makalah modernisme islam di indonesia revisi
Post on 28-Dec-2015
72 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
MAKALAH
MODERNISME ISLAM DI INDONESIA
1900-1942
Makalah ini disusun sebagai tugas Uji Kompetensi III
mata kuliah Sejarah Pemikiran Arab Modern
Penyusun:
Desy Ayu
Aisyah Dwi Agdani
Eka Safitri Anasari
Hanif Fakhrunnisa
Muamar Maulana
SASTRA ARAB
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam konteks gerakan, maka kata pembaruan mengacu kepada gerakan pemurnian
agama yang berkembang sebelum abad ke-19 dan awal abad ke-20. Modernisme digunakan
untuk menjelaskan gerakan pembaruan yang muncul sejak akhir abad ke-19 yang bertujuan
untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan pemikiran modern. Gerakan modernisme Islam
dalam bidang pemikiran agama lebih menekankan pada gerakan purifikasi atau pemurnian
ajaran Islam.
Gerakan modernis atau pembaharuan Islam bertujan untuk mengadaptasi ajaran Islam
kepada pemikiran dan kelembagaan modern. Gerakan ini berawal dari Timur Tengah dan
menyebar ke seluruh penjuru Islam pada awal abad ke-20 dan dilatarbelakangi oleh adanya
hubungan yang intensif dari pada ulama Nusantara dengan Timur Tengah melalui ibadah haji.
Gerakan ini kemudian berkembang dengan munculnya banyak organisasi modern di Indonesia.
Seperti judul buku yang dikarang oleh Deliar Noer, buku-buku yang ditulisnya pada
umumnya membicarakan gerakan islam di negeri Indonesia antara tahun 1900-19542. dengan
sendirinya masa–masa sebelum tahun 1900 mengandung unsur–unsur yang dijumpai pada
waktu sesudahnya. Perkembangan masyarakat, pemikiran dan gerakan kecuali yang bersifat
formal, tidaklah muncul atau berhenti pada satu patokan tahun, melainkan biasanya
mengandung proses awal atau akhir yang menyebar dalam waktu yang relative panjang.
Gerakan moderen islam di Indonesia seperti yang dibicarakan oleh buku ini, tidaklah mulai
tahun 1911 dengan berdirinya Sarikat Dagang Islam, atau tahun 1912 dengan berdirinya
Muhammadiah, atau tahun 1906 dengan terbitnya majalah Al-Iman (di Singapura), atau tahun
1911 dengan terbitnya majalah Al-Munir di Padang, atau tahun 1909 dengan dibangunya
sekolah Adabiah di kota tersebut, atau tahun 1905 dengan berdirinya sekolah Jamiat Khair
(Djami’at Chair) di Jakarta. Tahun inilah tahun–tahun resmi berdirinya organisasi, sekolah atau
terbitnya majalah yang bersangkutan. Namun pemikiran, gerakan permulaan, entah berupa
ajakan entah berupa anjuran, baik dari perorangan atau klompok masyarakat umumnya lebih
dahulu dari tahun–tahun di atas.
Permasalahan yang sangat penting dalam masalah gerakan moderenisasi islam dalam
perkembanganya Deliar Noer memandang dari beberapa perbandingan yang diantaranya
mengenai persoalan Khilafiah, Sifat Fragmentasi kepartaian, kepemimpinan yang bersifat
pribadi, dan perbedaan dan pertentangan faham.
Terjadinya perbedaan dalam melihat kondisi Islam di Indonesia itu merupakan dampak
dari pengembangan pemikiran khususnya dalam dinamika intelektual yang diorientasikan
kepada pembangunan kebangsaan. Satu hal yang mesti disadari bahwa semakin banyaknya
organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok Islam yang muncul belakangan ini sebenarnya
dapat menjadi kekayaan wacana tentang Islam di Indonesia. Barangkali yang jauh lebih penting
adalah, bagaimana mengupayakan pembinaan kesadaran bersama, bahwa Islam ditengah-
tengah kehidupan bangsa ini laksana satu panji beragam arti, dan keragaman makna sebaiknya
diyakini sebagai anugerah ilahi untuk dinikmati kita bersama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul dan Pertumbuhan Gerakan Modern Islam: Gerakan Pendidikan dan Sosial
1. Muhammadiyah
Sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang
Dunia II dan mungkin juga sampai saat sekarang ini adalah Muhammadiyah. Organisasi
ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh Kyai Haji Ahmad
Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi
Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.
Dahlan telah menghayati cita-cita pembaharuan sekembali dari hajinya yang
pertama. Tidak dapat kita buktikan dengan pasti, apakah ia sampai pada pemikiran
pembaharuan itu secara perorangan ataukah ia dipengaruhi oleh orang-orang lain dalam
hal ini. Ia mulai mengintrodusir cita-citanya itu mulanya dengan mengubah arah orang
bersembahyang kepada kiblat yang sebenarnya (sebelumnya arah sembahyang biasanya
ke Barat). Mungkin sekali Dahlan tiba pada cita-cita pembaharuan itu secara perorangan.
Tetapi ia gagal di dalam merealisasikan perubahan kiblat di masjid Sultan di Yogyakarta.
Ia memang dapat membangun langgarnya sendiri dengan meletakkan kiblat yang tepat,
tetapi perubahan ini tidak disenangi oleh penghulu Kyai Haji Mohammad Halil yang
memerintahkan untuk membinasakan langgar itu. Begitu patah hati Dahlan, sehingga ia
ingin pergi meninggalkan kota kelahirannya itu. Tetapi ada seorang keluarganya
menghalangi maksudnya itu dengan membangunkan untuknya sebuah langgar yang lain
dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan dan mempraktekkan agama menurut
keyakinannya sendiri di situ.
Dalam tahun 1909 Dahlan masuk Budi Utomo dengan maksud memberikan
pelajaran agama kepada anggota-anggotanya. Dengan jalan ini ia berharap agar akhirnya
dapat memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah, karena anggota-
anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah pemerintah dan ia
berharap agar guru-guru sekolah yang diajarnya dapat meneruskan ke murid-murid
mereka.
Demikianlah Muhammadiyah didirikan. Organisasi ini mempunyai maksud
“menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi
putera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”. Dalam
mengarahkan kegiatan-kegiatannya, organisasi ini dalam tahun-tahun pertama tidaklah
mengadakan pembagian tugas yang jelas diantara anggota pengurus. Hal ini disebabkan
oleh ruang gerak yang masih sangat terbatas, yaitu daerah Kauman, Yogyakarta saja pada
tahun 1917. Daerah operasi organisasi Muhammadiyah mulai diluaskan pada tahun 1920
meliputi seluruh pulau Jawa dan pada tahun berikutnya 1921 ke seluruh Indonesia.
Perluasan ini dipermudah oleh berbagai faktor. Pribadi Dahlan dan caranya ia
berpropaganda dengan memperlihatkan toleransi dan pengertian kepada pendengarnya
sangat memberikan bantuan untuk memperoleh sambutan yang memuaskan. Mereka
yang mengenal pembaharuan di Mesir melihat pula pada Muhammadiyah sebagai jalan
untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran pembaharuan tersebut di Indonesia, dan oleh
sebab itu mereka memberikan bantuan kepada organisasi tersebut. Dahlan sendiri dapat
mengemukakan secara pasti, dan telah mengetahui tentang pemikiran-pemikiran Abduh
itu pada tahun 1912. Pembaharuan yang mula-mula ia lakukan, yaitu tentang praktek-
praktek lahiriah seperti kiblat dan kebersihan, kemudian di rangsang oleh pemikiran dari
pembaharu Mesir itu dan diperluas secara lambat laun pada masalah-masalah
fundamentalis dari masyarakat dan umat islam, yaitu tentang persoalan apakah ijtihad
telah tertutup ataukah masih terbuka.
Dalam tahun 1925 organisasi ini telah mempunyai 29 cabang-cabang dengan
4.000 orang anggota. Kongres tahun 1930 yang diadakan di Bukittinggi, tempat pertama
kongres di luar Jawa, mencatat 112 cabang-cabang dengan 24.000 orang anggota.
Keanggotaan ini bertambah menjadi 43.000 pada tahun 1935, tersebar pada 710 cabang-
cabang, 316 di Jawa, 286 di Sumatera, 79 di Sulawesi dan 19 di Kalimantan. Pada tahun
1938 terdapat 852 cabang-cabang serta 898 kelompok (yang belum berstatus cabang),
seluruhnya dengan 250.000 anggota.
2. Persatuan Islam
Persatuan Islam didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920 ketika orang-
orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju dalam berusaha untuk
mengadakan pembaharuan dalam agama. Sarekat Islam telah beroperasi di kotaini
semenjak tahun 1931. Kesadaran tentang keterlambatan ini merupakan sebuah cambuk
untuk mendirikan sebuah organisasi. Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan
yang bersifat kenduri yang diadakan secara berkala dirumah salah seorang anggota
kelompok yang berasal dari Sumatera yang telah lama tinggal di Bandung.
Mulai pada saat ia berdiri sampai akhir masa, Persis pada umumnya kurang
memberikan tekanan bagi kegiatan organisasi sendiri. Ia tidak terlalu berminat untuk
membentuk banyak cabang-cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota.
Pembentukan sebuah cabang bergantung semata-mata pada inisiatif peminat dan tidak
didasarkan kepada suatu rencana yang dilakukan oleh pemimpin pusat. Tetapi pengaruh
dari organisasi Persis ini jauh lebih besar dari pada jumlah cabang ataupun anggotanya.
Pada tahun 1923 hanya kira-kira selusin anggota yang berpartisipasi dalam sembahyang
berjamaah pada hari Jum’at yang diselenggarakan oleh Persis di Bandung, tetapi pada
tahun 1942, pada saat invasi Jepang ke Indonesia sembahyang berjamaah seperti ini
dilakukan tidak kurang dai pada di enam buah masjid yang diikuti oleh 500 orang.
Memang perhatian Persis terutama ialah bagaimana menyebarkan cita-cita dan
pemikirannya. Ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan umum, tabligh, khotbah-
khotbah, kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah, dan menyebarkan atau
menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah, dan kitab-kitab.penerbitannya ini yang
terutama menyebabkan luasnya daerah penyebaran pemikirannya. Penerbitan inipula
yang dijadikan referensi oleh guru-guru dan propagandis-propagandis organisasi lain
seperti Al-Irsyad dan Muhammadiyah. Dalam kegiatan ini Persis beruntung memperoleh
dukungan dan partisipasi dari dua orang tokoh yang penting, yaitu Ahmad Hassan yang
dianggap sebagai guru Persis yang utama pada masa sebelum perang, dan Mohammad
Natsir yang pada waktu itu merupakan seorang anak muda yang sedang berkembang dan
yang tampaknya bertindak sebagai juru bicara dari organisasi tersebut dalam kalangan
kaum terpelajar.
Sebagaimana halnya juga dengan organisasi-organisasi lain yang telah kita
bicarakan, Persis memberikan perhatian yang besar pada kegiatan-kegiatan pendidikan,
tabligh serta publikasi. Dalam bidang pendidikan Persis mendirikan sebuah madrasah
yang mulanya dimaksudkan untuk anak-anak dari anggota Persis. Tetapi kemudian
madrasah ini diluaskan untuk dapat menerima anak-anak lain pula. Kursus-kursus dalam
masalah agama untuk orang-orang dewasa mulanya juga dibatasi pada anggota-anggota
saja. Sekitar tahun 1927 sebuah kelas khusus atau lebih tepat kelompok diskusi
diorganisir untuk anak-anak muda yang telah menjalani masa studinya si sekolah-sekolah
menengah pemerintah dan yang ingin mempelajari Islam secara sungguh-sungguh.
Sebuah kegiatan lain yang penting dalam rangka kegiatan pendidikan Persis ini
adalah lembaga Pendidikan Islam, sebuah proyek yang dilancarkan oleh Natsir.yuntutan
ini dikemukakan setelah melihat berdirinya beberapa sekolah swasta di Bandung pada
waktu itu, di mana tidak diajarkan pelajaran agama. Pada tahun 1938 Pendidikan Islam
mempunyai sekolah-sekolah HIS di lima tempat lain di Jawa Barat. Selain Pendidikan
Islam, Persis juga mendirikan sebuah pesantren yang disebut Pesantren Persis di
Bandung pada bulan Maret 1936 untuk membentuk kader-kader yang mempunyai
keinginan untuk menyebarkan agama.
Berlainan dari Muhammadiyah yang mengutamakan penyebaran pemikiran-
pemikiran baru secara tenang dan damai, Persis seakan gembira dengan perdebatan-
perdebatan dan polemik. Dikatakan bahwa organisasi ini menantang orang-orang yang
tidak menyetujui pendapat dan pemikirannya untuk berdebat. Sikap menantang dari
Persis ini dicerminkan juga dalam publikasinya. Majalah Pembela Islam yang terbit di
Bandung dari tahun 1929 sampai tahun 1933 di bawah pimpinan Panitia Pembela Islam
dimaksudkan untuk menegakkan ajaran-ajaran Islam yang dikecam oleh pihak-pihak lain.
Juga untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran Persis sendiri.
B. Asal Usul dan Pertumbuhan Gerakan Modern Islam: Gerakan Politik
1. Sarekat Islam
Asal usul dan pertumbuhan gerakan politik di kalangan Muslimin di Indonesia
dapat dikatakan identik dengan asal usul dan pertumbuhan Sarekat Islam, terutama pada
duapuluh tahun pertama sejak didirikan, yang bersamaan dengan kebangkitan perlawan
rakyat Indonesia menentang kolonialisme. Nama organisasinya adalah Sarekat Islam
(SI).
Di bawah kendali Tjokro, SI dirombak menjadi “organisasi gerakan”. Sejak itu,
seperti diceritakan Ruth McVey di “Kemunculan Komunisme Indonesia”, SI mulai
terlibat dalam memperjuangkan taraf hidup dan perekonomian rakyat. SI juga mulai
menciptakan mulutnya untuk berpropaganda, yakni koran. SI punya koran utama
bernama “Oetoesan Hindia”, tetapi cabang-cabang juga punya koran sendiri seperti Sinar
Djawa (Semarang), Kaoem Moeda (Bandung), dan Pantjaran Warta (Batavia).
SI juga mulai menggerakkan massa melalui rapat akbar (vergadering). Vergadering
pertama SI di Surabaya, tahun 1913, dihadiri oleh puluhan ribu orang. Alhasil, dalam
kongres I SI di Surakarta, tahun 1913, jumlah cabang (Afdeling) SI meningkat pesat
menjadi 48 dan keanggotaan membengkak menjadi 200.000 orang.
Namun, upaya SI mendapat pengakuan penguasa Belanda mendapat rintangan.
Penguasa Belanda menolak permintaan SI atas pengakuan status hukum sebagai
perkumpulan. Sebaliknya, penguasa hanya mau mengakui SI tingkat lokal. Akhirnya,
melalui Dr Rinkes, seorang penasehat Gubernur Jenderal untuk urusan bumiputra,
penguasa kolonial membujuk Tjokro mengubah Afdeling SI menjadi SI lokal.
Dalam kongres SI kedua di Jogjakarta, April 1914, Tjokro berhasil mengubah 60
Afdeling SI menjadi SI lokal. Saat kongres kedua itu anggota SI sudah mencapai 440.000
orang. Baru pada tahun 1915, SI mendapat pengakuan hukum dari Gubernur Jenderal
Idenburg (Risal Kurnia : 2013).
Maju mundurnya partai ini memperlihatkan banyak sedikitnya maju dan
mundurnya posisi umat Islam di Indonesia yang mendasarkan ideologinya pada ajaran
Islam yaitu kebangunan umat dengan Islam sebagai pemersatu, harapan mereka bahwa
Sarekat Islam akan memecahkan semua problema yang dihadapi. Dalam makalah ini
perkembangan Sarekat Islam semata-mata dipergunakan untuk memahami kedudukan
umat Islam di Indonesia dalam bidang politik dan memahami aspek politik dari gerakan
pembaharuan Islam umumnya. Perkembangan Sarekat Islam dapat dibagi menjadi empat
bagian, diantaranya :
1. Sarekat Islam1911-1916 ( memberi corak dan bentuk bagi partai tersebut )
Terdapat dua sebab kenapa organisasi ini didirikan. Pertama, kompotisi yang
meningkat dalam bidang perdagangan batik terutama dengan golongan China.
Kedua, sikap superioritas orang-orang China terhadap orang-orang Indonesia
sehubungan dengan berhasilnya revolusi China pada tahun 1911.
2. Sarekat Islam 1916-1921 ( periode puncak )
Dalam periode ini ketika ketika struktur organisasi telah banyak sedikitnya stabil,
Sarekat Islam memberikan perhatian berbagai masalah, baik politik maupun agama.
Sifat politiknya tercermin dengan jelas pada nama dari kongres-kongres
tahunannya.
3. Sarekat Islam 1921-1927 (periode konsolidasi)
Dalam periode ini partai tersebut bersaingankeras dengan golongan komunis,
disamping juga mengalami tekanan-tekanan yang dilancarkan oleh pemerintah
Belanda. Titik dari permasalahan tersebut adalah perubahan dalam keterangan asas
dan struktur baru Sarekat Islam.
4. Sarekat Islam 1927-1942 (usaha untuk mempertahankan eksistensinya di forum
politik Indonesia)
Dalam tahun 1927 periode transisi untuk mendirikan Partai Sarekat Islam dan
menghapuskan struktur lama selesai. Perhatian lebih banyak ditujukan kepada persoalan-
persoalan teori dan filsafah seperti yang dicerminkan oleh Tafsir Asas dan Politik Hijrah
(Deliar Noer : 1996).
2. Partai-partai Islam Lain
Setelah membicarakan mengenai Partai Sarekat Islam, masih terdapat dua partai
Islam pada masa tersebut, yaitu Persatuan Muslim Indonesia dan Partai Islam Indonesia.
a. Persatuan Muslim Indonesia
Partai ini yang biasa disebut PMI, kemudian menjadi Permi. Mulanya bergerak
pada bidang pendidikan. Transformasinya menjadi partai politik merupakan hasil usaha
dua orang tokohnya, yaitu H. Iljas Jakub dan H. Muchtar Luthfi. Keduanya pernah
mendapatkan pendidikan di Mesir. Partai ini berdiri pada tahun 1930 di Minangkabau.
Berdasarkan pengalaman mereka berdua di Mesir dan pengamatan mereka tentang
pertentangan antara Sarekat Islam dan PNI di Jawa mengenai masalah agama dan
kebangsaan, menyebabkan tumbuhnya pemikiran tentang suatu partai politik yang
didasarkan atas dasar ini, yaitu Islam dan Kebangsaan (Noer, 1980:172).
Partai Permi memiliki cita-cita “Islam mulia” dan “Indonesia Sentosa via Indonesia
Merdeka”. Seperti halnya Sarekat Islam , partai ini juga menyalahkan kapitalisme dan
imperialisme sebagai sebab-sebab bagi penderitaan rakyat Indonesia. Partai ini percaya
bahwa ajaran-ajaran Islam hanya dapat ditegakkan setelah Indonesia mencapai
kemerdekaan.
Permi tetap aktif dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Dalam kongresnya dapa
tahun 1931 di Padang agar memakai pakaian dan barang-barang lain yang berasal dari
Indonesia. Permi mendirikan cabang-cabang di Sumatera tengah, Bengkulu, Tapanuli,
Sumatera Timur, dan Aceh(Noer, 1980:173). Pertain ini memang dipandang sebgai
penyalur aspirasi politik orang-orang Islam di Sumatera, terutama setelah mundurnya
Sarekat Islam. Namun sambutan positif ini menibulkan kecurigaan pihak Belanda dan
juga pinak ninik-mamak. Pidato yang disampaikan dianggap radikal, sehingga beberapa
tokohnya dipenjara. Selain hal itu, beberapa guru Thawalib Padang Panjang, yang berada
di bawah supervise Permi, dilarang mengajar.
Nasib buruk pun dialami Muchtar Luthfi, Iljas Jakub dan Djalaluddin Thaib dengan
pembuangan mereka di Digul, Irian Jaya. Pengawasan-pengawasan dilakukan secara
ketat, termasuk larangan untuk mengadakan kegiatan rapat. Pada tahun 1936 partai ini
memutuskan untuk membubarkan diri.
b. Partai Islam Indonesia
Skorsing yang dilakukan terhadap Sukiman dan kawan-kawannya dalam Sarekat
Islam pada tahun 1933 menyebabkan banyak kecaman dilontarkan dari sebagian pers
Indonesia, sedangkan bebrapa cabang partai meminta kepada pemimpin partai untuk
meninjau kembali keputusan itu atau melaksanakan referendumtentang keputusan
tersebut.
Cabang-cabang yang tidak menyetujui keputusan iru membrntuk suatu panitia yang
bernama Persatuan Islam Indonesia, dengan dasar Islam, Nasioanalisme dan Swadaya.
Panitia ini mencari kerjasama dengan PSII Merdeka di Yogyakarta dan bersama-sama
membentuk Partai Islam Indonesia (Partii). Tujuan dari Partii adalah untuk mencapai
Indonesia merdeka berdasar Islam. Tetapi usahanya mundur pada tahun berikutnya
meskipun telah mendapat sambutan baik bagi penduduk Jawa Tengah.
Kegiatan tersebut menjadi suatu permulaan terbentuknya Partai Islam Indonesia
yang semula Partii menjadi PII tepatnya pada tanggal 4 Desember 1938. Partai ini
dipimpin oleh Raden Wiwoho, seorang mantan Ketua Umum Jong Islamieten Bond dan
yang juga menjadi anggota Volksraad. Tokoh-tokoh Muhammadiyah menguasai
pimpinan pusat partai baru ini. Di Sumatera partai ini memperoleh dukungan dari mantan
anggota-anggota Permi (Persatuan Muslim Indonesia).
Keterlibatan Mansur, seorang Ketua Umum Muhammadiyah, menimbulkan
polemic diantara pengikut Muhammadiyah sendiri. Ada yang memberikan saran untuk
menjadi netral, namun ada pula yang membebaskannya. Hingga pada akhirnya ia
dijadikan sebagai penasehat partai pada tahun 1940.
Awalnya PII tidak memiliki program yang menyeluruh, hingga akhirnya pada
tahun 1940 partai ini menyusun program aksi yang disetujui pada kongres partai yang
pertama di Yogyakarta. Partai menghendaki negara kesatuan yang dilengkapi oleh
pemerintahan yang demokratis, dengan suatu parlemendan lain lain lembaga perwakilan,
berdasar pemilihan umum yang bersifat langsung dan umum. Dalam bidang agama partai
menuntut penghapusan peraturan-peraturan yang menghambat Islam dan penghapusan
semua subsidi bagi seua agama, sedangkan dalam bidang ekonomi partai menuntut
penyerahan perusahaan-perusahaan bumiputera terhadap saingan dan tekanan dari
perusahaan asing (Noer, 1980:178).
Kongres Partai yang kedua di Solo, pada 25-27 Juli 1941 secara resmi
mengemukakan kesediaan untuk duduk dalam dewan-dewan perwakilan yang ada, dan
menyokong tuntutan GAPI untuk Indonesia Berparlemen. Tetapi aktivitas PII terhalang
oleh peraturan-peraturan yang dikeluarkan peerintah sehubungan dengan pecahnya
Perang Pasifik. PII bekerjasama dengan partai dan organisasi lain, seperti GAPI, MIAI
dan secara tidak langsung dengan Majelis Rakyat Indonesia. Namun kerjasama dalam
GAPI dan MRI kelihatannya tidak selancar yang diharapkan.
C. Perkembangan dan Sifat Gerakan Islam Modern di Indonesia
Dalam pembicaraan tentang berbagai organisasi, terlihat berbagai sifat tiap
organisasi itu, kecenderungan dan pemikiran mereka. Adanya partai yang bernon-
koperasi (Sarekat Islam), partai berkoperasi (Partai Islam Indonesia), partai yang pro
golongan kebangsaan (Partai Muslimin Indonesia), organisasi yang anti golongan
kebangsaan (Persatuan Islam)m organisasi yang bersifat toleran (Muhammadiyah),
semuanya memperlihatkan sebagai sebuah gerakan.
Keragaman tersebut bukan berarti tidak ada persamaan. Persamaan di antara
mereka adalah dasar-dasar pemikiran mereka yang mencerminkan cita-cita pembaharu
dan dan pembaharuan yang mereka idamkan.
1. Golongan Tradisionalis
Munculnya gerakan modernisme menyebabkan para pengamat keislaman membagi
umat Islam Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu kaum modernis dan kaum
tradisionalis. Yang disebut terakhir ini pada garis besarnya mempunyai tiga ajaran utama.
Pertama, menganut mazhab Muhammad ibn Idris asy-Syafi`i (767-820) dalam masalah
hukum agama, dengan tidak mengesampingkan mazhab Abu Hanifah (700–767), mazhab
Malik ibn Anas (711–795), dan mazhab Ahmad ibn Hanbal (780–855). Kedua, menganut
skolastisisme Abu Hasan al-Asy`ari (873–935) dan Abu Mansur al-Maturidi (896–944)
dalam masalah ketuhanan. Ketiga, menganut ajaran Abul-Qasim al-Junaidi (828–910)
dan Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111) dalam masalah tasawuf. Kaum modernis pada
umumnya tidak merasa terikat pada ajaran pertama dan ketiga, sedangkan faham
Asy`ariyyah diterima dalam bentuk seperlunya saja.
Kaum tradisionalis di Indonesia juga terstimulasi untuk membentuk organisasi.
Pada tahun 1917 K.H. Abdul Halim di Majalengka mendirikan Persyarikatan Ulama
(sejak 1952 bernama Persatuan Umat Islam atau PUI). Lalu pada 31 Januari 1926 (17
Rajab 1344) di Surabaya lahir Nahdlatul-`Ulama (NU) yang didirikan K.H. Hasyim
Asy`ari (1871–1947). Kemudian menyusul dua organisasi di Sumatera, yaitu Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Minangkabau pada tanggal 5 Mei 1928 (15 Dzulqa`dah
1346), serta Jam`iyyah al-Washliyyah di Medan pada tanggal 30 November 1930 (9
Rajab 1349). Semua organisasi kaum tradisionalis ini mempertahankan mazhab Syafi`i.
2. Golongan Pembaharu
Gerakan pembaharu memang mempunyai suatu sifat tersendiri yang apda
umumnya diwarnai oleh sifat politik. Banyak di antara pemimpin-pemimpinnya
dibuang oleh pemerintah Belanda. Seorang di antara pemimpin pembaharu itu ialah
Haji Rasul yang tidak pernah berbagung pada organisasi manapun juga, tetapi malah
dituduh oleh pemerintah Belanda sebagai seseorang yang mengganggu ketertiban dan
ketenteraman.
Kita telah menyinggung beberapa kebiasaan yang dikecam oleh para pembaharu
dan yang dipraktekan oleh para kalangan tradisi. Para pembaharu meninggalkan
kebiasaan-kebiasaan dalam mengajar yang dilakukan oleh golongan tradisi, mengecam
ushalli, talqin, haul dan kenduri untuk kematian sebagai suatu bid’ah, dalam lingkungan
masyarakat Arab mereka mengecam taqbil dan menolak persoalan kafa’ah dalam
perkawinan, mereka tidak mengakui sayid sebagai gelar ataupu sebagai tanda
kedudukan yang harus dihormati serta mempunyai bermacam-macam keuntungan.
Mereka semuanya tidak menyetujui tarekat dan menolak segala macam sihir dan
sebagainya.
Berlawanan dengan pendapat para kalangan tradisi, mereka tidak mengecam
musik (mereka memang tidak menyukai musik apabila musik menyebabkan seseorang
meninggalkan kewajibannya) mereka pun juga mengakui manfaat gambar-gambar dan
patung-patung terutama untuk maksud pendidikan. Mereka tidak menolak tasyabbuh
(penyamaan dengan pihak bukan Islam) dalam soal berpakaian dan lebih menyukai
hisab daripada ru’yah untuk menentukan permulaan bulan, terutama permulaan bulan
Ramadhan dan Syawal, mereka mengakui bahwa para wanita juga mempunyai hak-hak
sendiri, terutama dalam mengejar pengetahuan tidaklah boleh wanita didiskriminasikan.
Mereka menolak kebiasaan-kebiasaan adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kita telah membicarakan masalah ijtihad dan taqlid dalam bagian pendahuluan.
Banyak ayat-ayat Quran yang dipergunakan golongan pembahari untuk menyokong
aplikasi ijtihad dan meninggalkan taqlid. Di samping itu Persis mengakui ittiba’ yaitu
penerimaan pendapat orang lain yang didasarkan atas Quran dan Hadits untuk
menyokong pendapat tersebut. Tidak semua orang dapat menjadi mujtahid, kata Persis,
tapi ini tidak berarti bahwa seseorang hanya mengikuti pendapat orang lain secara
membabi buta (ini adalah taqlid), orang dapat menerima pendapat orang lain tersebut
atas dasar Quran dan Hadits. Mereka yang melakukan ittiba’ disebut muttabi’.
Walaupun sebenarnya tidak mempergunakan istilah ittiba’ dan muttabi’, dapatlah
dengan aman dikatakan bahwa para pembaharu yang lain pun setuju dengan penamaan
yang dikemukakan oleh Persis ini.
Tetapi pengakuan tentang ijtihad dan kembali pada Quran dan Hadits sebagai
sumber-sumber hukum, tidaklah terbit secara serta merta, secara tiba-tiba, melainkan
secara berangsur-angsur, kadang-kadang disebabkan oleh tantangan yang dilakukan
oleh golongan tradisi sendiri.
Istimewa jika ulama itu sangat kaku serta semata-mata berserah saja kepada kadar
misal-misal yang tertulis kepada satu kitab atau kepada faham orang yang seorang dan
kepada karangan orang yang tertentu. Apa yang munasabah dengan zaman duapuluh
tahun yang sudah tentu tak kaku lagi jika dijalankan juga pada waktu sekarang.
Para pembaharu itu mengemukakan bahwa maksud mereka yang sebenarnya
adalah agar Quran dan Hadits itu saja yang diakui sebagai sumber dalam Islam.
Pendapat maupun fatwa lain hanyalah merupakan bahan-bahan perbandingan untuk
memperoleh kebenaran yang sesungguhnya.
Kembali kepada Quran dan Hadits secara lambat laun ini mencerminkan pula
kemajuan yang dilakukan oleh golongan pembaharu dalam bacaan mereka. Kita ingat
bahwa mereka belajar di Mekkah dari kitab-kitab Mazhab dan dengan guru-guru yang
menjadi pengikut mazhab. Walaupun mereka telah membaca kitab-kitab abduh pada
waktu itu, namun hanya sesudah mereka kembalu baru mereka mendalami pemikiran
pembaharu Mesir tersebut. Dalam tahun 1915 mereka mulai menelaah kitab-kitab yang
ditulis oleh ulama-ulama yang dipelajari oleh Abduh sendiri, yaitu tulisan-tulisan Ibn
Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim, yang mengecam bid’ah, menekankan tauhid dan
menegakkan Quran dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam yang sesungguhnya.
BAB IV
PENUTUP
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia mulai berakar pada pergantian abad.
Berkembang dari masa ke masa dalam waktu empat puluh tahun, pada tahun 1940
gerakan tersebut telah menghujam dalam di tanah tempat Islam telah pasti.
Perkembangan dan penyebaran pembaharuan itu berasal dari kelompok kecil yang
terpisah, tetapi merupakan kekuatan bersatu yang harus dipertimbangkan bangsa
Belanda. Meskipun gerakan ini tidak sunyi dari kesulitan, tetapi pada akhirnya ia dapat
tegak berdiri menghadapi berbagai tantangan dan mampu turut memimpin pergerakan
nasional. Orang-orang Islam di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan dunia pada
umunya. Inspirasi-inspirasi banyak datang dari luar seperti Timur Tengah, Kairo dan
Mesir yang merupakan pusat pengajaran agama Islam sehingga memunculkan semangat
para pemuda Indonesia akan pengetahuan Islam pada umumnya.
Hikmah mempelajari sejarah perkembangan Islam pada abad modern dapat disikapi
dengan sejarah tersebut dapat memberikan ide dan kreatifitas tinggi untuk mengadakan
perubahan-perubahan supaya lebih maju dengan cara yang efektif dan efisien, Problema-
problema masa lalu dapat menjadi pelajaran dalam bidang yang sama pada masa yang
selanjutnya, Pembaharuan dapat dilakukan dalam berbagai bidang baik ekonomi,
pendidikan ,politik dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Faqih, Aunur Rahim. 1998. Pemikiran DanPeradaban Islam. Yogyakarta: UII Press
Mansur. 2004. Peradaban Islam DalamLintasan Sejarah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama
Nata, Abuddin. 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Idonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Noer, Deliar.1982.Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES: Jakarta
top related