morfologi cerita rakyat suku tepera
Post on 16-Oct-2021
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MORFOLOGI CERITA RAKYAT
SUKU TEPERA
SRIYONO, S.S. UMMU FATIMAH RIA LESTARI, S.S.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
BALAI BAHASA PROVINSI PAPUA
2016
MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA
Penanggung Jawab
ii
Kepala Balai Bahasa Papua Penyunting Penyelia
Supriyanto Widodo, S.S., M.Hum. Penyunting Pelaksana
Sitti Mariati S., S.S. Eli Marawuri, S.S.
Siti Masitha Iribaram, S.Pd.
Cetakan I Tahun 2015 Cetakan II Tahun 2016
Penerbit Balai Bahasa Papua
Jalan Yoka, Waena, Distrik Heram, Jayapura 99358 Telepon (0967) 574154 – 574171
Hak cipta dilindungi undang-undang
dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Kata Pengantar
KepalaBalaiBahasa Papua dan Papua Barat
KATALOG DALAM TERBITAN 398.2 SRI s Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera/
Sriyono dan Ummu Fatimah Ria Lestari. Jayapura: Balai Bahasa Papua, 2016 x, 97 hlm, 15x21 cm. ISBN: 978-602-17604-8-2 1. Cerita Rakyat di Papua
iii
BukuberjudulMorfologiCerita Rakyat SukuTeperayang
berada
ditanganpembacainimerupakanbagiandariupayaBalaiBah
asa Papua dalammengembangkansastra, khususnya di
Papua.Mengingatbahwaperkembangansastra di Provinsi
Papuasaatinibelumterlalumenggembirakan. Hal
iniditandaiolehbeberapakenyataan,
yaitusedikitnyaperanpenerbitdanpersdalampemuatankaryas
astradanpenyebarluasannya,
kurangnyakesadarandantanggungjawabpengayomsastrabaik
daripemerintahmaupunnonpemerintahterhadappelestarianda
nperkembangansastra,
dankurangnyakepedulianpengayomsastrakepadapemerhati,
pelestari, danpenggiatsastra. Olehkarenaitu, BalaiBahasa
Papuasebagaisalahsatupengayomsastra di
provinsiiniberusahauntukmembinadanmengembangkansa
stra,
salahsatunyaadalahdenganmenerbitkanhasilpenelitiansast
ra. Hal
itudilakukandenganharapankedepanperkembangansastra
di Papua akansemakinbaikdantentumenggembirakan.
Penerbitaninibertujuanuntukmemenuhikebutuhan
masyarakatterhadapbacaan yang
iv
bernutudanjugauntukmemberikanpemahamankepadamas
yarakattentangmaknasastra.HasilpenelitianMorfologiCeri
ta Rakyat SukuTepera yang
diterbitkaninisedikitataubanyaktentuakanberdampakposit
ifbagimasyarakat Indonesia di masamendatang. Tentu,
karenasastra yangsudahtertanamdantumbuh di
lingkungankita,
akanmenjadielemenpentingdalampembangunanbangsa,
khususnyapembangunanbudayabangsa.
Dalamkesempatanini, KepalaBalaiBahasa Papua
mengucapkanterimakasihdanpenghargaan yang
tuluskepadatimpeneliti, yakniSdr. Sri Yono, S.S.
danUmmu Fatimah Lestari, S.S. sertatimpenerbitan yang
telahbekerjakerashinggabukuinidapatterwujuddansampai
ketanganpembaca.
Semogabukuinimenjadiinspirasidantemuanbaru yang
bergunabagiperkembanganilmusastra di masadepan.
Selamatmembacadanmenikmatisajianbukuini.
KATA PENGANTAR
KEPALA BALAI BAHASA PROVINSI PAPUA
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga buku
v
Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera ini dapat hadir di hadapan sidang pembaca. Tidak henti-hentinya kami, Balai Bahasa Provinsi Papua, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus berupaya melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kebahasaan dan kesastraan. Kegiatan-kegiatan tersebut, antara lain adalah penelitian kebahasaan dan kesastraan. Banyak hasil penelitian kebahasaan dan kesastraan yang telah dilakukan oleh Balai Bahasa Provinsi Papua. Namun, belum semua hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas karena masih dalam bentuk laporan penelitian. Laporan penelitian hanya dapat diakses oleh masyarakat luas yang berkunjung ke perpusatakaan yang dikelola Balai Bahasa Provinsi Papua. Padahal, banyak pula hasil penelitian yang mempunyai nilai kemanfaatan tinggi. Oleh karena itu, hasil penelitian kebahasaan dan kesastraan yang mempunyai nilai kemanfaatan tinggi tentunya perlu dipublikasi sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Salah satu publikasi hasil penelitian tersebut adalah diterbitkan dalam bentuk buku. Buku adalah salah satu bentuk alat komunikasi keilmuan antara penyusun/penulis buku dan masyarakat luas. Kami akan selalu mengomunikasikan kepada masyarakat luas tentang apa yang selama ini kami kerjakan. Tentu saja yang ingin kami sampaikan kepada masyarakat adalah hasil kerja kami yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Ini merupakan tanggung jawab moral kami terhadap tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada kami dalam hal
vi
menangani kebahasaan dan kesastraan di Tanah Papua ini. Terbitnya buku Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera ini merupakan cara kami mengomukasikan hasil kerja dan tanggung jawab moral kami kepada masyarakat luas. Buku Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera yang hadir di hadapan sidang pembaca ini tentu belum sempurna. Untuk itu kami sangat menghargai apabila ada sumbang saran maupun kritik yang membangun dari masyarakat luas demi perbaikan ke depan. Akhirnya, kami ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tulus kepada para pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Tidak lupa kami menyampaikan penghargaan dan terima kami kepada Tim Peneliti buku ini, yakni Sdr. Sri Yono, S. S., dan Ummu Fatimah Ria Lestari, S. S. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi masyarakat luas. Jayapura, November 2015 Kepala Balai Bahasa Provinsi Papua, Ttd. Supriyanto Widodo, S.S., M. Hum.
vii
viii
KATA PENGANTAR
Deburan ombak Pantai Tablanusu memecah keheningan
surga tersembunyi di Distrik Depapre, Kabupaten
Jayapura tempat kami melakukan penelitian ini. Kami
serasa bermimpi karena berkesempatan menginjakkan
kaki-kaki telanjang ini di atas kerikil-kerikil halus yang
menghampar di sepanjang pantai bak permadani hitam.
Rob, nikmat mana lagi yang mesti kami dustakan setelah
nikmat yang maha dahsyat ini. Segala puji bagi Engkau
maka ampunilah dosa-dosa kami dan ajari kami
membaca isyarat-Mu.
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan sebuah usaha kecil untuk menyibak
keagungan Tuhan berupa penggalian nilai-nilai budaya
yang terhampar di Kampung Tablanusu ini. Mudah-
mudahan usaha ini menjadi manifestasi sujud kami pada-
Nya.
Kegiatan ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan
dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan
hati dan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada
pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan
ini. Terima kasih kami sampaikan kepada:
ix
1. Kepala Balai Bahasa Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat yang telah mengadakan kegiatan ini.
2. Kepala Kampung Tablanusu..
3. Masyarakat Tablanusu yang turut membantu
lancarnya kegiatan ini.
4. Informan yang telah membagi ilmu dan
waktunya, yaitu Bapak Petrus B. Soumilena
5. Anggota tim kami yang selalu kompak.
Tidak ada gading yang tidak retak, demikian
ungkapan mengatakan. Laporan ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu kami menunggu saran, masukan,
dan kritikan yang bersifat membangun demi
penyempurnaan. Semoga bermanfaat dan berkah.
Tim Peneliti
x
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Kepala Balai Bahasa Provinsi Papua.iii
Kata Pengantar Penyusun……………………………..vii
Daftar Isi………………………………………………...xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
Latar Belakang………………………………….1
Rumusan Masalah………………………………8
Tujuan Penelitian……………………………….9
Manfaat Penelitian……………………………...9
Landasan Teori…………………………………11
Metodologi Penelitian………………………….19
BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
2.1
2.1.1
2.1.2
2.2
2.2.1
2.2.2
2.2.3
Keadaan Geografis……………………………..27
Letak…………………………………………... 27
Topografi/Lingkungan Alam………………….. 31
Kondisi Sosial Budaya…………………………32
Demografi/Kependudukan……………………..32
Agama………………………………………….35
Mata Pencaharian………………………………36
BAB III CERITA RAKYAT SUKU TEPERA
3.1
3.2
3.3
3.4
Terjadinya Kampung Tablanusu 1……………..41
Terjadinya Kampung Tablanusu 2……………..51
Asal Mula Pohon Kelapa………………………62
Sekerumai……………………………………...67
xi
BAB IV MORFOLOGI CERITA RAKYAT SUKU TEPERA
4.1
4.2
4.3
4.4
Fungsi Pelaku, Skema, dan Pola Cerita…………....71
Struktur Cerita………………………………………..86
Distribusi Fungsi di Kalangan Pelaku………………..88
Cara-Cara Pengenalan Pelaku………………………..89
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan……………………………………………...93
5.2 Saran………………………………………………….95
Daftar Pustaka……...…………………………………………..97
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teori sastra modern membagi jenis sastra menjadi
tiga, yaitu prosa, lirik dan drama. Karya sastra yang
termasuk ke dalam prosa, antara lain novel, cerita
pendek, dongeng, cerita hewan, dan anekdot. Danandjaja
(1994:50) mengemukakan bahwa cerita rakyat lisan
terdiri dari mite, legenda, dan dongeng. Masyarakat
Indonesia sudah mengenal dongeng sejak zaman dulu.
Biasanya, cerita-cerita yang dituturkan bersifat religius
atau magis. Pada perkembangan selanjutnya, kegiatan
mendongeng kemudian diambil alih oleh para pengasuh
anak, orang tua, serta nenek dan kakek, terutama sejak
ditemukannya mesin cetak pada abad kelima belas atau
tepatnya pada tahun 1450 sehingga penuturan cerita yang
biasanya dilakukan oleh para penutur cerita tradisional
2
semakin menyurut karena orang-orang mulai membaca
buku cerita sendiri. Cerita-cerita tersebut kemudian
menjadi bagian dari budaya masyarakat dan kegiatan
mendongeng menjadi sebuah tradisi yang diturunkan
secara turun-temurun. Cerita atau dongeng yang
disampaikan biasanya berisi pesan moral dan ajaran-
ajaran budi pekerti bagi pendengarnya dan biasanya
disampaikan dengan bahasa kiasan atau dengan kalimat
yang diperindah.
Penelitian sastra lisan di Indonesia sudah banyak
dilakukan, tetapi khusus di wilayah Papua hingga
sekarang hanya sebatas kajian tentang struktur, nilai, dan
amanah yang terkandung di dalamnya. Kajian sastra lisan
Papua dengan menggunakan pendekatan (teori)
kesastraan tertentu belum banyak dilakukan. Padahal,
sebagai bagian dari sastra lisan, cerita rakyat (folktale)
adalah genre yang paling banyak jumlah dan jenisnya
3
dalam masyarakat Papua. Penelitian tentang cerita rakyat
di Papua sudah banyak dilakukan, tetapi metodologinya
masih belum mumpuni. Padahal, Papua mencakup
wilayah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,
merupakan ”rumah” bagi cerita rakyat karena pulau
tersebut didiami oleh ratusan suku bangsa dan marga.
Sepengetahuan tim peneliti, penelitian sastra lisan yang
fokus pada genre ini sudah banyak dilakukan karena
memang objek ini selalu menarik untuk diteliti. Hanya
saja, faktor teknis maupun kualitas sumber daya
penelitinya menjadikan proses penelitian ini belum
maksimal.
Cerita rakyat, seperti halnya genre sastra lisan
yang lain, memiliki struktur, makna, serta mengandung
nilai-nilai budaya. Perkembangan teknologi global yang
demikian pesat, belum sepenuhnya membuka arus
transportasi dan informasi dalam masyarakat Papua.
4
Konteks kewilayahan penutur bahasa daerah yang masih
terisolasi, memungkinkan akses dalam proses
penelusuran cerita rakyat itu terhambat. Ditambah lagi,
minimnya referensi tertulis tentang objek penelitian itu
sendiri. Hal-hal tersebut lambat laun dapat
menghilangkan nilai-nilai budaya dalam masyarakat
Papua secara tak langsung. Pasalnya, nilai-nilai itu tidak
dapat ditransformasikan lagi kepada generasi selanjutnya.
Berdasarkan pengamatan tim peneliti dalam beberapa
tahun terakhir, eksistensi cerita rakyat dapat dikatakan
sudah mulai menghilang dalam lingkungan masyarakat
Papua. Hilangnya objek kajian ini berarti pula nilai-nilai
budaya yang ada di dalamnya juga hilang. Keprihatinan
tim peneliti terhadap eksistensi nilai dalam sastra lisan
Papua, terkhusus pada genre cerita rakyat dalam
masyarakat Tepera di Kabupaten Jayapura, Papua,
memunculkan ide untuk berbuat sesuatu. Hal tersebut
5
yang melatarbelakangi tim peneliti untuk meneliti
tentang morfologi cerita rakyat Tepera ini.
Cerita rakyat oleh sebagian ahli antropologi dan
sastra disebut juga sebagai dongeng. Bagi ahli sastra,
dongeng merupakan cerita pendek kolektif kesusastraan
lisan. James Danandjaja, bapak Folklor Indonesia,
mengemukakan (1994:84), dongeng menceritakan
tentang keajaiban-keajaiban yang berisi pesan moral dan
tidak dapat dicerna menggunakan logika, karena biasanya
memiliki kalimat pembuka dan penutup yang bersifat
klise. Hal ini sangat menarik untuk diteliti dan dianalisis
lebih jauh. Selain dapat memetik pelajaran dan nilai
moral dari dongeng, pembaca juga dapat membedahnya
dari sisi lain yang berbeda. Saat ini penelitian terhadap
dongeng belum begitu banyak, tetapi untuk menganalisis
isinya terdapat teori morfologi cerita rakyat yang
dikembangkan oleh Vladimir Propp. Teori ini sudah
6
banyak digunakan untuk menganalisis dongeng di
Indonesia, tetapi belum pernah diterapkan pada cerita
rakyat suku Tepera.
Pendekatan Propp dapat dimengerti jika kita
membandingkan “subjek” sebuah kalimat dengan tokoh-
tokoh yang tipikal (pahlawan, penjahat, dan sebagainya)
dan “predikat” dengan tindakan yang tipikal dalam
cerita-cerita semacam itu. Sementara itu, ada berlimpah-
limpah renik yang sangat besar, seluruh korpus cerita itu
dibangun atas perangkat dasar yang sama yaitu tiga puluh
satu “fungsi”. Sebuah “fungsi” adalah satuan dasar
“bahasa” naratif dan menerangkan kepada tindakan yang
bermakna yang membentuk narasi. Tindakan ini
mengikuti sebuah perturutan yang masuk akal. Meskipun
tidak ada dongeng yang meliputi semuanya, dalam tiap
dongeng fungsi-fungsi itu selalu dalam urutan yang tetap
(Pradopo, 1996:59).
7
Hal terpenting dalam penelitian ini adalah
predikat (aksi atau tindakan) yang disebut dengan fungsi,
tidak peduli siapa subjek dan objeknya. Unsur yang tetap
adalah perbuatan dan unsur yang berubah adalah pelaku
dan penderita. Jadi, jika tindakan itu diganti dengan
tindakan lain, maka fungsinya akan berubah, tetapi jika
yang diganti adalah pelaku dan penderitanya, maka tidak
akan mempengaruhi perubahan fungsi. Alasan peneliti
menggunakan teori fungsi Vladimir Propp karena analisis
ini tergolong sederhana dibanding dengan analisis yang
lain, misalnya analisis imanensi, pertinensi, komutasi,
kompatibilitas, integrasi dan sinkroni. Teori Vladimir
Propp juga dapat menimbulkan efek superfisial, yaitu
efek yang mudah dimengerti melalui penambahan variasi
gaya dan pesona dalam cerita.
Teori fungsi Vladimir Propp ini dapat diterapkan
untuk dongeng yang dikumpulkan pada cerita rakyat
8
Tepera karena dongeng bersifat universal dan memiliki
banyak fungsi. Penulis memilih morfologi cerita rakyat
Tepera karena sampai saat ini belum ada penelitian
sejenis. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti
menggunakan analisis fungsi Vladimir Propp, karena
teori ini dapat diaplikasikan dalam menganalisis cerita
rakyat Tepera.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut.
a. Ada berapa fungsi pelaku dan fungsi-fungsi
pelaku apa sajakah yang terdapat dalam cerita
rakyat Tepera?
b. Bagaimanakah skema struktur cerita rakyat
Tepera?
9
c. Ada berapa lingkungan tindakan yang dimiliki
oleh cerita rakyat Tepera, siapa saja dan
bagaimana cara pelaku diperkenalkan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini, antara lain
a. Mendeskripsikan fungsi dan jenis-jenis fungsi
pelaku dalam cerita rakyat Tepera.
b. Mendeskripsikan skema struktur cerita rakyat
Tepera.
c. Mendeskripsikan lingkungan tindakan yang
dimiliki oleh cerita rakyat Tepera dan cara pelaku
diperkenalkan.
1.4 Manfaat Penelitian
Kesastraan suatu masyarakat tidak lain adalah rekaman
pikiran, renungan dan nilai-nilai masyarakat pada masa
tertentu. Gagasan atau nilai-nilai tersebut menjadi
landasan perilaku masyarakat yang kehadirannya masih
10
dapat diamati dan dipahami. Oleh sebab itu, penelitian
mengenai morfologi cerita rakyat Tepera ini merupakan
upaya penggalian dan pelestarian kebudayaan daerah
yang sangat penting. Penggalian dan pelestarian
kebudayaan ini guna menunjang dan mengembangkan
pengajaran bahasa dan sastra daerah tersebut yang saat
ini disebut sebagai muatan lokal dalam kurikulum
pendidikan. Selain itu, sangat penting bagi Pemerintah
Kabupaten Jayapura dan Provinsi Papua sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.
Bagi masyarakat Tepera, hasil penelitian ini dapat
menjadi pemicu bagi generasi penerus untuk lebih
mencintai hasil sastra lisan mereka sendiri. Selain itu,
dapat dijadikan sebagai identitas dan kebanggaan dalam
menyonsong pembangunan, khususnya di Papua.
Penelitian ini dapat menjadi media informasi dan refleksi
nilai-nilai kehidupan masyarakat Tepera. Dalam lingkup
11
yang lebih luas penelitian ini diharapkan dapat
mengembangkan dan memperkaya khazanah kajian
sastra.
1.5 Landasan Teori
Landasan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah teori naratif struktural Vladimir Propp. Teori
fungsi Vladimir Propp ini dapat diterapkan untuk
dongeng yang dikumpulkan pada cerita rakyat Tepera
karena dongeng bersifat universal dan memiliki banyak
fungsi. Hal yang terpenting dalam penelitian ini adalah
predikat (aksi atau tindakan) yang disebut dengan fungsi,
tidak peduli siapa subjek dan objeknya. Unsur yang tetap
adalah perbuatan sedangkan unsur yang berubah adalah
pelaku dan penderita. Jika tindakan itu diganti dengan
tindakan lain, maka fungsinya akan berubah, tetapi jika
yang diganti adalah pelaku dan penderitanya, maka tidak
akan mempengaruhi perubahan fungsi.
12
Alasan peneliti menggunakan teori fungsi
Vladimir Propp karena analisis ini tergolong sederhana
dibanding dengan analisis yang lain, misalnya analisis
imanensi, pertinensi, komutasi, kompatibilitas, integrasi,
dan sinkroni. Teori Vladimir Propp juga dapat
menimbulkan efek superfisial, yaitu efek yang mudah
dimengerti melalui penambahan variasi gaya dan pesona
dalam cerita. Selain itu, dari segi struktur penceritaan,
sebagian besar cerita rakyat di Papua berupa cerita naratif
pendek.
Susanto (2011:111) menjelaskan, Propp
mengembangkan teori yang berasal dari konsep
formalisme Rusia yang berhubungan dengan dengan alur
dari peristiwa atau aksi. Propp menggunakan pendekatan
yang bergerak dari etik menuju pendekatan emik
terhadap struktur naratif. Propp lebih menekankan
perhatiannya pada motif naratif terpenting, yakni
13
tindakan atau perbuatan (action). Tindakan tersebut
dinamakan fungsi. Propp juga mengemukakan bahwa
yang terpenting adalah pelaku, bukan tokoh. Lebih
tegasnya, yang terpenting menurut Propp adalah tindakan
pelaku yang terdapat dalam fungsi. Fungsi adalah
tindakan seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya
untuk jalannya suatu cerita. Propp juga menjelaskan
bahwa suatu cerita pada dasarnya memiliki konstruksi.
Konstruksi yang terdiri atas motif-motif memiliki tiga
unsur, yakni pelaku, perbuatan, dan penderita. Ketiga
unsur itu dapat dibagi menjadi dua, yakni unsur yang
tetap dan unsur yang tidak tetap. Unsur tetap adalah
perbuatan dan unsur tidak tetapnya adalah pelaku dan
penderita. Menurutnya, unsur yang terpenting adalah
unsur yang tetap.
Propp adalah tokoh strukturalis pertama yang
melakukan kajian serius terhadap struktur naratif,
14
sekaligus yang memberikan makna baru terhadap
dikotomi fabula dan sjuzhet. Propp memandang sjuzhet
sebagai tema, bukan alur, seperti yang dipahami oleh
kaum formalis. Menurutnya, motif merupakan unsur
yang penting sebab motiflah yang membentuk tema.
Sjuzhet atau cerita dengan demikian hanyalah produk dari
serangkaian motif. Motif dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu: pelaku, perbuatan, dan penderita. Ketiga motif ini
dikelompokkan menjadi dua, yaitu perbuatan sebagai
unsur yang stabil, yang tidak tergantung dari siapa yang
melakukan dan unsur yang tidak stabil dan bisa berubah-
ubah, yaitu pelaku dan penderita. Menurut Propp, yang
terpenting adalah unsur yang tetap (perbuatan), yaitu
fungsi itu sendiri (Taum, 2011:122-123).
Vladimir Propp (1975: 21-24) membuat satu
kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang ia lakukan
terhadap seratus dongeng cerita rakyat Rusia yang ia
15
sebut dengan fairytale. Adapun kesimpulan tersebut
adalah:
1) Unsur yang tetap dan tidak berubah dalam sebuah
dongeng bukanlah motif atau pelaku, melainkan
fungsi (terlepas dari sikap pelaku yang
menduduki fungsi);
2) Jumlah fungsi dalam dongeng terbatas;
3) Urutan fungsi dalam dongeng selalu sama; dan
4) Jika dilihat dari segi struktur, maka semua
dongeng hanya mewakili satu tipe.
Yobee (2006:13-14) mendukung Propp dengan
mengelompokkan fungsi dalam sebuah dongeng menjadi
tiga puluh satu fungsi. Untuk mempermudah pembuatan
skema, seperti halnya Propp, ia memberi tanda atau
lambang khusus pada setiap fungsi. Adapun fungsi dan
lambangnya adalah sebagai berikut.
16
No. Fungsi Lambang
1. Ketiadaan= absentation
2. Larangan= interdiction y
3. Pelanggaran= violation
4. Pengintaian= reconnaissance
5. Penyampaian (informasi)
= delivery
6. Penipuan (tipu daya)= fraud
7. Keterlibatan= complicity
8. Kejahatan= villainy A
8a. Kekurangan (kebutuhan)
= lack
A
9. Perantaraan, peristiwa
penghubung= mediation, the
connective incident
B
10. Penetralan (tindakan) dimulai
= beginning counteraction
C
11. Keberangkatan (kepergian)
= departure
12. Fungsi pertama donor
(pemberi)= the first function of
the donor
D
13. Reaksi pahlawan= the hero’s
reaction
E
14. Penerimaan unsur magis (alat
sakti)= provition or receipt of
a magical agent
F
17
15. Perpindahan (tempat)= spatial
translocation
G
16. Berjuang, bertarung = struggle H
17. Penandaan= marking J
18. Kemenangan= victory I
19. Kekurangan (kebutuhan)
terpenuhi= the initial
misfortune or lack is liquidated
K
20. Kepulangan (kembali)= return
21. Pengejaran, penyelidikan=
pursuit, chase
Pr
22. Penyelamatan= rescue Rs
23. Kedatangan tak terkenali
= unrecognized arrival
O
24. Tuntutan yang tak mendasar
= unfounded claims
L
25. Tugas sulit (berat)= the
difficult task
M
26. Penyelesaian (tugas)= solution N
27. (Pahlawan) dikenali
= recognition
Q
28. penyingkapan (tabir)
= exposure
Ex
29. Penjelmaan= transfiguration T
30. Hukuman (bagi penjahat)
= punishment
U
31. Perkawinan (dan naik tahta) W
18
= wedding
Jumlah 31 fungsi itu dapat didistribusikan ke
dalam lingkaran atau lingkungan tindakan (speres of
action) tertentu. Ada tujuh lingkungan tindakan yang
dapat dimasuki oleh fungsi-fungsi yang tergabung secara
logis, yaitu (1) lingkungan aksi penjahat (villain); (2)
lingkungan aksi donor, pembekal (donor, provide); (3)
lingkungan aksi pembantu (helper); (4) lingkungan aksi
fungsi dan ayahnya (the princess and her father); (5)
lingkungan aksi perantara atau pemberangkat (dispatcer);
(6) lingkungan aksi pahlawan (hero); dan (7) lingkungan
aksi pahlawan palsu (false hero). Melalui tujuh
lingkungan tindakan (aksi) itulah frekuensi kemunculan
pelaku dapat dideteksi dan cara bagaimana watak pelaku
diperkenalkan dapat diketahui.
Propp disitir Suwondo (2011:56) juga
mengemukakan bahwa setiap dongeng atau cerita tidak
19
selalu mengandung semua fungsi itu karena banyak
dongeng yang ternyata hanya mengandung beberapa
fungsi. Fungsi-fungsi itulah, berapa pun jumlahnya,
membentuk kerangka pokok cerita.
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif kualitatif. Hal ini sesuai dengan sifat
dan wujud data serta tujuan yang akan dicapai. Data yang
diperoleh dalam penelitian ini yang berupa cerita rakyat
diperikan, disusun, diklasifikasikan, kemudian
ditafsirkan. Cerita rakyat dikategorikan ke dalam tiga
jenis, yaitu: mitos, legenda, dan dongeng.
Analisis data akan menggunakan pendekatan
struktural Vladimir Propp yang akan diaplikasikan pada
jenis cerita dongeng. Pendekatan Propp dapat dimengerti
jika kita membandingkan “subjek” sebuah kalimat
20
dengan tokoh-tokoh yang tipikal (pahlawan, penjahat,
dan sebagainya) dan “predikat” dengan tindakan yang
tipikal dalam cerita-cerita semacam itu. Sementara itu,
ada berlimpah-limpah renik, seluruh korpus cerita itu
dibangun atas perangkat dasar yang sama, yaitu tiga
puluh satu “fungsi”. Sebuah “fungsi” adalah satuan dasar
“bahasa” naratif dan menerangkan kepada tindakan yang
bermakna yang membentuk narasi. Tindakan ini
mengikuti sebuah perturutan yang masuk akal, dan tidak
ada dongeng yang meliputi semuanya. Dalam tiap
dongeng, fungsi-fungsi itu selalu dalam urutan yang tetap
(Pradopo, 1996:59).
Melalui analisis tersebut akan diketahui jumlah
fungsi pelaku dan fungsi-fungsi pelaku dalam cerita
rakyat Tepera, skema struktur cerita rakyat Tepera,
jumlah lingkungan tindakan yang dimiliki oleh cerita
rakyat Tepera, dan cara pelaku diperkenalkan.
21
1.6.2 Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa sastra
lisan yang berbentuk cerita rakyat dan lebih khusus lagi
berupa dongeng. Sumber data utama diperoleh melalui
wawancara dan pengamatan berperan serta. Pemerolehan
data dapat dipilah menjadi dua jenis, yakni: (1) data
primer sebagai data utama berupa data lisan diperoleh
dari hasil wawancara dengan informan sebagai penutur
asli atau pemilik sastra lisan. Data tertulis diperoleh dari
buku-buku, jurnal, penelitian, dan tulisan-tulisan lain
yang relevan dengan masalah dalam penelitian ini; (2)
data sekunder sebagai data penunjang diperoleh dari
dokumentasi yang berupa hasil-hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu dan data
penunjang lainnya yang berkaitan dengan deskripsi
lokasi penelitian yang diperoleh dari aparat pemerintah.
1.6.3 Pengumpulan Data
22
Untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan
penelitian Morfologi Cerita Rakyat Suku Tepera ini
dilakukan dengan cara mengamati (observasi),
wawancara, mencatat, dan merekam.
1.6.3.1 Teknik Pengamatan (Observasi)
Teknik pengamatan (observasi) dilakukan untuk melihat
secara langsung objek yang akan diteliti. Hal ini terkait
dengan penentuan titik-titik pengamatan wilayah yang
akan diteliti. Dengan teknik ini, peneliti mengamati
secara langsung daerah yang akan menjadi lokasi
penelitian. Data yang diperoleh berupa catatan etnografi
tentang suku Tepera.
1.6.3.2 Teknik Wawancara
Arikunto (1993:126) mengemukakan, “Wawancara
adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara
(interviewer) untuk memperoleh informasi dari
responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-
23
hal lain yang ia ketahui.” Keraf (1979:161) menyatakan,
“Wawancara atau interview adalah suatu cara untuk
mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan
langsung kepada informan atau seorang autoritas
(seorang ahli atau yang berwenang dalam suatu
masalah).” Wawancara dalam hal ini ditujukan kepada
para informan yang dijadikan sumber data yang
dipandang mengetahui seluk-beluk cerita rakyat Tepera.
1.6.3.3 Teknik Pencatatan
Teknik pencatatan digunakan untuk mencatat setiap
cerita yang dituturkan oleh informan. Pertanyaan yang
ditujukan kepada informan dalam wawancara itu
disesuaikan dengan urutan daftar pertanyaan. Setiap
jawaban yang diperoleh langsung dicatat pada tempat
kosong yang tersedia dalam daftar pertanyaan.
1.6.3.4 Teknik Perekaman
24
Perekaman dilakukan dengan cara meminta informan
untuk menuturkan ceritanya dalam dua versi bahasa,
yaitu bahasa daerah (Tepera) dan bahasa Indonesia.
1.6.4 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik
analisis morfologi yang dikemukakan oleh Vladimir
Propp. Konsep dasar analisis morfologi (analisis struktur
naratif) Vladimir Propp adalah fungsi dan peranan pelaku
dalam cerita. Cara analisis dimulai dengan memeriksa
kembali data-data dan memilah-milahnya berdasarkan
jenis dan tipenya. Selanjutnya, data yang sudah terpilih
dan dikelompokkan dijadikan bahan analisis. Cara dan
teknik analisis data disesuaikan dengan penerapan teori
Fungsi Vladimir Propp. Teknik tersebut antara lain 1)
mengindentifikasi fungsi dalam sebuah dongeng,
kemudian fungsi tersebut dimasukkan ke dalam tanda
atau lambang khusus yang telah dibuat oleh Propp; 2)
25
mendistribusikan fungsi-fungsi tersebut ke dalam
lingkaran atau lingkungan tindakan (speres of action)
tertentu.
Untuk mengetahui amanat yang terkandung
dalam cerita rakyat Tepera yaitu nilai budaya masyarakat
Tepera akan digunakan teknik analisis struktural yang
dikemukakan oleh Mclan.
26
27
BAB II
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
KAMPUNG TABLANUSU
2.1 KEADAAN GEOGRAFIS.
2.1.1 Letak
Kabupaten Jayapura yang terdiri dari 19 distrik
terletak di antara 139º -140º Bujur Timur dan 2º Lintang
Utara dan 3º Lintang Selatan. Distrik Kaureh dengan luas
4.537,9 Km² merupakan distrik terluas di Kabupaten
Jayapura atau sekitar 24,88 persen dari luas keseluruhan
Kabupaten Jayapura dan Distrik Sentani Barat
merupakan distrik yang luasnya terkecil, yaitu sekitar
129,2 Km² atau sekitar 0,74 persen dari luas Kabupaten
Jayapura. Letak geografis Jayapura bagian Barat 139º15’
Bujur Barat, bagian Timur 140º 45’ Bujur Timur, bagian
28
Utara 2º 15’ Lintang Utara, bagian Selatan 3º 45’ Lintang
Selatan.
Batas wilayah Kabupaten Jayapura yang di
dalamnya terdapat Kampung Tablanusu mempunyai
batas sebagai berikut.
Sebelah Utara berbatasan dengan Samudra Pasifik
dan Kabupaten Sarmi;
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten
Pegunungan Bintang dan Kabupaten Tolikara;
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten
Sarmi; dan
Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Jayapura
dan Kabupaten Keerom (BPS Kabupaten
Jayapura, 2009: 4)
Kampung Tablanusu memiliki batas wilayah adat yang
dilihat secara administratif berbeda dari batas wilayah
29
kabupaten karena batas wilayahnya yang mencakup
batas-batas tanah adat yang dapat dilihat sebagai berikut.
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Pasifik;
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung
Maribu;
Sebelah Barat berbatasan dengan Kampung
Kendate dan Demoikisi; dan
Sebelah Timur berbatasan dengan Kampung
Wauna Depapre.
Kampung Tablanusu adalah sebuah kampung di Distrik
Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Kampung
ini dapat dicapai melalui jalur darat dan laut. Jika cuaca
cerah, sepanjang perjalanan kita dapat menyaksikan di
kejauhan Gunung Cycloop menjulang tinggi ke langit.
Dengan tanda-tanda di langit, yaitu berupa awan di atas
gunung tersebut, maka dapat diprediksi mengenai angin,
sehingga dapat diputuskan apakah perahu dapat
30
diluncurkan dari dan ke Tablanusu atau tidak (Poli:
2008). Kalau ada awan bertumpuk di atas Gunung
Cycloop berarti angin sedang tenang. Akan tetapi, jika
puncak gunung tidak berawan berarti angin sedang
kencang dan mengakibatkan laut berombak.
Setibanya di Pantai Tablanusu, sebuah lukisan
alam yang dibentangkan oleh Tuhan terhampar dengan
begitu indahnya. Bibir pantai dipenuhi batu-batu kerikil
yang licin karena beradu satu dengan yang lainnya akibat
sapuan ombak. Fenomena ini telah terjadi dalam kurun
waktu yang sangat lama. Begitu kaki-kaki menginjak
batu kerikil tersebut, maka akan terdengar bunyi gesekan
tersebut. Bunyi gesekan tersebut membuat orang
setempat menamai kampung mereka dengan nama
”Kampung Batu Menangis”.
Dengan sedikit imajinasi, maka dapat dilacak asal
batu-batu kerikil tersebut. Dari pantai ke arah laut tampak
31
beberapa tonjolan batu yang keluar dari permukaan laut
dan berdiri tegak seolah-olah menjadi penjaga pantai
yang kokoh. Sekokoh apa pun batu penjaga pantai ini
lambat laun terkikis juga oleh hantaman ombak yang
datang setiap saat dan menghasilkan pecahan-pecahan
batu dan bermuara di bibir pantai.
Letak Kampung Tablanusu adalah di pesisir pantai
dengan kondisi alamnya berbukit hutan belukar, padang
rumput, tanah kecoklatan berbatu, dan pantainya berbatu
kerikil hitam (data Kantor Kampung Tablanusu, 2010).
2.1.2. Topografi/Lingkungan Alam
Keadaan topografi Kampung Tablanusu yang berupa
lereng umumnya relatif terjal dengan kemiringan 5-30
derajat serta mempunyai ketinggian aktual 0,5–1.500 m
di atas permukaan laut. Daerah pesisir pantai utara
umumnya berupa dataran rendah yang bergelombang
dengan kemiringan 0-10 derajat yang ditutupi dengan
32
endapan aluvial. Secara fisik, selain berupa daratan juga
berupa rawa ( + 13,700 Ha). Sebagian besar wilayah
Kabupaten Jayapura (72,09 %) berada pada kemiringan
di atas 41 derajat, sedangkan kemiringan 0-15 derajat
berkisar 23,74% (data BPS Kabupaten Jayapura, 2009).
Kampung Tablanusu menghadap ke laut Pasifik
dengan pantai yang landai dan air yang sangat jernih. Di
belakang kampung terdapat tebing yang sangat curam,
yang di baliknya terdapat hutan belantara tempat
masyarakat berkebun dan berburu.
2.2 KONDISI SOSIAL DAN BUDAYA
2.2.1 Demografi
Penduduk merupakan modal besar pendukung
pembangunan. Pembangunan di segala bidang senantiasa
ditujukan bagi kepentingan masyarakat umum. Oleh
karena itu, data penduduk merupakan kunci dasar yang
33
memegang peran penting dalam membuat kebijakan
pembangunan. Dengan demikian, data penduduk yang
akurat dan tepat waktu menempati urutan yang cukup
penting. Registrasi penduduk adalah suatu sistem
pencatatan penduduk dan mutasinya yang disebabkan
oleh kelahiran, kematian, dan migrasi. Pelaksanaan
registrasi penduduk dimulai dari tingkat
kampung/kelurahan hingga tingkat pusat.
Data penduduk pada Kabupaten Jayapura pada
tahun 2009 berjumlah 121.693 orang yang terdiri atas
64.982 penduduk laki-laki dan 56.711 penduduk
perempuan. Dengan wilayah seluas 17.516,6 km2, berarti
tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Jayapura
adalah 6,95 jiwa/km² (data BPS Kabupaten Jayapura,
2009). Hasil registrasi pada penduduk Kampung
Tablanusu, yaitu sebanyak 96 KK (Kepala Keluarga)
atau 466 jiwa yang terdiri atas 259 penduduk laki-laki
34
dan 207 penduduk perempuan. Keadaan penduduk di
Kampung Tablanusu ini bersifat homogen karena 99%
adalah penduduk asli setempat, sedangkan 1% adalah
pendatang. Penduduk Kampung Tablanusu tinggal dan
menetap berdasarkan sejarah kampung dan keret/marga
(data Kantor Kampung Tablanusu 2010).
Jumlah pencari kerja di Kabupaten Jayapura
sebanyak 2.355 orang, terdiri dari 1.128 laki-laki dan
1.227 perempuan. Tingkat pengangguran terbuka di
Kabupaten Jayapura sebesar 7,19 % pada tahun 2009
(data BPS Kabupaten Jayapura 2009). Jumlah pekerja
penduduk Kampung Tablanusu terdiri dari nelayan yang
berjumlah 40 orang, petani 55 orang, PNS 18 orang,
swasta 3 orang, tukang 5 orang, pensiunan PNS 4 orang,
dan pelayanan jasa 33 orang (data Kantor Kampung
Tablanusu, 2010).
35
Jumlah prasarana sekolah SD di Kabupaten
Jayapura sebanyak 113 unit, SLTP 27 unit, SMU/SMK
sebanyak 20 unit. Tenaga guru di daerah ini sangat
terbatas jumlahnya, terutama untuk tingkat pendidikan
menengah dan atas. Jumlah guru SD di Kabupeten
Jayapura sebanyak 1.072 orang, SLTP 513 orang, dan
SMU/SMK sebanyak 414 orang (data BPS Kabupaten
Jayapura, 2009). Jumlah lulusan SD 122 orang, SLTP 85
orang, SLTA 68 orang, DIII 16 orang, Sarjana 11 orang
dan yang mengikuti Pendidikan Khusus, yakni
Pendidikan Keagamaan sebanyak 4 orang, serta yang
mengikuti kursus sebanyak 43 orang (data Kantor
Kampung Tablanusu, 2009).
2.2.2 Agama
Masyarakat Kampung Tablanusu mayoritas menganut
agama Kristen Protestan, sedangkan masyarakat
36
penganut agama Katolik merupakan masyarakat
pendatang yang tinggal di kampung tersebut.
2.2.3 Mata Pencaharian
Pada dasarnya mata pencaharian masyarakat kampung
Tablanusu bervariasi, tetapi yang paling utama adalah
nelayan. Selain nelayan, terdapat mata pencaharian
seperti meramu sagu dan berkebun. Ada juga yang PNS,
swasta, tukang, dan pelayanan jasa angkutan (ojek).
Berkebun atau bercocok tanam merupakan satu
cara yang lazim dilakukan oleh nenek moyang sejak
dulu. Aktivitas berkebun ini dilakukan dengan proses
yang dimulai pada musim panas dengan cara
membersihkan semak belukar, membiarkannya kering,
lalu membakarnya. Pohon besar ditebang, dibersihkan,
dibiarkan hingga kering, lalu dibakar. Pembuatan pagar
dilakukan sambil menanam, tetapi masyarakat tidak
terlalu serius untuk berkebun. Meramu sagu merupakan
37
aktivitas penting karena sagu merupakan bahan makanan
pokok. Alat-alat yang digunakan untuk meramu sagu
menjadi tepung adalah tapisan tepung sagu, tempat
penampung sagu, alat penokok sagu, kapak, dan parang.
Hasil ramuan sagu merupakan bahan pokok membuat
ramuan sagu papeda sebagai makanan sehari-hari.
Menangkap ikan merupakan pekerjaan yang
dilakukan pada malam hari dan lebih banyak dilakukan
oleh kaum laki-laki. Alat-alat yang digunakan adalah alat
pancing yang sederhana, seperti perahu dayung, penikam,
nilon, kail, timah, dan lampu petromaks. Penggunaan alat
tangkap yang sederhana ini hanya dapat menghasilkan
tangkapan ikan yang secukupnya. Alat transportasi
perahu dayung ini masih sangat sederhana, dibutuhkan
tenaga/fisik yang kuat untuk mendayung perahu,
mencari, dan menangkap ikan di laut. Perahu dayung
merupakan alat yang dominan digunakan oleh
38
masyarakat. Perahu-perahu yang dimiliki oleh
masyarakat mempunyai simbol-simbol khusus sesuai
dengan marganya. Selain itu, masyarakat menggunakan
perahu motor dengan tenaga mesin. Biasanya, perahu
motor adalah milik pribadi. Sebelum mengenal perahu
motor, jangkauan pencaharian ikan hanya di daerah
pesisir. Setelah menggunakan perahu motor, jangkauan
pencaharian ikan sampai di laut bebas dan hasilnya lebih
meningkat. Penangkapan ikan dilakukan secara individu.
Penangkapan ikan di wilayah ini tidak melanggar aturan
adat dan siapa pun berhak untuk mencari ikan. Salah satu
cara untuk menangkap ikan yang sudah dikenal sejak
dulu adalah rumpon berlabuh yang diletakkan di wilayah
laut dekat dengan reef. Rumpon berlabuh ini berfungsi
sebagai tempat menangkap ikan. Fungsi lain adalah
untuk melindungi diri dari hujan dan terpaan angin. Hasil
tangkapan ikan masyarakat Tablanusu ditukar dengan
39
hasil kebun dari orang Moi, Yokari, dan Yewenu karena
orang-orang inilah yang mempunyai hasil kebun untuk
dibarter. Sebagian hasil tangkapannya juga dijual untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagian
dikonsumsi oleh keluarga (Wiklif Yarisetou, 2009:110-
113)
40
41
BAB III
CERITA RAKYAT SUKU TEPERA
Masyarakat Tablanusu memiliki kekayaan budaya dan
sastra lisan berupa cerita rakyat. Hanya saja, cerita rakyat
tersebut tidak sembarangan dituturkan oleh siapa saja dan
kepada siapa saja. Biasanya, orang yang berhak bercerita
adalah orang yang telah dipercaya dan disepakati dalam
masyarakat. Berikut beberapa cerita rakyat Tepera di
Kampung Tablanusu.
3.1 Terjadinya Kampung Tablanusu 1
Nenek moyang masyarakat Kampung Tablanusu yang
hidup berdiam di pesisir pantai utara seperti yang ada
sekarang. Menurut cerita orang tua-tua atau para leluhur,
perkembangan manusia mulai tersebar dari sebelah
matahari terbit/timur yaitu sekelompok manusia
mengadakan perjalanan dari matahari terbit berjalan
melalui Nafri, Sentani berkumpul di lembah Buper,
42
kemudian dari lembah Buper, sebagian orang yang terus
ke lembah Deponsero/ Deponpau. Dari Deponpau
mereka terbagi lagi, ada yang ke Barat dan ada yang ke
Timur wilayah Deponsero utara.
Dari pembagian itu seorang yang bernama
Siriwari Wai turun dan tinggal di pantai. Ia hidup seorang
diri dan tinggal di tebing-tebing gunung batu karena tidak
mendapat tempat tinggal yang layak untuk dihuni. Ia
melihat keadaan tempat tinggalnya seperti itu, maka ia
mulai berpikir, dan merencanakan untuk membentuk satu
kampung yang layak untuknya tinggal dan berlindung. Ia
tidak mempunyai alat yang canggih. Akan tetapi, ia
hanya dengan bekal ilmu serta sepotong kayu besi
(yaumau po), ongkoi, dan yepi. Ongkoi adalah sebuah
wadah yang dibuat dari pohon palem untuk menimbah
air, alat yang ketiga adalah yepi yaitu melalui lagu-lagu
atau syair adat.
43
Dengan ketiga alat di atas ia mulai melakukan
kegiatannya setiap hari. Ia ambil tanah dengan wadah
ongkoi, dibuang pada tempatnya dan ditumbuk dengan
sepotong kayu yaumau po (kayu besi) serta diiringi
dengan lagu yepi, kegiatan ini ia lakukan setiap hari
sampai sebagian laut dapat tertimbun dengan tanah dan
berbentuk L. Pada suatu hari ia sibuk dengan
pekerjaannya, tiba-tiba binatang pelong atau biawak
(soa-soa hijau) jatuh dari atas dan hinggap di atas
bahunya. Siriwari Wai kaget dan dengan keras ia
melemparkan binatang itu ke tanah dan tempat tersebut
berubah menjadi rawa.
Pekerjaannya tetap dilaksanakan setiap hari. Pada
suatu petang setelah selesai bekerja, Siriwari Wai duduk
beristirahat serta memperhatikan segala jenis binatang
yang lewat. Hampir setiap hari ia memperhatikan
binatang-binatang tersebut. Timbullah pikirannya dan ia
44
berkata dalam hati, ”Mengapa binatang yang dilihatnya
setiap hari hidup berpasang-pasangan, sedangkan saya
adalah manusia seorang diri. Apakah saya dengan
binatang ini berbeda?” Pada waktu itu belum ada seorang
perempuan, bila ada pasti ia memilikinya. Karena ia
mempunyai ilmu, yaitu ilmu yang membuatnya pada
siang hari berubah menjadi manusia, sedangkan pada
malam hari ia berubah menjadi buaya, biawak, atau ular.
Akan tetapi, di dalam benaknya ia berpikir bagaimana ia
bisa mendapatkan seorang perempuan sebagai
pendamping hidupnya.
Selang lewat beberapa hari pekerjaan pun selesai.
Bentuk kampungnya seperti huruf L tetapi kampung
tersebut belum diberi nama. Sore hari ia duduk
beristirahat sambil mengamati binatang-binatang
tersebut. Tiba-tiba datanglah seorang perempuan dan
duduk di sampingnya. Siriwari Wai tidak tahu kehadiran
45
perempuan itu dan darimana asal perempuan itu. Dalam
hati ia bertanya darimana asal perempuan itu? Ketika
perempuan itu datang, ia sedang asyik mengamati hewan
yang lalu lalang di depannya. Tiba-tiba Siriwari Wai
diberi tanda oleh seekor nyamuk yang menggigit bagian
belakangnya. Ia melemparkan tangannya ke belakang
hendak memukul nyamuk tersebut, tetapi tangannya kena
badan perempuan itu. Siriwari Wai terkejut dan
membalikkan muka. Ia langsung bertatapan dengan
perempuan itu.
Dengan tersenyum Siriwari Wai bertanya kepada
perempuan itu, ”Siapa namamu?” Dengan suara yang
lembut perempuan itu menjawab, ”Namaku
Mandepamen. Saya datang dan hadir di sini sesuai
dengan keluhan dan keinginanmu.” Mendengar kalimat
itu, Siriwari Wai tersenyum dan menerima Mandepamen
sebagai istri dan pendamping hidupnya. Keduanya hidup
46
berdampingan dan saling mengasihi satu sama lain, tetapi
mereka tidak mempunyai anak.
Suatu hari suami istri ini duduk pada sore hari
sambil mengamati segala jenis hewan yang lalu lalang.
Maka timbullah suatu pertanyaan dari perempuan ini
kepada suaminya, ia mengatakan, ”Sepanjang hidup kami
berdua ini hanya mendengar suara burung dan binatang
melata lainnya, tidak pernah mendengar suara manusia
seperti kami berdua.” Mendengar ucapan istrinya ini
Siriwari Wai tersenyum dan bertanya kepada Istrinya,
”Engkau ingin mendengar suara orang? Kalau engkau
ingin mendengar suara orang, nanti tunggu pada
waktunya!”
Pada malam hari keadaan sangat sunyi yang
terdengar hanya suara jangkrik di tengah malam.
Menjelang pagi terdengar suara sekelompok orang yang
sedang berdayung dengan sebuah perahu yang bernama
47
Siangtuwai dari arah sebelah barat. Mereka mendayung
dengan tempik sorak dan menyanyi lagu yepi sambil
menuju ke kampung yang baru dibentuk itu. Setelah
rombongan tadi tiba di pantai yang bernama Dinding
Dendang Berou, mereka dijemput oleh suami istri ini dan
dibawa ke rumah mereka. Di dalam rumah tempat tinggal
suami istri itu tersimpan berbagai macam alat budaya,
yaitu ukiran kayu, batu, dan lain sebagainya yang sangat
menarik hati. Setelah rombongan tadi tiba di rumah
suami istri tersebut, mereka sangat tertarik dengan benda-
benda budaya itu. Hati mereka sangat terpikat dengan
benda tersebut. Mereka menanyakan kepada kedua suami
istri tersebut, ”Apakah benda-benda ini kami dapat
memilikinya?” Suami istri itu mengatakan silakan pilih
sendiri.
Dari rombongan yang datang tadi mereka semua
mendapatkan benda-benda budaya yang diberikan oleh
48
suami istri, tetapi hanya seorang anak yang tidak
mendapatkan benda budaya itu. Anak itu bernama
Alceng. Karena Alceng tidak memperoleh sesuatu, maka
ia bersedih dan menangis sepanjang hari di hadapan
kedua orang tuanya. Mendengar tangisan tersebut,
tergeraklah hati Mandepamen dan mengatakan kepada
suaminya, ”Berikanlah buku kulit tembaga itu
kepadanya!” Siriwari Wai mendengar hal itu dan berkata
kepada istrinya, ”Biarkan dia menangis, nanti dia yang
akan mendapat barang yang sangat berharga bagi
kehidupan masa depannya.” Akan tetapi, Alceng tetap
menangis sampai kedua orang tua itu dapat menyerahkan
sebuah buku berkulit tembaga kepada Alceng. Mereka
yang mengambil benda-benda budaya itu mengejek
Alceng. Akhirnya, Alceng tinggal bersama kedua orang
tua tersebut. Kemudian Siriwari Wai dan istrinya
menjadikan Alceng sebagai anak angkat. Dalam beberapa
49
waktu mereka dapat hidup bersama-sama dengan
rombongan yang datang bersama Alceng itu atau saudara
bersaudara.
Suatu hari menjelang tengah malam, Siriwari Wai
datang ke suatu tempat berpisah dari keluarganya dan ia
mendemonstrasikan ilmunya, maka terangkatlah sebuah
batu sebagai pintu dan dia turun melalui tangga ke bawah
bumi. Setelah ia mencobanya dan kembali naik lagi ke
permukaan dan pintu batu itu tertutup kembali seperti
biasa. Setelah kembali, ia dapat menyampaikan hal
tersebut kepada istri dan anak angkatnya untuk bersiap-
siap. Pada saatnya mereka akan berangkat dan
meninggalkan tempat ini dengan orang-orang yang ada.
Setelah hidup bersama beberapa waktu, tibalah waktunya
untuk mereka berpisah. Datanglah Siriwari Wai dengan
Mandepamen, dan Alceng, anak angkatnya. Mereka
bertiga berdiri di depan batu tersebut. Lalu Siriwari Wai
50
mulai mengadakan demonstrasi ilmunya, tiba-tiba
terangkatlah batu dari tanah dan keluarlah suatu terang
dari dalam tanah sampai ke langit, maka teranglah
seluruh daerah itu. Mereka melihat terang itu dan datang
mendekatinya. Ternyata, mereka melihat kedua orang tua
bersama Alceng sudah ada di depan pintu, hendak
bersiap-siap untuk turun ke bawah bumi.
Sementara orang-orang yang datang mendekati
pintu batu itu, mereka melihat bahwa ketiga orang
tersebut mulai masuk satu per satu ke dalam pintu itu,
yaitu Siriwari Wai yang turun pertama, kemudian
Mandepamen, istrinya, dan Alceng, anak angkatnya yang
turun terakhir. Sebelum turun, ia menengok kepada
saudara-saudaranya sambil menunjukkan buku kulit
tembaga itu dan ia mengucapkan beberapa kalimat,
”Saudara-saudara yang saya kasihi, selamat tinggal,
selama kamu hidup di dunia ini kamu harus bekerja keras
51
sampai keringat serta menggosok arang dan menjadi
budak kepada orang lain sampai kamu kenal saya dan
kenal buku tulis tembaga ini, barulah saya akan balik
mukaku untuk mengenal dan mengangkat kamu dari
kesengsaraanmu.” Setelah mengucapkan kalimat itu
Alceng melambaikan tangannya dan mengucapkan salam
terakhir selamat tinggal, lalu ia dengan sedih tunduk dan
turun melalui tangga ke dalam tanah dan pintu batu
kembali tertutup seperti semula. Saudara-saudaranya
menangis di sekitar batu itu, serta mengenang adik
Alceng sudah tidak bersama mereka.
3.2 Terjadinya Kampung Tablanusu 2
Setelah berpulangnya orang pertama yang membuat
Kampung berbentuk L, yaitu Siriwari Wai, Mandepamen,
istrinya, dan Alceng, anak angkatnya ke bawah bumi,
52
mereka yang tetap tinggal di kampung tersebut bernama
Kewasiriwai, Mang Damiwai, dan Mang Syawai.
Dari ketiga bersaudara ini yang dituakan adalah
Kewasiriwai sehingga kampung yang berbentuk L buatan
Siriwari Wai dapat diberi nama Kewatuyo/Kewayo.
Ketiga saudara tersebut mempunyai tugas masing-masing
yaitu Kewasiriwai bertugas menjaga keamanan dan
ketertiban kampung. Damiwai mempunyai tugas menjaga
dan memimpin seluruh masyarakat dalam hal kehidupan
berbakti kepada dewa dan selalu mencari kehidupan yang
berhubungan dengan keselamatan jiwa dan tubuh.
Mangsyawai mempunyai tugas untuk menyejahterahkan
masyarakatnya melalui sumber daya alam laut untuk
dinikmatinya dan ketiga-tiganya bertanggung jawab
kepada dewa pencipta.
Dari ketiga bersaudara tersebut berkembanglah
manusia penghuni kampung, dari keturunan Kewasiriwai
53
berkembang marga Soumilena. Mang Damiwai
menurunkan marga Danya, sedangkan Mangsyawai
menurunkan marga Suwae. Kewasiriwai kawin dengan
perempuan dari matahari namanya Susirimeng.
Mangsyawai kawin dengan perempuan yang datang dari
laut bernama Sewaimeng. Dari ketiga marga ini saling
kawin-mengawini dan berkembang banyak sehingga
marga Soumilena dijuluki Neko orode sai orode, marga
Danya dijuluki breuda mendada, dan marga Suwae
dijuluki bai-bai mera. Julukan ini diberikan oleh karena
banyaknya manusia di marga masing-masing. Marga
Soumilena, Danya, dan Suwae hidup bertahun-tahun di
Kawayo dalam satu kepemimpinan umum. Marga
Soumilena menjadi ondoafi umum atau kepala adat,
dengan kata lain disebut Yo Warepo.
Manusia mulai berkembang, terbentuklah
kampung-kampung, sehingga dari kampung satu
54
menikah dengan kampung yang lain. Begitulah proses
perkembangan manusia. Pada zaman itu seorang
perempuan dari marga Soumilena menikah dengan
Keyewena dari marga Diawaitouw. Mereka
merencanakan untuk mengadakan Metau/pesta adat.
Setelah sepakat, mereka masing-masing mengadakan
persiapan. Marga Diawaitou mempersiapkan segala
sesuatu dan marga Soumilena mempersiapkan makanan,
seperti babi, sagu, Bia Kung, dan alat tari dengan
aksesorisnya. Segala persiapan Metau/pesta telah
dipersiapkan dan para utusan Ondoafi mengadakan
pertemuan untuk menentukan waktu pelaksanaan.
Setelah sepakat masing-masing utusan menyampaikan
hal tersebut kepada marganya di kampung.
Setelah tiba saatnya acara tersebut segera
dilaksanakan. Orang Tepera onusu dari ketiga marga
mulai bersiap-siap untuk berangkat ke kampung Yewena
55
Dormena dengan membawa persiapan mereka. Mereka
meninggalkan para orang tua dan anak-anak. Setelah tiba
mereka menyerahkan semua hasil bawaannya kepada
marga Diawaitouw kemudian mereka beristirahat makan
dan minum. Setelah itu, mereka mempersiapkan alat
tarian dan mengenakan di tubuhnya lalu mereka keluar
berdansa di halaman marga Diawaitouw selama tiga hari.
Pada hari yang ketiga, sambil menari, mereka melihat
ombak besar berguling-guling masuk ke teluk. Ternyata,
ombak tersebut dapat menenggelamkan seluruh kampung
pertama, Kewayo, dengan manusia dan hewan, sehingga
tertinggal hanya beberapa pulau. Pulau itu disebut
Kwakepou.
Seluruh kegiatan pesta itu selesai. Mereka pulang
berjalan kaki sampai di ayadame/bukit alang-alang di
Kampung Teperasuwa. Dari atas tempat tersebut, mereka
melihat Kampung Kewayo sudah tidak ada lagi yang ada
56
adalah pulau-pulau yang terapung. Mereka semua dari
ketiga marga Soumilena, Danya, dan Suwae duduk di
atas bukit Ayadame. Mereka menangis tersedu-sedu
karena mengenang orang tua dan anak-anaknya yang
sudah tidak ada lagi. Semuanya telah ditelan oleh ombak
ganas itu. Bila mereka pulang tidak akan berjumpa
dengan orang-orang yang dikasihinya. Sangat lama
mereka duduk dan mengenang semua peristiwa itu.
Akhirnya, mereka terpaksa memilih jalannya sendiri-
sendiri, yaitu mereka berpisah satu sama lain. Marga
Suwae memanggil kayu hanyut dan mereka berangkat ke
barat sampai di Demta. Marga Danya terus ke Bukabo
bermukim di Yarokai. Marga Sumilena ke Bitia meko.
Mereka masing-masing bermukim di tempatnya. Sudah
sekian lama mereka berpisah satu sama lain. Marga
Suwae hidup di antara Ambora dan Yaugpsa, marga
57
Danya hidup di Bukabo, serta marga Sumilena hidup di
Bitiameko dan sekitarnya.
Keluarga marga Suwae dari Demta datang dan
tinggal di Sensau kemudian bertemu dengan marga
Soumilena dan diajak kembali ke Bitiayo. Demikian juga
marga Danya kembali ke Bitiayo dan mereka kembali
menjadi satu kampung. Ketiga marga tersebut hidup
bersama-sama di bawah satu kepemimpinan adat yaitu
marga Soumilena yang menjadi Ondoafi besar/Yo
warepo. Mereka kawin-mengawini antara satu sama lain,
hidup rukun dan damai di bawah satu kepemimpinan adat
(Soumilena).
Perkembangan manusia di kampung kedua
Bitiayo. Bitia adalah nama seorang dari marga
Soumilena, yaitu Bitia Damiwai sebagai pemimpin kedua
setelah Kewasiriwai sehingga nama kampung kedua itu
disebut Bitiayo. Penduduk pertama yang menduduki
58
Kampung Bitiayo adalah Soumilena, Danya, dan Suwae.
Kemudian datanglah seorang dari Kampung Yangsu, ia
datang dan bertempat di Budamiwaiye. Ia membawa dua
buah harta, yaitu satu Opa (manik-manik nomor satu)
yang bernama Opa Domesi dan satu Temaku (batu), Se
Domesa. Setelah marga Soumilena menemukannya ia
membawanya ke Kampung Bitiayo untuk tinggal dan
hidup bersama dengan orang Soumilena. Dia adalah
orang pertama dari marga Wambena, kemudian
datanglah orang kedua dari marga Somisu yang
sementara bertempat di Seinadiya, maka orang
Soumilena menemukannya dan mengajak untuk hidup
bersama di Kampung Bitiayo, karena Seinadiya adalah
dusun sagu tempat makan orang Soumilena. Orang ketiga
adalah marga Apaserai. Ia adalah orang Waibron dibawa
oleh orang Soumilena menjadi anak angkat di rumah
keluarga Soumilena.
59
Dari marga Danya, seorang perempuan dari
marga tersebut kawin dengan marga Serontou
(Tablasupa). Suaminya meninggal sehingga anak-
anaknya dibawa dan dipelihara oleh keluarga Danya, kini
disebut marga Serontou. Kemudian marga Serontou
mempunyai anak perempuan yang kawini oleh marga
Tekaiwaitou dari Kampung Demoikisi. Suaminya pun
meninggal, anak-anaknya dibawa dan dipelihara oleh
marga Serontou. Anak-anak tersebut sekarang menjadi
marga Yakarimilena. Kemudian seorang perempuan dari
marga Serontou dikawini oleh orang Ternate marga Selli.
Namun, kini tetap menjadi marga Selli. Marga Yufuwai
adalah saudara dari marga Yakarimilena. Selama berada
di Kampung kedua, Bitiayo, perkembangan penduduk
menjadi 10 marga. Kesepuluh marga tersebut adalah
1. Soumilena
2. Danya
60
3. Suwae
4. Wambena
5. Somisu
6. Apaserai
7. Serontou
8. Yakarimilena
9. Yufuwai
10. Selli
Mereka semua hidup dalam satu kepemimpinan
adat yang dipimpin oleh suku Soumilena. Begitulah
kehidupan mereka dari suku ditambah kedua suku yaitu
Wambena dan Somisu menjadi lima suku. Mereka
bersatu, berkembang, dan hidup bersama-sama saling
mengasihi terhadap satu sama lain penuh dengan sopan
santun.
Dengan adanya kampung pertama yang ditelan
stunami dan pada akhirnya mereka kembali berkumpul di
61
kampung kedua Bitiayo. Di situ masyarakat sudah
mengenal besi dan pada tahun 1911 injil mulai masuk
sehingga mengalami perubahan dan masa transisi dimana
masyarakat mulai percaya kepada Injil dan Yesus sang
Maha Kuasa. Pada tahun 1944 dimana terjadinya Perang
Dunia II, masyarakat mengalami kekerasan dari Jepang,
karena mau menyelamatkan diri dari perang, maka
mereka mulai mengungsi ke kampung yang sekarang ini
atau kampung Tablanusu. Alasannya karena kampung
tersebut merupakan dusun bagi masyarakat berkebun dan
mencari untuk mempertahankan hidup sehari-hari.
Selesai perang tahun 1946, Jepang akhirnya menyerah
kepada sekutu, masyarakatnya masih hidup terpencar,
akhirnya sudah merasa aman maka orang-orang tua mau
kembali ke kampung Bitiayo, tetapi ada pertimbangan-
pertimbangan bahwa pada pagi hari masyarakat pergi ke
kebun di dusun, mereka harus melawan arus angin darat
62
dan musim ombak yang begitu kencang serta
mengakibatkan arus yang begitu kuat. Dengan adanya
pertimbangan itu, maka Korano pada masa itu berdiskusi
dengan masyarakat dan memutuskan bahwa mereka
harus membuka perkampungan baru di dusun mereka
sendiri untuk menghindari beratnya medan dan cuaca di
laut. Sehingga masyarakat mendiami dusun mereka
sampai sekarang ini atau biasa disebut Kampung
Tablanusu.
(Diceritakan dan ditulis kembali oleh Petrus B.
Soumilena)
3.3 Asal Mula Pohon Kelapa
Pada zaman batu ada beberapa kampung saja
permukiman di pesisir pantai. Mereka hidup saling akrab
antara kampung satu dengan kampung yang lain. Pada
waktu meninggalnya seorang Ondoafi di Kampung Kayu
63
Pulau, sebelum orang Kayu Pulau pindah dan tinggal di
Pulau Kampung pertama di Pasekai (sekarang disebut
Paneskan, kemudian disebut dengan Bayangkara).
Mereka menguburkan Ondoafi Kayu Pulau dari
marga Sibi di Kampung Pasekai ini. Dari kubur itulah
tumbuh kelapa bercabang dua. Cabang yang satu
buahnya hijau dan cabang yang lain buahnya kuning mas.
Kelapa ini dijaga dan dipelihara sampai menghasilkan
buahnya. Orang Kayu Pulau melihat pohon bercabang
dua dan buahnya berbeda warnanya. Mereka sangat
heran, maka berita itu tersebarlah ke kampung lain di
pesisir pantai depon sero utara, termasuk Kampung
Kewayo, Tepranusu. Masyarakat dari kampung-kampung
datang mengamatinya. Mereka juga heran, lalu mereka
berkata kepada orang Kayu Pulau, ”Bila sudah tua
buahnya kami ingin mendapatkannya.”
64
Keinginan untuk memperoleh buah kelapa tersebut
sangat diperhatikan oleh orang Kayu Pulau. Mereka
sepakat untuk menjaga dan menyimpan kelapa itu sampai
tunas. Kemudian mereka akan membuat pesta adat, lalu
membagi-bagikan kelapa-kelapa tersebut. Orang Kayu
Pulau menjaga dan mengumpulkan buah kelapa,
jumlahnya sudah banyak, lalu mengundang orang
kampung-kampung lain datang untuk mengambil kelapa-
kelapa tersebut.
Ketika sudah tiba waktunya, mereka mengadakan
pesta adat. Mereka membunyikan tifa selama tiga hari.
Datanglah para undangan dari kampung-kampung.
Keluarga Soumilena datang dari kampung Kewayo
sebagai utusan dalam acara pesta tersebut. Pesta adat
tersebut selesai pada hari yang ketiga. Setelah pesta usai
pada pagi hari ketiga, orang Kayu Pulau mulai membagi
kelapa tersebut. Dari kampung Kewayo, keluarga
65
Soumilena memperoleh empat buah kelapa yang sudah
tunas, dua warna hijau, dan dua warna kuning emas.
Setelah itu mereka kembali ke kampung masing-masing.
Marga Soumilena pulang dan menanam empat pohon
itu. Setelah ditanam mereka menjaga sampai berbuah.
Orang Kewayo membuat acara adat untuk makan
bersama buah kelapa tersebut. Buah pertama mereka
kuliti, tetapi mereka takut melihatnya karena
tempurungnya menyerupai tengkorak manusia. Mereka
kemudian membelahnya dan merasakan airnya, dan
ternyata terasa manis. Kemudian isinya mereka makan,
rasanya enak sekali. Di antara orang-orang tersebut,
banyak yang takut memakannya, sehingga hanya
sebagian orang yang memakannya. Lama-kelamaan,
seluruh penduduk merasa memiliki kelapa ini sebagai
satu tumbuhan yang memberikan manfaat bagi
kehidupan keluarga. Bagian pohon kelapa tersebut, baik
66
daun, buah, kulit, maupun tempurung dapat dipergunakan
untuk bahan kerajinan. Selain itu, bagian lain, misalnya
airnya dapat dipergunakan sebagai obat bagi manusia.
Oleh karena itu, marga keturunan Soumilena
mendapat pesan dari nenek moyangnya untuk
menjaga dan memelihara pohon kelapa mulai
ditanam sampai berbuah,
buah kelapa jangan dibelah-belah, tetapi dipotong
atau dikuliti dengan baik dan rapi,
setelah buahnya dimakan kulitnya dikumpulkan
dengan rapi di bawah pohonnya dan tidak
dihambur-hamburkan, dan
keluarga besar Soumilena dijuluki berenda sebagai
buah kelapa banyaknya orang mendada.
(Diceritakan dan ditulis kembali oleh Petrus B.
Soumilena)
67
3.4 Serekumai
Setelah kampung pertama, Kewayo, dihancurkan oleh
gelombang besar, masyarakat membuka kampung kedua,
Bitiayo. Di kampung kedua ini, ada satu keluarga yang
bermukim di atas puncak Gunung Bitiameko. Keluarga
ini mempunyai tiga orang anak, yaitu dua laki-laki dan
seorang perempuan. Bapak dari ketiga anak ini
pekerjaannya petani. Ia selalu berkebun dan memperoleh
hasil cukup banyak, lalu ia bagi-bagikan kepada
tetangganya.
Dari ketiga anak ini, di antaranya ada satu yang
sangat nakal. Bila hasil kebun dibawa sampai di rumah,
sebahagiannya hilang. Melihat keadaannya seperti itu,
maka sang ibu berusaha menyembunyikan makanan
berupa pisang dan tebu di dalam tempayan. Pada suatu
hari bapak, ibu, dan kedua anak laki-laki dan perempuan
ikut ke kebun. Anak laki-laki nakal ini tinggal di rumah.
68
Pada siang hari, laki-laki nakal ini mulai mencari-cari di
manakah ibu menyembunyikan makanan pisang itu. Ia
mencari terus dan ketemu di dalam tempayan, lalu
mengambil dan memakannya. Lalu ia datang lagi kedua
kalinya. Ia melihat mulut tempayan tertutup rapat, si laki-
laki nakal ini berkata kepada tempayan, ”Yah, tadi saya
ambil pisang masak dalam tempayan ini, sekarang
tempayan ini dia tutup mulutnya. Ah, benarkah ’kan
tempayan? Kalau kau tempayan, bukalah mulutmu
supaya aku mengambil pisang masak lagi. Kalau bukan
tempayan, jangan buka mulutmu!”
Mendengar kalimat si nakal, maka tempayan
mulai buka mulutnya. Si nakal ini merapat dan berkata,
”Benar, kau adalah tempayan. Kau izinkan aku
mengambil pisang masak.” Sambil berbicara, ia
memasukkan tangannya ke dalam tempayan. Tangannya
mulai mengambil pisang. Tiba-tiba tempayan ini
69
menutup mulutnya dan tangan si nakal ini dijepit.
Kemudian tempayan ini bergerak dan terjatuh ke kolong
rumah, dari gunung terus berguling sampai di laut.
Sementara tempayan bersama si nakal ini berguling, si
nakal berteriak minta tolong kepada orang banyak.
Keluarlah orang dengan kayu panah sambil menyerang
tempayan. Akan tetapi, tempayan tersebut tetap berguling
terus sampai ke laut dan tenggelam bersama si laki-laki
nakal di depan Kampung Bitiayo.
Sampai sekarang si nakal dan tempayan tersebut
menjadi karang hidup. Itulah yang menjadi bukti cerita
ini. Bila seorang saudara atau peranakan Soumilena
meninggal, maka karang tersebut timbul terapung di
permukaan laut. Karang tersebut sekarang disebut dengan
nama Serekumai, yang berarti tempayan (sere) dan
Kumai adalah nama dari anak laki-laki itu. Demikian
cerita dari keluarga besar marga Soumilena. Dengan
70
demikian, bagi mereka dilarang menyimpan makanan
dalam tempayan. Hal itu sudah menjadi tradisi secara
turun-temurun.
(Diceritakan dan ditulis kembali oleh: Petrus B.
Soumilena)
71
BAB IV
MORFOLOGI CERITA RAKYAT TEPERA
4.1 Fungsi Pelaku, Skema, dan Pola Cerita
Dalam analisis ini, khusus mengenai fungsi-fungsi
pelaku, yang disajikan adalah definisi pokoknya saja
yang disertai lambang dan ringkasan isi cerita. Sajian
ringkasan isi cerita dimaksudkan sebagai penjelas fungsi.
Adapun hasil analisis fungsi dalam cerita Terjadinya
Kampung Tablanusu dan Serekumai tampak sebagai
berikut.
TERJADINYA KAMPUNG TABLANUSU 1
(0) Situasi Awal (lambang: µ )
Nenek moyang masyarakat Kampung Tablanusu
yang hidup dan berdiam di pesisir pantai utara seperti
yang ada sekarang memiliki cerita yang panjang.
Menurut cerita orang tua-tua atau para leluhur,
perkembangan manusia dimulai dari asal matahari
72
terbit/timur. Dari rentetan peristiwa selama perjalanan ini
maka menyebabkan adanya beberapa peristiwa yang
lainnya.
(1) Perpindahan Tempat (lambang G)
Syahdan Siriwari Wai bersama sekelompok
manusia mengadakan perjalanan dari arah matahari
terbit. Mereka berjalan melalui Nafri ke Sentani dan
berkumpul di lembah yang sekarang dinamai Buper. Dari
lembah Buper, sebagian orang ada yang terus ke Lembah
Deponsero/Deponpau. Dari Deponpau mereka terbagi
lagi, ada yang ke barat dan ada yang ke timur menuju
wilayah Deponsero Utara.
(2) Kekurangan, Kebutuhan (lambang: )
Dari pembagian itu seorang yang bernama
Siriwari Wai turun dan tinggal di pantai. Ia hidup seorang
diri dan tinggal di tebing-tebing gunung batu karena tidak
mendapat tempat tinggal yang layak untuk dihuni.
73
Melihat keadaan tempat tinggalnya seperti itu, ia mulai
berpikir, dan merencanakan untuk membentuk satu
kampung yang layak untuknya tinggal dan berlindung.
(3) Penerimaan Alat Sakti (lambang: F)
Ia tidak mempunyai alat yang canggih. Akan
tetapi, dengan bekal ilmu serta sepotong kayu besi
(yaumau po), ongkoi (wadah yang dibuat dari pohon
palem untuk menimbah air), dan yepi (lagu-lagu atau
syair adat). Dengan ketiga alat yang tersebut ia mulai
melakukan kegiatannya setiap hari.
(4) Penetralan (tindakan) dimulai (lambang: C)
Ia ambil tanah dengan wadah ongkoi, dibuang
pada tempatnya, ditumbuk dengan sepotong kayu
yaumau po (kayu besi), dan diiringi dengan lagu yepi.
Kegiatan ini ia lakukan setiap hari sampai sebagian laut
dapat tertimbun dengan tanah dan berbentuk L.
(5) Perantara Peristiwa Penghubung (lambang B)
74
Pada suatu hari ia sibuk dengan pekerjaannya,
maka tiba-tiba binatang pelong atau biawak (soa-soa
hijau) jatuh dari atas dan hinggap diatas bahunya. Sirwari
Wai kaget dan dengan keras ia melemparkan binatang itu
ketanah dan tempat tersebut berubah menjadi rawa. Rawa
tersebut masih ada sampai sekarang.
(6) Penjelmaan (lambang T)
Pekerjaannya tetap dilaksanakan setiap hari. Pada
suatu petang setelah selesai bekerja, Siriwari Wai duduk
beristirahat sambil memperhatikan segala jenis binatang
yang lewat. Hampir setiap hari ia memperhatikan
binatang-binatang tersebut, maka timbullah pikirannya
dan ia berkata dalam hati, ”Mengapa binatang yang
dilihatnya setiap hari hidup berpasang-pasangan, dan
saya adalah manusia seorang diri apakah saya dengan
binatang ini berbeda?” Pada waktu itu belum ada seorang
perempuan bila ada pasti ia memilikinya. Ia mempunyai
75
ilmu, yaitu siang hari ia berubah menjadi manusia,
sedangkan pada malam hari ia berubah menjadi buaya,
biawak, dan ular. Di dalam benaknya, ia berpikir
bagaimana ia bisa mendapatkan seorang perempuan
sebagai pendamping hidupnya.
(7) Datang Tak Dikenali (lambang: O)
Selang beberapa hari pekerjaan pun selesai. Suatu
sore ia duduk beristirahat sambil mengamati binatang-
binatang tersebut, tiba-tiba datanglah seorang perempuan
dan ia duduk di sampingnya. Siriwari Wai sendiri tidak
tahu akan kehadiran perempuan itu. Dalam hati ia
bertanya dari mana asal perempuan itu. Ketika
perempuan itu datang, ia sedang asyik mengamati hewan
yang lalu lalang di depannya. Tiba-tiba Siriwari Wai
diberi tanda oleh seekor nyamuk yang menggigit bagian
belakangnya, maka ia mengibaskan tangannya ke
belakang hendak memukul nyamuk tersebut, tetapi
76
tangannya mengenai badan perempuan itu. Siriwari Wai
terkejut dan membalikkan muka. Ia langsung bertatapan
dengan perempuan itu.
(8) Perkawinan (lambang: W)
Sambil tersenyum Siriwari Wai bertanya kepada
perempuan itu, ”Siapa namamu?” Dengan suara yang
lembut perempuan itu menjawab, ”Namaku
Mandepamen. Saya datang dan hadir di sini sesuai
dengan keluhan dan keinginanmu”. Mendengar kalimat
itu, Siriwari Wai tersenyum dan menerima Mandepamen
sebagai istri dan pendamping hidupnya. Keduanya hidup
berdampingan dan saling mengasih satu sama lain.
Namun, keduanya tidak mempunyai anak. Akan tetapi,
pekerjaannya tetap dilaksanakan sampai selesai. Bentuk
kampungnya seperti huruf L, tetapi kampung tersebut
belum diberi nama.
77
Suatu sore suami istri ini duduk sambil
mengamati segala jenis hewan yang lalu lalang. Tiba-tiba
timbul suatu pemikiran dari perempuan ini yang hendak
ia utarakan kepada suaminya. Ia berkata, ”Sepanjang
hidup kita berdua ini hanya mendengar suara burung dan
binatang melata lainnya, tidak pernah mendengar suara
manusia seperti kita berdua.” Mendengar ucapan istrinya
ini Siriwari Wai tersenyum dan bertanya kepada istrinya,
”Engkau ingin mendengar suara orang? Kalau engkau
ingin mendengar suara orang, nanti tunggu pada
waktunya”.
Pada malam hari keadaan sangat sunyi, yang
terdengar hanya suara jangkrik memecah kebisuan
malam. Menjelang pagi terdengar suara sekelompok
orang yang sedang berdayung dengan sebuah perahu
yang bernama Siangtuwai dari arah barat. Mereka
mendayung dengan tempik sorak dan menyanyi lagu yepi
78
sambil menuju ke kampung yang baru dibentuk itu.
Setelah rombongan tadi tiba di pantai yang bernama
Dinding Dendang Berou, mereka dijemput oleh suami
istri ini dan dibawa ke rumah mereka. Di dalam rumah
tempat tinggal suami istri itu tersimpan berbagai macam
alat budaya, yaitu ukiran kayu, batu, dan lain sebagainya
yang sangat menarik hati. Setelah rombongan tadi tiba di
rumah suami istri tersebut, mereka sangat tertarik dengan
benda-benda budaya itu. Hati mereka sangat terpikat
dengan benda tersebut. Mereka menanyakan kepada
suami istri tersebut, ”Apakah benda-benda ini kami dapat
memilikinya?” Suami istri itu mengatakan silakan pilih
sendiri.
(9) Kejahatan (lambang A)
Dari rombongan tadi yang datang mereka semua
mendapatkan benda-benda budaya yang diberikan oleh
suami istri. Akan tetapi, hanya seorang anak saja yang
79
tidak dapat benda budaya itu, yakni yang bernama
Alceng. Karena Alceng tidak memperoleh sesuatu ia
bersedih dan menangis sepanjang hari di hadapan kedua
orang tuanya. Mendengar tangisan anak tersebut,
tergeraklah hati Mandepamen dan mengatakan kepada
suaminya, ”Berikanlah buku kulit tembaga itu
kepadanya!” Siriwari wai mendengar hal itu dan berkata
kepada istrinya, ”Biarkan dia menangis, nanti dia yang
akan mendapat barang yang sangat berharga bagi
kehidupan masa depannya.” Akan tetapi, Alceng tetap
menangis sampai kedua orang tua itu mau menyerahkan
sebuah buku berkulit tembaga kepada Alceng. Mereka
yang mengambil benda-benda budaya itu mengejek
Alceng. Akhirnya Alceng tinggal bersama kedua orang
tua tersebut. Siriwari Wai dan istrinya menjadikan
Alceng sebagai anak angkat. Dalam beberapa waktu
80
mereka dapat hidup bersama-sama dengan rombongan
yang datang bersama Alceng itu atau saudara bersaudara.
(10) Reaksi Pahlawan (lambang E)
Suatu hari menjelang tengah malam, Siriwari Wai
datang ke suatu tempat berpisah dari keluarganya dan ia
mendemonstrasikan ilmunya, maka terangkatlah sebuah
batu sebagai pintu dan dia turun melalui tangga ke bawah
bumi. Setelah ia mencobanya dan kembali naik lagi ke
permukaan dan pintu batu itu tertutup kembali seperti
biasa. Setelah kembali, ia dapat menyampaikan hal
tersebut kepada istri dan anak angkatnya untuk bersiap-
siap. Pada saatnya mereka akan berangkat dan
meninggalkan tempat ini dengan orang-orang yang ada.
(11) Kepulangan (kembali)
Setelah hidup bersama beberapa waktu, tibalah
waktunya untuk mereka berpisah, datanglah Siriwari
Wai dengan Mandepamen, istrinya, dan Alceng, anak
81
angkatnya. Mereka bertiga berdiri di depan batu tersebut.
Siriwari wai mulai mengadakan demonstrasi ilmunya,
tiba-tiba terangkatlah batu dari tanah dan keluarlah suatu
terang dari dalam tanah sampai ke langit, maka teranglah
seluruh daerah itu. Mereka melihat terang itu dan datang
mendekatinya. Ternyata, mereka melihat kedua orang tua
bersama Alceng sudah ada di depan pintu, hendak
bersiap-siap untuk turun ke bumi.
(12) Penyelesaian (lambang: N)
Sementara orang-orang yang datang mendekati
pintu batu itu, mereka melihat bahwa ketiga orang
tersebut mulai masuk satu per satu ke dalam pintu itu,
yaitu Siriwari Wai yang turun pertama, kemudian
Mandepamen, istrinya, dan Alceng anak angkatnya yang
turun terakhir. Sebelum turun, ia menengok kepada
saudara-saudaranya sambil menunjukkan buku kulit
tembaga itu dan ia mengucapkan beberapa kalimat,
82
”Saudara-saudara yang saya kasihi, selamat tinggal,
selama kamu hidup di dunia ini kamu harus bekerja keras
bersimbah keringat menggosok arang dan menjadi budak
bagi orang lain sampai kamu kenal saya dan kenal buku
tulis tembaga ini. Jika kamu sudah melakukannya
barulah aku akan balik mukaku untuk mengenal dan
mengangkat kamu dari kesengsaraanmu.” Setelah
mengucapkan kalimat itu Alceng melambaikan
tangannya dan mengucapkan salam perpisahan, lalu
dengan sedih dan tertunduk ia turun melalui tangga ke
dalam tanah dan pintu batu kembali tertutup seperti
biasanya. Saudara-saudaranya menangis di sekitar batu
itu karena sang adik sudah tidak bersama mereka. (batu
bersejarah tersebut sampai sekarang masih ada). Ini
merupakan cerita fase pertama dari cerita Kampung
Tablanusu.
83
SEREKUMAI
(0) Situasi awal (lambang: µ )
Situasi awal cerita Serekumai adalah pemaparan tentang
kehancuran kampung pertama (Kewayo) yang diterjang
oleh bencana tsunami, sehingga masyarakat membuka
kampung kedua (Bitiayo). Di atas puncak Gunung
Bitiameko, hiduplah sebuah keluarga dengan tiga orang
anak. Kepala keluarga ini bermata pencaharian sebagai
petani. Hasil kebunnya terbilang cukup banyak, bahkan
selalu dibagikan kepada tetangganya. Kelakuan anak-
anak dalam keluarga inilah yang menjadi pemicu
timbulnya pergerakan cerita sehingga menimbulkan
fungsi-fungsi berikut.
(1) Penipuan (lambang: )
Dikemukakan bahwa dari ketiga anak dalam keluarga
tersebut, ada seorang yang sangat nakal. Bila hasil kebun
84
dibawa sampai ke rumah, pasti hilang sebagian.
Menyikapi kondisi tersebut, maka sang ibu berusaha
menyembunyikan makanan berupa pisang dan tebu
dalam tempayan. Sikap sang ibu tersebut termasuk dalam
fungsi penipuan.
(2) Kejahatan (lambang: A)
Ketika orang tua dan saudara-saudaranya berangkat ke
kebun, muncullah niat jahat si anak nakal. Ia mulai
mencari makanan yang disembunyikan oleh ibunya.
Setelah ia menemukan makanan yang ia inginkan, ia
mencuri dan memakan makanan tersebut. Sikap mencuri
si anak nakal ini termasuk dalam fungsi kejahatan.
Kemudian fungsi ini berkembang menjadi fungsi
kekurangan (lambang: a) karena si anak terus berupaya
mencari makanan tersebut. Ia mendatangi tempayan
untuk yang kedua kalinya. Ia melihat mulut tempayan
tertutup rapat. Si anak nakal ini meminta tempayan
85
supaya ia membuka mulutnya karena ia ingin mengambil
makanan.
(3) Hukuman bagi penjahat (lambang: U)
Perilaku jahat dan nakal dari si anak membuatnya
menerima hukuman. Ketika ia memasukkan tangannya
ke dalam tempayan untuk mengambil pisang, tiba-tiba
tempayan menutup mulutnya dan tangan si anak terjepit.
Kemudian tempayan ini bergerak, jatuh ke kolong rumah,
berguling dari puncak gunung sampai ke laut. Ketika si
anak berguling bersama tempayan, ia berusaha meminta
pertolongan kepada orang-orang. Akan tetapi, tempayan
dan si anak terus berguling masuk ke dalam laut dan
tenggelam. Akhirnya, si anak dan tempayan tersebut
menjadi karang hidup. Karang hidup tersebut dinamai
Serekumai. Konon, kalau ada marga Soumilena yang
meninggal dunia maka ia timbul terapung di atas
permukaan air.
86
4.2 Struktur Cerita
Jika cerita tentang Terjadinya Kampung Tablanusu
disusun dalam bentuk skema, kerangka cerita yang
membentuk strukturnya akan tampak seperti berikut.
µG a F C B T O W A E ¯
Setelah unsur-unsur penting serta unsur-unsur
penjelasnya ditunjukkan (lihat fungsi-fungsi pelaku di
atas), dapatlah ditemukan pola-pola tertentu dalam cerita
Terjadinya Kampung Tablanusu. Menurut Propp
(1975:92), satu cerita (komponen) tertentu dapat ditandai
oleh satu perkembangan atau pergerakan yang dimulai
dari kejahatan atau kekurangan (kebutuhan) dan diakhiri
dengan penyelesaian atau terpenuhinya kekurangan
(kebutuhan) setelah melalui fungsi-fungsi perantaraan.
Oleh karena itu, dengan mencermati fungsi-fungsi pelaku
seperti telah disebutkan di atas, secara keseluruhan (tale
87
as a whole) cerita Terjadinya Kampung Tablanusu dan
Serekumai dapat dipolakan seperti berikut.
I G…………………
Keterangan:
I.G…………………
Adalah dimulainya perjalanan dari negeri matahari terbit
melalui Nafri, Sentani berkumpul di lembah yang
sekarang dinamai Buper, kemudian dari Lembah Buper,
sebagian orang yang terus ke Lembah Deponsero/
Deponpau. Dari Deponpau mereka terbagi lagi, ada yang
ke barat dan ada yang ke timur wilayah Deponsero Utara.
Dari pejalanan ini mereka menghadapi berbagai macam
kendala, baik secara fisik maupun mental. Kendala fisik
adalah penyesuaian dengan daerah baru, sedangkan
kendala mental perasaan sepi karena ketiadaan teman.
II.O..........................A
88
Adalah masa perkawinan Siriwari Wai dengan
Mandepamen. Mereka tidak mendapatkan keturunan dan
mengangkat Alceng sebagai anak. Permasalahan terjadi
ketika Alceng tidak mendapatkan hadiah dari Siriwari
Wai dengan Mandepamen,
III. E.........................N
Adalah masa ketika Siriwari Wai, Mandepamen, dan
Alceng memasuki dunia baru, yaitu dunia yang hanya
diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah terbebas dari
urusan keduniaan.
4.3 Distribusi Fungsi di Kalangan Pelaku
Menurut Propp (1975:79--80), tiga puluh satu fungsi
yang menjadi kerangka pokok cerita atau dongeng rakyat
itu dapat didistribusikan ke dalam tujuh lingkaran
tindakan (speres of action). Jadi, setiap lingkaran
(lingkungan) tindakan dapat mencakupi satu atau
beberapa fungsi. Adapun enam lingkaran tindakan dalam
89
cerita Terjadinya Kampung Tablanusu adalah sebagai
berikut.
(1) A adalah lingkungan aksi penjahat.
(2) F adalah lingkungan aksi donor (pembekal).
(3) E adalah lingkungan aksi pembantu.
(4) W adalah lingkungan aksi seorang putri
(5) B adalah lingkungan aksi perantara.
(6) C, E adalah lingkungan aksi pahlawan.
4.4 Cara-Cara Pengenalan Pelaku
Berdasarkan pengamatan secara cermat terhadap cerita
Terjadinya Kampung Tablanusu diperoleh beberapa
model atau cara pengenalan pelaku seperti di bawah ini.
Pelaku yang dimaksudkan adalah penjahat, pembantu,
perantara, pahlawan, dan sang putri. Dalam cerita
Terjadinya Kampung Tablanusu, penjahat tidak
dijelaskan secara eksplisit mengenai namanya, karena
merupakan kelompok orang. Hanya saja akibat dari
90
tindakan jahat ini Alceng merasa bersedih dan kecewa
sehingga ia menangis tanpa henti.
Dalam cerita ini pembantu dimunculkan sebagai
penghubung tokoh pahlawan. Alceng yang merupakan
anak angkat Siri Wai dan Mandepamen mampu mengisi
kekosongan mereka karena ketiadaan anak.
Dalam cerita Terjadinya Kampung Tablanusu
perantara diperkenalkan sebagai penghubung fungsi-
fungsi pelaku yang utama. Perantara yang berupa biawak
dimunculkan sebagai penyebab timbulnya rawa dan
merupakan cikal bakal nenek moyang karena biawak ini
pada akhirnya akan berubah menjadi seorang putri yang
bernama Mandepamen yang kemudian menikah dengan
Siri Wai.
Sesungguhnya, pahlawan yang bernama Siri Wai
telah diperkenalkan di bagian-bagian awal cerita.
Pengenalan itu bersifat fungsional. Dimulai dari
91
perjalanan dari negeri matahari terbit, mendirikan
kampung, menikah, dan memasuki dunia pencerahan
merupakan rangkaian cerita yang bersifat fungsional.
92
93
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian dengan mengaplikasikan teori
Vladimir Propp maka terdapat dua belas fungsi pelaku
pada cerita rakyat Terjadinya Kampung Tablanusu.
Adapun fungsi-fungsi tersebut adalah: Perpindahan
Tempat (lambang G), Kekurangan, Kebutuhan (lambang:
a), Penerimaan Alat Sakti (lambang: F), Penetralan
(tindakan) dimulai (lambang: C), Perantara Peristiwa
Penghubung (lambang B), Penjelmaan (lambang T),
Datang Tak Dikenali (lambang: O), Perkawinan
(lambang: W), Kejahatan (lambang A), Reaksi Pahlawan
(lambang E), Kepulangan/kembali (lambang ¯ ),
Penyelesaian (lambang: N).
Jika cerita tentang Terjadinya Kampung
Tablanusu disusun dalam bentuk skema, kerangka cerita
94
yang membentuk strukturnya akan tampak seperti
berikut.
µG a F C B T O W A E ¯
Adapun enam lingkaran tindakan dalam cerita
Terjadinya Kampung Tablanusu adalah sebagai berikut.
(1) A adalah lingkungan aksi penjahat.
(2) F adalah lingkungan aksi donor (pembekal).
(3) E adalah lingkungan aksi pembantu.
(4) W adalah lingkungan aksi seorang putri
(5) B adalah lingkungan aksi perantara.
(6) C , E adalah lingkungan aksi pahlawan
Berdasarkan pengamatan secara cermat terhadap
cerita Terjadinya Kampung Tablanusu diperoleh
beberapa model atau cara pengenalan pelaku seperti di
bawah ini. Pelaku yang dimaksudkan adalah penjahat,
pembantu, perantara, pahlawan, dan sang putri.
95
Untuk cerita rakyat Serekumai hanya ditemukan
tiga fungsi, yaitu penipuan (lambang: , kejahatan
(lambing: A), dan hukuman bagi penjahat (lambing: U).
5.2 Saran
Dengan memahami struktur dan nilai budaya yang
terdapat dalam cerita rakyat milik Suku Tepera maka
perlu diadakan pendokumentasian, pemublikasian,
perekaman, dan penerjemahan terhadap cerita rakyat
yang masih ada pada suku Tepera. Semoga penelitian ini
menjadi awal untuk melakukan penelitian-penelitian
selanjutnya.
96
97
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaya, James. 2002. Foklor Indonesia: Ilmu Gosip,
Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Propp, Vladimir. 1987. Morfologi Cerita Rakyat.
Noriahtaslim (penerjemah). Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian
Pendidikan Malaysia.
Suwondo, Tirto. 2011. Studi Sastra: Konsep Dasar,
Teori, dan Penerapannya pada Karya Sastra.
Yogyakarta: Gama Media.
Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan: Sejarah,
Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh
Penerapannya. Yogyakarta: Lamera.
Yarisetou, Wiklif. 2009. Tiaitiki Konsep dan Praktek.
Jayapura; Penerbit Arika.
Yobee, Andreas. 2006. Struktur Cerita Rakyat dalam
Kehidupan Masyarakat Suku Mee Papua:
Penerapan Teori Vladimir Propp. Lombok: Arga
Fuji Press.
top related