makalah pai.docx
DESCRIPTION
alim cuyTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hadis merupakan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW
setelah diangkat menjadi rasul. Hadis merupakan sumber dasar hokum
islam yang kedua. Oleh karena itu, mempelajari hadis merupakan
kewajiban demi menyempurnakan pemahaman terhadap islam dan
memudahkan dalam menelaah sunah yang diwariskan oleh Rasulullah
SAW. Namun tidak semua hadis dapat dijadikan sebagai sumber hokum
islam, bergantung pada tingkatan hadis tersebut. Oleh sebab itu, sebaiknya
kita sebagai umat islam mengetahui makna, kedudukan, fungsi, macam,
dan tingkatan hadis.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apa makna dan kedudukan hadis?
1.2.2. Apa perbedaan Al-Qur’an dan hadis?
1.2.3. Bagaimana fungsi hadis terhadap Al-Qur’an
1.2.4. Apa saja macam-macam dan tingkatan hadis?
1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui makna dan kedudukan hadis
1.3.2. Untuk mengetahui perbedaan Al-Qur’an dan hadis
1.3.3. Untuk mengetahui fungsi hadis terhadap Al-Qur’an
1.3.4. Untuk mengetahui macam-macam dan tingkatan hadis
2
1.4. Manfaat
1.4.1. Mengetahui makna dan kedudukan hadis
1.4.2. Mengetahui perbedaan Al-Qur’an dan hadis
1.4.3. Mengetahui fungsi hadis terhadap Al-Qur’an
1.4.4. Mengetahui macam-macam dan tingkatan hadis
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN HADITS
Hadits berasal dari bahasa Arab yang kemudian ditransliterasikan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan tulisan. Hadis adalah perkataan dan
perbuatan dari Nabi Nabi Muhammad SAW. Hadits sebagai sumber hukum dalam
agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah
Al-Qur’an.
Dilihat dari wujud ajaran Islam itu sendiri, Rasulullah saw. merupakan
contoh sentral yang sangat dibutuhkan untuk menjelaskan, merinci, menetapkan
dan memberi contoh dalam pelaksanaan ajaran tersebut.
Selain pengertian Hadits diatas Hadits juga dibagi menjadi dua :
1. Pengertian Hadits Secara Etimologis
Menurut Ibn Manzhur, kata “ Hadits” berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-
Hadits, jamaknya Al-Hadits, Al- Haditsan, dan Hudtsan.
Secara etimologis, Hadis memiliki makna sebagai berikut:
(yang baru), merupakan lawan kata dari kata
(yang lama). (al-Khatib, 1989).
Khabar (berita), yakni “ma yutahaddatsu bihi wayuqalu” artinya
“sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada
seseorang”. Dapat dilihat pada surat at-Tur ayat 34; surat al-Kahfi ayat
6 dan ad-Duha ayat 111.
Qarib (yang dekat), yang belum lama terjadi. Seperti dalam perkataan
“haditsul ahdi bil islam” atinya “orang yang baru memeluk islam”
Kemudian di dalam al-Qur‟an kata hadis disebutkan sebanyak 28 kali,
dengan rincian 23 kali dalam bentuk mufrad dan 5 kali dalam bentuk jamak.
1 Muhammad, Abu al Faid, Jawahir al Usul al Hadits fi Ilmi Hadits al Rosul, Bairut: Libanon,
1992. h. 24
4
2. Pengertian Hadits Secara Terminologi
Secara terminologis, para ulama, baik muhadisin, ulama ushul ataupun,
merumuskan pengertian Hadits secara berbeda-beda.
Muhadditsin
Hadits adalah segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, baik itu hadits marfu’(yang disandarkan kepada Nabi) ataupun hadits
maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in)
Ushuliyyun
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, selain
al-Qur’an al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang
bersangkut-paut dengan hukum syara’
Fuqoha
Hadits adalah segala sesuatu yangditetapkan Nabi Saw yang tidak
bersangkut-paut dengan masalah-masalah fardlu atau wajib.
Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabakan oleh terbatas dan luasnya
objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada
aliran ilmu yang didalaminya.
Menurut Muhammad Ajaj al-Khathib, sebagaimana dikutip Endang
Soetari2, Hadits ialah
و� � أ ف�ع�ل� أو� ق�و�ل� م�ن� وسلم عليه الله صلى �ي� �ب الن ع�ن� �ر� أث م�ا "ل! ك
�ة "ق�ي ل خ" و�� أ �ة �ق�ي ل خ� ص�ف�ة� و�
� أ �ر� �ق�ر�ي ت
Artinya : “Segala sesuatu yang diberikan dari Nabi SAW baik berupa sabda,
perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwalnya”
2.2 KEDUDUKAN HADITS 2 Soetari AD, Endang, Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah, Jakarta: Amal Bakti Press, 2000.
5
Kedudukan Hadits sebagai Sumber Hukum dan Sumber Ajaran Islam
Seluruh umat Islam, tanpa kecuali, telah sepakat bahwa hadits merupakan
salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting
setelah Al-Qur’an. Kewajiban mengikuti hadits bagi umat Islam sama wajibnya
dengan mengikuti Al-Qur’an. Hal ini karena hadits merupakan Mubayyin
terhadap Al-Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai Hadits, siapapun tidak akan
bisa memahami Al-Qur’an. Sebaliknya, siapapun tidak akan bisa memahami
hadits tanpa memahami Al-Qur’an karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum
pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syariat, dan hadits merupakan dasar
hukum kedua, yang di dalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al- Qur’an.
Dengan demikian, antara hadits dan Al- Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat,
yang satu sama lain tidak bisa di pisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.
Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber
hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada
masa sebelum kerasulannya.
Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadits dalam Islam tidak dapat
diragukan karena terdapat penegasan yang banyak, di dalam Al-Qur’an diuraikan
di bawah ini.
Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban
mempercayai dan menerima segala yang datng daripada Rasulullah Saw untuk
dijadikan pedoman hidup3.
Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
3 Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung : Pustaka Setia, 1999.
6
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS:An-Nisa : 59).
Dalil Al-Hadits
Dalam salah satu upesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan
dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-
Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:
وسنة الله كتاب بهما تمسكتم إن أبداما تضلوا لن أمرين فيكم تركترسوله
( الحاكم (رواه
Artinya : “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan
tersesat selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu
kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Hakim)
Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Seluruh umat Islam telah sepakat untuk mengamalkan hadits. Bahkan ,
hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah SWT. Dan
Rasul- Nya yang terpercaya. Kaum muslimin menerima hadits seperti menerima
Al-Qur’an Al- karim karena berdasarkan penegasan dari Allah SWT, bahwa
hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Allah jaga memberikan
kesaksian bagi Rasullah, SAW. Bahwa beliau hanya mengikuti apa yang
diwahyukan.
Allah Berfirman :
7
�ه� �ن" الل ائ �د�ي خ�ز� ن "م� ع� �ك �ق"ول" ل ق"ل� ال أ�ي �ن "م� إ �ك ول" ل �ق55" �ب� و�ال أ �غ�ي �م" ال �ع�ل و�ال أل� �ي� ق55" �ل وح�ى إ �ال م�ا ي55" �ع" إ �ب ت
� �ن� أ م�ل�ك; إ�ف�ال ير" أ �ص�55 �ب �و�ي األع�م�ى و�ال ت �س�55 ل� ي ه�55
ون� �ر" �ف�ك �ت ت
Artinya: Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan
Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula)
aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti
kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang
buta dengan yang melihat?" Maka Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"(Q.S.
Al-An’am: 50)
2.3 PERBEDAAN AL-QUR’AN DENGAN HADITS
1. Al-Quran
Al-Quran merupakan wahyu Allah SWT. yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW. sebagai pedoman hidup umat manusia. Secara bahasa Al-
Quran artinya bacaan, yakni bacaan bagi orang-orang yang beriman. Bagi umat
Islam, membaca Al-Quran merupakan ibadah. Sebagaimana Allah berfirman
dalam surah an-Nisa (4) ayat 105 :
Al-Quran merupakan sumber hukum yang pertama dalam Islam sehingga
semua penyelesaian persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Hal ini
sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa (4) ayat 59 sebagai berikut1 :
8
Al-Quran merupakan sumber hukum pertama yang dapat mengantarkan
umat manusia menuju kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Al-Quran
sebagai al-Furqan merupakan sumber hukum yang dapat membedakan antara
yang hak dan batil.
2. Hadits
Hadis identik dengan sunah, yaitu segala perkataan, perbuatan, takrir
(ketetapan), sifat, keadaan, tabiat atau watak, dan sirah (perjalanan hidup) Nabi
Muhammad SAW., baik yang berkaitan dengan masalah hukum maupun tidak.
Menurut istilah hadis merupakan ucapan, perbuatan, atau takrir Rasulullah SAW.
yang diikuti (dicontoh) oleh umatnnya dalam menjalani kehidupan.
Sebagai sumber hukum Islam, kedudukan hadis setingkat di bawah Al-
Quran. Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran. Allah
berfirman dalam surah al-Hasyr (59) ayat 7 sebagai berikut :
9
Fungsi hadis terhadap ayat-ayat Al-Quran dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
1. Menjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang bersifat umum. Contohnya, dalam
Al-Quran terdapat ayat tentang shalat. Ayat tersebut dijelaskan oleh hadis
sebagai berikut :”Shalatlah kamu sebagaimana aku shalat”
2. Memperkuat pernyataan yang ada dalam Al-Quran. Contohnya , dalam Al-
Quran ada ayat sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kamu yang
melihat bulan maka berpuasalah”. Ayat tersebut diperkuat oleh hadis
Rasulullah sebagai berikut :”Berpuasalah karena melihat bulan dan
berbukalah karena melihat bulan”.4
Perbedaan-perbedaan lain antara Al-Quran dengan hadis yaitu:
1. Ketika seseorang membaca hadis hanya sekedar membaca, maka hal
tesebut tidak dianggap sebagai ibadah kepada Allah. Berbeda dengan Al-
Quran yang jika dibaca, maka setiap huruf akan diganjar pahala dan setiap
hurufnya akan dibalas dengan 10 kebaikan.
2. Tidak ada yang mampu membuat tandingan Al-Quran. Hal ini tidak
dijumpai pada Hadis.
3. Pada Al-Quran Allah sendiri yang menjaga keshahihannya dan
keontetikannya. Allah berfirman: “ Sesunggungnya Kami lah yang
menurunkan Al-Quran, dan Kami pula yang akan menjaganya.” (QS: Al-
Hijr: 9). Dan Hadis berbeda dengan Al-Quran, Hadis mempunyai derajat
kualitas,yaitu :1). Hadis Sahih, 2). Hadis Hasan, 3). Hadis Dai’f (Lemah),
4) Hadis Maudu (Palsu).
4. Jika mengutip Al-Quran dalam bahasa Arab, maka kita tidak boleh
mengutipnya hanya dengan makna. Jadi harus sesuai dengan apa yang ada
di dalam mushaf. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
Sedangkan untuk Hadis boleh mengutipnya dengan makna saja dan
mayoritas ulama membolehkannya.
4 Bachrul Ilmy, Belajar Pendidikan Agama Islam, Jakarta :GRAFINDO,2008
10
2.4 FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN
Sudah kita ketahui bahwa hadits mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam ajaran Islam. Ia menempati posisi kedua setelah Al Qur’an.
Al Qur’an sebagai sumber ajaran pertama memuat ajara-ajaran yang bersifat
umum (global) yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci, disinilah
hadits menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran kedua. Ia
menjadi penjelas (mubayyin) isi Al Qur’an5. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT dalam surat An Nahl ayat 44 :
Artinya : “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”
Hubungannya dengan Al Qur’an hadits berfungsi sebagai penafsir,
dan penjelas dari ayat-ayat Al Qur’an tersebut. Apabila disimpulkan tentang
fungsi hadits dalam hubungannya dengan Al Qur’an adalah sebagai berikut :
1. Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah menerangkan ayat-ayat yang
sangat umum, Fungsi hadits dalam hal ini adalah memberikan perincian
(tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat al Qur’an yang masih
muthlaq/umum.
Diantara contoh bayan at-tafsir adalah perintah ayat-ayat tentang
perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat dan haji. Ayat-
ayat Al Qur’an yang menjelaskan masalah ibadah tersebut masih bersifat global
atau secara garis besarnya saja. Contohnya, kita diperintahkan shalat, namun Al
Qur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerangkan
5 Utang Ranu Wijaya, Ilmu Hadits, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996. h. 26
11
rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban
shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sabdanya :
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat”. (H.R. Bukhari)
Sebagaimana hadits tersebut, Rasul memberikan contoh tata cara
shalat yang sempurna, bukan hanya itu beliau melengkapi dengan berbagai
kegiatan yang dapat menambah pahala ibadah shalat.
2. Bayan At-Taqrir
Bayan At-Taqrir atau sering juga disebut bayan at-ta’kid dan bayan
al-itsbat adalah hadits yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat
pernyataan Al Qur’an. Dalam hal ini, hadits hanya berfungsi untuk
memperkokoh isi kandungan Al Qur’an. Contoh bayan at-taqrir salah
satunya hadits Nabi Muhammad SAW yang memperkuat firman Allah SWT
dalam surat Al Maidah ayat 6 tentang keharusan berwudhu sebelum shalat,
yaitu :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basulah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
12
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu
junub maka mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allha tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya
bagimu, supaya kamu bersyukur”.
Ayat Al Qur’an diatas di-taqrir oleh hadits nabi Muhammad SAW,
yakni : “Rasulullah SAW bersabda, “tidak diterima shalat seseorang yang
berhadas sebelum ia berwudhu”. (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah)
2.5 MACAM-MACAM DAN TINGKATAN HADITS
2.5.1 Hadits Shahih
Pengertian Hadits Shahih
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha - yashihhu
– suhhan wa sihhatan artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, dan benar.
Sedangkan secara istilah yaitu : " Apa yang sanadnya bersambung dengan
periwayatan yang adil, dhobit (memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai
akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat". Imam Al-Suyuti
mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya, di
riwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.
Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam
Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah,
yaitu:
Pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat
dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur
mermahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan
arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits
secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad,
13
bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan
orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),
Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi
SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
Syarat-syarat Hadits Shahih
A. Sanadnya Bersambung
Setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi
terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad
dari suatu hadits. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para
perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama
(para sahabat) yang menerima hadits langsung dari Nabi, bersambung dalam
periwayatannya.
Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah
seorang atau lebih dari rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi yang
dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dha’if, sehingga hadits yang
bersangkutan tidak shahih.
B. Perawinya Adil
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat
mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan
perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu
senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang
dapt merusak harga dirinya.
C. Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai
daya ingat yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya. Menurut
Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat
hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu
menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya,
bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa yang
14
diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada
orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
D. Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan
dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya,
suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain yang lebih
kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia berbeda dengan
rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya
atau jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus
diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah penilaian negatif
terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.
E. Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit
karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak keshahihan hadits.
Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut
terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai
kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan demikian, yang dimaksud hadits
tidak ber’illat, ialah hadits yang di dalamnya tidak terdapat kesamaran atau
keragu-raguan. ‘Illat hadits dapat terjadi baik pada sanad mapun pada matan
atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang
paling banyak terjadi adalah pada sanad. Adapun contoh hadits yang shahih
adalah sebagai berikut;
" Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin
jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar
rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari,
Kitab Adzan).
15
Analisis terhadap hadits tersebut:
1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut
mendengar dari gurunya.
2. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi
hadits tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta'dil sebagai
berikut :
Abdullah bin yusuf = tsiqat muttaqin.
Malik bin Annas = imam hafidz
Ibnu Syihab Aj-Juhri = Ahli fiqih dan Hafidz
Muhammad bin Jubair = Tsiqat.
Jubair bin muth'imi = Shahabat.
3. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang
lebih kuat serta tidak cacat.
Klasifikasi Hadits Shahih
A. Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya
bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang
adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan ‘Illat yang tercela.
B. Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya
berkualitas hasan li-dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang
menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits shahih li-
ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.
“Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula
merupakan hadits hasan, karena adanya mutabi’ dan syahid, maka
kedudukannya berubah menjadi shahih li-Ghairihi.”
Kehujahan Hadits Shahih
16
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib
diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan
sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang
berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal
yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-
Quran dan hadits mutawatir. oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
aqidah.
Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan
rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan
martabat seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga
yaitu:
A. Pertama, ashah al-asanid
Yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti
periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla =
budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
B. Kedua, ahsan al-asanid
Yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya dibawash
tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah
dari Tsabit dari Anas.
C. Ketiga. ad’af al-asanid
Yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih rendah dari
tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari
Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi
tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih)
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja
17
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja
Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari
dan Muslim
Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari
saja
Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja
Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan
Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan
sebagai berikut:
1. Shahih Al-Bukhari (w.250 H)
2. Shahih Muslim (w. 261 H)
3. Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4. Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5. Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6. Shahih Ibn As-Sakan.
7. Shahih Al-Abani.
2.5.2 Hadits Hasan
Pengertian Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-
husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan
Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu:
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya
yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula
cacat”
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan,
kecuali hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada
18
yang kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara
hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu
ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-
Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang :
Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah
bayangan pedang…”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).
Klasifikasi Hadits Hasan
A. Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil,
dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa
ada kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadits.
B. Hadits Hasan li-Ghairih
Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui
keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang terlalu benyak kesalahan dalam
meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang
bersesuaian dengan maknanya.
Jumhur ulama muhaddisin memberikan definisi tentang haditst hasan
li-Ghairihi sebagai berikut: Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari
seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya,
tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya
adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu
segi yang lain.
Haditst hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadits dha’if.
Kemudian ada petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia meningkat
menjadi hadits hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang menolong, maka hadits
tersebut akan tetap berkualitas dha’if.
Kehujahan Hadits Hasan
19
Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya
dibawah hadits shahih, adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan
sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal.
Para ulama hadits, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan
hadits hasan.
2.5.3 Hadits Dhoif
Pengertian Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah,
sedangkan secara istilah yaitu:
“ Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara
hilangnya satu syarat dari syarat-syarat hadits hasan”
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu
menjadi tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai
dua atau tiga syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits
dhai’if yang sangat lemah. Karena kualitasnya dha’if, maka tidak dijadikan
sebagai dasar hukum.
Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut :
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari
abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang
siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya
atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah
diturunkan kepada nabi Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini :
“Kami tidak mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami,
kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena
didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para
ulama hadits”
20
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut
Tahdzib” : Hakim al-Atsromi pada rawi tersebut adalah seorang yang
bermuka dua.
Adapun penyebab kedhoifannya karena beberapa hal :
1. Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2
bagian :
Yang pertama adalah terputus secara dzhohir (nyata) :
- Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik
satu rawi atau lebih secara berurutan.
- Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang
sesudah tabi’in (Sahabat).
- Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih
secara berurutan.
- Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.
Sedangkan yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
- Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya
dan memperbagus untuk dzohir haditsnya.
- Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu
atau sezaman dengannya apa yang ia tidak pernah dengar
dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang lainnya
seperti qaala.
2. Sebab penyakit pada rawi
Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit pada
ketaqwaannya dan dhobit (hafalannya)
Adapun yang pertama penyakit pada (ketaqwaan) yaitu:
(a) Pendusta
(b) Tertuduh dusta
(c) Fasiq
(d) Bid’ah
(e) Kebodohan
21
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
(a) Jelek hafalannya
(b) Lalai
(c) Menyelisihi yang tsiqat
(d) Ucapan yang menipu
Klasifikasi Hadits Dho’if
1. Dho’if karena tidak bersambung sanadnya
A. Hadits Munqathi
Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau
pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal.
B. Hadits Mu’allaq
Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal
sanadnya secara berturut-turut.
C. Hadits Mursal
Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud
dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak
disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama
menerima hadits dari Rasul saw.
D. Mursal al-Jali
Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat
dilakukan oleh tabi’in besar
E. Mursal al-Khafi
Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih
kecil. Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh
tabi’in tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan sahabat,
tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits.
F. Hadits Mu’dhal
22
Hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-
turut, baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in
maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy.
G. Hadits Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang
diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat cacat.
2. Dha’if karena tiadanya syarat adil
A. Hadits al-Maudhu’
Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang
ciptaannya dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan
dusta, baik sengaja maupun tidak.
B. Hadits Matruk dan Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta
(terhadap hadits yang diriwayatkannya), atau tanpak
kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun perkataannya, atau
orang yang banyak lupa maupun ragu.
3. Dho’if karena tiadanya Dhabit
A. Hadits Mudraj
Hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan
(bagian dari) hadits
B. Hadits Maqlub
Hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi,
atau sanadnya. Kemudian didahulukan pada penyebutannya,
yang seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakhirkan
penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan
diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
C. Hadits Mudhtharib
Hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal
dari satu perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih
yang berdekatan tidak bisa ditarjih.
23
D. Hadits Mushahhaf dan Muharraf
Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan
hadits riwayat lain terjadi karena perubahan titik kata,
sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits Muharraf
yaitu hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena
perubahan syakal kata sedangkan bentuk tulisannya tidak
berubah.
4. Dho’if karena Kejanggalan dan kecacatan
A. Hadits Syadz
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan
tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang
yang kualitasnya lebih utama.
B. Hadits Mu’allal
Hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian
dan penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari
cacat
5. Dho’if dari segi matan
A. Hadits Mauquf
Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik
sanadnya bersambung maupun terputus.
B. Hadits Maqthu
Hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan
kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan
kata lain, hadits maqthu adalah perkataaan atau perbuatan
tabi’in.
Kehujahan Hadits Dhoif
24
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-
Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh
digunakan, dengan beberapa syarat:
1. Level Kedhaifannya Tidak Parah.
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan
banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati
shahih atau hasan.Maka menurut para ulama, masih ada di antara
hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam
perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level
kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara
fadahilul a’mal (keutamaan amal).
2. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar
dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya.
Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits
dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah
shahih.
3. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak
boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW
atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita
masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari
Rasulullah SAW.
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hadis berkedudukan sebagai sumber hukum yang kedua. Hadis memiliki
fungsi untuk memperjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat umum dan
memperkuat pernyataan yang ada dalam Al-Quran. Ada tiga macam hadis, yaitu
hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dho’if. Hadis-hadis tersebut dikelompokkan
berdasarkan derajat hadis tersebut. Hadis shahih dapat dijadikan sandaran sebagai
sumber hukum utama kedua setelah Al-Qur’an, sedangkan hadis hasan derajatnya
tepat dibawah hadis shahih, dan hadis dho’if merupakan hadis yang derajatnya
paling lemah.
3.2 Rekomendasi
Mengingat peranan hadis yang berkedudukan sebagai sumber hukum
islam yang kedua, maka sudah selaknya umat muslim mempelajari ilmu hadis
sehingga dapat memperdalam ilmu dalam menjalankan agama Islam. Dengan
mempelajari ilmu hadis, diharapkan umat muslim nantinya dapat meminimalisasi
adanya kesalahan dalam penafsiran/pemahaman dalam memaknai syari’ah agama
Islam.
3.3 Penutup
Demikian makalah dari kelompok kami, kurang lebihnya mohon maaf.
Kebenaran datangnya dari Allah SWT, sedangkan kesalahan murni dari kami.
Wassallammualaikum,wr.wb.
26
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Abu al Faid. 1992. Jawahir al Usul al Hadits fi Ilmi Hadits al Rosul. Bairut, Libanon. 1992. hal. 24
Qadir Hassan, Qadir. 2007. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung : Diponogoro
Agus Solahudin, M. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung : Pustaka Setia
Soetari AD, Endang. 2000. Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah. Jakarta: Amal Bakti Press
Mahmud, Thahhan. 2003. Ulumul Hadits , Zainul Muttaqin. Yogyakarta : Titian Ilahi Press
Hasbi, As – Shiddieqy. 1954. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta :Bulan Bintang
Priyanto ,Wiwit Hardi .2013. Perbedaan antara Al-Quran dengan Hadits Qudsi.online (http://pemudamuslim.com/hadits/perbedaan-antara-al-quran-dengan-hadits-qudsi/)
Bachrul Ilmy.2008. Belajar Pendidikan Agama Islam..Jakarta :GRAFINDO