karsinoma nasofaring.docx
Post on 26-Oct-2015
91 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan di daerah kepala dan leher yang selalu
berada dalam kedudukan lima besar diantara keganasan bagian tubuh lain bersama
dengan kanker serviks, kanker payudara, tumor ganas getah bening dan kanker kulit.
Angka kejadian karsinoma nasofaring paling tinggi ditemukan di Asia dan jarang
ditemukan di Amerika dan Eropa.1 Akan tetapi angka insiden cukup tinggi di
sebahagian tempat dan dipercayai faktor genetik dan lingkungan pencetus karsinoma
nasofaring. Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia adalah cukup tinggi
dimana 4,7: 100 000 orang kasus pertahun.1,2
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel permukaan
(mukosa) nasofaring atau kelenjar yang terdapat pada nasofaring.1,2 Telah di ketahui
bahawa faktor genetik, lingkungan dan infeksi virus menjadi penyebab utama terjadi
karsinoma nasofaring.1-3
Gejala awal yang sering ditemukan ialah hidung buntu, perdarahan dari hidung,
pendengaran menurun, tinitus dan sakit kepala. Ada juga pasien datang dengan
keluhan benjolan atau massa pada leher, ini terjadi apabila berlaku metastase sel-sel
ganas ke kelenjar getah bening regional sehingga kebanyakan penderita datang sudah
pada stadium lanjut dan ini menyebabkan kematian tinggi selama satu tahun setelah
terapi radiasi. Sampai saat ini terapi yang memuaskan belum ditemukan.
Keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh stadium penderita.1,2
Dengan mengetahui hal-hal tersebut, sangat diperlukan pengetahuan mengenai kanker
nasofaring sehingga diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan, deteksi
dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Karsinoma nasofaring ialah tumor ganas yang berasal dari sel-sel epitel mukosa
nasofaring atau kalenjar yang terdapat pada nasofaring.1 Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak yang ditemukan di
Indonesia namun sulit untuk dilakukan diagnosis dini dikarenakan letaknya
yang tersembunyi serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam
tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher.
2.2. Epidemologi
Insiden KNF relatif rendah di seluruh dunia, insidennya kurang dari 1:100 000
orang. Tetapi di Selatan Negara China, insidennya mencapai 10-15:100 000
pada laki-laki dan 5-10:100 000 pada perempuan. Di daerah Guandong dan
Guangxi insiden KNF mencapai 50:100 000 orang.2,3
Di Indonesia insiden KNF sebanyak 4,7:100 000 orang pertahun dimana
parbandingan laki-laki dengan perempuan berkisar 2-3:1 orang.1
2.3. Etiologi
Antara faktor yang berkaitan dengan karsinoma nasofaring adalah faktor
lingkungan yang saling berhubungan dengan faktor genetik.1-3,4-6
2.3.1. Faktor Lingkungan
Antara faktor yang dikaitkan ialah ventilasi rumah yang kurang bagus
dan penggunaan kayu api sebagai bahan bakar dalam ruangan. Ventilasi
yang buruk menyebabkan terpaparnya oleh asap yang terlalu lama dapat
meningkatkan resiko KNF.
Konsumsi ikan asin dalam jangka masa lama dapat meningkatkan resiko
KNF. Penelitian yang dilakukan oleh Yu et al menunjukan ras China
2
yang memiliki kebiasaan konsumsi ikan asin dalam jangka lama
ternyata memiliki insiden KNF yang tinggi. Ada juga penelitian
dilakukan dengan menggunakan tikus, dimana tikus ini diberikan ikan
asin sebagai diet. Hasil penelitian tersebut di menunjukkan hasil bahwa
3 dari 20 tikus yang diberi ikan asin sebagai diet, terjangkit kanker
nasofaring dan kanker faring. Kandungan nitrosamide yang terdapat di
ikat asin diduga sebagai penyebab utama untuk terjadinya KNF.
Merokok (tembakau) juga merupakan salah satu faktor resiko, dimana
dalam suatu penelitian didapatkan angka insiden KNF tinggi pada orang
yang merokok lebih dari 10 tahun atau lebih. Ada pun penelitian
dilakukan di Taiwan oleh Lin et al menunjukkan bahwa paparan terlalu
lama oleh asap rokok meningkatkan resiko KNF.2
Paparan terlau lama pada senyawa kimia yang bersifat karsinogen
(pestisida, asbes, dll) juga memainkan peranan dalam terjadinya KNF.
Gambar 1. Faktor yang bisa memicu terbentuknya KNF.
3
2.3.2. Faktor Genetik
Insiden KNF pada ras China lebih tinggi di populasi yang biasa
berkaitan dengan jenis diet tertentu. Satu penelitian yang dilakukan
simon et al didapati peranan histocampability locus antigen (HLA)
mempunyai kaitan dengan KNF. Dimana HLA termasuk HLA-A2,
HLA-B46 dan HLA-B58 mempunyai hubungan keganasan. Salah satu
contoh pada anggota keluarga di Cina selatan dengan 49 anggota dari
dua generasi didapatkan 9 penderita karsinoma nasofaring dan 1
menderita tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari
penderita karsinoma nasofaring menderita keganasan organ lain.2,3
2.3.3. Virus Epstein-Barr
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr
juga d inya t akan o l eh be rbaga i pene l i t i da r i bag i an yang
be rbeda d i dun i a i n i . 1 - 4 Pada pa s i e n karsinoma nasofaring
dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum
plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam
mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya,
mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel
penderita karsinoma nasofaring.
2.4. Anatomi
Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga
hidung. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi
occiput dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachian berada pada
dinding samping dan pada bagian depan dan belakang terdapat ruangan
berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas dan samping
dari torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa
rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft
palatum.
4
Gambar 2. Gambaran Nasofaring.
Gambar 3. Gambaran nasofaring melalui laringscope
2.5. Histologi
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type. Setelah 10
tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel
nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone).
Mukosa membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma kaya dengan
jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel
permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan bisa
merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat
juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.
5
2.6. Pathogenesis
Gambar 4. Skema pathogenesis KNF
Hubungan antara virus Epstein-Barr (EBV) dan konsumsi nitrosamine
diketahui sebagai penyebab utama terjadinya karsinoma nasofaring. EBV
adalah suatu virus dari keluarga herpes (yang termasuk Virus herpes simpleks dan
Cytomegalovirus), yang merupakan salah satu virus-virus paling umum di dalam
manusia. Banyak orang yang terkena infeksi EBV, yang sering asimptomatis tetapi
biasanya penyakit akibat radang yang cepat menyebar. Virus tersebut dapat masuk
ke dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan
dalam jangka waktu yang lama.2,3,6
6
Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk
mengkonsumsi ikan asin atau makanan dengan kandungan garam tinggi secara
terus menerus mulai dari masa anak-anak, merupakan mediator utama yang
dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.
2.7. Diagnosis
Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan juga
pemeriksaan penunjang.
Adapun kriteria Digby, dimana menggunakan skoring untuk setiap gejala
mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat menentukan
KNF.6
Table 1. Digby skoring
Jika jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring,
namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi
diagnosis histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat
kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.
2.8. Manisfestasi klinis
7
Simtomatologi ditentukan oleh hubungan anatomi nasofaring terhadap hidung,
tuba Eustachii dan dasar tengkorak1,4,6
2.8.1. Gejala Hidung :
o Epistaksis: rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi
perdarahan.
o Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor
kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana, gejalanya : pilek
kronis, ingus kental, gangguan penciuman.
2.8.2. Gejala telinga
o Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula di fosa Rosen
Muler, pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara
tuba (berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran)
o Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran
2.8.3. Gejala lanjut
o Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker
dapat mencapai kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar
ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan
tampak benjolan di leher bagian samping, lama kelamaan karena
tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot
sehingga sulit digerakkan.
2.8.4. Gejala mata dan saraf
o Gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut
karsinoma ini dikarenakan posisi anatomi nasofaring yang
berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang/foramen. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai
saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang
gejala diplopia lah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter
mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan
oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
8
o Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranial, didahului oleh gejala
subyektif dari penderita seperti : kepala sakit atau pusing, hipestesia
daerah pipi dan hidung, kadang sulit menelan atau disfagia. Perluasan
kanker primer ke dalam kavum kranii akan menyebabkan
kelumpuhan N. II, III, IV, V dan VI akibat kompresi maupun
infiltrasi atau perluasan tumor menembus jaringan sekitar atau juga
secara hematogen. Gejala saraf kranialis meliputi :
- Kerusakan N.I bisa terjadi karena karsinoma nasofaring sudah
mendesak N.I melalui foramen olfaktorius pada lamina kribrosa.
Penderita akan mengeluh anosmia,
- Sindroma Petrosfenoidal. Pada sindroma ini nervi kranialis yang
terlibat secara berturut-turut adalah N.IV, III, VI dan yang paling
akhir mengenai N.II. Paresis N.II, apabila perluasan kanker
mengenai kiasma optikum maka N.optikus akan lesi sehingga
penderita memberikan keluhan penurunan tajam penglihatan.
Paresis N.III menimbulkan kelumpuhan mata m.levator palpebra
dan m.tarsalis superior sehingga menyebabkan oftalmoplegia
serta ptosis bulbi (kelopak mata atas menurun), fissura palpebra
menyempit dan kesulitan membuka mata. Paresis N.III, IV dan
VI akan menimbulkan keluhan diplopia
- Parese N.V yang merupakan saraf motorik dan sensorik, akan
menimbulkan keluhan parestesi sampai hipestesi pada separuh
wajah atau timbul neuralgia pada separuh wajah
- Sindroma parafaring. Proses pertumbuhan dan perluasan lanjut
karsinoma, akan mengenai saraf otak N.kranialis IX, X, XI, dan
XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat
yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut
dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak
disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi
tulang tengkorak dengan prognosis buruk. Parese N.IX
9
menimbulkan gejala klinis : hilangnya refleks muntah, disfagia
ringan, deviasi uvula ke sisi sehat, hilangnya sensasi pada laring,
tonsil, bagian atas tenggorok dan belakang lidah, salivasi
meningkat akibat terkenanya pleksus timpani pada lesi telinga
tengah, takikardi pada sebagian lesi N.IX mungkin akibat
gangguan refleks karotikus. Paresis N.X akan memberikan gejala
: gejala motorik (afoni, disfoni, perubahan posisi pita suara,
disfagia, spasme otot esofagus), gejala sensorik (nyeri daerah
faring dan laring, dispnea, hipersalivasi). Parese N.XI akan
menimbulkan kesukaran mengangkat dan memutar kepala dan
dagu. Parese N.XII akibat infiltrasi tumor melalui kanalis
n.hipoglossus atau dapat pula karena parese otot-otot yang
dipersarafi yaitu m.stiloglossus, m.longitudinalis superior dan
inferior, m.genioglossus (otot-otot lidah). Gejala yang timbul
berupa lidah yang deviasi ke sisi yang lumpuh saat dijulurkan,
suara pelo dan disfagia.
2.9. Pemeriksaan Penunjang
2.9.1. Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara
rinoskopi posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung)
sertafibernasofaringoskopi.1,4,6
2.9.2. Pemeriksaan Radiologi
Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa
tumor yang menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :
o Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke
jaringan ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang
paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang, terutama pada
dasar tengkorak.
10
o Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan
imaging yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam
membedakan tumor dari peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam
mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang
dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang,
dimana CT tidak dapat mendeteksinya.3,5,6
2.9.3. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi dilakukan untuk mendeteksi infeksi EBV dimana
dilakukan biopsi jarum halus pada sel tumor. Melalui pemeriksaan
imunohistokimia dapat mendeteksi mRNA EBV pada jaringan tumor.
EBV dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma dan non
keratinizing squamous cell carcinoma.1,2,6
2.9.4. Pemeriksaan Pathologi
Pemeriksaan pathologi dapat dilakukan dengan biopsi aspirasi jarum
halus dan biopsi jaringan.
Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening servikalis.
Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan
pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikal.6
Biopsi Jaringan
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari
mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya
(blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung
menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke
lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai
bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung
kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-
sama dengan ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan
kateter disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan
melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop
11
yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih
jelas.1,6
2.10 Klasifikasi
Klasifikasi WHO tahun 2005 membagi karsinoma nasofaring menjadi
i. Tipe WHO 1
- Karsinoma sel skuamosa (KSS)
- Deferensiasi baik sampai sedang.
- Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).
ii. Tipe WHO 2
- Karsinoma non keratinisasi (KNK).
- Paling banyak pariasinya.
- Menyerupai karsinoma transisional
iii. Tipe WHO 3
- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).
-Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, “Clear Cell
Carsinoma”, varian sel spindel.
- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.
2.11 Stagging
Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC
(Union Internationale Centre Cancer ) dan AJCC (Americant Joint Committe
on Cancer). Untuk karsinoma nasofaring pembagian TNM adalah sebagai
berikut :
T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya
T1 : Tumor terbatas pada nasofaring
T2 : Tumor meluas ke orofaring dan atau fossa nasal
T2a : Tanpa perluasan ke parafaring
T2b : Dengan perluasan ke parafaring
12
T3 : Invasi ke struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4 :Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai syaraf otak, fossa
infratemporal, hipofaring atau orbita
N menggambarkan keadaaan kelenjar limfe regional
N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cm
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm
N3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm atau ekstensi ke supraklavikula
M menggambarkan metastase jauh
M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh
Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium I : T1, N0, M0
Stadium IIA : T2a, N0, M0
Stadium IIB : T1, N1, M0, T2a, N1, M0 atau T2B, N0-1, M0
Stadium III : T1-2, N2, M0 atau T3, N0-2, M0
Stadium IVA: T4, N0-2, M0
Stadium IVB: Tiap T, N3, M0
StadiumIV C: Tiap T, Tiap N, M1
2.12 Diagnosis Banding
Adapun diagnosa banding dari karsinoma nasofaring ini adalah : 1
1. TBC nasofaring
Dapat dibedakan dengan pemeriksaan histopatologi ( PA ).
2. Angiofibroma nasofaring
13
Insidennya pada laki-laki dewasa muda, tanpa gejala metastase karena
merupakan tumor jinak
2.13 Penatalaksanaan
Modalitas penatalaksaan dapat dilakukan
2.11.1. Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan utama karena karsinoma
nasofaring adalah tumor yang radiosensitif, biaya relatif murah, dan
cukup efektif terutama terhadap tumor yang belum mengadakan
invasi ke intrakranial. Tetapi jika sudah metastase jauh maka radiasi
merupakan pengobatan yang bersifat paliatif. Dosis untuk
radioterapi radikal adalah 6000-7000 rad dengan aplikasi radium
dalam 7 hari atau 5000-6000 rad dengan sinar X dalam waktu 5-6
minggu. Untuk terapi paliatif diberikan pada nasofaring dan
kelenjar limfe servikal kanan dan kiri. Dosisnya adalah dua pertiga
dari dosis radikal. Evaluasi pasca radiasi diadakan setiap bulan pada
tahun pertama, kemudian setiap 3 bulan pada tahun kedua, dan
setiap 6 bulan selama 5 tahun.3-5
2.11.2. Khemoterapi
Kemoterapi merupakan terapi adjuvan yang hingga saat ini masih tetap
digunakan. Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik
sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti.
Pemberian adjuvan kemoterapi Cis-platinum, bloemycin, dan 5-
fluorouracil sedang dikembangkan di Departemen THT FKUI dengan
hasil sementara yang cukup memuaskan.
Obat-obatan sitostatika yang direkomendasikan adalah : 1,2
a. Obat tunggal :
- Methotrexate, dosis 25 mg / minggu per oral
- Cyclophosphamide, dosis 1 gram / minggu intravena
- Bleomycin, dosis 10 mg / m2 luas permukaan tubuh / minggu im
14
- 5 Fluorouracil atau 5FU dan Cisplatin
Cisplatin menghambat sintesis DNA dan proliferasi sel dengan jalan
membuat rantai silang pada DNA dan menyebabkan denaturasi helik
ganda. 5FU akan menghambat sintesis timidilat dan juga
mempengaruhi fungsi dan sintesi RNA, berpengaruh terhadap DNA,
dan berguna pada pengobatan paliatif pada pasien dengan penyakit
yang progresif.6
b. Obat-obatan ganda :
COMP :
Hari I : Cyclophosphamide 500 mg intravena
Vincristine 1 mg intravena
5 FU 750 mg intravena
Hari VIII : Cyclophosphamide 500 mg intravena
Vincristine 1 mg intravena
Methotrexate 50 mg intravena
Diulang setiap 4 minggu
Methotrexate-Bleomycin-Cisplatin :
Hari I : Bleomycin 10 mg / m2 intravena
Methotrexate 20 mg / m2 intravena
Diulang setiap 2 minggu sampai 4 kali
Hari II: CispIatin 80 mg / m2 intravena
Diulang setelah 10 minggu
Harus diperhatikan efek samping dengan cara melakukan kontrol yang
baik terhadap fungsi hemopoitik, fungsi ginjal dan sebagainya.
Karena tingginya insiden kerusakan jaringan regional akibat
radioterapi dan juga karena tingginya metastase jauh dari kanker
nasofaring, maka kombinasi modalitas therapy radiasi dan
kemotherapi adalah konsep yang cukup atraktif. Kombinasi ini dapat
saling melengkapi atau bahkan sinergis. Ada beberapa cara untuk
15
kombinasi ini, dimana dapat diberikan secara neoadjuvan (kemoterapi
yang diikuti dengan radiotherapi) atau sebagai adjuvant therapi
(radiotherapi yang diikuti dengan kemoterapi). Kombinasi kemo-
radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat “radiosensitizer”
memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total
pasien karsinoma nasofaring.5-6
2.11.3. Pembedahan
Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih
ada sisa kelenjar/tidak menghilang pasca radiasi (residu) atau adanya
kekambuhan kelenjar/timbul kembali setelah penyinaran, tetapi dengan
syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih, atau sudah hilang
yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi
tumor induk sisa atau kambuh diindikasikan, tetapi sering timbul
komplikasi yang berat akibat operasi.
2.14 Prognosis
Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia dimana usia muda mempunyai
prognosis yang lebih baik bebanding usia lanjut, staging klinik dan lokasi dari
metatase regional juga berperanan (lebih baik pada yang homolateral
dibandingkan pada metastase kontralateral dan metastase yang terbatas pada
leher atas dibandingkan dari leher bawah). Studi terakhir dengan menggunakan
TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk stage I 98%,
stage II A-B 95%, stage III 86%, dan stage IV A-B 73%.6 Secara mikroskopis,
prognosis lebih buruk pada keratinizing squamous cell carcinoma dibandingkan
dengan yang lainnya. Untuk non keratinizing squamous cell carcinoma,
prognosis buruk bila dijumpai :
1. Anaplasia dan atau plemorfism.
2. Proliferasi sel yang tinggi (dihitung dari mitotik atau dengan proliferasi
yang dihubungkan dengan marker imunohistokimia).
16
3. Sedikitnya jumlah sel radang limfosit.
4. Tingginya densitas dari S-100 protein yang positif untuk sel-sel dendritik.
5. Dijumpai banyak pembuluh darah kecil.
6. Dijumpai ekspresi c-erb B-2.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : Kedem Ni Nyoman
RM : 01.49.43.47
Umur : 68 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Bangsa : Indonesia
Suku : Bali
Agama : Hindu
Pendidikan : Tidak tamat SD
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Pekerjaan : Petani
Alamat : Br. Dinas Tibubiu Klod, Kerambitan, Tabanan
MRS : 18 Juli 2011
Tanggal Pemeriksaan : 25 Juli 2011
3.2. Anamnesis
Keluhan utama : Benjolan pada leher kiri
Perjalanan penyakit :
Pasien datang mengeluhkan terdapat benjolan di leher kiri. Benjolan ini dikatakan
sudah muncul kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengatakan bahwa
benjolan awalnya berukuran kecil namun lama kelamaan semakin membesar, namun
benjolan ini dikatakan tidak nyeri apabila diberikan penekanan. Keluhan ini juga 17
dikatakan disertai dengan keluhan berupa telinga mendenging yang terjadi kurang
dari 1 bulan yang lalu dan hilang timbul. Telinga berdenging ini dirasakan di telinga
kiri. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya sakit kepala yang hilang timbul dan
dikatakan sudah terjadi sejak kurang dari 1 bulan yang lalu. Pasien mengatakan
sebelumnya juga sempat demam dan merasa lemas sejak kurang lebih 2 bulan yang
lalu dan sempat diajak berobat kemana-mana dan akhirnya sempat memeriksakan diri
ke RSUD Tabanan. Keluhan lemas masih dirasakan pasien hingga sekarang namun
demam sudah ada perbaikan. Di RSUD Tabanan pasien menerima pengobatan untuk
keluhannya. Karena dalam pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran kelenjar
di leher kiri, kemudian kelenjar tersebut dikatakan disuntik untuk diperiksa di
laboratorium. Dari hasil pemeriksaan tersebut dikatakan bahwa pasien dicurigai
terdapat kanker nasofaring, kemudian pasien di rujuk ke Poli THT di Rumah Sakit
tersebut dan menjalani pemeriksaan serta pengambilan jaringan di daerah nasofaring.
Dari hasil pemeriksaan tersebut didapatkan hasil adanya sel-sel kanker dan pasien
didiagnosis mengalami karsinoma nasofaring. Kemudian pasien dirujuk ke RSUP
Sanglah untuk menjalankan terapi penyinaran dan kemoterapi, sebab fasilitas untuk
terapi penyinaran tidak ada di Rumah Sakit tersebut.
Riwayat pengobatan
Sejak pertama kali pasien merasakan timbulnya benjolan di leher kiri kurang lebih 1
tahun yang lalu, pasien tidak memeriksakan dan melakukan pengobatan. Pada saat
pasien memeriksakan diri di RSUD Tabanan dengan keluhan demam dan lemas,
pasien mengaku hanya diberikan obat untuk penurun panas dan vitamin saja. Namun
saat diperiksakan di Poli THT RSUD Tabanan dan dengan diagnosis karsinoma
nasofaring pasien mengaku tidak diberikan pengobatan dan hanya dirujuk ke RSUP
Sanglah untuk menjalani terapi penyinaran dan kemoterapi.
Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien tidak pernah mengalami gejala penyakit seperti ini sebelumnya. Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit alergi, asma, hipertensi, jantung, DM dan penyakit
sistemik lainnya. Selain itu pasien juga menyangkal pernah melakukan operasi.18
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan bahwa pada keluarganya tidak ada yang menderita penyakit yang
sama atau menderita penyakit kanker lainnya. Pasien mengatakan bahwa dari
keluarga tidak ada yang memiliki riwayat penyakit alergi, asma, hipertensi, jantung,
DM dan penyakit sistemik lainnya.
Riwayat sosial
Pasien mengatakan sering nginang sejak lama dan tepatnya sejak kapan pasien tidak
ingat. Pasien mengatakan sering nginang dengan menggunakan mako (tembakau).
Kesehariannya pasien bekerja sebagai petani di sawah, dan pasien mengaku
sawahnya menggunakan bahan pestisida untuk mengusir hama perusak. Kebiasaan
lainnya adalah pasien sering minum kopi sejak remaja namun hanya secangkir dalam
sehari, namun sejak sakit pasien jarang mengkonsumsinya. Pasien mengaku salah
satu bangunan di rumah pasien menggunakan bahan bangunan berupa asbes. Pasien
menyangkal memiliki riwayat mengkonsumsi ikan asin maupun ikan bakar dan
mengkonsumsi alkohol.
3.3. Pemeriksaan fisik
Status Present
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Denyut Nadi : 80 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Temperatur Axila : 36,5oC
Status General
• Kepala : Tidak ditemukan kelainan
Mata : Anemia (+/+), ikterus (-/-), ptosis (-/-), diplopia (-/-),
strabismus (-/-), isokor
• THT : Sesuai status lokalis19
• Leher : Pembesaran kelenjar getah bening
- Pada daerah jugular superior sinistra, massa padat,
terfiksir, nyeri tekan (-), ukuran 5 x 4 x 4 cm.
• Thorak : Cor : S1S2 tunggal, Reguler, Murmur(-)
Po : Ves +/+, Rh-/-, Wh-/-
• Abdoment : Distensi(-), Bising usus (+) Normal, H/L tak teraba
• Ekstremitas : Edema (-/-), akral hangat (+/+)
Status Lokalis THT
TELINGA KANAN KIRI
Daun telinga N N
Liang telinga Lapang Lapang
Discharge - -
Membrana Tipani Intak Intak
Tumor - -
Mastoid N N
Tes pendengaran:
Berbisik Tidak dievaluasi
Weber Tidak dievaluasi
Rinne Tidak dievaluasi
Schwabah Tidak dievaluasi
BOA Tidak dievaluasi
Tympanometri Tidak dievaluasi
Audiometri Tidak dievaluasi
Nada Murni Tidak dievaluasi
BERA Tidak dievaluasi
OAE Tidak dievaluasi
Tes Alat Tidak dievaluasi
Keseimbangan Tidak dievaluasi
HIDUNG KANAN KIRI
20
Hidung Luar N N
Kavum Nasi Lapang Lapang
Septum Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi
Discharge - -
Mukosa Merah muda Merah muda
Tumor - -
Konka Dekongesti Dekongesti
Sinus N N
Koana Tidak dievaluasi
Naso endoskopi Tidak dievaluasi
TENGGOROK
Dispneu -
Sianosis -
Mukosa Merah muda
Dinding belakang -
Stridor -
Suara Normal
Tonsil T1/T1
LARING Tidak dievaluasi
NASOFARING Massa berdungkul-dungkul, terlihat rapuh di fossa
rossenmuler dekstra et sinistra yang meluas ke atap
nasofaring
3.4. Pemeriksaan Penunjang
Patologi (9 Juli 2011)
Bahan: Nasofaring
Kesimpulan: Undifferentiated carcinoma nasofaring
CT Scan Kepala (14 Juli 2011)
21
Kesan: Massa nasofaring kiri yang tidak meluas ke organ sekitar. Staging:
T1N0M0.
Foto thorax PA (24 Juli 2011)
Kesan: Cor dan Pulmo tidak tampak ada kelainan. Tidak tampak proses
metastasi.
Pemeriksaan Lab
Darah Lengkap:
14/7/2011 20/7/2011 25/7/2011
WBC (x 103/µL) 6,76 10,43 10,87
Ne (%) 76,30 75,70 78,70
Lym (%) 8,90 (↓) 11,10 (↓) 8,10 (↓)
Mo (%) 7,50 8,40 7,60
Eo (%) 5,70 (↑) 3,50 4,40
Ba (%) 0,60 0,40 0,40
RBC (x 106/ µL) 2,69 (↓) 4,07 3,80 (↓)
Hgb (g/dL) 6,50 (↓) 10,0 (↓) 9,70 (↓)
Hct (%) 22,50 (↓) 33,50 (↓) 31,40 (↓)
MCV (fL) 83,70 82,20 82,40
MCH (pg) 24,20 (↓) 24,60 (↓) 25,60 (↓)
MCHc (g/dL) 28,90 (↓) 29,30 (↓) 31,0
PLT (x 103/µL) 451,0 (↑) 407,0 284,0
Kimia Klinik:
14/07/2011 20/07/2011 22/07/2011 25/07/2011
Alkali Phospathase
(U/L)
- 221,00 (↑) - -
SGOT (U/L) 34,0 (↑) 29,0 (↑) - 48,04 (↑)
SGPT (U/L) 13,0 14,0 - 16
Albumin (g/dL) 2,40 (↓) 2,40 (↓) 3,44 (↓) 2,60 (↓)
BUN (mg/dL) 26,0 (↑) 14,0 - 9,0
22
Creatinin (mg/dL) 0,53 0,43 (↓) - 0,41 (↓)
Creatinin Clearance
(ml/mnt)
- - - 152,638 (↑)
GDS (mg/dL) 92,0 - - -
Na (mmol/L) 141,10 140,20 - 140,20
K (mmol/L) 3,54 3,0 (↓) - 3,45 (↓)
3.5. Diagnosis
Karsinoma Nasofaring (KNF) stadium II B (T1N1M0)
3.6. Penatalaksanaan
Terapi :
- MRS
- IVFD NaCL 0,9% 20 tetes/menit
- Diet TKTP + ekstra putih telur
- Vitamin B1, B6, B12 2 x 1 tab
- Vitamin C 1 x 1 tab
- Koreksi hipoalbumin dengan transfusi albumin hingga albumin >3
g/dL
- Koreksi Hb dengan transfusi PRC hingga Hb > 10g/dL.
- Rencana Kemoterapi dengan Paclitaxel dan Carboplatin
3.7. Prognosis
Dubius ad bonam
23
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien, seorang perempuan berumur 68 tahun, suku Bali, agama Hindu, datang
dengan keluhan muncul benjolan pada leher kira kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu
dan dirasakan semakin membesar. Pasien juga mengeluhkan adanya telinga
berdenging, sakit kepala, demam dan lemas. Dari riwayat sosial ditemukan bahwa
pasien bekerja sebagai petani dan mengaku menggunakan pestisida untuk membunuh
hama. Selain itu pasien juga sering nginang dengan menggunakan tembakau.
Berdasarkan anamnesis dari pasien, ditemukan adanya gangguan nasofaring, telinga,
dan pembesaran kelenjar getah bening, serta terdapat faktor resiko berupa terpapar
bahan insektisida, menggunakan tembakau, terpapar bahan asbes, yang sesuai teori
mampu mengarahkan keadaan pasien pada diagnosis karsinoma nasofaring.
Pada pemeriksaan fisik, di dalam nasofaring ditemukan massa berdungkul-dungkul,
terlihat rapuh di fossa rossenmuler dekstra et sinistra yang meluas ke atap nasofaring.
Pada pemeriksaan nasofaring tersebut ditemukannya tumor primer dari pasien ini.
Pada leher ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening leher daerah jugular
superior sinistra, massa padat, terfiksir, nyeri tekan (-), ukuran 5 x 4 x 4 cm.
Pembesaran kelenjar getah bening ini menunjukkan bahwa adanya metastase
regional. dari hasil pemeriksaan CT-scan didapatkan kesimpulan bahwa masa
nasofaring kiri tidak mengalami perluasan ke jaringan sekitarnya. Dari pemeriksaan
foto thorax PA didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada proses metastase ke paru-paru
maupun jantung. Dari keadaan ini stadium penyakit pasien dapat ditentukan dengan
sistem TNM. Dari hasil CT-Scan dan foto thorax PA dapat disimpulkan kedaan
pasien saat ini dalam T1 dan M0. Dari pembesaran kelenjar getah bening pasien yang
bersifat unilateral dan dengan ukuran dibawah 6 cm serta letaknya di atas
supraklavikula, didapatkan N1. Sehingga staging karsinoma nasofaring pasien adalah
T1N1M0 dan termasuk ke dalam stadium II B.
24
Dari kriteria Digby gejala-gejala yang dikeluhkan oleh pasien masuk ke dalam
kriteria ini. Massa terlihat pada nasofaring pasien (skor 25), dikeluhkan gejala
pendengaran berupa tinitus (skor 15), sakit kepala (skor 5), dan terdapat
limfadenopati pada leher (skor 25). Skor untuk kriteria Digby pada pasien ini adalah
70 yaitu lebih dari 50, sehingga diagnosis karsinoma nasofaring dapat
dipertanggungjawabkan untuk pasien ini.
Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan patologi anatomi melalui biopsi nasofaring
dan didapatkan hasil undifferentiated nasopharyngeal carcinoma dan termasuk dalam
klasifikasi histopatologi tipe II (Undifferentiated epidermoid carcinoma ) dan WHO
tipe 3.
Penatalaksanaan pada penderita ini berupa pemberian radioterapi dan kemoterapi hal
ini sudah sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa radioterapi merupakan
terapi pilihan utama karena karsinoma nasofaring adalah tumor yang radiosensitif,
biaya relatif murah, dan cukup efektif terutama terhadap tumor yang belum
mengadakan invasi ke intrakranial. Kemoterapi merupakan terapi
adjuvant/tambahan pada karsinoma nasofaring. Terutama diberikan pada stadium
lanjut atau pada keadaan kambuh, dan pada kasus dengan metastase jauh. Pada
penderita ini kemoterapi diberikan untuk meningkatkan sensitifitas terhadap
radioterapi yang diberikan. Namun pada pasien ini masih belum dapat dilakukan
sebab pasien masih mengalami anemia dan hipoalbumin, sehingga perlu dilakukan
koreksi untuk keadaan ini. Setelah keadaan tersebut terkoreksi, pasien kemudian
akan dilakukan terapi radiasi dan kemoterapi (rencana dengan paclitaxel dan
carboplatin)
Prognosis pasien ini adalah baik, sebab stadium kanker pasien adalah II B dimana
berdasarkan literatur angka 5 years survival rate untuk kanker dengan stadium ini
adalah 95%.
25
BAB V
SIMPULAN
Dilaporkan kasus seorang perempuan berumur 68 tahun, suku Bali, agama Hindu,
datang dnegan keluhan muncul benjolan pada leher kira kurang lebih sejak 1 tahun
yang lalu dan dirasakan semakin membesar. Pasien juga mengeluhkan adanya telinga
berdenging, sakit kepala, demam dan lemas. Di dalam nasofaring ditemukan massa
berdungkul-dungkul, terlihat rapuh di fossa rossenmuler dekstra et sinistra yang
meluas ke atap nasofaring. Pada leher ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah
bening leher daerah jugular superior sinistra, massa padat, terfiksir, nyeri tekan (-),
ukuran 5 x 4 x 4 cm. Dari hasi pathologi ditemukan adanya undifferentiated
nasopharyngeal carcinoma. Dari hasil pemeriksaan CT-scan dan foto thorax PA
tidak ditemukan adanya proses metastase. Pasien didiagnosis dengan KNF stadium II
B (T1N1M0). Penatalaksanaannya adalah berupa MRS dengan IVFD NaCL 0,9% 20
tetes/menit, diet TKTP + ekstra putih telur, vitamin B1, B6, B12 2 x 1 tab, vitamin C
1 x 1 tab, koreksi hipoalbumin dengan transfusi albumin hingga albumin >3 g/dL,
koreksi Hb dengan transfusi PRC hingga Hb > 10g/dL, dan rencana kemoterapi
dengan Paclitaxel dan Carboplatin, serta radioterapi.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A, Adham M. Karsinoma nasofaring; Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi Keenam. Editor : Soepardi EA,
Iskandar N. FK UI;Jakarta. 2007
2. Satyanarayana K. et al. Epidemiological and etiological factors associated with
nasofharyngeal carcinoma. September 2003: 33(9); 1-9
3. Jeyakumar A. et al. Review of nasopharygeal carcinoma. March 2006: 85(3);
168-173
4. Suardana W. et al. Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Telinga Hidung Dan
Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; Denpasar.
1992
5. Asroel H. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Fakultas
Kedokteran Bagian THT Universitas Sumatera Utara. 2002
6. Febrianto, P. Karsinoma Nasofaring. 2008. Diunduh dari:
http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/paulus-febrianto-silor-
078114130.pdf. Diakses pada : tanggal 25 Juli 2011.
27
top related