manajemaem konflik.pdf

49
20 BAB II KAJIAN TEORI A. Konflik 1. Pengertian konflik Teori konflik berasal dari Eropa dalam karya-karya Karl Marx, Max Weber, dan George Simmel. Dalam konteks modern menurut Ritzer (2005: 134) teori konflik muncul di Amerika, meskipun terdapat fakta bahwa teori ini muncul kembali pada pertengahan abad kedua puluh dengan terinspirasi dari Eropa yang merupakan asal kritik fungsionalisme struktural. Awal kritik fungsionalisme menurut Turner (1978: 143) datang dari David Lockwood dan Ralf Dahrendorf, yang berpendapat bahwa teori fungsional, khususnya yang dipaparkan oleh Talcott Parsons, mempresentasikan kaitan pandangan organisasi sosial yang tidak bisa memprediksikan konflik dan perubahan. Kritik ini ditopang oleh teoretisi kritis Lewis Coser (1964: 26) yang berpendapat bahwa teori konflik dan fungsional yang terlalu ekstrim, membutuhkan penilaian fungsi konflik. Konflik merupakan suatu bentuk interaksi sosial ketika dua individu mempunyai kepentingan yang berbeda dan kehilangan keharmonisan di antara mereka. Pada dasarnya konflik merupakan hal yang alamiah dan sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Walter (Maftuh, 2008:1) menyatakan bahwa “ the history of humankind and the rise and fall of civilization is unquestionably a story of conflict. Conflict is inherent in human activities. Iti is omnipresent and foreordained”. Dalam bahasa biasa Dahrendorf (Jeong, 2008: 6), menafsirkan konflik telah secara luas dikaitkan dengan ketegangan dalam mengambil

Upload: alif

Post on 22-Jan-2016

271 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mankep

TRANSCRIPT

Page 1: manajemaem konflik.pdf

20

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Konflik

1. Pengertian konflik

Teori konflik berasal dari Eropa dalam karya-karya Karl Marx, Max Weber,

dan George Simmel. Dalam konteks modern menurut Ritzer (2005: 134) teori

konflik muncul di Amerika, meskipun terdapat fakta bahwa teori ini muncul

kembali pada pertengahan abad kedua puluh dengan terinspirasi dari Eropa yang

merupakan asal kritik fungsionalisme struktural. Awal kritik fungsionalisme

menurut Turner (1978: 143) datang dari David Lockwood dan Ralf Dahrendorf,

yang berpendapat bahwa teori fungsional, khususnya yang dipaparkan oleh

Talcott Parsons, mempresentasikan kaitan pandangan organisasi sosial yang tidak

bisa memprediksikan konflik dan perubahan. Kritik ini ditopang oleh teoretisi

kritis Lewis Coser (1964: 26) yang berpendapat bahwa teori konflik dan

fungsional yang terlalu ekstrim, membutuhkan penilaian fungsi konflik.

Konflik merupakan suatu bentuk interaksi sosial ketika dua individu

mempunyai kepentingan yang berbeda dan kehilangan keharmonisan di antara

mereka. Pada dasarnya konflik merupakan hal yang alamiah dan sering terjadi

dalam kehidupan sehari-hari. Walter (Maftuh, 2008:1) menyatakan bahwa “ the

history of humankind and the rise and fall of civilization is unquestionably a story

of conflict. Conflict is inherent in human activities. Iti is omnipresent and

foreordained”. Dalam bahasa biasa Dahrendorf (Jeong, 2008: 6), menafsirkan

konflik telah secara luas dikaitkan dengan ketegangan dalam mengambil

Page 2: manajemaem konflik.pdf

21

keputusan pada berbagai pilihan, dan terkadang diwujudkan dalam konfrontasi

antara kekuatan sosial. Dalam arti luas, konsep konflik telah ditarik dan

dipergunakan untuk menggambarkan setiap perselisihan yang dihasilkan oleh

setiap aspek dari situasi sosial.

Konflik manusia menurut Campbell (2006: 157) mempunyai derajat

kompleksitas dan intensitas yang dapat di temui dalam individu, kelompok dan

negara-negara seluruh dunia. Konflik sosial biasanya timbul ketika dua belah

pihak atau lebih mencapai tujuan yang tidak kompatibel dan pada tahap

berikutnya keduanya melakukan perjuangan untuk mencapai tujuan dan saling

mengalahkan. Potensi konflik akan meningkat seiring dengan meningkatnya

partisipasi sosial dan perubahan budaya yang cepat. Variasi budaya menyebabkan

bervariasinya tingkatan dan bentuk konflik.

Ritzer (2005: 134) membagi konsep teori konflik yang muncul di Amerika

menjadi tiga, dua dikhususkan untuk menghidupkan kembali Marx dan Weber

(dengan memasukkan unsur-unsur Simmelian) dan sepertiga menggabungkan

unsur-unsur baik Marx dan Weber. Hal ini menandai tumbuhnya teori konflik

neo-Marxis, neo-Weberian, dan historis-komparatif. Di samping itu muncul juga

teori umum yang lebih spesifik terkait dengan gerakan sosial dan identitas politik

(misalnya, etnis dan gender). Bagaimanapun teori kritis tidak mengalami

kebangkitan yang sama di Amerika, sebagian didominasi Eropa atau telah

dimasukkan ke dalam kebangkitan teori konflik Marxis.

Pendekatan yang agak berbeda dari Marxis dan Weberian menurut Ritzer

(2005: 136) adalah teori konflik dalam tradisi sejarah komparatif dengan

Page 3: manajemaem konflik.pdf

22

menekankan pada dua faktor dasar. Satu faktor adalah kondisi yang menyebabkan

massa melakukan mobilisasi ideologi, politik, dan organisasi untuk melakukan

konflik terhadap negara dan elit yang mendominasi mereka. Faktor dasar kedua

adalah kekuatan yang mengarah pada kerusakan pada kekuasaan negara dan

dikarenakan kapasitasnya untuk melakukan kontrol terhadap populasi. Faktor

pertama memiliki penekanan Marxis, dengan perbaikan Weberian, sedangkan

yang kedua adalah lebih sejalan dengan kekhawatiran Weber tentang kapasitas

negara untuk mendominasi populasi.

Termasuk juga dalam teori ini menurut penulis adalah Teori collective

behavior NJ. Smelser. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam bukunya

Collective Behavior (1971: 4) bahwa dalam konteks pendekatan historis menurut

Smelser meneliti perilaku kolektif dilakukan dengan tiga alasan. Pertama karena

perilaku kolektif terjadi secara spontan dan berubah-ubah. Perilaku ini bisa

berawal dari perilaku seseorang yang menjadi sentral kemudian berkembang

menjadi kerumunan, kelompok massa menjadi terpengaruh dan akhirnya mencari

sebuah pembenar perilaku bersama. Kedua, banyak perilaku kolektif

membangkitkan reaksi emosional yang kuat. Ketiga, Kejadian perilaku kolektif

rata-rata tidak dapat diamati dengan eksperimen . Hal ini ditegaskan kembali oleh

Smelser dalam bukunya International Encyclopedia of the Social & Behavioral

Sciences (2001: 2207) bahwa perilaku kolektif ini apabila dirunut secara ilmiah

merupakan keberlanjutan dari pendekatan historis komparatif dalam teori konflik.

Dalam menguak latar belakang terjadinya konflik kekerasan pasca pilkada di

Tuban tahun 2006, pendekatan collective behavior menurut penulis sesuai dan

Page 4: manajemaem konflik.pdf

23

dapat diterapkan dalam menganalisis. Kesesuaian tersebut menurut asumsi penulis

didasarkan pada kasus kerusuhan pasca pilkada yang terjadi di Tuban dilakukan

oleh massa dengan jumlah yang sangat banyak. Massa tersebut bukan hanya dari

satu elemen masyarakat, akan tetapi berasal dari berbagai elemen yang bersatu.

Ada sebuah kondisi menyebabkan massa melakukan mobilisasi ideologi, politik,

dan organisasi untuk melakukan konflik terhadap pemerintah dan elit yang

mendominasi mereka. Kerusuhan yang ditimbulkan pun tidak di tempat yang

sembarangan, akan tetapi pada setiap aset-aset yang dimiliki oleh lawan.

2. Perilaku Kolektif (Collective Behavior)

Istilah collective behavior/perilaku kolektif belum ada sebuah pembakuan.

Istilah yang paling umum selama ini dipergunakan adalah “perilaku kolektif”

meskipun tidak mengacu pada fenomena penyerangan sebuah kelas. Brown dalam

Smelser (1971: 2) seorang psikolog menyatakan bahwa istilah perilaku kolektif

dinisbatkan untuk tindakan yang mencakup perilaku massa dan dinamika kolektif.

Istilah dinamika kolektif kemudian di dukung oleh Lang-lang yang

menggambarkan tentang hubungan khusus dalam perubahan sosial tentang

perilaku kolektif. Istilah yang lebih akurat yang mencakup peristiwa yang terjadi

dalam kelompok-kelompok adalah ledakan kolektif dan gerakan kolektif. Ledakan

kolektif menurut Smelser (1971: 3) mencakup kepanikan, kegilaan, ungkapan

permusuhan, semua ini ada pemicunya dan melakukan gerakan bersama dalam

perombakan nilai dan norma. Dalam arti luas perilaku kolektif mengacu pada

perilaku dari dua atau lebih individu yang bertindak secara bersama-sama secara

Page 5: manajemaem konflik.pdf

24

kolektif, dan untuk memahami perilaku dengan cara ini harus mengerti semua

kehidupan kelompok.

Keuntungan dari mempelajari Perilaku Kolektif menurut Smelser (1971:4)

adalah dalam kondisi interaksi yang stabil, banyak unsur mitos sosial, ideologi,

potensi kekerasan, dll baik yang dikendalikan atau yang sudah ditentukan dan

karenanya tidak mudah diamati. Selama terjadi perilaku kolektif, elemen-elemen

ini muncul secara langsung, kita dapat mengamati kejadian yang asli yaitu

perilaku kolektif dalam bentuk seperti penyimpangan dan hal ini menjadikan

laboratorium lapangan di mana kita dapat belajar langsung tentang komponen

perilaku tertentu yang jarang kita temukan.

Menurut Smelser (1971:4) sejarawan meneliti perilaku kolektif dengan tiga

alasan. Pertama karena perilaku kolektif terjadi secara spontan dan berubah-ubah.

Perilaku ini bisa berawal dari perilaku seseorang yang menjadi sentral kemudian

berkembang menjadi kerumunan, kelompok masa menjadi terpengaruh dan

akhirnya mencari sebuah pembenar perilaku bersama. Kedua, banyak perilaku

kolektif membangkitkan reaksi emosional yang kuat. Ketiga, Kejadian perilaku

kolektif rata-rata tidak dapat diamati dengan eksperimen.

a. Sifat Dari Perilaku Kolektif

Dalam pembatasan dan mengklasifikasikan bidang perilaku kolektif, kita dapat

melanjutkan dengan berbagai tingkat formalitas. Roger Brown (Smelser, 1971: 5)

telah menggolongkan beberapa dimensi dalam pengelompokan yaitu: (a) Ukuran

adalah penting untuk mengetahui apakah kelompok termasuk kelompok kecil,

menengah atau besar, (b) frekuensi peserta (c) frekuensi polarisasi perhatian

Page 6: manajemaem konflik.pdf

25

kelompok; (d) Tingkat kedalaman identifikasi psikologis dari anggota. Dengan

mempergunakan beberapa kriteria diatas, Brown membedakan perilaku kolektif

sebagai sebuah fenomena massa dan perilaku kolektif sebagai bentuk tindakan.

Smelser (1971: 6) mengutip pendapat Herbert Blumer dalam membatasi

kajiannya pada perilaku kolektif yang meliputi (a) perilaku kelompok kecil

(ukuran fisik), dan (b) sebuah budaya perilaku (ukuran peraturan, norma-norma).

Kelompok pertama adalah kelompok kecil selain ukuran fisik, juga ukuran

psikologi yang dipergunakan dimana individu memiliki rasa kontrol pribadi

ataupun perintah dari pimpinan kelompok. Kelompok kedua merujuk pada modus

komunikasi dan interaksi. Dalam kelompok kecil proses ini ada pada konfrontasi

pribadi dan pola dialog, dengan interpretasi yang dikendalikan oleh masing-

masing peserta aksi yang lain. Dalam kelompok besar bentuk-bentuk baru

komunikasi dan interaksi timbul, seperti reaksi melingkar tidak terkendali

kerumunan psikologis, atau komunikasi satu arah dari media massa. Kriteria

ketiga mengacu pada cara di mana partisipasi yang dimobilisasi untuk bertindak.

Dalam melakukan penelitian tentang perilaku kolektif sebagaimana telah

dilakukan oleh Brown dan Blumer, Smelser (1971: 9-11) mengungkapka tiga hal

yang perlu diperhatikan. Diantaranya (1) karakteristik perilaku kolektif tidak

didefinisikan secara fisik ataupun temporal, (2) karakteristik perilaku kolektif

tidak didefinisikan dengan kebohongan pada tataran komunikasi maupun

interaksi, (3) perilaku kolektif tidak didefinisikan secara psikologis.

Page 7: manajemaem konflik.pdf

26

b. Faktor Penyebab Perilaku Kolektif

Kondisi kepanikan secara kasar menurut Smelser (1971: 12) dapat digolongkan

menjadi tiga kategori: fisiologis, psikologis, dan sosiologis. faktor psikologis

diantaranya kelelahan, kekurangan gizi, kurang tidur, kondisi racun tubuh, dan

sejenisnya. Faktor psikologis yang mengejutkan, ketidakpastian, kecemasan,

perasaan terisolasi, kesadaran atau ketidakberdayaan sebelum harapan tak

terelakkan dari bahaya. faktor sosiologis meliputi kurangnya solidaritas

kelompok, kondisi kerumunan, kurangnya kepemimpinan resimen dalam

kelompok. Sebuah pernyataan efektif dari mekanisme sebab-akibat kepanikan

tidak bisa dibuat hanya dengan mendaftar faktor penyebab dikarenakan faktor-

faktor ini sangatlah beragam sifatnya.

Dalam meneliti faktor prnyebab perilaku kolektif harus menggabungkan

beberapa elemen penting dalam perilaku untuk dirangkai menjadi sebuah tahapan

yang akan menjadi sebuah analisa akhir dalam pola tertentu. Hasil akhir hanyalah

sebuah penampakan dari beberapa proses sebelumnya yang menjadi dasar hingga

kemunculan teori-teori yang dapat dipergunakan dalam analisa perilaku kolektif.

Setiap tahapan dan tahapan berikutnya akan terus meningkat dan saling berkaitan

membenuk suatu jaringan yang sempurna dalam melihat sebuah fenomena. Proses

pentahapan ini akan menjadi lebih spesifik dengan membawa bebrapa elemen

terpenting yang akan menjadi sebuah ciri khas tertentu. Terbentuknya tahapan-

tahapan ini tidak menutup kemungkinan adanya hambatan yang yang akan

semakin memantapkan aplikasi tahapan-tahapan tersebut.

Page 8: manajemaem konflik.pdf

27

Posisi metodologis menurut Smelser (1971: 14) telah dikembangkan oleh

Meyer dan Conrad dengan penjelasan referensi dalam sejarah ekonomi. Jika

keinginan dari ahli sejarah ini untuk mengetahui dan menjelaskan sebuah

fenomena yang spesifik maka harus mengikuti sebuah merode ilmiah. Dari

beberapa kajian ini, akhirnya Smelser (1971: 15-17; 2001: 2205-2206) memetakan

enam faktor yang menjadi penyebab perilaku kolektif yaitu (1) structural

conduciveness; (2) structural strain; (3) Growth and spread of a generalized

belief; (4) Precipitating factors; (5) Mobilization of participants for action; (6)

The operation of social control.

structural conduciveness menurut Smelser (1971: 15, 2001: 2205) adalah

sebuah pemaksaan atas sebuah pola atau struktur baru dari pola atau struktur yang

lama sebagai alat untuk melaksanakan tujuan tertentu penguasa. Hal ini berkaitan

erat dengan aspek ekonomi, social, politik yang menjadi sebuah tujuan tertentu

penguasa walaupun dengan mengorbankan beberapa nilai-nilai tradisional.

Benturan dalam bentuk pemaksaan sebuah pola/struktur baru ini akan

menyebabkan sebuah pemberontakan pada masing-masing anggota kelompok

yang memungkinkan menjadi sumber konflik apabila menemukan momentumnya.

Structural strain menurut Smelser (1971: 15-16, 2001: 2205) adalah sebuah

keadaan dimana beberapa struktur sosial yang telah ada baik keberadaannya

didasarkan atas agama, pendidikan, kekayaan, ataupun keturunan tidak lagi

diakomodasi pada berbagai kepentingannya. Tindakan pengabaian dari hak dan

kewajiabn yang telah berlaku dalam struktur sosial yang ada dan merubahnya

dengan sebuah pola baru biasanya dilakukan berdasarkan sebuah kajian terhadap

Page 9: manajemaem konflik.pdf

28

realita yang ada. Meskipun hal ini dilakukan dengan pertimbangan yang rasional,

tetapi keadaan struktur sosial yang telah menjadi kultur setempat akan menjadi

penyebab adanya kekecewaan di tingkatan elit-elit sosial yang ada terutama yang

kepentingannya tidak terakomodir. Kekecewaan yang terjadi dalam struktur inilah

yang akan memungkinkan menjadi sumber konflik nanti di kemudian hari.

Growth and spread of a generalized belief menurut Smelser (1971: 16,

2001: 2205) adalah sebuah kondisi dimana ada satu nilai sentral atau tujuan utama

dalam masyarakat yang terbentuk ketika nilai-nilai tradisisional hancur beserta

tujuan-tujuannya. Satu nilai sentral yang kemudian dianut secara bersama-sama

menjadi sebuah kesadaran dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap

terjadinya sebuah gerakan pemberontakan bersama. Satu cita-cita yang sama

apalagi didasari dengan sebuah landasan keagamaan melalui ikatan-ikatan

spiritual akan mengikat masyarakat dengan kuat dalam sebuah perjuangan. Ikatan

dalam bentuk tujuan bersama ini dapat menjadi penggerak akan adanya gerakan

pemberontakan terhadap realita ketidak adilan yang dilakukan oleh penguasa.

Precipitating factor menurut Smelser (2001: 2206) adalah suatu kondisi

dimana tatanan social telah ambruk yang di barengi dengan memudarnya nilai-

nilai social. Dalam kondisi ini banyak orang mencari sebuah pengharapan pada

nilai-nilai spiritual yang banyak memberikan inspirasi tentang nilai-nilai yang ada.

Pergerakan masyarakat yang semula terikat oleh nilai-nilai tradisi dan memudar

mencoba mencari penyelesaian melalui nilai-nilai agama. Disini agama dinilai

sebagai sebuah solusi terakhir permasalahan-permasalahan kemanusiaan yang

terjadi dan telah menghancurkan nilai-nilai tradisional. Kondisi ini juga tidak

Page 10: manajemaem konflik.pdf

29

terlepas dari gerakan para elit politik, ekonomi, agama yang beberapa

kepentinganya tersingkirkan untuk melakukan konsolidasi, sehingga

memunculkan gelombang protes yang mereka gerakkan dari ikatan-ikatan

keagamaan yang semakin menguat.

Mobilization of participants for action menurut Smelser (2001, 2206) adalah

sebuah pola pengumpulan massa melalui konsolidasi ikatan-ikatan yang ada

dalam masyarakat. Ikatan-ikatan tersebut dapat berupa ikatan yang bersifat formal

maupun informal dan dapat berupa ikatan keagamaan, ikatan budaya maupun

ikatan sosial. Ikatan-ikatan yang ada dalam masyarakat ini dapat dipergunakan

untuk melakukan agitasi, konsolidasi yang endingnya dapat digerakkan untuk

melakukan pemberontakan. Adanya ikatan ini sangat penting untuk menunjang

keberhasilan sebuah gerakan pemberontakan sehingga dalam kemunculan sebuah

kekerasan, ada faktor mobilization for action yang dilakukan oleh para elit agama

ataupun elit sosial.

The operation of social control menurut Smelser adalah memudarnya kontrol

terhadap masyarakat yang dilakukan oleh pihak penguasa untuk mengantisispasti

terjadinya sebuah gerakan perlawanan oleh masyarakat. Kondisi ini dipicu oleh

tindakakan represif pemerintah yang melarang diadakannya pertemuan-pertemuan

formal oleh para elit politik, agama maupun social sehingga mereka melakukan

pertemuan-pertemuan informal yang dapat meningkatkan semangat perjuangan.

Menurut Smelser (1971: 17) tujuan analisis ini antara lain untuk membedakan dua

tipe dari kontrol sosial (1) untuk mencegah terjadinya pemberontakan bersama;

(2) untuk mengendalikan massa ketika telah terjadi pemberontakan bersama.

Page 11: manajemaem konflik.pdf

30

Secara tidak langsung tindakan represif yang dilakukan penguasa akan

menjadikan tindakan masyarakat menjadi semakin massif seiring dengan adanya

stigma musuh bersama yang dibangun melalui pertemuan-pertemuan informal.

Adanya konsoslidasi informaal ini yang tidak disadari oleh pihak penguasa

memberikan daya dorong yang sangat kuat terhadap terjadinya sebuah

pemeberontakan.

B. Resolusi Konflik

1. Pengertian Resolusi Konflik

Resolusi konflik atau dalam bahasa Inggris dinamakan conflict resolution

diberikan pemaknaan yang berbeda-beda oleh para ahli yang konsen meneliti

tentang konflik berdasarkan konteks dan kegunaan istilah kata ini. Resolusi dalam

definisi kamus Webster menurut Levine (1998: 3) adalah (1) tindakan mengurai

sesuatu permasalahan yang membingungkan meskipun dalam bentuk pertanyaan,

(2) pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan permasalahan. Pengertian

yang paling akhir adalah yang sangat tepat, karena akan memberikan pengertian

bahwa kejadian sebelumnya (konflik) seakan-akan tidak pernah terjadi. Hal ini

akan menempatkan permasalahan tersebut memang benar-benar selesai dan sudah

hilang dari pemikiran setiap orang yang sebelumnya terlibat dalam konflik

tersebut.

Kheel (1999: 8) memberikan definisi resolusi konflik dengan memilah satu

persatu antara konflik dan resolusi. Menurutnya konflik adalah perbedaan antara

dua atau lebih individu, kelompok dalam beberapa hal dimana satu pihak

menginginkan daripada yang lain. Resolusi didefinisikan sebagai penyelesaian

Page 12: manajemaem konflik.pdf

31

konflik dengan cara sukarela seperti mediasi, negosisasi dan arbitrasi. Sedangkan

Peter Wallensteen (2002: 8) mengartikan resolusi konflik sebagai sebuah kondisi

setelah konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik melaksanakan perjanjian

untuk memecahkan persoalan yang mereka perebutkan, dan menghentikan segala

perbuatan kekerasan satu sama lain. Pada konteks ini resolusi konflik adalah

sesuatu yang pasti datang setelah konflik dan secara otomatis kita harus

mempunyai konsep dan alat untuk menganalisa konflik sebelumnya.

Lane dan Cornick (Nimer 1999: 13) memberikan definisi resolusi konflik

dengan membedakannya dengan managemen konflik ataupun conflict settlement.

Resolusi konflik adalah pemecahan masalah dengan menggunakan kolaborasi

dimana pihak ketiga yang netral membantu para pihak yang sedang bersengketa

untuk melakukan konsiliasi, fasilitator dan mediator dalam resolusi. Tujuannya

adalah pada penghapusan sumber konflik. Manajemen konflik menyiratkan

permasalahan organisasi dan dapat dikelola dengan perubahan kondisi organisasi

dan tidak terjadi perubahan struktur social yang nyata. Confict settlement adalah

pemecahan masalah dengan memenuhi kebutuhan semua pihak dan diterima

dalam waktu yang sementara karena paksaan pihak yang kuat. Burton (Nimer,

1999: 13) menambahkan bahwa resolusi konflik adalah proses interdisipliner

analisis dan intervensi yang berkaitan dengan pemecahan masalah dari konflik

yang bersifat destruktif. Definisi Lane dan Burton ini mencoba membawa resolusi

konflik sebagai sebuah proses pemecahan masalah atau problem solving.

Pemaknaan senada diberikan oleh Weitzman yang memfokuskan pada problem

solving dan decision making.

Page 13: manajemaem konflik.pdf

32

Weitzman (Morton, 2000: 185) memberikan pemaknaan conflict resolution

sebagai tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together). Kata

problem solving di sinonimkan dengan kata decision making yang keduanya

merupakan proses yang saling integral dalam konteks conflict resolution. Problem

solving dimaknai sebagai proses menganalisa konflik kemudian mengembangkan

kemungkinan alternatif untuk pemecahan konflik tersebut. Sedangkan decision

making dimaknai sebagai keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan

beberapa orang yang terlibat dalam resolusi konflik baik dilakukan secara

individual maupun bersama-sama termasuk didalamnya kemungkinan alternatif

dan komitmen terhadap keputusan yang telah dibuat. Dari kedua kata ini, menurut

Wetzman (Morton, 2000: 187) dapat dimulai untuk memahami dan membuat

sebuah pemaknaan yang komprehensif tentang resolusi konflik dengan gambar

berikut ini

Gambar 3.1 : model problem solving dalamresolusi konflik Sumber: Morton (2000:187)

Page 14: manajemaem konflik.pdf

33

James Schlenberg (1996: 9) mengemukakan bahwa resolusi konflik merupakan

isu sentral dalam kajian konflik. Dalam kajian ini resolusi konflik dapat di

definisikan secara umum ataupun secara khusus. Definisi resolusi konflik secara

umum adalah setiap usaha untuk mengurangi konflik sosial dengan upaya

kesepakatan, perubahan lingkungan, pengaruh pihak ketiga, kemenangan salah

satu pihak dan sebagainya. Secara khusus resolusi konflik di definisikan sebagai

segala bentuk pengurangan dalam konflik yang ditandai dengan kesadaran

terhadap permasalahan yang disengketakan diantara pihak-pihak yang berkonflik.

Dalam penelitian terhadap peristiwa konflik kerusuhan pasca pilkada yang

terjadi di Kabupaten Tuban pada tahun 2006, dipergunakan definisi yang terakhir

dari James Schlenberg bahwa resolusi konflik adalah setiap usaha untuk

mengurangi konflik sosial dengan upaya kesepakatan, perubahan lingkungan,

pengaruh pihak ketiga, kemenangan salah satu pihak dan sebagaianya. Melihat

kronologi konflik pasca pilkada 2006 yang terjadi di Kabupaten Tuban dan

kondisi sekarang pasca konflik yang masih memperlihatkan konflik secara laten,

membuat kami berasumsi bahwa konflik yang berujung pada kekerasan pada saat

itu bukan hanya karena kasus pilkada semata antara pihak Noor Nahar Husein-Go

Tjong Ping dan pendukungnya dengan Haeny Relawati-Lilik Suhandjono dan

pendukungnya. Konflik yang kemudian menjadi rusuh tersebut menurut asumsi

penulis adalah akumulasi dari rasa kekecewaan masyarakat dari masa-masa

sebelum pilkada atas berbagai kebijakan pemerintah yang kemudian berafiliasi

kepada pasangan Noor Nahar Husein-Go Tjong Ping dan menemukan

momentumnya pada saat pilkada. Oleh karena itu definisi yang kami pergunakan

Page 15: manajemaem konflik.pdf

34

tentang resolusi konflik terhadap peristiwa kekerasan pasca pilkada tahun 2006 di

kabupaten Tuban adalah melalui perubahan lingkungan seperti yang dipaparkan

oleh James Schlenberg khususnya melalui pendidikan IPS.

2. Teori dan Model dalam Resolusi Konflik

Dalam resolusi konflik tidak ada teori atau model tunggal yang disepakati,

akan tetapi terdapat beberapa asumsi dasar yang mendasari kebanyakan proses

penerapan resolusi konflik. Menurut Nimer (1999: 15-16) asumsi dasar dan

prinsip-prinsip resolusi konflik antara lain:

a. Konflik tidak selalu merusak ataupun merupakan sebuah kegagalan dari

system yang ada. Sebaliknya konflik seringkali merupakan kekuatan

kreatif yang menghasilkan alternatif pilihan baru dan solusi untuk masalah

yang ada.

b. Konflik adalah proses alami yang dapat memiliki hasil konstruktif dan

destruktif

c. Konflik merupakan bagian intrinsik dari semua hubungan interaksi

d. Konflik disebabkan oleh berbagai jenis kegiatan tertentu

e. Tidak ada masalah dengan orang-orang sebagai individu

f. Memiliki tujuan yang jelas dan eksplisit merupakan bagian yang sangat

krusial dan penting dari setiap proses resolusi untuk mencapai kesepakatan

atau memahami isu yang ada.

g. Konflik bisa positif bila:

1) Meningkatkan komunikasi dan kepercayaan

2) Permasalahan dapat dipecahkan

Page 16: manajemaem konflik.pdf

35

3) Hasilnya dapat meningkatkan pembangunan dan pertumbuhan

4) Dapat mengungkapkan ide yang tersimpan

5) Dapat meningkatkan pekerjaan dan kinerja

h. Konflik dapat negatif apabila

1) Berkembang menjadi perang atau kekerasan

2) Mencegah dan menghalangi pengembangan pribadi dan kelompok

3) Mencegah orang dalam mengatasi permasalahan yang ada

4) Memotivasi orang menjadi tidak kooperatif

i. Konflik dapat dikelola atau diselesaikan secara konstruktif melalui

komunikasi. Namun tidak semua konflik dapat diselesaikan dengan

membuktikan komunikasi.

j. Tidak semua konflik dapat dinegosiasikan atau di akhiri. Tetapi ketika

hasil saling memuaskan dapat ditemukan, maka resolusi cenderung dapat

di terapkan dengan efisien dan tahan lama

k. Proses resolusi konflik dapat menjadi kreatif. Hal ini dapat menyebabkan

hubungan baru atau yang dapat ditingkatkan dan membantu

mengidentifikasikan criteria baru hasil sumber daya.

l. Meskipun terdapat banyak jenis konflik dan berbagai jenis proses untuk

menyelesaikan, kebanyakan orang cenderung untuk mendekati konflik

dengan beberapa harapan dalam pikiran, dan sering didasarkan pada

pengalaman sebelumnya.

m. Ketrampilan resolusi konflik termasuk menganalisa situasi konflik,

membawa pihak bersama-sama, membantu pihak untuk mengalihkan

Page 17: manajemaem konflik.pdf

36

focus dari kompetisi menang/kalah untuk memecahkan masalah bersama,

membangun kerjasama dan kepercayaan, mengamati ketrampilan

komunikasi, mendengarkan dan berbicara.

n. Dasar resolusi konflik adalah kolaborasi pemecahan masalah, yang

mencoba untuk mengalihkan pihak dengan perbedaan substantive asli

terhadap resolusi produktif.

Para ahli dalam memberikan kategori terhadap penelitian mereka terdapat

perbedaan pada penggunaan istilah teori dan model dalam resolusi konflik.

Sebenarnya antara teori dan model dalam resolusi konflik tidak terdapat

perbedaan yang signifikan, akan tetapi beberapa peneliti memberikan istilah yang

berbeda pada kajian mereka. Perbedaan penggunaan istilah ini dengan sendirinya

akan mengelompokkan para ahli pada kelompok yang menggunakan istilah teori

diantaranya James A. Schlenberg, dan kelompok yang menggunakan istilah model

diantaranya Garry T Furlong. Pengelompokan ini tidak menutup kemungkinan

adanya ahli yang mempergunakan kedua istilah tersebut yaitu Deutch Morton

akan tetapi dalam pembahasan ini tidak dibahas lebih lanjut.

Pengertian istilah teori dalam kamus Merriam-Webster (Furlong, 2005: 7)

antara lain (1) pemikiran yang abstrak, (2) prinsip umum atau bagian penting

prinsip yang menjelaskan fenomena, (3) asumsi yang belum terbukti. Sedangkan

istilah model (Furlong, 2005: 8) mengandung pengertian (1) penjelasan yang

dipergunakan untuk membantu memvisualisasikan sesuatu yang tidak dapat

diamati secara langsung, (2) dipergunakan untuk merepresentasikan sesuatu.

Dalam konteks resolusi konflik teori dipergunakan dalam penyelidikan yang

Page 18: manajemaem konflik.pdf

37

bersifat abstark dan aplikasi yang kurang, sedangkan model lebih pada

penyederhanaan sesuatu untuk kemudian dapat diaplikasikan secara praktis.

Kedua istilah ini adakalanya dipergunakan secara bergantian dan tidak dibedakan

satu dengan yang lainnya dikarenakan esensinya sama yaitu mengarah pada hasil

kajian terhadap resolusi konflik.

James A. Schellenberg (1996: 13) salah satu ahli yang menggunakan istilah

teori dalam resolusi memaparkan bahwa dalam mengkaji konflik dan resolusi

dapat dilihat dalam kategori-kategori berikut: teori karakteristik individu, teori

proses sosial, teori struktur sosial, teori formal. Keempat teori ini apabila

dirangkum adalah sebagaimana berikut ini:

Tabel 2.1: teori-teroi dalam resolusi konflik Sumber: James A. Schellenberg (1996: 14-20)

KONFLIK RESOLUSI

TEORI KARAKTERISTIK INDIVIDU

Agresi sebagai warisan Pengendalian dorongan agresi

Agreasi sebagai proses fisiologi Rekayasa genetika

Agresi sebagai sifat kepribadian Penempatan posisi

Agresi dari frustasi umum Pembuatan agenda yang teratur

Agresi dari teori belajar Perubahan kondisi pembelajaran

TEORI PROSES SOSIAL

Kompetisi (Park, Burges, Simmel) Kekuatan impersonal social ekonomi

Fungsi lembaga social (Simmel dan Coser) Ekuitas dan kekuasaan

Bentuk dasar interaksi (Strauss) Kerjasama dalam hubungan social

System yang membantu (Lewin dan Deutsch) Perhatian pada dinamika konflik

Prinsip ekonomi (Boulding) Managemen konflik

Page 19: manajemaem konflik.pdf

38

Eskalasi ketakutan (Pruitt, Rubin, Kriesberg) Resolusi pada kondisi tertentu

TEORI STRUKTUR SOSIAL

Perubahan social dan peran kekuasaan (Weber) (1) penghindaran, (2) penerimaan, (3) reformasi

bertahap, (4) konfrontasi tanpa kekerasan, dan

(5) konfrontasi kekerasan.

Faktor ekonomi dan politik (Dahrendorf)

Konsekuensi pembagian kelas (Horkheimer)

Pembagian kerja (Plato)

Lembaga politik (Madison)

TEORI FORMAL

Logis matematis Game theory / teori permainan

Gary T Furlong seorang ahli yang menggunakan istilah model dalam bukunya

The Conflict Resolution Toolbox (2005: 19) memaparkan, terdapat delapan model

dalam kajian resolusi konflik. Model model tersebut dipilih oleh Furlong dengan

alasan (1) model-model ini seimbang dalam kesederhanaann dan kompleksitas,

(2) kejelasan model-model ini dalam memberikan arahan dan panduan dan

terfokus pada ide pemecahan masalaha konflik. Model-model dalam resolusi

konflik menurut Furlong (2005: 20-24) tersebut diantaranya:

a. The Circle of Conflict models yang melihat konflik dari perbedaan

penyebab yang menggerakkannya.

b. The Triangle of Satisfaction models yang melihat perbedaan jenis

kepentingan dan melakukan penilaian secara lebih signifikan, mendalam

dan fungsional.

c. The Boundary models yang melihat konflik dari perspektif yang unik,

memebrikan wawasan kedalam dunia yang hamper tidak terlihat batas

pengelolaannya dan kejadian sehari-hari bagi kita semua.

Page 20: manajemaem konflik.pdf

39

d. The Interest/Rights/Power models adalah dasar negosisasi ke lapangan dan

resolusi konflik, membantu dengan mengelompokkan berbagai proses

dalam tiga jenis yaitu Iinterest/ kepentingan, Right/hak dasar, Power/

kekuasaan (IRP) dan mendiagnosa karakteristik masing-masing dari ketiga

jenis tersebut.

e. The Dynamics of Trust models yang menangani isu penting tentang

bagaimana menciptakan kepercayaan, bagaimana kepercayaan terkikis,

dan bagaimana kurangnya kepercayaan dan dampak proses resolusi.

f. The Dimensions models yang melihat perbedaan secara luas pada tiga

dimensi yaitu (1) dimensi kognitif (bagaimana kita memandang dan

berfikir tentang konflik), (2) dimensi emosional (bagaimana perasaan kita

terhadap konflik), (3) dimensi perilaku (bagaimana kita bertindak dan

berperilaku terhadap konflik).

g. The Social Style models yang meilhat konflik melalui bagian-bagian lensa

kehidupan, dan membawa arah yang jelas pada pengelolaan dan

menyelesaikan komunikasi dengan gaya isu-isu interpersonal.

h. The Moving Beyond models yang melihat pada proses emosional yang

keluar ketika terjadi konflik dan perubahannya, serta proses kritis untuk

mencapai resolusi.

Model-model tersebut diatas dibahas oleh Furlong (2005: 250) dengan maksud

untuk memberikan pedoman praktis bagi para praktisi, mediator ataupun pihak-

pihak yang akan melakukan praktek resolusi konflik secara langsung dilapangan.

Model-model tersebut akan memberikan ketrampilan secara prakis dan dapat

Page 21: manajemaem konflik.pdf

40

meningkatkan kompetensi terhadap penguasaan ketrampilan resolusi konflik.

Model-model tersebut adalah panduan praktis untuk melakukan aplikasi, tes

maupun penilaian terhadap proses resolusi konflik yang akan dilakukan sehingga

dapat meningkatkan kompetensi ketrampilan resolusi konflik.

Dalam melakukan penelitian terhadap resoluai konflik kekerasan pasca pilkada

di tuban tahun 2006 melalui pendidikan IPS, penulis akan mempergunakan model

bukan teori. Alasan dipergunakan model antara lain: model langsung diterapkan

secara praktis, model dapat dipergunakan untuk menganalisis secara langsung,

proses dan solusi dari model model dapat diterapkan dalam pembelajaran di

sekolah. Model yang akan peneliti pergunakan adalah model The Circle of

Conflict. Sebagaimana dijelaskana diatas, model the Circle of Conflict adalah

model resolusi konflik dengan memfokuskan pada enam hal yaitu nilai, hubungan,

ekstend/moods, data, struktur dan interest.

Model ini kami pergunakan dengan alasan bahwa tiga ranah yang ada dalam

model the circle of conflict yaitu nilai, hubungan dan ekstend/moods dapat

diberikan dalam pembelajaran. Tiga wilayah lainnya yaitu data, struktur dan

interest merupakan permasalahan yang menjadikan kasus kerusuhan pilkada tuban

menjadi unik, yaitu bukan karena bukan hanya disebabkan oleh permasalahan

pilkada un-sich tetapi terdapat factor latar belakang yang mempengaruhinya.

3. Model The Circle of Conflict

Model circle of conflict bermula dikembangkan oleh Christopher Moore

(Furlong, 2005:29) pada Collaborative Decision Resources (CDR) Associates di

Page 22: manajemaem konflik.pdf

41

Boulder Colorado dan merupakan model utama yang dipergunakan oleh CDR

dalam pelatihan mediator. The circle of conflict sebagai model atau peta konflik

mencoba mengkategorikan penyebab yang menggerakkan konflik dari situasi

yang praktis, menawarkan kerangka kerja untuk mendiagnosa dan memahami

faktor-faktor yang menciptakan dan memicu konflik. Konflik akan didiagnosa

penyebabnya dan kemudian model circle of conflict akan menawarkan beberapa

arah strategis secara praktis untuk mengarahkan konflik pada resolusi.

Model Circle/lingkaran adalah model yang mendiagnosis dan mengkategorikan

penyebab yang mendasari atau yang menggerakkan konflik. Model ini

mengkategorikan penyebab dan gerakan konflik dalam enam kategori yaitu nilai,

hubungan , moods/ eksternal, data, struktur dan kepentingan. Model ini lebih

lanjut menawarkan saran konkret dalam menganalisa masing-masing penggerak

konflik dan mengarahkan praktisi kearah data, struktur, keenam kategori, minat

sebagai focus untuk resolusi.

Dari sudut pandang diagnostic, model circle of conflict akan menganalisa

penyebab utama yang menggerakkan konflik dari enam sudut pandang. Enam

sudut pandang tersebut menurut Furlong (2005: 30) antara lain: (1) hubungan

yang terdiri atas: pengalaman negatif masa lalu, stereotip, kegagalan komunikasi,

perilaku negatif yang berulang; (2) eksternal/moods yang terdiri atas: faktor yang

tidak terkait secara langsung dengan konflik, kondisi psikologis dan fisiologis,

masa-masa yang buruk; (3) nilai yang terdiri atas: sistem keyakinan, nilai benar

dan salah, nilai baik dan buruk, nilai adil dan tidak adil, (4) data yang terdiri atas:

kurangnya informasi, informasi yang salah, terlalu banyak informasi,

Page 23: manajemaem konflik.pdf

42

pengumpulan masalah; (5) struktur yang terdiri atas: keterbatasan sumberdaya

fisik seperti waktu dan uang, otoritas isu, kendala geografis, struktur organisasi,

(6) Kepentingan yang terdiri atas: kepentingan, kebutuhan, minat.

a. Konsep-konsep pokok model the circle of conflict

1) Nilai

Nilai menurut Furlong, 2005: 31) mencakup semua nilai-nilai dan keyakinan

yang dimiliki oleh pihak yang berkontribusi terhadap terjadinya konflik. Hal ini

mencakup tujuan hidup atau pemahaman tentang nilai-nilai seperti keyakinan

agama, etika, moral serta nilai-nilai sederhana sehari-hari yang dipergunakan

dalam konteks pekerjaan atau bisnis. Nilai-nilai terhadap konflik yang berbeda

dari para pihak yang sedang berkonflik akan menjadi salah satu penyebab atau

dapat memperburuk keadaan. Nilai-nilai moral dan etika sangat penting bagi

manusia dan cenderung akan menjadi penyebab utama konflik.

HUBUNGAN

EKSTERNAL NILAI

KEPENTINGAN

STRUKTUR DATA

Gambar 2.2 : model the circle of conflict Sumber: Furlong (2005: 30)

Page 24: manajemaem konflik.pdf

43

2) Hubungan

Hubungan menurut Furlong (2005: 31) berkaitan dengan pengalaman negatif

masa lalu sebagai penyebab konflik. Konflik dapat terjadi apabila ada hubungan

antara pengalaman sejarah masa lalu yang menjadi penyebab terjadinya konflik

saat ini. Hubungan antara masalah masa lalu dengan sekarang seringkali menjadi

strereotipe, mendorong orang untuk membatasi atau mengakhiri komunikasi

dengan pihak lain dan sering mengarah pada perilaku saling membalas dimana

satu pihak merasakan ketidak adilan pada masa lalu dan membalasnya pada pihak

lain dan pihak lain akan berlaku demikian dan terjadilah konflik tanpa akhir.

3) Eksternal/moods

Furlong (2005: 32) menafsirkan faktor ini mencakup kondisi eksternal yang

tidak secara langsung menjadi bagian dari situasi dan memberikan kontribusi

terhadap terjadinya konflik. Faktor ini akan menjadi sangat dominan ketika terjadi

kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak dan akan

mendorong terjadinya konflik. Dorongan eksternal terjadi pada saat kekuatan dari

luar dapat membuat sebagian atau seluruh permasalahan masuk dalam kondisi

yang buruk.

4) Data

Data atau informasi oleh Furlong (2005: 32) diidentifikasikan sebagai

pemegang kunci dalam konflik. Data konflik dapat menjadi penyebab ketika

informasi benar/salah tentang sesuatu terjadi perbedaan atau pihak satu memiliki

dan pihak lainya tidak memiliki. Kondisi ini sering menimbulkan data/informasi

negatif dan membuat asumsi pada sebagian pihak dan menjadi sebuah

Page 25: manajemaem konflik.pdf

44

permasalahan. Hal lain yang membuat data menjadi penyebab konflik adalah

ketika terjadi pemaknaan yang berbeda terhadap sebuah data atau informasi.

Kondisi ini dikarenakan budaya kita mengajarkan bahwa fakta-fakta berbicara

untuk mereka sendiri oleh karena itu memerlukan penafsiran yang secara

langsung membuka celah perbedaan dalam penafsiran.

5) Struktur

Struktur ditafsirkan Furlong (2005: 34) mencakup berbagai jenis situasi, semua

terfokus pada masalah dengan sifat atau struktur dari sistem dimana para pihak

berada didalamnya. Tiga masalah utama dalam struktur adalah terbatasnya

sumberdaya, masalah otoritas dan struktur organisasi. Terbatasnya sumberdaya

akan menyebabkan para pihak untuk bersaing dan menyebabkan terjadinya

konflik struktural. Otoritas akan menjadi masalah ketika ada pihak yang akan

menyelesaikan masalah tetapi tidak mempunyai wewenang dalam membuat

keputusan. Konflik dalam struktur organisasi dapat terjadi apabila orang harus

bekerja bersama-sama dalam departemen yang berbeda namun memiliki prioritas

berbeda pada pekerjaan masing-masing. Kendala geografis yang dapat menjadi

penyebab konflik adalah pengelolaan yang harus di lakukan pada daerah yang

tidak bisa dijangkau. Situasi sering disebut tanggung jawab tanpa kewenangan,

dan sangat khas dalam konflik yang akan menjadi penyebab terjadinya konflik.

6) Kepentingan

Kepentingan menurut Furlong (2005: 42) mencakup semua kepentingan yang

berkaitan dengan kedua belah pihak yang ketika bertemu akan memungkinkan

saling berebut untuk memenuhi kepentingan masing-masing. Hal ini akan

Page 26: manajemaem konflik.pdf

45

berkaitan dengan seberapa besar kebutuhan atau focus dari masing-masing pihak

dalam meperebutkannya. Intensitas kepentingan yang akan menjadi kebutuhan

pokok bagi masing-masing pihak akan menjadi penyebab terjadinya konflik.

Kondisi ini akan menjadi lebih buruk jika masing-masing pihak bersikukuh akan

kebutuhannya masing-masing. Disamping itu minat dari masing-masing pihak

juga akan mempengaruhi seberapa besar konflik yang akan terjadi.

Tabel 2.2: penjabaran the Circle of Conflict Sumber: Furlong (2005: 30)

HUBUNGAN NILAI

1. pengalaman negative masa lalu 2. stereotip 3. kegagalan komunikasi 4. perilaku negative yang berulang

1. system keyakinan 2. nilai benar dan salah 3. nilai baik dan buruk 4. nilai adil dan tidak adil

EKSTERNAL/MOODS DATA 1. factor yang tidak terkait secara

langsung dengan konflik 2. kondisi psikologis dan fisiologis 3. masa-masa yang buruk

1. kurangnya informasi 2. informasi yang salah 3. terlalu banyak informasi 4. pengumpulan masalah

STRUKTUR INTEREST 1. keterbatasan sumberdaya fisik

seperti waktu dan uang 2. otoritas isu 3. kendala geografis 4. struktur organisasi.

1. kepentingan 2. kebutuhan 3. minat

b. Strategi model the circle conflict

Dari perspektif strategis, model the circle of conflict (Furlong, 2005: 38)

memberikan beberapa panduan praktis tentang apa yang harus dilaksanakan

terkait dengan berbagai penggerak konflik yang telah diidentifikasikan. Model ini

membagi lingkaran menjadi dua wilayah yaitu bagian atas dan bawah. Bagian atas

terdiri atas nilai, hubungan dan eksternal/moods dan bagian bawah terdiri atas

Page 27: manajemaem konflik.pdf

46

data struktur dan interes. Pembagian ini untuk membantu para pihak untuk berada

pada fokusnya masing-masing dan dapat bergerak pada arah resolusi dengan tepat.

Untuk wilayah atas, yaitu nilai, hubungan dan eksternal/moods tidak dapat

dipecahkan secara langsung melainkan membutuhkan waktu yang cukup lama

dikarenakan berkaitan dengan hal yang cukup fundamental. Pada bagian atas

khususnya nilai menurut peneliti dapat dilakukan dengan pendidikan yang

nantinya akan dipraktekkan untuk resolusi konflik kasus kerusuhan pilkada di

kabupaten Tuban tahun 2006. Bagian bawah lingkaran yang terdiri atas data,

kepentingan dan struktur menurut Moore dapat diselesaikan secara langsung

praktis dilapangan.

Kelebihan model the circle conflict daripada teori atau model lain dalam

resolusi konflik adalah: (1) model ini lebih praktis, (2) menganalisa konflik dan

resolusi dari latar belakang tejadinya konflik, (3) mencakup analisa tentang nilai,

hubungan, eksternal/moods atau lingkungan yang dapat diterapkan lewat

pendidikan. Model ini akan dapat diterapkan dalam meneliti resolusi konflik

pilkada tuban tahun 2006 dari latar belakang terjadinya konflik dan dapat

mendapatkan nilai-nilai apa yang bisa digali. Kemudian dapat melihat pola

hubungan yang menjadi latar belakang konflik dan dapat mencarai sebuah pola

hubungan baru sebagai sebuah resolusi, dan dapat menganalisa lingkungan luar

yang dapat meyebabkan konflik dengan mengganti dengan lingkungan baru.

4. Resolusi Konflik Melalui Pendidikan

Konflik dan resolusi konflik adalah bagian yang alami dari pengalaman

manusia, akan tetapi menurut Campbell, (2006: 157) studi sistematis tentang

Page 28: manajemaem konflik.pdf

47

proses penyelesaian konflik baru dikembangkan sekitar 60 tahun terakhir. Tujuan

pendidikan resolusi konflik adalah untuk membentuk pengetahuan dasar yang

handal dan dapat berfungsi sebagai sarana untuk memperbaiki hubungan antar

manusia. Dalam hal ini pendidikan dipahami sebagai persiapan untuk hidup dan

sangat tepat menemukan tempat pada kurikulum untuk mempelajari penyebab dan

dampak konflik dan cara konflik dapat ditransformasikan menjadi kekuatan positif

dalam pembangunan manusia.

Dilihat dari konteks sejarah adanya pendidikan resolusi konflik, menurut

Campbell (2006: 163) sebenarnya baru terjadi pada abad ke-20 ketika ada upaya

pertama kali untuk mengintegrasikan studi perdamaian dan resolusi konflik pada

pendidikan formal. Setelah perjanjian perdamaian pertama di Den Haag tahun

1899, kelompok pendidik di Eropa dan Amerika memprakarsai gerakan

mengajarkan perdamaian di sekolah. Setelah itu pada tahun 1926, biro pendidikan

internasional memperkenalkan toleransi dan pengertian akar budaya sebagai alat

untuk mengatasi konflik internasional. Gerakan ini berlanjut pada tahun 1945

melalui PBB dan selanjutnya yang paling menonjol adalah UNESCO yang

berupaya membangun kesadaran akan isu-isu dunia, hak asasi manusia, masalah

pelucutan senjata, pemecahan masalah dan kebutuhan untuk memahami

keragaman budaya.

Studi sistematis tentang konflik dan resolusi dalam analisis Miall (2002: 63-69)

muncul setelah perang dunia kedua. Riset tentang resolusi konflik pertama kali

muncul selama 20 tahun yaitu pada tahun 1945-1965 dengan didirikannya

Laboratorium Riset Perdamaian oleh Theodore F Lentz di St. Louis Missouri.

Page 29: manajemaem konflik.pdf

48

Pada tahun 1957 Herbert Kelman dan Robert Cooley menerbitkan Journal of

Conflict Resolution dan mendirikan pusat penelitian penyelesaian konflik pad

atahun 1959. Johan Galtung sebagai seorang ahli konflik kontemporer pada tahun

1960 menjadi pelopor pembentukan Riset Perdamaian Internasional Institut Oslo

(PRIO), pada tahun 1966 membuka Institut Perdamaian Internasional Stockholm

(SIPRI) dan pad atahun 1969 Galtung menjadi editor pendiri Journal of Peace

Research.

Pendidikan resolusi konflik yang lebih terstruktur menurut Campbell (2006:

163) dilakukan pada tahun 1960 dengan membentuk WOMP (World Order

Models Project) yang mencoba mengembangkan kurikulum berbasis masalah

yang berfokus pada masalah kesejahteraan ekonomi, perbaikan lingkungan,

partisipasi pihak minoritas dalam politik, sosial dan keadilan sebagai sarana

pencegahan perang dengan resolusi konflik. Program ini termasuk pengembangan

masalah, alternatif evaluasi, visualisasi harapan dunia dan perencanaan kearah

kemajuan dunia. Pada tahun 1967 asosiasi pendidik internasional di Jenewa

memberikan pendidikan hak asasi manusia dan perdamaian kepada guru K-12,

dan pada tahun 1969 telah disebarkan ke 50 negara sebagai bentuk pendampingan

terhadap pendidikan resolusi konflik dan HAM.

Pada tahun 1978 UNESCO menyelenggarakan Konferensi Pengajaran Hak

Asasi Manusia dengan mengembangkan pedoman untuk kurikulum, metode

pnegajaran dan bahan ajar. Hal ini dilanjutkan pada tahun 1980-an UNESCO

mengeluarkan buku pedoman bagi guru untuk pendidikan resolusi konflik sebagai

sarana integrasi kurikulum. Pada penutupan abad ke-20 (Campbell 2006: 165)

Page 30: manajemaem konflik.pdf

49

setelah perang dingin selesai, fokus konflik beralih pada kebangkitan

nasionalisme, perlombaan nuklir, persaingan ekonomi, krisis lingkungan, rasisme,

terorisme, intoleransi etnis dan agama serta kekerasan remaja. Dalam konteks ini

sekolah telah merespon dengan program-program studi baru untuk membangun

kompetensi dan pemahaman lingkungan pendidikan, masalah dunia, pendidikan

multikultural, resolusi konflik, perdamaian dan ketrampilan social. pendidikan

resolusi konflik telah konsisten sejak masa lalu dikarenakan konflik selalu terjadi

dalam kehidupan manusia. Pendidikan memberikan pemahaman kepada siswa

akan kesadaran terhadap isu-isu social dan politik yang menyebabkan konflik baik

dalam tataran regional, nasional maupun internasional.

Sekolah sangat penting sebagai tempat pendidikan resolusi konflik

sebagaimana Morton dan Susan (Frydenberg. 2005: 139) berpendapat bahwa

sekolah adalah pusat kehidupan sosial siswa. Perbedaan etnis, gender, usia,

kemewahan dan kemiskinan, ketrampilan menjadi lahan subur bagi konflik serta

kesempatan untuk pertumbuhan. Sekolah harus mengubah dalam cara dasar

mendidik anak-anak sehingga mereka bukan melawan satu dengan yang lainnya

akan tetapi mengembangkan kemampuan untuk mengatasi konflik secara

konstruktif daripada destruktif dan siap untuk melaksanakan kehidupan secara

damai. Hal ini berarti membangun di seluruh system sekolah, belajar bersama,

pelatihan dalam resolusi konflik, penggunaan tema kontroversi konstruktif dalam

mengajar mata pelajaran dan menciptakan resolusi pada pusat senketa. Pada saat

dewasa siswa akan bisa mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan

Page 31: manajemaem konflik.pdf

50

yang akan memungkinkan mereka untuk bekerjasama dengan orang lain dan

menyelesaikan konflik dalam kehidupan yang tidak terelakkan secara konstruktif.

Pendidikan resolusi konflik adalah salah satu bentuk reformasi sekolah yang

peling cepat perkembangannya dengan program utamanya mediasi. Penerapan

program resolusi konflik menurut Le Blanc (2009: 146) dapat meningkatkan sikap

prososial dan menurunkan sikap antisosial terkait. Program pencegahan kekerasan

meliputi Sembilan komponen, (1) mengambil pendekatan yang komprehensif

termasuk keluarga, teman sebaya, media dan masyarakat, (2) di mulai di kelas

dasar, (3) pembelajaran dilakukan sesuai dengan tahapan pemebalajaran, (4)

mengembangkan kompetensi pribadi dan social, (5) menggunakan variasi teknik

mengajar yang interaktif, (6) mencerminkan identitas etnis/budaya penerima, (7)

memasukkan pengembangan staf untuk keteraturan program, (8) kegiatan

dirancang dengan memadukan iklim sekolah yang baik termasuk manajemen

kelas, (9) mengembangkan kegiatan untuk menciptakan iklim perdamaian.

Pendidikan merupakan salah satu metode yang paling penting dalam

memaparkan rekonsiliasi. Hal ini menurut Yaacov (2004:31) terutama melibatkan

penggunaan system sekolah untuk pendidikan perdamaian, karena system ini

merupakan satu-satunya lembaga masyarakat yang formal, keberadaannya

disengaja dan dipergunakan secara luas untuk mengubah kondisi psikologis

anggota masyarakat. Pendidikan perdamaian/resolusi konflik bertujuan untuk

membangun pandangan siswa akan keyakinan, sikap, motivasi, ketrampilan dan

pola perilaku dengan cara memberikan sebuah kenyataan social dari proses

perdamaian dan menyiapkan mereka untuk hidup di era perdamaian dan

Page 32: manajemaem konflik.pdf

51

rekonsisliasi. Hal ini mempunyai arti bahwa system sekolah harus memberikan

pengetahuan yang selaras kepada siswa tentang prinsip-prinsip resolusi konflik

seperti perihal komunitas lain selama konflik, sifat hubungan damai, sifat

perdamaian dan resolusi konflik.

Pendidikan resolusi harus dapat mengembangkan sikap ketrampilan baru

dikalangan siswa misalnya toleransi, pengendalian diri, kepekaan terhadap orang

lain, empati, berfikir kritis dan keterbukaan. Usaha ini dalam skala besar

memerlukan pengaturan dalam tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum,

penetapan isi buku pelajaran, pengembangan bahan ajar, pelatihan guru,

membangun iklim di sekolah yang kondusif untuk pendidikan perdamaian.

Pendidikan perdamaian menurut Yaacov (2004: 32) telah diterapkan di beberapa

negara seperti Jepang dengan materi pembelajaran tentang kekejaman Jepang di

Perang Dunia II, makna permintaan maaf dan sifat hubungan damai di Jepang

pasca perang Dunia II. Dalam pembelajaran perdamaian di Amerika Serikat

berkait, bertujuan mengajar generasi muda tentang hak asasi manusia, pencegahan

terhadap kekerasan struktural dan ketimpangan social. di Irlandia Utara

pendidikan perdamaian berupaya untuk meningkatkan pemahaman tentang

perdamaian dengan budaya asli di sekolah protestan dan katolik.

Morton (2002: 38) memaparkan bahwa penerapan resolusi konflik dalam

konteks pembelajaran social, menekankan kerja sama, resolusi konflik konstruktif

dan kotroversi kreatif. Disamping sikap, norma-norma dan nilai yang mendorong

kerjasama menurut Morton (2000: 36) juga diperlukan ketrampilan dalam

menerapkan kerjasama. Alasan diperlukan keterampilan dalam menerapkan

Page 33: manajemaem konflik.pdf

52

kerjasama antara lain: (1) terdapat keterampilan yang dapat dipergunakan untuk

membangun hubungan kerja yang efektif dengan pihak-pihak yang berkonflik

baik sebagai mediator ataupun peserta konflik, (2) pengembangan keterampilan

dalam mempertahankan proses kerjasama dalam resolusi konflik yang sedang

berlangsung, (3) keterampilan berkaitan dengan kreatifitas dan produktifitas

dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

Dalam konteks pembelajaran resolusi konflik di Indonesia, Samsu Rizal

Pangabean dalam Copel (2006: 223) berpendapat tentang pendidikan untuk

perdamaian atau resolusi konflik di Indonesia harus fokus pada empat hal.

Pertama melihat konflik harus dengan cara yang konstruktif bukan destruktif,

lembaga dan organisasi di tingkat negara dan masyarakat harus di desain untuk

tujuan konstruktif, warga negara harus dididik dalam ketrampilan dalam

menangani konflik. Kedua, kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan tentang

berbagai aspek dari situasi konflik, sikap terhadap konflik dan perilaku konflik

ketika berhadapan dengan konflik. Ketiga, pemerintah dan masyarakat harus

mulai melihat konflik sebagai masalah yang harus dipecahkan dan bukan

dianggap sebagai tindakan agresi yang dapat ditekan. Keempat, pendidikan

perdamaian atau pendidikan resolusi konflik harus dapat memberikan kontribusi

terhadap warga negara untuk secara otonom dapat bebas bertindak dan memilih

untuk diri sendiri dan dapat menolak otoritas secara internal. Karakteristik ini

harus ditanamkan pada lembaga-lembaga publik dan organisasi serta interaksi

social dan sehari-hari. Ini adalah tujuan fundamental dan jangka panjang yang

merupakan tugas dari pendidikan perdamaian dan resolusi konflik di Indonesia.

Page 34: manajemaem konflik.pdf

53

C. Pendidikan IPS

Pendidikan IPS atau yang dalam bahasa inggris disebut social studies menurut

menurut National Council for the Social Studies (NCSS, 1994: 3) sebagai

keanggotaan organisasi salah satu pendidikan ilmu social didefinisikan:

social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned dicisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world. Artinya: pendidikan IPS

Pendidikan ilmu-ilmu sosial adalah studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan

humaniora untuk memperkenalkan kompetensi sipil. Dalam program sekolah,

studi sosial diberikan dalam bentuk interdisipliner, studi sistematis

menggambarkan pada disiplin ilmu seperti antropologi, arkeologi, ekonomi,

geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi,

serta konten yang sesuai dari humaniora, matematika, dan ilmu alam. Tujuan

utama penelitian sosial adalah untuk membantu kaum muda mengembangkan

kemampuan untuk membuat kebijakan informasi dan dasar yang baik sebagai

warga masyarakat, untuk keragaman budaya dan demokrasi di dunia yang saling

tergantung.

Pendidikan Ilmu pengetahuan Sosial menurut Somantri (2001: 73) adalah

aspek-aspek dari ilmu penegetahuan sosial yang telah dipilih dan disesuaikan baik

secara material maupun penerapannya untuk dipergunakan dalam pembelajaran di

Page 35: manajemaem konflik.pdf

54

sekolah. Perbedaan antara ilmu-ilmu sosial dengan pendidikan ilmu sosial

tidaklah terlalu prinsipil. Ilmu-ilmu sosial diorganisasikan secara sistematis dan

dibangun melalui penyelidikan ilmiah dan terencana, sedangkan pendidikan Ilmu

pengetahuan sosial (social studies) terdiri atas bahan yang telah disederhanakan

dan diorganisisr secara psikologis dan ilmiah sehingga dapat dipergunakan untuk

kepentingan pembelajaran.

Karakteristik pendidikan ilmu sosial menurut NCSS (1994: 3-5) antara lain

a. Program studi sosial memiliki tujuan utama untuk memperkenalkan pengetahuan kompetensi sipil, ketrampilan dan sikap yang dibutuhkan siswa untuk menjadi warga Negara yang baik dalam Negara demokrasi.

b. Program studi sosial mengintegrasikan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap internal dan diseluruh disiplin ilmu.

c. Program studi sosial membantu siswa membangun basis pengetahuan dan sikap yang diambil dari disiplin akademik sebagai cara khusus dalam memandang realitas.

d. Program studi sosial mencerminkan sifat perubahan pengetahuan, mengembangkan pendekatan yang baru dan sangat terintegrasi dalam memecahkan masalah yang penting bagi kehidupan manusia.

1. Nilai-nilai Pendidikan

Secara filosofis, menurut Katsoff (1989: 335) nilai tidak dapat didefinisikan

tidak berarti tidak dapat dipahami. Bertolak dari gagasan filsafat moral yang

menganggap perwujudan diri sebagai kebaikan tertinggi, sasaran puncak, atau

tujuan akhir (summum bonum) yang mewadahi berbagai teori moral yang

berbeda-beda, muncul beragam pandangan tentang bagaimana cara manusia

menjalani hidup yang baik atau mengaktualisasikan diri. Secara umum menurut

Wiliam F O’neil (2002: 94-95) terdapat enam sudut pandang tentang bagaimana

cara hidup dengan baik

Page 36: manajemaem konflik.pdf

55

1. Kebaikan tertinggi tumbuh dari ketaatan terhadap berbagai tolok ukur

(standar intuitif atau yang terungkap pada keyakinan dan perilaku)

2. Kebaikan tertinggi tumbuh dari pencerahan filosofis atau keagamaan

yang didasarkan pada penalaran spekulatif serta kebijaksanaan metafisi

3. Kebijakan tertinggi tumbuh dari ketaatan terhadap tolok ukur yang

mapan (konvensional) tentang keyakinan dan perilaku

4. Kebaikan tertinggi tumbuh dari kecerdasan praktis (yakni pemecahan

masalah secara efektif)

5. Kebaikan tertinggi tumbuh dari pengembangan lembaga-lembaga

social yang baru dan lebih manusiawi (humanistic)

6. Kebaikan tertinggi tumbuh dari penghapusan pembatasan-pembatasan

kelembagaan, sebagai sebuah cara untuk memajukan perwujudan

kebebasan personal yang sepenuh-penuhnya.

Nilai secara garis besar menurut Elmubarok (2009: 7) dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu nilai-nilai nurani (value of being) dan nilai-nilai memberi (value

of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian

berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang

termasuk nilai nurani menurut Linda dalam Elmubarok (2009: 7) antara lain

kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas,

kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu

dipraktikan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan.

Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya,

Page 37: manajemaem konflik.pdf

56

hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah

hati.

Cara memperoleh nilai menurut Rohmat Mulyana (2004: 81-83) ada tiga,

yaitu: pertama, nilai dapat diperoleh dengan melalui cara berfikir kontemplatif

(paradigm logis-abstrak) yaitu seseorang dapat menemukan makna (nilai) dari

sesuatu yang abstrak atau makna yang ada dibelakang obyek konkrit; kedua, nilai

diperoleh melalui paradigm berfikir logis-empiris dengan bukti-bukti nyata untuk

menguji kebenaran dan keutamaan sesuatu; ketiga, nilai diperoleh melalui hati dan

fungsi rasa yaitu masuk melalui pintu intuisi dan bersarang dalam keyakinan hati.

Dalam pendidikan terdapat lima pendekatan pendidikan nilai menurut

Elmubarok (2009: 60) yang meringkas dari delapan pendekatan pendidikan nilai

menurut Superka dalam bukunya A typology of valuing theories and values

adecation spproaches. Lima pendekatan tersebut antara lain:

1. Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)

2. Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development

approaches)

3. Pendekatan analisis nilai (values analysis approaches)

4. Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approaches)

5. Pendekatan pembelajaran berbuat (action lerning approaches)

Dalam penelitian ini akan dipergunakan pendekatan analisis nilai terhadap

kasus kerusuhan yang terjadi di Tuban untuk selanjutnya dapat dipergunakan

dalam pendidikan sebagai langkah solusi. Pendekatan analisis nilai (values

Page 38: manajemaem konflik.pdf

57

analysis approaches) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan

siswa untuk berfikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan

dengan nilai-nilai sosial. pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada

pembahasan masalah-masalah yang memuat niali-nilai sosial dalam hal ini adalah

kasus kerusuhan Tuban 2006. Tujuan utama pendidikan nilai dalam pendekatan

ini adalah, pertama, siswa membantu siswa mempergunakan kemampuan berfikir

logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial yang

berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk

menggunakan proses berfikir rasional dan analitik, dalam menghubungkan dan

merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka.

Menurut Elmubarok (2009: 68) mengutip pendapatnya Hersh, terdapat enam

langkah dalam melakukan analisis nilai yaitu

1. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai

2. Menghubungkan fakta yang berhubungan

3. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan

4. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan

5. Merumuskan keputusan moral sementara

6. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan.

2. Resolusi Konflik sebagai Salah Satu Ketrampilan yang dikembangkan

dalam Pendidikan Ilmu social.

Beberapa cara yang dapat ditempuh dalam mendapatkan hasil yang terbaik

dalam social studies antara lain: (a) Mengedepankan kepentingan umum, (b)

Page 39: manajemaem konflik.pdf

58

mengadopsi berbagai perspektif yang umum, (c) menerapkan pengetahuan,

keterampilan, dan nilai-nilai sipil. Dalam penerapan keterampilan, terdapat empat

keterampilan dasar yang dikembangkan yaitu: (1) memperoleh informasi dan

memanipulasi data, (2) mengembangkan dan memutuskan kebijakan, argument

dan cerita, (3) membangun pengetahuan baru, (4) berpartisipasi dalam kelompok.

Resolusi konflik merupakan salah satu ketrampilan dasar yang dikembangkan

oleh NCSS (1994: 8) berkaitan dengan kemampuan dalam berpartisispasi dalam

kelompok. Hal ini dikembangkan sebagai wujud tanggung jawab pendidikan

terhadap warga negara untuk menjadikan masyarakat sebagai warga negara yang

baik dalam negara demokrasi. Hubungan antara pendidikan ilmu social dengan

resolusi konflik di tegaskan kembali dalam ketrampilan penting yang

dikembangkan oleh NCSS (1994: 149) berkaitan dengan hubungan interpersonal

dan pertisipasi social. Dalam keterampilan pilihan ini resolusi konflik masuk

dalam ketrampilan dalam interaksi kelompok yaitu: berpartisipasi dalam

bernegosiasi, kompromi, berargumen dalam resolusi konflik dan perbedaan.

Ketrampilan resolusi konflik dalam pendidikan ilmu sosial juga ditegaskan

oleh Gayle Mindes dalam bukunya Teaching Young Children Social Studies.

Dalam buku ini Mindes mengemukakan bahwa ketrampilan resolusi konflik

adalah salah satu pengetahuan dan ketrampilan yang harus dimiliki oleh setiap

siswa. Menurut Mindes (2006: 24) resolusi konflik merupakan kemampuan untuk

menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting

dalam pembangunan social dan moral yang memerlukan ketrampilan dan

penilaian untuk bernegosiasi, kompromi serta mengembangkan rasa keadilan.

Page 40: manajemaem konflik.pdf

59

Guru dan siswa harus mampu dan mau untuk ikut campur tangan dalam situasi

konflik.

Knoff dalam Mindes (2006: 27) kemudian menegaskan bahwa dalam

pengembangan ketrampilan social yang harus dimiliki oleh siswa antara lain:

1. Survival skills—listening, following directions, ignoring distractions, speaking up for self

2. Interpersonal skills—sharing, waiting for a turn, joining an activity 3. Problem-solving skills—asking for help, apologizing, deciding what to do,

accepting consequences 4. Conflict-resolution skills—handling teasing, losing, peer pressure

Resolusi konflik sebagai salah satu ketrampilan menurut Knoff harus diberikan

dalam pembelajaran diruang kelas dan diharapkan dapat memberikan bekal skil

pribadi pada masing-masing siswa untuk dapat ikut menyelesaikan konflik dari

tingkatan yang paling rendah. Keterampilan resolusi konflik masuk menjadi salah

satu keterampilan sosial yang harus diajarkan dalam pendidikan. Hal ini

sebagaimana elemen social skills yang diajarkan dalam pembelajaran ilmu-ilmu

sosialyaitu:

Gambar 2.3: ketrampilan sosial (www.teachchildrenesl.com/filez8932/.../social_skills_list.pdf)

social

skills

empathy

basic skills

joining skills

peace skills

frienship skills

conflict skills

must be thaught

assertiveness

Page 41: manajemaem konflik.pdf

60

3. Pendidikan IPS Sebagai salah Satu Solusi Permasalahan Konflik

Pendidikan tidak boleh dijauhkan dari realita kehidupan dan harus dapat

memberikan kontribusi terhadap permasalahan yang ada di lingkungan sosial.

William Stanley dalam Hursh (2000: 65) mengungkapkan tentang peran sekolah

Conversely, schools have also been called on to promote social change and social transformation. The promotion of civil rights and desegregation is one recent example of using the schools to bring about major social change. But although schools have been pointed in both directions vis-avis social change, promotion of social stability has been the major role of schooling. In the current debate over schooling, we hear again calls for the schools to return to their primary task of cultural transmission, the emphasis on core values and the basic knowledde that all our citizens need.

Maksud dari William adalah: Sekolah harus terpanggil untuk melakukan upaya

perubahan sosial dan transformasi sosial. Sekolah harus dapat mempromosikan

hak-hak sipil dan desegregasi sebagai salah satu bentuk kepedulian sekolah dalam

membawa perubahan sosial yang besar. Meskipun posisi sekolah serba dilematis

harus menujuk pada dua arah pertentangan yaitu perubahan social dan stabilitas

sosial yang harus menjadi pemeran utama. Perdebatan saat ini mengharuskan

sekolah untuk kembali kepada fungsi utamanya yaitu transmisi budaya,

penanaman nilai-nilai penting dan pemberian pengetahuan dasar bagi semua

kebutuhan warga negara.

Berbicara tentang pendidikan, sebenarnya ada empat filsafat yang

mendasarinya yaitu essensialisme, perenialisme, progresivisme dan

rekonstruksionisme menurut Ornstein dan Levine dalam Maftuh (2008: 81).

Filsafat pendidikan essensialisme berpandangan bahwa pendidikan di sekolah

harus dalam bentuk utuh pendidikan keilmuwan dengan memberikan penekanan

Page 42: manajemaem konflik.pdf

61

pada pengembangan intelektualisme siswa. Pendidikan sejarah berdasarkan

filsafat esensialisme harus diajarkan berdasarkan struktur disiplin ilmu sejarah

yang diajarkan secara terpisah. Filsafat pendidikan perenialisme berpandangan

bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan intelektual atau

rasionalitas siswa, terutama melalui studi liberal arts dan buku-buku besar

(klasik). Filsafat pendidikan progresivisme dikembangkan oleh John Dewey yang

berakar pada filsafat pragmatisme yang berpendapat bahwa pendidikan harus

sesuai dengan minat dan kebutuhan individu siswa. Karena itu, pendidikan harus

berpusat pada anak dan beorientasi pada kreativitas anak dan dalam aplikasinya

menekankan pentingnya problem solving. Sedangkan filsafat pendidikan

rekonstruksionisme yang dikembangkan oleh Theodore Bramled mengemukakan

bahwa masalah masyarakat dan upaya untuk menyelesaikannya yang berguna bagi

upaya peningkatan kesejahteraan merupakan tujuan penting pendidikan yang lebih

penting daripada hanya sekedar pengembangan intelektualisme keilmuwan.

Fungsi pendidikan sebagai tempat untuk menyelesaikan permasalahan

dimasyarakat sebagaimana dikemukakan oleh William dalam Hursh (2000: 68)

bersesuaian dengan filsafat pendidikan rekonstruksionisme dan agak sejalan

dengan filsafat pendidikan progresivisme. Dalam menanggapi independensi

pendidikan sebagai sarana perubahan social, Hursh (2000: 69) mengutip pendapat

Dewey:

The upholders of indoctrination rest their adherence to the theory. In part, upon the fact that there is a great deal of indoctrination now going on in the schools, especially with reference to the dominant economic regime. These facts unfortunately are facts. But they do not prove that the right course is to seize upon the method of indoctrination and reverse its object.

Page 43: manajemaem konflik.pdf

62

Maksud Dewey adalah bahwa untuk menegakkan fungsi indoktrinasi harus

dilakukan dengan kepatuhan pada teori. Tetapi pada kenyataan bahwa banyak

sekali indoktrinasi yang sekarang terjadi di sekolah-sekolah, khususnya adalah

mengacu pada rezim ekonomi yang dominan. Sayangnya fakta ini adalah tinggal

fakta. Tapi mereka tidak membuktikan bahwa pendidikan yang adalah untuk

merebut posisi metode indoktrinasi dan reverse pada objek. Dewey lebih

menekankan pada kecerdasan penalaran praktis sebagai upaya pencarian

kebenaran. Bagi Dewey, pada sekolah manapun tidak akan terlepas dari

kepentingan rezim yang berkuasa, sehingga sekolah hanya dipergunakan sebagai

sarana untuk melanggengkan kekuasaan dengan indoktrinasi.

Untuk mendekatkan antara tujuan untuk mengawal perubahan social dan sisi

lain independensi sekolah yang masih ambivalen, maka William dalam Hursh

(2000: 72) di akhir tulisannya tentang pendidikan dan perubahan social

mengemukakan bahwa:

Pendekatan rekonstruksi sosial tidak akan netral atau ambivalen. Itu akan mengembangkan demokrasi sebagai cara hidup dan sentralitas penilaian praktis, termasuk perlunya kritik social. Hal ini bukanlah sebuah pendekatan untuk kurikulum yang akan merasa nyaman dengan status quo, dan tidak akan ditujukan pada realisasi final konsepsi masyarakat. Pendekatan ini mencoba untuk menawarkan beberapa pandangan umum tentang tatanan sosial baru yang dihubungkan secara langsung dengan kompetensi siswa yang sangat dibutuhkan untuk menciptakan perubahan sosial untuk perbaikan manusia. Pendekatan dengan kurikulum yang didukung di sini tidak meninggalkan rekonstruksionis harapan untuk dunia yang lebih baik, tetapi menyarankan cara lain untuk memahami mimpi ini. Kita harus merangkul peringatan rekonstruksionis tentang bahaya dari kepuasan dan kebutuhan untuk bekerja menuju perbaikan manusia melalui pendidikan. Dan kita dapat beralih ke tradisi pragmatis kita sendiri untuk mengilhami imajinasi kita dan kemungkinan dari potensi manusia yang tak terbatas.

Page 44: manajemaem konflik.pdf

63

Khusus peran pembelajaran IPS dalam menyelesaikan permasalahan yang

terjadi di masyarakat, NCSS (2000: 5) memasukkan menjadi salah satu

karakteristik penting dalam pendidikan IPS. Dari pendapat yang dikemukakan

diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan IPS dapat berperan dalam

upaya menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan (social), kemampuan memecahkan

masalah sosial, ketarmpilan sosial dalam era global, yang senantiasa diruntut agar

mampu menciptakan kehidupan yang damai dan harmoni. Kenyataan ini telah

menempatkan PIPS pada fungsi perannya sebagai wahana untuk memupuk modal

sosial (social capital) yaitu “mengembangkan nilai-nilai budaya yang berkaitan

dengan kehidupan social yang sebenarnya sudah ada pada dir masyarakat sejak

dulu, misalnya nilai gotong royong, solidaritas sosial dan toleransi.

D. Penelitian terdahulu

Kajian tentang resolusi konflik dalam pembelajaran sejarah telah dilakukan

oleh saudara Hasan Iman dalam bentuk tesis pad atahun 2004 dengan judul

“Integrasi Conflict Resolution Dalam Pembelajaran Sejarah sebagai sarana

mengembangkan kesadaran sejarah siswa (Penelitian PTK di kelas 2 IPS 1 SMUN

8 Bandung pada pokok bahasan tradisi Hindu-Budha di Indonesia”. Pendekatan

yang dipakai dalam penelitian Hasan adalah Classroom action research dengan

metode kualitatif. Dalam penelitian ini Hasan Iman mamfokuskan pada

peningkatan kesadaran sejarah siswa melalui pengintegrasian resolusi konflik

dalam pembelajaran sejarah. Hasil yang didapatkan ternyata ada peningkatan

dalam kesadaran sejarah siswa dari pembelajaran sebelumnya yang tidak

mengintegrasikan resolusi konflik.

Page 45: manajemaem konflik.pdf

64

Kajian selanjutnya tentang resolusi konflik dilakukan oleh saudara Sriyanto,

berupa tesis pada PIPS UPI tahun 2009 dengan judul “Konflik Horisontal Dan

Resolusi Konflik (Studi Nilai-Nilai Pluralitas Dalam Kerusuhan Tasikmalaya

1996)”. Dalam penelitian ini sriyanto menggunakan pendekatan kualitatif dalam

menguak tentang penyebab, akibat yang ditimbulkan yang menyimpang jauh dari

pangkal konflik sampai bagaimana solusi yang tepat. Sriyanto menyimpulkan

bahwa konflik di Tasikmalaya yang dipicu oleh ketegangan dua pihak bisa

merembet ke berbagai pihak yang lain lintas etnis dan lintas agama. Hal ini

ternyata menunjukkan kompleksitas permasalahan yang dihadapi pemerintah yang

harus segera diselesaikan, sehingga ketika terjadi ketegangan dalam masyarakat

tidak berimbas kemana-mana.

Untuk kajian resolusi konflik terhadap kasus kekerasan ada salah satu tesis

program studi pendidikan IPS di Universitas Pendidikan Indonesia dengan judul

“Peranan Kepemimpinan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Sosialisasi Di

Kota Masohi Kabupaten Maluku” oleh saudara Samuel Patra Ritiauw. Tesis ini

membahas tentang penyelesaian terhadap konflik berdarah yang pernah terjadi di

maluku dengan menggunakan peranan kepemimpinan para tokoh masyarakat.

Dalam tesis ini difokuskan pada peranan tokoh masyarakat dalam rekonstruksi

social dan belum difokuskan pada peranan pendidikan dalam meyelesaikan

permasalahan konflik. Oleh karena itu menempatkan pendidikan sebagai sebuah

solusi dalam resolusi konflik merupakan hal yang sangat tepat dan dapat

mendapatkan hasil yang maksimal.

Page 46: manajemaem konflik.pdf

65

Kajian tentang penyelesaian konflik melalui pendidikan dilakukan isnarmi

muis pada tahun 2006 dalam bentuk disertasi yang berjudul “Kerangka

Konseptual Pendidikan Multikultural Transformatif Berdasarkan Pola Hubungan-

Konflik Antar Etnik (kajian kritis terhadap laporan media massa mengenai konflik

ambon, sambas dan sampit, dan poso)”. Pada penelitian ini menggunakan

pendekatan grounded research yang ditekankan pada penggunaan kerangka

konseptual pendidikan multicultural sebagai sebuah solusi terhadap konflik yang

terjadi di Ambon, Sambas, Sampit dan Poso berdasarkan corak pelaporan media

masa. Di sini diperoleh sebuah gambaran tentang konflik tersebut menurut media

masa dan analisis bagagaimana solusi terbaik yang dapat dilakukan terutama

melalui pemdidikan multicultural. Penelitian ini telah menjembatani konflik

melalui sebuah kerangka konseptual berupa pendidikan multicultural sebagai

sebuah alternatif dalam menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi di

Ambon, Sampit, Sambas dan Poso.

Kajian selanjutnya tentang penyelesaian konflik dilakukan oleh saudara

Zulfadhli PIPS UPI tahun 2009 yang berjudul “Reintegrasi Sosial Pasca

Perjanjian Damai Pemerintah RI-GAM (Studi Pada Masyarakat Tanah Mirah

Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen)”. Penelitian ini mempergunakan

pendekatan kualitatif fenomenologis pada kasus RI-GAM di Aceh. Hasil dari

penelitian ini adalah bahwa konflik yang terjadi di Tanah Mirah yang dahulu

hidup dalam ketentraman penuh nilai-nilai islami dipicu oleh kepentingan

sekelompok orang. Diperlukan langkah-langkah taktis dalam melakukan

rekonstruksi baik dalam bidang ekonomi, social, politik dan budaya.

Page 47: manajemaem konflik.pdf

66

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan baik yang berupa tesis maupun

disertasi, belum ada penelitian yang memfokuskan pada Resolusi Konflik Pasca

Pilkada Langsung Kabupaten Tuban Tahun 2006 melalui Pendidikan IPS. Oleh

karena itu menurut penulis, kiranya sangat dibutuhkan penelitian tersebut untuk

memberikan solusi terhadap permasalahan yang selama ini ada dan

memungkinkan juga untuk diterapkan di tempat lain yang mempunyai

karakteristik sama.

E. Paradigma Penelitian/Kerangka Penelitian

Dalam penelitian ini hal awal yang dilakukan adalah meneliti latar belakang

terjadinya kerusuhan pada pasca pemilihan kepala daerah langsung 2006 di

kabupaten Tuban. Hal ini dilakukan berdasarkan asumsi awal bahwa:

1. Kerusuhan tidak akan terjadi dengan begitu dahsyatnya apabila hanya

disebabkan proses pemilihan kepala daerah.

2. Pilkada hanyalah sebuah letupan karena menemukan momentum

3. Setelah beberapa kali proses resolusi baik melalui pengadilan maupun

dalam bentuk mediasi dilakukan, ternyata sisa-sisa berupa konflik laten

masih ada.

4. Kemungkinan masih ada sebab-sebab konflik yang sampai sekarang

permasalahannya belum selesai.

Langkah pertama yang akan dilaksanakan dalam penelitaian ini adalah dengan

meneliti latar belakang konflik dari kronologi kejadian dan kondisi social Tuban

saat itu dengan menggunakan teori collective behavior NJ Smelser. Teori ini akan

menguak latar belakang sebenarnya konflik kerusuhan yang terjadi di Tuban Jawa

Page 48: manajemaem konflik.pdf

67

Timur, apakah memang murni masalah pilkada ansich ataukan ada permasalahan

lain menyebabkannya sehingga terjadi dengan begitu masifnya.

Langkah kedua adalah langkah resolusi yang akan kami lakukan dengan

menggunakan model The Circle Conflict Gary Furlong yang akan difokuskan

pada nilai, hubungan, lingkungan. Focus ini dilakukan dikarenakan Furlong tidak

memberikan langkah-langkah dalam 3 hal ini dan hanya memfokuskan pada tiga

hal yang lain dalam model ini. Disamping itu, 3 fokus ini yang menurut peneliti

dapat mendekatkan resolusi konflik dengan pendidikan. Langkah ini akan

dipadukan dengan analisi nilai yang dikemukakan oleh Superka dengan

menggunakan enam langkah yaitu (1) identifikasi nilai, (2) pengumpulan fakta

yang berhubungan, (3) pengujian kebenaran fakta yang berkaitan, (4) menjelaskan

kaitan fakta yang bersangkutan, (5) merumuskan keputusan moral sementara, (6)

menguji prinsip moral dengan mengambil keputusan.

Langkah ketiga adalah membuat sebuah skema kerangka konseptual

pembelajaran IPS berdasarkan nilai-nilai yang telah didapatkan dengan cara

menginntegrasikan dalam pembelajaran Sejarah di Madrasah Aliyah. Langkah ini

diterapkan sebagai sebuah solusi pendidikan terhadap kasus kerusuhan yang

terjadi di Tuban pada tahun 2006. Berikut paradigm penelitian yang akan penulis

lakukan.

Page 49: manajemaem konflik.pdf

68

Gambar 2.4: Paradigma Penelitian

Teori Konflik (George Ritzer)

Smelser (Collective Behavior)

Konflik Kerusuhan pasca pilkada tuban 2006

Latar Belakang Konflik Kerusuhan 2006

Resolusi Konflik

Teori (J. Schlennberg)

Model (Garry T Furlong)

Model The Circle Conflict

Nilai Komunikasi Hubungan

Pendidikan Nilai

Pendekatan Analisis Nilai

Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai Menghubungkan fakta Menguji kebenaran fakta Menjelaskan kaitan antara fakta Merumuskan keputusan moral Menguji prinsip moral

(a) structur conductifness; (b) struktural strain; (c) Growth and spread of a generalized belief; (d) Precipitating factors; (e) Mobilization of participants for action; (f) The operation of social control

Nilai-Nilai Pendidikan dari Peristiwa Konflik

Kerusuhan 2006

National Standar for Social Studies

NCSS

Ketrampilan Resolusi Konflik

berpartisipasi dalam bernegosiasi,

kompromi, berargumen dalam resolusi konflik

dan perbedaan

Kerangka Konseptual Pembelajaran Sejarah Berbasis

Resolusi Konflik