makalah pbl blok 18-eiffel
Post on 11-Dec-2015
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Latar Belakang
Tuberkulosis merupakan infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Di Indonesia, penyakit tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3
dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Sistem pernapasan atau sistem
respirasi adalah sistem organ yang digunakan untuk pertukaran gas. Sistem respiratorius,
atau yang lebih dikenal dengan sistem pernapasan, kaitannya sangat erat dengan
kehidupan kita, karena tidak mungkin kita dapat hidup tanpa bernapas. Gangguan napas
sering merupakan keluhan mengapa seseorang datang berobat ke dokter. Di sini akan
dibahas tetang diagnossis dan tatalakasana penyakit tuberkulosis beserta diagnosis
bandingnya. Tuberkulosis/TB sangat penting untuk kita mengerti. Maka itu penting bagi
kita untuk mengenal lebih dalam tentang sistem respiratorius.
Landasan Teori
Anatomi Paru
Paru-Paru
1. Paru-paru adalah organ berbentuk piramid seperti spons dan berisi udara, terletak
dalam rongga toraks.
a. Paru kanan memiliki tiga lobus; paru kiri memiliki dua lobus
b. Setiap paru memiliki sebuah apeks yang mencapai bagian atas iga pertama, sebuah
permukaan diafragmatik (bagian dasar) terletak di atas diafragma, sebuah permukaan
mediastinal (medial) yang terpisah dari paru lain oleh mediastinum dan permukaan kostal
yang terletak di atas kerangka iga.
1
c. Permukaan mediastinal memiliki hilus (akar), tempat masuk dan keluarnya pembuluh
darah bronki, pulmonar dan bronkial dari paru.
2. Pleura adalah membran penutup yang membungkus setiap paru.
a. Pleura parietal melapisi rongga toraks (kerangka iga, diafragma, mediastinum).
b. Pleura viseral melapisi paru dan bersambungan dengan pleura parietal di bagian bawah
paru.
c. Rongga pleura (ruang intrapleural) adalah ruang potensial antara pleura parietal dan
viseral yang mengandung lapisan tipis cairan pelumas. Cairan ini disekresi oleh sel-sel
pleural sehingga paru dapat mengembang tanpa melakukan friksi. Tekanan cairan
(tekanan intrapleural) agak negatif dibandingan dengan tekanan atmosfer.
d. Resesus pleura adalah area rongga pleura yang tidak berisi jaringan paru. Area ini
muncul saat pleura parietal bersilangan dari satu permukaan ke permukaan lain. Saat
bernafas, paru-paru bergerak keluar masuk area ini.
1. Resesus pleura kostomediastinal terletak di tepi anterior kedua sisi pleura, tempat
pleura parietal berbelok dari kerangka iga ke permukaan lateral mediastinum.
2. Resesus pleura kostodiafragmatik terletak di tepi posterior kedua sisi pleura di antara
diafragma dan permukaan kostal internal toraks. 1
Fisiologi Paru
Mekanisme Pernafasan
Otot-Otot yang Berperan dalam Mekanisme Ventilasi Paru
2
Paru-paru dapat dikembangkempiskan melalui dua cara yaitu dengan gerakan
naik turunnya diafragma untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada dan dengan
depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar dan memperkecil diameter antero-
posterior rongga dada.
Pernafasan normal dan tenang dapat dicapai dengan hampir sempurna melalui
metode pertama yaitu gerakan diafragma. Selama inspirasi, kontraksi diafragma menarik
permukaan bawah paru ke arah bawah. Kemudian ketika ekspirasi, diafragma
mengadakan relaksasi dan sifat elastis daya lenting paru (elastic recoil), dinding dada dan
struktur abdomen akan menekan paru-paru dan mengeluarkan udara. Namun, selama
bernafas kuat, daya elastis tidak cukup kuat untuk menghasilkan ekspirasi cepat yang
diperlukan, sehingga diperlukan tenaga ekstra yang terutama diperoleh dari kontraksi
otot-otot abdomen, yang mendorong isi abdomen ke atas melawan dasar diafragma
sehingga mengkompresi paru.
Metode kedua untuk mengembangkan paru adalah dengan mengangkat rangka
iga. Pengembangan paru ini dapat terjadi karena pada istirahat, iga miring ke bawah,
dengan demikian sternum turun ke belakang ke arah kolumna vertebralis. Tetapi bila
rangka iga dielevasikan, tulang iga langsung maju sehingga sternum sekarang bergerak
ke depan menjauhi spinal, membentuk jarak anterposterior kira-kira 20% lebih besar
selama inspirasi maksimum dibandingkan selama ekspirasi. Oleh karena itu, otot-otot
yang mengelevasikan rangka dada dapat dilaksifikasikan sebagai otot-otot ekspirasi. Otot
paling penting mengangkat rangka iga ini adalah otot interkostalis eksterna, tetapi otot-
otot lain yang membantunya adalah (1)sternokleidomastoideus, mengangkat sternum
keatas, (2) serratus anterior, mengangkat sebagian besar iga; dan (3) skalenus,
mengangkat dua iga pertama. Otot-otot yang menarik rangka iga ke bawah selama
ekspirasi adalah (1) rektus abdominis, yang mempunyai efek tarikan ke bawah yang
sangat kuat terhadap iga-iga bagian bawah pada saat yang bersamaan ketika otot-otot ini
dan otot-otot abdomen lainnya menekan isis abdomen ke atas ke arah diafragma dan (2)
interkostalis internus. 3
3
Tekanan Pleura dan Perubahannya Selama Pernafasan
Tekanan pleura adalah tekanan cairan dalam ruang sempit antara pleura paru dan
pleura dinding dada. Tekanana pleura normal pada awal inspirasi adalah sekitar -5 cm air,
yang merupakan nilai isap yang dibutuhkan untuk mempertahankan paru agar tetap
terbuka sampai nilai istirahatnya. Kemudian selama inspirasi normal, pengembangan
rangka dada akan menarik paru ke arah luar dengan kekuatan yang lebih besar dan
menyebabkan tekanan menjadi leibh negatif, menjadi rata-rata sekitar -7,5 cm air, ketika
inspirasi terjadi volume paru meningkat sebanyak 0,5 liter dan pada saat ekspirasi yang
terjadi ialah kebalikannya. 3
Tekanan Alveolus
Tekanan alveolus adalah tekanan udara di bagian dalam alveoli paru. Ketika glotis
terbuka dan tidak ada udara yang mengalir ke dalam atau ke luar paru, maka tekanan
pada semua bagian jalan nafas sampai alveoli, semuanya sama dengan tekanan atmosfer
yang dianggap sebagai tekanan acuan 0 dalam jalan nafas yaitu tekanan 0 cm air. Untuk
menyebabkan udara mengalir ke dalam alveoli selama inspirasi, maka tekanan dalam
alveoli harus turun sampai nilainya sedikit di bawah tekanan atmosfer (di bawah 0). Pada
saat inspirasi normal, tekanan alveolus menurun sampai sekitar -1 cm air. Tekanan yang
sedikit negatif ini cukup untuk menarik 0,5 liter udara ke dalam paru dalam waktu 2 detik
sebagaimana yang diperlukan untuk inspirasi yang normal dan tenang. Selama ekspirasi,
terjadi tekanan yang berlawanan, tekanan alveolus meningkat sampai sekitar 1 cm air dan
tekanan ini akan mendorong 0,5 liter udara inspirasi keluar paru pada saat ekspirasi
selama 2 sampai 3 detik. 3
Tekanan Transpulmonal dan Komplians Paru
Terdapat perbedaan antara tekanan alveolus dan tekanan pleura. Perbedaan ini
disebut tekanan transpulmonal. Ini merupakan perbedaan antara tekanan alveoli dan
4
tekanan pada permukaan luar paru dan ini adalah nilai daya elastis dalam paru yang
cenderung mengempiskan paru pada setiap pernafasan yang disebut tekanan daya lenting
paru.
Luasnya pengembangan paru untuk setiap unit peningkatan tekanan
transpulmonal (jika terdapat cukup waktu untuk mencapai keseimbangan) disebut
komplians paru. Nilai komplians total dari kedua paru pada orang dewasa normal rata-
rata sekitar 200 ml udara per cm tekanan transpulmonal air. Artinya setiap kali tekanan
transpulmonal meningkat sebanyak 1 cm air, maka volume paru setelah 10 sampai 20
detik akan mengembang sekitar 200 ml. 3
Difusi Gas
Semua gas yang berhubungan dengan fisiologi pernafasan adalah molekul-
molekul sederhana yang dapat bergerak bebas di antara satu sama lain, suatu proses yang
disebut difusi. Untuk terjadinya difusi, harus ada sumber energi. Energi ini dihasilkan
oleh gerakan kinetik molekul itu sendiri. Kecuali pada suhu nol, semua molekul bergerak
terus-menerus pada setiap waktu. Untuk molekul-molekul bebas yang secara fisik tidak
berikatan dengan molekul lainnya, hal ini berarti terdapat gerakan linier dengan
kecapatan tinggi sampai molekul tersebut berbenturan dengan molekul lainnya.
Kemudian molekul itu melambung ke arah lain dan begitu selanjutnya sampai terjadi
benturan dengan molekul yang lain lagi. Dengan cara ini, molekul akan bergerak dengan
cepat dan secara acak satu sama lainnya. Difusi gas ini juga akan terjadi dari daerah yang
konsentrasi tinggi ke arah daerah yang mempunyai konsentrasi yang rendah. Alasannya
ialah lebih banyak molekul yang bergerak (dari daerah konsentrasi yang tinggi)
dibandingan molekul (dari daerah yang konsentrasi tinggi) ke arah yang berlawanan. 3
Transportasi Oksigen
5
Pengangkutan Oksigen dari Paru ke Jaringan Tubuh
Gas dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan cara difusi dan
pergerakan ini selalu disebabkan oleh perbedaan tekanan parsial dari tempat pertama ke
tempat berikutnya. Dengan demikian, oksigen berdifusi dari alveoli ke dalam darah
kapiler paru karena tekanan parsial oksigen (PO2) dalam alveoli lebih besar daripada PO2
dalam darah kapiler paru. Dalam jaringan tubuh lainnya, PO2 yang lebih tinggi dalam
darah kapiler paru daripada dalam jaringan menyebabkan oksigen berdifusi ke dalam sel-
sel di sekitarnya.
Sebaliknya bila oksigen dimetabolisme dalam sel untuk membentuk karbon
dioksida, tekanan karbon dioksida (PCO2) intrasel meningkat ke nilai yang tinggi,
sehingga menyebabkan karbon dioksida berdifusi ke dalam kapiler jaringan. Setelah
darah mengalir ke paru, karbon dioksida berdifusi keluar dari darah masuk ke dalam
alveoli karena PCO2 dalam darah kapiler paru lebih besar daripada dalam alveoli.
Sehingga, pengangkutan oksigen dan karbon dioksida oleh darah bergantung pada difusi
keduanya dan aliran darah. 3
Difusi Oksigen dari Alveoli ke Darah Kapiler Paru
PO2 dari gas oksigen dalam alveolus rata-rata 104 mmHg, sedangkan PO2 darah
vena yang masuk ke kapiler paru pada ujung arterinya, rata-rata hanya 40 mmHg karena
sejumlah besar oksigen dikeluarkan dari darah ini setelah melalui jaringan perifer. Oleh
karena itu, perbedaan etkanan yang menyebabkan oksigen berdifsui ke dalam kapiler
paru adalah 64 mmHg. Sedangkan PO2 meningkat hampir sebanding dengan peningkatan
yang terjadi pada udara alveolus sewaktu darah melewati sepertiga panjang kapiler yang
menjadi hampir 104 mmHg. Perlu diingat juga bahwa selama kerja berat, tubuh manusia
membutuhkan 20 kali jumlah oksigen normal. 3
Difusi Oksigen dari Kapiler Perifer ke Cairan Interstisial
6
Bila darah arteri sampai ke jaringan perifer, PO2 kapiler masih 95 mmHg. PO2
dalam cairan interstisial yang mengelilingi sel jaringan rata-rata hanya 40 mmHg.
Dengan demikian, terdapat perbedaan tekanan awal yang sangat besar yang
menyebabkan oksigen berdifusi secara cepat dari darah kapiler ke dalam jaringan, begitu
cepatnya sehingga PO2 kapiler turun hampir sama dengan dalam interstisium yaitu 40
mmHg. Oleh karena itu, PO2 darah yang meninggalkan kapiler jaringan dan memasuki
vena sistemik juga kira-kira 40 mmHg. Sebagai kesimpulan, PO2 jaringan ditentukan
oleh keseimbangan antara kecepatan pengangkutan oksigen dalam darah ke jaringan dan
kecepatan pemakaian oksigen oleh jaringan. 3
Difusi Oksigen dari Kapiler Perifer ke Sel Jaringan
Oksigen selalu dipakai oleh sel Oleh karena itu, PO2 intrasel dalam jaringan
perifer tetap lebih rendah daripada PO2 dalam kapiler perifer. Juga, pada beberapa
keadaan, ada jarak fisik yang sangat besar antara kapiler dan sel. Oleh karena itu, PO2
intrasel normal berkisar dari 5 mmHg sampai 40 mmHg, dengan rata-rata 23 mmHg.
Karena pada keadaan normal hanya dibutuhkan tekanan oksigen sebesar 1 sampai 3
mmHg untuk mendukung sepenuhnya proses kimiawi dalam sel yang menggunakan
oksigen. 3
Transportasi Karbon Dioksida
Difusi Karbon Dioksida dari Sel Jaringan Perifer ke dalam
Kapiler Jaringan dan dari Kapiler Paru ke dalam Alveoli
Ketika oksigen dipakai oleh sel, sebenarnya seluruh oksigen ini menjadi karbon
dioksida, sehingga PCO2 intrasel meningkat karena PCO2 sel jaringan yang tinggi ini,
karbon dioksida berdifsui dari sel ke dalam kapiler jaringan dan kemudian dibawa oleh
darah ke paru. Di paru, karbon dioksida berdifusi dari kapiler paru ke dalam alveoli dan
7
kemudian akan dikeluarkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karbon dioksida
berdifusi dalam arah yang berlawanan dengan arah difusi oksigen. Tetapi, kemampuan
karbon dioksida dalam berdifusi kira-kira 20 kali lebih cepat dibandingan dengan
kemampuan difusi oksigen.
Tekanan-tekanan CO2 ini kurang lebih sebagai berikut :
1. PCO2 intrasel kira-kira 46 mmHg; PCO2 interstisial kira-kira 45 mmHg. Dengan
demikian hanya ada perbedaan tekanan 1 mmHg.
2. PCO2 darah arteri yang masuk ke jaringan, 40 mmHg; PCO2 darah vena yang
meninggalkan jaringan, 45 mmHg.
3. PCO2 yang masuk kapiler paru pada ujung arteri, 45 mmHg; PCO2 udara alveolus, 40
mmHg. Dengan demikian perbedaan tekanan yang dibutuhkan untuk menyebabkan difusi
karbon dioksida dari kapiler paru ke dalam alveoli hanya 5 mmHg.
Semua proses difusi karbon dioksida sama dengan difusi oksigen, hanya arahnya saja
yang berbeda. 3
Anamnesa dan Pemeriksaan
Anamnesa
Kita bisa mulai menanyakan seperti ini :
1. Volume dan frekuensi batuk darah menentukan kegawatannya dan hal tersebut dapat
mengarahkan ke suatu penyebab spesifik. Misal : 20-600 ml dalam 24 jam, biasanya
karena kanker paru, pneumonia, TB atau emboli paru.
2. Sumber paling umum berupa nasofaring (mimisan). Darah menetes ke faring,
mengiritasi laring dan dibatukkan. Pasien sering dapat menjabarkan rangkaian ini, maka
kesan pasien atau sumber perdarahan umumnya besar. Misalnya, ketika darah berasal
dari salah satu paru, maka pasien akan menunjukkan bagian paru tersebut dan dapat
merasakan seolah-olah darah berasal dari paru kanan atau kiri. Pastikan pasien bias
membedakan dibatukkan dengan dimuntahkan.
8
3. Riwayat penyakit sebelumnya yang dapat mempengaruhi perdarahan saluran napas
juga dicari.
4. Gejala lainnya yang berhubungan/terkait dapat membantu diagnosis : demam dan
batuk produktif mengisyaratkan penyakit infeksi, timbul tiba-tiba karena sesak dan sakit
di dada mengindikasikan kemungkinan emboli paru atau infark miokard yang disertai
dengan gagal jantung kongestif, kehilangan berat badan yang signifikan mengisyaratkan
kanker paru atau infeksi kronik speerti tuberkulosis atau bronkiektasis.1
Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda penting. Ketidakstabilan sirkulasi dengan tanda hipotensi dan
takikardia merupakan suatu tanda darurat. Sebabnya dapat berupa kehilangan darah yang
akut pada hemoptisis masif atau penyakit yang menyebabkan/menyertainya: emboli paru,
sepsis, infark miokard dengan edema paru.
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan pada pasien TB adalah pemeriksaan
pertama terhadap keadaan umum pasien yang mungkin ditemukan konjungtiva mata atau
kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (sub febris), badan kurus atau berat badan
menurun.
Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik.
Demikian juga bila sarang penyakit terletak didalam, akan sulit menemukan kelainan
fisik, karena hantaran atau getaran suara yang lebih dari 4 cm kedalam paru sulit dinilai
secara palpasi, perkusi, dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, TB paru
sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi pada TB paru yang paling di curigai adalah apex paru. Bila
dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan
auskultasi suara napas bronkial. Akan didapat juga suara napas tambahan berupa ronki
9
basah,kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
napasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi
memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi akan menimbulkan suara
amforik.
Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan
retraksi otot-otot intercostal. Bagian paru yang sakit bisa jadi sirosis atau menciut dan
menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat akan menjadi
lebihhiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah
jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya
meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya cor
pulmonal dan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia dan sianosis.
TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak
tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan
suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.1,2
Pemeriksaan Penunjang
Dalam penampilan yang klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru
dicurigai dengan kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin
yang positif.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan :
Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan
biaya lebih dibandingkan dengan biaya pemeriksaan sputum, tetapi dalam
beberapa hal, dia dapat mempunyai beberapa keuntungan seperti pada TB anak
dan TB milier. Lokasi lesi TB umumnya berada diapex paru, tetapi dapat juga
10
mengenai lobus bawah atau di daerah hilus yang dapat menyerupai tumor paru.
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia
gambaran berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak
tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan
dengan batas yang tegas. Lesi ini di kenal sebagai tuberkuloma. Gambaran lain
yang sering menyertai TB paru adalah penebalan pleura, massa cairan dibagian
bawah paru ( efusi pleura/empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dipakai adalah darah dan sputum. Pada
pemeriksaan darah, saat TBC baru mulai (aktif) maka leukosit sedikit meninggi,
sedangkan limfosit masih dibawah normal, dan LED sedikit meninggi. Bila
penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal, limfosit mulai meninggi
dan LED mulai kembali normal. Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai
adalah takahashi. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses TB masih aktif atau
tidak. Kriteria yang dipakai di Indonesia adalah 1/128. Pemeriksaan ini juga
kurang dapat perhatian karena nilai positif palsu dan negatife palsu masih besar.
Lain halnya dengan pemeriksaan darah, pemeriksaan sputum cukup penting
karena dengan pemeriksaan sputum, kita dapat melihat adanya kuman BTA jika
memang pasien menderita TB. Tetapi pemeriksaan sputum juga tidak mudah,
terutama pasien yang tidak batuk atau batuk non produktif. Biasanya pasien di
suruh minum air 2 liter dan diajarkan refleks batuk. Atau bisa juga diberikan
mukolitik ekspektorant.
Kriteria sputum BTA positif adalah sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang
kuman BTA pada satu sediaan. Untuk biakan di gunakan adalah LJ (Lowenstein
Jensen). Dapat juga di gunakan PCR.
Tes tuberkulin
11
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis TB terutama pada anak-anak. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah
seseorang individu pernah atau sedang mengalami infeksi Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis, vaksinasi BCG, dan mycobacteria patogen
lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi tipe lambat. Baik dengan penularan
kuman patogen baik yang virulen atau tidak tubuh manusia akan mengadakan
reaksi immunologi dengan dibentukknya antibodi selular pada permulaan dan
kemudian diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam peranannya
akan menekan antibodi selular. Bila pembentukkan antibodi selular sangat cukup
misalnya pada penularan dengan kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman
sangat besar atau keadaan dimana antibodi humoral sangat berkurang, maka akan
mudah terjadi penyakit sesudah penularan.
Biasanya hampir seluruh pasien TB menunjukkan hasil mantoux yang positif.
Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian vaksin BCG
dan infeksi dengan mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemui
daripada positif palsu.2
Diagnosis
Working Diagnosis
Berdasarkan skenario, working diagnosis nya adalah terduga pasien terkena tuberkulosis
paru. Tapi perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan diagnosis dan dibandingkan
dengan beberapa penyakit yang gejalanya menyerupai. Menurut WHO ada 2 kriteria
pasien tuberkulosis paru : pasien dengan sputum BTA positif dan pasien dengan sputum
BTA negatif. Pasien dengan sputum BTA negatif, tidak ditemukan BTA secara
mikroskopis dalam 2 x pemeriksaan, tetapi memiliki gambaran radiologis sesuai dengan
TB aktif atau pasien yang pada pemeriksaan mikroskopis tidak ditemukan BTA, tetapi
ketika dibiakkan akan menjadi positif BTA.2
Differential Diagnosis
12
Kanker Paru
Kanker paru-paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali dalam
jaringan paru. Prevalensi kanker paru di negara maju sangat tinggi, di USA tahun 2002
dilaporkan terdapat 169.400 kasus baru (merupakan 13% dari semua kanker baru yang
terdiagnosis) dengan 154.900 kematian (merupakan 28% dari seluruh kematian akibat
kanker. Di Indonesia menduduki peringkat 4 kanker terbanyak. Angka kematian akibat
kanker paru di seluruh dunia mencapai kurang lebih satu juta penduduk tiap tahunnya.
Sebagian besar kanker paru mengenai pria (65%) life time risk 1:13 dan pada perempuan
1:20. Kanker paru dibagi menjadi small cell lung cancer dan non small cell lung cancer
(squamous cell carcinoma, adenocarcinoma, bronkoalveolar carcinoma, large cell
carcinoma). Penyebab utamanya belum diketahui , kemungkinan karena paparan atau
inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik. Gambaran klinisnya dibagi
bagi menjadi :
a) Lokal (tumor tumbuh setempat) : batuk baru atau batuk yang lebih hebat dari batu
kronis, hemoptisis, mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran napas, kadang
terdapat kavitas, atelektasis.
b) Invasi lokal : nyeri dada, dispnea karena efusi pleura, invasi ke perikardium, sindrom
vena cava superior, sidrom horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis), suara serak, sindrom
Pancoast
c) Gejala penyakit metastasis : pada otak, tulang, hati dan adrenal, limfadenopati servikal
dan supraklavikula.
d) Sindrom paraneoplastik (10%) : penurunan berat badan, anoreksia, demam,
leukositosis, anemia, hiperkoagulasi, hipertrofi osteoartropati, dementia, ataksia, tremor,
neuropati perifer, neuromiopati, sekresi berlebihan hormor paratiroid, eritema multiform,
hiperkeratosis, jari tabuh, dan sebagainya.
e) Asimtomatik dengan kelainan radiologis : sering pada perokok dengan PPOK yang
terdeteksi secara radiologis, kelainan berupa nodul yang soliter.
13
Pemeriksaan yang dapat digunakan adalah foto rontgen dada secara postero anterior
dan lateral, CT scan, MRI. CT scan lebih sensitif bisa mendeteksi kelainan / nodul
dengan diameter miniaml 3 mm. MRI tidak rutin dikerjakan karena biayanya mahal.
Bone scanning juga dilakukan untuk dugaan metastasis ke tulang. Pemeriksaan
histopatologi adalah estándar emas diagnosis kanker paru, biopsi dapat dilakukan dengan
bronkoskopi, trans torakal biopsi, torakoskopi, mediastinoskopi dan torakotomi.
Pemeriksaan serologi belum ada pemeriksaan serologi penanda tumor yang spesifitas nya
tinggi, tetapi marker yang dipakai yaitu CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), NSE
(Neuron Specific Enolase), Cyfra-21-1.3
Pneumonia
Pneumonia adalah radang paru yang bisa disebabkan oleh kuman tipikal yaitu
Streptococcus pneumoniae dan atipikal seperti Mycoplasma pneumoniae. Penyakit
saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang tinggi di seluruh
dunia. Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas. Pneumonia
semakin sering dijumpai pada orang yang lanjut usia dan sering terjadi pada orang yang
menderita PPOK. Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit Diabetes Mellitus,
payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit saraf
kronik dan penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain yaitu kebiasaan merokok, pasca
infeksi virus, DM, keadaan imunodefisiensi, kelainan dan kelemahan struktur organ dada
serta penurunan kesadaran.
Pemeriksaan fisis seperti demam, sesak nafas dan tanda-tanda konsolidasi paru
(perkusis paru yang pekak, ronki nyaring dan suara pernapasan bronkial). Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan radiologis pola radiologis dapat
berupa pneumonia alveolar dengan gambaran air bronkhogram (airspace disease). Bentuk
lesinya berupa kavitasi dengan air-fluid level, juga bisa terdapat pembentukan kista.
Pemeriksaan laboratorium seperti biasanya terjadi leukositosis kalau infeksi oleh karena
bakteri, tetapi bisa juga terdapat leukopenia kalau terjadi depresi imunitas. Pemeriksaan
bakteriologis (sputum) dan dapat dilakukan pemeriksaan serologi (titer antibodi terhadap
virus, legionella dan mikoplasma). Gejala klinisnya tidak terlalu khas, terdapat demam,
14
sesak napas, dapat juga terjadi gangguan kesadaran karena hipoksia pada pasien
Pneumonia Nosokomial.5
Etiologi
Mycobacterium tuberculosis sebagai hasil tuberkel(’tubercle bacillus’) merupakan
salah satu dari sekitar tiga puluh genus Mycobacterium. Sebagian besar kuman
Mycobacterium tuberculosis menyerang paru-paru dan sebagian kecil mengenai organ
tubuh lain. Kuman TB ini ditandai dengan sifat tahan asam yang sangat tergantung pada
integritas selubung berlilin, oleh karena itulah kuman ini disebut sebagai basil tahan
asam(BTA). Mycobacterium tuberculosis panjangnya satu sampai 4 mikron, lebarnya 0,3
sampai 0,6 mikron. Kuman akan tumbuh optimal pada suhu 37 derajat Celsius dengan
tingkat pH optimal pada 6,4-7,0. Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak dan protein.
Secara eksperimental, populasi Mycobacterium tuberculosis di dalam lesi dapat
dikelompokkan menjadi 4 golongan yaitu :
1. Populasi A, terdiri atas kuman yang secara aktif berkembang biak dengan cepat.
Kuman ini banyak ditemukan pada dinding kavitas atau dalam lesi yang pHnya netral.
2. Populasi B, terdiri atas kuman yang tumbuhnya sangat lamban dan berada dalam
lingkungan pH yang rendah. Lingkungan asam inilah yang melindunginya terhadap obat
anti tuberkulosis tertentu.
3. Populasi C, terdiri atas kuman tuberkulosis yang berada dalam keadaan dormant
hampir sepanjang waktu, hanya kadang-kadang saja kuman ini mengadakan metabolisme
secara aktif dalam waktu singkat. Kuman jenis ini banyak terdapat dalam dinding kavitas.
4. Populasi D, terdiri atas kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat dormant sehingga
sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat-obat anti tuberkulosis. Jumlah populasi ini
tidak jelas dan hanya dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh manusia itu
sendiri.9,10
Patofisiologi
Tuberkulosis primer, penularan tuberkulosis paru terjadi karena ada kuman yang
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara di sekitar kita.
Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada
15
tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana yang
lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel
infeksi ini dihisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan
paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel kurang dari 5 mikrometer.
Kuman akan dihadapkan pertama kali dengan neutrofil, kemudian oleh makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru dan berkembang biang. DI sini ia dapat
terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Perlu diketahui bahwa kuman berkembang biak
di dalam sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan membentuk
sarang tuberkulosis pneumonia kecil yang disebut sarang primer atau sarang Ghon.
Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke
pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui sistem
gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi limfadenopati regional
kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke semua organ termasuk paru,
otak, ginjal dan tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi menjalaran ke
seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis
regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional disebut kompleks
primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini
dapat berlanjut menjadi :
a) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang paling sering terjadi.
b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di
hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya lebih dari 5 milimeter dan
10 persen di antaranya dapat terjadi reaktivasi karena ada kuman yang dormant.
c) Berkomplikasi dan menyebar secara perkontinuitatum (menyebar ke sekitarnya),
menyebar secara bronkogen para paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya.
Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus dan
menyebar secara limfogen ke organ tubuh lainnya, dan dapat juga menyebar secara
hematogen.
16
Tuberkulosis pasca primer / tuberkulosis sekunder, kuman yang dormant pada
tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen
menjadi tuberkulosis dewasa. Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder
terjadi karena imunitas yang menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna,
diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini
yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior).
Invasinya adalah ke darerah parenkim paru bukan ke nodul hilus paru lagi.
Sarang dini ini mula-mula berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
Histiosit dan sel Datia-Langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit serta berbagai
ajringan ikat. TB pasca primer dapat terjadi atau berasal dari infeksi eksogen dari usia
muda dan menjadi TB usia tua, tergantung dari jumlah kuman dan virulensi serta
imunitas pasien. Sarang dini dapat menjadi : a) direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa
meninggalkan cacat. b) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh
dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada juga yang membungkus diri dan mengeras ada
juga yang menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma
berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar
maka akan terjadi kavitas. Di sini lesi sangat kecil tetapi berisi bakteri sangat banyak,
kavitas dapat :
a) meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kavitas ini masuk
ke dalam peredaran darah arteri, maka akan menjadi TB milier dan dapat juga masuk ke
paru sebelahnya atau tertelan masuk ke lambung menjadi TB usus. Bila juga terjadi TB
endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila ruptur ke pleura.
b) memadat dan membungkus diri menjadi tuberkuloma
c) bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity.2
Epidemiologi
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB
masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO
mendekarasikan TB sebagai global health emergency. TB dianggap sebagai masalah
17
kesehatan dunia yang penting karena kurang lebih 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh
mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat diseluruh
dunia. Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi dinegara-
negara yang sedang berkembang. Di antara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu
20-49 tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65%
dari kasus- kasus TB yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia. Alasan utama
munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabkan oleh
kemiskinan pada penduduk, adanya perubahan demografik dengan meningkatnya
penduduk dunia dan perubahan dari struktur usia manusia yang hidup, perlundungan
kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang rentan terutama
dinegeri- negeri miskin, tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para
dokter, terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, dan adanya epidemi HIV terutama di
Afrika dan Asia.
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke 3 tertinggi di dunia setelah
China dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India dan Indonesia berturut
turut 1.828.000, 1.414.00, dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTA di sputum yang
positif di Indonesia adalah 266.000 kasus pada tahun 1998. Berdasarkan survei kesehatan
rumah tangga 1985 dan survei kesehatan nasional 2001, TB menempati ranking nomor 3
sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Sampai sekarang angka kejadian TB di
Indonesia relatif terlepas dari angka pandemi infeksi HIV karena masih relatif rendahnya
infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah dimasa datang melihat semakin
meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ketahun. 2
Gejala Klinis
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkuloasis dapat bermacam- macam atau malah
banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan
kesehatan. Keluhan terbanyak adalah demam, batuk darah, sesak napas, nyeri dada, dan
malaise. Biasanya subfenril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang- kadang panas
badan dapat mencapai 40-41 derajat. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar,
tetapi kemudian dapat timbul kmebali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam
influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam
18
influenza. Keadaan ini sangant dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat
ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. Kedua adalah gejala batuk/ batuk
darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus.
Batuk ini diperlukan untuk membuang produk- produk radang keluar. Karena terlibatnua
bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saha batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu- minggu atau berbulan-bulan
peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif. Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi
pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
Ketiga adalah sesak napas. Pada penyakit yang ringan atau baru tumbuh belum
dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,
yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru- paru. Keempat adalah nyeri dada.
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai
ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik/ melepaskan napasnya. Lalu yang kelima adalah malaise. Penyakit tuberkulosis
bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak
ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri
otot, keringat malam dan lain-lainnya. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan
terjadi hilang timbul secara tidak teratur. 2
Penatalaksanaan
Terapi standar terdiri dari empat obat yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan
etambutol yang diberikan selama 2 bulan diikuti dengan rifampisin dan isoniazid selama
4 bulan. Terapi ini direkomendasikan utnuk semua pasien dengan tuberkulosis paru dan
ekstraparu dengan onset baru dan tanpa komplikasi. Obat harus diberikan dalam dosis
tunggal sebelum makan pagi. Preparat obat kombinasi (termasuk rifampisin dan isoniazid
dengan atau tanpa pirazinamid) mengurangi muatan obat dan memungkinkan skrining
yang relatif sederhana untuk ketaatan minum obat karena urin dapat dinilai secara visual
dengan warna jingga- merah muda. Streptomisin saat ini jarang digunakan di Inggris
19
namun merupakan komponen penting dari regimen pengobatan jangka pendek di negara
berkembang. Pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya, empat obat harus
digunakan sampai didapatkan hasil sensitivitas. Di Inggris, resistensi obat pada pasien
yang baru didiagnosis jarang terjadi (<5%) dan lebih sering minoritas. Pasien harus diberi
pengobatan selama 9-12 bulan bila terdapat penyakit meningeal, bila terdapat koinfeksi
HIV, atau bila terjadi intoleransi obat dan obat diganti dengan lini kedua. Kortikosteroid
berperan dalam perikarditis, penyakit pleura, dan meningitis, dan mungkin pada penyakit
paru berat. Pembedahan kadang- kadang tetap dibutuhkan.11
Strategi DOTS, terdiri dari lima komponen, yaitu :
1. Komitmen bersama untuk mengobati TB(Tuberkulosis).
Komitmen berarti keterikatan untuk melakukan sesuatu. Dalam menjalankan strategi
DOTS, komitmen merupakan komponen yang pertaam. Komitmen yang dimaksud adalah
komitmen dari seluruh pelaksana DOTS.
2. Diagnosis TB dimulai dari pemeriksaan sputum secara mikroskopis langsung.
Sebagian besar dokter membutuhkan sarana rontgen sebagai sumber untuk menegakkan
diagnosis TB, malahan dianggap sebagai sarana diagnosis yang utama. Padahal secara
etiologis, diagnosis TB dengan sputum memiliki tingkat kepercayaan ang jauh lebih
tinggi.
3. Pengawasan menelan obat(PMO).
Permasalahan utama dalam program eliminasi TB yaitu ketidakpatuhan penderita untuk
minum obat. DOTS pada prinsipnya menekankan upaya mengawasi secara langsung
penderita menelan obat setiap harinya oleh DOT atau pengawasan menelan obat(PMO).
4. Jaminan kelangsungan penyediaan obat.
Panduan obat yang efektif merupakan elemen pokok dari strategi DOTS yang dapat
menjamin kesembuhan penderita TB.
20
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku dalam memantau dan mengukur hasil pengobatan
TB.
Faktor-faktor yang mempengaruhi termasuk : jenis kelamin,sikap dan dukungan
pengawas penelan obat(PMO).
Maka itu harus dilakukan penyuluhan agar para pasien mengerti apa pentingnya
pengobatan, lalu bisa patuh pada pengobatan dan akhirnya sembuh dari tuberkulosis.
Dengan pemantauan dan evaluasi yang baik dalam hal deteksi kasus akan meningkatkan
tingkat kesembuhan penderita.12
Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas dua komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
Komplikasi dini meliputi pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, poncet's
arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut meliputi obstruksi jalan napas, kerusakan
parenkim berat, karsinoma paru, amiloidosis, dan sindrom gagal napas dewasa. Ada
beberapa komplikasi dari TB. Pertama, TB dapat menyebabkan limfadenitis. Lokasi
tersering penyakit ekstraparu dan dapat timbul dari infeksi primer, penyebaran dari lokasi
jauh, atau reaktivasi infeksi. Kelenjar sevikal dan mediastinum paling sering terkena dan
diikuti oleh aksila dan inguinal. Gangguan konstitusional dan bukti tuberkulosis terkait
biasanya sedikit. Kelenjar getah bening biasanya tidak nyeri dan pada awalnya dapat
digerakan namun menjadi terfiksasi sejalan dengan waktu. Saat terjadi perkijuan dan
pencairan, pembengkakan menjadi berfluktuasi dan dapat mengeluarkan sekret melalui
kulit dengan pembentukan abses collarstud dan pembentukan sinus. Lalu TB juga dapat
menyebabkan penyakit gastrointestinal. Tuberkulosis dapat mengenai semua bagian usus
dan pasien dapat mengalami berbagai variasi gejala dan tanda. Penyakit ileosekal
menyebabkan separuh kasus tuberkulosis abdominal. Demam, keringat malam, anoreksia,
dan penurunan berat badan biasanya jelas terjadi dan massa fosa iliaka kanan dapat
teraba. Peritonitis tuberkuloasis berhubungan dengan demam, nyeri, dan distensi perut.
Asites eksudatif sering terjadi atau mungkin terdapat massa omentum yang memadat dan
lingkaran usus yang teraba. Disfungsi hepatik derajat rendah sering ditemukan pada
21
tuberkulosis milier dan kriptik, yang sering bermanifestasi sebagai demam yang tidak
diketahui penyebabnya, saat biopsi menunjukkan granulomata. Kadang- kadang dapat
timbul ikterik dengan gambaran campuran hepatik/ kolestatik.
Terdapat juga komplikasi berupa penyakit perikardial. Penyakit terjadi dalam dua
bentuk yaitu efusi perikardial dan perikarditis konstriktif. Demam dan keringat malam
jarang terjadi dan manifestasinya bersifat perlahan dengan sesak napas dan
pembengkakan abdomen. Pulsus paradokus, tekanan vena jugularis yang sangat
meningkat, hepatosplenomegali, asites masif, dan tidak adanya edema perifer umum
terjadi pada kedua bentuk tersebut. Efusi perikardial berkaitan dengan bunyi pekak yang
meningkat pada daerah perikardial dan pembesaran jantung berbentuk globular pada
rontgen toraks. TB juga dapat menyebabkan penyakit sistem saraf pusat. Hingga saat ini
bentuk paling penting dari tuberkulosis sistem saraf pusat adalah penyakit meningeal.
Penyakit ini dapat menyebabkan komplikasi pada tiberkulosis primer. Tuberkulosis juga
dapat menyerang tulang dan sendi. Semua tulang dan sendi dapat terinfeksi namun yang
paling sering adalah tulang belakang dan panggul. Tuberkulosis tulang belakang biasanya
timbul dengan gejala nyeri punggung kronik dan biasanya mengenai tulang belakang
torakal bagian bawah dan lumbal.11
Pencegahan
Perlindungan terbaik melawan tuberkulosis adalah diagnosis dan pengobatan yang
efisien untuk orang dengan infeksi aktif. Orang yang berkontak erat dengan pasien
penyakit paru harus mendapat peninjauan status klinis dan status BCG nya, menjalani tes
kulit tuberkulin dan memerlukan penilaian secara radiologis. Tujuan penelusuran kontak
adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan kasus dengan penyakit klinis, kasus lain
yang terinfeksi oleh pasien yang sama, dan orang yang berkontak erat harus mendapatkan
BCG. Tes kulit tuberkulin intradermal biasanya dilakukan dengan menggunakan teknik
Mantoux. Responsnya dibagi dalam kelompok berdasarkan derajat indurasi. Uji ini
digunakan untuk menilai apakah seseorang telah mendapatkan Mycobacterium
tuberculosis setelah pajanan dan berguna pada pasien yang tidak diimunisasi dengan
BCG. Uji ini juga digunakan sebagai praimunisasi BCG untuk menilai apakah seseorang
telah mengalami tuberkulosis primer subklinis sebelumnya. Interpretasi menjadi lebih
22
sulit pada orang yang divaksinasi BCG karena memang diharapkan ada reaksi positif
ringan.
Kemoprofilaksis diberikan untuk mencegah infeksi yang berlanjut menjadi
penyakit klinis. Kemoprofilaksis direkomendasikan untuk anak berusia <16 tahun dengan
tes Heaf positif kuat, untuk anak berusia <2 tahun yang mengalami kontak erat dengan
penyakit paru apusan positif, untuk pasien yang konversi tuberkulin terbarunya telah
dikonfirmasi, dan untuk bayi dari ibu dengan tuberkulosis paru. BCG juga digunakan
pada beberapa negara sebagai tindakan perlindungan untuk infeksi mikobakterium.
Vaksinasi ini memberikan kira- kira 80% perlindungan selama 10-15 tahun dan
merupakan yang paling baik untuk mencegah penyakit diseminata pada anak. Tetapi ada
komplikasi yang mungkin dapat ditimbulkan dari suntikan BCG. Komplikasi yang
kadang- kadang terjadi adalah abses BCG lokal, dan infeksi BCG diseminata pada pasien
immunocompromised.
Beberapa langkah-langkah untuk mencegah kuman tuberkulosis :
- Hindari kerumunan orang banyak yang terlalu padat
- Tingkatkan ventilasi di rumah,
- Ajaklah agar setiap orang berpendapat bahwa meludah adalah kebiasaan yang buruk,
karena meludah dapat menyebarkan penyakit.
- Memiliki gizi yang baik
- Mengurangi konsumsi tembakau.
- Mengurangi konsumsi alkohol.
- Vaksin BCG.11,13
Prognosis
Dengan terapi jangka pendek yang menggunakan empat obat lini pertama,
diharapkan dapat terjadi kesembuhan. Kadang- kadang pasien meninggal akibat infeksi
berat dan beberapa pasien mengalami komplikasi lanjut tuberkulosis. Pada tuberkulosis
terkait HIV, mortalitasnya meningkat, namun terutama disebabkan oleh infeksi bakteri
yang bertumpang tindih.11
23
Kesimpulan
Tuberkulosis memang masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia
maka itu diperlukan bukan hanya pemeriksaan rontgen pada pasien tapi dilakukan
pemeriksaan pada dahak/sputum pasien. Walaupun demikian, tidak semua pasien yang
sudah dideteksi TB dan sudah berobat bisa sembuh dikarenakan ada faktor
ketidakpatuhan pasien. Misal : Tidak mau minum obat secara rutin. Tingkat
keberhasilan/kepatuhan pengobatan pada pasien penderita TB juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu : jenis kelamin, sikap dan dukungan dari PMO(Pengawas Menelan
Obat).
Maka itu, kalau Anda atau teman Anda mengalami batuk lebih dari 3 minggu,
mengeluarkan dahak bercampur darah, suka nyeri di dada, dan berat badan turun. Dengan
segera carilah pelayanan kesehatan profesional yang membasiskan pelayanannya
berdasarkan DOTS(Directly Observed Treatment Short-course) yang mempunyai
komponen-komponen pengobatan yang baik dan terbukti efektif. DOTS terbukti
mempunyai tingkat keberhasilan yang sangat tinggi sampai melebihi 85%.
Daftar Pustaka
1. Amin Z. Manifestasi klinik dan pendekatan pada pasien dengan kelainan sistem
pernapasan. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing; 2010. h. 2192-4.
2. Amin Z dan Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5.
Jilid III. Jakarta: Interna Publishing; 2010. h. 2231-9.
3. Amin Z. Kanker paru. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing; 2010. h. 2254-9..
24
4. Rasyid A. Abses paru. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing; 2010. h. 2323-5.
5. Dahlan Z. Pneumonia. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing; 2010. h. 2196-2200.
6. Suryo J. Herbal penyembuh gangguan sistem pernapasan. Yogyakarta: Penerbit B
First; 2010.
7. Rahmatulla P. Bronkiektasis. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid III.
Jakarta: Interna Publishing; 2010. h. 2297-2301.
8. Rahmatullah P. Tromboemboli paru. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid III.
Jakarta: Interna Publishing; 2010. h. 2305-9.
9. Aditama TY. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya. Jakarta: Penerbit
Ikatan Dokter Indonesia; 2005. h.16.
10. Idris F. Manajemen public private mix: penanggulangan tuberkulosis strategi dots
dokter praktik swasta. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia; 2004.h.1-
29.
11. Mandal, Wilkins, Dunbar, White M. Lecture notes: penyakit infeksi. Jakarta:
Penerbit Erlangga; 2008.
12. Asanni J. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita
tuberkulosis paru dalam menyelesaikan pengobatan di puskesmas kecamatan
Brebes kabupaten Brebes tahun 2005. 2006. Diunduh dari
http://eprints.undip.ac.id/4759/1/2865.pdf., 3 Juli 2012.
13. Crofton J, Horne N, Miller F. Tuberkulosis klinis. Jakarta: Penerbit Widya
Medika; 2003. h.11-22.
25
top related