makalah pai.docx
Post on 26-Oct-2015
67 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
MAKALAH
Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam
Diajukan untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam
Oleh :
NUNI NURJANAH
10060310133
Kelas :
Farmasi D
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sekarang ini banyak yang perempuan menjadi pemimpin. Baik di organisasi terkecil
seperti himpunan mahasiswa sampai pemimpin di suatu negara. Hal ini tidak bisa diterima
oleh semua kelompok sehingga menimbulkan banyak kontroversi. Sebagian kelompok
mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan itu dibolehkan. Mereka beralasan dengan
bahwa sekarang jaman moderenisasi yang mengedepankan emansipasi wanita. Namun
sebagian lain mengatakan bahwa Isalam tidak memperbolehkan perempuan memimpin
Dengan alasan tidak ada pemimpin perempuan dalam Islam. Untuk menanggapi kontroversi
tersebut maka saya akan mengkaji masalah tersebut dengan dalil-dalil yang shahih, sehingga
kita akan mengetahui kebenaran dalam masalah ini.
Sehingga kita tidak terbawa ajaran yahudi karena pertama kali yang menjadikan
perempuan sebagia pemimpin adalah bangsa yahudi. Sebuah hadist mengatakan bila sebuah
kaum menyerupai kaum tertentu. Maka kaum tersebut merupakan kaum yg diserupainya.
Kita sebagai orang Islam tentu tidak boleh menyerupai atau mengikuti kaum yahudi. Karena
kita akan disebut kaum yahudi pula, Maka sangat penting untuk kita mengkaji masalah ini
menurut padangan Islam.
1.2. Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini memiliki beberapa tujuan, yaitu :
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan agama Islam
2. Untuk mengetahui kepemimpinan perempuan dalam Islam.
3. Untuk mengetahui kepemimpinan perempuan dalam moderenisasi.
4. Untuk mengetahui boleh tidaknya kepemimpinan perempuan dalam Islam.
BAB II
ISI
2.1. Pendahuluan
Menurut mayoritas pemikir politik islam, seperti al-Mawardi dalam kitabnya, “al-Ahkâm
al-Shulthâniyyah”, menegaskan bahwa pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian social
dalam suatu Negara atau daerah adalah wajib hukumnya, baik menurut akal maupun syara’.
Menurut akal, tidak mungkin ada suatu Negara atau daerah tanpa pemerintahan yang dipimpin
oleh kepala Negara atau daerah. Sebab, jika demikian, maka masyarakat akan hidup tanpa ada
pihak yang mencegah terjadinya kedhaliman dan tidak ada yang akan menyelesaikan
perselisihan dan persengketaan (tanâzu’ wa takhâshum). Sedangkan menurut syara’, kepala
Negara atau daerah diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan, juga masalah
keagamaan. Sedangkan untuk membentuk atau melestarikan pemerintahan yang sah,
membutuhkan proses pemilihan dan suksesi.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam proses penggantian kepemimpinan. Pada
zaman primitive, proses perebutan kekuasaan ditempuh dengan cara perang fisik dan adu otot.
Sehingga, untuk merebut kekuasaan, haruslah jago berperang dan pandai bertempur. Namun
pada era modern, masyarakat lebih memilih metode pemilihan umum sebagai alternative yang
paling rasional dan aman dalam perebutan kekuasaan.
Pada prinsipnya, pemilu adalah cermin dari kedaulatan rakyat, untuk memilih orang
terpercaya untuk menjadi pemimpinnya. Pemilu merupakan suatu keharusan, demi
berlangsungnya pemerintahan untuk mengatur urusan rakyat. Dalam Negara yang demokratis,
masih meyakini bahwa pemilu adalah pesta rakyat yang paling aman dan lebih menjamin
keadilan untuk proses suksesi kepemimpinan dalam suatu Negara atau daerah. Negara atau
daerah adalah instrument kemasyarakatan, sedangkan pemilu adalah instrument kenegaraan,
dimana tanpa pemilu, suatu Negara atau daerah akan mengalami stagnan. Oleh karenanya,
pemilu menjadi suatu keniscayaan. Pemikiran semacam ini, sejalan dengan kaidah fiqhiyyah ;
ف�ه�و� �ه�، ب �ال إ �و�اج�ب� ال �م� �ت ي � ال م�ا
و�اج�ب�
“Sesuatu yang menjadi instrument yang wajib, dimana kewajiban tersebut tidak dapat dilakukan
tanpanya, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya”
Organisasi yang disebut Negara, di Negara modern ini masih diyakini sebagai suatu
keharusan (baca:wajib), sedangkan pemilu adalah instrumennya. Maka, pemilu menjadi suatu
keharusan pula (baca:wajib).
Dalam pemilu, yang memiliki hak suara adalah rakyat. Rakyat berhak untuk menentukan
pilihan kepada salah satu calon pemimpin, sesuai dengan “getaran” nuraninya. Bahkan, rakyat
juga berhak untuk tidak menyalurkan aspirasinya (golput) kepada siapapun. Sebab, golput juga
merupakan suatu pilihan. Pilihan untuk golput, bisa jadi Karena factor proses pemilu yang tidak
dapat dipercaya, atau karena sudah tidak lagi mempercayai produknya yang akan mewakili dan
memimpinnya Akan tetapi, siapapun tidak berhak untuk memaksa rakyat untuk menyalurkan
aspirasinya kepada calon tertentu. Sebab, secara secara undang-undang dan etika politik, tak
seorangpun berwenang untuk memaksanya.
Pemilu, akan menjadi “hajat orang banyak” jika dapat mencerminkan kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, memberikan suara kepada salah satu calon pemimpin bukanlah sebuah
kewajiban secara personal (fardl ‘ain) menurut islam, namun sebatas kewajiban secara komunal
(fardl kifâyah). Akan tetapi, disaat ini, ketika kita telah larut dalam permainan politik dan kurang
memihak terhadap kepentingan rakyat, sementara diyakini ada salah satu calon pemimpin yang
dipercaya dapat menjadi pemimpin dan membawa perubahan ke arah “pro rakyat”, maka
partisipasi politik dan memberikan suara pada saat pemungutan suara menjadi sebuah kewajiban
secara personal (fardl ‘ain).
2.2. Mengok Sejarah Kepemimpinan Perempuan
Berbicara mengenai sejarah berarti berupaya untuk membuka kembali peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam kancah kehidupan umat manusia dan berusaha menghadirkan kembali
informasi-informasi masa lampau sehingga terasa segar di masa sekarang. Sejarah membantu
kita untuk mendapatkan informasi kehidupan yang telah lampau. Sejarah memiliki dua mata
pedang. Sejarah bisa bernilai positif, akan tetapi tidak jarang pula bernilai negatif, tergantung
bagaimana manusia memposisikan sejarah itu sendiri.
Berkenaan dengan pemimpin wanita yang saat ini tengah menjadi isu sentral di negeri ini,
banyak yang memberikan analisa keabsahannya dengan menampilkan pendekatan sejarah
(historic approuch). Salah satunya adalah pendapat Nasaruddin Umar-pemerhati masalah agama
dan gender-Pembantu Rektor IAIN Jakarta. Tokoh ini menilai bahwa sampai detik ini wacana
konseptual kepemimpinan wanita belum pernah tuntas dalam lintasan sejarah dunia Islam.
Dalam hal ini kita perlu melihat kembali pemahaman fakta sejarah yang coba dikedepankan para
tokoh, dimana fakta sejarah ini sering dijadikan sebagai legitimasi terhadap fakta senada yang
terjadi kemudian. Ada satu hal yang harus kita sepakati bahwa sejarah adalah suatu
fakta/kenyataan yang pernah terlahir dalam kancah kehidupan manusia. Jadi dengan kata lain
sejarah hanyalah sebatas fakta, dan fakta bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan rujukan karena
fakta/kenyataan tidaklah selalu bernilai benar. Fakta adalah sesuatu yang harus dihukumi dan
bukan menjadi sumber hukum. Bagaimanapun juga fakta sangat mungkin mengandung
kesalahan/penyimpangan, sehingga mau tidak mau kita harus memposisikan sejarah sebatas
sebagai gambaran apakah kenyataan pada saat itu sesuai dengan aturan ataukah tidak. Bahkan
pelurusan terhadap pemahaman fakta yang salah terhadap sepenggal kisah dalam lintasan sejarah
hanyalah untuk menggambarkan secara obyektif kenyataan yang sesungguhnya terjadi untuk
kemudian bisa dikatakan kenyataan tadi sesuai atau tidak dengan hukum Islam.
Sebagai contoh dalam hal kepemimpinan wanita, Ratu Balqis digambarkan dalam Al
Qur’an sebagai penguasa wanita yang memiliki kerajaan ‘super power’ telah tercatat dalam
lintasan sejarah. Akan tetapi kekuasaan tersebut tidak dibenarkan eksistensinya. Ini terbukti
bahwa pada saat itu Nabi Sulaiman dimunculkan sebagai tokoh yang dibebani kewajiban untuk
menyeru Ratu Balqis dan seluruh penduduk di negeri Saba’ (negeri dimana Ratu balqis
berkuasa) agar tunduk pada ajaran tauhid yang dibawa Sulaiman (QS : An Naml : 29). Untuk
membendung kekuatan Ratu Balqis Nabi Sulaiman terpaksa harus berkoalisi dengan jin dan
burung (QS : An Naml : 17) hingga akhirnya kemenangan ada di pihak Nabi Sulaiman. Ratu
Balqis diperistri dan kekuasaan/kepemimpinan negara dipegang oleh Sulaiman (QS : An Naml :
44).
Demikian juga fakta kepemimpinan Sajaratud- Durr -putri keturunan Salahuddin-
bukanlah preferensi historis dalam Islam menyangkut peran wanita sebagai kepala negara.
Kondisi yang melingkupi pengangkatan Sajaratud-Durr dari dinasti Mamalik ini adalah karena
kenyataan pada saat itu dimana keturunan Salahuddin yang akhir tidak ada laki-laki.
Meninggalnya Malikus Shalih ketika baru tiga bulan berkuasa, segera menuntut pengganti.
Karena tidak ada laki-laki maka kekuasaan dilimpahkan kepada putri Sajaratud-Durr. Akhirnya
kekuasaan dipegang oleh Izzudin Aibek Al-Jasyamkir yang kemudian menikahinya, karena pada
saat itu ulama-ulama menilai ketidakbolehan bagi wanita untuk memimpin negara.
Tidak jauh berbeda adalah kondisi para Sulthanah yang pernah berkuasa di Kerajaan
Aceh, baik Sulthanah Khadijah, Sulthanah Maryam maupun Sulthanah Fatimah. Naiknya para
Sulthanah ini ke singgasana penguasa segera mendapat protes keras dari ulama-ulama Mekkah
pada saat itu karena dinilai sebagai sebuah penyimpangan terhadap konsep kepemimpinan
menurut hukum Islam.
Dengan demikian jelaslah bahwa baik Ratu Balqis, Putri Sajaratud-Durr maupun para
Sulthanah Aceh itu bukanlah merupakan simbol kepemimpinan yang dibenarkan oleh Islam.
Naiknya tokoh-tokoh wanita tersebut di atas kursi kekuasaan bukan karena kehendak untuk
mengikuti aturan Islam dalam konsep kepemimpinan, tetapi lebih karena keterbatasan kondisi
pada saat itu. Di dalam Islam hal semacam ini dipandang sebagai sebuah penyimpangan terhadap
hukum Allah.
2.3. Hak Perempuan Untuk Menduduki Kekuasaan
Rasulullah saw, ketika mendengar kaum Persi dipimpin oleh seorang wanita, yakni putra
raja Kisra yang bernama Bûran, beliau berkata,
�ة� ع�ن� �ن اب �وا ك م�ل ا ف�ار�س �ن أ م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل ه� الل ص�لى �ي ب الن ق�ال�� ة� �ر� �ك ب �ي ب� أ
�ة أ ام�ر� ه�م� م�ر�� أ و�ا و�ل ق�و�م� �ح� �ف�ل ي �ن� ل ق�ال� ى ر� ك�س�
Artinya: Dari Abi Bakrah berkata bahwa Nabi Saw bersabda tentang negeri Persia yang
dipimpin oleh putri Kisra, beliau bersabda: “Tidak beruntung suatu kaum yang urusannya
diserahkan kepada wanita”(HR. Bukhari)
Hadis tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada
seorang wanita, tidak akan memdapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan
dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan
bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara.
Ketentuan semacam ni, menurut al-Qâdli Abû bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para
ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah,
keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini,
dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini,
apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi
pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi
pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang
membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang
seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam
urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam
urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya
diperbolehkan.
Ibn Jarîr al-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan ini.
Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam semua
hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal,
Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa,
sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;
“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi-
nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin,
entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali
hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-
imamah al-kubra)
2.4. Kepemimpinan Perempuan Sebagai Kepala Negara
Dalam pembahasan ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi
kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai
pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah sistem pemerintahan.
Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan terpisah, sehingga jika
dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden, bukan otomatis dipahami bahwa
kalau laki-laki dibolehkan. Dalam sistem pemerintahan sekuler sekarang ini, baik laki-laki
maupun perempuan, adalah tidak dibenarkan menjadi presiden, sebab sistem pemerintahan
dalam Islam adalah Khilafah, bukan republik, kerajaan, atau sistem pemerintahan sekuler
lainnya.
a. Sistem Pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan Republik
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan,
federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali
seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah
aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah… (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).
Ijma Shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam
adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah Islamiyyah,
bukanlah sistem pemerintahan Islam. Haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun
terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Semisal menjadi presiden, kaisar, ataupun raja.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menggugurkan pendapat bolehnya wanita menjadi
presiden. Bahkan bukan hanya wanita saja, laki-laki pun haram menjadi presiden, raja, ataupun
kaisar. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah
saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan
dengan Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di
tengah hari!. Perdebatan yang berlarut-larut tentang absah atau tidaknya Megawati memegang
tampuk kepresidenan, sebenarnya merupakan perdebatan tak bermutu; disamping akan
melupakan persoalan dasarnya; yakni sah atau tidaknya-menurut Islamsistem kenegaraan yang
melingkupinya. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem republik, keterlibatan kaum
muslimin dalam sistem ini -dalam hal kekuasaan, dan penetapan policy-adalah haram. Walhasil,
jangankan Megawati, Gus Dur yang konon kyai haji pun haram menjadi presiden.
b. Islam Mengharamkan Kepemimpinan Perempuan Dalam Negara
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Jadi
masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah masalah khilafiyah. Imam
Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’ li Ahkam Al-Quran, Juz I. hal. 270,
menyatakan bahwa :
“Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita
tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita menjadi
qadhi berdasarkan diterimanya kesaksian wanita dalam pengadilan”.
Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk
kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw:
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”.
(HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra)
Hadits ini dari segi riwayah tidak seorang pun pakar hadits yang mempersoalkan
kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna); dalalah hadits ini menunjukkan
dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara. Meski dalam bentuk ikhbar
-dilihat dari sighatnya- hadits ini tidak otomatis menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter
yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khithab berhukum wajib, sunnah, mubah,
makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasi), bukan sighatnya (bentuk kalimatnya).
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang
menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini
merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata
“qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya kata
qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi
hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung
masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumun”. Selain itu, tidak
ada satupun riwayat yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah, Al-’aam
yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish” (Lafadz umum tetap dalam keumumannya
selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya). Sedangkan latar belakang (sababul wurud)
turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya).
Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil
syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi di
atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh karena itu latar belakang
atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang
masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khususi as-sabab,” (pengertian
diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab).
Adapun hukum yang terkandung di dalamnya pembahasannya sebagai berikut. Meski,
hadits ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun di dalam lafadz hadits itu ada qarinah
yang menunjukkan keharamannya secara pasti.. Pertama, harf lan (harf nahy li al-mustaqbal au li
al-ta’bid), huruf larangan untuk masa mendatang jadi maksudnya adalah tidak akan pernah, dan
untuk selamanya. Kedua, huruf lan ini dihubungkan dengan yufliha (beruntung), lafadz ini
menunjukkan adanya dzam (celaan) dari Rasulullah SAW.
Menjawab Beberapa Keraguan
1. Memang ada sementara kalangan, misalnya Fatima Mernissi seorang feminis muslim, yang
meragukan keabsahan hadits tersebut. Kendati shahih, mereka meragukan kredibilitas perawi
hadits ini, yakni shahabat Abu Bakrah, sebagai orang yang kesaksiannya diragukan lantaran
didakwa pernah melakukan tuduhan palsu dalam kasus perzinahan di masa khalifah Umar
bin Khattab. Tuduhan ini ternyata tidak terbukti. Kitab Tahdzibu al-Kamal fi Asma`i al-Rijal,
juga Thabaqat Ibnu Saad dengan tegas menyebut bahwa shahabat Abu Bakrah adalah
shahabat yang alim dan perawi yang terpercaya (tsiqah).
2. Kemudian ada lagi yang mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas wanita secara
mutlak hanya ada dalam konteks rumah tangga. Memang ayat 34 dari surah Annisa,
menyebutkan bahwa para lelaki menjadi pemimpin atas perempuan. Bila ayat ini
dimaksudkan sebagai petunjuk tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah
tangga, maka dengan mafhum muwafaqah, dalam urusan yang lebih besar, yakni urusan
negara, lelaki tentu lebih wajib lagi menjadi pemimpin.
Imam Az Zamakhsyari dalam tafsir Al Kasysyaf menyebutkan mengenai tafsir surat An
Nisaa ayat 34 tersebut, “yaquumuuna alaihinna aamiriina naahiina kamaa yaqumu al wulaatu
‘ala ar ra’aaya .” (Kaum laki-laki berfungsi terhadap isteri-isteri mereka sebagai yang
memerintah dan melarang, seperti halnya pemimpin (wali) berfungsi seperti itu terhadap
rakyatnya.)”
3. Argumentasi yang mengatakan bahwa syarat wajibnya pemimpin dari kaum lelaki hanyalah
untuk negara Islam (Khilafah Islamiyah), oleh karena Indonesia bukan negara Islam syarat
tersebut tidak bisa digunakan, tidak bisa diterima. Mengingat celaan rasul ketika anak
perempuan Kisra diangkat menjadi ratu menggantikan ayahandanya yang meninggal terjadi
juga bukan di negara Islam. Kisra adalah julukan untuk pemimpin tertinggi dalam kekaisaran
Persia.
4. Argumen bahwa wanita dalam Islam bisa saja menjadi kepala negara sebagaimana
ditunjukkan pada kisah Syajaratuddur dan ratu Bilqis tidak bisa diterima. Memang ratu
Syajaratuddur, seorang perempuan dari dinasti Mamalik pernah berkuasa di Mesir. Tapi
kenyataan sejarah ini tidak bisa dijadikan landasan argumentasi bolehnya seorang perempuan
menjadi presiden, karena landasan syar’iy adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Shahabat dan
Qiyas. Lagi pula Syajaratuddur mendapatkan kekuasaan secara kebetulan. Ia kebetulan
adalah istri dari penguasa Mesir, Malikus Shalih, yang tunduk kepada khalifah al-Mustansir
Billah dari Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Setelah Malikus Shalih wafat,
kekuasaannya diserahkan kepada istrinya Syajaratuddur. Mendengar hal ini, khalifah al-
Mustansir Billah segera mengirim surat mempersoalkan keadaan di Mesir, apakah tidak ada
laki-laki yang bisa menjadi pemimpin. Bila tidak ada, khalifah akan segera mengirim seorang
laki-laki untuk menggantikan Malikush Shalih memimpin Mesir. Akhirnya, setelah berkuasa
selama tiga bulan, Syajaratuddur digantikan oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya.
Demikian juga tentang kisah ratu Bilqis. Kisah yang diabadikan dalam al-Qur’an tidak
bisa dijadikan sebagai landasan syar’iy. Lagi pula, dalam kisah itu, ratu Bilqis akhirnya juga
melepaskan kekuasaanya setelah ditundukkan oleh Nabi Sulaiman dalam tempo sesingkat-
singkatnya. Bahkan akhirnya menjadi istri nabi yang telah menaklukkannya itu.
Lagipula, kisah umat sebelum Islam dalam ushul fiqih termasuk dalam Syar’u Man
Qablana (Syariat Umat Sebelum Kita) yang sebenarnya tidak merupakan syariat bagi kita
(umat Islam).Sebab syariat Islam telah menasakh syariat-syariat sebelum Islam, sesuai firman
Allah SWT :
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Qur`an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
muhaimin (penasakh) terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (QS Al Maaidah : 48)
Dalam hal ini para ulama Asy’ ariyah, Imam Ahmad (dalam satu riwayat), Ibnu Hazm,
sebagian ulama Ahnaf, dan mayoritas mujtahid madzhab Asy Syafi’i (seperti Al Ghazali, Al
Amidi, Ar Razi) berpendapat bahwa syariat umat sebelum kita, bukanlah syariat bagi kita
(Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hal. 209)
5. Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran
HAM, dan demokrasi. Haramnya kepemimpinan wanita merupakan bagian dari aturan Islam.
Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang HAM dan demokrasi yang kufur,
pelarangan wanita dalam kekuasaan negara bisa dianggap pelanggaran. Sebab, aturan HAM
dan demokrasi memang menetapkan ketentuan semacam itu. Namun, seorang mukmin sejati,
hanya mengambil ketetapan dari Al-Quran dan Sunnah, walaupun bertentangan dengan
HAM dan demokrasi. Bukan sebaliknya, yaitu mengambil HAM dan demokrasi walaupun
bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Cukuplah Al-Quran dan As Sunnah sebagai dalil
bagi kaum muslim dan dia tidak akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang
muslim yang bertakwa, keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang semacam inilah
yang seharusnya dimiliki oleh muslim yang bertakwa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala
dalam surah al-Ahzab ayat 36. Maka memilih HAM dan demokrasi dan mencampakkan Al-
Quran dan As Sunnah, merupakan bentuk kesesatan yang nyata! Bahkan, Allah swt
menjelaskan pula kebatilan serangan kafir kaum feminis yang sok demokratis dengan firman-
Nya :
“Dan janganlah kamu iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu
lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang
mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (QS
An-Nisaa’ [4]:32)
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyah.
Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Sudah seharusnya kaum muslim kembali pada
keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ‘sempit’ dan pasrah dengan
sepenuhnya pasrah. Kepemimpinan perempuan menurut Islam tidak diperbolehkan, karena
banyak hadist nabi dan ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa laki-laki adalah pemimpin
perempuan. Sedangkan kepemimpinan modern yang dipimpin oleh perempuan itu
merupakan ajaran yahudi bukan ajaran yang di ajarkan Islam. Kita sebagai umat Islam tentu
seharusnya mengikuti ketentuan dari Allah SWT. Karena Allah-lah yang mengetahui yang
terbaik untuk umat manusia.
Tentu ketentuan yang Allah SWT tentukan itu akan sangat bermanfaat untuk kita. Karena
bila kita tidak mengkuti ketentuan-Nya maka kita kan mendapat kesulitan dan mendapat
mudharat yang besar serta kita juga termasuk orang-orang yang tidak beriman.
3.2. Saran
Setelah mengetahui hukum pemimpin perempuan dalam Islam, maka mulai sekarang kita
harus memilih pemimpin laki-laki. Karena dalam Islam yang seharusnya jadi khalifah itu
adalah laki-laki bukan perempuan.
Daftar Pustaka
Al Qur'an dan Hadist Nabi Muhammad SAW
Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyurrahman, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar,2005
Hadis shaheh, diriwayatkan oleh Bukhari, hadis no 6570
Harun, Maidir, Khilafah dan Masyrakat Islam Modern,Jakarta: IAIN IB Press.dan Tan
Sri, 2006
Haque, Ziaul, Revolusi Islam, Penerjemah Halid Al-Kaf, Jakarta: Darul Falah,2000
Nawawi Hadari H. “Kepemimpinan Menurut Islam”. Gadjah Mada University Prees,
Yogyakarta, 1993.
Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Prenada Media, 2007
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban, Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada 2006
top related