kemunculan fenomena “batik modern” di podhek kabupaten
Post on 11-Jun-2022
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
Kemunculan Fenomena “Batik Modern” di
Podhek Kabupaten Pamekasan
Penulis: Shinta.Djiwatampu, Dila Ayulia, Adi Kusrianto
Dosen STD LaSalle, Dosen STD LaSalle, Dosen STD LaSalle Shinta.Djiwatampu@lasallecollege.ac.id,
Dila.Ayulia@lasallecollege.ac.id, adikusrianto@gmail.com
ABSTRAK
Pengamatan terhadap batik tulis selalu berorientasi pada motif untuk menyebutkan apakah itu batik klasik, tradisional atau yang di istilahkan sebagai batik modern. Dari hasil riset dan pengamatan yang saya lakukan pada perkembangan pembatikan masyarakat Podhek, sebuah dusun kecil di Kabupaten Pamekasan, ternyata “kebaruan” pada suatu karya batik bisa menyangkut banyak hal. Kesimpulan itu saya dapati saat mengamati fenomena yang terjadi pada Batik Podhek sejak periode 2009 hingga 2018 sebagaimana pengamatan dari wawancara dengan seorang pengusaha batik yang memiliki jiwa entrepreneur tinggi, Rusydi Bawazier. Ia telah melibatkan diri dalam pengembangan batik di Podhek sejak tahun 2009 hingga kini (2018). Yang kedua pengamatan ini juga melibatkan seorang tokoh pembatik Prima Amri, SH sekaligus aktifis pengembangan batik dari beberapa lembaga organisasi profesi batik seperti Pengurus Batik Bhuana DPC Jatim, Pengurus KIBAS (Komunitas Batik Jawa Timur).
Disamping unsur kebaruan dalam hal kecenderungan motif, tingkat kwalitas pengerjaan, maupun peningkatan harga, keinginan saya melakukan pengamatan di atas juga terdorong oleh kebiasaan dan orientasi orang dalam menilai potensi budaya batik dari sisi keindahan motif hingga filosofi sebagai sebuah warisan budaya tak benda sebagaimana pengakuan yang diberikan oleh UNESCO. Jarang penelitian yang dilakukan dari sudut potensi ekonominya dipandang dari sisi pelaku pembatikan tersebut. Apakah budaya dan seni batik itu mampu menghidupi pembatiknya?. Banyak sumber yang menceritakan bahwa seniman batik terkenal era Batik Pesisiran dan Batik Peranakan, Oey Sou Tjoen dari Kedung Wuni, Pekalongan yang batiknya bernilai puluhan juta itu kehidupan sehari-harinya ditopang dengan usaha pracangan. (Hasil wawancara dengan Bp. Yohannes Somawiharja, M.Sc, Rektor Universitas Ciputra/ Kolektor Batik)
Apa yang saya peroleh dari Podhek ini semoga mampu memberikan wawasan bagi banyak kalangan terutama mereka yang terlibat dalam Pemangku Kepentingan di Industri Kreatif khususnya Batik Tulis.
Kata kunci: Batik Pamekasan, Batik Podhek, Batik Mentahan, Batik Cap, Batik
Printing, Kualitas Semi Prima, Kualitas Prima.
1. Pendahuluan
Pada tahun 2009, Pemerintah Kabupaten Pamekasan menetapkan Desa Klampar,
Kecamatan Proppo, sebagai kampung batik. Desa Klampar letaknya berjarak sekitar 5 Km dari
Kota Pamekasan. Menurut cerita tradisi membatik di desa Klampar ini sudah berlangsung sejak
ratusan tahun yang lalu. Di desa ini terdapat kurang lebih 300 perajin batik yang meneruskan
usaha keluarga turun temurun hingga saat ini. Tidak heran bila para kolektor batik masih bisa
menemukan batik-batik Madura “lawasan”, maupun batik produksi baru yang motifnya dibuat
berdasarkan batik Pamekasan klasik di desa ini. (Anshori & Kusrianto, 2012)
Data Disperindag pada tahun tahun 2009, di Kabupaten Pamekasan terdapat 1.200 unit
usaha batik yang tersebar di 11 kecamatan dari 13 kecamatan yang ada, yaitu :
1. Kecamatan Pamekasan 5 sentra (Desa Kowel 2 sentra, Desa Toronan, Nylabu
Daja dan Kelurahan Gladak Anyar masing-masing 1 sentra).
2. Kecamatan Proppo 12 sentra (Desa Klampar 5 sentra, Desa Toket dan
Candiburung masing-masing 3 sentra dan Desa Rang-perang Daja 1 sentra).
3. Kecamatan Palengaan 6 sentra (Desa Banyopelle 2 sentra, Desa Panaan,
Angsanah, Akkor dan Larangan Badung masing-masing 1 sentra).
4. Kecamatan Waru 1 sentra (Desa Waru Barat).
5. Kecamatan Pegantenan 2 sentra (Desa Bulangan Haji dan Ambender).
6. Kecamatan Galis 1 sentra (Desa Pagendingan).
7. Kecamatan Tlanakan 1 sentra (Desa Larangan Slampar).
Sedangkan desa-desa yang memiliki potensi batik paling menonjol dari ke tujuh
kecamatan tersebut ada di Candi Burung, Toket, Nong Tangis, Podhek, Klampar, Banyumas,
Kowel, Bedung, Toroan, Parteker, Pandemawu.
Kabupaten Pamekasan selain sebagai daerah sentra batik di Jawa Timur, juga pernah
dicatat Museum Rekor Indonesia sebagai daerah yang mampu menghasilkan kerajinan batik
tulis hingga mencapai 1.530 meter (612 lembar batik) dalam satu hari. Dengan demikian, rata-
rata seorang pembatik mampu menghasilkan selembar batik tulis secara produktif dalam waktu
10 hari, dengan catatan paling cepat dua hari dan paling lambat 4 bulan per lembar. (Batik,
2012).
Figure 1 Tumpukan Batik Pamekasan memilki motif dan warna spesifik yang tidak mampu menembus pasar selera tertentu pada segment masyarakat perkotaan diluar Madura.
Ketika batik mulai dicari orang sejak pengakuan UNESCO, pemerintah daerah
Pamekasan melalui Disperindag melakukan pembinaan para perajin batik ini. Apa yang
dilakukan pemerintah ini meliputi menyediakan sarana pelatihan serta prasarana pemasaran,
agar produksi batik Pamekasan dapat dipasarkan secara meluas bukan saja di wilayah Madura
tetapi juga ke pasar nasional bahkan akhirnya masuk pasar ekspor. Batik tradisional
Pamekasan sebagaimana wilayah lain di pulau garam ini memiliki warna-warna yang spesifik,
yaitu warna merah, hitam, sogan (coklat tua) serta hijau. Kadang-kadang warna kuning terang
dan biru muda juga merupakan pilihan yang dimasukkan dalam pewarnaan batik mereka.
Kebanyakan pewarna yang dipakai adalah pewarna kimia, kendatipun beberapa perajin masih
ada yang bertahan dengan pewarna alam.
Perajin batik berskala industri rumahan saat riset itu dilakukan telah berkembang
hingga perajin batik tulis mencapai sekitar 4.000 orang. Untungnya di wilayah pembatikan
pulau Madura para pengusaha batik tidak tertarik untuk membuat batik cap dan batik printing.
Kalaupun ada jumlahnya tidak signifikan sehingga Madura dikenal sebagai penghasil batik tulis
terbesar.1
2. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang saya lakukan juga berdasar referensi dari Ketua Dekranasda Jawa
Timur Ibu Drs. Nina Sukarwo M.Si serta Bupati Pamekasan Drs. K.H. Kholilurachman, SH,
M.Si yang dimuat pada “The Heritage of Indonesia Pamekasan Membatik” (Sastrodiwirjo,
2018). Keberhasilan Kabupaten Pamekasan menjadi penghasil batik tulis terbesar dan
dinobatkan sebagai Kabupaten Batik sejak Juli 2009 mendorong didirikannya sentra
perdagangan batik berupa Pasar 17 Agustus. Pasar tradisional yang menjual aneka barang
kebutuhan itu secara khusus mejadi pasar batik pada hari Minggu dan hari Kamis. Dipasar
inilah para pengusaha batik diberikan kesempatan membuka stan untuk menjual produk batik
mereka sebagai batik khas Pamekasan. Selain itu, di dalam los pasar tersedia satu bangunan
yang di khususkan untuk berjualan batik bagi mereka yang tidak memiliki kios dan hanya
berjualan pada hari Minggu dan Kamis. Batik yang mereka jual meliputi dari beberapa segmen
kualitas, mulai kualitas semi premium yang berharga hingga Rp. 2.000.000,- dan yang
terrendah seharga Rp. 60.000,-. Selain batik yang sudah diwarnai di los pasar ini juga dijual
batik “mentahan”, yaitu kain mori sepanjang antara 2 meter hingga 2,15 meter yang sudah
dibatik (di canting) tetapi belum di warnai. Dengan demikian pembeli yang mungkin
merupakan pengusaha batik akan bisa memproses pewarnaan batik sesuai keinginan maupun
selera pasar yang akan dimasukinya. (Kusrianto, 2015).
1 Daerah pembatikan Solo, Pekalongan dan Cirebon mensupply pasar batik bukan melulu batik tulis, tetapi yang paling banyak jumlahnya adalah batik printing dan batik cap. Oleh karenanya Pamaksan menduduki peringkat satu dalam hal jumlah produksi batik tulis.
3. Metodologi
Dalam melakukan riset dan pengamatan digunakan metode kualitatif, di mana
dilakukan dengan serangkaian wawancara dengan pelaku usaha dalam hal ini di Podhek dikenal
dengan istilah “Juragan”, para pembatik muda yang berusia antara 20 hingga 30 tahun dan
pembatik senior yang berusia 40 tahun hingga 60an tahun. Di mana kelompok ini awalnya
dikenal dengan istilah “Kuli” yang kemudian setelah berkembang disebut sebagai “Pembatik
Mandiri”, yaitu pembatik yang telah mampu membeli material batik dengan modalnya sendiri
dan tidak terikat harus menjual batiknya kepada seorang juragan tertentu.
Sebagai sampel pembatik muda dari Podhek yang kami wawancarai adalah Juma’iyah
(30 tahun) dan ibunya Zaenap (60 tahun). Zaenap telah membatik sejak umur 20 tahun,
sedangkan Juma’iyah sejak umur 16 tahun.
Figure 2 : Pembatik dua generasi, Ibu Zainap (80 th) dan putrinya (depan) Juma’iyah. Mereka tergolong pembatik yang memiliki skill tinggi dan mampu mengerjakan batik kualitas premium.
Dari sisi pengusaha, saya mewawancarai Rusydi Bawazier (45 tahun) yang telah masuk
ke bisnis pembatikan di Podhek sejak tahun 2009. Dari sisi disain, saya mewawancarai seorang
tokoh disainer batik Podhek yang bernama Hadi (30 tahun). Tokoh pengusaha batik dari luar
Podhek yang saya wawancarai adalah Muklis (32 tahun) dari Desa Kowel, Kecamatan
Pamekasan, Kabupaten Pamekasan.
Riset mengenai penjualan Batik Pamekasan pada tahun 2013 hingga 2014 yang
dilakukan oleh kelompok bisnis mahasiswa yaitu Batik Mahindra, dari Universitas Ciputra
yang berhasil menjual Batik Pamekasan ke Malaysia, Belanda dan Suriname. Beberapa foto
sampel batiknya untuk menunjukkan motif, kwalitas dan tingkat harganya kami sertakan pada
paper ini.
Figure 3 : Batik Pamekasan Kualitas Standar yang oleh reseller dijual di kota-kota besar seperti Surabaya dll.
Pemasaran batik Pamekasan pada segment kolektor baik melalui penjualan secara
langsung melalui pertemuan face to face maupun penjualan secara online yang kami amati dan
wawancarai adalah Ibu Dhani dari Batik Sparkling, pada tahun 2013 – 2014. Beberapa foto
sampel batiknya kami sertakan pada paper ini.
Figure 4 : Batik Pamekasan kualitas semi Premium, pada tahun 2010 di jual dikalangan penggemar batik melalui online.
Pemasaran batik Podhek pada kalangan kolektor pada tahun 2018 data yang meliputi
motif, kualitas serta harga kami lakukan pengamatan serta wawancara dengan Rusydi Bawazier
dan Hadi Batik Podhek beserta teman-teman se-komunitas yang ada di Podhek.
Pada saat pengambilan sampel motif, kwalitas serta harga beberapa segment Batik
Pamekasan, saya melakukan wawancara langsung dengan pedagang di Pasar Batik 17 Agustus,
Pamekasan. Pengamatan di pasar ini sudah saya lakukan sejak tahun 2015 hingga tahun 2018
dengan berkunjung sebanyak 6 (enam) kali.
Figure 1 Foto saat berbelanja batik Mentahan di Pasar 17 Agustus, Pamekasan tahun 2015.
Figure 5 : Kain batik “mentah” yang belum diwarnai.
Kain batik yang secara rata-rata di jual di pasar batik Pamekasan ini merupakan pasokan
dari seluruh sentra batik Kabupaten Pamekasan, meliputi batik kualitas murah, kualitas standar
(sedang) dan kualitas semi premium.
Batik kualitas murah umumnya dijual dari harga Rp. 60.000,- hingga Rp. 100.000,-. Per
lembar. Batik kualitas sedang harga jualnya antara Rp. 150.000,- hingga Rp. 400.000,- per
lembar. Sedangkan batik Semi Premium harga jualnya di pasar lokal tersebut bisa mencapai
Rp. 500.000,- hingga Rp. 2.000.000,- perlembar. Batik yang tergolong kualitas premium
penjualannya khusus kepada para kolektor atau di jual di pameran-pameran dengan pengunjung
segment kaum sosialita dengan harga mencapai Rp. 20.000.000,-. Setelah batik kualitas ini
berada di tangan kolektor harga tidak ada patokannya lagi.
Area pemasaran yang biasa dijangkau pengusaha batik Pamekasan awalnya sebagian
besar adalah di pasar domestik Pamekasan, namun pedagang yang kulakan dari pasar domestik
tersebut kemudian menjualnya ke sentra-sentra batik di kota besar seperti di Surabaya, Solo,
Bandung hingga Jakarta. Keterbatasan pasar ini mengingat awalnya corak dan warna batik
Pamekasan belum populer dan belum bisa diterima secara luas oleh selera konsumen batik yang
masih berorientasi pada batik Jawa Tengahan.
Jika ditinjau perbandingan antara harga serta proses produksi masing-masing segment
batik yang disebutkan di atas, dapat di sampaikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Segmentasi Batik Sistem Pewarnaan Lama Pengerjaan
Kualitas murah Coletan 1 sampai 2 hari
Kualitas standar Celupan minimum 1 kali 7 sampai 10 hari
Kualitas Semi Premium Celupan beberapa kali Hingga 2 bulan
Kualitas Premium Celupan hingga 5 kali 4 bulan atau lebih
Dari tabel di atas dapat dibandingkan besarnya biaya produksi yang harus dikeluarkan
oleh pengusaha batik ditilik dari ongkos membatik secara harian. Masih sedikit sekali
perhitungan berdasarkan apresiasi tingkat keelokan desain batik tersebut. Umumnya penguasha
batik yang juga disebut juragan batik tidak akan menahan batik yang berharga tinggi karena
alasan cash flow. Mereka lebih suka dagangannya cepat laku walaupun dengan profit margin
yang kecil. Di tingkat resellerlah di mana pedagang memiliki posisi tawar yang lebih baik
dibanding juragan batik yang berproduksi secara manajemen tradisional.
4. Hasil Penelitian
Meningkatnya Produktifitas Tidak Seiring Peningkatan Skill Pembatik. Dari
pengamatan di lapangan, sentra batik yang banyak menerima bantuan dari Pemerintah, seperti
Desa Klampar justru peningkatan kualitasnya tidak signifikan. Kalaupun ada rangsangan
maupun peningkatan hanya dalam jumlah produksinya saja, juga penguasaan skill dalam
mewarnai dengan pewarna kimia. Hal ini yang menyelamatkan pembatik Klampar untuk tidak
menjual batiknya dalam keadaan mentah, karena mereka sudah pandai dalam teknik pewarnaan.
Beberapa pembatik di luar Klampar masih mengandalkan penjualan batik mentah karena untuk
mengejar cash flow dan kebutuhan hidup yang mendesak.
Disamping itu sikap resistensi masyarakat terhadap hal-hal baru yang dibawa orang dari
luar juga amat berpengaruh, hal ini termasuk datangnya bantuan dari Pemerintah terkait dengan
pelatihan-pelatihan. Secara lebih spesifik kecenderungan hal seperti ini akan kami uraikan pada
saat pembahasan mengenai Sentra Batik Podhek.
5. Pembahasan Di Sentra Batik Podhek
Podhek adalah sebuah dusun di Desa Rangperang Daya, Kecamatan Proppo, Kabupaten
Pamekasan, Madura . Ini adalah sebuah dusun yang sebagian besar tanahnya berkapur, oleh
karenanya masyarakat setempat bukanlah hidup dari bertani sebagaimana umumnya, melainkan
menjadi perajin batik.
Selama bertahun-tahun kebanyakan mereka adalah pembatik yang mengerjakan batik
tulis yang kemudian distorkan kepada juragan-juragan batik yang ada di dusun mereka. Disini
terbiasa digunakan istilah kuli dan juragan untuk membedakan dua kalangan yang bekerja sama.
Yang dimaksud juragan adalah mereka yang memiliki modal, baik modal itu diberikan kepada
perajin batik dalam bentuk material batik seperti mori, malam hingga pewarna kimia. Setelah
mengerjakan batik, mulai dari proses menggambar motif, mencanting, mewarna hingga tahap
nglorod (finishing), hasil kerja mereka diserahkan atau dijual melalui juragan. Juragan akan
membayar nilai batik karya mereka sesuai harga pasar yang umum pada saat itu. Pembatik hanya
memperoleh ongkos kerjanya saja.
Sedangkan istilah kuli, maksudnya adalah perajin batik itu sendiri. Apapun posisinya,
apakah ia memodali sendiri pembuatan batik hingga batik siap di jual, maupun pembatik yang
menerima modal berupa materi batik dari juragan. Mereka mengistlahkan diri dengan “kuli”.
Tetapi kondisi seperti ini sudah mereka terima secara ikhlas dan kehidupan mereka tentram-
tentram saja tanpa ada gejolak maupun perubahan tatanan secara drastis.
Masing-masing pembatik memiliki juragan tertentu, dan mereka tidak ada yang
berpindah ke juragan lain. Sekalipun di Podhek konon ada sekitar 10 kemudian berkembang
menjadi 15an juragan dengan munculnya juragan-juragan muda yang baru masuk ke bisnis
batik. Mereka rata-rata berpendidikan Madrasah Diniyah (Setingkat SMA).
6. Langkah-Langkah Peningkatan Skill Pembatik
Dari pengamatan situasi tahun 2009 yang dilakukan oleh Rusydi, kualitas batik karya
pembatik Podhek yang dilakukan secara turun temurun sulit sekali berkembang. Mereka para
pembatik itu rata-rata telah hapal dan menjadi begitu ahli dalam membatik motif-motif tertentu.
Praktis mereka bisa bekerja dengan waktu yang sangat cepat untuk motif-motif yang telah
mereka hapal. Namun demikian apa yang disebut cepat itu dalam hitungan efisiensi produksi
masih tergolong rendah. Secara rata-rata selembar batik mereka selesaikan dalam waktu enam
hingga sepuluh hari untuk kualitas sedang dengan harga jual dipasar antara Rp. 200 hingga Rp.
500 ribu. Dengan demikian kalau dihitung pendapatan dari ongkos kerja perhari masih jauh di
bawah UMR, yaitu berkisar antara Rp. 15 hingga Rp. 20 ribu perhari. Kehidupan mereka masih
jauh dari sejahtera sekalipun dalam satu keluarga ada 2 sampai 3 orang yang turut membatik.
Selama bertahun-tahun dalam tradisi membatik mereka bisa dikata jauh dari pelatihan
maupun pemberian wawasan baik dari pemerintah maupun dari pihak-pihak yang
berkepentingan dalam bisnis batik mereka. Kondisi ini bisa jadi salah satu kendalanya adalah
masyarakat Podhek memiliki kepribadian sulit menerima hal baru. Demikian pula saat
dilakukan pendekatan aparat pemerintah yang akan memberikan pelatihan maupun hibah,
mereka tidak ada yang berani tampil untuk menerima dan bertanggung jawab. Namun
sebaliknya jika mereka sudah menerima orang baru itu, maka ia akan mempercayai dan
mengikuti arahannya. Hal ini seperti apa yang dialami Rusydi.
Pada saat Rusydi mulai masuk ke Podhek sebagai juragan batik, ia tidak mau hanya
sekedar memberi order dengan menyerahkan mori dan bahan lain. Ia ingin melibatkan diri dalam
proses pembatikan. Hal ini awalnya di tolak, tidak ada yang bersedia menerima syarat Rusydi.
Hingga akhirnya ada satu keluarga yang terdiri dari 3 orang pembatik, mulai nenek, emak dan
anak. Dari sinilah Rusydi mengajari mereka untuk membatik dengan teknik yang lebih baik dan
otomatis meningkatkan kualitas karya mereka.
Pada periode 2009 hingga 2010 jika sebelumnya pembatik yang diistilahkan sebagai kuli
itu masih meminjam barang-marang modal dari juragam sehingga mau tidak mau mereka harus
menjual ke juragan dengan harga yang ditentukan juragan, maka pada perkembangannya
mereka sudah mampu membeli barang modalnya sendiri. Sekalipun demikian, mereka tidak
serta merta meninggalkan juragannya, namun mereka telah sedikit memiliki posisi tawar dalam
menentukan harga batiknya. Situasi seperti ini terjadi secara alamiah sesuai hukum ekonomi.
Jika awalnya para juragan tidak berkenan dengan posisi tawar para pembatik itu, lama kelamaan
mereka menyadari perkembangan yang terjadi. Pada posisi inilah harga batik Podhek mulai
terangkat.
Kini mereka tidak hanya membuat batik-batik kualitas standar, tetapi sudah banyak yang
mampu mengerjakan batik kualitas semi premium bahkan premium.
Figure 6 : Contoh batik Podhek yang berharga Rp. 100.000,- pada saat penelitian ini di buat (bulan Oktober 2018).
Figure 7 Salah satu contoh batik kualitas semi premiun seharga Rp. 1.000.000,- perlembar. (Bulan Oktober 2018).
7. Hasil Yang dicapai Harga pasar di pasaran batik pun mengikuti hukum ekonomi kreatif, di mana harga batik
akan di nilai lebih tinggi hanya bila kualitas batiknya lebih baik dan memiliki keunikan sebagai
pembeda. Kita semua tahu bahwa karya seni batik memiliki nilai yang tidak ada batasnya. Jika
seseorang sudah suka, maka harga suatu koleksi batik hanya langitlah batasnya. Disinilah para
perajin dan juragan batik menyadari bagaimana mereka harus meningkatkan nilai karyanya. Hal
ini terjadi ketika daya tahan ekonomi untuk bertahan hidup mulai berkembang. Jika sebelumnya
mereka harus setor batik ke juragan hanya dalam waktu satu sampai dua minggu, maka lama
kelamaan setelah menguasi skill batik kualitas tinggi mereka bisa mengerjakan selembar batik
mereka hingga empat bulan.
Itulah yang membuat peningkatan nilai jual batik mereka, yang sebelumnya berkisar 200
hingga 500 ribu rupiah, kini banyak batik yang harga jualnya pada kisaran antara 1,5 juta hingga
20 juta. Berkembangnya kemampuan ekonomi masyarakat pembatik di Podhek mulai terlihat
sejak di atas periode tahun 2010, banyak pembatik yang mampu membeli sepeda motor baru
secara cash. Tanda-tanda peningkatan kesejahteraan juga terlihat bahwa para pembatik mulai
mampu mengirim anak-anaknya untuk bersekolah ke pesantren-pesantren. Itu bagi masyarakat
setempat hal itu merupakan suatu gengsi tersendiri.
Bahkan saat tulisan ini dibuat, di tahun 2018, seorang pembatik yang menghasilkan batik
kualitas tinggi, hasil penjualannya sudah bisa untuk membiayai pembuatan pondasi rumah
ukuran 7 x 12 meter. Jika tiga lembar batik kualitas tinggi berhasil dibuat dalam setahun, hasil
penjualannya bisa membiayai mendirikan sebuah rumah di atas lahan milik mereka.
Ketika penulis mengunjungi Podhek, beberapa tokoh batik disana telah mulai
mendirikan bangunan-bangunan permanen berbentuk bale yang representatif dan nyaman
sebagai lokasi workshop alias tempat para pembatik di Podhek mengerjakan batiknya. Hal ini
akan membuat mereka bekerja secara lebih nyaman dan jika sewaktu-waktu ada rombongan
tamu yang ingin melihat kegiatan mereka, hal ini akan membuat para tamu lebih mudah
mengunjungi para perajin itu dalam workshop-workshop yang lebih rapi.
Figure 8 : Gambar kiri adalah bangunan yang disiapkan sebagai workshop (tempat mereka berkarya dalam mendesain maupun membatik. Gambar kanan penulis bersama Rusydi Bawazier di salah satu lokasi workshop pembatik Podhek.
Langkah berikutnya barangkali akan disediakan lokasi untuk ruang pamer yang
mendisplay batik-batik karya para pembatik Podhek yang memiliki rentang harga antara 100
ribu rupiah perlembar hingga sekitar 1,5 hingga 2,5 juta rupiah perlembar. Sementara kualitas
eksklusif jarang tersedia stok untuk dipamerkan. Biasanya kalaupun ada adalah batik-batik kelas
eksklusif yang masih 50% hingga 75% jadi, dimana batik-batik tadi telah ada pembeli atau
pemesannya.
Figure 9 : Batik premium dalam pengerjaan.
8. Kesimpulan
Dari proses yang berlangsung selama periode tahun 2009 hingga 2018 terjadi fenomena
di sentra batik Podhek, yang semula pembatiknya hanya sekedar menjadi pekerja batik yang
sangat bergantung pada juragan batik. Sementara juragan batikpun hanya mampu menampung
karya-karya para pembatik yang kemampuannya sudah berhenti pada suatu titik jenuh dan tidak
memiliki greget untuk maju dan meningkat. Kini mereka mampu meningkatkan skill membatik
untuk mendapatkan kualitas batik yang nilainya lebih tinggi.
Peningkatan itu sedikit demi sedikit membuat mereka menjadi pembatik mandiri yang
tidak lagi menggantungkan diri pada juragan. Bahkan mereka saat ini telah mampu memasarkan
karya mereka melalui pasar online. Dengan demikian bukan saja peningkatan kemampuan
perekonomian saja yang mereka peroleh, tetapi bagi pengamat dari luar, telah terjadi fenomena
baru dalam pembatikan di Podhek. Meliputi munculnya motif-motif baru yang keluar dari motif-
motif tradisional yang bagi konsumen telah lewat dari perkembangan selera masa kini.
Para pembatik tidak hanya berkarya dengan skill tetapi juga dengan martabat/dignity.
Figure 10 : Dua buah desain motif baru karya dsainer batik Podhek yang elegan dan mampu menarik minat para kolektor sehingga meningkatkan nilai jual dan nilai sebagai barang koleksi.
Di akhir tulisan ini dua orang tokoh batik Podhek, Hadi dan Rusydi bercerita dengan
penuh kebanggaan, bahwa mereka mendapatkan kehormatan untuk membuat desain batik untuk
Kanjeng Ratu Hemas, isteri Sri Sultan Hamengku Buwono X. Ini sungguh merupakan
kebanggaan yang luar biasa bagi insan batik Podhek, Kabupaten Pamekasan. Hadi telah
menerima undangan untuk menyerahkan karya mereka pada Hari Senin 8 Oktober 2018.
Ternyata batik sebagai warisan budaya bangsa memang memiliki cara-cara tertentu
untuk melestarikan dan meningkatkan nilai estetika maupun nilai ekonomisnya.
Figure 10 Penulis bersama dua tokoh batik Podhek, Hadi dan Rusydi Bawazier.
9. Daftar Index
batik cap, 4
batik Madura “lawasan”, 2
Batik Mahindra, 6
batik printing, 4
Desa Klampar, 2, 10
Desa Kowel, 2, 6
Juragan, 5, 11
kualitas premium, 5
kualitas semi premium, 13
Kuli, 5
Pasar 17 Agustus, 4, 8
pasar domestik, 9
pasar ekspor, 3
Pembatik Mandiri, 5
penghasil batik tulis terbesar, 4
pewarna alam., 3
pewarna kimia,, 3
Podhek, 1, 2, 5, 7, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18
segment kolektor, 6
Sentra Batik Podhek, 10
UNESCO, 1, 3
10. Daftar Pustaka Anshori, Y., & Kusrianto, A. (2012). Keeksotisan Batik Jawa Timur. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
Batik, I. (2012). Batik Pamekasan Memecahkan Rekor Muri . Diambil kembali dari RupaRupa.com: https://infobatik.id/525-2/
Kusrianto, A. (2015). Batik, Filosofi, Motif & Kegunaannya. Yogya: Andi Offset.
Sastrodiwirjo, K. (2018). Pamekasan Membatik. Surabaya: PT. JEPE Press Media Utama.
***
top related