karsinoma nasofaring.doc

30
BAB I PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%) dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. Berdasarkan data laboratorium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring menduduki urutan ke-5 dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor kelenjar getah bening dan tumor kulit. 1 Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak dibawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, sering kali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan matastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama. 1 Sangat mencolok perbedaan prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II, 38,4% untuk stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV. Untuk dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi perlu 1

Upload: martin-susanto

Post on 27-Nov-2015

155 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: KARSINOMA NASOFARING.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang

terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan

karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%),

laring (16%) dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.

Berdasarkan data laboratorium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring menduduki urutan

ke-5 dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara,

tumor kelenjar getah bening dan tumor kulit.1

Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena

nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak dibawah dasar tengkorak

serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun

ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang

bukan ahli, sering kali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan matastasis ke leher lebih

sering ditemukan sebagai gejala pertama.1

Sangat mencolok perbedaan prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium

awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II, 38,4%

untuk stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV. Untuk dapat berperan dalam

pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi perlu diketahui seluruh aspeknya meliputi

epidemiologi, etiologi, diagnostik, pemeriksaan serologi, histopatologi, terapi dan

pencegahan, serta perawatan paliatif pasien yang pengobatannya tidak berhasil.1

BAB II

1

Page 2: KARSINOMA NASOFARING.doc

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral

yang secara anatomi termasuk bagian faring.2 Nasofaring terletak di antara basis cranial dan

palatum mole, menghubungkan rongga hidung dan orofaring.3,4 Rongga nasofaring

menyerupai sebuah kubus yang tidak beraturan, diameter atas-bawah dan kiri-kanan masing-

masing sekitar 3 cm, diameter depan-belakang 2-3 cm, dapat dibagi menjadi dinding anterior,

superior, posterior, inferior dan 2 dinding lateral yang simetris bilateral.3,5

Batas nasofaring di bagian superior adalah dasar tengkorak, dibagian inferior adalah

palatum mole.3,4,5,6 Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi

belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul.

Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os

sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre

vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium

tuba eustachius dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius,

sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius

dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius terdapat

fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap

nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub

mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata.

Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid.2

Pembuluh darah nasofaring berasal dari percabangan level I atau level II arteri karotis

eksterna, masing-masing adalah (1) arteri faringeal asendens, cabamg terkecil arteri karotis

eksterna; (2) arteri palatine asendens; (3) arteri faringea, salah satu cabang terminal dari arteri

maksilaris interna; (4) arteri pterigoideus, juga adalah cabang akhir arteri maksilaris interna.2

2

Page 3: KARSINOMA NASOFARING.doc

Gambar 1. Anatomi Nasofaring6

2.2. Epidemiologi dan Etiologi

Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring ada virus

Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup

tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala

lainnya, tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain

sekalipun.1,2,3,4,5,8,9

Banyak penyelidikan mengenai perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi virus ini

bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi

kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik,

pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau

parasit. 1,2,3,4,5,8,9

Meskipun banyak ditemukan di Negara dengan penduduk non-Mongoloid, namun

demikian daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2.500

3

Page 4: KARSINOMA NASOFARING.doc

kasus baru pertahun untuk propinsi Guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/ 100.000

penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga

kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,

Malaysia, Singapura dan Indonesia. 1,2,3,4,5,8,9

Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian utara seperti Aljazair

dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Tanah Hijau yang diduga penyebabnya adalah

karena mereka memakan makanan yang diawetkan pada musim dingin dengan menggunakan

bahan pengawet nitrosamine. 1,2,3,4,5,8,9

Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr.

Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan

Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus

setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukit Tinggi. Demikian pula angka yang

didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini

terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT

RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relatif sedikit lebih banyak dari suku

bangsa lainnya.1

Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dan apa sebabnya belum dapat

diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan

hidup, pekerjaan dan lain-lain. 1,2,3,4,5,8,9 Faktor lingkungan yang berpengaruh adanya iritasi

oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu

masak tertentu, dan kebiasaan makan makan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar

nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan

adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas. Tentang faktor genetik telah banyak

ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien karsinoma nasofaring dengan keganasan

pada organ tubuh lain.1,8 adapun faktor genetik yang dianggap berhubungan dengan

karsinoma nasofaring adalah HLA-BW46 dan HLA-B17.4,5

2.3. Gejala dan Tanda

Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring

sendiri, gejala telinga, gejala mata dan daraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala

4

Page 5: KARSINOMA NASOFARING.doc

nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Untuk itu nasofaring harus

diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum

ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah

mukosa (creeping tumor).1,2,3,4,8

Gejala pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor

dekat muara tuba Eustachius (fossa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak

nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan

gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma

nasofaring. 1,2,3,4,8

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa

lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini.

Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke

V, sehingga tidak jarang gejala diplopialah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter

mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika

belum terdapat keluhan lain yang berarti. 1,2,3,4,8

Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika

penjalaran melalui foramen jugular, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring.

Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila surah mengenai seluruh sarah otak

disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila

telah demikian, biasanya prognosisnya buruk. 1,2,3,4,8

Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien

untuk berobat karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain. 1,2,3,4,8

2.4. Diagnosis

Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah

kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit

ditemukan.1,2,8

5

Page 6: KARSINOMA NASOFARING.doc

Gambar 2. Gambaran CT-Scan karsinoma nasofaring8

Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah

menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. pTjokro Setiyo dari

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma

nasofaring stadium lanjut ( stadium II dan IV) sensitivitas IgA VCA adakah 97,5% dan

spesifisitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160.

IgA anti EA sensitivitasnya sampai 100% tetapi spesifisitasnya hanya 30%, sehingga

pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Titer yang

didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak pada titer 160.1,2,8,9

Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat

dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hudung atau dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan

tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga

hidung menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan

dilakukan biopsi. 1,2,8,9

Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan

melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem

6

Page 7: KARSINOMA NASOFARING.doc

bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung

disebelahnya, sehinggu palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat

daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau

memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih

jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan analgesia topical dengan

Xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka

dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dengan narkosis.1

2.5. Histopatologi

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia

(WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu: 1,2,3,4,5,8,9

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).

Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai

adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel.

Pada umumnya batas sel cukup jelas.

Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor

secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan

nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.

2.6. Stadium

Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC. 1,2,3,4,5,8,9

T = Tumor primer

T0 - Tidak tampak tumor

T1 - Tumor terbatas di nasofaring

T2 - Tumor meluas ke jaringan lunak

T2a: perluasan tumor ke orofaring dan/ atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring

(infiltrasi tumor kea rah postero-lateral melebihi fasia faring-basiler.

T2b: disertai perluasan ke parafaring

T3 - Tumor menginvasi struktur tulang dan/ atau sinus paranasal

T4 - Tumor dengan perluasan intrakranial dan/ atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa

infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.

7

Page 8: KARSINOMA NASOFARING.doc

N- Pembesaran kelenjar getah bening regional

NX - Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0 - Tidak ada pembesaran

N1 - Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama

dengan 6 cm, di atas foss supraklavikula

N2 - Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama

dengan 6 cm, di atas fossa suprakalvikula

N3 - Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6 c,. atau

terletak di dalam fossa supraklavikula

N3a: ukuran lebih dari 6 cm

N3b: di dalam fossa supraklavikula

Catatan: kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar ipsilateral

M = Metastasis jauh

Mx - Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 - Tidak ada metastasis jauh

M1 - Terdapat metastasis jauh

Stadium karsinoma nasofaring: 1,2,3,4,5,8,9

Stadium 0 T1s N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium IIA T2a N0 M0

Stadium IIB T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0, N1 M0

Stadium III T1 N2 M0

T2a, T2b N2 M0

T3 N2 M0

Stadium IVa T4 NO, N1, N2 M0

Stadium IVb Semua T N3 M0

Stadium IVc Semua T Semua N M1

8

Page 9: KARSINOMA NASOFARING.doc

2.7. Diagnosa Banding3

1) Angiofibroma nasofaring

Sering ditemukan pada orang muda, pria jauh lebih banyak dari wanita. Dengan

nasofaringoskop tampak permukaan tumor licin, warna mukosa menyerupai jaringan normal,

kadang tampak vasodilatasi di permukaannya, konsistensinya kenyal padat. Bila secara klinis

dicurigai penyakit ini, awas jangan mudah melakukan biopsy karena mudah terjadi

perdarahan masif.

2) Kelainan hiperplastik nasofaring

Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring umumnya pada usia sebelum 30

tahun sudah mengalami atrofi. Tetapi pada sebagian orang dalam proses atrofi ini mengalami

infesi serius yang menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetri di tempat ini, bila terjadi

ulserasi, perdarahan maka perlu biopsy untuk membedakannya.

3) TB kelenjar limfe leher

Lebih banyak pada pemuda dan remaja. Konsistensi agak keras, dapat melekat dengan

jaringan sekitarnya membentuk mass, kadang terdapat nyeri tekan atau undulasi, pungsi

aspirasi jarum menemukan materi mirip keju.

2.8. Penatalaksanaan

Radioterapi merupakan metode terapi paling utama, radioterapi dikombinasi dengan

kemoterapi dapat meningkatkan efektifitas terapi kanker nasofaring.3,4,5,8

Stadium I : Radioterapi

Stadium II & III: Kemoradiasi

Stadium IV dengan N<6cm: Kemoradiasi

Stadium IV dengan N> 6cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi

2.8.1. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan

karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah

radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.2

9

Page 10: KARSINOMA NASOFARING.doc

Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan

menggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin

dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.

Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi

terpenting.2

Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh

baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu

dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi :2

1. Rantai ganda DNA pecah

2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA

3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.

Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah dari sel-sel

normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap rusak

dibandingkan dengan sel-sel normal. Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan

reparasi kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih

baik dan lebih cepat dari sel kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada

kanker.

Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat

tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya.

Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80%-100% dengan terapi radiasi.

Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh

yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angkaketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring

tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.2

Qin dkk, melaporkan angka harapan hidup rata-rata 5 tahun dari 1379 penderita yang

diberikan terapi radiasi adalah 86%, 59%, 49% dan 29% pada stadium I, II, III dan IV.

a. Persiapan / perencanaan sebelum radioterapi 2

Sebelum diberi terapi radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis

histopatologik, sekaligus ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Penderita juga

dipersiapkan secara mental dan fisik. Pada penderita, bila perlu juga keluarganya diberikan

penerangan mengenai perlunya tindakan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin

timbul selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi 10

Page 11: KARSINOMA NASOFARING.doc

dimulai adalah mutlak. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam

tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita,

seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai

sambil memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh

kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan trombosit

100.000 per uL.

b. Penentuan batas-batas lapangan radiasi 2

Tindakan ini merupakan salah satu langkah yang terpenting untuk menjamin

berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan

sekitarnya / potensi penjalaran perkontinuitatum serta kelenjar-kelenjar getah bening

regional.

Untuk tumor stadium I dan II, daerah-daerah dibawah ini harus disinari :

1. Seluruh nasofaring

2. Seluruh sfenoid dan basis oksiput

3. Sinus kavernosus

4. Basis kranii, minimal luasnya 7 cm2 meliputi foramen ovale, kanalis karotikus dan

foramen jugularis lateral.

5. Setengah belakang kavum nasi

6. Sinus etmoid posterior

7. 1/3 posterior orbit

8. 1/3 posterior sinus maksila

9. Fossa pterygoidea

10. Dinding lateral dan posterior faring setinggi fossa midtonsilar

11. Kelenjar retrofaringeal

12. Kelenjar servikalis bilateral termasuk jugular posterior, spinal aksesori dan

supraklavikular.

Apabila ada perluasan ke kavum nasi atau orofaring ( T3 ) seluruh kavum nasi dan orofaring

harus dimasukkan dalam lapangan radiasi. Apabila perluasan melalui dasar tengkorak sudah

mencapai rongga kranial, batas atas dari lapangan radiasi terletak di atas fossa pituitary.

Apabila penyebaran tumor sampai pada sinus etmoid dan maksila atau orbit, seluruh sinus

atau orbit harus disinari. Kelenjar limfe sub mental dan oksipital secara rutin tidak termasuk,

11

Page 12: KARSINOMA NASOFARING.doc

kecuali apabila ditemukan limfadenopati servikal yang masif atau apabila ada metastase ke

kelenjar sub maksila.

Secara garis besar, batas-batas lapangan penyinaran adalah :

Batas atas : meliputi basis kranii, sella tursika masuk dalam lapangan radiasi.

Batas depan : terletak dibelakang bola mata dan koana

Batas belakang : tepat dibelakang meatus akustikus eksterna, kecuali bila terdapat

pembesaran kelenjar maka batas belakang harus terletak 1 cm di belakang kelenjar

teraba.

Batas bawah : terletak pada tepi atas kartilago tiroidea, batas ini berubah bila

didapatkan pembesaran kelenjar leher, yaitu 1 cm lebih rendah dari kelenjar yang

teraba. Lapangan ini mendapat radiasi dari kiri dan kanan penderita. Pada penderita

dengan kelenjar leher yang sangat besar sehingga metode radiasi di atas tidak dapat

dilakukan, maka radiasi diberikan dengan lapangan depan dan belakang. Batas atas

mencakup seluruh basis kranii. Batas bawah adalah tepi bawah klavikula, batas kiri

dan kanan adalah 2/3 distal klavikula atau mengikuti besarnya kelenjar. Kelenjar

supra klavikula serta leher bagian bawah mendapat radiasi dari lapangan depan, batas

atas lapangan radiasi ini berimpit dengan batas bawah lapangan radiasi untuk tumor

primer.

Gambar 3. Batas lapangan radiasi

12

Page 13: KARSINOMA NASOFARING.doc

Gambar 4. Batas lapangan radiasi

c. Sinar untuk radioterapi 2

Sinar yang dipakai untuk radioterapi adalah :

1. Sinar Alfa

Sinar alfa ialah sinar korpuskuler atau partikel dari inti atom. Inti atom terdiri dari proton dan

neutron. Sinar ini tidak dapat menembus kulit dan tidak banyak dipakai dalam radioterapi.

2. Sinar Beta

Sinar beta ialah sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh zat radioaktif yang mempunyai

energi rendah. Daya tembusnya pada kulit terbatas, 3-5 mm. Digunakan untuk terapi lesi

yang superfisial.

3. Sinar Gamma

Sinar gamma ialah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar ini dapat menembus tubuh. Daya

tembusnya tergantung dari besar energi yang menimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya

atau makin tinggi voltagenya, makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis

maksimalnya.

13

Page 14: KARSINOMA NASOFARING.doc

d. Radioisotop 2

1. Caecium137 ! sinar gamma

2. Cobalt60 ! sinar gamma

3. Radium226 ! sinar alfa, beta, gamma.

e. Teknik Radioterapi 2

Ada 3 cara utama pemberian radioterapi, yaitu :

1. Radiasi Eksterna / Teleterapi

Sumber sinar berupa aparat sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh. Sinar

diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar energi yang diserap oleh suatu tumor

tergantung dari :

a. Besarnya energi yang dipancarkan oleh sumber energi

b. Jarak antara sumber energi dan tumor

c. Kepadatan massa tumor.

Teleterapi umumnya diberikan secara fraksional dengan dosis 150-250 rad per kali, dalam 2-

3 seri. Diantara seri 1-2 atau 2-3 diberi istirahat 1-2 minggu untuk pemulihan keadaan

penderita sehingga radioterapi memerlukan waktu 4-6 minggu.

2. Radiasi Interna / Brachiterapi

Sumber energi ditaruh di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam rongga tubuh.

Ada beberapa jenis radiasi interna :

a. Interstitial

Radioisotop yang berupa jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya jarum radium atau

jarum irridium.

b. Intracavitair

Pemberian radiasi dapat dilakukan dengan :

- After loading

Suatu aplikator kosong dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke tempat tumor. Setelah

aplikator letaknya tepat, baru dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator itu.

14

Page 15: KARSINOMA NASOFARING.doc

- Instalasi

Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal : pleura atau peritoneum.

3. Intravena

Larutan radioisotop disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131 yang disuntikkan IV akan

diserap oleh tiroid untuk mengobati kanker tiroid.

f. Dosis radiasi 2

Ada 2 jenis radiasi, yaitu :

1. Radiasi Kuratif

Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan metastasis jauh.

Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra klavikular. Dosis total radiasi

yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per minggu.

Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran

supraklavikular dikeluarkan.

2. Radiasi Paliatif

Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi untuk

metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan lokal,

lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.

Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang

diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai

4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat dilakukan

penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi dan

penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x

200 cGy lagi untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak

didapatkan pembesaran kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan

supraklavikular cukup sampai 4000 cGy.

15

Page 16: KARSINOMA NASOFARING.doc

Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara

bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan KGB

leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat megavoltage dan

menggunakan radioisotop Cobalt60.

Di bagian Radiologi RS. Elisabet Medan, radiasi diberikan dengan menggunakan

radioisotop Cessium137, mula-mula diberikan dengan dosis rendah mulai 300 cGy – 6000

cGy dalam waktu 4 atau 5 minggu.

g. Respon radiasi 2

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.

Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di

nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :

- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.

- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.

- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.

- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

h. Komplikasi radioterapi 2

Komplikasi radioterapi dapat berupa :

1. Komplikasi dini

Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :

- Xerostomia - Mual-muntah

- Mukositis - Anoreksi

- Dermatitis

- Eritema

2. Komplikasi lanjut

Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :

- Kontraktur

- Gangguan pertumbuhan

- dll

16

Page 17: KARSINOMA NASOFARING.doc

2.8.2. Kemoterapi

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan

hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.2

Kemoterapi meliputi kemoterapi neoadjuvan, kemoterapi adjuvant dan

kemoradioterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah PF (DDP +

5FU), karboplatin + 5FU, paklitaksel + DDP, paklitaksel + DDP + 5FU dan DDP +

gemsitabin, dll.3

DDP: 80-100mg/m2 iv drip hari pertama (mulai sehari sebelum kemoterapi, lakukan hidrasi 3

hari).

5FU: 800-1000mg/m2/d iv drip, hari ke 1-5 lakukan infuse kontinu intravena.

Ulangi setiap 21 hari, atau:

Karboplatin: 300mg/m2 atau AUC = 6 iv drip, hari pertama.

5FU: 800-1000mg/m2/d iv drip, hari ke 1-5 lakukan infuse kontinu intravena.

Ulangi setiap 21 hari

2.8.3. Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan

nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau

adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih

yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan

suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada

nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.2

Dalam kondisi berikut dapat dipertimbangkan tindakan operasi:3

1) Residif lokal nasofaring pasca radioterapi, lesi relatif terlokalisasi.

2) Bulan pasca radioterapi kuratif terdapat residif lesi primer nasofaring.

3) Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.

4) Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade

I, II, adenokarsinoma, dll.

5) Komplikasi radiasi (misal, parasinusitis radiasi, ulkus radiasi, dll).

17

Page 18: KARSINOMA NASOFARING.doc

2.9. Prognosis

Sangat mencolok perbedaan prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium

awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II, 38,4%

untuk stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV.1

Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :10

Stadium yang lebih lanjut.

Usia lebih dari 40 tahun

Laki-laki dari pada perempuan

Ras Cina dari pada ras kulit putih

Adanya pembesaran kelenjar leher

Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

Adanya metastasis jauh

2.10. Pencegahan

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko

tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan risiko tinggi ke tempat lain.1

Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk

mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.1,5 Penyuluhan mengenai

lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal

yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik

IgA-anti VCA dan IgA anti EA secara missal di masa yang akan datang bermanfaat dalam

menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.1

18

Page 19: KARSINOMA NASOFARING.doc

BAB III

KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor gana di daerah kepala dan leher, yang

menyerang bagian nasofaring. Adapaun penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-

Barr, tetapi virus ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat

mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis

kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi,

infeksi kuman atau parasit.

Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring,

gejala telinga, gejala mata dan saraf, sertametastasis atau gejala di leher. Gejela nasofaring

berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Gangguan di telinga dapat menyebabkan

tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Penekanan pada

sejumlah saraf otak dapat menyebabkan diplopia dan neuralgia trigeminal. Metastasis ke

kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat karena

sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.

Diagnosis karsinoma nasofaring dapat menggunakan CT-Scan, pemeriksaan serologi

dan biopsy yang merupakan pemeriksaan bakunya. Dari hasil histopatologinya, dapat

ditemukan 3 bentuk karsinoma yaitu karsinoma sel skuamosa, karsinoma tidak berkeratinisasi

dan karsinoma tidak berdiferensiasi.

Penentuan stadium karsinoma nasofaring menggunakan sistem TMN menurut UICC

dan dibagi menjadi stadium I-IV. Penentuan ini berguna untuk menentukan jenis terapi yang

akan diberikan. Radioterapi merupakan metode terapi paling utama, radioterapi dikombinasi

dengan kemoterapi dapat meningkatkan efektifitas terapi kanker nasofaring.

Pencegahan karsinoma nasofaring berupa pemberian vaksinasi, migrasi penduduk ke

daerah dengan faktor risiko rendah, penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, penyuluhan

mengenasi lingkungan hidup yang tidak sehat, dan melakukan tes serologik.

19

Page 20: KARSINOMA NASOFARING.doc

DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin, A. dan Adham, M, Karsinoma Nasofaring. In.Soepardi, E.A.,et al. (eds.).

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi

Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009: 182-187

2. Asroel, H.A., Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. Refarat.

Medan: FK USU, 2002.

3. Desen, W., et al. Tumor di Kepala dan Leher. In Desen, W. (ed). Buku Ajar Onkologi

Klinis. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2011: 263-278

4. Cassidy, A., Bissett, D., dan Obe, R., Cancer of The Nasopharynx. In Cassidy, A.(ed).

Oxford Handbook of Oncology. New York: Oxford University Press. 2002: 450-453

5. Lalwani, A.K., benign & Malignant Lesions of The Oral Cavity, Oropharynx &

Nasopharynx. In Lalwani, A.K.(ed). Current Diagnosis & Treatment in

Otolaryngology – Head & Neck Surgery. New York: McGraw-Hill. 2008: 356-366

6. Rusmarjon dan Hermani, B., Odinofagia . In.Soepardi, E.A.,et al. (eds.). Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009: 212-216

7. Netter F.H., Lateral Wall of Nasal Cavity. Atlas of Human Anatomy 4th ed. Elseiver,

p37

8. Dhingra, P.L., Tumors of Nasopharynx. Diseases of Ear, Nose and Throat 4th ed.

Elseiver p 230-235

9. Sivanandan, R. dan Fee, W.E., Benign and Malignant Tumors of Nasopharynx. In

Cummings, C.W., et al (eds). Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery.

Edisi keempat. Philadelphia: Mosby. 2005

10. Munir, Delfitri. Karsinoma Nasofaring (Kanker Tenggorok). Medan : USU Press.

2009.

20