majalah kiprah vol 83 th xvii | september 2017 · berbasis masyarakat (sanimas), pengembangan...
Post on 04-Mar-2021
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
2
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
3
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
NUANSA
SAAT INI Pemerintah telah memulai perencanaan konsep mewujudkan hunian layak dan terjangkau, dimana Pemerintah pun menyusun strategi demi mengurangi
dampak dari arus urbanisasi yang semakin meningkat.Dalam KIPRAH edisi Hari Habitat ini, mengulas berbagai hal terkait upaya terwujudnya
Hunian Layak dan Terjangkau di Indonesia oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Cipta Karya. Menurut Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah
harus terjalin kuat demi mengantisipasi dampak urbanisasi. Tujuan utamanya ialah untuk
bersama-sama mewujudkan perkotaan yang layak huni berdasarkan konsep pembangunan
inovatif, kreatif, dan terpadu sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW).
Ada beberapa upaya yang dinilainya menjadi kunci untuk menjawab tantangan tersebut.
“Upaya tersebut yaitu melalui peningkatan layanan infrastruktur dasar pemukiman, air mi-
num dan sanitasi layak,” kata Basuki.
Terkait itu, Kementerian PUPR menggelar Peringatan Hari Habitat Dunia 2017 dengan
tema “Mewujudkan Rumah yang Terjangkau” dan Hari Kota Dunia (HKD) 2017 yang ber-
tema “Inovasi Kepemerintahan Menuju Terwujudnya Kota Bagi Semua”.
Kementerian PUPR terus memacu pembangunan rumah untuk Masyarakat Berpengha-
silan Rendah (MBR). Salah satunya ialah dengan mendorong para pengembang untuk lebih
aktif dalam membangun rumah bersubsidi dalam Program Satu Juta Rumah. Basuki mema-
parkan, ketersediaan rumah layak huni dan terjangkau di perkotaan menjadi tantangan yang
dihadapi kota-kota di Indonesia.
Simak pula hal terkait Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), yang merupakan bagian dari program 100-0-100, yakni 100 persen ketersediaan air bersih, 0 persen kawasan kumuh dan 100 persen ketersediaan akses sanitasi sehat. Dipaparkan pula perkembangan program Ditjen Cipta Karya terkait Upaya terwujudnya Kota Cerdas, yaitu Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas), Pengembangan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi Wilayah (PISEW), SDG’s (Sustainable Development Goals) pembangunan berkelanjutan).
Selain itu, bagaimana kesigapan Kementerian PUPR dalam menangani bencana alam, seperti melakukan pendistribusian berbagai perlengkapan air minum untuk membantu memenuhi kebutuhan air bersih dan sanitasi para pengungsi akibat meningkatnya aktivitas vulkanik Gunung Agung di Bali dapat dilihat pada rubrik Aktualita. Pada rubrik yang sama, ditampilkan pula bagaimana prestasi Kementerian PUPR meraih penghargaan Konservasi Energi diraih pada acara Anugerah Energi Lestari 2017 yang di gelar oleh Majalah GATRA.
Simak bagaimana kinerja Ditjen Cipta Karya dalam dua tahun siap meresmikan berbagai infrastruktur, terkait Pos Perbatasan, Kawasan Strategis, Kawasan Hijau, berbagai Tempat Pengelolaan Sampah Terpadau (TPST) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) diberbagai kota, dan penyediaan air minum melalui peningkatan kapasitas Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Seberapa besar upaya pemerintah mewujudkan Kota Cerdas tidak akan dengan mudah terwujud tanpa adanya dukungan langsung dari Masyarakat. Mari bersama bahu membahu wujudkan Kota Layak Huni di Indonesia. Salam Infrastruktur. n
MEWUJUDKAN HUNIAN
LAYAK DAN TERJANGKAU
DI INDONESIAREDAKSI KIPRAH
4 Daftar isi
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
12LAPORAN UTAMA MENJAGA HABITAT
DUNIA MENJADI
LAYAK HUNI
n Kolaborasi Wujudkan Kots Layak Huni hal 15
n Bahu Membahu Menata
Kawasan Kumuh Kota hal 19
n Program Sanitasi Berbasis Masyarakat
Terus Ditingkatkan hal 22
LAPORAN UTAMA
Redaksi Majalah KIPRAH menerima kiriman artikel, atau tulisan lain yang (1) bersifat populer dan (2) sesuai dengan isi Majalah KIPRAH. (3) Panjang tulisan minimal 400 kata, maksimal 1600 kata. (4) Pengiriman naskah dapat dilakukan melalui email ke kiprah@pu.go.id, disertai dengan data diri berupa biografi singkat dan alamat, nomor telepon, fax atau E-mail (bila ada). (5) Naskah yang tidak dimuat biasanya tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. (6) Redaksi berhak melakukan perubahan naskah tanpa mengubah isi dari tulisan.
Dewan Redaksi: Anita Firmanti • Danis H Sumadilaga • Arie Setiadi Moerwanto Pemimpin Umum: Endra S Atmawidjaja Pemimpin Redaksi: Wara Novella Redaktur Pelaksana:
Arif Fajar Redaksi: Krisno Yuwono • Bimo A • Djoko Karsono • Mirah N • Warjono • A B Hartati • Gustav S • A Mukmin Editor: Santi I Astuti • Wayan Yoke • Sri Rizqi G • Anisah B Desain/
Artistik: E Prananta • Hedi Hardiyansyah • Rangga • Amelia Fotografer: Odhy A • Andika • Agus Iwan S Sekretaris: Juariah
• Giantry • Umi Fatimah S • Fitria MP Kontributor: Djadjuri Luciana R • Asep Kurniawan • Warsono Sirkulasi/Distribusi:
Karina • Nadi Tarmadi • Yusron • Anas • Arifin Diterbitkan oleh:
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Alamat:
Biro Komunikasi Publik, Gedung Utama Lt.4 Jl Pattimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110 Telp./Fax: 021-725 1538, 021-724 8932 e-mail: kiprahpu@gmail.com
@KemenPU
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
@kemenpupr KemenPU
5
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
25
n Kejar Asa Meraih 100-0-100 hal 28
n Penataan Kota dan Sanitasi
Demi Mencapai SDG’s hal 30
n Terus Lakukan Penataan
Kawasan di Penjuru Nusantara hal 32
n Apa Kata Mereka hal 36
LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA PROGRAM PISEW
ATASI KETIMPANGAN
INFRASTRUKTUR
6 Daftar isi
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
40LAPORAN UTAMA PRESERVING THE WORLD
HABITAT TO BECOME LIVABLE
n Collaboration Creates Livable City hal 43
n Help Each Other to Upgrading
the Urban Slums hal 47
n Community-Based Sanitation Program
Continues to improve hal 50
LAPORAN UTAMA
7
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
53
n Chasing the Hope to Reach 100-0-100 hal 58
n Urban and Sanitation Planning to
Achieve SDG’s hal 60
n Continues in Conducting Regional
Structuring Throughout the
Archipelago hal 62
n What they say hal 64
LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA PROGRAM OF REGIONAL
SOCIO-ECONOMIC
INFRASTRUCTURE
DEVELOPMENT (RSEID/
PISEW) OVERCOMES
INFRASTRUCTURE
INEQUALITY
8 Daftar isi
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
66
46
LEGISLATIF KUNJUNGAN KERJA KOMISI V
DPR RI KE SULAWESI UTARA
SELINGAN REVITALISASI KERATON
KASUNANAN SURAKARTA
n Komisi V DPR RI Lakukan
Kunjungan Kerja Ke Sidoarjo hal 67
nKampus PUPR Raih Penghargaan
Konservasi Energi di Anugerah
Energi Lestari 2017 hal 48
LEGISLATIF
9
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
10
69 JENDELA MANFAATKAN
DARI ALAM
SEKITAR
n Green Growth
Tren Pembangunan Kedepan hal 10
n Sosialisasi Elektronifikasi
Mendapat Sambutan Positif
dari Masyarakat hal 11
LINTAS INFO
70KARIKATUR
10
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
yaitu gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan dasar bagi
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan gagasan
keterbatasan yang bersumber pada kondisi dan organisasi
sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.
Di sisi lain, Dirjen Cipta Karya, Kementerian PUPR, Sri
Hartoyo yang hadir dalam kesempatan tersebut mengata-
kan bahwa seiring dengan peringatan Hari Habitat Dunia
Tahun 2017 yang mengambil tema Housing Policies: Affor-
dable Homes, ada prinsip untuk menerapkan bangunan
hijau yang tidak hanya slogan saja tetapi harus diterapkan
di lapangan.
“Salah satu prinsip bangunan hijau adalah harus meme-
nuhi penghematan energi, air dan adanya pengelolaan sam-
pah yang baik. Hal ini merupakan sebuah tantangan yang
berat dan merupakan tugas kita bersama dalam rangka me-
menuhi kebutuhan rumah layak huni, terjangkau dan da-
lam rangka pembangunan yang berkelanjutan,” ungkap Sri
Hartoyo.
Adapun penghargaan terkait Green Property Award 2017
diberikan kepada para pengembang yang telah berhasil
menerapkan 11 prinsip pembangunan properti hijau yaitu:
Smart Green Planning Design, Smart Green Open Source,
Smart Green Transportation, Smart Green Waste, Smart
Green Water, Smart Green Building, Smart Green Energy,
Smart Green Community, Smart Green Economy dan Smart
Green Developer. n
PEMBANGUNAN properti, termasuk perumahan
saat ini lebih didominasi oleh pendekatan utilitaria-
nisme yang hanya mementingkan fungsi dibanding-
kan pelestarian alam. Ke depan, pembangunan properti
sudah sepatutnya memperhatikan dan mempertahankan
lingkungan alami melalui pendekatan green property dan
penyiapan prasarananya melalui pendekatan green infras-
tructure (infrastruktur hijau). Hal tersebut diungkapkan
oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pembiayaan Perumahan,
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR), Lana Winayanti dalam acara Green Property Award
2017 yang diselenggarakan oleh Majalah Housing Estate di
Jakarta, akhir September lalu.
Pembangunan berbasis Green Growth, ujar Dirjen Pem-
biayaan Perumahan, Lana Winayanti, sangat penting untuk
direalisasikan bagi pembangunan kota-kota di Indonesia
mengingat adanya agenda global dan agenda nasional untuk
membangun perkotaan secara berkelanjutan. “Kementerian
PUPR juga berkontribusi dalam mengimplementasikan New
Urban Agenda atau Agenda Baru Perkotaan khususnya da-
lam pembangunan infrastrukur yang berkelanjutan,” ung-
kapnya.
Pembangunan yang berkelanjutan adalah proses pem-
bangunan yang mempunyai prinsip memenuhi kebutuhan
generasi masa kini tanpa mengurangi atau bahkan mengor-
bankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Pem-
bangunan berkelanjutan mengandung dua gagasan penting
Green GrowthTren Pembangunan Kedepan
TEKS DIIREKTORAT PEMBIAYAAN PERUMAHAN
Lintas info
11
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
PRESIDEN RI, Joko Widodo menegaskan, peng-
operasian pembayaran tarif tol dengan mengguna-
kan kartu e-toll (nontunai) merupakan salah satu
instrumen bagi pemerintah dalam meningkatkan pelayanan
kepada para pengguna jalan tol..
“Dengan diterapkannya pembayaran berbasis elektronik
tersebut, pelayanan transaksi pembayaran di gerbang tol da-
pat lebih cepat sehingga diharapkan semakin menambah
kenyamanan perjalanan para pengguna jalan.
“E-toll ini untuk memperbaiki pelayanan kita untuk
mempercepat pelayanan sehingga tidak ada yang nama-
nya macet di depan gerbang. Yang kita inginkan itu ke de-
pan seperti itu,” ujarnya beberapa waktu lalu Probolinggo
menanggapi pemberlakukan transaksi non tunai di seluruh
pintu tol per 31 Oktober.
Presiden menjelaskan, hampir semua negara saat ini
juga sudah memulai upaya untuk beralih pada pembayaran
nontunai dalam transaksi pembayaran.
“Semua negara juga melakukan hal yang sama. Kita kan
maunya maju, bukan mundur,” sambungnya.
Meski demikian, pemerintah tidak menutup mata terha-
dap masih adanya sejumlah pengguna jalan tol yang belum
siap maupun belum terbiasa dengan kebijakan ini. Maka
itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rak-
yat (PUPR) tetap menyediakan satu pintu gerbang tol yang
bisa melayani transaksi tunai maupun nontunai saat pem-
berlakuan transaksi nontunai jalan tol mulai 31 Oktober
2017 kemarin.
Presiden menyadari, mengubah kebiasaan masyarakat
dari transaksi tunai menjadi nontunai tidak bisa dilakukan
secara langsung. Namun, ia juga mengingatkan, ke depan-
nya masyarakat diharapkan dapat membiasakan diri dalam
mendukung program pemerintah menuju Gerakan Nasio-
nal Non Tunai (GNNT).
“Ini kan ada masa transisi, tidak bisa langsung berubah.
Tapi ke depan harus (berubah), karena ini untuk pelayanan
dan kecepatan,” tutupnya.
Sebagian pengguna jalan tol sendiri menyambut baik
pemberlakuan transaksi non tunai di pintu tol karena bisa
mempercepat waktu transaksi. “Kalo semua pakai e-toll
kan antriannya bisa lebih cepat”, ujar Andy (43) seorang
pengguna tol yang sempat dimintai komentarnya oleh
KIPRAH beberapa waktu lalu. n
Sosialiasi Elektronifikasi Mendapat Sambutan Positif di Masyarakat
TEKS BIRO KOMUNIKASI PUBLIK
Lintas info
Taman Ramah GenderFoto oleh : Ismail Abd. Muttalib,
Juara 3 Lomba Foto Hari Habitat Nasional
12
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
LAPORAN UTAMA | HABITAT
TANTANGAN pemenuhan
kebutuhan perumahan
dan permukiman layak
huni tidak hanya dihadapi
Indonesia, namun juga negara lain
di dunia. Menghadapi kenyataan itu,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menetapkan setiap Senin pertama
Oktober diperingati sebagai Hari
Habitat Dunia (HHD). Penetapannya
dilakukan Majelis Umum PBB mela-
lui Resolusi 40/202 tertanggal 17 De-
sember 1985.
Peringatan HHD ini ditujukan
untuk mengingatkan dunia akan
pentingnya pemenuhan kebutuhan
perumahan dan permukiman yang
layak huni untuk semua lapisan ma-
syarakat, serta meningkatkan tang-
gung jawab bersama untuk masa de-
Menjaga Habitat Dunia Menjadi Layak Huni
Laju urbanisasi ke perkotaan kian tinggi dan tak terhindarkan.
Tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan
adaptif diharapkan dapat mewujudkan kota yang
nyaman, aman, layak huni, dan berkelanjutan
bagi penduduknya.
13
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Menjaga Habitat Dunia menjadi Layak Huni
pan habitat manusia yang lebih baik.
Dalam sambutannya pada pem-
bukaan acara diskusi panel dalam
rangka Hari Habitat Dunia dan Hari
Kota Dunia 2017, di bulan Oktober,
Menteri Pekerjaan Umum dan Peru-
mahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadi-
muljono mengatakan bahwa dalam
konsep ‘‘kota terbuka’’ menurut Ins-
titute fot The Future, memiliki 5 stra-
tegi penting. Strategi tersebut yaitu
pertama, Participation dimana akses
terhadap data dan ruang fisik akan
menciptakan kesempatan yang be-
sar bagi seluruh elemen masyarakat.
Kedua, Shareability, kota memung-
kinkan masyarakat untuk berbagi
data. Ketiga, kota terbuka mencipta-
kan ruang yang Adaptable, perubahan
demograsi dari kota akan mengubah
nilai masyarakat. Keempat, Equity,
yaitu mampu menciptakan ruang,
pelayanan, kesempatan, yang dapat
diakses oleh seluruh penghuni se-
bagai inti utamanya. Dan yang ter-
akhir, yaitu Co-Creation yang bersifat
bottom-up (dari bawah keatas) dan
bukan top-down (dari atas kebawah)
dalam desain dan perencanaan kota
masa depan.
“Pergeseran populasi aktivitas
perdesaan ke perkotaan diperkirakan
masih akan terus berlanjut, dimana
badan PBB memprediksikan bahwa
60 persen penduduk dunia akan hi-
dup di perkotaan pada tahun 2060,”
jelas Basuki kembali.
Senada dengan itu, Direktur Jen-
deral Cipta Karya, Kementerian
PUPR, Sri Hartoyo Dirjen Cipta Ka-
rya Kementerian PUPR, Sri Hartoyo
juga mengatakan bahwa dewasa ini
lebih dari setengah penduduk dunia
tinggal di perkotaan yang artinya te-
lah terjadi transformasi aktivitas dari
desa ke kota di sebagian besar bela-
han bumi. Pergeseran populasi ak-
tivitas perdesaan ke perkotaan diper-
kirakan masih akan terus berlanjut.
‘‘Badan dunia PBB memprediksikan
bahwa 60 persen penduduk dunia
akan hidup di perkotaan pada tahun
2060,’’ kata Sri Hartoyo usai per-
ingatan Hari Habitat Dunia dan Hari
Kota Dunia di Kementerian PUPR,
beberapa Waktu lalu.
Pertumbuhan penduduk dan
urbanisasi secara langsung akan
berdampak kepada meningkatnya
kebutuhan akan tempat tinggal. Pe-
rumahan menjadi salah satu elemen
dasar dalam urbanisasi, setidaknya
setengah dari lahan perkotaan digu-
nakan sebagai hunian bagi masya-
rakat perkotaan. Kegagalan dalam
penyediaan hunian yang layak bagi
warga kota tentunya akan berdampak
kepada keberlanjutan pembangunan
kota dan menimbulkan berbagai ma-
salah perkotaan seperti kemacetan
hingga permukiman kumuh..
Peringatan Hari Habitat dan Hari
Kota Dunia 2017 merupakan salah
satu bentuk komitmen dan kontri-
busi Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat dalam men-
gimplementasikan New Urban Agen-
da (NUA) atau Agenda Baru Perko-
taan. Pendekatan yang terintegrasi
dan holistik dalam perumahan akan
berkontribusi dalam pengentasan
kemiskinan dan peningkatan ke-
sejahteraan. ‘‘Kami mengharapkan,
rangkaian kegiatan Peringatan Hari
Habitat dan Hari Kota Dunia 2017
yang meliputi lomba fotografi, pa-
meran, dan diskusi dapat memberi-
kan kontribusi dalam mewujudkan
pembangunan kota yang tangguh,
Sambutan oleh Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono
pada Diskusi Panel Hari Habitat Dunia dan
Hari Kota Dunia 2017
14
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
inklusif dan berkelanjutan,’’ kata Sri
Hartoyo.
Beberapa program pun telah diga-
gas. Untuk program berbasis masya-
rakat, Direktorat Jenderal (Ditjen)
Cipta Karya mempunyai sejumlah
program, yaitu Kota Tanpa Kumuh
(KOTAKU), Sanitasi Berbasis Masya-
rakat (Sanimas), Penyediaan Air Mi-
num dan Sanitasi Berbasis Masyara-
kat (Pamsimas), dan Pengembangan
Infrastruktur Sosial Ekonomi Wila-
yah (PISEW).
“Karena ada juga daerah perkotaan
yang tidak bisa dijangkau oleh infra-
struktur yang dikelola oleh lembaga
formal tadi dan ini kita coba dengan
pembangunan infrastruktur ber-
basis masyarakat, misalnya dengan
program KOTAKU yaitu kota tanpa
kumuh,” imbuhnya.
Selain program itu, Kementerian
PUPR dalam Rencana Strategi 2015-
2019 juga mempunyai sasaran pem-
bangunan kawasan permukiman dan
pembangunan kota. Sasaran pem-
bangunan kawasan permukiman
diwujudkan dalam gerakan 100-0-
100 yakni target 100 persen akses
air minum aman, 0 persen kawasan
kumuh permukiman, dan 100 persen
akses sanitasi layak pada 2019 men-
datang.
Hingga pelaksanannya tahun ini,
capaian akses air minum aman te-
lah mencapai 71,14 persen, penataan
kawasan kumuh perkotaan telah
mencapai 21 persen dari total luasan
38.431 hektar. Sementara untuk
capaian nasional, sanitasi layak yang
terdiri dari air limbah sebesar 67,20
persen, persampahan 86,73 persen,
dan drainase sebesar 58,85 persen.
Sri Hartoyo menilai, agar pena-
nganan penataan kawasan perkotaan
ini sesuai yang diharapkan, perlu
adanya komitmen Pemerintah Dae-
rah dan pelibatan atau partisipasi
aktif masyarakat serta pemangku ke-
pentingan lainnya untuk membantu
menyukseskan setiap tahapan yang
dikerjakan. “Karena tanpa adanya ke-
pedulian masyarakat, maka program
ini tidak akan dapat berjalan dengan
optimal,” pungkasnya.
Pusat Penyelenggaraan Berkaca dari sejarahnya, Hari
Habitat pertama diselenggarakan
pada 1986 silam yang dipusatkan di
Nairobi, Kenya, dengan tema “Ru-
mah adalah Hak Saya” (Shelter is
my right). Selanjutnya, peringatan
ini setiap tahun diselenggarakan
dengan tema yang berbeda dise-
tiap negara. United Nation Habitat
sendiri menyelenggarakan Global
Observance yaitu pengamatan glo-
bal atas prakarsa peningkatan kua-
litas permukiman di kota terpilih
dan penghargaan (Habitat Scroll of
Honour) kepada perorangan atau
organisasi yang berjasa dan dapat
menjadi teladan pengembangan
permukiman.
Indonesia pun pernah dua kali
didaulat menjadi pusat penyeleng-
garaan hari habitat. Pada 1989 de-
ngan tema “Rumah, Kesehatan
dan Keluarga” dan kemudian pada
2005 dengan tema “Tujuan Pe-
ngembangan Milenium (MDG) dan
Kota”.
Tak hanya peringatan saja, du-
nia juga ikut membahas tentang
perkembangan perumahan, per-
mukiman dan kota yang semakin
berubah. Berbagai persoalan ini ke-
mudian dibahas dalam pertemuan
tingkat dunia yaitu Konferensi
Habitat, sebuah forum bagi nega-
ra-negara yang memiliki kepedu-
lian akan permasalahan perkotaan.
Konferensi Habitat I diadakan
pada 1976 di Vancouver, Kanada
dengan tema Hunian yang Layak
Bagi Semua. Kemudian, pada 1996
diadakan juga Konferensi Habitat
II di Istanbul Turki dengan tema
Pemukiman yang Berkelanjutan
di Dunia yang Semakin Mengkota.
Sementara, Konferensi Habitat III
digelar di Quito, Ekuador pada 17 –
20 Oktober 2016 lalu dengan tema
‘Housing at The Centre’. Sementara,
untuk 2017 ini, Tema Hari Habitat
Dunia adalah ‘‘Housing Policies: Af-
fordable Homes’’.n
Kawasan kumuh di pinggir rel kota Jakarta.
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Ruang publik di Kelurahan Ngampilan, Yogyakarta
15
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Kolaborasi Wujudkan Kota Layak Huni
KolaborasiWujudkan Kota Layak Huni
KEPADATAN penduduk
di kawasan perkotaan di
Indonesia kian tinggi.
Derasnya arus urbanisasi
yang membuat wajah kota berubah
dan dipenuhi banyaknya bangunan
permukiman. Alhasil, sesaknya
kehidupan di kota berujung men-
ciptakan ketidaknyamanan warga-
nya. Secara perlahan namun pasti,
fenomena tersebut memunculkan
tantangan baru seperti munculnya
kawasan kumuh di beberapa area,
degradasi lingkungan, kesenjangan
sosial hingga tingkat kriminalitas
yang tinggi.
Berdasarkan perkiraan lima ta-
hunan dari Badan Pusat Statistik,
pada 2015 setidaknya 53,3 persen
penduduk Indonesia memilih ting-
gal di kota. Laju itu perlahan terus
meningkat. Diperkirakan kenaikan
itu menjadi 56,7 persen pada 2020
mendatang. Menghadapi kenaikan
dan tantangan tersebut, Pemerin-
tah pun menyusun strategi demi
mengurangi dampak dari arus ur-
banisasi yang semakin meningkat.
Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki
Hadimuljono mengatakan kolabo-
rasi antara pemerintah pusat dan
daerah harus terjalin kuat demi
mengantisipasi dampak urbanisasi
tersebut. Tujuan utamanya ialah
untuk bersama-sama mewujudkan
perkotaan yang layak huni ber-
dasarkan konsep pembangunan
inovatif, kreatif, dan terpadu sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah
Pemerintah pusat berkolaborasi
dengan daerah guna menghadirkan
permukiman yang layak huni dan berkelanjutan.
Gagasan utamanya melalui penyediaan rumah
yang terjangkau, layanan air minum, sanitasi layak,
dan akses ruang publik.
16
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
(RTRW).
Ada beberapa upaya yang dini-
lainya menjadi kunci untuk men-
jawab tantangan tersebut. “Upaya
tersebut yaitu melalui peningkatan
layanan infrastruktur dasar pe-
mukiman, air minum dan sanitasi
layak,” kata Basuki di Jakarta.
Terkait itu, Kementerian PUPR
menggelar Peringatan Hari Habitat
Dunia 2017 dengan tema “Mewu-
judkan Rumah yang Terjangkau”
dan Hari Kota Dunia (HKD) 2017
yang bertema “Inovasi Kepemerin-
tahan Menuju Terwujudnya Kota
Bagi Semua” di Jakarta, awal No-
vember ini.
Terkait peringatan itu, Kemen-
terian PUPR terus memacu pem-
bangunan rumah untuk Masyara-
kat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Salah satunya ialah dengan men-
dorong para pengembang untuk le-
bih aktif dalam membangun rumah
bersubsidi dalam Program Satu
Juta Rumah.
Basuki memaparkan, keterse-
diaan rumah layak huni dan ter-
jangkau di perkotaan menjadi tan-
tangan yang dihadapi kota-kota di
Indonesia. Semakin sempitnya la-
han di perkotaan mengakibatkan
tingginya harga tanah, sehingga
kaum urban memilih tinggal di
pinggir kota yang letaknya jauh
dari lokasi tempatnya bekerja.
Karena itu, ketersediaan rumah
yang terjangkau menjadi salah
satu solusi terhadap masalah per-
mukiman di perkotaan. Menurut
Basuki, dari tiga kebutuhan pokok
(sandang, pangan dan papan), baru
sandang yang terpenuhi dengan
baik. Sementara untuk pangan dan
papan, belum bisa terpenuhi kebu-
tuhannya secara maksimal.
Dalam penyediaan kebutuhan
“papan”, Pemerintah telah men-
canangkan Program Satu Juta Ru-
mah yang bertujuan mempercepat
pembangunan perumahan melalui
deregulasi berupa penyederhanaan
proses perijinan, pembangunan ru-
mah dan dukungan pembiayaan ke-
pemilikan rumah bagi MBR.
Melalui Program Satu Juta Ru-
mah, Pemerintah menargetkan 70
persennya merupakan rumah yang
diperuntukan bagi MBR dan 30
persen untuk Non MBR. Data per
23 Oktober 2017, capaian Program
Satu Juta Rumah mencapai 663.314
unit atau bertambah 39.970 unit
dibandingkan capaian September
sebanyak 623.344 unit. Dari jum-
lah tersebut, mayoritas rumah yang
terbangun diperuntukan bagi MBR
sebanyak 544.870 unit, sementara
rumah non MBR sebanyak 118.444
unit.
Rumah MBR yang dibangun
maupun direhabilitasi dengan ang-
garan Kementerian PUPR seba-
nyak 182.549 unit. Penyediaan itu
diperoleh melalui program pem-
bangunan rumah susun sewa (Ru-
sunawa), rumah khusus, bantuan
stimulan rumah swadaya dan dana
alokasi khusus bidang perumahan.
Jumlah itu ditambah lagi dengan
rumah MBR yang dibangun Peme-
Proses pengolahan sampah
LAPORAN UTAMA | HABITAT
17
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
rintah Daerah sebanyak 148.180
unit, aksi sosial perusahaan (CSR)
118 unit, Izin Mendirikan Ba-
ngunan (IMB) sebanyak 40.038
unit, masyarakat sebanyak 75.451
unit, dan yang dibangun oleh para
pengembang sebanyak 96.968 unit.
Siap Berkomitmen Pembangunan perkotaan layak
huni dan berkelanjutan sejatinya ti-
dak hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat. Peran pemerin-
tah daerah juga menjadi acuan ke-
berhasilan pembangunan tersebut.
Karena itu, komitmen pun dijalin
untuk menguatkan sinergi kedua-
nya.
Direktur Jenderal Cipta Karya,
Direktorat Jenderal Cipta Karya,
Kementerian PUPR Sri Hartoyo,
mengatakan sudah menggandeng
27 kepala daerah di Indonesia yang
terdiri dari 24 kota dan 3 kabupaten.
Kota tersebut adalah Surabaya,
Balikpapan, Bogor, Pekanbaru,
Tanjung Pinang, Padang, Medan,
Malang, Palu, Kupang, Jayapura,
Banjarmasin, Ternate, Banda Aceh,
Yogyakarta, Palembang, Semarang,
Pekalongan, Palangkaraya, Mana-
do, Kendari, Tarakan, Ambon, dan
Sorong. Sementara ketiga kabu-
paten yakni Nunukan, Sumbawa
Barat, dan Sumbawa.
Sri Hartoyo menjelaskan, inti
dari komitmen ini merupakan ben-
tuk pelaksanaan amanat UU No-
mor 1 Tahun 2011 tentang Peru-
mahan dan Kawasan Permukiman,
serta melaksanakan kesepakatan
dunia tentang Pembangunan Ber-
kelanjutan dan Agenda Baru Perko-
taan yang bertujuan mewujudkan
kota yang inklusif, aman, tangguh
dan berkelanjutan.
Ada lima poin utama dalam ke-
sepakatan tersebut. Pertama, ber-
sama-sama dengan seluruh lapisan
masyarakat akan menyelenggara-
kan pembangunan kota dengan pe-
rencanaan dan penganggaran yang
transparan untuk mewujudkan
permukiman yang aman, tangguh
dan berkelanjutan untuk semua
tanpa terkecuali.
Kedua, berkolaborasi dengan
pemerintah pusat, provinsi, kabu-
paten/kota, dan seluruh masyara-
kat dalam rangka menyelenggara-
kan pembangunan perkotaan dan
kewilayahan yang inovatif, kreatif
dan terpadu, sesuai dengan Ren-
cana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Ketiga, secara pro-aktif dan ino-
vatif, menyediakan perumahan la-
yak dan terjangkau serta mening-
katkan kualitas dan mencegah
permukiman kumuh, melalui pe-
nyediaan infrastruktur dasar per-
mukiman, antara lain layanan air
minum aman, sanitasi layak, akses
pada ruang publik serta akses yang
menghubungkan masyarakat pada
fasilitas publik maupun fasilitas
lainnya untuk melaksanakan ke-
giatan produktif.
Keempat, secara pro-aktif dan
inovatif bersama dengan seluruh
warga kota melaksanakan per-
aturan bangunan gedung yang ter-
Kolaborasi Wujudkan Kota Layak Huni
Kampung Pelangi, Banjarbaru, Kalimantan Selatan
Jalan Pemandu bagi DisabilitasFoto oleh : Ismail ABD. Muttalib ,
Juara 1 Lomba Foto Hari Habitat Nasional
18
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
LAPORAN UTAMA | HABITAT
tib dan andal, serta semua peraturan
untuk perwujudan permukiman la-
yak, melalui perkuatan kapasitas unit
pengelola layanan permukiman un-
tuk pembangunan perkotaan berke-
lanjutan.
Kelima, penyataan akan memim-
pin segenap upaya penanggulangan
kemiskinan dalam rangka pemera-
taan pembangunan melalui pem-
bangunan perkotaan berkelanjutan
yang produktif dan tanggap terha-
dap perkembangan kota, berdasarkan
karakteristik, potensi wilayah, dan
pelestarian budaya lokal.
Sri Hartoyo menyatakan, semua
daerah tersebut telah berkomitmen
dan sangat siap dalam melakukan
penataan kota bila dibandingkan de-
ngan daerah lain. Kesiapan terebut
dalam hal program di masing-masing
wilayah dan anggaran untuk pena-
taan kawasan.
“Upaya penanganan kawasan
kumuh berjalan dengan adanya ko-
mitmen atau prakarsa, ketersediaan
anggaran pengelolaan, sampai pen-
dampingan masyarakat sehingga ikut
berpartisipasi aktif. Tanpa itu semua,
kegiatan penanganan kawasan ku-
muh tidak bisa dilakukan,” tandasnya.
Sri Hartoyo menambahkan, dae-
rah lain bisa saja ikut dalam komit-
men penyelenggaraan tata kota yang
layak ini. Asalkan, pemerintah daerah
telah siap dengan konsep dan imple-
mentasinya. Dengan begitu, pemerin-
tah pusat nantinya akan melakukan
pengawasan terkait pelaksanaan pro-
gram tersebut. “Memang pemerintah
daerah yang harus jadi nahkodanya
menciptakan tata kota yang layak dan
nyaman, karena mereka lebih paham
wilayah dan kultur masing-masing,”
pungkasnya. n
19
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Bahu Membahu Menata Kawasan Kumuh Kota
Bahu Membahu Menata Kawasan Kumuh Kota
URBANISASI yang terjadi
saat ini tidak terkendali.
Bila menilik data pendu-
duk Indonesia dari perki-
raan Bank Dunia (World Bank), tahun
ini jumlahnya mencapai sekitar 255
juta jiwa. Sebanyak 54 persen populasi
di antaranya menghuni di perkotaan.
Bahkan, angka itu diperkirakan naik
menjadi 305 juta penduduk pada 2035
mendatang dengan sekitar 67 persen
di antaranya tinggal di perkotaan.
Tingginya kenaikan dan laju urba-
nisasi disinyalir mengakibatkan pe-
layanan prasarana dan sarana tidak
seimbang dengan jumlah penduduk.
Permasalahan ini pada akhirnya me-
nimbulkan permasalahan kumuh di
perkotaan. Kondisi demikian men-
dorong Pemerintah untuk menangani
perkotaan dan perdesaan harus meng-
gunakan pendekatan hubungan antar
kawasan perkotaan dan perdesaan
(urban-rural linkage).
Direktur Jenderal Cipta Karya, Sri
Hartoyo memaparkan, Pemerintah
berkomitmen sepanjang periode 2015-
2019 akan mengurangi permukiman
kumuh dan menyediakan permu-
kiman yang layak huni, produktif, dan
berkelanjutan. Program dan kegiatan
di perkotaan nantinya difokuskan
pada pencegahan dan peningkatan
kualitas permukiman kumuh.
Selain itu, upaya pencegahan juga
dilakukan untuk menekan tumbuh-
Pemerintah mendorong penataan kawasan
kumuh di seluruh penjuru nusantara melalui
KOTAKU. Ada belasan ribu kelurahan/desa yang
menjadi target sasaran program tersebut.
Taman Fatmawati, Wonosobo, Jawa Tengah
Perkampungan warga di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah
20
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
LAPORAN UTAMA | HABITAT
kembangnya kawasan permukiman
kumuh di perkotaan dan sekitarnya,
termasuk di antaranya mengurangi
laju urbanisasi. Di samping itu, pem-
benahan standar pelayanan infra-
struktur pemukiman pedesaan juga
diterapkan di kawasan peri-urban.
Sebagai perwujudan komitmen
tersebut, lanjut Sri Hartoyo, pihak-
nya menginisiasi program Kota
Tanpa Kumuh (KOTAKU). Program
ini merupakan bagian dari gerakan
100-0-100, yakni 100 persen keter-
sediaan akses air bersih, 0 persen
kawasan kumuh dan 100 persen ke-
tersediaan akses sanitasi sehat. Selain
itu, program penanganan kawasan
kumuh ini juga merupakan upaya
mendukung tercapainya target Sus-
tainable Development Goals (SDGs)
terkait akses terhadap air bersih dan
sanitasi layak.
Penerapan KOTAKU meliputi
National Slum Upgrading Program
(NSUP) dan Neighborhood Upgra-
ding Shelter Project Phase 2 (NUSP-2).
Sedangkan di kawasan peri-urban,
dilaksanakan program Regency Sett-
lement Infrastructure Development
(RSID). “KOTAKU sebagai platform
kolaborasi penanganan kumuh di wi-
layah perkotaan sudah dimulai sejak
2015. Kalau RSID, masih dalam tahap
penyiapan program,” jelas Sri Har-
toyo, di Jakarta, beberapa pekan lalu.
Sesuai dengan arah kebijakan Di-
tjen Cipta Karya, lanjut Sri Hartoyo,
semua pembangunan permukiman
dilakukan dengan membangun sis-
tem, fasilitasi pemerintah daerah
menjadi nakhoda dan pemberdayaan
masyarakat. Dengan begitu, sudah
seharusnya perlu koordinasi untuk
mengimplementasikan kedua pro-
gram tersebut.
Program KOTAKU dilaksanakan
di 11.067 kelurahan/desa di 269 kabu-
paten/kota yang tersebar di 34 pro-
vinsi. Total kawasan permukiman
kumuh yang berada Indonesia seluas
38.431 hektar, terdiri dari 23.473 hek-
tar berada di wilayah perkotaan dan
11.957 hektar di perdesaan. Semen-
tara, kata Sri Hartoyo, luas permu-
kiman kumuh di lokasi sasaran pro-
gram tersebut—berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Kumuh yang ditetap-
kan oleh Kepala Daerah masing-ma-
sing kabupaten/kota—seluas 23.656
hektar.
Penanganan kawasan kumuh ini
sebenarnya sudah dilakukan oleh Di-
rektorat Jenderal Cipta Karya sejak
tahun 1999-2006 dengan nama Pro-
yek Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP). Kemudian, pada
tahun 2007-2014 program P2KP ber-
transformasi menjadi Program Na-
sional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perkotaan (PNPM Mandiri
Perkotaan). Setelah itu, sejak 2014
program tersebut bertransformasi
Tanaman Pot untuk penghijauan sekaligus pengaman di sepanjang
Sungai Cidongkol , Tasikmalaya
21
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
menjadi Program Penanganan Kawa-
san Kumuh Perkotaan (P2KKP).
Dukungan Dana Berdasarkan data yang ada, sum-
ber pembiayaan KOTAKU berasal dari
pinjaman luar negeri lembaga donor,
yaitu Bank Dunia (World Bank) sebe-
sar US$433 juta, Islamic Development
Bank Group (IDB) senilai US$329,76
juta, dan Asian Infrastructure Invest-
ment Bank (AIIB) US$74,4 juta.
Kendati demikian, jumlah ku-
curan dana ketiga bank itu dipastikan
tidak akan mencukupi. Karena itu,
sumber pembiayaan tersebut bukan-
lah satu-satunya. Program ini juga
mewajibkan dukungan dan komit-
men dari daerah melalui alokasi dana
APBD provinsi dan kabupaten/kota.
Selain itu, kebutuhan dana lainnya
dapat diperoleh dengan melibatkan
pihak lainnya yaitu dana swasta me-
lalui Corporate Social Responsibility
(CSR) serta bantuan swadaya masya-
rakat.
Selama periode 2015-2016, komit-
men swadaya untuk program Kota
Tanpa Kumuh (KOTAKU) mencapai
kisaran 10-15 persen. Sementara, ko-
mitmen pemerintah daerah dan pi-
hak swasta mampu mengisi sam-
pai dengan 50 persen pembiayaan
penanganan kumuh, baik untuk ke-
giatan infrastruktur maupun sarana
pendukung lainnya (ekonomi, sosial,
dan pelatihan).
Salah satunya penerapan program
KOTAKU, dilaksanakan di Kelu-
rahan Pisangan Timur, Jakarta Timur.
Kawasan ini memang termasuk dalam
prioritas penanganan kawasan per-
mukiman kumuh perkotaan. Permasa-
lahan kumuh dalam kawasan ini terdi-
ri dari kondisi bangunan, aksesibilitas
kawasan, drainase, layanan air minum,
air limbah, pengolaan persampahan,
serta pengamanan kebakaran.
Saat kunjungan beberapa bulan lalu,
Presiden IDB, Bandar Al Hajjar dan
rombongan melihat secara langsung
usaha dan kegiatan yang dilakukan ke-
lompok masyarakat antara lain PAUD
Anggrek 014, Kelompok Swadaya Ca-
mar Putih. Kegiatan yang dilakukan
di antaranya, memproduksi kerajinan
tangan dari limbah kertas dan plastik,
usaha susu kedelai dan sirup entris.
Adapun kegiatan infrastruktur yang
dikerjakan adalah pembuatan plat pe-
nutup saluran air/selokan dan saluran
hujan tertutup.
“Senang bisa membantu dan bekerja
sama dengan Pemerintah Indonesia di
proyek ini. Ini adalah tugas kami untuk
membina pembangunan sosial eko-
nomi di negara-negara anggota IDB.
Dukungan dana IDB hingga kini men-
capai US$7 miliar. Sedangkan untuk
program KOTAKU, kami siap bantu
sebesar US$800 juta untuk seluruh In-
donesia,” pungkas Bandar. n
Bahu Membahu Menata Kawasan Kumuh Kota
22
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Program Sanitasi Berbasis MasyarakatTerus DitingkatkanSelama lima tahun, Kementerian PUPR menargetkan akses sanitasi masyarakat yang layak dapat tersedia di 94.454 lokasi. Tahun ini, pencapaiannya ditargetkan sebesar 85 persen.
DALAM Rencana Pem-
bangunan Jangka Mene-
ngah Nasional (RPJMN)
2015-2019, Pemerintah me-
lalui Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat (PUPR) me-
nargetkan tercapainya program 100-0-
100. Program tersebut adalah 100 per-
sen akses aman air minum, 0 persen
kawasan kumuh, dan 100 persen akses
sanitasi layak. Target tersebut bertu-
juan mewujudkan lingkungan permu-
kiman yang baik yang berdampak pada
peningkatan kesehatan masyarakat.
Menteri PUPR, Basuki Hadi-
muljono menjelaskan, masalah sani-
tasi bukanlah masalah pembangunan
infrastruktur semata, namun juga
sangat bergantung pada pola peri-
laku hidup sehat. Namun sayangnya,
persepsi masyarakat untuk menjaga
kesehatan lingkungan masih belum
menjadi kebutuhan. Kondisi itu di-
lihat dari masih banyak ditemuinya
praktek buang air besar (BAB) di
sembarang tempat. Bila berdasar-
kan catatan Kementerian Kesehatan,
ada 32 juta rumah tangga di selu-
ruh Indonesia yang belum memiliki
fasilitas jamban. “Masyarakat harus
diingatkan soal ini. Makanya, saya
minta kerja sama semua stakeholder
untuk menyelesaikan persoalan ini,”
ujarnya di Bali, beberapa pekan lalu.
Upaya untuk mencapai 100 per-
sen akses sanitasi layak di Indonesia
pun sudah dilakukan. Salah satunya
dengan mengadakan sosialisasi dan
perjanjian kerja sama (PKS) Pro-
gram Sanitasi Berbasis Masyarakat
(Sanimas) dan Tempat Pengolahan
Sampah dengan Pola Reduce, Reuse,
Recycle (TPS 3R). Program yang di-
lakukan Direktorat Jenderal Cipta
Karya ini diselenggarakan di Bali de-
ngan mengikutsertakan 46 bupati/
wali kota.
Direktur Jenderal Cipta Karya, Sri
Hartoyo menyampaikan, penanda-
PISEW Desa Gunung Sari, Temanggung, Jawa Tengah
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Pansimas di Kabupaten Pegaf, Papua Barat
23
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Program Sanitasi Berbasis Masyarakat Terus Ditingkatkan
tanganan PKS ini bertujuan untuk
mendukung komitmen bersama an-
tara pemerintah pusat dan pemerin-
tah daerah melalui pembagian tugas
dan tanggung jawab terhadap penge-
lolaan Sanimas dan TPS 3R sehingga
dapat berkelanjutan.
Menurutnya, peran aktif pemerin-
tah daerah dalam melibatkan stake-
holder lainnya sangat penting untuk
mencapai target akses sanitasi layak.
Pada 2016, progres penyediaan sani-
tasi layak sudah mencapai 67,2 per-
sen. Tahun ini, Kementerian PUPR
menargetkan adanya peningkatan
pencapaian akses sanimas tersebut
menjadi 85 persen.
Program Sanimas merupakan pro-
gram pembangunan infrastruktur
air limbah komunal dengan sasar-
annya MBR di perkotaan agar da-
pat memiliki akses air limbah aman.
Sedangkan, TPS-3R merupakan in-
frastruktur yang di bangun untuk
mengurangi sampah. Dengan begitu,
sampah dapat terpilah sehingga akan
memperlama umur TPA.
Tahun ini, Direktorat Jenderal
Cipta Karya melakukan program
Sanimas pada 126 lokasi dan pem-
bangunan TPS-3R di 75 lokasi, yang
tersebar di 31 provinsi di seluruh In-
donesia. Dalam pelaksanaan kegiatan
tersebut, sumber pendanaannya ber-
asal dari APBN, APBD, DAK, serta
melalui sumber pendanaan lainnya.
Sri Hartoyo menambahkan, perlu
keterlibatan beberapa pihak untuk
mendukung kelancaran dan keber-
hasilan program tersebut. Dengan
demikian, kesuksesan program sani-
mas tidak hanya dari pemerintah pu-
sat, tetapi juga karena adanya peran
aktif pemerintah daerah dan peran
serta masyarakat dalam pengopera-
sian dan pemeliharaan infrastruktur
yang telah terbangun.
“Ini semua membutuhkan du-
kungan dan kerja sama berbagai pi-
hak. Kita harapkan peran serta para
pemangku kepentingan lainnya se-
perti Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Kesehatan dan tentu-
nya pemerintah daerah, dalam hal
penyediaan lahan, penganggaran
biaya operasional dan pemeliharaan,
penyiapan kelembagaan Kelompok
Swadaya Masyarakat (KSM), serta
pendampingan dan pengawasan ter-
hadap keberlanjutan infrastruktur
Sanimas dan TPS 3R terbangun,” kata
Sri Hartoyo.
Dalam pembangunan Sanimas
dan TPS-3R, masyarakat berperan
langsung dalam pembangunannya,
sementara pemerintah memfasilitasi
serta memberikan pendampingan
pelaksanaan kegiatan. Beberapa ke-
giatan pembangunan Sanimas di-
antaranya seperti pembangunan
prasarana Mandi Cuci Kakus (MCK),
Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) Komunal, Instalasi Pengo-
lahan Air Limbah (IPAL) Kombinasi
dengan MCK dan Sambungan Ru-
mah (SR). “Kami akan terus percepat
pembangunan IPAL komunalnya se-
hingga dapat rampung pada tahun
ini,” imbuhnya.
Kementerian PUPR sendiri da-
lam periode 2015-2019 menargetkan
Pemanfaatan air yang dapat digunakan langsung untuk diminum
24
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Sanimas ada di 94.454 lokasi dengan
kebutuhan anggaran Rp1,9 triliun
dan TPS-3R di 5.279 lokasi dengan
kebutuhan anggaran Rp1 triliun. Se-
lain Sanimas yang berskala komu-
nal, Direktorat Jenderal Cipta Karya
juga telah membangun infrastruktur
sanitasi berskala regional, kota, dan
kawasan.
Penyediaan Air MinumSelain Sanimas, Direktorat Jen-
deral Cipta Karya juga membangun
infrastruktur Penyediaan Air Minum
Berbasis Masyarakat (Pamsimas III)
di 15.000 desa baru yang berada di
365 kabupaten dan 33 provinsi pada
periode 2016-2019. Upaya itu me-
lanjutkan capaian Pamsimas I pe-
riode 2008-2012 dan Pamsimas II
2013-2015 yang telah diimplementasi-
kan di 12.000 desa yang berada di 220
kabupaten dan 34 provinsi. Pamsimas
yang dibangun memiliki kapasitas air
minum 47.700 liter/detik, tambahan
akses air minum aman bagi 9 juta jiwa,
dan tambahan akses sanitasi layak un-
tuk 8,4 juta jiwa.
Sri Hartoyo memaparkan, pem-
bangunan pamsimas bertujuan untuk
meningkatkan akses aman air minum
dan sanitasi layak yang berkelanjutan
serta perilaku hidup bersih dan se-
hat. Selain itu, menurunkan buang
air sembarangan dan angka penyakit
serta mengarus-utamakan program
penyediaan akses air minum dan sani-
tasi melalui partisipasi aktif masyara-
kat.
Sementara sebagai sasarannya, lan-
jut Sri Hartoyo, pamsimas diperun-
tukkan bagi Masyarakat Berpengha-
silan Rendah (MBR) di pedesaan yang
mengalami keterbatasan/rawan akses
air minum dan sanitasi layak. Dalam
pelaksanaannya, program tersebut
menggunakan pendekatan berbasis
masyarakat sehingga mereka ikut ter-
libat aktif dalam mendukung keberha-
silan pamsimas, khususnya di daerah
pedesaan.
Hingga saat ini, program pamsimas
telah membantu hampir delapan juta
jiwa penduduk Indonesia untuk me-
miliki akses ke sarana air minum aman
dan lebih dari 7,4 juta jiwa sanitasi la-
yak di sekitar 10.000 desa. Di wilayah-
wilayah dimana Pamsimas diterapkan,
banyak desa yang telah mencapai sta-
tus Stop Buang Air Sembarangan (SBS)
dan melaksanakan program Cuci Ta-
ngan Pakai Sabun (CTPS).
Seiring perubahan perilaku hidup
bersih dan sehat ini, masyarakat desa
kini dapat menikmati perbaikan ke-
sehatan, peningkatan produktivitas,
serta standar hidup layak. Di samping
itu, pamsimas mendorong pemerin-
tah kota/kabupaten untuk menye-
diakan sedikitnya 25 persen dari total
APBN untuk pamsimas yang diterima-
nya guna mengembangkan program
air minum dan sanitasinya sendiri di
desa-desa lainnya. n
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Program PISEW Atasi Ketimpangan InfrastrukturTahun ini, Direktorat Jenderal Cipta Karya memprioritaskan pengembangan infrastruktur sosial dan ekonomi wilayah (PISEW) di 400 kecamatan.
KEMENTERIAN Pekerjaan
Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR) melaku-
kan berbagai upaya untuk
mengatasi masalah kesenjangan
antar wilayah, kemiskinan, dan
pengangguran. Salah satu pende-
katan yang dilakukan adalah de-
ngan melakukan pembangunan
Infrastruktur Berbasis Masyarakat
(IBM). Program ini diselenggarakan
melalui bentuk pemberdayaan dan
partisipasi masyarakat sehingga
memberikan kontribusi dalam pen-
gentasan kemiskinan dan penye-
diaan lapangan kerja.
Salah satu program IBM ada-
lah Pengembangan Infrastruktur
Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW),
yang merupakan pembangunan
infrastruktur terutama jalan akses
penghubung antar desa guna
menunjang kegiatan sosial eko-
nomi masyarakat sebagai pelaku
utama dari proses perencanaan, pe-
laksanaan serta pemeliharaan ber-
dasarkan potensi wilayah.
Jalan Akses Desa Lalang Baru Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat
25
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Program PISEW Atasi Ketimpangan Infrastruktur
26
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
PISEW Kabupaten Muntilan,
Magelang, Jawa Tengah
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Menteri PUPR Basuki Hadi-
muljono menyampaikan, pem-
bangunan infrastruktur yang di-
lakukan Kementerian PUPR tidak
hanya menghasilkan infrastruktur
fisik, tetapi juga mengurangi kesen-
jangan antar wilayah dalam upaya
pemerataan pembangunan. “Pem-
bangunan infrastruktur nantinya
juga harus berkontribusi pada pe-
nyediaan lapangan pekerjaan un-
tuk mengurangi angka kemiskinan
di Indonesia,” tutur Basuki dalam
keterangan resminya, beberapa
waktu lalu.
Direktur Jenderal Cipta Karya,
Kementerian PUPR, Sri Hartoyo
memaparkan, PISEW bertujuan un-
tuk mengurangi kesenjangan antar
wilayah, pengentasan kemiskinan,
memperbaiki tata kelola pemerin-
tah daerah (kabupaten, kecamatan,
dan desa) serta memperkuat kelem-
bagaan masyarakat di tingkat desa.
Pada 2016, implementasi PISEW
dilakukan di 364 kecamatan. To-
tal penerima manfaat sebanyak
1.354.080 kepala keluarga (KK) de-
ngan alokasi anggaran sebesar
Rp426 miliar. Sedangkan pada ini,
program tersebut dilaksanakan
di 400 kecamatan dengan pene-
rima manfaat sebanyak 1.488.000
kepala keluarga (KK) dan alokasi
anggarannya sebesar Rp240 mi-
liar. Artinya, masing-masing keca-
matan mendapatkan alokasi sebe-
sar Rp600 juta.
Meskipun melanjutkan dari ta-
hun sebelumnya, Sri Hartoyo me-
nuturkan program PISEW tahun
ini menggunakan mekanisme yang
baru dengan beberapa penyesuaian
konsepsi, justifikasi teknis, dan
pengiriman program yang meng-
andalkan proses partisipatif oleh
masyarakat. Salah satu perubahan
yang signifikan di dalam proses
pelaksanaannya adalah beralihnya
konsep awal akun belanja modal
menjadi belanja barang.
Perubahan lainnya yaitu meka-
nisme pencairan dana, perubahan
mekanisme pelaksanaan, dan pene-
kanan pada pendekatan partisipasi
masyarakat dalam skala kawasan.
“Semua perubahan tersebut diha-
rapkan dapat meningkatkan sosial
ekonomi di wilayah,” jelasnya.
Di samping itu, terang Sri Har-
toyo, penerima programnya harus
memiliki potensi sebagai kawasan
pusat pertumbuhan, pertumbuhan
ekonomi, dan dapat menciptakan
lapangan kerja, serta sudah sesuai
dengan RTRW yang bersangkutan.
Adapun penggunaan dananya
untuk pembangunan infrastruktur
yang mencakup jalan dan jembatan
desa, tambatan perahu, prasarana
irigasi kecil penunjang produksi
pertanian/industri, prasarana per-
tanian, peternakan, perikanan, in-
dustri dan pendukung kegiatan pa-
riwisata berupa pasar, gudang, dan
lantai jemur. Pembangunan lainnya
adalah prasarana air minum berupa
sumur gali, tangkapan mata air, pe-
nampungan air hujan dan hidran
umum serta prasarana sanitasi be-
rupa drainase permukiman, air lim-
bah komunal dan persampahan.
Dalam proses perencanaannya,
PISEW dilakukan secara partisi-
patif, diarahkan sebagai wujud
pelaksanaan Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN) se-
bagaimana tertuang dalam UU No.
25 Tahun 2004 tentang SPPN. U-
sulan kegiatan partisipatif PISEW
akan dapat mengisi dan merupa-
kan bagian dari pelaksanaan Ren-
cana Strategis Daerah (Renstrada)
dari masing-masing kecamatan dan
kabupaten peserta. Dengan demi-
kian diharapkan kegiatan PISEW
dapat bersinergi dengan kegiatan
lainnya dari program pembagu-
nan daerah terkait, dan memi-
liki kontribusi dalam pelaksanaan
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) yang
merupakan penjabaran dari RPJM
Nasional.
Sementara, saat pelaksanaan-
nya, proses penetapan lokasi dan
perencanaan dilakukan oleh para
konsultan (Fasilitator dan Ahli)
yang mengenal dekat konteks adat
dan budaya lokal. Hal ini dilakukan
dengan melibatkan tim pelaksana
di kabupaten dan kecamatan serta
masyarakat setempat selama ku-
rang lebih empat bulan. Sedangkan
konsep pelaksanaan infrastruktur-
nya dilakukan secara kontraktual
dengan pendekatan pembangunan
kawasan perdesaan yang meng-
utamakan padat karya selama ku-
rang lebih tiga bulan.
Adapun pemilihan dan penun-
jukan penyedia jasa konstruksi di-
lakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
terkait pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Penyedia Jasa kons-
truksi diinstruksikan untuk meng-
optimalkan penggunaan material
lokal yang memenuhi spesifikasi
dalam kontrak, serta mendayagu-
nakan tenaga kerja lokal yang se-
suai dengan kemampuan teknis
jenis pekerjaannya.
Secara khusus, PISEW merupa-
kan satu dari beberapa program
bidang infrastruktur permukiman
yang dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Cipta Karya. Tahun ini,
Direktorat Jenderal Cipta Karya
mendapatkan alokasi Rp15,935 tri-
liun (15,7 persen). Anggaran ter-
sebut diperuntukkan untuk pem-
bangunan dan penataan kawasan
di tujuh Pos Lintas Batas Negara
(PLBN), pengembangan infrastruk-
tur permukiman di sembilan Kawa-
san Perbatasan, pembangunan
SPAM (Sistem Pengembangan Air
Minum) 3.603 liter perdetik yang
terdiri dari sepuluh SPAM Regio-
nal, delapan SPAM Kota dan tiga
SPAM pulau terluar.
Selain itu, pekerjaan lainnya
meliputi pembangunan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) untuk
sampah regional di tiga kawasan,
instalasi Pengolahan Air Limbah,
dukungan infrastruktur kampung
nelayan di enam kawasan, du-
kungan wisata di lima kawasan dan
penataan kawasan kumuh. n
27
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Aksi Pembersihan Drainase Lingkungan, Tarakan, Kalimantan Utara
Program PISEW Atasi Ketimpangan Infrastruktur
KEMENTERIAN Pekerjaan
Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR) terus men-
dorong program 100-0-100
dapat terwujud pada 2019 mendatang.
Gerakan yang dimaksud adalah 100
persen ketersediaan akses air bersih, 0
persen kawasan kumuh dan 100 per-
sen ketersediaan akses sanitasi sehat.
Hingga saat ini, pelaksanaannya terus
dilakukan di berbagai daerah di selu-
ruh penjuru nusantara.
Menteri PUPR, Basuki Hadimuljo-
no meyakini program tersebut dapat
dicapai dalam dua tahun mendatang.
Hingga saat ini, capaian akses air mi-
num baru mencapai 67 persen, akses
sanitasi layak 60 persen, dan menyisa-
kan 12 persen kawasan permukiman
kumuh. “Kalau ingin mewujudkan
kawasan yang layak huni dan berke-
lanjutan, harus didukung beberapa
aspek, terutama pelayanan air bersih
dan akses sanitasi yang layak,” papar-
nya beberapa pekan lalu di Jakarta.
Berdasarkan catatan Kementerian
Kesehatan, dari sekitar 75 juta ke-
luarga di Indonesia, baru 68,05 per-
sen yang memiliki sanitasi layak. Di
Jakarta misalnya, meski sebagai kota
metropolitan yang maju, masih ada
26,31 persen keluarga belum memi-
liki sanitasi yang bersih. Sementara
itu, kondisi itu juga ditambah dengan
perilaku buang air besar (BAB) sem-
barangan yang masih tinggi. Baru
8.429 dari sekitar 82.000 desa atau
kelurahan di Indonesia yang stop BAB
sembarangan.
Belum lagi, kondisi sanitasi yang
buruk juga disebabkan persoalan
28
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Kejar Asa Meraih 100-0-100
PDAM Tirta Khatulistiwa, Kalimantan Barat
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Pelayanan air bersih dan akses sanitasi yang layak menjadi syarat untuk mendukung kawasan yang sehat dan layak huni. Pemerintah pun gencar mendorong implementasi gerakan 100-0-100.
Sanimas Desa Laugumba, Kabupaten Karo, Sumatera Utara
sungai-sungai di Indonesia. Sebagai
salah satu sumber air, sekitar 68 per-
sen sungai di Indonesia mengalami
pencemaran berat. Dari sungai-sungai
tersebut, 70 persennya tercemar oleh
limbah rumah tangga.
“Kalau kita tidak mempunyai akses
air bersih dan sanitasi, subsidi kita
pasti ke Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) terus. Daripada ke BPJS,
lebih baik orang harus sehat,” celetuk
Basuki.
Dalam hal penyediaan infrastruk-
tur air minum, berdasarkan data Di-
rektorat Jenderal Cipta Karya Kemen-
terian PUPR, capaian di awal tahun
2016 sebesar 71,05 persen dari target
100 persen pada tahun 2019. Target
tersebut dicapai melalui berbagai
program, antara lain pembangunan
SPAM regional, pembangunan SPAM
perkotaan, SPAM berbasis masyara-
kat, SPAM di kawasan khusus, SPAM
PDAM terfasilitasi, dan SPAM non-
PDAM terfasilitasi.
Direktur Bina Program, Direktorat
Jenderal Cipta Karya, Kementerian
PUPR, Antonius Budiono menjelas-
kan, sampai tahun lalu, pengadaan
SPAM regional telah dilakukan di
lima kawasan, SPAM perkotaan se-
besar 9.295 liter/detik untuk 929.450
sambungan rumah, SPAM berbasis
masyarakat sebesar 1.929 liter/detik
untuk 937.280 sambungan rumah.
Pengerjaan lainnya meliputi SPAM di
kawasan khusus sebesar 2.056 liter/
detik untuk 515.640 sambungan ru-
mah, PDAM terfasilitasi sebanyak 56
PDAM dan 788 kawasan, dan non-
PDAM di 262 kawasan.
Untuk penyediaan infrastruktur
sanitasi, capaian hingga tahun lalu se-
besar 62 persen. Sementara untuk me-
menuhi target sisanya, Kementerian
PUPR memfokuskan pada program
pengolahan air limbah skala regio-
nal, skala kota, dan skala kawasan,
pengolahan air limbah khusus, pem-
bangunan tempat pembuangan akhir
(TPA) sampah, dan pembangunan
drainase lingkungan.
Pada 2015, pembangunan pengo-
lahan air limbah skala regional telah
tercapai bagi 172.510 kepala keluarga.
Selain itu, pencapaian lainnya yakni
pengolahan air limbah skala kota bagi
489.220 kepala keluarga, pengolahan
air limbah skala kawasan bagi 448.320
kepala keluarga, pengolahan air lim-
bah khusus bagi 39.500 kepala ke-
luarga, dan pembangunan TPA di 123
kabupaten/kota, serta pembangunan
drainase dengan total seluas 2.650
hektar.
Sementara tahun lalu, target pem-
bangunan pengolahan air limbah
skala regional untuk 2.350 kepala ke-
luarga, pengolahan air limbah skala
kota bagi 604.930 kepala keluarga,
pengolahan air limbah skala kawasan
untuk 60.185 kepala keluarga, pengo-
lahan air limbah khusus untuk 2.825
kepala keluarga, dan pembangunan
drainase lingkungan dengan total se-
luas 427 hektar.
Penanganan lainnya adalah kawa-
san permukiman kumuh. Kawasan
kumuh yang ada di Indonesia men-
capai 38.431 hektar, terdiri dari 23.473
hektar berada di wilayah perkotaan
dan 11.957 hektar di wilayah perde-
saan. Untuk itu, khusus untuk wilayah
perkotaan, Ditjen Cipta Karya Kemen-
terian PUPR melaksanakan berbagai
program penanganan permukiman
kumuh antara lain, sinergi penyu-
sunan perencanaan penanganan ku-
muh dengan pemerintah daerah atau
Rencana Pencegahan dan Pening-
katan Kualitas Permukiman Kumuh
Perkotaan (RP2KP-KP) di 93 kabu-
paten/kota dan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Peningkatan Kualitas
Perumahan Kumuh dan Permukiman
Kumuh di 68 kabupaten/kota melalui
sumber pendanaan APBN.
Program tersebut dilaksanakan
melalui pendanaan pinjaman luar ne-
geri (World Bank dan Islamic Deve-
lopment Bank), APBN, dan APBD
dilaksanakan kegiatan National Slum
Upgrading Program (NSUP)-Program
Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) dan
Neighborhood Upgrading and Shelter
Project 2 (NUSP-2).
Penanganan kawasan kumuh ini,
menurut Antonius, memang tidak
bisa hanya menjadi pekerjaan peme-
rintah pusat saja. Peran pemerintah
daerah dan pelibatan swasta serta
masyarakat tentu akan menjadi du-
kungan kuat untuk menciptakan nol
persen kawasan kumuh di Indonesia
pada 2019 mendatang. “Tentu semua-
nya dapat terwujud dengan dukungan
seluruh pihak,” pungkasnya. n
29
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Kejar Asa Meraih 100-0-100
30
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Penataan Kota dan Sanitasi Demi Mencapai SDG’sKementerian PUPR terus berupaya memenuhi dua tujuan utama pembangunan berkelanjutan (SDG’s) yang menjadi lingkup kerjanya. Sejumlah program pencapaiannya diterapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional hingga 2019 mendatang.
AGENDA untuk pem-
bangunan berkelanjutan
meliputi 17 tujuan pem-
bangunan berkelanjutan
atau Sustainable Development Goals
(SDG’s) dengan 169 kelompok sasaran
yang terintegrasi dan tak terpisahkan
satu sama lain. Seluruh pencapaian-
nya ditargetkan hingga 2030 men-
datang. Dua tujuan pembangunan
berkelanjutan di antaranya terus
diupayakan Kementerian Peker-
jaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR) tercapai pada 2019. Tujuan
6 tentang Menjamin ketersediaan
dan pengelolaan berkelanjutan air
dan sanitasi bagi semua. Selanjutnya,
poin 11 tentang mewujudkan perko-
taan dan kawasan permukiman yang
inklusif, aman, berketahanan, dan
berkelanjutan.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljo-
no memaparkan bahwa kedua tujuan
tersebut telah disesuaikan dengan
Rencana Pembangunan Jangka Me-
nengah Nasional 2015-2019. Me-
nurutnya, saat ini perencanaan pe-
ngembangan perkotaan di Indonesia
telah menerapkan prinsip-prinsip
membangun kota dan permukiman
yang inklusif, aman, berketahanan,
dan berkelanjutan. Selain itu, penye-
diaan air minum dan sanitasi yang la-
yak juga terus ditingkatkan. “Semua-
nya masih terus berjalan sesuai target
yang dicapai,” terangnya di Jakarta,
September lalu.
Salah satunya pencapaiannya yaitu
melalui program 100-0-100. Program
ini menargetkan terpenuhinya 100
persen penyediaan air minum, 0 per-
sen kawasan kumuh perkotaan, dan
100 persen tersedianya sanitasi masya-
rakat yang menyangkut sampah, lim-
bah, dan drainase lingkungan. Hingga
saat ini, capaian akses air minum baru
mencapai 71,05 persen, akses sanitasi
layak 62 persen, dan menyisakan ku-
rang dari 10 persen kawasan permu-
kiman kumuh.
Dalam hal penyediaan infrastruk-
tur air minum, berdasarkan data
Direktorat Jenderal (Ditjen) Cipta
Sanimas Bulakwaru, Tegal, Jawa Tengah
Sanimas di Tabanan, Bali
31
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Penataan Kota dan Sanitasi Demi Mencapai SDG’s
Karya Kementerian PUPR, capaian
di awal tahun 2016 sebesar 71,05 per-
sen dari target 100 persen pada tahun
2019. Target tersebut dicapai me-
lalui berbagai program, antara lain
pembangunan SPAM regional, pem-
bangunan SPAM perkotaan, SPAM
berbasis masyarakat, SPAM di kawa-
san khusus, SPAM PDAM terfasilitasi,
dan SPAM non-PDAM terfasilitasi.
Hingga akhir 2016, pengadaan
SPAM regional telah dilakukan di
lima kawasan, SPAM perkotaan se-
besar 9.295 liter/detik untuk 929.450
sambungan rumah, SPAM berbasis
masyarakat sebesar 1.929 liter/detik
untuk 937.280 sambungan rumah.
Pengerjaan lainnya meliputi SPAM di
kawasan khusus sebesar 2.056 liter/
detik untuk 515.640 sambungan ru-
mah, PDAM terfasilitasi sebanyak 56
PDAM dan 788 kawasan, dan non-
PDAM di 262 kawasan.
Untuk penyediaan infrastruktur
sanitasi, capaian hingga tahun lalu se-
besar 62 persen. Sementara untuk me-
menuhi target sisanya, Kementerian
PUPR memfokuskan pada program
pengolahan air limbah skala regio-
nal, skala kota, dan skala kawasan,
pengolahan air limbah khusus, pem-
bangunan tempat pembuangan akhir
(TPA) sampah, dan pembangunan
drainase lingkungan.
Pada 2015, pembangunan pengo-
lahan air limbah skala regional telah
tercapai bagi 172.510 kepala keluarga.
Selain itu, pencapaian lainnya yakni
pengolahan air limbah skala kota bagi
489.220 kepala keluarga, pengolahan
air limbah skala kawasan bagi 448.320
kepala keluarga, pengolahan air lim-
bah khusus bagi 39.500 kepala ke-
luarga, dan pembangunan TPA di 123
kabupaten/kota, serta pembangunan
drainase dengan total seluas 2.650
hektar.
Sementara tahun lalu, target pem-
bangunan pengolahan air limbah
skala regional untuk 2.350 kepala ke-
luarga, pengolahan air limbah skala
kota bagi 604.930 kepala keluarga,
pengolahan air limbah skala kawasan
untuk 60.185 kepala keluarga, peng-
olahan air limbah khusus untuk 2.825
kepala keluarga, dan pembangunan
drainase lingkungan dengan total se-
luas 427 hektar.
Penanganan lainnya adalah kawa-
san permukiman kumuh. Kawasan
kumuh yang ada di Indonesia men-
capai 38.431 hektar, terdiri dari 23.473
hektar berada di wilayah perkotaan
dan 11.957 hektar di wilayah perde-
saan. Untuk itu, khusus untuk wi-
layah perkotaan, Ditjen Cipta Karya
melaksanakan berbagai program pe-
nanganan permukiman kumuh an-
tara lain, sinergi penyusunan peren-
canaan penanganan kumuh dengan
pemerintah daerah atau Rencana
Pencegahan dan Peningkatan Kuali-
tas Permukiman Kumuh Perkotaan
(RP2KP-KP) di 93 kabupaten/kota dan
Rancangan Peraturan Daerah tentang
Peningkatan Kualitas Perumahan Ku-
muh dan Permukiman Kumuh di 68
kabupaten/kota melalui sumber pen-
danaan APBN.
Sementara itu, Kepala Badan Pe-
ngembangan Infrastruktur Wilayah
(BPIW), Kementerian PUPR, Rido
Matari Ichwan menuturkan, pengem-
bangan infrastruktur perkotaan di
Indonesia serta penyediaan air dan sa-
nitasi yang layak telah diadopsi dalam
agenda nasional. “Dalam hal ini, salah
satu buktinya pendekatan wilayah pe-
ngembangan strategis atau WPS seba-
gai basis perencanaan keterpaduan in-
frastruktur di Indonesia,” terangnya.
Rido menerangkan, seluruh wila-
yah di Indonesia terkelompokkan ke-
pada 35 WPS. Konsep WPS tersebut
menstimulasi pembangunan infra-
struktur, agar secara bersamaan klus-
ter industri dan perkotaan, lumbung
pangan serta transportasi dapat tum-
buh mengangkat daya saing masyara-
kat yang lebih tinggi.
Dalam WPS, lanjutnya, ada koneksi
antara infrastruktur yang dipadukan
dengan infrastruktur lainnya. “De-
ngan demikian, perencanaan pengem-
bangan infrastruktur saling sinergi dan
mendukung kawasan semua kawasan,”
pungkasnya. n
Peningkatan Kawasan Permukiman Kumuh, Tabanan Bali
32
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Terus Lakukan Penataan Kawasan di Penjuru NusantaraHingga kini, Kementerian PUPR terus melakukan sejumlah pembangunan dan penataan kawasan di berbagai daerah. Mulai dari penataan kawasan perbatasan, pesisir, hingga ruang terbuka hijau dan permukiman kumuh.
KEMENTERIAN Pekerjaan
Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR) terus ber-
upaya untuk menata ber-
bagai kawasan yang tersebar di selu-
ruh penjuru nusantara. Caranya ialah
dengan mempercepat pembangunan
infrastruktur PUPR secara terpadu
dari pinggiran untuk keseimbangan
pembangunan antardaerah, terutama
di kawasan tertinggal, kawasan per-
batasan, dan kawasan perdesaan.
Sejak dua tahun terakhir, berbagai
pembangunan gencar dilakukan. Sa-
lah satunya di kawasan perbatasan.
Presiden RI, Joko Widodo memahami
kawasan ini jauh tertinggal dari dae-
rah perbatasan negara tetangga. Ka-
rena itu, Kementerian PUPR sebagai
leading sector memprioritaskan pem-
bangunan kawasan beranda negara.
Total ada tujuh pos perbatasan
yang menjadi prioritas untuk segera
dibenahi. Seluruhnya terletak di tiga
provinsi, yaitu Kalimantan Barat,
Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Di Kalimantan Barat meliputi PLBN
(Pos Lintas Batas Negara) Entikong
di Kabupaten Sanggau, PLBN Ter-
padu Aruk di Kabupaten Sambas,
dan PLBN Terpadu Nanga Badau di
Kabupaten Kapuas Hulu. Tiga PLBN
berikutnya terletak di Nusa Tenggara
Timur. PLBN Terpadu Mota’ain di
Kabupaten Belu, PLBN Terpadu Wini
di Kabupaten Timor Tengah Utara,
dan PLBN Terpadu Motamasin,
Kabupaten Malaka. Sementara, satu
33
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Terus Lakukan Penataan Kawasan di Penjuru Nusantara
pos prioritas yang harus dibangun ada
di Papua, yaitu PLBN Skouw di Kota
Jayapura.
Menteri PUPR, Basuki Hadimuljo-
no menerangkan, pembangunan
kawasan perbatasan sebagian besar
sudah selesai. Bahkan kawasan ini
sudah bisa difungsikan. Menurut-
nya, kawasan perbatasan ini tidak lagi
hanya sekadar pos lintas perbatasan
saja, namun fungsinya juga diting-
katkan menjadi pusat perekenomian
daerah. “Bahkan, berpotensi menjadi
kawasan daya tarik wisata bagi ba-
nyak orang,” katanya di Jakarta, bebe-
rapa pekan lalu.
Tak hanya itu saja, Kementerian
PUPR juga mendorong percepatan
pembangunan Kawasan Strate-
gis Pariwisata Nasional (KSPN) Se-
jak tahun lalu, ada 10 KSPN yang
digadang-gadang menjadi ‘Bali Baru’.
Destinasi tersebut adalah Tanjung
Kelayang (Bangka Belitung), Candi
Borobudur (Jawa Tengah), Morotai
(Maluku Utara), Pulau Komodo-La-
buan Bajo (NTT), Taman Nasional
Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Ke-
pulauan Seribu (DKI Jakarta), Danau
Toba (Sumatra Utara), Bromo-Teng-
ger-Semeru (Jawa Timur), Mandalika
Lombok (NTB) dan Tanjung Lesung
(Banten).
Direktur Jenderal Cipta Karya, Ke-
menterian PUPR, Sri Hartoyo me-
ngatakan, hingga saat ini pihaknya
masih terus membangun berbagai in-
frastruktur publik seperti jalan ling-
kungan, drainase, penataan kawasan,
sarana air minum, persampahan, air
limbah dan ruang terbuka hijau. Ter-
kait penempatan, kata dia, akan dise-
suaikan dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) daerah.
Dia menambahkan, program
penataan lainnya difokuskan pada
kawasan kumuh di pesisir dan pem-
bangunan rumah khusus untuk
nelayan. “Hal ini perlu agar kawasan
pesisir menjadi daerah pemukiman
yang lebih manusiawi, layak huni dan
tertata baik lingkungannya,” ungkap
Sri Hartoyo secara terpisah, di Jakarta.
Penataan kawasan permukiman
nelayan dan tepi air ini mencakup
11 lokasi. Seluruh kawasan tersebut
yakni Kampung Beting (Kota Ponti-
anak), Kampung Sumber Jaya (Kota
Bengkulu), Kawasan Nelayan Indah
(Kota Medan), Kampung Kuin (Kota
Banjarmasin), Kampung Karangsong
(Kota Indramayu), Kampung Tegal-
sari (Kota Tegal), Kampung Tambak
Lorok (Kota Semarang), Kampung
Moro Demak (Kabupaten Demak),
Kampung Untia (Kota Makassar),
Kampung Oesapa (Kota Kupang) dan
Kawasan Hamadi (Kota Jayapura).
Tiga di antaranya, Kampung Beting
(Kota Pontianak), Kampung Tegalsari
(Kota Tegal) dan Kampung Sumber
Jaya (Kota Bengkulu) telah dikerjakan.
Delapan sisanya masih dalam tahap
pengerjaan. “(Pengerjaannya) sudah
dimulai sejak tahun lalu sampai 2019,
tapi dipercepat dan mudah-mudahan
tuntasnya akhir 2018. Indonesia me-
miliki jumlah kawasan pesisir yang
banyak. Dengan penataan 11 kawasan
ini diharapkan akan menjadi contoh
pembenahan kawasan pesisir,” kata
Sri Hartoyo.
Umumnya, pengerjaan meliputi
penataan jalan, jembatan, pem-
Revitalisasi Istana Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali
34
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Taman Fatmawati, Wonosobo, Jawa Tengah
LAPORAN UTAMA | HABITAT
bangunan rusun, revitalisasi Ruang
Terbuka Hijau (RTH), penanganan
turap, peningkatan drainase, pem-
bangunan unit MCK (mandi, cuci,
kakus) komunal, penyediaan akses air
minum, dan fasilitas listrik.
Penataan lainnya juga dilaku-
kan di kawasan lingkungan pendi-
dikan, khususnya pondok pesantren
(ponpes). Sejak 2015, Kementerian
PUPR melakukan penataan dengan
membangun rusun dan kawasan
ponpes untuk menunjang kegiatan
pendidikan. Kala itu, sebanyak 25
tower dengan 770 unit berhasil di-
bangun di 25 titik lokasi dengan ang-
garan pembangunan rusun sebesar
Rp231,7 miliar. Setahun berikutnya,
pembangunan 20 tower dengan 600
unit di 20 lokasi dengan anggaran
Rp169.6 miliar. Sedangkan untuk ta-
hun ini, penataan kawasan ponpes
diwujudkan dengan membangun 22
tower rusun di 22 lokasi ponpes di
seluruh Indonesia. Total 660 unit hu-
nian yang menelan anggaran sebesar
Rp214,8 miliar.
Di samping itu, Kementerian
PUPR sejak 2016 juga melakukan
banyak penataan lingkungan hijau.
Programnya meliputi proyek RTH
dan penanganan kawasan kumuh.
Program ini mencakup area seluas
2.162 hektar yang tersebar di berba-
gai kota di Indonesia. Selanjutnya,
tahun ini penanganan kawasan per-
mukiman kumuh semakin diting-
katkan. Kawasan kumuh yang ada
di Indonesia mencapai 38.431 hektar,
terdiri dari 23.473 hektar berada di wi-
layah perkotaan dan 11.957 hektar di
wilayah perdesaan.
Untuk itu, khusus untuk wilayah
perkotaan, Ditjen Cipta Karya me-
laksanakan berbagai program pena-
nganan permukiman kumuh antara
lain, sinergi penyusunan perenca-
naan penanganan kumuh dengan
pemerintah daerah atau Rencana
Pencegahan dan Peningkatan Kuali-
tas Permukiman Kumuh Perkotaan
(RP2KP-KP) di 93 kabupaten/kota dan
Rancangan Peraturan Daerah tentang
Peningkatan Kualitas Perumahan
Kumuh dan Permukiman Kumuh di
68 kabupaten/kota melalui sumber
pendanaan APBN.
Upaya untuk mengatasi masalah
kesenjangan antar wilayah, kemis-
kinan, dan pengangguran. Salah satu
35
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
pendekatan yang dilakukan adalah de-
ngan melakukan pembangunan Infra-
struktur Berbasis Masyarakat (IBM).
Program ini diselenggarakan melalui
bentuk pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat sehingga memberikan
kontribusi dalam pengentasan kemis-
kinan dan penyediaan lapangan kerja.
Konsepnya diimplementasikan da-
lam wujud pengembangan infrastruk-
tur sosial ekonomi wilayah (PISEW).
Fokus utamanya mencakup pem-
bangunan infrastruktur terutama ja-
lan akses penghubung antar desa guna
menunjang kegiatan sosial ekonomi
masyarakat sebagai pelaku utama dari
proses perencanaan, pelaksanaan serta
pemeliharaan berdasarkan potensi wi-
layah.
Sri Hartoyo menyampaikan, pem-
bangunan infrastruktur yang dilaku-
kan Kementerian PUPR tidak hanya
menghasilkan infrastruktur fisik, te-
tapi juga mengurangi kesenjangan an-
tar wilayah dalam upaya pemerataan
pembangunan. Dalam hal ini, PISEW
ditujukan untuk mengurangi kesen-
jangan antar wilayah, pengentasan
kemiskinan, memperbaiki tata kelola
pemerintah daerah (kabupaten, keca-
matan, dan desa) serta memperkuat
kelembagaan masyarakat di tingkat
desa.
“Pembangunan infrastruktur
nantinya juga harus berkontribusi
pada penyediaan lapangan pekerjaan
untuk mengurangi angka kemiskinan
di Indonesia,” tutur Sri Hartoyo bebe-
rapa waktu lalu.
Pada 2016, implementasi PISEW
dilakukan di 364 kecamatan. Total pe-
nerima manfaat sebanyak 1.354.080
kepala keluarga (KK) dengan alo-
kasi anggaran sebesar Rp426 miliar.
Sedangkan pada ini, program ter-
sebut dilaksanakan di 400 kecamatan
dengan penerima manfaat sebanyak
1.488.000 kepala keluarga (KK) dan
alokasi anggarannya sebesar Rp240
miliar. Artinya, masing-masing keca-
matan mendapatkan alokasi sebesar
Rp600 juta.
Meskipun melanjutkan dari tahun
sebelumnya, Sri Hartoyo menuturkan
program PISEW tahun ini menggu-
nakan mekanisme yang baru dengan
beberapa penyesuaian konsepsi, justi-
fikasi teknis, dan pengiriman program
yang mengandalkan proses partisipatif
oleh masyarakat. Salah satu perubahan
yang signifikan di dalam proses pelak-
sanaannya adalah beralihnya konsep
awal akun belanja modal menjadi be-
lanja barang.
Perubahan lainnya yaitu meka-
nisme pencairan dana, perubahan me-
kanisme pelaksanaan, dan penekanan
pada pendekatan partisipasi masya-
rakat dalam skala kawasan. “Semua
perubahan tersebut diharapkan dapat
meningkatkan sosial ekonomi di wila-
yah,” jelasnya.
Di samping itu, kata Sri Hartoyo,
penerima programnya harus memiliki
potensi sebagai kawasan pusat per-
tumbuhan, pertumbuhan ekonomi,
dan dapat menciptakan lapangan
kerja, serta sudah sesuai dengan
RTRW yang bersangkutan.
Adapun penggunaan dananya un-
tuk pembangunan infrastruktur yang
mencakup jalan dan jembatan desa,
tambatan perahu, prasarana irigasi
kecil penunjang produksi pertanian/
industri, prasarana pertanian, pe-
ternakan, perikanan, industri dan
pendukung kegiatan pariwisata be-
rupa pasar, gudang, dan lantai jemur.
Pembangunan lainnya adalah prasa-
rana air minum berupa sumur gali,
tangkapan mata air, penampungan air
hujan dan hidran umum serta prasa-
rana sanitasi berupa drainase permu-
kiman, air limbah komunal dan per-
sampahan. n
PISEW Desa Gunung Sari, Temanggung, Jawa Tengah
Terus Lakukan Penataan Kawasan di Penjuru Nusantara
36
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
PEMERINTAH pusat tentu tidak bisa bekerja sendiri dalam meng-atasi persoalan akses air bersih yang terjadi di berbagai penjuru Indonesia. Peran pemerintah dae-rah memang diperlukan. Karena itu, Pemerintah Kota Kupang dan Kabupaten Kupang, Nusa Teng-gara Timur menjalin kerja sama mengatasi krisis air bersih di dae-rah. Kerja sama ini memungkinkan PDAM Kabupaten Kupang memak-simalkan pasokan air ke pelanggan di Kota Kupang untuk mencegah krisis air kian meluas.
Kalau ingin mewujudkan 100 persen tersedianya akses air bersih,
SELAMA ini, hampir sebagian besar
kawasan nelayan atau tepi air masih
terlihat kumuh. Salah satunya Kam-
pung Beting. Namun dengan diban-
gunnya kawasan Beting ini sejak tahun
lalu, kawasan ini mulai tertata rapi.
Komitmen pemerintah, baik pu-
sat maupun daerah, penuh memang
diperlukan untuk mendukung penuh
program ini. Semuanya demi mema-
jukan pembangunan kota. Meskipun
desain pembangunan kawasan Beting
ini langsung dikerjakan oleh Pemerin-
tah Kota Pontianak, kami berterima
kasih kepada Kementerian PUPR atas
sumbangsihnya ikut menata kawasan
kumuh pesisir.
Awalnya targetnya penyelesaian
2019 mendatang. Tapi setelah meli-
hat hasilnya, Kementerian PUPR akan
kami percepat dengan target penye-
tentu baik pemerintah pusat, dae-rah, masyarakat dan pihak lainnya harus sama-sama terlibat. Hingga saat ini beberapa poin-poin kerja sama sudah dibahas bersama de-ngan sekretaris daerah. Saat ini sedang mendekati persetujuan un-tuk win-win solution. Yang penting dari kerjasama ini ialah ada air ber-sih untuk masyarakat. n
lesaian pada tahun depan. Ini sebuah
kerja nyata Pemerintah yang perlu
didukung penuh pemerintah daerah
dan tentunya masyarakat.
Dengan tertatanya kawasan ini,
Kampung Beting siap menjadi per-
contohan dalam pengembangan
kawasan tepi air. Karena sebenarnya,
kawasan tepi air atau pesisir ini tidak
akan kumuh kalau bisa ditata dengan
baik. n
Jefirstson Riwu Kore, Wali Kota Kupang
Krisis Air Masalah Bersama
Semuanya demi memajukan pembangunan kota. Meskipun desain pembangunan kawasan Beting ini langsung dikerjakan oleh Pemerintah Kota Pontianak, kami berterima kasih kepada Kementerian PUPR atas sumbangsihnya ikut
menata kawasan kumuh pesisir.
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Sutarmidji, Wali Kota Pontianak
Kawasan Kumuh Bisa Ditata Baik
Kerja sama semua pihak menjadi kunci untuk mengatasi darurat air bersih. Namun hal itu tetap perlu didukung dengan pengadaan infrastruktur air bersih. Disinilah
peran bersama dibutuhkan.
37
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
PEMERINTAH mengeluarkan dua ke-
bijakan untuk mengatasi permasalahan
sulitnya lahan dalam program penye-
diaan perumahan. Pertama, penye-
diaan rumah bukan program yang inde-
penden melainkan terintegrasi dengan
program penanganan kawasan permu-
kiman kumuh. Integrasi tersebut terkait
masih banyaknya Masyarakat Berpeng-
hasilan Rendah (MBR) yang tinggal di
kawasan kumuh dan tidak layak huni.
Kebijakan lainnya, Pemerintah
mendorong kota-kota dengan pendu-
duk lebih dari 2 juta jiwa menyediakan
perumahan dengan vertical housing,
bukan rumah tapak lagi. Kalau di bawah
2 juta jiwa boleh dengan rumah tapak.
Penyediaan rumah tidak bankable
membuat kalangan MBR sulit men-
dapatkan akses pembiayaan dari per-
bankan. Data Bappenas merilis angka
70 persen penduduk Indonesia memi-
liki rumah dengan swadaya, 12 persen
dengan akses Kredit Pemilikan Rumah
(KPR) dan 18 persen dengan cicilan se-
lain KPR. Banyaknya rumah swadaya
masyarakat berpotensi munculnya ba-
nyak kawasan permukiman kumuh. n
DALAM beberapa tahun terakhir, arus urbanisasi semakin
tinggi. Data penduduk Indonesia yang dikeluarkan Bank
Dunia (World Bank), tahun ini jumlahnya diperkirakan men-
capai sekitar 255 juta jiwa. Sebanyak 54 persn populasi di an-
taranya tinggal di perkotaan. Angka itu diperkirakan naik
menjadi 305 juta penduduk pada 2035 mendatang dengan
sekitar 67 persen di antaranya tinggal di perkotaan.
Inilah fenomena yang harus segera diantisipasi dengan
formula yang tepat sasaran. Apalagi, tingginya kenaikan dan
laju urbanisasi disinyalir mengakibatkan pelayanan prasa-
rana dan sarana tidak seimbang dengan jumlah penduduk.
Permasalahan ini pada akhirnya menimbulkan permasa-
lahan kumuh di perkotaan. Kondisi demikian mendorong
Pemerintah untuk menangani perkotaan dan perdesaan
harus menggunakan pendekatan hubungan antar kawasan
perkotaan dan perdesaan (urban-rural linkage).
Meskipun bentuknya vertical housing, setidaknya itu
menjawab salah satu kebutuhan dasar bidang ‘papan’ yang
diperlukan masyarakat, khususnya kalangan MBR. n
Nusyirwan Soejono, Anggota Komisi V DPR RI
Yayat Supriatna,Pengamat Perkotaan
Apa Kata Mereka
Rumah untuk Kalangan MBR
Harus Siap Hadapi Laju Urbanisasi
Langkah pemerintah sudah benar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bahwa penyediaan perumahan
merupakan tanggung jawab pemerintah
Program 100-0-100 yang didalamnya 0 persen kawasan kumuh memang harus terus dioptimalkan. Mau tidak mau untuk mengatasi kawasan kumuh, Pemerintah
menyediakan infrastruktur dasar permukiman dengan membangun perumahan.
38
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
38
39
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
39
Gender friendly parkPhotograph by : Ismail Abd. Muttalib, Champion 3 of National Habitat Day
Photo Contest
40
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
LAPORAN UTAMA | HABITAT
CHALLENGES for the
needs fulfillment of livable
housing and settlements
are not only faced by
Indonesia, but also other countries
in the world. Facing that fact, the
United Nations (UN) stipulates every
first Monday of October as World
Habitat Day (WHD). The appoint-
ment was made by the UN General
Assembly through Resolution 40/202
of 17 December 1985.
This WHD commemoration is
aimed to remind the world about the
importance of needs fulfillment over
livable housing and settlements for
all communities, as well as increasing
joint responsibility for the future of
better human habitat.
In his speech at the opening of a
Preserving the World Habitat to Become Livable
The pace of urbanization is increasingly high and
inevitable. Better and adaptive governance
is expected to create a comfortable, safe, livable,
and sustainable city for its population.
41
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Menjaga Habitat Dunia menjadi Layak Huni
panel discussion in order to comme-
morate World Habitat Day and World
City Day 2017, in October, Minister
of Public Works and Housing, Basuki
Hadimuljono said that in the concept
of ‘open city’, according to Institute
fot The Future, there are 5 important
strategies. The first strategy is partici-
pation where access to data and phy-
sical space will create great opportu-
nities for all elements of community.
Second, Share ability, the city allows
community to share data. Third,
open city creates an adaptable space,
changing in city demographics will
change the community value. Fourth,
Equity, it means able to create space,
services, and opportunity, which can
be accessed by all community as the
main core. And finally, the bottom-
up Co-Creation and not top-down in
future city design and planning.
“The population shift activity
from rural to urban area is expected
to continue. UN is predicting that 60
percent of the world’s population will
live in urban areas by 2060,” Basuki
said.
Similar to it, Director General of
Human Settlements, Ministry of Pu-
blic Works and Housing, Sri Hartoyo
also said that today more than half
the world’s population live in urban
areas, which means there has been
an activity transformation from rural
to urban in most parts of the world .
The population shift of rural to urban
activity is expected to continue. “The
UN predicts that 60 percent of the
world’s population will live in urban
areas by 2060,” Sri Hartoyo said after
the commemoration of World Habi-
tat Day and World City Day at the
Ministry of Public Works and Hou-
sing some time ago.
Population growth and urbaniza-
tion will directly affect on the increa-
sing of needs for shelter. Settlement
is one of the basic elements in urba-
nization, at least half of urban land
is used as residential for urban com-
munity. Failure in providing livable
housing for the citizens will certainly
have an impact on the sustainability
of urban development and lead to
various urban issues such as traffic
congestion to slums.
The celebration of Habitat Day
and World City Day 2017 is one of
the commitments and contributions
from the Ministry of Public Works
and Housing in implementing the
New Urban Agenda (NUA). An in-
tegrated and holistic approach in
housing will contribute to poverty
alleviation and welfare improvement.
“We hope that the series of activities
on celebrating the World Habitat Day
and World City Day 2017 consisting
of photography contest exhibition
and discussion can contribute to the
realization of a tough, inclusive and
sustainable urban development,” said
Sri Hartoyo.
Several programs have been initia-
ted. For community-based program,
the Directorate General of Human
Settlements has several programs,
namely City without Slums (KOTA-
KU), Community Based Sanitation
(Sanimas), Drinking Water Provision
and Community Based Sanitation
(PAMSIMAS), and Regional Socio-
Economic Infrastructure Develop-
ment (PISEW).
“Because there are also urban
areas that can not be reached by the
infrastructure managed by the for-
mal institutions and therefore, we
Jakarta residents homecoming
42
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
are trying to build community-based
infrastructure, for example with KO-
TAKU program, in core to have a city
without slums,” he added.
Beside the program, Ministry of
Public Works and Housing in the 2015-
2019 Strategic Plan also has target
to build settlement areas and urban
development. The building target of
settlement areas is realized in the 100-
0-100 movement that is 100 percent
target for safe drinking water access, 0
percent of slum areas, and 100 percent
access to proper sanitation in 2019.
The implementation until this
year has reached 71,14 percent of safe
drinking water access, the arrange-
ment of urban slum areas has rea-
ched 21 percent from the total area
of 38.431 hectares. While for natio-
nal achievement, proper sanitation
consisting of waste water as much as
67,20 percent, waste 86,73 percent,
and drainage 58,85 percent.
Sri Hartoyo considers that in
order to manage the urban area ma-
nagement as expected, it is necessary
to have commitment from Local Go-
vernment and involvement or active
participation from community and
other stakeholders to help succeed
every implementation step. “Because
without any community awareness,
this program will not be able to run
optimally,” he concluded.
Organization Center Reflecting from its history, the
first Habitat Day was held in 1986,
centered in Nairobi, Kenya, with the
theme “Shelter is My Right”. Further-
more, this commemoration is held
annually with different themes in
each country. United Nation Habitat
itself organizes Global Observance,
which is a global observation to the
initiative of settlements quality en-
hancement in the selected city and
appreciation through Habitat Scroll
of Honour to the meritorious indivi-
dual or organization that can serve as
example of settlement development.
Indonesia itself has been appointed
twice to be the organization center of
Habitat Day. In 1989 with the theme
“Home, Health and Family” and then
in 2005 with the theme “Millennium
Development Goals and City”.
Not only commemoration, the
world also discuss about the deve-
lopment of housing, settlement and
city which are increasingly changing.
These issues are subsequintly dis-
cussed at a world meeting namely
Habitat Conference. It is a forum for
countries that have concern in urban
issues.
The Habitat I Conference was
held in 1976 in Vancouver, Canada
with the theme “Feasible Shelters For
All”. Then, in 1996, Habitat II Confe-
rence was held in Istanbul Turkey
with the theme “Sustainable Settle-
ments in an Increasingly Urbanized
World”. While, Habitat III Confe-
rence was held in Quito, Ecuador on
17 - 20 October 2016 and the theme is
‘Housing at The Center’. Meanwhile,
for 2017, the theme of World Habitat
Day is “Housing Policies: Affordable
Homes”. n
Urban slums at Jakarta rail edges.
LAPORAN UTAMA | HABITAT
a village at Kelurahan Ngampilan, Yogyakarta
43
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Collaboration Creates Livable City
Collaboration Creates Livable City
POPULATION Population
density in urban areas in
Indonesia becomes higher.
The rapid flow of urbaniza-
tion contributes in transforming the
city face with numbers of residential
buildings. As a result, the crowded
life of the city culminates in creating
the discomfort of its citizens. Slow
but sure, the phenomenon raises
new challenges such as the emer-
gence of slum areas, environmen-
tal degradation, social inequality to
high crime rates.
Based on the five-yearly estima-
tion from the Central Bureau of Sta-
tistics, by 2015 at least 53,3 percent
of Indonesians prefered to live in
the city. The rate is slowly rising.
It is expected to increase to 56,7
The central government is collaborating with the regions to present habitable and sustainable
settlements. The main idea is through the provision of affordable housing, drinking water services, proper
sanitation, and access to public space.
44
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
percent by 2020. Facing such risk
and challenge, the Government has
developed strategies to reduce the
impact of increasing urbanization.
Minister of Public Works and
Housing (PUPR), Basuki Hadi-
muljono said that the collaboration
between central and local govern-
ment must be strongly established
in order to anticipate the impact of
urbanization. The main objective
is to jointly realize the liveable city
based on innovative, creative, and
integrated development concept
in accordance with the spatial plan
(RTRW).
There are several efforts consi-
dered to be the key to answer the
challenge according to Mr. Basuki.
“The efforts are through improving
basic infrastructure services for sett-
lements, drinking water and proper
sanitation,” Basuki said in Jakarta.
Related to that, Ministry of Public
Works and Housing conducts the
celebration of World Habitat Day
2017 with a theme “Providing Affor-
dable Houses” and World City Day
2017 under a theme “Governance
Innovation Towards Realization of
City For All” in Jakarta, earlier this
November.
Associated with this celebration,
the Ministry of Public Works and
Housing continues to push ahead
the housing construction for Low
Income Community. One of the
efforts is by encouraging the deve-
lopers to be more active in building
subsidized houses as a part of One
Million Houses Program.
Basuki explained that the avai-
lability of livable and affordable
housing in urban areas becomes a
challenge faced by cities in Indone-
sia. The narrowness of land in urban
areas leads to high land price, so that
the urban residents choose to live in
the suburbs located far from where
they work.
Therefore, the availability of af-
fordable housing becomes one of the
solutions to the problem of urban
settlement. According to Basuki,
from the three basic needs (clothing,
food and shelter), only clothing that
is well fulfilled. As for food and shel-
ter, not yet can be fulfilled maxi-
mally.
In the provision of a “shelter”
requirement, Government has
launched a One Million Houses Pro-
gram aiming in accelerating housing
development through deregulation
in the form of licensing process sim-
plification, house construction and
house ownership financing support
for Low Income Community (LIC).
Through the One Million Houses
Program, Government targets 70
percent of the houses for LIC and
30 percent for Non LIC. Data per
October 23, 2017, the achievement
of One Million Houses Program has
reached 663,314 units or increases
39,970 units compare to September
achievement of 623,344 units. From
this number, the majority of houses
are built for LIC as much as 544,870
units, while non ILC houses are
118,444 units.
Garbage processing
LAPORAN UTAMA | HABITAT
45
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Jumlah itu ditambah lagi dengan
rumah MBR yang dibangun Peme-
rintah Daerah sebanyak 148.180
unit, aksi sosial perusahaan (CSR)
118 unit, Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) sebanyak 40.038 unit, masya-
rakat sebanyak 75.451 unit, dan yang
dibangun oleh para pengembang se-
banyak 96.968 unit.
The LIC houses built and rehabi-
litated with the budget from Public
Works and Housing Ministry are
182.549 units. The provision is obtai-
ned through the development pro-
gram of rental flats (Rusunawa), spe-
cial housing, stimulant assistance on
independent housing, and special
allocation fund for housing.
The number is also added to the
LIC houses built by the Local Go-
vernment as much as 148.180 units,
thorugh action of corporate social
responsibility (CSR) as much as
118 units, Building Permit (IMB) as
many as 40.038 units, by the com-
munity itselfs as much as 75.451
units, and built by the developers of
96.968 units.
Ready to CommitSustainable and livable urban
development is not only the res-
ponsibility of central government.
The role of local government be-
comes also a reference to the success
of development. Therefore, commit-
ment is binded to strengthen the
synergy of both.
Director General of Human Sett-
lements, Directorate General of Hu-
man Settlements, Ministry of Public
Works and Housing, Sri Hartoyo,
said that he has invited 27 regional
heads in Indonesia from 24 cities
and 3 districts. The cities are Sura-
baya, Balikpapan, Bogor, Pekanbaru,
Tanjung Pinang, Padang, Medan,
Malang, Palu, Kupang, Jayapura,
Banjarmasin, Ternate, Banda Aceh,
Yogyakarta, Palembang, Semarang,
Pekalongan, Palangkaraya, Mana-
do, Kendari, Tarakan, Ambon , and
Sorong. While the three districts
namely Nunukan, West Sumbawa,
and Sumbawa.
Sri Hartoyo explained that the
core of this commitment is a form
of mandate implementation of Law
No. 1 year 2011 about Housing and
Settlement Area, as well as conduc-
ting world agreement on Sustai-
nable Development and Urban New
Agenda aimed at realizing an inclu-
sive, safe, resilient and sustainable
city.
There are five main points in the
Collaboration Creates Livable City
Pelangi Village, Banjarbaru, Kalimantan Selatan
road guide way for difabelPhotograph by : Ismail ABD. Muttalib ,
champion 1 of National Habitat Day photo contest
46
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
LAPORAN UTAMA | HABITAT
agreement. First, together with all
the communities will conduct urban
development with transparent plan-
ning and budgeting to create secure,
resilient and sustainable settlements
for all without exception.
Secondly, in collaboration with
the central, provincial, district/city
and entire communities in order
to provide innovative, creative and
integrated urban and regional deve-
lopment, in accordance with the
Spatial Plan.
Third, proactively and innova-
tively, providing livable and affor-
dable housing as well as improving
the quality and preventing slums,
through the provision of settlement
basic infrastructure, such as safe
drinking water services, proper sa-
nitation, access to public space and
connect communities into public
facilities and also other facilities to
carry out productive activities.
Fourthly, proactively and inno-
vatively together with all citizens
implements the building regulation
in orderly and reliable, as well as
all regulations for the realization of
feasible settlement, through streng-
thening the capacity of settlement
services management unit for sus-
tainable urban development.
Fifth, statement about leading all
efforts to reduce poverty in the fra-
mework of equitable development
through productive and responsive
sustainable urban development,
based on the characteristic, region
potential, and preservation of local
culture.
Sri Hartoyo said that all the areas
have been committed and ready in
conducting urban planning if com-
pared with other regions. The readi-
ness is in term of programs in each
region and budget for urban plan-
ning.
“The handling efforts on slum
areas are conducted with commit-
ment or initiatives, management
budget availability, up to commu-
nity assistance so that they can par-
ticipate actively. Without it all, slum
areas handling activities can not be
done.” He said.
Sri Hartoyo added that other
regions can participate in commit-
ment of feasible urban planning
implementation. Provided that lo-
cal governments are ready with the
concept and its implementation.
Therefore, the central government
will conduct supervision related to
the program implementation. “Local
governments should become leader
to create livable and comfortable
urban planning, because they have
a better understanding to their own
region and culture,” He concluded.
n
47
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Neck and neck in Structuring the Urban Slum
Help each other to Upgrading the Urban Slum
THE current urbanization
is out of control. Looking
at Indonesian population
data from World Bank, this
year the number is around 255 million
people. As many as 54 percent of the
population is in urban areas. In fact,
that figure is expected to rise into 305
million people by 2035 with about 67
percent lives in urban areas.
The high increase and the urbani-
zation rate are allegedly causing the
un-balanced infrastructure and facili-
ties services with the population. This
problem ultimately leads to urban
slums. Such condition encourages
the Government to handle urban and
rural areas with urban-rural linkage
approach.
Director General of Human Sett-
lements, Sri Hartoyo explained that
the Government is committed during
the period 2015-2019 in reducing slum
areas and providing livable, produc-
tive and sustainable settlements. Pro-
grams and activities in urban area la-
ter will be focused on preventing and
improving the quality of slums.
In addition, prevention efforts
are also conducted to suppress the
growth of slum areas in urban and
surrounding areas, including reducing
the rate of urbanization. In addition,
the upgrading of rural settlement in-
frastructure service standards is also
applied in peri-urban areas.
The government encourages the
arrangement of slum areas throughout the archipelago through
KOTAKU. There are tens of thousands of villages
/ villages targeted by the program.
Fatmawati Park, Wonosobo, Jawa Tengah
Village at Temanggung District, Jawa Tengah
48
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
LAPORAN UTAMA | HABITAT
As the commitment embodiment,
Sri Hartoyo said that his team initiates
the City Without Slum (KOTAKU)
program. This program is part of the
100-0-100 movement, ie 100 percent
availability of clean water access, 0
percent of slums and 100 percent avai-
lability of healthy sanitation access. In
addition, the slum handling program
is also an effort to support the achie-
vement of Sustainable Development
Goals (SDGs) related to clean water
and proper sanitation accesses.
KOTAKU application includes
National Slum Upgrading Program
(NSUP) and Neighborhood Upgra-
ding Shelter Project Phase 2 (NUSP-2).
While in the peri-urban area, Regency
Settlement Infrastructure Develop-
ment (RSID) Program is implemented.
“KOTAKU as a slum handling colla-
boration platform in urban area has
started since 2015. While RSID is still
in the program preparation stage,” Sri
Hartoyo explained, in Jakarta, a few
weeks ago.
In accordance with the policy di-
rection of Directorate General of Hu-
man Settlements, Sri Hartoyo conti-
nued that all settlement development
is conducted by building the system,
facilitation of local government to
become the leader and community
empowerment. Therefore, coordina-
tion is necessary to implement both
programs.
KOTAKU program is implemented
in 11.067 villages in 269 districts / ci-
ties spread over 34 provinces. Total of
slum area in Indonesia is 38.431 hec-
tares, consisting of 23.473 hectares in
urban area and 11.957 hectares in rural
area. Meanwhile, Sri Hartoyo said that
the slum area in the program targeted
location - based on Slum Pronounce-
ment Letter (Decree) appointed by the
Region Head of each district/city – is
23.656 hectares.
The handling of this slum area has
been conducted by the Directorate
General of Human Settlements since
1999-2006 under the name of Poverty
Alleviation Project (P2KP) in urban
area. Then, in 2007-2014 the P2KP
program transformed into National
Program of Urban Community Em-
powerment (PNPM Mandiri). After
that, since 2014 the program is trans-
formed into Urban Slum Area Han-
dling Program (P2KKP).
Fund SupportBased on the available data, KO-
Pot plant for greening and safety along Cidongkol River Banks,
Tasikmalaya, Jawa Barat
49
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
TAKU financing source comes from
foreign loans, namely World Bank
as much as US $ 433 million, Islamic
Development Bank Group (IDB) as
much as US $ 329,76 million and Asian
Infrastructure Investment Bank (AIIB)
as much as US $ 74,4 million.
Nevertheless, the amount of three
banks funding will not be sufficient.
Therefore, those sources of the finan-
cing are not the only one. The pro-
gram also requires support and com-
mitment from the regions through
the fund allocation from Regional
Budget of provincial and district / city.
In addition, other funding needs can
be obtained by involving other parties,
such as private funds through Corpo-
rate Social Responsibility (CSR) and
non-governmental aid.
During the period of 2015-2016,
self-help commitment for City Wit-
hout Slum (KOTAKU) program
reached the range of 10-15 percent.
Meanwhile, the commitment of local
government and private parties filled
up to 50 percent of slum handling
financing, both for infrastructure acti-
vities and other supporting facilities
(economic, social, and training).
One of the implementation of
KOTAKU program, is conducted in
East Pisangan Village, East Jakarta.
This area is included in the handling
priority of urban slum area. Slum pro-
blems in this area consist of building
condition, area accessibility, drainage,
drinking water services, wastewater,
waste management, and fire safety.
During the visit several months
ago, the President of IDB, Bandar Al
Hajjar and entourage directly saw the
efforts and activities of community
groups such as PAUD Anggrek 014,
and Camar Putih Non-Government
Organization. Activities conducted
are such as producing handicrafts
from paper and plastic waste, soy
milk business and entris syrup. The
infrastructure activities conducted
are the manufacture of covering
plate for drains/ditches and closed
rain cannal.
“Pleased to be able to help and coo-
perate with the Government of In-
donesia in this project. It is our duty to
foster socio-economic development
in IDB member countries. IDB fund
support until now has reached US $ 7
billion. As for the program KOTAKU,
we are ready to help as much as US $
800 million for all of Indonesia,” Ban-
dar said. n
Neck and neck in Structuring the Urban Slum
50
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Community-Based Sanitation Program Continues to ImproveFor five years, Ministry of Public Works and Housing is targeting access for feasible community sanitation in 94,454 locations. This year, the achievement is targeted at 85 percent.
IN the National Medium-Term
Development Plan (NMTDP)
2015-2019, Government through
the Ministry of Public Works
and Housing targets the achievement
of 100-0-100 program. The program
aims in 100 percent safe access to
drinking water, 0 percent of slums,
and 100 percent access to proper
sanitation. The target has a purpose
to realize a good residential environ-
ment that has an impact on improving
public health.
Minister of Public Works and
Housing, Basuki Hadimuljono ex-
plained that sanitation problem is not
only a matter of infrastructure deve-
lopment, but also very dependent on
healthy behavior pattern. But unfor-
tunately, public perception to main-
tain environmental health is still not
a requirement. The condition can
be seen from the many activities of
defecation (BAB) in any place. Based
on the record from Health Ministry,
there are 32 million households
throughout Indonesia who do not
have a latrine facility. “People should
be reminded about this. Therefore, I
ask all stakeholders to work together
to solve this problem,” he said in Bali,
a few weeks ago.
Efforts to achieve 100 percent of
access to feasible sanitation in In-
donesia already been done. One of
them is by conducting dissemination
and cooperation agreement of Com-
munity-Based Sanitation Program
(Sanimas) and Waste Treatment Faci-
lity with Reduce, Reuse, Recycle (TPS
3R) pattern. The program undertaken
by Directorate General of Human
Settlements is conducted in Bali by
involving 46 regents / mayors.
Director General of House Sett-
lements, Sri Hartoyo said that the
signing of this cooperation agree-
ment aims to support the joint com-
mitment between central govern-
PISEW at Gunung Sari Village, Temanggung, Jawa Tengah
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Pansimas at Pegaf District, Papua Barat
51
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Community-Based Sanitation Program Continues to Improve
ment and local government through
division of tasks and responsibilities
towards management of Communi-
ty-Based Sanitation Program (Sani-
mas) and Waste Treatment Facility
with Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R)
pattern, so that it can be sustainable.
According to him, the active role
of local government in involving
other stakeholders is very important
to achieve the target of feasible sani-
tation access. By 2016, the procure-
ment of feasible sanitation has rea-
ched 67,2 percent. This year, Ministry
of Public Works and Housing targets
an increase in access to Community-
Based Sanitation Program in to 85
percent.
The Community-Based Sanitation
Program is a communal wastewater
infrastructure development pro-
gram targeting LIC in urban areas
to have access to safe waste water.
Meanwhile, TPS-3R is an infrastruc-
ture built to reduce waste. That way,
the waste can be sorted so that it will
prolong the life of the landfill.
This year, Directorate General
of Human Settlements has conduc-
ted Sanimas program on 126 loca-
tions and construction of TPS-3R
in 75 locations, spread over 31 pro-
vinces throughout Indonesia. In the
implementation of these activities,
the source of funding comes from
State Budget (APBN), Regional Bud-
get (APBD), Special Allocation Fund
(DAK), as well as through other fun-
ding sources.
Sri Hartoyo added that it needs
the involvement of several parties to
support the smoothness and success
of the program. Therefore, the suc-
cess of sanimas program is not only
from the central government, but
also because of the active role of local
government and community partici-
pation in the operation and mainte-
nance of infrastructure that has been
built.
“This requires the support and
cooperation from various parties.
We expect the participation of other
stakeholders such as Home Affairs
MInistry, Health Ministry and of
course the local government, in
terms of land provision, operational
budgeting and maintenance cost,
NGO preparation, as well as assis-
tance and supervision towards the
sustainability of Sanimas and TPS 3R
infrastructure,” said Sri Hartoyo.
In the construction of Sanimas
and TPS-3R, community plays a direct
role in the construction, while the
government facilitates and provides
assistance in the activity implemen-
tation. Some of Sanimas construction
activities are including the construc-
tion of toilet facilities (MCK), com-
munal Wastewater Treatment Plant
(WWTP), Wastewater Treatment
Plant (WWTP) combination with toi-
let and Home Connection. “We will
continue to accelerate the develop-
ment of communal WWTP so that
it can be completed this year,” he
added.
The Ministry of Public Works and
Housing itself in the period of 2015-
2019 has targeted Sanimas at 94.454
Water ready for drinking
52
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
locations with budget needs of Rp1,9
trillion and TPS-3R at 5.279 locations
with budget needs of Rp1 trillion. In
addition to the communal-scale Sani-
mas, Directorate General of Human
Settlements has also built sanitation
infrastructure in regional, municipal,
and area scale.
Drinking Water ProvisionIn addition to Sanimas, Directo-
rate General of Human Settlements
also builds Community-Based Drin-
king Water infrastructure (Pamsimas
III) in 15.000 new villages located
in 365 districts and 33 provinces in
the period of 2016-2019. This effort
continues PAMSIMAS I achievement
in the period of 2008-2012 and PAM-
SIMAS II in period of 2013-2015 which
has been implemented in 12.000 vil-
lages located in 220 districts and 34
provinces. The builded PAMSIMAS
has drinking water capacity of 47.700
liters / sec, additional access to safe
drinking water for 9 million people,
and additional access to feasible sani-
tation for 8,4 million people.
Sri Hartoyo explained that the
PAMSIMAS construction aims to im-
prove access for safe drinking water
and sustainable feasible sanitation as
well as clean and healthy living beha-
vior. In addition, lowering the indis-
criminate defecation and disease
rate as well as mainstreaming the
program of providing drinking water
and sanitation access through the ac-
tive participation of community.
While the target, Sri Hartoyo ad-
ded that pamsimas is earmarked for
Low-Income Community (LIC) in ru-
ral areas experiencing limited /prone
to feasible access of drinking water
and sanitation. In the implementa-
tion, the program uses a community-
based approach so that the commu-
nity is actively involved in supporting
the success of PAMSIMAS, especially
in rural areas.
Until today, PAMSIMAS program
has assisted nearly eight million In-
donesians to have access to safe drin-
king water and more than 7,4 million
feasible sanitation in approximately
10,000 villages. In the areas where
PAMSIMAS is implemented, many
villages have achieved the status of
Stop Indiscriminate Defecation and
implement the Hand Washing With
Soap Program.
As these clean and healthy li-
ving behavior transformation, rural
people can now enjoy improvement
in health, productivity, and standard
of feasible living. In addition, PAM-
SIMAS encourages municipalities/
districts to provide at least 25 percent
of the total state budget that they re-
ceive for the pamsimas to develop its
own drinking water and sanitation
program in other villages. n
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Program of Regional Socio-Economic Infrastructure Development (RSEID/PISEW) Overcomes Infrastructure InequalityThis year, Directorate General of Human Settlements prioritizes the Regional Socio-Economic Infrastructure Development (RSEID/PISEW) in 400 sub-districts.
MINISTRY of Public Works and Housing (PUPR)
has made various efforts to address problems
such as regional disparity, poverty and unem-
ployment. One of the approaches is to conduct
development of Community Based Infrastructure (CBI). The
program is organized through empowerment and commu-
results of PISEW at Lalangbaru Village, Kalimantan Barat
53
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Program of Regional Socio-Economic Infrastructure Development (RSEID/PISEW) Overcomes Infrastructure Inequality
54
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
PISEW at Muntilan District,
Magelang, Jawa Tengah
LAPORAN UTAMA | HABITAT
nity participation in order to give
contribution in poverty alleviation
and employment provision.
One of CBI’s programs is Regio-
nal Socio-Economic Infrastructure
Development (RSEID), which is an in-
frastructure development, especially
road connecting access between vil-
lages to support the socio-economic
activities of the community as the
main actor of the planning, imple-
mentation and maintenance process
based on the region potential.
Minister of Public Works and
Housing, Basuki Hadimuljono said
that infrastructure development
conducted by the Public Works and
Housing Ministry not only produces
physical infrastructure, but also
reduces the gap between regions in
the effort of equitable development.
“Infrastructure development will also
have to contribute to the employ-
ment provision to reduce poverty
number in Indonesia,” said Basuki in
his official statement, some time ago.
Director General of Human Sett-
lements, Ministry of Public Works
and Housing, Sri Hartoyo explained
that RSEID aims to reduce regio-
nal disparity, poverty alleviation,
improve local governance (districts,
sub-districts and villages) and also
strengthen community institution at
the village level.
In 2016, the implementation of
RSEID was conducted in 364 sub-
districts. Total beneficiaries were
1,354,080 households with a budget
allocation of Rp. 426 billion. While
today, the program is implemented
in 400 sub-districts with beneficia-
ries of 1.488.000 households and its
budget allocation of Rp. 240 billion.
That means, each sub-district gets an
allocation of Rp. 600 million.
Despite of continuing from the
previous year, Sri Hartoyo said that
the RSEID program this year uses a
new mechanism with some concep-
tion adjustments, technical justifi-
cations, and program deliveries that
rely on participatory process by the
community. One of the significant
changes on its implementation pro-
cess is the shifting of initial concept
of capital expenditure account into
goods purchase.
Other changes are disbursement
mechanism, implementation me-
chanism, and an emphasis on com-
munity participation approach on a
regional scale. “All these changes are
expected to improve socio-economic
in the region,” he explained.
In addition, Sri Hartoyo explai-
ned that the program recipient must
have the potential as a central area of
development, economic growth, can
create employment, and in accor-
dance with the relevant spatial plan.
The use of funds for infrastructure
development including roads and
village bridges, boat moorings, small
irrigation infrastructure to support
agricultural production/industry,
agricultural infrastructure, animal
husbandry, fishery, industry and sup-
porting tourism activities such as
market, warehouse and drying floor.
Other developments include drinking
water infrastructure in the form of
dug well, wellspring catchment, rain
water catchment and public hydrant
as well as sanitation infrastructure in
the form of settlement drainage, com-
munal wastewater and garbage.
In the planning process, RSEID is
conducted in a participative manner,
and it is directed as a form of Natio-
nal Development Planning System
(NDPS) as stated in Law no. 25 year
2004 about NDPS. The proposal of
RSEID participatory activities will be
able to fill out and part of the imple-
mentation of Regional Strategic Plan
(Renstrada) from each sub-district
and district participants. It is hoped
that RSEID’s activities can synergize
with other activities from related
regional development program, and
contribute to the implementation
of Regional Medium-Term Develop-
ment Plan (RMTDP) which is the ela-
boration of National MTDP.
Meanwhile, during its implemen-
tation, the process of location and
planning establishment are conduc-
ted by consultants (Facilitators and
Experts) who are familiar with the
context of local custom and culture.
This is conducted by involving the
implementing team in the district
and sub-district as well as local
community for approximately four
months. While the concept of infras-
tructure implementation is carried
out contractually with the approach
of rural area development prioriti-
zing labor intensive for approxima-
tely three months.
The selection and designation
of construction service provider is
conducted based on prevailing laws
and regulations related to the pro-
curement of government goods and
services. The Construction Service
Provider is instructed to optimize the
use of local materials that meet the
specifications in contract, as well as
to utilize local labor in accordance
with the technical capabilities of its
type of work.
In particular, RSEID is one of se-
veral settlement infrastructure pro-
grams implemented by the Directo-
rate General of Human Settlements.
This year, Directorate General of
Human Settlements has received an
allocation of Rp 15.935 trillion (15,7
percent). The budget is devoted for
area construction and structuring
in seven State Border Posts (SBP/
PLBN), development of settlement
infrastructure in nine Border Areas,
construction of Drinking Water Sup-
ply System of 3.603 liters per second
consisting of ten Regional DWSS,
eight City DWSS and three outer
islands DWSS.
In addition, other works include
the construction of Landfills (TPA) for
regional waste in three areas, installa-
tion of Wastewater Treatment, infras-
tructure support in fisherman village
in six areas, tourism support in five
areas and slum area management. n
55
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Cleaning drainage at Tarakan, Kalimantan Timur
Program of Regional Socio-Economic Infrastructure Development (RSEID/PISEW) Overcomes Infrastructure Inequality
THE Ministry of Public
Works and Housing conti-
nues to push the 100-0-100
program to be realized by
2019. The movement is 100 percent
availability of access to clean water, 0
percent of slum areas and 100 percent
availability of access to healthy sani-
tation. Until now, the implementa-
tion continues to be done in various
regions throughout the archipelago.
Minister of Public Works and Hou-
sing, Basuki Hadimuljono believes the
program can be achieved within the
next two years. Until now, the achie-
vement of drinking water access has
only reached 67 percent, 60 percent of
feasible sanitation access, and leaving
12 percent of slum area. “If we want to
realize a sustainable and livable area,
it should be supported by several as-
pects, especially clean water services
and feasible sanitation access,” he said
several weeks ago in Jakarta.
Based on the record of Health
Ministry, from approximately 75 mil-
lion families in Indonesia, only 68,05
percent that has feasible sanitation.
In Jakarta for example, although as an
advanced metropolitan city, there are
still 26,31 percent of family that does
not have clean sanitation. Meanwhile,
the condition is also added to the
high behavior of carelessly defecation
56
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Chasing the Hope to Reach 100-0-100
PDAM Tirta Khatulistiwa, Kalimantan Barat
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Clean water services and access to feasible sanitation are a prerequisite for supporting healthy and livable areas. The government is incentive to push the implementation of 100-0-100 movement.
Sanimas at Laugumba Village, Karo District, Sumatera Utara
(BAB). Only 8.429 from approxima-
tely 82.000 villages or sub-districts in
Indonesia that are already stop care-
lessly defecation (BAB).
Not to mention, poor sanitation
condition is also caused by the pro-
blem of rivers in Indonesia. As one
of water sources approximately 68
percent of rivers in Indonesia are
severely polluted. From the rivers, 70
percent are polluted by household
waste.
“If we do not have access to clean
water and sanitation, our subsidies
will surely go to the Social Security
Administering Agency (BPJS). Rather
than using BPJS, it is better if people
becomes healthy,” said Basuki.
In terms of drinking water infras-
tructure provision, based on data
from Directorate General of Human
Settlements, Ministry of Public
Works and Housing, the achieve-
ment in early 2016 amounted to 71,05
percent of the 100 percent target
by 2019. This target was achieved
through various programs, inclu-
ding Drinking Water Supply System
(DSWW) construction in regional,
and urban, as well as construction of
Community-based Drinking Water
Supply System, special area DWSS,
facilitated LWC DSWW, and facilita-
ted non-LWC DSWW.
Director of Program Develop-
ment, Directorate General of Hu-
man Settlements, Ministry of Public
Works and Housing, Antonius Bu-
diono explained that until last year,
procurement of regional DSWW
has been done in five areas, urban
DSWW as much as 9.295 liters / se-
cond for 929.450 home connections,
community-based DSWW as much
as 1.929 liters / sec for 937.280 home
connections. Other activities include
DSWW in a special area as much as
2.056 liters / second for 515.640 home
connections, facilitated LWC for
about 56 LWCs and 788 districts, as
well as non-LWCs in 262 areas.
For the provision of sanitation
infrastructure, the achievement up to
last year was 62 percent. Meanwhile,
to meet the remaining target, the Mi-
nistry of Public Works and Housing
focuses on wastewater treatment pro-
gram in regional scale, city scale, and
area scale, as well as special wastewa-
ter treatment, construction of Land-
fills (TPA), and environmental drai-
nage construction.
In 2015, regional scale wastewa-
ter treatment construction has been
achieved for 172.510 households. In
addition, other achievements were
city-scale wastewater treatment for
489.220 households, regional scale
wastewater treatment for 448.320
households, special wastewater treat-
ment for 39.500 households, and
landfills construction in 123 districts
/cities, as well as drainage construc-
tion with a total area of 2.650 hec-
tares.
Last year, wastewater treatment
construction targe in regional scale
was for 2.350 households, in city scale
was for 604.930 households, and in
area scale was for 60.185 households,
as well as special wastewater treat-
ment for 2.825 families, and environ-
mental drainage development with a
total area of 427 hectares.
Another handling is slum area.
Slum area in Indonesia reaches 38.431
hectares consisting of 23.473 hectares
in urban area and 11.957 hectares in
rural area. Therefore, specifically
for urban area, Directorate Gene-
ral of Human Settlements conducts
various slum handling programs,
among others, the synergy of slum
handling plans preparation with local
government or the Prevention and
Improvement Plan of Urban Slum
Quality (RP2KP-KP) in 93 districts /
cities and Draft of Local Government
Regulation on Improving the Quality
of Slum and Housing in 68 districts
/ cities through state budget as fun-
ding source.
The program is implemented
through funding from foreign loans
(World Bank and Islamic Develop-
ment Bank), State Budget, and Regio-
nal Budget. The programs is imple-
mented through activities such as
National Slum Upgrading Program
(NSUP) –City Without Slum (KOTA-
KU) Program and Neighborhood Up-
grading and Shelter Project 2 (NUSP-
2) .
The handling of this slum area, ac-
cording to Antonius, can not only be
the work of central government alone.
The role of local government, private
parties and community will certainly
be a strong support in creating zero
percent of slum area in Indonesia in
2019. “Of course everything can be
realized with the support of all par-
ties,” he concluded. n
57
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Chasing the Hope to Reach 100-0-100
58
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Urban and Sanitation Planning to Achieve SDG’s
The Ministry of Public Works and Housing continues to meet two main goals of sustainable development (SDG’s) which become the scope of its work. A number of achievements are implemented in the national medium-term development plan until 2019.
AGENDA for sustainable
development are covering
17 Sustainable Develop-
ment Goals (SDG’s) with
169 target groups that are integrated
and inseparable from one another.
All achievements are targeted until
2030. Two sustainable development
goals will continue to be pursued in
2019 by the Ministry of Public Works
and Housing (PUPR). One of the
goals is point 6 about ensuring the
availability and sustainable manage-
ment of water and sanitation for all.
The other is point 11 about realizing
urban and settlement areas that are
inclusive, secure, resilient, and sus-
tainable.
Minister pf Public Works and Hou-
sing, Basuki Hadimuljono explained
that the two goals have been adjusted
to the National Medium Term Deve-
lopment Plan 2015-2019. According to
him, the current urban development
planning in Indonesia has applied the
principles of building cities and sett-
lements that are inclusive, safe, resi-
lient, and sustainable. In addition, the
provision of drinking water and fea-
sible sanitaon are also continuously
improved. “Everything is still running
according to the target achieved,” he
explained in Jakarta, last September.
One of the achievements is through
the program 100-0-100. The program
targets 100 percent of drinking water
provision, 0 percent of urban slum
areas, and 100 percent of community
sanitation provision involving waste,
sewage and environmental drainage.
Until today, access to drinking water
has reached 71,05 percent, access to
feasible sanitation has reached 62
percent, and it leaves less than 10
percent of slum areas.
In terms of drinking water infras-
tructure provision, based on data
from the Directorate General of Hu-
Sanimas at Bulakwaru, Tegal, Jawa Tengah
Sanimas at Tabanan, Bali
59
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Urban and Sanitation Planning to Achieve SDG’s
man Settlements, the achievement in
early 2016 was 71,05 percent from the
target of 100 percent in 2019. The tar-
get is achieved through various pro-
grams, including the development of
regional Drinking Water Supply Sys-
tem (DWSS), development of urban
DWSS, community-based DWSS,
DWSS in special areas, facilitated
DWSS from Local Water Company,
and facilitated DWSS from non-Local
Water Company.
By the end of 2016, the procure-
ment of regional DWSS has been
conducted in five areas, urban DWSS
of 9.295 liters / second for 929.450
home connections, community-
based DWSS of 1.929 liters / second
for 937.280 home connections. Other
constructions include DWSS in spe-
cial areas of 2.056 liters / second for
515.640 home connections, facilitated
Local Water Company as much as
56 Local Water Companies and 788
areas, and non-Local Water Company
in 262 areas.
For the provision of sanitation in-
frastructure, the achievement up to
last year was 62 percent. Meanwhile,
to meet the remaining target, Mi-
nistry of Public Works and Housing
focuses on wastewater treatment
program in regional scale, city scale,
and area scale, other than that are
special wastewater treatment, land-
fills construction, and environmental
drainage construction.
In 2015, the construction of
wastewater treatment in regional
scale has reached 172.510 households.
In addition, other achievements
are city-scale wastewater treatment
for 489.220 households, area scale
wastewater treatment for 448.320
households, special wastewater treat-
ment for 39.500 households, and
landfills construction in 123 districts
/ municipalities, as well as drainage
construction with a total area of
2.650 hectares.
Meanwhile last year, construction
target of regional scale wastewater
treatment is for 2.350 heads of house-
holds, city scale wastewater treat-
ment for 604.930 households, regio-
nal scale wastewater treatment for
60.185 households, special wastewater
treatment for 2.825 households, and
environmental drainage construction
with a total area of 427 hectares.
Another handling is slum area.
Slum area in Indonesia reaches 38.431
hectares, consisting of 23.473 hectares
in urban area and 11.957 hectares in
rural area. Therefore, specifically for
urban area, Directorate General of
Human Settlements conducts various
slum area handling programs, among
others, the synergy to draft the slum
area handling planning with local
government or Prevention Plan and
Improving Quality of Urban Slum
(RP2KP-KP) in 93 districts /cities and
Draft of Local Regulation on Impro-
ving the Quality of Slum Housing and
Area in 68 districts/cities through the
state budget as funding sources.
Meanwhile, Head of Regional
Infrastructure Development Board
(BPIW), Ministry of Public Works and
Housing, Rido Matari Ichwan said
that the development of urban infras-
tructure in Indonesia as well as water
provision and feasible sanitation have
been adopted in the national agenda.
“In this case, as the proof approach
of Strategic Development Area (SDA)
becomes basis of infrastructure inte-
gration planning in Indonesia,” he
explained.
Rido explained that all regions in
Indonesia are grouped into 35 SDA.
The SDA concept stimulates the
development of infrastructure, so
that at the same time industrial and
urban clusters, food barns and trans-
portation can grow to lift higher com-
munity competitiveness.
He continued, that in SDA there
is a connection between one another
infrastructures. “Therefore, infras-
tructure development planning is
synergy and supports all regions,” he
concluded. n
urban slums improvement at Tabanan, Bali
60
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Continues in Conducting Regional Structuring Throughout the ArchipelagoUntil now, the Ministry of Public Works and Housing continues to conduct a number of regional development and structuring in various regions. It is starting from the structuring of border areas, coastal areas, to green open spaces and slums.
THE Ministry of Public
Works and Housing conti-
nues to strive in structu-
ring various areas spread
throughout the archipelago. The
method is to accelerate integratecally
the development of Public Works and
Housing Infrastructure from the pe-
riphery areas for the balance of inter-
regional development, especially in
underdeveloped areas, border areas
and rural areas.
Since the last two years, various
incessant developments have been
done. One of them is in the border
area. President of Indonesia, Joko
Widodo understands that this area
is far behind from the border area
of neighboring countries. Therefore,
the Ministry of Public Works and
Housing as the leading sector prio-
ritizes the development of country’s
porch area.
In total there are seven border
posts that become priority to be ad-
dressed immediately. All of them are
located in three provinces i.e West
Kalimantan, East Nusa Tenggara
and Papua. In West Kalimantan, the
areas are Entikong Cross Country
Border Post in Sanggau District, Aruk
Integrated Cross Country Border
Post in Sambas District, and Nanga
Badau Integrated Cross Country
Border Post in Kapuas Hulu District.
The next three Cross Country Bor-
der Posts are located in East Nusa
Tenggara. Mota’ain Integrated Cross
61
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Continues in Conducting Regional Structuring Throughout the Archipelago
Country Border Post in Belu Dis-
trict, Wini Integrated Cross Country
Border Post in North Central Timor
District, and Motamasin Integrated
Cross Country Border Post in Mala-
ka District. Meanwhile, one priority
post that must be built is in Papua,
namely Skouw Cross Country Border
Post in Jayapura City.
Minister of Public Works and
Housing, Basuki Hadimuljono ex-
plained that border area develop-
ment has been largely completed. In
fact, those areas can already be func-
tioned. According to him, those bor-
der areas are no longer just an usual
cross-border post, but its function is
also increased to become a regional
economic center. “In fact, it has the
potential to become a tourist attrac-
tion for many people,” he said in Ja-
karta, a few weeks ago.
Not only that, Ministry of Public
Works and Housing also encourages
the acceleration of National Tourism
Strategic Area (NTSA) Development
since last year. There are 10 NTSAs
mentioned as ‘New Bali’. The destina-
tions are Tanjung Kelayang (Bangka
Belitung), Borobudur (Central Java),
Morotai (North Maluku), Komodo
Island-Labuan Bajo (East Nusa Teng-
gara), Wakatobi National Park (Sou-
theast Sulawesi), Seribu Islands (DKI
Jakarta), Lake Toba (North Suma-
tra), Bromo-Tengger-Semeru (East
Java), Mandalika Lombok (West Nusa
Tenggara) and Tanjung Lesung (Ban-
ten).
Director General of Human Sett-
lements, Ministry of Public Works
and Housing, Sri Hartoyo said that
until now his team is still building
various public infrastructures such
as roads, drainage, structuring, drin-
king water, garbage, waste water
and green open space. Related to
the placement, he said that it will be
adjusted to the Regional Spatial Plan.
He added that other structuring
programs are focused on slum areas
on the coast and construction of spe-
cial houses for fishermen. “It is neces-
sary that coastal areas become more
humane, livable and well-organized
areas,” said Sri Hartoyo separately, in
Jakarta.
This structuring of fishermen sett-
lement and waterfront area covers 11
locations. The entire areas are Beting
Village (Pontianak), Sumber Jaya Vil-
lage (Bengkulu), Nelayan Indah area
(Medan), Kuin Village (Banjarmasin),
Karangsong Village (Indramayu), Te-
galsari Village (Tegal), Tambak Lorok
Village (Semarang), Moro Demak Vil-
lage (Demak), Untia Village (Makas-
sar), Oesapa Village (Kupang) and
Hamadi Area (Jayapura).
Three of the villages, such as
Beting Village (Pontianak), Tegal-
sari Village (Tegal) and Sumber Jaya
Village (Bengkulu) have been res-
tructured. The remaining eight are
still in progress. “(The execution)
has been started since last year until
2019, but it is accelerated and hope-
fully will be completed by the end of
2018. Indonesia has a large number of
coastal areas. With the arrangement
of this 11 areas, it is expected to be an
example of restructuring the coastal
areas,” said Sri Hartoyo.
Generally, the work includes
Revitalization of Tampak Siring Palace, Kabupaten Gianyar, Bali
62
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Fatmawati Park, Wonosobo, Jawa Tengah
LAPORAN UTAMA | HABITAT
structuring of roads, bridges, flat
construction, revitalization of Green
Open Space (GOS), plaster handling,
drainage improvement, communal
toilet unit construction, access to
drinking water and electricity facility.
Another structuring is also
conducted in the area of educatio-
nal environment, especially boarding
school (ponpes). Since 2015, Ministry
of Public Works and Housing has
conducted structuring by building
flat and boarding school area to sup-
port educational activities. At that
time, as many as 25 towers with 770
units had been successfully built
in 25 locations with a budget of Rp
231,7 billion. The following year, the
construction of 20 towers with 600
units had been successfully built in
20 locations with a budget of Rp169,6
billion. While for this year, the struc-
turing of boarding school area is
conducted by building 22 towers in
22 boarding school locations throu-
ghout Indonesia. It is a total of 660
residential units which cost the bud-
get amounted to Rp 214,8 billion.
In addition, Ministry of Public
Works and Housing since 2016 also
conducts a lot of structuring in green
environment. Its program covers
GOS project and the handling of
slum area. The program covers an
area of 2.162 hectares spread across
various cities in Indonesia. Fur-
thermore, this year the handling of
slum area is increasing. Slum area
in Indonesia reaches 38.431 hectares,
consisting of 23.473 hectares in urban
area and 11.957 hectares in rural area.
Therefore, specifically for urban
area, DG of Human Settlements
conducts various programs of slum
handling, among others, the synergy
of drafting of slum handling planning
with local government or Prevention
Plan and Improving Quality of Urban
Slum (RP2KP-KP) in 93 districts / ci-
ties and Draft of Regional Regulation
on Improving Quality of Slum Area
and Housing in 68 districts / cities
through the funding source of state
budget.
Several efforts to address the pro-
blem of regional disparity, poverty,
and unemployment are conducted.
One of the approaches is to conduct
Community Based Infrastructure
(CBI) development. The program is
63
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
conducted through empowerment
and community participation so that
it gives contribution to poverty re-
duction and employment provision.
Its concept is implemented in the
form of regional socio-economic
infrastructure development (RSEID).
Its main focus includes the develop-
ment of infrastructure, especially
access roads between villages to sup-
port the socio-economic activities of
the community as the main actors of
planning, implementation and main-
tenance process based on the regio-
nal potential.
Sri Hartoyo said that the infras-
tructure development undertaken
by the Ministry of Public Works and
Housing produces not only physical
infrastructure, but also reduces the
gap between regions in the effort
of equitable development. In this
regard, RSEID is aimed to reduce
regional disparity, reducing poverty,
improving governance of local go-
vernment (districts, sub-districts and
villages) and strengthening commu-
nity institution at the village level.
“Infrastructure development will
also have to contribute to the em-
ployment provision to reduce pover-
ty rate in Indonesia,” said Sri Hartoyo
some time ago.
In 2016, the implementation of
RSEID was conducted in 364 sub-
districts. Total beneficiaries were
1.354.080 households with a budget
allocation of Rp 426 billion. In the
meantime, the program is imple-
mented in 400 sub-districts with
beneficiaries of 1.488.000 households
and budget allocation of Rp 240 bil-
lion. It means, each district gets an
allocation of Rp 600 million.
Despite it is continuing from the
previous year, Sri Hartoyo said the
RSEID program this year uses a new
mechanism with some conception
adjustments, technical justifications,
and program deliveries that rely on
participatory process by the commu-
nity. One of the significant changes
in the implementation process is the
shifting of the initial concept of capi-
tal expenditure account into goods
purchase.
Other changes are disbursement
mechanism, changes in implementa-
tion mechanism, and an emphasis on
community participation approach
on regional scale. “All these changes
are expected to improve socio-eco-
nomic in the region,” he explained.
In addition, Sri Hartoyo said that
the program recipient must have the
potential as a central area of growth,
economic growth, and can create
employment, and it is in accordance
with the related spatial plan.
The use of fund for infrastructure
construction including roads and vil-
lage bridges, boat moorings, small irri-
gation infrastructure as agricultural/
industry production support, agricul-
tural infrastructure, animal husban-
dry, fisheries, industry and tourism
activities supports such as markets,
warehouses and drying floors. Other
construction is drinking water infras-
tructure in the form of dug wells,
water catchments, rain water catch-
ments and public hydrants as well as
sanitation infrastructure in the form
of settlement drainage, communal
wastewater and garbage. n
PISEW at Gunung Sari Village, Temanggung, Jawa Tengah
Continues in Conducting Regional Structuring Throughout the Archipelago
64
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
THE central government certainly can not work alone in overco-ming the problem of clean water access occurred in various parts of Indonesia. The role of local go-vernment is necessary. Therefore, Kupang City Government and Ku-pang District, East Nusa Tenggara are working together to overcome the clean water crisis in the region. This partnership allows Kupang District Local Water Company to maximize water supply to custo-mers in Kupang City to prevent widespread water crisis.
If we want to realize 100 percent access availability to clean water, then the central govern-
ALL this time, almost all of the fishing
or waterfront areas still look slum.
One of them is Beting Village. Howe-
ver, with the construction of this
Beting area since last year, this area
begins to be organized neatly.
Full commitment from central
and local government are required to
fully support the program. All in order
to advance the city development. Al-
though the design of this Beting area
development is directly conducted by
Government of Pontianak City, we are
grateful to Ministry of Public Works
and Housing for its contribution to
organize coastal slum area.
Initially the completion target is
in 2019. But after seeing the result,
Ministry of Public Works and Hou-
sing will accelerate the process and
ment, local government, commu-nity and other stakeholders should be equally involved. Until today, several points of cooperation have been discussed together with the regional secretary. Currently, it is approaching to a win-win solution. The important thing of this coope-ration is clean water availability for the community. n
sets new completion target into next
year. This is a real Government work
that needs to be fully supported by the
local government and of course the
community.
With this structurized region, Be-
ting Village is ready to become a pilot
in the waterfront area development.
Because actually, this waterfront or
coastal area will not be slum if it can
be structurized/organized properly. n
Jefirstson Riwu Kore, Major of Kupang
Water Crisis is a Collective Problem
It is all for urban development. Although the design of this Beting area development is directly conducted
by Government of Pontianak City, we are grateful to the Ministry of Public Works and Housing for its
contribution to organize coastal slum area.
LAPORAN UTAMA | HABITAT
Sutarmidji, Major of Pontianak
Slum Area Can Be Well-Organized
Cooperation of all parties is key to overcome clean water emergency. But
it still needs to be supported by the procurement of clean water infrastructure.
This is where a shared role is needed.
65
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
THE Government has issued two poli-
cies to overcome the difficulties of land
in the housing provision program. First,
the housing provision is not an inde-
pendent program but rather integrated
with the handling program of slum sett-
lement. The integration is related to the
large number of Low Income Commu-
nity (LIC) who lives in slums and un-li-
vable.
Other policy, the Government
encourages cities with population of
more than 2 million people to provide
housing with vertical housing system,
and not landed house. Landed house is
allowed if the population is under 2 mil-
lion people.
Un-bankable housing provision
makes the LIC having difficulty to get
financing access from banks. Bappe-
nas data releases that 70 percent of
the Indonesia population has a house
independently, 12 percent with access
to Housing Loans (KPR) and 18 percent
with installments other than Housing
Loans. The large number of community
that has a house independently, leads to
potential emmerging of slumareas. n
IN the last few years, the urbanization rate is getting higher.
Data of the Indonesian population released by the World
Bank, this year the number is estimated to reach about 255
million inhabitants. A total of 54 percent population lives
in urban areas. That figure is expected to rise to 305 million
people by 2035 with about 67 percent lives in urban areas.
This is a phenomenon that must be immediately antici-
pated with the right formula. Moreover, the high increase of
urbanization rate is allegedly resulting un-balanced infras-
tructure and facilities services with the population. This pro-
blem ultimately leads to urban slums. Such condition encou-
rages the Government to handle urban and rural areas with
urban-rural linkage approach.
Despite the shape of vertical housing, at least it answers
one of the basic needs namely shelter needed by the commu-
nity, especially among the LIC. n
Nusyirwan Soejono, Member of Komisi V DPR RI
Yayat Supriatna,Urban Observer
What they say
Home for Low Income Community
Must be Ready to Face the Urbanization Rate
Government steps are already in accordance with Law No. 1 year 2011 on Housing and
Settlement Area that the housing provision is government responsibility.
100-0-100 program in which 0 percent of slum area is definitely should be continuously optimized. Inevitably to overcome slums, Government provides
settlements basic infrastructure by building housing.
66
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Kunjungan Kerja Komisi V DPR RI Ke Sulawesi Utara
Oleh: Setyono Adi
KEDATANGAN Komisi V
DPR RI yang dipimpin oleh
Ketua Komisi V DPR RI,
Michael Wattimena beserta
mitra kerja Kementerian PUPR disam-
but oleh Bupati Bolaang Mongondow
(Bolmong), Yasti Soepredjo Mokoagow
dalam rangka melakukan peninjauan
pada ruas Jalan Nasional Kaiya Maelang
yang terkena abrasi di sepanjang 135 ki-
lometer panjang Pantai Kaiya Maelang,
untuk itu Kementerian PUPR melalui
Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN)
XV Manado dan Balai Wilayah Sungai
(BWS) Sulawesi I bekerjasama dalam
penanganan tersebut.
Menurut Direktur Pembangunan
Jalan A. Gani Ghazali Akman, dalam
waktu dekat penanganan jalan Nasio-
nal Kaiya Maelang akan segera dilaku-
kan. Diperkirakan paling lambat pada
penyusunan anggaran tahun 2018
ruas jalan tersebut dapat dibangun.
Kepala BPJN XV, Manado Riel
Jemmy Mantik mengatakan, “kami
sedang melakukan survei detail dari
beberapa ruas jalan yang terkena
dampak abrasi Pantai Kaiya Maelang
bekerjasama dengan BWS Sulawesi
I untuk memproteksi agar kami bisa
memperbaiki jalan tersebut.”
Dalam kesempatan tersebut, Ke-
pala BWS Sulawesi I, Djidon Watania
mengatakan pihaknya sedang mela-
kukan pemeriksaan di beberapa ruas
pantai sepanjang 135 kilometer yang
terkena abrasi. Menurutnya, ada bebe-
rapa desain yang sudah dibuat untuk
mengantisipasi kerusakan tersebut,
namun masih ada di beberapa ruas ha-
rus diperiksa kembali karena ada per-
lakuan khusus dalam penanganannya.
Rombongan melanjutkan penin-
jauan ke Waduk Lolak yang berada di
Desa Pindol. Menurut Direktur Pe-
ngembangan Jaringan Sumber Daya
Air (PJSDA), Trisasongko Widianto,
saat ini, proyek bernilai Rp850 miliar
itu sedang dalam proses pengerjaan-
nya. Pada September 2017, progres
Keuangan 45 persen dan Fisik 39 per-
sen. Secara teknis, waduk ini akan
membendung Sungai Lolak dan
mampu menampung air sebanyak 16
juta m3 dan memiliki menara ben-
dung setinggi 58 meter.
“Ke depan, untuk menjaga waduk
Lolak, Pemerintah Kabupaten Bol-
mong membuat peraturan untuk
tidak membuat kerambah di sekitar
waduk. Nantinya air baku akan di-
manfaatkan untuk air minum di Lolak
dan Pinogaluman 500 liter per detik,
untuk irigasi seluas 2.214 hektar, dan
untuk PLTMH sebesar 2,43 MW,” jelas
Widianto.
Terkait Infrastruktur, menurut
Yasti, Infrastruktur dibutuhkan un-
tuk percepatan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi Bolaang Mon-
gondow dengan potensi yang ada,
Bolaang Mongondow bisa menjadi
daerah yang lebih berkembang. n
Untuk percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Bolaang Mongondow dengan potensi yang ada, Bolaang
Mongondow bisa menjadi daerah yang lebih berkembang.
Komisi V melihat maket pembangunan jalan
67
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
Komisi V DPR RI Lakukan Kunjungan Kerja Ke Sidoarjo
Komisi V DPR RI Lakukan Kunjungan Kerja Ke Sidoarjo
Dalam waktu dekat ini, Komisi V akan berkoordinasi dengan pihak terkait, mulai dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) hingga Kementerian Keuangan,
untuk penuntasan masalah ini
Oleh: Setyono Adi
KOMISI V DPR RI melakukan
Kunjungan Kerja (kunker)
spesifik ke Kabupaten Si-
doarjo pada tanggal 7-9 Sep-
tember 2017 dalam rangka peninjauan
Lumpur Sidoarjo dipimpin oleh Sigit
Sosiantomo. Hadir dalam kunker ter-
sebut Inspektur Jenderal Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR), Rildo Ananda Anwar,
Sekretaris Direktorat Jenderal Sumber
Daya Air, Lolly Martina Martif, Kepala
PPLS, Dwi Sugiyanto. Kunjungan kerja
ini dilakukan untuk membantu penye-
lesaian permasalahan ganti rugi aset
tanah dan bangunan 30 pengusaha
korban luapan lumpur Sidoarjo da-
lam Peta Area Terdampak (PAT) akan
diselesaikan secara Bussines to Bussines
(B to B) melalui PT. Minarak Lapindo
Jaya.
Terkait permasalahan dampak
sosial, realisasi jual beli tanah dan ba-
ngunan di dalam PAT 22 Maret 2017
yang menjadi tanggung jawab PT.
Minarak Lapindo Jaya telah terbayar
12.993 berkas senilai Rp3,82 triliun
dari kewajiban 13.237 berkas senilai
Rp3,87 triliun, sehingga tersisa 244
berkas senilai Rp54,33 miliar.
Selanjutnya, realisasi jual beli tanah
dan bangunan di luar PAT yang meng-
gunakan dana APBN melalui PPLS
progresnya saat ini dari total 9.181 ber-
kas untuk pembayaran tanah dan ba-
ngunan warga, fasum/fasos dan tanah
waqaf dengan nilai Rp3,87 triliun su-
dah terbayar senilai Rp3,13 triliun atau
80 persen, sehingga tersisa Rp746 mi-
liar. Berkas tersebut terdiri dari1.843
berkas di tiga desa sesuai Perpres
48/2008 yakni Desa Besuki, Desa Pen-
jarakan dan Desa Kedungcangkring
di Kecamatan Jabon, 833 berkas di 9
(sembilan) Rukun Tetangga (RT) sesuai
Perpres 40/2009, dan 6.505 berkas di 65
RT sesuai Perpres 33/2013.
Rildo Ananda Anwar mengatakan,
para pengusaha yang aset tanah dan
bangunan pengusaha yang masuk da-
lam PAT 22 Maret 2017 akan dilakukan
langkah-langkah penyelesaian seperti
halnya jual beli tanah dan bangunan
milik masyarakat.
Bendung Darurat lumpur Sidoardjo
68
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
“Aset pengusaha yang didalam PAT
22 Maret 2007 akan segera saya konsul-
tasikan kepada Bapak Menteri, untuk
bisa dibahas pada Rapat Terbatas ka-
rena harus diputuskan dalam Sidang
Kabinet dengan Presiden,” jelasnya.
Jumlah pengusaha yang terdampak
semburan lumpur berjumlah sedi-
kitnya 30 pengusaha dari pelbagai jenis
usaha seperti kerajinan tas, kulit, furni-
ture, makanan kecil, gudang, jasa pro-
perti, pengolahan plastik dan industri
rumah tangga.
Kepala PPLS, Dwi Sugiyanto me-
ngatakan, Sejak tahun 2007 hingga
2017 pemerintah telah melakukan
pelbagai penanganan teknis dan in-
frastruktur akibat terjadinya luapan
lumpur Sidoarjo. Diantaranya adalah
pembuatan tanggul pengaman luapan
lumpur sepanjang 20,86 kilometer,
Penanganan luapan lumpur dan in-
frastruktur sekitar semburan (per-
baikan sistem drainase 17,45 kilometer
perbaikan jalan lingkungan 6,34 kilo-
meter, jalan alternatif 7,15 kilometer,
pengamanan banjir Kali Porong be-
rupa revetment 12,09 kilometer, pena-
nganan endapan Muara Kali Porong,
pembangunan relokasi Jalan Arteri Si-
ring-Porong (Jembatan/fly over 1,3 kilo-
meter), overpass 1,29 kilometer, jalan at
grade 11 kilometer) dan pembangunan
relokasi pipa air baku PDAM sepanjang
18,9 kilometer.
“Kementerian PUPR melalui PPLS
memastikan penanganan infrastruk-
tur dan pengendaliannya di daerah
yang terkena dampak serta menjamin
infrastruktur tersebut tetap berfungsi
dan berjalan sesuai rencana,” ujar Dwi.
Dalam waktu dekat ini, Komisi V
akan segera berkoordinasi dengan pi-
hak terkait, mulai dari Badan Peren-
canaan Pembangunan Nasional (Bap-
penas) hingga Kementerian Keuangan,
untuk penuntasan masalah ini. De-
ngan harapan ada langkah kongkret
dari Pemerintah untuk membantu
para korban dalam hal ganti rugi. Mi-
sal dana talangan yang dikucurkan dari
APBN atau mendesak pihak PT Mina-
rak untuk memberikan ganti rugi. n
Rapat Kunjungan Kerja
69
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
ManfaatkanDari AlamSekitar
Tasya Kamila
LINGKUNGAN sudah menjadi bagian
yang lekat dalam diri sejak masih kecil.
Tak ayal jika gelar Duta Lingkungan
Hidup telah disandang mantan penya-
nyi cilik ini. Bahkan, kepeduliannya terhadap
lingkungan untuk mendirikan Green Movement
Indonesia sejak awal 2015. Tujuannya untuk
memajukan Indonesia yang bersih dan hijau.
“Itu salah satu caraku untuk mendorong
kesadaran kita semua agar tetap menjaga ling-
kungan hidup dengan baik. Misinya sih agar bisa
menginspirasi orang untuk peduli lingkungan
hidup agar tercipta keseimbangan antara hidup
manusia dengan alam sekitarnya. Tapi sekarang
awareness masyarakat juga sudah semakin baik.
Apalagi dukungan Pemerintah juga kan dengan
membuat kawasan kota ramah lingkungan dan
sebagainya,” katanya dara yang telah lulus me-
nempuh pendidikan S2 dari Columbia Univer-
sity, Amerika Serikat ini. Di sana, ia memilih ju-
rusan Public Administration dengan konsentrasi
bidang Enviromental Policy and Management.
Salah satu yang tengah jadi konsentrasinya
di Indonesia saat ini adalah pengerjaan proyek
pembangunan desa swadaya energi di Sumba,
Nusa Tenggara Timur. Ia mengaku senang bisa
membantu masyarakat sekitar untuk meman-
faatkan energi dari alam sekitar. Meski diketa-
huinya, persebaran energi masih kurang merata
di Indonesia. Menurutnya, kondisi ini menjadi
pekerjaan rumah bersama yang harus dipikirkan
semua masyarakat Indonesia. n
Jendela
70
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
OPINI
MENUJU KOTA LAYAK HUNI
71
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
72
MAJALAH KIPRAH Vol 83 th XVII | September 2017
top related