makalah isbd kel 3
Post on 10-Dec-2015
15 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Makalah ISBD ( Manusia, Nilai, Moral dan Hukum )
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya untuk menjadikan manusia
berbudaya.Budaya dalam pengertian yang sangat luas mencakup segala aspek kehidupan
manusia, yang dimulai dari cara berpikir,bertingkah laku sampai produk-produk berpikir
manusia yang berwujud dalam bentuk benda (materil)maupun dalam bentuk sistem nilai (in-
materil).Pergaulan antar umat di dunia yang semakin intensif akan melahirkan budaya-
budaya baru,baik berupa pencampuran budaya,penerimaan budaya oleh salah satu pihak atau
keduanya,dominasi budaya,atau munculnya budaya baru.Keseluruhan proses ini tentu saja
dipengaruhi oleh proses pendidikan di masyarakat.Pemunculan kebudayaan baru tidak
sepenuhnya memberikan efek positif terhadap perkembangan suatu bangsa,tetapi ada juga
yang berdampak negative.Untuk menghindari hal-hal negatif dari suatu kebudayaan baru,
diperlukan berbagai upaya untuk mengadakan saringan kebudayaan yang dianggap paling
tepat untuk diterapkan .Oleh karena pemahaman terhadap kebudayaan menjadi penting bagi
seorang pendidik agar pendidik memahami secara persis kebudayaan dan pengaruhnya
terhadap perkembangan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Manusia
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang
berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai makhluk
lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan
atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Dalam hubungannya dengan
lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organism).Terbentuknya
pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap
orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal
(geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seoang bayi lahir, ia merasakan
perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh kaena itu ia menangis, menuntut agar
perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar
bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of
discrimination) dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat
untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan
Manusia adalah makhluk yang tidak dapat dengan segera menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Pada masa bayi sepenuhnya manusia tergantung kepada individu lain. Ia
belajar berjalan,belajar makan,belajar berpakaian,belajar membaca,belajar membuat sesuatu
dan sebagainya,memerlukan bantuan orang lain yang lebih dewasa.Malinowski(1949), salah
satu tokoh ilmu Antropologi dari Polandia menyatakan bahwa ketergantungan individu
terhadap individu lain dalam kelompoknya dapat terlihat dari usaha-usaha manusia dalam
memenuhi kebutuhan biologis dan kebutuhan sosialnya yang dilakukan melalui perantaraan
kebudayaan.Rasa aman secara khusus tergantung kepada adanya system perlindungan dalam
rumah,pakaian dan peralatan. Perlindungan secara umum, dalam pengertian
gangguan/kelompok lain akan lebih mudah diwujudkan kalau manusia berkelompok. Untuk
menghasilkan keamanan dan kenyamanan hidup berkelompok ini, diciptakan aturan-aturan
dan kontrol-kontrol social tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh setiap
anggota kelompok. Selain itu ditentukan pula siapa yang berhak mengatur kehidupan
kelompok untuk tercapainya tujuan bersama.
2.2. Pengertian Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi
manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan
manusia.Sifat-sifat nilai adalah Sebagai berikut.
1. Nilai itu suatu relitas abstrak dan ad dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat
abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai itu.
Misalnya orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah nilai, tetapi kita tidak bias
menindra kejujuran itu.
2. Nilai memiliki sifat normative, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita dan suatu
keharusan sehingga nilai memiliki sifat ideal das sollen. Nilai diwujudkan dalam
bentuk norma sebagai landasan manusia dalam bertindak. Misalnya nilai keadilan.
Semua orang berharap manusia dan mendapatkan dan berperilaku yang
mencerminkan nilai keadilan.
3. Niliai berfungsi sebagai daya dorong dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia
bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya. Misalnya nilai
ketakwaan. Adanya nilai ini menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai
derajat ketakwaan.
Menurut Cheng(1995):Nilai merupakan sesuatu yang potensial,dalam arti
terdapatnya hubungan yang harmonis dan kreatif ,sehingga berfungsi untuk
menyempurnakan manusia sedangkan kualitas merupakan atribut atau sifat yang
seharusnya dimiliki(dalam Lasyo,1999,hlm.1).Menurut Lasyo(1999,hlm.9)sebagai
berikut: Nilai bagi manusia merupakan landasan atau motivasidalam segala tingkah
laku atau perbuatannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai yaitu sesuatu yang
menjadi etika atau estetika yang menjadi pedoman dalam berperilaku.Manusia
sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks,pertama akan
memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif,apabila dia memandang nilai itu ada
meskipun tanpa ada yang menilainya,bahkan memandang nilai telah ada sebelum
adanya manusia sebagai penilai.Baik dan buruk,benar dan salah bukan hadir karena
hasil persepsi dan penafsiran manusia,tetapi ada sebagai sesuatu yang ada dan
menuntun manusia dalam kehidupannya.Pandangan kedua memandang nilai itu
subjektif,artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya.Jadi nilai
memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya penilai.Oleh karena itu
nilai melekat dengan subjek penilai.
2.3. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan.Kata
mores ini mempunyai sinonim mos,moris,manner mores atau manners,morals.Dalam
bahasa Indonesia,kata moral berarti akhlak (bahasa Arab)atau kesusilaan yang
mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi
pembimbing tingkah laku batin dalam hidup.Kata moral ini dalam bahasa Yunani
sama dengan ethos yang menjadi etika. Secara etimologis ,etika adalah ajaran tentang
baik buruk, yang diterima masyarakat umum tentang sikap,perbuatan,kewajiban,dan
sebagainya.Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses
sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang
mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu
sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral
jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam
kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari
kebudayaan masyarakat setempat.
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi
dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang
berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan
masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga
sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Jadi moral adalah tata
aturan norma-norma yang bersifat abstrak yang mengatur kehidupan manusia untuk
melakukan perbuatan tertentu dan sebagai pengendali yang mengatur manusia untuk
menjadi manusia yang baik.
2.4. Pengertian Hukum
Disamping adat istiadat tadi ,ada kaidah yang mengatur kehidupan manusia
yaitu hukum, yang biasanya dibuat dengan sengaja danmempunyai sanksi yang
jelas.Hukum dibuat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat agar terjadi
keserasian diantara wrga masyarakat dan system social yang dibangun oleh suatu
masyarakat.Pada masyarakat modern hukum dibuat oleh lembaga – lembaga yang
diberikan wewenang oleh rakyat.
Keseluruhan kaidah dalam masyarakat pada intinya adalah mengatur
masyarakat agar mengikuti pola perilaku yang disepakati oleh system social dan
budaya yang berlaku pada masyarakat tersebut. Pola-pola perilaku merupakan cara-
cara masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua
anggota masyarakat tersebut.Setiap tindakan manusia dalam masyarakat selalu
mengikuti pola-pola perilaku masyarakat tadi.Pola perilaku berbeda dengan
kebiasaan. Kebiasaan merupakan cara bertindak seseorang yang kemudian diakui dan
mungkin diikuti oleh orang lain. Pola perilaku dan norma-norma yang dilakukan dan
dilaksanakan pada khususnya apabila seseorang berhubungan dengan orang lain,
dinamakan social organization.
2.5 Manusia, Nilai, Hukum dan Moral
Meskipun banyak pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah
disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan
selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh setiap
pakar pada dasarnya adalah upaya dalam memberikan pengertian secara holistik
terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian yang “relatif belum
tersentuh” oleh pemikir lain.Definisi yang mengarah pada pereduksian nilai oleh
status benda, terlihat pada pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewney
yakni, Value Is Object Of Social Interest, karena ia melihat nilai dari sudut
kepentingannya.
Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan
sebagai landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik
disadari maupun tidak.Nilai itu penting bagi manusia. Apakah nilai itu dipandang
dapat mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu
menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai
lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin
diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Menilai dapat
diartikan menimbang yakni suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu lainnya yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan.
Keputusan itu menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif (berguna, baik, indah)
atau sebaliknya bernilai negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada
pada diri manusia yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa, dan kepercayaan.
Nilai memiliki polaritas dan hirarki, antara lain:
1. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai polaritas
seperti baik dan buruk; keindahan dan kejelekan.
2. Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki urutan pentingnya.
Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat
diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Notonagoro
membagi hierarki nilai pokok yaitu:
3. Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
4. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan atau aktivitas.
5. Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerohanian terbagi menjadi empat macam:
1. Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau rasio manusia
2. Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan estetis manusia
3. Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau karsa manusia
4. Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia dengan disertai penghayatan
melalui akal budi dan nuraninya.Hal-hal yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu
yang berwujud (benda material) saja, bahkan sesuatu yang immaterial seringkali
menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia seperti nilai religius.
Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan, harapan, dan segala sesuatu
pertimbangan internal (batiniah) manusia. Dengan demikian nilai itu tidak konkret
dan pada dasarnya bersifat subyektif. Nilai yang abstrak dan subyektif ini perlu lebih
dikonkretkan serta dibentuk menjadi lebih objektif. Wujud yang lebih konkret dan
objektif dari nilai adalah norma/kaedah. Norma berasal dari bahasa latin yakni norma,
yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang
kayu.Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau
kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain
atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan
suatu perbuatan.
Ada beberapa macam norma/kaedah dalam masyarakat, yaitu:
1. Norma kepercayaan atau keagamaan
2. Norma kesusilaan
3. Norma sopan santun/adab
4. Norma hokum
Dari norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena
dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal).Nilai dan
norma selanjutnya berkaitan dengan moral. Moral berasal dari bahasa latin yakni
mores kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia moral diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-
ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang
wajar. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat
kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna
moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan
tingkah lakunya. Bisa dikatakan manusia yang bermoral adalah manusia yang sikap
dan tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat.
2.6 Hubungan Manusia dengan Moral
Moral memiliki arti yang hampir sama dengan etika. Etika berasal daribahasa
kuno yang berarti ethos dalam bentuk tunggal ethos memiliki banyak artiyaitu tempat
tinggal biasa, padang rumput, kebiasaan, adat, watak sikap , dan caraberfiki. Dalam
bentuj jamak ethos (ta etha) yang artinya adat kebiasaan. Moralberasal dari bahsa latin
yaitu mos (jamaknya mores) yang berarti adat, cara, dantampat tinggal. Dengan
demikian secara etismologi kedua kata tersebut bermaknasama hannya asal uasul
bahasanya yang berbeda dimana etika dari bahasa yunanisementara moral dari bahasa
latin.Moral yang pengertiaannya sama dengan etika dalam makna nilai-nilaidan orma-
norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalammengatur tingkah
lakunya. Dalam ilmu filsafat moral banyak unsur yang dikajisecara kritis, di landasi
rasionalitas manusia seperti sifat hakiki manusia, prinsipkebaikan, pertimbangan etis
dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu dansebagainya. Moral lebih kepada
sifat aplikatif yaitu berupa nasehat tentang hal-halyang baik.
Ada beberapa unsur dari kaidah moral yaitu :
1. Hati Nurani merupakan fenomena moral yang sangat hakiki.
2. Hati nurani merupakan penghayatan tentang baik atau buruk mengenai perilaku
manusia dan hati nuraniini selalu dihubunngkan dengan kesadaran manusia dan
selalu terkait dalam dengan situasi kongkret. Dengan hati nurani manusia akan
sanggupmererfleksikandirinya terutama dalam mengenai dirinya sendiri atau juga
mengenal orang.
3. Kebebasan dan tanggung jawab.Kebebasan adalah milik individu yang sangat
hakiki dan manusiawi dankarena manusia pada dasar nya adal;ah makhluk bebas.
Tetapi didalam kebebasanitu juga terbatas karena tidak boleh bersinggungan
dengan kebebasan orang lainketika mereka melakukan interaksi. Jadi, manusia itu
adalah makhluk bebas yang dibatasi oleh lingkungannya sebagai akibat tidak
mampunya ia untuk hidupsendiri.
Nilai dan Norma Moral.
Nilai dan moral akan muncul ketika berada pada orang lain dan ia akanbergabung
dengan nilai lain seperti agama, hukum, dan budaya. Nilai moralterkait dalam
tanggung jawab seseorang.Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat
sekali. Ada pepatah roma yang mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya
undang-undang jika tidak disertai moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan
berarti tanpa disertai moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur
dengan norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Disisi lain
moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja
kalau tidak di undangkan atau di lembagakan dalam masyarakat.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap
berbeda, sebab dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan
moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan
antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa
ini. Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum.
Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum
tampak kosong dan hampa (Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara
hukum dan moral sangat jelas.
Perbedaan antara hukum dan moral menurut K.Berten :
1. Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis
dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki
kepastian dan objektif dibanding dengan norma moral. Sedangkan norma moral lebih
subjektif dan akibatnya lebih banyak ‘diganggu’ oleh diskusi yang yang mencari
kejelasan tentang yang harus dianggap utis dan tidak etis.
2. Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi
diri sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang.
3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan
moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan,pelanggar akan terkena
hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh
bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi
dibidang moralitas hanya hati yang tidak tenang.
4. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara.
Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun
hukum itu harus di akui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum.moralitas
berdasarkan atas norma-norma moral yang melebihi pada individu dan masyarakat.
Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum,
tapi masyarakat tidak dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral
menilai hukum dan tidak sebaliknya.
Sedangkan Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral :
1. Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan hukum alam
sedangkan moral berdasarkan hukum alam.
2. Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar diri manusia),
sedangkan moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri).
3. Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat dipaksakan,
4. Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral berbentuk sanksi kodrati,
batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5. Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan
bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.
6. Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan
moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu (1990,119).
2.7. Hubungan Manusia dengan Hukum
Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak
mungkin menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka
manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan.
Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam
pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan
masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum
mana yang melaksanakannya.Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan
dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi
jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap
pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu
akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai
komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen
perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu
struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan
sosial (social order) yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan
mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia
membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si
pengatur(kekuasaan).
2.8 Tujuan Hukum
Banyak teori atau pendapat mengenai tujuan hukum. Berikut teori-teori dari para ahli :
1. Prof. Subekti, SH: Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yaitu mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan cara menyelenggarakan keadilan.
Keadilan itu menuntut bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang mendapat bagian
yang sama pula.
2. Prof. Mr. Dr. LJ. van Apeldoorn: Tujuan hukum adalah mengatur hubungan antara
sesama manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian antara sesama.
Dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan seimbang.
3. Geny : Tujuan hukum semata-mata ialah untuk mencapai keadilan. Dan ia
kepentingan daya guna dan kemanfaatan sebagai unsur dari keadilan.
4. Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum berfungsi sebagai alat merekayasa
masyarakat (law is tool of social engineering).
5. Muchatr Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan pokok dan utama dari hukum
adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi adanya
suatu masyarakat manusia yang teratur.
Tujuan hukum menurut hukum positif Indonesia termuat dalam pembukaan
UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi “..untuk membentuk suatu pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan
keadilan sosial”.
Pada umumnya hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat. Selain itu, menjaga dan mencegah agar tiap orang tidak menjadi hakim
atas dirinya sendiri, namun tiap perkara harus diputuskan oleh hakim berdasarkan
dengan ketentuan yang sedang berlaku.
2.9 Penegakan Hukum
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan
berdasarkan kekuasaan (machstaat) apalagi bercirikan negara penjaga malam
(nachtwachterstaat). Sejak awal kemerdekaan, para bapak bangsa ini sudah
menginginkan bahwa negara Indonesia harus dikelola berdasarkan hukum.Ketika
memilih bentuk negara hukum, otomatis keseluruhan penyelenggaraan negara ini
harus sedapat mungkin berada dalam koridor hukum. Semua harus diselenggarakan
secara teratur (in order) dan setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan
sanksi yang sepadan.
Penegakkan hukum, dengan demikian, adalah suatu kemestian dalam suatu
negara hukum. Penegakan hukum adalah juga ukuran untuk kemajuan dan
kesejahteraan suatu negara. Karena, negara-negara maju di dunia biasanya ditandai,
tidak sekedar perekonomiannya maju, namun juga penegakan hukum dan
perlindungan hak asasi manusia (HAM) –nya berjalan baik. Dalam menegakkan
hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan
dan keadilan.
Friedmann berpendapat bahwa efektifitas hukum ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:
1. Substansi hokum yaitu materi atau muatan hukum. Dalam hal ini peraturan haruslah
peraturan yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat untuk mewujudkan
ketertiban bersama.
2. Aparat Penegak Hukum agar hukum dapat ditegakkan, diperlukan pengawalan yang
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang memiliki komitmen dan integritas
tinggi terhadap terwujudnya tujuan hukum.
3. Budaya Hukum yaitu budaya hukum yang dimaksud adalah budaya masyarakat yang
tidak berpegang pada pemikiran bahwa hukum ada untuk dilanggar, sebaliknya
hukum ada untuk dipatuhi demi terwujudnya kehidupan bersama yang tertib dan
saling menghargai sehingga harmonisasi kehidupan bersama dapat terwujud.
Banyak pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia sebagai ‘jalan di tempat’
ataupun malah ‘tidak berjalan sama sekali.’ Pendapat ini mengemuka utamanya dalam
fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta kesan bahwa penegak hukum
cenderung ‘tebang pilih’, alias hanya memilih kasus-kasus kecil dengan ‘penjahat-
penjahat kecil’ daripada buronan kelas kakap yang lama bertebaran di dalam dan luar
negeri.
Pendapat tersebut bisa jadi benar kalau penegakan hukum dilihat dari sisi
korupsi saja. Namun sesungguhnya penegakan hukum bersifat luas. Istilah hukum
sendiri sudah luas. Hukum tidak semata-mata peraturan perundang-undangan namun
juga bisa bersifat keputusan kepala adat. Hukum-pun bisa diartikan sebagai pedoman
bersikap tindak ataupun sebagai petugas.
Dalam suatu penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus
diartikan sebagai suatu isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of
law) dan budaya hukum (culture of law). Sehingga, penegakan hukum tidak saja
dilakukan melalui perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan
aparat dan fasilitas hukum. Juga, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana
menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum.
Contoh paling aktual adalah tentang Perda Kawasan Bebas Rokok misalnya.
Peraturan ini secara normatif sangat baik karena perhatian yang begitu besar terhadap
kesehatan masyarakat. Namun, apakah telah berjalan efektif? Ternyata belum.
Karena, fasilitas yang minim, juga aparat penegaknya yang terkadang tidak
memberikan contoh yang baik. Sama halnya dengan masyarakat perokok, kebiasaan
untuk merokok di tempat-tempat publik adalah suatu budaya yang agak sulit
diberantas.
Oleh karenanya, penegakan hukum menuntut konsistensi dan keberanian dari
aparat. Juga, hadirnya fasilitas penegakan hukum yang optimal adalah suatu
kemestian. Misalnya, perda kawasan bebas rokok harus didukung dengan
memperbanyak tanda-tanda larangan merokok, atau menyediakan ruangan khusus
perokok, ataupun memasang alarm di ruangan yang sensitif dengan asap.
Masyarakatpun harus senantiasa mendapatkan penyadaran dan pembelajaran yang kontinyu.
Maka, program penyadaran, kampanye, pendidikan, apapun namanya, harus terus menerus
digalakkan dengan metode yang partisipatif. Karena, adalah hak dari warganegara untuk
mendapatkan informasi dan pengetahuan yang tepat dan benar akan hal-hal yang penting dan
berguna bagi kelangsungan hidupnya.
2.10 Problematika Hukum
Problema paling mendasar dari hukum di Indonesia adalah manipulasi atas fungsi hokum
oleh pengemban kekuasaan.
Problem akut dan mendapat sorotan lain adalah:
1. Aparatur penegak hukum ditengarai kurang banyak diisi oleh sumber daya manusia
yang berkualitas. Padahal SDM yang sangat ahli serta memiliki integritas dalam
jumlah yang banyak sangat dibutuhkan.
2. Peneggakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sering mengalami
intervensi kekuasaan dan uang. Uang menjadi permasalahan karena negara belum
mampu mensejahterakan aparatur penegak hukum.
3. Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum semakin surut. Hal ini
berakibat pada tindakan anarkis masyarakat untuk menentukan sendiri siapa yang
dianggap adil.
4. Para pembentuk peraturan perundang-undangan sering tidak memerhatikan
keterbatasan aparatur. Peraturan perundang-undangan yang dibuat sebenarnya sulit
untuk dijalankan.
5. Kurang diperhatikannya kebutuhan waktu untuk mengubah paradigma dan
pemahaman aparatur. Bila aparatur penegak hukum tidak paham betul isi peraturan
perundang-undangan tidak mungkin ada efektivitas peraturan di tingkat masyarakat.
Problem berikutnya adalah hukum di Indonesia hidup di dalam masyarakat yang tidak
berorientasi kepada hukum. Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai representasi
dan simbol negara yang ditakuti. Keadilan kerap berpihak pada mereka yang memiliki
status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat. Contoh kasus adalah kasus ibu Prita
Mulyasari.
Pekerjaan besar menghadang bangsa Indonesia di bidang hukum. Berbagai upaya
perlu dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan dapat
merasakan apa yang dijanjikan dalam hukum.
top related