karsinoma nasofaring.docx

38
BAB I PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan keganasan di daerah kepala dan leher yang selalu berada dalam kedudukan lima besar diantara keganasan bagian tubuh lain bersama dengan kanker serviks, kanker payudara, tumor ganas getah bening dan kanker kulit. Angka kejadian karsinoma nasofaring paling tinggi ditemukan di Asia dan jarang ditemukan di Amerika dan Eropa. 1 Akan tetapi angka insiden cukup tinggi di sebahagian tempat dan dipercayai faktor genetik dan lingkungan pencetus karsinoma nasofaring. Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia adalah cukup tinggi dimana 4,7: 100 000 orang kasus pertahun. 1,2 Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel permukaan (mukosa) nasofaring atau kelenjar yang terdapat pada nasofaring. 1,2 Telah di ketahui bahawa faktor genetik, lingkungan dan infeksi virus menjadi penyebab utama terjadi karsinoma nasofaring. 1-3 Gejala awal yang sering ditemukan ialah hidung buntu, perdarahan dari hidung, pendengaran menurun, tinitus dan sakit kepala. Ada juga pasien datang dengan keluhan benjolan atau massa pada leher, ini terjadi apabila berlaku metastase sel-sel ganas ke kelenjar getah bening regional sehingga kebanyakan penderita datang sudah pada 1

Upload: an-ordinary-k-chazwin

Post on 26-Oct-2015

91 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

karsinoma nasofaring

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan di daerah kepala dan leher yang selalu

berada dalam kedudukan lima besar diantara keganasan bagian tubuh lain bersama

dengan kanker serviks, kanker payudara, tumor ganas getah bening dan kanker kulit.

Angka kejadian karsinoma nasofaring paling tinggi ditemukan di Asia dan jarang

ditemukan di Amerika dan Eropa.1 Akan tetapi angka insiden cukup tinggi di

sebahagian tempat dan dipercayai faktor genetik dan lingkungan pencetus karsinoma

nasofaring. Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia adalah cukup tinggi

dimana 4,7: 100 000 orang kasus pertahun.1,2

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel permukaan

(mukosa) nasofaring atau kelenjar yang terdapat pada nasofaring.1,2 Telah di ketahui

bahawa faktor genetik, lingkungan dan infeksi virus menjadi penyebab utama terjadi

karsinoma nasofaring.1-3

Gejala awal yang sering ditemukan ialah hidung buntu, perdarahan dari hidung,

pendengaran menurun, tinitus dan sakit kepala. Ada juga pasien datang dengan

keluhan benjolan atau massa pada leher, ini terjadi apabila berlaku metastase sel-sel

ganas ke kelenjar getah bening regional sehingga kebanyakan penderita datang sudah

pada stadium lanjut dan ini menyebabkan kematian tinggi selama satu tahun setelah

terapi radiasi. Sampai saat ini terapi yang memuaskan belum ditemukan.

Keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh stadium penderita.1,2

Dengan mengetahui hal-hal tersebut, sangat diperlukan pengetahuan mengenai kanker

nasofaring sehingga diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan, deteksi

dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Karsinoma nasofaring ialah tumor ganas yang berasal dari sel-sel epitel mukosa

nasofaring atau kalenjar yang terdapat pada nasofaring.1 Karsinoma nasofaring

merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak yang ditemukan di

Indonesia namun sulit untuk dilakukan diagnosis dini dikarenakan letaknya

yang tersembunyi serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam

tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher.

2.2. Epidemologi

Insiden KNF relatif rendah di seluruh dunia, insidennya kurang dari 1:100 000

orang. Tetapi di Selatan Negara China, insidennya mencapai 10-15:100 000

pada laki-laki dan 5-10:100 000 pada perempuan. Di daerah Guandong dan

Guangxi insiden KNF mencapai 50:100 000 orang.2,3

Di Indonesia insiden KNF sebanyak 4,7:100 000 orang pertahun dimana

parbandingan laki-laki dengan perempuan berkisar 2-3:1 orang.1

2.3. Etiologi

Antara faktor yang berkaitan dengan karsinoma nasofaring adalah faktor

lingkungan yang saling berhubungan dengan faktor genetik.1-3,4-6

2.3.1. Faktor Lingkungan

Antara faktor yang dikaitkan ialah ventilasi rumah yang kurang bagus

dan penggunaan kayu api sebagai bahan bakar dalam ruangan. Ventilasi

yang buruk menyebabkan terpaparnya oleh asap yang terlalu lama dapat

meningkatkan resiko KNF.

Konsumsi ikan asin dalam jangka masa lama dapat meningkatkan resiko

KNF. Penelitian yang dilakukan oleh Yu et al menunjukan ras China

2

yang memiliki kebiasaan konsumsi ikan asin dalam jangka lama

ternyata memiliki insiden KNF yang tinggi. Ada juga penelitian

dilakukan dengan menggunakan tikus, dimana tikus ini diberikan ikan

asin sebagai diet. Hasil penelitian tersebut di menunjukkan hasil bahwa

3 dari 20 tikus yang diberi ikan asin sebagai diet, terjangkit kanker

nasofaring dan kanker faring. Kandungan nitrosamide yang terdapat di

ikat asin diduga sebagai penyebab utama untuk terjadinya KNF.

Merokok (tembakau) juga merupakan salah satu faktor resiko, dimana

dalam suatu penelitian didapatkan angka insiden KNF tinggi pada orang

yang merokok lebih dari 10 tahun atau lebih. Ada pun penelitian

dilakukan di Taiwan oleh Lin et al menunjukkan bahwa paparan terlalu

lama oleh asap rokok meningkatkan resiko KNF.2

Paparan terlau lama pada senyawa kimia yang bersifat karsinogen

(pestisida, asbes, dll) juga memainkan peranan dalam terjadinya KNF.

Gambar 1. Faktor yang bisa memicu terbentuknya KNF.

3

2.3.2. Faktor Genetik

Insiden KNF pada ras China lebih tinggi di populasi yang biasa

berkaitan dengan jenis diet tertentu. Satu penelitian yang dilakukan

simon et al didapati peranan histocampability locus antigen (HLA)

mempunyai kaitan dengan KNF. Dimana HLA termasuk HLA-A2,

HLA-B46 dan HLA-B58 mempunyai hubungan keganasan. Salah satu

contoh pada anggota keluarga di Cina selatan dengan 49 anggota dari

dua generasi didapatkan 9 penderita karsinoma nasofaring dan 1

menderita tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari

penderita karsinoma nasofaring menderita keganasan organ lain.2,3

2.3.3. Virus Epstein-Barr

Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr

juga d inya t akan o l eh be rbaga i pene l i t i da r i bag i an yang

be rbeda d i dun i a i n i . 1 - 4 Pada pa s i e n karsinoma nasofaring

dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum

plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam

mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya,

mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel

penderita karsinoma nasofaring.

2.4. Anatomi

Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga

hidung. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi

occiput dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan

rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachian berada pada

dinding samping dan pada bagian depan dan belakang terdapat ruangan

berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas dan samping

dari torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa

rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft

palatum.

4

Gambar 2. Gambaran Nasofaring.

Gambar 3. Gambaran nasofaring melalui laringscope

2.5. Histologi

Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type. Setelah 10

tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel

nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone).

Mukosa membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma kaya dengan

jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel

permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan bisa

merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat

juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.

5

2.6. Pathogenesis

Gambar 4. Skema pathogenesis KNF

Hubungan antara virus Epstein-Barr (EBV) dan konsumsi nitrosamine

diketahui sebagai penyebab utama terjadinya karsinoma nasofaring. EBV

adalah suatu virus dari keluarga herpes (yang termasuk Virus herpes simpleks dan

Cytomegalovirus), yang merupakan salah satu virus-virus paling umum di dalam

manusia. Banyak orang yang terkena infeksi EBV, yang sering asimptomatis tetapi

biasanya penyakit akibat radang yang cepat menyebar. Virus tersebut dapat masuk

ke dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan

dalam jangka waktu yang lama.2,3,6

6

Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk

mengkonsumsi ikan asin atau makanan dengan kandungan garam tinggi secara

terus menerus mulai dari masa anak-anak, merupakan mediator utama yang

dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.

2.7. Diagnosis

Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan juga

pemeriksaan penunjang.

Adapun kriteria Digby, dimana menggunakan skoring untuk setiap gejala

mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat menentukan

KNF.6

Table 1. Digby skoring

Jika jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat

dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring,

namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi

diagnosis histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat

kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.

2.8. Manisfestasi klinis

7

Simtomatologi ditentukan oleh hubungan anatomi nasofaring terhadap hidung,

tuba Eustachii dan dasar tengkorak1,4,6

2.8.1. Gejala Hidung :

o Epistaksis: rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi

perdarahan.

o Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor

kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana, gejalanya : pilek

kronis, ingus kental, gangguan penciuman.

2.8.2. Gejala telinga

o Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula di fosa Rosen

Muler, pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara

tuba (berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran)

o Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran

2.8.3. Gejala lanjut

o Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker

dapat mencapai kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar

ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan

tampak benjolan di leher bagian samping, lama kelamaan karena

tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot

sehingga sulit digerakkan.

2.8.4. Gejala mata dan saraf

o Gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut

karsinoma ini dikarenakan posisi anatomi nasofaring yang

berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa

lubang/foramen. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai

saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang

gejala diplopia lah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter

mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan

oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.

8

o Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranial, didahului oleh gejala

subyektif dari penderita seperti : kepala sakit atau pusing, hipestesia

daerah pipi dan hidung, kadang sulit menelan atau disfagia. Perluasan

kanker primer ke dalam kavum kranii akan menyebabkan

kelumpuhan N. II, III, IV, V dan VI akibat kompresi maupun

infiltrasi atau perluasan tumor menembus jaringan sekitar atau juga

secara hematogen. Gejala saraf kranialis meliputi :

- Kerusakan N.I bisa terjadi karena karsinoma nasofaring sudah

mendesak N.I melalui foramen olfaktorius pada lamina kribrosa.

Penderita akan mengeluh anosmia,

- Sindroma Petrosfenoidal. Pada sindroma ini nervi kranialis yang

terlibat secara berturut-turut adalah N.IV, III, VI dan yang paling

akhir mengenai N.II. Paresis N.II, apabila perluasan kanker

mengenai kiasma optikum maka N.optikus akan lesi sehingga

penderita memberikan keluhan penurunan tajam penglihatan.

Paresis N.III menimbulkan kelumpuhan mata m.levator palpebra

dan m.tarsalis superior sehingga menyebabkan oftalmoplegia

serta ptosis bulbi (kelopak mata atas menurun), fissura palpebra

menyempit dan kesulitan membuka mata. Paresis N.III, IV dan

VI akan menimbulkan keluhan diplopia

- Parese N.V yang merupakan saraf motorik dan sensorik, akan

menimbulkan keluhan parestesi sampai hipestesi pada separuh

wajah atau timbul neuralgia pada separuh wajah

- Sindroma parafaring. Proses pertumbuhan dan perluasan lanjut

karsinoma, akan mengenai saraf otak N.kranialis IX, X, XI, dan

XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat

yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut

dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak

disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi

tulang tengkorak dengan prognosis buruk. Parese N.IX

9

menimbulkan gejala klinis : hilangnya refleks muntah, disfagia

ringan, deviasi uvula ke sisi sehat, hilangnya sensasi pada laring,

tonsil, bagian atas tenggorok dan belakang lidah, salivasi

meningkat akibat terkenanya pleksus timpani pada lesi telinga

tengah, takikardi pada sebagian lesi N.IX mungkin akibat

gangguan refleks karotikus. Paresis N.X akan memberikan gejala

: gejala motorik (afoni, disfoni, perubahan posisi pita suara,

disfagia, spasme otot esofagus), gejala sensorik (nyeri daerah

faring dan laring, dispnea, hipersalivasi). Parese N.XI akan

menimbulkan kesukaran mengangkat dan memutar kepala dan

dagu. Parese N.XII akibat infiltrasi tumor melalui kanalis

n.hipoglossus atau dapat pula karena parese otot-otot yang

dipersarafi yaitu m.stiloglossus, m.longitudinalis superior dan

inferior, m.genioglossus (otot-otot lidah). Gejala yang timbul

berupa lidah yang deviasi ke sisi yang lumpuh saat dijulurkan,

suara pelo dan disfagia.

2.9. Pemeriksaan Penunjang

2.9.1. Pemeriksaan Nasofaring

Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara

rinoskopi posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung)

sertafibernasofaringoskopi.1,4,6

2.9.2. Pemeriksaan Radiologi

Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa

tumor yang menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :

o Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke

jaringan ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang

paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang, terutama pada

dasar tengkorak.

10

o Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan

imaging yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam

membedakan tumor dari peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam

mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang

dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang,

dimana CT tidak dapat mendeteksinya.3,5,6

2.9.3. Pemeriksaan Serologi

Pemeriksaan serologi dilakukan untuk mendeteksi infeksi EBV dimana

dilakukan biopsi jarum halus pada sel tumor. Melalui pemeriksaan

imunohistokimia dapat mendeteksi mRNA EBV pada jaringan tumor.

EBV dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma dan non

keratinizing squamous cell carcinoma.1,2,6

2.9.4. Pemeriksaan Pathologi

Pemeriksaan pathologi dapat dilakukan dengan biopsi aspirasi jarum

halus dan biopsi jaringan.

Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening servikalis.

Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan

pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikal.6

Biopsi Jaringan

Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari

mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya

(blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung

menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke

lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai

bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung

kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-

sama dengan ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan

kateter disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian

dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan

melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop

11

yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih

jelas.1,6

2.10 Klasifikasi

Klasifikasi WHO tahun 2005 membagi karsinoma nasofaring menjadi

i. Tipe WHO 1

- Karsinoma sel skuamosa (KSS)

- Deferensiasi baik sampai sedang.

- Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).

ii. Tipe WHO 2

- Karsinoma non keratinisasi (KNK).

- Paling banyak pariasinya.

- Menyerupai karsinoma transisional

iii. Tipe WHO 3

- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).

-Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, “Clear Cell

Carsinoma”, varian sel spindel.

- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.

2.11 Stagging

Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC

(Union Internationale Centre Cancer ) dan AJCC (Americant Joint Committe

on Cancer). Untuk karsinoma nasofaring pembagian TNM adalah sebagai

berikut :

T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya

T1 : Tumor terbatas pada nasofaring

T2 : Tumor meluas ke orofaring dan atau fossa nasal

T2a : Tanpa perluasan ke parafaring

T2b : Dengan perluasan ke parafaring

12

T3 : Invasi ke struktur tulang dan atau sinus paranasal

T4 :Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai syaraf otak, fossa

infratemporal, hipofaring atau orbita

N menggambarkan keadaaan kelenjar limfe regional

N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar

N1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cm

N2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm

N3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm atau ekstensi ke supraklavikula

M menggambarkan metastase jauh

M0 : Tidak ada metastase jauh

M1 : Terdapat metastase jauh

Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan :

Stadium I : T1, N0, M0

Stadium IIA : T2a, N0, M0

Stadium IIB : T1, N1, M0, T2a, N1, M0 atau T2B, N0-1, M0

Stadium III : T1-2, N2, M0 atau T3, N0-2, M0

Stadium IVA: T4, N0-2, M0

Stadium IVB: Tiap T, N3, M0

StadiumIV C: Tiap T, Tiap N, M1

2.12 Diagnosis Banding

Adapun diagnosa banding dari karsinoma nasofaring ini adalah : 1

1. TBC nasofaring

Dapat dibedakan dengan pemeriksaan histopatologi ( PA ).

2. Angiofibroma nasofaring

13

Insidennya pada laki-laki dewasa muda, tanpa gejala metastase karena

merupakan tumor jinak

2.13 Penatalaksanaan

Modalitas penatalaksaan dapat dilakukan

2.11.1. Radioterapi

Radioterapi merupakan terapi pilihan utama karena karsinoma

nasofaring adalah tumor yang radiosensitif, biaya relatif murah, dan

cukup efektif terutama terhadap tumor yang belum mengadakan

invasi ke intrakranial. Tetapi jika sudah metastase jauh maka radiasi

merupakan pengobatan yang bersifat paliatif. Dosis untuk

radioterapi radikal adalah 6000-7000 rad dengan aplikasi radium

dalam 7 hari atau 5000-6000 rad dengan sinar X dalam waktu 5-6

minggu. Untuk terapi paliatif diberikan pada nasofaring dan

kelenjar limfe servikal kanan dan kiri. Dosisnya adalah dua pertiga

dari dosis radikal. Evaluasi pasca radiasi diadakan setiap bulan pada

tahun pertama, kemudian setiap 3 bulan pada tahun kedua, dan

setiap 6 bulan selama 5 tahun.3-5

2.11.2. Khemoterapi

Kemoterapi merupakan terapi adjuvan yang hingga saat ini masih tetap

digunakan. Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik

sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti.

Pemberian adjuvan kemoterapi Cis-platinum, bloemycin, dan 5-

fluorouracil sedang dikembangkan di Departemen THT FKUI dengan

hasil sementara yang cukup memuaskan.

Obat-obatan sitostatika yang direkomendasikan adalah : 1,2

a. Obat tunggal :

- Methotrexate, dosis 25 mg / minggu per oral

- Cyclophosphamide, dosis 1 gram / minggu intravena

- Bleomycin, dosis 10 mg / m2 luas permukaan tubuh / minggu im

14

- 5 Fluorouracil atau 5FU dan Cisplatin

Cisplatin menghambat sintesis DNA dan proliferasi sel dengan jalan

membuat rantai silang pada DNA dan menyebabkan denaturasi helik

ganda. 5FU akan menghambat sintesis timidilat dan juga

mempengaruhi fungsi dan sintesi RNA, berpengaruh terhadap DNA,

dan berguna pada pengobatan paliatif pada pasien dengan penyakit

yang progresif.6

b. Obat-obatan ganda :

COMP :

Hari I : Cyclophosphamide 500 mg intravena

Vincristine 1 mg intravena

5 FU 750 mg intravena

Hari VIII : Cyclophosphamide 500 mg intravena

Vincristine 1 mg intravena

Methotrexate 50 mg intravena

Diulang setiap 4 minggu

Methotrexate-Bleomycin-Cisplatin :

Hari I : Bleomycin 10 mg / m2 intravena

Methotrexate 20 mg / m2 intravena

Diulang setiap 2 minggu sampai 4 kali

Hari II: CispIatin 80 mg / m2 intravena

Diulang setelah 10 minggu

Harus diperhatikan efek samping dengan cara melakukan kontrol yang

baik terhadap fungsi hemopoitik, fungsi ginjal dan sebagainya.

Karena tingginya insiden kerusakan jaringan regional akibat

radioterapi dan juga karena tingginya metastase jauh dari kanker

nasofaring, maka kombinasi modalitas therapy radiasi dan

kemotherapi adalah konsep yang cukup atraktif. Kombinasi ini dapat

saling melengkapi atau bahkan sinergis. Ada beberapa cara untuk

15

kombinasi ini, dimana dapat diberikan secara neoadjuvan (kemoterapi

yang diikuti dengan radiotherapi) atau sebagai adjuvant therapi

(radiotherapi yang diikuti dengan kemoterapi). Kombinasi kemo-

radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari

sebelum diberikan radiasi yang bersifat “radiosensitizer”

memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total

pasien karsinoma nasofaring.5-6

2.11.3. Pembedahan

Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih

ada sisa kelenjar/tidak menghilang pasca radiasi (residu) atau adanya

kekambuhan kelenjar/timbul kembali setelah penyinaran, tetapi dengan

syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih, atau sudah hilang

yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi

tumor induk sisa atau kambuh diindikasikan, tetapi sering timbul

komplikasi yang berat akibat operasi.

2.14 Prognosis

Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia dimana usia muda mempunyai

prognosis yang lebih baik bebanding usia lanjut, staging klinik dan lokasi dari

metatase regional juga berperanan (lebih baik pada yang homolateral

dibandingkan pada metastase kontralateral dan metastase yang terbatas pada

leher atas dibandingkan dari leher bawah). Studi terakhir dengan menggunakan

TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk stage I 98%,

stage II A-B 95%, stage III 86%, dan stage IV A-B 73%.6 Secara mikroskopis,

prognosis lebih buruk pada keratinizing squamous cell carcinoma dibandingkan

dengan yang lainnya. Untuk non keratinizing squamous cell carcinoma,

prognosis buruk bila dijumpai :

1. Anaplasia dan atau plemorfism.

2. Proliferasi sel yang tinggi (dihitung dari mitotik atau dengan proliferasi

yang dihubungkan dengan marker imunohistokimia).

16

3. Sedikitnya jumlah sel radang limfosit.

4. Tingginya densitas dari S-100 protein yang positif untuk sel-sel dendritik.

5. Dijumpai banyak pembuluh darah kecil.

6. Dijumpai ekspresi c-erb B-2.

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : Kedem Ni Nyoman

RM : 01.49.43.47

Umur : 68 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Bangsa : Indonesia

Suku : Bali

Agama : Hindu

Pendidikan : Tidak tamat SD

Status Perkawinan : Sudah Menikah

Pekerjaan : Petani

Alamat : Br. Dinas Tibubiu Klod, Kerambitan, Tabanan

MRS : 18 Juli 2011

Tanggal Pemeriksaan : 25 Juli 2011

3.2. Anamnesis

Keluhan utama : Benjolan pada leher kiri

Perjalanan penyakit :

Pasien datang mengeluhkan terdapat benjolan di leher kiri. Benjolan ini dikatakan

sudah muncul kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengatakan bahwa

benjolan awalnya berukuran kecil namun lama kelamaan semakin membesar, namun

benjolan ini dikatakan tidak nyeri apabila diberikan penekanan. Keluhan ini juga 17

dikatakan disertai dengan keluhan berupa telinga mendenging yang terjadi kurang

dari 1 bulan yang lalu dan hilang timbul. Telinga berdenging ini dirasakan di telinga

kiri. Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya sakit kepala yang hilang timbul dan

dikatakan sudah terjadi sejak kurang dari 1 bulan yang lalu. Pasien mengatakan

sebelumnya juga sempat demam dan merasa lemas sejak kurang lebih 2 bulan yang

lalu dan sempat diajak berobat kemana-mana dan akhirnya sempat memeriksakan diri

ke RSUD Tabanan. Keluhan lemas masih dirasakan pasien hingga sekarang namun

demam sudah ada perbaikan. Di RSUD Tabanan pasien menerima pengobatan untuk

keluhannya. Karena dalam pemeriksaan fisik ditemukan adanya pembesaran kelenjar

di leher kiri, kemudian kelenjar tersebut dikatakan disuntik untuk diperiksa di

laboratorium. Dari hasil pemeriksaan tersebut dikatakan bahwa pasien dicurigai

terdapat kanker nasofaring, kemudian pasien di rujuk ke Poli THT di Rumah Sakit

tersebut dan menjalani pemeriksaan serta pengambilan jaringan di daerah nasofaring.

Dari hasil pemeriksaan tersebut didapatkan hasil adanya sel-sel kanker dan pasien

didiagnosis mengalami karsinoma nasofaring. Kemudian pasien dirujuk ke RSUP

Sanglah untuk menjalankan terapi penyinaran dan kemoterapi, sebab fasilitas untuk

terapi penyinaran tidak ada di Rumah Sakit tersebut.

Riwayat pengobatan

Sejak pertama kali pasien merasakan timbulnya benjolan di leher kiri kurang lebih 1

tahun yang lalu, pasien tidak memeriksakan dan melakukan pengobatan. Pada saat

pasien memeriksakan diri di RSUD Tabanan dengan keluhan demam dan lemas,

pasien mengaku hanya diberikan obat untuk penurun panas dan vitamin saja. Namun

saat diperiksakan di Poli THT RSUD Tabanan dan dengan diagnosis karsinoma

nasofaring pasien mengaku tidak diberikan pengobatan dan hanya dirujuk ke RSUP

Sanglah untuk menjalani terapi penyinaran dan kemoterapi.

Riwayat Penyakit Terdahulu

Pasien tidak pernah mengalami gejala penyakit seperti ini sebelumnya. Pasien tidak

memiliki riwayat penyakit alergi, asma, hipertensi, jantung, DM dan penyakit

sistemik lainnya. Selain itu pasien juga menyangkal pernah melakukan operasi.18

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan bahwa pada keluarganya tidak ada yang menderita penyakit yang

sama atau menderita penyakit kanker lainnya. Pasien mengatakan bahwa dari

keluarga tidak ada yang memiliki riwayat penyakit alergi, asma, hipertensi, jantung,

DM dan penyakit sistemik lainnya.

Riwayat sosial

Pasien mengatakan sering nginang sejak lama dan tepatnya sejak kapan pasien tidak

ingat. Pasien mengatakan sering nginang dengan menggunakan mako (tembakau).

Kesehariannya pasien bekerja sebagai petani di sawah, dan pasien mengaku

sawahnya menggunakan bahan pestisida untuk mengusir hama perusak. Kebiasaan

lainnya adalah pasien sering minum kopi sejak remaja namun hanya secangkir dalam

sehari, namun sejak sakit pasien jarang mengkonsumsinya. Pasien mengaku salah

satu bangunan di rumah pasien menggunakan bahan bangunan berupa asbes. Pasien

menyangkal memiliki riwayat mengkonsumsi ikan asin maupun ikan bakar dan

mengkonsumsi alkohol.

3.3. Pemeriksaan fisik

Status Present

Keadaan umum : Lemah

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Denyut Nadi : 80 kali/menit

Respirasi : 20 kali/menit

Temperatur Axila : 36,5oC

Status General

• Kepala : Tidak ditemukan kelainan

Mata : Anemia (+/+), ikterus (-/-), ptosis (-/-), diplopia (-/-),

strabismus (-/-), isokor

• THT : Sesuai status lokalis19

• Leher : Pembesaran kelenjar getah bening

- Pada daerah jugular superior sinistra, massa padat,

terfiksir, nyeri tekan (-), ukuran 5 x 4 x 4 cm.

• Thorak : Cor : S1S2 tunggal, Reguler, Murmur(-)

Po : Ves +/+, Rh-/-, Wh-/-

• Abdoment : Distensi(-), Bising usus (+) Normal, H/L tak teraba

• Ekstremitas : Edema (-/-), akral hangat (+/+)

Status Lokalis THT

TELINGA KANAN KIRI

Daun telinga N N

Liang telinga Lapang Lapang

Discharge - -

Membrana Tipani Intak Intak

Tumor - -

Mastoid N N

Tes pendengaran:

Berbisik Tidak dievaluasi

Weber Tidak dievaluasi

Rinne Tidak dievaluasi

Schwabah Tidak dievaluasi

BOA Tidak dievaluasi

Tympanometri Tidak dievaluasi

Audiometri Tidak dievaluasi

Nada Murni Tidak dievaluasi

BERA Tidak dievaluasi

OAE Tidak dievaluasi

Tes Alat Tidak dievaluasi

Keseimbangan Tidak dievaluasi

HIDUNG KANAN KIRI

20

Hidung Luar N N

Kavum Nasi Lapang Lapang

Septum Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi

Discharge - -

Mukosa Merah muda Merah muda

Tumor - -

Konka Dekongesti Dekongesti

Sinus N N

Koana Tidak dievaluasi

Naso endoskopi Tidak dievaluasi

TENGGOROK

Dispneu -

Sianosis -

Mukosa Merah muda

Dinding belakang -

Stridor -

Suara Normal

Tonsil T1/T1

LARING Tidak dievaluasi

NASOFARING Massa berdungkul-dungkul, terlihat rapuh di fossa

rossenmuler dekstra et sinistra yang meluas ke atap

nasofaring

3.4. Pemeriksaan Penunjang

Patologi (9 Juli 2011)

Bahan: Nasofaring

Kesimpulan: Undifferentiated carcinoma nasofaring

CT Scan Kepala (14 Juli 2011)

21

Kesan: Massa nasofaring kiri yang tidak meluas ke organ sekitar. Staging:

T1N0M0.

Foto thorax PA (24 Juli 2011)

Kesan: Cor dan Pulmo tidak tampak ada kelainan. Tidak tampak proses

metastasi.

Pemeriksaan Lab

Darah Lengkap:

14/7/2011 20/7/2011 25/7/2011

WBC (x 103/µL) 6,76 10,43 10,87

Ne (%) 76,30 75,70 78,70

Lym (%) 8,90 (↓) 11,10 (↓) 8,10 (↓)

Mo (%) 7,50 8,40 7,60

Eo (%) 5,70 (↑) 3,50 4,40

Ba (%) 0,60 0,40 0,40

RBC (x 106/ µL) 2,69 (↓) 4,07 3,80 (↓)

Hgb (g/dL) 6,50 (↓) 10,0 (↓) 9,70 (↓)

Hct (%) 22,50 (↓) 33,50 (↓) 31,40 (↓)

MCV (fL) 83,70 82,20 82,40

MCH (pg) 24,20 (↓) 24,60 (↓) 25,60 (↓)

MCHc (g/dL) 28,90 (↓) 29,30 (↓) 31,0

PLT (x 103/µL) 451,0 (↑) 407,0 284,0

Kimia Klinik:

14/07/2011 20/07/2011 22/07/2011 25/07/2011

Alkali Phospathase

(U/L)

- 221,00 (↑) - -

SGOT (U/L) 34,0 (↑) 29,0 (↑) - 48,04 (↑)

SGPT (U/L) 13,0 14,0 - 16

Albumin (g/dL) 2,40 (↓) 2,40 (↓) 3,44 (↓) 2,60 (↓)

BUN (mg/dL) 26,0 (↑) 14,0 - 9,0

22

Creatinin (mg/dL) 0,53 0,43 (↓) - 0,41 (↓)

Creatinin Clearance

(ml/mnt)

- - - 152,638 (↑)

GDS (mg/dL) 92,0 - - -

Na (mmol/L) 141,10 140,20 - 140,20

K (mmol/L) 3,54 3,0 (↓) - 3,45 (↓)

3.5. Diagnosis

Karsinoma Nasofaring (KNF) stadium II B (T1N1M0)

3.6. Penatalaksanaan

Terapi :

- MRS

- IVFD NaCL 0,9% 20 tetes/menit

- Diet TKTP + ekstra putih telur

- Vitamin B1, B6, B12 2 x 1 tab

- Vitamin C 1 x 1 tab

- Koreksi hipoalbumin dengan transfusi albumin hingga albumin >3

g/dL

- Koreksi Hb dengan transfusi PRC hingga Hb > 10g/dL.

- Rencana Kemoterapi dengan Paclitaxel dan Carboplatin

3.7. Prognosis

Dubius ad bonam

23

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien, seorang perempuan berumur 68 tahun, suku Bali, agama Hindu, datang

dengan keluhan muncul benjolan pada leher kira kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu

dan dirasakan semakin membesar. Pasien juga mengeluhkan adanya telinga

berdenging, sakit kepala, demam dan lemas. Dari riwayat sosial ditemukan bahwa

pasien bekerja sebagai petani dan mengaku menggunakan pestisida untuk membunuh

hama. Selain itu pasien juga sering nginang dengan menggunakan tembakau.

Berdasarkan anamnesis dari pasien, ditemukan adanya gangguan nasofaring, telinga,

dan pembesaran kelenjar getah bening, serta terdapat faktor resiko berupa terpapar

bahan insektisida, menggunakan tembakau, terpapar bahan asbes, yang sesuai teori

mampu mengarahkan keadaan pasien pada diagnosis karsinoma nasofaring.

Pada pemeriksaan fisik, di dalam nasofaring ditemukan massa berdungkul-dungkul,

terlihat rapuh di fossa rossenmuler dekstra et sinistra yang meluas ke atap nasofaring.

Pada pemeriksaan nasofaring tersebut ditemukannya tumor primer dari pasien ini.

Pada leher ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening leher daerah jugular

superior sinistra, massa padat, terfiksir, nyeri tekan (-), ukuran 5 x 4 x 4 cm.

Pembesaran kelenjar getah bening ini menunjukkan bahwa adanya metastase

regional. dari hasil pemeriksaan CT-scan didapatkan kesimpulan bahwa masa

nasofaring kiri tidak mengalami perluasan ke jaringan sekitarnya. Dari pemeriksaan

foto thorax PA didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada proses metastase ke paru-paru

maupun jantung. Dari keadaan ini stadium penyakit pasien dapat ditentukan dengan

sistem TNM. Dari hasil CT-Scan dan foto thorax PA dapat disimpulkan kedaan

pasien saat ini dalam T1 dan M0. Dari pembesaran kelenjar getah bening pasien yang

bersifat unilateral dan dengan ukuran dibawah 6 cm serta letaknya di atas

supraklavikula, didapatkan N1. Sehingga staging karsinoma nasofaring pasien adalah

T1N1M0 dan termasuk ke dalam stadium II B.

24

Dari kriteria Digby gejala-gejala yang dikeluhkan oleh pasien masuk ke dalam

kriteria ini. Massa terlihat pada nasofaring pasien (skor 25), dikeluhkan gejala

pendengaran berupa tinitus (skor 15), sakit kepala (skor 5), dan terdapat

limfadenopati pada leher (skor 25). Skor untuk kriteria Digby pada pasien ini adalah

70 yaitu lebih dari 50, sehingga diagnosis karsinoma nasofaring dapat

dipertanggungjawabkan untuk pasien ini.

Pada pasien telah dilakukan pemeriksaan patologi anatomi melalui biopsi nasofaring

dan didapatkan hasil undifferentiated nasopharyngeal carcinoma dan termasuk dalam

klasifikasi histopatologi tipe II (Undifferentiated epidermoid carcinoma ) dan WHO

tipe 3.

Penatalaksanaan pada penderita ini berupa pemberian radioterapi dan kemoterapi hal

ini sudah sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa radioterapi merupakan

terapi pilihan utama karena karsinoma nasofaring adalah tumor yang radiosensitif,

biaya relatif murah, dan cukup efektif terutama terhadap tumor yang belum

mengadakan invasi ke intrakranial. Kemoterapi merupakan terapi

adjuvant/tambahan pada karsinoma nasofaring. Terutama diberikan pada stadium

lanjut atau pada keadaan kambuh, dan pada kasus dengan metastase jauh. Pada

penderita ini kemoterapi diberikan untuk meningkatkan sensitifitas terhadap

radioterapi yang diberikan. Namun pada pasien ini masih belum dapat dilakukan

sebab pasien masih mengalami anemia dan hipoalbumin, sehingga perlu dilakukan

koreksi untuk keadaan ini. Setelah keadaan tersebut terkoreksi, pasien kemudian

akan dilakukan terapi radiasi dan kemoterapi (rencana dengan paclitaxel dan

carboplatin)

Prognosis pasien ini adalah baik, sebab stadium kanker pasien adalah II B dimana

berdasarkan literatur angka 5 years survival rate untuk kanker dengan stadium ini

adalah 95%.

25

BAB V

SIMPULAN

Dilaporkan kasus seorang perempuan berumur 68 tahun, suku Bali, agama Hindu,

datang dnegan keluhan muncul benjolan pada leher kira kurang lebih sejak 1 tahun

yang lalu dan dirasakan semakin membesar. Pasien juga mengeluhkan adanya telinga

berdenging, sakit kepala, demam dan lemas. Di dalam nasofaring ditemukan massa

berdungkul-dungkul, terlihat rapuh di fossa rossenmuler dekstra et sinistra yang

meluas ke atap nasofaring. Pada leher ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah

bening leher daerah jugular superior sinistra, massa padat, terfiksir, nyeri tekan (-),

ukuran 5 x 4 x 4 cm. Dari hasi pathologi ditemukan adanya undifferentiated

nasopharyngeal carcinoma. Dari hasil pemeriksaan CT-scan dan foto thorax PA

tidak ditemukan adanya proses metastase. Pasien didiagnosis dengan KNF stadium II

B (T1N1M0). Penatalaksanaannya adalah berupa MRS dengan IVFD NaCL 0,9% 20

tetes/menit, diet TKTP + ekstra putih telur, vitamin B1, B6, B12 2 x 1 tab, vitamin C

1 x 1 tab, koreksi hipoalbumin dengan transfusi albumin hingga albumin >3 g/dL,

koreksi Hb dengan transfusi PRC hingga Hb > 10g/dL, dan rencana kemoterapi

dengan Paclitaxel dan Carboplatin, serta radioterapi.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A, Adham M. Karsinoma nasofaring; Dalam Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi Keenam. Editor : Soepardi EA,

Iskandar N. FK UI;Jakarta. 2007

2. Satyanarayana K. et al. Epidemiological and etiological factors associated with

nasofharyngeal carcinoma. September 2003: 33(9); 1-9

3. Jeyakumar A. et al. Review of nasopharygeal carcinoma. March 2006: 85(3);

168-173

4. Suardana W. et al. Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Telinga Hidung Dan

Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Telinga

Hidung Dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; Denpasar.

1992

5. Asroel H. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring. Fakultas

Kedokteran Bagian THT Universitas Sumatera Utara. 2002

6. Febrianto, P. Karsinoma Nasofaring. 2008. Diunduh dari:

http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/paulus-febrianto-silor-

078114130.pdf. Diakses pada : tanggal 25 Juli 2011.

27