laporan resmi praktikum
Post on 27-Oct-2015
430 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMDASAR-DASAR AGONOMI
ACARA IPERBANYAKAN VEGETATIF
Disusun oleh:
Gol./ Kel. : B1/ VAsisten : Harimurti Buntaran
Nurmasari Fitrisiana Septin Kristiani
LABORATORIUM MANAJEMEN DAN PRODUKSI TANAMANJURUSAN BUDI DAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS GADJAH MADA
1. Solekhan (PN/12509)2. Trya Angga P. (PN/12542)3. Annisa Fauzia A. (PN/12557)4. Agung Nugoho S. W. (PN/12569)5. Hanifa Nuraini (PN/12570)
YOGYAKARTA2012
ACARA IPERBANYAKAN VEGETATIF
I. TUJUAN
1. Mengetahui prinsip – prinsip dasar perbanyakan tanaman secara vegetatif.
2. Menguasai teknik – teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Perbanyakan tanaman dapat digolongkan menjadi dua, yaitu perbanyakan
tanaman secara generatif dan perbanyakan tanaman secara vegetatif. Perbanyakan
tanaman secara generatif adalah dengan menanam biji, sedangkan perbanyakan
tanaman secara vegetatif dapat dilakukan dengan cara setek, cangkok,
penyambungan, merunduk, dan yang paling mutakhir adalah dengan kultur jaringan
(Hendaryono dan Ari, 1994).
Perbanyakan tanaman secara vegetatif buatan merupakan perkembangbiakan
tanaman tanpa melalui perkawinan. Proses perbanyakan secara vegetatif buatan
melibatkan campur tangan manusia. Tanaman yang biasa diperbanyak dengan cara
vegetatif buatan adalah tanaman yang memiliki kambium. Tanaman yang tidak
berkambium atau bijinya berkeping satu tidak dapat diperbanyak dengan cara
vegetatif buatan. Perbanyakan tanaman secara vegetatif buatan bisa dilakukan
dengan cara setek, cangkok, dan menyambung (Rahardja dan Ari, 2005).
Penyambungan atau enten (grafting) adalah penggabungan dua bagian
tanaman yang berlainan sedemikian rupa sehingga merupakan satu kesatuan yang
utuh dan tumbuh sebagai satu tanaman setelah terjadi regenerasi jaringan pada
bekas luka sambungan atau tautannya. Bagian bawah (yang mempunyai perakaran)
yang menerima sambungan disebut batang bawah atau sering disebut stock. Bagian
tanaman yang mempunyau lebih dari satu mata tunas (entres), baik berupa tunas
pucuk atau tunas sampung. Penyambungan batang bawah dan batag atas ini
biasanya dilakukan antara dua varietas tanaman yang masih dalam spesies yang sama
(Prastowo et al., 2006).
Cara ini dilakukan karena lebih efektif dan efisien serta mempunyai keuntungan
lain, di antaranya mengekalkan sifat-sifat klon yang baik yang tidak dilakukan oleh
pembiakan vegetatif lain, dapat memperoleh tanaman yang kuat karena batang
bawahnya tahan terhadap keadaan tanah yang tidak menguntungkan, memperbaiki
jenis-jenis tanaman yang telah tumbuh sehingga jenis yang tidak diinginkan dapat
diubah dengan jenis yang dikehendaki dan dapat mempercepat berbuahnya
(Sumberini dan Riyanto, 2001).
Setek merupakan salah satu cara pembiakan vegetatif buatan, yaitu dengan
cara memotong bagian dari tubuh tanaman agar muncul perakaran baru. Bagian
tanaman yang dapat disetek antara lain: bagian akar, batang, daun maupun tunas.
Setek dapat dibedakan menurut bagian tanaman yang diambil untuk bahan setek: 1)
Setek akar, misalnya pada jambu biji, cemara, albezzia dan aesculus; 2) Setek batang,
misalnya rhizome, tuber, softwood dan intermediate; 3) Setek daun, misalnya
sanciviera, begonia, dan beberapa tanaman lain; 4) Setek tunas, misalnya pada
tanaman anggur (Anonim, 2011).
Zat pengatur tumbuh yang paling berperan pada pengakaran setek adalah
Auksin. Auksin yang biasa dikenal yaitu indole-3-aceticacid (IAA), indolebutyric acid
(IBA) dan nepthaleneaceetic acid (NAA). IBA dan NAA bersifat lebih efektif
dibandingkan IAA yang meruapakan auksin alami, sedangkan zat pengatur tumbuh
yang paling berperan dalam pembentukan tunas adalah sitokinin yang terdiri atas
zeatin, zeatinriboside, kinetin, isopentenyladenin (ZiP), thidiazurron (TBZ), dan
benzyladenine (BA atau BAP). Selain auksin, absisic acid (ABA) juga berperan penting
dalam pengakaran setek (Hartmann et al., 1997).
Setek daun adalah salah satu teknik perbanyakan sanseviera yang
dimungkinkan untuk mempercepat penyediaan bibit dalam skala besar. Dalam waktu
yang relatif sama, sekitar 4 bulan, perbanyakan dengan pemisahan anakan akan
menghasilkan 2—3 tunas tanaman baru, sedangkan perbanyakan dengan setek
mampu menghasilkan 6—12 tunas tanaman baru, tergantung jumlah daun tanaman
induk dan jenis varietas yang akan digunakan sebagai bahan tanam setek. Salah satu
indikator keberhasilan teknik ini adalah pertumbuhan akar dan tunas baru yang jenis
kultivar dan bagian daun yang digunakan berpengaruh terhadap hal tersebut. Faktor
genetik yang berbeda dari setiap spesies, dimungkinkan akan berpengaruh terhadap
kondisi fisiologis pada setiap urutan daun pada batang sehingga hal tersebut akan
berpengaruh pula terhadap (Rahayu dan Pandwi, 2011).
Teknik in vitro dengan mempergunakan berbagai bagian tanaman sangat
menguntungkan untuk perbanyakan tanaman dan teknik tersebut telah berhasil pula
memperbanyak sejumlah jenis tanaman yang berkhasiat obat dari berbagai suku.
Kelebihan dari teknik tersebut disamping dalam kondisi yang apseptis atau bebas
patogen dapat menghasilkan tanaman berkesinambungan atau berkala. Selain itu,
perbanyakan in vitro merupakan salah satu aternatif untuk menyediakan bahan
tanaman secara massal dalam waktu yang relatif singkat dibadingkan dengan cara
konvensional (Hoesen, 2001).
III. METODE PELAKSANAAN PRAKTIKUM
Praktikum Dasar-dasar Agonomi Acara I Perbanyakan Vegetatif dilaksanakan
pada hari Senin, 23 April 2012 di Laboratorium Manajemen dan Produksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan dalam
praktikum ini adalah polibag, pisau okulasi, plastik pembungkus, tali rafia, label, dan
alat tulis. Bahan-bahan yang digunakan adalah tanaman puring (Codiaeum
variegatum), lidah mertua (Sanciviera sp.), dan jeruk (Citrus sp.).
Kegiatan yang dilakukan pada acara ini adalah penyambungan pucuk, setek
batang, setek daun. Cara kerja untuk penyambungan daun adalah pertama-tama
dipilih dua jenis tanaman puring (Codiaeum variegatum) yang cabangnya sama besar,
berdaun kecil untuk scion dan berdaun lebar untuk stock. Kemudian, bagian pucuk
scion dipotong 10—15 cm tergantung besarnya cabang. Selanjutnya, daun scion
dikurangi dan bagian pangkal scion dipotong membentuk huruf V atau membentuk
baji. Kemudian, stock dibelah ke bawah (di bagian tengah) sepanjang 1—2 cm
tergantung besarnya cabang. Scion disisipkan ke dalam stock, kemudian diikat
dengan tali dan dibungkus dengan plastik untuk mengurangi transpirasi pada scion.
Cara kerja untuk setek daun adalah daun tanaman lidah mertua (Sanciviera sp.) dan
media tanah disiapkan. Kemudian, daun dipotong menjadi tiga bagian yaitu ujung,
tengah dan pangkal. Selanjutnya, bagian setek daun tesebut ditanam ke dalam media
yang disiapkan dan tanah disiram untuk mempercepat pertumbuhan. Untuk setek
batang, pertama-tama bagian tanaman yang akan dijadikan bahan setek dipilih
dengan panjang 10—15 cm dengan menyisakan satu daun saja. Kemudian, bagian
pangkalnya dipotong dengan sudut kemiringan 45 derajat dan ukuran luas daun
dikurangi dengan memotong hingga setengahnya saja. Kemudian, bahan setek
dicelupkan ke dalam IBA 4000 ppm selama 5 detik. Media tanam disiapkan dan
bahan tanam berupa setek tadi dimasukkan ke dalam lubang tanam yang dibuat.
Selanjutnya, polibag yang telah ditanami dimasukkan ke dalam sungkup. Tanaman
dipelihara dengan menjaga kapasitas lapang. Terakhir, keberhasilan penyetekan
diperiksa setelah satu bulan. Setek yang hidup ditandai dengan tunas daun dan
munculnya akar.
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENGAMATAN
Tabel 1. Tingkat Keberhasilan Setek Daun
Perlakuan Persentase Keberhasilan
Setek
daun
Atas 0%
Tengah 0%
Bawah 16,7%
Tabel 2. Tingkat Keberhasilan Setek batang ZPT, setek batang air, dan sambung pucuk
Perlakuan Persentase keberhasilan
Setek batang + ZPT 66,7%
Setek batang + air 33,3%
Sambung pucuk 0%
B. PEMBAHASAN
Perbanyakan vegetatif adalah teknik perbanyakan tanaman yang dilakukan
dengan menggunakan bagian-bagian vegetatif dari tanaman seperti akar, batang
dan daun. Perbanyakan vegetatif biasanya dilakukan dengan cara setek, cangkok,
sambung pucuk, dan okulasi. Dalam praktikum ini perbanyakan vegetatif yang
dilakukan diantaranya adalah setek dan sambung pucuk. Setek yang dilakukan
adalah setek batang dan setek daun. Setek batang menggunakan batang dari
tanaman jeruk (Citrus sp.), setek daun menggunakan daun dari tanaman lidah
mertua (Sanciviera sp.), dan sambung pucuk menggunakan tanaman puring
(Codiaeum variegatum).
Perbanyakan vegetatif memiliki beberapa keuntungan, yaitu tanaman akan
membawa sifat-sifat baik dari induknya, efisiensi waktu karena dibutuhkan waktu
yang tidak lama untuk berbuah dan berbunga dibandingkan dengan perbanyakan
generatif, tanaman dapat dikembangbiakkan tanpa menunggu berbuah terlebih
dahulu dan tanaman dapat dikembangbiakkan dan dilestarikan meskipun tanaman
tidak berbiji atau berbuah. Namun perbanyakan vegetatif juga memiliki kerugian,
yaitu tanaman dapat membawa sifat-sifat buruk dari tanaman induk, sistem
perakaran yang dihasilkan merupakan sistem perakaran serabut sehingga menjadi
tanaman hasil tidak sekuat tanaman asli dan hanya dapat diperoleh keturunan
baru yang jumlahnya terbatas dari satu induk.
Setek merupakan salah satu cara pembiakan vegetatif buatan, yaitu dengan
cara memotong bagian dari tubuh tanaman agar muncul perakaran baru. Bagian
tanaman yang dapat disetek antara lain: bagian akar, batang, daun, maupun
tunas. Sebagai alternatif perbanyakan vegetatif buatan, setek memiliki beberapa
keunggulan di antaranya setek lebih ekonomis, lebih mudah, tidak memerlukan
keterampilan khusus dan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan cara
perbanyakan vegetatif buatan lainnya. Cara perbanyakan dengan metode setek
akan mengalami kerugian jika bertemu dengan kondisi tanaman yang sukar
berakar. Akar yang baru terbentuk tidak tahan stres lingkungan dan adanya sifat
plagiotrop tanaman yang masih bertahan.
Keberhasilan perbanyakan ini ditandai oleh terjadinya regenerasi akar dan
pucuk pada bahan setek sehingga menjadi tanaman baru. Regenerasi akar dan
pucuk yang merupakan penanda keberhasilan setek ini dipengaruhi oleh faktor
internal yaitu tanaman itu sendiri dan faktor eksternal atau lingkungan. Faktor
internal yang mempengaruhi keberhasilan setek ialah zat pengatur tumbuh (ZPT).
Zat pengatur tumbuh yang paling berperan dalam pengakaran setek adalah
auksin. Auksin yang biasa dikenal yaitu indole-3-aceticacid (IAA), indolebutyric
(IBA) dan nepthaleneacetic acid (NAA). IBA dan NAA bersifat lebih efektif di
bandingkan dengan IAA yang merupakan auksin alami. Pada praktikum ini
digunakan IBA sebagai zat pengatur tumbuh untuk setek batang (Wells, 1984).
Gb. Struktur indole-3-aceticacid (IBA)
Faktor internal yang perlu dipertimbangan dan menjadi faktor penting dalam
mempengaruhi regenerasi akar dan pucuk pada setek adalah faktor genetik. Setiap
jenis tanaman yang berbeda mempunyai kemampuan regenerasi akar dan pucuk
yang berbeda pula. Dalam menunjang keberhasilan setek tanaman induk
seharusnya mempunyai sifat-sifat unggul dan tidak terserang hama atau penyakit.
Faktor lingkungan tumbuh setek yang cocok sangat berpengaruh pada
terjadinya regenerasi akar dan pucuk. Lingkungan tumbuh atau media pengakaran
seharusnya kondusif untuk regenerasi akar yaitu cukup lembab, evapotranspirasi
rendah, drainase dan aerasi baik, suhu tidak terlalu dingin atau panas, tidak
terkena cahaya penuh (200—100 W/m2), dan bebas dari hama atau penyakit.
Setek batang
Setek batang merupakan perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian
vegetatif tanaman berupa batang tanaman. Setek batang yang dilakukan pada
praktikum ini menggunakan tanaman jeruk (Citrus sp.) yang merupakan jenis
batang tanaman yang semi berkayu. Setek batang dilakukan dengan pemotongan
batang tanaman yang telah dipilih sebelumnya sebagai batang setek.
Sebelum melakukan setek batang harus dilakukan pemilihan batang tanaman
yang akan disetek agar dapat menghasilkan buah dan bunga yang baik. Sebaiknya
batang dipilih dari tanaman yang berumur kurang lebih satu tahun agar masih
dapat menghasilkan perakaran yang baik dan memiliki penguapan yang stabil
karena apabila dipilih batang yang tua, akan sulit terjadi perakaran dan apabila
dipilih batang yang tua, maka proses penguapan yang terjadi akan cepat sekali
sehingga mengganggu setek. Batang tanaman yang dipilih juga batang tanaman
yang bebas hama dan penyakit.
Histogam 1. Tingkat Keberhasilan setek batang
Berdasarkan histogam di atas dapat diketahui bahwa persentase keberhasilan
setek batang dengan zat pengatur tumbuh pada praktikum ini 66,76% dan untuk
setek batang tanpa zat pengatur tumbuh 33,33%. Persentase keberhasilan yang
belum maksimal pada kedua perlakuan dapat dikarenakan penyiraman yang
kurang teratur dan dibukanya sungkup plastik penutup yang berfungsi untuk
mengurangi transpirasi sehingga dapat dimungkinkan sungkup plastik tidak
tertutup rapat seperti sebelumnya sehingga transpirasinya menjadi besar dan
mengganggu proses setek.
Selain setek batang, pada praktikum ini juga dilakukan setek daun dengan
menggunakan bahan setek berupa daun dari tanaman lidah mertua (Sanciviera
sp.). Bahan awal dari perbanyakan tanaman dengan setek daun ini dapat berupa
lembaran daun. Namun, bahan awal dari setek daun ini tidak akan menjadi bagian
dari tanaman baru. Pada setek daun, akar dan tunas baru berasal dari jaringan
meristem primer atau jaringan meristem sekunder. Pada Sanciviera sp. akar dan
tunas baru berkembang dari meristem sekunder dari hasil pelukaan. Seperti pada
setek batang dan setek-setek pada umumnya, bahan setek daun juga harus dipilih
dari tanaman induk yang unggul dan bebas dari hama atau penyakit.
Tabel 2. Histogam setek daun atas, tengan dan bawah
Dari histogam di atas terlihat persentase keberhasilan setek daun bagian
ujung 0% dan persentase keberhasilan pada setek daun bagian tengah 0%, dan
bagian bawah 16,7%. Pada praktikum ini perlakuan setek daun yang mengalami
keberhasilan tertinggi hanya ditemukan pada bagian pangkal. Adapun
ketidakberhasilan pada kedua perlakuan lainnya, yaitu pada setek ujung daun dan
tengah daun dapat dimungkinkan oleh fakor internal dan fakktor eksternal. Faktor
internal dari tanaman itu sendiri yang berhubungan terhadap jaringan antar
bagian tanaman yaitu terdapat perbedaaan titik tumbuh antara bagian ujung,
tengah, dan pangkal maupun dapat disebabkan oleh penyiraman yang kurang
teratur.
Penyambungan atau enten (grafting) adalah penggabungan dua bagian
tanaman yang berlainan sedemikian rupa sehingga merupakan satu kesatuan yang
utuh dan tumbuh sebagai satu tanaman setelah terjadi regenerasi jaringan pada
bekas luka sambungan atau tautannya. Teknik apapun yang memenuhi kriteria ini
dapat digolongkan sebagai metode grafting, sedangkan budding adalah salah satu
bentuk dari grafting dengan ukuran batang atas tereduksi menjadi hanya terdiri
atas satu mata tunas. Teknik ini dipilih dengan dalam memperbanyak tanaman
yang sukar atau tidak dapat diperbanyak dengan cara setek, perundukan,
pemisahan, atau dengan cangkok. Selain untuk memperbanyak tanaman yang
sukar diperbanyak dengan cara yang lain, sambung pucuk juga memiliki
keuntungan yang lain, yaitu perakaran yang kuat, toleran terhadap lingkungan
tertentu, mempercepat pertumbuhan tanaman dan mengurangi waktu produksi,
mempercepat kematangan reproduktif dan produksi buah lebih awal,
mendapatkan bentuk pertumbuhan tanaman khusus, dan memperbaiki kerusakan
pada tanaman. Namun, perbanyakan tanaman secara sambung pucuk merupakan
teknik perbanyakan tanaman yang mahal karena memerlukan tenaga terlatih dan
waktu.
Pada praktikum ini tidak ditemui keberhasilan dalam perlakuan sambung
pucuk ini. Adapun kegagalan ini dikarenakan terjadinya perlakuan teknik sambung
pucuk yang salah sehingga tidak terjadi pertautan antara kedua batang tanaman.
Keberhasilan dalam teknik ini hanya mungkin jika kedua jenis tanaman cocok
(kompatibel) dan irisan luka rata serta pengikatan sambungan tidak terlalu lemah
dan tidak terlalu kuat sehingga tidak terjadi kerusakan jaringan.
Dalam melakukan grafting atau budding, perlu diperhatikan polaritas batang
atas dan batang bawah. Untuk batang atas bagian dasar entris atau mata tunas
harus disambungkan dengan bagian atas batang bawah. Jika posisi ini terbalik,
sambungan tidak akan berhasil baik karena fungsi xylem sebagai pengantar hara
dari tanah maupun floem sebagai pengantar asimilat dari daun akan terbalik
arahnya (Ashari, 1995) sehingga kegagalan dalam praktikum ini dimungkinkan
tidak terpenuhinya keadaan di atas yang dibutuhkan dalam keberhasilan teknik ini.
IV. KESIMPULAN
1. Perbanyakan tanaman vegetatif bisa dilakukan dengan cara setek batang, setek
daun dan sambung pucuk.
2. Perlakuan penambahan zat pengatur tumbuh yaitu IBA dapat meningkatkan
tingkat keberhasilan setek batang.
3. Faktor ketidakberhasilan pada setek daun ujung dan setek daun tengah karena
terdapat perbedaaan titik tumbuh antara bagian ujung, tengah, dan pangkal
maupun dapat disebabkan oleh penyiraman yang kurang teratur.
4. Kecocokan tanaman dan pengikatan sambungan mempengaruhi keberhasilan
pada sambung pucuk.
5. Polaritas batang atas dan batang bawah mempengaruhi keberhasilan setek.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Setek Tanaman Pada Pucuk, Batang Tengah, dan Pangkal.<http://www.masbied.com/2011/10/20/setek-tanaman-pada-pucuk-batang-tengah-dan-pangkal/>. Diakses pada 25 Maret 2012.
Ashari, S. 1995. Hortikultural Aspek Budidaya. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies, and R. L. Geneve. 1997. Plantpropagation: Principles and Practices. Prentice Hall, Englewood Cliffs.
Hendaryono, D.P.S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta, Kanisius.
Hoesen, D. S. H. 2001. Perbanyakan dan penyimpanan kultur sambung nyawa dengan teknik in vitro. Jurnal Biologi 5 : 379—385.
Prastowo, N. H., M. R. James, E. M. Gerhard, N. Erry, M. T. Joel, H. Frasiskus. 2006. Teknik Pembibitan dan Perbanyakan Vegetatif Tanaman Buah. Bogor, World Agoforestry Centre & Winrock International, Bogor.
Rahardja P. C. dan Wahyu W. Aneka Cara Memperbanyak Tanaman. 2005. Jakarta, AgoMedia Pustaka.
Rahayu dan M. Pandwi. 2011. Pengaruh Perbedaan Urutan Daun di Batang Pada Dua Varietas Sansiviera Terhadap Pertumbuhan Setek Daun. Universitas Brawijaya, Malang.
Sumberini dan A. Riyanto. 2001. Pengaruh umur batang bawah sirsak (Annona muricata L.) dan macam batang atas srikaya (Annona squamosa L.) terhadap pertumbuhan bibit sambung pucuk. Bullaz 6:98—104.
Wells, A. F. 1984. Structural Inorganic Chemistry, 5th ed. Oxford University Press, Oxford.
LAMPIRANGb. Sambung Pucuk Puring (Codiaeum variegatum)
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMDASAR-DASAR AGONOMI
ACARA IIKEBUTUHAN AIR TANAMAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR
Disusun oleh:
Gol./ Kel. : B1/ VAsisten : Harimurti Buntaran
Nurmasari Fitrisiana Septin Kristiani
LABORATORIUM MANAJEMEN DAN PRODUKSI TANAMANJURUSAN BUDI DAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
1. Solekhan (PN/12509)2. Trya Angga P. (PN/12542)3. Annisa Fauzia A. (PN/12557)4. Agung Nugoho S. W. (PN/12569)5. Hanifa Nuraini (PN/12570)
2012
ACARA IIKEBUTUHAN AIR TANAMAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR
I. TUJUAN
1. Mengetahui jumlah air yang hilang karena evaporasi dan transpirasi
2. Mengetahui jumlah air yang dibutuhkan tanaman selama periode waktu tertentu
3. Mengetahui efisiensi penggunaan air tanaman
II. TINJAUAN PUSTAKA
Air mutlak diserap oleh setiap makhluk hidup untuk pertumbuhan. Demikian
pula tanaman, air sangat dibutuhkan dalam proses evaporasi, transpirasi, dan
aktivitas tanaman. Apabila kebutuhan air terpenuhi dalam jumlah dan waktu yang
tepat, maka tanaman bisa tumbuh optimal dan dapat memberikan hasil yang tinggi
(Mulia, 2004).
Ketersediaan air adalah berapa besar cadangan air yang tersedia untuk
keperluan irigasi. Ketersediaan air ini biasanya terdapat pada air permukaan seperti
sungai, danau, dan rawa-rawa, serta sumber air di bawah permukaan tanah. Pada
prinsipnya perhitungan ketersediaan air ini bersumber dari banyaknya curah hujan,
atau dengan perkataan lain hujan yang jatuh pada daerah tangkapan hujan
(catchment area/ watershed) sebagian akan hilang menjadi evapotranspirasi,
sebagian lagi menjadi limpasan langsung (direct run off), dan sebagian yang lain akan
masuk sebagai infiltrasi (Dirjen Pengairan, 1986).
Air dapat hilang karena beberapa proses antara lain, proses evaporasi,
transpirasi, dan evapotranspirasi. Ketiga proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor utama yang mempengaruhi adalah jenis tanaman, kadar lengas tanah,
dan cuaca (Quezada et al., 2011).
Evaporasi adalah proses air diubah menjadi uap air (vaporasi, vaporization) dan
selanjutnya uap air tersebut dipindahkan dari permukaan bidang penguapan ke
atmosfer (vapor removal). Evaporasi terjadi pada berbagai jenis permukaan seperti
danau, sungai lahan pertanian, tanah, maupun dari vegetasi yang basah. Proses ini
dapat mengurangi persediaan air di suatu lahan (Santoso, 2004).
Transpirasi adalah vaporisasi di dalam jaringan tanaman dan selanjutnya uap air
tersebut dipindahkan dari permukaan tanaman ke atmosfer (vapor removal). Pada
transpirasi, penguapan terjadi terutama di ruang antar sel daun dan selanjutnya
melalui stomata uap akan atmosfer. Hampir air yang diambil tanaman media tanam
(tanah) akan ditranspirasikan, dan hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan tanaman
(Irianto, 2004).
Evapotranspirasi adalah perpaduan antara evaporasi dari tanah dengan
transpirasi dari tumbuh-tumbuhan. Evapotranspirasi merupakan salah satu
komponen utama dalam siklus hidrologi dengan pada perhitungan ketersediaan air
(Rino, 2011).
III. METODE PELAKSANAAN PRAKTIKUM
Praktikum Dasar-dasar Agonomi acara II Kebutuhan Air Tanaman dan Efisiensi
Penggunaan Air ini dilaksanakan pada tanggal 30 april 2012 di rumah kaca dan
Laboratorium Produksi Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan antara lain cangkul, cetok,
thermohigometer, neraca, dan oven. Sementara untuk bahan yang digunakan antara
lain bibit tanaman tomat (Solonum lycopersicum), air keran, polibag, dan tanah
sebagai media tanam.
Cara kerja pada praktikum ini dibagi dalam dua tahap, yaitu persiapan media
tanam dan tahap pengamatan. Pada tahap persiapan media tanam yang perlu
dilakukan adalah disiapkan dua buah polibag untuk kemudian diisi dengan tanah
sebanyak 1.000 gam dan ditambahkan 100 gam air. Setelah itu, dilakukan
penanaman bibit tomat dan diambil satu buah bibit tomat untuk diukur luas daun
dan bobot keringnya. Bibit tomat yang telah ditanam kemudian dirawat selama 21
hari setelah tanam. Setelah itu, dilakukan proses pengamatan. Pengamatan
dilakukan dengan mengukur banyaknya air yang hilang pada tiap polibag yang
dimulai 4 hari setelah tanam dengan frekuensi 2 kali seminggu (internal 3—4 hari)
dengan cara polibag ditimbang dan dihitung selisih berat awal dengan berat polibag
pada saat penimbangan kemudian ditambahkan air sampai berat polibag mempunyai
berat 1.100 gam. Setelah mengetahui jumlah air yang hilang, dilakukan perhitungan
untuk mengetahui jumlah air yang hilang dalam proses transpirasi, evaporasi, dan
evapotranspirasi dengan satuan gam/satuan luas/hari. Setelah hari keempat
pengamatan (16 hst), dijumlah hasil pengukuran evaporasi, evapotranspirasi, dan
transpirasi untuk mengetahui jumlah air yang dibutuhkan. Tanaman tomat dipanen
pada 21 hari setelah tanam dan dihitung luas daun dan bobot segarnya. Tanaman
tomat dioven untuk mengetahui berat keringnya. Selisih antara bobot kering
penanaman dihitung untuk mengetahui biomassa yang dihasilkan. Langkah terakhir
adalah menghitung efisiensi penggunaan air dengan rumus :
Selain WUE, dalam praktikum ini juga dihitung laju transpirasi tanaman, yaitu dengan
menggunakan rumus:
Untuk mengetahui luas daun, dapat digunakan rumus:
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
Tabel Evaporasi, Transportasi, dan Evapotranspirasi
PerlakuanHari ke-
3 7 10 14 17 21Evaporasi 58,3 70,5 25 60 45,8 73,7
Evapotranspirasi 73,3 111,67 81,7 128,33 113,33 168,33Transpirasi 15 41,17 56,7 68,33 67,53 95,03
Hasil Perhitungan Laju Transpirasi dan WUE
Berat Kering awal
Berat Kering akhir
Luas Daun Awal (cm2) Luas Daun Akhir (cm2) WUE (%)
0,57 1,18 112 234,25 0,702
B. Pembahasan
Evaporasi adalah suatu proses penguapan sebagian dari pelarut sehingga
didapatkan larutan zat cair pekat yang konsentrasinya lebih tinggi. Tujuan dari
evaporasi adalah untuk memekatkan larutan yang terdiri atas zat-zat terlarut
yang tidak mudah menguap dan pelarut yang mudah menguap. Pada proses
evaporasi, kebanyakan pelarutnya adalah air. Dalam evaporasi, sisa
penguapannya adalah zat cair. Faktor yang mempengaruhi laju evaporasi adalah
laju saat panas dapat dipindahkan ke cairan, jumlah panas yang dibutuhkan untuk
menguapkan setiap satuan massa air, suhu maksimum yang diperbolehkan untuk
cairan, tekanan untuk menguapkan, dan perubahan pada makanan selama
penguapan.
Transpirasi adalah peristiwa perubahan air menjadi uap yang naik ke udara
melalui jaringan hidup tumbuh-tumbuhan yaitu melalui stomata daun, lentisel,
dan kutikula. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi laju trranspirasi, yaitu
faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi:
a. Stomata
Pada stomata, yang mempengaruhi laju transpirasi adalah jumlah stomata per
satuan luas, letak stomata (permukaan bawah atau atas daun,
timbul/tenggelam), waktu bukaan stomata, banyak sedikitnya stomata, dan
bentuk stomata.
b. Daun
Pada daun, yang mempengaruhi laju transpirasi adalah warna daun (kandungan
klorifil daun), posisinya menghadap matahari atau tidak, besar kecilnya daun,
tebal tipisnya daun, berlapiskan lilin atau tidaknya permukaan daun, dan
banyak sedikitnya bulu di permukaan daun.
Faktor luar yang mempengaruhi meliputi:
a. Sinar matahari
Sinar matahari menyebabkan membukanya stomata serta gelap menyebabkan
tertutupnya stomata. Jadi semakin tinggi intesitas sinar matahari yang diterima
daun, maka kecepatan transpirasi akan semakin tinggi.
b. Temperatur
Kenaikan temperatur menambah tekanan uap di dalam dan di luar daun, tetapi
berhubung udara di luar daun itu tidak terbatas, maka tekanan uap tidak akan
setinggi tekanan yang terkurung di dalam daun. Akibatnya, uap air akan mudah
berdifusi dari dalam daun ke udara bebas. Jadi semakin tinggi temperatur,
kecepatan transprasi akan semakin tinggi pula.
c. Kelembaban udara
Udara yang basah akan menghambat transpirasi, sedangkan udara yang kering
akan memperlancar transpirasi.
d. Angin
Angin mempunyai pengaruh ganda yang cenderung saling bertentangan
terhadap laju transpirasi. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa angin
cenderung meningkatkan laju transpirasi, baik di dalam naungan maupun
cahaya dengan melalui penyapuan uap air. Dalam udara yang bergerak,
besarnya lubang stomata mempunyai pengaruh lebih besar terhadap
transpirasi daripada dalam udara tenang, tetapi efek angin secara keseluruhan
adalah selalu meningkatkan transpirasi.
e. Keadaan air di dalam tanah
Air di dalam tanah ialah satu-satunya sumber yang pokok, yakni tempat akar-
akar tanaman mendapatkan air yang dibutuhkannya. Laju transpirasi dapat
dipengaruhi oleh kandungan air tanah dan laju absorbsi air dari akar. Pada siang
hari, biasanya air ditranspirasikan dengan laju yang lebih cepat daripada
penyerapannya dari tanah. Hal tersebut menimbulkan defisit air dalam daun.
Pada malam hari akan terjadi kondisi yang sebaliknya karena suhu udara dan
suhu daun lebih rendah. Jika kandungan air tanah menurun, sebagai akibat
penyerapan oleh akar, gerakan air melalui tanah ke dalam akar menjadi lebih
lambat.
Evapotranspirasi adalah peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak
dari permukaan tanah, permukaan air, serta tanaman menguap ke udara. Faktor-
faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah suhu air, suhu udara,
kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari, dan lain-lain yang
berhubungan satu dengan yang lainnya.
Terdapat kaitan antara proses evaporasi, transpirasi, dan evapotranspirasi
dengan adanya kadar lengas tanah. Lengas tanah adalah air yang terdapat dalam
tanah yang terikat oleh berbagai kakas (matrik, osmosis, dan kapiler). Kakas ini
meningkat sejalan dengan peningkatan permukaan jenis zarah dan kerapatan
muatan elektrostatik zarah tanah.
Tegangan lengas tanah juga menentukan beberapa banyak air yang dapat
diserap tumbuhan. Bagian lengas tanah yang mampu menyerap air dinamakan
ketersediaan air. Ketersediaan air tanaman adalah air yang ada di permukaan
bumi yang akan digunakan untuk proses penting dalam tumbuhan. Proses-proses
tersebut contohnya adalah untuk evaporasi, transpirasi, dan evapotranspirasi.
Jadi, apabila ketersediaan air tanaman terpenuhi, maka proses evaporasi,
transpirasi, dan evapotranspirasi dapat berjalan dengan lancar.
Pada gafik ini menunjukkan bahwa kebutuhan air pada tanaman rata- rata
mengalami peningkatan pada awal hari. Untuk jumlah air yang hilang pada proses
transpirasi, dapat dilihat bahwa gafik mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini
dikarenakan pada awal percobaan, tanaman tomat ukurannya masih kecil
sehingga jumlah stomata masih lebih sedikit sehingga transpirasinya masih kecil.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata jumlah air yang hilang
karena transpirasi yaitu rata-rata 57,3 g/cm2/hari relatif lebih besar daripada air
yang hilang karena evaporasi yaitu rata-rata sebesar 55,55 g/cm2/hari. Hal ini
disebabkan karena air yang diserap oleh tanaman hanya sebagian kecil saja yang
digunakan untuk proses metabolisme dan sebagian besar dilepas ke udara dalam
bentuk uap yang bertujuan agar tanaman dapat terus menyerap unsur hara yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan menjaga suhu tubuh tanaman agar tanaman
tidak layu. Pada tanah, air yang hilang relatif sedikit karena tidak ada faktor lain
yang menyebabkan penguapan selain suhu lingkungan yang tinggi.
Berat segar pada awal percobaan sebesar 0,57 gam dengan akhir percobaan
mencapai 1,18 g dan luas daunnya adalah 234,25 cm2. Dengan demikian, dapat
dilihat tanaman yang semakin besar, jumlah stomatanya semakin banyak sehingga
transpirasinya semakin tinggi dan kebutuhan air semakin tinggi pula. Hasil
perhitungan laju transpirasi sebesar 368,00 g/cm2/hari, serta WUE(Water Use
Efficiency) sebanyak 0,702 %.
Efisiensi penggunaan air (Water Use Efficiency) merupakan perbandingan
jumlah air yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu satuan berat bahan
kering.Untuk mengetahui tingkat efisiensi tumbuhan dalam memanfaatkan air,
seringdilakukan pengukuran terhadap laju transpirasi. Tumbuhan yang efisien
akanmenguapkan air dalam jumlah yang lebih sedikit untuk membentuk struktur
tubuhnya (bahan keringnya) dibandingkan dengan tumbuhan yang kurang
efisiendalam memanfaatkan air.
Dalam praktikum ini diketahui tingkat efisiensi penggunaan air sebesar 0,72%.
Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi penggunaan air oleh tanaman masih
rendah. Hal ini dapat disebabkan lebih tingginya jumlah air yang dibutuhkan oleh
tanaman bila dibandingkan dengan biomassa yang dihasilkan oleh tanaman itu
sendiri. Biomassa diperoleh dari selisih berat basah tanaman pascapanen dengan
berat kering tanaman setelah dioven. Secara alami tanaman kehilangan air melalui
permukaan tubuhnya, yangdisebut dengan transpirasi. Di samping itu, media
tanam juga secara alam imengalami proses penguapan yang disebut dengan
evaporasi.
V. KESIMPULAN
1. Semakin besar ukuran tanaman maka semakin banyak stomatanya, sehingga
transpirasinya semakin besar.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi, transpirasi, dan evapotranspirasi
adalah sinar matahari, temperatur, kelembaban udara, angin, dan kaeadaan air
dalam tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pengairan. 1986. Standar Perencanaan Irigasi. CV Elang Persada, Bandung.
Irianto, E. W. 2004. Pengaruh air untuk tanaman. Jurnal Budidaya Pertanian 54:18—24.
Mulia, N. 2004. Irigasi Hemat Air. Kanisius, Yogyakarta.
Quezada, C., S. Fisher, J. Campos, and D. Ardiles. 2011. Water requirements and water use efficeincy of carrot under drip irrigation in a haplexerand soil. Journal of Soil Science and Plant Nutrition 11: 16—28.
Rino. 2011. Transpirasi tanaman. <gintingfreeblog.blogspot.com/search?=transpirasi +adalah>. Diakses pada tanggal 4 Mei 2012.
Santoso, B. 2004. Metode penelitian air. Usaha nasional, Surabaya.
LAMPIRAN
Perhitungan
Parameter
TanggalLuas daun
Berat Kering
Bobot polibag awal tanpa tanaman
Bobot polibag awal dengan
tanaman
Bobot polibag akhir
(cm²) (gram) (gram) (gram) (gram)30/4/12 112 0,57 1.100 1.100 1.1003/5/12 112 0,57 1.041,667 1.026,667 1.1007/5/12 112 0,57 1.029,5 988,333 1.100
10/5/12 112 0,57 1.075 1.018,333 1.10014/5/12 112 0,57 1.040 971,667 1.10017/5/12 112 0,57 1.054,167 986,667 1.10021/5/12 234,247 0,57 1.026,667 931,667 1.100
Data Mentah
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMDASAR-DASAR AGONOMI
ACARA IIIPESEMAIAN DAN PINDAH TANAM PADI
METODE KONVENSIONAL DAN THE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)
Disusun oleh:
Gol./ Kel. : B1/ VAsisten : Harimurti Buntaran
Nurmasari Fitrisiana Septin Kristiani
LABORATORIUM MANAJEMEN DAN PRODUKSI TANAMANJURUSAN BUDI DAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA2012
1. Solekhan (PN/12509)2. Trya Angga P. (PN/12542)3. Annisa Fauzia A. (PN/12557)4. Agung Nugoho S. W. (PN/12569)5. Hanifa Nuraini (PN/12570)
ACARA IIIPESEMAIAN DAN PINDAH TANAM PADI
METODE KONVENSIONAL DAN THE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)
I. TUJUAN 1. Mengetahuai pengaruh pesemaian dan waktu pindah tanam terhadap
pertumbuhan bibit padi
2. Mengetahui hubungan antara kualitas bibit dan berat keringnya
II. TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman padi merupakan tanaman pangan utama di Indonesia karena lebih dari
setengah penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok. Terpilihnya
padi sebagai makanan pokok disebabkan karena pembudidayaanya dan cara
pengolahannya menjadi bahan pangan lebih sederhana dibandingkan tanaman
pangan yang lain. Konsumsi beras penduduk Indonesia per kapita/tahun rata-rata
adalah 104,1 kg atau secara nasional sekitar 27 juta ton/tahun. Produksi beras
nasional yang rendah sebanyak ± 2 juta ton beras diimpor sehingga menjadikan
Indonesia sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia (Kurniasih dan
Muqnisjah, 2003).
Tanaman padi, pada umumnya ditanam dengan sistem penggenangan. Petani
pada umumnya membiarkan air pengairan mengalir masuk ke petak sawahnya, dan
terus mengalir dari petak satu ke petak lainnya, dan bahkan mengalir ke tempat
pembuangan, seperti kali atau parit. Teknik budidaya tanaman padi seperti ini, yang
ini disebut sebagai padi sawah, telah dipraktikan dari zaman dahulu. Munculnya
teknik budidaya baru, maka teknik budidaya padi sawah disebut teknik budidaya padi
sawah “konvensional”. Kalau dibandingkan dengan penanaman padi secara kering,
yaitu padi gogo, padi sawah memberikan hasil yang jauh lebih tinggi (Wangiyana et
al. 2010).
Dikembangkannya teknik budidaya padi yang baru yang semula dikembangkan di
Madagaskar dan dikenal dengan teknik SRI (System of Rice Intensification), ada
harapan baru untuk meningkatkan produksi padi. SRI adalah teknik budidaya padi
inovatif yang ditemukan yahun 1980-an oleh seorang biarawan Perancis bernama
Henri de Laulanie΄. Metode SRI memungkinkan petani untuk (Sutrimo, 2011):
1. Meningkatkan produksi padi lebih dari 50%
2. Menguranbgi output dan biaya
3. Bibit: mengurangi antara 80% —90%
4. Pemeberian air irgasi antara 25% —50%
5. Pupuk kimia: dikurangi atau ditiadakan
6. Beras yang dihasilkan lebih tinggi
SRI adalah inovasi yang tidak biasa dengan menerapkan beberapa metode untuk
meningkatkan produktivitas, tenaga kerja, air, dan modal yang diinvestasikan secara
bersamaan. Tentu saja, ada biaya yang digunakan dalam SRI, misalnya untuk tenaga
kerja yang dibutuhkan semakin banyak. Ada beberapa kondisi metode ini tidak sesuai
atau tidak dapat digunakan, misalnya, ketika pengendalian air sedikit dan banjir,
dapat menimbulkan kondisi anaerobik pada tanah, tetapi dengan ketrampilan dan
kepercayaan diri serta inovasi. SRI dapat menghemat tenaga kerja dari waktu ke
waktu, hemat air dan biji, mengurangi biaya, dan meningkatkan output padi (Uphoff,
2008).
SRI lebih merupakan sistem produksi yang dirumiuskan pada prinsip-prinsip inti
tertentu dari kimia dan biologi tanah, fisiologi padi dan genetika padi, serta prinsip-
prinsip keberlanjutan dengan kemungkinan menyesuaikan komponen teknis yang
tepat, berdasarkan aspek biofisik dan sosial ekonomi suatu daerah. Komponen utama
dari SRI, antara lain :
1. Metode penanaman
2. Menejemen kesuburan tanah
3. Pengendalian gulma
4. Pengelolaan air
Komponen-komponen tersebut harus selalu diuji dan harus selalu bervariasi sesuai
dengan klondisi lokal, bukan hanya diadopsi (Namara et al. 2003).
Komponen lain yang juga mempengaruhi keberhasilan dari SRI adalah jarak
tanam. Jarak tanam yang renggang membutuhkan keseluruhan parameter
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan jarak tanam rapat (Lorentz dan
Maynard, 1980). Menurut Mayer dan Poljakof (1975), untuk memperkirakan atau
menentukan jarak tanam dan banyaknya benih dalam satu daerah lahan harus
diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi, misalnya keadaan tanah, pengerjaan
tanah, dan pemupukan.
III. METODE PELAKSANAAN PRATIKUM
Pratikum Dasar-dasar Agonomi acara tiga yang berjudul Pesemaian dan Pindah
Tanam Padi Metode Konvesional dan The System of Rice Intensification (SRI)
dilaksakan pada hari Senin tanggal 23 April 2012 di Rumah kaca, Fakultas Pertanian,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bahan-bahan yang digunakan pada pratikum
ini adalah biji padi (Oryza sativa) dan tanah. Alat-alat yang digunakan antara lain
polibag, penggaris, oven, dan alat tulis.
Ada empat kegiatan yang dilakukan pada pratikum ini, yaitu menyiapkan
pesemaian, menyiapkan media tanam untuk pindah tanam, melakukan pindah tanam
dan pengamatan. Pada kegiatan menyiapkan pesemaian, pertama-tama disiapkan
tiga buah ember berdiameter sama dan diisi dengan tanah yang sama beratnya.
Kemudian, air ditimbang kedalam tanah hingga macak-macak. Selanjutnya, benih
padi disebar dengan kerapatan 7,5 g/m2 pada tiap-tiap ember. Bibit padi pada ember
pertama dipindah tanam pada umur 7 hss, kedua pada umur 14 hss, dan ketiga pada
umur 21 hss. Bibit padi dipelihara agar pertumbuhannya tidak terganggu. Untuk
kegiatan persiapan media tanam untuk pindah tanam, pertama-tama polibag diisi
dengan tanah, kemudian disiram dengan air hingga macak-macak(pindah tanam 7
dan 4 hss), dan tergenang (pindah tanam 21 hss). Selanjutnya, kegiatan pindah
tanam, diawali dengan menanam 1 bibit per lubang tanam untuk perlakuan pindah
tanam 7 dan 14 hss pada polibag yang telah disediakan. Kemudian, menanam 2 bibit
perlubang tanam untuk perlakuan pindah tanam 21 hss. Untuk pengamatan, hal-hal
yang diamati, antara lain : tinggi tanaman dan jumlah daun mulai umur 7 hss tingga
28 hss, setiap seminggu sekali; pada umur 28 hss, tanaman padi dipanen; Tanam
dioven pada suhu 65—70 oC selama 48 jam, setelah beratnya konstan, ditimbang
berat keringnya; menghitung Summed Gowth Ratio (SG); dibuat gafik tinggi tanaman
dan jumlah daun pada berbagai hari pengamatan, serta histogam berat segar dan
berat kering; kualitas bibit pada umur 28 hss dibandingkan akibat perlakuan pindah
tanam. Summed Gowth Ratio (SG) dihitung dengan rumus :
SGR = L’ + T’ + H’3
Keterangan : L’ = rasio jumlah daunT’ = ratio bobot keringH’ = rasio tinggi tanamam
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
A. Tabel Hasil Pengamatan
Tinggi Tanam
PerlakuanTanggal
30/4 7/5 14/5 21/57 hss 6,14 18,26 23,64 28,0814 hss - 18,20 25,28 30,5521 hss - - 19,93 20,45
Jumlah Daun
PerlakuanTanggal
30/4 7/5 14/5 21/57 hss 1,4 2,4 3,6 4,0
14 hss - 2,8 3,7 4,321 hss - - 3,3 4,0
Bobot Segar dan Bobot Kering
PerlakuanParameter
BeratSegar
Berat Kering
7 hss 0,367 0,08714 hss 0,303 0,08721 hss 0,232 0,045
Summed Growth Ratio
Perlakuan L' T' H' SGR7 hss 0,33 0,40 0,36 0,36
14 hss 0,35 0,40 0,39 0,3821 hss 0,33 0,21 0,26 0,26
B. Pembahasan
Konsep sistem konvensional dan SRI terdapat banyak perbedaan. Perbedaan
mendasar yang terdapat pada SRI dibandingkan dengan sistem konvensional yaitu
SRI sama sekali tidak menggunakan bahan kimia dalam perawatannya. Mulai dari
pupuk hingga pestisida menggunakan bahan-bahan alami yang ramah lingkungan.
Sedangkan sistem konvensional menggunakan bahan kimia dalam perawatannya.
Persamaannya terdapat pada benih yang digunakan, tetapi perlakuan terhadap
tanah dan tanaman berbeda.
C. Perbedaan SRI dengan Konvensional :
Pembeda Metode Konvensional Metode SRIAnjuran Dosis
pupukPupuk anorganik dan organik Bahan organik 10 ton / ha
Varietas Varietas unggul baru dan varietas unggul hibrida
Varietas lokal/unggul baru
Seleksi benih Pemilahan benih bernas dengan air garam / ZA (3%)
Pemilahan benih bernas dengan telur dan air garam
Pesemaian Pesemaian basah diaplikasi kompos, sekam, dan pupuk
Pesemaian kering
Jumlah bibit/lubang
1—3 bibit 1 bibit
Tanam bibit 10—21 hss 7—14 hss
Jarak tanam VUB/VUTB 20×20 cmVUH 25×25 cm
30×30 cm
Hama penyakit
Bila perlu berdasarkan hasil monitoring dapat digunakan pestisida kimia, hayati, dan nabati, maupun kombinasinya
Pengendalian hayati
Pengelolaan gulma
Menggunakan landak dan herbisida kimia atau penyiangan
Penyiangan mekanis/landak 4 kali
Pengairan Pengairan berselangTanah dipertahankan lembab hingga retak-retak selama vegetatif
Penanganan pasca panen
Mesin perontok dan gebot disesuaikan dengan kondisi petani
Gebot
Metode pendekatan
PRA Pemahaman ekologi tanah
Kelembagaan SIPT, KUAT, KUM Pemberdayaan kelompokPendekatan desimenasi
Kelompok tani, hamparan, demfarm Kelompok studi petani, individu, demplot
Hasil gabah 5,0—8,5 ton/ha GKG 6,9—8,5 ton/ha GKPPeningkatan
hasil0,2—1,1 ton/ha 0,3—2,3 ton/ha
Dalam sistem SRI, jarak tanam lebih renggang, hal ini bertujuan untuk
mengurangi kompetisi dalam memperebutkan makanan, yaitu sekitar 25-30 cm.
Pada sistem konvensional jarak tanam lebih sempit, yaitu sekitar 20 cm dari pada
sistem SRI. Hal ini diduga, penanaman dengan jarak tanam yang lebih lebar akan
diperoleh populasi yang sedikit sehingga mengurangi kompetisi antar tanaman
akan penyerapan sinar matahari, air, unsur hara tanah, dan kompetisi dalam
tubuh tanaman akan hasil asimilasi, sehingga dapat mendukung proses
perkecambahan dan pertumbuhan tanaman padi secara optimal.
Dalam metode SRI digunakan sistem pengairan macak-macak (irit air), hingga
dimungkinkan tanah mengalami peretakan yang akhirnya memungkinkan aerasi
tanah berjalan dengan lancar, begitupun dengan serapan nutrisi melalui perakaran
yang baik menjadi optimal. Jika akar dengan baik, maka bibit padi mempunyai
anakan lebih banyak. Karena anakannya banyak, dan adanya serapan air cukup
(dalam artian mencukupi untuk penyerapan nutrisi dan unsur hara tanah) dan air
yang mengendap di tanaman padi sedikit, maka berat kering (berat setelah
dioven) menjadi lebih besar.
Perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap berat kering tanaman.
Pada penanaman dengan jarak tanam lebar dapat meningkatkan berat kering
tanaman secara nyata dibanding jarak tanam yang sempit dan jarak tanam sedang.
Hal ini diduga, penanaman dengan jarak tanam lebar akan diperoleh populasi yang
sedikit sehingga mengurangi kompetisi antar tanaman akan penyerapan sinar
matahari, air, unsur hara tanah dan kompetisi dalam tubuh tanaman akan hasil
asimilasi, sehingga dapat mendukung proses perkecambahan dan pertumbuhan
tanaman padi.
Pindah tanam pada metode SRI dilakukan pada usia padi yang muda yang
bertujuan untuk mengoptimalkan pertumbuhan akar. Karena pada usia muda,
akar memiliki potensi tumbuh yang tinggi. Penanaman bibit pada usia 15 hari
sesudah penyemaian akan membuat potensi anakan menjadi tinggal 1/3 dari
jumlah potensi anakan. Hal ini berarti, SRI menambah potensi anakannya sekitar
64%. Penanaman satu bibit per lubang tanam bertujuan untuk mengoptimalkan
penyerapan nurisi oleh tanaman sehingga pertumbuhannya maksimal. Dengan
dua bibit perlubang tanam, akan menimbulkan kompetisi untuk memperoleh
nutrisi dengan demikian pertumbuhan kurang optimal. Selain itu, tanaman padi
memerlukan tempat tumbuh yang cukup untuk pertumbuhannya agar dapat
memperoleh cahaya matahari yang cukup.
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa tanaman padi tertinggi
pada pengamatan minggu ke-4 adalah padi dengan perlakuan 14 hss, kemudian
diikuti padi dengan perlakuan 7 hss lalu 21 hss. Hasil dari percobaan ini tidak
sesuai dengan teori yang seharusnya, padi yang dipindah tanam pada usia muda
memiliki kualitas benih yang lebih baik karena lebih mudah beradaptasi di
lingkungan yang baru. Ini disebabkan pada usia muda, pertumbuhan akar memiliki
potensi tumbuh yang lebih baik dan optimal
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa jumlah daun tanaman padi
terbanyak adalah padi dengan perlakuan 14 hss, kemudian diikuti padi dengan
perlakuan 7 hss, dan 21 hss. Jumlah daun tersebut dapat digunakan untuk
mengukur kualitas bibit yang tumbuh. Tanaman yang menghasilkan daun yang
terbanyak berarti tanaman tersebut mempunyai daya tumbuh yang baik karena
tanaman tersebut dapat menjalankan metabolisme yang terjadi dengan
menumbuhkan organ-organ yang membantu dalam proses asimilasi makanan bagi
pertumbuhan tanaman. Jumlah daun yang banyak berarti sarana untuk asimilasi
makanan melalui fotosintesis yang tersedia sangat terpenuhi.
Berdasarkan histogam di atas, dapat diketahui bahwa berat segar dan berat
kering tanaman tertinggi adalah tanaman dengan perlakuan 7 hss. Pengamatan
berat kering tanaman dilakukan untuk mengetahui kualitas bibit melalui hasil
fotosintesis yang dihasilkan. Berat kering yang tinggi mengindikasikan tanaman
memiliki hasil asimilasi yang tinggi. Hasil asimilasi yang tinggi menggambarkan
proses fotosintesis yang tinggi yang berarti biomasa tanaman tinggi. Jadi, semakin
berat tanaman, maka kualitas pertumbuhan tanaman tersebut semakin baik.
SGR (Summed Gowth Ratio) adalah penggunaan ukuran relatif yang berfungsi
untuk mengetahui apakah suatu bibit padi memiliki kualitas yang lebih baik dari
yang lain atau tidak dengan menghitung rasio jumlah daun, rasio berat kering, dan
rasio tinggi tanaman. Perhitungan SGR mengindikasikan benih itu berkualitas baik
apabila nilai SGRnya lebih tinggi yaitu didapat ketika L’ (rasio jumlah daun), T’
(rasio berat kering ), dan H’ (rasio tinggi tanaman) menunjukkan nilai yang besar.
Pada hasil percobaan, Nilai SGR yang dihasilkan benih padi 14 hss paling tinggi
dibanding tanaman padi dengan perlakuan 7 hss dan 21 hss. Perbandingan
kualitas biji dapat dilihat dari perbandingan berat keringnya. Kualitas yang baik
dapat dilihat dengan besarnya SGR atau dengan penimbangan berat kering akar
dan daunnya. Nilai SGR menunjukkan hasil fotosintesis tanaman. Dengan
demikian, dapat diketahui bahwa proses fotosintesis yang terjadi pada benih
dengan 14 hss berjalan paling baik.
Berdasarkan percobaan, perbedaan perlakuan akan menyebabkan kualitas
benih yang dihasilkan berbeda. Seharusnya padi yang dipindah tanam pada usia
muda memiliki kualitas benih yang lebih baik. Ini disebabkan pada usia muda,
pertumbuhan akar memiliki potensi tumbuh yang lebih baik. Perakaran padi akan
berkembang optimal pada usia muda. Selain itu dengan penanaman padi satu per
lubang tanam membuat benih tumbuh optimal karena padi membutuhkan tempat
tumbuh yang cukup besar untuk perkembangan optimal. Padi mendapatkan
nutrisi, cahaya matahari, unsur hara dan bahan-bahan lain yang dibutuhkannya
dengan optimal karena tidak ada persaingan antar tanaman yang terjadi.
V. KESIMPULAN
1. Semakin cepat pindah tanam, maka semakin besar berat kering tanaman yang
dihasilkan.
2. Semakin tinggi berat kering suatu bibit, maka semakin baik kualitas bibit tersebut.
3. Metode SRI lebih baik dari pada metode konvensional karena lebih hemat air,
benih, dan tidak menggunakan pupuk sintetis.
4. DAFTAR PUSTAKA
Kurniasih, A. dan W.Q. Mugnisjah. 2003. Pengaruh sistem tanaman padi (Oryza Sativa L.) dan populasi ikan terhadap pertumbuhan dan produksi pada sistem mina padi. Gakuryoku IX : 36—42.
Lorentz, O. A. dan D. N. Maynard. 1980. Vegetable Browers. JohnnWiley and sons, Inc., New York.
Mayer, A. M. dan A. Poljakof. 1975. The Germination of Seeds. Pergamon Press, New York.
Namara, R.E., P. Weligamage, dan R. Barker. 2003. Prospects for adopting system of Rice Intensification in Sri Langka : A Socioeconomic Assessment. International Water Management Institute, Sri Lanka.
Sutrimo. 2011. Budidaya Padi Model SRI. <http://epatani. deptan.go.id/budidaya/ budidaya-padi-model-sri-3007>. Diakses tanggal 26 April 2012.
Uphoff, N. 2008. The system of rice intensification (SRI) as a system of agiculture innovation. Jurnal Tanah dan Lingkungan 10 : 27—40.
Wangiyah, W., V. F. A. Budianto, N. Farida, dan N. W. D. Dulur. 2010. Pertumbuhan dan hasil tanam padi (Oryza sativa L.) var. silungga pada berbagai teknik budidaya dan aplikasi kompos bokashi pupuk kandang sapi. Agoteksos 20 : 103—111.
LAMPIRAN
1. Perhitungan Rasio Jumlah Daun (L’)
a. 7 hss
b. 14 hss
c. 21 hss
2. Perhitungan Rasio Bobot Kering (T’)
a. 7 hss
b. 14 hss
c. 21 hss
3. Perhitungan Rasio Tinggi Tanaman (H’)
a. 7 hss
b. 14 hss
c. 21 hss
4. Perhitungan SG
a. 7 hss
b. 14 hss
c. 21 hss
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMDASAR-DASAR AGONOMI
ACARA IVPENGARUH CEKAMAN AIR TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI
Disusun oleh:
Gol./ Kel. : B1/ VAsisten : Harimurti Buntaran
Nurmasari Fitrisiana Septin Kristiani
LABORATORIUM MANAJEMEN DAN PRODUKSI TANAMANJURUSAN BUDI DAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
1. Solekhan (PN/12509)2. Trya Angga P. (PN/12542)3. Annisa Fauzia A. (PN/12557)4. Agung Nugoho S. W. (PN/12569)5. Hanifa Nuraini (PN/12570)
2012
ACARA IVPENGARUH CEKAMAN AIR TERHADAP PERKECAMBAHAN BIJI
I. TUJUAN
1. Mengetahui gaya berkecambah dan kecepatan berkecambah suatu biji.
2. Mengetahui faktor-faktor luar yang mempengaruhi perkecambahan biji.
3. Mengetahui pengaruh cekaman air terhadap perkecambahan biji.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Benih adalah beginning of life atau awal kehidupan dari suatu budidaya
tanaman, artinya bahwa dengan benih, maka suatu tanaman dapat meneruskan
kehidupan dan menurunkan sifat-sifat yang dimilikinya. Di dalam benih terdapat
kandungan materi genetik dan kandungan kimiawi yang merupakan komponen kritis
dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Benih bersinonim dengan biji yang
dalam bahasa Inggis dipakai istilah seed atau gain (Saragih, 2010).
Perkecambahan adalah proses alami yang terjadi selama pertumbuhan periode
benih, yaitu memenuhi kondisi minimum untuk pertumbuhan dan perkembangan.
Dalam periode ini, cadangan makanan yang terdegadasi, biasanya digunakan untuk
respirasi dan sintesis sel-sel baru sebelum berkembang embrio. Proses dimulai
dengan penyerapan air oleh biji kering dan berakhir dengan munculnya embrio
sumbu, biasanya radikal (Megatrusydi et al., 2011).
Faktor-faktor yangmempengaruhi perkecambahan benih adalah (1) faktor
dalam, yang terdiri atas tingkat kematangan benih, ukuran benih, dormansi dan
adanya penghambat perkecambahan, (2) faktor luar, terdiri atas air, suhu, oksigen,
dan cahaya (Sutopo, 1988). Tanpa kehadiran faktor-faktor pembatas yang lain, benih
dari suatu spesies akan berkecambah pada suatu kisaran suhu yang terbatas, yang
memiliki suhu minimum dan maksimum, pada suhu di atas dan di bawah dari kisaran
ini tidak terjadi perkecambahan. Setiap jenis tanaman mempunyai kisaran suhu
optimum tertentu untuk dapat berkecambah. Suhu optimum adalah suhu yang paling
menguntungkan bagi berlangsungnya perkecambahan benih. Pada kisaran suhu ini
terdapat persentase perkecambahan yang tertinggi (Soetrisno dkk., 1994).
Kadang-kadang faktor dalam lingkungan berubah cukup drastis sehingga
membuat tumbuhan menjadi tercekam. Cekaman didefinisikan sebagai kondisi
lingkungan yang dapat memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan, reproduksi, dan
kelangsungan hidup tumbuhan. Setiap hari, tumbuh bisa mengalami cekaman karena
kehilangan air akibat transpirasi terjadi lebih cepat dibandingkan laju pengambilan air
dari tanaman untuk memulihkan kondisi tersebut. Tumbuhan merespon kekurangan
air dengan mengurangi laju transpirasi untuk penghematan air (Campbell et al.,
2003).
Perkecambahan merupakan tahap kritis dari kehidupan tanaman dan
ketahanan tanaman terhadap kekeringan selama perkecambahan agar suatu
tanaman stabil. Salah satu eksperimen yang paling umum dalam perkecambahan
benih adalah aplikasi PEG. Banyak percobaan telah dilakukan dan hasilnya
menunjukkan bahwa bulu kecil lebih mungkin akan terpengaruh cekaman air
daripada sifat-sifat lainnya. Dampak cekaman kekeringan yang disebabkan oleh
polietilen glikol (PEG) terhadap perkecambahan pinus Mongolia (Pinus sylvetris var.
Mongoloca) menunjukkan bahwa benih dari kedua provenan tidak berkecambah
ketika konsentrasi PEG lebih dari 25%. Kapasitas perkecambahan dan laju
perkecambahan benih alami secara signifikan lebih tinggi daripada bibit perkebunan
untuk semua tingkat perlakuan (P<0,5). Rata-rata pertumbuhan tingkat radikal dan
hipokotil dari biji alami secara signifikan lebih tinggi dari biji tanaman yang diberi
perlakuan PEG 20% (PEG < 0,05) (Jajarmi, 2009).
Cekaman air pada tanaman terjadi karena (1) ketersediaan air dalam media
tidak cukup, (2) transpirasi yang berlebihan atau kombinasi kedua faktor tersebut. Di
lapangan, walaupun didalam tanah air cukup tersedia, tanaman dapat mengalami
cekaman air. Hal ini dapat terjadi jika kecepatan absorbsi tidak dapat mengimbangi
kehilangan air melalui proses transpirasi (Islami dan Utomo, 1995).
III. METODE PELAKSANAAN PRAKTIKUM
Praktikum Dasar-dasar Agonomi acara IV, berjudul Pengaruh Cekaman Air
terhadap Perkecambahan Biji dilaksanakan pada hari Senin, 7 Mei 2012 di
Laboratorium Manajemen dan Produksi Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bahan-bahan yang
dibutuhkan adalah benih pada (Oryza sativa), kertas filter dan larutan polyethilene
glycol (PEG) setara dengan potensial air 0 ; -0,6 ; -1,2 ; -1,8 Mpa. Alat yang dipakai,
yaitu petridish, kaca pengaduk, penggaris, sendok, pinset, beaker glass, kaca
penutup, dan gelas ukur.
Langkah awal yang dilakukan adalah benih padi direndam dalam air selama 12
jam dan petridish disiapkan serta dilapisi dengan kertas saring. Kemudian, benih padi
direndam dalam larutan PEG sesuai dengan perlakuan. Selanjutnya, kertas saring
dibasahi dengan larutan PEG sesuai dengan perlakuan. Kemudian, diletakkan 25 biji
kedalam tiap petridish. Setelah itu, petridish ditutup dengan penutupnya. Kemudian,
biji yang berkecambah dihitung dan diamati setiap hari selama 1 minggu dan biji yang
telah berkecambah dan berjamur dibuang. Selanjutnya, dihitung gaya berkecambah
dan indeks vigor dari masing-masing perlakuan PEG menggunakan rumus berikut :
Dan
Kemudian, dibuat gafik gaya berkecambah dan indeks vigor pada berbagai hari
pengamatan untuk semua konsentrasi dalam masing-masing alokasi waktu
perendaman.
IV.HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
1. Tabel Jumlah Biji Berkecambah
PerlakuanHari ke-
1 2 3 4 5 6 70 MPa 0,67 1,83 4,50 6,00 1,17 2,83 1,33
-0,6 MPa 0,83 1,33 8,00 7,33 1,67 1,67 0,83-1,2 MPa 0,83 3,50 5,33 5,67 1,83 1,33 1,67-1,8 MPa 0,83 1,83 4,67 7,50 2,17 1,50 1,17
2. Tabel Gaya Berkecambah hari ke-7 pada berbagai perlakuan
PerlakuanHari Ke-7
0 MPa 77,33%-0,6 MPa 80,67%-1,2 MPa 80,67%-1,8 MPa 78,67%
3. Tabel Indeks Vigor pada berbagai perlakuan
Perlakuan Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7
0 MPa 0,67 0,92 1,52 1,5 0,23 0,47 0,19-0,6 MPa 0,83 0,67 2,72 1,93 0,33 0,27 0,12-1,2 MPa 0,83 1,75 1,77 1,46 0,37 0,22 0,24-1,8 MPa 0,83 0,92 1,56 1,83 0,43 0,25 0,17
B. Pembahasan
Perkecambahan merupakan tahap awal perkembangan suatu tumbuhan,
khususnya tumbuhan berbiji. Dalam tahap ini, embrio di dalam biji yang semula
berada pada kondisi dorman mengalami sejumlah perubahan fisiologis yang
menyebabkan ia berkembang menjadi tumbuhan muda. Pada perkecambahan
terjadi proses infiltrasi dan imbibisi. Infiltrasi air adalah peristiwa masuknya air
menembus kulit biji hingga masuk kedalam biji dilanjutkan dengan imbibisi melalui
sel-sel aleuron yaitu air yang masuk ke dalam biji diserap oleh zarah-zarah koloid
sehingga terjadi pembengkakan. Proses penyerapan air atau imbibisi berguna
untuk melunakkan kulit biji dan menyebabkan pengembangan embrio dan
endosperma. Hal ini menyebabkan pecah atau robeknya kulit biji. Kulit biji yang
tidak dapat menahan desakan dari dalam akan pecah sehingga calon akar dan
calon batang yang terdapat pada ujung benih/biji akan keluar. Akar yang tumbuh
memanjangakan diikuti oleh pertumbuhan batang.
Perkecambahan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor luar dan faktor
dalam. Faktor luar yang mempengaruhi perkecambahan meliputi :
1. Air
Air salah satu syarat penting bagi berlangsungnya proses perkecambahan
benih. Fungsi air pada perkecambahan biji antara lain: Air yang diserap oleh biji
berguna untuk melunakkan kulit biji dan menyebabkan pengembangan embrio
dan endosperma hingga kulit biji pecah atau robek. Air juga berfungsi sebagai
fasilitas masuknya oksigen kedalam biji melalui dinding sel yang di-imbibisi oleh
air sehingga gas dapat masuk ke dalam sel secara difusi. Selain itu, air juga
berguna untuk mengencerkan protoplasma sehingga dapat mengaktifkan
sejumlah proses fisiologis dalam embrio seperti pencernaan, pernapasan,
asimilasi dan pertumbuhan.
2. Oksigen
Proses respirasi akan berlangsung selama benih masih hidup. Pada saat
perkecambahan berlangsung, proses respirasi akan meningkat disertai dengan
meningkatnya pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida, air, dan
energi. Pada umumnya, proses perkecambahan dapat terhambat bila
penggunaan oksigen terbatas.
3. Cahaya
Kebutuhan benih terhadap cahaya untuk berkecambah berbeda-beda
tergantung pada jenis tanaman. Benih yang dikecambahkan pada keadaan
kurang cahaya atau gelap dapat menghasilkan kecambah yang mengalami
etiolasi, yaitu terjadinya pemanjangan yang tidak normal pada hipokotil atau
epikotil, kecambah pucat dan lemah.
4. Temperatur/suhu
Temperatur pada proses perkecambahan biji berkaitan dengan kegiatan di
dalam biji. Benih akan berkecambah pada temperatur benih itu telah
menyesuaikan dengan iklim di tempat benih tersebut dihasilkan.
Semakin tinggi temperatur, kegiatan di dalam biji akan meningkat pula. Pada
temperatur yang rendah perkecambahan berlangsung lambat.
5. Khemikalia
Khemikalia juga turutan di dalam mempengaruhi proses perkecambahan biji.
Khemikalia dengan konsentrasi rendah akan memacu perkecambahan,
sedangkan khemikalia dengan konsentrasi tinggi akan menghambat
perkecambahan.
Dalam praktikum ini akan diketahui pegaruh cekaman air terhadap
perkecambahan. Untuk itu diperlukan suatu khemikalia yang dapat menciptakan
kondisi cekaman. Dalam praktikum ini digunakan senyawa polietilen glikol (PEG).
Secara kimiawi, PEG merupakan sekelompok polimer sintetik yang larut air dan
memiliki kesamaan struktur kimia berupa adanya gugus hidroksil primer pada
ujung rantai polieter yang mengandung oksietilen (-CH2-CH2-O-). Rumus struktur
senyawa Polyethylen Glikol (PEG) yaitu,
Senyawa polietilena glikol (PEG) dapat menurunkan potensial osmotik larutan
melalui aktivitas matriks sub unit etilena oksida yang mampu mengikat molekul air
dengan ikatan hidrogen sehingga biji yang dilapisi oleh larutan ini tidak dapat
menyerap air dari lingkungan. Artinya, PEG memiliki pengaruh negatif terhadap
perkecambahan biji karena untuk berkecambah biji memerlukan air. Jadi apabila
cekaman air tinggi, maka metabolisme menjadi terganggu dan biji tidak
berkecambah (Wells, 1984).
Gaya berkecambah dan indeks vigor penting untuk diketahui karena dengan
cara ini, potensi biji untuk berkecambah dapat dilihat sehingga dapat dipilih biji
mana yang berkualitas. Untuk itu, dalam praktikum ini dihitung gaya berkecambah
dan indeks vigor benih agar dapat diketahui tingkat perkecambahan biji bila dalam
keadaan kekeringan.
Gaya berkecambah merupakan jumlah biji yang berkecambah dari sejumlah
biji yang diuji. Gaya berkecambah merupakan salah satu tolok ukur untuk
mengetahui apakah biji masih mampu berkecambah atau tidak sehingga
gaya berkecambah dapat menunjukkan kualitas seluruh biji yang dikecambahkan.
Dari histogam gaya berkecambah di atas, pada hari ke-7 dapat diketahui
bahwa gaya berkecambah tertinggi diperoleh dari biji yang diberi perlakuan PEG -
1,2 Mpa dan -0,6 MPa, yaitu 80,67% dan yang terendah pada perlakuan PEG 0
Mpa, yaitu 77,33%.
Berdasarkan teori, semakin rendah konsentrasi PEG gaya berkecambah
semakin berkurang. Hal ini dikarenakan semakin besar daya serap PEG terhadap
air sehingga air menjadi tidak tersedia bagi biji. Perbedaan antara percobaan
dengan teori ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain banyaknya PEG
yang ditambahkan dalam media tanam berbeda-beda pada setiap perlakuan
setiap harinya. Faktor genetik juga turut berpengaruh besar terhadap fase
perkecambahan.
Indeks vigor mencerminkan hari biji yang berkecambah paling banyak dan
menunjukkan waktu yang paling utama dalam keserempakan perkecambahan biji.
Grafik indeks vigor di atas menunjukkan bahwa jumlah biji yang berkecambah
setiap harinya berbeda. Untuk perlakuan PEG 0 MPa, indeks vigor paling tinggi
terjadi pada hari ketiga sebesar dan terus menurun hingga hari ketujuh. Begitu
pula dengan perlakuan PEG -0,6 MPa dan -1,2 MPa. Namun, berbeda dengan
perlakuan -1,8 MPa yang mencapai kecepatan berkecambah tertinggi pada hari
keempat. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor genetik dari biji yang
digunakan dan penambahan PEG pada masing-masing perlakuan serta faktor-
faktor eksternal lain yang dapat mempengaruhi perkecambahan.
V. KESIMPULAN
1. Gaya berkecambah benih padi rata-rata 80% dan dapat berkecambah pada
kondisi tercekam sehingga benih yang digunakan cukup baik.
2. Perkecambahan biji dapat dipengaruhi oleh adanya faktor luar, yaitu suhu, air,
oksigen, khemikalia dan cahaya.
3. Keadaan cekaman air mengakibatkan perkecambahan biji terhambat.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, N. A., J. B. Reece, dan L. G. Mitchell. Biologi, Edisi Kelima-Jilid 2. Erlangga, Jakarta.
Islami, T. Dan W. H. Utomo. 1995. Hubungan Tanah, Air, dan Tanaman. IKIP Semarang Press, Semarang.
Jajarmi, V. 2009. Effect of water stress on germination indices in seven wheat cultivar.World Academy of Science, Engineering, and Technology 49 : 105—106.
Megatrusydi, M. R., C. W. Noraliza, A. Azrina, and A. Zulkhairi. 2011. Nutritional changes in germinated legumes and rice varieties. International Food Research Journal 18 : 705—713.
Saragih, R. V. 2010. Benih Menurut Undang-undang. <http:// ditjenbun.deptan.go.id/bbp2tpmed/index.php?option=com_content&view=article&id=76:benih-menurut-undang-undang>. Diakses tanggal 12 Mei 2012.
Soetisna, U., S. Rahmawati, dan E. S. Mulyaningsih. 1994. Pengaruh suhu keberadaan kulit buah terhadao perkecambahan benih sungkai (Peronema canescens Jack.). Buletin Penelitian Kehutanan 10 : 211—218.
Sutopo, L. 1988. Teknologi Benih. Universitas Brawijaya, Malang.
Wells, A. F. 1984. Structural Inorganic Chemistry, 5th ed. Oxford University Press, Oxford.
LAMPIRAN
1. Perhitungan gaya berkecambah benih pada hari ketujuh
a. Perlakuan PEG 0 MPa
b. Perlakuan PEG -0,6 MPa
c. Perlakuan PEG -1,2 MPa
d. Perlakuan PEG -1,8 MPa
2. Perhitungan indeks vigor pada berbagai perlakuan
a. Perlakuan PEG 0 MPa
Hari ke-1
Hari ke-2
= 0,92
= 1,52
= 1,5
= 0,47
= 0,19
b. Perlakuan PEG -0,6 MPa
Hari ke-1
= 0,83
Hari ke-2
= 0,67
= 2,72
= 1,93
= 0,33
= 0,27
= 0,12
c. Perlakuan PEG -1,2 MPa
Hari ke-1
Hari ke-2
= 1,75
= 1,77
= 1,46
= 0,22
d. Perlakuan PEG -1,8 MPa
Hari ke-1
= 0,83
Hari ke-2
= 0,92
= 1,56
1,83
0,43
= 0,25
= 0,17
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMDASAR-DASAR AGONOMI
ACARA VPEMECAHAN DORMANSI DAN ZAT PENGHAMBAT
PERKECAMBAHAN BIJI
Disusun oleh:
Gol./ Kel. : B1/ VAsisten : Harimurti Buntaran
Nurmasari Fitrisiana Septin Kristiani
LABORATORIUM MANAJEMEN DAN PRODUKSI TANAMANJURUSAN BUDI DAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS GADJAH MADA
1. Solekhan (PN/12509)2. Trya Angga P. (PN/12542)3. Annisa Fauzia A. (PN/12557)4. Agung Nugoho S. W. (PN/12569)5. Hanifa Nuraini (PN/12570)
YOGYAKARTA2012
ACARA VPEMECAHAN DORMANSI DAN ZAT PENGHAMBAT
PERKECAMBAHAN BIJI
I. TUJUAN
1. Mengetahui penyebab terjadinya dormansi biji.
2. Mengetahui pengaruh cairan buah terhadap perkecambahan biji.
3. Mengetahui pengaruh perlakuan mekanis dan khemis terhadap perkecambahan biji
berkulit keras.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dormansi adalah sifat adaptif yang mengoptimalkan distribusi perkecambahan atas
waktu dalam populasi bibit. Itu merupakan bagian dari strategi yang menjamin
kelangsungan hidup dalam lingkungan yang selalu berubah. Variasi dalam waktu
perkecambahan di antara populasi, secara teoritis dapat dicapai dengan cara genetik dalam
beberapa cara menurut metode reproduksi seksual spesies. Pada tanaman yang
sepenuhnya menyerbuk sendiri seperti gandum, barley dan nasi, dormansi melibatkan
sejumlah alel yang mengendalikan ekspresi yang berbeda dari dormansi,yang dapat dihapus
dengan faktor lingkungan yang berbeda (Simpson,1990).
Kemampuan biji untuk menunda perkecambahan mereka sampai waktu dan tempat
yang tepat adalah mekanisme bertahan hidup yang penting pada tanaman. Dormansi benih
adalah metode tanaman yang mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan
mereka. Dormansi benih secara genitik merupakan sifat yang diturunkan dengan intensitas
yang dimodifikasi oleh lingkungan selama perkembangan biji (Copeland dan McDonald,
2001).
Pada saat masak fisiologis, tidak semua benih siap untuk berkecambah. Benih
membutuhkan waktu tertentu agar dapat berkecambah secara alami setelah dipanen atau
seringkali membutuhkan perlakuan tertentu agar dapat berkecambah. Benih dalam kondisi
dorman lebih tahan lama jika disimpan (Kuswanto, 2003).
Perkecambahan benih dipengaruhi oleh faktor dalam (internal) dan faktor luar
(eksternal). Faktor dalam yang mempengaruhi perkecambahan benih antara lain (Irwanto,
2012):
1. Tingkat kemasakan benih
Benih yang dipanen sebelum tingkat kemasaman fisiologisnya tercapai tidak mempunyai
viabilitas yang tinggi karena belum memiliki cadangan makanan yang cukup serta
pembentukan embrio belum sempurna.
2. Ukuran benih
Benih yang berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan yang lebih
banyak dibandingkan dengan yang kecil pada jenis yang sama. Cadangan makanan yang
terkandung dalam jaringan penyimpan digunakan sebagai sumber energi bagi embrio
pada saat perkecambahan.
3. Dormansi
Benih dikatakan dormansi apabila benih tersebut sebenarnya hidup, tetapi tidak
berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap telah
memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambahan.
4. Penghambat perkecambahan
Penghambat perkecambahan benih dapat berupa kehadiran inhibitor baik dalam benih
maupun di permukaan benih, adanya lerutan dengan nilai osmotic yang tinggi serta
bahan yang menghambatlaju respirasi.
Pada dasarnya dormansi benih dapat diperpendek dengan berbagai perlakuan sebelum
dikecambahkan, baik secara fisik, kimia, dan biologi. Benih yang diberi perlakuan fisik
mengikis punggung atau skarifikasi dengan kertas amplas daya berkecambah 50—55% dan
kecepatan berkecambah 49—57 hari dan makin baik bila secara bersama-sama diberi
perlakuan kimia (KNO3) yang direndam selama 36 jam, konsentrasi 0,5 % yaitu sekitar 85 %
dan 37 hari (Saleh, 2004).
Benih pohon saga termasuk benih yang cukup lama dan sulit berkecambah. Kondisi
seperti ini sangat mengganggu dalam proses penyediaan bibit secara masal untuk
penanaman dan juga dalam kegiatan pengujian benih karena itu diperlukan pendahuluan
sebelum perkecambahan yang bertujuan untuk mematahkan dormansi benih tersebut.
Secara umum, berbagai perlakuan pendahuluan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
pengurangan ketebalan kulit, perendaman dalam air, perlakuan denga zat kimia, dan
berbagai perlakuan lain. Perlakuan pendahuluan yang terbaik untuk benih pohon saga
sebelum benih dikecambahkan adlah direndam dengan larutan asam sulfat selama 30
menit. Daya berkecambah yang dihasilkan sebesar 92,00% (Yuniarti, 2002).
III. METODE PELAKSANAAN PRAKTIKUM
Praktikum Dasar-dasar Agonomi acara V, yang berjudul Pemecahan Dormansi dan Zat
Penghambat Pertumbuhan Biji dilaksanakan pada hari Senin, 7 Mei 2012 di Laboratorium
Manajemen dan Produksi Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada praktikum akan dilakukan perlakuan khemis
pada biji berkulit keras, perlakuan mekanis pada biji berkulit keras, dan pengaruh cairan
buah.Bahan yang digunakan adalah biji saga (Abrus precatorius), biji padi (Oryza sativa),
H2SO4 pekat, aquadest, Coumarin 0%, 25%, 50%, dan 100%. Alat-alat yang diperlukan adalah
beaker glass, pengaduk kaca, kertas filter, petridish, amplas, dan pinset.
Langkah awal yang dilakukan untuk perlakuan khemis pada biji berkulit keras adalah
100 biji saga diambil, kemudian direndam dalam H2SO4 50% selama 1 menit, 3 menit, dan 6
menit, dan dalam air sebagai kontrol. Biji yang telah direndam H2SO4 dicuci dengan air
sampai bersih, lalu dikecambahkan pada petridish yang telah dialasi kertas filter basah.
Setiap hari selama 10 hari diamati yang berkecambah dihitung lalu dibuang, yang berjamur
juga dibuang, jika media berjamur diganti. Perhitungan GB dan IV, grafik GB dan IV vs. hari
pengamataan dibuat. Cara kerja pada perlakuan mekanis pada biji berkulit keras adalah 10
biji saga diambil, bagian tepinya diamplas. Biji-biji tersebut dikecambahkan pada petridish
yang telah dialasi sehelai kertas filter basah. Biji-biji yang tidak diperlakukan juga
dikecambahkan dalam jumlah yang sama sebagai kontrol. Setiap hari selama 10 hari
diamati, biji yang sudah dihitung atau berjamur dapat dibuang, jika media berjamur diganti.
Perhitungan GB dan IV, grafik GB dan IV vs. hari pengamataan dibuat. Cara kerja pada
percobaan pengaruh cairan daging buah adalah 100 biji padi disiapkan. Biji-biji tersebut
dikecambahkan pada 4 petridish, masing-masing 25 biji dengan alas kertas saring masing-
masing dibasahi dengan coumarin 0%, 25%, 50%, dan 100%. Setiap hari selama 10 hari
diamati perkecambahannya, yang berkecambah dihitung lalu dibuang, bila media berjamur
diganti dengan yang baru sesuai dengan perlakuan. Perlakuan kontrol (coumarin 0%)
dilihat, bila biji sudah berkecambah lebih dari 50% maka seluruh biji dari perlakuan lain
dicuci dan diganti medianya dengan air biasa. Kemudian, pengamatan dilanjutkan hingga
hari kesepuluh. Perhitungan GB dan IV, grafik GB dan IV vs hari pengamataan dibuat.
Rumus perhitungannya:
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
A. Tabel Hasil Pengamatan
Khemis dari 40 biji saga
PerlakuanHari ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
H20 0 0 0,167 0 0 0,027 0,023 0 0,018 0,017
H2SO4 1 menit 0,33 0,083 0,112 0,042 0,033 0,028 0 0 0,037 0,017
H2SO4 3 menit 0,33 0 0,167 0,042 0,067 0,028 0,023 0 0,037 0,033
H2SO4 6 menit 0,167 0,25 0,05 0,028 0,1 0,028 0,023 0,021 0,037 0,05
Mekanis
Perlakua
n
Hari ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Amplas 0,167 0,833 1,049 0,583 0,3 0,167 0 0 0 0
Control 0 0 0 0 0 0,112 0 0 0 0,017
3. Coumarin
PerlakuanHari ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0%0,33 0,92 2,38 1,75 0,33 0,29 0,14 0,06 0,02 0,05
25%0,67 1 2,09 1,54 0,43 0,29 0,19 0 0,02 0,03
50%0,67 1,08 1,37 1,46 0,33 0,22 0,22 0,02 0,02 0,08
100%0 0,58 1,05 1,25 0,57 0,46 0,41 0,1 0,02 0,12
B. Pembahasan
Organisme hidup dapat memasuki keadaan tetap hidup meskipun tidak tumbuh
selama jangka waktu yang lama, dan baru mulai tumbuh aktif bila kondisinya sudah
sesuai. Biji adalah salah satu bagian dari tanaman yang biasanya melakukan suatu proses
dormansi. Dormansi adalah suatu keadaan berhenti tumbuh yang
dialami organisme hidup atau bagiannya sebagai tanggapan atas suatu keadaan yang
tidak mendukung pertumbuhan normal. Dengan demikian, dormansi merupakan suatu
reaksi atas keadaan fisik atau lingkungan tertentu. Biji yang mengalami dormansi ditandai
oleh rendahnya atau tidak adanya proses imbibisi air, proses respirasi tertekan atau
terlambat, dan rendahnya proses metabolism cadangan makanan. Pemicu dormansi
dapat bersifat mekanis, keadaan fisik lingkungan, atau kimiawi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi dormansi, antara lain :
1. Tidak sempurnanya embrio (rudimentary embryo)
2. Embrio yang belum matang secara fisiologis (physiological immature embryo)
3. Kulit biji yang tebal (tahan terhadap pergerakkan mekanis)
4. Kulit biji impermeable (impermeable seed coat).
5. Adanya zat penghambat (inhibitor) untuk perkecambahan.
Untuk mengetahui dan membedakan/memisahkan apakah suatu benih yang tidak
dapat berkecambah adalah dorman atau mati dan memperpendek waktu dormansi,
maka dormansi perlu dipecahkan. Ada beberapa metode yang telah diketahui, yaitu :
Perlakuan mekanis
Perlakuan mekanis dilakukan dengan Skarifikasi. Skarifikasi mencakup cara-cara
seperti mengkikir/menggosok kulit biji dengan kertas amplas, melubangi kulit biji dengan
pisau, memecah kulit biji maupun dengan perlakuan goncangan untuk benih-benih yang
memiliki sumbat gabus dan berkulit keras. Beberapa famili tanaman yang mempunyai biji
berkulit keras antara lainakasia (Acacia auriculiformis), kacang tanah (Arachis hypogaea),
bunga kupu-kupu (Bauhinia purpurea). Tujuan dari perlakuan mekanis ini adalah untuk
melemahkan kulit biji yang keras sehingga lebih permeabel terhadap air atau gas.
Perlakuan kimia
Tujuan dari perlakuan kimia adalah menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki air
pada waktu proses imbibisi. Larutan asam kuat seperti asam sulfat, asam nitrat dengan
konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air
dengan mudah. Khemikalia yang dapat menghilangkan zat penghambat dalam biji, antara
lain H2SO4, HNO3, potassium hidroxide, asam hidroklorit, potassium nitrat dan Thiourea.
Selain itu dapat juga digunakan hormon tumbuh antara lain: Cytokinin, Gibberelin dan iuxil
(IAA).
Perlakuan perendaman dengan air
Perlakuan perendaman di dalam air panas dengan tujuan memudahkan penyerapan
air oleh benih. Perendaman dengan air, yaitu dengan memasukkan benih ke dalam air panas
pada suhu 60^—70 ºC dan dibiarkan sampai air menjadi dingin, selama beberapa waktu.
Perlakuan dengan suhu.
Cara yang sering dipakai adalah dengan memberi temperatur rendah pada keadaan
lembap (Stratifikasi). Selama stratifikasi terjadi sejumlah perubahan dalam benih yang
berakibat menghilangkan bahan-bahan penghambat perkecambahan atau terjadi
pembentukan bahan-bahan yang merangsang pertumbuhan. Kebutuhan stratifikasi berbeda
untuk setiap jenis tanaman, bahkan antar varietas dalam satu famili.
Perlakuan Khemis Pada Biji Berkulit Keras
Pada percobaan ini, dilakukan perendaman pada biji saga (Abrus precatorius ) dalam
H2SO4 pada berbagai perlakuan yaitu selama 0 menit, 1 menit, 3 menit dan 6 menit. Bentuk
dormansi pada biji saga ini disebabkan oleh adanya kulit biji yang impermeabel terhadap air
dan oksigen (O2). Menurut Hartmann et al. (2002) upaya pematahan dormansi untuk
mengatasi impermeabilitas kulit biji ini adalah melalui perendaman dengan bahan kimia
yaitu asam klorida, asam sulfat, KNO3, NaNO2, air panas, dan skarifikasi. Semakin lama
direndam, maka masa dormansi pada biji semakin cepat dipatahkan. Berdasarkan grafik di
atas pada pengamatan hari terakhir perlakuan perendaman terlihat bahwa pemberian H2SO4
dengan waktu paling lama terbukti mempercepat proses perkecambahan dengan gaya
berkecambah yang paling tinggi dimana gaya berkecambah merupakan salah satu tolak ukur
untuk dapat mengetahui apakah biji masih dapat berkecambah atau tidak. Asam sulfat ini
menyebabkan kerusakan pada kulit biji dan dapat diterapkan pada legum maupun non
legume (Coppeland, 1980) sehingga dengan perlakuan perendaman yang lebih lama, kulit
biji saga yang terkikis akan semakin banyak sehingga memungkinkan air dan oksigen
semakin mudah untuk masuk ke dalam biji.
Menurut teori perendaman dengan H2SO4, semakin lama waktu perendaman
semakin banyak biji yang berkecambah, yang berarti asam sulfat memang bersifat
mematahkan dormansi biji. Pada percobaan yang kami lakukan adalah merendam biji saga
dalam H2SO4. Indeks vigor tertinggi terdapat pada penambahan H2SO4 selama 6 menit. Hal ini
telah sesuai dengan teori bahwa upaya pematahan dormansi untuk mengatasi
impermeabilitas kulit biji ini dapat dilakukan dengan melalui perendaman dengan bahan
kimia, salah satu contohnya adalah H2SO4.. Perlakuan perendaman yang lebih lama, kulit biji
saga yang terkikis akan semakin banyak sehingga memungkinkan air dan oksigen semakin
mudah untuk masuk ke dalam biji sehingga upaya pematahan dormansi dapat dipercepat.
Perlakuan Mekanis Pada Biji Berkulit Keras
Berdasarkan gafik Gaya Berkecanbah vs. Hari Pengamatan, dapat diketahui bahwa
Gaya Berkecambah biji saga (Abrus precatorius) pada perlakuan mekanis dengan
pengampelasan yaitu 88,33 % dan pada biji yang tidak diamplas (kontrol) yaitu 3,33%. Ini
menunjukan bahwa pengamplasan dapat membantu memecah dormansi biji.
Biji saga memiliki kulit yang keras sehingga menyebabkan kulit bersifat impermeable
terhadap air dan gas-gas yang diperlukan untuk perkecambahan. Selain itu kulit biji yang
keras ini dapat juga menyebabkan dormansi. Kulit biji yang impermeable ini dapat
dirangsang dengan skarifikasi – pengubahan kulit biji untuk membuatnya menjadi
permeable terhadap gas-gas dan air.
Ini tercapai dengan bermacam-macam teknik, cara mekanik termasuk tindakan
pengampelasan merupakan tindakan yang paling umum. Perlakuan mekanis berupa
pengamplasan terbukti efektif memecah dormansi pada biji saga. Perlakuan ini juga terbukti
menyebabkan kecepatan berkecambah biji menjadi tinggi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
dormansi benih saga dapat dipecahkan dengan perlakuan skarifikasi (pengikisan kulit benih).
Dengan perlakuan tersebut, daya berkecambah benih dapat mencapai 97% dibandingkan
kontrol yang hanya 6% (Hasanah et al. 1993).
Berdasarkan gafik IV di atas terlihat bahwa biji saga perlakuan mekanis lebih banyak
berkecambah dibandingkan dengan kontrol. Biji saga yang paling banyak berkecambah
dapat kita lihat pada hari ke-3. Pengaruh pengamplasan pada biji adalah kulit biji yang
mulanya keras menjadi lebih tipis dan ini memungkinkan air, udara, oksigen untuk masuk ke
dalam biji. Biji yang mulanya bersifat impermeabel menjadi permeabel sehingga air , udara,
oksigen dapat masuk kedalam biji dan menjadikan biji menjadi dapat berkecambah. Dapat
dibuktikan pada grafik di atas bahwa hasil membuktikan biji yang berkecambah adalah biji
yang mendapat perlakuan mekanis (diamplas), sedangkan pada biji kontrol atau biji yang
tidak di amplas hasil perkecambahannya hampir semua 0.
Pengaruh Cairan Daging Buah
Berdasarkan diagam batang (histogram) di atas dapat dilihat bahwa pemberian
cairan daging buah (coumarin) pada konsentrasi yang tinggi dapat menghambat
perkecambahan. Salah satu penyebab terjadinya dormansi pada biji adalah adanya zat
penghambat perkecambahan. Cairan buah tertentu seperti jeruk dan tomat mengandung
zat penghambat perkecambahan sehingga mencegah biji buah berkecambah ketika masih
dalam tubuh (Latunra dkk., 2008).
Dari pengamatan yang sudah dilakukan gaya berkecambah biji padi paling rendah
terjadi pada perlakuan coumarin 50% yaitu 74,64%, sementara pada kontrol gaya
berkecambah coumarin yang paling tinggi mengalami perkecambahan, yaitu 87,33%. Akan
tetapi, berdasarkan teori yang ada. Seharusnya gaya berkecambah yang paling rendah
terjadi pada perlakuan coumarin 100%. Pada kondisi internal disebabkan oleh keberadaan
zat tumbuh, zat penghambat tumbuh lainnya yang berada dalam biji, maupun daya adaptasi
biji terhadap lingkunga. Adapun zat penghambat berupa cairan dagin buah yang digunakan
dalam percobaan ini adalah coumarin yang terkandung dalam buah tomat. Coumarin dapat
menghambat perombakan phytin oleh enzim phytiase sebagai sumber fosfor inorganik yang
menyediakan energi untuk proses perkecambahan benih (Copeland, 1976 cit. Pian 1990).
Sebab eksternal juga sangat berpengaruh terhadap kemampuan biji untuk berkecambah
yaitu suhu yang fluktuatif yang tidak bisa diperkirakan, ketersediaan air, kelembaban dalam
ruangan, dan sinar matahari.
Selain gaya berkecambah, juga akan diketahui indeks vigor suatu biji. Indeks vigor
atau kecepatan berkecambah adalah banyaknya biji yang berkecambah dari sejumlah biji
murni yang dikecambahkan dinyatakan dalam waktu yang lebih pendek daripada waktu
untuk menentukan gaya berkecambah. Indeks vigor menggambarkan keserempakan
perkecambahan biji.
Gafik di atas menunjukkan bahwa pemberian cairan daging buah tomat (Coumarin)
berpengaruh terhadap kecepatan berkecambah padi. Pada hari yang pertama coumarin
yang 100% tidak mengalami perkecambahan, sedangkan untuk perlakuan yang lain
mengalami perkecambahan. Pada hari kedua biji yang mengalami perkecambahan yang
paling banyak terjadi pada larutan coumarin 50%, sedangkan yang mengalami
perkecambahan paling rendah terjadi pada perlakuan coumarin 100%. Pada hari ketiga,
puncak perkecambahan terjadi pada pada perlakuan kontrol dan coumarin 25%. Untuk
perlakuan 50% dan 100% mengalami puncak perkacambahan pada hari ke empat. Setelah
hari keempat keserempakan perkecambahan (Indeks Vigor) untuk semua perlakuan
mengalami penurunan sampai akhir pengamatan.
Pemberian coumarin bertujuan untuk menghambat perkecambahan. Pada
pemberian cuomarin 0% dan 25% keserempakan perkecambahan terjadi pada hari ketiga,
sedangkan pada pemberian Coumarin 50% dan 100% keserempakan perkecambahan terjadi
pada hari keempat, hal ini membuktikan bahwa pemberian Coumarin dalam konsentrasi
tinggi dapat menghambat perkecambahan. Pada grafik dapat dilihat bahwa indeks vigor
tertinggi adalah pada coumarin konsentrasi 0%, sedangkan indeks vigor terendah adalah
pada coumarin konsentrasi 100%.
KESIMPULAN
1. Dormansi biji dapat disebabkan olehkulit biji yang keras, adanya zat penghambat seperti
coumarin, dan embrio yang dorman.
2. Perlakuan mekanis dengan mengamplas dapat mengurangi sifat impermeabel kulit dan
perlakuan khemis seperti pemberian H2SO4 dapat membantu perkecambahan.
3. Cairan daging buah pada konsentrasi rendah mampu memacu perkecambahan biji
sedangkan pada konsentrasi yang terlalu tinggi akan menghambat perkecambahan.
DAFTAR PUSTAKA
Copeland, L.O. and M.B. McDonald. 2001. Principles of Seed Science and Technology, Fourth Edition. Kluwer Academic Publisher, Massachusetts.
Irwanto. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkecambahan Benih. <http ://www.irwantoshut.net/seed_viability_factor.html>. Diakses tanggal 12 Mei 2012.
Kuswanto, H. 2003. Teknologi Pemrosesan, Pengemasan, dan Penyimpanan Benih. Kanisius, Yogyakarta.
Saleh, M. S. 2004. Pematahan dormansi benih aren secara fisik pada berbagai lama ekstraksi buah. Agrosains 6:79—83.
Simpson, G. M. 1990. Seed Dormancy in Gasses. Cambridge University Press, Cambridge.
Yuniarti, N. 2002. Penentuan cara perlakuan pendahuluan benih saga pohon (Adenanthera sp.). Jurnal Manajemen Hutan Tropika 8:97—101.
LAMPIRANA. Perlakuan Khemis
1. Perhitungan IV perlakuan khemis biji berkulit keras
a. Kontrol
Hari ke-1 ; 0/6 = 0
Hari ke-2 ; 0/6 = 0
Hari ke-3 ; 1/6 = 0,167
Hari ke-4 ; 0/6 = 0
Hari ke-5 ; 0/6 = 0
Hari ke-6 ; 0,16/6 = 0,027
Hari ke-7 ; 0,14/6 = 0,023
Hari ke-8 ; 0/6 = 0
Hari ke-9 ; 0,11/6 = 0,018
Hari ke-10 ; 0,1/6 = 0,017
b. 1 menit
Hari ke-1 ; 2/6 = 0,33
Hari ke-2 ; 0,5/6 = 0,083
Hari ke-3 ; 0,67/6 = 0,112
Hari ke-4 ; 0,25/6 = 0,042
Hari ke-5 ; 0,2/6 = 0,033
Hari ke-6 ; 0,17/6 = 0,028
Hari ke-7 ; 0/6 = 0
Hari ke-8 ; 0/6 = 0
Hari ke-9 ; 0,22/6 = 0,037
Hari ke-10 ; 0,1/6 = 0,017
c. 3 menit
Hari ke-1 ; 2/6 = 0,33
Hari ke-2 ; 0/6 = 0
Hari ke-3 ; 1/6 = 0,167
Hari ke-4 ; 0,25/6 = 0,042
Hari ke-5 ; 0,4/6 = 0,067
Hari ke-6 ; 0,17/6 = 0,028
Hari ke-7 ; 0,14/6 = 0,023
Hari ke-8 ; 0/6 = 0
Hari ke-9 ; 0,22/6 = 0,037
Hari ke-10 ; 0,2/6 = 0,033
d. 6 menit
Hari ke-1 ; 1/6 = 0,167
Hari ke-2 ; 1,5/6 = 0,25
Hari ke-3 ; 0,3/6 = 0,05
Hari ke-4 ; 0,17/6 = 0,028
Hari ke-5 ; 0,6/6 = 0,1
Hari ke-6 ; 0,17/6 = 0,028
Hari ke-7 ; 0,14/6 = 0, 023
Hari ke-8 ; 0,125/6 = 0,021
Hari ke-9 ; 0,22/6 = 0,037
Hari ke-10 ; 0,3/6 = 0,05
2. Perhitungan GB perlakuan khemis biji berkulit keras
a. Kontrol
Hari ke-1 ; 0/6 = 0 %
Hari ke-2 ; 0/6 = 0 %
Hari ke-3 ; 12/6 = 2 %
Hari ke-4 ; 12/6 = 2 %
Hari ke-5 ; 12/6 = 2 %
Hari ke-6 ; 14/6 = 2,667 %
Hari ke-7 ; 20/6 = 3,333 %
Hari ke-8 ; 20/6 = 3,333 %
Hari ke-9 ; 24/6 = 4 %
Hari ke-10 ; 28/6 = 4,667 %
b. 1 menit
Hari ke-1 ; 8/6 = 1,33 %
Hari ke-2 ; 12/6 = 2 %
Hari ke-3 ; 20/6 = 3,33 %
Hari ke-4 ; 24/6 = 4 %
Hari ke-5 ; 28/6 = 4,667 %
Hari ke-6 ; 32/6 = 5,33 %
Hari ke-7 ; 32/6 = 5,33 %
Hari ke-8 ; 32/6 = 5,33 %
Hari ke-9 ; 40/6 = 6,667 %
Hari ke-10 ; 44/6 = 7,33 %
c. 3 menit
Hari ke-1 ; 8/6 = 1,33 %
Hari ke-2 ; 8/6 = 1,33 %
Hari ke-3 ; 20/6 = 3,33 %
Hari ke-4 ; 24/6 = 4 %
Hari ke-5 ; 32/6 = 5,33 %
Hari ke-6 ; 36/6 = 6 %
Hari ke-7 ; 40/6 = 6,667 %
Hari ke-8 ; 40/6 = 6,667 %
Hari ke-9 ; 44/6 = 7,33 %
Hari ke-10 ;52/6 = 8,667 %
d. 6 menit
Hari ke-1 ; 4/6 = 0,667 %
Hari ke-2 ; 16/6 = 2,667 %
Hari ke-3 ; 20/6 = 3,33 %
Hari ke-4 ; 24/6 = 4 %
Hari ke-5 ; 36/6 = 6 %
Hari ke-6 ; 40/6 = 6,667 %
Hari ke-7 ; 44/6 = 7,33 %
Hari ke-8 ; 48/6 = 8 %
Hari ke-9 ; 56/6 = 9,33 %
Hari ke-10 ; 68/6 = 11,33 %
B. Perlakuan mekanis
1. Perhitungan IV perlakuan mekanis biji berkulit keras
a. kontrol
Hari ke-1 ; 0/6 = 0
Hari ke-2 ; 0/6 = 0
Hari ke-3 ; 0/6 = 0
Hari ke-4 ; 0/6 = 0
Hari ke-5 ; 0/6 = 0
Hari ke-6 ; 0,67/6 = 0,112
Hari ke-7 ; 0/6 = 0
Hari ke-8 ; 0/6 = 0
Hari ke-9 ; 0/6 = 0
Hari ke-10 ; 0,1/6 = 0,017
b. Amplas
Hari ke-1 ; 1/6 = 0,167
Hari ke-2 ; 5/6 = 0,833
Hari ke-3 ; 6,3/6 = 1,049
Hari ke-4 ; 3,50/6 = 0,583
Hari ke-5 ; 1,8/6 = 0,3
Hari ke-6 ; 1/6 = 0,167
Hari ke-7 ; 0/6 = 0
Hari ke-8 ; 0/6 = 0
Hari ke-9 ; 0/6 = 0
Hari ke-10 ; 0/6 = 0
2. Perhitungan GB perlakuan mekanis biji berkulit keras
a. Kontrol
Hari ke-1 ; 0/6 = 0 %
Hari ke-2 ; 0/6 = 0 %
Hari ke-3 ; 0/6 = 0 %
Hari ke-4 ; 0/6 = 0 %
Hari ke-5 ; 0/6 = 0 %
Hari ke-6 ; 10/6 = 1,667 %
Hari ke-7 ; 10/6 = 1,667 %
Hari ke-8 ; 10/6 = 1,667 %
Hari ke-9 ; 10/6 = 1,667 %
Hari ke-10 ; 20/6 = 3,33 %
b. Amplas
Hari ke-1 ; 10/6 = 1,667 %
Hari ke-2 ; 92/6 = 15,33 %
Hari ke-3 ; 252/6 = 42 %
Hari ke-4 ; 380/6 = 63,33 %
Hari ke-5 ; 470/6 = 78,33 %
Hari ke-6 ; 530/6 = 88,33 %
Hari ke-7 ; 530/6 = 88,33 %
Hari ke-8 ; 530/6 = 88,33 %
Hari ke-9 ; 530/6 = 88,33 %
Hari ke-10 ; 530/6 = 88,33 %
C. Pengaruh cairan buah
1. Perhitungan IV pengaruh cairan buah
a. Kontrol
Hari ke-1 ; 2/6 = 0,33
Hari ke-2 ; 5,5/6 = 0,917
Hari ke-3 ; 14/6 = 2,383
Hari ke-4 ; 10,50/6 = 1,75
Hari ke-5 ; 1,8/6 = 0,3
Hari ke-6 ; 1,78/6 = 0,296
Hari ke-7 ; 0,86/6 = 0,144
Hari ke-8 ; 0,375/6 = 0,063
Hari ke-9 ; 0,11/6 = 0,018
Hari ke-10 ; 0,3/6 = 0,05
b. Coumarin 25 %
Hari ke-1 ; 4/6 = 0,667
Hari ke-2 ; 6/6 = 1
Hari ke-3 ; 12,56/6 = 2,094
Hari ke-4 ; 9,52/6 = 1,542
Hari ke-5 ; 2,6/6 = 0,433
Hari ke-6 ; 1,77/6 = 0,296
Hari ke-7 ; 1,15/6 = 0,192
Hari ke-8 ; 0/6 = 0
Hari ke-9 ; 0,11/6 = 0,019
Hari ke-10 ; 0,2/6 = 0,33
c. Coumarin 50%
Hari ke-1 ; 4/6 = 0,667
Hari ke-2 ; 6,5/6 = 1,083
Hari ke-3 ; 8/6 = 1,367
Hari ke-4 ; 8,75/6 = 1,458
Hari ke-5 ; 2/6 = 0,333
Hari ke-6 ; 1,33/6 = 0,222
Hari ke-7 ; 1,303/6 = 0,217
Hari ke-8 ; 0,12/6 = 0,02
Hari ke-9 ; 0,11/6 = 0,019
Hari ke-10 ; 0,5/6 = 0,083
d. Coumarin 100%
Hari ke-1 ; 0/6 = 0
Hari ke-2 ; 3,5/6 = 0,583
Hari ke-3 ; 6,273/6 = 1,046
Hari ke-4 ; 7,5/6 = 1,25
Hari ke-5 ; 3,4/6 = 0,567
Hari ke-6 ; 2,737/6 = 0,456
Hari ke-7 ; 2,46/6 = 0,41
Hari ke-8 ; 0,625/6 = 0,104
Hari ke-9 ; 0,11/6 = 0,019
Hari ke-10 ; 0,7/6 = 0,117
2. Perhitungan GB pengaruh cairan buah
a. Kontrol
Hari ke-1 ; 8/6 = 1,33 %
Hari ke-2 ; 52/6 = 8,667 %
Hari ke-3 ; 224/6 = 37,33 %
Hari ke-4 ; 392/6 = 65,33 %
Hari ke-5 ; 428/6 = 71,33 %
Hari ke-6 ; 468/6 = 78 %
Hari ke-7 ; 492/6 = 82 %
Hari ke-8 ; 504/6 = 84 %
Hari ke-9 ; 508/6 = 84,67 %
Hari ke-10 ; 524/6 = 87,33 %
b. Coumarin 25 %
Hari ke-1 ; 16/6 = 2,667 %
Hari ke-2 ; 64/6 = 10,67 %
Hari ke-3 ; 216/6 = 36 %
Hari ke-4 ; 364/6 = 60,67 %
Hari ke-5 ; 416/6 = 69,33 %
Hari ke-6 ; 460/6 = 76,67 %
Hari ke-7 ; 492/6 = 82 %
Hari ke-8 ; 492/6 = 82 %
Hari ke-9 ; 496/6 = 82,67 %
Hari ke-10 ; 504/6 = 84%
c. Coumarin 50%
Hari ke-1 ; 16/6 = 2,667 %
Hari ke-2 ; 68/6 = 11,33 %
Hari ke-3 ; 172/6 = 28,67 %
Hari ke-4 ; 312/6 = 52 %
Hari ke-5 ; 352/6 = 58,67 %
Hari ke-6 ; 384/6 = 64 %
Hari ke-7 ; 420/6 = 70 %
Hari ke-8 ; 424/6 = 70,67 %
Hari ke-9 ; 428/6 = 71,33 %
Hari ke-10 ; 448/6 = 74,67 %
d. Coumarin 100%
Hari ke-1 ; 0/6 = 0
Hari ke-2 ; 28/6 = 4,667 %
Hari ke-3 ; 104/6 = 17,33 %
Hari ke-4 ; 220/6 = 36,67 %
Hari ke-5 ; 288/6 = 48 %
Hari ke-6 ; 348/6 = 58 %
Hari ke-7 ; 416/6 = 69,33 %
Hari ke-8 ; 436/6 = 72,67 %
Hari ke-9 ; 440/6 = 73,33 %
Hari ke-10 ; 468/6 = 78 %
top related