makalah pai.docx

39
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hadis merupakan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW setelah diangkat menjadi rasul. Hadis merupakan sumber dasar hokum islam yang kedua. Oleh karena itu, mempelajari hadis merupakan kewajiban demi menyempurnakan pemahaman terhadap islam dan memudahkan dalam menelaah sunah yang diwariskan oleh Rasulullah SAW. Namun tidak semua hadis dapat dijadikan sebagai sumber hokum islam, bergantung pada tingkatan hadis tersebut. Oleh sebab itu, sebaiknya kita sebagai umat islam mengetahui makna, kedudukan, fungsi, macam, dan tingkatan hadis. 1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Apa makna dan kedudukan hadis? 1.2.2. Apa perbedaan Al-Qur’an dan hadis? 1.2.3. Bagaimana fungsi hadis terhadap Al- Qur’an 1.2.4. Apa saja macam-macam dan tingkatan hadis? 1.3. Tujuan

Upload: haris-mega-prasetyo

Post on 25-Oct-2015

66 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

alim cuy

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hadis merupakan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW

setelah diangkat menjadi rasul. Hadis merupakan sumber dasar hokum

islam yang kedua. Oleh karena itu, mempelajari hadis merupakan

kewajiban demi menyempurnakan pemahaman terhadap islam dan

memudahkan dalam menelaah sunah yang diwariskan oleh Rasulullah

SAW. Namun tidak semua hadis dapat dijadikan sebagai sumber hokum

islam, bergantung pada tingkatan hadis tersebut. Oleh sebab itu, sebaiknya

kita sebagai umat islam mengetahui makna, kedudukan, fungsi, macam,

dan tingkatan hadis.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Apa makna dan kedudukan hadis?

1.2.2. Apa perbedaan Al-Qur’an dan hadis?

1.2.3. Bagaimana fungsi hadis terhadap Al-Qur’an

1.2.4. Apa saja macam-macam dan tingkatan hadis?

1.3. Tujuan

1.3.1. Untuk mengetahui makna dan kedudukan hadis

1.3.2. Untuk mengetahui perbedaan Al-Qur’an dan hadis

1.3.3. Untuk mengetahui fungsi hadis terhadap Al-Qur’an

1.3.4. Untuk mengetahui macam-macam dan tingkatan hadis

2

1.4. Manfaat

1.4.1. Mengetahui makna dan kedudukan hadis

1.4.2. Mengetahui perbedaan Al-Qur’an dan hadis

1.4.3. Mengetahui fungsi hadis terhadap Al-Qur’an

1.4.4. Mengetahui macam-macam dan tingkatan hadis

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN HADITS

Hadits berasal dari bahasa Arab yang kemudian ditransliterasikan

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan tulisan. Hadis adalah perkataan dan

perbuatan dari Nabi Nabi Muhammad SAW. Hadits sebagai sumber hukum dalam

agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah

Al-Qur’an.

Dilihat dari wujud ajaran Islam itu sendiri, Rasulullah saw. merupakan

contoh sentral yang sangat dibutuhkan untuk menjelaskan, merinci, menetapkan

dan memberi contoh dalam pelaksanaan ajaran tersebut.

Selain pengertian Hadits diatas Hadits juga dibagi menjadi dua :

1. Pengertian Hadits Secara Etimologis

Menurut Ibn Manzhur, kata “ Hadits” berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-

Hadits, jamaknya Al-Hadits, Al- Haditsan, dan Hudtsan.

Secara etimologis, Hadis memiliki makna sebagai berikut:

(yang baru), merupakan lawan kata dari kata

(yang lama). (al-Khatib, 1989).

Khabar (berita), yakni “ma yutahaddatsu bihi wayuqalu” artinya

“sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada

seseorang”. Dapat dilihat pada surat at-Tur ayat 34; surat al-Kahfi ayat

6 dan ad-Duha ayat 111.

Qarib (yang dekat), yang belum lama terjadi. Seperti dalam perkataan

“haditsul ahdi bil islam” atinya “orang yang baru memeluk islam”

Kemudian di dalam al-Qur‟an kata hadis disebutkan sebanyak 28 kali,

dengan rincian 23 kali dalam bentuk mufrad dan 5 kali dalam bentuk jamak.

1 Muhammad, Abu al Faid, Jawahir al Usul al Hadits fi Ilmi Hadits al Rosul, Bairut: Libanon,

1992. h. 24

4

2. Pengertian Hadits Secara Terminologi

Secara terminologis, para ulama, baik muhadisin, ulama ushul ataupun,

merumuskan pengertian Hadits secara berbeda-beda.

Muhadditsin

Hadits adalah segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad

SAW, baik itu hadits marfu’(yang disandarkan kepada Nabi) ataupun hadits

maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in)

Ushuliyyun

Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, selain

al-Qur’an al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang

bersangkut-paut dengan hukum syara’

Fuqoha

Hadits adalah segala sesuatu yangditetapkan Nabi Saw yang tidak

bersangkut-paut dengan masalah-masalah fardlu atau wajib.

Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabakan oleh terbatas dan luasnya

objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada

aliran ilmu yang didalaminya.

Menurut Muhammad Ajaj al-Khathib, sebagaimana dikutip Endang

Soetari2, Hadits ialah

و� � أ ف�ع�ل� أو� ق�و�ل� م�ن� وسلم عليه الله صلى �ي� �ب الن ع�ن� �ر� أث م�ا "ل! ك

�ة "ق�ي ل خ" و�� أ �ة �ق�ي ل خ� ص�ف�ة� و�

� أ �ر� �ق�ر�ي ت

Artinya : “Segala sesuatu yang diberikan dari Nabi SAW baik berupa sabda,

perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwalnya”

2.2 KEDUDUKAN HADITS 2 Soetari AD, Endang, Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah, Jakarta: Amal Bakti Press, 2000.

5

Kedudukan Hadits sebagai Sumber Hukum dan Sumber Ajaran Islam

Seluruh umat Islam, tanpa kecuali, telah sepakat bahwa hadits merupakan

salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukannya yang sangat penting

setelah Al-Qur’an. Kewajiban mengikuti hadits bagi umat Islam sama wajibnya

dengan mengikuti Al-Qur’an. Hal ini karena hadits merupakan Mubayyin

terhadap Al-Qur’an. Tanpa memahami dan menguasai Hadits, siapapun tidak akan

bisa memahami Al-Qur’an. Sebaliknya, siapapun tidak akan bisa memahami

hadits tanpa memahami Al-Qur’an karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum

pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syariat, dan hadits merupakan dasar

hukum kedua, yang di dalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al- Qur’an.

Dengan demikian, antara hadits dan Al- Qur’an memiliki kaitan yang sangat erat,

yang satu sama lain tidak bisa di pisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.

Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber

hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada

masa sebelum kerasulannya.

Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadits dalam Islam tidak dapat

diragukan karena terdapat penegasan yang banyak, di dalam Al-Qur’an diuraikan

di bawah ini.

Dalil Al-Qur’an

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban

mempercayai dan menerima segala yang datng daripada Rasulullah Saw untuk

dijadikan pedoman hidup3.

Dalam surat An-Nisa ayat 59 Allah SWT berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil

amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,

3 Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung : Pustaka Setia, 1999.

6

maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika

kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu

lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS:An-Nisa : 59).

Dalil Al-Hadits

Dalam salah satu upesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan

dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-

Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:

وسنة الله كتاب بهما تمسكتم إن أبداما تضلوا لن أمرين فيكم تركترسوله

( الحاكم (رواه

Artinya : “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan

tersesat selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu

kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Hakim)

Kesepakatan Ulama (Ijma’)

Seluruh umat Islam telah sepakat untuk mengamalkan hadits. Bahkan ,

hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah SWT. Dan

Rasul- Nya yang terpercaya. Kaum muslimin menerima hadits seperti menerima

Al-Qur’an Al- karim karena berdasarkan penegasan dari Allah SWT, bahwa

hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Allah jaga memberikan

kesaksian bagi Rasullah, SAW. Bahwa beliau hanya mengikuti apa yang

diwahyukan.

Allah Berfirman :

7

�ه� �ن" الل ائ �د�ي خ�ز� ن "م� ع� �ك �ق"ول" ل ق"ل� ال أ�ي �ن "م� إ �ك ول" ل �ق55" �ب� و�ال أ �غ�ي �م" ال �ع�ل و�ال أل� �ي� ق55" �ل وح�ى إ �ال م�ا ي55" �ع" إ �ب ت

� �ن� أ م�ل�ك; إ�ف�ال ير" أ �ص�55 �ب �و�ي األع�م�ى و�ال ت �س�55 ل� ي ه�55

ون� �ر" �ف�ك �ت ت

Artinya:   Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan

Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula)

aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti

kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang

buta dengan yang melihat?" Maka Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"(Q.S.

Al-An’am: 50)

2.3 PERBEDAAN AL-QUR’AN DENGAN HADITS

1. Al-Quran

Al-Quran merupakan wahyu Allah SWT. yang disampaikan kepada Nabi

Muhammad SAW. sebagai pedoman hidup umat manusia. Secara bahasa Al-

Quran artinya bacaan, yakni bacaan bagi orang-orang yang beriman. Bagi umat

Islam, membaca Al-Quran merupakan ibadah. Sebagaimana Allah berfirman

dalam surah an-Nisa (4) ayat 105 :

Al-Quran merupakan sumber hukum yang pertama dalam Islam sehingga

semua penyelesaian persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Hal ini

sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa (4) ayat 59 sebagai berikut1 :

8

Al-Quran merupakan sumber hukum pertama yang dapat mengantarkan

umat manusia menuju kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Al-Quran

sebagai al-Furqan merupakan sumber hukum yang dapat membedakan antara

yang hak dan batil.

2. Hadits

Hadis identik dengan sunah, yaitu segala perkataan, perbuatan, takrir

(ketetapan), sifat, keadaan, tabiat atau watak, dan sirah (perjalanan hidup) Nabi

Muhammad SAW., baik yang berkaitan dengan masalah hukum maupun tidak.

Menurut istilah hadis merupakan ucapan, perbuatan, atau takrir Rasulullah SAW.

yang diikuti (dicontoh) oleh umatnnya dalam menjalani kehidupan.

Sebagai sumber hukum Islam, kedudukan hadis setingkat di bawah Al-

Quran. Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran. Allah

berfirman dalam surah al-Hasyr (59) ayat 7 sebagai berikut :

9

Fungsi hadis terhadap ayat-ayat Al-Quran dapat dikelompokkan sebagai

berikut :

1. Menjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang bersifat umum. Contohnya, dalam

Al-Quran terdapat ayat tentang shalat. Ayat tersebut dijelaskan oleh hadis

sebagai berikut :”Shalatlah kamu sebagaimana aku shalat”

2. Memperkuat pernyataan yang ada dalam Al-Quran. Contohnya , dalam Al-

Quran ada ayat sebagai berikut: “Barangsiapa di antara kamu yang

melihat bulan maka berpuasalah”. Ayat tersebut diperkuat oleh hadis

Rasulullah sebagai berikut :”Berpuasalah karena melihat bulan dan

berbukalah karena melihat bulan”.4

Perbedaan-perbedaan lain antara Al-Quran dengan hadis yaitu:

1. Ketika seseorang membaca hadis hanya sekedar membaca, maka hal

tesebut tidak dianggap sebagai ibadah kepada Allah. Berbeda dengan Al-

Quran yang jika dibaca, maka setiap huruf akan diganjar pahala dan setiap

hurufnya akan dibalas dengan 10 kebaikan.

2. Tidak ada yang mampu membuat tandingan Al-Quran. Hal ini tidak

dijumpai pada Hadis.

3. Pada Al-Quran Allah sendiri yang menjaga keshahihannya dan

keontetikannya. Allah berfirman: “ Sesunggungnya Kami lah yang

menurunkan Al-Quran, dan Kami pula yang akan menjaganya.” (QS: Al-

Hijr: 9). Dan Hadis berbeda dengan Al-Quran, Hadis mempunyai derajat

kualitas,yaitu :1). Hadis Sahih, 2). Hadis Hasan, 3). Hadis Dai’f (Lemah),

4) Hadis Maudu (Palsu).

4. Jika mengutip Al-Quran dalam bahasa Arab, maka kita tidak boleh

mengutipnya hanya dengan makna. Jadi harus sesuai dengan apa yang ada

di dalam mushaf. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

Sedangkan untuk Hadis boleh mengutipnya dengan makna saja dan

mayoritas ulama membolehkannya.

4 Bachrul Ilmy, Belajar Pendidikan Agama Islam, Jakarta :GRAFINDO,2008

10

2.4 FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN

Sudah kita ketahui bahwa hadits mempunyai kedudukan yang sangat

penting dalam ajaran Islam. Ia menempati posisi kedua setelah Al Qur’an.

Al Qur’an sebagai sumber ajaran pertama memuat ajara-ajaran yang bersifat

umum (global) yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci, disinilah

hadits menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran kedua. Ia

menjadi penjelas (mubayyin) isi Al Qur’an5. Hal ini sesuai dengan firman Allah

SWT dalam surat An Nahl ayat 44 :

Artinya : “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan

kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah

diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”

Hubungannya dengan Al Qur’an hadits berfungsi sebagai penafsir,

dan penjelas dari ayat-ayat Al Qur’an tersebut. Apabila disimpulkan tentang

fungsi hadits dalam hubungannya dengan Al Qur’an adalah sebagai berikut :

1. Bayan At-Tafsir

Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah menerangkan ayat-ayat yang

sangat umum, Fungsi hadits dalam hal ini adalah memberikan perincian

(tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat al Qur’an yang masih

muthlaq/umum.

Diantara contoh bayan at-tafsir adalah perintah ayat-ayat tentang

perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat dan haji. Ayat-

ayat Al Qur’an yang menjelaskan masalah ibadah tersebut masih bersifat global

atau secara garis besarnya saja. Contohnya, kita diperintahkan shalat, namun Al

Qur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerangkan

5 Utang Ranu Wijaya, Ilmu Hadits, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996. h. 26

11

rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban

shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sabdanya :

“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat”. (H.R. Bukhari)

Sebagaimana hadits tersebut, Rasul memberikan contoh tata cara

shalat yang sempurna, bukan hanya itu beliau melengkapi dengan berbagai

kegiatan yang dapat menambah pahala ibadah shalat.

2. Bayan At-Taqrir

Bayan At-Taqrir atau sering juga disebut bayan at-ta’kid dan bayan

al-itsbat adalah hadits yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat

pernyataan Al Qur’an. Dalam hal ini, hadits hanya berfungsi untuk

memperkokoh isi kandungan Al Qur’an. Contoh bayan at-taqrir salah

satunya hadits Nabi Muhammad SAW yang memperkuat firman Allah SWT

dalam surat Al Maidah ayat 6 tentang keharusan berwudhu sebelum shalat,

yaitu :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basulah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah

12

kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu

junub maka mandilah dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari

tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak

memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah

mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allha tidak hendak menyulitkan kamu,

tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya

bagimu, supaya kamu bersyukur”.

Ayat Al Qur’an diatas di-taqrir oleh hadits nabi Muhammad SAW,

yakni : “Rasulullah SAW bersabda, “tidak diterima shalat seseorang yang

berhadas sebelum ia berwudhu”. (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah)

2.5 MACAM-MACAM DAN TINGKATAN HADITS

2.5.1 Hadits Shahih

Pengertian Hadits Shahih

Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha - yashihhu

– suhhan wa sihhatan artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, dan benar.

Sedangkan secara istilah yaitu : " Apa yang sanadnya bersambung dengan

periwayatan yang adil, dhobit (memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai

akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat". Imam Al-Suyuti

mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya, di

riwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.

Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam

Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah,

yaitu:

Pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat

dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur

mermahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan

arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits

secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad,

13

bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan

orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),

Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi

SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.

Syarat-syarat Hadits Shahih

A. Sanadnya Bersambung

Setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi

terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad

dari suatu hadits. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para

perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama

(para sahabat) yang menerima hadits langsung dari Nabi, bersambung dalam

periwayatannya.

       Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah

seorang atau lebih dari rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi yang

dianggap putus itu adalah seorang rawi yang dha’if, sehingga hadits yang

bersangkutan tidak shahih.

B. Perawinya Adil

Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat

mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan

perintah dan meninggalkan larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu

senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah laku dan hal-hal lain yang

dapt merusak harga dirinya.

C. Perwainya Dhabith

Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai

daya ingat yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya. Menurut

Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat

hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu

menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya,

bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara utuh apa yang

14

diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada

orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.

D. Tidak Syadz

Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan

dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya,

suatu kondisi di mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain yang lebih

kuat posisinya. Kondisi ini dianggap syadz karena bila ia berbeda dengan

rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalannya

atau jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus

diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah penilaian negatif

terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.

E. Tidak Ber’illat

Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit

karena tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak keshahihan hadits.

Dikatakan samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut

terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai

kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan demikian, yang dimaksud hadits

tidak ber’illat, ialah hadits yang di dalamnya tidak terdapat kesamaran atau

keragu-raguan. ‘Illat hadits dapat terjadi baik pada sanad mapun pada matan

atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang

paling banyak terjadi adalah pada sanad. Adapun contoh hadits yang shahih

adalah sebagai berikut;

" Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah

mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin

jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar

rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari,

Kitab Adzan).

15

Analisis terhadap hadits tersebut:

1. Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut

mendengar dari gurunya.

2. Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi

hadits tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta'dil sebagai

berikut :

Abdullah bin yusuf     = tsiqat muttaqin.

Malik bin Annas         = imam hafidz

Ibnu Syihab Aj-Juhri   = Ahli fiqih dan Hafidz

Muhammad bin Jubair = Tsiqat.

Jubair bin muth'imi      = Shahabat.

3. Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang

lebih kuat serta tidak cacat.

Klasifikasi Hadits Shahih

A. Hadits Shahih li-Dzatihi     

Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya

bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang

adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan ‘Illat yang tercela.

B. Hadits Shahih li-Ghairihi

Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya

berkualitas hasan li-dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang

menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits shahih li-

ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.

“Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula

merupakan hadits hasan, karena adanya mutabi’ dan syahid, maka

kedudukannya berubah menjadi shahih li-Ghairihi.”

Kehujahan Hadits Shahih

16

Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib

diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan

sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang

berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal

yang berhubungan dengan aqidah.

Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-

Quran dan hadits mutawatir. oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan

hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan

aqidah.

Tingkatan Hadits Shahih

Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan

rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan

martabat seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga

yaitu:

A. Pertama, ashah al-asanid

Yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti

periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla =

budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.

B. Kedua, ahsan al-asanid

Yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya dibawash

tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah

dari Tsabit dari Anas.

C. Ketiga. ad’af al-asanid

Yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih rendah dari

tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari

Abu Hurairah.

Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi

tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:

Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih)

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja

17

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja

Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari

dan Muslim

Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari

saja

Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja

Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan

Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu

Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.

Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan

sebagai berikut:

1. Shahih Al-Bukhari (w.250 H)

2. Shahih Muslim (w. 261 H)

3. Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).

4. Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).

5. Mustadrok Al-hakim (w. 405).

6. Shahih Ibn As-Sakan.

7. Shahih Al-Abani.

2.5.2 Hadits Hasan

Pengertian Hadits Hasan

Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-

husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan

Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu:

“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya

yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula

cacat”

Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan,

kecuali hanya dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada

18

yang kurang meskipun sedikit. Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara

hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.

Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:

“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu

ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-

Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang :

Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah

bayangan pedang…”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).

Klasifikasi Hadits Hasan

A. Hadits Hasan li-Dzatih

Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil,

dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa

ada kejanggalan (syadz) dan cacat (‘Illat) yang merusak hadits.

B. Hadits Hasan li-Ghairih

Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui

keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang terlalu benyak kesalahan dalam

meriwayatkan hadits, kemudian ada riwayat dengan sanad lain yang

bersesuaian dengan maknanya.

Jumhur ulama muhaddisin memberikan definisi tentang haditst hasan

li-Ghairihi sebagai berikut: Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari

seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya,

tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya

adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu

segi yang lain.

Haditst hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadits dha’if.

Kemudian ada petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia meningkat

menjadi hadits hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang menolong, maka hadits

tersebut akan tetap berkualitas dha’if.

Kehujahan Hadits Hasan

19

Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya

dibawah hadits shahih, adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan

sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal.

Para ulama hadits, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan

hadits hasan.

2.5.3 Hadits Dhoif

Pengertian Hadits Dhoif

Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah,

sedangkan secara istilah yaitu:

“ Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara

hilangnya satu syarat dari syarat-syarat hadits hasan”

Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu

menjadi tidak shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai

dua atau tiga syarat maka hadits tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits

dhai’if yang sangat lemah. Karena kualitasnya dha’if, maka tidak dijadikan

sebagai dasar hukum.

Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut :

Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari

abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang

siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya

atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah

diturunkan kepada nabi Muhammad saw”

Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini :

“Kami tidak mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami,

kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena

didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para

ulama hadits”

20

Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut

Tahdzib” : Hakim al-Atsromi pada rawi tersebut adalah seorang yang

bermuka dua.

Adapun penyebab kedhoifannya karena beberapa hal :

1. Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2

bagian :

Yang pertama adalah terputus secara dzhohir (nyata) :

- Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik

satu rawi atau lebih secara berurutan.

- Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang

sesudah tabi’in (Sahabat).

- Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih

secara berurutan.

- Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.

Sedangkan yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:

- Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya

dan memperbagus untuk dzohir haditsnya.

- Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu

atau sezaman dengannya apa yang ia tidak pernah dengar

dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang lainnya

seperti qaala.

2. Sebab penyakit pada rawi

Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit pada

ketaqwaannya dan dhobit (hafalannya)

Adapun yang pertama penyakit pada (ketaqwaan) yaitu:

(a) Pendusta

(b) Tertuduh dusta

(c) Fasiq

(d) Bid’ah

(e) Kebodohan

21

Adapun penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :

(a) Jelek hafalannya

(b) Lalai

(c) Menyelisihi yang tsiqat

(d) Ucapan yang menipu

Klasifikasi Hadits Dho’if

1. Dho’if karena tidak bersambung sanadnya

A. Hadits Munqathi

Hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau

pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal.

B. Hadits Mu’allaq

Hadits yang rawinya digugurkan seorang atau lebih dari awal

sanadnya secara berturut-turut.

C. Hadits Mursal

Hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud

dengan gugur di sini, ialah nama sanad terakhir tidak

disebutkan. Padahal sahabat adalah orang yang pertama

menerima hadits dari Rasul saw.

D. Mursal al-Jali

Hadits yang tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat

dilakukan oleh tabi’in besar

E. Mursal al-Khafi

Pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih

kecil. Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh

tabi’in tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan sahabat,

tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits.

F. Hadits Mu’dhal

22

Hadits yang gugur rawinya, dua orang atau lebih, berturut-

turut, baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in

maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy.

G. Hadits Mudallas

Yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang

diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat cacat.

2. Dha’if karena tiadanya syarat adil

A. Hadits al-Maudhu’

Hadits yang dibuat-buat oleh seorang (pendusta) yang

ciptaannya dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan

dusta, baik sengaja maupun tidak.

B. Hadits Matruk dan Hadits Munkar

Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta

(terhadap hadits yang diriwayatkannya), atau tanpak

kefasikannya, baik pada perbuatan ataupun perkataannya, atau

orang yang banyak lupa maupun ragu.

3. Dho’if karena tiadanya Dhabit

A. Hadits Mudraj

Hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan

(bagian dari) hadits

B. Hadits Maqlub

Hadits yang lafaz matannya terukur pada salah seorang perawi,

atau sanadnya. Kemudian didahulukan pada penyebutannya,

yang seharusnya disebutkan belakangan, atau mengakhirkan

penyebutan, yang seharusnya didahulukan, atau dengan

diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.

C. Hadits Mudhtharib

Hadits yang diriwayatkan dengan bentuk yang berbeda padahal

dari satu perawi dua atau lebih, atau dari dua perawi atau lebih

yang berdekatan tidak bisa ditarjih.

23

D. Hadits Mushahhaf dan Muharraf

Hadits Mushahhaf yaitu hadits yang perbedaannya dengan

hadits riwayat lain terjadi karena perubahan titik kata,

sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah. Hadits Muharraf

yaitu hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena

perubahan syakal kata sedangkan bentuk tulisannya tidak

berubah.

4. Dho’if karena Kejanggalan dan kecacatan

A. Hadits Syadz

Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, akan

tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang

yang kualitasnya lebih utama.

B. Hadits Mu’allal

Hadits yang diketahui ‘Illatnya setelah dilakukan penelitian

dan penyelidikan meskipun pada lahirnya tampak selamat dari

cacat

5. Dho’if dari segi matan

A. Hadits Mauquf

Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa

perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik

sanadnya bersambung maupun terputus.

B. Hadits Maqthu

Hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan

kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan

kata lain, hadits maqthu adalah perkataaan atau perbuatan

tabi’in.

Kehujahan Hadits Dhoif

24

Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-

Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh

digunakan, dengan beberapa syarat:

1. Level Kedhaifannya Tidak Parah.

Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan

banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati

shahih atau hasan.Maka menurut para ulama, masih ada di antara

hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam

perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level

kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara

fadahilul a’mal (keutamaan amal).

2. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih

Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar

dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya.

Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits

dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah

shahih.

3. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya

Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak

boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW

atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita

masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari

Rasulullah SAW.

25

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hadis berkedudukan sebagai sumber hukum yang kedua. Hadis memiliki

fungsi untuk memperjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat umum dan

memperkuat pernyataan yang ada dalam Al-Quran. Ada tiga macam hadis, yaitu

hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dho’if. Hadis-hadis tersebut dikelompokkan

berdasarkan derajat hadis tersebut. Hadis shahih dapat dijadikan sandaran sebagai

sumber hukum utama kedua setelah Al-Qur’an, sedangkan hadis hasan derajatnya

tepat dibawah hadis shahih, dan hadis dho’if merupakan hadis yang derajatnya

paling lemah.

3.2 Rekomendasi

Mengingat peranan hadis yang berkedudukan sebagai sumber hukum

islam yang kedua, maka sudah selaknya umat muslim mempelajari ilmu hadis

sehingga dapat memperdalam ilmu dalam menjalankan agama Islam. Dengan

mempelajari ilmu hadis, diharapkan umat muslim nantinya dapat meminimalisasi

adanya kesalahan dalam penafsiran/pemahaman dalam memaknai syari’ah agama

Islam.

3.3 Penutup

Demikian makalah dari kelompok kami, kurang lebihnya mohon maaf.

Kebenaran datangnya dari Allah SWT, sedangkan kesalahan murni dari kami.

Wassallammualaikum,wr.wb.

26

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abu al Faid. 1992. Jawahir al Usul al Hadits fi Ilmi Hadits al Rosul. Bairut, Libanon. 1992. hal. 24

Qadir Hassan, Qadir. 2007. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung : Diponogoro

Agus Solahudin, M. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia

Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung : Pustaka Setia

Soetari AD, Endang. 2000. Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah. Jakarta: Amal Bakti Press

Mahmud, Thahhan. 2003. Ulumul Hadits , Zainul Muttaqin. Yogyakarta : Titian Ilahi Press

Hasbi, As – Shiddieqy. 1954. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta :Bulan Bintang

Priyanto ,Wiwit Hardi .2013. Perbedaan antara Al-Quran dengan Hadits Qudsi.online (http://pemudamuslim.com/hadits/perbedaan-antara-al-quran-dengan-hadits-qudsi/)

Bachrul Ilmy.2008. Belajar Pendidikan Agama Islam..Jakarta :GRAFINDO