makalah pai.docx

21
MAKALAH Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam Diajukan untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam Oleh : NUNI NURJANAH 10060310133 Kelas : Farmasi D PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

Upload: nuninurjanah

Post on 26-Oct-2015

67 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Agama Islam

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH PAI.docx

MAKALAH

Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam

Diajukan untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam

Oleh :

NUNI NURJANAH

10060310133

Kelas :

Farmasi D

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

BANDUNG

2012

Page 2: MAKALAH PAI.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sekarang ini banyak yang perempuan menjadi pemimpin. Baik di organisasi terkecil

seperti himpunan mahasiswa sampai pemimpin di suatu negara. Hal ini tidak bisa diterima

oleh semua kelompok sehingga menimbulkan banyak kontroversi. Sebagian kelompok

mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan itu dibolehkan. Mereka beralasan dengan

bahwa sekarang jaman moderenisasi yang mengedepankan emansipasi wanita. Namun

sebagian lain mengatakan bahwa Isalam tidak memperbolehkan perempuan memimpin

Dengan alasan tidak ada pemimpin perempuan dalam Islam. Untuk menanggapi kontroversi

tersebut maka saya akan mengkaji masalah tersebut dengan dalil-dalil yang shahih, sehingga

kita akan mengetahui kebenaran dalam masalah ini.

Sehingga kita tidak terbawa ajaran yahudi karena pertama kali yang menjadikan

perempuan sebagia pemimpin adalah bangsa yahudi. Sebuah hadist mengatakan bila sebuah

kaum menyerupai kaum tertentu. Maka kaum tersebut merupakan kaum yg diserupainya.

Kita sebagai orang Islam tentu tidak boleh menyerupai atau mengikuti kaum yahudi. Karena

kita akan disebut kaum yahudi pula, Maka sangat penting untuk kita mengkaji masalah ini

menurut padangan Islam.

1.2. Tujuan

Dalam pembuatan makalah ini memiliki beberapa tujuan, yaitu :

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan agama Islam

2. Untuk mengetahui kepemimpinan perempuan dalam Islam.

3. Untuk mengetahui kepemimpinan perempuan dalam moderenisasi.

4. Untuk mengetahui boleh tidaknya kepemimpinan perempuan dalam Islam.

Page 3: MAKALAH PAI.docx

BAB II

ISI

2.1. Pendahuluan

Menurut mayoritas pemikir politik islam, seperti al-Mawardi dalam kitabnya, “al-Ahkâm

al-Shulthâniyyah”, menegaskan bahwa pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian social

dalam suatu Negara atau daerah adalah wajib hukumnya, baik menurut akal maupun syara’.

Menurut akal, tidak mungkin ada suatu Negara atau daerah tanpa pemerintahan yang dipimpin

oleh kepala Negara atau daerah. Sebab, jika demikian, maka masyarakat akan hidup tanpa ada

pihak yang mencegah terjadinya kedhaliman dan tidak ada yang akan menyelesaikan

perselisihan dan persengketaan (tanâzu’ wa takhâshum). Sedangkan menurut syara’, kepala

Negara atau daerah diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan, juga masalah

keagamaan. Sedangkan untuk membentuk atau melestarikan pemerintahan yang sah,

membutuhkan proses pemilihan dan suksesi.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam proses penggantian kepemimpinan. Pada

zaman primitive, proses perebutan kekuasaan ditempuh dengan cara perang fisik dan adu otot.

Sehingga, untuk merebut kekuasaan, haruslah jago berperang dan pandai bertempur. Namun

pada era modern, masyarakat lebih memilih metode pemilihan umum sebagai alternative yang

paling rasional dan aman dalam perebutan kekuasaan.

Pada prinsipnya, pemilu adalah cermin dari kedaulatan rakyat, untuk memilih orang

terpercaya untuk menjadi pemimpinnya. Pemilu merupakan suatu keharusan, demi

berlangsungnya pemerintahan untuk mengatur urusan rakyat. Dalam Negara yang demokratis,

masih meyakini bahwa pemilu adalah pesta rakyat yang paling aman dan lebih menjamin

keadilan untuk proses suksesi kepemimpinan dalam suatu Negara atau daerah. Negara atau

daerah adalah instrument kemasyarakatan, sedangkan pemilu adalah instrument kenegaraan,

dimana tanpa pemilu, suatu Negara atau daerah akan mengalami stagnan. Oleh karenanya,

pemilu menjadi suatu keniscayaan. Pemikiran semacam ini, sejalan dengan kaidah fiqhiyyah ;

ف�ه�و� �ه�، ب �ال إ �و�اج�ب� ال �م� �ت ي � ال م�ا

و�اج�ب�

Page 4: MAKALAH PAI.docx

“Sesuatu yang menjadi instrument yang wajib, dimana kewajiban tersebut tidak dapat dilakukan

tanpanya, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya”

Organisasi yang disebut Negara, di Negara modern ini masih diyakini sebagai suatu

keharusan (baca:wajib), sedangkan pemilu adalah instrumennya. Maka, pemilu menjadi suatu

keharusan pula (baca:wajib).

Dalam pemilu, yang memiliki hak suara adalah rakyat. Rakyat berhak untuk menentukan

pilihan kepada salah satu calon pemimpin, sesuai dengan “getaran” nuraninya. Bahkan, rakyat

juga berhak untuk tidak menyalurkan aspirasinya (golput) kepada siapapun. Sebab, golput juga

merupakan suatu pilihan. Pilihan untuk golput, bisa jadi Karena factor proses pemilu yang tidak

dapat dipercaya, atau karena sudah tidak lagi mempercayai produknya yang akan mewakili dan

memimpinnya Akan tetapi, siapapun tidak berhak untuk memaksa rakyat untuk menyalurkan

aspirasinya kepada calon tertentu. Sebab, secara secara undang-undang dan etika politik, tak

seorangpun berwenang untuk memaksanya.

Pemilu, akan menjadi “hajat orang banyak” jika dapat mencerminkan kedaulatan rakyat.

Oleh karena itu, memberikan suara kepada salah satu calon pemimpin bukanlah sebuah

kewajiban secara personal (fardl ‘ain) menurut islam, namun sebatas kewajiban secara komunal

(fardl kifâyah). Akan tetapi, disaat ini, ketika kita telah larut dalam permainan politik dan kurang

memihak terhadap kepentingan rakyat, sementara diyakini ada salah satu calon pemimpin yang

dipercaya dapat menjadi pemimpin dan membawa perubahan ke arah “pro rakyat”, maka

partisipasi politik dan memberikan suara pada saat pemungutan suara menjadi sebuah kewajiban

secara personal (fardl ‘ain).

2.2. Mengok Sejarah Kepemimpinan Perempuan

Berbicara mengenai sejarah berarti berupaya untuk membuka kembali peristiwa-peristiwa

yang terjadi dalam kancah kehidupan umat manusia dan berusaha menghadirkan kembali

informasi-informasi masa lampau sehingga terasa segar di masa sekarang. Sejarah membantu

kita untuk mendapatkan informasi kehidupan yang telah lampau. Sejarah memiliki dua mata

pedang. Sejarah bisa bernilai positif, akan tetapi tidak jarang pula bernilai negatif, tergantung

bagaimana manusia memposisikan sejarah itu sendiri.

Berkenaan dengan pemimpin wanita yang saat ini tengah menjadi isu sentral di negeri ini,

banyak yang memberikan analisa keabsahannya dengan menampilkan pendekatan sejarah

Page 5: MAKALAH PAI.docx

(historic approuch). Salah satunya adalah pendapat Nasaruddin Umar-pemerhati masalah agama

dan gender-Pembantu Rektor IAIN Jakarta. Tokoh ini menilai bahwa sampai detik ini wacana

konseptual kepemimpinan wanita belum pernah tuntas dalam lintasan sejarah dunia Islam.

Dalam hal ini kita perlu melihat kembali pemahaman fakta sejarah yang coba dikedepankan para

tokoh, dimana fakta sejarah ini sering dijadikan sebagai legitimasi terhadap fakta senada yang

terjadi kemudian. Ada satu hal yang harus kita sepakati bahwa sejarah adalah suatu

fakta/kenyataan yang pernah terlahir dalam kancah kehidupan manusia. Jadi dengan kata lain

sejarah hanyalah sebatas fakta, dan fakta bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan rujukan karena

fakta/kenyataan tidaklah selalu bernilai benar. Fakta adalah sesuatu yang harus dihukumi dan

bukan menjadi sumber hukum. Bagaimanapun juga fakta sangat mungkin mengandung

kesalahan/penyimpangan, sehingga mau tidak mau kita harus memposisikan sejarah sebatas

sebagai gambaran apakah kenyataan pada saat itu sesuai dengan aturan ataukah tidak. Bahkan

pelurusan terhadap pemahaman fakta yang salah terhadap sepenggal kisah dalam lintasan sejarah

hanyalah untuk menggambarkan secara obyektif kenyataan yang sesungguhnya terjadi untuk

kemudian bisa dikatakan kenyataan tadi sesuai atau tidak dengan hukum Islam.

Sebagai contoh dalam hal kepemimpinan wanita, Ratu Balqis digambarkan dalam Al

Qur’an sebagai penguasa wanita yang memiliki kerajaan ‘super power’ telah tercatat dalam

lintasan sejarah. Akan tetapi kekuasaan tersebut tidak dibenarkan eksistensinya. Ini terbukti

bahwa pada saat itu Nabi Sulaiman dimunculkan sebagai tokoh yang dibebani kewajiban untuk

menyeru Ratu Balqis dan seluruh penduduk di negeri Saba’ (negeri dimana Ratu balqis

berkuasa) agar tunduk pada ajaran tauhid yang dibawa Sulaiman (QS : An Naml : 29). Untuk

membendung kekuatan Ratu Balqis Nabi Sulaiman terpaksa harus berkoalisi dengan jin dan

burung (QS : An Naml : 17) hingga akhirnya kemenangan ada di pihak Nabi Sulaiman. Ratu

Balqis diperistri dan kekuasaan/kepemimpinan negara dipegang oleh Sulaiman (QS : An Naml :

44).

Demikian juga fakta kepemimpinan Sajaratud- Durr -putri keturunan Salahuddin-

bukanlah preferensi historis dalam Islam menyangkut peran wanita sebagai kepala negara.

Kondisi yang melingkupi pengangkatan Sajaratud-Durr dari dinasti Mamalik ini adalah karena

kenyataan pada saat itu dimana keturunan Salahuddin yang akhir tidak ada laki-laki.

Meninggalnya Malikus Shalih ketika baru tiga bulan berkuasa, segera menuntut pengganti.

Karena tidak ada laki-laki maka kekuasaan dilimpahkan kepada putri Sajaratud-Durr. Akhirnya

Page 6: MAKALAH PAI.docx

kekuasaan dipegang oleh Izzudin Aibek Al-Jasyamkir yang kemudian menikahinya, karena pada

saat itu ulama-ulama menilai ketidakbolehan bagi wanita untuk memimpin negara.

Tidak jauh berbeda adalah kondisi para Sulthanah yang pernah berkuasa di Kerajaan

Aceh, baik Sulthanah Khadijah, Sulthanah Maryam maupun Sulthanah Fatimah. Naiknya para

Sulthanah ini ke singgasana penguasa segera mendapat protes keras dari ulama-ulama Mekkah

pada saat itu karena dinilai sebagai sebuah penyimpangan terhadap konsep kepemimpinan

menurut hukum Islam.

Dengan demikian jelaslah bahwa baik Ratu Balqis, Putri Sajaratud-Durr maupun para

Sulthanah Aceh itu bukanlah merupakan simbol kepemimpinan yang dibenarkan oleh Islam.

Naiknya tokoh-tokoh wanita tersebut di atas kursi kekuasaan bukan karena kehendak untuk

mengikuti aturan Islam dalam konsep kepemimpinan, tetapi lebih karena keterbatasan kondisi

pada saat itu. Di dalam Islam hal semacam ini dipandang sebagai sebuah penyimpangan terhadap

hukum Allah.

2.3. Hak Perempuan Untuk Menduduki Kekuasaan

Rasulullah saw, ketika mendengar kaum Persi dipimpin oleh seorang wanita, yakni putra

raja Kisra yang bernama Bûran, beliau berkata,

�ة� ع�ن� �ن اب �وا ك م�ل ا ف�ار�س �ن أ م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل ه� الل ص�لى �ي ب الن ق�ال�� ة� �ر� �ك ب �ي ب� أ

�ة أ ام�ر� ه�م� م�ر�� أ و�ا و�ل ق�و�م� �ح� �ف�ل ي �ن� ل ق�ال� ى ر� ك�س�

Artinya: Dari Abi Bakrah berkata bahwa Nabi Saw bersabda tentang negeri Persia yang

dipimpin oleh putri Kisra, beliau bersabda: “Tidak beruntung suatu kaum yang urusannya

diserahkan kepada wanita”(HR. Bukhari)

Hadis tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada

seorang wanita, tidak akan memdapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan

dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan

bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara.

Ketentuan semacam ni, menurut al-Qâdli Abû bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para

ulama.

Page 7: MAKALAH PAI.docx

Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah,

keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini,

dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini,

apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.

Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi

pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi

pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang

membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang

seorang wanita menjadi pemimpin.

Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam

urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam

urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya

diperbolehkan.

Ibn Jarîr al-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan ini.

Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam semua

hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal,

Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa,

sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;

“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.

Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi-

nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin,

entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali

hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-

imamah al-kubra)

2.4. Kepemimpinan Perempuan Sebagai Kepala Negara

Page 8: MAKALAH PAI.docx

Dalam pembahasan ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi

kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai

pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah sistem pemerintahan.

Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan terpisah, sehingga jika

dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden, bukan otomatis dipahami bahwa

kalau laki-laki dibolehkan. Dalam sistem pemerintahan sekuler sekarang ini, baik laki-laki

maupun perempuan, adalah tidak dibenarkan menjadi presiden, sebab sistem pemerintahan

dalam Islam adalah Khilafah, bukan republik, kerajaan, atau sistem pemerintahan sekuler

lainnya.

a. Sistem Pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan Republik

Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan,

federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:

“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali

seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah

aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah… (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).

Ijma Shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam

adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah Islamiyyah,

bukanlah sistem pemerintahan Islam. Haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun

terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Semisal menjadi presiden, kaisar, ataupun raja.

Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menggugurkan pendapat bolehnya wanita menjadi

presiden. Bahkan bukan hanya wanita saja, laki-laki pun haram menjadi presiden, raja, ataupun

kaisar. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah

saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan

dengan Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di

tengah hari!. Perdebatan yang berlarut-larut tentang absah atau tidaknya Megawati memegang

tampuk kepresidenan, sebenarnya merupakan perdebatan tak bermutu; disamping akan

melupakan persoalan dasarnya; yakni sah atau tidaknya-menurut Islamsistem kenegaraan yang

melingkupinya. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem republik, keterlibatan kaum

Page 9: MAKALAH PAI.docx

muslimin dalam sistem ini -dalam hal kekuasaan, dan penetapan policy-adalah haram. Walhasil,

jangankan Megawati, Gus Dur yang konon kyai haji pun haram menjadi presiden.

b. Islam Mengharamkan Kepemimpinan Perempuan Dalam Negara

Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Jadi

masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah masalah khilafiyah. Imam

Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’ li Ahkam Al-Quran, Juz I. hal. 270,

menyatakan bahwa :

“Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita

tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita menjadi

qadhi berdasarkan diterimanya kesaksian wanita dalam pengadilan”.

Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk

kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw:

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”.

(HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra)

Hadits ini dari segi riwayah tidak seorang pun pakar hadits yang mempersoalkan

kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna); dalalah hadits ini menunjukkan

dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara. Meski dalam bentuk ikhbar

-dilihat dari sighatnya- hadits ini tidak otomatis menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter

yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khithab berhukum wajib, sunnah, mubah,

makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasi), bukan sighatnya (bentuk kalimatnya).

Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang

menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini

merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata

“qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya kata

qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi

Page 10: MAKALAH PAI.docx

hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung

masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumun”. Selain itu, tidak

ada satupun riwayat yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah, Al-’aam

yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish” (Lafadz umum tetap dalam keumumannya

selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya). Sedangkan latar belakang (sababul wurud)

turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya).

Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil

syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi di

atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh karena itu latar belakang

atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang

masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khususi as-sabab,” (pengertian

diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab).

Adapun hukum yang terkandung di dalamnya pembahasannya sebagai berikut. Meski,

hadits ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun di dalam lafadz hadits itu ada qarinah

yang menunjukkan keharamannya secara pasti.. Pertama, harf lan (harf nahy li al-mustaqbal au li

al-ta’bid), huruf larangan untuk masa mendatang jadi maksudnya adalah tidak akan pernah, dan

untuk selamanya. Kedua, huruf lan ini dihubungkan dengan yufliha (beruntung), lafadz ini

menunjukkan adanya dzam (celaan) dari Rasulullah SAW.

Menjawab Beberapa Keraguan

1. Memang ada sementara kalangan, misalnya Fatima Mernissi seorang feminis muslim, yang

meragukan keabsahan hadits tersebut. Kendati shahih, mereka meragukan kredibilitas perawi

hadits ini, yakni shahabat Abu Bakrah, sebagai orang yang kesaksiannya diragukan lantaran

didakwa pernah melakukan tuduhan palsu dalam kasus perzinahan di masa khalifah Umar

bin Khattab. Tuduhan ini ternyata tidak terbukti. Kitab Tahdzibu al-Kamal fi Asma`i al-Rijal,

juga Thabaqat Ibnu Saad dengan tegas menyebut bahwa shahabat Abu Bakrah adalah

shahabat yang alim dan perawi yang terpercaya (tsiqah).

2. Kemudian ada lagi yang mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas wanita secara

mutlak hanya ada dalam konteks rumah tangga. Memang ayat 34 dari surah Annisa,

menyebutkan bahwa para lelaki menjadi pemimpin atas perempuan. Bila ayat ini

dimaksudkan sebagai petunjuk tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah

Page 11: MAKALAH PAI.docx

tangga, maka dengan mafhum muwafaqah, dalam urusan yang lebih besar, yakni urusan

negara, lelaki tentu lebih wajib lagi menjadi pemimpin.

Imam Az Zamakhsyari dalam tafsir Al Kasysyaf menyebutkan mengenai tafsir surat An

Nisaa ayat 34 tersebut, “yaquumuuna alaihinna aamiriina naahiina kamaa yaqumu al wulaatu

‘ala ar ra’aaya .” (Kaum laki-laki berfungsi terhadap isteri-isteri mereka sebagai yang

memerintah dan melarang, seperti halnya pemimpin (wali) berfungsi seperti itu terhadap

rakyatnya.)”

3. Argumentasi yang mengatakan bahwa syarat wajibnya pemimpin dari kaum lelaki hanyalah

untuk negara Islam (Khilafah Islamiyah), oleh karena Indonesia bukan negara Islam syarat

tersebut tidak bisa digunakan, tidak bisa diterima. Mengingat celaan rasul ketika anak

perempuan Kisra diangkat menjadi ratu menggantikan ayahandanya yang meninggal terjadi

juga bukan di negara Islam. Kisra adalah julukan untuk pemimpin tertinggi dalam kekaisaran

Persia.

4. Argumen bahwa wanita dalam Islam bisa saja menjadi kepala negara sebagaimana

ditunjukkan pada kisah Syajaratuddur dan ratu Bilqis tidak bisa diterima. Memang ratu

Syajaratuddur, seorang perempuan dari dinasti Mamalik pernah berkuasa di Mesir. Tapi

kenyataan sejarah ini tidak bisa dijadikan landasan argumentasi bolehnya seorang perempuan

menjadi presiden, karena landasan syar’iy adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Shahabat dan

Qiyas. Lagi pula Syajaratuddur mendapatkan kekuasaan secara kebetulan. Ia kebetulan

adalah istri dari penguasa Mesir, Malikus Shalih, yang tunduk kepada khalifah al-Mustansir

Billah dari Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Setelah Malikus Shalih wafat,

kekuasaannya diserahkan kepada istrinya Syajaratuddur. Mendengar hal ini, khalifah al-

Mustansir Billah segera mengirim surat mempersoalkan keadaan di Mesir, apakah tidak ada

laki-laki yang bisa menjadi pemimpin. Bila tidak ada, khalifah akan segera mengirim seorang

laki-laki untuk menggantikan Malikush Shalih memimpin Mesir. Akhirnya, setelah berkuasa

selama tiga bulan, Syajaratuddur digantikan oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya.

Demikian juga tentang kisah ratu Bilqis. Kisah yang diabadikan dalam al-Qur’an tidak

bisa dijadikan sebagai landasan syar’iy. Lagi pula, dalam kisah itu, ratu Bilqis akhirnya juga

melepaskan kekuasaanya setelah ditundukkan oleh Nabi Sulaiman dalam tempo sesingkat-

singkatnya. Bahkan akhirnya menjadi istri nabi yang telah menaklukkannya itu.

Page 12: MAKALAH PAI.docx

Lagipula, kisah umat sebelum Islam dalam ushul fiqih termasuk dalam Syar’u Man

Qablana (Syariat Umat Sebelum Kita) yang sebenarnya tidak merupakan syariat bagi kita

(umat Islam).Sebab syariat Islam telah menasakh syariat-syariat sebelum Islam, sesuai firman

Allah SWT :

“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Qur`an dengan membawa kebenaran,

membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan

muhaimin (penasakh) terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (QS Al Maaidah : 48)

Dalam hal ini para ulama Asy’ ariyah, Imam Ahmad (dalam satu riwayat), Ibnu Hazm,

sebagian ulama Ahnaf, dan mayoritas mujtahid madzhab Asy Syafi’i (seperti Al Ghazali, Al

Amidi, Ar Razi) berpendapat bahwa syariat umat sebelum kita, bukanlah syariat bagi kita

(Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hal. 209)

5. Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran

HAM, dan demokrasi. Haramnya kepemimpinan wanita merupakan bagian dari aturan Islam.

Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang HAM dan demokrasi yang kufur,

pelarangan wanita dalam kekuasaan negara bisa dianggap pelanggaran. Sebab, aturan HAM

dan demokrasi memang menetapkan ketentuan semacam itu. Namun, seorang mukmin sejati,

hanya mengambil ketetapan dari Al-Quran dan Sunnah, walaupun bertentangan dengan

HAM dan demokrasi. Bukan sebaliknya, yaitu mengambil HAM dan demokrasi walaupun

bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Cukuplah Al-Quran dan As Sunnah sebagai dalil

bagi kaum muslim dan dia tidak akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang

muslim yang bertakwa, keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang semacam inilah

yang seharusnya dimiliki oleh muslim yang bertakwa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala

dalam surah al-Ahzab ayat 36. Maka memilih HAM dan demokrasi dan mencampakkan Al-

Quran dan As Sunnah, merupakan bentuk kesesatan yang nyata! Bahkan, Allah swt

menjelaskan pula kebatilan serangan kafir kaum feminis yang sok demokratis dengan firman-

Nya :

“Dan janganlah kamu iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu

lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang

Page 13: MAKALAH PAI.docx

mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (QS

An-Nisaa’ [4]:32)

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyah.

Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Sudah seharusnya kaum muslim kembali pada

keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ‘sempit’ dan pasrah dengan

sepenuhnya pasrah. Kepemimpinan perempuan menurut Islam tidak diperbolehkan, karena

banyak hadist nabi dan ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa laki-laki adalah pemimpin

perempuan. Sedangkan kepemimpinan modern yang dipimpin oleh perempuan itu

merupakan ajaran yahudi bukan ajaran yang di ajarkan Islam. Kita sebagai umat Islam tentu

seharusnya mengikuti ketentuan dari Allah SWT. Karena Allah-lah yang mengetahui yang

terbaik untuk umat manusia.

Tentu ketentuan yang Allah SWT tentukan itu akan sangat bermanfaat untuk kita. Karena

bila kita tidak mengkuti ketentuan-Nya maka kita kan mendapat kesulitan dan mendapat

mudharat yang besar serta kita juga termasuk orang-orang yang tidak beriman.

3.2. Saran

Setelah mengetahui hukum pemimpin perempuan dalam Islam, maka mulai sekarang kita

harus memilih pemimpin laki-laki. Karena dalam Islam yang seharusnya jadi khalifah itu

adalah laki-laki bukan perempuan.

Page 14: MAKALAH PAI.docx

Daftar Pustaka

Al Qur'an dan Hadist Nabi Muhammad SAW

Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyurrahman, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar,2005

Hadis shaheh, diriwayatkan oleh Bukhari, hadis no 6570

Harun, Maidir, Khilafah dan Masyrakat Islam Modern,Jakarta: IAIN IB Press.dan Tan

Sri, 2006

Haque, Ziaul, Revolusi Islam, Penerjemah Halid Al-Kaf, Jakarta: Darul Falah,2000

Nawawi Hadari H. “Kepemimpinan Menurut Islam”. Gadjah Mada University Prees,

Yogyakarta, 1993.

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Prenada Media, 2007

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban, Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada 2006