh mikoriza, sehingga
mikoriza dapat memanfaatkan karbohidrat dan eksudat-eksudat untuk
selanjutnya mikoriza mampu mengeluarkan zat-zat tertentu yang dapat
berfungsi untuk menekan atau mematikan patogen sehingga patogen tidak
mampu menginfeksi akar tanaman (Smith dan Read, 1997).
30
BAB III.
KERANGKA BERFIKIR, KONSEP DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
Kawasan di Bali yang tergolong “lahan kering” misalnya sebagian
Kabupaten Buleleng dan Karangasem sangat mengandalkan musim hujan dan
pupuk untuk meningkatkan hasil pertaniannya karena kawasan tersebut relatif
tidak subur (Antara, 2004 ; Daryana, 2010). Salah satu upaya dalam
meningkatkan produksi pertanian lahan kering dapat dilakukan dengan
pengembangan model pertanian organik menggunakan pupuk hayati mikoriza
(Anas, 2000 ; Priono, 2008 ; Sukasta et al., 2010).
Salah satu tanaman yang banyak dibudiyakan pada lahan kering di Bali
adalah tanaman mente (A. occidentale L ). Para petani mente umumnya jarang
melakukan regenarasi tanaman mente yang telah tua (berumur lebih dari 25
tahun) dan mengganti tanaman tua dengan melakukan pembibitan mente
(Suharto, 2012). Hasil survey di lapangan, beberapa kendala yang dihadapi
para petani mente dalam melakukan pembibitan mente antara lain: akar bibit
mente mudah sekali patah pada waktu pemindahan dari kebun bibit ke areal
perkebunan, bibit mudah layu dan mati bila sudah dipindahkan ke areal
perkebunan. Menurut Sukawidana (2010), pembibitan mente terdapat banyak
kendala antara lain pertumbuhan bibit yang tidak seragam, jumlah perakaran
(serabut) yang dihasilkan sangat sedikit sehingga menyebabkan kemampuan
absorbsi hara dan mineral dari tanah rendah Kendala-kendala tersebut pada
akhirnya menyebabkan produktivitas mente di Bali dan Nusatenggara, termasuk
31
di lahan kering perkebunan mente Desa Sendang Kecamatan Gerokgak
Kabupaten Buleleng dan Desa Sukadana Kecamatan Kubu Kabupaten
Karangasem menjadi tidak/kurang maksimum. Meskipun sejauh ini belum
diketahui secara pasti penyebab kematian tersebut, diduga bahwa kematian bibit
mente tersebut disebabkan oleh rendahnya kemampuan dan daya tahan bibit
mente setelah fase pemindahan dari persemaian terutama di Sukadana yang
kondisi tanahnya sangat kering (Sukawidana, 2010 ; Darmais-2011 pers com).
Mengacu pada kemampuan mikoriza dalam membantu absorbsi air dan mineral
tanaman di lahan kering (Novriani dan Madjid, 2009), pemanfaatan mikoriza
untuk peningkatan kualitas produk pertanian perlu dikembangkan sehingga
diharapkan penelitian ini dapat mengatasi salah satu faktor pembatas
pertumbuhan mente pada lahan kering di Bali,
Cendawan endomikoriza mampu berasosiasi pada lebih dari 80% jenis-jenis
tanaman berpembuluh. Kolonisasi cendawan endomikoriza pada akar tanaman
inang dapat membantu dalam meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara
Fosfat pada lahan kering atau lahan marginal (Hapsoh, 2008, Smith et al., 2010)
Tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan karena adanya
peranan hifa-hifa ekternal mikoriza mampu menyerap air pada pori-pori tanah
yang tidak bisa dicapai oleh akar tanaman inangnya (Smith dan Read, 1997).
Pemanfaatan endomikoriza sebagai pupuk hayati telah dicoba pada beberapa
tanaman pertanian dan perkebunan di Bali namun endomikoriza yang
digunakan sebagai pupuk tersebut adalah merupakan produk komersial yang
diperoleh dari luar Bali, yaitu pupuk mikoriza “Biosfer” dalam pembibitan
tanaman Panili (Tirta, 2006); kombinasi spora endomikoriza komersial dan
32
cendawan Trichoderma untuk mengurangi laju infeksi Jamur Akar Putih (JAP)
pada tanaman Mente (Priono, 2008); penggunaan pupuk mikoriza “Technofert”
meningkatkan produksi tanaman pakan sapi (Sukasta et al., 2010); pemupukan
mikoriza pada tanaman gamal di Karangasem (Antara, 2010).
Penelitian tentang pemanfaatan pupuk hayati endomikoriza indigenus yang
dieksplorasi dari lahan kering di Bali masih sangat sedikit bahkan bisa
dikatakan belum ada data–datanya. Penelitian ekplorasi endomikoriza di lahan-
lahan kering di Bali khususnya di rhizosfer mente adalah sangat diperlukan
untuk dapat mengetahui isolat endomikoriza jenis apa yang bisa diaplikasikan
pada tanaman mente pertanian lahan kering di Bali karena menurut
Suryatmana,et al. (2009), sebagian besar mikroba bersifat spesifik area, artinya
mikroba yang dieksplorasi dari daerah setempat relatif lebih cepat beradaptasi
dan tumbuh pada daerah tersebut dibanding mikroba yang diambil dari daerah
lain.
3.2. Konsep Penelitian
Salah satu kendala pemanfaatan endomikoriza untuk pemupukan tanaman
yang dibudidayakan di lahan kering termasuk Bali adalah ketersediaan isolat
indigenus endomikoriza sebagai pupuk yang sudah siap dalam bentuk pupuk
hayati. Cendawan endomikoriza mampu bersimbiosis dengan berbagai tanaman
(pertanian, kehutanan dan perkebunan) dan membantu dalam meningkatkan
efisiensi penyerapan air dari dalam tanah serta meningkatkan serapan hara
mineral pada lahan marginal (Hapsoh, 2008; Suryatmana et al.,2009; Ibiremo,
2010). Keanekaragaman jenis endomikoriza`di alam sangat dipengaruhi oleh
kondisi tanah yang basah, kering, tingkat porositas tanah atau bahkan tanah
33
yang sangat liat (Danesh et al., 2007). Selain keanekaragaman jenis, kerapatan
jumlah spora dan persentase kolonisasi endomikoriza di alam sangat
dipengaruhi oleh faktor perbedaan tempat (spatial), musim (temporal) dan
tinggi rendahnya curah hujan (Bohrer et al.,2001). Keunikan endomikoriza
adalah merupakan cendawan tanah yang bersifat simbiosis obligat ( Mikola,
1980; Smith dan Read, 1997; Brundrett et al., 2008). artinya cendawan tersebut
tidak bisa diisolasi pada medium buatan sehingga untuk dapat memperbanyak
spora dan hifa cendawan endomikoriza harus dilakukan propagasi atau
perbanyakan menggunakan inang (Simanungkalit, 2003)
Perbanyakan spora dan propagul endomikoriza dipengaruhi banyak faktor
seperti ketersediaan hara tanah (Novriani dan Madjid, 2009); jenis tanaman
inang untuk propagasi/perbanyakan spora (Widiastuti, 2002; Simanungkalit,
2003) dan penambahan pupuk (Widiatuti, 2004). Pemanfaatan berbagai macam
jenis pupuk telah dicoba seperti vermin-kompos (Sukawidana, 2010) dan pupuk
NPK (Tirta, 2006) namun hasil menunjukkan bahwa kedua jenis pupuk tersebut
tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan sporadan hifa endomikoriza.
Menurut Widiastuti (2004) pupuk standar digunakan untuk perbanyakan spora
adalah hara Johnson karena formulasi dalam hara Johnson dapat dimanipulasi
kandungan Fosfatnya sehingga tidak menghambat pertumbuhan hifa dan
kolonisasi endomikoriza diakar. Untuk itu hara Johnson perlu dicoba dan
dimanipulasi konsentrasi P didalamnya sehingga tidak menghambat
pertumbuhan hifa dan spora indigenus Bali pada fase perbanyakan.
Rendahnya laju pertumbuhan jambu mente di lahan wilayah Nusa Tenggara
termasuk Bali diakibatkan oleh kekurangan air, hara, kelembaban tanah serta
34
kandungan organik tanah yang rendah (Adiningsih et al., 1994; Setiadi, 2000;
Rohimat, 2002; Antara 2004). Menurut Widiastuti (2004), inokulasi
endomikoriza menggunakan propagul campuran (spora dan akar terkolonisasi
hifa) dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman target. Berdasarkan fakta-
fakta tersebut dan guna meningkatkan kualitas pertumbuhan bibit tanaman
mente di Bali khususnya maka penelitian tentang pengaplikasian endomikoriza
pada pembibitan mente relevan dan penting dilakukan. Diagram alur Konsep
penelitian pada Gambar 3.1.
3.3. Hipothesis
Hipothesis dari penelitian ini adalah:
1. Spesies, kerapatan spora dan kolonisasi endomikoriza berbeda antar tempat
dan waktu
2. Perbedaan konsentrasi P dalam hara Johnson berpengaruh terhadap jumlah
spora dan kolonisasi endomikoriza pada perbanyakan di tanaman Jagung.
3. Perbedaan spesies endomikoriza berpengaruh terhadap respon pertumbuhan
bibit mente (Anacardium occidentale L.).
4. Perbedaan media pembawa inokulum endomikoriza berpengaruh terhadap
respon pertumbuhan bibit mente (A. occidentale L.)
35
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem
dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng
Aplikasi Endomikoriza padapembibitan mente
Media pembawa sporaendomikoriza dalam formula pupuk
untuk bibit mente
Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem
dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem
dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)
Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem
dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Aplikasi Endomikoriza padapembibitan mente
Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)
Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem
dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Aplikasi Endomikoriza padapembibitan mente
Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)
Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem
dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Aplikasi Endomikoriza padapembibitan mente
Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)
Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem
dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem
dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)
Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem
dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)
Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem
dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)
Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem
dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Media pembawa sporaendomikoriza dalam formula pupuk
untuk bibit mente
Aplikasi Endomikoriza padapembibitan mente
Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)
Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem
dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng
Fakta
Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali
pupuk
Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air
Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah
patah dan akar serabut sedikit
Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim
Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng
Gambar 3.1 Diagram Alur Konsep penelitian
36
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1.Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu: penelitian lapangan
(ekplorasi), laboratorium dan Rumah kaca. Penelitian lapangan meliputi
pengambilan sampel tanaman dan tanah. Penelitian laboratorium mencakup
penghitungan jumlah spora, identifikasi endomikoriza, pengamatan kolonisasi
akar, dan analisa tanah. Penelitian rumah kaca meliputi optimasi
propagasi/perbanyakan spora endomikoriza, uji efektifitas spora dan propagul
pada bibit mente (A.occidentale L.) dan optimasi media pembawa
endomikoriza. Penelitian secara keseluruhan bulan April 2011 – Juni 2012.
Lokasi pengambilan sampel dilakukan pada dua lokasi perkebunan mente
yaitu di Desa Sendang Kecamatan Grograk Kabupaten Buleleng dan Desa
Sukadana Kecamatan Kubu Kabupaten Karang Asem. Penelitian laboratorium
dilakukan pada Laboratorium Tanah Fakultas pertanian Unud untuk analisa sifat
fisika-kimia tanah, Laboratorium UPT Analitik Universitas Udayana untuk
analisa kandungan P tanaman uji dan Laboratorium Taksonomi Tumbuhan
Jurusan Biologi F-MIPA Unud untuk penyaringan dan penghitungan spora pada
tanah sampel, karakterisasi dan identifikasi endomikoriza, prosessing seluruh
sampel akar tanaman, mengamati dan menghitung prosentase kolonisasi
endomikoriza. Penelitian lanjutan dilakukan di Laboratoriun Taksonomi
Tumbuhan Rendah LIPI Cibinong Bogor untuk identifikasi endomikoriza
tingkat spesies. Penelitian di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas
37
Udayana untuk perbanyakan spora endomikoriza, aplikasi dan optimasi media
pembawa endomikoriza pada bibit mente (Anacardium occidentale L.). Alur
penelitian pada Gambar 4.1:
Gambar 4.1. Alur Skema Penelitian
1. Eksplorasiendomikoriza
- Kawasan :Karangasem &Buleleng
- Tanamanmente dantanaman sela yangditanam petanisetempat
- Waktu: satuperiode musim
2.Faktor lingkungan:fisika kimia lingkungan:keasaman (pH) tanah ,kandungan bahanorganik ( N.P, K, C),kadar air tanah
1. Identifikasiendomikoriza
2. Menghitungjumlah spora,% kolonisasimikorizapada akartanaman
1. Perbanyakanspora :Jenis spora danpenurunankonsentrasi Pdalam haraJohnson
2. Optimasiendomikorizapada bibit mente :
Formulasi inokulan(spora dan propagul)
Berat inokulan
3. Optimasi mediaFormulasi jenismedia pembawa
HASIL1. *Jumlah spora
* Formula optimum2. *Respon bibit mente
* Media optimum*Berat inokulan
(jumlah spora)*Jenis inokulan*Jenis endomikoriza
yang terbaik3. Jenis media pembawa
spora yang terbaik
ObservasiLapangan
Uji Labo-ratorium
Uji SkalaRumah Kaca
HASIL
1. Jenis –jenisendomikoriza
2. Kerapatanpopulasisporaendomikoriza
3. % kolonisasiendomikoriza
LuaranJangkaPanjang:
Produksimasal pupukhayatiendomikorizaindigenus Bali
Luaran:Formulaendomikorizaindigenus Balipada bibitmente
38
4.2. Prosedur Penelitian
4.2.1. Penelitian di lapangan
Sampel tanah dan akar tanaman (bagian serabut akar) di ambil pada
kedalaman 20-30 cm sesuai acuan Widiastuti (2004). Sampel akar tanaman
yaitu: Mente (A.occidentale), Jagung (Zea mays), Kacang Koma (Lablab
purpureus), Singkong (Manihot uttilissima) dan Kacang Undis (Cajanus cajan)
di ambil dari lokasi perkebunan di desa Sendang Kecamatan Kubu dan sampel
akar tanaman Mente (A. occidentale), Jagung (Zea mays), Kacang Undis
(Cajanus cajan), Singkong (Manihot utilissima) dan Cabai Kecil (Capsicum
frutescens). diambil dari perkebunan mente di desa Sendang Kecamatan
Gerograk. Tiap jenis tanaman yang digunakan sebagai sampel sebanyak lima
tanaman (25 tanaman/lokasi), pengambilan sampel dilakukan secara periodik
tiap dua bulan selama satu periode musim sehingga pengambilan sampel di
lapangan sebanyak enam kali (April 2011 – Februari 2012).
Sampel tanah diambil untuk isolasi spora endomikoriza, akar tanaman untuk
melihat kolonisasi pada akar diproses di laboratorium Taksonomi Tumbuhan
Rendah Jurusan Biologi F-MIPA Unud. .Sampel tanah tiap lokasi untuk analisa
kandungan tanah dianalisis di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Unud dan
UPT Laboratorium Kimia Analitik Universitas Udayana Bali (dilihat pada
prosedur 4.2.3).
4.2.2. Penelitian di laboratorium
Penelitian laboratorium terdiri dari Identifikasi endomikoriza,
penghitungan kolonisasi dan penghitungan jumlah spora. (Alur skema
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1.).
39
4.2.2.1. Karakterisasi dan identifikasi jenis mikoriza
4.2.2.1.1. Isolasi spora dan penghitungan jumlah spora
Isolasi spora dilakukan menggunakan Metode Penyaringan Basah
(Brundrett et al., 2008) sebagai berikut: Tanah sebanyak 250 g direndam dalam
1 liter air (rasio 1:4), diaduk agar spora yang melekat pada partikel tanah dapat
terlepas, dibiarkan selama 10 menit agar mengendap. Supernatan dituang dalam
saringan bertingkat merk ”Analysensieb Eckhardt 5657 Haan W.
Germany“dengan ukuran pori saringan (500 μm, 300 μm, 200 μm, 63 μm dan
45 μm). Supernatan dicuci di bawah air mengalir sampai jernih dan didapatkan
spora-spora endomikoriza. Spora-spora dituangkan pada cawan petri, diamati
di bawah mikroskop disekting-set, dihitung menggunakan counter. Spora yang
telah dihitung jumlahnya kemudian dipisah-pisahkan berdasarkan perbedaan
morfologi spora (warna, ukuran dan bentuk) disimpan dalam botol kaca berisi
aquadest steril pada refrigerator (suhu 5oC) untuk dilakukan identifikasi.
4.2.2.1.2.Identifikasi jenis endomikoriza
Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter morfologi (bentuk, diameter,
warna, pola dan jumlah lapisan dinding spora, ornamentasi dinding spora,
bentuk/pola perkecambahan spora pada proses pembentukan hifa.) dan reaksi
dinding spora apabila ditetesi larutan Melzer dan Polivinil alcohol-lacto
gliserol (PVLG) menggunakan acuan dari Walker (1983); Kramadibrata et al
(1983); Schenck et al. (1984); Schenck dan Perez (1990); Morton dan Benny
(1990); Schϋβler et al., (2001), INVAM (2005); Kramadibrata (2008) dan
Brundret et al., (2008). Identifikasi secara morfologi di laboratorium
Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Unud dilakukan sampai tingkat
40
genera. Spora-spora yang tidak bisa teridentifikasi sampai tingkat spesies
disimpan dalam air steril dan sebagian spora tetap ditumbuhkan dalam tanaman
inang (Zea mays) supaya spora endomikoriza tetap hidup. Identifikasi sampai
tingkat spesies dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Rendah LIPI.
Cibinong Bogor. Spora-spora yang telah diidentifikasi disimpan dalam botol
berisi air steril dan ditaruh di kulkas untuk digunakan dalam penelitian
propagasi/perbanyakan spora di rumah kaca. Proses ini dilakukan menurut
acuan INVAM (2005) dan Brundrett et al. (2008).
4.2.2.1.3. Persentase kolonisasi endomikoriza pada akar tanaman
Penghitungan persentase kolonisasi endomikoriza pada akar digunakan
prosedur dari Kormanik dan Mc.Graw (1982) yang dimodifikasi. Sampel akar
diproses secara berurutan dalam beberapa tahap yaitu clearing, staining dan
destaining. Proses clearing; akar yang muda (serabut) tiap sampel tanaman
direndam larutan KOH 10% selama 24-48 jam atau sampai akar berwarna
kuning bersih transparant. Akar yang berwarna pekat setelah direndam larutan
KOH 10%, direndam kembali dalam larutan hipoklorit 10% selama 12 - 24 jam
untuk menghilangkan zat warna akar. Setelah akar terlihat transparan, akar
dibilas air mengalir sampai akar tidak terasa licin. Akar diasamkan dengan
larutan HCl 1% selama 30 menit (Proborini, 1998). Larutan HCl 1% berfungsi
untuk mempermudah penempelan zat pewarna pada akar dan hifa. Proses
staining dilakukan setelah larutan HCl 1% dibuang, diganti dengan larutan
staining (gliserol, asam laktat, aquades perbandingan 2 : 2 : 1 dan ditambah
trypan blue (0,05%). Sampel akar didedahkan 24-48 jam atau sampai akar
terwarnai (tergantung tiap spesies tanaman). Pewarna trypan blue berfungsi
41
untuk mewarnai hifa, vesikel atau arbuskul di dalam akar. Larutan staining
dibuang, diganti larutan destaining (larutan staining tanpa trypan blue) untuk
mengurangi kelebihan intensitas warna sehingga bagian korteks akar dan
miselium endomikoriza tampak jelas pada pengamatan di bawah mikroskop
Dissectingset dan Binokuler. Sampel akar yang telah terwarnai, ditempatkan
pada cawan petri yang telah diberi grid-line (0.5 x 0.5 cm2), dihitung persentase
kolonisasi mikoriza pada lajur vertikal dan horizontal menggunakan counter.
Persentase kolonisasi mikoriza pada akar dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
MGV + MGH
% kolonisasi pada akar = x 100%Jumlah akar yang diamati
Keterangan: MGV = Jumlah mikoriza yang memotong garis vertikalMGH = Jumlah mikoriza yang memotong garis horizontal
4.2.3. Penelitian di rumah kaca (Green House)
4.2.3.1. Perbanyakan/propagasi spora
Penelitian ini bertujuan untuk perbanyakan spora endomikoriza indigenus
yang optimum. Penelitian dilakukan di Rumah kaca Fakultas Pertanian Unud di
jalan P. Moyo -Denpasar Bali.
Percobaan menggunakan rancangan pola faktorial, terdiri atas dua faktor
yaitu faktor I adalah larutan hara Johnson yang terdiri 4 konsentrasi P yaitu
0% (tanpa P); 25%, 50% dan 75%. .Faktor II adalah 3 spesies spora
endomikoriza (Glomus sp., Gigaspora sp. dan Acaulospora sp.). Masing-
masing perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 36 unit percobaan, tiap
42
unit percobaan terdiri 9 tanaman. Jumlah polibag tanaman uji sebanyak 324
polibag (12 perlakuan X 3 ulangan X 9 polibag).
Penempatan perlakuan dirancang menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan pola faktorial. Variabel yang diamati adalah jumlah
spora, persentase (%) akar yang terkolonisasi pada umur 30, 60 dan 90 hari
dengan mengambil tiga tanaman pada tiap unit percobaan. Tanaman yang
digunakan sebagai inang adalah jagung (Z. mays). Pemilihan Jagung sebagai
inang untuk memperbanyak spora endomikoriza karena jagung merupakan
tanaman inang yang sangat kompatibel dengan endomikoriza, memiliki banyak
akar serabut dan pertumbuhannya cepat (Widiastuti, 2002).
Prosedur perbanyakan spora pada tanaman Jagung
Media tanah yang telah diayak dimasukkan kedalam polibag (@2 kg x 324
polibag) kemudian disterilkan menggunakan uap panas selama 3,5 jam pada
suhu 105 0C. Biji jagung diseleksi, dicuci dan direndam aquades steril selama 5
jam. Setelah itu disterilkan dengan larutan hipoklorit 10% selama 10 menit,
dicuci dengan air mengalir, direndam kembali dengan air steril selama 60 menit,
biji Jagung siap untuk ditanam pada perbanyakan spora.
Spora-spora endomikoriza dari spesies Glomus sp., Acaulospora sp.,
Gigaspora sp. dipipet, disterilkan dengan larutan Hipoklorit 10% selama 10
menit lalu dibilas dengan aquades steril. Spora sebanyak 10 butir dipipet dan
dimasukkan sedalam 5-6 cm ke lubang tanam sebelum benih jagung ditanam.
Benih jagung ditanam pada polibag (2 biji per polybeg). Penyiraman dilakukan
setiap hari menggunakan air tanah sesuai kapasitas lapang. Hara Johnson
dengan konsentrasi fosfat yang berbeda-beda ditambahkan sebanyak 10 ml per
43
polibag pada minggu pertama, 20 ml pada minggu kedua, 30 ml pada minggu
ke tiga dan 40 ml pada minggu ke empat (Simanungkalit, 2007). Data di
analisis dengan Analisa of Variance (ANOVA), bila diantara perlakuan ada
yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT taraf kepercayaan 5%
4.2.3.2. Aplikasi Endomikoriza (Spora dan Propagul) pada Pertumbuhan
Bibit Mente ( A. occidentale L.) di Rumah Kaca
Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian
endomikoriza terhadap pertumbuhan bibit mente. Endomikoriza yang
ditambahkan pada bibit mente dalam bentuk spora tunggal dan campuran spora-
propagul (Propagul adalah potongan-potongan akar jagung yang telah
terkolonisasi hifa endomikoriza). Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca
Fakultas Pertanian Unud, Jalan P. Moyo-Denpasar Bali selama 90 hari.
Percobaan ini menggunakan pola faktorial dengan dua faktor. Faktor I adalah
spora dari ketiga jenis yaitu spora endomikoriza lima perlakuan yaitu (Glomus
sp., Acaulospora sp., Gigaspora sp.), non-spora dan campuran ketiga jenis
endomikoriza (mix-spora). Sebanyak 50 butir spora diberikan pada tiap polibag
(penambahan spora campuran ketiga spesies adalah 51 butir, masing-masing
spesies sebanyak 17 spora). Faktor II adalah berat propagul yang terdiri dari
empat level (0 g (tanpa propagul), 12,5 g, 25 g dan 37,5 g). Kombinasi
perlakuan pada penelitian tahap ini adalah 20 kombinasi (5 x 4). Masing-
masing perlakuan diulang 3 kali sehingga diperoleh 60 unit percobaan. Tiap
unit percobaan terdiri dari tiga polibag tanaman sehingga jumlah total polibag
tanaman uji adalah sebanyak 180 polibag (20 perlakuan X 3 ulangan X 3
44
polibag). Penempatan perlakuan dirancang dengan menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK).
Prosedur penelitian
Adapun prosedur dalam penelitian tahap ini meliputi:
1. Persiapan media tanam
Media tanah sebanyak 2 kg dimasukkan kedalam polibag, disterilkan
(direbus) menggunakan drum besar selama 3.5 jam pada suhu 105 0 C.
Pendinginan tanah-tanah yang sudah steril dilakukan selama 24 jam. Inokulasi
spora endomikoriza dan penanaman bibit mente dilakukan setelah suhu media
tanah sama dengan suhu lingkungan di Rumah Kaca.
2. Penyiapan benih mente
Benih mente diperolehl dari Dinas Perkebunan Karang Asem (pohon
induk terpilih yang telah ditetapkan sebagai sumber benih). Syarat-syarat biji
mente yang dipakai sebagai benih antara lain: biji tidak ada cacat pada kulit
luarnya, ukuran biji seragam, tidak terdapat bekas infeksi penyakit oleh
mikroba, mempunyai berat jenis lebih dari 1 (apabila direndam dalam air
selama 5 menit biji mente akan tenggelam), jumlah biji/gelondong mente dalam
1 kg berisi sekitar 150 biji. Sebelum ditanam, biji mente yang telah dicuci
bersih, selanjutnya direndam dalam air steril selama 24 jam. Perendaman biji
selama 24 jam berfungsi untuk mengaktifkasi/mengaktifkan titik germinasi
endosperm biji mente.
3. Penanaman biji mente (gelondong mente)
Plastik polibag yang telah diisi tanah steril 0,5 kg kg disiram air sampai
kapasitas lapang. Selanjutnya biji mente ditanam dengan posisi radix primaria
45
menghadap ke bawah, plumula menghadap keatas. Posisi ujung plumula harus
berada 1 cm di bawah permukaan tanah (Rohimat, 2002). Daun pertama akan
tumbuh setelah umur 15 hari. Pemindahan bibit untuk percobaan ini dilakukan
setelah daun kedua tumbuh.
Media tanam untuk percobaan dipersiapkan dengan cara tiap polibag yang
telah berisi 2 kg tanah steril dibuat lubang di tengah sedalam 10 cm (berfungsi
untuk meletakkan spora). Pemberian inokulum endomikoriza (spora dan
propagul) pada media tanam dilakukan sesuai dengan perlakuan faktor tersebut
di atas. Pemindahan bibit mente dilakukan secara hati-hati dengan cara
merobek secara melingkar pada bagian bawah plastik polibag. Hal ini
dilakukan supaya bibit tidak terbongkar pada tanah dan akar bibit mente tidak
patah pada waktu pemindahan. Setelah proses pemindahan bibit selesai, segera
dilakukan penyiraman dengan air tanah sesuai kapasitas lapang supaya bibit
mente tidak layu pasca pemindahan dari pembenihan sampai polibag uji.
4. Pengamatan
Variabel yang diamati selama 90 hari penelitian adalah : tinggi tanaman,
jumlah, lebar, panjang dan lebar daun. Pengamatan terhadap kolonisasi
endomikoriza pada akar, penimbangan berat kering (akar, batang, daun,total
tanaman) dan kandungan hara P pada tanaman dilakukan pada hari ke 90.
Pengamatan kolonisasi endomikoriza menggunakan prosedur yang sama
dengan tahap penelitian laboratorium (dilihat pada prosedur 4.2.2.1).
Pengukuran berat kering dilakukan pada akhir penelitian (90 hari)
dilaboratorium Taksonomi Tumbuhan Rendah Jurusan Biologi Universitas
Udayana, yaitu dilakukan setelah sampel dioven pada suhu 60 ºC selama 48 jam
46
(bobot konstan). Kandungan P-tanaman dianalisa dengan metode
spectrofotometri di UPT-laboratorium Analitik Universitas Udayana Bali. Data
hasil penelitian dianalisis dengan analisa of variance (ANOVA). Apabila
diantara perlakuan ada yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada
taraf kepercayaan 5%. Pemeliharaan bibit dilakukan sejak awal sampai akhir
penelitian. Bibit mente disiram setiap sore hari sebanyak volume air kapasitas
lapang. Penyiangan gulma yang tumbuh dilakukan manual dengan cara dicabut
4.2.3.3. Pengaruh media pembawa spora endomikoriza terhadap
pertumbuhan bibit mente (A. occidentale L.) di rumah kaca
Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui jenis media pembawa
spora endomikoriza yang optimum untuk dikemas sebagai pupuk mikoriza.
Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas
Udayana, Jalan P. Moyo-Denpasar Bali. Percobaan berbentuk perlakuan faktor
tunggal yaitu jenis media pembawa endomikoriza (tanah-zeolit, tanah-pasir
kwarsa dan tanah-kaolin) sehingga terdapat tiga jenis perlakuan. Masing-
masing perlakuan diulang sembilan kali sehingga terdapat 27 unit percobaan.
Setiap unit percobaan terdiri dari tiga polibag tanaman sehingga jumlah total
polibag tanaman uji sebanyak 81 polibag (3 perlakuan X 9 ulangan X 3 polibag
tanaman). Penempatan perlakuan dirancang dengan menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK).
Tanaman yang digunakan sebagai inang pada percobaan ini adalah tanaman
mente (A.ocidentale L). Inokulum endomikoriza yang digunakan adalah spesies
Glomus sp.. Sebanyak 50 butir spora dan propagul 37.5 g dari Glomus sp.
47
diinokulasi dalam penelitian ini. Persiapan media tanaman dan biji mente
dilakukan seperti dalam prosedur Penelitian 4.2.3.2.
Variabel yang diamati adalah Tinggi tanaman, Jumlah cabang, Jumlah
daun, Panjang daun, Lebar daun, Jumlah spora pada media tanam, Persentase
Kolonisasi hifa endomikoriza pada akar, Berat kering bibit mente (total bibit,
akar, batang, daun) pada umur 60 hari.
Prosedur Penelitian
Kaolin, Zeolit, Pasir kwarsa, masing-masing sebanyak 1 kg dan tanah
sebanyak 1 kg (perbandingan 1:1) dimasukkan kedalam polibag sehingga tiap
polibag berisi 2 kg media tanam. Tahap selanjutnya dilakukan pengadukan
sampai media tanah dan (Zeolit, kaoloin, pasir kwarsa) tercampur rata kemudian
media tanam disterilkan/dikukus dalam drum besar temperatur 105o C selama
3.5 jam. Pendinginan media tanam dilakukan selama 24 jam. Setelah media
tanam dingin (suhu media tanam sama dengan suhu lingkungan), pada tiap
polibag ditambahkan campuran propagul (37,5 g) dan spora endomikoriza
sebanyak 50 butir. Spora yang digunakan Glomus sp. yang telah di propagasi/
di perbanyak pada inang tanaman jagung (cara kerja perbanyakan spora Glomus
sp. dilakukan seperti yang dilakukan pada prosedur penelitian 4.2.3.1).
Pemilihan penggunaan Glomus sp. dan berat propagul 37,5 g pada penelitian
tahap ini karena spesies Glomus sp merupakan species yang paling baik
responnya terhadap bibit mente. Propagul berat 37.5 g adalah berat propagul
yang paling tinggi tingkat infeksinya pada akar. Bibit mente di tanam pada tiap
polibag selama 60 hari, dilakukan penyiraman rutin setiap sore hari
48
menggunakan air tanah sesuai kapasitas lapang. (Perlakuan biji mente sebelum
ditanam sesuai dengan prosedur 4.2.3.2
Variabel Pengamatan adalah tinggi tanaman (cm), jumlah daun (helai),
panjang dan lebar daun (untuk menghitung luas daun) bobot kering tanaman
(akar, batang, daun, total tanaman), Jumlah spora dalam media dan persen
kolonisasi pada akar. yang terkolonisasi oleh endomikoriza. Pengukuran bobot
kering dilakukan dengan cara pengeringan tanaman dioven selama 48 jam pada
suhu 60 0 C sampai berat konstan. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian
(60 hari). Data di analisis dengan analisis of variance (ANOVA), bila diantara
perlakuan ada yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Jarak berganda dari
Duncan’s.
4.2.4. Analisa faktor fisika dan kimia tanah sampel penelitian
Sampel-sampel tanah hasil penelitian eksplorasi endomikoriza
indigenus dari kedua tempat yang berbeda dianalisa di Laboratorium Tanah
Fakultas Pertanian Unud dan UPT Laboratorium Analitik Unud. Sampel tanah
yang dianalisa adalah komposit sampel-sampel tanah dari masing-masing
lokasi penelitian setiap kali sampling dilakukan (6 x 2) = 12 sampel.
49
BAB V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Ekplorasi Endomikoriza
5.1.1. Jenis-jenis endomikoriza
Hasil eksplorasi endomikoriza pada tanaman di lahan kering Sukadana-
Karangasem dan Sendang-Buleleng Bali ditemukan 13 species endomikoriza
Data selengkapanya pada Tabel 5.1.1 A dan Tabel 5.1.1 B di bawah ini.
Tabel 5.1.1 ASpesies endomikoriza yang terdapat pada tanaman di lahan kering
Sukadana- Karangasem Bali
JenisTanaman
Genus Spesies
Z. mays Glomus
GigasporaAcaulospora
Glomus intraradicesGlomus rubiformisGlomus etunicatumGigaspora margaritaAcaulospora scrobiculataAcaulospora foveata
A.occidentale Glomus
Acaulospora
Gigaspora
Enthroposphora
Glomus intraradicesGlomus moseaeAcaulospora scrobiculataAcaulospora foveataGigaspora margaritaGigaspora margaritaEnhtroposphora infrequent
L.purpureus Glomus
AcaulosporaGigasporaScutelospora
Glomus aggregatumGlomus intraradicesAcaulospora cf. undulateGigaspora albidaScutelospora cf heterogama
M.utilissima Glomus
AcaulosporaGigaspora
Glomus aggregatumGlomus etunicatumAcaulospora scrobiculataGigaspora margarita
C.cajan GlomusAcaulosporaGigasporaScutelospora
Glomus intraradicesAcaulospora foveataGigaspora margaritaScutelospora cf. heterogama
50
Tabel 5.1.1 BSpesies endomikoriza yang terdapat pada 5 jenis tanaman di lahan kering
Sendang-Buleleng Bali
JenisTanaman
Genus Spesies
Zea mays Glomus
GigasporaAcaulospora
Glomus intraradicesGlomus moseaeGigaspora margaritaAcaulospora scrobiculata
A.occidentale Glomus
Acaulospora
Gigaspora
Glomus moseaeGlomus intraradicesAcaulospora scrobiculataAcaulospora foveataGigaspora margarita
C. cajan Glomus
Acaulospora
Glomus etunicatumGlomus aggregatumAcaulospora cf. undulateAcaulospora tuberculata
M.uttilissima GlomusAcaulosporaGigaspora
Glomus moseaeAcaulospora scrobiculataGigaspora margarita
C. fuctescens GlomusAcaulosporaGigaspora
Glomus moseaeAcaulospora foveataGigaspora margarita
Identifikasi ke tiga belas spesies yang ditemukan berdasarkan morfologi spora
adalah sebagai berikut:
1. Glomus etunicatum Becker dan Gerdemann
Spora tunggal, bulat sampai lonjong, berwarna cokelat kemerahan dan
tidak ada perubahan warna pada larutan Melzer, berukuran 91-149 x 108-170
μm Permukaan spora halus. Hifa penyangga berwarna kuning-kecoklatan,
berdiameter 6-16 μm dengan struktur menyerupai corong (Gambar 5.1.A).
Spora Glomus etunicatum yang di identifikasi mempunyai kesamaan
warna dan bentuk seperti hasil identifikasi Becker dan Gerdemann (1977)
namun dengan ukuran spora hasil penelitan ini lebih besar dibanding
51
pengukuran Becker dan Gerdermann (1977), yaitu 68-144(-162) μm dan
ukuran 60-160 μm (INVAM (2005),100-160 x 90-130 μm Widiastuti (1992).
Dinding spora yang diamati pada penelitian ini mempunyai dinding yang
terdiri dari 2 lapis tipis, hal ini sama dengan yang dilaporkan INVAM (2005).
2. Glomus mosseae (Nicol. &Gerd) Gerd & Trappe
Spora muda merah kecoklatan, setelah dewasa merah tua-cokelat tua pada
larutan PVLG dan warna spora lebih pekat pada larutan Melzer. Spora bulat
berdiameter 105-194.50 μm. Dinding spora 5.5-7.7μm. Permukaan luar
dinding spora halus. Hifa penyangga berwarna sama dengan spora, diameter
hifa 5.5 μm, tebal dinding hifa 3,8-5.5 μm (Gambar 5.1.B).
Glomus mosseae hasil identifikasi penelitian ini mempunyai kesamaan
warna dan bentuk dengan INVAM (2005) dan pengukuran diameter spora oleh
Gerdermen dan Trappe (1974) yaitu 105-310 – 110-305 μm namun berbeda
ukuran dari Glomus mosseae yang ditemukan oleh Kramadibrata (2008) yaitu
110-300 μm x 150-290 μm.
3. Glomus aggregatum Schenck dan Smith
Spora berwarna hialin-kuning, berbentuk oval/bulat lonjong, diameter
spora 51.06-(76.59) -115 μm. Warna dinding spora hialin sampai kuning muda
pada larutan PVLG, berwarna kuning tua pada pereaksi Melzer. Permukaan
dinding spora halus, terdiri dari satu lapis. Tebal dinding sel spora 2,5-4,5 μm.
Pangkal hifa yang melekat pada dinding spora berwarna sama dengan dinding
spora dengan diameternya 4,5-6,5 μm (Gambar 5.1.C). hasil identifikasi
penelitian ini mempunyai kesamaan warna dan bentuk pada INVAM (2005)
dan pengukuran diametr spora oleh Schenck dan Smith (1982)
52
4. Glomus intraradices Schenck dan Smith
Spora berwarna hialin-kecoklatan, berbentuk bulat,berdiameter 40.5-
(98.5)-115(119) μm. Warna dinding spora hialin sampai kuning pada
media PVLG, berwarna lebih pekat pada larutan Melzer. Hifa dalam
kortek akar dapat membentuk spora tunggal atau berkelompok (cluster),
Permukaan dinding spora halus terdiri dari satu lapisan yang berasal dari
dinding hifa pembawa spora, tebal dinding spora 2,0-3,5 μm (Gambar
5.1.D). Hasil identifikasi ini sesuai dengan hasil identifikasi yang
dilakukan Schenck et al. (1990), Schϋβler et al. (2001), Smith dan Read
(2008), INVAM (2005)
5. Glomus rubiformis (Gerdermann dan Trape) Almeida dan Schenck
Sporokarp bulat atau oval, berwarna kuning tua-coklat tua berukuran 140-
280 x 180-330 μm. Sporokarp yang terbuka atau pecah terdapat banyak hifa di
bagian tengahnya dan spora. Spora bergerombol banyak, tiap spora berbentuk
bulat atau oval, berukuran 25-34 x 27 – 36 μm. Permukaan luar dinding spora
halus berwarna coklat tua. (Gambar 5.1.E).
Glomus rubiformis yang teridentifikasi mempunyai kesamaan warna,
bentuk dan ukuran seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Gerdemann &
Trappe (1974) sebagai Sclerocystis namun menurut Almeida & Schenck (1990),
bila sporanya tersusun mengelilingi pleksus hifa sebagai pusatnya, maka
dimasukkan dalam Glomus bukan Sclerocystis. Menurut Schüßler dan Walker
(2010), spesies Sclerocystis rubiformis Gerdemen dan Trappe merupakan
sinonim dari spesies Glomus rubiformis (Gerdermen dan Trappe) Almeida dan
Schenck.
53
6. Acaulospora foveata Trappe dan Janos
Spora tunggal, berbentuk bulat-lonjong, warna kuning tua-cokelat
kemerahan, diameter 124-246 x 148-256 μm, dinding spora terdiri dua lapisan.
Lapisan pertama tebal 12-13 μm berwarna cokelat-merah, lapisan kedua tipis 3-
7 μm. seperti membran, berwarna bening (Gambar 5.1.F).
Spora Acaulospora foveata hasil penelitian ini mempunyai kesamaan
warna dan bentuk seperti yang teridentifikasi pertama kali oleh Janos & Trappe
(1982), namun ukuran spora yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan
ukuran yang telah dilaporkan Janos & Trappe (1982) yaitu 185-310(-410) x
215-350(-480) μm, Schenck (1984) (135-)250(-300) μm dan INVAM (2005)
240-360 μm.
7. Acaulospora tuberculata Janos dan Trappe
Spora tunggal, berbentuk oval/globosa, berwarna kuning kecoklatan
berukuran 93-300 x 93-300 μm. Dinding spora terdiri tiga lapisan. Lapisan
pertama 4-6 μm, berwarna kecoklatan, terdapat tonjolan halus seperti duri.
Lapisan kedua 3-5 μm, warna kekuningan, Lapisan ketiga 2-3 μm, berwarna
bening (Gambar 5.1. G). Hasil identifikasi ini sesuai dengan identifikasi
morfologi yang dilakukan oleh Trappe (1977) dan Schenck et al.(1990)
8. Acaulospora cf. undulata Sieverding
Spora tunggal, bulat, berwarna kekuningan, diameter 73-102 x73-102 μm.
Dinding spora dua lapisan. lapisan pertama bening 4-6 μm, Lapisan kedua
berwarna putih bening 1-2 μm. (Gambar 5.1. H). Hasil identifikasi ini sesuai
dengan identifikasi secara morfologi yang dilakukan oleh Sieverding (1988);
INVAM (2005) dan Kramadibrata (2008).
54
9. Acaulospora scrobiculata Trappe
Spora tunggal bulat, ukuran 92-156 x 98-168μm, tidak terdapat sel induk
spora, berwarna coklat kekuningan. Dinding spora berperhiasan, terdiri dari
dua lapis, lapisan terluar bergerigi (scrobicula), lapisan kedua halus, berwarna
hialin – kekuningan, tebal 2-2,5 μm (Gambar 5.1.I). Hasil identifikasi ini
mempunyai kesamaan warna dan bentuk seperti yang teridentifikasi oleh
Trappe (1977), namun ukuran spora yang diperoleh relatif lebih kecil.
Kramadibrata (2009) melaporkan spora A. scrobiculata dari rizosfer Cacao
berukuran 90-(130)-250 x 100-(120)-250 μm dan INVAM (2005) 80 –160 μm.
Sel induk spora A. scrobiculata pada penelitian ini tidak ditemukan, namun
INVAM (2005) melaporkan bahwa spora ini memiliki sel induk spora bening.
10. Gigaspora albida Walker & Rhodes
Spora tunggal, berbentuk bulat, diameter 254-290 x 260-292 μm, berwarna
kuning pada larutan PVLG dan cokelat muda pada larutan Melzer. Spora
memiliki dua dinding sel. Dinding terluar spora bervariasi ketebalannya 3,89 -
5,55 μm dan menyatu pada dinding kedua (Gambar 5.1.J). Hasil identifikasi
ini sesuai dengan identifikasi dari Morton dan Benny (1990) Schenck et
al.(1990), Schϋβler et al.(2001) dan INVAM (2005).
11. Gigaspora margarita Becker dan Hall
Spora tunggal,berwarna krem sampai kuning keemasan. Bentuk spora
bulat dengan ukuran 240-300 µm. Dinding spora halus tebal 14-21 μm . Hifa
peyangga berwarna kuning berdiameter 6-16 μm dengan struktur menyerupai
corong yang keluar dari spora menuju hifa pada tempat peyangga spora
(Gambar 5.1.K). Hasil identifikasi sesuai dengan identifikasi dari Morton dan
55
Benny (1990), Schenck et al. (1990), Bentivenga dan Morton (1995) dan
INVAM (2005).
12. Scutellospora cf. heterogama (Nicol. dan Gerd.) Gerd. dan Trappe
Spora tunggal, bulat, berwarna coklat, berukuran 200-320 x 200-320 μm.
Permukaan dinding sel terdiri dua lapis, mempunyai perhiasan, berupa papila
pendek yang tidak sama besar dan relatif rapat, kasar, tebal 1-2 μm. Hasil
identifikasi ini mempunyai kesamaan warna dan bentuk seperti yang telah
diidentifikasi oleh Nicolson dan Gerdemann (1986) Dinding spora mempunyai
2 lapisan seperti yang dilaporkan (Gerdemann & Trappe 1986), sementara
INVAM (2005) melaporkan ada 3 lapisan dinding.
13. Entrophospora infraquens Hall
Spora tunggal, bulat, berwarna coklat, berukuran 220-300 x 220-300 μm.
Permukaan mempunyai perhiasan berupa tonjolan-tonjolan pendek dan kasar,
perhiasan relatif rapat, tebal 1-2 μm (Gambar 5.1.L). Hasil identifikasi ini
sesuai dengan identifikasi dari Schenck et al. (1990), Schϋβler et al. (2001),
INVAM (2005) dan Kramadibrata (2008).
Berdasarkan acuan Schenck dan Perez (1990), genera Acaulospora,
Gigaspora, Glomus, Sclerocystis dan Scutellospora merupakan genera yang
termasuk dalam familia Glomeraceae, ordo Glomerales filum Zygomycota.
Perkembangan dalam identifikasi baik secara klasik (berdasarkan karakter
morfologi spora) maupun identifikasi secara molekuler, para peneliti sepakat
untuk menempatkan cendawan endomikoriza tidak dimasukkan lagi ke dalam
filum Zygomycota lagi seperti dalam klasifikasi klasik sebelum tahun 1993
tetapi cendawan endomikoriza lebih sesuai dimasukkan dalam filum baru yaitu
56
Glomeromycota (Walker dan Schüßler 2004). Berdasarkan filum baru ini
selanjutnya endomikoriza dikelompokkan menjadi 10 genera yaitu
Acaulospora, Archaeospora, Entrophospora, Geosiphon, Gigaspora, Glomus,
Diversispora, Pacispora, Paraglomus dan Scutellospora (Walker dan Schüßler
2004). Acuan dalam sistem klasifikasi menurut Walker dan Schüßler (2008),
genera Acaulospora dikelompokkan dalam famili Acaulosporaceae ordo
Diversisporales dan genera Gigaspora, Scutellospora termasuk dalam famili
Gigasporaceae ordo Diversisporales.
Spora-spora endomikoriza yang tersaring dari tanah tidak semua dalam
kondisi utuh dan lengkap tetapi sebagian spora tidak utuh atau terinfeksi oleh
hifa-hifa cendawan tanah pada permukaan spora. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Smith dan Read (1997), Widiatuti (2004) dan Kramadibrata et al
(2005) bahwa eksplorasi spora-spora endomikoriza yang tersaring dari tanah
rhizosfer atau habitat aslinya banyak ditemukan dalam keadaan tidak utuh atau
terkontaminasi hifa-hifa cendawan tanah baik yang bersifat saprofit maupun
parasit. Ciri-ciri spora yang terkontaminasi cendawan tanah adalah
berubahnya warna spora menjadi gelap atau terlihat lilitan hifa-hifa cendawan
tanah pada permukaan spora. Kramadibrata et al. (2005) menyatakan bahwa
spora-spora yang tidak utuh atau terinfeksi tidak bisa langsung diidentifikasi
karena tidak bisa teramati bagian yang merupakan karakter utama genera spora
tersebut sehingga untuk bisa identifikasi endomikoriza tersebut, spora-spora
tersebut harus diisolasi sebagai spora tunggal pada tanaman inangnya.
57
Gambar 5.1: Foto spora endomikoriza yang teridentifikasi dibawah mikroskopBinokuler (perbesaran 400X) (A.Glomus etunicatum; B.Glomusmoseae.;C.Glomus.aggregatum; D.Glomus intraradices; E. Glomusrubiformis;F. Acaulospora foveata; G. Acaulospora tuberculata H.Acaulospora cf. undulata .I. Acaulospora scrobiculata; J. Gigaspora albida;K.Gigaspora margarita dan L. Enthrophospora infrequent
Hasil identifikasi ke tiga belas spesies endomikoriza pada penelitian ini
mengindikasikan tingginya keanekaragaman endomikoriza indigenus pada
lahan kering di Bali dan merupakan penelitian pertama (pionir) yang
melaporkan keanekaragaman jenis-jenis endomikoriza di lahan kering Bali.
Sebagai komparasi hasil penelitian ini, Kramadibrata (1993) menemukan 19
E F HA
I
A
K L
B C D
G
J
58
spesies endomikoriza di areal vegetasi alami Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cisadane; Cuenca dan Maneses (1996) menemukan 15 spesies endomikoriza
indigenus pada daerah pertanian monokultur di perkebunan. Delvian (2003)
menginvetarisasi jenis-jenis endomikoriza didaerah hutan Sumatra Utara dan
teridentifikasi sebanyak 13 spesies endomikoriza yang terdiri dari 8 spesies dari
Glomus, 1 spesies Sclerocystis, 3 spesies Acaulospora dan 1 spesies Gigaspora.
Penelitian ekplorasi endomikoriza pada kebun kelapa sawit ditemukan 10 jenis
endomikoriza yang terdapat pada rizosfer kepala sawit dan tanaman-tanaman
yang tumbuh disekitarnya (Widiastuti 2004).
Berdasarkan hasil penelitian ini, spesies Glomus sp., Gigaspora sp. dan
Acaulospora sp. memiliki penyebaran yang cukup luas pada kedua kawasan
perkebunan mente dan ketiga spesies tersebut selalu ditemukan pada setiap
plot/areal sampling baik ditanah rizhosfer tanaman mente atau tanaman-
tanaman lainnya yang dibudidayakan para petani setempat (Tabel 5.1.1 A dan
Tabel 5.1.1.B). Menurut Bever et al., (1996) dan Delvian (2006b)
endomikoriza Glomus sp., Gigaspora sp. dan Acaulospora sp. merupakan
jenis-jenis endomikoriza yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik pada
lingkungan hidupnya sehingga spora-spora tersebut dapat bertahan dalam
lingkungan yang kering dan bergerminasi lebih cepat dibanding species
Scutelospora sp dan Entrophospora sp
Spora Scutelospora dan Entrophospora ditemukan pada musim penghujan
di perkebunan mente Sukadana tetapi kedua genera tersebut tidak pernah
ditemukan di Sendang. Menurut Schuβler et al. (2001) dan Kramadibrata (pers
com.,2012), spesies E. infrequent merupakan spesies yang sangat jarang
59
ditemukan di alam dan mempunyai daya adaptasi rendah untuk bisa
bergerminasi di alam terutama pada kondisi tanah yang sangat liat dan kering
sehingga species tersebut sangat jarang ditemukan di alam atau dikenal sebagai
“rare” spesies. Penemuan spesies E. infrequent sangat menarik dan dapat
dikatakan sebagai temuan baru di lahan kering Karangasem-Bali. Menurut Hall
(1977) E. infrequent berarti spora yang jarang ditemukan (infrequens artinya
rare) karena spora E. infrequent di alam biasanya ditemukan pada musim semi
terutama pada tanah berporus dan cukup basah. Menurut Hall (1977) dan Oehl
et al. (2005), spesies E. infrequent memiliki ukuran spora cukup besar
dibanding spora-spora dari Glomus sp atau Acaulospora sp. Spora E. infrequent
hasil penelitian berukuran 220-300 μm, dan memang lebih besar dibanding jenis
spora endomikoriza Glomus dan Acaulospora yang berukuran rata-rata <200
μm sehingga spesies E. infrequent dikatakan sebagai rare species karena
keberadaan species ini sangat jarang ditemukan di alam sepnjang periode
musim jika dibanding dengan species yang lainnya.
5.1.2. Jumlah spora endomikoriza
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan jumlah spora endomikoriza
sangat bervariasi antar lokasi (spasial) dan waktu pengamatan (temporal).
Jumlah spora terbanyak ditemukan pada rizosfer tanaman mente (A. occidentale
L), paling sedikit pada rhizosfer tanaman Singkong (M. uttilissima). Kerapatan
jumlah spora pada rhizosfer mente pada kedua lokasi penelitian walaupun
cenderung menurun pada bulan-bulan basah namun kerapatan jumlah spora
pada mente terlihat lebih stabil dibandingkan tanaman-tanaman sela lainnya di
60
lahan tersebut. Hasil ini sangat menarik dan sekaligus membuktikan bahwa
tanaman mente merupakan salah satu tanaman yang kompatibel bagi cendawan
endomikoriza sehingga spora-spora endomikoriza banyak ditemukan pada
rhizosfer mente (Gambar 5.1.2 A dan Gambar 5.1.2 B).
Gambar 5.1.2 A. Fluktuasi kerapatan spora endomikoriza pada rizosfertanaman di Perkebunan Mente Desa Sukadana KecamatanKubu- Karangasem
Gambar 5.1.2 Fluktuasi kerapatan spora endomikoriza pada rizosfer tanaman diDesa Sendang Kecamatan Gerograk-Buleleng
Menurut Smith dan Read (1997), Oehl et al. (2005) dan Brundrett et al.
(2008), tanaman yang mampu bertahan dan hidup pada daerah marginal dapat
menjadi suatu penanda bahwa tanaman tersebut bersimbiosis secara mutualisme
dengan mikroorganisme tanah. Simbiosis antara mikroorganisme tanah dengan
61
tanaman inang akan meningkatkan resistensi kedua belah pihak bila hidup di
daerah kering atau marginal dan secara sinergis akan bersama-sama
memanfaatkan nutrisi yang tersedia di alam untuk kebutuhan hidupnya (Smith
et al., 2010). Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan (terutama di Sukadana)
tanaman mente tetap bisa tumbuh dan hidup pada kondisi tanah yang sangat
kering (daerah berpasir) dan kekurangan nutrisi maka dapat diasumsikan
diasumsikan bahwa tanaman tersebut mampu bersimbiosis dengan
endomikoriza yang dapat saling membantu dalam mendapatkan nutrisi dalam
pertumbuhan keduanya. Hasil ini sesuai dengan Ibiremo (2010) bahwa tanaman
mente yang hidup pada daerah yang kering mampu bersimbiosa dengan
mikroorganiseme (endomikoriza) di tanah dan akan terbentuk satu peningkatan
resistensi kedua organisme tersebut di alam.
Kerapatan spora endomikoriza pada musim penghujan (Desember 2011 dan
Februari 2012) menunjukkan adanya fluktuasi atau kerapatan jumlah spora
lebih sedikit atau cenderung menurun pada kedua lokasi. Sebaliknya pada
musim kemarau (Juni, Agustus dan Oktober 2011), fluktuasi kerapatan spora
endomikoriza cenderung meningkat (Gambar 5.1.1 dan 5.1.2 ), namun sampling
pada bulan Oktober 2011 tanaman sela (Jagung, Singkong) di Sendang dan
Singkong di Sukadana tidak dihitung karena kedua jenis tanaman sudah dipanen
oleh petani sehingga terlihat pada gambar bahwa. kerapatan jumlah spora
endomikoriza adalah nol karena tanaman tersebut tidak ada. Menurut Smith
(2000) dan Delvian (2006b), keberadaan spora endomikoriza di alam cenderung
menurun jumlahnya pada musim penghujan karena sebagian spora-spora
tersebut telah bergerminasi membentuk hifa-hifa di dalam tanah. Hifa-hifa
62
tersebut selanjutnya mengabsorbsi air dan hara mineral dalam tanah dan
mencari tanaman inang yang sesuai untuk bersimbiosa dan Brundrett et al.
(2008) menyatakan bahwa keberadaan jumlah spora cendawan endomikoriza di
dalam tanah sangat dipengaruhi oleh musim, tekstur tanah, pH, unsur hara,
umur tanaman serta jenis tanaman inang. Hal ini didukung Simanungkalit
(2007) bahwa kerapatan atau populasi spora endomikoriza di tanah sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang meliputi faktor abiotik (konsentrasi
hara di tanah, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah, penggunaan
pupuk/pestisida kimia) dan faktor biotik (interaksi mikrobia baik cendawan atau
bakteri, tanaman inang dan tipe perakaran tanaman).
Renuka et al. (2012) menyatakan bahwa salah satu bentuk adaptasi
cendawan endomikoriza terhadap lingkungan yang sangat kering membentuk
spora atau sporokarp. Sesuai dengan hasil penelitian ini, sampel-sampel tanah
yang diambil pada musim kemarau (Sendang maupun Sukadana) banyak
ditemukan spora dan atau sporokarp endomikoriza. Sebaliknya, penyaringan
sampel tanah pada musim penghujan ditemukan banyak spora yang telah
bergerminasi menghasilkan hifa-hifa eksternal. Menurut Prematuri (2000) dan
Santosa et al. (2006), hifa-hifa endomikoriza biasanya sangat banyak ditemukan
pada musim penghujan karena hifa-hifa tersebut merupakan hasil germinasi
spora atau sporokap endomikoriza. Hifa-hifa cendawan endomikoriza secara
alami akan mencari inang yang kompatibel dan bersimbiosis secara mutualisme
diantara keduanya (Powel dan Bagyaraj, 1984 ; Brundrett et al., 2008).
Spora-spora dari Glomus sp., Gigaspora sp. dan Acaulospora sp. selalu
ditemukan pada setiap periode sampling namun jumlahnya cenderung menurun
63
pada musim penghujan (Gambar 5.1.2A dan Gambar 5.1.2B). Menurut Bohrer
et al. (2001); Delvian (2006a) dan Geetha et al (2007), keberadaan spora-spora
endomikoriza terlihat mendominasi pada suatu kawasan perkebunan atau
kehutanan pada saat musim kering atau kemarau sebagai salah satu bentuk
pertahanan diri atau adaptasi cendawan terhadap lingkungannya. Sebaliknya
pada saat musim penghujan spora-spora endomikoriza akan menurun jumlahnya
karena sebagian besar spora-spora tersebut telah bergerminasi membentuk hifa-
hifa ekternal dan tumbuh tersebar luas di dalam tanah dan selanjutnya berusaha
mencari inang-inang yang kompatibel untuk mendapatkan sumber nutrisi dari
tanaman tersebut.
Spora Glomus sp., Gigaspora sp. dan Acaulospora sp yang ditemukan di
tanah terutama tanah rizosfer jika lingkungan sudah terdapat air maka spora-
spora tersebut akan segera imbibisi dan bergerminasi membentuk hifa. Menurut
Chalimah et al. (2007) dan Renuka et al. (2012), spora-spora yang telah
bergerminasi secara cepat hifa-hifa tersebut mengadakan penetrasi pada akar-
tanaman disekitarnya sebagai upaya cendawan untuk mendapatkan nutrisi,
namun Reddy et al. (1998) dan Lukiwati (2007) menyatakan bahwa terjadinya
simbiosis bergantung pada kemampuan spesies endomikoriza untuk mencari
inang yang kompatibel karena menurut Danesh et al (2007) simbiosis
endomikoriza dan inangnya adalah bersifat “ innate effectiveness“, yaitu
tanaman inang akan menghasilkan eksudat akar berupa senyawa flavonoid dan
phenolik sebagai signal untuk menstimulasi pertumbuhan cendawan
endomikoriza dan menghambat cendawan lainnya masuk ke dalam akar.
Cendawan endomikoriza mempunyai enzim glukanase, sellulase dan
64
pektolitikase untuk menembus akar tanaman inang dan menginvasi kortek akar
tanaman inangnya( Powell dan Bagrajay, 1984 ;
5.1.3. Persentase kolonisasi endomikoriza
Persentase kolonisasi endomikoriza kelima jenis tanaman selama penelitian
ditampilkan pada Gambar 5.1.3 A dan Gambar 5.1.3 B dibawah ini.
Gambar 5.1.3 A.Kolonisasi hifa endomikoriza pada akar tanaman di perkebunanmente DesaSukadana-Kecamatan Kubu-Karangasem
Gambar 5.1.3.B. Kolonisasi endomikoriza pada akar tanaman di Perkebunanmente Desa Sendang Kecamatan Grograk-Buleleng
Penghitungan persentase kolonisasi dilakukan pada tanaman mente dan tanaman
sela lainnya yang tetap dapat tumbuh selama musim kemarau pada kedua lokasi
65
penelitian. Penghitungan persentase kolonisasi pada akar tanaman singkong dan
jagung pada kedua lokasi tidak bisa dilakukan pada bulan tertentu karena
tanaman sudah dipanen namun belum dilakukan penanaman kembali oleh
petani karena terkendala musim kemarau.
Rerata kolonisasi endomikoriza pada masing-masing sampel akar tanaman
terlihat kurang dari 60% pada bulan April – Juni dan terlihat meningkat sampai
lebih 60 % pada bulan-bulan basah (Oktober, Desember 2011 – Februari
2012). Kolonisasi hifa pada akar menurun sampai <30 % pada bulan kemarau
(Juli – Agustus 2011) dan sampai nol persen pada bulan Oktober sebagai
puncak musim kemarau pada tahun 2011. Kolonisasi endomikoriza terlihat
mulai meningkat pada bulan Desember 2011 dan semakin tinggi kolonisasinya
pada bulan Februari 2012 ( Gambar 5.1.3 dan Gambar 5.1.4).
Pengambilan sampel pada bulan November 2011, Desember 2011 dan
Februari 2012 merupakan musim penghujan atau bulan basah (Lampiran 2).
Berdasarkan data hasil penelitian eksplorasi lapangan dapat membuktikan
bahwa pada kondisi tanah yang cukup basah (musim penghujan) dapat
menyebabkan kolonisasi hifa endomikoriza semakin intensif dalam
menginfeksi perakaran tanaman dan dapat menggambarkan sebagai bentuk
ketergantungan cendawan endomikoriza pada tanaman inang dalam menyerap
gula untuk pertumbuhan dan reproduksi cendawan tersebut. Menurut Hapsoh
(2008) infeksi atau kolonisasi hifa pada sistem perakaran tanaman adalah suatu
cara endomikoriza untuk mendapatkan sumber nutrisi berupa gula dan Carbon
yang dihasilkan dari proses fotosinthesis tanaman inang. Smith et al. (2010)
menyatakan bahwa endomikoriza yang terdapat didalam tanah dapat
66
bersimbiosa dengan tanaman dan juluran hifa-hifa ekternal pada endomikoriza
aktif melepaskan enzim fosfatase untuk memecah ikatan-ikatan fosfat dari
bentuk senyawa yang terdapat di tanah menjadi unsur-unsur fosfor yang
dibutuhkan untuk proses fotosintesa tanaman. Fosfor dari tanah akan diserap
oleh hifa-hifa endomikoriza dan selanjutkan hifa-hifa internal didalam korteks
akar inang akan melepaskan unsur Fosfor sebagai sumber hara bagi tanaman
dalam melakukan fotosintesa. Dilain pihak, endomikoriza mendapatkan gula
dari inangnya sebagai sumber nutrisi.
Berdasarkan fenomena ini, walaupun musim bukan merupakan faktor
pembatas untuk di wilayah tropis namun pada saat musim penghujan dan
kondisi tanah cukup basah, mikroorganisme tanah termasuk endomikoriza aktif
bergerminasi sebagai manifestasi bahwa mikroorganisme tersebut mampu
beradaptasi dan aktif melakukan germinasi pada musim penghujan. Aktifnya
germinasi spora membentuk hifa sebagai cara cendawan mempertahankan
kehidupannya dan selanjutnya hifa-hifa tersebut bersimbiosa dengan tanaman
inangnya untuk mendapatkan nutrisi. Hal ini didukung oleh Delvian (2006b)
dan Smith et al. (2010) bahwa kolonisasi hifa endomikoriza akan terlihat
meningkat persentasinya pada kortek akar tanaman baik pada tanaman yang
tumbuh alami diareal hutan terbuka, perkebunan dan kolonisasi terlihat
menurun persentasinya pada musim kemarau atau musim panas
Kolonisasi hifa endomikoriza pada tanaman sela cukup tinggi pada saat
tanaman tersebut tumbuh pada musim penghujan namun pada tanaman mente
kolonisasi endomikoriza dapat teramati selama penelitian Akar tanaman mente
yang terkolonisasi cendawan endomikoriza, hifa eksternal diluar epidermis
67
akar, maupun hifa-hifa internal pada korteks (Gambar 5.1.4) sering teramati
pada akar muda atau rambut akar. Beberapa spora dari spesies Glomus
intraradices atau Gigaspora margarita sering teramati pada sampel akar mente
(Gambar 5.1.5).
Gambar 5.1.4 . Foto hifa eksternal (*) endomikoriza pada akar tanaman mente
(Diamati di bawah mikroskop Binokuler perbesaran 100x)
Gambar 5.1.5 Foto akar mente yang menunjukkan adanya vesikel (A) dengandinding sel yang tebal dan spora endomikoriza (B) yang terlihatdi luar akar mente (diamati di bawah mikroskop Binokulerperbesaran 100 x)
Menurut Kramadibrata (2008), spora jenis G. intraradices dalam bentuk spora
tunggal sering ditemukan pada sistem perakaran tanaman khususnya tanaman
A
B
*
68
yang kompatibel bagi spora-spora tersebut namun spora yang terdapat dalam
sporokarp hanya ditemukan pada tanah.
5.2. Perbanyakan Spora Endomikoriza pada Tanaman Jagung (Zea mays).
5.2.1. Jumlah spora endomikoriza
Hasil perbanyakan ketiga jenis spora endomikoriza (Glomus sp.,
Acaulospora sp., Gigaspora sp.) menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi P
hara Johnson P 75% (P3) ; P 50% (P2); P 25% (P1), dan (0%), menghasilkan
jumlah spora yang bervariasi antar species. Hara Johnson yang diturunkan
konsentrasi P nya sampai nol % (tanpa P) mampu meningkatkan jumlah spora
pada perbanyakan satu, dua dan tiga bulan (Gambar 5.2.1).
Gambar 5.2.1 Populasi spora Endomikoriza dengan konsentrasi P yangberbeda pada umur 1, 2 dan 3 bulan di rumah kaca
Keterangan : P0 (Tanpa fosfat) ; P1 ( 25 % fosfat) ; P2 (50% fosfat) dan P3(75% fosfat) dalam hara Johnson
Hasil Analisis of Variance (ANOVA) taraf 5% menunjukkan bahwa penurunan
konsentrasi P pada hara Johnson berpengaruh nyata terhadap jumlah spora
endomikoriza. Analisis lanjutan dengan uji Duncan menunjukkan bahwa hara
Johnson tanpa P (P0) menghasilkan jumlah spora yang terbanyak pada ketiga
jenis spora endomikoriza (Tabel 5.2.1).
69
Tabel 5.2.1.Pengaruh Perlakuan spesies Endomikoriza dan konsentrasi P terhadap
jumlah spora hasil propagasi umur 1, 2 dan 3 bulan pada tanaman jagung
1 bulanSpesies Konsentrasi Fosfat
0 (tanpaP) 25 % 50 % 75%
Glomus sp. 64,89d
69,22c
53,56e
26,78g
Acaulospora sp. 83,00a
77,00b
61,22d
56,44e
Gigaspora sp. 32,56f
21,56h
19,78h
13,44i
2 bulanSpesies Konsentrasi Fosfat
0 (tanpa P) 25 % 50 % 75%
Glomus sp. 66.00c
72,56c
58,56d
26,89f
Acaulospora sp. 87,54a
75,35b
64,28c
32,89e
Gigaspora sp. 32,73e
22,86fg
19,67g
12,41h
3 bulanSpesies Konsentrasi Fosfat
0 (tanpa P) 25 % P 50 % P 75%
Glomus sp. 100,33a
101,33a
90,67b
49,67e
Acaulospora sp. 98,33a
86,67b
69,67c
36,67f
Gigaspora sp. 48,00e
55,33d
34,33f
28,67g
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh notasi huruf kecil yang samapada baris dan kolom yang sama pada masing-masing bulan 1, 2 dan 3menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada Uji DMRT pada taraf5%
Glomus sp. tanpa pemberian P (P0) dalam perbanyakan menggunakan
inang tanaman jagung menghasilkan jumlah spora terbanyak (100,33) pada
umur 3 bulan (Tabel 5.2.1 dan Gambar 5.2.1). Konsentrasi P dalam hara
Johnson sangat berpengaruh terhadap perbanyakan/propagasi spora
endomikoriza. Jumlah spora semakin menurun jika hara Johnson yang
70
diberikan mengandung konsentrasi P yang tinggi (konsentrasi standar pada hara
Johnson), sebaliknya dengan menurunkan konsentrasi P dalam hara Johnson
yang diberikan dapat meningkatkan jumlah spora. Menurut Idwar dan Ali
(2000); Miyasaka et al. (2003), Widiastuti (2004) dan Smith et al.(2010),
germinasi spora mikoriza dapat terhambat pada media tanah yang kandungan
fosfatnya tinggi, sebaliknya pada tanah dengan kandungan fosfat rendah akan
meningkatkan proses germinasi spora endomikoriza. Berdasarkan hasil analisa
tanah menunjukkan bahwa kandungan Fosfat di tanah perkebunan mente sangat
tinggi (Lampiran 1) sehingga jika media tanam yang digunakan untuk
perbanyakan spora endomikoriza sudah mengandung fosfat yang tinggi,
pemberian hara Johnson harus dikurangi konsentrasi P nya sehingga dalam
penelitian ini, konsentrasi P diturunkan mulai 75% sampai 0% (tanpa P). Hasil
penelitian tahap ini membuktikan bahwa hara Johnson tanpa P (0%) dapat
meningkatkan jumlah spora dalam perbanyakan endomikoriza karena P yang
sangat tinggi dapat menghambat kemampuan enzim fosfatase yang dimilki oleh
cendawan tersebut dalam memecah Fosfat.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Glomus sp. dan Acaulospora sp.
merupakan spesies endomikoriza yang mudah bergerminasi membentuk hifa
dan spora ditanah atau mengkolonisasi akar tanaman inang dibanding
Gigaspora sp.. Hasil penelitian Idwar dan Ali (2000) dan Widiastusti (2004),
Glomus sp. mampu berkembang dalam kisaran lingkungan yang cukup luas.
Menurut Mikola (1980), Glomus mampu germinasi pada kisaran pH 6–9
sedangkan Gigaspora sp. berkecambah optimum dalam kisaran pH yang asam
yaitu 4,5–6,5. Hasil pengukuran pH tanah selama perbanyakan spora adalah
71
antara 6.6 – 7.1 merupakan kisaran pH yang sesuai bagi Glomus sp. sehingga
pH tanah yang sesuai bagi Glomus sp. juga dapat meningkatkan germinasi
spora dan hifa lebih banyak dibanding Gigaspora sp..
Faktor pendukung lain untuk memacu germinasi spora mikoriza adalah
suhu. Suhu harian selama penelitian propagasi di rumah kaca berkisar antara 24
– 360C. Menurut Mosse (1981), spora Acaulospora sp., Gigaspora sp. dan
Glomus sp. dapat bergerminasi pada kisaran suhu 23 – 31 0 C. Hal ini
menunjukkan bahwa suhu harian dirumah kaca masih dalam kisaran suhu yang
optimum untuk perbanyakan spora. Hasil penelitian tahap propagasi
menunjukkan bahwa Glomus sp., Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. hasil
ekplorasi dilahan kering Bali dapat diperbanyak pada tanaman inang Jagung (Z.
mays) menghasilkan spora 1 bulan namun jumlah spora terbanyak dihasilkan
pada 3 bulan. Simanungkalit (2003) dan Hasanudin (2008) menyatakan bahwa
spora dan propagul endomikoriza untuk inokolum adalah umur 3 bulan.
5.2.2. Presentase kolonisasi (%) Endomikoriza pada akar Jagung
Spesies Glomus sp., Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. mampu
mengkolonisasi akar tanaman inang (Zea mays) selama perbanyakan 1, 2 dan 3
bulan. Konsentrasi 75% (P3) menghasilkan kolonisasi terendah dan penurunan
konsentrasi sampai nol % menghasilkan kolonisasi tertinggi pada propagasi
endomikoriza umur 1,2 dan 3 bulan (Gambar 5.2.2.). Berdasarkan hasil
analisis of variance (ANOVA) taraf 5% menunjukkan bahwa hara Johnson
tanpa P(P0) menghasilkan kolonisasi tertinggi dibanding konsentrasi P lainnya.
Penurunan konsentrasi sampai 25% (P1) pada umur propagasi 1 bulan
72
menghasilkan kolonisasi yang masih tinggi namun secara umum kolonisasi hifa
tertinggi diperoleh pada akar jagung umur propagasi 2 dan 3 bulan tanpa
penambahan P (P0). (Tabel 5.2.2).
Gambar 5.2.2 Kolonisasi Endomikoriza pada akar tanaman jagung dengankonsentrasi P berbeda selama 1, 2 dan 3 bulan di rumah kaca
Keterangan : P0 (Tanpa fosfat) ; P1 ( 25 % fosfat) ; P2 (50% fosfat) dan P3(75% fosfat) dalam hara Johnson
Spesies Glomus sp. menghasilkan kolonisasi tertinggi pada akar tanaman
Jagung umur propagasi 3 bulan dibanding kedua spesies yang lain yaitu
Acaulospora sp. dan Gigaspora sp.. Hasil analisa lanjut menggunakan uji
DMRT taraf kepercayaan 5% menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata
antara spesies endomikoriza dengan konsentrasi P dalam hara Johnson yang
berikan selama perbanyakan satu, dua dan tiga bulan pada tanaman Jagung
Hasil uji DMRT taraf kepercayaan 5% untuk melihat pengaruh antara spesies
dengan konsentrasi P menunjukkan bahwa kolonisasi tertinggi yaitu 90%
dihasilkan oleh spesies Glomus sp. tanpa konsentrasi P (P0) pada umur
propagasi tiga bulan (Tabel 5.2.2).
73
Tabel 5.2.2.Pengaruh spesies dan konsentarasi P terhadap kolonisasi hifa pada akar
jagung pada perbanyakan endomikoriza umur 1, 2 dan 3 bulan
1 bulanSpesies Konsentrasi Fosfat (P)
0 (tanpa P) 25% 50% 75%
Glomus sp. 42,64 bc 40,38 c 32,27 d 22,08 f
Acaulospora sp. 27,06 e 39,26 c 40,66 c 24,43 ef
Gigaspora sp. 45,92 b 63,59 a 26,88 e 24,80 ef
2 bulanSpesies Konsentrasi Fosfat (P)
P0 P 25% P 50% P 75%
Glomus sp. 65,71 a 42,16 bc 45,70 b 38,18 bcd
Acaulospora sp. 37,81 bcd 23,85 e 30,77 de 22,90 e
Gigaspora sp. 35,13 cd 35,55 cd 29,78 de 29,83 de
3 bulanSpesies Konsentrasi Fosfat (P)
P0 P 25% P 50% P 75%
Glomus sp. 90,00 a 52,16 d 55,70 cd 41,85 ef
Acaulospora sp. 39,31 f 32,77 g 41,38 ef 32,16 g
Gigaspora sp. 63,33 b 57,55 c 46,29 e 42,59 ef
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh huruf kecil yang sama padabaris dan kolom yang sama pada masing-masing bulan 1, 2 dan 3menunjukkan perbedaan yang tidak nyata berdasarkan Uji DMRT padataraf 5%
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hara Johnson tanpa P
menghasilkan kolonisasi Glomus sp. yang tertinggi (P<0,05), menunjukkan
bahwa propagasi tiga bulan pada inang Jagung merupakan waktu yang terbaik
untuk menghasilkan kolonisasi hifa endomikoriza tertinggi. Terkolonisasinya
akar-akar jagung oleh hifa-hifa endomikoriza merupakan propagul efektif untuk
digunakan sebagai sumber inokulan. Menurut Brundrett et al. (2008) dan
74
Douds et al.(2010). hifa-hifa yang terbentuk dari hasil germinasi spora, disebut
sebagai hifa eksternal akan terdistribusi secara luas di dalam tanah
mengabsorbsi unsur P, selanjutnya hifa-hifa tersebut akan mendistribusikan P
dalam bentuk ion pada tanaman inang yang ditumpanginya. Laju kolonisasi
pada akar tanaman semakin tinggi apabila spora endomikoriza yang
bergerminasi menggunakan tanaman inang yang sesuai, contohnya tanaman
Jagung sehingga pemilihan jenis tanaman inang yang digunakan untuk
propagasi endomikoriza sangat menentukan keberhasilan propagasi cendawan
endomikoriza (Widiastuti, 2004 ; Chalimah et al., 2007)
5.3. Aplikasi endomikoriza (spora dan propagul) terhadap respon
pertumbuhan bibit mente ( A. occidentale L.)
Inokulasi spora Glomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora sp. pada bibit
mente baik sebagai spora tunggal dan campuran spora dari ketiga spesies
menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Berat
propagul endomikoriza yang berbeda menunjukkan bahwa semua perlakuan
menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05) jika dibanding tanaman
tanpa penambahan spora mikoriza atau propagul (NS-0 atau kontrol). (Tabel
5.3.A dan Tabel 5.3.B) Spesies endomikoriza berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap semua variabel pertumbuhan bibit mente (Tabel 5.3.A), namun
berat propagul tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap variabel
pertumbuhan bibit mente kecuali pada persentase kolonisasi (Tabel 5.3.B).
75
Tabel 5.3.APengaruh inokulasi spora endomikoriza terhadap pertumbuhan
bibit mente (A.occidentale L.) di rumah kaca pada hari ke 90
Perlakuan Tinggi(cm)
Luas daun(cm2)
berat keringtotal (g)
Kolonisasi(%)
KandunganP (mg)
Kontrol (NS-0) 26,025c 32,801b 8,489c 10,196 d 1,636c
Glomus sp. 35,100a 40,353a 11,577a 40,259a 3,188a
Acaulospora sp 34,692a 36,443ab 10,443ab 26,985c 2,332b
Gigaspora sp. 34,167ab 38,627a 11,034ab 28,356 b 2,933a
Sporacampuran
30,400b 38,623a 9,489bc 28,552 b 3,203a
Keterangan :Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakantidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%
Tabel 5.3.BPengaruh Inokulasi propagul terhadap pertumbuhan
bibit mente (A.occidentale L) di rumah kaca pada hari ke 90
Perlakuan Tinggi(cm)
Luas daun(cm2)
berat keringtotal (g)
Kolonisasi(%)
Kandungan P(mg)
Tanpa propagul 32,320a 39,204a 10,789a 20,147d 2,587a
Propagul 12.5 g 32,707a 37,782a 10,303a 26,524c 2,654a
Propagul 25 g 31,560a 36,779a 10,075a 26,524b 2,587a
Propagul 37.5 g 31,720a 35,711a 9,657a 34,828a 2,960a
Keterangan :1. Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
menyatakan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%2. Propagul = potongan dari akar-akar jagung yang terkolonisasi
hifa endomikoriza
5.3.1. Tinggi bibit mente
Inokulasi endomikoriza dalam spora tunggal dan propagul mampu
meningkatkan tinggi bibit mente dibanding tanaman tanpa spora-tanpa propagul
(NS-0). (Gambar 5.3.1 dan Gambar 5.3.2 A – D).
76
Gambar 5.3.1. Tinggi bibit mente dengan perlakuan non spora, spora, danspora-propagul endomikoriza pada umur 90 hari di rumah kaca
Keterangan notasi pada gambar 5.3.1 :NS-0 (non spora-non propagul) ; NS-12,5 (Propagul 12,5 g) ; NS-25 (Propagul25 g) ; NS-37,5 (propagul 37,5 g) : Glo-0 (50 spora Glomus sp tanpa propagul)Glo-12,5 g (50 spora Glomus sp.+12,5 g propagul); Glo-25 (50 spora Glomussp + 25 g propagul) Glo-37,5 ( 50 spora Glomus sp.+37,5 g propagul); Aca-0 (50spora Acaulospora sp. tanpa propagul); Aca-12,5 (50 spora Acaulospora sp. +12,5 g propagul); Aca-25 (50 spora Acaulospora sp. + 25 g propagul); Aca-37,5(50 spora Acaulospora sp. + 37,5 g propagul); Gi-0 (50 spora Gigaspora sp.tanpa propagul); Gi-12,5 (50 spora Gigaspora sp. + 12,5 g propagul); Gi-25 (50spora Gigaspora sp. + 25 g propagul); Gi-37,5 (50 spora Gigaspora sp. + 37,5 gpropagul); Mix-0 (50 spora Glomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp tanpapropagul); Mix-12,5 (50 spora Glomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp +12,5 g propagul); Mix-25 (50 spora Glomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp+ 25 g propagul) Mix- 37,5 50 spora Glomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp+ 37,5 g propagul)
77
Gambar5.3.2.A.Foto bibit mente setelah diinokulasi spora Glomus sp., spora-propagul dan tanpa inokulasi (K) pada umur 90 hari dirumah kaca
Gambar 5.3.2B Foto bibit mente setelah diinokulasi spora Acaulospora sp.,spora-propagul dan tanpa inokulasi (K) pada umur 90 haridi rumah kaca
Keterangan : K (Kontrol) ; -0 (50 Spora tanpa propagul); -12.5 (50Spora + 12,5 g propagul ); -25 (50 Spora + 25 g propagul);-37,5 (50 Spora + 37.5 g propagul
78
Gambar 5.3.2 C Foto bibit mente setelah diinokulasi spora Gigaspora sp.,spora-propagul dan tanpa inokulasi (K) pada umur 90 haridi rumah kaca
Gambar 5.3.2 D Foto bibit mente setelah diinokulasi spora ketiga jenisendomikoriza, spora-propagul dan tanpa inokulasi (K)pada umur 90 hari di rumah kaca
Keterangan : 1. K (Kontrol) ; - 0 (50 Spora tanpa propagul); -12.5 (50Spora + 12,5 g propagul ); -25 (50 Spora + 25 g propagul);-37,5 (50 Spora + 37.5 g propagul
79
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi ketiga spesies endomikoriza
dan campura dari ketiga spesies yang diujikan tersebut dapat meningkatkan
pertumbuhan bibit mente dibandingkan dengan tanaman kontrol (tanpa
inokulasi spora dan propagul). Hasil uji lanjutan dengan uji DMRT taraf 5%
menunjukkan bahwa Glomus sp. tanpa pemberian propagul (Glo-0)
menunjukkan hasil yang terbaik untuk pertumbuhan bibit mente (tinggi bibit)
dibanding perlakuan lainnya (Tabel 5.3.2)
Tabel 5.3.2.Pengaruh Perlakuan spesies endomikoriza dan berat propagul
terhadap tinggi bibit mente umur 90 hari di rumah kaca
SpesiesEndomikoriza
Berat propagul (g)
0 12,5 25 37,5Tanpa spora 23,833
e27,333
de27,667
de25,667
de
Glomus sp. (A) 40,533a
39,333ab
28,467cde
32,067abcde
Acaulospora sp. (B) 39,767b
34,833abcd
30,900abcde
33,267abcde
Gigaspora sp. (C) 33,633abcde
29,633bcde
35,500abcd
39,900abc
Spora mix(A + B + C)
23,833e
32,400abcde
35,667abcd
29,700bcde
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh huruf kecil yang sama padabaris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyataberdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%
Berdasarkan Tabel 5.3.2. menunjukkan bahwa Glomus sp. adalah spesies
yang paling kompatibel dengan bibit mente dan spesies tersebut dapat
bersimbiosis secara efektif walaupun tanpa penambahan propagul. Spesies
Glomus sp. sebagai spora tunggal dapat meningkatkan kemampuan bibit dalam
absorbsi nutrisi yang tersedia pada media tanah, artinya bahwa hifa-hifa dari
Glomus sp dapat berfungsi untuk membantu perakaran bibit mente dalam
mengabsorbsi air dan nutrisi terutama unsur P dan N yang sangat diperlukan
80
untuk pertumbuhan awal dari bibit yaitu pembentukan klorofil sehingga
pertumbuhan bibit mente terlihat lebih baik dibanding perlakuan bibit tanpa
mikoriza. Cendawan mikoriza tersebut memiliki enzim phosphatase dan
khitinase sebagai pemecah senyawa fosfat dan Nitrogen di tanah sehingga
menjadi unsur-unsur atau ion-ion yang mudah diserap dan digunakan oleh
tanaman inangnya (bibit mente). Hara mineral yang tercukupi dalam proses
metabolisme akan dapat meningkatkan proses fotosintesis bibit mente. Hal ini
sejalan dengan pendapat Mikola (1980), Smith (2000) dan Renuka et al (2012)
bahwa akar tanaman yang bermikoriza dapat meningkatkan kapasitas
pengambilan hara di dalam tanah karena akar-akar yang dikolonisasi oleh hifa-
hifa endomikoriza dapat diperpanjang waktu hidupnya, derajat percabangan
akarnya serta diperbesar diameter akarnya sehingga luas permukaan daerah
absorpsi akar secara otomatis kemampuan absorbsinya akan meningkat
dibanding akar-akar tanaman tanpa infeksi atau kolonisasi mikoriza. Hal ini
didukung oleh Mikola (1980); Imas et al. (1989); Mayerni dan Hervani (2008)
yang menyatakan bahwa endomikoriza yang telah bersimbiosis dengan tanaman
inangnya dapat meningkatkan produksi hormon pertumbuhan seperti auksin,
sitokinin dan gibberelin yang sangat berguna bagi tanaman inangnya. Auksin
berfungsi untuk memperlambat proses penuaan akar inang sehingga fungsi akar
sebagai penyerap unsur hara dan air akan bertahan lebih lama (Mikola, 1980).
Jadi dapat diasumsikan bahwa pertumbuhan tanaman inang (mente) yang
diinokulasi cendawan mikoriza mampu mempertahankan pertumbuhannya lebih
lama karena terdapatnya perakaran yang aktif karena tidak cepat mengalami
penuaan dibandingkan bibit mente yang tanpa inokulasi.
81
Kemampuan Glomus sp. adalah endomikoriza yang terbaik dibanding
spesies Gigaspora sp. atau Acaulospora karena berdasarkan data-data hasil
penelitian propagasi Glomus sp., cendawan ini lebih cepat germinasi dan
menghasilkan spora terbanyak (Penelitian 5.2) sehingga diasumsikan bahwa
spora-spora dan propagul Glomus sp. mempunyai kemampuan membentuk hifa-
hifa eksternal dan internal yang lebih cepat dibanding kedua species lain yang
diujikan.
Kecepatan germinasi spora dan hifa yang dihasilkan oleh Glomus sp.
berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi hara mineral pada media tanah yang
lebih baik sehingga bibit mente mendapatkan nutrisi secara cepat untuk proses
fotosintesis. Menurut Smith et al. (2010), tanaman yang terkolonisasi mikoriza
dapat menyerap Fosfor lebih banyak dari dalam tanah karena aktivitas enzim
fosfatase yang dihasilkan oleh cendawan mikoriza pada rizosfer akan
meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Tamasloukht et al. (2003) bahwa
simbiosis endomikoriza dan akar tanaman inang (termasuk akar mente) dimulai
segera setelah spora-spora tersebut berkecambah di dalam tanah yang ditandai
dengan terbentuknya hifa ekternal endomikoriza dan juluran hifa endomikoriza
dapat masuk kembali kedalam kortek akar inang. Hifa internal, interselluler,
arbuskula ataupun vesikel yang terbentuk pada kortek akar adalah sebagai tanda
bahwa mikoriza tersebut aktif dan tumbuh di dalam akar inangnya (Brundrett et
al., 2008).
Menurut Hapsoh (2008) endomikoriza mampu membantu dalam
meningkatkan penyerapan unsur hara pada tanaman inang yaitu, mikoriza
dengan eksternal hifa yang terdapat di dalam tanah akan merombak mineral-
82
mineral anorganik yang ada di dalam tanah dan mensuplai zat dibutuhkan oleh
tanaman, misalnya Carbon organik, Magnesium dan Kalium sehingga dengan
pemberian spora mikoriza terutama pada waktu pembibitan adalah efektif untuk
mempercepat pertumbuhan bibit.
Menurut Smith (2000), serapan air yang lebih besar oleh tanaman
bermikoriza, juga membawa unsur hara lain yang mudah larut seperti N, K dan
S. Hal ini terbukti dari hasil penelitian bahwa pada bibit yang diinokulasi
mikoriza mampu tumbuh lebih tinggi dan menghasilkan jumlah daun yang
lebih banyak dibanding kontrol. Selain meningkatkan absorbsi hara,
endomikoriza Glomus dan Gigaspora memiliki kandungan senyawa yang mirip
dengan zat pengatur tumbuh sitokinin dan auksin pada (Brundrett et al 2008 dan
Ibiremo, 2010). Hal ini memungkinkan bahwa mikoriza indigenus yang
diinokulasikan pada bibit mente mampu menghasilkan senyawa tersebut
sehingga dapat dibuktikan bahwa pertumbuhan bibit mente cukup pesat dan
berbeda nyata dibanding dengan tanaman tanpa inokulasi spora endomikoriza
(NS-0 atau tanaman kontrol).
5.3.2. Berat kering bibit mente
Pemberian mikoriza sebagai spora tunggal (tanpa propagul) menunjukkan
pengaruh yang sangat nyata (p<0.05) dalam meningkatkan produksi berat
kering total pada bibit mente umur 90 hari (Tabel 5.3.3). Bibit mente yang
diinokulasi mikoriza spora Glomus sp. tanpa penambahan propagulnya (Glo-0)
tampak berbeda secara nyata (P<0,05) dengan perlakuan lainnya dan
menghasilkan berat kering total sebesar 16,153 g . Bibit mente yang tumbuh
83
tanpa penambahan spora dan propagul (NS-0) memiliki berat kering 8,37 g.
(Tabel 5.3.3).
Tabel 5.3.3Pengaruh perlakuan spesies dan propagul terhadap
berat kering total bibit mente (A. occidentale)
SpesiesEndomikoriza
Berat propagul (g)
0 12,5 25 37,5Tanpa spora 8,37
bcd8,197
bcd10,780
bcd6,610
d
Glomus sp. (A) 16,153a
11,783bc
8,600bcd
9,773bcd
Acaulospora sp. (B) 10,933bcd
11,323bc
8,333bcd
11,120bc
Gigaspora sp. (C) 7,730cd
12,660ab
11,390bc
12,357ab
Spora mix(A + B + C)
10,697bcd
7,550cd
9,183bcd
10,517bcd
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh huruf kecil yang samapada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yangtidak nyata (P>0,05) berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%
Berdasarkan perbedaan berat kering yang dihasilkan bibit mente, menunjukkan
bahwa inokulasi spora endomikoriza dapat meningkatkan produksi berat kering
tanaman dan membuktikan bahwa simbiosis endomikoriza dengan akar tanaman
inang dapat meningkatkan pertumbuhan akar-akar serabut tanaman inang dan
terbentuknya hifa-hifa eksternal pada akar bibit mente. Peningkatan jumlah
akar serabut pada bibit berpengaruh terhadap kemampuan akar dalam absobsi
air, mineral dan nutrisi dari dalam tanah sehingga sangat berpengaruh terhadap
penambahan berat tanaman. Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan
bahwa bibit mente yang diinokulasi spora endomikoriza terlihat tumbuh lebih
subur dibanding bibit mente tanpa inokulasi endomikoriza (Gambar 5.3 A-D).
Menurut Smith dan Read (1997); Hapsoh (2008) dan Brundrett et al., (2008),
pada perakaran tanaman inang yang telah diinokulasi dengan mikoriza dan telah
84
terjadi simbiosis diantara keduanya, cendawan endomikoriza akan
memproduksi jalinan hifa ekternal secara intensif pada akar-akar tanaman
inang. Menurut Smith (2000) dan Thamsurakul dan Charoensook (2006),
proses pemanjangan hifa-hifa eksternal endomikoriza akan berpengaruh
terhadap kemunculan dan pertumbuhan akar-akar tersier (rambut-rambut akar)
yang berfungsi sebagai akar-akar penyerap nutrisi dari dalam tanah, bertambah
banyaknya akar-akar tersier ditanah dapat memaksimalkan absorbsi hara dan
mineral dari dalam tanah sehingga meningkatkan proses fotosintesis tanaman
inang. Tanaman yang berfotosintesis secara aktif dapat berpengaruh positif
terhadap pertambahan berat akar dan tajuk pada tanaman inang sehingga
tanaman yang bermikoriza mempunyai bobot kering yang lebih dibanding
tanaman yang tidak diinokulasi mikoriza (Powel dan Bagyaraj, 1984; Bever et
al., 1996). .
5.3.3. Kolonisasi endomikoriza pada akar mente (%)
Kolonisasi endomikoriza pada akar menunjukkan bahwa semua perlakuan
Glomus, Acaulospora dan Gigaspora terkolonisasi cukup efektif pada akar
mente (Gambar 5.3.3). Berdasarkan Analisis of Variance (ANOVA) inokulasi
dengan spora endomikoriza menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) terhadap
kolonisasi hifa-hifa endomikoriza di akar namun pemberian propagul tanpa
spora propagul menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) terhadap
kolonisasi akar mente (Tabel 5.2.1). Analisa DMRT 5% untuk melihat
pengaruh adanya interaksi antara spora dan propagul menunjukkan bahwa
inokulasi spora Glomus sp.+propagul 37,5 g mampu meningkatkan prosentasi
85
kolonisasi yang tertinggi (49,467%) dan secara nyata berbeda dengan perlakuan
lainnya (P<0). Bibit mente tanpa penambahan spora mikoriza maupun propagul
menunjukkan adanya kolonisasi sebesar 1,66 %. Terdapatnya kolonisasi ini
menunjukkan bahwa walaupun tanah yang digunakan untuk media tanam
sudah disteril, diduga terdapat spora-spora endomikoriza dorman dialam dan
akan terpatahkan fase dormansinya dengan proses sterilisasi pada suhu 105 o C
(suhu pada saat sterilisasi tanah) sehingga spora mikoriza akan germinasi pada
media tanah dan mengkolonisasi akar (Gambar 5.3.3 dan Tabel 5.3.4).
Gambar 5.3.3 Kolonisasi endomikoriza pada akar mente umur 90 hari denganperlakuan spora dan propagul dan kontrol di rumah kaca
Keterangan notasi pada gambar 5.3.3 :NS-0 (non spora-non propagul) ; NS-12,5 (Propagul 12,5 g) ; NS-25 (Propagul 25 g);S-37,5 (propagul 37,5 g) : Glo-0 (50 spora Glomus sp tanpa propagul) Glo-12,5 g(50 spora Glomus sp.+12,5 g propagul); Glo-25 (50 spora Glomus sp + 25 gpropagul) Glo-37,5 ( 50 spora Glomus sp.+37,5 g propagul); Aca-0 (50 sporaAcaulospora sp. tanpa propagul); Aca-12,5 (50 spora Acaulospora sp. + 12,5 gpropagul); Aca-25 (50 spora Acaulospora sp. + 25 g propagul); Aca-37,5 (50 sporaAcaulospora sp. + 37,5 g propagul); Gi-0 (50 spora Gigaspora sp. tanpa propagul);Gi-12,5 (50 spora Gigaspora sp. + 12,5 g propagul); Gi-25 (50 spora Gigaspora sp. +25 g propagul); Gi-37,5 (50 spora Gigaspora sp. + 37,5 g propagul); Mix-0 (50 sporaGlomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp tanpa propagul); Mix-12,5 (50 sporaGlomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp + 12,5 g propagul); Mix-25 (50 sporaGlomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp + 25 g propagul) Mix- 37,5 50 sporaGlomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp + 37,5 g propagul)
86
Tabel 5.3.4Pengaruh perlakuan spesies dan propagul terhadap kolonisasi (%)
endomikoriza pada akar bibit mente (A. occidentale L.)
Spesiesendomikoriza
Berat propagul (g)
0 12,5 25 37,5
Tanpa spora 1,66m
21,710l
25,580h
23,830ijk
Glomus sp. (A) 27,880g
35,977c
47,713b
49,467a
Acaulospora sp. (B) 22,223kl
24,623hij
28,910g
32,187e
Gigaspora sp. (C) 23,433jk 24,843 hij 30,557
f34,590
cd
Spora mix(A + B + C)
25,533hi
25,467hi
29,143fg
34,067d
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh huruf kecil yang samapada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yangtidak nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%
Menurut Smith et al.(2010) proses pemanasan tanah (media tumbuh)
endomikoriza dengan suhu lebih dari 800 C dapat mematahkan fase dormansi
spora dan sporokarp cendawan endomikoriza terutama spora yang mempunyai
dinding sel yang tebal sehingga spora-spora tersebut mampu berkecambah
membentuk hifa-hifa fertil maupun steril. Germinasi spora mikoriza akan
tumbuh dan bereproduksi setelah melewati masa adaptasi yang relatif singkat
(1–3 minggu), namun kemampuan germinasi spora sangat tergantung pada
spesiesnya. Douds (2008) menyatakan spora mikoriza dengan dinding sel tebal
(Gigaspora) dapat bertahan hidup dalam lingkungan ekstrim karena dinding
spora yang tebal yang dimiliki spesies tersebut mampu melindungi sitoplasma
sehingga spora tersebut dapat bertahan dalam kondisi kering dan suhu tinggi.
Hasil penelitian pada bibit mente yang diinokulasi dengan spora tunggal
(spora dari tiap spesies), campuran spora ketiga spesies dan campuran spora dan
87
propagul terlihat adanya variasi persentasi kolonisasi pada masing-masing
perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan germinasi dan kolonisasi
tiap spesies endomikoriza berbeda, tergantung pada kematangan spora dari
spesies dan daya adaptasi spora terhadap media tanamnya. Menurut Widiastuti
et.al (2005), campuran spora, hifa dan akar terinfeksi dari endomikoriza untuk
inokulasi pada tanaman memiliki banyak kelebihan, meskipun demikian
inokulum campuran memiliki standarisasi yang lemah dibandingkan spora saja
karena spora mikoriza lebih tahan terhadap pengaruh fisika, kimia
lingkungannya karena spora mikoriza memiliki dinding sel. Bervariasinya hasil
pertumbuhan bibit mente pada tiap genera dan kombinasinya dapat diasumsikan
bahwa terjadinya peningkatan metabolism perakaran tanaman karena
bersimbiosis dengan endomikoriza.
Intensitas infeksi akar oleh cendawan endomikoriza dipengaruhi oleh
berbagai faktor, meliputi pemupukan dan nutrisi tanaman, pestisida, intensitas
cahaya, musim, kelembaban tanah, pH, kepadatan inokulum dan tingkat
ketahanan tanaman. Pada beberapa jenis endomikoriza, pertumbuhan saluran
kecambah dari spora yang berkecambah mungkin dipengaruhi oleh eksudat
akar, kesuburan tanah dan ketersediaan air tanah. Tommerup (1984)
melaporkan bahwa pertumbuhan hifa Acaulospora laevis dan Glomus
caledonium menurun dalam kondisi ketersediaan air yang sangat rendah.
Pada penelitian ini pemberian Glomus sp. dan Acaulospora sp. dalam
bentuk tunggal menghasilkan persentase kolonisasi yang lebih tinggi dibanding
campuran ketiga spesies (mix-spora) dalam meningkatkan pertumbuhan bibit
mente sehingga dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan waktu germinasi yang
88
berbeda pada masing-masing spesies endomikoriza dapat menyebabkan
pemberian campuran ketiga spesies spora mikoriza kurang efektif dalam
meningkatkan pertumbuhan bibit mente dibanding pemberian endomikoriza
dalam bentuk spora tunggal. Hal in didukung pendapat dari Smith dan Read
(1997); Delvian (2006b) bahwa terdapat perbedaan waktu germinasi antar spora
jenis satu dengan lainnya sehingga apabila ditumbuhkan dalam satu media,
maka akan terjadi kompetisi nutrisi yang digunakan oleh spora dalam
germinasinya. Salah satu cara mengatasi hal ini Widyastuti et al.(2005)
menyatakan bahwa diperlukan jumlah spora yang bervariasi antar spesies
endomikoriza yang diinokulasikan pada media tanam sehingga tiap spora
cendawan mikoriza mempunyai kesempatan untuk bergerminasi dan
berkembang biak menjadi hifa-hifa eksternal terjalin hubungan yang saling
menguntungkan secara efisien.
5.3.4. Kandungan P pada tanaman
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi spora endomikoriza secara
nyata mampu meningkatkan kandungan P pada bibit mente (P<0,05) dan
penambahan propagul saja tanpa spora endomikoriza tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata dalam meningkatkan kandungan P tanaman. Spesies
Glomus sp. sebagai spora tunggal (tanpa penambahan propagul) dapat
meningkatkan kandungan P pada tanaman, namun Gigaspora sp. sebagai spora
tunggal tidak terlihat secara nyata dalam meningkatkan kandungan P. Pada
spesies Gigaspora terlihat nyata dalam meningkatkan P jika inokulasi spora
spesies tersebut ditambahkan propagul 37,5 g. (Tabel 5.3.5).
89
Tabel 5.3.5Interaksi antara spesies dan propagul terhadap kandungan fosfat (P)
pada akar bibit mente (A. occidentale L.)
SpesiesEndomikoriza
Berat propagul (g)
0 12,5 25 37,5Tanpa spora 1,35 j 1,45ij 2,033 ghij 1,710 hij
Glomus sp. (A) 4,043 a 3,123bcde 2,620 cdefg 2,977 bcde
Acaulospora sp. (B) 2,097 kl 2,417 efgh 2,173 fgh 2,640 cdefg
Gigaspora sp. (C) 2,563 defg 2,947 bcde 2,790 bcdef 3,433 ab
Spora mix(A + B + C)
2,930 bcde 3,333 bc 3,320 bcd 3,230 bcd
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh huruf kecil yang samapada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yangtidak nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%
Gambar 5.3.4. Kandungan P pada bibit mente setelah umur tanam 90 hariperlakuan spora, propadul, tanpa spora dirumah kaca
Keterangan notasi pada gambar 5.3.4 :
NS-0 (non spora-non propagul) ; NS-12,5 (Propagul 12,5 g) ; NS-25 (Propagul 25 g) ;NS-37,5 (propagul 37,5 g) : Glo-0 (50 spora Glomus sp tanpa propagul) Glo-12,5 g(50 spora Glomus sp.+12,5 g propagul); Glo-25 (50 spora Glomus sp + 25 g propagul)Glo-37,5 ( 50 spora Glomus sp.+37,5 g propagul); Aca-0 (50 spora Acaulospora sp.tanpa propagul); Aca-12,5 (50 spora Acaulospora sp. + 12,5 g propagul); Aca-25 (50spora Acaulospora sp. + 25 g propagul); Aca-37,5 (50 spora Acaulospora sp. + 37,5 gpropagul); Gi-0 (50 spora Gigaspora sp. tanpa propagul); Gi-12,5 (50 spora Gigasporasp. + 12,5 g propagul); Gi-25 (50 spora Gigaspora sp. + 25 g propagul); Gi-37,5 (50spora Gigaspora sp. + 37,5 g propagul); Mix-0 (50 spora Glomus sp., Acaulospora sp.,Gigaspora, sp tanpa propagul); Mix-12,5 (50 spora Glomus sp., Acaulospora sp.,Gigaspora, sp + 12,5 g propagul); Mix-25 (50 spora Glomus sp., Acaulospora sp.,Gigaspora, sp + 25 g propagul) Mix- 37,5 50 spora Glomus sp., Acaulospora sp.,Gigaspora, sp + 37,5 g propagul)
90
Rata-rata kandungan P pada perlakuan propagul tanpa spora endomikoriza
terlihat lebih rendah dibanding dengan perlakuan kombinasi spora–propagul
akan tetapi rata-rata kandungan P pada perlakuan spora tanpa propagul terlihat
lebih tinggi dibandingkan perlakuan kombinasi spora-propagul (perkecualian
pada Gigaspora sp) (Tabel 5.3.5 dan Gambar 5.3.4). Rata-rata kandungan P
tertinggi ditunjukkan pada perlakuan spora Glomus sp.. Diasumsikan bahwa
pada Glomus sp mempunyai kemampuan menghasilkan hifa eksternal yang
panjang dan tersebar luas ditanah yang berbeda dengan species yang lain
sehingga dengan kemampuan menghasilkan hifa eksternal tersebut akan dapat
meningkatkan penyerapan unsur-unsur P yang bersifat immobile di dalam tanah
dan hara lain seperti N, K dan Mg yang sangat dibutuhkan oleh tanaman
(Sieverding 1991; Baon, 1996; Quimeo et al. 1996; Hapsoh 2008). Selain
unsur-unsur tersebut di atas, unsur-unsur mikro seperti Zn, Cu, B, Mo dapat
juga meningkat penyerapannya pada tanaman yang terinfeksi/terkolonisasi
mikoriza (Smith dan Read 1997). Selain itu, spora endomikoriza mempunyai
enzim nitrat reduktase yang telah dibuktikan secara biokimia dan genetik
sehingga hifa eksternalnya mempunyai kapasitas dalam penyerapan nitrat yang
diperlukan oleh tanaman dalam pertumbuhannya (Baon, 1996). Hal inilah
yang membuktikan bahwa kolonisasi fungi endomikoriza mampu meningkatkan
tanaman dalam penyerapan hara utama dari tanah dibanding tanaman yang tidak
bermikoriza (Smith dan Read 1997). Menurut Margarettha (2011) tanaman
akan mendapatkan keuntungan dari endomikoriza tersebut terutama jika unsur P
di dalam tanah meskipun jumlahnya tinggi atau banyak tetapi tidak mampu
terserap oleh tanaman secara langsung sehingga fungsi penyerapan P dalam
91
tanah akan digantikan fungsinya oleh hifa-hifa ekternal mikoriza yang tersebar
secara luas di dalam pori-pori tanah.
5.4. Pengaruh perbedaan media pembawa terhadap efektifitas sporaendomikoriza Glomus sp dalam pertumbuhan bibit mente
Tahap penelitian ini adalah untuk uji coba spora Glomus sp. sebagai spesies
yang terbaik dalam penelitian sebelumnya (penelitian 5.3) apabila
diinokulasikan pada bibit mente (A. occidentale L.) yang ditanam pada media
tanam yang berbeda-beda yaitu: media tanah dicampur (tepung kaolin, pasir
kwarsa dan zeolit granula). Hal ini bertujuan untuk melihat efektifitas dan
kemampuan germinasi spora Glomus sp. pada jenis media yang berbeda dalam
mengkolonisasi atau menginfeksi tanaman inang (bibit mente) dan
meningkatkan pertumbuhan bibit mente tersebut
Hasil analisis of Variance (Anova) taraf kepercayaan 5% menunjukkan
adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. Hasil uji DMRT taraf 5%
menunjukkan pengaruh yang nyata media pembawa spora endomikoriza yang
berbeda terhadap pertumbuhan bibit mente.
Berdasarkan data-data yang terdapat pada Tabel 5.6 menunjukkan bahwa
media C (campuran pasir kwarsa dan tanah) perbandingan 1:1 merupakan media
yang terbaik bagi Glomus sp dan mampu meningkatkan pertumbuhan bibit
mente dibandingkan dengan kedua jenis media tanam yang lain. Hasil
pengukuran tinggi bibit umur 60 hari menunjukkan bahwa inokulasi Glomus sp.
menghasilkan tinggi 19,522 cm pada media C namun media B menghasilkan
92
tinggi 18,787 cm, terendah pada media A dengan tinggi 18,722 cm (Tabel 5.6
dan Gambar 5.4.1).
Tabel 5.6.Pengaruh inokulasi spora dan propagul Glomus sp. dalam media pembawa
spora yang berbeda terhadap pertumbuhan bibit mente
Variabel Media A Media B Media C
Tinggi bibit (cm) 18.722b
18.787b
19.522a
Jumlah daun (helai) 13.000b
12.333b
10.333a
Luas daun (cm 2 ) 12.844c
14.611b
16.356a
Jumlah spora (buah) 66.213b
51.519c
72.629a
Persen Kolonisasi (%) 60.460b
31.214c
66. 213a
Berat kering akar (g) 1.226b
1.467b
3.178a
Berat kering batang (g) 3.978b
2.322c
5.711a
Berat kering daun (g) 3.581b
3.777b
4.622a
Berat kering total (g) 8.784b
7.567b
13.467a
Keterangan :1. Media: A: Campuran tanah–zeolit ; Media B : Campuran tanah-kaolin
dan Media C : Campuran tanah-kwarsa2. Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris
yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada uji DMRTtaraf kepercayaan 5%.
Gambar 5.4.1 Tinggi bibit mente yang diinokulasi Glomus sp. pada mediatanam yang berbeda pada umur 60 hari di rumah kaca.
93
Berdasarkan data-data yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa tekstur pasir kwarsa mempunyai ukuran partikel yang tidak terlalu
berbeda dengan tanah yang digunakan pada penelitian ini. Hal ini menyebabkan
porositas media campuran tersebut cukup ada ruang sehingga spora-spora dari
Glomus sp. cepat bergerminasi dan hifa-hifa yang dihasilkan dapat dengan
mudah mengabsorbsi unsur-unsur yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis
tanaman terpenuhi secara cepat. Pada media A dan B, mempunyai perbedaan
tekstur yang cukup bervariasi. Kaolin berbentuk tepung dan zeolit berbentuk
granula (seperti batu-batu kecil). Tepung kaolin pada kondisi basah akan
menggumpal dan menyatu dengan tanah. Hal ini menyebabkan hifa-hifa
Glomus sp. tidak optimal menyebar di dalam media tanah-tepung kaolin
sehingga proses absorbsi unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman
menjadi tidak maksimal. Menurut Rochimat (2002) dan Geeta et al. (2007),
campuran tanah berpasir merupakan media yang terbaik untuk pertumbuhan
bibit pembibitan mente yang diinokulasi mikoriza karena kondisi tanah yang
berlempung berdebu (tanah liat) menyulitkan hifa-hifa mikoriza untuk
terdistribusi didalam tanah dan menginfeksi akar tanaman inang.
Bibit mente yang ditanam pada media C menghasilkan pertumbuhan bibit
tertinggi dibandingkan dengan tinggi bibit mente pada kedua media yang lain
(media A dan B). Hal ini menunjukkan bahwa campuran pasir kwarsa dan
tanah perbandingan 1 : 1 merupakan media pembawa spora yang terbaik untuk
meningkatkan pertambahan tinggi bibit. Pertambahan tinggi bibit atau tanaman
adalah merupakan salah satu parameter dan suatu indikasi adanya reaksi
fotosintesis yang efisien pada bibit mente karena media tumbuh yang sesuai dan
94
inokulasi endomikoriza Glomus sp. yang ditambahkan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Cruz et al., (2000) yang menyatakan bahwa seedling/bibit tanaman
akan tumbuh optimal (bertambah tinggi) sebagai respon tercukupinya hara
mineral dari tanah untuk proses fotosintesisnya. Salah satu peran dari hifa
eksternal endomikoriza spesies Glomus sp. adalah membantu absorbsi air dan
hara mineral lainnya terutama P dari media ke akar tanaman inang sehingga
proses metabolisme inang tercukupi dengan adanya endomikoriza
Persentase kolonisasi endomikoriza pada akar bibit mente menunjukkan
bahwa kolonisasi endomikoriza pada media kaolin adalah sebesar (31,21%)
dan pada zeolit granula (60,46%). Kolonisasi tertinggi terdapat pada media
pasir kwarsa (66,21%) ( Gambar 5.4.2). Kecenderungan yang sama ditunjukkan
pada hasil pengukuran berat kering bibit. Hasil pengukuran terhadap berat
kering, terlihat bahwa berat kering (akar, batang, daun dan total) tanaman yang
tertinggi dihasilkan oleh bibit yang ditanaman pada media pasir kwarsa dan
terendah pada tepung kaolin (Gambar 5.4.3).
Gambar 5.4.2 Kolonisasi (%) endomikoriza pada akar mente umur 60 haripada media tanam yang berbeda di rumah kaca.
95
Gambar 5.4.3. Berat kering bibit mente umur 60 hari pada media tanamyang berbeda di rumah kaca
Berdasarkan hasil pengamatan dan uji DMRT taraf 5% menunjukkan
bahwa campuran tanah dan pasir kwarsa perbandingan (1 : 1) merupakan media
pembawa spora endomikoriza indigenus yang terbaik untuk pembibitan mente.
Campuran media tanah dan kaolin mampu meningkatkan pertumbuhan bibit
mente namun menghasilkan persentasi kolonisasi hifa cendawan endomikoriza
yang rendah. Hal ini disebabkan tekstur kaolin yang berbentuk tepung akan
sangat lengket dengan tanah jika tercampur air (proses penyiraman bibit)
sehingga kemungkinan dapat menjadi barier bagi hifa-hifa cendawan untuk
dapat tumbuh dan menyebar pada media tersebut dan mengkolonisasi akar
tanaman inangnya
Menurut Chalimah et al. (2007) dan Douds et al. (2010), tekstur tanah
(media tanah) yang sangat liat, misalnya tanah dengan tekstur lempung atau
lempung berdebu dapat menyebabkan menurunnya atau kesulitan terhadap
kemampuan hifa cendawan endomikoriza untuk tumbuh dan menginfeksi akar-
akar tanaman inang sehingga penggunaan tanah yang cukup baik porositasnya
dapat meningkatkan laju kolonisasi yang lebih tinggi jika dibandingkan
96
kemampuan infeksi hifa endomikoriza pada akar-akar tanaman yang
ditumbuhkan pada tanah yang liat.
5.5. Kebaharuan Penelitian (Novelty)
1. Ditemukan 13 spesies endomikoriza indigenus Bali di lahan kering
Sukadana-Karangasem dan Sendang-Buleleng yaitu: Glomus etunicatum,
Glomuss mosseae, Glomus aggregatum, Glomus intraradices, Glomus
rubiformis, Acaulospora foveata, Acaulospora tuberculata, Acaulospora cf.
undulate, Acaulospora scrobiculata, Gigaspora albida;, Gigaspora
margarita, Scutelosppora cf. heterogama dan Enthroposphora infrequent.
2. Ditemukan endomikoriza yang termasuk dalam “rare species “ pada lahan
kering Sukadana-Karangasem yaitu Entrophospora infraquens (Hall)
3. Glomus sp., Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. indigenus Bali dapat
diaplikasikan untuk meningkatkan pertumbuhan bibit mente (A.
occidentale L.) namun spesies Glomus sp. adalah yang terbaik untuk
meningkatkan pertumbuhan bibit mente.
4. Penurunan konsentrasi P dalam hara Johnson dibutuhkan dalam propagasi
Endomikoriza jika di tanam pada tanah dengan kandungan P tinggi.
97
BAB VI.
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1.Teridentifikasi 13 spesies endomikoriza indigenus Bali di lahan kering
Perkebunan Mente Desa Sukadana Kecamatan Kubu Karangasem dan Desa
Sendang Kecamatan Gerokgak Buleleng yaitu: Glomus etunicatum, Glomus
moseae, Glomus aggregatum, Glomus intraradices, Glomus rubiformis,
Acaulospora foveata, Acaulospora tuberculata, Acaulospora cf. undulate,
Acaulospora scrobiculata, Gigaspora albida;, Gigaspora margarita,
Scutelosppora cf. heterogama dan Enthroposphora infrequent. Spesies
Entrophospora infraquens (Hall) merupakan “rare spesies” di alam
2. Kerapatan jumlah spora dan perentase kolonisasi endomikoriza bervariasi
antar tempat dan periode musim yang berbeda.
3. Pada konsentrasi P nol persen (P0) Glomus sp menghasilkan jumlah spora
dan kolonisasi terbaik pada perbanyakan menggunakan Jagung (Zea mays L)
sebagai tanaman inang
4. Spesies endomikoriza Glomus sp., Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. dapat
meningkatkan pertumbuhan bibit mente (A. occidentale L.) dalam skala
rumah kaca dan Glomus sp. adalah yang terbaik.
5.Campuran tanah dan pasir kwarsa merupakan media pembawa spora
endomikoriza Glomus sp. yang terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan
bibit mente (A. occidentale L.).
98
6.2 Saran
Berdasarkan hasil-hasil yang telah diperoleh pada penelitian ini dan
penyempurnaan lebih lanjut dapat disarankan:
1. Eksplorasi dan identifikasi endomikoriza secara keseluruhan di lahan kering
Bali masih diperlukan baik secara morfologi dan dilanjutkan dengan tehnik
molekuler sehingga dapat dibuat data base endomikoriza indigenus di Bali.
2. Penelitian propagasi endomikoriza menggunakan unsur-unsur selain fosfat
perlu dilakukan untuk meningkatkan jumlah spora dan kolonisasi hifa.
3. Bibit mente (A. occidentale L) yang telah terkolonisasi spora dan hifa
endomikoriza pada skala rumah kaca perlu dilakukan sampai uji dilapangan
sampai menghasilkan bunga dan buah/gelondong mente sehingga spora
endomikoriza tersebut dapat diaplikasikan sebagai salah satu pupuk hayati
indigenus Bali untuk memacu pertumbuhan dan produktifitas tanaman
mente di lahan kering.
99
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, 2011. Kondisi fisik Kabupaten buleleng. Portal on line Buleleng.http://www.bulelengkab.go.id/profil-daerah/979-i-kondisi-fisik-kabupaten-buleleng. opened at 2 Feb 2011.
Adiningsih S; J., M. Soepartini, A. kusno, Mulyadi, dan W. Hartati. 1994.Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Sawah dan LahanKering. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan UntukPembangunan Kawasan Timur Indonesia.
Aliyu, O.M. and G.O. Akintaro. 2007. Studies on the Effect of Storage Periodand Nut Size on the Seedling Vigour of Cashew.American-EurasianJournal of Scientific Research 2 (1): 68-74
Al-Zalzaleh, Hani , A. Majid, Anu Ray Mathew, 2009. VAM Inoculation forSelected Ornamental Plants in Bioremediated and Agricultural Soils.European Journal of Scientific Research.25(4).559-566.
Alizadeh, O. 2011. Mycorrhizal symbiosis. Advanced Studies in Biology. 3 (6):273-281.
Antara, M. 2004. Pendekatan Agribisnis dalam Pengembangan PertanianLahan Kering. Makalah Seminar Pengelolaan LahanLahan KeringBeririgasi Berkelanjutan yang Berorientasi Agribisnis. Singaraja. 5. Feb2004.
Arsana D. IG.K.., IN. Adijaya dan Suprapto. 2000. Pengkajian sistem usahatanipada lahan kering dataran rendah beriklim kering daerahBuleleng.Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian – Bali
Aryantha, I Nyoman P , Noorsalam R. Nganro, Sukrasno, dan E. Nandina2002, Development of Sustainable Agricultural System, OneDayDiscussion on The Minimization of Fertilizer Usage, Menristek-BPPT, 6th May2002, Jakarta.
Baon, J.B. 1996. Bioteknologi Mikoriza Pelestarian Sumber daya Alam diPerkebunan. Mitos, Kenyataan Ilmiah dan Tantangannya. Jogyakarta:fakultas Pertanian. Univesitas Gajah Mada.
Begon, M; Harper and Townsend. 1990. Ecology: Individual, Population andCommunities. 2 ed. Blackwell Scientific Publications. Boston.
Bentivenga, S. P. and J. B. Morton. 1995. A monograph of the genus Gigasporaincorporating developmental patterns of morphological characters.Mycologia 87: 720-732.
100
Bever, J.D., Morton, J.B., Antonovics, J. and Schultz, P.A. (1996). Host-dependent sporulation and spesies diversity of arbuscular mycorrhizalfungi in a mown grassland. Journal of Ecology 84: 71-82.
Bohrer, K.E. dan Amon, J.P. (2004). Seasonal dynamis of ArbuscularMycorrhizal fungi in differing wetland habitats. Mycorrhiza .14 :329-337.
Bohrer G, Kagan-Zur V, Roth-Bejerano N, Ward D .2001. Effects ofenvironmental variables on vesicular-arbuscular mycorrhizal abundancein wild populations of Vangueria infausta. Journal of VegetationScience. 12 (2): 279-288.
Bolan, M.S. 1991. A. critical review on the role of mycorrhizal fungi in theuptake of fosforus by plants. Plants Soil. 134: 189-207
Brundrett, M. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations.Biol. Rev. 79:473–495
Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell,. T. Grove, dan N. Malajczuk. 2008.Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIARMonograph 32. Australian Centre for International AgriculturalResearch, Canberra
Chalimah, S., Muhadiono, L. Aznam, S. Haran, N., Toruan-Mathius. 2007.Propagation of Gigaspora sp. and Acaulospora by pot culture in greenhouse. Biodiversitas. 7(4):12-19
Cruz,C. J.J. Green, C.A. Watson, F. Wilson and M.A. Martin-Laucao. 2000.Functional aspects of root architecture and mycorrhizal inoculation withrespect to nutrient uptake capacity. Mycorrhiza.14:177-184
Cuenca, G dan E. Meneses. 1996. Diversity patterns of arbuscular mycorrhyzalfungi associated with cacao in Venezuella. Plant Soil. 183:315-322
Danesh, Y.R.; E.M. Goltapeh; A. Alizadek; A. Varma and K.G. Mukerjii. 2007.Arbuscular-Mycorrhizal Fungi Associated with Alfalfa Rhizosphere inIran. American-Eurasian Journal of Agriculture dan EnvironmentScience 2(5): 574-580
Daryana, P. 2010. Padi Gogo di Kecamatan Gerogak. Dinas komunikasi danInformasi.http://kominfo.bulelengkab.go.id/index.php?option=com_contentdanview=articledanid=80:padi-gogo-di-kecamatan-gerokgakdancatid=46: majalah-singa-manggaladanItemid=83 opened at2 Februari 2011
101
Delvian. 2003. Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di hutanpantai dan potensi pemanfaatannya (Studi kasus di hutan cagar alamLeuweung Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat). [disertasi]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Delvian, 2006a. Peranan Ekologi Dan Agronomi Cendawan MikorizaArbuskula. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian UniversitasSumatra Utara. Medan
Delvian, 2006b. Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula.Departemen kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara.Medan
Douds J., D.D., G. Nagahashi, P.R. Hepperly. 2010. On-farm production ofinoculum of indigenous arbuscular mycorrhizal fungi and assessment ofdiluent of compost for inoculum production.. Bioresource Technology101. 2326-2330
Gautam Shrestha, Geeta Shrestha Vaidya and Binayak P. Rajbhandari1, 2009.Effects of Arbuscular Mycorrhiza in the Productivity of Maize andFingermillet Relay Cropping System. Nepal Journal of Science andTechnology 10. 51-55
Geeta S.V., K. shrestha, B. Khadge, Nancy C. Johnson. and H. Wallander.2007. Study of biodiversity of arbuscular mycorrhizal fungi in additionwith different organic matter in Different seasons of kavre district(central Nepal). Scientific world, 5 (5).221-227
Gerdemann JW, T.H. Nicolson, 1963. Spores of mycorrhizal endogone spesiesextracted from soil by wet sieving and decanting. Trans BritishMycological Society. 46:235-244
Gerdemann JW & Trappe JM. 1974. The Endogonaceae in the Pacific Northwest.Mycologia Memoir No. 5. 76 pp
Hadad,E.A., S. Koerniati, N. Bermawi, Hobir, S. Wahyuni dan A. Djisbar.2000. Pelepasan Jambu mente: Varietas Asem Bagus dan MuktiharjoHasil Klonal Nomor Harapan Jambu Mente di Muktiharjo Tahun 1995-2000. Balitro.
Hameeda, B., G. Harini, O.P. Rupela and G. Reddy 2007. Effect of composts orvermi-composts on sorghum growth and mycorrhizal colonization.African Journal of Biotechnology 6(1): 9 – 12
Hapsoh, 2008. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula pada Budidaya Kedelaidi Lahan Kering. Makalah. Pengukuhan Guru Besar. 14 Juni 2008.Kampus USU. Medan. pp 35
102
Hall. I.R. 1977. Spesies and Mycorrhizal infections of New ZealandEndogonaceae. Trans. Br. Mycol. Soc. 68:3:341-356
Hartoyo. B, M. Ghulamahdi, L.K. Darusman, S.A. Aziz, dan I. Mansur.2011.Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada RizosferTanaman Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban. Jurnal Littri. 17 (1) :32– 40.
Hasanudin. 2008. Peningkatan Ketersediaan dan Serapan N dan P serta HasilTanaman Jagung Melalui Inokulasi Mikoriza Azotobactor dan BahanOrganik pada Ultisol. Jurnal Ilmu – Ilmu Pertanian Indonesia. 5:83-89.
Ibiremo, O.S. and O. Fagbola. 2005. Effects of depleted soils amended withorganic manure on the growth of cashew seedlings. Nigerian Journal ofBotany, 18: 55-60.
Ibiremo, O.S. 2010. Effect of Organic Fertilizer Fortified with PhosphateFertilizers and Arbuscular Mycorrhizal Fungi Inoculation on the Growthof Cashew in Two Ecologies in Nigeria. Journal Agriculture Science.1(2): 101-107.
Idwar dan Ali M.2000. Pengaruh Mikoriza Vesikular Arbusklar terhadapKeefisienan Penggunaan Pupuk P oleh Tanaman Jagung (Zea mays L.).Jurnal Natur Indonesia II (2): 168-178.
Imas T., Hadioetomo, A.W. Gunawan, Y. Setiadi, 1989. Mikrobiologi tanah II.Departemen pendidikan dan kebudayaan. Direktorat JenderalPendidikan Tinggi. PAU. ITB. 145 hal.
INVAM. 2005. International Culture Collection of (Vesicular) ArbuscularMycorrhizal Fungi. Acouslospora foveata (reference accession BR861).http:Ninvarn.caf.wvu.edu/iungi~tlxonorny/Aca~losporaceae/Acaulospora/foveata/foveata.htm [7 Jul 20051.
Janos DP, Trappe JM. 1982. Two new Acaslospora spesies from tropicalAmerica. Mycotoxon 15:515-522.
Jauhari, S dan J. Sumarno. 1995. Studi rekayasa teknologi pupuk hayatimikoriza. An OAI Repository, coming from Central Library ofBrawijayaUniversity-Malang http://www.kamusilmiah.com/teknologi/pemakaian-pupuk-hayati-mikoriza-pada-budidaya-ubi-kayu.
Kartini, N. L. 1997. Efek Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) dan PupukOrganik Kascing terhadap P tersedia Tanah, Kadar P Tanaman dan hasilBawang Putih (Allium sativum L.) pada Inseptisol. (disertasi). Bandung:Universitas Pajajaran.
103
Kramadibrata, K., E.L. Rianti, R.D.M. Simanungkalit. 1993. ArbuscularMycorrhizal Fungi from the Rizospheres of Soybean Crops in Lampungand West Java. Biotropia.8:30-38.
Kramadibrata, K., A.W.Gunawan, N.N.,Aradea, 2005.The Development ofAcaulospora foveata’s spore. Jurnal Mikrobiologi Indonesia.10:2:79-80
Kramadibrata, K. 2008. Glomeromycota Recovered From Cacao Soil.REINWARDTIA. (12):357 – 371.
Kormanik, P.P. dan A.C. McGraw. 1982. Quantification of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizae in plant roots. In N.C. Schenck (Ed). Methodsand Principles of Mycorrhizal Research. The AmericanPhytopathological Society, St. Paul.
Lukiwati, D.R., 2007. Dry Matter Production on Digestibility Improvement ofCentrosema pubescens and Pueraria phaseoloides with Rock Phosphatefertilization and VAM Inoculation. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. 9(1):1-5
Mandal, R. C. 2000. Cashew production and Processing Technology. Jadhapur.Agrobios Publisher.
Margarettha. 2011. Eksplorasi dan Identiikasi Mikoriza Indigen Asal TanahBekas Tambang Batubara. Berita Biologi. 10:5 641-647
Mayerni, R dan D. Hervani. 2008. Pengaruh Cendawan Mikoriza Arbuskulaterhadap Pertumbuhan Tanaman Selasih (Ocimum sanctum L.). JurnalAkta Agrosia 11(1): 7-12.
Mawardi dan M. Djazuli. 2006. Pemanfaatan Pupuk Hayati Mikoriza untukMeningkatkan Toleransi kekeringan pada tanaman Nilam. Jurnal Litri12(1): 38 – 43
Mikola P. 1980. Tropical mycorrhiza research. Claredon Press. Oxford.
Miyasaka, S.C., M. Habte, J.B. Friday and E.V. Johnson. 2003. Manual onarbuscular mycorrhizal fungus production and inoculation techniques.Soil and Crop Management 5: 4
Morton, J. B. and G. L. Benny. 1990. Revised classification of arbuscularmycorrhizal fungi (Zygomycetes). Mycotaxon. 37: 471-491
Mosse, B. 1991. Vesicular-arbuscular mycorrhiza. Research for TropicalAgriculture. Res. Bull. No. 194. Hawaii Inst. of Trop. Agric. and HumanResource. Univ of Hawaii, Honolulu.
104
Mulyana Y. 2000. Rehabilitasi hutan dan lahan dalam era otonomi daerah.Prosiding Seminar Nasional Pembenahan Pengelolaan Hutan AlamProduksi dan Pemulihan Fungsi Hutan Melalui Upaya Reboisasi danKonservasi Hutan Di Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Novriani dan A. Madjid. 2009. Dasar Dasar Ilmu Tanah:Prospek Pupuk hayatiMikoriza. Bahan Kuliah Online untuk mahasiswa Fakultas Pertanian,Univ. Sriwijaya.
Oehl, F.,D.Redecker,Mader P, Dubois D, Ineichen K, Boller T,Wiemken A.2004. Impact of long-term conventional and organic farming on thediversity of arbuscular mycorrhizal fungi. Oecologia 138:574–583
Oehl, F., D.Redecker, E. Sieverding. 2005. Glomus badium, a new sporocarpicmycorrhizal fungi specie from European grasslands with higher soil pH.Journal of applied Botany and Food Quality 79, 38-43
Opoku-Ameyaw, K., Amoah, F.M., Oppong, F.K. and Angene V. 2007.Determination of optimum age for transplanting cashew (Anacardiumoccidentale) seedlings in Northern Ghana. African Journal ofAgriculture Research. 2 (7):296-299
Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi lahan kritis pasca tambang sesuai kaidahekologi. Makalah.Mata Kuliah Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana,IPB. Bogor.
Priono, A. 2008. Penggunaan Mikoriza untuk melawan JAP. Dinas PerkebunanProvinsi Bali. http://www.disbunbali.info/arsip_berita.php?id_berita
Prematuri R. 2000. Prospek aplikasi cendawan mikoriza arbuskula untukpengembangan hutan tanaman di Indonesia. Dalam prosiding SeminarNasional Mikoriza I. Asosiasi Mikoriza Indonesia (AMI). Pusat AntarUniversitas (PAU) Bioteknologi IPB. Badan Litbang Kehutanan danPerkebunan. The British Council (Jakarta). Bogor.
Proborini, M. W. 1998. Spatial and Temporal distribution of VA MycorrhizalFungi in Tasmanian Heathland. (thesis). University of Tasmania.Hobart. Australia.
Proborini, M.W. 2011. Eksplorasi jenis-jenis endomikoriza indigenus padalahan kering di Bali dan Pemanfaatannya pada pembibitan mente(Anacardium ocidentale L.). laporan Hibah Doktor. dana DIPAUniversitas Udayana No.079-042-01/20/2011. Denpasar. Bali.
Powel C.L. and D.J. Bagyaraj.1984. Field inoculation with VA mycorrhizalfungi. In VA-Mycorrhizae. CRC Press. Florida. pp 205-222
105
Reddy, M.P., Rao, D.M.R.‚ Verma, R.S.‚ Srinath, B. and Katiyar, R.S. (1998).Response of S13 mulberry variety to VAM inoculation under semi-aridcondition. Indian Journal of Plant Physiology 3:194-196
Renuka, G. M.S. Rao, M. Ramesh, V. Praveen Kumar and S. Ram Reddy. 2012.Distribution and Diversity of AM Fungal Flora in Godavari Belt Forests,Andhra Pradesh, India. ASIAN J. EXP. BIOL. SCI. 3(1):228-235
Rohimat, I. 2002. Teknik Inokulasi Mikoriza Arbuskular pada Bibit JambuMente Bulletin Teknologi Pertanian 7(2): 80-82
Santoso E. , Maman Turjaman dan Ragil Sb Irianto.2006. Aplikasi mikorizauntuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi.Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi danRehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006.
Saraswati, R. 1999. Teknologi pupuk mikroba multiguna menunjangkeberlanjutan sistem produksi kedelai. Jurnal Mikrobiologi Indonesia.4(1):1-9.
Schϋβler A., Scwarzott, D., and C. Walker, 2001. A New Fungal phylum, theGlomeromycota: Phylogeny and evolution, Mycological Research.(105): 1413 – 1421.
Schenck N.C., J.L. Spain, E. Sieverding, R.H. Howeler. 1984. Several new andunreported Vesicular Arbuscular Mycorrhizal Fungi (Endogonaceae)from Colombia. Mycologia 6: 685-699.
Schenck NC., Smith GS., 1982, Additional new and unreported species ofmycorrhizal fungi (Endogonaceae) from Florida. Mycologia, 74:77-92
Setiadi Y. 2000. Status penelitian pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskulauntuk rehabilitasi lahan terdegradasi. dalam prosiding Seminar NasionalMikoriza I. Asosiasi Mikoriza Indonesia (AMI). Bogor.
Sieverding E. 1988. Two new spesies of vesicular arbuscular mycorrhizal fungiin the Endogonaceae from tropical high lands of Africa.Annual Botany.62, 373-380.
Sieverding E 1991. Vesicular-Arbuscular Mycorrhiza Management in TropicalAgrosystems. GTZ, Eschborn, Germany.
Simanungkalit, R. D. M. 2003. Teknologi cendawan Mikoriza Arbuskuler:Produksi inokulan dan pengawasan mutunya. Program dan AbstrakSeminar dan Pameran: Teknologi Produksi dan Pemanfaatan InokulanEndo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. pp11.
106
Simanungkalit, R. D. M. 2007. Cendawan Mikoriza Arbuskula. dalamSaraswati, R.; Edi H dan RDM. Simanungkalit (edt). 2007. MetodeAnalisis Biologi Tanah. Balai besar Penelitian dan Pengembangan.Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Smith, S.E. and D.J. Read. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. (2nd edition).Academic Press, London. 605 pp.
Smith, F. A. 2000. Measuring the influence of mycorrhizas. New Phytology.148:4-6.
Smith, S.E., F.A. Smith dan I. Jacobsen. 2003. Mycorrhizal fungi can dominatephosphate supply to pints irrespective of growth responses. PlantPhysiology., 133:6-20.
Smith, S. E., and D. J. Read. 2008. Mycorrhizal symbiosis, 3rd Ed. AcademicPress, San Diego. 614 pp
Smith, S.E.; E. Facelli; S. Pope; F.A. Smith. 2010. Plant Performance instressfull environment: interpreting new and established knowledge ofthe roles of arbuscular mycorrizhas. Plant Soil 326:3-20.
Schenck, N. C. and Perez, Y., 1990. Manual for the identification of VAMycorrhizal Fungi. University of Florida, Gainsville, Flordia.245pp.
Suharto, I. 2012. Sambung Samping Batang bawah Sebagai Model Peremajaanuntuk Meningkatkan Produktifitas tanaman mente (Anacardiumoccidentale L.) secara Berkelanjutan di kabupaten Flores timur(disertasi). Denpasar: Universitas Udayana
Sukasta, W., G.A. Sukartini. Adnyana, N.W.Leestyawati. 2010. PengaruhPupuk Hayati Mikoriza “Technofert” untuk Meningkatkan Produksitanaman Pakan Sapi pada Lahan Kering di Provinsi Bali. Laporan HasilPenelitian. (tidak dipublikasikan).
Sukawidana, I.M. 2010. Pengaruh dosis mikoriza dan pupuk kascing terhadappertumbuhan bibit Jambu mente (Anacardium occidentale L). di desaKubu kecamatan Kubu Kabupaten Karang Asem. (thesis). UniversitasUdayana. Bali
Suprapto, IGK. D. Arsana, IN. Adijaya. 2001. Pengkajian Sistem Usahatanipada Lahan Kering Dataran Rendah Beriklim Kering Daerah Buleleng –Bali. Laporan Hasil Pengkajian Lahan Marginal di Buleleng – Bali.
Suryatmana, P., M.R. Satiawati, P. Rataseca. 2009. Peranan Mikofer dan Bahanorganik kascing dalam translokasi Pb, serapan fosfor dan hasil tanamancabai (Capsicum annum) pada tanah tercampur logam berat.
107
http://docs.google.com/viewer?a=vdanq=cache:zxHJhpOYBigJ:pustaka.unpad.ac.id/opened at 20 February 2011.
Thamsurakul, S. and S.Charoensook, 2006. Mycorrhizal Fungi As BiofertilizerFor Fruit Tree Production in Thailand. (Prosiding). InternationalWorkshop on Sustained Management of the Soil-Rhizosphere Systemfor Efficient Crop Production and Fertilizer
Therrien, Mario C. 2008. Yield response to treatment with vesicular-arbuscularmyccorrhiza (VAM) in a breeding population of barley. Barley GeneticsNewsletter: 38:4-6
Thoib, (2009). Perkembangan jambu mente dan strategi pengendalian hamapenyakit. http://imarookie.wordpress.com/2010/15/21/karya ilmiah.Opened at : 30/4/2010.
Tirta, I.G. 2006. Pengaruh Kalium dan Mikoriza Terhadap Pertumbuhan BibitPanili (Vanilla planifolia Andrew). Biodiversitas 7( 2) : 171-174.
Trappe J. W. 1977. Three new Endogonaceae: Glomus constrictus, Sclerocystisclavispora, and Acaulospora scrobiculata. Mycotaxon 6:359-366.
Walker, C., 1983. Taxonomic concepts in the Endogonaceae spore wallcharacteristics in spesies description. Mycotaxon 18: 443-445.
Widiastuti, H. dan K. Kramadibrata.1992. Cendawan Mikoriza BervesikulaArbuskula di beberapa tanah masam dari Jawa Barat. MenaraPerkebunan 60:73-77.
Widiastuti H. ; Edi Guhardja; Nampiah Soekarno; L. K. Darusman,; DidiekHadjar Goenadi dan Sally Smith. 2002. Optimasi simbiosis cendawanmikoriza arbuskula Acaulospora tuberculata dan Gigaspora margaritapada bibit kelapa sawit di tanah masam. Menara Perkebunan.70:2:50-57
Widiastuti H. 2004. Biologi Interaksi Cendawan mikoriza Arbuskula KelapaSawit pada Tanah Masam sebagai dasr Pengembangan teknologiAplikasi Dini. (ringkasan disertasi). Sekolah Pasca Sarjana. InstitutPertanian Bogor.
Zaubin, R. dan U. Daras, 2002. Sejarah dan Prospek Tanaman mente. MonografJambu Mente Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian danPengembangan Tanaman Perkebunan. Monograf. 6:1-8.
108
Lampiran 1. Data sifat fisikokimia tanah pada lokasi penelitian
Lokasi Bulansampling
pH C organik(%)
N Total(%)
P tersedia(ppm)
K tersedia(ppm)
KA April’11 6,1(AM) 0,79 (SR) 0,05(SR) 79,65 (ST) 53,54(SR)
Juni 6,8 (N) 0,78(SR) 0,06(SR) 102,25(ST) 87,44(R)
Agustus 6,7(N) 0,79(SR) 0,05(SR) 64,10(ST) 51,34(SR)
Okt 6,9(N) 0,78(SR) 0,13(R) 111,51(ST) 54,24(SR)
Des 6,5(N) 0,69(SR) 0,08(SR) 98,67(ST) 56,67(SR)
Feb’12 6,3(AM) 0,66(SR) 0,07(SR) 92,46(ST) 54,46(SR)
BL April’11 6,8(N) 1,28(R) 0,12(R) 61,60(ST) 662,07(ST)
Juni 6,8(N) 1,26(R) 0,18(R) 48,85(ST) 665,22(ST)
Agustus 6,9(N) 0,70(SR) 0,16(R) 69,04(ST) 774,11(ST)
Okt 6,5(N) 0,42(SR) 0,15(R) 68,10(ST) 525,26(ST)
Des 6,2(AM) 0,52(SR) 0,13(R) 66,67(ST) 520,21(ST)
Feb’12 6,7(N) 1,25(R) 0,10(R) 63,42(ST) 512,34(ST)
Keterangan: 1. Lokasi : KA= Karangasem BL= Buleleng2. AA = Agak Alkalis, AM= Agak Masam, N= Netral, S=
Sedang, R = Rendah, SR= Sangat rendah, T= Tinggi, ST =Sangat Tinggi
109
Lampiran 1. (sambungan)
Lokasi Bulan
sampling
Kadar Air Tekstur
KU (%) KL (%) Pasir (%) Debu (%) Liat (%)
KA April’11 1,03 11,98 88,82 8,32 2,86
Pasir
Juni 0,62 13,55 85,46 10,90 3,64
Pasir berlempung
Agustus 0,81 12,07 86,22 10,66 3,12
Pasir berlempung
Oktober 0,45 11,78 84,16 13,50 2,34
Pasir berlempung
Desember 0,86 12,86 85,36 13,31 2,33
Pasir berlempung
Feb’12 0,94 12,22 85,92 10,71 3,27
Pasir berlempung
BL April’11 9,41 23,69 35,87 46,74 17,40
Lempung
Juni 7,92 30,69 30,68 50,37 18,95
Lempung berdebu
Agustus 8,98 31,24 28,29 56,64 15,07
Lempung berdebu
Oktober 8,30 29,16 37,94 45,44 16,62
lempung
Desember 9,23 24,87 35,87 46,74 17,40
Lempung
Feb’12 8,76 23,76 34,87 47,74 17,40
Lempung
Keterangan: 1. Lokasi : KA= Karangasem BL= Buleleng2. KU = Kering Udara KL= Kapasitas Lapang
110
Lampiran 2. Grafik curah Hujan lokasi Penelitian tahap eksplorasi
Curah Hujan Pos Kubu, Kabupaten Karangasem, Propinsi BaliTahun : 2011-2012No. Pos : 441 fNo. Seri : 67Posisi : 08* 15'24" S - 115* 34'35" ETinggi : 10 meter (PAL).
Keterangan: Grafik diolah berdasarkan data-data dari Balai Besar MeteorologiKlimatologi dan Geofisika Lahan III Denpasar Bali
111
Lampiran 2. lanjutan
Curah Hujan Pos Gerokgak, Kabupaten Buleleng Propinsi Bali
Tahun : 2011No. Pos : 437 bNo. Seri : 58Posisi : 08* 11'09" S - 114* 47'46" ETinggi : 10 meter (PAL).
Keterangan: Grafik diolah berdasarkan data-data dari Balai Besar MeteorologiKlimatologi dan Geofisika Lahan III Denpasar Bali
top related