klt dan hplc zingiberaceae
Post on 02-Jan-2016
194 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TUGAS PUSTAKA PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI ANALITIK (FA - 3231)
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT) DAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)
DALAM ANALISIS JAMU DAN EKSTRAK TUMBUHAN SUKU ZINGIBERACEAE
[dikumpulkan tanggal 19 Februari 2008]
Disusun oleh
Kelompok VI (Selasa)
Ega wulandari Dian Pertiwi (10705101)
Mei Nurul Fitri (10705102)Rama Rupama (10705113)Yusy Novia (10705118)Annisa Rahma (10705122)
LABORATORIUM FARMAKOGNOSI ANALITIKSEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2008
BAB I
PENDAHULUAN
Jamu dan ekstrak merupakan obat tradisional yang sering digunakan masyarakat
Indonesia. Namun dalam pemakaiannya masyarakat hanya akan tahu khasiat yang
dirasakan dari jamu dan ekstrak tersebut tanpa mengetahui kemungkinan adanya zat-zat
lain yang bersifat racun didalamnya. Bahkan hampir sebagian masyarakat tidak
mengetahui zat aktif apa dari jamu dan ekstrak tersebut yang bisa membuat mereka
terbebas dari penyakit.
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa tidak semua jamu dan ekstrak cukup
aman untuk dikonsumsi. Kemungkinan masih ada zat-zat racun yang tertinggal di
dalamnya sehingga mungkin menimbulkan efek samping yang cukup signifikan bagi
tubuh. Oleh katrena itu perlu dilakukan suatu analisis yang tepat untuk bisa memisahkan
dan menganalisis senyawa yang terkandung di dalam jamu maupun ekstrak tersebut.
Metode yang biasa dilakukan untuk menganalisis kandungan zat tersebut adalah
kromatografi. Kromatografi merupakan metode pemisahan suatu zat dengan
menggunakan prinsip polaritas. Kromatografi ada beberapa macam, namun yang sering
digunakan dalam analisis kandungan zat adalah kromatografi cair dan lapis tipis.
Kromatografi cair kinerja tinggi dan lapis tipis banyak digunakan karena hasilnya
cukup akurat dan khusus untuk kromatografi lapis tipis dapat dijangkau dengan biaya
yang rendah.
BAB II
URAIAN
I. Jamu dan Ekstrak
I.1. Jamu
Jamu adalah Obat Tradisional Indonesia ( Konsep Pengembangan Obat Asli
Indonesia, Ditjen POM, Dep. Kesehatan RI, 2000 ). Sedangkan pengertian obat
tradisional (OT) adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang
secara turun temurun telah digunakan untuk obat berdasarkan pengalaman, Obat Asli
Indonesia (OAI) adalah bahan atau ramuan bahan berkhasiat obat yang memiliki
komposisi sepenuhnya adau lebih dari 75% bobotnya terdiri dari bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral atau sediaan sarian (galenik) yang berasal dari alam Indonesia (PP.
No 17 tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan, dan Pengembangan
Industri).
Kemanjuran suatu produk jamu akan meningkatkan keberhasilan produk jamu
dalam pemasarannya. Penambahan bahan sintetik merupakan salah satu upaya
meningkatkan kemanjuran suatu produk jamu. Obat-obat analgetik perifer, antipiretik,
vitamin B kompleks dan kortikosteroid sering ditambahkan pada jamu pegal linu, obat
kuat atau penambah nafsu makan. Penambahan bahan sintetik ke dalam sediaan jamu
termasuk salah satu bentuk pemalsuan jamu. Penambahan bahan sintetik ke dalam jamu
tidak dapat dibenarkan karena ditinjau dari aspek posologi dan penandaan kemungkinan
besar sudah tidak sesuai lagi. Penambahan bahan sintetik dalam bahan jamu, merupakan
salah satu bentuk penipuan karena apabila pasien langsung membeli sediaan obat yang
mengandung bahan sintetik tersebut kemungkinan akan mendapatkannya dengan harga
yang lebih murah. Untuk menghindari adanya kerugian pada pihak konsumen akibat
penambahan bahan-bahan sintetik tersebut maka dilakukan analisis kualitatif untuk
mengetahui ada / tidaknya bahan kimia dalam produk jamu. Yang menjadi acuan dalam
analisis adalah Farmakope Indonesia, USP, dan MMI. Analisis kualitatif tersebut dapat
dilakukan dengan bermacam-macam cara, diantaranya: uji dengan spektrum serapan infra
merah atau serapan ultra violet, pengamatan mikroskopik, uji menggunakan
kromatografi lapis tipis, uji identifikasi umum, pemijaran, dan lain-lain.
I.2. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengesktraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian
semua atau hamper semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Sebagian
besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku secara perkolasi. Seluruh bagian
perkolat biasanya dipekatkan dengan cara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar
bahan utama obat sesedikit mungkin terkena panas.
Ekstrak cair adalah sediaan cair simplisia nabati, yang mengandung etanol
sebagai pelarut atau sebagai pengawet atau sebagai keduanya. Jika tidak dinyatakan lain
pada masing-masing monografi, tiap ml ekstrak mengandung bahan aktif dari 1 g
simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair cenderung membentuk endapan dapat
didiamkan dan disaring atau bagian yang bening dienaptuangkan. Beningan yang
diperoleh memenuhi persyaratan farmakope.
II. Kromatografi
Definisi kromatografi menurut Farmakope Indonesia IV : kromatografi adalah
suatu prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam
sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara
berkesinambungan dalam arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan
perbedaan mobilitas disebabkan adanya pembedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan,
tekanan uap, ukuran molekul, atau kerapatan muatan ion.
Metode kromatografi dipakai secara luas baik untuk pemisahan analitik dan
preparatif. Kromatografi analitik dipakai pada tahap permulaan untuk semua cuplikan
senyawa, sedangkan kromatografi preparatif hanya dilakukan jika diperlukan fraksi
murni dari campuran.
Pemisahan suatu campuran senyawa dengan metode kromatografi dilakukan
dengan memanfaatkan berbagai sifat fisika dari molekul, antara lain :
1. Kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan)
2. Kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorpsi)
3. Kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap (keatsirian)
Prinsip dasar kromatografi adalah mengubah keadaan distribusi statik menjadi
sistem kesetimbangan yang dinamik. Hal ini dilakukan dengan cara menggerakkan satu
fase secara mekanis (fase gerak) relatif terhadap fase yang lainnya (fase diam) dalam
suatu sistem kesetimbangan. Fase gerak dapat berupa zat cair atau gas, sedangkan fase
diam dapat berupa lapisan tipis cairan yang melekat pada penyangga atau permukaan zat
padat yang berfungsi sebagai penyangga. Jika suatu campuran zat A+B dimasukkan
dalam sistem, kedua senyawa akan terdistribusi di antara kedua fase menurut sifat
masing-masing. Senyawa yang memiliki afinitas lebih besar terhadap fase gerak (atau
afinitas yang lebih kecil terhadap fase diam) akan bergerak lebih cepat daripada senyawa
yang memiliki sifat sebaliknya. Perbedaan laju perpindahan ini merupakan dasar dari
semua pemisahan secara kromatografi.
a. Kromatografi lapis tipis
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia dengan fasa gerak
(larutan pengembang yang cocok), dan fasa diam (bahan berbutir) yang diletakkan pada
peyangga berupa pelat gelas atau lapisan yang cocok.
Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) lalu hasil
pengembangan dideteksi. Zat yang memiliki kepolaran yang sama dengan fase diam akan
cenderung tertahan dan nilai Rf-nya paling kecil.
Metode kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan
adanya pemalsuan dalam sediaan jamu. Selain digunakan untuk pemisahan senyawa,
KLT (kromatografi lapis tipis) juga dapat digunakan untuk identifikasi senyawa.
Parameter utama dalam KLT adalah faktor retardasi (Rf) yaitu perbandingan antara jarak
migrasi sampel dengan jarak migrasi fase gerak, yang dipengaruhi oleh:
1. fase diam: kualitas, keberadaan pengotor, ketidakseragaman ketebalan, aktivasi pelat,
2. fase gerak: kemurnian pelarut,
3. bejana pengembang: ukuran bejana, kuantitas pelarut, kejenuhan,
4. suhu,
5. jarak pengembangan,
6. kuantitas sampel.
Fasa diam (lapisan penjerap)
Jika dilihat dalam sinar jatuh dan sinar lewat, lapisan yang kering mempunyai
wadah yang seragam dan membentuk ikatan yang baik dengan penyangga. Panjang
lapisan 200 mm dengan lebar 200 atau 100 mm. Untuk analisis, tebalnya 0,1 – 0,3 mm,
biasanya 0,2 mm. Contoh umum : silika gel, alumunium oksida, kieselgur, selulosa dan
turunannya, poliamida, dll.
Fasa gerak
Merupakan medium angkut dan terdiri dari satu/beberapa pelarut. Fasa gerak
bergerak dalam fasa diam karena adanya gaya kapiler. Pada kromatografi penjerap,
pelarut perngembang dapat dikelompokkan ke dalam deret eluotropik berdasarkan efek
elusinya. Efek elusi naik dengan seiring kepolaran pelarut. Misal : heksana nonpolar
mempunyai efek elusi lemah, kloroform cukup kuat dan methanol yang polar efek
elusinya kuat. Tetapan dielektrik juga memberi informasi tentang kepolaran suatu
senyawa.
Bejana pemisah, penjenuhan, aras pengisian
Bejana harus dapat menampung pelat 200x200 mm dan harus tertutup rapat. Aras
pengisian fasa gerak harus 5-8 mm sesuai dengan kedalaman lapisan yang terpendam.
Untuk kromatografi dalam bejana yang jenuh, secarik kertas saring bersih yang lebarnya
18-20 cm dan panjangnya 45 cm ditaruh pada di dinding sebelah dalam bejana berbentuk
U dan dibasahi dengan pelarut pengembang. Kertas saring berfungsi untuk mencegah
terjadinya penguapan dari lapisan fasa diam.
Awal dan jumlah cuplikan
Bercak atau pita ditotolkan pada jarak 15 mm dari tepi bawah lapisan. Jarak suatu
bercak awal berjarak 3-5 mm dari bercak lain dan berjarak sekurang-kurangnya 10 mm
dari tepi. Biasanya ditotolkan 1-10 µl larutan cuplikan 0,1-1%.
Pengembangan
Pengembangan adalah proses pemisahan campuran cuplikan akibat pelarut
pengembang merambat naik dalam lapisan. Jarak pengembangan normal, yaitu jarak
antar garis awal dan garis depan, ialah 10 mm.
Ada bermacam-macam teknik pengembangan, yaitu :
- Pengembangan satu arah
- Pengembangan alir-sinambung
- Pengembangan landaian
- Pengembangan ganda
- Pengembangan dua arah
- Pengembangan lingkar
- Pengembangan carik baji
Larutan pembanding (campuran uji atau baku)
Merupakan campuran yang terdiri dari 1-5 senyawa yang diketahui, dengan
konsentrasi yang diketahui pula. Bila mungkin, senyawa pembanding ini sama dengan
senyawa yang terdapat di dalam larutan cuplikan.
Larutan cuplikan
Merupakan larutan senyawa obat yang akan dianalisis. Jumlah senyawa obat yang
terlarut pada pelarut harus sama dengan yang terdapat pada sediaan.
Deteksi senyawa yang dipisah
Lampu UV untuk eksitasi fluoresensi
Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa itu menunjukkan penyerapan pada daerah
UV gelombang pendek (radiasi utama kira-kira 254 nm) atau jika senyawa dapat
dieksitasi ke fluorosensi radiasi UV gelombang pendek dan/ atau gelombang panjang
(365 nm). Selain itu juga bisa dengan pereaksi semprot dan deteksi biologi..
Penilaian dan dokumentasi kromatogram
Kualitatif : dengan penilaian visual
Hal yang dapat diamati : jarak pengembangan komponen larutan cuplikan (dengan
merujuk pada angka Rf atau hRf pada KLT)
Rf = jarak titik pusat bercak dari titik awal/ jarak garis depan dari titik awal
Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua decimal. hRf
adalah angka Rf dikalikan faktor 100(h), menghasilkan nilai berjangka antara 0 dan 100.
Harga Rf tergantung kelembaban atmosfer dan sifat penjerap. Jika hRf lebih
tinggi daripada hRf pada pustaka maka kepolaran pelarut harus dikurangi; jika hRf lebih
rendah maka komponen polar pelarut harus dinaikkan.
Kromatografi lapis tipis paling cocok untuk analisis obat di farmasi karena :
- Investasi yang kecil untuk perlengkapan
- Waktu analisis yang singkat (15-60 menit)
- Analit/cuplikan yang dibutuhkan hanya sedikit ( + 0,1 g)
- Kemungkinan hasil palsu yang disebabkan oleh komponen sekunder tidak
mungkin
- Kebutuhan ruangan minimum
- Penanganannya sederhana
Analisis KLT banyak digunakan karena :
1. Waktu yang diperlukan untuk analisis senyawa relatif pendek
2. Dalam analisis kualitatif dapat memberikan informasi semi kuantitatif tentang konstituen
utama obat
3. Cocok untuk memonitor identitas dan kemurnian obat.
4. Dengan bantuan prosedur pemisahan yang sesuai, dapat digunakan untuk analisis
kombinasi obat dari sediaan herbal.
kromatografi cair kinerja tinggi (kckt)
Kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor
yang sensitif telah menyebabkan perubahan kromatografi kolom cair menjadi suatu
sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Metode ini dikenal sebagai
kromatografi cair kinerja tinggi. Teknologi kolom didasarkan atas penggunaan kolom
berlubang kecil (diameter dalam antara 2 mm hingga 5 mm) dan isi kolom berupa
partikel kecil (3m hingga 50 m), yang memungkinkan tercapainya keseimbangan
secara cepat antara fase gerak dan fase diam. Teknologi kolom partikel kecil ini
memerlukan sistem pompa tekanan tinggi yang mampu mengalirkan fasa gerak pada
tekanan tinggi sampai 300 atmosfer, agar tercapai laju aliran beberapa ml per menit. Oleh
karena sering digunakan jumlah zat uji yang kecil (umumnya lebih kecil dari 20 g)
untuk isi kolom tersebut di atas, maka diperlukan detektor yang sensitif. Dengan
teknologi ini kromatografi cair dalam banyak hal dapat menghasilkan pemisahan yang
sangat cepat seperti pada kromatografi gas, dengan keunggulan zat-zat yang tidak
menguap atau tidak tahan panas dapat dikromatografi tanpa peruraian atau tanpa perlunya
membuat derivat yang dapat menguap.
Fase diam dapat berupa cairan atau polimer, yang disalut atau terikat secara kimia
pada permukaan penyangga sebagai lapisan tipis, yang mengurangi hambatan terhadap
pemindahan masa, sehingga keseimbangan antara fase gerak dan fase diam dapat tercapai
dengan cepat. Suatu fase diam cair harus mempunyai sifat praktis tak bercampur dengan
fase gerak, umumnya fasa gerak perlu dijenuhkan terlebih dahulu dengan fase diam cair,
agar fase diam tidak terbawa dari kolom. Fase diam berupa polimer yang disalutkan pada
penyangga umumnya lebih dapat bertahan. Suatu fase diam yang terikat secara kimia
pada penyangga lebih mudah pemakaiannya dengan beraneka ragam pelarut serta suhu
yang lebih tinggi.
Komposisi fase gerak berpengaruh nyata terhadap kinerja kromatografi dan harus
dikendalikan dengan cermat. Komposisi dapat mempunyai pengaruh yang jauh lebih
besar terdadap faktor kapasitas daripada suhu, (faktor kapasitas = k adalah perbandingan
waktu yang diperlukan selama berada dalam fase diam terhadap waktu yang diperlukan
selama berada dalam fase gerak).
Fase gerak haruslah:
- murni, tanpa cemaran
- tidak bereaksi dengan kemasan
- sesuai dengan detektor
- dapat melarutkan cuplikan
- mempunyai viskositas yang rendah
- memungkinkan memperoleh kembali cuplikan dengan mudah, jika diperlukan
- harganya wajar.
Bahan pengisi kolom lainnya dengan diameter yang lebih kecil, antara 3 m
hingga 10 m, hampir seluruhnya berpori dan memberikan pemisahan yang lebih efisien
dari pada partikel pengisi kolom berukuran antara 30 m hingga 50 m. Partikel tersebut
dapat pula dibuat bersifat adsorpsi atau dilapisi dengan suatu fase diam. Dalam hal ini
pengisian ke dalam kolom harus dibuat dalam bentuk bubur untuk mendapatkan efisiensi
kolom yang tinggi, berbeda dengan partikel berukuran antara 30 m hingga 50 m yang
dapat diisikan dalam bentuk kering.
Tiga bentuk kromatografi cair kinerja tinggi yang paling banyak digunakan :
1. Kromatografi penukar ion terutama digunakan
untuk pemisahan zat-zat larut dalam air yang ionik atau yang dapat terionisasi dengan
bobot molekul kurang dari 1500. Fase diam pada kromatografi penukar ion umumnya
resin organik sintetik dengan gugus aktif yang berbeda-beda. Pada resin penukar
kation terdapat gugus aktif yang bermuatan negatif dan resin ini digunakan untuk
pemisahan zat-zat bersifat basa, misalnya amina. Sebaliknya pada resin penukar anion
teredapat gugus aktif bermuatan positif yang akan zat-zat dengan gugus fosfat,
sulfonat atau karboksilat, yang bermuatan negatif. Senyawa larut air yang ionik atau
yang dapat terionisasi akan mengalami tarikan oleh resin, dan perbedaan dalam
afinitas akan menyebabkan terjadinya pemisahan kromatografi. pH fase gerak, suhu,
jenis ion, konsentrasi ionik, dan senyawa organik tertentu yang berfungsi untuk
memodifikasi dapat mempengaruhi tertariknya zat terlarut, dan variabel-variabel
tersebut dapat diatur agar diperoleh derajat pemisahan yang diinginkan.
2. Pada kromatografi partisi digunakan fase gerak dan
fase diam dengan polaritas yang berbeda. Jika fase gerak bersifat polar dan fase diam
non-polar, dikenal sebagai kromatografi fase balik, maka senyawa non-polar yang
larut dalam hidrokarbon, dengan bobot molekul kurang dari 1000, seperti vitamin
larut lemak dan antrakinon, dapat dipisahkan berdasarkan atas afinitasnya terhadap
fase diam. Modifikasi pelarut fase gerak yang polar dengan pelarut yang kurang polar
menyebabkan berkurangnya afinitas serta retensi senyawa pada kolom. Jika fase
gerak bersifat non polar dan fase diam polar, maka zat yang bersifat polar, seperti
golongan alkohol dan amina dapat dikromatografi. Fase gerak yang non-polar dapat
dimodifikasi dengan suatu pelarut yang lebih polar, untuk mengurangi retensi dan
mengubah pemisahan.
3. Beraneka ragam senyawa non ionik dapat
dikromatografi dengan kromatografi adsorpsi, dengan memilih fase diam dan fase
gerak yang tepat.
Keuntungan KCKT
KCKT mempunyai banyak keuntungan bila dibandingkan dengan kromatografi cair
tradisional, yaitu:
a. cepat
b. daya pisahnya baik
c. peka, detektor unik
d. kolom dapat dipakai kembali
e. ideal untuk molekul besar dan ion
f. mudah memperoleh kembali cuplikan.
Alat
Pada dasarnya alat kromatografi cair terdiri dari :
1. Pompa
Fase gerak dalam KCKT sudah tentu cair, dan untuk menggerakkannya melalui
kolom, diperlukan alat. Ada dua jenis utama pompa, yang digunakan: tekanan-
tetap dan pendesakan-tetap.
2. Injektor
Cuplikan harus dimasukan ke dalam pangkal kolom (kepala kolom), diusahakan
agar sesedikit mungkin terjadi gangguan pada kemasan kolom.
Ada dua macam teknik utama :
a. Aliran-henti
b. Pelarut mengalir.
Teknik-teknik tersebut dapat dilakukan menggunakan alat suntik atau katup
penyuntik. Untuk teknik penyuntikan dengan alat suntik, dapat digunakan suatu
septum (injektor langsung pada aliran, yang sama dengan injektor yang lazim
dipakai pada kromatografi gas) apabila tekanan pada bagian atas kolom kurang
dari 70 atmosfer (lebih kurang 1000 psi). Pada tekanan yang lebih tinggi dapat
digunakan suatu katup penyuntik untuk memasukkan zat uji. Beberapa sistem
katup mempunyai suatu tabung lingkar terkalibrasi yang diisi dengan zat uji, yang
kemudian dipindahkan oleh sistem katup ke dalam arus fase gerak yang mengalir.
Sistem katup lainnya memungkinkan analit dimasukkan ke dalam suatu rongga
dengan menggunakan alat suntik. Rongga yang telah terisi tersebut kemudian oleh
sistem katup dialihkan ke dalam arus bertekanan tinggi. Pada teknik “aliran
berhenti”, aliran kolom dihentikan, dan setelah tekanan pada tempat penyuntikan
turun hingga nol, tempat penyuntikan dibuka dan analit disuntikkan dengan
memakai alat suntik. Kemudian tempat penyuntikan ditutup dan pompa
dijalankan kembali. Tekanan tinggi dengan cepat tercapai kembali dan zone
penyebaran kecil dalam proses ini. Teknik “aliran berhenti” memberikan
keberulangan penyuntikan pada tekanan tinggi yang lebih baik daripada kalau
menggunakan septum. Masalah rusaknya septum oleh berbagai pelarut dengan
demikian juga dapat dihindari.
3. Kolom
Kolom merupakan jantung kromatografi. Keberhasilan atau kegagalan analisis
bergantung pada pilihan kolom, dan kondisi kerja yang tepat. Kolom dapat dibagi
menjadi 2 kelompok:
a. Kolom analitik : diameter 2-6mm. Panjang bergantung pada jenis kemasan,
untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100cm. Untuk kemasan
mikro partikel berpori biasanya 10-30cm.
b. Kolom preparatif : umumnya berdiameter 6mm atau lebih besar, dan panjang
25-100cm. Kolom hampir selalu terbuat dari baja nirkarat
Kolom dapat dipanaskan agar dihasilkan pemisahan yang lebih efisien, akan
tetapi suhu di atas 600 jarang digunakan, oleh karena mungkin terjadi penguraian
fase diam ataupun penguapan fase gerak pada suhu yang lebih tinggi tersebut,
terutama dalam kromatografi pertukaran ion dan kromatografi ekslusi. Jika tidak
dinyatakan lain dalam monografi, kolom dipertahankan pada suhu kamar.
4. Detektor
Detektor yang biasa dipakai mencakup :
a. Fotometer ultraviolet raksa tekanan rendah merupakan detektor yang umum
dan stabil, tetapi penggunaannya terbatas pada deteksi bahan yang menyerap
radiasi pada panjang gelombang 254 nm. Batas kepekaan untuk senyawa yang
menyerap cahaya ultraviolet dengan kuat lebih kurang 1 ng. Senyawa yang
tidak menyerap cahaya pada 254 nm secara berarti, dapat diubah menjadi
derivat yang sesuai yang menyerap panjang gelombang ini, sehingga dengan
demikian memperluas ruang lingkup penggunaan detektor panjang gelombang
tunggal tersebut. Ruang lingkup deteksi ultraviolet bertambah luas lagi dengan
pemakain spektrofotometer yang dilengkapi dengan kuvet mikro serta
detektor yang dapat dioperasikan pada panjang gelombang lain.
b. Refraktometer diferensial mendeteksi perbedaan indeks bias pelarut murni dan
indeks bias larutan zat yang diuji dalam pelarut itu. Sekalipun penggunaannya
lebih umum, detektor ini kurang peka, batas deteksinya lebih kurang 1 m
serta peka terhadap perubahan yang kecil dalam kompiosis pelarut, laju aliran
dan suhu, sehingga mungkin perlu dipakai suatu kolom dan aliran fase gerak
pembanding untuk memperoleh garis dasar yang memuaskan.
c. Fluorometer merupakan detektor yang peka untuk senyawa yang dapat
berfluoresensi atau dapat diubah menjadi derivat yang berfluoresensi dengan
jalan perubahan kimia atau dengan reaksi penggabungan dengan pereaksi
yang berfluoresensi pada gugus fungsional yang spesifik. Untuk beberapa
pereaksi, pembuatan derivat dilakukan sebelum pemisahan kromatografi. Pada
pendekatan lain, pereaksi dimasukkan ke dalam aliran fase gerak dan bereaksi
langsung dengan analit secara in situ, dan derivat yang diukur oleh detektor.
Pada umumnya, sinyal yang berasal dari detektor diperkuat terlebih dahulu
sebelum disampaikan pada alat perekam otomatik yang sesuai, biasanya berupa suatu
perekam potensiometrik; dalam hal ini sinyal merupakan fungsi dari waktu. Dapat pula
sinyal dikirimkan kepada suatu integrator digital elektronik untuk mengukur luas puncak
kromatogram secara otomatik.
5. Elusi landaian
Elusi landaian ialah peningkatan kekuatan fase gerak selama analisis
kromatografi. Hasil elusi landaian ialah perpendekan waktu lambat senyawa yang
ditahan dengan kuat dalam kolom. Elusi landaian mempunyai beberapa
keuntungan:
a. Waktu analisis keseluruhan dapat dikurangi secara berarit
b. Daya pisah keseluruhan per satuan waktu campuran ditingkatkan
c. Bentuk puncak diperbaiki (pembentukan ekor lebih kecil)
d. Kepekaan efektif ditingkatkan karena bentuk puncak kurang beragam
Prinsip kerja Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Bagan kerja instrumen KCKT
Instrumen KCKT
Kromatografi Lapis Tipis Dalam Analisis Jamu Dan Ekstrak
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan teknik fisikokimia yang sering
digunakan untuk menganalisis bahan-bahan dari tumbuhan obat dan campurannya.
Teknik ini dapat digunakan dalam waktu relatif singkat, hanya memerlukan jumlah analit
dan pelarut yang sedikit dan perlatan yang digunakan relatif murah. Selain itu, kebutuhan
ruang dari pelaksanaan KLT minimum dan mudah dilakukan.
Untuk analisis jamu dan ekstrak dengan KLT, sistem KLT yang sesuai harus
dicari terlebih dahulu. Setelah didapatkan sistem KLT yang sesuai, dilakukan
pelaksanaan analisis dengan KLT yang meliputi penyiapan adsorben, penjenuhan bejana
kromatografi, penotolan larutan uji dan larutan pembanding, pengembangan
kromatogram, dan pengamatan serta interpretasi kromatogram.
Untuk mengamati kromatogram yang dihasilkan, dapat dilakukan dengan
dokumentasi foto hasil pewarnaan lempeng kromatografi dengan pereaksi yang sesuai
atau dengan melihat kromatogram hasil perekaman menggunakan instrumen densitometer
(TLC – scanner). Perekaman dapat dilakukan secara absorbsi-refleksi pada panjang
gelmombang 256nm, 365nm, dan 415 nm atau pada panjang gelombang lain yang
spesifik untuk suatu komponen yang telah diketahui. Apabila bercak yang dihasilkan oleh
larutan uji berbeda dengan pembanding maka bercak khas itu diisolasi untuk identifikasi
lebih lanjut menggunakan alat yang dapat mengidentifikasi struktur seperti nuclear
magnetic resonance (NMR).
Penentuan kadar dapat dilakukan dengan spektrofotometri UV. Pita zat yang
terbentuk dikerok dan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai kemudia disaring untuk
memisahkan zat identitas dengan fasa diam. Setelah itu, sampel dan pembanding diukur
pada panjang gelombang maksimum zat identitas sehingga diperoleh absrorbansi.
Penentuan kadar dapat juga dilakukan dengan spektrofotodensitometer. Bercak zat
identitas sampel dan pembanding diukur pada panjang gelombang maksimum zat
identitas. Bercak yang terbentuk tidak boleh rusak oleh penampak bercak. Dari
pengukuran akan didapat luas area dibawah puncak dan absorbansi.
Contoh prosedur pemisahan pada rimpang Costus speciosus Smith.
Timbang 600 mg serbuk rimpang dengan 5 mL metanol P dan panaskan di atas
tangas air selama 2 menit, dinginkan dan saring. Cuci endapan dengan metanol P
secukupnya sehingga diperoleh 5 mL filtrat. Pada titik pertama, kedua dan ketiga
lempeng KLT, totolkan masing-masing sebanyak 40 uL filtrat. Pada titik keempat
totolkan 5 uL zat warna I LP. Eluasi dengan dikloroetana P dengan jarak rambat 15 cm.
Keringkan lempeng tersebut di udara selama 10 menit, eluasi kembali dengan toluena P
dengan arah eluasi dan jarak rambat yang sama. Amati dengan sinar biasa dan dengan
sinar ultra violet 366 nm. Selanjutnya semprot dengan reaksi anisaldehid-asam sulfat LP,
panaskan pada suhu 1100C selama 10 menit. Amati lagi dengan sinar biasa dan sinar
ultraviolet 366 nm. Dengan perlakuan yang sama seperti cara kerja di atas dilakukan juga
penyemprotan dengan pereaksi AlCl3 LP. Pada kromatogram tampak bercak-bercak
dengan warna dan hRx sebagai berikut :
No. hRx Dengan sinar biasa Dengan sinar UV 366 nm
Tanpa
pereaksi
Dengan pereaksi Tanpa
pereaksi
Dengan pereaksi
I II I II
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
7-12
19-25
28-31
39-43
47-51
89-94
131-137
-
-
-
-
-
-
-
Violet
Violet
Violet
Violet
Violet
Violet
Violet
-
-
-
-
-
-
-
-
Ungu
-
-
-
-
-
Ungu
Ungu
biru
Ungu
ungu
ungu
ungu
-
Ungu
-
-
-
-
-
Catatan : harga Rx dihitung terhadap bercak warna merah (yang diamati dengan sinar
biasa atau warna ungu dengan sinar uv 366 nm).
hRf bercak warna merah =65
Tanda I = pereaksi anisaldehid-asam sulfat LP.
II= pereaksi AlCl3 LP.
Zingiber officinale
larutan uji. Tambahkan 5 mL metanol R ke dalam 1 g serbuk obat (710). Kocok
selama 15 menit, kemudian saring.
Larutan pembanding. Larutkan 10µL citral R dan 10 mg resorcinol R dalam 10
mL metanol R. siapkan larutan segera sebelum akan digunakan.
Totolkan masing-masing sebanyak 20µL larutan pada plat dalam bentuk pita.
Develop over a path of 15 cm di dalam chamber kromatografi yang tidak jenuh
menggunakan campuran 40 bagian volume heksana R dan 60 bagian volume eter R.
biarkan lat mengering di udara. Semprot plat dengan menggunakan 10 g/L campuran
vanilin R dalam asam sulfat R dan periksa di bawah cahaya matahari selama pemanasan
pada suhu 100-1050C selama 10 menit. Kromatogram yang didapatkan dari larutan
pembanding menunjukkan intensitas daerah merah (resorsinol) yang kuat di setengah
bagian bawah dan di setengah bagian atas terdapat dua daerah violet (sitral).
Kromatogram yang didapatkan dari larutan uji menunjukkan bahwa di bawah zona
resorsinol pada kromatogram yang didapatkan dari larutan pembanding, terdapat dua
zona violet (gingerol) yang intensitasnya kuat dan di bagian tengah, antara zona
resorsinol dan zona sitrol pada kromatogram yang didapatkan dari larutan pembanding,
terdapat dua zona violet (shogaol) yang intensitasnya lemah. Mungkin juga terdapat zona
lain.
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Dalam Analisis Jamu Dan Ekstrak
Baik jamu maupun ekstrak, keduanya mengandung banyak komponen.
Komponen-komponen tersebut ada yang terdapat dalam jumlah besar (mayor) ada pula
yang terdapat dalam jumlah kecil (minor). Komponen-komponen tersebut berada dalam
tingkat kepolaran yang berbeda, ada yang bersifat polar, nonplora maupun semipolar.
Oleh sebab itu analisis jamu dan ekstrak dengan kromatografi cair kinerja tinggi harus
dilakukan dengan elusi gradien.
Sistem deteksi yang biasa digunakan adalah UV-Visibel, fluorometri dan indeks
bias (refraktometri). dengan spektrofotometer, alat merekam pada panjang gelombang
tertentu. Pada panjang gelombang tersebut, pelarut sedikit atau sama sekali tidak
menyerap sinar sedangkan analit mampu menyerap dengan kuat. Deteksi secara
spektrofluororesensi digunakan jika dibutuhkan pola kromatogram yang selektif dan
khusus pada golongan kandungan kimia. Refraktometri dapat digunakan apabila indeks
bias pelarut dan indeks bias analit berbeda. Refraktometer diferensial mengukur
perbedaan antara indeks bias cuplikan pelarut pengelusi yang murni dan indeks bias
pelarut yang keluar dari kolom. Akan tetapi, refraktometer tidak dapat digunakan apabila
sistem menggunakan elusi gradien karena adanya perbedaan komposisi pelarut.
Contoh pemisahan Kurkuminoid pada Curcuma domestica Vahl. ( rimpang
kunyit)
Degradasi ini dapat diamati dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi pada
kolom nucleosil-NH2 dengan fasa gerak etanol 96% pada pH alkalis dengan masa
inkubasi 5 menit dan 28jam (Tonnesen dan Karlsen, 1985). Reaksi degradasi kurkumin
dalam suasana basa dapat dilihat pada gambar dibawah, sedangkan kromatogram KCKT
yang mengamati peristiwa tersebut dapat dilihat pada gambar (dibawah).
Dengan memperhatikan hal tersebut warna merah kurkumin dalam suasana basa
dapat dipastikan mempunyai kestabilan yang rendah dan perlu dipertimbangkan dalam
penggunaannya.
Sifat kurkuminoid lain yang penting adalah sensitifitasnya terhadap cahaya. Bila
kurkumin terkena cahaya akan terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi kurkumin
atau terjadi degradasi struktur (Tonnesen dan Karlsen, 1985). Rangkaian reaksi
dekomposisi struktur ini dapat dilihat pada gambar dibawah.
Peristiwa degradasi kurkuminoid oleh cahaya ini dibuktikan oleh sidik (1985)
yang melakukan penelitian penetapan kadar kurkuminoid pada rimpang temulawak yang
dikeringkan dengan sinar matahari langsung dan yang dikeringkan tanpa pemanasan sinar
matahari langsung. Rimpang yang dikeringkan dibawah sinar matahari langsung
berwarna lebih gelap dibandingkan dengan rimpang yang dikeringkan tanpa sinar
matahari yang warnanya kuning terang. Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar
kurkumnoid rimpang yang dikeringkan dengan sinar matahari langsung lebih kecil
daripada rimpang yang dikeringkan tanpa sinar matahari. Sifatnya fotosensitif ini,
memungkinkan penggunaan kurkuminoid sebagai stabilisator bagi senyawa-senyawa
yang fotosensitif.
BAB III
RINGKASAN
Jamu dan ekstrak merupakan obat tradisional yang banyak digunakan di
Indonesia, sehingga disebut sebagai obat asli Indonesia. Jamu dan ekstrak dianggap
sebagai obat yang berkhasiat dan tidak memiliki efek samping. Namun hal itu sangat
diragukan kebenarannya, tidak semua jamu dan ekstrak merupakan obat berkhasiat,
karena kandungan zat yang ada di dalamnya tidak semua memiliki efek menyembuhkan,
tapi mungkin saja efek yang berbahaya yang bisa menyebabkan kematian. Oleh karena
itu perlu adanya suatu metode analisis yang harus dilakukan untuk mengidentifikasi dan
memisahkan kandungan yang terdapat dalam jamu dan ekstrak tersebut, sehingga dapat
dipisahkan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya. Metode analisis yang biasa
digunakan adalah kromatografi, kromatografi merupakan metode analisis yang
didasarkan pada kepolaran zat.
Kromatografi banyak digunakan dalam metode analisis baik itu dalam
identifikasi zat maupun pemisahan zat. Hal ini dikarenakan hasilnya cukup akurat dan
mudah dilakukan. Kromatografi ada berbagai macam, namun yang banyak digunakan
adalah KCKT dan KLT.
Analisis jamu dan ekstrak dengan menggunakan KCKT dan KLT
I. DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan. 1999. Peraturan perundang-undangan obat
tradisional. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi 4. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
_____. Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. 1979. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
_____. Farmakope Indonesia. Edisi IV. 1995. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Materia Medika Indonesia. Jilid IV. 1980. Depkes RI. Hal.144-147
Sidik,dkk. 1985. Seri pustaka Tanaman Obat:Temulawak.Phyto
Medica.hal.29-31.
Materia Medika Indonesia. Jilid V. 1989. Depkes RI. Hal 163. Jakarta : Dirjen
BPOM.
top related