pbl blok 16 new

Post on 24-Apr-2017

218 Views

Category:

Documents

1 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

Gastroesophageal Reflux Desease

Andreas Edvan Sanjati Ley

102011349

D3

Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

No. Telp (021) 5694-2061

www.ukrida.ac.id, e-mail: edvanley@yahoo.com

Pendahuluan

Pada skenario duabelas ini saya akan membahas tentang seorang anak berusia 2 bulan

yang sejak 2 minggu yang lalu, ibu nya mulai mengeluh kalau bayi nya sehabis minum susu

sering mengeluarkan kembali melalui mulut, kurang lebih 2-3 sendok makan, dengan

demikian makalah ini di bikin untuk menganalisis dan memberikan diagnose pasti terhadap

penyakit yang di alami oleh pasien, dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan di

bantu dengan pemeriksaan penunjang dan mempelajarin pathogenesis dari penyakit tersebut

sehingga kita dapat menentukan pengobatan yang terbaik bagi pasien tersebut.

Page 1

Tinjauan Pustaka

Pembahasan

Anamnesis

Didefinisikan sebagai sesi wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau keluarga

dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan

kesehatan. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau

terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak

memungkinkan untuk diwawancarai.1

Anamnesis yang baik akan terdiri dari:

Identitas – nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis

kelamin, nama orang tua atau suami atau isteri atau penanggungjawab, alamat,

pendidikan pekerjaan, suku bangsa dan agama.

Keluhan utama – keluhan yang dirasakan pasien yang membawa

pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan.

Riwayat penyakit sekarang – riwayat perjalanan penyakit merupakan

cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak

sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat.

Riwayat penyakit dahulu – mengetahui kemungkinan-kemungkinan

adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang.

Riwayat penyakit dalam keluarga – penting untuk mencari

kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi.

Anamnesis susunan sistem – mengumpulkan data-data positif dan

negatif yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien berdasarkan alat

tubuh yang sakit. 1

Anamnesis kasus:

Identitas :Seorang bayi 2 bulan

Keluhan utama : Bayi sehabis minum susu sering mengeluarkan kembali

melalui mulut sejak 2 minggu yang lalu

Pemeriksaan fisik

Page 2

Kelainan yang paling sering ditemukan pada pemeriksaan adalah terabanya massa

atau adanya cairan bebas, atau keduanya. Keduanya relative jarang ditemukan di klinik, di

mana dokter pada umumnya hanya memeriksa pada tempat dengan nyeri tekan yang paling

hebat. Keadaan yang paling sering ditemukan yang cocok dengan tujuan ujian adalah

penyakit kronis yang menyebabkan pembesaran hati atau limpa, seperti leukemia kronis.

Massa lain yang teraba di antara nya adalah pembengkakan ginjal, khusus nya ginjal

polokistik. Pembesaran yang timbul bisa neoplastik atau inflamasi dan biasanya tidak

mungkin membedakan keduanya hanya dengan pemeriksaan fisik. Pasien dengan penyakit

abdomen akut tampaknya tidak pernah dimunculkan pada ujian klinis. Ingat selalu untuk

inspeksi dan palpasi, untuk menjaga agar tangan anda tetap hangat dan palpasi dengan lembut

untuk menghindari menyakitinya. Periksa hal ini dengan melihat ke wajah pasien sewaktu-

waktu selama palpasi, terutama jika anda melakukan pemeriksaan nyeri tekan atau nyeri

lepas.2

Pemeriksaan penunjang

Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk

diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).

Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari

mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan

gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna

bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive

reflux disease (NERD). Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang

dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa

gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD. Pemeriksaan histopatologi

juga dapat memastikan adanya Barrett's esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada

bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD. 3

Epidemiologi

Page 3

Prevalensi GERD di asia, termasuk Indonesia, relative rendah di banding negara

maju. Di Amerika hampir 7% populasi mempunyai keluhan heartburn, dan 20-40%

diantaranya di perkirakan menderita GERD. Prevalensi esofagitis di Negara barat berkisar

antara 10-20%, sedangkan di asia hanya 3-5%, terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%).

Tidak ada predileksi gender pada GERD, laki-laki dan perempuan mempunyai resiko yang

sama, namun insidens esofagitis pada laki-laki lebih tinggi (2:1-3:1), begitu pula Barrett’s

espphagitis lebih banyak di jumpai pada anak laki-laki (10:1). GERD dapat terjadi di segala

usia, namun prevalensinya meningkat pada usia di atas 40 tahun.3

Etiologi

Penurunan sfingter esophagus bisa di sebabkan oleh rokok, alkohol dan kopi.

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone)yang

dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada individu normal, pemisah ini

akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat

menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari

gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat

rendah(<3mmHg).4

Patogenesis

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme: 1). Refluks

spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, 2). aliran retrograd yang mendahului

kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan

demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan

antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk

faktor defensif esofagus adalah:5

Pemisah Antirefluks

Pemeran terbesar pemisah antfrefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES

dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan tekanan

intrabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.

Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES: 1). adanya hiatus hernia, 2). panjang LES

(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), 3). obat-obatan seperti antikolinergik, beta

adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain, 4). faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan

kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES. Namun dengan berkembangnya teknik

pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang

Page 4

normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation

(TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik

tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi

pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung lambat

(delayedgastric emptying) dan dilatasi lambung. Peranan hiatus hernia pada patogenesis

terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan

endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD

yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan

asam dari esofagus serta menurunkan tonus LES. 5

Gambar 2. Pemisahan antirefluks. 5

Bersihan asam dari lumen esophagus

Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi,

peristaltik, ekresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan

refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses

menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan

kelenjar esofagus. Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara

bahan refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar kemungkinan

terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esofagus

yang nofmal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik esofagus yang

minimal. Refluks malam hari (nocturnal re/lux) lebih besar berpotensi menimbulkan

kerusakan esofagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak

aktif. 5

Ketahanan Epitelial Esofagus

Page 5

Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus

yang melindungi mukosa esofagus.Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari:

Membran sel. Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan

esofagus. Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan bikarbonat, serta

mengeluarkan ion H+ dan C02. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport

ion H+ dan CI" intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraselular. Nikotin dapat

menghambat transport ion Na+ melalui epitel esofagus, sedangkan alkohol dan aspirin

meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif

adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak

refluksat terdiri dari HC1, pepsin, garam empedu, enzim pankreas. Faktor ofensif dari bahan

refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus

makin meningkat pada pH <2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari

kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam.. Faktor-faktor

lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang

meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain: dilatasi lambung atau obstruksi

gastric outlet dan delayed gastric emptying. 5

Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang

didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori

dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett's esophagus

dan adenokarsinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi H.pylori terhadap GERD merupakan

konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh

eradikasi infeksi H.pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada

pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant

antral gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat menekan munculnya gejala GERD.

Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.pylori

dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat meningkatkan

sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala

GERD pra infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat

memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada

pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H.pylori dengan corpus predominant gastritis,

eradikasi H.pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam

lambung. Pengobatan PP/jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat

mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori

dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PP/jangka panjang. Walaupun belum

Page 6

jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux turut berperan dalam

patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-acid reflux antara lain

berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini,

timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral. 5

Manifestasi klinik

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau

retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar

(heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan),

mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan

heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa

tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan pada serangan angina pektoris. Disfagia

yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang

berkembang dari Barrett's esophagus. Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan)

bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat. 5

GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang atipik dan

sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP), suara

serak, laringitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma. Di lain

pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD

karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high pressures zone akibat

penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (misalnya theofilin). 5

Penatalaksanaan

Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat kemungkinan

timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun esofagus

Barrett yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya penyakit ini mendapat

penatalaksanaan yang adekuat. Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari

modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai

dilakukan terapi endoskopik. Target penatalaksanaan GERD adalah: a), menyembuhkan lesi

esofagus, b). menghilangkan gejala/keluhan, c). mencegah kekambuhan, d). memperbaiki

kualitas hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi. 5

Modifikasi Gaya Hidup

Page 7

Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD,

namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat

memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi

frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan. 5

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut: 1).

Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan

tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari

lambung ke esofagus; 2). Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya

dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel; 3).

Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena

keduanya dapat menimbulkan distensi lambung; 4). Menurunkan berat badan pada pasien

kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra

abdomen; 5). Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan

minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam; 6). Jika memungkinkan

menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti anti kolinergik, teofilin,

diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist beta adrenergik, progesteron. 5

Medikamentosa

Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan

GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau

termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam

perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada

pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas. 5

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down.

Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat

dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal

diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama

(penghambat pompa proton IPPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan

dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan

dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau

bahkan antasid. 5

Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih

ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan pendekatan

terapi step up. Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang

Page 8

penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD

adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down. Pada umumnya studi

pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan di atas 80% dalam waktu 6-8 minggu.

Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau

bahkan terapi "bila perlu" (on demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa

hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang. 5

Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan adanya

respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis

bagi pasien dan cukup efektif dalafti mengatasi gejala pada tatalaksana GERD. Berikut ini

adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD: 5

Antasid, golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala

GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagifis. Selain sebagai buffer terhadap HC1, obat

ini dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah. 5

Kelemahan golongan obat ini adalah 1). Rasanya kurang menyenang-kan, 2). Dapat

menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid

yang mengandung alumunium, 3). Penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal. Dosis: sehari 4 x 1 sendok makan.5

Antagonis Reseptor H2, yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin, raniditin,

famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam

pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis

untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan

sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis pemberian:

Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg Ranitidin:4xl50mg Famotidin :

2 x 20 mg, Nizatidin :2xl50mg. 5

Obat-obatan prokinetik, secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan

GERD karena penyakit ini dianggap lebih condong ke arah gangguan motilitas. Namun pada

prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada penekanan sekresi asam. 5

Metoklopramid , obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin. Efektivitasnya

rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus

kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. "

Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap susunan saraf pusat

berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor dan diskinesia, Dosis: 3x10 mg. 5

Page 9

Domperidon, golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamin dengan efek

samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.

Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esofageal

belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta

mempercepat pengosongan lambung, dosis: 3 x 10-20 mg sehari. 5

Cisapride, sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat

pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam

menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esofagus lebih baik dibanding domperidon,

dosis 3 x 10 mg sehari. 5

Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat), berbeda dengan antasid dan

penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat

ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap

HC1 di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup

aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi) Dosis: 4 x 1 gram. 5

Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPT), golongan ini merupakan

drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada

pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai

tahap akhir proses pembentukan asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam

menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva

derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonist reseptor H2. Dosis yang

diberikan untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu Omeprazole : 2 x 20 mg, Lansoprazole: 2

x 30 mg, Pantoprazole : 2 x 40 mg, Rabeprazole: 2 x 10 mg, Esomeprazole : 2 x 40

mg.5

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat

dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on

demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya. Efektivitas golongan obat ini semakin

bertambah jika dikombinasi dengan golongan prokinetik. Untuk pengobatan NERD diberikan

dosis standar, yaitu: Omeprazole : 1 x 20 mg Lansoprazole :lx30mg Pantoprazole : 1 x 40

mg Rabeprazole : 1 x 10 mg Esomeprazole : 1 x 40 mg. Umumnya pengobatan diberikan

selama minimal 4 minggu, dilanjutkan dengan on demand therapy. Terdapat beberapa

algoritme dalam penatalaksanaan GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama, salah satu di

Page 10

antaranya adalah yang direkomendasikan dalam Konsensus Nasional untuk Penatalaksanaan

GERD di Indonesia. 5

Diagnosa banding

Stenosis pylorus

Stenosis pylorus hipertrofik congenital mengacu kepada keadaan hipertrofi atau

hyperplasia pada lamina propia muskularis pylorus. Dengan terjadi pada 1:300 hingga 1:900

kelahiran hidup, rasio laki-laki terhadap wanita adalah 4:1. Gejala regurgitasi dan muntah

proyektil terjadi pada usia 3 minggu pertama. Gejala lainnya meliputi peristalsis yang terlihat

kasamata dan massa oval yang dapat dipalpasi serta teraba kenyal. Perwarisan genetiknya

bersifat multifaktoral, dengan insidens tinggi pada anak kembar. Stenosis pylorus di dapat

merupakan komplikasi pada gastritis daerah antrum yang kronik, ulkus peptikum di dekat

pylorus dan keganasan (misalnya, karsinoma, limfoma, karsinoma pankreas).6

Atresia duodenum

Atresia duodenum di duga timbul dari kegagalan rekanalisasi lumen setelah fase padat

pada perkembangan usus selama masa kehamilan minggu ke 4 dan ke 5. Insidens atresia

duodenum adalah 1 dalam 10.000 kelahiran dan meliputi sekitar 25-40% dari semua atresia

usus. Setengah dari penderita di lahirkan premature. Atresia duodenum mungkin mempunyai

beberapa bentuk, yang meliputi obstruksi lumen oleh membrane utuh, tali fibrosa yang

menghubungkan dua ujung kantong duodenum yang buntu pendek, atau suatu celah antara

ujung-ujung duodenum yang tidak bersambung. Penyebab obstruksi yang tidak lazim adalah

jaringan “windsock”, yakni suatu flap jaringan yang dapat mengembang yang terjadi karena

anomaly saluran empedu. Bentuk atresia membranosa adalah yang paling sering obstruksi

terjadi di sebelah distal ampul vateri pada kebanyakan penderita. Obstruksi duodenum dapat

juga di sebabkan oleh kompresi ekstrinsik seperti pankreas anulare atau oleh pita-pita laad

pada penderita dengan malrotasi. Sindrom down terjadi pada 20-30% penderita atresia

duodenum. Anomaly bawaan lain yang di sertai dengan atresia duodenum adalah malrotasi

(20%), atresia esophagus (10-20%), penyakit jantung bawaan (10-20%), dan anomaly

anorektal serta ginjal (5%). 7

tanda obstruksi duodenum adalah muntah yang mengandung empedu tanpa perut

kembung, biasanya terjadi pada hari pertama setelah lahir. Gelombang peristaltik mungkin

terlihat pada awal proses penyakit ini. Ada riwayat polihidramnion pada pertengahan

Page 11

kehamilan dan ini disebabkan oleh kegagalan penyerapan cairan amnion di bagian distal

usus. Ikterik tampak pada sepertiga bayi. Diagnosa terkesankan dari adanya gambaran “tanda

gelembung ganda” pada rontgen polos abdomen. Gambaran ini disebabkan oleh karena

lambung dan duodenum proksimal mengembang dan terisi udara. Pemeriksaan dengan

kontras biasanya tidak di perlukan dan jika di kerjakan mungkin menimbulkan aspirasi.

Diagnosa prenatal atresia duodenum di buat dengan menambahkan frekuensi pemeriksaan

ultrasonografijanin. 7

Kesimpulan

Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta di lakukan nya pemeriksaan

penunjang, diagnosa yang di dapat bahwa bayi perempuan yang berusia 2 bulan sering

mengeluarkan sehabis minum susu mengalami Gastroesophageal Reflux Desease.

Daftar pustaka

1. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta. EMS. Cetakan pertama;

2007. h. 11-16

2. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Jakarta. EMS. Edisi 6;

2005. h. 38

3. Ndraha S. Gastroenterohepatologi. Jakarta. FK Ukrida. Cetakan pertama; 2012. h.

21

4. Pierce A, Grace, Borley NR. Ilmu bedah. Jakarta. EMS. Edisi ketiga; 2007. h. 95

5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Ilmu penyakit dalam. Jakarta. Interna

Publishing. Cetakan pertama; 2009. h. 480-85

6. Robbins, Cotran. Dasar patologis penyakit. Jakarta. EGC. Edisi 7. Cetakan

pertama; 2009. h. 473-74

7. Kliegman B. Ilmu kesehatan anak. Jakarta. EGC. Edisi 15; 2000. h. 1310

Page 12

Page 13

top related