neuropati perifer et causa efek samping isoniazid
Post on 05-Dec-2015
277 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Neuropati Perifer et causa Efek Samping Isoniazid
Dea Mindy Sasmita
102012409
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
Deamindy@yahoo.com
Pendahuluan
Berdasarkan perbedaan sifat-sifat fisiknya, secara antropologis manusia digolongkan
dalam berbagai suku dan ras. Penggolongan ini didasarkan atas perbedaan parameter
morfologis yang antara lain terdiri dari warna kulit, warna dan tekstur rambut, tinggi badan,
bentuk raut muka, bentuk hidung, dan sebagainya yang membedakan suku-suku tertentu
dengan suku lainnya.1 Dalam pendekatan secara genomik, perbedaan-perbedaan morfologis
tersebut ternyata disebabkan oleh adanya beberapa gen yang bertanggung jawab terhadap
perbedaan fenotip dari masing-masing etnik.1
Keterlibatan gen dan protein di dalam perjalanan penyakit dan respon tubuh terhadap
obat telah lama menjadi perhatian para praktisi baik dalam bidang kedokteran maupun dalam
bidang farmasi.1 Farmakogenomik merupakan salah satu bidang ilmu yang diyakini dapat
menjelaskan bahwa adanya perbedaan respon dari setiap individu terhadap obat yang
diberikan sangat erat kaitannya dengan perbedaan genetik dari masing-masing individu
tersebut. Semakin banyak informasi yang diketahui tentang peranan genetik dalam respon
obat khususnya pada tingkat molekuler akan membantu para peneliti dalam pengembangan
obat. Untuk itu dibutuhkan suatu perangkat yang mampu mengidentifikasi
suatu marker tertentu yang dapat memperkirakan terjadinya respon negatif atau respon positif
dalam pengembangan obat yang didasarkan pada pendekatan teknologi genom tersebut.1
Obat Anti Tuberculosis
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibotik dan
anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan
atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah
resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid,
dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer.2 Isoniazid adalah obat TB
yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan
streptomisin. Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. Paduan
pengobatan yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
TB oleh Pemerintah Indonesia :2
1
• Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3.
• Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3.
• Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3.
• Disamping ketiga kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. 1 paket untuk 1 penderita dalam 1 masa pengobatan.
Tahap Pengobatan Lamanya Pengobatan
Dosis per hari/kali
Jumlah blister harian *)
Tablet
Isoniazi
d
@ 300
mg
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
Tablet
Pirazinamid
@ 500 mg
Tablet
Etambutol
@ 250
mg
Tahap intensif (dosisharian)
2 bulan 1 1 3 3 56
Tahap lanjutan
(dosis 3 x
seminggu)
4 bulan
2 1 --- --- 48
Tabel 1. Paduan OAT Kategori 1 dalam paket kombipak untuk penderita dengan berat
badan antara 33 – 50 kg.2
Catatan : *) 1 bulan = 28 blister (dosis) harian
Satu paket kombipak kategori 1 berisi 104 blister harian yang terdiri dari 56 blister HRZE
untuk tahap intensif, dan 48 blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam
dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.
Isoniazid
Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik Isoniazida 100 mg dan 300 mg /
tablet Nama lain Isoniazida : Asam Nicotinathidrazida; Isonikotinilhidrazida; INH. Untuk
pencegahan, dewasa 300 mg satu kali sehari, anak anak 10 mg per berat badan sampai 300 mg, satu
kali sehari. Untuk pengobatan TB bagi orang dewasa sesuai dengan petunjuk dokter / petugas
kesehatan lainnya. Umumnya dipakai bersama dengan obat anti tuberkulosis lainnya. Dalam kombinasi
2
biasa dipakai 300 mg satu kali sehari, atau 15 mg per kg berat badan sampai dengan 900 mg, kadang
kadang 2 kali atau 3 kali seminggu. Untuk anak dengan dosis 10 20 mg per kg berat badan. Atau 20 –
40 mg per kg berat badan sampai 900 mg, 2 atau 3 kali seminggu.2
Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis aktif, disebabkan
kuman yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi mendapatkan infeksi. Dapat
digunakan tunggal atau bersama-sama dengan antituberkulosis lain. Kontraindikasi. Kontra
indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau reaksi adversus, termasuk demam, artritis,
cedera hati, kerusakan hati akut, tiap etiologi kehamilan(kecuali risiko terjamin). 2 Kerja Obat.
Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.
Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang.
Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesa mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun
dinding bakteri. Efek Samping. Efek samping dalam hal neurologi: parestesia, neuritis perifer,
gangguan penglihatan, neuritis optik, atropfi optik, tinitus, vertigo, ataksia, somnolensi, mimpi
berlebihan, insomnia, amnesia, euforia, psikosis toksis, perubahan tingkah laku, depresi, ingatan tak
sempurna, hiperrefleksia, otot melintir, konvulsi.Hipersensitifitas demam, menggigil, eropsi kulit
(bentuk morbili,mapulo papulo, purpura, urtikaria), limfadenitis, vaskulitis, keratitis.2 Hepatotoksik:
SGOT dan SGPT meningkat, bilirubinemia, sakit kuning, hepatitis fatal. Metaboliems dan endrokrin:
defisiensi Vitamin B6, pelagra, kenekomastia, hiperglikemia, glukosuria, asetonuria, asidosis
metabolik, proteinurea. Hematologi: agranulositosis, anemia aplastik, atau hemolisis, anemia,
trambositopenia. Eusinofilia, methemoglobinemia. Saluran cerna: mual, muntah, sakit ulu hati,s
embelit. Intoksikasi lain: sakit kepala, takikardia, dispenia, mulut kering, retensi kemih (pria), hipotensi
postura, sindrom seperti lupus, eritemamtosus, dan rematik.
Rifampisin
Sediaan dasar yang ada adalah tablet dan kapsul 300 mg, 450 mg, 600 mg Dosis
Untuk dewasa dan anak yang beranjak dewasa 600 mg satu kali sehari atau 600 mg 2 – 3 kali
seminggu. Rifampisin harus diberikan bersama dengan obat anti tuberkulosis lain.2 Bayi dan
anak anak, dosis diberikan dokter / tenaga kesehatan lain berdasarkan atas berat badan yang
diberikan satu kali sehari maupun 2-3 kali seminggu. Biasanya diberikan 7,5 – 15 mg per kg
berat badan. Anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia adalah 75 mg untuk anak < 10 kg, 150
mg untuk 10 – 20 kg, dan 300 mg untuk 20 -33 kg. Di Indikasikan untuk obat antituberkulosis
yang dikombinasikan dengan antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang. Efek
samping pada Saluran cerna ; rasa panas pada perut, sakit epigastrik, mual, muntah,
anoreksia, kembung, kejang perut, diare, SSP:2 letih rasa kantuk, sakit kepala, ataksia,
bingung, pening, tak mampu berfikir, baal umum, nyeri pada anggota, otot kendor, gangguan
penglihatan, ketulian frekuensi rendah sementara ( jarang). Hipersensitifitas: demam, pruritis,
3
urtikaria, erupsi kulit, sariawan mulut dan lidah, eosinofilia, hemolisis, hemoglobinuria,
hematuria, insufiensi ginjal, gagal ginjal akut( reversibel). Hematologi: trombositopenia,
leukopenia transien, anemia, termasuk anemia hemolisis.Intoksikasi lain:2 Hemoptisis,
proteinurea rantai rendah, gangguan menstruasi, sindrom hematoreal.
Pirazinamid
Sediaan dasar Pirazinamid adalah Tablet 500 mg/tablet. Dosis Dewasa dan anak
sebanyak 15 – 30 mg per kg berat badan, satu kali sehari. Atau 50 – 70 mg per kg berat badan
2 – 3 kali seminggu.2 Obat ini dipakai bersamaan dengan obat anti tuberkulosis lainnya.
Indikasi Digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi dengan anti tuberkulosis lain.
Kontraindikasi terhadap gangguan fungsi hati parah, porfiria, hipersensitivitas.2 Efek samping
hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia,hepatomegali, ikterus; gagal hati; mual, muntah,
artralgia, anemia sideroblastik, urtikaria. Keamanan penggunaan pada anak-anak belum
ditetapkan. Hati-hati penggunaan pada:2,3 penderita dengan encok atau riwayat encok keluarga
atau diabetes melitus; dan penderita dengan fungsi ginjal tak sempurna; penderita dengan
riwayat tukak peptik.
Etambutol
Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik Etambutol-HCl 250 mg, 500
mg/tablet. Dosis. Untuk dewasa dan anak berumur diatas 13 tahun, 15 -25 mg mg per kg berat
badan, satu kali sehari.2 Untuk pengobatan awal diberikan 15 mg / kg berat badan, dan
pengobatan lanjutan 25 mg per kg berat badan. Kadang kadang dokter juga memberikan 50
mg per kg berat badan sampai total 2,5 gram dua kali seminggu.2,3 Obat ini harus diberikan
bersama dengan obat anti tuberculosis lainnya. Tidak diberikan untuk anak dibawah 13 tahun
dan bayi. Indikasi. Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis dengan obat
lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat
ni dapat ditinggalkan. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia kurang 6 tahun, neuritis
optik, gangguan visual. Kontraindikasi. Hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis
optik.
Efek samping yang muncul antara lain gangguan penglihatan dengan penurunan
visual, buta warna dan penyempitan lapangan pandang. Gangguan awal penglihatan bersifat
subjektif; bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan,
biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Reaksi adversus berupa sakit kepala, disorientasi,
mual, muntah dan sakit perut.2
Neuropati perifer
4
Gejala dan tanda neuropati perifer cukup sering ditemukan pada pasien usia lanjut,
dan seringkali dianggap sebagai bagian dari proses penuaan.4 Namun, sering ditemukan
berbagai kondisi yang menjadi penyebab neuropati perifer pada usia tua, antara lain diabetes
mellitus, keganasan, gangguan metabolik, defisiensi nutrisi dan pemakaian obat-obatan dalam
jangka waktu lama seperti obat anti kejang atau kemoterapi. Selain itu, juga terdapat
penyebab idiopatik neuropati perifer pada usia tua, yaitu polineuropati aksonal kronik, dimana
keadaan ini sering dijumpai.4 Prevalensi neuropati perifer pada usia lanjut tidak banyak
diketahui. Hal ini disebabkan sedikitnya penelitian dan keterbatasan waktu yang dibutuhkan
dalam mempelajari kasus neuropati perifer pada usia lanjut. Selain itu beberapa studi yang
dilakukan hanya mencakup gejala neuropati tertentu, seperti prevalensi neuropati sensorik,
otonom atau neuropati pada keganasan. Dari sedikit penelitian neuropati perifer yang bersifat
umum, prevalensinya berkisar antara 2,4% sampai 8%.4 Sedangkan pada penelitian terbaru
dari subjek usia lanjut yang tidak bekerja dilaporkan angka kejadian neuropati perifer
mencapai 31%. 4 Neuropati perifer pada usia lanjut mengakibatkan gangguan kualitas hidup
yang bermakna dan berdampak pada gangguan keseimbangan dan jatuh. Hal ini akan
membatasi fungsi fisik mereka dan menyebabkan mereka lebih banyak di rumah dan tidak
bekerja, sehingga meningkatkan beban bagi keluarga dan sistem kesehatan. Karena hal ini
dapat menyebabkan kecacatan yang berat dan keterbatasan fungsi, pendekatan diagnostik
yang baik bisa menjadi langkah awal bagi terapi yang memuaskan.4
Anamnesis
Langkah awal dalam mendiagnosis neuropati perifer adalah menentukan gejala dan
tanda yang berhubungan dengan disfungsi saraf perifer. Biasanya pasien mengalami
munculan gejala yang bermacam-macam. Untuk mendiagnosis secara benar maka diperlukan
anamnesis yang baik dan benar, bisa dilakukan secara auto / allo anamnesis. Berikut merupan
pertanyaan yang perlu di tanyakan pada pasien neuropati perifer :4,5
Pertama – tama perlu ditanyakan identitas pasien secara lengkap, tanyakan keluhan
utama berupa apakah ada fetigue dan wasting, apakah ada kram, kedutan otot dan rasa lemah
pada otot, apakah terdapat abnormalitas melangkah, apakah ada kesulita untuk membedakan
rasa pana dan dingin, dan apakah ada rasa kesemutan dan apakah terdapat rasa gatal. Selain
keluhan utama perlu juga ditanyakan bagaimana penyakit sekarang yang sesuai dengan kasus
pasien menderita penyakit TBC dan tanyakan juga riwayat penyakit dahulu seperti apa, RPK,
RPS, dan RPL nya. Untuk riwaya obat sangat penting ditanyakan karena efek samping dari
obat yang dikonsumsi meyebabkan keluhan yanag diderita asien sekarang, perlu juga
ditanyakan jenis obat apa dan jika perlu perhatikan dosis pada obat.
Periksaan Fisik dan Penunjang
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah pemeriksaaan tanda – tanda vital dan
pemeriksaan neurologis yang meliputi: pemeriksaan syaraf cranial bila diperlukan tetapi tidak
5
dianjurkan, pemeriksaan untuk membedakan panas dan dingin, pemeriksaan perasaan tajam
dan tumpul, serta pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis yang meliputi : 5 refleks
babinsky, dan pemeriksaan posisi. Pemeriksaan penunjang tidak terlalu dianjurkan untuk
kasus ini, tapi apa bila di perlukan pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis
cukup banyak, dan tergantung dari klinis pada pasien. pemeriksaan gula darah puasa, elektrolit untuk
menilai fungsi ginjal dan hati, pemeriksaan darah tepi lengkap, kadar vitamin B6 serum.
Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja untuk kasus ini adalah neuropati perifer di karenakan efek samping dari
pemakain INH.
Diagnosis Banding
Neuropati perifer ec diabetes mellitus
Keluhan nyeri terutama pada ekstremitas merupakan keluhan umum pada penderita
diabetes mellitus, terutama pada penderita menahun apalagi dengan kendali glukosa yang
tidak baik. Penyebab keluhan ini dikenal sebagai neuropati perifer, komplikasi kronis diabetes
yang sulit diatasi dengan pengobatan.6 Kelainan yang memberikan gejala nyeri ( neuropathic
pain ) ini, akibat lesi ataupun disfungsi primer yang seringkali terjadi pada system saraf
perifer namun juga dapat bersifat sentral, misalnya pada kelainan pasca stroke. Penanganan
nyeri pada neuropati perifer pada penderita diabetes mellitus pada saat ini belum memberi
hasil memuaskan.6 Hal ini disebabkan karena secara struktural kelainan jaringan telah bersifat
ireversibel terutama pada keadaan diabetes lanjut. Permasalahan lain yang hampir selalu
menyertai nyeri pada neuropathic pain adalah adanya gangguan tidur dan gangguan kejiwaan
berupa anxiety dan depresi yang secara keseluruhan menurunkan quality of life. Pengobatan
yang ideal diharapkan tidak hanya dalam hal mengatasi permasalahan nyeri yang
mengganggu, tapi juga menyangkut penyakit dasarnya, serta berbagai gejala tambahan
tersebut. Dengan perkataan lain, paradigma baru dari penanganan neuropathic pain yang
harus diusahakan haruslah mengacu kepada peningkatan quality of life dari sipenderita.
Mekanisme dari sensasi nyeri yang dirasakan adalah akibat abnormalitas berupa hipereksitasi
neuron ( presynaptic ) sehingga menimbulkan produksi neurotransmitter yang berlebihan.
Oleh karena itu usaha penanganan terhadap neuropathic pain haruslah didasarkan pada
pencegahan produksi neurotransmitter yang berlebihan ini. Pregabalin merupakan senyawa
yang bekerja khusus mengatasi neuropathic pain melalui titik tangkapnya dalam memodulasi
keadaan hipereksitasi neuron, dan terbukti juga memberi manfaat tambahan dalam
memperbaiki gangguan tidur dan anxiety terkait nyeri.6
Epidemiologi
Kebanyakan kasus ini banyak terdapt pada orang orang dengan ras kaukasian di
daerah amerika dan eropa, sekitar 50% warga kaukasian merupakan asetilator lambat.
6
Sehingga lebih gampang terkena neuropati perifer apabila menjalani pengobatan dengan
isoniazid. Berbeda jauh dengan ras asia yang cenderung merupakan aselitator cepat.1,7
Etiologi
Neuropati perifer merupakan gambaran klinis yang sering dijumpai pada sebagian besar
penyakit sistemik. Etiologi neuropati tersering di negara maju adalah diabetes dan alkoholisme,
sedangkan di negara berkembang adalah lepra. Namun sudah jelas selain daripada penyakit diatas
neuropati perifer juga dapat disebabkan oleh toksikasi dari obat obat yang bereaksi dengan gen dari
sesorang.5
Patofisiologi
Dinamika/Kinetika Obat. Pada saat dipakai Isoniazida akan mencapai kadar plasma puncak
dalam 1 – 2 jam sesudah pemberian peroral dan lebih cepat sesudah suntikan im; kadar berkurang
menjadi 50 % atau kurang dalam 6 jam.8 Mudah difusi kedalam jaringan tubuh, organ, atau cairan
tubuh; juga terdapat dalam liur, sekresi bronkus dan cairan pleura, serobrosfina, dan cairan asitik.
Metabolisme dihati, terutama oleh karena asetilasi dan dehidrazinasi(kecepatan asetilasi umumnya
lebih dominan ). Waktu paro plasma 2-4 jam diperlama pada insufiensi hati, dan pada inaktivator
”lambat”. Lebih kurang 75-95 % dosis diekskresikan di kemih dalam 24 jam sebagai metabolit,
sebagian kecil diekskresikan di liur dan tinja. Melintasi plasenta dan masuk kedalam ASI. Dari segi
farmakodinamik Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes, tetapi
mempunyai efek minimal pada CYP3A.8 Pemakaian Isoniazide bersamaan dengan obat-obat tertentu,
mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obat tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis.
Antikonvulsan seperti fenitoin dan karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh oleh isoniazid.
Polimorfisme genetik adalah adanya variasi genetik yang menyebabkan perbedaan
aktivitas dan kapasitas suatu enzim dalam menjalankan fungsinya.8 Adanya perbedaan
ekspresi genetik antara tiap individu akan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap
nasib obat dalam tubuh. Hal ini dapat kita tinjau terutama dari aspek metabolisme tubuh.
Proses metabolisme terjadi oleh adanya bantuan enzim.8,9 Enzim merupakan suatu protein
yang keberadaanya merupakan hasil dari ekspresi genetik (sintesis protein). Kapasitas enzim
yang dihasilkan tiap individu berbeda-beda. Hal inilah yang salah satunya yang memacu
terhadap perbedaan respon yang tubuh terhadap pemakaian obat yang sama.
Mekanisme neuropati perifer Karena INH
Isoniazid merupakan obat yang digunakan sebagai antituberkolosis. Studi terhadap
kecepatan asetilasi isoniazid (N-asetilasi) menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan
asetilasi dari masing-masing individu yang berdasarkan faktor genetiknya, memiliki 2 tipe,
yaitu tipe asetilator cepat dan asetilator lambat.9 Reaksi asetilasi itu sendiri merupakan reaksi
pada jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amina primer, seperti amina aromatik
primer dan amina alifatik skunder. Sedangkan fungsi dari reaksi asetilasi itu sendiri adalah
untuk proses detoksifikasi, serta mengubah obat/senyawa induk, menjadi senyawa
7
metabolitnya yang bersifat tidak aktif, lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk
dieksresikan.8,9 Aktivitas dari obat INH sebagai antituberkolosis ini, sangat tergantung pada
tingkat kecepatan reaksi asetilasinya. Pada isoniazid, terdapat perbedaan respon dari beberapa
individu berupa perbedaan dalam kecepatan proses asetilasinya terhadap obat tersebut. Profil
asetilasi terhadap isoniazid yang merupakan obat anti tuberkulosis ini digolongkan dalam
asetilator cepat dan lambat. Individu yang tergolong dalam asetilator lambat ternyata aktivitas
enzim N-asetilastransferase-nya sangat lambat. Perbedaan tersebut ternyata disebabkan oleh
adanya variasi genetik dari gen yang menyandi ekspresi dari enzim N-
asetilastransferase. Bagi individu yang mempunyai kelainan yang disebabkan oleh autosomal
recessive allele, berupa variasi polimorfik maka aktivitas enzim N-asetilastransferase menjadi
lambat. Aktivitas enzim N-asetilastransferase ini sangat bervariasi untuk setiap suku atau
ras.10 Bagi orang barat (Amerika dan Eropa) 50% dari penduduknya ternyata tergolong
asetilator lambat, sedangkan untuk orang Jepang dan Eskimo sebagian besar tergolong
asetilator cepat.10
Jika isoniazid diberikan pada individu bertipe asetilator lambat, maka enzim N-
asetiltransferase yang dimiliki tidak sebanyak enzim N-asetilastransferase yang dihasilkan
oleh individu yang memiliki tipe asetilator cepat.10 Dengan demikian, maka kemampuan
untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil-isoniazid yang bersifat tidak aktif
berlangsung lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t ½) yang panjang yaitu 140-
200 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator lambat, memerlukan dosis
pengobatan yang rendah, agar tidak menimbulkan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan
oleh INH.10 Untuk individu tipe asetilator lambat ini, pemberian INH tidak harus dilakukan
berulangkali/frekuensi yang tinggi, hal ini karena metabolisme INH berlangsung lambat,
sehingga INH dapat menimbulkan efek yang konstan dengan durasi yang lama setelah
diminum.10
Namun hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa karena obat dimetabolisme
dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif dengan kecepatan yang lambat, maka
kemungkinan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH lebih tinggi, efek toksik
dapat timbul karena persaingan INH dengan piridoxin (B6) yang merupaka sebuat
neuroprotektor.10 Selain itu, menurut studi yang telah dilakukan, individu bertipe aetilator
lambat ini, memiliki kemungkinan untuk menimbulkan efek samping, yaitu neuritis perifer
yang lebih tinggi daripada individu bertipe asetilator cepat.9,10
Gejala klinis
Semua gejala neurologi yang terjadi berhubungan dengan system saraf pusat yang
terdiri dari otak dan medulla spinalis atau sistim syaraf perifer yang menghubungkan medulla
spunalis dan otak ke semua bagian tubuh.4 Jaringan saraf perifer terdiri dari saraf motoric
yang dapat mengkontraksikan otot dan sensorik yang dapat memberikan batasan sensasi rasa.
8
Saraf perifer dapat mengkontrol beberapa fungsi involunter system saraf otonom yang mana
mengatur beberapa organ interna kelenjar keringat dan tekanan darah.4
Namun saraf – saraf perifer mudah rapuh dan rusak. Kerusakan saraf perifer dapat
mengganggu hubungan antara area yang dipersarafi dan otak, yang mengganggu kemampuan
untuk pergerakan otot – otot tertentu atau sensasi rasa yang normal. Gejala tersebut tidak
tergantung pada penyebab neuropati dan satu atau beberapa saraf yang terlibat, jika saraf
sensorik mengalami kerusakan, gejala – gejala yang ditimbulkan berupa nyeri, kebas, rasa
gatal, kelemahan otot, rasa terbakar, dan hilang rasa.5
Penatalaksanaan
Farmakologi
Penatalaksanaan secara farmakologi sendiri yaitu dengan pemberian pridoxin dosis
awalnya 2,5 - 10 mg perhari. Setelah gejala klinisnya terkoreksi, sediaan multivitamin
mengandung vitamin B6 2-5 mg perhari harus diberikan selama beberapa minggu. Dan
koreksi dosis isoniazid apabila tidak diberikan bersamaan dengan piridoksin.11
Non farmakologi
Makan bahan makanan yang mengandung Piridoksin yang memang banyak terdapat
di sayur-sayuran. Namun penelitian pertama kali menemukannya pada kacang, tentu
dimungkinkan juga terdapat pada sumber makanan alami lainnya. Piridoksin atau vitamin B6
ini terutama terdapat pada sayuran.5 Misalnya seperti sayur paprika, sayur lobak, dan sayur
bayam. Pada takaran paprika 1 cangkir saja mampu memenuhi 0,27 mcg vitamin B6.
Kemudian pada buah-buahan juga mengandung vitamin B6. Seperti pada buah pisang, buah
alpukat, buah tomat, buah melon, buah semangka. Pada takaran 1 buah pisang saja sudah
mengandung vitamin B6 sebanyak 0,43 mcg.5 Kemudian ternyata selain ada di buah dan
sayuran, vitamin B6 juga terdapat pada daging hewan. Seperti daging sapi, rusa, kambing dan
domba. Lalu daging ikan seperti ikan cod, ikan salmon, ikan tuna juga mengandung vitamin
B6. Seperti daging hati sapi mengandung 1,03 mcg vitamin B6 dalam takaran 100 gramnya. 4
Lalu untuk daging ikan tuna sendiri memiliki kadar kandungan vitamin B6 sebanyak 1,18
mcg dengan takaran 4 ons ikan tuna.4
Komplikasi
Neuropati diabetik dapat menyebabkan beberapa komplikasi. Kerusakan saraf pada
kaki disertai dengan sirkulasi darah yang buruk dapat menyebabkan ulkus dan
bahkan ganggren. Tidak hanya kaki yang diserang oleh diabetes yang berhubungan dengan
neuropati tetapi dapat juga mempengaruhi organ tubuh lainnya.4,5 Bila saraf yang
berhubungan dengan pencernaan mengalami kerusakan, pengosongan lambung dapat
9
mengalami perlambatan yang dapat menyebabkan mual, muntah dan kembung. atau sering
terjadinya konstipasi atau diare. Pada beberapa kasus dapat mengalami masalah seperti
pengendalian kandung kemih,Menurunnya gerakan atau sensasi baik partial atau komplet,
Penurunan tekanan darah, Impotensi., Depresi, Penurunan berat badan.4,5
Prognosis
Dubia ad bonam, apabila ditangani dengan segera.4
Kesimpulan
Farmakogenomik merupan sebuah terobosan yang sangat baik untuk memetakan
dunia sesuai dengan rasa dan populasi untuk mempermudah pemilihan obat yang sesuai
dengan gen penderita, salah satu obat yang menyebabkan efek samping neuropati perifer pada
ras tertentu karenan terdapat persaingan denga pidoksin, untuk menangani hal ini perlu
dilakukan pendekatan dengan anamnesis dan gejala klinis yang baik. Untuk mengani hal ini
perlu diberikan penambahan piridoksin dan mengkonsumsi makanan yang mengandung
piridoksin.
Daftar Pustaka
1. Gunawan, SG. Setiabudy R. Nafrialdi, Elysabeth (editor). Farmakologi dan Terapi.
5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.
2. WHO, Treatment of Tuberculosis Guidelines for National Programmes, Third
edition, World Health Organization, Geneva, page 47-52.2003.
3. Brunton LL. Lazo JS. Parker KL (editor). Goodman & Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th ed. New York: McGraw-Hill; 2006.
4. England JD, Asbury AK. Peripheral neuropathy. Lancet 2004;363:2151-2161
5. Alport AR, Sander HW. Clinical approach to peripheral neuropathy: Anatomic
localizaion and diagnostic testing. Continuum Lifelong Learning Neurol
2012;18(1):13-38
6. Mold JW, Vesely SK, Keyl BA, Schenk JB, Roberts M. The prevalence, predictors,
and consequences of peripheral sensory neuropathy in older adults. J Am Board Fam
Pract ;17:309-318.2004.
7. Martyn CN, Hughes RAC. Epidemiology of peripheral neuropathy. J Neurol
Neurosurg Psychiatry 2007;62:310-3186. Chia L, Fernandez.
8. Wattimena. R. J.; dkk, “Farmakodinami dan Terapi Antibiotik”, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung, penerbit Gadjah Mada
University press, Yogyakarta. hal 136-177. 2000.
10
9. Lecomte T, Ferraz JM, Zinzindohoué F, Loriot MA, Tregouet DA, Landi B, Berger
A, Cugnenc PH, Jian R, Beaune P, Laurent-Puig P. Thymidylate synthase gene
polymorphism predicts toxicity in colorectal cancer patients receiving 5-fluorouracil-
based chemotherapy. Clin Cancer Res.Sep 1;10(17):5880-8.2004.
10. Thomason AR, Warren EI. Tuberculosis: A Clinical Rreview. US Pharmacist.; 7: Hs-
14-HS-22.2005.
11. Weiss LD, Weiss JM, Johns JS, et al. Neuromuscular rehabilitation and
electrodiagnosis. Peripheral neuropathy. Arch Phys Med Rehabil 2005;86(3 Suppl
1):S11-S17
11
top related