kode/nama bidang ilmu: 596/ilmu hukum -...
Post on 08-Sep-2021
2 Views
Preview:
TRANSCRIPT
a. Kulit Muka
LAPORAN HASIL PENELITIAN MANDIRI
PENYELESAIAN WANPRESTASI PADA SUZUKI FINANCE
KANTOR CABANG DENPASAR SEBAGAI PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN KONSUMEN
OLEH :
IDA BAGUS PUTU SUTAMA, SH., M.Si
NIP : 195707131986011002
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
JULI 2016
Kode/Nama Bidang Ilmu: 596/ILMU HUKUM
RINGKASAN LAPORAN HASIL PENELITIAN
PENYELESAIAN WANPRESTASI PADA SUZUKI FINANCE KANTOR CABANG
DENPASAR SEBAGAI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN KONSUMEN
Target dari penelitian ini yaitu utuk memecahkan permasalahan diantaranya :
1. Apa yang menjadi indikator wanprestasi pada Suzuki Finance Kantor Cabang
Denpasar?
2. Bagaimana penyelesaian wanprestasi pada Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar?
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris, dengan jenis pendekatan
perundang-undangan, dan pendekatan fakta. Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu
menggambarkan/menjelaskan apa adanya fakta-fakta hukum yang ditemukan terkait dengan
penyelesaian wanprestasi pada suzuki finance kantor cabang denpasar sebagai perusahaan
pembiayaan konsumen. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua) sumber
data, yaitu data primer dan data sekunder. Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, maka
teknik yang digunakan diantaranya studi dokumen, dan wawancara. Dalam penelitian ini teknik
penentuan sampel penelitian yang digunakan adalah teknik Puposive Sampling (Non Probability
Sampling. Guna mendapatkan hasil atau jawaban atas permasalahan yang diteliti, maka
keseluruhan data yang terkumpul selanjutnya dioalah dan dianalisa dari aspek praktek dan
teorinya. Analisa data yang telah dilakukan adalah analisa kualitatif.
Hasil temuan yang diperoleh dari penelitian ini diantaranya :
1. Indikator wanprestasi pada Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar antara lain :
a. Tidak dibayarnya angsuran hutang pembiayaan dengan lewatnya waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal jatuh temponya angsuran.
b. Sepeda motor digadaikan.
c. Sepeda motor dibawa keluar daerah.
d. Dilakukan over kredit tanpa sepengetahuan pihak Suzuki Finance.
2. Penyelesaian wanprestasi pada Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar diantaranya :
a. Menggunakan instrumen Surat Peringatan tiga kali berturut-turut selama 90 hari;
b. Pelimpahan kepada Divisi PSO (Problem Solving Officer);
c. Apabila PSO tidak dapat menarik barang modal, maka proses penarikannya akan
dilakukan oleh Debt Collector (DC).
Sehingga dapat disarankan hal-hal sebagai berikut :
1. Sebaiknya sedapat mungkin Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar menghindari adanya
wanprestasi karena akan merugikan dari segi waktu, tenaga dan biaya-biaya yang diperlukan
untuk pengurusan perkaranya. Wanprestasi dapat dihindari dengan kehati-hatian dalam
pembiayaan saat diajukannya permohonan oleh konsumen sampai dilakukan survey terhadap
modal yang akan diberikan, yang dalam bidang perbankan dikenal dengan prinsip 5C.
2. Sebaiknya Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar melaporkan ke Kepolisian sebagai pihak
yag berwenang menyelidiki hilangnya barang, atau perbuatan melanggar hukum khususnya
hukum pidana, tidak menggunakan jasa Debt Collector yang kebsahan perbuatan hukumnya
tidak sah karena melanggar ketentuan perundang-undangan/tidak berwenang dalam
penyitaan.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
RINGKASAN
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 9
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................................. 21
BAB IV JADWAL PENELITIAN ............................................................................................ 26
BAB V PEMBAHASAN .......................................................................................................... 27
BAB VI PENUTUP ................................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN UMUM
LAMPIRAN 1
BIODATA PENELITI
LAMPIRAN 2
KETENTUAN DAN ATURAN PADA SUZUKI FINANCE KANTOR CABANG DENPASAR
LAMPIRAN 3
FORM SURAT PERJANJIAN PADA SUZUKI FINANCE KANTOR CABANG DENPASAR
LAMPIRAN 4
SYARAT-SYARAT PERJANJIAN PADA SUZUKI FINANCE KANTOR CABANG
DENPASAR
1
Judul Penelitian Mandiri :
PENYELESAIAN WANPRESTASI PADA SUZUKI FINANCE KANTOR CABANG
DENPASAR SEBAGAI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN KONSUMEN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lembaga keuangan di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga yaitu lembaga keuangan
bank, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga pembiayaan.1 Seiring dengan perkembangan
jaman, pada kenyataannya saat ini lembaga keuangan bank tidak cukup ampuh untuk
menanggulangi berbagai keperluan dana dalam masyarakat, mengingat keterbatasan jangkauan
penyebaran kredit dan keterbatasan sumber dana yang dimiliki. Melihat berbagai kelemahan
yang terdapat pada lembaga keuangan bank dalam menyalurkan kebutuhan dana, maka muncul
lembaga keuangan bukan bank yang merupakan lembaga penyandang dana yang lebih fleksibel
daripada bank. Dan sebagai lembaga keuangan terakhir yang muncul adalah lembaga
pembiayaan. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan, yang dimaksud dengan lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang
menyediakan dana dan/atau barang modal bagi nasabahnya.
Eksistensi lembaga pembiayaan masih kalah jauh jika dibandingkan dengan lembanga
keuangan bank. Meskipun lembaga pembiayaan merupakan lembaga keuangan bersama-sama
dengan lembaga perbankan, dan dilihat dari istilah, kegiatan usaha antara lembaga pembiayaan
dan lembaga keuangan adalah berbeda. Lembaga pembiayaan ini kegiatan usahanya lebih
1 Sunaryo, 2008, Hukum Lembaga Keuangan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 9.
2
menekankan pada fungsi pembiayaan, yaitu dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal
dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.2
Pada Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan
mengenal tiga jenis lembaga pembiayaan yang meliputi :
1. Perusahaan Pembiayaan (PP), yaitu badan usaha yang khusus didirikan untuk
melakukan sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen, dan/atau usaha
kartu kredit.
2. Perusahaan Modal Ventura, yaitu badan usaha yang melakukan usaha
pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan
pembiayaan untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan
melalui pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian
atas hasil usaha.
3. Perusahaan Pembiayaan Insfrastruktur, yaitu badan usaha yang didirikan khusus
untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek
infrastruktur.
Pada Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan melarang
lembaga pembiayaan menarik dana secara langsung berupa giro, deposito, dan tabungan.
Meskupun demikian, saat ini keberadaan lembaga pembiayaan konsumen menunjukkan
perkembangan yang sangat baik. Pesatnya pertumbuhan bisnis pembiayaan konsumen ini
sekaligus menunjukkan tingginya minat masyarakat untuk membeli barang-barang dengan cara
mencicil seiring dengan meningkatnya pula taraf hidup masyarakat lapisan menengah kebawah.
2 Sunaryo, 2007, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1.
3
Menurut Abdulkadir dan Rilda Murniati, ada empat alasan yang mendorong perkembangan
pembiayaan konsumen, yaitu :
1. Keterbatasan sumber dana formal
Di dalam masyarakat sebenarnya sudah ada lembaga pembiayaan yang bernama Perum
Pegadaian. Namun dalam lembaga Pegadaian ini sistem pembiayaan yang diterapkan kurang
fleksibel, dimana ada keharusan menyerahkan barang jaminan, tidak sesuai dengan tingkat
kebutuhan masyarakat, dan tidak menjangkau masyarakat luas selaku konsumen. Kondisi
tersebut berbeda dengan pembiayaan konsumen, dimana sistem pembiayaannya yang fleksibel,
tidak memerlukan penyerahan barang jaminan, menyesuaikan dengan tingkat kebutuhan
konsumen, jumlah pembayaran setiap angsuran relatif kecil, sehingga terasa sangat meringankan
konsumen. Hal inilah yang mendorong akan arti pentingnya keberadaan sebuah lembaga
pembiayaan konsumen bagi masyarakat.
2. Koperasi simpan pinjam sulit berkembang
Koperasi simpan pinjam sebenarnya merupakan salah satu bentuk pembiayaan konsumen
yang tepat bagi masyarakat lapisan bawah berpenghasilan rendah. Koperasi ini membeli barang-
barang berdasarkan kebutuhan konsumen langsung dari pemasok secara tunai, kemudian dijual
secara angsuran (kredit) kepada masyarakat konsumen. Namun dalam kenyataannya koperasi
simpan pinjam belum mampu berfungsi sebagai pembiayaan konsumen. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa sebab antara lain :
a. Manajemen koperasi ditangani oleh orang-orang yang tidak profesional, kalaupun ada
yang profesional masih bermental individualis, tidak berorintasi kepada kepentingan
bersama untuk kesejahteraan bersama.
4
b. Pembinaan dan pengawasan koperasi lebih menekankan pada keberadaannya, tidak
kepada pemanfaatan modal usaha dan budaya usaha.
c. Apabila koperasi mulai mampu menghimpun modal dalam jumlah yang cukup besar,
ada kecenderungan untuk korupsi, dengan memanfaatkan modal koperasi untuk
perusahaan pribadi.
Kondisi yang demikian ini yang mendorong arti penting keberadaan lembaga pembiayaan
konsumen bagi masyarakat konsumen yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen
secara wajar. Penerapan sistem pembiayaan yang fleksibel sesuai dengan tingkat kemampuan
dan kebutuhan konsumen sulit tertandingi oleh koperasi yang serba tradisional dan tidak
berbudaya usaha.
3. Bank tidak melayani pembiayaan konsumen
Konsumen umumnya adalah masyarakat berpenghasilan rendah yang sulit mengakses
bank untuk memperoleh kredit ukuran kecil. Bank pada umumnya tidak melayani pemberian
kredit yang bersifat konsumtif dan ukuran kecil. Disamping itu bank selalu menerapkan prinsip
jaminan dalam pemberian kredit. Hal ini sulit dipenuhi oleh konsumen karena dirasakan berat.
Keadaan ini menjadi dorongan terhadap keberadaan dan perkembangan lembaga pembiayaan
konsumen yang mampu menampung kebutuhan konsumen secara wajar.
4. Pembiayaan lintah darat yang mencekik
Sistem pembiayaan yang diterapkan oleh lintah darat bersifat tradisional dengan bunga
yang sangat tinggi, bahkan jauh melebihi batas kewajaran yang berlaku dalam dunia bisnis.
Sistem penegihan yang sangat ketat dengan ancaman penarikan barang jika menunggak,
sehingga merupakan momok yang ditakuti oleh konsumen. Memang disatu sisi lintah darat
sebagai penolong konsumen, namun disisi lain dia berfungsi sebagai pencekik leher konsumen.
5
Keadaan inilah yang mendorong arti pentingnya keberadaan dan perkembangan lembaga
pembiayaan konsumen yang menerapkan sistem pembayaran secara fleksibel sesuai dengan
kebutuhan dan tingkat kemampuan konsumen. Munculnya pranata hukum pembiayaan
konsumen yang diatur dan diawasi oleh pemerintah merupakan dewa penyelamat bagi konsumen
yang berpenghasilan rendah. 3
Dari tiga jenis lembaga pembiayaan tersebut diatas yang tidak kalah penting dengan yang
lainnya adalah Pembiayaan Konsumen atau yang dikenal dengan istilah Consumer Finance.
Menurut Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan, yang dimaksud dengan Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah
kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan
pembayaran secara angsuran.
Dalam memberikan fasilitas pembiayaan konsumen, perusahaan pembiayaan konsumen
membuat perjanjian pembiayaan konsumen diantara perusahaan pembiayaan dengan konsumen,
yang mengatur penyediaan dana bagi pembelian barang-barang tertentu. Dalam perjanjian
pembiayaan konsumen dilakukan penyerahan barang secara fidusia, dalam arti penyerahan barang
tersebut dilakukan berdasarkan atas kepercayaan, yang akan melahirkan mekanisme, dimana pihak
yang ingin memperoleh keuntungan dari pihak yang kurang mampu berhasrat untuk membeli
barang dengan cara yang memungkinkan baginya. Oleh karena itu diperlukan suatu hubungan
yang konkrit dari para pihak-pihak tersebut yang dituangkan dalam sebuah perjanjian
pembiayaan konsumen.
3 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan,
Citra Aditya Bakti, Bandung, h.250.
6
Pembiayaan konsumen pada dasarnya tidak menekankan pada aspek jaminan (collateral).
Meskipun demikian, sebagai lembaga bisnis, pembiayaan konsumen juga tidak lepas dari adanya
resiko. Oleh karena itu dalam praktek, perusahaan pembiayaan konsumen biasanya meminta
jaminan tertentu sebagaimana jaminan dalam kredit.
Seperti yang diuraikan sebelumnya, dalam praktek tidak berarti bahwa munculnya
pembiayaan konsumen di dalam masyarakat tidak membawa masalah serta berbagai hambatan.
Hal ini muncul mengingat bahwa dalam memberikan fasilitas pembiayaan konsumen,
perusahaan pembiayaan akan melakukan perbuatan hukum yang termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdata. Tindakan atau perbuatan perusahaan pembiayaan konsumen untuk menyerahkan
dana pembiayaan yang diperlukan oleh konsumen serta demikian pula tindakan atau perbuatan
yang dilakukan oleh konsumen untuk melakukan pembayaran kembali hutang pembiayaan,
tentunya hal itu merupakan suatu perbuatan yang akan membawa akibat hukum.
Dalam pemberian fasilitas pembiayaan tersebut, pihak perusahaan pembiayaan harus
bertindak berhati-hati karena dari pembiayaan tersebut akan timbul sejumlah resiko yang cukup
besar, apakah dana dan bunga dari kredit yang dipinjam dapat kembali atau tidak. Dalam praktek
perjanjian pembiayaan konsumen, banyak dijumpai konsumen (debitur) tidak melakukan apa
yang diperjanjikan atau melanggar perjanjian yang biasa disebut wanprestasi. Dimana seringkali
debitur tidak mau melaksanakan kewajibannya untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah
disepakati sebelumnya untuk menjaga dan merawat keutuhan barang jaminan atau justru
terlambat untuk membayar angsuran kepada perusahaan pembiayaan konsumen sampai jangka
waktunya berakhir. Mengingat akibat-akibat yang timbul dari wanprestasi itu begitu penting,
maka di semua perusahaan pembiayaan harus ditetapkan terlebih dahulu apakah si debitur benar-
7
benar melakukan wanprestasi agar dapat diambil langkah penyelesaian yang tepat apabila debitur
benar melakukan wanprestasi.
Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar merupakan lembaga pembiayaan konsumen
yang relatif besar karena mengelola lebih dari seratus nasabah dengan omset ratusan juta per
bulan, namun dalam penyelesaian wanprestasi dilakukan dengan meminta jasa Debt Collector
untuk menyita barang modal. Selain itu kriteria wanprestasi yang terapkan dianggap sepihak oleh
beberapa nasabah yang ditemui saat pra penelitian berlangsung, sehingga beberapa nasabah
masih merasa keberatan dengan kriteria maupun penyelesaian wan prestasi yang diterapkan
Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar.
Berdasarkan kenyataan sebagaimana diuraikan tersebut diatas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang indicator yang dipergunakan oleh perusahaan pembiayaan
untuk menentukan debitur dalam keadaan wanprestasi serta penyelesaian masalah yang timbul
jika terjadi wanprestasi oleh debitur dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen dengan
judul “PENYELESAIAN WANPRESTASI PADA SUZUKI FINANCE KANTOR
CABANG DENPASAR SEBAGAI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN KONSUMEN”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan yang akan
dibahas diantaranya :
1. Apa yang menjadi indikator wanprestasi pada Suzuki Finance Kantor Cabang
Denpasar?
2. Bagaimana penyelesaian wanprestasi pada Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar?
8
1.3. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
1. Untuk melaksanakan Tri Dharma Peguruan Tinggi khususnya bidang penelitian yang
dilakukan oleh dosen.
2. Untuk melatih diri dalam usaha untuk menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui indikator wanprestasi pada Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar.
2. Untuk mengetahui penyelesaian wanprestasi pada Suzuki Finance Kantor Cabang
Denpasar.
1.4. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
bagi ilmu hukum pada umumnya dan khususnya mengenai hukum bisnis mengenai perjanjian
pembiayaan konsumen.
b. Manfaat Praktis
1. Memberikan sumbangan pemikiran yuridis kepada Suzuki Finance Kantor Cabang
Denpasar sehingga dapat memberikan pedoman yuridis sesuai permasalahan yang dikaji.
2. Memberikan pengetahuan dan informasi yang jelas kepada nasabah yang dalam hal ini
adalah masyarakat luas mengenai kriteria yang dipakai oleh Suzuki Finance Kantor
Cabang Denpasar untuk menentukan debitur dalam keadaan wanprestasi dan proses
penyelesaian masalah oleh Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar jika debitur
wanprestasi.
3. Sebagai pedoman bagi peneliti-peneliti selanjutnya.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN
Kegiatan pembiayaan konsumen mulai diperkenalkan dalam usaha perusahaan pembiayaan
pada waktu dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga
Pembiayaan yang diikuti dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, yang
dirubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 448/KMK.017/2000
tentang Perusahaan Pembiayaan. Dan saat ini sudah lahir peraturan yang mengatur tentang
pembiayaan konsumen sebagai badan usaha perusahaan pembiayaan yaitu Peraturan Presiden Nomor
9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang dilakukan oleh
perusahaan pembiayaan. Target pasar dari model pembiayaan ini sudah jelas adalah konsumen.
Besarnya pembiayaan yang diberikan melalui fasilitas pembiayaan konsumen kepada konsumennya
adalah relatif kecil. Oleh karena itu resiko pembiayaannya juga menyebar berhubung akan terlibat
banyak konsumen dengan pemberian biaya yang relatif kecil ini, sehingga lebih aman juga bagi
pihak pemberi biaya yaitu perusahaan pembiayaan konsumen.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pemberian fasilitas pembiayaan
konsumen didasarkan pada adanya perjanjian antara perusahaan pembiayaan konsumen dan
konsumen, serta jual beli antara pemasok dan konsumen. Bila diartikan maka perjanjian
pembiayaan konsumen merupakan suatu perjanjian yang diadakan antara konsumen dengan
perusahaan pembiayaan guna pembelian barang-barang konsumen dimana perusahaan
10
pembiayaan memberikan pinjaman sejumlah dana yang akan dibayar konsumen dalam jangka
waktu tertentu dengan tingkat bunga yang telah disepakati antara kedua belah pihak.
Menurut Pasal 1 angka 7 Perpres Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, yang
dimaksud dengan Pembiayaan Konsumen (consumer finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.
Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiyaan yang dilakukan oleh
perusahaan financial, disamping kegiatan seperti leasing, factoring, kartu kredit dan sebagainya.
Target pasar dari model pembiayaan konsumen ini sudah jelas yaitu konsumen. Di samping itu
besarnya biaya yang diberikan per konsumen relatif kecil mengingat barang yang dibidik untuk
dibiayai secara pembiayaan konsumen adalah barang-barang keperluan yang akan dipakai oleh
konsumen untuk keperluan hidupnya. Karena itu, risiko dari pembiayaan ini juga menyebar,
berhubung akan terlibat banyak konsumen dengan pemberian biaya yang relatif kecil, ini lebih aman
bagi pihak pemberi biaya. 4
Pembiayaan konsumen pada dasarnya tidak menekankan pada aspek jaminan. Meskipun
demikian sebagai lembaga bisnis, pembiayaan konsumen juga tidak lepas dari adanya resiko. Oleh
karena itu dalam praktek, perusahaan pembiayaan konsumen biasanya meminta jaminan tertentu
sebagaimana jaminan dalam kredit, dengan jaminan utama berupa kepercayaan.
Transaksi pembiayaan konsumen didasarkan pada adanya suatu perjanjian, yaitu perjanjian
antara perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen, serta perjanjian jual beli antara pemasok
(supplier) dan konsumen. Dengan demikian dalam kegiatan pembiayaan konsumen terdapat 3 (tiga)
pihak yang terlibat, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen, konsumen, dan pemasok (supplier).
Berdasarkan pada perjanjian tersebut maka akan lahir hubungan hukum diantara pihak-pihak
tersebut, yang harus melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik oleh masing-masing pihak.
4 Munir Fuady, 1995, Hukum Tentang Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 161.
11
Perjanjian merupakan bentuk persetujuan dari dua pihak atau lebih, yang saling berjanji
untuk mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu. Oleh karenanya perjanjian ini sangat penting,
sehingga dalam pelaksanaannya hendaknya selalu di buat dalam bentuk tertulis agar memiliki
kekuatan hukum dan kepastian hukum.
Pengertian perjanjian disebutkan dalam Pasal 1313 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disingkat KUHPerdata), yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kemudian R. Subekti mengemukakan
pendapatnya tentang perjanjian sebagai berikut :
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini timbullah
suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini
menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya,
perjanjian ini berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau di tulis.5
Sedangkan J. Satrio, menyatakan bahwa perjanjian adalah peristiwa yang menimbulkan
dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak. Atau dengan perkataan lain,
bahwa perjanjian berisi perikatan.6 Perjanjian adalah merupakan bagian dari perikatan, jadi
perjanjian adalah merupakan sumber dari perikatan dan dari perikatan itu mempunyai cakupan yang
lebih luas daripada perjanjian. Mengenai perikatan itu sendiri diatur dalam Buku III KUHPerdata,
sebagaimana diketahui bahwa suatu perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang.
Suatu perjanjian demikian halnya dengan perjanjian pembiayaan konsumen dinyatakan
sah apabila perjanjian tersebut setelah memenuhi empat syarat sebagai mana yang telah
dirumuskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :
5 R. Subekti, 1963, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, h.1.
6 J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 5.
12
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Maksud dari kata sepakat adalah tercapainya persetujuan kehendak antara para pihak
mengenai pokok-pokok perjanjian yang dibuat itu. Kata sepakat dinamakan juga perizinan,
artinya bahwa kedua belah pihak yang mengadakan suatu perjanjian harus bersepakat.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”.
Berkaitan dengan hal ini, Pasal 1330 KUHPerdata merumuskan tentang orang-orang yang tidak
cakap membuat suatu perjanjian, yaitu :
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua
orang kepada siapa Undang- Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
3. Suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu maksudnya adalah obyek perjanjian. Obyek perjanjian biasanya berupa
barang atau benda. Menurut Pasal 1332 KUHPerdata “hanya barang-barang yang dapat menjadi
pokok persetujuan-persetujuan”. Dalam Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata dirumuskan bahwa :
“suatu persetujuan harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya“. Jadi penentuan obyek perjanjian sangatlah penting untuk menentukan hak dan
kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian jika timbul perselisihan dalam pelaksanaannya.
4. Suatu sebab yang halal.
13
Suatu sebab yang halal berhubungan dengan isi perjanjian. Menurut pengertiannya,
“sebab causa” adalah isi dan tujuan perjanjian, di mana hal tersebut tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata). Sedangkan
dalam Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan: “suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah
dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Berkaitan
dengan hal ini, maka akibat yang timbul dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal adalah
batal demi hukum.
2.2. WANPRESTASI
Dalam suatu perjanjian, begitu juga dalam perjanjian pembiayaan konsumen, debitur
diwajibakn untuk memenuhi prestasinya yang telah desepati sebelumnya dengan kreditur yang
dituangkan dalam perjanjian pembiayaan konsumen. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata yang
dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan
tidak melakukan sesuatu sebaliknya dianggap melakukan wanprestasi. Dalam perjanjian
pembiayaan konsumen apabila debitur tidak melaksanakan apa yang dijanjikannya, yakni debitur
tidak dapat membayar lunas hutang setelah jangka waktu perjanjian habis maka sejak saat itu
sudah dapat dikatakan melakukan wanprestasi.
Wanprestasi merupakan bentuk terjemahan dari bahasa Belanda “Wanprestatie” yang
mempunyai arti tidak terpenuhinya kewajiban yang telah ditetapkan dalam suatu perikatan, baik
perikatan yang ditimbulkan dari Undang-Undang maupun dari perjanjian.7 Tidak terpenuhinya
kewajiban tersebut ada dua macam kemungkinan yang dapat digunakan sebagai alasan yaitu :
a. Karena kesalahan debitur, baik kesengajaan maupun kelalaian.
7 Abdulkadir Muhammad 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, (Selanjutnya Disebut Abdulkadir
Muhammad I) h. 20.
14
b. Karena keadaan memaksa (force majeur), yaitu diluar kemampuan debitur dalam arti
debitur tidak bersalah.
Dari rumusan tersebut diatas, maka wanprestasi dikatakan merupakan suatu keadaan
dimana seseorang tidak memenuhi kewajiban untuk melaksanakan isi dari perjanjian yang
disepakati sebelumnya yang telah dibuat secara patut dan benar, sehingga ia dapat dikatakan
telah memiliki perestasi yang buruk.
Menurut R. Subekti, wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 (empat) macam, yaitu:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 8
Seorang debitur yang melakukan wanprestasi sebagai pihak yang wajib melaksanakan
sesuatu, mengakibatkan ia dapat dikenai sanksi atau hukuman sebagai upaya penyelesaian
wanprestasi sebagai salah satu bentuk akibat yang ditimbulkan dari wanprestasi itu sendiri, yakni
berupa :
a. Membayar kerugian yang di derita oleh kreditur atau ganti rugi (Pasal 1243
KUHPerdata).
b. Pembatalan perjanjian melalui hakim (Pasal 1266 KUHPerdata).
c. Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2)
KUHPerdata).
8 R. Subekti, op.cit, h. 45.
15
Wanprestasi disebutkan dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), yaitu “si berutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini
menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang telah
ditentukan”.
Berdasarkan pasal tersebut maka seorang debitur dikatakan wanprestasi apabila dia sudah
diperingatkan dengan diberikan surat perintah atau akta sejenis atau yang lebih dikenal dengan
sebutan somasi oleh kreditur. Dimana somasi biasanya diberikan minimal sebanyak tiga kali.
Apabila somasi tidak diindahkan maka kreditur berhak membawa persoalan wanprestasi tersebut
ke Pengadilan.
Menurut Yahya Harahap, M. seseorang dikatakan wanprestasi apabila orang tersebut
dalam melaksanakan kewajibannya tidak tepat pada waktunya.9 Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa seseorang wanprestasi apabila ia dalam melaksanakan prestasinya telah lalai
sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tersebut
tidak menurut sepatutnya atau selayaknya. Sehingga untuk menghindari agar tidak terjadinya
wanprestasi maka dalam melaksanakan perjanjian haruslah dibuat menurut yang sepatutnya,
serasi, layak, serta sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dan disetujui
bersama.
Menurut Yahya Harahap, M. dalam mewujudkan usaha untuk memenuhi suatu perjanjian
dapat dilakukan oleh :
a. Dilakukan sendiri oleh debitur, seperti dalam perjanjian membuat lukisan, hanya
dapat dilakukan oleh debitur itu sendiri.
b. Dilakukan dengan bantuan orang lain, misalnya dalam suatu operasi, dokter sebagai
debitur biasanya dibantu oleh beberapa orang.
9 Yahya Harahap, M., 1986, Segi-Segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, h. 60.
16
c. Bisa juga pemenuhan prestasi perjanjian dilakukan oleh pihak ketiga untuk
kepentingan dan atas nama debitur, umpamanya orang dari pihak debitur.10
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa dalam setiap persetujuan atau perjanjian akan terdapat
pihak-pihak yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasinya sesuai dengan apa yang
telah disepakati bersama. Atau dengan kata lain bahwa setiap pihak yang terlibat dalam suatu
perjanjian diharuskan untuk memenuhi isi perjanjiannya tersebut secara patut dan benar. Sebab
apabila tidak, maka pihak yang tidak memenuhi isi perjanjian secara patut dapat dikatakan
cedera janji atau wanprestasi. Karena pihak tersebut tidak melaksanakan prestasinya sejalan
dengan tujuan perjanjian yang telah disepakatinya serta keadaan seperti itu merupakan
pelanggaran atas hak pihak lainnya.
Menurut Abdul Kadir Muhammad :
Untuk menentukan apakah seorang debitur dinyatakan bersalah melakukan wanprestasi,
terlebih dahulu perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana seorang debitur itu dikatakan
sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi, ada empat keadaan yaitu sebagai berikut :
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak memenuhi
kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi akan suatu perjanjian atau tidak
memenuhi kewajiban yang ditetapkan Undang-Undang dalam perikatan yang timbul
karena Undang-Undang.
b. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak ada itikad baik atau melakukan kekeliruan,
artinya disini debitur telah melaksanakan atau memenuhi sebagaimana mestinya
menurut kwalitas yang telah ditentukan dalam perjanjian atau menurut kwalitas yang
telah ditentukan oleh Undang-Undang.
c. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya, disini debitur memenuhi
prestasi tetapi terlambat atau waktu yang telah ditetapkan tidak dipenuhi.
d. Melakukan sesuatu menurut perjanjian tidak boleh dilakukan tetapi oleh pihak debitur
hal yang dilarang tersebut tetap dilakukan.11
Menurut R.Setiawan, ada tiga kriteria untuk menentukan wanprestasi yaitu :
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
b. Terlambat memenuhi prestasi
10
Ibid, 56. 11
Abdul Kadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
(Selanjutnya Disebut Abdul Kadir Muhammad II)h. 62.
17
c. Memenuhi prestasi secara tidak baik.12
Sehubungan dengan ketiga hal tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa debitur tidak lagi mampu
memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sedangkan
jika prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka digolongkan ke dalam
terlambat memenuhi prestasi. Jika debitur memenuhi prestasi secara tidak baik, ia dianggap
terlambat memenuhi prestasi. Jika prestasi masih dapat diperbaiki dan jika tidak, maka dianggap
tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Menurut Wirjono Projodikoro, wanprestasi ada tiga (3) bentuk atau kriteria yaitu :
a. Pihak yang berwajib sama sekali tidak melaksanakan;
b. Pihak yang berwajib terlambat melaksanakan kewajibannya; serta
c. Melaksanakan kewajiban tetapi tidak semestinya atau sebaik-baiknya.13
Menurut Abdulkadir Muhammad, beliau membagi kriteria wanprestasi menjadi tiga (3) yaitu :
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak memenuhi kewajiban
yang telah disanggupinya yuntuk dipenuhi dalam suatu perjanjian, atau tidak
memenuhi kwewajiban yang ditetapkan Undang-Undang dalam perikatan yang
timbul karena Undang-Undang.
b. Memenuhi prestasi tetapi tidak atau keliru artinya debitur melaksanakan atau
memenuhi apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh Undang-Undang
tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas yang ditentukan dalam perjanjian
atau menurut kualitas yang ditetapkan Undang-Undang.
c. Memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya artinya debitur memenuhi
prestasi tetapi terlambat dengan waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak
dipenuhi.14
Begitu pula menurut R.M. Suryodiningrat, kriteria wanprestasi ada tiga (3) yaitu :
a. Sama sekali tidak berprestasi artinya debitur tidak perlu dinyatakan lalai oleh kreditur
karena dalam hal ini tidak dapat diharapkan debitur dapat berprestasi.
12
R. Setiawan, 1994, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, h. 18.
13
Wirjono Projodikoro, 1985, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, h. 45.
14
Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h. 21.
18
b. Salah berprestasi artinya apakah debitur perlu dinyatakan lalai terlebih dahulu oleh
kreditur agar kreditur dapat menuntut pembatalan perikatan dengan/tanpa tambahan
ganti rugi, biaya, dan bunga.
c. Terlambat berprestasi artinya dalam terlambat berprestasi sama saja dengan tak
berprestasi sama sekali.15
Sedangkan menurut Purwahid Patrik, kriteria dari wanprestasi adalah :
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b. Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi.
c. Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya.16
Dari kriteria wanprestasi tersebut diatas, kadang-kadang menimbulkan keraguan pada waktu
debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali atau terlambat dalam memenuhi prestasi. Apabila
debitur sudah tidak mampu memenuhi prestasinya maka ia akan termasuk tidak memenuhi
prestasi sama sekali, tetapi apabila debitur masih mampu memenuhi prestasi, ia dianggap sebagai
terlambat dalam memenuhi prestasi. Demikian pula debitur memenuhi prestasinya, apabila
prestasi masih dapat diharapkan untuk diperbaiki maka debitur dianggap terlambat tetapi tidak
dapat diperbaiki lagi, debitur sudah dianggap sama sekali tidak memenuhi prestasi. Dari uraian
kriteria wanprestasi diatas maka dapatlah diketahui bahwa yang dimaksud dengan wanprestasi
adalah suatu keadaan dimana seorang debitur tidak dapat memenuhi isi persetujuan yang telah
dibuat secara patut dan benar. Adapun dasar hukum bagi berlakunya wanprestasi itu sendiri
adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dipergunakan sebagai dasar yuridis untuk meletakkan
keadaan tidak mampu memenuhi prestasi tersebut sebagai suatu prestasi. Tentang wanprestasi,
baik dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata maupun ketentuan lainnya mengatur tentang
keadaan memenuhi kewajibannya setelah dinyatakan lalai untuk dimana seorang debitur dapat
dikategorikan telah tidak dinyatakan lalai untuk berprestasi.
15
R.M. Suryodiningrat, 1995, Azaz-Azaz Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, h. 24.
16
Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, h. 11.
19
Ketentuan tentang lalai dapat dilihat dalam Pasal 1238 KUHPerdata. Demikian pula
tentang resiko dari kelalaian itu diatur dalam Pasal 1237 KUHPerdata, yang merupakan
pengaturan atas sanksi atau pertanggungjawaban hukum karena lalai itu. Kedua ketentuan
tersebut merupakan ketentuan yang mengatur tentang keadaan bagaimana seorang debitur dapat
dikatakan wanpestasi. Demikian pula tentang resiko dalam perjanjian yang gunanya untuk
meletakkan dasar tentang keadaan bagaimana debitur yang lalai dimintakan tanggung jawab
karena wanprestasi.
Berdasarkan definisi tersebut diatas, Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati telah
memerinci unsur-unsur yang terkadung dalam pengertian pembiayaan konsumen sebagai berikut:
a. Subjek adalah pihak-pihak yang terkait dalam hubungan hukum pembiayaan
konsumen, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen (kreditur), konsumen (debitur),
dan penyedia barang (pemasok, supplier).
b. Objek adalah barang bergerak keperluan konsumen yang akan dipakai untuk
keperluan hidup, misalnya alat-alat perabot rumah tangga dan kendaraan.
c. Perjanjian, yaitu perbuatan persetujuan pembiayaan yang akan diadakan antara
perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen, serta jual beli antara pemasok dan
konsumen. Perjanjian ini didukung oleh dokumen-dokumen.
d. Hubungan hak dan kewajiban, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen wajib
membiayai harga pembelian barang yang diperlukan konsumen dan membayarnya
secara tunai kepada pemasok. Konsumen wajib membayar secara angsuran kepada
perusahaan pembiayaan konsumen, dan pemasok wajib menyerahkan barang kepada
konsumen.
e. Jaminan, yaitu terdiri dari jaminan utama, jaminan pokok, dan jaminan tambahan.
Jaminan utama berupa kepercayaan terhadap konsumen (debitur) bahwa konsumen
dapat dipercaya untuk membayar angsurannya sampai selesai. Jaminan pokok secara
fidusia berupa barang yang dibiayai oleh perusahaan pembiayaan konsumen dimana
semua dokumen kepemilikan barang dikuasai oleh perusahaan pembiayaan konsumen
sampai angsuran terakhir dilunasi. Adapun jaminan tambahan berupa pengakuan
utang dari konsumen. 17
Dalam sistem pembiayaan konsumen ini, dapat saja suatu perusahaan pembiayaan memberikan
bantuan dana untuk pembelian barang-barang produk dari perusahaan dalam kelompoknya. Jadi
marketnya sudah tertentu. Perusahaan pembiayaan seperti ini disebut Captive Finance Company.
17
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, op.cit, h. 246
20
Misalnya seperti yang dilakukan oleh Suzuki Finance yang menyediakan pembiayaan konsumen
terhadap penjualan produk-produk motor khusus merk Suzuki. 18
Dilihat dari kegiatan perusahaan pembiayaan yaitu menyediakan dana bagi konsumen
untuk pembelian sejumlah barang, yang pembayarannya dilakukan secara berkala oleh
konsumen, dimana dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perusahaan pembiayaan konsumen
meminjamkan sejumlah uang melalui fasilitas pembiayaan konsumen kepada konsumennya,
maka dapat dikatakan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen adalah bagian dari perjanjian
pinjam meminjam seperti yang diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata yang menyatakan :
”Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan
syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan
mutu yang sama”.
18
Munir Fuady, op.cit, h. 163.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris, yaitu
penelitian berdasarkan praktek di lapangan atau bagaimana norma hukum dalam hal ini tentang
perjanjian pembiayaan konsumen yang diterapkan di Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar.
3.2. Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang dilakukan dalap penelitian ini yaitu : jenis pendekatan perundang-
undangan, dan pendekatan fakta. Pendekatan perundang-undangan, yaitu dilakukan analisis
terhadap norma hukum terkait penyelesaian wanprestasi pada perusahaan pembiayaan konsumen
dengan menelusuri sebanyak-banyaknya data sekunder yaitu : bahan hukum primer (aturan-
aturan dan penjelasannya) terkait dengan objek penelitian yang dapat menjelaskan secara pasti
makna dari aturan yang dikaji, sehingga dapat memberikan kepastian hukumnya. Sedangkan
pada pendekatan fakta dilakukan dengan menelusuri data primer yang didapatkan langsung dari
lokasi penelitian (Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar) terkait indikator wanprestasi yang
digunakan serta penyelesaiannya.
3.3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan/menjelaskan apa adanya fakta-
fakta hukum yang ditemukan terkait dengan penyelesaian wanprestasi pada suzuki finance
kantor cabang denpasar sebagai perusahaan pembiayaan konsumen, kemudian dilakukan
pengkajian mendalam terhadap fakta-fakta tersebut dengan mengkaitkan peraturan perundang-
22
undangan, teori-teori hukum, serta bahan-bahan hukum lain terkait yang dapat meggambarkan
serta dapat menganalisis permasalahan hukum yang ingin diselesaikan.
3.4. Data Dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua) sumber data, yaitu :
1. Data Primer (data lapangan), yakni data yang diperoleh dari peneliti, dari sumber
asalnya yang pertama dan belum diolah dan diuraikan oleh orang lain. Data yang
diperoleh didapatkan secara langsung melalui teknik wawancara dengan responden di
Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar.
2. Data Sekunder, yakni adalah data yang diperoleh dari kepustakaan yaitu dengan
meneliti bahan-bahan hukum, yaitu :
a. Bahan hukum yang bersifat primer berupa peraturan perundang-undangan yang
dapat membantu dalam menganalisa dan memahami permasalahan dalam
penelitian ini, antara lain :
- KUHPerdata;
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor : 9 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan;
- Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor :
1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan;
- Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor :
448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan.
23
- Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 220 / PMK /2012
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor43 / PMK /2012
Tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor
Pada Perusahaan Pembiayaan.
- Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.010/2012
Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang
Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan
Pembebanan Jaminan Fidusia
b. Bahan hukum yang bersifat sekunder, berupa literatur-literatur hukum, majalah,
koran, dan karya tulis yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian
ini.
3.5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Menurut Soerjono Soekanto, dalam penelitian lazimnya dikenal 3 (tiga) jenis alat
pengumpul data yaitu bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview.”
19 Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, maka teknik yang digunakan sebagai berikut :
- Data studi dokumen atau bahan kepustakaan yang juga disebut sebagai data sekunder
terutama dapat diperoleh dari perpustakaan.20
Maksudnya bahwa dalam penelitian ini
akan dikumpulkan data-data kepustakan yang dikumpulkan dengan cara membaca
dan memahami, selanjutnya dilakukan teknik pencatatan dengan mengutip teori dan
19
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 67.
20
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukun Normatif, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 13.
24
penjelasan yang penting dari bahan-bahan yang relevan dengan pokok permasalahan
dalam penelitian ini, baik itu berupa kutipan langsung maupun kutipan tidak
langsung.
- Teknik wawancara (interview), yaitu suatu cara yang digunakan untuk
mengumpulkan data guna mencari informasi dengan cara mengadakan tanya jawab
secara lisan dan tulisan yang diarahkan pada masalah tertentu dengan informan yang
berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
3.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Penentuan populasi dan sampel yang tepat sangat penting artinya dalam suatu penelitian.
Populasi adalah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penelitian, sedangkan sampel
adalah bagian dari populasi yang akan diteliti yang dianggap mewakili populasinya. Maka
populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan pembiayaan.
Dalam penelitian ini teknik penentuan sampel penelitian yang digunakan adalah teknik
Puposive Sampling (Non Probability Sampling), dimana penarikan sampel ini dilakukan
berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti yang
dilakukan dengan cara mengambil subjek didasarkan pada tujuan tertentu, tanpa menggunakan
perhitungan random. Teknik ini dipilih karena pertimbangan keterbatasan waktu dan tenaga,
sehingga tidak mengambil sampel dalam jumlah yang besar.
Untuk menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu, harus memenuhi syarat yaitu
berdasarkan kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari
populasinya. Subjek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subjek yang
paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat dalam populasi.
25
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka sampel dalam penelitian ini adalah Suzuki Finance
Kantor Cabang Denpasar karena sampel tersebut memenuhi kriteria dan sifat-sifat yang peneliti
tentukan, Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar terdapat masalah yakni debitur wanprestasi
pada lembaga pembiayaan konsumen tersebut.
3.7. Pengolahan Dan Analisis Data
Guna mendapatkan hasil atau jawaban atas permasalahan yang diteliti, maka keseluruhan
data yang terkumpul selanjutnya dioalah dan dianalisa dari aspek praktek dan teorinya. Analisa
data yang telah dilakukan adalah analisa kualitatif, dalam arti keseluruhan data yang terkumpul
diklasifikasikan sedemikian rupa kemudian diambil yang ada hubungannya dengan
permasalahan yang akan dibahas. Akhirnya akan diperoleh kesimpulan yang menjawab semua
permasalahan yang diajukan. Setelah data tersebut semua diolah, selanjutnya pembahasan
disajikan secara analisis deskriptif yaitu memaparkan secara lengkap dan mendetail aspek-aspek
tertentu yang berkaitan atau bersangkut paut dengan masalah, diberikan uraian-uraian dan
disajikan secara berurutan sesuai dengan data.
26
BAB IV
JADWAL PENELITIAN
4.1 Jadwal Kegiatan
Jadwal kegiatan penelitian meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan dan penyusunan
laporan penelitian dalam bar-chart. Bar-chart memberikan rincian kegiatan dan jadwal
pelaksanaan kegiatan tersebut. Jadwal pelaksaanaan mengacu pada metode penelitian.
No
Jenis kegiatan Tahun I
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Pengurusan Surat
Tugas
2 Pengambilan dan
Penyusunan Bahan
3 Penyusunan Hasil
Penelitian
4 Publikasi Hasil
Penelitian/Luaran
27
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Akibat Hukum Debitur Wanprestasi Pada Perusahaan Pembiayaan Konsumen
Akibat hukum debitur wanprestasi pada perusahaan pembiayaan adalah secara nyata
dapatlah dilihat tidak dapatnya perjanjian dipenuhi atau dilaksanakan secara patut dan benar.
Atau paling tidak adalah dengan adanya keadaan wanprestasi dari debitur, seorang kreditur tidak
mendapatkan pemenuhan hak-haknya yang semestinya didapatkan dengan adanya perjanjian
tersebut. Hal ini terjadi karena hubungan hukum yang terjadi antara debitur dengan perusahaan
pembiayaan didasarkan pada adanya sebuah perjanjian yakni perjanjian pembiayaan konsumen.
Secara yuridis, akibat hukum dari wanprestasi dalam suatu perjanjian tidaklah
sesederhana itu. Sebab perjanjian sebagai ikatan dalam bidang hukum perdata antara dua subjek
hukum atau lebih, dimana satu pihak berhak atas sesuatu dan pihak yang lainnya berkewajiban
untuk melakukannya.21
Akibat- akibat yang diatur oleh hukum terhadap perjanjian karena
wanprestasi adalah berupa sanksi-sanksi hukum yang penerapannya terdapat dalam perjanjian
yang penerapannya terdapat dalam KUHPerdata, sebagai peraturan formal yang mengatur
perihal perjanjian-perjanjian beserta aspek yuridis lainnya.
Dikenakannya sanksi hukum dalam suatu keadaan wanprestasi pada suatu perjanjian
sebagai akibat hukumnya, disamping karena perjanjian merupakan suatu ikatan hubungan hukum
adalah :
Juga dikarenakan oleh dalam suatu perjanjian mengandung asas obligatoir, yaitu hak dan
kewajiban yang ditimbal balik. Konsekuensi dari asas obligatoir tersebut adalah kalau
satu pihak dalam perjanjian sebagaimana telah disepakati maka pihak yang lainnya dapat
21
R.M. Suryodiningrat, 1987, Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, h.18.
28
meminta pemenuhannya secara hukum kepada pihak yang lainnya tersebut. Oleh
Achmad Icksan, asas obligatoir itu dikatakan sebagai segi-segi dalam perjanjian sehingga
menurutnya perjanjian memiliki dua (2) segi yaitu segi pasif berupa kewajiban dan segi
aktif berupa hak-hak.22
Sedangkan segi pasifnya mempunyai dua (2) unsur yakni kewajiban (schuld) dari debitur
untuk melaksanakan suatu prestasi dan haftung atau tanggung jawab yuridis dari debitur atas
kewajiban itu. Dari dua unsur inilah kreditur dapat memaksa debitur untuk memenuhi
prestasinya, sebab schuld (kewajiban berprestasi) harus diikuti oleh haftung (tanggung jawab
yuridis untuk memenuhi kewajiban) dan tanpa adanya haftung dari debitur maka kreditur tidak
dapat memaksa debitur untuk memenuhi prestasinya.
Berdasar atas unsur haftung dalam suatu perjanjian, jikalau debitur kemudian hari tidak
melaksanakan atau memenuhi isi perjanjiannya dapat dijadikan dasar yuridis untuk menuntut
pemenuhannya, misalnya dalam bentuk penuntutan hak atas dasar wanprestasi.
Menurut Purwahid Patrik, akibat hukum terhadap perjanjian karena wanprestasi, maka
debitur harus :
1. Mengganti kerugian
2. Benda yang dijadikan obyek dari perikatan sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban
menjadi tanggung jawab dari debitur.
3. Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat minta
pembatalan (pemutusan) perjanjian.23
Subekti menyatakan : Karena wanprestasi (kelalaian) mempunyai akibat-akibat yang begitu
penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berhutang melakukan wanprestasi atau
lalai, dan kalau hal ini disangkal olehnya harus dibuktikan dimuka hakim.24
22
Achmad Icksan, 1967, Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta, h.15.
23
Purwahid Patrik, loc.cit.
29
Berbeda halnya dengan yang dinyatakan oleh Abdulkadir Muhammad, bahwa : Sejak
kapan debitur itu dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi ? Hal ini perlu
dipersoalkan karena wanprestasi itu mempunyai akibat hukum yang penting bagi debitur. Untuk
mengetahui sejak saat kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi perlu diperhatikan apakah
dalam perikatan itu ditentukan tenggang pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak.25
Untuk menetapkan kapan dan bilamana seorang debitur telah dinyatakan lalai sehingga
selanjutnya dikatakan wanprestasi, dalam suatu perjanjian hendaknya dilihat dari jenis atau
bentuk perjanjian itu sendiri. Artinya bahwa untuk dapat dikatakan lalai tergantung dari
perjanjiannya itu sendiri. Apakah perjanjian tersebut telah diisyaratkan dengan batas waktu atau
tidak. Sebab dalam suatu perjanjian baik untuk menyerahkan suatu barang atau untuk
melaksanakan suatu perbuatan jika dalam perjanjiannya tidak ditetapkan batas waktunya maka
seorang debitur dapat dikatakan lalai apabila atas pelaksanaan perjanjian tersebut terlebih dahulu
ditagih, yaitu kepada debitur itu diperingatkan bahwa kreditur menghendaki pelaksanaan
perjanjian, sehingga apabila debitur tidak dapat memenuhi tagihan sampai batas waktunya, maka
debitur yang bersangkutan dapayt dinyatakan lalai atau wanprestasi. Dan berdasarkan atas
keadaan ini seorang debitur dapat dinyatakan dalam keadaan wanprestasi setelah berlakunya
waktu lalai, diberikan surat teguran atau surat perintah berupa teguran atau surat perintah berupa
surat peringatan resmi oleh juru sita Pengadilan Negeri yang menyatakan hal itu.
Sedangkan dalam suatu perjanjian baik menyerahkan atau berbuat sesuatu telah
ditentukan dengan batas waktu, maka dengan lewatnya batas waktu pemenuhan kewajiban bagi
debitur seketika itu pula ia dikatakan wanprestasi, karena dengan lewatnya tenggang waktu
untuk memenuhi kewajiban, seorang debitur tergolong lalai untuk memenuhi prestasinya.
24
R. Subekti, loc.cit.
25
Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h. 21.
30
Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya,
seperti yang diterangkan diatas, maka jika ia tetap tidak melaksanakan prestasinya, ia berada
dalam keadaan lalai atau alpa sehingga dapat dikatakan sebagai keadaan wanprestasi dan
terhadapnya ia dapat diperlakukan sanksi-sanksi yuridis sebagai akibat hukum dari padanya.
Sanksi-sanksi hukum sebagaimana dimaksud diatas disebutkan dalam Pasal 1243
KUHPerdata yang menentukan bahwa ”Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak
dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila si berhutang setelah dinyatakan
lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukan.”
Pengenaan biaya, rugi dan bunga dalam penyelesaian upaya hukum wanprestasi
merupakan salah satu bentuk dari akibat-akibat hukum yang ditimbulkan oleh wanprestasi itu
sendiri yang dalam hal ini terjadi di perusahaan pembiayaan.
Menurut Subekti tentang akibat hukum sebagai tanggung jawab debitur atas keadaan
wanprestasi tersebut adalah :
Pertama, kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian meskipun pelaksanaannya sudah
terlambat; Kedua, kreditur dapat meminta pengganti kerugian saja, yaitu kerugian yang
diterimanya karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan atau dilaksanakan tetapi
tidak sebagaimana mestinya; Ketiga, kreditur dapat menuntut pelaksanaan perjanjian
disertai dengan pengganti kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya
pelaksanaan perjanjian; Keempat, dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban
timbal balik, kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk meminta
kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan disertai dengan permintaan pengganti
kerugian.26
Lain halnya dengan Abdulkadir Muhammad yang memberikan akibat hukum bagi debitur
yang wanprestasi, dibagi menjadi lima (5), yaitu :
1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur.
2. Dalam perjanjian timbal balik wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada
pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hukum.
26
Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h. 147.
31
3. Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi. Ketentuan ini hanya
berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.
4. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim. Debitur yang terbukti
melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara.
5. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau membatalkan perjanjian
disertai dengan pembayaran ganti kerugian.27
Demikian pula halnya menurut Purwahid Patrik yang menyatakan bahwa debitur harus
bertanggung gugat tentang hal yang dapat dilakukan oleh kreditur menghadapi debitur yang
wanprestasi adalah sebagai berikut :
1. Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian.
2. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.
3. Dapat menuntut pengganti kerugian.
4. Dapat menuntut pembatalan dan pengganti kerugian.
5. Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian.28
Dari akibat hukum tersebut diatas, kreditur dapat memiliki diantara beberapa kemungkinan
tuntutan terhadap debitur yang melakukan wanprestasi, yaitu : dapat menuntut pemenuhan
perikatan; atau pemenuhan perikatan disertai dengan ganti kerugian; atau menuntut ganti
kerugian saja; atau menuntut pembatalan perjanjian lewat hakim; atau menuntut pembatalan
perjanjian disertai dengan ganti kerugian.
Akibat hukum wanprestasi menurut KUHPerdata diantaranya:
a. Membayar kerugian yang di derita oleh kreditur atau ganti rugi (Pasal 1243
KUHPerdata).
b. Pembatalan perjanjian melalui hakim (Pasal 1266 KUHPerdata).
27
Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h. 24.
28
Purwahid Patrik, op.cit, h. 12.
32
c. Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2)
KUHPerdata).
5.2 Indikator Debitur Wanprestasi Oleh Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar
Indikator penentuan wanprestasi yang dilakukan oleh seorang debitur dalam suatu
perusahaan pembiayaan konsumen hampir sama antara perusahaan pembiayaan satu dengan
yang lainnya. Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Putu Dharma Kurniawan
(CMO (Credit Marketing Officer) Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar) diketahui bahwa
terdapat beberapa permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan
konsumen pada Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar, yaitu sebagai berikut :
1. Debitur tidak memenuhi salah satu kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian,
yakni tidak membayar angsuran dengan lewatnya waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal jatuh temponya angsuran.
2. Debitur tidak menjaga dan merawat barang jaminan yakni sepeda motor dari
kemungkinan rusak atau hilang.
3. Debitur menjual, meminjamkan, atau melakukan hal-hal lain yang menyebabkan
beralihnya sepeda motor kepada pihak ketiga dengan bentuk dan cara apapun tanpa
sepengetahuan pihak kreditur, seperti misalnya sepeda motor biasanya diperuntukkan
untuk orang lain dimana jika suatu saat orang yang menggunakan sepeda motor
tersebut hilang bersama dengan sepeda motornya maka atas nama kredit biasanya
tidak mau bertanggung jawab terhadap angsurannya. (Wawancara pada hari Selasa,
20 September 2011)
Adapun ukuran yang dipakai untuk menentukan seorang debitur telah melakukan
wanprestasi pada Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar, masih menurut Bapak Putu Dharma
33
Kurniawan, (CMO (Credit Marketing Officer) Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar)
Denpasar antara lain :
1. Tidak dibayarnya angsuran hutang pembiayaan dengan lewatnya waktu 90 (sembilan
puluh) hari sejak tanggal jatuh temponya angsuran.
2. Sepeda motor digadaikan
3. Sepeda motor dibawa keluar daerah.
4. Dilakukan over kredit tanpa sepengetahuan pihak Suzuki Finance Cabang Denpasar.
(Wawancara pada hari Selasa, 20 September 2011)
Ketentuan terkait peringatan (SP) diterapkan sejak keterlambatan 30 hari pembayaran
oleh Suzuki Finance Cabang Denpasar sebelum menetapkan debiturnya Wanprestasi, hal ini
sesuai dengan pasal 1238 KUHPerdata. Indikator yang dijadikan menentukan wanprestasi juga
sejalan dengan KUHPerdata, yaitu apabila debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali setelah
diperingatkan, melakukan prestasi yang keliru dimana sepeda motor/objek jaminan digadaikan
atau dibawa keluar daerah atau dengan sengaja melakukan over kredit tanpa sepengetahuan
pihak Suzuki Finance Cabang Denpasar. Hal ini tidak hanya memenuhi unsur-unsur wanprestasi
namun juga perbuatan dengan etikad tidak baik seperti yang diwajibkan dalam pasal 1338
KUHPerdata, sehingga dapat juga dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (Pasal 1365
KUHPerdata) dan berakibat perjanjian batal demi hukum. Kreditur dapat dikenakan sanksi
pidana disamping upaya hukum perdata tetap dapat dilakukan dimuka pengadilan.
5.3 Penyelesaian Perusahaan Pembiayaan Konsumen Dalam Hal Debitur Wanprestasi
Pada Perusahaan Pembiayaan Konsumen
34
Dalam hal debitur atau konsumen melakukan wanprestasi pada Suzuki Finance Kantor
Cabang Denpasar seperti sudah dijelaskan diatas sebelumnya, perusahaan pembiayaan memiliki
upaya-upaya yang ditempuh untuk menyelesaikannya.
Untuk penyelesaian wanprestasi pada Suzuki Finance cabang Denpasar, Bapak Putu
Dharma Kurniawan (CMO (Credit Marketing Officer) Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar)
menjelaskan bahwa debitur pertama-tama akan di somasi atau diberikan SP (Surat Peringatan)
oleh Collector, dimana masing-masing sebagai berikut :
1. Surat Peringatan (SP) 1 diberikan kepada debitur yang terlambat melakukan
pembayaran selama 1 bulan atau 30 hari.
2. Surat Peringatan (SP) 2 diberikan kepada debitur yang terlambat melakukan
pembayaran selama 2 bulan atau 60 hari.
3. Surat Peringatan (SP) 3 diberikan kepada debitur yang terlambat melakukan
pembayaran selama 3 bulan atau 90 hari.
Jika dalam tenggang waktu 3 bulan atau 90 hari debitur tetap tidak bisa melakukan pembayaran,
maka kasusnya akan dilimpahkan ke Divisi PSO (Problem Solving Officer) yaitu divisi
penanganan debitur yang terlambat melakukan kewajiban selama 3 bulan keatas. Apabila dalam
penanganan PSO (Problem Solving Officer) debitur juga tidak bisa melakukan pembayaran,
maka unit dalam hal ini sepeda motor akan langsung diamankan oleh Divisi PSO (Problem
Solving Officer). Jika Divisi PSO (Problem Solving Officer) tidak sanggup melakukan penarikan
maka proses penarikannya akan dilakukan oleh Debt Collector (DC) yang notabene adalah
karyawan eksternal perusahaan (free lance). Dalam hal sepeda motor hilang karena debitur tidak
menjaganya dengan baik atau sepeda motor digadaikan tanpa sepengetahuan terlebih dahulu dari
pihak Suzuki Finance, maka pihak Suzuki Finance akan meminta bantuan kepada Debt Collector
35
(DC) untuk melakukan pencarian sepeda motor yang menjadi barang jaminan tersebut.
(Wawancara pada hari Selasa, 20 September 2011)
Yang perlu dikritisi disini adalah penggunaan jasa Debt Collector yang secara hukum
tidak berwenang untuk melakukan perbuatan penyitaan karena hal tersebut diberikan kepada
aparatur negara yaitu Juru Sita setelah perkaranya disidangkan, atau setelah permohonan
eksekusi dikabulkan hakim. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
menentukan pada pasal 65 :
(1) Jurusita bertugas:
a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;.
b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, protes-protes, dan
pemberitahuan putusan Pengadilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan
undang-undang;
c. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri;
d. membuat berita acara penyitaan, yang salinannya diserahkan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan.
(2) Jurusita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan.
Tanpa Juru Sita, maka penyitaan menjadi ilegal/tidak sah sehingga dapat dikategorikan sebagai
perbuatan perampasan yang diatur dalam Kitab Hukum Pidana Pasal 365 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Bagi konsumen pembiayaan hal ini dapat dijdikan dasar untuk menuntut balik,
sehingga akan merugikan dan menambah panjang proses penyelesaiannya.
36
BAB VI
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Indikator wanprestasi pada Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar antara lain :
a. Tidak dibayarnya angsuran hutang pembiayaan dengan lewatnya waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal jatuh temponya angsuran.
b. Sepeda motor digadaikan.
c. Sepeda motor dibawa keluar daerah.
d. Dilakukan over kredit tanpa sepengetahuan pihak Suzuki Finance.
2. Penyelesaian wanprestasi pada Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar diantaranya :
a. Menggunakan instrumen Surat Peringatan tiga kali berturut-turut selama 90 hari;
b. Pelimpahan kepada Divisi PSO (Problem Solving Officer);
c. Apabila PSO tidak dapat menarik barang modal, maka proses penarikannya akan
dilakukan oleh Debt Collector (DC).
5.2 Saran
1. Sebaiknya sedapat mungkin Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar menghindari adanya
wanprestasi karena akan merugikan dari segi waktu, tenaga dan biaya-biaya yang diperlukan
untuk pengurusan perkaranya. Wanprestasi dapat dihindari dengan kehati-hatian dalam
pembiayaan saat diajukannya permohonan oleh konsumen sampai dilakukan survey terhadap
modal yang akan diberikan, yang dalam bidang perbankan dikenal dengan prinsip 5C.
2. Sebaiknya Suzuki Finance Kantor Cabang Denpasar melaporkan ke Kepolisian sebagai pihak
yag berwenang menyelidiki hilangnya barang, atau perbuatan melanggar hukum khususnya
37
hukum pidana, tidak menggunakan jasa Debt Collector yang kebsahan perbuatan hukumnya
tidak sah karena melanggar ketentuan perundang-undangan/tidak berwenang dalam
penyitaan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abdulkadir Muhammad 1982, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung.
_______, 1990, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______, dan Rilda Murniati, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Achmad Icksan, 1967, Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta.
Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Munir Fuady, 1995, Hukum Tentang Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung.
R.M. Suryodiningrat, 1987, Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung.
R.M. Suryodiningrat, 1995, Azaz-Azaz Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung.
R. Setiawan, 1994, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.
R. Subekti, 1963, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukun Normatif, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Sunaryo, 2007, Hukum Lembaga Pembiayaan, Sinar Grafika, Jakarta.
_______, 2008, Hukum Lembaga Keuangan, Sinar Grafika, Jakarta.
Wirjono Projodikoro, 1985, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung.
Yahya Harahap, M., 1986, Segi-Segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung.
Peraturan Perudang-undangan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.010/2012 Tentang
Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan
Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 1251/KMK.013/1988 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 448/KMK.017/2000 tentang
Perusahaan Pembiayaan
Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Tim Visi Yustisia, 2015, Visi Media, Jakarta.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Tim Visi Yustisia, 2016, Visi Media, Jakarta.
LAMPIRAN 1. BIODATA PENELITI
A. Identitas Diri 1.
Nama Lengkap (dengan gelar) IDA BAGUS PUTU SUTAMA,SH.,M.Si L 2.
Jabatan Fungsional LEKTOR KEPALA 3.
Jabatan Struktural IV.a/PEMBINA 4.
NIP 195707131986011002 5.
NIDN 0013065706 6.
Tempat dan Tanggal Lahir DENPASAR 13 JULI 1957 7 Alamat Rumah JL.TANDAKAN NO.10 SANUR,
DENPASAR
8.
Nomor Telepon/Faks /HP 081936012646 9.
Alamat Kantor JL. PULAU BALI NO.1 DENPASAR 10 Nomor Telepon/Faks 0361222666 11 Alamat e-mail putu_gede@hotmail.com
12 Lulusan yang telah dihasilkan S-1= 1008 orang 13 Mata Kuliah yg diampu 1. HUKUM PERBANKAN
2. HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
B. Riwayat Pendidikan
Program S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi UNIVERSITAS
UDAYANA
UNIVERSITAS
HINDU INDONESIA
-
Bidang Ilmu HUKUM KAJIAN BUDAYA
DAN AGAMA
-
Tahun Masuk 1977 2006 -
Tahun Lulus 1983 2008 -
Judul Skripsi PERTANGGUNGANJA
WAB PIHAK KE III
DALAM PERJANJIAN
JAMINAN
PEMBIMBING
PERLINDUNGAN
SENI PATUNG
TRADISIONAL BALI
KAJIAN ESTETIKA
HINDU DAN
UNDANG-UDANG
HAK CIPTA
-
Nama Pembimbing DEWA MADE
SUKAWATI, SH
IDA BAGUS RAI
DJAJA, SH
PROF.DR. I PUTU
GELGEL,
SH.,M.HUM
IB. RADENDRA
SUASTAMA,
SH.,M.HUM
-
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
(Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)
No.
Tahun
Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jml (Juta Rp.)
1. 2016 PENCANTUMAN LABEL
BERBAHASA INDONESIA OLEH
PELAKU USAHA PADA PRODUK
PANGAN OLAHAN IMPOR YANG
MERUGIKAN KONSUMEN DALAM
PEMBANGUNAN ELEKTRONIK (E-
COMMERCE)
MANDIRI -
2. 2015 PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP NASABAH DALAM
TRANSAKSI PERBANKAN MELALUI
M-BANKING PADA BANK MANDIRI
KANTOR CABANG GAJAH MADA
DENPASAR
MANDIRI -
3. 2014 PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP NASABAH AKIBAT
PERUBAHAN MELAWAN HUKUM
OLEH BANK BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1999
MANDIRI -
4. 2013 TANGGUNG JAWAB PELAKU
USAHA ATAS KERUGIAN
KONSUMEN BERDASARKAN UU
PERLINDUNGAN KONSUMEN
MANDIRI -
5. 2012 PELAKSANAAN GADAI POLIS
ASURANSI JIWA SEBAGAI JAMINAN
PINJAMAN PADA PERUSAHAAN
ASURANSI DI DENPASAR
MANDIRI -
D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Tahun Judul Pengabdian
Kepada Masyaraka
Pendanaan Sumber Jml (Juta
Rp.) 1. 2016 MEMBERIKAN DISKUSI DAN
BANTUAN HUKUM PADA IDA BAGUS
RAI JANADAW TENTANG HAK- HAK
KONSUMEN
MANDIRI -
2. 2015 MEMBIRIKAN KONSULTASI DAN
BANTUAN HUKUM TENTANG TEKNIS
RUMUSAN TUNTUTAN PERCERAIAN
MANDIRI -
3. 2014 PENYULUHAN HUKUM
IMPLEMENTASI HAK-HAK NORMATIF
TENAGA KERJA
MANDIRI -
4. 2013 PENYULUHAN TENTANG SYARAT-
SYARAT SAHNYA PERKAWINAN DAN
PERCERAIAN SERTA AKIBAT
HUKUMNYA TERHADAP HAK
MEWARIS DI DESA PEGUYANGAN
KANGIN, DENPASAR.
MANDIRI -
5. 2012 SOSIALISASI PERANAN JAMINAN
DALAM PEMBERIAN KREDIT MODAL
KERJA OLEH KOPERASI KEPADA
WANITA YANG BERDAGANG DI
PASAR KABUPATEN BADUNG.
MANDIRI -
E. Pengalaman Penulisan Blok Book dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul Buku Tahun Jumlah Halaman
Penerbit
1. HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN 2015 64 FH. UNUD
2. HUKUM PERBANKAN 2014 48 FH. UNUD
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidak-
sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya. Denpasar, 18 Mei 2016 Pengusul,
Tanda tangan
& materai
Rp.6000
(IDA BAGUS PUTU SUTAMA, SH., M.Si)
NIP : 195707131986011002
top related