makalah olahraga pengembangan profesionalisme guru penjas.doc
Post on 27-Nov-2015
552 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN PROFESIONALISME
GURU PENDIDIKAN JASMANI DI ERA GLOBALISASI
1. Pendahuluan
Pada tahun 1998 Holton mengatakan bahwa globalisasi
adalah satu kesatuan dunia atau komunitas manusia yang di
dalamnya secara regional, nasional, dan elemen-elemen lokal diikat
bersama dalam satu kesatuan yang saling mendukung (dalam Hong F,
2003). Globalisasi yang termanifestasikan dalam strukturnya melibatkan
semua jaringan dengan tatanan global yang seragam dalam pola hubungan
yang sifatnya penetratif, kompetitif, rasional dan pragmatis (Semiawan CR,
1997) dalam berbagai bidang kehidupan, terutama dalam dimensi kebugaran,
kesehatan, ekonomi dan budaya. Konsekuensinya adalah di dalam
berbagai penyiapan sumber daya manusia (SDM) harus bersifat realistis
karena globalisasi menjadi tantangan yang terkait dengan daya saing dan
prakarsa, yaitu kemampuan-kemampuan yang belum menjadi ciri budaya
bangsa Indonesia, yang mementingkan keselarasan dan keserasian (Semiawan
CR, 1997).
Dalam menghadapi tantangan masa depan, perencanaan
pengembangan profesional guru pendidikan jasmani dan lembaga pendidikan
tenaga kependidikan(LPTK) harus diubah dari yang berwawasan mikro
menjadi berwawasan makro, antisipatif, ekstrapolatif, dan strategik
(Depdikbud, 1995). Pendekatan makro berarti memperluas cakupan
wawasan dalam perencanaan pendidikan tenaga kependidikan dengan
meletakkan sistem pendidikan sebagai subsistem yang lebih luas,
yaitu sistem pembangunan ekonomi. Antisipatif berarti bahwa
perencanaan pendidikan tenaga kependidikan, termasuk guru pendidikan
jasmani, bertumpu kepada tantangan-tantangan yang akan terjadi di masa
depan, baik yang bersifat internal ataupun eksternal. Eksploratif berarti
bahwa dalam perencanaan pendidikan guru pendidikan jasmani harus
bertumpu kepada kenyataan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai
pada saat sekarang beserta permasalahannya. Memperhatikan ketiga
pendekatan tersebut di atas, maka pendekatan strategik harus digunakan
untuk memilih alternatif rancangan yang paling menguntungkan dan efisien
dalam mencapai peran dan target yang telah ditetapkan (Depdiknas,
1995).
Ditinjau dari sudut profesi keguruan, tantangan yang paling besar
pada era globalisasi adalah adanya arus informasi yang semakin
cepat, semakin akurat, dan semakin beragam. Guru pendidikan jasmani
merupakan salah satu komponen utama dalam proses pendidikan. Oleh
sebab itu, berusaha memahami tantangan dan masalah yang akan
dihadapi oleh guru pendidikan jasmani pada masa depan merupakan
upaya yang baik dalam rangka untuk mengembangkan profesionalisme
guru pendidikan jasmani pada masa mendatang.
Permasalahan yang dihadapi guru pendidikan jasmani dewasa ini dan
pada masa yang akan datang adalah dapatkah guru pendidikan jasmani
mengangkat harkat dan martabat profesinya sehingga guru pendidikan
jasmani menjadi orang yang dapat digugu dan ditiru ?
2. Pembahasan
2.1 Percepatan Arus Informasi
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi
demikian cepat sehingga menimbulkan perubahan besar dalam arus
informasi. Perubahan itu tidak hanya dalam hal semakin canggihnya jenis,
sifat, dan volume informasi yang dapat diterima dan disimpan, tetapi juga
percepatan serta ketepatan informasi yang diolah dan ditransferkan.
Semuanya itu, sangat mempengaruhi corak dan prospek proses pendidikan,
peran guru, dan perencanaan pendidikan guru pendidikan jasmani.
Berkembangnya komunikasi dan teknologi modern, sumber
informasi, dan ilmu pengetahuan, maka nilai dan sikap menjadi lebih
kompleks. Selain orang tua dan guru, banyak sumber informasi lain yang
dapat diperoleh oleh siswa melalui berbagai media (cetak, pandang,
dengar, ataupun yang campuran), disengaja ataupun tidak disengaja,
yang menjadi masukan (input) siswa dalam proses belajarnya, seperti:
mendengarkan radio, televisi, komunikasi langsung dengan teman,
komunikasi langsung dengan sumber pengetahuan yang lain (perpustakaan,
musium, internet, dan lain-lain)(Nurhadi MA, 1995).
Tantangan bagi pengembangan peran guru pendidikan jasmani
adalah bagaimana dapat membiasakan siswa untuk memahami sumber-
sumber informasi, mencari, menyeleksi, dan mengintegrasikan informasi
yang diperoleh dari sumber lain dengan yang diperoleh dari guru ataupun
yang berasal dari luar, untuk dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan
ketrampilannya dalam pendidikan jasmani.
2.2 Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research)
Penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan salah satu alat
untuk reflektif mengembangkan ilmu dalam bidang ilmu pendidikan yang
mencakup pengembangan kurikulum, pengembangan keahlian mengajar
ataupun praktik pembelajaran dalam berbagai bidang termasuk
pembelajaran pendidikan jasmani yang dapat menumbuh kembangkan
berbagai kemampuan yang memiliki dampak pengiring (narturing effect)
untuk mewujudkan prakarsa, kreativitas, dan daya saing (Semiawan CR,
1997). PTK bertujuan meningkatkan berbagai kemungkinan pengatasan
masalah yang terkait dengan pendidikan dan pembelajaran yang dapat
menjadi jembatan untuk pengembangan ilmu pendidikan. PTK yang
meneliti kondisi dan situasi konkerit dalam kelas, meskipun akan
menghasilkan temuan kecil, namun temuan tersebut dapat memiliki dampak
yang besar bagi perbaikan proses pembelajaran.
Untuk itu, perspektif kehidupan kelas agar dihayati secara
sungguh- sungguh oleh guru pendidikan jasmani. Karena itu, guru
pendidikan jasmani agar mengadakan refleksi tentang tugasnya sehari-hari.
Perspektif kehidupan kelas dan perilaku guru pendidikan jasmani
bersumber dari kaidah-kaidah yang dianutnya dan terkait dengan
berbagai prinsip pembelajaran yang berpijak pada psikologi belajar yang
kontemporer (konstruktivisme), yang menganut prinsip bahwa
perhatian tertuju kepada (1) siswa dan masalah yang relevan yang
muncul pada belajarnya siswa; (2) pemahaaman makna (verstehen) yang
tersirat pada ekspresi perilaku siswa yang bersumber dari pandangan serta
dari “inherent inner ability” ataupun berbagai interaksinya yang ia jalin
dengan manusia dan objek sekitarnya, di luar dari pada dirinya, dalam
membentuk (construct) “body of knowledge” pengetahuan tersebut; (3)
interpretasi berbagai ekspresi tersebut dalam belajar siswa dan dengan
mendalami evaluasi belajar dengan mengacu pada pembelajaran yang lebih
efektif.
Seorang guru pendidikan jasmani merupakan pelaku pendidikan
karenanya secara sengaja atau tidak sengaja, secara “volunter atau involunter,
intensional atau unintensional” selalu mempengaruhi kehidupan bathiniah
sesamanya. Untuk itu, setiap kali dalam pembelajarannya ditemukan
refleksi dari ahli didik, agar terjadi interaksi yang langsung pada bidang
ilmu pendidikan jasmani yang digeluti guru pendidikan jasmani dalam
praktiknya akan memperkaya serta mengembangkan ilmu, karena
mengandung dasar yang kuat apabila dilakukan dalam kontek PTK.
2.3 Peningkatan Peranan Guru Pendidikan Jasmani
Dalam mengantisipasi tantangan yang harus dihadapi dengan
masalah yang ada, maka upaya meningkatkan peran dan kualitas guru
pendidikan jasmani dalam proses belajar-mengajar perlu dilakukan.
Pertama, peningkatan pengajaran dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) keolahragaan (Lawson HA, 2003).
Peningkatan itu dilakukan mulai dari jenjangpendidikan dasar
(SD dan SLTP),pendidikan iptek keolahragaan mulai diperkenalkan
dengan cara meningkatkan proporsi pengajaran yang memberikan dasar
pemahaman iptek keolahragaan dan mengintegrasikan kedalam mata
pelajaran pendidikan jasmani, termasuk kedalam buku pendidikan jasmani.
Kemudian pada tingkat SMA/SMK upaya tersebut perlu dilanjutkan dan
dikembangkan dengan memberikan bekal kegairahan dan kemampuan
untuk melaksanakan penelitian sederhana di bidang iptek keolahragaan. Ini
berarti guru pendidikan jasmani tidak hanya diharapkan mampu
mengajarkan pendidikan jasmani saja, tetapi mempunyai penguasaan
terhadap wawasan pengetahuan iptek keolahragaan yang memadai,
mengintegrasikan pengajaran iptek keolahragaan kedalam bidang studi
pendidikan jasmani yang diajarkannya. Penguasaan pengetahuan iptek
tersebut akan dapat mendorong dan mendidik anak agar mampu
melaksanakan penelitian sederhana di bidang iptek pendidikan jasmani.
Tantangan ini dihadapi dan dituntut dalam rangka untuk mengembangkan
profesionalisme guru, termasuk guru pendidikan jasmani.
Kedua, penanaman nilai budaya masyarakat industri. Dalam
menghadapi persaingan global pada masa mendatang, penanaman nilai
budaya masyarakat industri perlu dirintis dan dilakukan oleh para guru
(Nurhadi, 1995), termasuk guru pendidikan jasmani pada semua jenjang
dan jenis pendidikan. Nilai budaya masyarakat industri, seperti: etos
kerja, penghargaan terhadap waktu, hidup berencana, wawasan
keunggulan, iptek, cinta kepada produk sendiri untuk menghidup
suburkan hasil produksi industri sendiri, kebiasaan menabung untuk
modal, dan kebiasaan kerja keras. Wawasan keunggulan memberikan
motivasi untuk berkompetisi secara terbuka dalam menghasilkan produk
dalam pasar global, baik melalui keunggulan komparatif ataupun
keunggulan kompetitif. Jika keunggulan kompetitif ini, dapat
dikembangkan di antara guru pendidikan jasmani, maka semangat untuk
berkompetisi dengan bangsa lain menjadi tinggi.
Ketiga, untuk meningkatkan proporsi partisipasi pendidikan yang
meningkat pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, peranan intervensi
guru (Nurhadi, 1995), termasuk guru pendidikan jasmani sangat
diperlukan. Intervensi ini dilakukan untuk memberikan motivasi dan
dorongan agar siswa dan masyarakat dapat menginvestasikan dirinya
dalam bidang pendidikan secara efektif dan efesien selaras dengan
kebutuhan akan komposisi guru pendidikan jasmani yang diperlukan.
Keempat, perubahan peranan dari guru sebagai sumber informasi
menjadi guru sebagai fasilitator dan manager
informasi (Tirta, 1997). Dengan perkembangan komunikasi dan
teknologi modern, guru pendidikan jasmani tidak hanya memberikan
pelajaran, tetapi mengkoordinasikan berbagai sumber belajar untuk
kepentingan pengembangan materi pelajaran pendidikan jasmani bagi siswa.
Guru pendidikan jasmani, selain harus menguasai ilmu yang
diajarkannya, juga harus memberikan petunjuk tentang sumber informasi
lain yang dapat membantu siswa dalam memahami ilmu pengetahuan.
Untuk itu, guru pendidikan jasmani harus selalu mengikuti perkembangan
sumber informasi yang mungkin dan dapat diperoleh siswa, baik secara
sengaja ataupun tidak sengaja di sekolah dan di luar sekolah. Jika guru
pendidikan jasmani tidak dapat memperoleh isi informasi yang bersumber
dari luar sekolah karena terbatasnya fasilitas yang dimilikinya, sedidak-
tidaknya guru dapat menunjukkan kepada siswa agar sumber informasi itu
dapat dimanfaatkan.
Dalam peran sosialnya di masyarakat, seorang guru pendidikan
jasmani tidak lagi bisa sebagai sumber informasi yang mahatahu
tentang semua ilmu pengetahuan karena sumber informasi lain di
masyarakat yang menjadi rivalnya cukup banyak. Oleh sebab itu, peran
guru harus diubah menjadi agen pembaharu dan pengorganisasi perubahan-
perubahan di masyarakat. Ini berarti, bahwa guru pendidikan jasmani
selain harus menguasai bidang studi pendidikan jasmani, juga perlu
menguasai metodologi mencari sumber ilmu pengetahuan yang ada di
masyarakat. Seorang guru tidak lagi menggurui masyarakat, tetapi lebih
sebagai motivator, dan organisator masyarakat.
Jadi, peran guru pendidikan jasmani dalam era komunikasi dan
teknologi modern harus berubah dari peran sebagai seorang pengajar
menjadi seorang fasilitator ataupun seorang manager informasi.
Kelima, perubahan peranan guru dari penceramah menggurui
menjadi pendengar yang emphatik (Tirta, 1997). Filosofi Tut Wuri
Handayani, yang menjadi dasar proses pendidikan belum menjadi
pengalaman nyata bagi siswa dan guru pendidikan jasmani. Guru tetap
mendominasi kegiatan belajar mengajar, kata- kata guru harus didengarkan
dan dipatuhi oleh semua siswa. Akan tetapi, siswa masa kini lebih
membutuhkan seseorang yang bersedia mendengarkan suara hati mereka.
Menjadi pendengar yang emphatik berarti berusaha “masuk” ke dalam
hati para siswa. Hasrat (mood) seorang guru hendaknya bertanya
(Socrates) dan mendengarkan jawaban-jawaban siswa yang beraneka
ragam tersebut. Dengan demikian, belajar berarti mencari alternatif-
alternatif pemecahan masalah.
Keenam, untuk meningkatkan kualitas pendidikan guru
pendidikan jasmani dilakukan antara lain dengan memberikan kesempatan
untuk belajar, baik melalui program pendidikan dan pelatihan yang
bergelar ataupun tidak bergelar dalam jangka pendek atau jangka
panjang, ataupun melalui program tatap muka dan jarak jauh. Ini dapat
dilakukan dengan mengadakan program penyetaraan, baik yang bersifat
tatap muka ataupun dengan cara jarak jauh, serta penataran- penataran
singkat sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian, diharapkan
nantinya semua guru pendidikan jasmani Sekolah Dasar (SD) diharapkan
minimal berpendidikan serendah-rendahnya diploma dua (D2), guru
pendidikan jasmani Sekolah Menengah Pertama (SMP) serendah-
rendahnya berpendidikan Diploma Tiga (D3) dan guru
pendidikan jasmani SMA/SMK serendah-rendahnya
berpendidikan Strata Satu (S1) (Nurhadi, 1997; Tengah, 1995).
2.4 Perubahan Sikap Guru Pendidikan Jasmani
Pertama, perubahan sikap dari konservatif tradisional menjadi
progresif futuristik (Tirta, 1997). Ditinjau dari tugas pokoknya, guru
adalah insan konservatif. Guru sukar menerima perubahan dan
pembaharuan dalam proses belajar mengajar. Contohnya, setiap ada
perubahan kurikulum dan pembaharuan sistem pembelajaran, hampir
semua guru mengeluh karena terpaksa harus mempelajari materi yang
baru, mengganti rencana pembelajaran, membuat soal- soal, dan membeli
buku pegangan baru. Seharusnya, guru berpandangan jauh ke masa depan
(futuristik). Orang belajar untuk masa depan, bukan untuk waktu yang sudah
lewat. Oleh karena itu, guru termasuk guru pendidikan jasmani hendaknya
merubah sikap konservatif tradisional menjadi bersikap dengan orientasi
masa depan (futuristik). Tugas guru adalah meregenerasi tatanan baru yang
lebih sesuai dengan tuntutan jaman.
Kedua, perubahan sikap dari belajar tentang pengetahuan menjadi
belajar untuk hidup. Secara psikologis, manusia belajar untuk
memuaskan hasrat (motivasi) ingin tahu. Sejak Francis Bacon (dalam Tirta,
1997) menyatakan bahwa “knowledge is power”, tujuan belajar adalah
terutama untuk meningkatkan taraf kehidupan atau belajar demi untuk hidup.
Hampir 2000 tahun yang lalu, seorang filosuf Roma bernama
Seneca (dalam Curm, 2003) menyatakan “non- scholae sed vitae
discimus” yang berarti jangan mengajar untuk sekolah, mengajarlah
untuk hidup. Pengetahuan diaplikasikan untuk menimbulkan
perubahan ke arah peningkatan martabat hidup. Olehkarena itu, setiap orang
di era globalisasi dituntut untuk memiliki pengetahuan spesifik-praktis.
Dengan memiliki pengetahuan spesifik praktis, maka akan dapat
meningkatkan daya saing dalam mencari lapangan pekerjaan.
Ketiga, perubahan sikap dari mengajarkan substansi kurikulum
menjadi mengajarkan metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu
pengetahuan tidak ada kebenaran monolitik. Kebenaran ilmiah berarti
kebenaran sementara atau kebenaran tentatif. Kebenaran yang justru
mempersilahkan untuk dibuktikan salah (Tirta, 1997). Dengan
menitikberatkan kepada metodologi ilmu pengetahuan guru tidak perlu
harus meliput materi kurikulum dari awal sampai dengan akhir. Ada
bagian-bagian tertentu yang dapat diserahkan kepada para siswa sendiri
untuk membahasnya. Perkembangan kecerdasan, emosi, sosial, dan
moral, tidak dipandang sebagai dampak pengiring belaka, melainkan
dapat dibina secara sengaja dan terarah sehingga menjadi bagian dari
skenario dalam proses belajar- mengajar dalam pendidikan jasmani (Lutan,
2001).
2.5 Menciptakan Lingkungan Pendidikan Jasmani Yang Cerdas
Ada beberapa cara untuk menciptakan lingkungan pendidikan
jasmani yang cerdas, yakni (1) menciptakan lingkungan belajar dan
berlatih yang aman; (2) meningkatkan kehadiran; (3) mengajarkan
tanggungjawab personal dan sosial; (4) meningkatkan keberhasilan setiap
siswa; (5) menghargai dan menilai usaha dan peningkatan.
Barrette GT pada tahun 1993 (dalam Barrette, 2003)
menciptakan”Fit Sport Teaching and Coaching Model”, yakni model
ini secara konseptual didefinisikan sebagai sistem pengambilan
keputusan terpadu yang dirancang untuk mengaitkan tujuan program dan
hasilnya dengan tindakan rencana pelatihan dan pengajaran pendidikan
jasmani. Terpadu dimaksudkan bahwa empat criteria tersebut diterapkan
secara bersamaan pada setiap tingkat dan setiap saat saat peristiwa
pembelajaran pendidikan jasmani.
Pencapaian hasil terkait dengan tanggung jawab sosial dan
konsep diri menjadi positif. Konsep ini terdiri atas, empat kriteria
paedagogis, yaitu (1) waktu keterlibatan yang tinggi bagi setiap siswa; (2)
relevansi tugas setiap siswa terhadap hasil yang dicapai oleh individu
ataupun kelompok; (3) keseimbangan antara pengalaman belajar
berlomba dan bekerjasama; (4) menggunakan kesesuaian aktivitas yang
terkait selama praktik kelompok dan dalam keahlian.
Ketika kriteria tersebut di atas digunakan, maka akan dihasilkan
sebuah “good fit” untuk mencapai nilai-nilai positif bagi siswa
dalam pengalaman pendidikan jasmani dan olahraga
(Barrette, 2003). Strategi pembelajaran pendidikan jasmani yang
mencakup model strategi permainan yang digunakan secara langsung
dirancang untuk memberikan informasi kepada siswa tentang peran
sosial dan personalnya serta tanggung jawab satu sama lain untuk
mengembangkan rasa kepemilikan dalam pengalaman pendidikan jasmani
dan olahraga.
2.6 Pengembangan Pendidikan Guru Pendidikan Jasmani
Dalam rangka mengantisipasi tantangan yang dihadapi pada masa
depan dan memperhatikan permasalahan yang dihadapi masa kini, maka
perlu dilakukan orientasi ulang terhadap upaya pengembangan
pendidikan guru pendidikan jasmani.
Pertama, hanya lulusan (out put) yang bermutu dapat
mempunyai nilai kompetitif tinggi (Sumantri HM, 1997). Lulusan yang
demikian ini, hanya dapat dihasilkan oleh tenaga guru pendidikan
jasmani yang sudah terampil serta mempunyai pengalaman di
lapangan yang didasari dengan konsepilmu pengetahuan
yang kuat. Proses pendidikan di LPTK, harus dikaitkan dan
disepadankan (link and match) dengan keterampilan praktik yang dialami di
dunia pendidikan yang sebenarnya. Kebutuhan untuk keterkaitan dan
kesepadanan ini menjadi sangat penting pada jenis-jenis pekerjaan seperti
guru pendidikan jasmani.
Kedua, untuk mengantisipasi pemenuhan kebutuhan guru yang
berubah selaras dengan pergeseran struktur demografi ataupun kebutuhan
struktur tenaga kerja dan perkembangan iptek, maka upaya untuk
membuat sistem pendidikan guru yang lebih fleksibel yang mampu
menghadapi tantangan pasang surutnya kebutuhan akan guru pendidikan
jasmani yang diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS), sangat
diperlukan untuk menekan terjadinya pemborosan.
Pengembangan Jurusan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
(Penjaskes) pada Fakultas Pendidikan Ilmu Keolahragaan diarahkan untuk
menghasilkan calon guru pendidikan jasmani yang mempunyai pengetahuan
dan keterampilan yang kuat di bidang pendidikan jasmani dan
kemampuan metodologi pengajaran, serta mempunyai peluang pasar
yang lebih fleksibel dalam menghadapi perkembangan iptek, yang
diimplementasikan antara lain dalam bentuk pengembangan
kurikulum. Peningkatan kemampuan bidang studi pendidikan jasmani
dilakukan dengan mempertinggi bobot mata kuliah bidang studi,
sedangkan peningkatan metodologi pendidikan jasmani dilakukan
dengan meningkatkan intensitas kegiatan praktik mengajar. Selain itu
kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga lulusannya
memiliki fleksibilitas horizontal ataupu vertikal. Fleksibilitas
horizontal dengan maksud agar lulusan dapat mengajar lebih dari satu bidang
studi dalam satu rumpun. Ada pula pemikiran agar fleksibilitas horizontal
ini dapat memberikan kemampuan lain, selain profesi guru.
Sifat fleksibilitas vertikal dimaksudkan untuk memberikan
kemampuan profesional kepada calon guru pendidikan jasmani untuk dapat
mengajar, baik di SD, SMP ataupun SMA/SMK. Fleksibilitas dapat pula
diartikan memberikan kewenangan kepada Fakultas Pendidikan
Ilmu Keolahragaan dalam mengembangkan kurikulumnya sesuai
dengan variasi kebutuhan di daerah. Oleh karena itu, isi kurikulum
yang ditetapkan secara nasional hanya berkisar 60 sampai dengan 80
persen, sedangkan sisanya dapat dikembangkan sendiri oleh Fakultas Ilmu
Keolahragaan yang bersangkutan sebagai kurikulum muatan lokal.
Ketiga, mengingat sumber daya yang dapat disediakan oleh
pemerintah terbatas, sementara itu mutu harus ditingkatkan, maka
peranan swasta dan partisipasimasyarakat perlu juga ditingkatkan
untuk membantu upaya pengembangan lembaga pendidikan tenaga
kependidikan.
Upaya untuk mendapatkan bantuan dari masyarakat, pemberian
beasiswa, atau model sponsor, perlu juga dikembangkan guna menggali
dana dan sumber daya dari masyarakat. Menurut hasil penelitian uji coba
dari Coplaner 1995 (dalam Nurhadi, 1995), bahwa potensi sumber daya
masyarakat untuk menunjang program pendidikan masih cukup besar di
semua lapisan masyarakat. Jadi, yang diperlukan adalah cara menggali dan
memanfaatkannya secara optimal sumber daya yang ada di
masyarakat tersebut.
Keempat, dengan meningkatnya jumlah penduduk di
perkotaan dan menurunnya jumlah penduduk di pedesaan, maka
pendekatan pemetaan sekolah dan kebutuhan guru termasuk guru
pendidikan jasmani yang selama ini dipergunakan perlu dirubah.
Perencanaan pendidikan guru termasuk guru pendidikan jasmani
diintegrasikan dengan sistem pemetaan pengembangan perkotaan
termasuk pemukiman penduduk pada masa mendatang.
Kelima, untuk mengisi kebutuhan akan guru pendidikan jasmani di
daerah terpencil dan di desa-desa yang semakin langka penduduknya,
perlu dirancang program pendidikan guru pendidikan jasmani yang
dapat menghasilkan guru pendidikan jasmani yang profesional yang dapat
menjadi tutor pada SLTP terbuka (Jalal, 1997).
Keenam, perencanaan pendidikan guru pendidikan jasmani
pada masa mendatang dituntut tidak hanya berorientasi kepada upaya
untuk memberikan kesempatan memperoleh pendidikan, tetapi bagaimana
dapat memberikan layanan pendidikan yang bermutu pada masa mendatang
(Lawson, 2003).
Ketujuh, pendidikan guru pendidikan jasmani memerlukan
biaya yang mahal, sementara itu keuntungan baliknya baru dapat
diperoleh beberapa tahun lagi (Nurhadi, 1997). Investasi di bidang
pendidikan pada masa depan akan dituntut seefisien mungkin. Ini berarti,
walaupun pendekatan tuntutan akan tenaga kerja dipergunakan dalam
perencanaan pendidikan guru pendidikan jasmani di jenjang pendidikan
tinggi, perlu estimasi besaran nilai balik dari investasi yang telah
dilakukan perlu dipertimbangkan.
3 Penutup
Guru pendidikan jasmani merupakan salah satu komponen utama
dalam proses pendidikan. Oleh sebab itu, berusaha memahami tantangan
dan masalah yang akan dihadapi oleh guru pendidikan jasmani pada
masa depan merupakan upaya yang baik untuk mengembangkan
profesionalisme guru pendidikan jasmani di era globalisasi.
Peningkatan peranan dan pengembangan profesionalisme guru
pendidikan jasmani, di samping bergantung kepada program yang dibuat
dan dilaksanakan oleh pemerintah ataupun masyarakat, pada akhirnya
lebih banyak bergantung kepada inisiatif dan kemauan guru itu sendiri
untuk meningkatkannya. Tanpa kemauan dan penghayatan yang kuat
serta kecintaan yang mendalam terhadap profesi yang ditekuninya, maka
hampir dapat dipastikan akan susah terjadinya perkembangan suatu
profesionalisme.
Untuk mengantisifasi permasalahan yang dihadapi guru pendidikan
jasmani
di era globalisasi agar dapat mengangkat harkat dan martabat
profesinya, maka upaya untuk meningkatkan peranan dan
pengembangan profesionalisme guru pendidikan jasmani, merupakan
upaya yang perlu dilakukan secara bersama-sama baik oleh unsur
pemerintah, masyarakat, ataupun individu guru pendidikan jasmani
itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Barrette GT. 2003. Sport and Integration Social. Paper in International
Conference on Sport and Sustainable Development, Yogyakarta.
Bart Crum. 2003. Physical Education and School Sport and the
Multiformity of Movement Culture. Paper in International
Conference on Sport and Sustainable Development, Yogyakarta.
Depdikbud. 1995. Program-Program Prioritas Pembangunan Pendidikan
Dalam Repelita VI, Jakarta.
Fasli Jalal. 1997. Identifikasi dan Pengembangan Indikator Kualitas Sumber
Daya manusia Dalam Kaitannya Dengan Pemberdayaan Pendidikan
Jasmani dan Olahraga di Lembaga Pendidikan. Makalah
disampaikan pada Konferensi Nasional Pendidikan Jasmani dan
Olahraga, Bandung.
Ginanjar Kartasasmita. 1994. Pembangunan Sumber Daya Manusia.
Disampaiakan pada Rapat Kerja Depdikbud pada Rapat Kerja
Depdikbud Tahun 1994, Jakarta.
Hong F. 2003. Into The Future: Asian Sport and Globalization. Paper
in International Conference on Sport and Sustainable
Development, Yogyakarta.
Lawson HA. 2003. Empowering People and Advancing Community
Development: The Social Work of Sport, Exercise, and Physical
Education Programs. Paper in International Conference on Sport and
Sustainable Development, Yogyakarta.
Nurhadi MA. 1995. Masalah dan Tantangan Pendidikan Bagi
Perencanaan Pengembangan Guru dan Lembaga Pendidikan Guru.
Disampaikan pada Seminar Tentang Guru dan Pendidikan Guru,
Singaraja Bali.
Rusli Lutan. 2001. Pencarian Konsep dan Wilayah Bookman Old Style
Tubuh Ilmu Keolahragaan. Program Pendidikan Olahraga,
Program Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Semiawan CR. 1997. Keterkaitan Antara Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK) Dengan Sekolah, Model
Alternatif Program Kemitraan Pengembangan Pendidikan
Guru pada EraGlobalisasi. Konsorsium Ilmu Pendidikan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud, Jakarta.
Sumantri HM. 1997. Anak Perempuan Dalam Program Olahraga Di
Sekolah. Makalah disampaiakan pada Konferensi Nasional
Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Bandung.
Tengah DP. 1995. Guru Sekolah Suatu Kajian Emperik Terhadap
Permasalahan Guru. Makalah disampaikan dalam Seminar Guru
Dan Pendidikan Guru, Masalah dan Tantangan Pada Abad Ke 21,
STKIP, Singaraja.
Tirta N. 1997. Profesionalisme Guru (Suatu Tantangan Perubahan).
Makalah Studium General/Seminar Dalam Rangka Dies Natalis IV
dan Wisuda VII STKIP, Singaraja.
top related