nilaiestetika zenbuddhisme kaligrafijepang ...repository.ub.ac.id/1012/1/ahrozu junda mudafi’ul...
Post on 23-Jan-2021
33 Views
Preview:
TRANSCRIPT
NILAI ESTETIKA ZEN BUDDHISME KALIGRAFI JEPANG (SHODO)PADA ANIME BARAKAMON KARYA SUTRADARAMASAKI
TACHIBANA
SKRIPSI
Ditujukan Kepada Universitas Brawijayauntuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Disusun Oleh:AHROZU JUNDA MUDAFI’UL ISLAM
125110600111022
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BAHASA JEPANGFAKULTAS ILMU BUDAYAUNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG2017
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya :
Nama : Ahrozu Junda Mudafi’ul IslamMIM : 125110600111022Program Studi : Pendidikan Bahasa Jepang
Menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini adalah benar-benar karya saya, bukan merupakan jiplakandari karya orang lain, dan belum pernah digunakan sebagai syaratdalam mendapatkan gelar kesarjanaan dari perguruan tinggi manapun
2. Jika dikemudian hari ditemukan bahwa skripsi ini merupakan jiplakan,saya bersedia menanggung segala konsekuensi hukum yang diberikan
Malang, 7 Juni 2017
Ahrozu Junda Mudaf’ul IslamNIM. 125110600111022
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi Sarjana atas nama Ahrozu Junda Mudafi’ulIslam telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.
Malang, 7 Juni 2017
Ulfah Sutiyarti, M.Pd.NIK. 201508 740319 2 001
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi Sarjana atas nama Ahrozu Junda Mudafi’ulIslam telah disetujui oleh Dewan Penguji sebgaia syarat untuk mendapatkan gelarSarjana.
Rike Febriyanti, M.A, PengujiNIP. 19810227 200502 2 005
Ulfah Sutiyarti, M.Pd., PembimbingNIK. 201508 740319 2 001
Mengetahui MenyetujuiKetua Program Studi Wakil Dekan IPendidikan Bahasa Jepang Bidang Akademik
Ulfah Sutiyarti, M.Pd.NIK. 201508 740319 2 001 NIP. 19751101 200312 1 001
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala nikmat dankarunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “NilaiEstetika Zen Buddhisme Kaligrafi Jepang dalam Anime Barakamon KaryaSutradara Masaki Tachibana” ini sebagi syarat memperoleh gelar Sarjana diuniversitas Brawijaya.
Penyusunan skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baiktanpa kontribusi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis inginmenyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Ir. Ratya Anindita, MS., Ph.D. selaku dekan Fakultas IlmuBudaya.
2. Bapak Syariful Muttaqin, M.A. selaku wakil dekan I bagian akademik.3. Ibu Ulfah Sutiyarti M.Pd. selaku Ketua Program Studi serta dosen
pembimbing skripsi yang senantiasa membimbing penulis selama penulismenempuh pendidikan di jurasan Pendidikan Bahasa Jepang
4. Ibu Rike Febriyanti, M.A. selaku dewan penguji yang selalu memberikanmasukan dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5. Ibu Retno Dewi Ambarastuti, M.Si. selaku dosen pembimbing akademikyang telah memberikan bimbingan selama penulis belajar di program studiPendidikan Bahasa Jepang.
6. Seluruh dosen pengajar program studi S1 Pendidikan Bahasa Jepang yangtelah memberikan ilmu yang bermanfaat sehingga dapat menjadi bekal dalampenyusuna skripsi ini.
7. Azukawa Junko sensei dan teman saya Faizzurrahman yang telah membantuproses validasi data pada penelitian kali ini.
8. Teman-teman seperjuangan, Mbak Asih, Darliyah, Feri, Azizi, Izzudin, Izzi,Imam, Alfian, Adis, Arifin dan yang lainnya yang bersama-sama berjuanguntuk lulus semester ini.
9. Seluruh teman-teman KAMMI 2012, KAMMI FIB, PH GK Jatim, GK, Gen-Q, NIKOGA, dan seluruh teman-teman penulis yang tidak dapat penulissebutkan satu-persatu karena telah mensuport dan mendoakan penulis untukmenyelesaikan skripsi ini.
10. Seluruh pihak yang juga ikut membantu mensukseskan terselesaikannyaskripsi ini baik berupa dukungan doa maupun bantuan secara langsung yangtidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk keluarga tercinta, terutama keduaorang tua penulis Sidiq Heri Susanto dan Siti Nurhayati serta adik-adik penulisDek Bannan, Dek Hana, dan Dek Naim, yang senantiasa memberikan dukungandan doa sehingga penulis berhasil mencapi gelar Sarjana.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunanskripsi ini. Oleh karena itu segala bentuk kritik dan masukan yang membangun
vi
sangat penulis harapakan untuk dapat menyempurnakan penelitan-penelitianberikutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca danpenulis khususnya.
Malang, 17 Juli 2017
Penulis
vii
ABSTRAK
Islam, Ahrozu Junda Mudafi’ul. 2017. Nilai Estetika Zen Buddhisme KaligrafiJepang dalam Anime Barakamon (Shodo) Karya Sutradara MasakiTachibana: Program Pendidikan Bahasa Jepang, Fakultas Ilmu Budaya,Universitas Brawijaya. Pembimbing: Ulfah Sutiyarti, M.Pd
Kata Kunci: Estetika Zen, Zen Buddhisme, Kaligrafi Jepang, Shodo, Anime Bara-kamon.
Karya sastra merupakan cerminan ekspresi dari pengarang untukmembangkitkan pesona dengan alat bahasa. Karya sastra yang digunakan dalampenelitian kali ini adalah anime yang diproduksi dari negara Jepang pada tahun2014 dengan judul Barakamon karya Sutradara Masaki Tachibana. Anime inibercerita tentang seorang kaligrafer profesional yaitu Handa yang tengah mencaritulisan Shodo sesuai dengan ciri khas diri Handa. Penelitian kali ini bertujuanuntuk mengetahui tujuh nilai estetika Zen Buddhisme yaitu Fukinsei, Kanso,Kokou, Shizen, Yuugen, Datsuzoku, Seijaku yang ditampilkan dalam KaligrafiJepang atau Shodo di dalam anime Barakamon.
Penelitian ini dilakukan dengan melihat anime Barakamon, kemudianmengidentifikasi Shodo yang terdapat di dalam anime Barakamon. Shodo yangditemukan selanjutnya diklasifikasikan ke dalam nilai Zen Buddhisme. Danmelakukan proses analisa dan validasi.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dari tujuh nilai estetika ZenBuddhisme ditemukan keseluruhannya di dalam Shodo yang ditampilkan padaanime Barakamon. Karakteristik dari Shodo dalam anime Barakamon yangmencerminkan nilai estetika Zen ditunjukkna oleh bentuk, ukuran, perbedaanwarna, teknik menulis yang kemudian di dukung oleh dialog karakter dalamanime barakamon. Untuk penelitian selanjutnya dapat mengembangkan penelitianini dengan menggunakan teori resepsi sastra.
viii
要旨
イスラム・アーロズジュンダムダフィウル.2017.立花・正樹の映画「ば
らかもん」における書道の禅美学点.ブラウィジャヤ大学日本語教育学科.
指導教官 :ウルファ・ステイヤルテイ
キーワード : 禅美学、禅、書道、アニメ「ばらかもん」
文学作品で蠱惑やお礼などが表現されている。本研究は「ばらかも
ん」という2014に橘正樹が作ったアニメを文学作品として調べる研究
である。このアニメは自分らしい書道を探す半田というプロ書道家のスト
ーリである。本研究は書道の禅美学「不均斉、官署、枯高、自然、幽玄、
脱俗、静寂」を調べる研究である。
本研究の方法はアニメ「ばらかもん」にある書道を探す。見つけた
書道を七つの禅美学に識別する。それから書道をよく分かる人に確認する。
結果として、「ばらかもん」というアニメの書道には七つの禅美学
全部がある。「ばらかもん」というアニメにある書道の性質は形や大きさ
や色や書き方などである。この結果は「ばらかもん」というアニメの登場
人物の会話で確認をできる。次の研究者に提案として学知覚活動で発展し
て欲しい。
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... iPERNYATAAN KEASLIAN................................................................................iiLEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................iiiLEMBAR PENGESAHAN.................................................................................. ivKATA PENGANTAR............................................................................................vABSTRAK............................................................................................................ viiDAFTAR ISI..........................................................................................................ixDAFTAR GAMBAR.............................................................................................xiDAFTAR LAMPIRAN........................................................................................xiiDAFTAR TRANSLITERASI............................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN.....................................Error! Bookmark not defined.1.1 Latar Belakang.............................................Error! Bookmark not defined.1.2 Rumusan Masalah........................................Error! Bookmark not defined.1.3 Tujuan..........................................................Error! Bookmark not defined.1.4 Manfaat Penelitian.......................................Error! Bookmark not defined.1.5 Ruang Lingkup Penelitian............................Error! Bookmark not defined.1.6 Definisi Istilah Kunci...................................Error! Bookmark not defined.
BAB II KAJIAN PUSTAKA............................... Error! Bookmark not defined.2.1 Pengertian dan Sejarah Shodo......................Error! Bookmark not defined.2.2 Gaya Tulisan Shodo.....................................Error! Bookmark not defined.2.2.1 Gaya Tensho.........................................Error! Bookmark not defined.2.2.2 Gaya Reisho..........................................Error! Bookmark not defined.2.2.3 Gaya Kaisho......................................... Error! Bookmark not defined.2.2.4 Gaya Gyosho.........................................Error! Bookmark not defined.2.2.5 Gaya Sosho...........................................Error! Bookmark not defined.
2.3 Perlengkapan Shodo.....................................Error! Bookmark not defined.2.3.1 Fude (Kuas)..........................................Error! Bookmark not defined.2.3.2 Sumi (Tinta Cair)..................................Error! Bookmark not defined.2.3.4 Hanshi (Kertas).....................................Error! Bookmark not defined.2.3.5 Shitajiki (Alas)......................................Error! Bookmark not defined.2.3.6 Bunchin (Batu Penahan).......................Error! Bookmark not defined.2.3.7 Segel dan Stempel................................ Error! Bookmark not defined.
2.4 Zen Buddhisme Jepang.................................Error! Bookmark not defined.2.5 Sejarah Zen Budhisme..................................Error! Bookmark not defined.2.6 Masuknya Ajaran Zen Buddhisme di JepangError! Bookmark not defined.2.7 Nilai-Nilai Estetika Zen Buddhisme.............Error! Bookmark not defined.2.7.1 Fukinsei (不均斉).................................Error! Bookmark not defined.2.7.2 Kanso (簡素)........................................ Error! Bookmark not defined.2.7.3 Kokou (枯高)........................................Error! Bookmark not defined.2.7.4 Shizen (自然)........................................Error! Bookmark not defined.2.7.5 Yuugen (幽玄).......................................Error! Bookmark not defined.
x
2.7.6 Datsuzoku (脱俗)..................................Error! Bookmark not defined.2.7.7 Seijaku (静寂).......................................Error! Bookmark not defined.
2.8 Teori Film.................................................... Error! Bookmark not defined.2.8.1 Mise-en-scene.......................................Error! Bookmark not defined.2.8.2 Sinematografi........................................Error! Bookmark not defined.
2.9 Penelitian Terdahulu....................................Error! Bookmark not defined.
BAB III METODE PENELITIAN..................... Error! Bookmark not defined.3.1 Jenis Penelitian.............................................Error! Bookmark not defined.3.2 Sumber Data.................................................Error! Bookmark not defined.3.3 Teknik Pengumpulan Data...........................Error! Bookmark not defined.3.4 Analisis Data................................................Error! Bookmark not defined.3.5 Sistematika Penulisan.................................. Error! Bookmark not defined.
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN........ Error! Bookmark not defined.4.1 Sinopsis Anime Barakamon.........................Error! Bookmark not defined.4.2 Temuan........................................................ Error! Bookmark not defined.4.3 Pembahasan..................................................Error! Bookmark not defined.4.3.1 Fukinsei................................................ Error! Bookmark not defined.4.3.2 Kanso....................................................Error! Bookmark not defined.4.3.3 Kokou....................................................Error! Bookmark not defined.4.3.4 Shizen....................................................Error! Bookmark not defined.4.3.5 Yuugen..................................................Error! Bookmark not defined.4.3.6 Datsuzoku............................................. Error! Bookmark not defined.4.3.7 Seijaku.................................................. Error! Bookmark not defined.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............... Error! Bookmark not defined.5.1 Kesimpulan..................................................Error! Bookmark not defined.5.2 Saran............................................................ Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA........................................... Error! Bookmark not defined.LAMPIRAN..........................................................Error! Bookmark not defined.
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1.1Mu “Nothingnes” karya Kita KamakuraError! Bookmark not defined.Gambar 2.2.1Macam macam gaya tulisan Shodo.......Error! Bookmark not defined.Gambar 4.3.1Warga desa membantu Handa dan Shodo Tanoshii. Error! Bookmarknot defined.Gambar 4.3.2 Kaligrafi nama-nama warga desa......... Error! Bookmark not defined.Gambar 4.3.3 Shodo Tai atau kakap merah.................Error! Bookmark not defined.Gambar 4.3.4 Shodo banner restoran Jepang...............Error! Bookmark not defined.Gambar 4.3.5 Shodo nama orang yang membantu membangun kuil.Error!Bookmark not defined.Gambar 4.3.6 Pergerakan Tangan Handa dan Shodo Tanoshi..Error! Bookmark notdefined.Gambar 4.3.7 Proses pembeuatan Shodo Yuigadokuson-maru.Error! Bookmark notdefined.Gambar 4.3.8 Handa menulis Shodo Hoshi dan hasil seseudah menulisError!Bookmark not defined.Gambar 4.3.9 Shodo hasil latihan Handa.....................Error! Bookmark not defined.Gambar 4.3.10 Handa melihat bintang dan Shodo Hoshi Error! Bookmark notdefined.Gambar 4.3.11 Shodo Kuchi, Renge dan Hane........... Error! Bookmark not defined.Gambar 4.3.12 Tulisan Shodo di atas lambung kapal. Error! Bookmark not defined.Gambar 4.3.13 Shodo Tai atau ikan kakap merah.......Error! Bookmark not defined.Gambar 4.3.14 Kyousuke sedang melihat Shodo Handa. Error! Bookmark notdefined.Gambar 4.3.15 Shodo hasil latihan Handa...................Error! Bookmark not defined.
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Curriculum Vitae......................................Error! Bookmark not defined.Lampiran 2. Sinopsis Anime Barakamon......................Error! Bookmark not defined.Lampiran 3. Biodata Validator..................................... Error! Bookmark not defined.Lampiran 4. Validasi Data............................................Error! Bookmark not defined.Lampiran 5. Validasi Abstrak Bahasa Jepang..............Error! Bookmark not defined.Lampiran 6. Berita Acara Seminar Proposal dan Seminar Hasil.Error! Bookmarknot defined.Lampiran 7. Berita Acara Bimbingan Skripsi...............Error! Bookmark not defined.
xiii
DAFTAR TRANSLITERASI
あ (ア) a い (イ) i う (ウ) u え (エ) e お (オ) o
か (カ) ka き (キ) ki く (ク) ku け (ケ) ke こ (コ) ko
さ (サ) sa し (シ) shi す (ス) su せ (セ) se そ (ソ) so
た (タ) ta ち (チ) chi つ (ツ) tsu て (テ) te と (ト) to
な (ナ) na に (二) ni ぬ (ヌ) nu ね (ネ) ne の (ノ) no
は (ハ) ha ひ (ヒ) hi ふ (フ) fu へ (へ) he ほ (ホ) ho
や (ヤ) ya ゆ (ユ) yu よ (ヨ) yo
ら (ラ) ra り (リ) ri る (ル) ru れ (レ) re ろ (ロ) ro
わ (ワ) wa を (ヲ) wo
が (ガ) ga ぎ (ギ) gi ぐ (グ) gu げ (ゲ) ge ご (ゴ) go
ざ (ザ) za じ (ジ) ji ず (ズ) zu ぜ (ゼ) ze ぞ (ゾ) zo
だ (ダ) da ぢ (ヂ) ji づ (ヅ) dzu で (デ) de ど (ド) do
ば (バ) ba び (ビ) bi ぶ (ブ) bu べ (べ) be ぼ (ボ) bo
ぱ (パ) pa ぴ (ピ) pi ぷ (プ) pu ぺ (ペ) pe ぽ (ポ) po
きゃ (キャ) kya きゅ (キュ) kyu きょ (キョ) kyo
しゃ (シャ) sha しゅ (シュ) shu しょ (ショ) sho
ちゃ (チャ) cha ちゅ (チュ) chu ちょ (チョ) cho
にゃ (ニャ) nya にゅ (ニュ) nyu にょ (ニョ) nyo
ひゃ (ヒャ) hya ひゅ (ヒュ) hyu ひょ (ヒョ) hyo
みゃ (ミャ) mya みゅ (ミュ) myu みょ (ミョ) myo
りゃ (リャ) rya りゅ (リュ) ryu りょ (リョ) ryo
xiv
ぎゃ (ギャ) gya ぎゅ (ギュ) gyu ぎょ (ギョ) gyo
じゃ (ジャ) ja じゅ (ジュ) ju じょ (ジョ) jo
ぢゃ (ヂャ) ja ぢゅ (ヂュ) ju ぢょ (ヂョ) jo
びゃ (ビャ) bya びゅ (ビュ) byu びょ (ビョ) byo
ぴゃ (ピャ) pya ぴゅ (ピュ) pyu ぴょ (ピョ) pyo
ん (ン) :ditulis n, diucapkan N, apabila huruf berikutnya setelah huruf Nadalah huruf (n, s,t,dan d). Contoh:せんせい (sensei)
Diucapkan M, apabila huruf berikutnya setelah huruf N adalah (p, b,dan m). Contoh:しんぶん(shinbun)
Diucapkan Ng, apabila huruf berikutnya setelah huruf N adalah (k, g)dan konsonan N terletak di akhir kata. Contoh:りんご (ringo)
つ (ツ) :menunjukkan konsonan rangkap. Contoh: にっけい(nikkei)
Bunyi panjang ditulis dengan tanda vokal rangkap, seperti:
あ aa; Contoh:おかあさん (okaasan)
い ii; Contoh:ちいさい(chiisai)
う uu; Contoh:ゆうめい (yuumei)
え ee; Contoh:おねえさん (oneesan)
お oo/ou; Contoh:おおきい (ookii)じゅうよう (juuyou)
Partikelは (ha) dibaca (wa)
Partikelを (wo) dibaca (o)
Partikelへ (he) dibaca (e)
Contoh:ジュンださんは饂飩を食べています。
Junda san wa udon o tabeteimasu.
15
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,
pemikiran, perasaan, ide, semangat keyakinan, dalam suatu bentuk gambaran
konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa (Sumardjo dan Saini
dalam Rokhmansyah, 2014:2). Di dalam sastra terdapat tiga genre utama, yaitu
puisi, prosa, dan drama. Dalam perkembangannya, puisi, prosa dan drama
memiliki berbagai macam cara untuk menampilkan dan menyampaikan isi dari
ketiga genre sastra tersebut. Misalnya drama yang sudah seringkali ditampilkan
langsung ataupun di media elektronik seperti televisi.
Berbicara tentang drama, pada mulanya drama lebih sering ditampilkan
melalui pementasan secara langsung. Namun seiring dengan perkembangan
zaman, ada berbagai macam cara untuk menampilkan sebuah drama, salah
satunya melalui media elektronik baik radio maupun televisi. Drama sendiri
memiliki beberapa unsur pembentuk, antara lain tokoh, amanat, bahasa, dialog,
alur, latar, tema, dan petunjuk teknis. Menurut Rokhmansyah (2014:40) drama
berati perbuatan, tindakan atau aksi.
Dewasa ini, drama ada juga yang ditampilkan dalam bentuk animasi.
Animasi adalah serangkaian gambar yang bergerak dengan cepat secara
berkelanjutan yang memiliki hubungan antara satu dan yang lainnya (Yudhistira
2
dan Adjie, 2007: 143). Banyak negara yang sudah menghadirkan pertunjukan
drama dalam bentuk animasi, salah satunya adalah negara Jepang. Di Jepang,
animasi lebih dikenal dengan sebutan anime.
Anime di Jepang pertama kali hadir pada tahun 1960 dengan tayangan
perdana berjudul Mitsu no Hanashi yang merupakan sebuah cerita antologi dan
terdiri dari 3 cerita dongeng. Meskipun pada dasarnya anime bukanlah produk asli
Jepang, namun sekarang anime sudah dianggap sebagai salah satu kebudayaan
modern khas Jepang. Dikatakan khas Jepang, karena walaupun telah tercampur
dengan perkembagan teknologi yang membuat anime kini kian berisikan konten
modern, anime tetap membudidayakan kebudayaan Jepang yang digunakan juga
untuk mempromosika kultur Jepang di dalam anime (Bitteraty, 2016:64). Karena
anime telah menjadi salah satu industri yang memegang peranan penting dalam
perekonomian Jepang. Pemerintah Jepang melalui kementrian kebudayaan rela
menggelontorkan dana sebesar 500.000 USD sebagai dana pendidikan dan
pengembangan anime, agar anak-anak Jepang mampu dan terus kreatif dalam
memberikan sumbangsih terhadap perkembangan anime di dunia (Rido dkk,
2015:83)
Kebudayaan Jepang sangatlah beragam, baik kebudayaan modern maupun
tradisional. Menurut buku “The Japanese Mind, Understanding Contemporary
Japanese Culture, sejarah kebudayaan Jepang selalu ditandai dengan Iitoko-Dori,
yaitu kemampuan mengadopsi kebudayaan asing yang selanjutnya berasimilasi
menjadi budaya setempat yang unik (Maulana, 2007:14). Impor kebudayaan
mulai terjadi di Jepang dari benua Asia Timur sejak tahun 300 SM, dimulai dari
3
penggunaan besi dan cara bercocok tanam. Kebudayaan menurut Ienaga Saburo
(dalam Simutorang dan Hamazon, 2009:3) terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem
kepercayaan dan seni.
Hubungan antara agama dan kebudayaan sepanjang sejarah tidak pernah
statis, sebaliknya selalu dinamis (Schumann, 2003:434). Begitu juga kebudayaan
Jepang, sebagian besar kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan
bangsa Jepang. Ada beberapa agama salah satunya adalah agama Buddha. Agama
Buddha merupakan agama yang berasal dari India. Ajaran ini dibawa oleh seorang
bernama Sidrata Gautama. Agama Buddha kemudian berkembang dengan cepat di
dataran Asia, mulai dari China, Korea, hingga Jepang. Pada perkembangannya,
agama Buddha terbagi menjadi tiga aliran utama, yaitu Hinayana, Mahayana dan
Vajrana. Agama Buddha masuk ke Jepang pada pertengahan abad ke-6 M dari
Cina karena adanya gelombang kedua impor kebudayaan. Agama Buddha
akhirnya menjadi agama mayoritas penduduk Jepang dan berpengaruh kuat pada
seni dan arsitektur Jepang (Maulana, 2007:14).
Seni merupakan salah satu hasil kebudayaan yang diciptakan manusia
untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan (Nurintan, 2010:1).
Seni Murni atau Pure Art adalah seni yang terutama menghasilkan karya-karya
dengan kepentingan estetis seperti seni lukis, seni pahat, seni kriya, seni musik
dan sebagainya (Dharmawan, 1987:1). Menurut Kartika dan Perwira (2004:3) ada
tiga macam pengertian keindahan, yaitu:
4
1. Keindahan dalam arti luas segala sesuatu yang di dalamnya terdapat nilai
kebaikan.
2. Keindahan dalam arti estetika murni menyangkut pengalaman estetis dari
seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya.
3. Keindahan dalam arti terbatas lebih disempitkan sehingga hanya
menyangkut benda-benda yang dicerap dengan pengelihatan, yakni berupa
keindahan bentuk dan warna secara kasat mata.
Masyarakat umum masing-masing memiliki pandangan tentang estetika
yang berbeda-beda tergantung faktor yang mempengaruhinya, antara lain: agama,
sosial, ekonomi, budaya.
Berbicara mengenai kesenian Jepang, Kaligrafi Jepang atau Shodo adalah
salah satu kesenian yang senantiasa dilestarikan oleh masyarakat Jepang, sehingga
masih bisa dijumpai pada zaman modern. Shodo memiliki banyak peminat tidak
hanya di negara Jepang sendiri, namun hampir di seluruh dunia termasuk
Indonesia. Dewasa ini, di Jepang Shodo telah diperkenalkan sejak usia sekolah
dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Shodo begitu diminati oleh sebagian orang
karena selain menyuguhkan keindahan sebuah tulisan, juga menyimpan sebuah
pesan atau makna. Salah satu contohnya adalah Shodo “Mu” karya Kita Kamakura.
“Mu” melambangkan ideologi Zen Buddhisme paling fundamental. Bagi
kebanyakan master Zen dan seniman Zengo, “Mu” merupakan jantung dari Zen
dan perwujudan dari ajaran Zen Buddhisme (Sato, 2013:38). Pembuatan sebuah
karya Shodo yang begitu unik juga menjadi tontonan hiburan bagi masyarakat
Jepang dan penikmat Shodo yang ada di berbagai penjuru dunia. Berbeda dengan
5
kesenian yang lain, seperti menari, memahat, bela diri, yang notabennya memiliki
tingkat kesulitan untuk diikuti, Kaligrafi justru dapat dengan mudah diterapkan
oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini dikarenakan kegiatan menulis sudah
mengakar dan menjadi kebiasan setiap orang.
Shodo adalah salah satu kesenian Jepang yang juga memiliki nilai estetika
tinggi. Shodo lahir dari asimilasi kebudayaan dan mendapat pengaruh dari unsur
keagamaan. Dalam proses pembuatan Shodo, seorang Shodoka harus
memperhatikan detail penulisannya. Tidak hanya sekedar menulis di atas kertas
dengan tinta, melainkan ada tata cara bagaimanan sebuah tulisan Shodo dihasilkan,
mulai dari persiapan, proses ketika menulis Shodo, dan juga hasil akhir dari Shodo
itu sendiri. Untuk menciptakan Sho sebagai bagian seni tidak hanya membutuhkan
persiapan fisik, melainkan juga persiapan jiwa. Seseorang pencipta sho, dengan
konsentrasi dan pemusatan energi, dapat mengambil kuas dan dalam jangka waktu
yang cepat mengeksekusi sebuah huruf (Sato, 2013:10). Artinya perlu ada
pengendalian antar fisik dan jiwa dalam menulis sebuah karya Shodo. Hal ini
selaras dengan prinsip Zen Buddhisme.
Zen Buddhisme merupakan faktor agama yang juga memiliki peranan
penting dalam pembentukan sebuah nilai estetika. Zen Buddhisme sendiri adalah
salah satu sekte dari Buddha Mahayana. Sekte ini menitikberatkan ajarannya pada
cara hidup yang benar atau disiplin dan melatih diri (Djatiprambudi, 2012:2).
Tujuannya satu, yaitu untuk mencapai pencerahan. Metode yang digunakan
adalah Zazen atau meditasi.
6
Gambar 1.1.1 Mu “Nothingnes” karya Kita Kamakura
Kebudayaan Jepang sudah banyak yang telah dipromosikan melalui anime.
Salah satu anime yang mengenalkan kebudayaan Jepang dengan latar kesenian
Shodo adalah anime Barakamon. Barakamon sendiri bercerita tentang seorang
kaligrafer profesional bernama Seishu Handa yang mengalami krisis kepercayaan
terhadap hasil tulisan Shodo yang dimiliki. Hal itu lantaran adanya kritik dari
direktur pemilik sekaligus penyelenggara pameran Eika, yang juga dari sana
terjadilah sebuah insiden pemukulan yang dilakukan Handa kepada direktur
pengelola pameran Eika. Untuk menenangkan diri akibat kalah dari perlombaan
dan juga insiden pemukulan ketua pelaksana pameran Shodo, Handa pergi ke
pulau Goto atas saran ayah Handa. Masyarakat di pulau Goto banyak membantu
Handa dalam menemukan gaya menulis Shodo yang Handa inginkan. Handa
tinggal di sebuah rumah milik kepala desa yang dulu menjadi tempat tinggal ayah
Handa. Di pulau Goto, Handa bertemu dengan anak kecil bernama Naru serta
anak pulau Goto lainnya yang senantiasa menemani di manapun Handa berada
dan selalu membantu Handa ketika Handa mengalami kesulitan. Selain
menemukan gaya tulisan yang diinginkan, interaksi sosial yang Handa alami
7
ketika berada di pulau Goto dapat merubah sikap yang Handa miliki menjadi lebih
baik.
Penulis mengamati bahwa Shodo merupakan kebudayaan Jepang yang
masih dilestarikan, dan juga memiliki peminat yang semakin bertambah, termasuk
di Indonesia. Anime Barakamon sendiri juga mampu menyajikan poin agama dan
juga kesenian Shodo. Penulis ingin menjadikan penelitian ini sebagai sebuah
bentuk perkenalan terkait kesenian Shodo dengan faktor agama sebagai
pendukungnya dan juga memberi informasi bagi setiap orang yang ingin belajar
Shodo. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengambil skripsi dengan judul “Nilai
Estetika Zen Buddhisme Kaligrafi Jepang (Shodo) dalam Anime Barakamon
Karya Masaki Tachibana”.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Nilai estetika Zen Buddhisme apa saja yang terkandung di dalam kaligrafi
Jepang (Shodo) pada anime Barakamon Karya sutradara Masaki
Tachibana?
1.2.2 Bagaimana representasi nilai estetika Zen Buddhisme kaligrafi Jepang
(Shodo) pada anime Barakamon Karya sutradara Masaki Tachibana?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui jenis-jenis estetika Zen Buddhisme kaligrafi Jepang
(Shodo) pada anime Barakamon karya sutradara Masaki Tachibana.
1.3.2 Untuk mengetahui representasi nilai estetika Zen Buddhisme pada
kaligrafi Jepang (Shodo) pada anime Barakamon karya sutradara Masaki
Tachibana.
8
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan tambahan ilmu bagi penulis
terkait Shodo. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih ilmu baru
dalam bidang kesusastraan. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat
menjadi sumber referensi untuk penelitian skripsi yang akan datang mengenai
Shodo. Dalam bidang kebudayaan penelitian ini diharapkan dapat menjadi
penghubung pertukaran budaya antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat
Jepang terkait hal-hal yang terdapat dalam Shodo
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan judul skripsi yaitu “Nilai Estetika Zen Buddhisme Kaligrafi
Jepang (Shodo) dalam Anime Barakamon Karya Sutradara Masaki Tachibana”
maka penelitian kali ini membahas mengenai nilai Zen Buddhisme apa saja yang
terkandung pada Shodo yang terdapat dalam anime Barakamon. Penelitian ini
hanya berfokus pada setiap adegan dalam anime Barakamon yang berkaitan
dengan proses pembuatan Shodo dan juga karya Shodo yang dihasilkan. Adapun
teori yang digunakan, penulis memilih teori dari Hisamatsu Shin’ichi sebagai
dasar nilai estetika Zen Buddhisme, yang terdiri dari Fukinsei, Kanso, Kokou,
Shizen, Yuugen, Datsuzoku ,dan Seijaku. Selain itu penelitian ini hanya berfokus
untuk memberikan gambaran setiap karakteristik Zen Buddhisme saja, dan tidak
menganalisis nilai keseluruhan setiap Shodo, karena adegan pembuatan Shodo
yang ditampilkan dalam anime ini tidak menyeluruh dari awal hingga akhir.
1.6 Definisi Istilah Kunci
9
Estetika:
Merupakan suatu cabang filsafat yang mengartikan atau berhubungan
dengan gejala yang indah pada alam dan seni. Estetika berasal dari bahasa Yunani
“aisthetika” yang berarti hal-hal yang dapat diserap panca indra. Dengan demikian,
estetika dapat dikatakan sebagai presepsi indra.
Shodo:
Kesenin khas Jepang berupa seni menulis huruf Jepang yaitu kanji serta
hiragana dan katakana atau perpaduan keduanya di atas kertas dengan
menggunakan tinta.
Zen Buddhisme:
Cabang ajaran Buddha dari aliran Buddha Mahayana yang mulai
berkembang di Jepang pada era Kamakura, setelah dua orang pendeta Zen asli
Jepang yaitu Eisei dan Dogen mulai memperkenalkan ajaran Zen kepada
masyarakat Jepang. Ajaran Zen menekankan pada realitas dan pengalaman serta
interaksi secara langsung melalui hati ke hati untuk mencapai pencerahan.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Sejarah Shodo
Menurut Sato (2013:10) kombinasi dari sumi (tinta hitam) dan kuas untuk
menciptakan huruf-huruf China disebut Shodo atau Jalan (do) dan Menulis (sho).
Shodo merupakan salah satu bentuk asimilasi kebudayaan dari negara China.
China telah mengenal cara menulis semenjak 3500 tahun yang lalu. Pada mulanya
bangsa China menulis di atas permukaan tulang hewan, kulit kura-kura dan batu
untuk meyediakan dokumen demi kepentingan administrasi serta perkataan dan
prediksi dari Tuhan. Penemuan kuas (pit) pada abad ke-3 SM memberikan
perubahan besar, dan secara revolusioner melahirkan karakter aksara China. Pada
mula abad masehi (tahun 320), kemampuan untuk menulis aksara yang menjadi
dasar kaligrafi China tidak dikenal luas oleh masyarakat, melainkan hanya
menjadi konsumsi bagi keluarga kerajaan saja (Subarna. Dkk, 2006:100). Selain
untuk kepentingan pendidikan keluarga kerajaan, berkembangnya sistem
administrasi kerajaan terkait pencatatan data, kegiatan dan pelayanan kerajaan
merupakan faktor-faktor yang mendukung perkembangan kaligrafi China.
Kaligrafi dari tradisi China mulai diperkenalkan kepada bangsa Jepang
sekitar tahun 600 M yang diawali dengan masuknya aksara China ke Jepang.
Sama seperti halnya di China, awal mula perkembangan seni kaligrafi Jepang
dimulai dari keluarga kekaisaran Jepang. Kaligrafi menjadi bagian yang sangat
11
penting bagi pendidikan keluarga kekaisaran Jepang. Keluarga kekaisaran dan
para bangsawan mempelajari kaligrafi dari puisi China dengan cara yang artistik,
sehingga berkembang menjadi sebuah kesenian yang sangat halus. Pada saat yang
sama sebuah gaya kaligrafi yang unik muncul di Jepang, terutama untuk
berurusan dengan unsur-unsur pengucapan yang tidak dapat ditulis dengan
karakter yang dipinjam dari Cina. Kaligrafer Jepang sendiri selain mencoba
menyesuaikan dengan karakter dasar, yaitu kanji yang sudah ditentukan berabad-
abad sebelumnya, juga mengembangkan karakter baru yang lebih fleksibel dan
bebas, sesuai dengan kondisi masyarakat Jepang yang disebut karakter hiragana
dan katakana. Selama berabad-abad, ada sebuah pengaruh yang menopang
kaligrafi Jepang. Salah satunya tulisan indah Zen Buddhisme yang dimulai pada
zaman Kamakura (1185-1333 M) dan pada saat itu kaligrafi Zen mulai diajarkan
oleh para pendeta Buddha (Sato, 2014:12)
Pada zaman Heian, banyak terjadi pemberontakan kepada kekaisaran
Jepang. Akhirnya untuk meredam pemberontakan, Kaisar Shotoku memerintahkan
untuk membuat ribuan kaligrafi dari kata-kata bijaksana Buddha yang kemudian
disebarkan ke seluruh penjuru istana (Subarna dkk, 2006:102). Kaligrafi yang
digunkan pada saat itu masih menggunakan aksara China. Sedangkan penulisan
kaligrafi yang menggabungkan antra aksara China atau yang disebut kanji dengan
huruf hiragana maupun katakana dimulai pada abad ke-17 dan ke-18. Seperti
halnya kebudayaan Jepang lainnya, pembelajaran Shodo juga menduplikat atau
mengikuti seorang master Shodo. Di sekolah-sekolah, para pelajar menggunakan
12
buku panduan idiogram dan saat para pelajar mengambil pelajaran tambahan
Shodo di luar sekolahpun menggunakan buku panduan (Sato, 2013:12).
2.2 Gaya Tulisan Shodo
Sato (2013:18) dalam bukunya “Shodo: The Quiet Art of Japanese Zen
Calligraphy” membagi gaya penulisan Shodo ke dalam 5 karakter utama, yaitu:
Tensho, Reisho, Kaisho, Shoso dan yang terakhir Gyosho. Kelima gaya tulisan
Shodo ini diguakan dalam waktu yang berbeda-beda.
2.2.1 Gaya Tensho
Gaya Tensho merupakan gaya tulisan tertua yang terdapat dalam Shodo.
Gaya Tensho dikenal juga dengan tulisan segel, sebuah gaya kaligrafi formal yang
diciptakan generasi awal untuk digunakan dengan cara diukir di atas lembaran
batu, atau monumen dan juga pada hiasan stempel atau segel untuk menandakan
kepemilikan. Pada masa sekarang gaya ini lebih banyak digunakan pada segel
atau stempel untuk menandakan siapa penulis dari sebuah karya Shodo.
2.2.2 Gaya Reisho
Reisho terkadang juga bisa disebut tulisan administrasi atau karakter ahli
kitab. Pada tahun 221 SM kaisar China dari dinasty Tsin yaitu kaisar Shin Huan
Ti memerintahkan diadakan pertemuan untuk membahas gaya tulisan huruf-huruf
yang sudah ada agar dirubah ke dalam bentuk Reisho. Hal ini bertujuan untuk
membuat tulisan lebih mudah diakses masyarakat banyak. Gaya ini sangat
dipengaruhi oleh gaya Tensho yang mana dibuat oleh generasi awal. Walaupun
13
aspek hiasan dari gaya Tensho telah diadaptasi oleh gaya Reisho, namun gaya
Reisho tetap lebih sederhana, dengan lebih sedikit goresan, sehingga mampu
untuk dibaca oleh kebanyakan orang. Huruf-huruf dalam gaya Reisho selalu lebih
panjang secara horisontal. Yang unik dari gaya Reisho adalah ketika membuat
sebuah garis horisontal, dimulai dengan bulatan, tetapi kemudian ketika sampai di
akhir garis menjadi seperti anjungan kapal. Namun pada hari ini, para kaligrafer
akan menulis gaya Reisho dengan lebih bebas dari sebelumnya sesuai dengan
karater pribadi masing-masing. Gaya Reisho masih tetap digunakan pada zaman
sekarang, khususnya ketika pameran Shodo yang dikombinasikan dengan puisi
China. Kemudian sebagai nama produk atau perusahaan, karena lebih sederhana
dan lebih mudah dibaca. Selain itu, gaya Reisho juga digunakan oleh pekerja
pembuat ukiran stempel batu, khususnya stempel kantor, yang mana berfungsi
sebagai tanda tangan kantor di Asia (Sato, 2013:18).
2.2.3 Gaya Kaisho
Kaisho secara harfiah berarti “menulis benar”. Gaya Kaisho merupakan
bentuk sederhana dari gaya Reisho dan gaya yang digunakan di China dan Jepang
untuk menulis sehari-hari. Sering disebut sebagai “tulisan blok” gaya Kaisho
merupakan gaya termudah untuk membaca karena sifatnya yang tepat. Karena
memang faktanya bentuk dan jumlah goresan ditempatkan pada tempat yang telah
ditentukan dan juga urutannya yang sama. Menulis dengan gaya Kaisho sama
halnya kita menaiki tangga satu langkah pada satu waktu. Urutan dari goresan
yang akan ditempatkan harus diikuti dengan baik goresan demi goresan. Pada
buku panduan, goresan-goresan huruf diberi nomer, sehingga setiap goresan harus
14
diikuti dengan benar sesuai urutan. Karena itu, setiap pelajar yang baru belajar
Shodo akan mengawali dengan menggunakan gaya Kaisho, karena itu memberi
kesempatan bagi para pemula untuk melatih urutan goresan ketika mereka
menggunakan kuas. Gaya Kaisho sendiri memang mulai dikembangkan ketika
kuas yang terbuat dari bahan bulu hewan mulai tersedia (Sato, 2013:19).
2.2.4 Gaya Gyosho
Gyosho merupakan tulisan “semi fleksibel” yang secara harfiah berarti
“tulisan perjalanan.” Menulis dengan gaya Gyosho menggunakan tempo yang
lebih cepat dari pada menulis dengan gaya Kaisho. Gaya Gyosho juga merupakan
gaya yang semi-formal, sehingga penampilan huruf lebih lembut, bulat dan
disertai goresan individu yang mengalir bersama. Ketika menulis dengan gaya
Kaisho, pergerakan kuas berhenti ketika berada di akhir setiap goresan.
Sedangkan gaya Gyosho bertujuan untuk membuat sebuah peralihan yang lembut
antara goresan sebelumnya dengan goresan selanjutnya. Dengan demikian awalan,
akhiran, dan pembentukan sudut goresan tidak diberi penekanan yang sama
seperti gaya Kaisho, begitu juga akhir dari goresan gaya Gyosho, yaitu meruncing
seperti sebuah untaian yang halus. Selain itu, garis-garis kompleks pada huruf
Kaisho telah disederhanakan atau bahkan berkurang sehingga menghasilkan
tulisan yang halus dan lebih cepat. Namun pada dasarnya, formasi huruf gaya
Gyosho terlihat mirip dengan gaya Kaisho. Dengan demikian semua orang yang
dapat membaca huruf Kaisho dapat juga membaca huruf dengan gaya Gyosho.
(Sato, 2013:20)
15
Satu hal yang sangat penting sebagai syarat untuk menulis dengan gaya
Gyosho adalah seseorang harus mengetahui urutan goresan dan juga bentuk dari
huruf dalam gaya Kaisho, jika tidak huruf tersebut tidak dapat dibaca. Penting
dalam seni Shodo adalah seseorang harus dapat membaca sebuah huruf yang
dihasilkan dari gaya tulisan tertentu. Jika tidak, sebagus apapun sebuah tulisan
yang dihasilkan, hanya akan menjadi sebuah karya seni yang abstrak. Kemudian,
karena gaya Gyosho memberikan sensasi kecepatan dan fleksibilitas pada
pergerakan kuas dibandingkan dengan gaya Kaisho, memungkinkan seseorang
untuk menciptakan gaya sesuai dengan kepribadian dalam membentuk huruf yang
ditulis. Perubahan dalam urutan goresan dapat diterima, seperti halnya
menyesuaikan goresan kuas yang sesuai dengan gaya sendiri dan untuk kreativitas
yang memiliki nilai seni. Fleksibilitas pada gaya Gyosho juga memungkinkan
seorang Shodoka untuk meghasilkan karya-karya yang luar biasa. Alasan ini juga
yang membuat kebanyakan kaligrafi Jepang ditulis menggunakan gaya Gyosho,
termasuk tulisan Bokuseki oleh pendeta Zen (Sato, 2013:20).
2.2.5 Gaya Sosho
Gaya Sosho merupakan gaya paling tidak formal dalam penulis huruf
Jepang. Gaya ini seperti layaknya seseorang menulis miring di daerah Barat.
Goresan kuas dan aliran pergerakan lebih diminimalkan pada setiap garisnya,
seperti rumput yang tertiup angin di padang rumput atau air mengalir yang
menggerakkan tanaman di sungai. Oleh karena itu gaya Sosho sering disebut
sebagai “tulisan rumput.” Gaya Sosho lebih seperti komunikasi sehari-hari yang
santai atau digunakan sebagai catatan pribadi, sehingga dari sana dapat terlihat
16
dengan jelas seperti apa kepribadian seorang penulis Shodo. Aspek ini
menyebabkan gaya Sosho sangat artistik atau memiliki nilai seni yang tinggi dan
merupakan gaya tulisan ringkas pada zaman kontemporer (Sato, 2013:21).
Tidak semua orang dapat menulis dengan gaya Sosho. Untuk menulis
dengan gaya Sosho harus benar-benar memahami urutan goresan dari gaya Kaisho
dan Gyosho. Tanpa pengetahuan yang kuat akan syarat menulis gaya Sosho,
tujuan dan efek dari kesederhanaan yang tinggi dari garis gaya Sosho tidak akan
dapat diciptakan oleh seorang kaligrafer, dan keseluruhan improvisasi visual yang
penting untuk menunjukkan ekspresi pribadi tidak akan berhasil dicapai. Karena
gaya Sosho telah menjadi begitu personal, orang-orang jepang tidak menggunakan
gaya Sosho untuk menulis sehari-hari. Faktanya gaya Sosho sangat abstrak, dan
hanya dapat dibaca oleh orang yang telah berpengalaman dalam bidang kaligrafi
yang mampu menghargai nilai estetika dan gaya artistik aliran bebas (Sato,
2013:21).
Sepanjang zaman Heian (794-1185 M) sistem fonetik hiragana mulai
dikembangkan dari gaya Sosho dan dianggap sebagai gaya menulis wanita.
Sekarang, kaligrafer profesional dan juga pendeta Zen selalu menggunakan gaya
Sosho untuk menulis huruf-huruf China. Namun karena fokusan utama pada
kuwalitas penampakan garis dan karena inofasi serta modifikasi dapat merubah
bentuk huruf, masyarakat pada umumnya selalu menemukan kesulitan untuk
membaca kaligrafi gaya Sosho. Berikut adalah contoh tulisan Shodo dari gaya
Tensho hingga Sosho
17
Tensho Reisho Kaisho Gyosho Sosho
Gambar 2.2.1 Macam-macam gaya tulisan Shodo
2.3 Perlengkapan Shodo
Zen Buddhisme masuk dan mulai berkembang di Jepang saat zaman
Kamakura (1185-1333) yang menggabungkan antara dua paham yaitu
Konfusianisme dan Taoisme. Sejalan dengan itu, para tentara yang telah pensiun
dan juga pedagang kaya membentuk kelompok yang mengatasnamakan diri
mereka sebagai Bunjin (bun=literatur; jin=orang). Kelompok ini sangat mahir
dalam membaca dan menulis. Lebih khusus lagi, kelompok Bunjin ini juga terlibat
dalam pembuatan lukisan yang disertai dengan puisi China atau Jepang. Beberapa
kesenian juga turut dilestarikan, seperti kaligrafi, melukis, dan upacara minum teh
yang kemudian menjadi sebuah hiburan yang sangat penting. Empat harta karun
dari peradaban China kuno menjadi barang yang sangat dihormati oleh para
anggota Bujin. Keempat alat ini digunakan untuk menulis Shodo atau lukisan
(Sato, 2013:26) . Selain itu ada beberapa alat lainnya yang digunakan sebagai
pendukung untuk menulis khususnya Shodo dan melukis yang masih digunakan
hingga sekarang. Alat-alat tersebut sangat identik dengan unsur alam, karena
memang bahan dasar pembuatan alat-alat menulis dan melukis tersebut
menggunakan material alam. Alat-alat tersebut adalah:
18
2.3.1 Fude (Kuas)
Huruf-huruf China telah mengalami perubahan gaya penulisan dari masa
ke masa. Setiap gaya baik Tensho, Reisho, Kaisho, Gyosho, Sosho memiliki kuas
khusus untuk menulis. Sekarang ini, kuas Shodo terbuat dari berbagai macam bulu
hewan, namun pada zaman dahulu kuas terbuat dari akar kering tumbuhan, serat
halus rumput savana, atau jerami padi. Ada juga yang terbuat dari bambu yang
mana ujung bambu dibuat seperti serabut. Kuas dari bambu ini masih digunakan
oleh kaligrafer untuk menulis hingga sekarang (Sato, 2013:26-27).
2.3.2 Sumi (Tinta Cair)
Sumi atau tinta terbuat dari pembakaran beberapa jenis minyak dan
mineral. Ketika jelaga yang merupakan hasil dari pembakaran dicampur dengan
perekat Nikawa, akan menghasilkan tinta berwarna coklat yang mana tinta coklat
paling cocok dengan kaligrafi pada umumnya. Kemudian ketika jelaga hasil dari
pembakaran getah cemara dicampur dengan Nikawa, maka akan menghasilkan
tinta berwarna biru. Begitu juga dengan tinta berwarna hitam, keseluruhannya
juga mengandung bahan perekat (Sato, 2013:27-28).
2.3.3 Suzuri (Tinta batu)
Suzuri merupakan jenis tinta padat yang dihasilkan dari batuan sedimen
dengan cara digosok pada bagian permukaannya kemudian dilarutkan
menggunakan air.
2.3.4 Hanshi (Kertas)
19
Orang yang baru belajar Shodo pada umumnya dapat menggunakan koran
bekas yang sudah tidak terpakai sebagai media untuk berlatih. Tetapi ketika
seseorang sudah mencapai level yang lebih tinggi dalam menulis Shodo, seperti
dapat membuat efek nijimi atau efek kuas kering, disarankan mengguanakan
kertas yang memiliki kuwalitas baik. Kertas latihan Shodo pada umumnya disebut
sebagai Hanshi yang memiliki berbagai macam variasi pada kuwalitas dan juga
harga. Hanshi sendiri terbuat dari serat pohon Cedar. Lembaran yang besar
kemudian dipotong pada bagian tengahnya, maka dari itu disebut Hanshi
(han=setengah; shi=kertas). Biasanya ukuran Hanshi adalah 33 x 24 cm (Sato,
2013:29).
2.3.5 Shitajiki (Alas)
Shitajiki merupakan alas untuk kertas Shodo, yang mana berfungsi sebagai
alat penahan tinta agar tidak sampai menembus lantai.
2.3.6 Bunchin (Batu Penahan)
Bunchin adalah batu yang diletakkan diatas Hanshi untuk membuat
Hanshi tetap pada posisi semula ketika menulis Shodo.
2.3.7 Segel dan Stempel
Tanda tangan digunakan untuk menghubungkan antara sebuah karya seni
dengan seorang seniman tertentu di daerah barat. Namun di Jepang, Seorang
Shodoka baik laki-laki atau perempuan, menggunakan segel Inkan atau sebuah
“cap.” Biasanya, huruf untuk nama seorang Shodoka ditulis dengan warna putih
20
dengan latar belakang warna merah. Ada pula beberapa pilihan warna yang
digunakan sebagai pigmen pada lapisan stempel (Shuniku) yaitu kisaran warna
merah hingga jingga, atau warna merah hingga merah tua, tergantung dari efek
yang diinginkan, apakah efek modern atau efek klasik (Sato, 2013:29).
2.4 Zen Buddhisme Jepang
Banyak orang beranggapan bahwa Zen merupakan suatu hal yang sulit.
Padahal huruf China yang digunakan untuk kata Zen memiliki arti “menunjukkan
kesederhanaan”. Seperti yang tercermin dalam huruf Zen sendiri, Zen adalah
ajaran yang jelas dan singkat (Harada dalam Nurintan, 2009:31). Zen setidaknya
memiliki tiga arti yang berbeda namun masih saling berhubungan. Seperti yang
diungkapkan Chrismas Humpreys (dalam Nurintan, 2009:31) bahwa:
1. Zen berati meditasi. Zen adalah istilah Jepang untuk mengungkapkan Chan
dalam bahasa China yang bila ditelusuri berasal dari bahasa Sansekerta
Dhyana.
2. Zen dalam arti khusus, adalah nama dari kekuatan absolut atau realitas
tinggi, yang tidak dapat disebutkan dengan kata-kata.
3. Zen dalam arti umum adalah pengalaman mistis akan keabsolutan
kekuatan tersebut, suatu kesadaran, tiba-tiba dan di luar batas. Pengalaman
mistis ini dikenal dengan istilah Satori atau Kensho dalam bahasa Jepang
dan Wu dalam bahasa China.
Ketiga arti Zen ini saling berkaitan satu sama lain. Meditasi secara umum
adalah cara utama untuk mendapatkan pengalaman langsung dengan realitas
21
tinggi. Selain meditasi untuk mencapai realitas tertinggi, orang yang melakukan
meditasi mungkin akan mengalami pemahaman realitas kosmis ini dalam situasi
yang penuh inspirasi saat mengalami kesadaran spiritual (Nurintan, 2009:31).
Zen Buddhisme, seperti yang diketahui, merupakan ajaran yang lebih
menekankan pada interaksi dari hati ke hati dalam setiap aktivitasnya, sehingga
tidak terlalu bergantung kepada buku-buku, dokumen-dokumen ataupun teori-
teori. Bodhidharma menekankan bahwa dalam pembinaan spiritual, intinya adalah
pada pengalaman langsung, bukan belajar melalui buku (Kiew Kit dalam Nurintan,
2010:36). Pengajaran Zen tidak akan mudah dipahami jika hanya melalui kata
atau bahasa, namun perlu adanya pengalaman pribadi. Meskipun demikian,
seseorang bukan tidak mungkin belajar pemahaman Zen melaui sebuah buku
ataupun teori-teori yang sudah ada, karena melalui buku seseorang dapat
dipersiapkan untuk memperoleh pencerahan (Nurintan, 2009:36).
Ajaran Zen Buddhisme tidak hanya berfokus pada urusan agama saja,
melainkan mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari dalam penerapannya.
Para rahib Zen dikatakan tidak pernah berdoa untuk dirinya sendiri, tetapi juga
selalu mendoakan seluruh umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Jikalau
pernah, hal itu hanyalah sebuah bentuk penyesalan atas setiap kesalahan yang
pernah para rahib lakukan dan bukan meminta pertolongan (Nurintan, 2009:36).
2.5 Sejarah Zen Budhisme
Zen Buddhisme merupakan salah satu aliran utama Buddhisme Mahayana.
Mahayana sendiri memiliki dua pandangan bagaimana cara agar setiap manusia
22
dapat memperoleh keselamatan, yaitu Jiriki (upaya sendiri) dan Tariki (upaya dari
yang lain). Zen menganut pandangan yang pertama yaitu Juriki, bahwa untuk
memperoleh keselamatan, manusia harus berupaya dengan usaha mereka sendiri.
Zen Buddhisme awalnya berkembang di daratan China. Pertama kali
diperkenalkan oleh seorang bernama Bodhidharma (440-528), seorang biarawan
India yang kemudian disebut Patriaki Pertama dalam penyebaran ajaran Zen di
China. Bodhidharma pertama kali tiba di Jepang pada tahun 520, kemudian
diundang oleh kaisar China yang berkuasa saat itu untuk berdiskusi terkait ajaran
Zen. Bodhidharma mengajarkan bahwa dalam ajaran Zen perbuatan baik saja
tidak cukup, tetapi dengan perbuatan baik akan mendorong kemurnian moral,
suatu syarat mutlak untuk mencapai pencerahan (Nurintan, 2009:32).
Bodhidharma selanjutnya pergi menuju kuil Shaolin untuk menyebarkan
ajaran Zen pada tahun 527. Para rahib di kuil Shaolin diajarkan tentang
pentingnya menjaga kebugaran tubuh, emosi dan mental untuk pengembangan
spiritual. Oleh karena itu Bodhidharma mengajarkan dua bentuk latihan, yaitu
Delapan Belas Tangan Lohan dan Metamorfosis Otot, yang akhirnya berkembang
menjadi Kungfu Shaolin dan Chi Kung Shaolin. Ajaran Zen sejatinya tidak
bergantung kepada kitab-kitab, dokumen-dokumen atau teori-teori keagamaan
dalam penyebarannya. Ajaran Zen lebih menekankan kepada interaksi personal,
yaitu dari hati ke hati. Pengganti Bodhidharma sebagai Patriaki kedua, ketiga,
keempat, kelima dan keenam berturut-turut adalah Ji Guang, Seng Chan, Dao Xin,
Hong Jen dan Hui Neng (Nurintan, 2009:32-33).
2.6 Masuknya Ajaran Zen Buddhisme di Jepang
23
Zen Buddhisme mulai berkembang di Jepang pada zaman Kamakura
setelah dua orang guru asli Jepang yaitu Eisai (1141-1215) yang mendirikan sekte
Rinzai dan Dogen yang mendirikan sekte Soto mulai mengenalkan ajaran Zen
kepada masyarakat Jepang. Ajaran Zen pertama kali dikembangkan oleh Eisai di
Kamakura dan mendapat dukungan dari Shogun sehingga membuat ajaran Zen
sangat terkenal dikalangan samurai. Banyak pembangunan kuil Zen dilakukan di
Jepang yang disebut sistem Gozai. Diantaranya adalah Kuil Rinjai di Shofukuji
Hakata (sekarang prefektur Fukuoka). Para pendeta Zen tersebut sering mendapat
tugas untuk menjadi penasehat Ke-shogun-an Muromachi dalam bidang politik,
urusan luar negri, dan perdagangan. Selain itu para pendeta Zen juga sangat
berpengaruh dalam bidang seni, ilmu pengetahuan juga kesusastraan (Nurintan,
2009:34).
Dogen pendiri sekte Soto berkebalikan dengan Eisai. Dogen berasal dari
keluarga bangsawan, belajar Zen ke China tahun 1223. Dogen tidak seperti Eisai
yang dekat sekali dengan penguasa militer, sebaliknya berusaha menghindari
pengaruh penguasa dalam ajaran Zen yang dianutnya. Dogen memilih tinggal di
propinsi Echizen tempat dibangunnya kuil Eiheiji. Perbedaan pailng penting
antara ajaran Eisai dan Dogen adalah dalam segi pendekatan untuk mencapai
pencerahan. Ajaran Eisai yang berkarakteristik Rinzai Zen menekankan
penggunaan Koan (cerita), sementara ajaran Dogen yang berkarakteristik Soto Zen
menekankan pada Zazen atau meditasi duduk. Meskipun demikian ajaran Soto
tidak menolak Koan untuk mencapai pencerahan (Kiew Kit, 2004:1997 dalam
Nurintan, 2009:34).
24
Periode Muromachi (1333-1573) merupakan era di mana pengaruh Zen
Buddhisme di Jepang mencapai level tertinggi. Pada saat itu Zen dapat menyebar
luas hingga di kalangan Bushi yang menjadi penguasa Jepang. Ajaran Zen juga
menjadi dasar moral dan filosofi utama para prajurit Jepang hingga masuk zaman
modern. Bahkan sebelum perang, para prajurit memasuki kuil Zen terlebih dahulu
untuk mendisiplinkan diri dalam menghadapai para musuh. Masiko Hane
(1991:80) mengatakan “Tendai untuk keluarga kerajaan, Shingon untuk
bangsawan, Zen untuk prajurit dan Jodo untuk masyarakat” (Nurintan, 2009:35).
Zaman Edo (1615-1868) menghasilkan perdamaian dan dukungan kepada
ajaran Zen. Kemudian pada zaman Meiji, pemerintah Jepang lebih mendukung
agama Shinto dari pada agama Buddha. Kendati demikian ajaran Zen tetap
berkembang (Nurintan, 2009:35-36).
2.7 Nilai-Nilai Estetika Zen Buddhisme
Estetika secara sederhana adalah ilmu yang mempelajari tentang
keindahan, bagaimana keindahan itu terbentuk, serta bagaimana seseorang dapat
merasakan nilai estetika yang terkandung (Nurintan, 2010:1). Jepang adalah salah
satu bangsa yang menganggap penting sebuah nilai estetika antara seni, kehidupan
dan alam. Menurut Sutrisno (1993:111) orang Jepang senang dengan pergantian
alam dan berharap dapat menikmatinya dalam media seni. Dengan demikian alam
di Jepang menjadi titik nilai estetika. Alam pulalah yang mempengaruhi hampir
seluruh kesenian dan kebudayaan jepang. Jika berbicara tentang estetika Jepang,
25
ada satu fenomena yang terus mengalir menembus alur kemajuan zaman yaitu
alam (Sutrisno, 1993:118)
Adapun salah satu faktor yang juga berpengaruh penting dalam
pembentukan nilai estetika Jepang adalah faktor agama, yaitu Zen Buddhisme
(Nurintan, 2010: 3). Ajaran Zen sangat menonjolkan nilai kesederhanan dan juga
kealamian yang mengikuti garis alam serta tidak adanya unsur buatan. Pandangan
Zen dalam memandang keindahan juga demikian, yaitu untuk merasakan sebuah
nilai estetika, seseorang harus masuk sendiri ke inti realitas suatu “objek” dan
merasakan serta melihat sendiri dari dalam. Pendekatan ini menegaskan bahwa
Zen Buddhisme memiliki pengaruh spiritual yang besar dalam memahami estetika.
Seorang filsuf bernama Hisamatsu Shim’ichi (dalam Azhar, 2008: 51)
membagi ciri-ciri nilai estetika Jepang ke dalam tujuh karakteristik. Nilai ajaran
ini berakar dari ajaran Buddha Zen yang mengutamakan Satori, yaitu untuk
mencapai pencerahan harus dilakukan dengan usaha sendiri. Ketujuh nilai estetika
tersebut antara lain:
2.7.1 Fukinsei (不均斉)
Karakteristik yang pertama adalah Fukinsei atau asimetris yang
mengandung pengertian tidak beraturan. Hal ini merupakan salah satu
karakteristik ajaran Zen. Dari segi bentuk asimetris berati bentuk yang tidak sama,
tidak lurus, tidak rata, dan tidak seimbang dalam kata lain bentuk yang apa adanya
(Hisamatsu, 1974: 29 dalam Azhar, 2008:51). Sedangkan di dalam prinsip seni
asimetris bisa jadi diartikan tidak sama tetapi seimbang, dan ketidak seimbangan
26
tersebut dapat terjadi karena perbedaan ukuran, warna, bentuk, tekstur, ruang, dan
pencahayaan. Hisamatsu mencontohkan asimetris sebagai komposisi informal
dalam seni ikebana dan kaligrafi yang memiliki tiga komposisi yaitu formal, semi-
formal, dan informal, sedangkan formal merupakan bentuk dalam komposisi yang
mempunyai susunan simetris (Hisamatsu, 1974: 31 dalam Azhar, 2008:52)
2.7.2 Kanso (簡素)
Karakteristik yang kedua adalah Kanso, yaitu kesederhanaan. Hisamatsu
menjelaskan bahwa Kanso bukan berarti kesederhanaan yang bernuansa melarat,
melainkan kesederhanaan dalam konteks berhemat. Menurut Hisamatsu, nilai
tertinggi dari kesederhanaan adalah sesuatu yang dapat mewakili atau
mencerminkan sifat dari suatu benda secara utuh yang diekspresikan melalui garis,
warna atau unsur-unsur lainnya (Azhar, 2008:52).
Hisamatsu mencontohkan warna yang sederhana adalah warna yang tidak
mencolok atau tidak memiliki perbedaan warna yang tajam. Contohnya dalam
suatu lukisan, warna yang paling sederhana adalah tinta China hitam (Hisamatsu,
1974:31 dalam Azhar, 2008:52). Cahaya dan bayangan berasal dari satu warna
tinta, Tidak ada perbedaan warna yang mencolok, hanya ada gradasi warna hitam.
Menurut Hisamatsu lukisan tersebut mengandung banyak hal yang tidak dapat
diekspresikan oleh lukisan dengan banyak warna. Kesederhanaan juga dapat
dilihat dari desain interior dan eksterior ruang upacara minum teh.
2.7.3 Kokou (枯高)
27
Karakteristik yang ketiga adalah Kokou, yang dapat diartikan menjadi
kering, ciut, gersang, atau layu. Secara singkat, Kokou mempunyai arti telah
berpengalaman menempuh waktu kehidupan. Hisamatsu menjelaskan bahwa
Kokou memperlihatkan unsur kematangan yang jauh dari kesan ketidakterampilan
atau telah dimakan usia dan yang tinggal hanya intisarinya saja (Hisamatsu, 1974:
31 dalam Azhar, 2008:52). Gambaran tentang Kokou dapat dilihat pada pohon
cemara tua yang telah didera waktu dan cuaca. Karena terpaan panas, badai dan
salju, cabang pohonnya telah kehilangan kehijauan dan kesegaran kulitnya.
Namun justru hal terebut menampilkan keindahan kekeringan yang agung.
Hisamatsu juga menambahkan bahwa dalam kesenian Jepang, kondisi
telah dimakan usia menggambarkan karakteristik keindahan Zen Buddhisme.
Istilah ini mengandung berhentinya atau hilangnya kesegaran. Dalam konsep
keindahan Zen Buddhisme, tua berarti mencapai tingkat tertinggi dalam seni, yang
mana hal tersebut hanya bisa dicapai oleh seorang master dan tidak oleh seorang
pemula atau orang yang belum matang dalam bidangnya (Hisamatsu, 1974:31
dalam Azhar, 2008:53). Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, Kokou
adalah seseuatu yang sudah lama, tidak baru, dan juga telah berumur.
2.7.4 Shizen (自然)
Karakteristik keempat adalah Shizen, yang berarti sesuatu yang bersifat
alami, wajar, natural dan bukan artifisial. Alami berarti sesuatu yang bukan buatan
dan mengacu pada hal yang tidak dipaksakan. Shizen juga tidak lahir dari sesuatu
yang diawali dengan pemikiran dan tujuan tertentu. Hisamatsu menjelaskan
28
bahwa gambaran alami ini seperti halnya dalam istilah teh. Menurutnya sesuatu
yang memiliki kualitas sabi adalah bagus, tetapi sesuatu yang dipaksakan untuk
mendapat kualitas tersebut adalah buruk (Hisamatsu, 1974: 32 dalam Azhar,
2008:53).
Menurut Hisamatsu kemurnian sabi dalam Zen Buddhime adalah sesuatu
yang alami, sesuatu yang tidak pernah dipaksakan. Namun bukan berati sabi
merupakan fenomena alam yang terjadi dengan sendirinya tanpa ada campur
tangan manusia, Justru sebaliknya, sabi merupakan kreasi manusia yang
dikerjakan dengan sungguh-sungguh, dengan kesengajaan, yaitu untuk
menghindari sesuatu yang bersifat artifisial dan dipaksakan. Sebagai contoh pada
mangkuk teh yang asimetris atau tepinya yang sedikit retak-retak,
keasimetrisannya terlihat wajar dan tidak dipaksakan. Mangkuk teh yang tidak
beraturan dan asimetris secara alami, lebih disukai dari pada yang berbentuk
simetris atau baru sekalipun. Karena disitulah terletak nilai keindahan yang telah
melewati waktu yang panjang.
2.7.5 Yuugen (幽玄)
Karakteristik kelima adalah Yuugen yang memiliki arti kedalaman esensi,
makna yang dalam, kegelapan atau kesuraman. Ciri dari karateristik ini adalah
kegelapan. Suasana gelap biasanya memberi kesan seram, mencekam,
menakutkan, mistik, kekejaman maupun ancaman. Namun menurut Hisamatsu
kegelapan mempunyai makna untuk menumbuhkan konsentrasi dan menciptakan
suasana hening dan cerah (Hisamatsu, 1974: 34-35 dalam Azhar, 2008:54).
29
Kegelapan ini tidak menimbulkan rasa seram maupun ancaman, melainkan
menentramkan dan menenangkan pikiran. Contohnya adalah kegelapan dari ruang
upacara minum teh. Pada ruang tersebut cahaya hanya masuk melalui layar kertas
yang menempel pada jendela kecil. Desain ruangan seperti itu sengaja
dimunculkan agar dapat menghindari gangguan, menghadirkan suasana tenang
yang mengarah pada ketentraman fikiran. Oleh karena itu, orang tidak merasa
terancam ataupun ketakutan karena merasa seram, justru menenangkan pikiran
walaupun suasana ruangan yang cenderung gelap.
Hisamatsu (1974: 33 dalam Azhar, 2008:54) mengatakan pembawaan
manusia yang tidak secara terang-terangan memperlihatkan kemampuannya
kepada orang lain, dalam artian mencoba menyembunyikan kemampuan yang
dimiliki, juga merupakan salah satu cerminan karakteristik Yuugen yang tercermin
pada diri manusia. Bila dalam lukisan, Yuugen terletak pada pengekspresian
obyek secara simbolis dalam hal ini tanpa melukiskan secara detail pohon, sungai,
lembah, bukit, rumah dan sebagainya, namun cukup dengan goresan arang yang
pudar atau kasureta sumi. Dalam unsur yang tidak tersurat atau tidak ternyatakan
dalam lukisan tersebut, menurut Hisamatsu terdapat kualitas Yuugen yang
mengandung makna yang dalam.
2.7.6 Datsuzoku (脱俗)
Karakteristik keenam yaitu Datsuzoku yang menekankan pada kebebasan
atau tidak berpaku pada pola-pola, rumus, kebiasaan, aturan, dan yang lainnya.
Bagi Zen Buddhisme, kreativitas akan terhalang dengan adanya berbagai macam
30
peraturan dan rumus (Hisamatsu, 1974: 35 dalam Azhar, 2008:55). Datsuzoku
berarti sebuah kebebasan yang tidak dibatasi untuk berfikir maupun bertindak.
Cerminan Datsuzoku yaitu dapat berupa kreativitas dari seorang seniman
dalam mengekspresikan pemahaman diri ke dalam karya seni tentang alam
sebagai kehidupan yang senantiasa bergerak. Karya seni yang dimaksud adalah
karya yang dihasilkan dari sebuah kebebasan dalam mengekspresikan bentuk
maupun tatanan unsur-unsur seni, termasuk kebebasan dan keberanian berekspresi
dalam melukiskan suatu objek yang tidak dibatasi dengan keterbatasan pandangan
mata manusia (Hisamatsu, 1974: 35dalam Azhar, 2008:55).
2.7.7 Seijaku (静寂)
Karakteristik yang terakhir yaitu Seijaku, atau ketenangan yang diartikan
sebagai tidak terganggu. Contoh ketenangan yang dimaksud terdapat pada youkyu
dalam anime Noh Youkyu yaitu sebuah musik vokal yang diiringi oleh flute, drum
dan alat musik lainnya. Walaupun musik tersebut terdengar bising, namun musik
ini tidak menggelisahkan tetapi justru menimbulkan keheningan yang
menenangkan pikiran (Hisamatsu, 1982:36 dalam Azhar, 2008:55)
2.8 Teori Film.
2.8.1 Mise-en-scene
Teori film yang digunakan pada penelitian kali ini adalah teori mise-en-
scene (baca: mis on sin). Mise-en-scene berasal dari bahasa Prancis yang berarti
meletakkan dalam scene. Mise-en-scene adalah segala sesuatu yang terletak di
31
depan kamera yang akan diambil gambarnya dalam sebuah produksi film agar
tercipta suasana yang diinginkan (Pratista, 2008:61). Dalam film, mise-en-scene
tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan dengan unsur-unsur lainnya
seperti sinematografi, suara, dan editing. Adapun aspek utama yang terdapat
dalam mise-en-scene adalah sebagai berikut:
1. Seting (Latar)
Seting adalah seluruh latar dan propertinya (Pratista, 2008:62). Properti
yang dimaksudkan di sini adalah seperti pintu, jendela, lemari, TV dan yang
lainnya. Seting memiliki kemampuan untuk mendukung arti dalam cerita, yang
memberikan gambaran lebih spesifik terhadap adegan-adegan sebuah film.
Adapun fungsi lainnya yaitu sebagai penunjuk ruang dan wilayah, waktu, status
sosial, pembangun mood, penunjuk motif tertentu dan pendukung aktif adegan.
2. Kostum
Kostum, pakaian atau aksesoris juga merupakan elemen visual yang
penting dalam sebuah film. Kostum mengacu pada segala hal yang dikenakan
pemain bersama seluruh aksesorisnya serta riasan para aktor. Kostum dapat
memberikan narasi singkat terkaiat kondisi sosial dari seorang karakter. Kostum
juga sebagai penunjuk ruang dan waktu, kepribadian karakter, sebagai bentuk
simbol-simbol tertentu terutama dengan pemilihan warna kostum yang digunakan,
sebagai penunjuk kekhasan karakter dan yang lainnya (Pratista. 2008:71-73). Tata
rias wajah secara umum memiliki dua fungsi yaitu sebagai penunjuk usia dan
menggambarkan wajah nonmanusia.
32
3. Lighting
Pencahayaan dapat menggambarkan sebuah karakter dengan berbagai
macam cara. Pencahayan memiliki peran penting karena mendukung suasana
yang terjadi pada adegan sebuah film. Objek maupun adegan dapat disinari
dengan cara buatan menggunakan lampu, ataupun cara alami dengan
menggunakan sinar matahari. Kualitas pencahayaan dalam sebuah film dapat
mempengaruhi pemahaman penonton terhadap sebuah film.
4. Akting
Akting menunjukkan ekspresi dan postur dari seorang aktor, termasu aksi
dan bahasa tubuh aktor tersebut. Dua faktor yang paling penting dalam sebuah
studi film adalah kelayakan dari ekspresi seorang aktor dan pengaturan seorang
direktur dalam akting seorang aktor.
Penelitian kali ini menggunakan tiga elemen dalam teori mise-en-scene
yaitu seting, akting dan pencahayaan. Seting bertujuan untuk mencari tahu seperti
apa latar tempat yang digunakan dalam penulisan Shodo dan juga mencari tahu
tempat di mana Shodo diletakkan. Selain itu seting juga mengarah kepada
penampakan sebuah objek dalam hal ini karya tulisan Shodo pada anime
Barakamon, bagaimana bentuknaya, penampilannya, dan warna tulisannya.
Akting bertujuan untuk mengetahui ekspresi tokoh utama ketika tengah menulis
Shodo. Terakhir, adalah pencahayaan yang juga digunakan untuk melihat
bagaimana kondisi pencahayaan dalam tempat penyimpanan karya Shodo dalam
anime Barakamon.
33
2.8.2 Sinematografi
Sinematografi merupakan ilmu yang membahas tentang Film.
Sinematografi berasal dari bahasa Yunani yaitu kinema yang berarti gerakan dan
graphoo yang berarti menulis. Artinya sinematografi merupakan bidang yang
membahas tentang teknik menangkap gambar dan menggabungkan gambar
tersebut sehingga menjadi sebuah cerita. Dalam sebuah ilmu sinematografi,
seorang pembuat film selain mengambil gambar, juga dituntut untuk mengontrol
dan mengatur setiap adegan yang diambil, seperti jarak, ketinggian, sudut, lama
pengambilan, dan lain-lain (Pratista, 2008:89). Proporsi kamera dan teknik
pengambilan gambar sangat dibutuhkan dalam pembuatan film agar dapat
dihasilkan kuwalitas film yang bagus, serta agar berbagai situasi maupun adegan-
adegan di dalamnya dapat mengena dengan narasi cerita.
Menurut Bruce (2013:4-10) terdapat tiga teknik dasar pengambilan
gambar dalam sebuah produksi film:
1. Long Shot
Teknik ini bisa diartikan dengan pengambilan jauh, adalah teknik yang
digunakan untuk menampilkan seluruh atau lebih tubuh manusia atau objek
tertentu. Teknik pengambilan gambar untuk orang dari kepala sampai kaki
disebut full-body shot atau full shot. Sementara teknik pengambilan untuk
objek dari jarak jauh disebut extreme long shot (ELS).
2. Medium Shot
34
Medium Shot (MS) adalah teknik pengambilan gambar yang dilakukan untuk
menampilkan orang dari pinggang ke atas. Teknik ini lebih detail dari pada
full-body shot dan netral secara keseluruhan dalam mempresentasikan subjek.
Medium Shot (MS) mencerminkan bagaimana seseorang berinteraksi dengan
seseorang.
3. Close Up
Close Up mengutamakan pengambilan gambar di bagian kepala, biasanya
gambar diambil dari atas kancing baju teratas. Pengambilan gambar yang
lebih dekat dari itu adalah extreme close up (ECU). Medium close up juga
sering digunakan untuk pengambilan gambar dari tengah dada ke atas.
Pembuatan sebuah film juga menggunakan sudut pengambilan gambar
yang dibagi menjadi enam macam, yaitu:
1. Low Angel Shot
Posisi ini menempatkan kamera berada pada titik yang lebih rendah dari
objek dan kemudian bergerak naik. Cenderung untuk membuat karakter atau
lingkungan lebih terlihat superior, dominan dan menekan.
2. High Angel Shot
Pengambilan gambar dengan posisi ini meletakkan kamera berada di atas
objek, kemudian bergerak menuju ke bawah. Tipe shot ini cenderung
membuat subjek lebih terlihat terintimidasi dan tertekan.
3. Eye Level Shot
35
Angel ini memposisikan kamera sejajar dengan ketinggian mata karakter atau
objek yang diambil dalam sebuah film. Eye level shot cenderung netral dan
membuat penonton berkedudukan sama dengan objek.
4. Bird’s Eye View
Pengambilan gambar dengan menangkap langsung gambar dari atas dan
cenderung untuk membuat seperti Tuhan dan manusia seperti semut.
5. Oblique Shot
Pengambilan gambar dengan posisi kamera menyamping menggunakan
tripod. Angel ini digunakan untuk menggambarkan dunia yang memiliki
kesan melimpah atau mengalami kerusakan.
6. Point of View Shot
Pengambilan gambar berusaha melibatkan penonton pada peristiwa dalam
sebuah film. Teknik pengambilan ini membuat seolah-olah lensa kamera
berperan sebagai mata penonton atau salah satu pelaku dalam adegan.
2.9 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang dijadikan acuan pada penelitian kali ini adalah
penelitian dari saudari Elita Fitria Azhar dari program studi Sastra Jepang
Universitas Indonesia yang terbit pada tahun 2008 dengan judul Nilai-nilai
Estetika pada Taman Jepang khususnya Taman Karesansui: Dianalisis
berdasarkan teori Estetika Wabi dan Sabi menurut Terao Ichimaru dan Teori
36
Estetika Zen Buddhisme menurut Hisamatsu Shin’ichi. Penelitian ini
menggunakan metode diskriptif analitis, yaitu melalui studi kepustakaan, untuk
mendapatkan data-data yang relefan terhadap penelitian dan kemudian dianalisa.
Kemudian Teori yang digunakan adalah teori Estetika Wabi Sabi dan Estetika Zen
Buddhisme. Hasil dari penelitian ini adalah, bahwa nilai Estetika Wabi dan Sabi
serta Estetika Zen Buddhisme terdapat pada tama Karesansui yang ditunjukkan
melalui ciri-ciri seperti sederhana, alami, asimetris, tenang, memiliki makna yang
dalam, dan mencerminkan esensi waktu.
Persaman penelitian kali ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama
sama menggunakan metode penelitian yang sama yaitu diskriptif analitis.
Selanjutnya, penelitian ini dan penelitian terdahulu sama-sama membahas tentang
Zen Buddhisme. Sementara perbedaannya adalah penelitian kali ini menggunakan
objek Shodo yang terdapat dalam anime, sedangkan penelitian terdahulu
menggunakan taman Karesansui sebagai objek. Teori yang digunakan pada
penelitian ini hanya Estetika Zen Buddhisme Hisamatsu Shin’ichi, sementara
penelitian terdahulu selain menggunakan teori Estetika Zen Buddhisme Hisamatsu
Shin’ichi juga menggunakan teori Estetika Wabi dan Sabi.
Penelitian berikutnya yaitu penelitian dari saudari Eva Nurintan dari Sastra
Jepang Universitas Sumatra Utara yang terbit pada tahun 2009 dengan judul
Nilai-nilai Ajaran Zen Buddhisme dalam Estetika Kramik Tradisional Jepang.
Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif analitis dengan pengumpulan data
menggunakan teknik studi kepustakaan. Teori yang digunakan adalah teori
estetika Wabi dan Sabi. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat empat
37
karakteristik nilai estetika Zen Buddhisme di dalam keramik tradisional Jepang
yaitu: ketidaksimetrisan, kealamian, kesederhanaan dan kedalaman rasa.
Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan metode
penelitian deskriptif dan juga sama-sama membahas nilai estetika Zen Buddhisme.
Sedangkan perbedaannya yaitu terletak dari objek penelitian. Penelitian terdahulu
menggunakan keramik tradisional Jepang, sedangkan penelitian ini menggunakan
objek Shodo yang ada di dalam anime Barakamon.
38
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penlitian yang dilakukan oleh penulis kali ini merupakan penelitian
Kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, presepsi, motivasi,
tindakan dan lain sebagainya (Moleong, 2005: 6). Penulis menggunakan metode
penelitian deskriptif analitis yaitu mendeskripsikan unsur-unsur yang terdapat
pada objek penelitian, kemudian melakukan analisis. Menurut Ratna (2011:53)
metode deskriptif analitis adalah salah satu metode penelitian sastra dengan cara
mendiskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Fakta yang
dimaksud adalah terkait kata kunci yang sering muncul berkaitan dengan teori
yang digunakan. Dalam hal ini penulis akan mendeskripsikan dan menganalisis
Shodo yang berkaitan dengan teori estetika Zen Buddhisme Hisamatsu Shin’ichi.
3.2 Sumber Data
Arikunto (2012:172) menjelaskan bahwa sumber data penelitian
merupakan sumber dari subjek di mana data bisa didapatkan. Sumber data yang
dipakai dalam penelitian ini adalah anime Barakamon yang dirilis pada tahun
2014. Anime ini mempunyai 12 episode, dan masing-masing episode berdurasi 21-
25 menit. Penulis memilih anime ini dikarenakan anime ini menunjukkan karya
Shodo dengan cukup jelas dengan berbagai macam unsur pendukung yang ada
39
Oleh karena itu sangat memungkinkan untuk bisa diteliti dengan menggunakan
teori yang penulis gunakan.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Siswanto (2012:65) menjelaskan bahwa teknik pengumpulan data dapat
dilakukan dengan tiga cara yaitu observasi langsung, tidak langsung dan
partisispasi. Peneliti di sini menggunakan observasi langsung untuk mendapatkan
data primer yaitu anime Barakamon. Untuk mempermudah proses pengumpulan
data peneliti melakukan teknik pengkodean pada anime ini, seperti
(BK/01/00:21:26) dengan rincian BK menunjukkan judul film yaitu Barakamon
01 menunjukkan episode gambar dan 00:21:26 menunjukkan waktu pengambilan
gambar dan percakapan anime yaitu menit ke-dua puluh satu detik ke-dua puluh
enam.
3.4 Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan
adalah sebagai berikut:
1. Mengamati gambar Shodo dan unsur pendukungnya atau percakapan yang
mendukung adanya nilai estetika Zen Buddhisme pada bulan Agustus 2016.
2. Menandai bagian film yang terdapat nilai estetika Zen Buddhisme pada
bulan Oktober 2016 sampai Januari 2017.
3. Mengklasifikasi nilai Zen Buddhisme apa saja yang terkandung pada
potongan anime Barakamon pada bulan Februari 2017.
40
4. Melakukan analisis pada potongan gambar dengan menggunakan teori
estetika Zen Buddhisme Hisamatsu Shin’ichi pada bulan Februari 2017
sampai Mei 2017.
5. Melakukan validasi kepada orang Jepang yang paham terkait Shodo pada
bulan Maret 2017 sampai Mei 2017.
6. Menarik kesimpulan pada bulan Juni 2017.
3.5 Sistematika Penulisan
Sisitematika penulisan diterapkan untuk menyajikan gambaran singkat
mengenai permasalahan yang akan dibahas oleh peneliti. Penulisan skripsi ini
tersusun sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, ruang lingkup
penelitian, dan yang terakhir definisi istilah kunci.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan mengenai subjek penelitian yaitu Shodo serta
unsur pendukung pembentuk Shodo. Selain itu terdapat juga teori
yang penulis gunakan untuk membahas penelitian ini yaitu Zen
Buddhisme dan nilai estetika Zen Buddhisme. Pada bagian akhir
terdapat teori mengenai film dan juga Penelitihan terdahulu yang
digunakan penulis sebagai refrensi.
41
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan mengenai metode penelitian yang penulis
gunakan yaitu jenis penelitian, sumber data, teknik pengumpulan
data, analisis data dan sistematika penulisan
BAB IV : TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Bagian ini akan menjelaskan tentang sinopsis dari anime
Barakamon, temuan gambar yang mengandung nilai estetika Zen
Buddhisme dan juga hasil analisa teori estetika Zen Buddhisme
pada gambar.
BAB V : PENUTUP
Bagian ini akan berisi tentang kesimpulan dari penelitian dan saran untuk
penelitian selanjutnya.
42
BAB IV
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Sinopsis Anime Barakamon
Anime Barakamon bercerita tentang seorang kaligrafer profesional
bernama Seishu Handa yang mengasingkan diri ke pulau Goto untuk
menenangkan pikiran dan juga belajar serta mencari gaya tulisan yang sesuai atau
mencerminkan diri seorang Handa. Di pulau Goto Handa bertemu dengan orang-
orang yang membantu Handa untuk menemukan gaya tulisan yang diinginkan,
dengan didukung oleh suasana pulau Goto serta pemandangan alamnya. Handa
menulis beberapa Shodo penting ketika berada di pulau Goto antara lain: Shodo
Raku, Shodo untuk banner rumah makan, Shodo Kyoku, Shodo Yuigadokuson-
maru, Shodo Tai, Shodo Kuchi, Renge dan Hane, Shodo Hoshi, Shodo nama
warga yang membangun kuil, serta Shodo untuk perlombaan Naruka
4.2 Temuan
Anime Barakamon menampilkan empat belas Shodo namun yang dapat
ditemukan nilai Zen Buddhisme hanya sebelas karya Shodo dengan rincian
sebagai berikut: enam Shodo yang hanya terdiri dari satu kata atau satu kanji yaitu:
1) Raku (楽), 2) Hoshi (星), 3) Tai (鯛), 4) Shodo Kuchi, 5) Renge dan 6) Hane,
Shodo Kyoku (極). Selanjutnya lima karya Shodo yang berupa kata-kata atau lebih
dari satu kanji yaitu: 1) tulisan banner rumah makan, 2) Tulisan Yuigadokuson-
maru (唯我独尊) di lambung kapal milik ayah miwa, 3) Tulisan Shodo Handa
43
yang dilihat oleh Kyousuke, 4) Tulisan nama warga desa yang ikut membangun
kuil, 5) Tulisan Handa dalam pameran dan perlombaan Naruka. Anime ini
menampilkan keseluruhan nilai estetika Zen Buddhisme yang dikemukakan oleh
Hisamatsu Shin’ichi yaitu Fukinsei, Kanso, Kokou, Shizen, Yuugen, Datsuzou,
dan Seijaku pada kesenian Shodo yang ada. Namun setiap Shodo tidak
mengandung keseluruhan nilai estetika Zen Buddhisme. Melainkan satu Shodo
hanya merepresentasikan beberapa karakteristik nilai estetika Zen Buddhisme.
Kemudian Shodo Konomon dan Rakushin tidak termasuk yang dianalisa, karena
minimnya keterangan yang menunjukkan adanya nilai estetika Zen Buddhisme.
4.3 Pembahasan
Hubungan antara Kesenian Jepang yang diwakili Shodo dengan
kepercayaan yang diwakili oleh nilai Zen Buddhisme sangat terasa dalam anime
Barakamon. Shodo yang terdapat di dalam anime Barakamon pada pembahasan
kali ini dikelompokan sesuai dengan nilai estetika Zen Buddhisme menurut
Hisamatsu Shin’ichi. Berikut adalah pembahasan tentang nilai estetika Zen
Buddhisme Shodo yang terdapat dalam anime Barakamon:
4.3.1 Fukinsei
Fukinsei seperti yang sudah dijelaskan mempunyai makna tidak seimbang,
baik bentuk atau ukuran yang ditampilkan. Bentuk memainkan peran penting
untuk memunculkan arti di dalam sebuah objek (Berger, 2010:50). Jadi, bentuk
yang asimetris dapat diartikan juga untuk menegaskan makna yang terkandung di
dalam sebuah karya Shodo. Sebuah karya Shodo yang menggunakan gaya Gyosho
44
dan Sosho cenderung memiliki bentuk tulisan yang asimetris. Namun tidak
menutup kemungkinan gaya Kaisho juga dapat memiliki bentuk yang asimetris.
Hal yang mempengaruhi sebuah Shodo memiliki bentuk yang simetris atau tidak
adalah cara bagaimana seorang Shodoka dalam menulis Shodo. Jika seorang
Shodoka menulis dengan sangat cepat, hasil tulisan akan cenderung tidak
beraturan. Ditambah lagi ukuran kuas, semakin memiliki ukuran yang besar, maka
akan lebih sulit untuk membuat tulisan yang rapi atau simetris dengan pergerakan
tangan yang cepat. Fukinsei biasanya lahir dari sebuah tulisan yang alami atau
(Shizen) sehingga menghasilkan tulisan dengan bentuk apa adanya, tanpa dibuat-
buat. Gambaran asimetris dalam anime Barakamon kali ini ditunjukan karya
Shodo yang Handa tulis seperti pada Gambar berikut ini:
Data 1.
(BK/01/00:19:42) (BK/01/00:19:46)
(BK/01/00:21:00)
Gambar 4.3.1 Warga desa membantu Handa dan Shodo Tanoshii.
Shodo Tanoshii pada Gambar 4.3.1 memiliki nilai Fukinsei yang
ditunjukkan oleh letak Shodo yang lebih ke kiri. Kemudian tebal tipis garis dan
45
panjang pendek goresan yang tidak sama. Tinta yang menetes ke bawah tidak
terdapat pada seluruh bagian Shodo, melainkan hanya di beberapa sisi saja.
Pengambilan gambar dengan teknik Long Shot memberikan penampakan yang
sangat jelas bagaimana bentuk Shodo dari kanji Tanoshii. Gaya tulisan dari Shodo
Raku ini adalah gaya Kaisho. Gaya ini terbentuk dari ukuran kuas Shodo yang
besar sehingga memiliki bentuk tulisan yang tidak asimetris, karena untuk
menulis Shodo dengan rapi menggunakan kuas besar sangatlah sulit. Pun jika
ingin menulis gaya Gyosho ataupun Sosho juga tidak mudah, karena memang
kuas yang digunakan bukan diperuntukkan untuk menulis kedua gaya tersebut.
Shodo Raku atau Tanoshii ini secara harfiah memiliki arti kesenangan.
Nilai Fukinsei dalam Shodo ini terbentuk karena cara menulis Handa yang cepat,
sehingga menghasilkan tulisan seperti Gambar 4.3.1 di mana tampilan Shodo
sedikit berantakan. Shodo ini menegaskan perasaan Handa yang sangat senang
saat pertama kali datang ke pulau Goto. Handa disambut dengan hangat oleh
penduduk Goto ketika baru tiba dari Tokyo. Perasaan senang tersebut kemudian
oleh Handa dikonversikan ke dalam bentuk tulisan Shodo Tanoshii .
Data 2.
(BK/12/00:19:54)
Gambar 4.3.2 Kaligrafi nama-nama warga desa
46
Shodo ini merupakan karya Handa dalam perlombaan Naruka. Handa
mendapat inspirasi dari warga pulau Goto yang menelfon Handa ketika Handa
belum dapat menulis kaligrafi untuk dikirimkan ke perlombaan Naruka,
sedangkan batas waktu pengumpulan karya sudah dekat. Dari sini dapat dilihat
bahwa interaksi sosial yang diperoleh Handa selama di pulau Goto dengan warga
setempat, khususnya anak-anak pulau Goto, menjadi sebuah hal yang sangat
berarti bagi Handa, sehingga mampu menginspirasi Handa untuk menciptakan
sebuah karya Shodo. Seperti yang ditunjukkan dalam percakapan antara Handa
dengan Miwa:
美和さん :そんぐらい教えてくれてよかじゃんねー。
半田さん :強いて言うなら 今俺が一番大切に思ってる
もんだ。
Miwa san : Songurai oshietekurete yokajannee.
Handa san : Shiite iiunara, ima ore ga ichiban taisetsu ni omotteru
monda.
Miwa san : Tadi bilangnya hasilnya lumayan kan?
Handa : Iya deh, pokoknya isinya tentang hal yang berharga
untukku saat ini.
Nila Fukinsei pada kaligrafi Gambar 4.3.2 terdapat pada ukuran kanji
nama orang yang bebeda. Terdapat kanji yang berukuran besar di antara kanji
yang berukuran kecil. Kanji nama orang yang berukuran besar di antaranya adalah:
Kotoishi Naru (琴石なる), Arai Tamako (洗井珠子), Yamamura Miwa (山村美
和), Kido Hiroshi (木戸浩志 ), Kubota Hina (窪田陽菜). Kelima orang ini
47
merupakan orang-orang yang paling dekat dengan Handa selama berada di pulau
Goto. Melalui tulisan Shodo di atas, Handa ingin menunjukkan bahwa di antara
warga desa lainnya, ke-lima orang ini merupakan orang yang paling penting
sekaligus berharga bagi Handa.
Shodo ini memiliki gaya tulisan Kanso. Dilihat dari bentuk Shodo yang
memang masih susuai dengan bentuk kanji aslinya. Walaupun sedikit berantakan
namun masih mudah untuk dibaca, karena memang penulisan Shodo pada gambar
4.3.2 urutan serta penempatan goresan diletakkan pada tempat yang telah
ditentukan. Jika ditulis dalam buku kotak, maka goresan pertama hingga terakhir
akan berada pada kotak yang memang menjadi tempat urutan penulisan, sehingga
bentuk yang dihasilkan tampak jelas. Untuk menambah nilai keindahan pada
tulisan Shodo yang Handa inginkan, walaupun menggunakan gaya Kaisho, Handa
menulis Shodo dengan sedikit berantakan tanpa memperhatikan tebal tipis goresan.
Data 3
(BK/07/00:13:07) (BK/07/00:13:48)
Gambar 4.3.3 Shodo Tai atau kakap merah
Shodo di atas merupakan Shodo dengan Kanji Tai yang memiliki arti
kakap merah. Shodo tersebut dibuat oleh Handa menggunakan ikan makarel yang
permukaan badannya dicelupkan ke dalam tinta kemudian ditempelkan pada
48
kertas hingga membentuk Kanji Tai. Nilai Fukinsei pada tulisan Shodo di atas
terlihat pada warna ikan yang ketebalannya tidak sama. Ada yang memiliki warna
hitam, karena ikan yang ditempelkan baru dicelupkan dari tinta, sehingga tinta
yang terdapat pada badan ikan masih banyak. Kemudian ada juga yang memiliki
warna abu-abu karena tinta yang berada di badan ikan sudah hampir habis. Pun
posisi ikan juga sedikit berantakan. Namun jika sudah menyatu dalam wujud
Shodo Tai seolah dapat terlihat bentuk yang seimbang dan warnanya sama. Hal ini
seperti yang dikatakan Hisamatsu (1974:69) bahwa di dalam prinsip seni,
asimetris bisa jadi diartikan tidak sama tetapi seimbang, dan ketidak seimbangan
tersebut dapat terjadi karena perbedaan ukuran, warna, bentuk, tekstur, ruang, dan
pencahayaan. Keindahan pada Shodo Tai semakin jelas karena dipertegas dengan
pernyataan Miwa berikut:
美和 :よかやん、あたしはもともと先生ん字好きやけど、こ
れは最高よ
Miwa : Yokayan, atashi ha moto moto sensein ji sukiyakedo, kore
ha saikou yo.
Miwa : Cantiknya, saya selalu suka kaligrafi sensei, tapi ini yang
terbaik
Shodo Tai di atas memiliki gaya tulisan Kaisho. Bentuk yang sangat jelas
seperti Kanji aslinya, urutan goresan yang sesuai, mempertegas bahwa Kanji
tersebut ditulis dengan menggunakan gaya Kaisho. Walaupun demikian, karena
cara penulisan yang tidak lazim, yaitu dengan menggunakan ikan yang di
49
celupkan pada tinta, Shodo Tai mampu mencerminkan keindahan Fukinsei seperti
yang sudah dijelaskan pada paragraf di atas.
4.3.2 Kanso
Data 1
(BK/02/00:05:36)
Gambar 4.3.4 Shodo banner restoran Jepang
Kanso berati kesederhanaan yang dapat mewakili atau mencerminkan sifat
dari suatu benda secara utuh yang diekspresikan melalui garis, warna, atau unsur
yang lain. Artinya seseorang yang menikmati sebuah karya seni dapat memahami
dengan baik makna dari sebuah karya seni. Tulisan Shodo di atas dapat dikatakan
memiliki nilai Kanso atau kesederhanan. Nilai Kanso di dalam Shodo banner
rumah makan dapat dilihat dari tidak adanya penggunaan aksesoris atau hiasan
yang berlebihan. Seperti background yang bermacam-macam, tulisan yang
bervariasi, foto makanan, dan sebagainya. Namun di dalam banner tersebut hanya
digunakan tulisan kanji dan hiragana dengan background berwarna putih polos
saja. Uniknya lagi kata serapan esunikku yang terdapat dalam banner rumah
makan tidak ditulis menggunakan katakana, melainkan hiragana. Pada dasarnya
banner sebuah rumah makan dibuat sangat menarik dengan desain yang bervariasi.
50
Tujuannya adalah agar pengunjung penasaran dan tertarik untuk membeli
makanan yang di jual.
Tulisan pada banner rumah makan tersebut juga menggunakan kata yang
menjurus langsung kepada makanan apa yang disajikan, yaitu makanan etnik.
Kata etnik memberikan pemahaman yang mudah bagi para pengunjung. Karena
semakin mudah seseorang memahami sebuah karya Shodo, menandakan Shodo
tersebut memiliki nilai kesederhanaan yang tinggi. Kemudian Shodo pada banner
ini ditulis dengan mengguanakn gaya Kaisho. Seperti yang sudah dijelaskan, gaya
Kaisho merupakan gaya yang paling sederhana dan mudah dibaca. Sehingga
semakin jelas nilai kesederhanaan yang dapat terlihat dari Shodo banner rumah
makan tersebut.
4.3.3 Kokou
Data 1
(BK/10/00:21:06) (BK/10/00:06:26)
Gambar 4.3.5 Shodo nama orang yang membantu membangun kuil
Shodo di atas merupakan nama-nama warga desa yang membantu
pembangunan kuil di desa tempat Handa tinggal. Handa sangat terkesan dengan
tulisan tersebut, karena tampak seperti barang antik. Seperti percakapan antara
Handa dengan kakek Naru berikut:
51
半田さん :神社で俺のやることって何ですか。お祓い?
お祖父さん :ほれ こっば見てみれ
神社ん建った時に 寄付してくれた人の名前
Handa san : Jinja de ore no yarukototte nandesuka? Oharai?
Oji san : Hore, kobba mitemire.
Jinjan tattatoki ni, kibunshitekureta hito no namae.
Handa san : Apa yang harus aku lakukan di kuil? Pemurnian?
Oji san : Coba lihat itu.
Ini adalah nama orang yang membantu dalam pendirian
kuil.
Kemudian pada percakapan selanjutnya Handa sangat kagum dengan
Shodo yang ada pada kuil tersebut. Seperti yang terlihat dalam percakapan antara
Handa dengan Kakek Naru berikut:
お祖父さん :そろそろ書き直さんばち思ってな。はい、これ名
簿。市の業者に頼んで書き直してもらおうち思っ
ちょったけど。先生のほう上手やろ。
ほれ。
半田さん :うわー、すごいですね。年代もの。
Ojii san : Soro soro kakinaosanbachato omottena. Hai, kore meiba.
Ichi no gyousha ni tanonde kakinaoshite moraochi omo-
cchottakedo. Sensei no hou jouzu yaro. Hore.
Handa san : Uwaa, sugoi desune. Menbai mono.
Ojii san : Kami berpikir ulang untuk menulis itu. Ini ambilah daftar
nama. Sebenarnya kami akan mempekerjakan orang kota
untuk menulis ulang, tapi. Sensei lebih baik kan? Ini.
Handa san : Wow, barang antik yang menakjubkan.
52
Kekaguman Handa kepada tulisan Shodo yang ada di dalam kuil
dikarenakan Shodo tersebut layaknya barang antik. Dilihat dari sudut pandang
mise-en-scene yaitu seting yang mana menggambarkan rupa dari sebuah objek,
kayu dari tempat Shodo yang Handa pegang tampak terlihat berwarna coklat
kusam dan terdapat banyak garis-garis. Kusam dan garis di sini menunjukkan
bahwa kayu tersebut sudah tua atau dimakan usia dan sedikit lapuk. Jika
dibandingkan dengan Shodo yang baru Handa tulis terlihat jelas perbedaan
penampakan dari kayu yang digunakan. Kayu yang baru dilambangkan dengan
warna yang lebih cerah dan terlihat lebih halus permukaannya.
Keseluruhan hal tersebut membuktikan bahwa Shodo nama orang desa
pendiri kuil memiliki krakteristik nilai keindahan Kokou. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya bahwa Kokou dapat diartikan menjadi kering, ciut, gersan, atau layu.
Secara singkat, Kokou mempunyai arti telah berpengalaman menempuh waktu
kehidupan. Kayu yang lapuk menggambarkan bahwa Shodo tersebut sudah
melewati waktu yang panjang, sehingga penampakannya terdapat kerutan pada
permukaan kayu, seperti sudah berumur lama. Hal ini menjadikan nilai keindahan
Shodo tersebut dapat terpancar dan dapat membuat Handa terkesan. Handa pun
menilai bahwa Shodo tersebut merupakan menbai mono atau barang antik. Jika di
lihat di kehidupan nyata, sebuah barang antik akan dapat bernilai sangat tinggi,
khususnya dalam segi nilai ekonomis.
Shodo yang terdapat pada kuil ini ditulis menggunaka gaya Gyosho. Dapat
dilihat dari ujung goresan yang seperti menyambung antara goresan sebelum dan
sesudah. Peralihan dari goresan satu ke goresan setelahnya terlihat lembut, karena
53
pada dasarnya gaya Gyosho ditulis dengan pergerakan tangan yang sedikit cepat
dan lebih fleksibel.
4.3.4 Shizen
Shizen dapat diartikan sebuah kealamian. Kealamian yang dimaksud
adalah proses yang terjadi dengan sendirinya, tanpa dibuat-buat, mengalir dengan
sendirinya karena tidak diawali dengan sebuah pemikiran dan sebuah tujuan
sehingga menghasilkan objek yang apa adanya. Nilai Shizen tanpak pada Shodo di
bawah ini:
Data 1
(BK/01/00:00:08) (BK/01/00:00:12)
(BK/01/00:21:00)
Gambar 4.3.6 Pergerakan Tangan Handa dan Shodo Tanoshi
Pada Shodo Tanoshii di atas dapat terlihat Handa menulis dalam keadaan
senang, karena menulis Shodo sambil tertawa. Dalam kondisi demikian Handa
seolah tidak dapat mengontrol diri sendiri saat meluapkan kesenangan yang
diperoleh. Handa seolah dapat melakukan sebuah aktivitas yang tanpa sadar dan
54
dengan spontanitas terjadi begitu saja. Seperti tidak ada beban yang dirasakan
dalam aktivitas yang dilakukan.
Nilai kealamian tulisan Shodo Tanoshi muncul akibat perasaan Handa
menjadi senang. Sehingga berpengaruh pada saat Handa menulis Shodo.
Pergerakan tangan Handa yang tidak terkontrol, seolah bergerak dengan cepat dan
tanpa pikir panjang, seperti tidak ada jeda yang diperlihatkan antara goresan satu
ke goresan selanjutnya. Hal ini ditunjukkan oleh bulu kuas dan tinta yang
digambarkan seolah melambai dan terbang. Sumi yang tercecer di mana-mana,
baik di pintu, lantai, dinding kayu dan yang mengalir menetes ke bawah dengan
sendirinya, seperti menunjukkan pergerakan tangan yang tidak terkontrol. Semua
ini dilakukan Handa dengan spontan, sehingga cenderung menghasilkan tulisan
yang apa adanya dan tidak dipaksakan mengikuti bentuk tertentu. Hal ini seperti
perkataan Handa berikut ini yang mengakui bahwa tulisan Shodo Tanoshii ini
merupakan bentuk spontanitas:
半田さん :この島に来て一週間。まだ納得した字は書けていな
い。あれは勢いだけで書いた書。
Handa san : Kono shima ni kite isshukan. Mada nattokushita aza ha
kaketeinai. Are ha ikioi dake de kaita sho
Handa san : Sudah satu minggu semenjak aku datang ke pulau ini, aku
masih belum menghasilkan karya yang bagus. Waktu itu
hanya spontanitas saja.
Dialog di atas ditampilkan dalam anime Barakamon episode berikutnya yang
menunjukkan bahwa Handa sudah berada di pulau Goto selama satu minggu.
55
Data 2
(BK/04/00:18:06) (BK/04/00:18:35)
(BK/04/00:19:47) (BK/04/00:19:51)
Gambar 4.3.7 Proses pembeuatan Shodo Yuigadokuson-maru
Shodo di atas menceritakan Handa yang sedang membantu ayah Miwa
untuk membuat tulisan Shodo di atas perahu. Pada saat Handa akan menulis, tiba-
tiba menjadi ragu, karena belum memperhitungkan kelengkungan dari lambung
kapal, sehingga takut Shodo yang dihasikan tidak sesuai. Seketika Naru maju
kemudian menempelkan tangan yang sudah dilumuri cat ke lambung kapal,
tempat Handa akan menulis Shodo. Spontan apa yang dilakukan Naru membuat
Handa terkejut. Anak-anak lainnya yang berada di pelabuhan juga mengikuti apa
yang Naru lakukan. Untuk menutupi cetakan tangan yang anak-anak buat, Handa
memutuskan untuk mulai menulis. Nilai Shizen kemudian dapat terlihat dari sini.
Shodo Yuigadokuson-maru terbentuk dari unsur kesengajaan yang dilakukan Naru
dan anak-anak lainnya yang menempelkan cetakan tangan di atas perahu. Namun
dari kesengajaan itu timbul nilai kealamian di dalamnya yang ditunjukkan saat
Handa berusaha menutup cetakan tangan tersebut dengan Shodo yang Handa tulis
untuk menghilangkan kesengajaan yang dibuat, sehingga terlihat alami. Ketika
56
menulis Handa juga tidak berpikir banyak, seperti menghitung kelengkungan
lambung kapal, agar jarak antar Shodo sama. Karena cetakan kecil tersebut justru
membuat Handa mudah untuk menulis. Hal ini Handa ungkapkan dalam
lamunannya sebagai berikut:
半田さん :不思議なもんだ。さっきまであんなに怖かったの
に。重圧が全く無くなって。筆の走りが軽い。小さ
い手形があるだけ それだけなのに。
Handa san : Fushigina monda. Saki made anna ni kowakatta noni.
Juuatsu ga mattaku nakunatte. Fude no hashiri ga karui.
Chiisai tegata aru dake, sore dake nanoni.
Handa san : Ini aneh. Beberapa saat lalu aku takut. Tapi tekanan ben-
ar-benar hilang, dan kuas mudah untuk digerakkan. Ha-
nya karena cetakan tangan kecil
Shodo yang Handa buat juga tidak dipaksakan mengikuti bentuk sebuah cetakan
yang pada awalnya ingin Handa buat, melainkan tulisan yang apa adanya,
mengikuti bentuk kuas yang digunakan.
Shodo Yuigadokuson-maru ini ditulis menggunaka gaya Kaisho. Selain
kuas yang digunakan yaitu kuas cat, yang memang bukan diperuntukkan untuk
menulis Shodo, apalagi menulis Shodo dengan gaya Gyoso atau Sosho , tulisan
Shodo ini diakhir goresan seperti ditekan dan tidak terhubung dengan goresan
selanjutnya. Selain itu Shodo ini masih berusaha mempertahankan bentuk aslinya,
sehingga mudah dibaca oleh siapa saja.
57
Data 3
(BK/09/00:20:43) (BK/09/00:21:00)
Gambar 4.3.8 Handa menulis Shodo Hoshi dan hasil seseudah menulis
Shodo Hoshi di atas juga terdapat nilai kealamian di dalamnya. Hal ini
dikarenakan dalam proses pembuatannya dilakukan dengan cepat. Gambar 4.3.8
pada scene episode 9 menit ke 20 detik ke 43 merupakan teknik pengambilan
gambar Hight Angel Shot yang menjadikan kamera bergerak dari atas ke bawah.
Teknik Hight Angel Shot kemudian dipadukan dengan teknik Close Up di mana
sorotan kamera terfokus pada tangan Handa. Sehingga terlihat pergerakan tangan
Handa yang bergerak cepat. Pergerakan tangan yang cepat menandakan untuk
menulis Shodo Handa tidak berfikir terlebih dahulu, sehingga dihasilkan tulisan
Shodo yang apa adanya. Ketika mendapat sebuah inspirasi, Handa segera
mengkonversikan inspirasi yang didapat ke dalam sebuah karya Shodo.
4.3.5 Yuugen
Yuugen meiliki arti kedalaman esensi atau kedalaman makna. Karakteristik
Yuugen yaitu kegelapan. Kegelapan di sini dapat diidentifikasikan dengan
keadaan yang minim cahaya atau warna yang berwarna gelap yang dapat
memunculkan makna yang terkandung di dalam sebuah objek, kemudian
memberikan ketenangan pikiran.
58
Data 1
(BK/02/00:10:06) (BK/02/00:10:27)
(BK/02/00:11:11)
Gambar 4.3.9 Shodo hasil latihan Handa.
Gambar 4.3.9 menampilkan latar tempat yang cukup berantakan, karena
banyaknya kertas dengan tulisan Shodo hasil latihan Handa. Sebuah kaligrafi yang
merupakan kanji “kyoku no kyokugen” yang memiliki arti sepenuhnya atau
bersungguh-sungguh ditampilkan dalam ukuran besar. Suasana ruangan pada
Gambar 4.3.9 juga terlihat gelap, tanpa ada penerangan lampu. Adegan di dalam
gambar diceritakan bahwa Naru dan Hiroshi tengah masuk ke dalam kamar Handa
yang merupakan tempat menaruh hasil latihan Shodo Handa. Pada saat itu Handa
tengah pingsan akibat kelelahan berlatih Shodo. Dalam kamar Handa, Hiroshi
tertegun melihat tulisan Shodo Handa yang begitu banyak.
Shodo hasil latihan Handa pada Gambar 4.3.9 mewakili nilai estetika Zen
Buddhisme yaitu Yuugen. Yuugen yang memiliki karakteristik kegelapan
ditunjukkan oleh keadaan kamar yang gelap. Walaupun gelap tidak menjadikan
Naru yang masih anak kecil dan juga Hiroshi takut. Naru dengan santai masuk ke
59
dalam ruangan dengan berlari. Perasaan tenang kemudian ditimbulkan setelahnya.
Naru yang pada dasarnya memiliki tingkah yang hiperaktif, dalam sejenak
berbicara kepada Hiroshi dengan nada yang lembut. Naru menyampaikan kepada
Hiroshi bahwa Handa merasa belum bisa menemukan tulisan yang bagus walau
sudah menulis banyak, karena merasa tidak mempunyai bakat. Sementara Hiroshi
yang pada awal episode diceritakan tengah mengalami masalah karena nilai hasil
belajar di SMA mendapat nilai yang rendah, setelah melihat Shodo karya Handa,
dapat menyadari kesalahan yang dilakukan sehingga mendapat nilai yang rendah.
Dari tulisan Shodo tersebut Hiroshi melihat bagaimana Handa bekerja keras,
dengan sepenuh tenaga untuk berlatih Shodo, hingga menyebabkan Handa
pingsan karena kelelahan. Hiroshi menyadari bahwa selama ini hanya berusaha
setengah-setengah dalam belajar. Hiroshi juga menganggap bahwa Handa
sejatinya mempunyai bakat. Hal ini seperti percakapan Hiroshi dengan Naru:
浩志さん :なる やっぱり先生は才能あるぞ。
なるちゃん :何 浩志には分かっとか。
浩志さん :いや よく分からんけど。
なるちゃん :何かっち やらせじゃん。
浩志さん :努力できるのが一番の才能だなあ。
Hiroshi san : Naru, yappari sensei ha saino aruzo.
Naru chan : Nani, Hiroshi ni ha wakattoka?
Hiroshi san : Iya, yoku wakarankedo.
Naru chan : Nankachi, yarasejan.
Hiroshi san : Doryoku dekiru no ga, ichiban no sainou danaa.
Hiroshi san : Naru, sensei itu punya bakat
60
Naru chan : Apa? Kok Hiroshi tahu?
Hiroshi san : Tidak, sebenarnya aku tidak tahu.
Naru chan : Apa? Kau bohong ya?
Hiroshi san : Bekerja keras adalah bakat terbaik.
Percakapan di atas menunjukkan bahwa secarat tidak langsung Shodo
yang ditulis Handa dapat mengubah pandangan Hiroshi. Hiroshi dapat memaknai
arti bekerja keras dengan baik. Air mata Hiroshi juga sempat keluar karena begitu
mendalami makna dari tulisan Shodo Handa. Air mata dapat keluar ketika
seseorang mengalami kondisi emosional tertentu. Kebanyakan air mata muncul
karena seseorang merasa sedih. Namun tidak selalu karena sedih, kadang air mata
dapat muncul karena seseorang merasa senang, ataupun terharu, seperti yang
dialami oleh Hiroshi.
Shodo Kyoku kali ini ditulis dengan mengunakan gaya Kaisho. Terlihat
dari bentuk Shodo yang masih menyerupai Kanji Kyoku itu sendiri. Goresan kuas
yang dihasilkan pun terkesan tegas, layaknya gaya Kaisho. Tulisan yang tegas
tersebut menandakan bahwa terdapat makna yang dalam di balik karya Shodo
yang ditulis, seolah Shodo ini menggambarkan sebuah kekuatan yang tidak
berujung.
Data 2
(BK/09/00:20:07) (BK/11/00:01:21)
61
(BK/11/00:08:25)
Gambar 4.3.10 Handa melihat bintang dan Shodo Hoshi
Shodo Hoshi di atas juga memiliki unsur Yuugen di dalamnya. Awalnya
Handa terperosok ke dalam jurang di belakang rumah Handa saat perjalanan
pulang setelah bermain dengan Naru dan kawan-kawan. Latar tempat yang di
tampilkan pada scene tersebut menunjukkan waktu pada malam hari dan tempat
yang gelap tanpa adanya penerangan. Dalam keadaan tersebut Handa berusaha
menenangkan diri. Seketika Handa yang tanpa sengaja melihat ke atas, merasa
takjub dengan penampakan bintang yang begitu indah. Dan hal itu dapat membuat
Handa sedikit tenang. Rasa takut yang awalnya menghinggapi Handa perlahan
mulai hilang. Beberapa saat kemudian ada bintang jatuh, seketika Handa membuat
permohonan, berharap agar anak-anak desa sadar jika Handa belum pulang dan
mencari Handa. Tidak lama datang Miwa, Tama dan Naru menolong Handa
pertanda permintaan Handa terkabul. Sesampai di rumah, Handa langsung
menulis Shodo yang terinspirasi dari penampakan bintang di bukit belakang
rumah Handa.
Kegelapan pada tulisan Shodo Hoshi tercermin dari warna hitam yang
Handa gunakan sebagai background sekaligus melambangkan malam hari.
Kemudian warna putih pada huruf Kanji melambangkan bintang yang bersinar
terang. Warna putih juga dilambangkan sebagai sebuah Harapan yang tinggi.
Seperti yang dikatakan oleh presiden pengelola pameran berikut:
62
課長 :君は見違えるほど面白い字を書けるようになった
な。小学校の課題のような一文字に。夜空の星が見
える。暗闇の取り残されたような心細さと闇の中で
しか見えない光。
Kachou : Kimi ha michigaeru hodo omoshiroi aji wo kakeru youni
nattana. Shogakkou no kadai no youna ichimonjini.
Yozorano hoshi ga mieru. Kurayami ni torikosareta
youna kokoro hososa to, yami no uchi de shika mienai
hikari.
Kachou : Kau menulis sesuatu yang menarik, aku hampir tidak
yakin ini milikmu. Karakternya seperti salah satu dari
tugas SD. Ini menunjukkan harapan yang tertinggal
dalam kegelapan. Bersama cahaya yang terlihat di dalam
kegelapan.
Shodo Hoshi kali ini ditulis dengan mengunakan gaya Kaisho. Terlihat
dari bentuk Shodo yang masih menyerupai Kanji Hoshi serta goresan kuas yang
dihasilkan tegas, layaknya gaya Kaisho. Tulisan yang tegas tersebut menandakan
bahwa terdapat makna yang dalam di balik karya Shodo yang ditulis
4.3.6 Datsuzoku
Datsuzoku memiliki arti kebebasan. Kebebasan dalam berekspresi tanpa
terpaku pada kaidah, peraturan, teori, atau kebiasan-kebiasaan yang ada. Menurut
Imanuel Kant seorang seniman sejati menciptakan kaidahnya sendiri yang
diperlukan untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga terkadang jika seorang
seniman ditanya konsep apa yang mendasari sebuah karya yang diciptakan, tidak
dapat memberi tahu (Hauskeller, 2010:38). Karena memang kaidah itu mengalir
63
begitu saja sesuai dengan kreativitas yang dimiliki. Nilai Datsuzoku pada karya
Shodo Handa dapat dilihat pada Shodo berikut ini:
Data 1
(BK/08/00:01:01)
Gambar 4.3.11 Shodo Kuchi, Renge dan Hane
Shodo yang ditunjukan pada Gambar 4.3.11 tidak ditulis dengan
menggunakan kuas atau fude. Namun ditulis dengan menggunakan bulu ayam,
sendok dan juga mangkok. Pada dasarnya Shodo ditulis menggunakan fude. Hal
ini menandakan sebuah kebebasan yang tidak berpaku pada kebiasaan yang ada.
Handa ingin menemukan sebuah tulisan yang berbeda dengan mencari sebuah
terobosan baru dengan menggunakan kreativitas yang dimiliki. Handa termotivasi
oleh perkataan Kawafuji yang mengatakan bahwa peran kaum muda adalah
merintis jalan baru tanpa takut gagal.
Gaya tulisan pada Shodo di atas adalah Reisho. Karena tidak menggunakan
fude atau kuas, melainkan alat lain untuk menulis, bentuk dari Shodo tersebut
sedikit kaku layaknya gaya Reisho. Sehingga dapat disimpulkan dari eksperimen
yang dilakukan Handa, yang tidak berpaku pada kebiasaan yang dilakukan dapat
tercipta gaya tulisan Reisho
64
Data 2
(BK/04/00:17:24) (BK/04/00:19:51)
Gambar 4.3.12 Tulisan Shodo di atas lambung kapal
Gambar 4.3.12 menceritakan Handa yang diminta untuk menulis Shodo di
atas lambung kapal milik ayah Miwa. Unsur Datsuzoku pada Gambar 4.3.12
terletak pada alat dan media yang digunakan. Handa menulis tidak menggunakan
kuas Shodo yang biasa digunakan Handa untuk menulis, namun menggunakan
kuas tembok. Kemudian media untuk menulis menggunakan lambung kapal.
Karena dirasa terlalu sulit setelah melakukan analisa sesaat, Handa kemudian
memutuskan untuk membuat cetakan huruf yang diiminta, kemudian menulis
dengan kuas yang tersedia. Namun hal itu di tolak oleh ayah Miwa. Seperti yang
terangkum dari percakapan berikut:
半田さん :下書きが必要なんでいったん家に戻って書いてき
ます。まずは紙に書いた文字を切り抜いて。その上
からペンキを塗り。
美和父 :待て待て 先生。そっじゃ船の板金屋と変わらん。
おいは自分オリジナルの船がほしいか。
半田さん :そう言われても いつも使わない道具だし。紙以外
のものに書くなんて。
Handa san : Shitagaki ga hitsuyonande, ittan ie ni modotte kaite-
kimasu. Mazu ha kami ni kaita moji wo kirinuite. So-
65
no ue kara penki wo nuri.
Miwa Chichi : Matte, matte sensei. Sojja fune no bankinya to kawaran.
Oiwa jibun orijinaru no fune ga hoshiika.
Handa san : Sou iwaretemo, itsumo tsukawanai dougu dashi. Kami
igai no mono ni kakunante.
Handa san : Aku perlu membuat rancangan, jadi harus kembali me-
nulis di rumah. Pertama aku memotong huruf yang di-
tulis, lalu memberi cat di atasnya.
Ayah Miwa : Tunggu, tunggu sensei. Kau pikir aku mau tulisan seperti
itu? Aku mau tulisan kapal yang berbeda!
Handa san : Ya, tapi ini bukan alat tulis yang biasa aku gunakan, dan
juga aku tidak menulis di atas kertas.
Handa pada akhirnya menyanggupi untuk menulis Shodo walaupun belum
pernah melakukan proses penulisan seperti itu. Karena menggunakan alat tulis
yang tidak biasa digunakan dan bukan menulis di atas kertas melainkan pada
lambung kapal membuat Handa harus mengeluarkan kreativitas lebih. Hal ini
merupakan salah satu cerminan dari nilai Datsuzoku.
Data 3
(BK/07/00:13:48)
Gambar 4.3.13 Shodo Tai atau ikan kakap merah
Shodo pada gambar 4.3.13 juga mempunya unsur Datsuzoku atau
kebebasan. Penggunaan ikan sebagai pengganti fude untuk menulis Shodo
66
menunjukkan sebuah kreativitas yang tidak terpaku pada sebuah kebiasaan dalam
menulis Shodo.
4.3.7 Seijaku
Seijaku memiliki makna ketenangan yang diartikan tidak terganggu.
Ketenangan tersebut dapat diperoleh walaupun dalam kondisi yang berisik
sekalipun. Nilai Seijaku pada Shodo karya Handa ditunjukkan pada Shodo berikut:
Data 1
(BK/06/00:16:45) (BK/06/00:16:49)
(BK/06/00:16:50) (BK/06/00:16:52)
Gambar 4.3.14 Kyousuke sedang melihat Shodo Handa.
Gambar 4.3.14 pada menit ke enam belas detik ke empat puluh lima
menunjukkan Kyousuke yang tengah melihat Shodo karya Handa dengan latar
orang-orang yang sangat ramai. Namun kemudian pada menit ke enam belas detik
ke lima puluh terlihat suasana seolah menjadi sepi. Ini menunjukkan bahwa Shodo
karya Handa memiliki nilai keindahan Seijaku di dalamnya. Karena ketika melihat
Shodo karya Handa, Kyousuke digambarkan sedang sendirian. Sendiri pada
67
gambar 4.3.14 mencerminkan sebuah ketenangan yang diperoleh Kyousuke
karena terpukau oleh keindahan dari kaligrafi Handa. Sedangkan pada
kenyataannya Kyousuke melihat bersama orang banyak. Pada menit ke enam
belas detik ke enam puluh lima digambarkan dari ketenangan yang diperoleh,
Kyousuke seolah mendapat pencerahan setelahnya, yaitu di mana Kyousuke
kembali termotivasi untuk menulis Shodo lagi, yang sebelumnya memutuskan
untuk berhenti.
Shodou yang dilihat oleh Kyousuke di atas ditulis dengan menggunakan
gaya Gyosho. Bentuk dari kanji yang ditulis pada Shodo di atas sedikit lebih
fleksibel, serta banyak urutan goresan yang digabung menjadi satu yang
menandakan jika ketika menulis Shodo tersebut Handa sedikit tidak
memperhatikan urutan penulisan huruf. Ujung goresan satu dengan yang lainnya
juga banyak yang menyatu, sehingga semakin menambah keindahan dari Shodo
yang ditulis.
Data 2
(BK/02/00:10:06) (BK/02/00:10:27)
68
(BK/02/00:10:27)
Gambar 4.3.15 Shodo hasil latihan Handa.
Nilai Seijaku dapat dilihat dari penampakan pada latar yang tercermin
dalam adegan di atas, yaitu sebuah kamar yang berantakan, dipenuhi dengan
banyak sekali tulisan Shodo hasil latihan Handa. Orang awam mungkin akan
menganggap sebagai sesuatu yang jorok, tidak rapih, dan risih untuk masuk ke
dalam kamar tersebut. Namun pada adegan di atas Hiroshi mampu mendapatkan
sebuah ketenangan. Dari ketenangan yang diperoleh, perasaan Hiroshi menjadi
lebih baik, yang ditunjukkan oleh air mata yang menetes, dan mampu berfikir. Hal
ini menandakan Hiroshi tidak terganggu untuk dapat memaknai tulisan Shodo
Handa kendati berada dalam kamar yang berantakan.
69
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Nilai estetika Zen Buddhisme dari 12 kaligrafi Jepang atau Shodo yang
dianalisis dalam anime Barakamon karya Masaki Tachibana mengandung
ketujuh nila estetika Zen Buddhisme menurut Hisamatsu Shin’ichi, yaitu
Fukinsei, Kanso, Kokou, Shizen, Yuugen, Datsuzoku, dan Seijaku.
Karakteristik dari Shodo dalam anime Barakamon yang mencerminkan
karakteristik nilai estetika Zen ditunjukkan oleh bentuk, ukuran, perbedaan
warna, teknik menulis, pencahayaan, kondisi lingkungan yang kemudian
di dukung oleh dialog seorang tokoh, maupun dialog antar tokoh.
2. Nilai estetika Zen Buddhisme Hisamatsu Shin’ichi ditunjukkan oleh
keseluruhan Shodo yang terdapat dalam anime Barakamon yaitu sebagai
berikut:
a. Nilai Fukinsei dicerminkan oleh tiga Shodo yaitu Shodo kanji
“Tanoshii” yang ditulis Handa pada saat malam hari setiba di pulau
Goto, Shodo kanji “nama warga desa” yang ditulis Handa untuk
pameran dan perlombaan Naruka, dan Shodo kanji “ Tai” yang
ditulis Handa setelah memancing
b. Nilai Kanso ditunjukkan oleh satu buah Shodo yaitu Shodo dengan
kata-kata “Esunikku Ryouriten Emapumuza” pada banner untuk
rumah makan Jepang.
70
c. Nilai Kokou ditunjukkan oleh satu Shodo yaitu Shodo kanji “nama
warga desa” yang membangun kuil dan terdapat di dalam kuil yang
ada di pulau Goto
d. Nilai Shizen ditunjukkan oleh tiga buah Shodo yaitu Shodo kanji
“Raku” yang ditulis Handa pada saat malam hari setiba di pulau
Goto, Shodo kanji “Yuigadokuson-maru” pada perahu ayah Miwa,
dan Shodo kaniji “Hoshi” yang ditulis Handa setelah terjebak di
jurang bukit belakang rumah pada malam hari.
e. Nilai Yuugen ditunjukkan oleh dua Shodo yaitu Shodo kanji
“Kyoku” yang terdapat di dalam kamar Handa dan juga Shodo
kanji “Hoshi” yang ditulis Handa setelah terjebak di jurang bukit
belakang rumah pada malam hari.
f. Nilai Datsuzoku ditunjukkan oleh tiga Shodo yaitu Shodo kanji
“Hane”, “Renge” dan “Kuchi” yang Handa tulis dengan bulu,
sendok porselen dan mangkok, Shodo kanji “Yuigadokuson-maru”
pada perahu ayah Miwa, Shodo kanji “Tai” yang ditulis Handa
setelah memancing.
g. Nilai Seijaku ditunjukkan oleh dua Shodo yaitu Shodo yang Handa
buat pada pameran yang dilihat oleh Kyousuke dan Shodo kanji
“Kyoku” beserta hasil latihan Handa yang terdapat di dalam kamar.
5.2 Saran
1. Penelitian berikutnya dapat mengembangkan penelitian ini dengan
menggunakan teori resepsi sastra.
71
2. Penelitian berikutnya dapat mengambil objek Shodo yang kemudian
dikaitkan dengan tema pendidikan, yaitu meneliti tentang metode
pembelajara Shodo terhadap kecepatan pembelajar untuk memahami Kanji.
3. Penelitian berikutnya dapat mengambil objek lain dalam anime
Barakamon, seperti psikologi tokoh pada anime Barakamon atau unsur
sosial dalam anime Barakamon.
72
DAFTAR PUSTAKA
Film:
Masaki, Tachibana. 2014. Barakamon. Tokyo. Kinema Cytrus.
Buku:
Arikunto, S. 1983. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Bina
Aksara.
Berger, A. Asa. 2010. Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayan
Kontemprer. Yogyakarta. Tiara Wacana.
Bitteraty, U. 2016. Chandramawa. Yogyakarta. Garudawacana.
Bruce, Mamer. 2013. Film Production Technique: Creating the Accomplished
Image Sixth Edition. Stamford. Cengage Learning.
Dharmawan. 1987. Pendidikan Seni Rupa. Bandung. CV Amirco.
Hauskeller, Michael. 2015. Seni-Apa itu?: Posisi Estetika dari Platon sampai
Danto. Yogyakarya. PT Kanisius.
Kartika, D.S., Perwira, N.G. 2004. Pengantar Estetika. Bandung. Rekayasa Sains.
Maulana, I. M. 2007. Majalah Akses Edisi ke-6: Jurus Jitu Bisnis di Jepang
(Kebudayaan Jepang: Paradoks Wafuku Versus Yofuku). Jakarta.
Direktorat Jenderal Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri.
Pratista, H. 2008. Memahami Film. Yogyakarta. Homerian Pustaka.
Ratna, N. K. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar.
Rido, dkk. 2015. Japanese Station Book. Jakarta. Bukune.
Rokhmansyah, A. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra; Perkenalan Awal Terhadap
Ilmu Sastra. Yogyakarta. Graha Ilmu.
73
Sato, S. 2013. Shodo: The Quet Art of Japanese Art of Calligraphy. Tokyo. Tuttle
Publishing.
Schumann, O. H. 2003. Agama dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian, dan
Masa Depan : Punjung Tulis 60 Tahun Prof. Dr. Olaf Herbert
Schumann. Jakarta. Gunung mulia.
Simutorang dan Hamazon. 2009. Ilmu Kejepangan 1 (edisi revisi). Medan. USU
Press.
Siswanto, A.V. 2012. Startegi dan Langkah-Langkah Penelitian Sastra.
Yogyakarta. Graha Ilmu.
Subarna, A. D., dkk. 2006. Sistem Tulisan dan Kaligrafi:Buku Pelajaran
Kesenian Nusantara untuk Siswa Kelas XI. Jakarta. Lembaga
Pendidikan Seni Nusantara.
Sutrisno, S. J., Muji dan Christ Verhaak, S.J. 1993. Estetika Filsafat Keindahan.
Yogyakarta. Kansius.
Yudhistira dan Adjie, B. 2007. Buku Latihan 3D Studio MAX 9.0. Jakarta. PT
Elex Media Komputindo.
Skripsi dan Jurnal:
Azhar, E. F. 2008. Nilai-nilai estetika pada Taman Jepang Khususnya pada
Taman Karesansui: Dianalisis Berdasarkan Teori Estetika Wabi dan
Sabi Menurut Terao Ichimu dan Teori Estetika Zen Menurut
Hisamatsu Shin’ichi.Jakarta. Universitas Indonesia.
Djatiprambudi, J. 2012. Spiritualitas Zen Dalam Seni Rupa Kontemporer Jepang.
Semarang. Universitas Negri Semarang.
Wemangko, M. 2012. Nilai Zen Buddhisme dalam Seni Bela Diri Karate. Jakarta.
Universitas Indonesia
Nurintan, E. 2009. Nilai-nilai Zen Budhhisme dalam Estetika Keramik
Tradisional Jepang. Medan. Universitas Sumatra Utara.
top related