manajemaem konflik.pdf
Post on 22-Jan-2016
271 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
20
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konflik
1. Pengertian konflik
Teori konflik berasal dari Eropa dalam karya-karya Karl Marx, Max Weber,
dan George Simmel. Dalam konteks modern menurut Ritzer (2005: 134) teori
konflik muncul di Amerika, meskipun terdapat fakta bahwa teori ini muncul
kembali pada pertengahan abad kedua puluh dengan terinspirasi dari Eropa yang
merupakan asal kritik fungsionalisme struktural. Awal kritik fungsionalisme
menurut Turner (1978: 143) datang dari David Lockwood dan Ralf Dahrendorf,
yang berpendapat bahwa teori fungsional, khususnya yang dipaparkan oleh
Talcott Parsons, mempresentasikan kaitan pandangan organisasi sosial yang tidak
bisa memprediksikan konflik dan perubahan. Kritik ini ditopang oleh teoretisi
kritis Lewis Coser (1964: 26) yang berpendapat bahwa teori konflik dan
fungsional yang terlalu ekstrim, membutuhkan penilaian fungsi konflik.
Konflik merupakan suatu bentuk interaksi sosial ketika dua individu
mempunyai kepentingan yang berbeda dan kehilangan keharmonisan di antara
mereka. Pada dasarnya konflik merupakan hal yang alamiah dan sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Walter (Maftuh, 2008:1) menyatakan bahwa “ the
history of humankind and the rise and fall of civilization is unquestionably a story
of conflict. Conflict is inherent in human activities. Iti is omnipresent and
foreordained”. Dalam bahasa biasa Dahrendorf (Jeong, 2008: 6), menafsirkan
konflik telah secara luas dikaitkan dengan ketegangan dalam mengambil
21
keputusan pada berbagai pilihan, dan terkadang diwujudkan dalam konfrontasi
antara kekuatan sosial. Dalam arti luas, konsep konflik telah ditarik dan
dipergunakan untuk menggambarkan setiap perselisihan yang dihasilkan oleh
setiap aspek dari situasi sosial.
Konflik manusia menurut Campbell (2006: 157) mempunyai derajat
kompleksitas dan intensitas yang dapat di temui dalam individu, kelompok dan
negara-negara seluruh dunia. Konflik sosial biasanya timbul ketika dua belah
pihak atau lebih mencapai tujuan yang tidak kompatibel dan pada tahap
berikutnya keduanya melakukan perjuangan untuk mencapai tujuan dan saling
mengalahkan. Potensi konflik akan meningkat seiring dengan meningkatnya
partisipasi sosial dan perubahan budaya yang cepat. Variasi budaya menyebabkan
bervariasinya tingkatan dan bentuk konflik.
Ritzer (2005: 134) membagi konsep teori konflik yang muncul di Amerika
menjadi tiga, dua dikhususkan untuk menghidupkan kembali Marx dan Weber
(dengan memasukkan unsur-unsur Simmelian) dan sepertiga menggabungkan
unsur-unsur baik Marx dan Weber. Hal ini menandai tumbuhnya teori konflik
neo-Marxis, neo-Weberian, dan historis-komparatif. Di samping itu muncul juga
teori umum yang lebih spesifik terkait dengan gerakan sosial dan identitas politik
(misalnya, etnis dan gender). Bagaimanapun teori kritis tidak mengalami
kebangkitan yang sama di Amerika, sebagian didominasi Eropa atau telah
dimasukkan ke dalam kebangkitan teori konflik Marxis.
Pendekatan yang agak berbeda dari Marxis dan Weberian menurut Ritzer
(2005: 136) adalah teori konflik dalam tradisi sejarah komparatif dengan
22
menekankan pada dua faktor dasar. Satu faktor adalah kondisi yang menyebabkan
massa melakukan mobilisasi ideologi, politik, dan organisasi untuk melakukan
konflik terhadap negara dan elit yang mendominasi mereka. Faktor dasar kedua
adalah kekuatan yang mengarah pada kerusakan pada kekuasaan negara dan
dikarenakan kapasitasnya untuk melakukan kontrol terhadap populasi. Faktor
pertama memiliki penekanan Marxis, dengan perbaikan Weberian, sedangkan
yang kedua adalah lebih sejalan dengan kekhawatiran Weber tentang kapasitas
negara untuk mendominasi populasi.
Termasuk juga dalam teori ini menurut penulis adalah Teori collective
behavior NJ. Smelser. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam bukunya
Collective Behavior (1971: 4) bahwa dalam konteks pendekatan historis menurut
Smelser meneliti perilaku kolektif dilakukan dengan tiga alasan. Pertama karena
perilaku kolektif terjadi secara spontan dan berubah-ubah. Perilaku ini bisa
berawal dari perilaku seseorang yang menjadi sentral kemudian berkembang
menjadi kerumunan, kelompok massa menjadi terpengaruh dan akhirnya mencari
sebuah pembenar perilaku bersama. Kedua, banyak perilaku kolektif
membangkitkan reaksi emosional yang kuat. Ketiga, Kejadian perilaku kolektif
rata-rata tidak dapat diamati dengan eksperimen . Hal ini ditegaskan kembali oleh
Smelser dalam bukunya International Encyclopedia of the Social & Behavioral
Sciences (2001: 2207) bahwa perilaku kolektif ini apabila dirunut secara ilmiah
merupakan keberlanjutan dari pendekatan historis komparatif dalam teori konflik.
Dalam menguak latar belakang terjadinya konflik kekerasan pasca pilkada di
Tuban tahun 2006, pendekatan collective behavior menurut penulis sesuai dan
23
dapat diterapkan dalam menganalisis. Kesesuaian tersebut menurut asumsi penulis
didasarkan pada kasus kerusuhan pasca pilkada yang terjadi di Tuban dilakukan
oleh massa dengan jumlah yang sangat banyak. Massa tersebut bukan hanya dari
satu elemen masyarakat, akan tetapi berasal dari berbagai elemen yang bersatu.
Ada sebuah kondisi menyebabkan massa melakukan mobilisasi ideologi, politik,
dan organisasi untuk melakukan konflik terhadap pemerintah dan elit yang
mendominasi mereka. Kerusuhan yang ditimbulkan pun tidak di tempat yang
sembarangan, akan tetapi pada setiap aset-aset yang dimiliki oleh lawan.
2. Perilaku Kolektif (Collective Behavior)
Istilah collective behavior/perilaku kolektif belum ada sebuah pembakuan.
Istilah yang paling umum selama ini dipergunakan adalah “perilaku kolektif”
meskipun tidak mengacu pada fenomena penyerangan sebuah kelas. Brown dalam
Smelser (1971: 2) seorang psikolog menyatakan bahwa istilah perilaku kolektif
dinisbatkan untuk tindakan yang mencakup perilaku massa dan dinamika kolektif.
Istilah dinamika kolektif kemudian di dukung oleh Lang-lang yang
menggambarkan tentang hubungan khusus dalam perubahan sosial tentang
perilaku kolektif. Istilah yang lebih akurat yang mencakup peristiwa yang terjadi
dalam kelompok-kelompok adalah ledakan kolektif dan gerakan kolektif. Ledakan
kolektif menurut Smelser (1971: 3) mencakup kepanikan, kegilaan, ungkapan
permusuhan, semua ini ada pemicunya dan melakukan gerakan bersama dalam
perombakan nilai dan norma. Dalam arti luas perilaku kolektif mengacu pada
perilaku dari dua atau lebih individu yang bertindak secara bersama-sama secara
24
kolektif, dan untuk memahami perilaku dengan cara ini harus mengerti semua
kehidupan kelompok.
Keuntungan dari mempelajari Perilaku Kolektif menurut Smelser (1971:4)
adalah dalam kondisi interaksi yang stabil, banyak unsur mitos sosial, ideologi,
potensi kekerasan, dll baik yang dikendalikan atau yang sudah ditentukan dan
karenanya tidak mudah diamati. Selama terjadi perilaku kolektif, elemen-elemen
ini muncul secara langsung, kita dapat mengamati kejadian yang asli yaitu
perilaku kolektif dalam bentuk seperti penyimpangan dan hal ini menjadikan
laboratorium lapangan di mana kita dapat belajar langsung tentang komponen
perilaku tertentu yang jarang kita temukan.
Menurut Smelser (1971:4) sejarawan meneliti perilaku kolektif dengan tiga
alasan. Pertama karena perilaku kolektif terjadi secara spontan dan berubah-ubah.
Perilaku ini bisa berawal dari perilaku seseorang yang menjadi sentral kemudian
berkembang menjadi kerumunan, kelompok masa menjadi terpengaruh dan
akhirnya mencari sebuah pembenar perilaku bersama. Kedua, banyak perilaku
kolektif membangkitkan reaksi emosional yang kuat. Ketiga, Kejadian perilaku
kolektif rata-rata tidak dapat diamati dengan eksperimen.
a. Sifat Dari Perilaku Kolektif
Dalam pembatasan dan mengklasifikasikan bidang perilaku kolektif, kita dapat
melanjutkan dengan berbagai tingkat formalitas. Roger Brown (Smelser, 1971: 5)
telah menggolongkan beberapa dimensi dalam pengelompokan yaitu: (a) Ukuran
adalah penting untuk mengetahui apakah kelompok termasuk kelompok kecil,
menengah atau besar, (b) frekuensi peserta (c) frekuensi polarisasi perhatian
25
kelompok; (d) Tingkat kedalaman identifikasi psikologis dari anggota. Dengan
mempergunakan beberapa kriteria diatas, Brown membedakan perilaku kolektif
sebagai sebuah fenomena massa dan perilaku kolektif sebagai bentuk tindakan.
Smelser (1971: 6) mengutip pendapat Herbert Blumer dalam membatasi
kajiannya pada perilaku kolektif yang meliputi (a) perilaku kelompok kecil
(ukuran fisik), dan (b) sebuah budaya perilaku (ukuran peraturan, norma-norma).
Kelompok pertama adalah kelompok kecil selain ukuran fisik, juga ukuran
psikologi yang dipergunakan dimana individu memiliki rasa kontrol pribadi
ataupun perintah dari pimpinan kelompok. Kelompok kedua merujuk pada modus
komunikasi dan interaksi. Dalam kelompok kecil proses ini ada pada konfrontasi
pribadi dan pola dialog, dengan interpretasi yang dikendalikan oleh masing-
masing peserta aksi yang lain. Dalam kelompok besar bentuk-bentuk baru
komunikasi dan interaksi timbul, seperti reaksi melingkar tidak terkendali
kerumunan psikologis, atau komunikasi satu arah dari media massa. Kriteria
ketiga mengacu pada cara di mana partisipasi yang dimobilisasi untuk bertindak.
Dalam melakukan penelitian tentang perilaku kolektif sebagaimana telah
dilakukan oleh Brown dan Blumer, Smelser (1971: 9-11) mengungkapka tiga hal
yang perlu diperhatikan. Diantaranya (1) karakteristik perilaku kolektif tidak
didefinisikan secara fisik ataupun temporal, (2) karakteristik perilaku kolektif
tidak didefinisikan dengan kebohongan pada tataran komunikasi maupun
interaksi, (3) perilaku kolektif tidak didefinisikan secara psikologis.
26
b. Faktor Penyebab Perilaku Kolektif
Kondisi kepanikan secara kasar menurut Smelser (1971: 12) dapat digolongkan
menjadi tiga kategori: fisiologis, psikologis, dan sosiologis. faktor psikologis
diantaranya kelelahan, kekurangan gizi, kurang tidur, kondisi racun tubuh, dan
sejenisnya. Faktor psikologis yang mengejutkan, ketidakpastian, kecemasan,
perasaan terisolasi, kesadaran atau ketidakberdayaan sebelum harapan tak
terelakkan dari bahaya. faktor sosiologis meliputi kurangnya solidaritas
kelompok, kondisi kerumunan, kurangnya kepemimpinan resimen dalam
kelompok. Sebuah pernyataan efektif dari mekanisme sebab-akibat kepanikan
tidak bisa dibuat hanya dengan mendaftar faktor penyebab dikarenakan faktor-
faktor ini sangatlah beragam sifatnya.
Dalam meneliti faktor prnyebab perilaku kolektif harus menggabungkan
beberapa elemen penting dalam perilaku untuk dirangkai menjadi sebuah tahapan
yang akan menjadi sebuah analisa akhir dalam pola tertentu. Hasil akhir hanyalah
sebuah penampakan dari beberapa proses sebelumnya yang menjadi dasar hingga
kemunculan teori-teori yang dapat dipergunakan dalam analisa perilaku kolektif.
Setiap tahapan dan tahapan berikutnya akan terus meningkat dan saling berkaitan
membenuk suatu jaringan yang sempurna dalam melihat sebuah fenomena. Proses
pentahapan ini akan menjadi lebih spesifik dengan membawa bebrapa elemen
terpenting yang akan menjadi sebuah ciri khas tertentu. Terbentuknya tahapan-
tahapan ini tidak menutup kemungkinan adanya hambatan yang yang akan
semakin memantapkan aplikasi tahapan-tahapan tersebut.
27
Posisi metodologis menurut Smelser (1971: 14) telah dikembangkan oleh
Meyer dan Conrad dengan penjelasan referensi dalam sejarah ekonomi. Jika
keinginan dari ahli sejarah ini untuk mengetahui dan menjelaskan sebuah
fenomena yang spesifik maka harus mengikuti sebuah merode ilmiah. Dari
beberapa kajian ini, akhirnya Smelser (1971: 15-17; 2001: 2205-2206) memetakan
enam faktor yang menjadi penyebab perilaku kolektif yaitu (1) structural
conduciveness; (2) structural strain; (3) Growth and spread of a generalized
belief; (4) Precipitating factors; (5) Mobilization of participants for action; (6)
The operation of social control.
structural conduciveness menurut Smelser (1971: 15, 2001: 2205) adalah
sebuah pemaksaan atas sebuah pola atau struktur baru dari pola atau struktur yang
lama sebagai alat untuk melaksanakan tujuan tertentu penguasa. Hal ini berkaitan
erat dengan aspek ekonomi, social, politik yang menjadi sebuah tujuan tertentu
penguasa walaupun dengan mengorbankan beberapa nilai-nilai tradisional.
Benturan dalam bentuk pemaksaan sebuah pola/struktur baru ini akan
menyebabkan sebuah pemberontakan pada masing-masing anggota kelompok
yang memungkinkan menjadi sumber konflik apabila menemukan momentumnya.
Structural strain menurut Smelser (1971: 15-16, 2001: 2205) adalah sebuah
keadaan dimana beberapa struktur sosial yang telah ada baik keberadaannya
didasarkan atas agama, pendidikan, kekayaan, ataupun keturunan tidak lagi
diakomodasi pada berbagai kepentingannya. Tindakan pengabaian dari hak dan
kewajiabn yang telah berlaku dalam struktur sosial yang ada dan merubahnya
dengan sebuah pola baru biasanya dilakukan berdasarkan sebuah kajian terhadap
28
realita yang ada. Meskipun hal ini dilakukan dengan pertimbangan yang rasional,
tetapi keadaan struktur sosial yang telah menjadi kultur setempat akan menjadi
penyebab adanya kekecewaan di tingkatan elit-elit sosial yang ada terutama yang
kepentingannya tidak terakomodir. Kekecewaan yang terjadi dalam struktur inilah
yang akan memungkinkan menjadi sumber konflik nanti di kemudian hari.
Growth and spread of a generalized belief menurut Smelser (1971: 16,
2001: 2205) adalah sebuah kondisi dimana ada satu nilai sentral atau tujuan utama
dalam masyarakat yang terbentuk ketika nilai-nilai tradisisional hancur beserta
tujuan-tujuannya. Satu nilai sentral yang kemudian dianut secara bersama-sama
menjadi sebuah kesadaran dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap
terjadinya sebuah gerakan pemberontakan bersama. Satu cita-cita yang sama
apalagi didasari dengan sebuah landasan keagamaan melalui ikatan-ikatan
spiritual akan mengikat masyarakat dengan kuat dalam sebuah perjuangan. Ikatan
dalam bentuk tujuan bersama ini dapat menjadi penggerak akan adanya gerakan
pemberontakan terhadap realita ketidak adilan yang dilakukan oleh penguasa.
Precipitating factor menurut Smelser (2001: 2206) adalah suatu kondisi
dimana tatanan social telah ambruk yang di barengi dengan memudarnya nilai-
nilai social. Dalam kondisi ini banyak orang mencari sebuah pengharapan pada
nilai-nilai spiritual yang banyak memberikan inspirasi tentang nilai-nilai yang ada.
Pergerakan masyarakat yang semula terikat oleh nilai-nilai tradisi dan memudar
mencoba mencari penyelesaian melalui nilai-nilai agama. Disini agama dinilai
sebagai sebuah solusi terakhir permasalahan-permasalahan kemanusiaan yang
terjadi dan telah menghancurkan nilai-nilai tradisional. Kondisi ini juga tidak
29
terlepas dari gerakan para elit politik, ekonomi, agama yang beberapa
kepentinganya tersingkirkan untuk melakukan konsolidasi, sehingga
memunculkan gelombang protes yang mereka gerakkan dari ikatan-ikatan
keagamaan yang semakin menguat.
Mobilization of participants for action menurut Smelser (2001, 2206) adalah
sebuah pola pengumpulan massa melalui konsolidasi ikatan-ikatan yang ada
dalam masyarakat. Ikatan-ikatan tersebut dapat berupa ikatan yang bersifat formal
maupun informal dan dapat berupa ikatan keagamaan, ikatan budaya maupun
ikatan sosial. Ikatan-ikatan yang ada dalam masyarakat ini dapat dipergunakan
untuk melakukan agitasi, konsolidasi yang endingnya dapat digerakkan untuk
melakukan pemberontakan. Adanya ikatan ini sangat penting untuk menunjang
keberhasilan sebuah gerakan pemberontakan sehingga dalam kemunculan sebuah
kekerasan, ada faktor mobilization for action yang dilakukan oleh para elit agama
ataupun elit sosial.
The operation of social control menurut Smelser adalah memudarnya kontrol
terhadap masyarakat yang dilakukan oleh pihak penguasa untuk mengantisispasti
terjadinya sebuah gerakan perlawanan oleh masyarakat. Kondisi ini dipicu oleh
tindakakan represif pemerintah yang melarang diadakannya pertemuan-pertemuan
formal oleh para elit politik, agama maupun social sehingga mereka melakukan
pertemuan-pertemuan informal yang dapat meningkatkan semangat perjuangan.
Menurut Smelser (1971: 17) tujuan analisis ini antara lain untuk membedakan dua
tipe dari kontrol sosial (1) untuk mencegah terjadinya pemberontakan bersama;
(2) untuk mengendalikan massa ketika telah terjadi pemberontakan bersama.
30
Secara tidak langsung tindakan represif yang dilakukan penguasa akan
menjadikan tindakan masyarakat menjadi semakin massif seiring dengan adanya
stigma musuh bersama yang dibangun melalui pertemuan-pertemuan informal.
Adanya konsoslidasi informaal ini yang tidak disadari oleh pihak penguasa
memberikan daya dorong yang sangat kuat terhadap terjadinya sebuah
pemeberontakan.
B. Resolusi Konflik
1. Pengertian Resolusi Konflik
Resolusi konflik atau dalam bahasa Inggris dinamakan conflict resolution
diberikan pemaknaan yang berbeda-beda oleh para ahli yang konsen meneliti
tentang konflik berdasarkan konteks dan kegunaan istilah kata ini. Resolusi dalam
definisi kamus Webster menurut Levine (1998: 3) adalah (1) tindakan mengurai
sesuatu permasalahan yang membingungkan meskipun dalam bentuk pertanyaan,
(2) pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan permasalahan. Pengertian
yang paling akhir adalah yang sangat tepat, karena akan memberikan pengertian
bahwa kejadian sebelumnya (konflik) seakan-akan tidak pernah terjadi. Hal ini
akan menempatkan permasalahan tersebut memang benar-benar selesai dan sudah
hilang dari pemikiran setiap orang yang sebelumnya terlibat dalam konflik
tersebut.
Kheel (1999: 8) memberikan definisi resolusi konflik dengan memilah satu
persatu antara konflik dan resolusi. Menurutnya konflik adalah perbedaan antara
dua atau lebih individu, kelompok dalam beberapa hal dimana satu pihak
menginginkan daripada yang lain. Resolusi didefinisikan sebagai penyelesaian
31
konflik dengan cara sukarela seperti mediasi, negosisasi dan arbitrasi. Sedangkan
Peter Wallensteen (2002: 8) mengartikan resolusi konflik sebagai sebuah kondisi
setelah konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik melaksanakan perjanjian
untuk memecahkan persoalan yang mereka perebutkan, dan menghentikan segala
perbuatan kekerasan satu sama lain. Pada konteks ini resolusi konflik adalah
sesuatu yang pasti datang setelah konflik dan secara otomatis kita harus
mempunyai konsep dan alat untuk menganalisa konflik sebelumnya.
Lane dan Cornick (Nimer 1999: 13) memberikan definisi resolusi konflik
dengan membedakannya dengan managemen konflik ataupun conflict settlement.
Resolusi konflik adalah pemecahan masalah dengan menggunakan kolaborasi
dimana pihak ketiga yang netral membantu para pihak yang sedang bersengketa
untuk melakukan konsiliasi, fasilitator dan mediator dalam resolusi. Tujuannya
adalah pada penghapusan sumber konflik. Manajemen konflik menyiratkan
permasalahan organisasi dan dapat dikelola dengan perubahan kondisi organisasi
dan tidak terjadi perubahan struktur social yang nyata. Confict settlement adalah
pemecahan masalah dengan memenuhi kebutuhan semua pihak dan diterima
dalam waktu yang sementara karena paksaan pihak yang kuat. Burton (Nimer,
1999: 13) menambahkan bahwa resolusi konflik adalah proses interdisipliner
analisis dan intervensi yang berkaitan dengan pemecahan masalah dari konflik
yang bersifat destruktif. Definisi Lane dan Burton ini mencoba membawa resolusi
konflik sebagai sebuah proses pemecahan masalah atau problem solving.
Pemaknaan senada diberikan oleh Weitzman yang memfokuskan pada problem
solving dan decision making.
32
Weitzman (Morton, 2000: 185) memberikan pemaknaan conflict resolution
sebagai tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together). Kata
problem solving di sinonimkan dengan kata decision making yang keduanya
merupakan proses yang saling integral dalam konteks conflict resolution. Problem
solving dimaknai sebagai proses menganalisa konflik kemudian mengembangkan
kemungkinan alternatif untuk pemecahan konflik tersebut. Sedangkan decision
making dimaknai sebagai keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan
beberapa orang yang terlibat dalam resolusi konflik baik dilakukan secara
individual maupun bersama-sama termasuk didalamnya kemungkinan alternatif
dan komitmen terhadap keputusan yang telah dibuat. Dari kedua kata ini, menurut
Wetzman (Morton, 2000: 187) dapat dimulai untuk memahami dan membuat
sebuah pemaknaan yang komprehensif tentang resolusi konflik dengan gambar
berikut ini
Gambar 3.1 : model problem solving dalamresolusi konflik Sumber: Morton (2000:187)
33
James Schlenberg (1996: 9) mengemukakan bahwa resolusi konflik merupakan
isu sentral dalam kajian konflik. Dalam kajian ini resolusi konflik dapat di
definisikan secara umum ataupun secara khusus. Definisi resolusi konflik secara
umum adalah setiap usaha untuk mengurangi konflik sosial dengan upaya
kesepakatan, perubahan lingkungan, pengaruh pihak ketiga, kemenangan salah
satu pihak dan sebagainya. Secara khusus resolusi konflik di definisikan sebagai
segala bentuk pengurangan dalam konflik yang ditandai dengan kesadaran
terhadap permasalahan yang disengketakan diantara pihak-pihak yang berkonflik.
Dalam penelitian terhadap peristiwa konflik kerusuhan pasca pilkada yang
terjadi di Kabupaten Tuban pada tahun 2006, dipergunakan definisi yang terakhir
dari James Schlenberg bahwa resolusi konflik adalah setiap usaha untuk
mengurangi konflik sosial dengan upaya kesepakatan, perubahan lingkungan,
pengaruh pihak ketiga, kemenangan salah satu pihak dan sebagaianya. Melihat
kronologi konflik pasca pilkada 2006 yang terjadi di Kabupaten Tuban dan
kondisi sekarang pasca konflik yang masih memperlihatkan konflik secara laten,
membuat kami berasumsi bahwa konflik yang berujung pada kekerasan pada saat
itu bukan hanya karena kasus pilkada semata antara pihak Noor Nahar Husein-Go
Tjong Ping dan pendukungnya dengan Haeny Relawati-Lilik Suhandjono dan
pendukungnya. Konflik yang kemudian menjadi rusuh tersebut menurut asumsi
penulis adalah akumulasi dari rasa kekecewaan masyarakat dari masa-masa
sebelum pilkada atas berbagai kebijakan pemerintah yang kemudian berafiliasi
kepada pasangan Noor Nahar Husein-Go Tjong Ping dan menemukan
momentumnya pada saat pilkada. Oleh karena itu definisi yang kami pergunakan
34
tentang resolusi konflik terhadap peristiwa kekerasan pasca pilkada tahun 2006 di
kabupaten Tuban adalah melalui perubahan lingkungan seperti yang dipaparkan
oleh James Schlenberg khususnya melalui pendidikan IPS.
2. Teori dan Model dalam Resolusi Konflik
Dalam resolusi konflik tidak ada teori atau model tunggal yang disepakati,
akan tetapi terdapat beberapa asumsi dasar yang mendasari kebanyakan proses
penerapan resolusi konflik. Menurut Nimer (1999: 15-16) asumsi dasar dan
prinsip-prinsip resolusi konflik antara lain:
a. Konflik tidak selalu merusak ataupun merupakan sebuah kegagalan dari
system yang ada. Sebaliknya konflik seringkali merupakan kekuatan
kreatif yang menghasilkan alternatif pilihan baru dan solusi untuk masalah
yang ada.
b. Konflik adalah proses alami yang dapat memiliki hasil konstruktif dan
destruktif
c. Konflik merupakan bagian intrinsik dari semua hubungan interaksi
d. Konflik disebabkan oleh berbagai jenis kegiatan tertentu
e. Tidak ada masalah dengan orang-orang sebagai individu
f. Memiliki tujuan yang jelas dan eksplisit merupakan bagian yang sangat
krusial dan penting dari setiap proses resolusi untuk mencapai kesepakatan
atau memahami isu yang ada.
g. Konflik bisa positif bila:
1) Meningkatkan komunikasi dan kepercayaan
2) Permasalahan dapat dipecahkan
35
3) Hasilnya dapat meningkatkan pembangunan dan pertumbuhan
4) Dapat mengungkapkan ide yang tersimpan
5) Dapat meningkatkan pekerjaan dan kinerja
h. Konflik dapat negatif apabila
1) Berkembang menjadi perang atau kekerasan
2) Mencegah dan menghalangi pengembangan pribadi dan kelompok
3) Mencegah orang dalam mengatasi permasalahan yang ada
4) Memotivasi orang menjadi tidak kooperatif
i. Konflik dapat dikelola atau diselesaikan secara konstruktif melalui
komunikasi. Namun tidak semua konflik dapat diselesaikan dengan
membuktikan komunikasi.
j. Tidak semua konflik dapat dinegosiasikan atau di akhiri. Tetapi ketika
hasil saling memuaskan dapat ditemukan, maka resolusi cenderung dapat
di terapkan dengan efisien dan tahan lama
k. Proses resolusi konflik dapat menjadi kreatif. Hal ini dapat menyebabkan
hubungan baru atau yang dapat ditingkatkan dan membantu
mengidentifikasikan criteria baru hasil sumber daya.
l. Meskipun terdapat banyak jenis konflik dan berbagai jenis proses untuk
menyelesaikan, kebanyakan orang cenderung untuk mendekati konflik
dengan beberapa harapan dalam pikiran, dan sering didasarkan pada
pengalaman sebelumnya.
m. Ketrampilan resolusi konflik termasuk menganalisa situasi konflik,
membawa pihak bersama-sama, membantu pihak untuk mengalihkan
36
focus dari kompetisi menang/kalah untuk memecahkan masalah bersama,
membangun kerjasama dan kepercayaan, mengamati ketrampilan
komunikasi, mendengarkan dan berbicara.
n. Dasar resolusi konflik adalah kolaborasi pemecahan masalah, yang
mencoba untuk mengalihkan pihak dengan perbedaan substantive asli
terhadap resolusi produktif.
Para ahli dalam memberikan kategori terhadap penelitian mereka terdapat
perbedaan pada penggunaan istilah teori dan model dalam resolusi konflik.
Sebenarnya antara teori dan model dalam resolusi konflik tidak terdapat
perbedaan yang signifikan, akan tetapi beberapa peneliti memberikan istilah yang
berbeda pada kajian mereka. Perbedaan penggunaan istilah ini dengan sendirinya
akan mengelompokkan para ahli pada kelompok yang menggunakan istilah teori
diantaranya James A. Schlenberg, dan kelompok yang menggunakan istilah model
diantaranya Garry T Furlong. Pengelompokan ini tidak menutup kemungkinan
adanya ahli yang mempergunakan kedua istilah tersebut yaitu Deutch Morton
akan tetapi dalam pembahasan ini tidak dibahas lebih lanjut.
Pengertian istilah teori dalam kamus Merriam-Webster (Furlong, 2005: 7)
antara lain (1) pemikiran yang abstrak, (2) prinsip umum atau bagian penting
prinsip yang menjelaskan fenomena, (3) asumsi yang belum terbukti. Sedangkan
istilah model (Furlong, 2005: 8) mengandung pengertian (1) penjelasan yang
dipergunakan untuk membantu memvisualisasikan sesuatu yang tidak dapat
diamati secara langsung, (2) dipergunakan untuk merepresentasikan sesuatu.
Dalam konteks resolusi konflik teori dipergunakan dalam penyelidikan yang
37
bersifat abstark dan aplikasi yang kurang, sedangkan model lebih pada
penyederhanaan sesuatu untuk kemudian dapat diaplikasikan secara praktis.
Kedua istilah ini adakalanya dipergunakan secara bergantian dan tidak dibedakan
satu dengan yang lainnya dikarenakan esensinya sama yaitu mengarah pada hasil
kajian terhadap resolusi konflik.
James A. Schellenberg (1996: 13) salah satu ahli yang menggunakan istilah
teori dalam resolusi memaparkan bahwa dalam mengkaji konflik dan resolusi
dapat dilihat dalam kategori-kategori berikut: teori karakteristik individu, teori
proses sosial, teori struktur sosial, teori formal. Keempat teori ini apabila
dirangkum adalah sebagaimana berikut ini:
Tabel 2.1: teori-teroi dalam resolusi konflik Sumber: James A. Schellenberg (1996: 14-20)
KONFLIK RESOLUSI
TEORI KARAKTERISTIK INDIVIDU
Agresi sebagai warisan Pengendalian dorongan agresi
Agreasi sebagai proses fisiologi Rekayasa genetika
Agresi sebagai sifat kepribadian Penempatan posisi
Agresi dari frustasi umum Pembuatan agenda yang teratur
Agresi dari teori belajar Perubahan kondisi pembelajaran
TEORI PROSES SOSIAL
Kompetisi (Park, Burges, Simmel) Kekuatan impersonal social ekonomi
Fungsi lembaga social (Simmel dan Coser) Ekuitas dan kekuasaan
Bentuk dasar interaksi (Strauss) Kerjasama dalam hubungan social
System yang membantu (Lewin dan Deutsch) Perhatian pada dinamika konflik
Prinsip ekonomi (Boulding) Managemen konflik
38
Eskalasi ketakutan (Pruitt, Rubin, Kriesberg) Resolusi pada kondisi tertentu
TEORI STRUKTUR SOSIAL
Perubahan social dan peran kekuasaan (Weber) (1) penghindaran, (2) penerimaan, (3) reformasi
bertahap, (4) konfrontasi tanpa kekerasan, dan
(5) konfrontasi kekerasan.
Faktor ekonomi dan politik (Dahrendorf)
Konsekuensi pembagian kelas (Horkheimer)
Pembagian kerja (Plato)
Lembaga politik (Madison)
TEORI FORMAL
Logis matematis Game theory / teori permainan
Gary T Furlong seorang ahli yang menggunakan istilah model dalam bukunya
The Conflict Resolution Toolbox (2005: 19) memaparkan, terdapat delapan model
dalam kajian resolusi konflik. Model model tersebut dipilih oleh Furlong dengan
alasan (1) model-model ini seimbang dalam kesederhanaann dan kompleksitas,
(2) kejelasan model-model ini dalam memberikan arahan dan panduan dan
terfokus pada ide pemecahan masalaha konflik. Model-model dalam resolusi
konflik menurut Furlong (2005: 20-24) tersebut diantaranya:
a. The Circle of Conflict models yang melihat konflik dari perbedaan
penyebab yang menggerakkannya.
b. The Triangle of Satisfaction models yang melihat perbedaan jenis
kepentingan dan melakukan penilaian secara lebih signifikan, mendalam
dan fungsional.
c. The Boundary models yang melihat konflik dari perspektif yang unik,
memebrikan wawasan kedalam dunia yang hamper tidak terlihat batas
pengelolaannya dan kejadian sehari-hari bagi kita semua.
39
d. The Interest/Rights/Power models adalah dasar negosisasi ke lapangan dan
resolusi konflik, membantu dengan mengelompokkan berbagai proses
dalam tiga jenis yaitu Iinterest/ kepentingan, Right/hak dasar, Power/
kekuasaan (IRP) dan mendiagnosa karakteristik masing-masing dari ketiga
jenis tersebut.
e. The Dynamics of Trust models yang menangani isu penting tentang
bagaimana menciptakan kepercayaan, bagaimana kepercayaan terkikis,
dan bagaimana kurangnya kepercayaan dan dampak proses resolusi.
f. The Dimensions models yang melihat perbedaan secara luas pada tiga
dimensi yaitu (1) dimensi kognitif (bagaimana kita memandang dan
berfikir tentang konflik), (2) dimensi emosional (bagaimana perasaan kita
terhadap konflik), (3) dimensi perilaku (bagaimana kita bertindak dan
berperilaku terhadap konflik).
g. The Social Style models yang meilhat konflik melalui bagian-bagian lensa
kehidupan, dan membawa arah yang jelas pada pengelolaan dan
menyelesaikan komunikasi dengan gaya isu-isu interpersonal.
h. The Moving Beyond models yang melihat pada proses emosional yang
keluar ketika terjadi konflik dan perubahannya, serta proses kritis untuk
mencapai resolusi.
Model-model tersebut diatas dibahas oleh Furlong (2005: 250) dengan maksud
untuk memberikan pedoman praktis bagi para praktisi, mediator ataupun pihak-
pihak yang akan melakukan praktek resolusi konflik secara langsung dilapangan.
Model-model tersebut akan memberikan ketrampilan secara prakis dan dapat
40
meningkatkan kompetensi terhadap penguasaan ketrampilan resolusi konflik.
Model-model tersebut adalah panduan praktis untuk melakukan aplikasi, tes
maupun penilaian terhadap proses resolusi konflik yang akan dilakukan sehingga
dapat meningkatkan kompetensi ketrampilan resolusi konflik.
Dalam melakukan penelitian terhadap resoluai konflik kekerasan pasca pilkada
di tuban tahun 2006 melalui pendidikan IPS, penulis akan mempergunakan model
bukan teori. Alasan dipergunakan model antara lain: model langsung diterapkan
secara praktis, model dapat dipergunakan untuk menganalisis secara langsung,
proses dan solusi dari model model dapat diterapkan dalam pembelajaran di
sekolah. Model yang akan peneliti pergunakan adalah model The Circle of
Conflict. Sebagaimana dijelaskana diatas, model the Circle of Conflict adalah
model resolusi konflik dengan memfokuskan pada enam hal yaitu nilai, hubungan,
ekstend/moods, data, struktur dan interest.
Model ini kami pergunakan dengan alasan bahwa tiga ranah yang ada dalam
model the circle of conflict yaitu nilai, hubungan dan ekstend/moods dapat
diberikan dalam pembelajaran. Tiga wilayah lainnya yaitu data, struktur dan
interest merupakan permasalahan yang menjadikan kasus kerusuhan pilkada tuban
menjadi unik, yaitu bukan karena bukan hanya disebabkan oleh permasalahan
pilkada un-sich tetapi terdapat factor latar belakang yang mempengaruhinya.
3. Model The Circle of Conflict
Model circle of conflict bermula dikembangkan oleh Christopher Moore
(Furlong, 2005:29) pada Collaborative Decision Resources (CDR) Associates di
41
Boulder Colorado dan merupakan model utama yang dipergunakan oleh CDR
dalam pelatihan mediator. The circle of conflict sebagai model atau peta konflik
mencoba mengkategorikan penyebab yang menggerakkan konflik dari situasi
yang praktis, menawarkan kerangka kerja untuk mendiagnosa dan memahami
faktor-faktor yang menciptakan dan memicu konflik. Konflik akan didiagnosa
penyebabnya dan kemudian model circle of conflict akan menawarkan beberapa
arah strategis secara praktis untuk mengarahkan konflik pada resolusi.
Model Circle/lingkaran adalah model yang mendiagnosis dan mengkategorikan
penyebab yang mendasari atau yang menggerakkan konflik. Model ini
mengkategorikan penyebab dan gerakan konflik dalam enam kategori yaitu nilai,
hubungan , moods/ eksternal, data, struktur dan kepentingan. Model ini lebih
lanjut menawarkan saran konkret dalam menganalisa masing-masing penggerak
konflik dan mengarahkan praktisi kearah data, struktur, keenam kategori, minat
sebagai focus untuk resolusi.
Dari sudut pandang diagnostic, model circle of conflict akan menganalisa
penyebab utama yang menggerakkan konflik dari enam sudut pandang. Enam
sudut pandang tersebut menurut Furlong (2005: 30) antara lain: (1) hubungan
yang terdiri atas: pengalaman negatif masa lalu, stereotip, kegagalan komunikasi,
perilaku negatif yang berulang; (2) eksternal/moods yang terdiri atas: faktor yang
tidak terkait secara langsung dengan konflik, kondisi psikologis dan fisiologis,
masa-masa yang buruk; (3) nilai yang terdiri atas: sistem keyakinan, nilai benar
dan salah, nilai baik dan buruk, nilai adil dan tidak adil, (4) data yang terdiri atas:
kurangnya informasi, informasi yang salah, terlalu banyak informasi,
42
pengumpulan masalah; (5) struktur yang terdiri atas: keterbatasan sumberdaya
fisik seperti waktu dan uang, otoritas isu, kendala geografis, struktur organisasi,
(6) Kepentingan yang terdiri atas: kepentingan, kebutuhan, minat.
a. Konsep-konsep pokok model the circle of conflict
1) Nilai
Nilai menurut Furlong, 2005: 31) mencakup semua nilai-nilai dan keyakinan
yang dimiliki oleh pihak yang berkontribusi terhadap terjadinya konflik. Hal ini
mencakup tujuan hidup atau pemahaman tentang nilai-nilai seperti keyakinan
agama, etika, moral serta nilai-nilai sederhana sehari-hari yang dipergunakan
dalam konteks pekerjaan atau bisnis. Nilai-nilai terhadap konflik yang berbeda
dari para pihak yang sedang berkonflik akan menjadi salah satu penyebab atau
dapat memperburuk keadaan. Nilai-nilai moral dan etika sangat penting bagi
manusia dan cenderung akan menjadi penyebab utama konflik.
HUBUNGAN
EKSTERNAL NILAI
KEPENTINGAN
STRUKTUR DATA
Gambar 2.2 : model the circle of conflict Sumber: Furlong (2005: 30)
43
2) Hubungan
Hubungan menurut Furlong (2005: 31) berkaitan dengan pengalaman negatif
masa lalu sebagai penyebab konflik. Konflik dapat terjadi apabila ada hubungan
antara pengalaman sejarah masa lalu yang menjadi penyebab terjadinya konflik
saat ini. Hubungan antara masalah masa lalu dengan sekarang seringkali menjadi
strereotipe, mendorong orang untuk membatasi atau mengakhiri komunikasi
dengan pihak lain dan sering mengarah pada perilaku saling membalas dimana
satu pihak merasakan ketidak adilan pada masa lalu dan membalasnya pada pihak
lain dan pihak lain akan berlaku demikian dan terjadilah konflik tanpa akhir.
3) Eksternal/moods
Furlong (2005: 32) menafsirkan faktor ini mencakup kondisi eksternal yang
tidak secara langsung menjadi bagian dari situasi dan memberikan kontribusi
terhadap terjadinya konflik. Faktor ini akan menjadi sangat dominan ketika terjadi
kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak dan akan
mendorong terjadinya konflik. Dorongan eksternal terjadi pada saat kekuatan dari
luar dapat membuat sebagian atau seluruh permasalahan masuk dalam kondisi
yang buruk.
4) Data
Data atau informasi oleh Furlong (2005: 32) diidentifikasikan sebagai
pemegang kunci dalam konflik. Data konflik dapat menjadi penyebab ketika
informasi benar/salah tentang sesuatu terjadi perbedaan atau pihak satu memiliki
dan pihak lainya tidak memiliki. Kondisi ini sering menimbulkan data/informasi
negatif dan membuat asumsi pada sebagian pihak dan menjadi sebuah
44
permasalahan. Hal lain yang membuat data menjadi penyebab konflik adalah
ketika terjadi pemaknaan yang berbeda terhadap sebuah data atau informasi.
Kondisi ini dikarenakan budaya kita mengajarkan bahwa fakta-fakta berbicara
untuk mereka sendiri oleh karena itu memerlukan penafsiran yang secara
langsung membuka celah perbedaan dalam penafsiran.
5) Struktur
Struktur ditafsirkan Furlong (2005: 34) mencakup berbagai jenis situasi, semua
terfokus pada masalah dengan sifat atau struktur dari sistem dimana para pihak
berada didalamnya. Tiga masalah utama dalam struktur adalah terbatasnya
sumberdaya, masalah otoritas dan struktur organisasi. Terbatasnya sumberdaya
akan menyebabkan para pihak untuk bersaing dan menyebabkan terjadinya
konflik struktural. Otoritas akan menjadi masalah ketika ada pihak yang akan
menyelesaikan masalah tetapi tidak mempunyai wewenang dalam membuat
keputusan. Konflik dalam struktur organisasi dapat terjadi apabila orang harus
bekerja bersama-sama dalam departemen yang berbeda namun memiliki prioritas
berbeda pada pekerjaan masing-masing. Kendala geografis yang dapat menjadi
penyebab konflik adalah pengelolaan yang harus di lakukan pada daerah yang
tidak bisa dijangkau. Situasi sering disebut tanggung jawab tanpa kewenangan,
dan sangat khas dalam konflik yang akan menjadi penyebab terjadinya konflik.
6) Kepentingan
Kepentingan menurut Furlong (2005: 42) mencakup semua kepentingan yang
berkaitan dengan kedua belah pihak yang ketika bertemu akan memungkinkan
saling berebut untuk memenuhi kepentingan masing-masing. Hal ini akan
45
berkaitan dengan seberapa besar kebutuhan atau focus dari masing-masing pihak
dalam meperebutkannya. Intensitas kepentingan yang akan menjadi kebutuhan
pokok bagi masing-masing pihak akan menjadi penyebab terjadinya konflik.
Kondisi ini akan menjadi lebih buruk jika masing-masing pihak bersikukuh akan
kebutuhannya masing-masing. Disamping itu minat dari masing-masing pihak
juga akan mempengaruhi seberapa besar konflik yang akan terjadi.
Tabel 2.2: penjabaran the Circle of Conflict Sumber: Furlong (2005: 30)
HUBUNGAN NILAI
1. pengalaman negative masa lalu 2. stereotip 3. kegagalan komunikasi 4. perilaku negative yang berulang
1. system keyakinan 2. nilai benar dan salah 3. nilai baik dan buruk 4. nilai adil dan tidak adil
EKSTERNAL/MOODS DATA 1. factor yang tidak terkait secara
langsung dengan konflik 2. kondisi psikologis dan fisiologis 3. masa-masa yang buruk
1. kurangnya informasi 2. informasi yang salah 3. terlalu banyak informasi 4. pengumpulan masalah
STRUKTUR INTEREST 1. keterbatasan sumberdaya fisik
seperti waktu dan uang 2. otoritas isu 3. kendala geografis 4. struktur organisasi.
1. kepentingan 2. kebutuhan 3. minat
b. Strategi model the circle conflict
Dari perspektif strategis, model the circle of conflict (Furlong, 2005: 38)
memberikan beberapa panduan praktis tentang apa yang harus dilaksanakan
terkait dengan berbagai penggerak konflik yang telah diidentifikasikan. Model ini
membagi lingkaran menjadi dua wilayah yaitu bagian atas dan bawah. Bagian atas
terdiri atas nilai, hubungan dan eksternal/moods dan bagian bawah terdiri atas
46
data struktur dan interes. Pembagian ini untuk membantu para pihak untuk berada
pada fokusnya masing-masing dan dapat bergerak pada arah resolusi dengan tepat.
Untuk wilayah atas, yaitu nilai, hubungan dan eksternal/moods tidak dapat
dipecahkan secara langsung melainkan membutuhkan waktu yang cukup lama
dikarenakan berkaitan dengan hal yang cukup fundamental. Pada bagian atas
khususnya nilai menurut peneliti dapat dilakukan dengan pendidikan yang
nantinya akan dipraktekkan untuk resolusi konflik kasus kerusuhan pilkada di
kabupaten Tuban tahun 2006. Bagian bawah lingkaran yang terdiri atas data,
kepentingan dan struktur menurut Moore dapat diselesaikan secara langsung
praktis dilapangan.
Kelebihan model the circle conflict daripada teori atau model lain dalam
resolusi konflik adalah: (1) model ini lebih praktis, (2) menganalisa konflik dan
resolusi dari latar belakang tejadinya konflik, (3) mencakup analisa tentang nilai,
hubungan, eksternal/moods atau lingkungan yang dapat diterapkan lewat
pendidikan. Model ini akan dapat diterapkan dalam meneliti resolusi konflik
pilkada tuban tahun 2006 dari latar belakang terjadinya konflik dan dapat
mendapatkan nilai-nilai apa yang bisa digali. Kemudian dapat melihat pola
hubungan yang menjadi latar belakang konflik dan dapat mencarai sebuah pola
hubungan baru sebagai sebuah resolusi, dan dapat menganalisa lingkungan luar
yang dapat meyebabkan konflik dengan mengganti dengan lingkungan baru.
4. Resolusi Konflik Melalui Pendidikan
Konflik dan resolusi konflik adalah bagian yang alami dari pengalaman
manusia, akan tetapi menurut Campbell, (2006: 157) studi sistematis tentang
47
proses penyelesaian konflik baru dikembangkan sekitar 60 tahun terakhir. Tujuan
pendidikan resolusi konflik adalah untuk membentuk pengetahuan dasar yang
handal dan dapat berfungsi sebagai sarana untuk memperbaiki hubungan antar
manusia. Dalam hal ini pendidikan dipahami sebagai persiapan untuk hidup dan
sangat tepat menemukan tempat pada kurikulum untuk mempelajari penyebab dan
dampak konflik dan cara konflik dapat ditransformasikan menjadi kekuatan positif
dalam pembangunan manusia.
Dilihat dari konteks sejarah adanya pendidikan resolusi konflik, menurut
Campbell (2006: 163) sebenarnya baru terjadi pada abad ke-20 ketika ada upaya
pertama kali untuk mengintegrasikan studi perdamaian dan resolusi konflik pada
pendidikan formal. Setelah perjanjian perdamaian pertama di Den Haag tahun
1899, kelompok pendidik di Eropa dan Amerika memprakarsai gerakan
mengajarkan perdamaian di sekolah. Setelah itu pada tahun 1926, biro pendidikan
internasional memperkenalkan toleransi dan pengertian akar budaya sebagai alat
untuk mengatasi konflik internasional. Gerakan ini berlanjut pada tahun 1945
melalui PBB dan selanjutnya yang paling menonjol adalah UNESCO yang
berupaya membangun kesadaran akan isu-isu dunia, hak asasi manusia, masalah
pelucutan senjata, pemecahan masalah dan kebutuhan untuk memahami
keragaman budaya.
Studi sistematis tentang konflik dan resolusi dalam analisis Miall (2002: 63-69)
muncul setelah perang dunia kedua. Riset tentang resolusi konflik pertama kali
muncul selama 20 tahun yaitu pada tahun 1945-1965 dengan didirikannya
Laboratorium Riset Perdamaian oleh Theodore F Lentz di St. Louis Missouri.
48
Pada tahun 1957 Herbert Kelman dan Robert Cooley menerbitkan Journal of
Conflict Resolution dan mendirikan pusat penelitian penyelesaian konflik pad
atahun 1959. Johan Galtung sebagai seorang ahli konflik kontemporer pada tahun
1960 menjadi pelopor pembentukan Riset Perdamaian Internasional Institut Oslo
(PRIO), pada tahun 1966 membuka Institut Perdamaian Internasional Stockholm
(SIPRI) dan pad atahun 1969 Galtung menjadi editor pendiri Journal of Peace
Research.
Pendidikan resolusi konflik yang lebih terstruktur menurut Campbell (2006:
163) dilakukan pada tahun 1960 dengan membentuk WOMP (World Order
Models Project) yang mencoba mengembangkan kurikulum berbasis masalah
yang berfokus pada masalah kesejahteraan ekonomi, perbaikan lingkungan,
partisipasi pihak minoritas dalam politik, sosial dan keadilan sebagai sarana
pencegahan perang dengan resolusi konflik. Program ini termasuk pengembangan
masalah, alternatif evaluasi, visualisasi harapan dunia dan perencanaan kearah
kemajuan dunia. Pada tahun 1967 asosiasi pendidik internasional di Jenewa
memberikan pendidikan hak asasi manusia dan perdamaian kepada guru K-12,
dan pada tahun 1969 telah disebarkan ke 50 negara sebagai bentuk pendampingan
terhadap pendidikan resolusi konflik dan HAM.
Pada tahun 1978 UNESCO menyelenggarakan Konferensi Pengajaran Hak
Asasi Manusia dengan mengembangkan pedoman untuk kurikulum, metode
pnegajaran dan bahan ajar. Hal ini dilanjutkan pada tahun 1980-an UNESCO
mengeluarkan buku pedoman bagi guru untuk pendidikan resolusi konflik sebagai
sarana integrasi kurikulum. Pada penutupan abad ke-20 (Campbell 2006: 165)
49
setelah perang dingin selesai, fokus konflik beralih pada kebangkitan
nasionalisme, perlombaan nuklir, persaingan ekonomi, krisis lingkungan, rasisme,
terorisme, intoleransi etnis dan agama serta kekerasan remaja. Dalam konteks ini
sekolah telah merespon dengan program-program studi baru untuk membangun
kompetensi dan pemahaman lingkungan pendidikan, masalah dunia, pendidikan
multikultural, resolusi konflik, perdamaian dan ketrampilan social. pendidikan
resolusi konflik telah konsisten sejak masa lalu dikarenakan konflik selalu terjadi
dalam kehidupan manusia. Pendidikan memberikan pemahaman kepada siswa
akan kesadaran terhadap isu-isu social dan politik yang menyebabkan konflik baik
dalam tataran regional, nasional maupun internasional.
Sekolah sangat penting sebagai tempat pendidikan resolusi konflik
sebagaimana Morton dan Susan (Frydenberg. 2005: 139) berpendapat bahwa
sekolah adalah pusat kehidupan sosial siswa. Perbedaan etnis, gender, usia,
kemewahan dan kemiskinan, ketrampilan menjadi lahan subur bagi konflik serta
kesempatan untuk pertumbuhan. Sekolah harus mengubah dalam cara dasar
mendidik anak-anak sehingga mereka bukan melawan satu dengan yang lainnya
akan tetapi mengembangkan kemampuan untuk mengatasi konflik secara
konstruktif daripada destruktif dan siap untuk melaksanakan kehidupan secara
damai. Hal ini berarti membangun di seluruh system sekolah, belajar bersama,
pelatihan dalam resolusi konflik, penggunaan tema kontroversi konstruktif dalam
mengajar mata pelajaran dan menciptakan resolusi pada pusat senketa. Pada saat
dewasa siswa akan bisa mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan
50
yang akan memungkinkan mereka untuk bekerjasama dengan orang lain dan
menyelesaikan konflik dalam kehidupan yang tidak terelakkan secara konstruktif.
Pendidikan resolusi konflik adalah salah satu bentuk reformasi sekolah yang
peling cepat perkembangannya dengan program utamanya mediasi. Penerapan
program resolusi konflik menurut Le Blanc (2009: 146) dapat meningkatkan sikap
prososial dan menurunkan sikap antisosial terkait. Program pencegahan kekerasan
meliputi Sembilan komponen, (1) mengambil pendekatan yang komprehensif
termasuk keluarga, teman sebaya, media dan masyarakat, (2) di mulai di kelas
dasar, (3) pembelajaran dilakukan sesuai dengan tahapan pemebalajaran, (4)
mengembangkan kompetensi pribadi dan social, (5) menggunakan variasi teknik
mengajar yang interaktif, (6) mencerminkan identitas etnis/budaya penerima, (7)
memasukkan pengembangan staf untuk keteraturan program, (8) kegiatan
dirancang dengan memadukan iklim sekolah yang baik termasuk manajemen
kelas, (9) mengembangkan kegiatan untuk menciptakan iklim perdamaian.
Pendidikan merupakan salah satu metode yang paling penting dalam
memaparkan rekonsiliasi. Hal ini menurut Yaacov (2004:31) terutama melibatkan
penggunaan system sekolah untuk pendidikan perdamaian, karena system ini
merupakan satu-satunya lembaga masyarakat yang formal, keberadaannya
disengaja dan dipergunakan secara luas untuk mengubah kondisi psikologis
anggota masyarakat. Pendidikan perdamaian/resolusi konflik bertujuan untuk
membangun pandangan siswa akan keyakinan, sikap, motivasi, ketrampilan dan
pola perilaku dengan cara memberikan sebuah kenyataan social dari proses
perdamaian dan menyiapkan mereka untuk hidup di era perdamaian dan
51
rekonsisliasi. Hal ini mempunyai arti bahwa system sekolah harus memberikan
pengetahuan yang selaras kepada siswa tentang prinsip-prinsip resolusi konflik
seperti perihal komunitas lain selama konflik, sifat hubungan damai, sifat
perdamaian dan resolusi konflik.
Pendidikan resolusi harus dapat mengembangkan sikap ketrampilan baru
dikalangan siswa misalnya toleransi, pengendalian diri, kepekaan terhadap orang
lain, empati, berfikir kritis dan keterbukaan. Usaha ini dalam skala besar
memerlukan pengaturan dalam tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum,
penetapan isi buku pelajaran, pengembangan bahan ajar, pelatihan guru,
membangun iklim di sekolah yang kondusif untuk pendidikan perdamaian.
Pendidikan perdamaian menurut Yaacov (2004: 32) telah diterapkan di beberapa
negara seperti Jepang dengan materi pembelajaran tentang kekejaman Jepang di
Perang Dunia II, makna permintaan maaf dan sifat hubungan damai di Jepang
pasca perang Dunia II. Dalam pembelajaran perdamaian di Amerika Serikat
berkait, bertujuan mengajar generasi muda tentang hak asasi manusia, pencegahan
terhadap kekerasan struktural dan ketimpangan social. di Irlandia Utara
pendidikan perdamaian berupaya untuk meningkatkan pemahaman tentang
perdamaian dengan budaya asli di sekolah protestan dan katolik.
Morton (2002: 38) memaparkan bahwa penerapan resolusi konflik dalam
konteks pembelajaran social, menekankan kerja sama, resolusi konflik konstruktif
dan kotroversi kreatif. Disamping sikap, norma-norma dan nilai yang mendorong
kerjasama menurut Morton (2000: 36) juga diperlukan ketrampilan dalam
menerapkan kerjasama. Alasan diperlukan keterampilan dalam menerapkan
52
kerjasama antara lain: (1) terdapat keterampilan yang dapat dipergunakan untuk
membangun hubungan kerja yang efektif dengan pihak-pihak yang berkonflik
baik sebagai mediator ataupun peserta konflik, (2) pengembangan keterampilan
dalam mempertahankan proses kerjasama dalam resolusi konflik yang sedang
berlangsung, (3) keterampilan berkaitan dengan kreatifitas dan produktifitas
dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Dalam konteks pembelajaran resolusi konflik di Indonesia, Samsu Rizal
Pangabean dalam Copel (2006: 223) berpendapat tentang pendidikan untuk
perdamaian atau resolusi konflik di Indonesia harus fokus pada empat hal.
Pertama melihat konflik harus dengan cara yang konstruktif bukan destruktif,
lembaga dan organisasi di tingkat negara dan masyarakat harus di desain untuk
tujuan konstruktif, warga negara harus dididik dalam ketrampilan dalam
menangani konflik. Kedua, kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan tentang
berbagai aspek dari situasi konflik, sikap terhadap konflik dan perilaku konflik
ketika berhadapan dengan konflik. Ketiga, pemerintah dan masyarakat harus
mulai melihat konflik sebagai masalah yang harus dipecahkan dan bukan
dianggap sebagai tindakan agresi yang dapat ditekan. Keempat, pendidikan
perdamaian atau pendidikan resolusi konflik harus dapat memberikan kontribusi
terhadap warga negara untuk secara otonom dapat bebas bertindak dan memilih
untuk diri sendiri dan dapat menolak otoritas secara internal. Karakteristik ini
harus ditanamkan pada lembaga-lembaga publik dan organisasi serta interaksi
social dan sehari-hari. Ini adalah tujuan fundamental dan jangka panjang yang
merupakan tugas dari pendidikan perdamaian dan resolusi konflik di Indonesia.
53
C. Pendidikan IPS
Pendidikan IPS atau yang dalam bahasa inggris disebut social studies menurut
menurut National Council for the Social Studies (NCSS, 1994: 3) sebagai
keanggotaan organisasi salah satu pendidikan ilmu social didefinisikan:
social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned dicisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world. Artinya: pendidikan IPS
Pendidikan ilmu-ilmu sosial adalah studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan
humaniora untuk memperkenalkan kompetensi sipil. Dalam program sekolah,
studi sosial diberikan dalam bentuk interdisipliner, studi sistematis
menggambarkan pada disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi, ekonomi,
geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi,
serta konten yang sesuai dari humaniora, matematika, dan ilmu alam. Tujuan
utama penelitian sosial adalah untuk membantu kaum muda mengembangkan
kemampuan untuk membuat kebijakan informasi dan dasar yang baik sebagai
warga masyarakat, untuk keragaman budaya dan demokrasi di dunia yang saling
tergantung.
Pendidikan Ilmu pengetahuan Sosial menurut Somantri (2001: 73) adalah
aspek-aspek dari ilmu penegetahuan sosial yang telah dipilih dan disesuaikan baik
secara material maupun penerapannya untuk dipergunakan dalam pembelajaran di
54
sekolah. Perbedaan antara ilmu-ilmu sosial dengan pendidikan ilmu sosial
tidaklah terlalu prinsipil. Ilmu-ilmu sosial diorganisasikan secara sistematis dan
dibangun melalui penyelidikan ilmiah dan terencana, sedangkan pendidikan Ilmu
pengetahuan sosial (social studies) terdiri atas bahan yang telah disederhanakan
dan diorganisisr secara psikologis dan ilmiah sehingga dapat dipergunakan untuk
kepentingan pembelajaran.
Karakteristik pendidikan ilmu sosial menurut NCSS (1994: 3-5) antara lain
a. Program studi sosial memiliki tujuan utama untuk memperkenalkan pengetahuan kompetensi sipil, ketrampilan dan sikap yang dibutuhkan siswa untuk menjadi warga Negara yang baik dalam Negara demokrasi.
b. Program studi sosial mengintegrasikan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap internal dan diseluruh disiplin ilmu.
c. Program studi sosial membantu siswa membangun basis pengetahuan dan sikap yang diambil dari disiplin akademik sebagai cara khusus dalam memandang realitas.
d. Program studi sosial mencerminkan sifat perubahan pengetahuan, mengembangkan pendekatan yang baru dan sangat terintegrasi dalam memecahkan masalah yang penting bagi kehidupan manusia.
1. Nilai-nilai Pendidikan
Secara filosofis, menurut Katsoff (1989: 335) nilai tidak dapat didefinisikan
tidak berarti tidak dapat dipahami. Bertolak dari gagasan filsafat moral yang
menganggap perwujudan diri sebagai kebaikan tertinggi, sasaran puncak, atau
tujuan akhir (summum bonum) yang mewadahi berbagai teori moral yang
berbeda-beda, muncul beragam pandangan tentang bagaimana cara manusia
menjalani hidup yang baik atau mengaktualisasikan diri. Secara umum menurut
Wiliam F O’neil (2002: 94-95) terdapat enam sudut pandang tentang bagaimana
cara hidup dengan baik
55
1. Kebaikan tertinggi tumbuh dari ketaatan terhadap berbagai tolok ukur
(standar intuitif atau yang terungkap pada keyakinan dan perilaku)
2. Kebaikan tertinggi tumbuh dari pencerahan filosofis atau keagamaan
yang didasarkan pada penalaran spekulatif serta kebijaksanaan metafisi
3. Kebijakan tertinggi tumbuh dari ketaatan terhadap tolok ukur yang
mapan (konvensional) tentang keyakinan dan perilaku
4. Kebaikan tertinggi tumbuh dari kecerdasan praktis (yakni pemecahan
masalah secara efektif)
5. Kebaikan tertinggi tumbuh dari pengembangan lembaga-lembaga
social yang baru dan lebih manusiawi (humanistic)
6. Kebaikan tertinggi tumbuh dari penghapusan pembatasan-pembatasan
kelembagaan, sebagai sebuah cara untuk memajukan perwujudan
kebebasan personal yang sepenuh-penuhnya.
Nilai secara garis besar menurut Elmubarok (2009: 7) dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu nilai-nilai nurani (value of being) dan nilai-nilai memberi (value
of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian
berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang
termasuk nilai nurani menurut Linda dalam Elmubarok (2009: 7) antara lain
kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas,
kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu
dipraktikan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan.
Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya,
56
hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah
hati.
Cara memperoleh nilai menurut Rohmat Mulyana (2004: 81-83) ada tiga,
yaitu: pertama, nilai dapat diperoleh dengan melalui cara berfikir kontemplatif
(paradigm logis-abstrak) yaitu seseorang dapat menemukan makna (nilai) dari
sesuatu yang abstrak atau makna yang ada dibelakang obyek konkrit; kedua, nilai
diperoleh melalui paradigm berfikir logis-empiris dengan bukti-bukti nyata untuk
menguji kebenaran dan keutamaan sesuatu; ketiga, nilai diperoleh melalui hati dan
fungsi rasa yaitu masuk melalui pintu intuisi dan bersarang dalam keyakinan hati.
Dalam pendidikan terdapat lima pendekatan pendidikan nilai menurut
Elmubarok (2009: 60) yang meringkas dari delapan pendekatan pendidikan nilai
menurut Superka dalam bukunya A typology of valuing theories and values
adecation spproaches. Lima pendekatan tersebut antara lain:
1. Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
2. Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development
approaches)
3. Pendekatan analisis nilai (values analysis approaches)
4. Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approaches)
5. Pendekatan pembelajaran berbuat (action lerning approaches)
Dalam penelitian ini akan dipergunakan pendekatan analisis nilai terhadap
kasus kerusuhan yang terjadi di Tuban untuk selanjutnya dapat dipergunakan
dalam pendidikan sebagai langkah solusi. Pendekatan analisis nilai (values
57
analysis approaches) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan
siswa untuk berfikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan
dengan nilai-nilai sosial. pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada
pembahasan masalah-masalah yang memuat niali-nilai sosial dalam hal ini adalah
kasus kerusuhan Tuban 2006. Tujuan utama pendidikan nilai dalam pendekatan
ini adalah, pertama, siswa membantu siswa mempergunakan kemampuan berfikir
logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial yang
berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk
menggunakan proses berfikir rasional dan analitik, dalam menghubungkan dan
merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka.
Menurut Elmubarok (2009: 68) mengutip pendapatnya Hersh, terdapat enam
langkah dalam melakukan analisis nilai yaitu
1. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai
2. Menghubungkan fakta yang berhubungan
3. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan
4. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan
5. Merumuskan keputusan moral sementara
6. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
2. Resolusi Konflik sebagai Salah Satu Ketrampilan yang dikembangkan
dalam Pendidikan Ilmu social.
Beberapa cara yang dapat ditempuh dalam mendapatkan hasil yang terbaik
dalam social studies antara lain: (a) Mengedepankan kepentingan umum, (b)
58
mengadopsi berbagai perspektif yang umum, (c) menerapkan pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai sipil. Dalam penerapan keterampilan, terdapat empat
keterampilan dasar yang dikembangkan yaitu: (1) memperoleh informasi dan
memanipulasi data, (2) mengembangkan dan memutuskan kebijakan, argument
dan cerita, (3) membangun pengetahuan baru, (4) berpartisipasi dalam kelompok.
Resolusi konflik merupakan salah satu ketrampilan dasar yang dikembangkan
oleh NCSS (1994: 8) berkaitan dengan kemampuan dalam berpartisispasi dalam
kelompok. Hal ini dikembangkan sebagai wujud tanggung jawab pendidikan
terhadap warga negara untuk menjadikan masyarakat sebagai warga negara yang
baik dalam negara demokrasi. Hubungan antara pendidikan ilmu social dengan
resolusi konflik di tegaskan kembali dalam ketrampilan penting yang
dikembangkan oleh NCSS (1994: 149) berkaitan dengan hubungan interpersonal
dan pertisipasi social. Dalam keterampilan pilihan ini resolusi konflik masuk
dalam ketrampilan dalam interaksi kelompok yaitu: berpartisipasi dalam
bernegosiasi, kompromi, berargumen dalam resolusi konflik dan perbedaan.
Ketrampilan resolusi konflik dalam pendidikan ilmu sosial juga ditegaskan
oleh Gayle Mindes dalam bukunya Teaching Young Children Social Studies.
Dalam buku ini Mindes mengemukakan bahwa ketrampilan resolusi konflik
adalah salah satu pengetahuan dan ketrampilan yang harus dimiliki oleh setiap
siswa. Menurut Mindes (2006: 24) resolusi konflik merupakan kemampuan untuk
menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting
dalam pembangunan social dan moral yang memerlukan ketrampilan dan
penilaian untuk bernegosiasi, kompromi serta mengembangkan rasa keadilan.
59
Guru dan siswa harus mampu dan mau untuk ikut campur tangan dalam situasi
konflik.
Knoff dalam Mindes (2006: 27) kemudian menegaskan bahwa dalam
pengembangan ketrampilan social yang harus dimiliki oleh siswa antara lain:
1. Survival skills—listening, following directions, ignoring distractions, speaking up for self
2. Interpersonal skills—sharing, waiting for a turn, joining an activity 3. Problem-solving skills—asking for help, apologizing, deciding what to do,
accepting consequences 4. Conflict-resolution skills—handling teasing, losing, peer pressure
Resolusi konflik sebagai salah satu ketrampilan menurut Knoff harus diberikan
dalam pembelajaran diruang kelas dan diharapkan dapat memberikan bekal skil
pribadi pada masing-masing siswa untuk dapat ikut menyelesaikan konflik dari
tingkatan yang paling rendah. Keterampilan resolusi konflik masuk menjadi salah
satu keterampilan sosial yang harus diajarkan dalam pendidikan. Hal ini
sebagaimana elemen social skills yang diajarkan dalam pembelajaran ilmu-ilmu
sosialyaitu:
Gambar 2.3: ketrampilan sosial (www.teachchildrenesl.com/filez8932/.../social_skills_list.pdf)
social
skills
empathy
basic skills
joining skills
peace skills
frienship skills
conflict skills
must be thaught
assertiveness
60
3. Pendidikan IPS Sebagai salah Satu Solusi Permasalahan Konflik
Pendidikan tidak boleh dijauhkan dari realita kehidupan dan harus dapat
memberikan kontribusi terhadap permasalahan yang ada di lingkungan sosial.
William Stanley dalam Hursh (2000: 65) mengungkapkan tentang peran sekolah
Conversely, schools have also been called on to promote social change and social transformation. The promotion of civil rights and desegregation is one recent example of using the schools to bring about major social change. But although schools have been pointed in both directions vis-avis social change, promotion of social stability has been the major role of schooling. In the current debate over schooling, we hear again calls for the schools to return to their primary task of cultural transmission, the emphasis on core values and the basic knowledde that all our citizens need.
Maksud dari William adalah: Sekolah harus terpanggil untuk melakukan upaya
perubahan sosial dan transformasi sosial. Sekolah harus dapat mempromosikan
hak-hak sipil dan desegregasi sebagai salah satu bentuk kepedulian sekolah dalam
membawa perubahan sosial yang besar. Meskipun posisi sekolah serba dilematis
harus menujuk pada dua arah pertentangan yaitu perubahan social dan stabilitas
sosial yang harus menjadi pemeran utama. Perdebatan saat ini mengharuskan
sekolah untuk kembali kepada fungsi utamanya yaitu transmisi budaya,
penanaman nilai-nilai penting dan pemberian pengetahuan dasar bagi semua
kebutuhan warga negara.
Berbicara tentang pendidikan, sebenarnya ada empat filsafat yang
mendasarinya yaitu essensialisme, perenialisme, progresivisme dan
rekonstruksionisme menurut Ornstein dan Levine dalam Maftuh (2008: 81).
Filsafat pendidikan essensialisme berpandangan bahwa pendidikan di sekolah
harus dalam bentuk utuh pendidikan keilmuwan dengan memberikan penekanan
61
pada pengembangan intelektualisme siswa. Pendidikan sejarah berdasarkan
filsafat esensialisme harus diajarkan berdasarkan struktur disiplin ilmu sejarah
yang diajarkan secara terpisah. Filsafat pendidikan perenialisme berpandangan
bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan intelektual atau
rasionalitas siswa, terutama melalui studi liberal arts dan buku-buku besar
(klasik). Filsafat pendidikan progresivisme dikembangkan oleh John Dewey yang
berakar pada filsafat pragmatisme yang berpendapat bahwa pendidikan harus
sesuai dengan minat dan kebutuhan individu siswa. Karena itu, pendidikan harus
berpusat pada anak dan beorientasi pada kreativitas anak dan dalam aplikasinya
menekankan pentingnya problem solving. Sedangkan filsafat pendidikan
rekonstruksionisme yang dikembangkan oleh Theodore Bramled mengemukakan
bahwa masalah masyarakat dan upaya untuk menyelesaikannya yang berguna bagi
upaya peningkatan kesejahteraan merupakan tujuan penting pendidikan yang lebih
penting daripada hanya sekedar pengembangan intelektualisme keilmuwan.
Fungsi pendidikan sebagai tempat untuk menyelesaikan permasalahan
dimasyarakat sebagaimana dikemukakan oleh William dalam Hursh (2000: 68)
bersesuaian dengan filsafat pendidikan rekonstruksionisme dan agak sejalan
dengan filsafat pendidikan progresivisme. Dalam menanggapi independensi
pendidikan sebagai sarana perubahan social, Hursh (2000: 69) mengutip pendapat
Dewey:
The upholders of indoctrination rest their adherence to the theory. In part, upon the fact that there is a great deal of indoctrination now going on in the schools, especially with reference to the dominant economic regime. These facts unfortunately are facts. But they do not prove that the right course is to seize upon the method of indoctrination and reverse its object.
62
Maksud Dewey adalah bahwa untuk menegakkan fungsi indoktrinasi harus
dilakukan dengan kepatuhan pada teori. Tetapi pada kenyataan bahwa banyak
sekali indoktrinasi yang sekarang terjadi di sekolah-sekolah, khususnya adalah
mengacu pada rezim ekonomi yang dominan. Sayangnya fakta ini adalah tinggal
fakta. Tapi mereka tidak membuktikan bahwa pendidikan yang adalah untuk
merebut posisi metode indoktrinasi dan reverse pada objek. Dewey lebih
menekankan pada kecerdasan penalaran praktis sebagai upaya pencarian
kebenaran. Bagi Dewey, pada sekolah manapun tidak akan terlepas dari
kepentingan rezim yang berkuasa, sehingga sekolah hanya dipergunakan sebagai
sarana untuk melanggengkan kekuasaan dengan indoktrinasi.
Untuk mendekatkan antara tujuan untuk mengawal perubahan social dan sisi
lain independensi sekolah yang masih ambivalen, maka William dalam Hursh
(2000: 72) di akhir tulisannya tentang pendidikan dan perubahan social
mengemukakan bahwa:
Pendekatan rekonstruksi sosial tidak akan netral atau ambivalen. Itu akan mengembangkan demokrasi sebagai cara hidup dan sentralitas penilaian praktis, termasuk perlunya kritik social. Hal ini bukanlah sebuah pendekatan untuk kurikulum yang akan merasa nyaman dengan status quo, dan tidak akan ditujukan pada realisasi final konsepsi masyarakat. Pendekatan ini mencoba untuk menawarkan beberapa pandangan umum tentang tatanan sosial baru yang dihubungkan secara langsung dengan kompetensi siswa yang sangat dibutuhkan untuk menciptakan perubahan sosial untuk perbaikan manusia. Pendekatan dengan kurikulum yang didukung di sini tidak meninggalkan rekonstruksionis harapan untuk dunia yang lebih baik, tetapi menyarankan cara lain untuk memahami mimpi ini. Kita harus merangkul peringatan rekonstruksionis tentang bahaya dari kepuasan dan kebutuhan untuk bekerja menuju perbaikan manusia melalui pendidikan. Dan kita dapat beralih ke tradisi pragmatis kita sendiri untuk mengilhami imajinasi kita dan kemungkinan dari potensi manusia yang tak terbatas.
63
Khusus peran pembelajaran IPS dalam menyelesaikan permasalahan yang
terjadi di masyarakat, NCSS (2000: 5) memasukkan menjadi salah satu
karakteristik penting dalam pendidikan IPS. Dari pendapat yang dikemukakan
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan IPS dapat berperan dalam
upaya menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan (social), kemampuan memecahkan
masalah sosial, ketarmpilan sosial dalam era global, yang senantiasa diruntut agar
mampu menciptakan kehidupan yang damai dan harmoni. Kenyataan ini telah
menempatkan PIPS pada fungsi perannya sebagai wahana untuk memupuk modal
sosial (social capital) yaitu “mengembangkan nilai-nilai budaya yang berkaitan
dengan kehidupan social yang sebenarnya sudah ada pada dir masyarakat sejak
dulu, misalnya nilai gotong royong, solidaritas sosial dan toleransi.
D. Penelitian terdahulu
Kajian tentang resolusi konflik dalam pembelajaran sejarah telah dilakukan
oleh saudara Hasan Iman dalam bentuk tesis pad atahun 2004 dengan judul
“Integrasi Conflict Resolution Dalam Pembelajaran Sejarah sebagai sarana
mengembangkan kesadaran sejarah siswa (Penelitian PTK di kelas 2 IPS 1 SMUN
8 Bandung pada pokok bahasan tradisi Hindu-Budha di Indonesia”. Pendekatan
yang dipakai dalam penelitian Hasan adalah Classroom action research dengan
metode kualitatif. Dalam penelitian ini Hasan Iman mamfokuskan pada
peningkatan kesadaran sejarah siswa melalui pengintegrasian resolusi konflik
dalam pembelajaran sejarah. Hasil yang didapatkan ternyata ada peningkatan
dalam kesadaran sejarah siswa dari pembelajaran sebelumnya yang tidak
mengintegrasikan resolusi konflik.
64
Kajian selanjutnya tentang resolusi konflik dilakukan oleh saudara Sriyanto,
berupa tesis pada PIPS UPI tahun 2009 dengan judul “Konflik Horisontal Dan
Resolusi Konflik (Studi Nilai-Nilai Pluralitas Dalam Kerusuhan Tasikmalaya
1996)”. Dalam penelitian ini sriyanto menggunakan pendekatan kualitatif dalam
menguak tentang penyebab, akibat yang ditimbulkan yang menyimpang jauh dari
pangkal konflik sampai bagaimana solusi yang tepat. Sriyanto menyimpulkan
bahwa konflik di Tasikmalaya yang dipicu oleh ketegangan dua pihak bisa
merembet ke berbagai pihak yang lain lintas etnis dan lintas agama. Hal ini
ternyata menunjukkan kompleksitas permasalahan yang dihadapi pemerintah yang
harus segera diselesaikan, sehingga ketika terjadi ketegangan dalam masyarakat
tidak berimbas kemana-mana.
Untuk kajian resolusi konflik terhadap kasus kekerasan ada salah satu tesis
program studi pendidikan IPS di Universitas Pendidikan Indonesia dengan judul
“Peranan Kepemimpinan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Sosialisasi Di
Kota Masohi Kabupaten Maluku” oleh saudara Samuel Patra Ritiauw. Tesis ini
membahas tentang penyelesaian terhadap konflik berdarah yang pernah terjadi di
maluku dengan menggunakan peranan kepemimpinan para tokoh masyarakat.
Dalam tesis ini difokuskan pada peranan tokoh masyarakat dalam rekonstruksi
social dan belum difokuskan pada peranan pendidikan dalam meyelesaikan
permasalahan konflik. Oleh karena itu menempatkan pendidikan sebagai sebuah
solusi dalam resolusi konflik merupakan hal yang sangat tepat dan dapat
mendapatkan hasil yang maksimal.
65
Kajian tentang penyelesaian konflik melalui pendidikan dilakukan isnarmi
muis pada tahun 2006 dalam bentuk disertasi yang berjudul “Kerangka
Konseptual Pendidikan Multikultural Transformatif Berdasarkan Pola Hubungan-
Konflik Antar Etnik (kajian kritis terhadap laporan media massa mengenai konflik
ambon, sambas dan sampit, dan poso)”. Pada penelitian ini menggunakan
pendekatan grounded research yang ditekankan pada penggunaan kerangka
konseptual pendidikan multicultural sebagai sebuah solusi terhadap konflik yang
terjadi di Ambon, Sambas, Sampit dan Poso berdasarkan corak pelaporan media
masa. Di sini diperoleh sebuah gambaran tentang konflik tersebut menurut media
masa dan analisis bagagaimana solusi terbaik yang dapat dilakukan terutama
melalui pemdidikan multicultural. Penelitian ini telah menjembatani konflik
melalui sebuah kerangka konseptual berupa pendidikan multicultural sebagai
sebuah alternatif dalam menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi di
Ambon, Sampit, Sambas dan Poso.
Kajian selanjutnya tentang penyelesaian konflik dilakukan oleh saudara
Zulfadhli PIPS UPI tahun 2009 yang berjudul “Reintegrasi Sosial Pasca
Perjanjian Damai Pemerintah RI-GAM (Studi Pada Masyarakat Tanah Mirah
Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen)”. Penelitian ini mempergunakan
pendekatan kualitatif fenomenologis pada kasus RI-GAM di Aceh. Hasil dari
penelitian ini adalah bahwa konflik yang terjadi di Tanah Mirah yang dahulu
hidup dalam ketentraman penuh nilai-nilai islami dipicu oleh kepentingan
sekelompok orang. Diperlukan langkah-langkah taktis dalam melakukan
rekonstruksi baik dalam bidang ekonomi, social, politik dan budaya.
66
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan baik yang berupa tesis maupun
disertasi, belum ada penelitian yang memfokuskan pada Resolusi Konflik Pasca
Pilkada Langsung Kabupaten Tuban Tahun 2006 melalui Pendidikan IPS. Oleh
karena itu menurut penulis, kiranya sangat dibutuhkan penelitian tersebut untuk
memberikan solusi terhadap permasalahan yang selama ini ada dan
memungkinkan juga untuk diterapkan di tempat lain yang mempunyai
karakteristik sama.
E. Paradigma Penelitian/Kerangka Penelitian
Dalam penelitian ini hal awal yang dilakukan adalah meneliti latar belakang
terjadinya kerusuhan pada pasca pemilihan kepala daerah langsung 2006 di
kabupaten Tuban. Hal ini dilakukan berdasarkan asumsi awal bahwa:
1. Kerusuhan tidak akan terjadi dengan begitu dahsyatnya apabila hanya
disebabkan proses pemilihan kepala daerah.
2. Pilkada hanyalah sebuah letupan karena menemukan momentum
3. Setelah beberapa kali proses resolusi baik melalui pengadilan maupun
dalam bentuk mediasi dilakukan, ternyata sisa-sisa berupa konflik laten
masih ada.
4. Kemungkinan masih ada sebab-sebab konflik yang sampai sekarang
permasalahannya belum selesai.
Langkah pertama yang akan dilaksanakan dalam penelitaian ini adalah dengan
meneliti latar belakang konflik dari kronologi kejadian dan kondisi social Tuban
saat itu dengan menggunakan teori collective behavior NJ Smelser. Teori ini akan
menguak latar belakang sebenarnya konflik kerusuhan yang terjadi di Tuban Jawa
67
Timur, apakah memang murni masalah pilkada ansich ataukan ada permasalahan
lain menyebabkannya sehingga terjadi dengan begitu masifnya.
Langkah kedua adalah langkah resolusi yang akan kami lakukan dengan
menggunakan model The Circle Conflict Gary Furlong yang akan difokuskan
pada nilai, hubungan, lingkungan. Focus ini dilakukan dikarenakan Furlong tidak
memberikan langkah-langkah dalam 3 hal ini dan hanya memfokuskan pada tiga
hal yang lain dalam model ini. Disamping itu, 3 fokus ini yang menurut peneliti
dapat mendekatkan resolusi konflik dengan pendidikan. Langkah ini akan
dipadukan dengan analisi nilai yang dikemukakan oleh Superka dengan
menggunakan enam langkah yaitu (1) identifikasi nilai, (2) pengumpulan fakta
yang berhubungan, (3) pengujian kebenaran fakta yang berkaitan, (4) menjelaskan
kaitan fakta yang bersangkutan, (5) merumuskan keputusan moral sementara, (6)
menguji prinsip moral dengan mengambil keputusan.
Langkah ketiga adalah membuat sebuah skema kerangka konseptual
pembelajaran IPS berdasarkan nilai-nilai yang telah didapatkan dengan cara
menginntegrasikan dalam pembelajaran Sejarah di Madrasah Aliyah. Langkah ini
diterapkan sebagai sebuah solusi pendidikan terhadap kasus kerusuhan yang
terjadi di Tuban pada tahun 2006. Berikut paradigm penelitian yang akan penulis
lakukan.
68
Gambar 2.4: Paradigma Penelitian
Teori Konflik (George Ritzer)
Smelser (Collective Behavior)
Konflik Kerusuhan pasca pilkada tuban 2006
Latar Belakang Konflik Kerusuhan 2006
Resolusi Konflik
Teori (J. Schlennberg)
Model (Garry T Furlong)
Model The Circle Conflict
Nilai Komunikasi Hubungan
Pendidikan Nilai
Pendekatan Analisis Nilai
Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai Menghubungkan fakta Menguji kebenaran fakta Menjelaskan kaitan antara fakta Merumuskan keputusan moral Menguji prinsip moral
(a) structur conductifness; (b) struktural strain; (c) Growth and spread of a generalized belief; (d) Precipitating factors; (e) Mobilization of participants for action; (f) The operation of social control
Nilai-Nilai Pendidikan dari Peristiwa Konflik
Kerusuhan 2006
National Standar for Social Studies
NCSS
Ketrampilan Resolusi Konflik
berpartisipasi dalam bernegosiasi,
kompromi, berargumen dalam resolusi konflik
dan perbedaan
Kerangka Konseptual Pembelajaran Sejarah Berbasis
Resolusi Konflik
top related