kode/nama rumpun ilmu : 596 / ilmu hukum laporan akhir
TRANSCRIPT
i
Kode/Nama Rumpun Ilmu : 596 / Ilmu Hukum
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DOSEN PEMULA
SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA TINDAK PIDANALINGKUNGAN HIDUP
(SUATU REORIENTASI TENTANG ASAS STRICT LIABILITY)
Oleh
Ketua : Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H., NIDN 0614127801Anggota : Dewi Tuti Muryati, S.H., M.H., NIDN 0612045801Anggota : Ani Triwati, S.H., M.H., NIDN 0628107401
BerdasarkanSurat Perjanjian Penugasan dalam Rangka Pelaksanaan Penugasan PenelitianDosen Pemula bagi Dosen Perguruan Tinggi Swasta Tahun Anggaran 2013
Nomor 012/SP2H/KL/KOPERTIS6/2013tanggal 27 Agustus 2013
UNIVERSITAS SEMARANGNOVEMBER, 2013
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Sistem Pertanggungjawaban Pidana padaTindak Pidana Lingkungan Hidup (SuatuReorientasi tentang Asas Strict Liability)
PenelitiKetuaa. Nama Lengkap : Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.b. NIDN : 0614127801c. Jabatan Fungsional : Asisten Ahlid. Program Studi : Ilmu Hukume. Nomor HP : 081390896644f. Alamat surel (e-mail) : [email protected] (1)a. Nama Lengkap : Dewi Tuti Muryati, S.H., M.H.b. NIDN : 0612045801c. Perguruan Tinggi : Universitas SemarangAnggota (2)a. Nama Lengkap : Ani Triwati, S.H., M.H.b. NIDN : 0628107401c. Perguruan Tinggi : Universitas Semarang
Penanggung Jawab : LPPM Universitas SemarangTahun Pelaksanaan : Tahun ke-1 dari rencana 1 tahunBiaya Keseluruhan : Rp. 12.500.000,- (dua belas juta lima ratus
ribu rupiah)
Semarang, 25 November 2013
iii
RINGKASAN
Dalam hukum pidana dikenal asas actus non facit reum, nisi mens sit rea,
atau asas tiada pidana tanpa kesalahan. Penerapan asas tersebut secara kaku akan
menyulitkan untuk pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, salah
satunya adalah dalam bidang lingkungan hidup. Oleh karena itu apabila korporasi
melakukan tindak pidana lingkungan hidup sehingga mengakibatkan pencemaran
atau perusakan lingkungan hidup yang berdampak membahayakan dan merugikan
bagi pihak lain, maka berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dengan penerapan asas
strict liability. Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang
terdapat dalam UUPPLH merupakan kebijakan legislasi yang memberikan
legitimasi bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan semata karena telah
melakukan perbuatan melawan hukum tanpa memperhatikan kesalahannya.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang
menitikberatkan pada data sekunder. Sebagai penelitian hukum normatif, maka
penelitian ini meliputi penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas hukum,
penemuan hukum in concreto dan sinkronisasi hukum, sehingga pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan yuridis-normatif, yaitu penelitian yang difokuskan
untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif.
Dengan demikian, pendekatan yuridis-normatif dalam penelitian digunakan untuk
menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan penerapan asas strict liability
untuk pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang
lingkungan hidup.
Kata kunci: pertanggungjawaban korporasi, asas strict liability, tindak pidana
lingkungan hidup.
iv
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin, Tim Peneliti panjatkan puji syukur
kehadiran Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penelitian dengan judul “ Sistem Pertanggungjawaban Pidana
pada Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Suatu Reorientasi tentang Asas
Strict Liability) ” ini dengan baik dan tepat waktu.
Laporan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para
pembaca guna menambah wacana mengenai apa yang menjadi substansi dalam
penelitian ini. Dengan demikian, secara umum hasil penelitian ini dapat
memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum pidana,
dan lebih khusus lagi sebagai bahan masukan kepada para praktisi hukum yang
bertugas menangani perkara pidana, dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan
lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai kebijakan hukum pidana
tentang pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana lingkungan hidup.
Menyadari bahwa penelitian ini terselesaikan berkat bantuan dari
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, maka pada
kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada :
1. Direkur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
yang telah menyetujui dan memberikan dana penelitian.
v
2. Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah yang telah meneruskan
dana penelitian melalui Kontrak Nomor 012/SP2H/KL/KOPERTIS6/2013
tanggal 27 Agustus 2013.
3. Rektor Universitas Semarang yang telah memberikan izin penelitian dan
berbagai fasilitas kepada penulis untuk berkarya.
4. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas
Semarang yang telah membantu segala hal yang berkaitan dengan
penelitian.
5. Dekan Fakultas Hukum Universitas Semarang yang telah memberikan izin
penelitian.
6. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah
mendukung terselesaikannya penelitian ini.
Kami menyadari akan segala kekurangan yang ada, yang tentunya sangat
mempengaruhi penelitian ini. Untuk itu, segala kritik dan saran yang bersifat
membangun dari berbagai pihak akan kami terima dengan senang hati, demi
kesempurnaan penelitian ini di kemudian hari.
Semarang, November 2013
Tim Peneliti
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ............................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………... ii
RINGKASAN .......................................................................................... iii
PRAKATA ............................................................................................... iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………………... vi
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................ 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………... 6
2.1. Landasan Pemahaman tentang Pertanggungjawaban Pidana
sebagai Suatu Sistem .......................................................... 6
2.2. Doktrin Strict Liability dalam Hukum Pidana ..................... 19
2.3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Lingkungan Hidup ........... 26
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................... 41
3.1. Tujuan Penelitian ................................................................. 41
3.2. Manfaat Penelitian ............................................................... 41
BAB 4. METODE PENELITIAN ………………………...................... . 43
4.1. Metode Pendekatan ............................................................. 44
4.2. Spesifikasi Penelitian .......................................................... 44
4.3. Metode Pengumpulan Data ................................................. 45
4.4. Metode Analisis Data .......................................................... 46
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 48
5.1. Kedudukan Korporasi sebagai Subjek Hukum (Pelaku Tindak
Pidana) dalam Bidang Lingkungan Hidup ........................... 48
vii
5.2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana terhadap Korporasi sebagai
Pelaku Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup berdasarkan
Asas Strict Liability .................................................................... 55
BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN ………………………............................ 65
6.1. Simpulan ...................................................................................... 65
6.2. Saran ............................................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………........... viii
LAMPIRAN …………………………………………………………….......... xi
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kebijakan menetapkan suatu sistem pertangungguangjawaban pidana
sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari
berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem
pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan
yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan
masyarakat. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli
Atmasasmita menyatakan sebagai berikut :
Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban”dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalambidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam AnIntroduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakanpendapatnya ”I …. Use the simple word “liability” for the situationwhereby one exact legally and otheris legally subjected to theexaction.1
Selanjutnya dikatakan oleh Romli Atmasasmita :
Dengan demikian konsep liability diartikan sebagai _reparationsehingga mengakibatkan perubahan arti konsepsi liability daricomposition for vengeance menjadi reparation for injury.Perubahan bentuk wujud ganti rugi dalam sejumlah uang kepada gantirugi dengan penjatuhan hukuman, secara historis merupakan awaldari liability atau “pertanggungjawaban”.2
Permasalahan mengenai pertanggungjawaban pidana oleh korporasi
1 Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama (Jakarta:Yayasan LBH, 1989), halaman 79.
2 Ibid., halaman 80.
2
dalam hukum pidana tidak lepas dari pro dan kontra. Hal ini tidak lepas dari
paradigma pertanggungjawaban pidana dalam KUHP yang bersifat individual,
yaitu tidak memberikan opsi selain manusia (naturalick person) sebagai subjek
hukum. Pada waktu dirumuskan, penyusun KUHP menerima asas universitas
delinquere non protest, yang artinya korporasi tidak mungkin melakukan tindak
pidana. Korporasi dipandang sebagai suatu fiksi hukum dalam lingkungan
keperdataan yang tidak cocok diambil alih dalam hukum pidana.
Konsekuensinya maka penentangan terhadap wacana mempertanggungjawabkan
korporasi dalam hukum pidana selalu mendapat pembenaran. Argumen tersebut
juga tidak lepas dari aliran-aliran alam hukum pidana, baik aliran klasik (daad
strafrecht), aliran modern (dader strafrecht) maupun aliran neoklasik (daad-
dader strafrecht) yang hanya melihat individu sebagai pelaku atau subjek hukum
sentral.
Penerapan pertanggungjawaban pidana oleh korporasi akan mendapat
kesulitan karena melekat pada sifat dasar manusia alamiah seperti kesengajaan
dan kealpaan, tingkah laku material, pidana dan tindakan. Pemidanaan terhadap
korporasi juga dapat merugikan orang yang tidak bersalah dan kemungkinan
kesulitan menentukan antara batas pengurus dan korporasi . Sementara itu
perkembangan kehidupan bermasyarakat terutama dalam bidang perekonomian
telah melahirkan korporasi-korporasi dengan semangat kapitalisme yang
bertujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya aspek
viktimologis dari kejahatan korporasi sangatlah besar yang dapat meliputi
kerugian terhadap negara, masyarakat, konsumen, perusahaan saingan,
3
karyawan, pemegang saham mapun biaya penegakan hukum yang mahal.
Memperhatikan dampak negatif dari pembangunan dan
modernisasi, khususnya munculnya tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi dalam bidang lingkungan hidup, wajar jika pusat perhatian
penegakan hukum ditujukan pada upaya penanggulangannya. Salah satu
penanggulangannya yang masih dipermasalahkan adalah penggunaan sarana
hukum pidana. Permasalahan tersebut meliputi subjek korporasi yang
masih belum diakui secara tegas dalam hukum pidana. Dan kalaupun korporasi
diakui sebagai pelaku tindak pidana, bagaimana sistem pertanggungjawaban
pidananya mengingat korporasi bukanlah manusia yang mempunyai kesalahan,
baik berupa kesengajaan maupun kealpaan.
Di samping permasalahan tersebut di atas (pertanggungjawaban
pidana korporasi /corporate liability), permasalahan dalam bentuk lain adalah
pembuktian bentuk-bentuk pelanggaran di bidang lingkungan hidup yang
sangat sulit dan kompleks. Untuk mengatasi kesulitan dan kompleksitas
pembuktian tersebut muncul alternatif lain dalam hal pertanggungjawaban
pidana, yakni adanya asas pertanggungjawaban pidana terbatas/ketat (strict
liability) sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Dalam asas strict liability si
pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan
sebagaimana dirumuskan dalam undang- undang tanpa melihat bagaimana
sikap batinnya. Asas itu sering diartikan secara singkat sebagai
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault).
Dengan demikian, asas strict liability di atas yakni mengenai subjek
4
delik dan mengenai asas kesalahan, di dalam perkembangannya mengalami
perluasan. Terhadap subjek delik, dengan adanya perkembangan masyarakat,
dituntut adanya pengakuan terhadap korporasi sebagai pelaku dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana (corporate liability).
Terhadap sistem pertanggungjawaban pidana, muncul asas strict liability
sebagai pengecualian dari asas kesalahan.
Munculnya sistem pertanggungjawaban pidana seperti tersebut di atas
tentu saja menimbulkan pertanyaan yang berkaitan dengan asas kesalahan
yang dianut hukum pidana selama ini. Harus diakui bahwa asas kesalahan
merupakan asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana sehingga asas
itu sangat penting dan dianggap adil dalam mempertanggungjawabkan pelaku
delik. Dikatakan demikian, karena pidana hanya dapat dijatuhkan
kepada pelaku delik yang mempunyai kesalahan dan mampu bertanggung
jawab. Namun di pihak lain, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
tampaknya penyimpangan terhadap asas kesalahan itu juga akan berpengaruh
terhadap hukum pidana. Apabila penyimpangan asas itu harus diterapkan,
akan timbul pertanyaan bagaimanakah perkembangan sistem
pertanggungjawaban pidana di era sekarang ini, bagaimana sistem
pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional, pertanggungjawaban
pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang.
Oleh karena itu hukum pidana harus responsif untuk menanggulangi
tindak pidana di bidang lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi dengan
menempatkannya sebagai subjek hukum dalam hukum pidana yang dapat
5
dipertanggungjawabkan sehingga memberikan efek jera (deterent effect). Harus
diakui pemidanaan terhadap pengurus korporasi sebagaimana dalam Pasal 59
KUHP tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap tindak pidana yang
dilakukan korporasi.
Berdasarkan pertimbangan, bahwa masih sedikit kajian atau penelitian
dan literatur mengenai sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi
dalam bidang lingkungan hidup berdasarkan perspektif pendekatan asas strict
liability sebagai alternatif bentuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi
(corporate liability) sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkugan hidup,
sekaligus sebagai respon atas keadaan di atas dengan tujuan melengkapi literatur
maka penelitian ini mendapatkan urgensinya. Penelitian yang komprehensif, dan
dilakukan berdasarkan kajian normatif ini diharapkan dapat memberikan
gambaran yang jelas mengenai asas strict liability sebagai alternatif bentuk
pertanggungjawaban pidana oleh korporasi (corporate liability) sebagai pelaku
tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
1.2. Rumusan Masalah
Bertolak dari hal tersebut jelas cakupannya sangat luas, guna
mencegah luasnya cakupan tersebut, dan untuk memudahkan pembahasan maka
permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan korporasi sebagai subjek hukum (pelaku
tindak pidana) dalam bidang lingkungan hidup?
2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi
sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan
asas strict liability?
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Pemahaman tentang Pertanggungjawaban Pidana
Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat
dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak
mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan
tindak pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam
menjatuhkan pidana unsur “tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana”
harus dipenuhi. Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:
Tindak Pidana + Pertanggungjawaban = Pidana
Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur
yang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam
lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum,
sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur
subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya
kesalahan (kesengajaan dan kealpaan). Sebelum membicarakan mengenai
pertanggungjawaban yang terletak di lapangan subjektif tersebut, terlebih
dahulu akan dibicarakan mengenai pengertian dan unsur-unsur tindak pidana.
7
2.1.1. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana
Di dalam pasal-pasal KUHP maupun Undang-Undang di luar
KUHP tidak ditemukan satu pun pengertian mengenai tindak pidana,
padahal pengertian tindak pidana itu sangat penting untuk dipahami agar
dapat diketahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur
tindak pidana tersebut merupakan indikator atau tolok ukur dalam
memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai
perbuatan pidana atau tidak. Apabila perbuatan seseorang telah
memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana, tentu ia dapat dipidana.
Demikian pula sebaliknya, jika unsur itu tidak dipenuhi, orang tersebut
tidak akan dipidana. Karena tidak terdapat di dalam perundang-undangan,
para ahli hukum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari
perbuatan pidana tersebut. Berikut akan diuraikan pendapat beberapa
ahli hukum tersebut.
Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut. Larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan
atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan
ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian
itu.3
3 Moljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Bina Aksara, 1984),
8
Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. 4 Dari definisi Simons
tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana terdiri
dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak
berbuat); (2) diancam dengan pidana; (3) melawan hukum; (4)
dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang yang mampu
bertanggung jawab.
Van Hamel menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan
manusia yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum
(patut atau bernilai untuk dipidana) dan dapat dicela karena
kesalahan.5
Dari definisi tersebut dapat dilihat unsur- unsurnya, yaitu (1)
perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; (2) melawan
hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut dipidana.
Selanjutnya Vos memberikan definisi singkat mengenai perbuatan
pidana yang disebutkan straafbaarfeit, yaitu kelakuan atau tingkah
laku manusia yang oleh peraturan perundang- undangan
diberikan pidana. Jadi, unsur-unsurnya adalah (1) kelakuan
halaman 54.4 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik), C etakan
Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), halaman 4.5 Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua (Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, 1990 ), halaman 41.
9
manusia; dan (2) diancam pidana dalam undang- undang.6
Sementara itu Pompe memberikan dua macam definisi terhadap
perbuatan pidana, yaitu yang bersifat teoretis dan yang bersifat
perundang-undangan. Menurut Pompe, dari segi definisi teoretis,
perbuatan pidana ialah pelanggaran normal/ kaidah/ tata hukum, yang
diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberikan
pidana itu dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan
kesejahteraan umum. Selanjutnya, menurut hukum positif, perbuatan
pidana ialah suatu peristiwa yang oleh undang- undang ditentukan
mengandung perbuatan dan pengabaian atau tidak berbuat. Tidak
berbuat biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan
bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta
itulah yang disebut uraian delik.7
Berdasarkan beberapa rumusan tentang pengertian perbuatan
pidana tersebut di atas, menurut hemat penulis, tepat apa yang
disimpulkan oleh Moljatno mengenai unsur atau elemen yang harus ada
dalam suatu perbuatan pidana. Unsur atau elemen tersebut adalah
sebagai berikut:
a) Kelakuan dan akibat (perbuatan).b) Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan.c) Keadaan tambahan yang memberatka pidana.d) Unsur melawan hukum yang objektif.e) Unsur melawan hukum yang subjektif. 8
6 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika,1995), halaman 225.
7 Ibid., halaman 226.8 Moeljatno, Op. Cit., halaman 63.
10
Lima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat
diklasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif
dan unsur pokok subjektif.
a. Unsur Pokok Objektif.
1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif
adalah sebagai berikut:
a) Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan
positif, dan
b) Ommission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga
perbuatan negatif.
2. Akibat perbuatan manusia.
Hal itu erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang
dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum,
misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/
harta benda, atau kehormatan.
3. Keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan.
Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas:
a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; dan
b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan.
4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.
Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan
yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan
11
hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan
dengan larangan atau perintah.
b. Unsur Pokok Subjektif
Asas pokok hukum pidana ialah “tak ada hukuman
kalau tak ada kesalahan” (an act does not make guilty unless
the mind is guilty, actus not facit reum nisi mens sit rea).
Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja
(intention/dolus/opzet) dan kealpaan (negligent/schuld).
1. Kesengajaan
Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu :
a. Kesengajaan sebagai maksud.
b. Kesengajaan dengan sadar kepastian
c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus
eventualis).
2. Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan
dari pada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu:
a. Tidak berhati-hati; dan
b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.9
9 Leden Marpaung, Op.Cit., halaman 6-7.
12
2.1.2. Perbuatan atau Tindakan
Perbuatan pidana dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif atau
positif, sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, misalnya,
mencuri atau menipu. Perbuatan demikian dinamakan delictum
commissionis. Ada juga ketentuan undang-undang yang mensyaratkan
kelakuan pasif atau negatif, seperti Pasal 164-165, 224, 523, 529, dan
631 KUHP. Delik-delik semacam itu terwujud dengan mengabaikan
apa yang diperintahkan oleh undang-undang untuk dilakukan yang
disebut Delictum omissionis. Di samping itu, ada juga delik yang dapat
diwujudkan dengan berbuat negatif yang dinamakan delicta commissionis
per omnissionem commissa. Delik demikian terdapat dalam Pasal 341
KUHP, yaitu seorang ibu dengan sengaja menghilangkan nyawa
anaknya dengan jalan tidak memberikannya makanan. Pasal 194 juga
mengandung delik demikian, yaitu seorang penjaga pintu kereta api yang
dengan sengaja tidak menutup pintu kereta api pada waktunya,
sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Apakah arti kelakuan atau tingkah laku manusia itu?
Beberapa ahli hukum telah mencoba memberikan pengertian
kelakuan atau tingkah laku tersebut. Pendapat Simons dan Van
Hamel mengenai kelakuan atau tingkah laku dapat dijumpai di
dalam beberapa literatur hukum pidana. Menurut Simons dan Van
Hamel, kelakuan (handeling) positif adalah gerakan otot yang
13
dikehendaki yang diadakan untuk menimbulkan suatu akibat.10
Rumusan “gerakan otot yang dikehendaki” itu ditentang oleh
Pompe. Menurut Pompe, bagaimanapun pentingnya gerakan otot itu jika
dipandang dari sudut psikologi, untuk hukum pidana dan ilmu hukum
pidana, hal itu tidak mempunyai arti. Ada kalanya untuk mengadakan
perbuatan pidana tidak diperlukan adanya gerakan otot, misalnya
Pasal 111 KUHP, yakni mengadakan hubungan dengan negara asing.
Hal itu cukup dilakukan dengan sikap badan atau pandangan mata
tertentu. Menurut Pompe, makna kelakuan dapat ditentukan dengan 3
ayat suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang, yang nampak
keluar, dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum.
Moeljatno tidak menyetujui pendapat Pompe tersebut
dengan menyatakan alasan sebagai berikut:
Apakah rumusan Pompe dapat kita terima? Hemat sayatidak. Sebab dengan demikian titik berat makna pengertiandiletakkan pada kejadian, yaitu akibatnya kelakuan, halmana justru kita pisahkan dari pengertian kelakuan. Lainhalnya kalau melihat formularing Mezger, yang di sampingadanya “Willens-grundlage” juga mensyaratkan adanya“gerakan jasmani beserta akibat-akibatnya”.11
Selanjutnya Moeljatno tidak memasukkan tiga macam aktivitas
ke dalam arti kelakuan, yaitu:
a. Sikap jasmani yang sama sekali pasif, yang tidakdikehendaki, karena orang itu dipaksa oleh orang lain(berada dalam daya paksa, Overmacht, compulsion.
b. Gerakan refleks; dan
10 Moeljatno, Op.Cit, halaman 83-87.11Ibid., halaman 84.
14
c. Sikap jasmani yang terwujud karena keadaan tak sadar,seperti mengigau, terhipnotis, dan mabuk.12
Akhirnya Moeljatno berkesimpulan bahwa pendapatnya
sesuai dengan pendapat Mezger, karena ketiga sikap jasmani tersebut
di atas tidak didukung oleh suatu kehendak atau terwujud bukan karena
bekerjanya kehendak. Beliau lebih menyetujui pendapat Vos, karena:
a. Pandangan Vos lebih mudah dipahami; dan
b. Pandangan Vos bukan hanya menyangkut kelakuan
positif, tetapi juga meliputi kelakuan negatif.
2.1.3. Unsur Melawan Hukum
Salah satu unsur perbuatan pidana adalah unsur sifat
melawan hukum. Unsur itu merupakan suatu penilaian objektif terhadap
perbuatan dan bukan terhadap si pembuat. Bilamana suatu perbuatan
itu dikatakan melawan hukum? Orang akan menjawab, apabila perbuatan
itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-
undang. Jawaban itu tidak salah. Akan tetapi, perbuatan yang
memenuhi rumusan delik itu tidak senantiasa bersifat melawan hukum.
Mungkin ada yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan
tersebut.
Contoh kasus menghilangkan sifat melawan hukum, yaitu (1) regu
tembak yang menembak mati seorang terhukum yang dijatuhi pidana
mati, memenuhi unsur-unsur Pasal 338 KUHP, akan tetapi perbuatan
mereka tidak melawan hukum karena mereka menjalankan perintah
12 Ibid., halaman 85.
15
jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP); (2) jaksa menahan orang
yang dicurigai telah melakukan kejahatan, ia tidak dapat dikatakan
melanggar pasal 333 KUHP karena ia melaksanakan undang-undang
sehingga tidak ada unsur sifat melawan hukum (Pasal 50 KUHP).
Pada umumnya para ahli hukum membagi sifat melawan hukum
itu ke dalam dua macam, yaitu :
a. sifat melawan hukum formil; dan
b. sifat melawan hukum materiel.
Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, yang dikatakan
melawan hukum apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua
unsur yang termuat dalam rumusan deilik. Jika ada alasan-alasan
pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas
dalam undang-undang. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama
dengan melawan undang-undang (hukum tertulis).
Menurut ajaran sifat melawan hukum materiel, di samping
memenuhi syarat-syarat formil, yaitu mencocoki semua unsur yang
tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau
tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan
pembenar di luar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan
pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.
Dari kedua ajaran tentang sifat melawan hukum tersebut
(formil dan materiel) dapat disimpulkan bahwa, apabila suatu perbuatan
16
itu memenuhi rumusan delik, itu merupakan tanda atau indikasi bahwa
perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi, sifat itu hapus
apabila diterobos dengan adanya alasan pembenar. Mereka yang
menganut ajaran sifat melawan hukum formil berpendapat bahwa alasan
pembenar itu hanya boleh diambil dari hukum positif yang tertulis,
sedangkan penganut ajaran sifat melawan hukum materiil
berpendapat bahwa alasan itu boleh diambil dari luar hukum yang
tertulis.
Moeljatno mengemukakan perbedaan pandangan yang
dengan pandangan formil adalah:
1. Mengakui adanya pengecualian/ penghapusan dari sifatmelawan hukumnya perbuatan menurut hukum yangtertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandanganyang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebutdalam undang-undang hanya mengakui pengecualianyang tersebut dalam undang-undang saja.
2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiapperbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannyatidak menyebut unsur-unsur tersebut; sedang bagipandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalumenjadi unsur deik. Hanya jika dalam rumusan delikdisebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsurdelik. 13
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu
menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu
harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum.
Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari
rumusan delik, yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut.
13 Ibid., halaman 134
17
Disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik
unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada
umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak
memuat unsur melawan hukum di dalam rumusannya.
Sifat melawan hukum materiel itu dapat dibedakan ke dalam dua
macam fungsi, yaitu :
a. Fungsi negatif; dan
b. Fungsi positif.
Ajaran sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang
negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-
undang mempunyai kekuatan menghapus sifat melawan hukumnya
perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang. Jadi, hal itu
sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum.
Pengertian sifat melawan hukum yang materiel dalam
fungsinya yang positif menganggap bahwa suatu perbuatan tetap
sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam
undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-
ukuran lain yang ada di luar undang-undang. Jadi, harus diakui
bahwa hukum yang tak tertulis merupakan sumber hukum positif.
2.1.4. Pengertian Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat
melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan
18
delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum
memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih
perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
Di sini berlaku apa yang disebut asas “Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan” (Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder schuld
atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa” di sini dalam arti luas,
meliputi juga kesengajaan). Asas ini tidak tercantum dalam KUHP
Indonesia atau dalam peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut
sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan,
apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sangat sekali tidak
bersalah.
Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan harus ada
kesalahan pada sipembuat. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang
telah disebutkan di atas mempunyai sejarahnya sendiri. Dalam
ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan dari hukum pidana
yang menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya
(Tatstrafrecht atau Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang berpijak
pada orang yang melakukan tindak pidana (taterstrafrecht), tanpa
meninggalkan sama sekali sifat dari Tatstrafrecht. Dengan demikian
hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai ”Tat-
Taterstrafrecht”, ialah hukum pidana yang berpijak pada perbuatan
maupun orangnya. Hukum pidana dewasa ini dapat pula disebut
19
sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa untuk penjatuhan pidana
disyaratkan adanya kesalahan pada sipembuat.
Dari apa yang telah disebutkan di atas, maka dapat
dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur, ialah:
a. Adanya kemampuan bertanggung jawabpada sipembuat (Schuldfahigkeit atauZurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa sipembuatharus normal.
b. Hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya,yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa):ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.
c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidakada alasan pemaaf.
Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa
dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggung jawab pidana,
sehingga bisa di pidana.14 Dalam pada itu harus diingatkan bahwa
untuk adanya kesalahan dalam arti seluas-luasnya
(pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus
dinyatakan lebih dulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.
2.2. Doktrin Strict Liability dalam Hukum Pidana
Strict Liability adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan
(liability without fault). Hal itu berarti bahwa si pembuat sudah dapat
dipidana jika ia telah melakukan perbuatan sebagaimana yang telah
dirumuskan dalam Undang- Undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya.
Konsep Strict liability merupakan penyimpangan dari asas kesalahan yang
14 Sudarto, op cit. halaman 91.
20
dirumuskan dalam pasal 38 ayat (1) RUU KUHP. Bunyi rumusannya adalah
sebagai berikut : “Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat
menentukan bahwa seseorang dapat di pidana semata- mata karena telah
dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya
kesalahan”.
Untuk memahami lebih jauh latar belakang dan alasan
dicantumkannya asas strict liability itu ke dalam konsep, dapat dilihat pada
penjelasannya berikut ini.:
Ketentuan dalam ayat ini merupakan suatu perkecualian terhadap asastiada pidana tanpa kesalahan. Oleh karena itu, tidak berlaku jugabagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk tindak pidanatertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidanatertentu tersebut, pembuat tindak pidananya telah dapat dipidanahanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana olehperbuatannya. Di sini kesalahan pembuat tindak pidana dalammelakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas inidikenal sebagai asas “strict liability”.
Strict liability ini pada awalnya berkembang dalam praktik peradilan di
Inggris. Sebagian hakim berpendapat asas mens- rea tidak dapat
dipertahankan lagi untuk setiap kasus pidana. Adalah tidak mungkin apabila
tetap berpegang teguh pada asas mens-rea untuk setiap kasus pidana dalam
ketentuan undang- undang modern sekarang ini. Oleh karena itu, perlu
dipertimbangkan untuk menerapkan strict liability terhadap kasus-kasus
tertentu. Praktek peradilan yang menerapkan strict liability itu ternyata
mempengaruhi legislatif dalam membuat undang-undang.
Sering dipersoalkan, apakah strict liability itu sama dengan
absolute liability. Mengenai hal itu ada dua pendapat. Pendapat pertama
21
menyatakan strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar
pemikirannya ialah seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang
(actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat
dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan
(mens rea) atau tidak. Jadi seseorang yang sudah melakukan perbuatan pidana
menurut rumusan undang-undang yang sudah melakukan perbuatan
pidana menurut rumusan undang-undang harus atau mutlak dapat dipidana.
Pendapat kedua menyatakan Strict liability bukan Absolute liability. Artinya,
orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak
harus atau belum tentu dipidana. Kedua pendapat itu antara lain, dikemukakan
juga oleh Smith dan Brian Hogan, yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief.
Ada dua alasan yang dikemukakan oleh mereka, yaitu :
a. Suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara Strictliability apabila tidak ada mens rea yang perlu dibuktikansebagai satu-satunya unsur untuk actus reus yang bersangkutan.Unsur utama atau unsur satu-satunya itu biasanya merupakansalah satu ciri utama, tetapi sama sekali tidak berarti bahwamens rea itu tidak disyaratkan sebagai unsur pokok yang tetap adauntuk tindak pidana itu. Misalnya, A dituduh melakukantindak pidana “menjual daging yang tidak layak untukdimakan karena membahayakan kesehatan atau jiwa oranglain”. Tindak pidana ini menurut hukum Inggris termasuktindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara strictliability. Dalam hal itu tidak perlu dibuktikan bahwa Amengetahui daging itu tidak layak untuk dikonsumsi, tetapitetap harus dibuktikan, bahwa sekurang-kurangnya A memangmenghendaki (sengaja) untuk menjual daging itu. Jadi jelasdalam hal itu Strict liability tidak bersifat absolut.
b. Dalam kasus-kasus strict liability memang tidak dapatdiajukan alasan pembelaan untuk “kenyataan khusus” (particularfact) yang menyatakan terlarang menurut undang- undang.Misalnya, dengan mengajukan “reasonable mistake”. Kitatetap dapat mengajukan alasan pembelaan untuk keadaan-keadaan lainnya. Contoh lain, misal dalam kasus “mengendarai
22
kendaraan yang membahayakan” (melampaui batas maksimum),dapat diajukan alasan pembelaan bahwa dalam mengenaikendaraan itu ia berada dalam keadaan automatism. Misal lain, Amabuk-mabukan di rumahnya sendiri. Akan tetapi dalamkeadaan tidak sadar (pingsan), A diangkat oleh kawan-kawannya dan diletakkan di jalan raya. Dalam hal itu memangada Strict liability, yaitu berada di jalan raya dalam keadaanmabuk, tetapi A dapat mengajukan pembelaan berdasarkanadanya compulsion. Jadi, dalam hal itu pun Strict liabilitybukanlah absolute liability.15
Di dalam Ilmu hukum pidana terdapat perbedaan pendapat
mengenai doktrin strict liability. Sebagian pendapat menyatakan bahwa
prinsip “tidak terdapat kesalahan sama sekali” harus dapat diterapkan,
kecuali apabila diterapkan kesalahan besar kepada si pelaku. Dipihak lain
menyatakan bahwa penerapan strict liability harus dibuat persyaratan yang
lebih ketat, tergantung dari kasus-kasus yang bersangkutan.16
Mardjono Reksodiputro dalam salah satu tulisannya memberikan jalan
keluar untuk membenarkan diterapkannya asas strict liability di Indonesia
yang menganut sistem Eropa Continental, yaitu :
Berhubung kita tidak mengenal ajaran Strict liability yang berasaldari system hukum Anglo-Amerika tersebut, maka sebagaialasan pembenar dapat dipergunakan ajaran feit materiel yang berasaldari system hukum Eropa Kontinental. Dalam kedua ajaran iniatidaklah penting adanya unsur kesalahan. Ajaran strict liabilityhanya dipergunakan untuk tindak pidana ringan (regulatoryoffences) yang hanya mengancam pidana denda, seperti padakebanyakan public welfare offences. Namun,karena kita telahmengambil alih konsep yang berasal dari system hukum yangberlainan akarnya kedalam system hukum di Indonesia, makamemerlukan ketekunan dari para ahli hukum pidana Indonesiauntukmenjelaskan konsep ini dengan mengkaitkannya pada asas-asas yang
15 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), halaman 132-133.
16 L. H . C Hulsman, Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif PerbandinganHukum Pidana, Penyadur, Soedjono Dirdjosisworo, (Jakarta; CV: Rajawali Pers, 1984), halaman56.
23
sudah melembaga dalam hukum pidana Indonesia. 17
Alasan senada juga dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang
menyatakan:
Karena strict liability ini sangat jauh menyimpang dari asas kesalahanmaka para ahli hukum pidana membatasi penerapannya hanya padadelik-delik tertentu saja. Kebanyakan strict liability terdapat padadelik-delik yang diatur dalam undang-undang (statutory offences;regulatory offences; mala prohibita) yang pada umumnya merupakandelik-delik terhadap kesejahteraan umum (public welfare offences).Termasuk regulatory offences misalnya penjualan makanan danminuman atau obat-obatan yang membahayakan, pencegahan terhadappolusi, penggunaan gambar dagang yang menyesatkan danpelanggaran lalulintas. 18
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pertimbangan untuk
menerapkan asas strict liability disamping perbuatannya membahayakan
masyarakat juga pembuktiannya yang sangat sulit. Kriteria membahayakan
masyarakat itu tidak mesti harus tindak pidana yang serius (real crime),
akan tetapi juga meliputi “regulatory offences” seperti pelanggaran lalulintas,
pencemaran lingkungan, makanan, minuman dan obat-obatan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan.
Muladi mengatakan bahwa “jika hukum pidana harus digunakan untuk
menghadapi masalah yang demikian rumitnya, sudah saatnya doktrin atas asas
strict liability digunakan dalam kasus-kasus pelanggaran terhadap peraturan
mengenai kesejahteraan umum”. Pembuktian kesalahan dalam
mempertanggungjawabkan pembuat bukan hal yang mudah. Jadi,
perumusan konsep strict liability dalam KUHP Indonesia merupakan jalan
17 Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan,PusatPelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. (Jakarta: Universitas Indonesia, 1994),halaman 32.
18 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, halaman 129.
24
pemecahan masalah kesulitan dalam pembuktian kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana.19 Lebih jauh Muladi mengatakan bahwa
perumusan strict liability dalam KUHP baru merupakan refleksi dalam menjaga
keseimbangan kepentingan sosial. Dengan demikian, strict liability
merupakan konsep yang digunakan dan diarahkan untuk memberikan
perlindungan sosial dalam menjaga kepentingan masyarakat terhadap aktivitas-
aktivitas yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, baik kerugian
fisik, ekonomi maupun social cost.20
Selanjutnya Barda Nawawi Arief memberikan kriteria batas- batas
yang harus diperhatikan apabila kita akan menerapkan asas strict liability
yang merupakan penyimpangan dari asas kesalahan. Batas-batas itu adalah:
1) Sejauh mana akibat-akibat yang ditimbulkan olehperkembangan delik-delik baru itu mengancam kepentinganumum yang sangat luas dan eksistensi pergaulan hidup sebagaitotalitas ?
2) Sejauh mana nilai-nilai keadilan berdasarkan Pancasilamembenarkan asas ketiadaan kesalahan sama sekali ? 21
Jadi inti masalahnya menurut Barda Nawawi Arief berkisar pada sejauh
mana makna kesalahan atau pertanggungjawaban pidana itu harus diperluas
dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan individu
dengan kepentingan masyarakat luas. Lebih jauh Barda Nawawi Arief
mengingatkan bahwa pertimbangan harus dilakukan dengan hati-hati sekali,
terlebih melakukan pelompatan yang drastis dari konsepsi kesalahan yang
19 Hamzah Hetrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 1996), halaman 38.
20 Ibid.21 Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori dan Kebijakan Pidana,( Bandung: Alumni, 1998),
halaman 141.
25
diperluas sedemikian rupa sampai pada konsepsi ketiadaan kesalahan
yang diperluas sedemikian rupa sampai pada konsepsi ketiadaan kesalahan
sama sekali. Hal yang terakhir itu merupakan akar yang paling dalam dari
nilai- nilai keadilan berdasarkan Pancasila.
Penerapan asas strict liability itu sangat penting terhadap kasus-kasus
tertentu yang menyangkut membahayakan sosial atau anti sosial,
membahayakan kesehatan dan keselamatan, serta moral public. Kasus-kasus
seperti pencemaran lingkungan hidup, perlindungan konsumen, serta yang
berkaitan dengan minuman keras, pemilikan senjata, dan pemilikan obat-
obatan terlarang, merupakan kasus yang sangat memungkinkan untuk
diterapkan strict liability.
Kasus pencemaran lingkungan, seperti kasus yang terjadi di Sidoarjo
sangat sulit bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan kesalahan
terdakwa. Hal itu disebabkan untuk membuktikan hubungan kausal antara
perbuatan dengan akibat yang ditimbulkan tidaklah mudah. Karena jaksa tidak
dapat membuktikan kesalahan tersebut, akhirnya terdakwa dibebaskan oleh
hakim. Kesulitan yang serupa itu banyak terjadi pada kasus-kasus
lingkungan yang lain. Padahal, akibat yang ditimbulkan sangat merugikan
masyarakat. Disitu tampak betapa urgennya penerapan asas strict liability.
Jadi penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan
tertentu dan terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan
strict liability crime, dapat dikemukakan patokan berikut :
1) Perbuatan itu tidak berlaku umum terhadap semua jenis
26
tindak pidana, tetapi sangat terbatas dan tertentu, terutama
mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan
sosial.
2) Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum
(unlawful) yang sangat bertentangan dengan kehati-hatian yang
diwajibkan hukum dan kepatutan.
3) Perbuatan tersebut dilarang dengan keras oleh undang- undang
karena dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang
sangat potensial mengandung bahaya kepada kesehatan,
keselamatan, dan moral publik (a particular activity
potential danger of public health,safety or moral).
4) Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan
dilakukan dengan cara melakukan pencegahan yang sangat wajar
(unreasonable precausions).
2.3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Lingkungan Hidup
Definisi tindak pidana menurut Moeljatno, adalah perbuatan yang oleh
suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.22 Sementara, disebutkan Simons menyatakan, bahwa
tindak pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan
sengaja ataupun tidak disengaja oleh seseorang yang dapat dipertangungjawabkan
22 Moeljatno, Op.Cit., halaman 54.
27
atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
perbuatanatau tindakan yang dapat dihukum.23 Berdasarkan kedua pendapat
tersebut, pandangan Simons lebih luas dari pada pandangan Moeljatno dimana
Simons disebutkannya tindakan yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Tindak pidana lingkungan hidup, mencakup perbuatan disengaja maupun
yang tidak disengaja. Definisi tindak pidana lingkungan hidup di dalam Undang-
Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH) tidak dapat ditemukan secara lengkap. Namun dapat dirujuk
kepada Pasal 97 UUPPLH yang menyebutkan bahwa, “Tindak pidana dalam
undang-undang ini merupakan kejahatan”. Ketentuan pidana sebagaimana diatur
dalam UUPPLH dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan
memberikan ancaman sanksi pidana. Untuk membahas tindak pidana lingkungan
tersebut perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang
ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delic genus) dan mendasari
pengkajiannya pada tindak pidana khususnya (delic species).
Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 98
UUPPLH sampai dengan Pasal 115 UUPPLH, melalui metode konstruksi hukum
dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan
yang dilarang) adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”. Rumusan ini
dikatakan sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk
menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam
ketentuan yang terdapat dalam UUPPLH maupun dalam ketentuan undang-
23 Ibid.
28
undang lain (ketentuan sektoral di luar UUPPLH) yang mengatur perlindungan
hukum pidana bagi lingkungan hidup. Kata “mencemarkan” dengan
“pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna
substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan. Tetapi
keduanya berbeda dalam memberikan penekanan mengenai suatu hal, yakni
dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif (kata benda) dalam proses
menimbulkan akibat.24
Pengertian secara otentik mengenai istilah “pencemaran lingkungan
hidup”, dicantumkan pada Pasal 1 angka 14 UUPPLH yang perumusannya
sebagai berikut: “Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan.”
Adapun unsur dari pengertian “pencemaran lingkungan hidup”
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 UUPPLH, yaitu:
1. masuknya atau dimasukkannya:
- makhluk hidup,
- zat,
- energi,dan atau
- komponen lain
24 Mudzakir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan, dalam ErmanRajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed), Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof.Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.,ML., (Jakarta Universitas Indonesia, 2001, ), halaman 527.
29
ke dalam lingkungan;
2. dilakukan oleh kegiatan manusia;
3. melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa penentuan
terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan
hidup. Baku mutu lingkungan berdasarkan Pasal 1 angka (13) UUPPLH, yaitu:
“ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada
atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.”.
Baku mutu lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH,
meliputi:
a. Baku mutu air;
b. Baku mutu air limbah;
c. Baku mutu air laut;
d. Baku mutu udara ambien;
e. Baku mutu emisi;
f. Baku mutu gangguan, dan
g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
30
Baku mutu air, baku mutu air laut, baku mutu udara ambien dan baku
mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diatur
dalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan baku mutu air limbah, baku mutu emisi,
baku mutu gangguan, diatur dalam peraturan menteri negara lingkungan hidup.
Penjelasan Pasal 20 ayat (2) UUPPLH, memberikan penjelasan terhadap
baku mutu tersebut, sebagai berikut:
- “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsurpencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
- “baku mutu air limbah” adalah ukuran batas atau kadar polutan yangditenggang untuk dimasukkan ke media air .
- “baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemaryang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.
- “baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat,energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsurpencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.
- “baku mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar polutan yangditenggang untuk dimasukkan ke media udara.
- “baku mutu gangguan” adalah ukuran batas unsur pencemar yangditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dankebauan.
Pengertian istilah “perusakan lingkungan hidup” secara otentik
dirumuskan dalam Pasal 1 angka 16 UUPPLH, yaitu “tindakan orang yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup.”.
31
Adapun unsur-unsur “perusakan lingkungan hidup”, sebagaimana
terkandung dalam Pasal 1 angka 16 UUPPLH, yaitu:
1. adanya tindakan;
2. menimbulkan:
- perubahan langsung atau
- tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan;
3. melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa untuk
menentukan terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup. Baku kerusakan lingkungan hidup, berdasarkan Pasal 1 angka
15 UUPPLH, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap
melestarikan fungsinya. Baku kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 21
ayat (2) UUPPLH, meliputi baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku
kerusakan akibat perubahan iklim. Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan
ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim, diatur dalam
peraturan pemerintah.
Kriteria baku kerusakan ekosistem menurut Pasal 21 ayat (3) UUPPLH,
meliputi:
a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengankebakaran hutan dan/atau lahan;
32
d. kriteria baku kerusakan mangrove;
e. kriteria baku kerusakan padang lamun;
f. kriteria baku kerusakan gambut;
g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selanjutnya, kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim menurut
Pasal 21 ayat (4) UUPPLH, didasarkan pada parameter antara lain:
a. kenaikan tempratur;
b. kenaikan muka air laut;
c. badai; dan/atau
d. kekeringan.
Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UUPPLH memberikan penjelasan terhadap
maksud “produksi biomassa”, “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi
biomassa”, “kriteria baku kerusakan terumbu karang”, dan “kerusakan lingkungan
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan”.
- “produksi biomassa” adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber dayatanah untuk menghasilkan biomassa.
- “kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa” adalah ukuranbatas perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitandengan kegiatan produksi biomassa. Kriteria baku kerusakan tanah untukproduksi biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan budi daya danhutan.
- “kriteria baku kerusakan terumbu karang” adalah ukuran batas perubahanfisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang.
- “kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutandan/atau lahan” adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yangberupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan
33
dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatuusaha dan/atau kegiatan.
Memperhatikan, uraian terdahulu tampak bahwa teknik perumusan
tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dalam UUPPLH
tidak lagi luas dan abstrak, sebagaimana tercantum dalam UUPLH. Rumusan
dalam UUPPLH dapat memberi ruang gerak bagi penegak hukum (hakim) untuk
melakukan inovasi hukum dalam menafsirkan hukum pidana lingkungan hidup
guna merespon perkembangan yang terjadi dalam masyarakat di bidang
lingkungan hidup karena ia (hakim) mempunyai semangat dan kepedulian untuk
menegakkan hukum dan keadilan dalam melindungi lingkungan hidup. Atau, juga
dapat menyulitkan penegak hukum pidana lingkungan, sebab jika aparat
penenegak hukum (termasuk hakim) tidak peka dalam merespon perkembangan
yang terjadi di dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup, dapat memberi
peluang bagi penegak hukum untuk menyelewengkan hukum untuk kepentingan
lain (“kepentingan pribadi”).
Perumusan tindak pidana pencemaran dan atau kerusakan lingkungan
berdasarkan UUPPLH, tidak lagi abstrak dan luas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 (UUPLH), karena UUPPLH telah
memberikan kata kunci bagi tindak pidana dan atau kerusakan lingkungan, yaitu:
“melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan” atau “melampaui
kriteria baku kerusakan lingkungan”.
Ketentuan Pidana dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal
97 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Ketentuan Pasal 97 UUPPLH,
34
menyatakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH,
merupakan kejahatan. Kejahatan disebut sebagai“rechtsdelicten” yaitu tindakan-
tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya
memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum, walaupun
tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan sebagai
tindakan yang terlarang di dalam undang-undang. Kejahatan (rechtsdelicten)
merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yaitu yang tidak tergantung
dari suatu ketentuan hukum pidana, tetapi dalam kesadaran bathin manusia
dirasakan bahwa perbuatan itu tidak adil, dengan kata lain kejahatan merupakan
perbuatan tercela dan pembuatnya patut dipidana (dihukum) menurut masyarakat
tanpa memperhatikan undang-undang pidana.
Terkait dengan tindak pidana lingkungan yang dinyatakan sebagai
kejahatan (rechtsdelicten), maka perbuatan tersebut dipandang sebagai secara
esensial bertentangan dengan tertib hukum atau perbuatan yang bertentangan
dengan (membahayakan) kepentingan hukum., pelanggaran hukum yang
dilakukan menyangkut pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta keharusan untuk melaksanakan kewajiban memelihara lingkungan
hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan
hidup.
Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 98 UUPPLH
– 115 UUPPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat
perbuatan, dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan. Tindak
pidana materiil memerlukan (perlu terlebih dahulu dibuktikan) adanya akibat dalam
35
hal ini terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.Tindak pidana
formal, tidak memerlukan adanya akibat, namun jika telah melanggar rumusan
ketentuan pidana (ketentuan peraturan perundang-undangan), maka telah dapat
dinyatakan sebagai telah terjadi tindak pidana dan karenanya pelaku dapat dijatuhi
hukuman. Tindak pidana formal dapat digunakan untuk memperkuat sistem tindak
pidana materiil jika tindak pidana materiil tersebut tidak berhasil mencapai target
bagi pelaku yang melakukan tindak pidana yang berskala ecological impact.
Artinya tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku tindak pidana
lingkungan yang sulit ditemukan bukti-bukti kausalitasnya.Tindak pidana formal
ini tidak diperlukan akibat (terjadinya pencemaran dan atau perusakan
lingkungan) yang timbul, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan sebab
akibat (causality) dari suatu tindak pidana lingkungan. Hal yang perlu diketahui
dalam tindak pidana formal dalam UUPPLH, yaitu, seseorang telah melakukan
pelanggaran atas peraturan perundang-undangan atau izin.
Ketentuan Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2),
(3) UUPPLH, jika di simak lebih lanjut mengandung makna selain termasuk delik
formal juga delik materiil. Pasal 98 ayat (2), (3) UUPPLH dan Pasal 99 ayat (2),
(3) UUPPLH mengatur bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas
perbuatannya yang melanggar baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut, atau kriteria kerusakan lingkungan, sehingga orang luka dan/atau bahaya
kesehatan manusia, atau mengakibatkan orang luka berat atau mati. Dalam kasus
ini harus dibuktikan hubungan sebab akibat antara perbuatan pelanggaran baku
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria kerusakan
36
lingkungan tersebut dengan terjadinya orang luka dan/atau bahaya kesehatan
manusia atau luka berat atau kematian. Akan tetapi, jika ternyata tidak terbukti
bahwa terjadinya pelanggaran baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut atau kriteria kerusakan lingkungan menyebabkan orang luka dan atau
bahaya kesehatan manusia atau luka berat atau kematian, maka pelaku dibebaskan
dari tindak pidana materiil, namun ia tetap harus bertanggungjawab atas
perbuatannya karena melanggar tindak pidana formal.
Terkait dengan tindak pidana yang selain mengandung delik formal dan
materiil, Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tersebut hendaknya
mendakwakan pelaku dengan dakwaan alternatif dan kumulatif. Artinya, jika
dakwaan berdasarkan tindak pidana materiil tidak berhasil dibuktikan, maka
dakwaan berdasarkan tindak pidana formal dapat dilakukan.
Tindak pidana lingkungan hidup dapat pula ditelaah terhadap pasal-pasal
dalam UUPPLH 2009, dimana dalam Pasal 60 disebutkan, “Setiap orang dilarang
melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa
izin”. Kemudian dapat diambil lagi ketentuan dalam Pasal 69 ayat (1) disebutkan
bahwa setiap orang dilarang:
1. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atauperusakan lingkungan hidup;
2. Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan RepublikIndonesia;
4. Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia;
5. Membuang limbah ke media lingkungan hidup;
37
6. Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;7. Melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;8. Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;9. Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal;
dan/atau10. Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi,11. merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
Berdasarkan Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) di atas, dapat dipahami
bahwa tindak pidana lingkungan hidup itu merupakan perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang dalam konteks “mencemarkan atau merusak
lingkungan”.Mencemarkan atau merusak lingkungan, menurut Alvi Syahrin,25
merupakan genus atau rumusan umum, mejadi species atau rumusan khususnya
dapat dilihat dari berbagai ketentuan di dalam pasal-pasal UUPPLH 2009.
Merujuk pada Pasal 69 ayat (1) di atas, dalam angka 1 disebutkan
”melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup”. Inilah yang disebut dengan genus tindak pidana lingkungan
hidup. Akan tetapi mulai dari angka 2 sampai dengan angka 10 merupakan species
tidank pidana lingkungan hidup.
Sampai pada penafsiran di dalam Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1),
Pasal 100 ayat (1), Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal
106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113,
Pasal 114, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan
25 Alvi Syahrin., Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: Sofmedia,2009), halaman 19.
38
Pasal 120 UUPPLH , merupakan ketentuan yang menggariskan species-species
tindak pidana lingkungan hidup tersebut.
Berdasarkan Pasal 98 sampai dengan Pasal 120 di atas, dapat diketahui
bentuk-bentuk tindak pidana yang dikenal di dalam UUPPLH. Dalam Pasal 98
ayat (1), disebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan
yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku
mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.
Dalam Pasal 99 ayat (1): Setiap orang yang karena kelalaiannya
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu
air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Pasal 100 ayat (1): Setiap
orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu
gangguan dipidana. Pasal 101: Setiap orang yang melepaskan dan/atau
mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan. Pasal
102: Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin. Pasal 103:
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan.
Dalam Pasal 104: Setiap orang yang melakukan dumping limbah
dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Pasal 105: Setiap orang
yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pasal 106: Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 107: Setiap orang yang
memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam
39
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 108: Setiap orang yang
melakukan pembakaran Lahan. Pasal 109: Setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan. Pasal 110: Setiap orang yang
menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal. Pasal 111
ayat (1): Pejabat pemberi izin lingku ngan yang menerbitkan izin lingkungan
tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL.
Dalam Pasal 112: Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak
melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan tanpa izin lingkungan. Pasal
113: Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang
tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan
hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam Pasal 114: Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Pasal 115: Setiap orang yang
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan
tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai
negeri sipil.
Pasal 116 ayat (1): Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan
oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana
dijatuhkan kepada:
40
a. Badan usaha; dan/atau
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam
tindak pidana tersebut.
Semua ketentuan di atas, merupakan bentuk-bentuk tindak pidana di
dalam lingkungan hidup. Bentuk-bentuk tindak pidana lingkungan hidup di atas,
selalu diawali dengan kalimat “setiap orang”, artinya adalah bahwa hanya orang
lah yang dapat dipidana walupun dalam UUPPLH dikenal adanya badan hukum
atau korporasi akan tetapi tidak disebutkan kalimat yang diawali dengan “setiap
badan hukum” atau setiap korporasi”. Logikanya adalah mana bisa mungkin suatu
lembaga organisasi atau badan hukum atau badan usaha atau korporasi dapat
dipidana secara fisiknya, melainkan pengurus-pengurusnya lah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
41
BAB 3
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, baik secara teoritis maupun praktis. Adapun tujuan penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui kedudukan korporasi sebagai subjek hukum (pelaku
tindak pidana) dalam bidang lingkungan hidup.
2. Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi
sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan asas
strict liability.
3.2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk kepentingan teoretis dan
kepentingan praktis.
1. Manfaat teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan, khususnya hukum pidana
dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi
sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan asas
strict liability.
42
2. Manfaat praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi aparat penegak hukum untuk memperluas wacana mengenai
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak
pidana di bidang lingkungan hidup berdasarkan asas strict liability. Bagi
penentu kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
dalam menetapkan kebijakan mengenai formulasi dan penerapan pidana
dalam rangka melengkapi dan penyempurnaan peraturan perundangan
mengenai pidana.
43
BAB 4
METODE PENELITIAN
Perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan, mensyaratkan dan
memutlakkan adanya suatu kegiatan penelitian. Tanpa penelitian itu ilmu
pengetahuan tidak dapat hidup dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Tetapi
lebih dinamis lagi penelitian juga berfungsi dan bertujuan inventif, yakni terus-
menerus lagi memperbaharui lagi kesimpulan dari teori yang telah diterima
berdasarkan fakta-fakta. Tanpa penelitian ilmu pengetahuan akan berhenti ,
bahkan akan surut kebelakang.26 Oleh karena itu di dalam setiap penelitian
diperlukan suatu tata cara yang nantinya akan digunakan untuk meneliti objek
penelitian. Proses yang demikian inilah yang disebut dengan Metodologi
Penelitian.
Dengan demikian, metodologi merupakan perencanaan penelitian terhadap
objek yang diteliti. Biasanya objek tersebut adalah berupa fakta empiris yang
terjadi dalam masyarakat, yang kemudian akan dikaji secara metodis dan disusun
secara sistematis kemudian diuraikan secara logis dan analitis. Dari semua
penelitian ini akan mendapatkan suatu pemecahan masalah atau mendapatkan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, sehingga hasil yang diharapkan
dapat benar-benar terwujud dalam suatu penyusunan karya ilmiah atas dasar hasil
penelitian.
26 Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:Kanisius, 1990), halaman 11.
44
Adapun metode-metode yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
4.1. Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian
yang menitikberatkan pada data sekunder. Sebagai penelitian hukum normatif,
maka penelitian ini meliputi penelitian inventarisasi hukum positif, asas-asas
hukum, penemuan hukum in concreto dan sinkronisasi hokum,27 sehingga
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penal. Sebagai pendekatan penal,
maka dapat dikatakan penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif.
Pendekatan yuridis-normatif digunakan untuk menganalisis permasalahan yang
berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana
lingkungan hidup, yang dikaji melalui asas Strict Liability.
4.2. Spesifikasi Penelitian
Bertitik-tolak dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian ini,
maka penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif- analitis, yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku / hukum positif
dikaitkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif dalam
masyarakat. Penelitian deskriptif merupakan penelitian untuk memecahkan
masalah yang ada pada masa sekarang (masalah aktual) dengan mengumpulkan
27 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, cet III,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), halaman 22-23.
45
data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis dan mengintepretasikannya.28
Dengan demikian, dari penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai
sistem pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana lingkungan hidup dengan
melakukan reorientasi tentang asas strict liability sebagai bentuk
pertanggungjawaban pidana.
4.3. Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka
metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan atau
dokumen (library research). Studi kepustakaan dilakukan terhadap data sekunder,
yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh
tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-
data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum yang terdiri
dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan Perundang-undangan seperti :
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/ KUHP);
- Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindugan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL
28 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002), halaman 36.
46
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti :
a. Buku-buku hukum dan non hukum yang berkaitan dengan objek
yang diteliti.
b. Hasil-hasil penelitian maupun literatur lainnya yang berkaitan
dengan obyek penelitian..
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan mengenai bahan hukum primer dan tersier seperti :
a. Kamus Hukum
b. Kamus Besar Bahasa Indonesia
c. Ensiklopedi, majalah-majalah hukum, jurnal-jurnal hukum, surat
kabar serta membaca berkas-berkas lainnya yang dianggap relevan
dengan penelitian ini, yang kemudian dilakukan inventarisasi
sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan.
4.4. Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif kemudian diidentifikasi serta
dilakukan kategorisasi. Analisis kualitatif yaitu metode analisis yang pada
47
dasarnya menggunakan pemikiran logis, analisis dengan logika29. Dengan induksi,
deduksi, analogilinterpretasi, komparasi dan sejenis itu.30 Metode berpikir yang
digunakan adalah metode deduktif yaitu dengan berdasarkan pada dasar
pengetahuan yang bersifat umum untuk mengkaji persoalan-persoalan yang
bersifat khusus. Dari hasil analisis tersebut kemudian akan ditarik kesimpulan
sebagai jawaban atas permasalahan yang ada.
29 Analisis kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis analitis (lihat M.Sommers, Logika, (Bandung: Alumni,1992), halaman 2, demikian pula Jujun S. Suriasumantri,Filsafat Ilmu-Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), halaman 43.
30 Tatang A. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986),halama 95. Menurut Niles dan Huberman, langkah-langkah ini untuk menganalisis data meliputipengumpulan data, reduksi data, display data dan perumusan kesimpulan. (Lihat Esmi Warassih,“Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Humaniora, Kompilasi makalah Pelatihan MetodologiPenelitian Ilmu Sosial, Bagian Hukum dan Masyarakat”, (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP,1999), halama 51-52. Lihat pula : Matthrew B. Mikles & A. Michael Huberman, Analisis DataKualitatif, terj. Tjetjep Rehendy Rohidi, (Jakarta: UI Press, 1992), halaman 15-21.
48
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kedudukan Korporasi sebagai Subjek Hukum (Pelaku Tindak Pidana)
dalam Bidang Lingkungan Hidup
Korporasi dalam hukum pidana umum, belum dimasukkan sebagai
subyek hukum. Pandangan tentang subyek hukum pidana di bidang hukum
pidana umum yang hanya terbatas pada orang pribadi, tidak dapat dilepaskan
dengan sejarah pembentukan WvS Nederland tahun 1881, dimana pada
dasarnya hanya manusia dapat dipandang sebagai subyek hukum pidana. Hal ni
dapat diketahui dari :
a. Memory van Toelichting Pasal 51 WvS Nederland (Pasal 59KUHP): suatu strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusiadan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku dalam bidang hukumpidana.
b. Uraian delik dalam banyaak pasal WvS selalu dimulai dengan“Barang Siapa” dan sering disyaratkan adanya berbagai faktormanusia, seperti sengaja dan lalai, faktor mana hanya dapatdimiliki oleh manusia.
c. Sistem pidana terdiri dari pidana kekayaan dan pidana badanhanyalah dapat dikenakan terhadap manusia.
d. Hukum acara pidana tidak mengandung ketentuan tatacaraterhadap korporasi.31
Di Belanda telah terjadi pergeseran pandangan sehubungan dengan
ketentuan tentang korporasi sebagai subyek hukum pidana, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 51 WvS Nederland berdasarkan Undang-undang tanggal 23
31 Andi Zaenal Abidin , Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita,1993), halaman 51.
49
Mei 1990. Dalam Pasal 51 ditentukan :
1. There are two categories of criminal offender : natural persons andjuristic persons.
2. Where a criminal offence is committed by juristic person,criminal proceedings may be instituted and such penalties andmeasures as are prescribe by law, where applicable, may beimposed :a. against the juristic person; orb. against those who have ordered the commission of the
criminal offense, and against those in control of such unlawfulbehavior; or
c. against the persons mentioned under a and b jointly. 32
Manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum. Dalam lalu lintas hukum
diperlukan sesuatu hal lain yang bukan manusia yang menjadi subyek hukum. Di
samping orang dikenal juga subyek hukum yang bukan manusia yang disebut
badan hukum. Badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang
mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Negara
dan perseroan terbatas misalnya adalah organisasi atau kelompok manusia yang
merupakan badan hukum (Korporasi). Korporasi sebagai pembawa hak yang tak
berjiwa dapat bertindak sebagai pembawa hak manusia, misalnya: dapat
melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas
dari kekayaan anggota-anggotanya.
Bedanya subyek hukum orang dengan subyek hukum badan hukum adalah
bahwa badan hukum itu tidak dapat melakukan perkawinan dan tidak dapat
dipidana penjara. Penentuan atau perluasan badan hukum sebagai subyek hukum
adalah karena sesuatu kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan, perekonomian
dan keamanan negara, yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan
32 Ibid.
50
ilmu pengetahuan manusia. Namun pada hakekatnya, manusialah yang merasakan
atau menderita pemidanaan itu. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa subyek
hukum baik orang maupun korporasi adalah segala sesuatu yang dapat
memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban.
Seiring dengan perkembangan masyarakat, dirasa sangat perlu untuk
menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana agar dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana apabila melakukan kejahatan, supaya korporasi
dalam menjalankan usahanya tidak melakukan tindakan-tindakan yang
melanggar ketentuan hukum dan merugikan masyarakat umum. Oleh karena
itu, pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana berikut
pertanggungjawaban pidananya ditempatkan di luar KUHP agar dapat
mengakomodir pengaturan seperti tersebut di atas, dan tentu saja dengan tetap
mengacu pada KUHP sebagai pedoman umum.
Pada umumnya tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia
atau orang pribadi. Oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenal
orang seorang atau kelompok orang sebagai subyek hukum, yaitu sebagai
pelaku dari suatu tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dalam perumusan pasal-
pasal KUHP yang dimulai dengan kata “barangsiapa” yang secara umum
mengacu kepada orang atau manusia. Dengan melihat gejala pelanggaran hukum
yang dapat dilakukan oleh suatu badan hukum yang merugikan masyarakat, maka
kedudukan badan hukum mulai diperhatikan tidak saja menjadi subjek hukum
perdata, tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana, sehingga dapat dituntut
dan dijatuhi hukuman atau sanksi pidana.
51
Secara umum, baik dalam sistem hukum common law maupun civil law,
sangat sulit untuk dapat mengartikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus
atau guilty act), serta membuktikan unsur mens rea (criminal act). Oleh karena
itu, kejahatan korporasi memiliki karakteristik yang lebih khusus dari pada
kejahatan perorangan, karena kejahatan korporasi lebih bersifat abstrak untuk
menyangka dan menuntut subjek hukum yang melakukan kejahatan korporasi
tersebut.33 Bukan saja tindak pidana dalam UUPPLH 2009 namun seluruh tindak
pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang
kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal
liability.
Apabila meninjau pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH
Pidana) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang
perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Selain itu,
KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan
hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.34 Jadi,
dasar pemikiran yang digunakan oleh KUH Pidana itu adalah bahwa kejahatan
tidak dapat dilakukan oleh sebuah korporasi, karena walaupun tindak pidana
33 Korporasi di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungandan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikenal sebagai subjek hukum yang dapatdipertanggungjawabkan seperti layaknya manusia alamiah, yang mempertanggungjawabkan ituadalah orang-orang sebagai pengurus korporasi itu sendiri. Unsur-unsur kejahatan korporasi adalahsebagai berikut:1. Tindak pidana korporasi dilakukan oleh pengurus dan atau pegawai yang melaksanakan
pekerjaannya atas nama korporasi.2. Pertanggung jawaban dibebankan kepada korporasi dan pengurus korporasi secara
langsung atau pun tidak langsung.3. Motif tindak kejahatan korporasi untuk mencapai kebutuhan, keuntungan dan tujuan
korporasi.4. Tindak kejahatan korporasi terkait ke dalam bidang hukum pidana, hukum perdata dan hukum
administrasi.5. Beban pembuktian dan sangsi memiliki karakteristik khusus.
34 Ibid., halaman 70.
52
tersebut dilakukan oleh korporasi, tetapi tindak pidana tetap dilakukan oleh orang
persorangan atau legal persoon.
Perlu diketahui bahwa, pembuat undang-undang dalam merumuskan
delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam
atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya
(seperti dalam hukum lingkungan hidup), yang akan lahir sebagai satu kesatuan
yang diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi.
Oleh karena itu, dalam KUH Pidana, pembuat undang-undang dapat merujuk
pada pengurus atau komisaris korporasi apabila mereka berhadapan dengan
situasi seperti itu.
Sehubungan dengan itu, mengingat Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia belum mengatur secara tersurat mengenai tindak kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi, maka tindak pidana korporasi dalam bidang lingkungan
hidup di Indonesia, dapat menggunakan undang-undang yang lebih khusus, yaitu
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009).
Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana pada tindak pidana lingkungan hidup
ditegaskan dalam Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu “Setiap orang adalah
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum”. Apabila diterjemahkan lebih jauh bahwa subjek hukum
dimaksud dalam Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009 ini adalah orang, badan
53
hukum, dan tidak berbadan hukum. Berbadan hukum dan tidak berbadan hukum
maksudnya adalah korporasi. Maka, subjek tindak pidana yang dimaksud dalam
hal ini adalah korporasi. Perlu diketahui, bahwa seseorang atau badan hukum atau
suatu korporasi yang melakukan kejahatan dapat digolongkan ke dalam dua
kategori, yaitu tindakan yang merupakan mala in se atau perbuatan yang
merupakan mala in prohibita. Tindakan yang termasuk mala in se, adalah
perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidak ada peraturan yang
melarangnya misalnya mencuri, menipu, membunuh, dan sebagainya.
Sedangkan perbuatan yang merupakan mala in prohibita adalah perbuatan yang
dinyatakan melanggar hukum apabila ada aturan yang melarangnya misalnya
aturan-aturan lalu lintas.35
Selain dari pada korporasi yang diatur sebagai subjek hukum
dalam hukum lingkungan, juga diatur hal-hal yang berkenaan dengan
pertanggungjawaban mutlak, dimana bahwa pertanggungjawaban mutlak ini
tidak diatur di dalam KUH Pidana sebagai lex generalis. Karena hukum pidana
masih menggunakan pertanggungjawaban dengan kesalahan, sementara
pertanggungjawaban mutlak ini menggunakan asas pertanggungjawaban tanpa
kesalahan. Jadi, kesalahan di dalam hukum lingkungan tidak mesti harus
dibuktikan ada atau tidaknya kesalahan si pembuat.
Mengenai hal tersebut di atas, UUPPLH 2009, sebagai lex spesialis,
bukan merupakan suatu penyimpangan asas akan tetapi merupakan
penyempurnaan terhadap asas umum, sebab kejahatan di bidang lingkungan
35 T. Suhaimi., Pertanggungjawaban Pidana Direksi, (Bandung: BooksTerrace &Library, 2010), halaman 32.
54
hidup tersebut saat ini dikategotikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra
oridnary crime) sehingga penanganannya harus dilakukan luar biasa termasuk
dalam hal pengaturannya ada hal-hal yang dikecualikan dari asas-asas yang
berlaku umum.
Kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009
merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP
Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU
No. 32 Tahun 2009. Dalam hal ini, pertanggungjawaban pidana (criminal
liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah
(instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara
berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya,
akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan.
Kejahatan lingkungan yang didefinisikan di dalam undang-undang ini hanyalah
kerusakan lingkungan hidup yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (16) UU No.
32 Tahun 2009, yaitu Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik
dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi
dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Korporasi dijadikan sebagai subjek hukum pidana merupakan kebijakan
legislatif dalam produk perundang-undangan dewasa ini. Hal ini sejalan dengan
perkembangan dunia internasional dan pendapat para sarjana yang secara teoritis
mengatakan bahwa korporasi dapat diterima sebagai subjek hukum pidana (bukan
lagi suatu fiksi).
55
5.2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana terhadap Korporasi sebagai Pelaku
Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup berdasarkan Asas Strict
Liability
Sejalan dengan perkembangan dunia internasional (salah satunya adalah
International Meeting of Experts on the Use of Criminal Sanction in ‘The
Protection of Enviropment, Internationally, Domestically and Regionally,
Portland, Oregon, USA, 19-23 March 1994) menempatkan korporasi sebagai
subjek tindak pidana. Dalam pertemuan dirumuskan mengenai
pertanggungjawaban korporasi (Legal entity liability) yang ditentukan sebagai
berikut:
1. Delik-delik yang dirumuskan dalam generic crimes dan specificcrimes dapat dipertanggungjawabkan terhadap seseorang individumaupun korporasi, dengan ketentuan bahwa delik itu dilakukandalam rangka pelaksanaan kegiatan organisiasi (korporasi) itu;
2. Pertanggungjawaban korporasi terjadi apabilaa. ada kesalahan manajemen dari koorporasi itu dan telah
terjadi generic crimes; ataub. ada pelanggaran peraturan atau ketentuan undang-undang oleh
korporasi itu.3. Pertangungjawaban korporasi dikenakan juga pada
pertanggungjawaban perseorangan dan manajer, petugas, agen,karyawan atau pelayan dan korporasi itu.
4. Pertanggunigjawaban korporasi diterapkan tanpa memperhatikanapakah orang atau individu yang melakukan perbuatan atas namakorporasi itu telah diidentifikasikan, telah dituntut atau telahdipidana atau tidak; dan
5. Semua sanksi, kecuali sanksi pidana penjara, dapat dikenakan kepadakorporasi.36
36 Beberapa Hasil International Meeting Of Expert On The Use Of Criminal SanctionIn the Protections Of Environment, Internationally, Domestically and Regionally, Portland,Oregon, USA, 19-23 March 1994, diisarikan oleh Barda Nawawi Arief, “Bahan PenataranHukum Pidana dan Kriminologi”, Semarang, 3-15 Desember 1995, halaman 6 – 7.
56
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana korporasi dikenakan kepada:
1. Badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain;
2. Mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau
yang bertindak sebagai pemimpin dalmn perbuatan itu; atau
3. Kedua-duanya yaitu korporasi dan pengurus.
Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi saat ini
masih berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini
dikarenakan tidak dianutnya prinsip korporasi sebagai subjek tindak pidana
dalam KUHP yang berlaku sekarang, karena subjek tindak pidana yang diatur
dalam KUHP sekarang hanyalah manusia atau orang perorangan. Pengaturan
semacam ini lebih lanjut membawa konsekuensi yuridis berupa hanya orang
perorangan saja yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana dan
dijatuhi pidana, sedangkan korporasi tidak. Seiring dengan adanya kebijakan
legislatif yang mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum pidana
seyogyanya diatur pula ketentuan secara rinci yang berkaitan dengan
permasalahan sistem pemidanaan (pertanggungjawaban pidana korporasi).
Dalam hukum pidana ada asas kulpabilitas, sehingga harus dibuktikan
bahwa seseorang bisa dipidana apabila memang terbukti bersalah. Artinya tidak
bisa secara otomatis sanksi pidana dialihkan dari corporate crime menjadi
personal crime. Dalam hukum pidana, mutlak harus dibuktikan adanya niat
untuk melakukan perbuatan pidana. Inilah yang dimaksud asas mens rea
(guilty mind) sebagaimana dikatakan oleh Stevanus.“an act is a crime because
the perso committing it intended to do something wrong, This mental state is
57
generally referred to as Mens rea”.37
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) korporasi pada tindak
pidana lingkungan hidup di Indonesia belum pernah terlaksana. Padahal konsep
ini sangat baik untuk menjaga keberlangsungan hidup masyarakat yang menjadi
korban. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Bab XII
(Penyelesaian Sengketa Lingkungan), Bagian Ketiga (Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan), Paragraf 2, Pasal 88 secara jelas
mendefinisikan asas strict liability dengan tanggung jawab mutlak. Pasal tersebut
berbunyi: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab
mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak”
atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini sebagai lex
specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan hukum pada umumnya.
Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak
lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu, yang
dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan
peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau
37 Rufinus, Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi melaluiPendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), halaman 56.
58
kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
Rumusan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 secara jelas bersifat
khusus karena unsur-unsurnya telah secara khusus menunjuk kepada hal atau
syarat tertentu sehingga dapat diidentifikasi atau digolongkan ke dalam bentuk
pertanggungjawaban tertentu. Unsur-unsur yang bersifat khusus yang
mencirikan pertanggungjawaban khusus itu ialah strict liability yang ciri
utamanya antara lain timbulnya tanggung jawab langsung dan seketika pada saat
terjadinya perbuatan, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan unsur kesalahan
(fault, schuld). Dengan demikian pihak penggugat yang mengalami kerugian
(injured party) masih harus membuktikan bahwa kerugian yang dialami
diakibatkan oleh perbuatan atau kegiatan tergugat (atau para tergugat). Hal ini
diistilahkan dengan pembuktian causal link (kausalitas) atau hubungan sebab
akibat. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Green Paper on
Remedying Environmental Damage sebagai berikut: “Strict liability or liability
without fault, eases the burden of establishing liability because fault need not to
be established. However, the injured party must still prove that the damage was
caused by some one’s act…”.
Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 mengandung beberapa unsur penting,
yaitu:
a. Setiap orang
b. yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan
B3,
c. menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang
59
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
d. bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi
e. tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan
Berdasarkan unsur-unsur di atas, unsur d) dan e) dapat diinterpretasikan
sebagai suatu pengertian yang tampaknya belum umum dalam perangkat-
perangkat hukum Indonesia. Dalam pengertian (logika) hukum yang umum
bahwa tidaklah mungkin untuk menentukan seseorang bertanggung jawab pada
suatu hal yang merugikan seseorang, sebelum ia dinyatakan bersalah. Artinya
seseorang tidak dapat dibebankan kewajiban bertanggung jawab kecuali kalau
bukan atas dasar kesalahan (fault) sebagaimana dengan prinsip dari “Tortious
Liability”.
Di dalam strict liability, seseorang bertanggung jawab kapanpun
kerugian timbul. Hal ini berarti bahwa: Pertama, para korban dilepaskan dari
beban berat untuk membuktikan adanya hubungan kausal antara kerugiannya
dengan tindakan indivual tergugat; Kedua, para “potential polluter” akan
memperhatikan baik tingkat kehati-hatiannya (level of care), maupun tingkat
kegiatannya (level of activity). Dua hal ini merupakan kelebihan strict liability
dari konsep kesalahan. Oleh karena sifat khasnya yang tegas dan keras, maka
strict liability tidaklah dapat dikenakan kepada semua kegiatan. Hanya kegiatan-
kegiatan tertentu saja yang dapat dikenakan strict liability. Pertimbangan
untuk menentukan ruang lingkup strict liability :
60
1. Tingkat risiko (the degree of risk); dalam hal ini risiko
dianggap tinggi apabila tidak dapat dijangkau oleh upaya yang
lazim, menurut kemampuan teknologi yang telah ada;
2. Tingkat bahaya (the gravity of harm); dalam hal ini bahaya
dianggap sangat sulit untuk dicegah pada saat mulai terjadinya;
3. Tingkat kelayakan upaya pencegahan (the appropriateness);
dalam hal ini si penanggung jawab harus menunjukkan upaya
maksimal untuk mencegah terjadinya akibat yang menimbulkan
kerugian pada pihak lain;
4. Pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatannya (value of
activity); dalam hal ini pertimbangan risiko dan manfaat
kegiatan telah dilakukan secara memadai sehingga dapat
diperkirakan bahwa keuntungan yang diperoleh akan lebih besar
jika dibandingkan dengan ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan
untuk mencegah timbulnya bahaya.
Strict liability atau absolute liability atau yang disebut juga dengan
pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no-fault liability or liability without fault)
adalah prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya
kesalahan. Menurut Barda Nawawi Arief sering dipersoalkan, apakah strict
liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute
liability. Alasan atau dasar pemikirannya ialah, bahwa dalam perkara strict
61
liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus)
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa
mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak.
Jadi sesorang yang sudah melakukan tindak pidana menurut rumusan undang-
undang harus/mutlak dapat dipidana.38
Pendapat kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absolute
liability, artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut
undang-undang tidak harus/belum tentu dipidana. Menurut doktrin strict liability
(pertanggungjawaban mutlak), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan
untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada
kesalahan (mens rea).39
Dalam lapangan hukum pidana, Prinsip tanggung jawab mutlak (strict
liability), prinsip ini menegaskan pembuktian kesalahan berdasarkan sistem
hukum Eropa Kontinental. Sebagai konsep yang berakar dari sistem hukum Anglo
saxon, pembuktian ini lebih mudah dan cenderung praktis dibandingkan dengan
sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut oleh Indonesia. Pemidanaan
haruslah dapat dilihat dari dipertanggungjawabkan perbuatan seseorang. Dengan
demikian pertanggungjawaban pidana selalu selalu tertuju pada pembuat tindak
pidana tersebut. Pertanggungjawaban pidana ditujukan kepada pembuat (dader).
Maka apabila orang yang melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban
haruslah dikenakan kepada para pelaku. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat
38 Barda Nawawi Arief , Op.Cit., halaman 40.39 Ibid.
62
terjadi jika sebelumnya subyek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana.
Sedangkan didalam sistem hukum Common law system, berlaku asas “actus non
est reus, nisi mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat
kriminal jika “tidak terdapat kehendak jahat” didalamnya. Dengan demikian,
dalam sistem common law system, bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkan
seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens
rea pada diri seseorang tersebut. Dengan demikian, mens rea yang hal ini dapat
kita lihat dari rujukan sistem hukum Civil law, atau dengan kata lain dapat kita
sinkronkan dengan ajaran “guilty of mind”, merupakan hal yang menentukan
pertanggungjawban pembuat tindak pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan mens
rea dalam common law sistem, pada prinsipnya sejalan dengan penerapan asas
“tiada pidana tanpa kesalahan” dalam civil law sistem.
Berdasarkan hal di atas, maka secara prinsip penggunaan doktrin “mens
rea” dalam sistem hukum common law sejalan dengan asas “geen straf zonder
schul beginsel” dalam sistem hukum civil law. Maka untuk menentukan kesalahan
dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder
schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, (aqua means rea atau “kehendak
jahat”). Prinsip ini kemudian dinegasikan Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak
(strict liability). Pembuktian tidak semata-mata dilihat apakah pelaku (dader)
melakukan tindak pidana yang dituduhkan melakukan kesalahan atau tidak, tapi
beban pembuktian langsung mutlak dibebankan terhadap pelaku (dader) terhadap
kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengna sumber daya alam (termasuk
kejahatan lingkungan hidup). Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
63
dibebankan kepada perusahaan lingkungan hidup yang nyata-nyata melakukan
kesalahan/kelalaian dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian,
maka pembuktian menjadi sederhana dan mudah diterapkan. Pembuktian ini
praktis sehingga tidak perlu memenuhi unsur yang dituduhkan kepada pelaku
(dader). Berangkat dari prinsip ini, praktis kejahatan yang berkaitan dengan
lingkungan hidup lebih banyak dibebankan kepada perusahaan. Kasus Lapindo
sebagai contoh merupakan sebuah peristiwa yang menarik. Berlarut-larutnya
pemeriksaan kasus Lapindo dan tarik menarik antara Kepolisian dan Kejaksaan
dan belum juga dinyatakan lengkap (P21), berangkat dari pemahaman penegak
hukum yang tidak menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict
liability). Sikap ngototnya penegak hukum untuk melihat keterlibatan pelaku
(dader) kemudian terjebak dengan hak-hal yang bersifat teknis yang sulit
pembuktiannya. Padahal dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak
mutlak (strict liability), maka tidak perlu dibuktikan, apakah para pelaku (dader)
melakukan perbuatan itu atau tidak, tapi penegak hukum bisa membuktikan,
bahwa karena kesalahan atau kelalaian dari Lapindo, menyebabkan bencana.
Dengan pembuktian yang sederhana ini, maka kasus Lapindo bisa disidangkan
dimuka hukum. Dan korporasi yang bertanggung jawab dalam bencana Lapindo
dapat dipersalahkan dan pertanggungjawaban pidana.
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) inilah salah satu solusi
untuk menyelesaikan berbagai kejahatan baik kesengajaan ataupun kelalaian dari
korporasi lingkungan hidup. Prinsip tanggung jawab mutlak mutlak (strict
64
liability) merupakan prinsip yang sederhana dan pembuktian yang mudah
menyebabkan berbagai kejahatan di berbagai dunia dapat diselesaikan.
65
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka
kami tim peneliti dapat menyimpulkan hasil penelitian sebagai berikut :
6.1.1. Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana pada tindak pidana lingkungan
hidup ditegaskan dalam Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu
“Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Apabila
diterjemahkan lebih jauh bahwa subjek hukum dimaksud dalam Pasal
1 angka 32 UUPPLH 2009 ini adalah orang, badan hukum, dan tidak
berbadan hukum. Berbadan hukum dan tidak berbadan hukum
maksudnya adalah korporasi. Maka subjek tindak pidana yang
dimaksud dalam hal ini adalah korporasi.
6.1.2. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
pada Bab XII (Penyelesaian Sengketa Lingkungan), Bagian Ketiga
(Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan),
Paragraf 2, Pasal 88 secara jelas mendefinisikan asas strict liability
66
dengan tanggung jawab mutlak. Pasal tersebut berbunyi: “Setiap
orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa
perlu pembuktian unsur kesalahan.” Selanjutnya dalam penjelasan
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dirumuskan
bahwa yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict
liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini
sebagai lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan
hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat
dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup
menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu, yang
dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut
penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan
asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah
tersedia dana lingkungan hidup.
6.2. Saran
Harus diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan yang
menentukan korporasi sebagai subjek tindak pidana mengenai kapan suatu
67
korporasi dapat dikatakan melakukan tindak pidana. Demikian juga halnya
dengan ketentuan mengenai siapa yang dapat dituntut dan dijatuhi
pidana atas kejahatan yang dilakukan korporasi harus diatur secara
tegas, agar supaya korporasi tidak dapat mengelak atas kejahatan yang
dilakukannya dengan berlindung dibalik pengurus korporasi.
1
viii
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku-Buku
Amirin, Tatang A. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali,1986.
Abidin, Andi Zaenal. Bunga Rampai Hukum Pidana. Jakarta: PradnyaParamita, 1983.
Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PTRajagrafindo Persada, 2002.
Atmasasmita, Romli. Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, CetakanPertama. Jakarta: Yayasan LBH, 1989.
Bakker, Anton., dan Ahmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian FilsafatYogyakarta: Kanisius, 1990.
Farid, A. Zainal Abidin. Hukum Pidana I, Cetakan Pertama. Jakarta: SinarGrafika, 1995.
Hetrik, Hamzah. Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam HukumPidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada , 1996.
Hulsman, L. H . C, Sistem Peradilan Pidana dalam PerspektifPerbandingan Hukum Pidana, Penyadur, Soedjono Dirdjosisworo,(Jakarta; CV: Rajawali Pers.
Hutauruk, Rufinus Hotmaulana. Penanggulangan Kejahatan Korporasimelalui Pendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum. Jakarta:Sinar Grafika, 2013.
Mikles, Matthrew B. & A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif, terj.Tjetjep Rehendy Rohidi. Jakarta: UI Press, 1992
Moljatno. Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua. Jakarta: Bina Aksara,1984.
Marpaung, Leden. Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Deik),Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 1991.
Mudzakir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan, dalamErman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed), HukumLingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi
ix
Hardjasoemantri, SH.,ML. Jakarta: Universitas Indonesia, 2001.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:Alumni, 1998.
Reksodiputro, Mardjono. Kemajuan Pembangunan Ekonomi danKejahatan, PusatPelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum.Jakarta: Universitas Indonesia, 1994.
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri,Cetakan III. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Sommers, M. Logika. Bandung: Alumni, 1992.
Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua. Semarang: Yayasan SudartoFakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990.
Suhaimi, T. Pertanggungjawaban Pidana Direksi. Bandung: BooksTerrace & Library, 2010.
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2002.
Suriasumantri Jujun S. Filsafat Ilmu-Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Syahrin, Alvi. Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan. Medan:Sofmedia, 2009.
Warassih, Esmi. “Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Humaniora, Kompilasimakalah Pelatihan Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, BagianHukum dan Masyarakat”. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP,1999.
b. Peraturan Perundang-undangan
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang PeraturanHukum Pidana (KUHP). Jakarta, 1946.
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentangPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta, 2009.
x
Sekretariat Negara RI. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentangAnalisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta, 1999
c. RUU KUHP :
Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 1999-2000, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia TentangKitab Undang-Undang Hukum Pidana.
xi
LAMPIRAN
Lampiran 1. Biodata Ketua dan Anggota Peneliti
1.1 Biodata Ketua Peneliti
1.1.1. Identitas Diri
No. Biodata Uraian
1. Nama Lengkap (dengan gelar) Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.
2. Jabatan Fungsional Asisten Ahli / III b
3. Jabatan Struktural Kepala Lab. FH-USM (2012-1016)
4. NIS / NIDN 06557003801049 / 0614127801
5. Tempat dan Tanggal Lahir Sorong / 14 Desember 1978
6. Alamat Rumah Jl. Sidoluhur VII No. 11 Tlogosari
Semarang
7. No. Telepon/Faks./HP 081390896644
8. Alamat e-mail [email protected]
9. Mata Kuliah yang Diampu 1. Hukum Pidana
2. Hukum Pidana Lanjut
3. Kriminologi
4. Hukum dan HAM
5. Kebijakan Kriminal
10. Riwayat Pendidikan S-1 S-2
Fakultas Hukum-
UII Yogyakarta
Magister
Hukum-UII
Yogyakarta
xii
1.1.2. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jumlah
(Rp)
1. 2009 Penerapan Sanksi Pidana dan
Tindakan sebagai Sistem
Pemidanaan (Studi Kasus di
Pengadilan Negeri Semarang)
USM 2.500.000,-
2. 2010 Abortus Provocatus Pada
Korban Perkosaan dalam
Perspektif Hukum Pidana
(Suatu Kajian Normatif)
USM 2.500.000,-
Kebijakan Penerapan
Sanksi Pidana Penjara
terhadap Perempuan Pelaku
Tindak Pidana dalam
Hukum Positif
USM 2.500.000,-
3. 2011 Implikasi Ketentuan Tindak
Pidana Korupsi terhadap
Kontrak Jasa Konstruksi
LPJKD
Semarang
34.000.000,-
Implikasi Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004
berkaitan dengan
Pemanggilan Notaris 0leh
Penyidik Polri di Jawa
Tengah
DEPKUMHAM
Kanwil Jawa
Tengah
35.000.000,-
Sistem Pemidanaan USM 2.500.000,-
xiii
terhadap Pelaku
Pelanggaran Hak Cipta
(Studi Kasus di Pengadilan
Negeri Semarang)
4. 2012 Fungsionalisasi Lembaga
Praperadilan dalam Perkara
Pidana : Suatu Kajian
Normatif
USM 2.500.000,-
Perlindungan Hukum bagi
Konsumen dalam
Perjanjian Pembiayaan
Konsumen (Suatu Kajian
Normatif)
USM 2.500.000,-
5. 2013 Kebijakan Hukum Pidana
tentang Formulasi Sanksi
Pidana pada Tindak Pidana
Narkotika : Suatu Kajian
Normatif
USM 2.500.000,-
Kebijakan Formulasi
Hukum Pidana Terhadap
Keadilan Restorasi dan
Diversi Menurut UU No.11
Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
USM 2.500.000,-
xiv
1.1.3. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun
Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Pendanaan
Sumber Jumlah
(Rp)
1. 2009 Penyuluhan Hukum tentang Sosialisasi
Pemilihan Umum 2009 di Kelurahan
Bugangan Kecamatan Semarang Timur
USM 1.500.000,-
Penyuluhan Hukum tentang Sosialisasi
Pemilihan Umum 2009 di Kelurahan
Mlatiharjo Kecamatan Semarang Timur
USM 1.500.000,-
2. 2010 Penyuluhan Hukum tentang PenghapusanKekerasan Dalam Rumah Tangga di RW. 10Kelurahan Pudak Payung KecamatanSemarang Selatan
USM 1.500.000,-
Penyuluhan Hukum tentang PenghapusanKekerasan Dalam Rumah Tangga di RT.08RW. 06 Kelurahan Pedalangan KecamatanBanyumanik
USM 1.500.000,-
3. 2011 Peningkatan Pemahaman Masyarakat
tentang Perlindungan bagi Anak di
Kelurahan Mlatiharjo, Kecamatan Semarang
Timur, Kota Semarang
USM 1.500.000,-
Penyuluhan Hukum tentang Tindak Pidana
Pengguguran Kandungan (Abortus
Provocatus) pada Korban Perkosaan di
Kelurahan Mlatiharjo, Kecamatan Semarang
TimurKota Semarang
USM 1.500.000,-
xv
4. 2012 Penyuluhan Hukum tentang Kenakalan
Remaja di Kelurahan Lumansari, Kecamatan
Keguh, Kota Kendal
Mandiri
Penyuluhan Hukum tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga di
Kelurahan Tembalang, Kecamatan
Tembalang, Kota Semarang
Mandiri
Peningkatan Pemahaman Masyarakat
mengenai Aspek Hukum Pidana tentang
Tawuran Pelajar
USM 1.500.000,
5. 2013 Peningkatan Pemahaman Siswa SMA
Kesatrian 2 Semarang mengenai
Pelanggaran Lalu Lintas dan Sanksi
Hukumnya.
USM 1.500.000,
Semarang,25 November 2013
Ketua Tim Peneliti,
Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.NIS: 06557003801049
xvi
2.2. Biodata Anggota Peneliti 1
2.2.1. Identitas Diri
1. Nama Lengkap (dengan gelar) : Dewi Tuti Muryati,S.H.,M.H.
2. Jabatan Fungsional : Lektor/ IIIc
3. Jabatan Struktural : -
4. NIS/NIDN : 06557003801003 /0612045801
5. Tempat dan Tanggal Lahir : Kudus, 12 April 1958
6. Alamat Rumah : Jl. Gombel Permai XV/456 Semarang
7. Nomor Telepon/Faks/HP : 081805824489
8. Alamat e-mail : [email protected]
9. Mata Kuliah yang Diampu : 1. Hukum Lingkungan
2. Hukum Bisnis
3. Penyelesaian Sengketa di LuarPengadilan
4. Hukum Perusahaan
5. Hukum Persaingan Usaha
10. Riwayat Pendidikan : 1. S1 Fak. Hukum UNDIP
2. S2 Magister Ilmu Hukum UNDIP
xvii
2.2.2. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir
No Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jml. (Rp)
1 2009 Implementasi KebijakanLingkungan Hidup DalamAktivitas Industri di KotaSemarang (sebagai ketua).
USM 2.500.000
2 2010 Efektifitas Pelaksanaan SunsetPolicy dalam MeningkatkanKepatuhan Wajib Pajak diKota Semarang (sebagaianggota).
USM 2.500.000
3 2010 Penerapan Konsep TanggungJawab Sosial Perusahaandalam Kebijakan Korporasi(sebagai ketua).
USM 2.500.000
4 2011 Kajian Normatif PenerapanFungsi Pajak sebagaiInstrumen PelindungLingkungan Hidup padaPeraturan Daerah Pajak AirTanah dan Pajak MineralBukan Logam dan Batuan diKota Semarang (sebagaianggota).
USM 2.500.000
5 2011 Implikasi Ketentuan TindakPidana Korupsi TerhadapKontrak Jasa Konstruksi(sebagai ketua).
LPJKDSemarang
34.000.000
6 2011 Penyelesaian Sengketa BidangPerdagangan melaluiMekanisme Nonlitigasi(sebagai ketua).
USM 2.500.000
7 2011 Pelaksanaan Tugas danWewenang Badan
USM 2.500.000
xviii
Penyelesaian SengketaKonsumen Berdasarkan UUNo. 8 Th. 1999 tentangPerlindungan Konsumen(sebagai anggota).
8 2012 Implikasi dan KonsekuensiHukum Pembubaran PerseroanTerbatas dalam Perspektif UUNo. 40 Th. 2007 (sebagaiketua).
USM 2.500.000
9 2012 Persepsi Dosen mengenaiPerlindungan Hak Cipta atasBuku dan Karya Tulis menurutUU No. 19 Th. 2002 tentangHak cipta di LingkunganUniversitas Semarang (sebagaianggota).
USM 2.500.000
2.2.3. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam 5 Tahun
Terakhir
No Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jml.Rp.
1 2009 Penyuluhan Hukum mengenaiUU No. 23 Th. 2004 tentangPenghapusan Kekerasan dalamRumah Tangga di KelurahanMlatiharjo, Kecamatan SemarangTimur, Kota Semarang.
USM 1.500.000,-
2 2010 Penyuluhan Hukum mengenaiUU No. 23 Th. 2004 tentangPenghapusan Kekerasan dalamRumah Tangga di KelurahanMlatiharjo, Kecamatan SemarangTimur, Kota Semarang.
Mandiri 1.500.000,-
xix
3 2011 Penyuluhan Hukum mengenaiUU No. 8 Th. 1999 tentangPerlindungan Konsumen diKelurahan Sambiroto, KotaSemarang.
Mandiri 1.500.000,-
4 2011 Konsultasi Hukum tentangProsedur Pengajuan GugatanPerceraian di Pengadilan Agamadi Kelurahan Sambiroto, KotaSemarang.
USM 1.500.000,-
Semarang, 25 November 2013
Anggota Tim Peneliti 1,
Dewi Tuti Muryati, SH.,MH.06557003801003
xx
2.3. Biodata Anggota Peneliti 2
2.3.1. Identitas Diri
No. Biodata Uraian
1. Nama Lengkap (dengan gelar) Ani Triwati, S.H.,M.H.
2. Jabatan Fungsional Tenaga Pengajar
3. Jabatan Struktural -
4. NIS / NIDN 06557003801050/0628107401`
5. Tempat dan Tanggal Lahir Semarang, 28 Oktober 1974
6. Alamat Rumah Perum Pedurungan Sari No.45, Jl.Wolter
Monginsidi, Semarang.
7. No. Telepon/Faks./HP 08156545354
8. Alamat e-mail [email protected]
9. Mata Kuliah yang Diampu 1. Hukum Acara Pidana
2. Kemahiran Bantuan Hukum
3. Kemahiran Litigasi
10. Riwayat Pendidikan S-1 S-2Fakultas Hukum-USM Semarang
MagisterIlmuHukum
UNDIP
2.3.2. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jumlah
1. 2011 Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen dalam Perjanjian
Pembiayaan Konsumen
USM Rp.2.500.000,00
2. 2012 Fungsionalisasi Lembaga
Praperadilan dalam Perkara
Pidana
USM Rp.2.500.000,00
xxi
2.3.3. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun
Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada
Masyarakat
Pendanaan
Sumber Jumlah
1. 2011 Konsultasi Hukum
Prosedur Pengajuan
Gugatan Perceraian di
Pengadilan Agama
USM Rp.1.500.000,000,-
2. 2012 Penyuluhan Hukum
Mengenai Kekerasan
dalam Rumah Tangga
Mandiri
3. 2012 Penyelesaian Perkara
Kekerasan dalam Rumah
Tangga
Mandiri
Semarang,25 November 2013
Anggota Tim Peneliti 2,
Ani Triwati, S.H., M.H.NIS: 06557003801050
xxii
Lampiran 2. Susunan Organisasi Tim Peneliti dan Pembagian Tugas
No. Nama NIDN Bidang Ilmu Alokasi
Waktu
(jam/minggu)
Uraian Tugas
1. SubaidahRatna Juita,S.H., M.H.
0614127801 Ilmu Hukum(HukumPidana)
12jam/minggu
1. menyiapkanrancanganusulaan
penelitian2.mengkoordinir
teknisPengumpulandata
3.mengkoordinirpengolahanData
4.mengkoordinirpenyusunanlaporan hasilpenelitian
5.mempresentasikan usulandan hasilpenelitian
2. Dewi TutiMuryati,S.H.,M.H.
0612045801 Ilmu Hukum(HukumLingkungan)
12jam/minggu
1.membantumenyiapkanrancanganusulanpenelitian
2.menyiapkansarana prasaranaPenelitian
3.bersama-samadengan ketuamengumpulkandan mengolahdata penelitian
4.bersama-samadengan ketuamenyusunlaporan hasilpenelitian
3. Ani Triwati, 0628107401 Ilmu Hukum 12 1.membantu
xxiii
S.H., M.H. ` (HukumAcaraPidana)
jam/minggu menyiapkanrancanganusulanpenelitian
2.menyiapkansarana prasaranaPenelitian
3.bersama-samadengan ketuamengumpulkandan mengolahdata penelitian
4.bersama-samadengan ketuamenyusunlaporan hasilpenelitian
xxiv
Lampiran 3. Laporan Pengeluaran Biaya Penelitian
LAPORAN PENGELUARAN BIAYA PENELITIANPENELITIAN DOSEN PEMULA TAHUN 2013
“ SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA TINDAKPIDANA LINGKUNGAN HIDUP
(SUATU REORIENTASI TENTANG ASAS STRICT LIABILITY ”
2. Bahan Habis Pakai dan Peralatan Penunjang
Material Justifikasi Pemakaian Kuantitas Harga Satuan(Rp)
HargaPeralatanPenunjang
(Rp)Proposal Memperbanyak
proposal (hardcopy)10 eks 35.000,00 350.000,-
Dokumen/datapenelitian
Dokumen untuk bahananalisis
2.000 lbr 250,00 500.000,-
LaporanPenelitian
Akuntabilitasadministrasi laporan
20 eks 75.000,00 1.500.000,-
BahanPresentasiseminar hasilpenelitian
Untuk disampaikandalam forum seminarhasil
20 x 50 =1000
lembar
150,00 150.000,-
Bukureferensi
Untuk proposal danpenelitian
15 judul 100.000,00 1.500.000,-
1. Honor
Honor Jumlah diterimakan (Rp)(sudah di potong pph 5% dari Rp
2.500.000,00)
Bukti Fisik
Ketua 1.425.000,00 K.01
Anggota 1 475.000,00 K.02
Anggota 2 475.000,00 K.03
Sub Jumlah 2.375.000,00
xxv
Tinta Refil
(toner)
Untuk mencetakproposal,instrumen,dokumentasidata,laporanpenelitian,dan lain-lain
2 tabung 350.000,- 700.000,-
Tinta Refil(desk-jet)
Untuk mencetakproposal, dokumentasidata, laporanpenelitian, dan lain-lain
4 botol 50.000,- 200.000,-
Kertas HVS Untuk pembuatanproposal, dokumentasidata,laporan penelitiandan lain-lain
4 rim 40.000,- 160.000,-
Compact disc Untuk merekam datadan dokumen lain
1 pak 150.000,- 150.000,-
ATK lain(klip,pensilpenghapus,spidol,blocknote
Untuk tulis menulisdan keperluanpengadminisitrasiandokumen penelitian
LS 750.000,- 750.000,-
SubJumlah
5.960.000,00
3. Perjalanan Dinas
Material Justifikasi Perjalanan Kuantitas Harga Satuan(Rp)
JumlahHarga(Rp)
Perjalanan Pembelian literatur 3 kali 625.000,- 1.875.000,-
Sub Jumlah 1.875.000,-
4. Lain-lain
Kegiatan Justifikasi Kuantitas HargaSatuan
(Rp)
JumlahHarga(Rp)
Pengumpulan dananalisis data
Untuk memperolehhasil,pembahasan, dansimpulanpenelitian
24 harikerja
10.000,- 240.000,-
xxvi
Pengetikan laporanpenelitian
Draft laporan yangsudah selesai,diketik menjadilaporan final
100 lbr 2.000,- 200.000,-
Penyelenggaraanseminar
Konsumsi,tenagapembantu dan lain-lain
50 pax 20.000,- 1.000.000,-
Publikasi JurnalIlmiah
725.000,- 725.000,-
Sub Jumlah 2.165.000,-
Total Pengeluaran 12.500.000,-
Semarang, 25 November 2013Ketua,
Subaidah Ratna Juita, S.H., M.H.NIS.06557003801049
5. Rekapitulasi
Total Pengeluaran 12.500.000,00
Biaya disetujui 12.500.000,00
Saldo 0,00
xxvii
Lampiran 4. Luaran (Artikel)
ASAS STRICT LIABILITY DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANAPADA KORPORASI PELAKU TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
Subaidah Ratna Juita, Dewi Tuti Muryati, Ani Triwati.Dosen Fakultas Hukum Universitas Semarang
ABSTRAK
Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagaipelaku tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang terdapat dalamUUPPLH merupakan kebijakan legislasi yang memberikan legitimasi bahwakorporasi dapat dipertanggungjawabkan semata karena telah melakukanperbuatan melawan hukum tanpa memperhatikan kesalahannya. Oleh karena ituapabila korporasi melakukan tindak pidana lingkungan hidup sehinggamengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang berdampakmembahayakan dan merugikan bagi pihak lain, maka berdasarkan ketentuan yangterdapat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan PengelolaanLingkungan Hidup (UUPPLH) korporasi dapat dipertanggungjawabkan secarapidana dengan penerapan asas strict liability. Penelitian ini merupakan penelitianhukum normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada data sekunder.Sebagai penelitian hukum normatif, maka penelitian ini meliputi penelitianinventarisasi hukum positif, asas-asas hukum, penemuan hukum in concreto dansinkronisasi hukum, sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatanyuridis-normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapankaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif. Dengan demikian, pendekatanyuridis-normatif dalam penelitian digunakan untuk menganalisis permasalahanyang berkaitan dengan penerapan asas strict liability untuk pertanggungjawabankorporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
Kata kunci: pertanggungjawaban korporasi, asas strict liability, tindakpidana lingkungan hidup.
xxviii
ABSTRACT
Arrangement hits penal's accountability to corporation as agent acts penalenvironment as it were that available in UUPPLH constitutes legislation policythat gives legitimasi that corporation that accountability can one eye becausehave done conduct contempts of court irregardless its fault. Therefore ifcorporation does to act pidana environment so begets sacrilege or impactedenvironment impairment jeopardizes and disadvantaging to side any other,therefore bases rule that exists in UU No. 32 Years 2009 about protection andEnvironment Managements (UUPPLH) corporation that accountability canpenal's with implemented base strict liability. This research constitutenormatif's law research, which is research which emphasize on secondary data.As observational as normatif's law, therefore this research cover stocktakingresearch sentences positive, jurisdictional grounds, in concreto's jurisdictionalfind and law synchronization, so approaching that is utilized is normatif's judicialformality approaching, which is research which is focused for study norms'simplement or positive law norms. Thus, normatif's judicial formality approachingin observational being utilized for menganalisis about problem which getsbearing with implemented base strict liability for corporation accountability asagent acts pidana at environment area.
Key word: corporation accountability, ground strict liability , environmentcriminal act.
viii
PENDAHULUAN
Pertanggungjawaban pidana
pada korporasi akan mendapat
kesulitan karena melekat pada sifat
dasar manusia alamiah seperti
kesengajaan dan kealpaan, tingkah
laku material, pidana dan tindakan.
Pemidanaan terhadap korporasi juga
dapat merugikan orang yang tidak
bersalah dan kemungkinan kesulitan
menentukan antara batas pengurus
dan korporasi . Sementara itu
perkembangan kehidupan
bermasyarakat terutama dalam
bidang perekonomian telah
melahirkan korporasi-korporasi
dengan semangat kapitalisme yang
bertujuan memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya. Akibatnya aspek
viktimologis dari kejahatan korporasi
sangatlah besar yang dapat meliputi
kerugian terhadap negara,
masyarakat, konsumen, perusahaan
saingan, karyawan, pemegang saham
mapun biaya penegakan hukum yang
mahal.
Memperhatikan dampak
negatif dari pembangunan dan
modernisasi, khususnya
munculnya tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi dalam
bidang lingkungan hidup, wajar jika
pusat perhatian penegakan hukum
ditujukan pada upaya
penanggulangannya. Salah satu
penanggulangannya yang masih
dipermasalahkan adalah
penggunaan sarana hukum pidana.
Permasalahan tersebut meliputi
subjek korporasi yang masih
belum diakui secara tegas dalam
hukum pidana. Dan kalaupun
korporasi diakui sebagai pelaku
tindak pidana, bagaimana sistem
pertanggungjawaban pidananya
mengingat korporasi bukanlah
manusia yang mempunyai kesalahan,
baik berupa kesengajaan maupun
kealpaan.
Di samping permasalahan
tersebut di atas (pertanggungjawaban
pidana korporasi /corporate
liability), permasalahan dalam
ix
bentuk lain adalah pembuktian
bentuk-bentuk pelanggaran di
bidang lingkungan hidup yang
sangat sulit dan kompleks. Untuk
mengatasi kesulitan dan
kompleksitas pembuktian tersebut
muncul alternatif lain dalam hal
pertanggungjawaban pidana, yakni
adanya asas pertanggungjawaban
pidana terbatas/ketat (strict
liability) sebagai pengecualian dari
asas kesalahan. Dalam asas strict
liability si pembuat sudah dapat
dipidana apabila ia telah melakukan
perbuatan sebagaimana dirumuskan
dalam undang- undang tanpa
melihat bagaimana sikap
batinnya. Asas itu sering diartikan
secara singkat sebagai
pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (liability without fault).
Dengan demikian, asas strict
liability di atas yakni mengenai
subjek delik dan mengenai asas
kesalahan, di dalam
perkembangannya mengalami
perluasan. Terhadap subjek delik,
dengan adanya perkembangan
masyarakat, dituntut adanya
pengakuan terhadap korporasi
sebagai pelaku dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana (corporate liability).
Terhadap sistem
pertanggungjawaban pidana,
muncul asas strict liability sebagai
pengecualian dari asas kesalahan.
Munculnya sistem
pertanggungjawaban pidana seperti
tersebut di atas tentu saja
menimbulkan pertanyaan yang
berkaitan dengan asas kesalahan
yang dianut hukum pidana selama
ini. Harus diakui bahwa asas
kesalahan merupakan asas yang
sangat fundamental dalam hukum
pidana sehingga asas itu sangat
penting dan dianggap adil dalam
mempertanggungjawabkan pelaku
delik. Dikatakan demikian, karena
pidana hanya dapat dijatuhkan
kepada pelaku delik yang
mempunyai kesalahan dan mampu
bertanggung jawab. Namun di pihak
x
lain, karena kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi,
tampaknya penyimpangan terhadap
asas kesalahan itu juga akan
berpengaruh terhadap hukum pidana.
Apabila penyimpangan asas itu
harus diterapkan, akan timbul
pertanyaan bagaimanakah
perkembangan sistem
pertanggungjawaban pidana di era
sekarang ini, bagaimana sistem
pertanggungjawaban pidana dalam
hukum pidana nasional,
pertanggungjawaban pidana dalam
hukum pidana nasional yang akan
datang.
Oleh karena itu hukum pidana
harus responsif untuk
menanggulangi tindak pidana di
bidang lingkungan hidup yang
dilakukan oleh korporasi dengan
menempatkannya sebagai subjek
hukum dalam hukum pidana yang
dapat dipertanggungjawabkan
sehingga memberikan efek jera
(deterent effect). Harus diakui
pemidanaan terhadap pengurus
korporasi sebagaimana dalam Pasal
59 KUHP tidak cukup untuk
mengadakan represi terhadap tindak
pidana yang dilakukan korporasi.
Bertolak dari hal tersebut jelas
cakupannya sangat luas, guna
mencegah luasnya cakupan tersebut,
dan untuk memudahkan pembahasan
maka perlu dilakukan pembatasan
permasalahan. Adapun permasalahan
dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan
korporasi sebagai subjek hukum
(pelaku tindak pidana) dalam
bidang lingkungan hidup?
2. Bagaimana sistem
pertanggungjawaban pidana
terhadap korporasi sebagai pelaku
tindak pidana di bidang
lingkungan hidup berdasarkan
asas strict liability?
Berdasarkan pertimbangan,
bahwa masih sedikit kajian atau
penelitian dan literatur mengenai
sistem pertanggungjawaban pidana
xi
terhadap korporasi dalam bidang
lingkungan hidup berdasarkan
perspektif pendekatan asas strict
liability sebagai alternatif bentuk
pertanggungjawaban pidana oleh
korporasi (corporate liability)
sebagai pelaku tindak pidana di
bidang lingkugan hidup, sekaligus
sebagai respon atas keadaan di atas
dengan tujuan melengkapi literatur
maka penelitian ini mendapatkan
urgensinya. Penelitian yang
komprehensif, dan dilakukan
berdasarkan kajian normatif ini
diharapkan dapat memberikan
gambaran yang jelas mengenai asas
strict liability sebagai alternatif
bentuk pertanggungjawaban pidana
oleh korporasi (corporate liability)
sebagai pelaku tindak pidana di
bidang lingkungan hidup.
METODE PENELITIAN
Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian yang menitikberatkan
pada data sekunder. Sebagai
penelitian hukum normatif, maka
penelitian ini meliputi penelitian
inventarisasi hukum positif, asas-
asas hukum, penemuan hukum in
concreto dan sinkronisasi hukum,
sehingga pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan penal. Sebagai
pendekatan penal, maka dapat
dikatakan penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis-
normatif. Pendekatan yuridis-
normatif digunakan untuk
menganalisis permasalahan yang
berkaitan dengan sistem
pertanggungjawaban pidana pada
tindak pidana lingkungan hidup,
yang dikaji melalui asas Strict
Liability.
Spesifikasi Penelitian
Bertitik-tolak dari judul dan
permasalahan yang mendasari
penelitian ini, maka penelitian ini
termasuk jenis penelitian deskriptif-
analitis, yaitu menggambarkan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku / hukum positif dikaitkan
xii
dengan teori hukum dan praktek
pelaksanaan hukum positif dalam
masyarakat. Penelitian deskriptif
merupakan penelitian untuk
memecahkan masalah yang ada pada
masa sekarang (masalah aktual)
dengan mengumpulkan data,
menyusun, mengklasifikasikan,
menganalisis dan
mengintepretasikannya.40 Dengan
demikian, dari penelitian ini dapat
memberikan gambaran mengenai
sistem pertanggungjawaban pidana
pada tindak pidana lingkungan hidup
dengan melakukan reorientasi
tentang asas strict liability sebagai
bentuk pertanggungjawaban pidana.
Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan pendekatan yang
dipergunakan dalam penelitian ini,
maka metode pengumpulan data
yang dipergunakan adalah studi
kepustakaan atau dokumen (library
research). Studi kepustakaan
dilakukan terhadap data sekunder,
40 Bambang Sunggono, MetodePenelitian Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), halaman 36.
yaitu data yang bersumber dari
penelitian kepustakaan yaitu data
yang diperoleh tidak secara langsung
dari sumber pertamanya, melainkan
bersumber dari data-data yang sudah
terdokumenkan dalam bentuk bahan-
bahan hukum yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum PrimerBahan hukum primer terdiri dari
Peraturan Perundang-undangan
seperti :
- Undang-Undang No. 1
Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana
(Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana/ KUHP);
- Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 tentang
Perlindugan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
- Peraturan Pemerintah No. 27
Tahun 1999 tentang
AMDAL
b.Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah
bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti :
xiii
- Buku-buku hukum dan non
hukum yang berkaitan
dengan objek yang diteliti.
- Hasil-hasil penelitian
maupun literatur lainnya
yang berkaitan dengan obyek
penelitian..
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah
bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan
mengenai bahan hukum primer
dan tersier seperti :
- Kamus Hukum
- Kamus Besar Bahasa
Indonesia
- Ensiklopedi, majalah-
majalah hukum, jurnal-jurnal
hukum, surat kabar serta
membaca berkas-berkas
lainnya yang dianggap
relevan dengan penelitian ini,
yang kemudian dilakukan
inventarisasi sesuai dengan
permasalahan yang
dikemukakan.
Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan secara
kualitatif kemudian diidentifikasi
serta dilakukan kategorisasi. Analisis
kualitatif yaitu metode analisis yang
pada dasarnya menggunakan
pemikiran logis, analisis dengan
logika . Dengan induksi, deduksi,
analogilinterpretasi, komparasi dan
sejenis itu. Metode berpikir yang
digunakan adalah metode deduktif
yaitu dengan berdasarkan pada dasar
pengetahuan yang bersifat umum
untuk mengkaji persoalan-persoalan
yang bersifat khusus. Dari hasil
analisis tersebut kemudian akan
ditarik kesimpulan sebagai jawaban
atas permasalahan yang ada.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kedudukan Korporasi sebagai
Subjek Hukum (Pelaku Tindak
Pidana) dalam Bidang Lingkungan
Hidup
Korporasi dalam hukum pidana
umum, belum dimasukkan sebagai
subyek hukum. Pandangan tentang
xiv
subyek hukum pidana di bidang
hukum pidana umum yang hanya
terbatas pada orang pribadi, tidak
dapat dilepaskan dengan sejarah
pembentukan WvS Nederland tahun
1881, dimana pada dasarnya hanya
manusia dapat dipandang sebagai
subyek hukum pidana. Hal ni dapat
diketahui dari :
a. Memory van Toelichting
Pasal 51 WvS Nederland
(Pasal 59 KUHP): suatu
strafbaarfeit hanya dapat
diwujudkan oleh manusia
dan fiksi tentang badan
hukum tidak berlaku dalam
bidang hukum pidana.
b. Uraian delik dalam banyaak
pasal WvS selalu dimulai
dengan “Barang Siapa” dan
sering disyaratkan adanya
berbagai faktor manusia,
seperti sengaja dan lalai,
faktor mana hanya dapat
dimiliki oleh manusia.
c. Sistem pidana terdiri dari
pidana kekayaan dan pidana
badan hanyalah dapat
dikenakan terhadap
manusia.
d. Hukum acara pidana
tidak mengandung
ketentuan tatacara
terhadap korporasi.
Manusia bukanlah satu-satunya
subyek hukum. Dalam lalu lintas
hukum diperlukan sesuatu hal lain
yang bukan manusia yang menjadi
subyek hukum. Di samping orang
dikenal juga subyek hukum yang
bukan manusia yang disebut badan
hukum. Badan hukum adalah
organisasi atau kelompok manusia
yang mempunyai tujuan tertentu
yang dapat menyandang hak dan
kewajiban. Negara dan perseroan
terbatas misalnya adalah organisasi
atau kelompok manusia yang
merupakan badan hukum
(Korporasi). Korporasi sebagai
pembawa hak yang tak berjiwa dapat
bertindak sebagai pembawa hak
manusia, misalnya: dapat melakukan
persetujuan-persetujuan, memiliki
kekayaan yang sama sekali terlepas
xv
dari kekayaan anggota-anggotanya.
Bedanya subyek hukum orang
dengan subyek hukum badan hukum
adalah bahwa badan hukum itu tidak
dapat melakukan perkawinan dan
tidak dapat dipidana penjara.
Penentuan atau perluasan badan
hukum sebagai subyek hukum adalah
karena sesuatu kebutuhan, terutama
dalam soal perpajakan,
perekonomian dan keamanan negara,
yang disesuaikan dengan
perkembangan peradaban dan ilmu
pengetahuan manusia. Namun pada
hakekatnya, manusialah yang
merasakan atau menderita
pemidanaan itu. Dengan demikian
dapat dikatakan, bahwa subyek
hukum baik orang maupun korporasi
adalah segala sesuatu yang dapat
memperoleh, mempunyai atau
menyandang hak dan kewajiban.
Seiring dengan perkembangan
masyarakat, dirasa sangat perlu
untuk menempatkan korporasi
sebagai subjek tindak pidana agar
dapat dibebani pertanggungjawaban
pidana apabila melakukan kejahatan,
supaya korporasi dalam menjalankan
usahanya tidak melakukan tindakan-
tindakan yang melanggar ketentuan
hukum dan merugikan masyarakat
umum. Oleh karena itu, pengaturan
korporasi sebagai subjek tindak
pidana berikut pertanggungjawaban
pidananya ditempatkan di luar
KUHP agar dapat mengakomodir
pengaturan seperti tersebut di atas,
dan tentu saja dengan tetap mengacu
pada KUHP sebagai pedoman
umum.
Pada umumnya tindak pidana
hanya dapat dilakukan oleh
manusia atau orang pribadi. Oleh
karena itu hukum pidana selama ini
hanya mengenal orang seorang atau
kelompok orang sebagai subyek
hukum, yaitu sebagai pelaku dari
suatu tindak pidana. Hal ini bisa
dilihat dalam perumusan pasal-pasal
KUHP yang dimulai dengan kata
“barangsiapa” yang secara umum
mengacu kepada orang atau manusia.
Dengan melihat gejala pelanggaran
hukum yang dapat dilakukan oleh
suatu badan hukum yang merugikan
xvi
masyarakat, maka kedudukan badan
hukum mulai diperhatikan tidak saja
menjadi subjek hukum perdata, tetapi
juga menjadi subjek dalam hukum
pidana, sehingga dapat dituntut dan
dijatuhi hukuman atau sanksi pidana.
Korporasi dijadikan sebagai
subjek hukum pidana merupakan
kebijakan legislatif dalam produk
perundang-undangan dewasa ini. Hal
ini sejalan dengan perkembangan
dunia internasional dan pendapat
para sarjana yang secara teoritis
mengatakan bahwa korporasi dapat
diterima sebagai subjek hukum
pidana (bukan lagi suatu fiksi).
Secara umum, baik dalam
sistem hukum common law maupun
civil law, sangat sulit untuk dapat
mengartikan suatu bentuk tindakan
tertentu (actus reus atau guilty act),
serta membuktikan unsur mens rea
(criminal act). Oleh karena itu,
kejahatan korporasi memiliki
karakteristik yang lebih khusus dari
pada kejahatan perorangan, karena
kejahatan korporasi lebih bersifat
abstrak untuk menyangka dan
menuntut subjek hukum yang
melakukan kejahatan korporasi
tersebut. Bukan saja tindak pidana
dalam UUPPLH 2009 namun seluruh
tindak pidana (crime) dapat
diidentifikasi dengan timbulnya
kerugian (harm), yang kemudian
mengakibatkan lahirnya
pertanggungjawaban pidana atau
criminal liability.
Apabila meninjau pada Kitab
Undang-undang Hukum Pidana
(KUH Pidana) Indonesia yang
dianggap sebagai subyek hukum
pidana hanyalah orang perseorangan
dalam konotasi biologis yang alami
(naturlijkee person). Selain itu,
KUHP juga masih menganut asas
sociates delinquere non potest
dimana badan hukum atau korporasi
dianggap tidak dapat melakukan
tindak pidana. Jadi, dasar
pemikiran yang digunakan oleh
KUH Pidana itu adalah bahwa
kejahatan tidak dapat dilakukan oleh
sebuah korporasi, karena walaupun
tindak pidana tersebut dilakukan oleh
korporasi, tetapi tindak pidana tetap
xvii
dilakukan oleh orang persorangan
atau legal persoon.
Perlu diketahui bahwa,
pembuat undang-undang dalam
merumuskan delik harus
memperhitungkan bahwa manusia
melakukan tindakan di dalam atau
melalui organisasi yang dalam
hukum keperdataan maupun di
luarnya (seperti dalam hukum
lingkungan hidup), yang akan lahir
sebagai satu kesatuan yang diakui
serta mendapat perlakuan sebagai
badan hukum atau korporasi. Oleh
karena itu, dalam KUH Pidana,
pembuat undang-undang dapat
merujuk pada pengurus atau
komisaris korporasi apabila mereka
berhadapan dengan situasi seperti itu.
Sehubungan dengan itu,
mengingat Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Indonesia belum
mengatur secara tersurat mengenai
tindak kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi, maka tindak pidana
korporasi dalam bidang lingkungan
hidup di Indonesia, dapat
menggunakan undang-undang yang
lebih khusus, yaitu Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009).
Pengakuan korporasi sebagai
subjek hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan secara
pidana pada tindak pidana
lingkungan hidup ditegaskan dalam
Pasal 1 angka 32 UU No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup,
yaitu “Setiap orang adalah orang
perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum”. Apabila
diterjemahkan lebih jauh bahwa
subjek hukum dimaksud dalam Pasal
1 angka 32 UUPPLH 2009 ini
adalah orang, badan hukum, dan
tidak berbadan hukum. Berbadan
hukum dan tidak berbadan hukum
maksudnya adalah korporasi. Maka,
subjek tindak pidana yang dimaksud
dalam hal ini adalah korporasi. Perlu
diketahui, bahwa seseorang atau
badan hukum atau suatu korporasi
yang melakukan kejahatan dapat
xviii
digolongkan ke dalam dua kategori,
yaitu tindakan yang merupakan mala
in se atau perbuatan yang merupakan
mala in prohibita. Tindakan yang
termasuk mala in se, adalah
perbuatan yang melawan hukum,
ada atau tidak ada peraturan yang
melarangnya misalnya mencuri,
menipu, membunuh, dan sebagainya.
Sedangkan perbuatan yang
merupakan mala in prohibita adalah
perbuatan yang dinyatakan
melanggar hukum apabila ada aturan
yang melarangnya misalnya aturan-
aturan lalu lintas.
Selain dari pada korporasi
yang diatur sebagai subjek hukum
dalam hukum lingkungan, juga
diatur hal-hal yang berkenaan
dengan pertanggungjawaban mutlak,
dimana bahwa pertanggungjawaban
mutlak ini tidak diatur di dalam
KUH Pidana sebagai lex generalis.
Karena hukum pidana masih
menggunakan pertanggungjawaban
dengan kesalahan, sementara
pertanggungjawaban mutlak ini
menggunakan asas
pertanggungjawaban tanpa
kesalahan. Jadi, kesalahan di
dalam hukum lingkungan tidak
mesti harus dibuktikan ada atau
tidaknya kesalahan si pembuat.
Mengenai hal tersebut di atas,
UUPPLH 2009, sebagai lex spesialis,
bukan merupakan suatu
penyimpangan asas akan tetapi
merupakan penyempurnaan terhadap
asas umum, sebab kejahatan di
bidang lingkungan hidup tersebut
saat ini dikategotikan sebagai
kejahatan yang luar biasa (extra
oridnary crime) sehingga
penanganannya harus dilakukan luar
biasa termasuk dalam hal
pengaturannya ada hal-hal yang
dikecualikan dari asas-asas yang
berlaku umum.
Kejahatan korporasi
sebagaimana diatur dalam UU No.
32 Tahun 2009 merupakan rumusan
kejahatan korporasi sebagaimana
diatur dalam KUHP Belanda. Jadi
korporasi sebagai legal persoon,
dapat dipidana berdasarkan UU No.
32 Tahun 2009. Dalam hal ini,
xix
pertanggungjawaban pidana
(criminal liability) dari pimpinan
korporasi (factual leader) dan
pemberi perintah (instrumention
giver), keduanya dapat dikenakan
hukuman secara berbarengan.
Hukuman tersebut bukan karena
perbuatan fisik atau nyatanya, akan
tetapi berdasarkan fungsi yang
diembannya di dalam suatu
perusahaan. Kejahatan lingkungan
yang didefinisikan di dalam undang-
undang ini hanyalah kerusakan
lingkungan hidup yang disebutkan di
dalam Pasal 1 ayat (16) UU No. 32
Tahun 2009, yaitu Perusakan
lingkungan hidup adalah tindakan
yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung
terhadap sifat fisik dan/atau
hayatinya yang mengakibatkan
lingkungan hidup tidak berfungsi
lagi dalam menunjang pembangunan
berkelanjutan.
Sistem Pertanggungjawaban
Pidana terhadap Korporasi
sebagai Pelaku Tindak Pidana di
Bidang Lingkungan Hidup
berdasarkan Asas Strict Liability
Strict Liability adalah
pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (liability without
fault). Hal itu berarti bahwa si
pembuat sudah dapat dipidana
jika ia telah melakukan
perbuatan sebagaimana yang telah
dirumuskan dalam Undang-
Undang tanpa melihat bagaimana
sikap batinnya. Konsep Strict
liability merupakan penyimpangan
dari asas kesalahan yang
dirumuskan dalam pasal 38 ayat
(1) RUU KUHP. Bunyi
rumusannya adalah sebagai berikut
: “Bagi tindak pidana tertentu,
undang-undang dapat menentukan
bahwa seseorang dapat di pidana
semata- mata karena telah
dipenuhinya unsur-unsur tindak
pidana tersebut tanpa
memperhatikan adanya kesalahan”.
xx
Untuk memahami lebih jauh
latar belakang dan alasan
dicantumkannya asas strict
liability itu ke dalam konsep,
dapat dilihat pada penjelasannya
berikut ini.:
Ketentuan dalam ayat ini
merupakan suatu perkecualian
terhadap asas tiada pidana tanpa
kesalahan. Oleh karena itu, tidak
berlaku juga bagi semua tindak
pidana, melainkan hanya untuk
tindak pidana tertentu yang
ditetapkan oleh undang-undang.
Untuk tindak pidana tertentu
tersebut, pembuat tindak pidananya
telah dapat dipidana hanya karena
telah dipenuhinya unsur-unsur
tindak pidana oleh perbuatannya.
Di sini kesalahan pembuat tindak
pidana dalam melakukan
perbuatan tersebut tidak lagi
diperhatikan. Asas ini dikenal
sebagai asas “strict liability”.
Strict liability ini pada
awalnya berkembang dalam praktik
peradilan di Inggris. Sebagian
hakim berpendapat asas mens- rea
tidak dapat dipertahankan lagi
untuk setiap kasus pidana. Adalah
tidak mungkin apabila tetap
berpegang teguh pada asas mens-
rea untuk setiap kasus pidana dalam
ketentuan undang- undang modern
sekarang ini. Oleh karena itu, perlu
dipertimbangkan untuk
menerapkan strict liability
terhadap kasus-kasus tertentu.
Praktek peradilan yang menerapkan
strict liability itu ternyata
mempengaruhi legislatif dalam
membuat undang-undang.
Sering dipersoalkan,
apakah strict liability itu sama
dengan absolute liability.
Mengenai hal itu ada dua
pendapat. Pendapat pertama
menyatakan strict liability
merupakan absolute liability.
Alasan atau dasar pemikirannya
ialah seseorang yang telah
melakukan perbuatan terlarang
(actus reus) sebagaimana
dirumuskan dalam undang-undang
sudah dapat dipidana tanpa
mempersoalkan apakah si pelaku
xxi
mempunyai kesalahan (mens rea)
atau tidak. Jadi seseorang yang
sudah melakukan perbuatan pidana
menurut rumusan undang-undang
yang sudah melakukan
perbuatan pidana menurut
rumusan undang-undang harus atau
mutlak dapat dipidana. Pendapat
kedua menyatakan Strict liability
bukan Absolute liability. Artinya,
orang yang telah melakukan
perbuatan terlarang menurut
undang-undang tidak harus atau
belum tentu dipidana. Kedua
pendapat itu antara lain,
dikemukakan juga oleh Smith dan
Brian Hogan, yang dikutip oleh
Barda Nawawi Arief. Ada dua
alasan yang dikemukakan oleh
mereka, yaitu :
a. Suatu tindak pidana dapat
dipertanggungjawabkan
secara Strict liability apabila
tidak ada mens rea yang
perlu dibuktikan sebagai satu-
satunya unsur untuk actus reus
yang bersangkutan. Unsur
utama atau unsur satu-satunya
itu biasanya merupakan
salah satu ciri utama, tetapi
sama sekali tidak berarti
bahwa mens rea itu tidak
disyaratkan sebagai unsur
pokok yang tetap ada untuk
tindak pidana itu. Misalnya,
A dituduh melakukan
tindak pidana “menjual
daging yang tidak layak
untuk dimakan karena
membahayakan kesehatan
atau jiwa orang lain”.
Tindak pidana ini menurut
hukum Inggris termasuk
tindak pidana yang dapat
dipertanggungjawabkan
secara strict liability. Dalam
hal itu tidak perlu dibuktikan
bahwa A mengetahui daging
itu tidak layak untuk
dikonsumsi, tetapi tetap
harus dibuktikan, bahwa
sekurang-kurangnya A
memang menghendaki
(sengaja) untuk menjual
daging itu. Jadi jelas dalam
hal itu Strict liability tidak
xxii
bersifat absolut.
b. Dalam kasus-kasus strict
liability memang tidak
dapat diajukan alasan
pembelaan untuk “kenyataan
khusus” (particular fact) yang
menyatakan terlarang
menurut undang- undang.
Misalnya, dengan
mengajukan “reasonable
mistake”. Kita tetap dapat
mengajukan alasan
pembelaan untuk keadaan-
keadaan lainnya. Contoh lain,
misal dalam kasus
“mengendarai kendaraan yang
membahayakan” (melampaui
batas maksimum), dapat
diajukan alasan pembelaan
bahwa dalam mengenai
kendaraan itu ia berada dalam
keadaan automatism. Misal
lain, A mabuk-mabukan di
rumahnya sendiri. Akan
tetapi dalam keadaan tidak
sadar (pingsan), A diangkat
oleh kawan-kawannya dan
diletakkan di jalan raya.
Dalam hal itu memang ada
Strict liability, yaitu berada di
jalan raya dalam keadaan
mabuk, tetapi A dapat
mengajukan pembelaan
berdasarkan adanya
compulsion. Jadi, dalam hal
itu pun Strict liability
bukanlah absolute liability.41
Mardjono Reksodiputro
dalam salah satu tulisannya
memberikan jalan keluar untuk
membenarkan diterapkannya asas
strict liability di Indonesia yang
menganut sistem Eropa
Continental, yaitu :
Berhubung kita tidak
mengenal ajaran Strict liability
yang berasal dari system hukum
Anglo-Amerika tersebut, maka
sebagai alasan pembenar dapat
dipergunakan ajaran feit materiel
yang berasal dari system hukum
Eropa Kontinental. Dalam kedua
41 Barda Nawawi, PerbandinganHukum Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta:CV. Rajawali, 1990), halaman 32-33.
xxiii
ajaran ini atidaklah penting
adanya unsur kesalahan. Ajaran
strict liability hanya
dipergunakan untuk tindak
pidana ringan (regulatory offences)
yang hanya mengancam pidana
denda, seperti pada kebanyakan
public welfare offences.
Namun,karena kita telah
mengambil alih konsep yang
berasal dari system hukum yang
berlainan akarnya kedalam
system hukum di Indonesia, maka
memerlukan ketekunan dari para
ahli hukum pidana Indonesiauntuk
menjelaskan konsep ini dengan
mengkaitkannya pada asas-asas
yang sudah melembaga dalam
hukum pidana Indonesia. 42
Alasan senada juga
dikemukakan oleh Barda Nawawi
Arief yang menyatakan:
Karena strict liability inisangat jauh menyimpang dari
42 Mardjono Reksodiputro,Kemajuan Pembangunan Ekonomi danKejahatan, PusatPelayanan Keadilan danPengabdian Hukum. (Jakarta: UniversitasIndonesia, 1994), halaman 32.
asas kesalahan maka para ahlihukum pidana membatasipenerapannya hanya padadelik-delik tertentu saja.Kebanyakan strict liabilityterdapat pada delik-delik yangdiatur dalam undang-undang(statutory offences;regulatory offences; malaprohibita) yang padaumumnya merupakan delik-delik terhadap kesejahteraanumum (public welfareoffences). Termasukregulatory offences misalnyapenjualan makanan danminuman atau obat-obatanyang membahayakan,pencegahan terhadap polusi,penggunaan gambar dagangyang menyesatkan danpelanggaran lalulintas. 43
Dari uraian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pertimbangan
untuk menerapkan asas strict
liability disamping perbuatannya
membahayakan masyarakat juga
pembuktiannya yang sangat sulit.
Kriteria membahayakan
masyarakat itu tidak mesti harus
tindak pidana yang serius (real
crime), akan tetapi juga meliputi
43 Barda Nawawi Arief, Op.Cit,halaman 29.
xxiv
“regulatory offences” seperti
pelanggaran lalulintas, pencemaran
lingkungan, makanan, minuman
dan obat-obatan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan.
Muladi mengatakan bahwa
“jika hukum pidana harus
digunakan untuk menghadapi
masalah yang demikian rumitnya,
sudah saatnya doktrin atas asas
strict liability digunakan dalam
kasus-kasus pelanggaran terhadap
peraturan mengenai kesejahteraan
umum”. Pembuktian kesalahan
dalam mempertanggungjawabkan
pembuat bukan hal yang mudah.
Jadi, perumusan konsep strict
liability dalam KUHP Indonesia
merupakan jalan pemecahan
masalah kesulitan dalam
pembuktian kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana.44
Lebih jauh Muladi mengatakan
bahwa perumusan strict liability
44Hamzah Hetrik, AsasPertanggungjawaban Korporasi dalamHukum Pidana, ( Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada , 1996), halaman 38.
dalam KUHP baru merupakan
refleksi dalam menjaga
keseimbangan kepentingan
sosial. Dengan demikian, strict
liability merupakan konsep yang
digunakan dan diarahkan untuk
memberikan perlindungan sosial
dalam menjaga kepentingan
masyarakat terhadap aktivitas-
aktivitas yang dapat menimbulkan
kerugian bagi masyarakat, baik
kerugian fisik, ekonomi maupun
social cost.45
Selanjutnya Barda Nawawi
Arief memberikan kriteria batas-
batas yang harus diperhatikan
apabila kita akan menerapkan
asas strict liability yang
merupakan penyimpangan dari
asas kesalahan. Batas-batas itu
adalah:
1) Sejauh mana akibat-akibatyang ditimbulkan olehperkembangan delik-delikbaru itu mengancamkepentingan umum yangsangat luas dan eksistensipergaulan hidup sebagaitotalitas ?
45 Ibid.
xxv
2) Sejauh mana nilai-nilaikeadilan berdasarkanPancasila membenarkanasas ketiadaan kesalahansama sekali ? 46
Jadi inti masalahnya menurut
Barda Nawawi Arief berkisar pada
sejauh mana makna kesalahan atau
pertanggungjawaban pidana itu
harus diperluas dengan tetap
mempertimbangkan keseimbangan
antara kepentingan individu dengan
kepentingan masyarakat luas. Lebih
jauh Barda Nawawi Arief
mengingatkan bahwa pertimbangan
harus dilakukan dengan hati-hati
sekali, terlebih melakukan
pelompatan yang drastis dari
konsepsi kesalahan yang
diperluas sedemikian rupa
sampai pada konsepsi ketiadaan
kesalahan yang diperluas
sedemikian rupa sampai pada
konsepsi ketiadaan kesalahan
sama sekali. Hal yang terakhir itu
merupakan akar yang paling
46 Barda Nawawi Arief dan Muladi,Teori dan Kebijakan Pidana,( Bandung:Alumni, halaman 141.
dalam dari nilai- nilai keadilan
berdasarkan Pancasila.
Penerapan asas strict liability
itu sangat penting terhadap kasus-
kasus tertentu yang menyangkut
membahayakan sosial atau anti
sosial, membahayakan kesehatan
dan keselamatan, serta moral
public. Kasus-kasus seperti
pencemaran lingkungan hidup,
perlindungan konsumen, serta yang
berkaitan dengan minuman keras,
pemilikan senjata, dan pemilikan
obat-obatan terlarang, merupakan
kasus yang sangat memungkinkan
untuk diterapkan strict liability.
Kasus pencemaran
lingkungan, seperti kasus yang
terjadi di Sidoarjo sangat sulit bagi
aparat penegak hukum untuk
membuktikan kesalahan terdakwa.
Hal itu disebabkan untuk
membuktikan hubungan kausal
antara perbuatan dengan akibat
yang ditimbulkan tidaklah mudah.
Karena jaksa tidak dapat
membuktikan kesalahan tersebut,
akhirnya terdakwa dibebaskan oleh
xxvi
hakim. Kesulitan yang serupa itu
banyak terjadi pada kasus-kasus
lingkungan yang lain. Padahal,
akibat yang ditimbulkan sangat
merugikan masyarakat. Disitu
tampak betapa urgennya penerapan
asas strict liability.
Jadi penerapan strict liability
sangat erat kaitannya dengan
ketentuan tertentu dan terbatas.
Agar lebih jelas apa yang
menjadi landasan penerapan strict
liability crime, dapat dikemukakan
patokan berikut :
1) Perbuatan itu tidak berlaku
umum terhadap semua jenis
tindak pidana, tetapi sangat
terbatas dan tertentu,
terutama mengenai kejahatan
anti sosial atau yang
membahayakan sosial.
2) Perbuatan itu benar-benar
bersifat melawan hukum
(unlawful) yang sangat
bertentangan dengan kehati-
hatian yang diwajibkan
hukum dan kepatutan.
3) Perbuatan tersebut dilarang
dengan keras oleh undang-
undang karena dikategorikan
sebagai aktivitas atau
kegiatan yang sangat
potensial mengandung
bahaya kepada kesehatan,
keselamatan, dan moral
publik (a particular activity
potential danger of public
health,safety or moral).
4) Perbuatan atau aktivitas
tersebut secara keseluruhan
dilakukan dengan cara
melakukan pencegahan yang
sangat wajar (unreasonable
precausions).
Pengaturan mengenai
pertanggungjawaban pidana
korporasi saat ini masih berada di
luar Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Hal ini dikarenakan
tidak dianutnya prinsip korporasi
sebagai subjek tindak pidana dalam
KUHP yang berlaku sekarang,
karena subjek tindak pidana yang
diatur dalam KUHP sekarang
hanyalah manusia atau orang
perorangan. Pengaturan semacam ini
xxvii
lebih lanjut membawa konsekuensi
yuridis berupa hanya orang
perorangan saja yang dapat
dibebani pertanggungjawaban
pidana dan dijatuhi pidana,
sedangkan korporasi tidak. Seiring
dengan adanya kebijakan legislatif
yang mencantumkan korporasi
sebagai subjek hukum pidana
seyogyanya diatur pula ketentuan
secara rinci yang berkaitan dengan
permasalahan sistem pemidanaan
(pertanggungjawaban pidana
korporasi).
Dalam hukum pidana ada asas
kulpabilitas, sehingga harus
dibuktikan bahwa seseorang bisa
dipidana apabila memang terbukti
bersalah. Artinya tidak bisa secara
otomatis sanksi pidana dialihkan dari
corporate crime menjadi personal
crime. Dalam hukum pidana,
mutlak harus dibuktikan adanya
niat untuk melakukan perbuatan
pidana. Inilah yang dimaksud asas
mens rea (guilty mind) sebagaimana
dikatakan oleh Stevanus.“an act is a
crime because the perso committing
it intended to do something wrong,
This mental state is generally
referred to as Mens rea”.
Prinsip tanggung jawab mutlak
(strict liability) korporasi pada tindak
pidana lingkungan hidup di
Indonesia belum pernah terlaksana.
Padahal konsep ini sangat baik untuk
menjaga keberlangsungan hidup
masyarakat yang menjadi korban.
Prinsip tanggung jawab mutlak
(strict liability) dalam UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindugan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup pada
Bab XII (Penyelesaian Sengketa
Lingkungan), Bagian Ketiga
(Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Hidup Melalui Pengadilan), Paragraf
2, Pasal 88 secara jelas
mendefinisikan asas strict liability
dengan tanggung jawab mutlak.
Pasal tersebut berbunyi: “Setiap
orang yang tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya menggunakan
B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang
menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup
xxviii
bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.”
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal
88 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 dirumuskan bahwa yang
dimaksud dengan “bertanggung
jawab mutlak” atau strict liability
adalah unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat
sebagai dasar pembayaran ganti rugi.
Ketentuan ayat ini sebagai lex
specialis dalam gugatan tentang
perbuatan melawan hukum pada
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi
yang dapat dibebankan terhadap
pencemar atau perusak lingkungan
hidup menurut Pasal ini dapat
ditetapkan sampai batas tertentu,
yang dimaksud dengan “sampai
batas waktu tertentu” adalah jika
menurut penetapan peraturan
perundang-undangan ditentukan
keharusan asuransi bagi usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan
atau telah tersedia dana lingkungan
hidup.
Rumusan Pasal 88 UU No. 32
Tahun 2009 secara jelas bersifat
khusus karena unsur-unsurnya telah
secara khusus menunjuk kepada hal
atau syarat tertentu sehingga dapat
diidentifikasi atau digolongkan ke
dalam bentuk pertanggungjawaban
tertentu. Unsur-unsur yang bersifat
khusus yang mencirikan
pertanggungjawaban khusus itu ialah
strict liability yang ciri utamanya
antara lain timbulnya tanggung
jawab langsung dan seketika pada
saat terjadinya perbuatan, sehingga
tidak perlu dikaitkan dengan unsur
kesalahan (fault, schuld). Dengan
demikian pihak penggugat yang
mengalami kerugian (injured party)
masih harus membuktikan bahwa
kerugian yang dialami diakibatkan
oleh perbuatan atau kegiatan tergugat
(atau para tergugat). Hal ini
diistilahkan dengan pembuktian
causal link (kausalitas) atau
hubungan sebab akibat. Hal ini
sebagaimana yang ditegaskan dalam
Green Paper on Remedying
Environmental Damage sebagai
berikut: “Strict liability or liability
xxix
without fault, eases the burden of
establishing liability because fault
need not to be established. However,
the injured party must still prove that
the damage was caused by some
one’s act…”.
Pasal 88 UU No. 32 Tahun
2009 mengandung beberapa unsur
penting, yaitu:
a. Setiap orang
b. yang tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya
menggunakan B3,
c. menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan
hidup
d. bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang terjadi
e. tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan
Berdasarkan unsur-unsur di
atas, unsur d) dan e) dapat
diinterpretasikan sebagai suatu
pengertian yang tampaknya belum
umum dalam perangkat- perangkat
hukum Indonesia. Dalam pengertian
(logika) hukum yang umum bahwa
tidaklah mungkin untuk menentukan
seseorang bertanggung jawab pada
suatu hal yang merugikan seseorang,
sebelum ia dinyatakan bersalah.
Artinya seseorang tidak dapat
dibebankan kewajiban bertanggung
jawab kecuali kalau bukan atas dasar
kesalahan (fault) sebagaimana
dengan prinsip dari “Tortious
Liability”.
Di dalam strict liability,
seseorang bertanggung jawab
kapanpun kerugian timbul. Hal ini
berarti bahwa: Pertama, para korban
dilepaskan dari beban berat untuk
membuktikan adanya hubungan
kausal antara kerugiannya dengan
tindakan indivual tergugat; Kedua,
para “potential polluter” akan
memperhatikan baik tingkat kehati-
hatiannya (level of care), maupun
tingkat kegiatannya (level of
activity). Dua hal ini merupakan
kelebihan strict liability dari konsep
kesalahan. Oleh karena sifat khasnya
yang tegas dan keras, maka strict
liability tidaklah dapat dikenakan
xxx
kepada semua kegiatan. Hanya
kegiatan-kegiatan tertentu saja yang
dapat dikenakan strict liability.
Pertimbangan untuk menentukan
ruang lingkup strict liability :
1. Tingkat risiko (the degree of
risk); dalam hal ini risiko
dianggap tinggi apabila tidak
dapat dijangkau oleh upaya
yang lazim, menurut
kemampuan teknologi yang
telah ada;
2. Tingkat bahaya (the gravity of
harm); dalam hal ini bahaya
dianggap sangat sulit untuk
dicegah pada saat mulai
terjadinya;
3. Tingkat kelayakan upaya
pencegahan (the
appropriateness); dalam hal ini
si penanggung jawab harus
menunjukkan upaya maksimal
untuk mencegah terjadinya
akibat yang menimbulkan
kerugian pada pihak lain;
4. Pertimbangan terhadap
keseluruhan nilai kegiatannya
(value of activity); dalam hal
ini pertimbangan risiko dan
manfaat kegiatan telah
dilakukan secara memadai
sehingga dapat diperkirakan
bahwa keuntungan yang
diperoleh akan lebih besar jika
dibandingkan dengan ongkos-
ongkos yang harus dikeluarkan
untuk mencegah timbulnya
bahaya.
Strict liability atau absolute
liability atau yang disebut juga
dengan pertanggungjawaban tanpa
kesalahan (no-fault liability or
liability without fault) adalah prinsip
tanggung jawab tanpa keharusan
untuk membuktikan adanya
kesalahan. Menurut Barda Nawawi
Arief sering dipersoalkan, apakah
strict liability itu sama dengan
absolute liability. Mengenai hal ini
ada dua pendapat. Pendapat pertama
menyatakan, bahwa strict liability
merupakan absolute liability. Alasan
atau dasar pemikirannya ialah,
bahwa dalam perkara strict liability
seseorang yang telah melakukan
perbuatan terlarang (actus reus)
xxxi
sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang sudah dapat dipidana
tanpa mempersoalkan apakah si
pelaku mempunyai kesalahan (mens
rea) atau tidak. Jadi sesorang yang
sudah melakukan tindak pidana
menurut rumusan undang-undang
harus/mutlak dapat dipidana.
Pendapat kedua menyatakan,
bahwa strict liability bukan absolute
liability, artinya orang yang telah
melakukan perbuatan terlarang
menurut undang-undang tidak
harus/belum tentu dipidana. Menurut
doktrin strict liability
(pertanggungjawaban mutlak),
seseorang sudah dapat
dipertanggungjawabkan untuk tindak
pidana tertentu walaupun pada diri
orang itu tidak ada kesalahan (mens
rea).
Dalam lapangan hukum
pidana, Prinsip tanggung jawab
mutlak (strict liability), prinsip ini
menegaskan pembuktian kesalahan
berdasarkan sistem hukum Eropa
Kontinental. Sebagai konsep yang
berakar dari sistem hukum Anglo
saxon, pembuktian ini lebih mudah
dan cenderung praktis dibandingkan
dengan sistem hukum Eropa
Kontinental yang dianut oleh
Indonesia. Pemidanaan haruslah
dapat dilihat dari
dipertanggungjawabkan perbuatan
seseorang. Dengan demikian
pertanggungjawaban pidana selalu
selalu tertuju pada pembuat tindak
pidana tersebut. Pertanggungjawaban
pidana ditujukan kepada pembuat
(dader). Maka apabila orang yang
melakukan tindak pidana maka
pertanggungjawaban haruslah
dikenakan kepada para pelaku.
Pertanggungjawaban pidana hanya
dapat terjadi jika sebelumnya subyek
hukum pidana tersebut melakukan
tindak pidana. Sedangkan didalam
sistem hukum Common law system,
berlaku asas “actus non est reus, nisi
mens sit rea”. Suatu perbuatan tidak
dapat dikatakan bersifat kriminal jika
“tidak terdapat kehendak jahat”
didalamnya. Dengan demikian,
dalam sistem common law system,
bahwa untuk dapat
xxxii
dipertanggungjawabkan seseorang
karena melakukan tindak pidana,
sangat ditentukan oleh adanya mens
rea pada diri seseorang tersebut.
Dengan demikian, mens rea yang hal
ini dapat kita lihat dari rujukan
sistem hukum Civil law, atau dengan
kata lain dapat kita sinkronkan
dengan ajaran “guilty of mind”,
merupakan hal yang menentukan
pertanggungjawban pembuat tindak
pidana. Dari dari sisi ini, penggunaan
mens rea dalam common law sistem,
pada prinsipnya sejalan dengan
penerapan asas “tiada pidana tanpa
kesalahan” dalam civil law sistem.
Berdasarkan hal di atas, maka
secara prinsip penggunaan doktrin
“mens rea” dalam sistem hukum
common law sejalan dengan asas
“geen straf zonder schul beginsel”
dalam sistem hukum civil law. Maka
untuk menentukan kesalahan dengna
menggunakan “tiada pidana tanpa
kesalahan yaitu “Geen straf zonder
schuld, actus non facit reum nisi
mens sir rea”, (aqua means rea atau
“kehendak jahat”). Prinsip ini
kemudian dinegasikan Prinsip
tanggung jawab mutlak mutlak (strict
liability). Pembuktian tidak semata-
mata dilihat apakah pelaku (dader)
melakukan tindak pidana yang
dituduhkan melakukan kesalahan
atau tidak, tapi beban pembuktian
langsung mutlak dibebankan
terhadap pelaku (dader) terhadap
kejahatan-kejahatan yang berkaitan
dengna sumber daya alam (termasuk
kejahatan lingkungan hidup). Prinsip
tanggung jawab mutlak (strict
liability) dibebankan kepada
perusahaan lingkungan hidup yang
nyata-nyata melakukan
kesalahan/kelalaian dalam
pengelolaan lingkungan hidup.
Dengan demikian, maka pembuktian
menjadi sederhana dan mudah
diterapkan. Pembuktian ini praktis
sehingga tidak perlu memenuhi
unsur yang dituduhkan kepada
pelaku (dader). Berangkat dari
prinsip ini, praktis kejahatan yang
berkaitan dengan lingkungan hidup
lebih banyak dibebankan kepada
perusahaan. Kasus Lapindo sebagai
xxxiii
contoh merupakan sebuah peristiwa
yang menarik. Berlarut-larutnya
pemeriksaan kasus Lapindo dan tarik
menarik antara Kepolisian dan
Kejaksaan dan belum juga
dinyatakan lengkap (P21), berangkat
dari pemahaman penegak hukum
yang tidak menerapkan prinsip
tanggung jawab mutlak mutlak (strict
liability). Sikap ngototnya penegak
hukum untuk melihat keterlibatan
pelaku (dader) kemudian terjebak
dengan hak-hal yang bersifat teknis
yang sulit pembuktiannya. Padahal
dengan menerapkan prinsip tanggung
jawab mutlak mutlak (strict liability),
maka tidak perlu dibuktikan, apakah
para pelaku (dader) melakukan
perbuatan itu atau tidak, tapi penegak
hukum bisa membuktikan, bahwa
karena kesalahan atau kelalaian dari
Lapindo, menyebabkan bencana.
Dengan pembuktian yang sederhana
ini, maka kasus Lapindo bisa
disidangkan dimuka hukum. Dan
korporasi yang bertanggung jawab
dalam bencana Lapindo dapat
dipersalahkan dan
pertanggungjawaban pidana.
Prinsip tanggung jawab mutlak
(strict liability) inilah salah satu
solusi untuk menyelesaikan berbagai
kejahatan baik kesengajaan ataupun
kelalaian dari korporasi lingkungan
hidup. Prinsip tanggung jawab
mutlak mutlak (strict liability)
merupakan prinsip yang sederhana
dan pembuktian yang mudah
menyebabkan berbagai kejahatan di
berbagai dunia dapat diselesaikan.
PENUTUP
Simpulan
1. Pengakuan korporasi sebagai
subjek hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan secara
pidana pada tindak pidana
lingkungan hidup ditegaskan
dalam Pasal 1 angka 32 UU No.
32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yaitu “Setiap
orang adalah orang perseorangan
atau badan usaha, baik yang
berbadan hukum maupun yang
xxxiv
tidak berbadan hukum”. Apabila
diterjemahkan lebih jauh bahwa
subjek hukum dimaksud dalam
Pasal 1 angka 32 UUPPLH 2009
ini adalah orang, badan hukum,
dan tidak berbadan hukum.
Berbadan hukum dan tidak
berbadan hukum maksudnya
adalah korporasi. Maka, subjek
tindak pidana yang dimaksud
dalam hal ini adalah korporasi.
2. Prinsip tanggung jawab mutlak
(strict liability) dalam UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindugan
dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup pada Bab XII
(Penyelesaian Sengketa
Lingkungan), Bagian Ketiga
(Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup Melalui
Pengadilan), Paragraf 2, Pasal 88
secara jelas mendefinisikan asas
strict liability dengan tanggung
jawab mutlak. Pasal tersebut
berbunyi: “Setiap orang yang
tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola
limbah B3, dan/atau yang
menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.”
Selanjutnya dalam penjelasan
Pasal 88 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009
dirumuskan bahwa yang
dimaksud dengan “bertanggung
jawab mutlak” atau strict liability
adalah unsur kesalahan tidak
perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar
pembayaran ganti rugi. Ketentuan
ayat ini sebagai lex specialis
dalam gugatan tentang perbuatan
melawan hukum pada umumnya.
Besarnya nilai ganti rugi yang
dapat dibebankan terhadap
pencemar atau perusak
lingkungan hidup menurut Pasal
ini dapat ditetapkan sampai batas
tertentu, yang dimaksud dengan
“sampai batas waktu tertentu”
adalah jika menurut penetapan
peraturan perundang-undangan
xxxv
ditentukan keharusan asuransi
bagi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan atau telah tersedia
dana lingkungan hidup.
Saran
Harus diatur secara eksplisit
dalam peraturan perundang-
undangan yang menentukan
korporasi sebagai subjek tindak
pidana mengenai kapan suatu
korporasi dapat dikatakan
melakukan tindak pidana. Demikian
juga halnya dengan ketentuan
mengenai siapa yang dapat dituntut
dan dijatuhi pidana atas kejahatan
yang dilakukan korporasi harus
diatur secara tegas, agar supaya
korporasi tidak dapat mengelak atas
kejahatan yang dilakukannya dengan
berlindung dibalik pengurus
korporasi.
DAFTAR PUSTAKA
d. Buku-buku:
Amirin, Tatang A. MenyusunRencana Penelitian. Jakarta:CV. Rajawali, 1986.
Arief, Barda Nawawi.Perbandingan HukumPidana, Cetakan Pertama.Jakarta: CV. Rajawali,1990.
Atmasasmita, Romli. Asas-asasPerbandingan HukumPidana, Cetakan Pertama.Jakarta: Yayasan LBH,1989.
Hetrik, Hamzah. AsasPertanggungjawabanKorporasi dalam HukumPidana. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada , 1996.
Mikles, Matthrew B. & A.Michael Huberman. AnalisisData Kualitatif, terj. TjetjepRehendy Rohidi. Jakarta: UIPress, 1992
Moljatno. Asas-asas HukumPidana, Cetakan Kedua.Jakarta: Bina Aksara, 1984.
Marpaung, Leden. Unsur-unsurPerbuatan yang DapatDihukum, Cetakan Pertama.Jakarta: Sinar Grafika,1991.
Mudzakir, Aspek Hukum PidanaDalam PelanggaranLingkungan, dalam ErmanRajagukguk dan RidwanKhairandy (ed), HukumLingkungan Hidup diIndonesia, 75 Tahun Prof.Dr. KoesnadiHardjasoemantri, SH.,ML.Jakarta: UniversitasIndonesia, 2001.
xxxvi
Muladi dan Barda NawawiArief. Teori dan KebijakanPidana. Bandung: Alumni,1998.
Sunggono, Bambang. MetodePenelitian Hukum. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2002.
Syahrin, Alvi. Beberapa IsuHukum LingkunganKepidanaan. Medan:Sofmedia, 2009.
e. Peraturan Perundang-undanganSekretariat Negara RI. Undang-
Undang No. 1 Tahun 1946tentang Peraturan HukumPidana (KUHP). Jakarta,1946.
Sekretariat Negara RI. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009tentang Perlindungan danPengelolaan LingkunganHidup. Jakarta, 2009.
Sekretariat Negara RI. PeraturanPemerintah No. 27 Tahun1999 tentang AnalisisMengenai DampakLingkungan. Jakarta, 1999.
f. RUU KUHPDirektorat Perundang-undangan,
Direktorat Jenderal Hukumdan Perundang-undangan,Departemen Hukum danPerundang-undangan, 1999-
2000, Rancangan Undang-undang Republik IndonesiaTentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
viii
Lampiran 5. Bahan Ajar (SAP Kejahatan Korporasi)
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
Mata Kuliah : Kejahatan KorporasiKode Mata Kuliah : HKS08656Satuan Kredit Semester : 2 (dua) SKSSemester : VII (tujuh)Program Studi : S.1. Ilmu HukumProses belajar mengajar
a. Dosen : menjelaskan, memberikan contoh, diskusi, memberikan tugas terstuktur.b. Mahasiswa : mendengarkan, mencatat, mempelajari, diskusi, mengerjakan tugas terstruktur.
Tujuan Instruksional Umum : Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan mengenai kejahatan yang secara faktual terjadi dimasyarakat yang dilakukan oleh Korporasi dengan cakupan pengkajian tentang konsepkejahatan korporasi, kausa kejahatan korporasi, tipe kejahatan korporasi, pertanggungjawabanpidana bagi korporasi dan upaya penanggulangannya.
DESKRIPSI MATA KULIAH : Mata kuliah yang mengkaji tentang kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dari berbagaiaspek secara komprehensif yang berkaitan dengan perkembangan dan pembangunan dimasyarakat.
Media :a. Papan tulisb. LCDc. Tatap Mukad. Diskusi
Evaluasi :a. Hasil testb. Hasil ujianc. Penilaian terhadap hasil penugasa
ix
Minggu PokokBahasan
Sub Pokok Bahasan TujuanInstruksional
Khusus
SumberPustaka
Media Tugas Keterangan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 dan 2 Pengantar 1. Deskripsi Singkat Mata Kuliah2. Korporasi Sebagai Subyek Hukum3. Pengertian Korporasi4. Korporasi Sebagai Subyek Hukum
Dalam Berbagai Lapangan Hukum5. Pengaturan Korporasi Sebagai
Subyek Hukum Tindak Pidana6. Pembagian Badan Hukum
(Korporasi)7. Urgensi Studi Kejahatan Korporasi
Mahasiswamampumemahami1. pengertian
korporasisecaraetimologisdanpendapatbeberapasarjana
2. bentuk-bentukkorporasi
3. posisi kajiankorporasidan manfaatmempelajraikorporasi
4. kriteriakorporasidalam
A,B,C,D,
E,F,G,H,
I
TatapMuka,LCD,
Diskusi.
Mengumpulkan danMempelajariBuku-bukuWajib.
x
kontekskejahatankorporasi
5. alasan-alasanpihakyang prodankontraterhadappertanggungjawabanpidana bagikorporasi
3-4 RuangLingkupKejahatanKorporasi
1. Pengertian Kejahatan Korporasi2. Batas-Batas Kejahatan Korporasi3. Anatomi Kejahatan Korporasi4. Motif-Motif Kejahatan Korporasi5. Bentuk-Bentuk Kejahatan
Korporasi6. Korban Kejahatan Korporasi
Mahasiswadapatmemahamimengenaikarakteristikkejahatankorporasisehinggadapatmenjelaskanperbedaannyadengankejahatankonvensional
A,B,C,D,E, F.
TatapMuka,LCD,
Diskusi.
MembuatResume BukuA. Setiyono,tentangKejahatanKorporasi(AnalisisViktimologisdanpertanggungjawabanKorporasidalam HukumPidana
xi
Indonesia),Malang:Averroes Pressdan PustakaPelajar, 2002.
5-6 SistemPertanggungjawaban PidanaKorporasi
1. Pertanggungjawaban Pidana2. Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi (Corporate CriminalLiability)
3. Pola Pertanggungjawaban PidanaTerhadap Korporasi
4. Teori-Teori PertanggungjawabanPidana Terhadap Korporasi
5. Doktrin Identifikasi6. Doktrin Vicarious Liability7. Doktrin Strict Liability
Mahasiswadapatmemahamimengenaiteori, asas dansistempertanggungjawaban pidanakorporasidenganmerujuk padaKUHP,Peraturanperundang-undangan diluar KUHP,dan RUUKUHP
A,B,C,D,E,F,G,H,
I
TatapMuka,LCD,
Diskusi.
MenganalisabeberapaKejahatanyang terjadi diIndonesia,
7 Ujian Tengah Semester
xii
8-9 KorbanKejahatanKorporasi
1. Karakteritik korban kejahatankorporasi
2. Bentuk-bentuk kerugian darikejahatan korporasi :
a.kerugian Materib. kerugian bidang kesehatan dan
keselamatan jiwac. kerugian sosial moral
3. Jaminan perlindungan hukumbagi korban kejahatankorporasi pada berbagaiperaturan perundang-undangan :
a. Kompensasib. Restitusi
Mahasiswadapatmemahamimengenaikarakteristikkorban denganberbagaibentukkerugian yangdialami danperlindunganhukum yangberhakdiperoleh.
A,B,C,D,E,F,G,H,
I,J
TatapMuka,LCD,
Diskusi.
10 PemidanaanterhadapKorporasi
1. Konsep Pemidanaan TerhadapKorporasi
2. Pengaturan Stelsel PidanaTerhadap Korporasi
Mahasiswamampumemahamisistempemidanaanterhadapkorporasi
A, B, C,D,E,
F.G,H,I,J
TatapMuka,LCD,
Diskusi.
12-13 KejahatanKorporasi diBidangLingkungan
1. Ruang Lingkup KejahatanKorporas di Bidang LingkunganHidup
2. Korban Kejahatan Korporasi di
MahasiswadapatmemahamiKejahatan
A, B, C,D,E, F.
TatapMuka,LCD,
Diskusi
MenganalisKasus-kasusKejahatanKorporasi di
xiii
Hidup Bidang Lingkungan Hidup3. Pertanggungjawaban Pidana bagi
Korporasi di Bidang LingkunganHidup
Korporasi diBidangLingkunganHidup danteori-teoriPertanggungjawaban Pidanabagi Korporasidi BidangLingkunganHidup
. BidangLingkunganHidup
13 Penanggulangan KejahatanKorporasi
1. Macam dan bentuk sarana kontrol bagiupaya penanggulangan kejahatankorporasi :
a. Upaya penanggulangan Non Penalb. Upaya penanggulangan
2. Pengaturan sanksi pidana terhadapkejahatan korporasi dalam berbagaiperaturan perundang-undangan
3. Antisipasi terhadap perkembangankejahatan korporasi di masamendatang
Mahasiswadapatmemahamiteori-teoriyangmenjelaskankejahatan daristruktur sosialdandampaknya
A, B, C,D,E,
F.G,H,I,J
TatapMuka,LCD,
Diskusi.
14 Ujian Akhir Semester
xiv
DAFTAR PUSTAKA:A. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta hukum Pidana, 2003B. Dwija Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, 2003C. Gibert Geiss dan Robert F Meier, Corporate Crime, 1989D. Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996Setiyono, Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis dan pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum PidanaIndonesia), Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2013
E. I.S.Susanto, Diktat Kejahatan Korporasi, Semarang, UNDIP, 2005.F. J.E.Sahetapy, Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung: Eresco, 1995G. ----------------------------, Kejahatan Korporasi, Bandung:Eresco, 1994H. Marshall B Clinard dan Peter C Yeager, Corporate Crime, New York: The Free Press, 1980I. Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, Bandung: Nusa Media, 2009.J. Penanggulanggan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan Restoratifsuatu Terobosan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
xv
16