karsinoma hepatoseluler
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I. Pendahuluan
Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma merupakan kanker hati primer yang
paling sering ditemukan daripada tumor hati lainnya seperti limfoma maligna,
fibrosarkoma dan hemangioendotelioma(1).
Di Amerika Serikat sekitar 80%-90% dari tumor ganas hati primer adalah
hepatoma. Angka kejadian tumor ini di Amerika Serikat hanya sekitar 2% dari
seluruh karsinoma yang ada. Sebaliknya di Afrika dan Asia hepatoma adalah
karsinoma yang paling sering ditemukan dengan angka kejadian 100/100.000
populasi(2).
Setiap tahun muncul 350.000 kasus baru di Asia, 1/3nya terjadi di Republik
Rakyat China. Di Eropa kasus baru berjumlah sekitar 30.000 per tahun, di Jepang
23.000 per tahun, di Amerika Serikat 7000 per tahun dan kasus baru di Afrika 6x lipat
dari kasus di Amerika Serikat.
Pria lebih banyak daripada wanita. Lebih dari 80% pasien hepatoma menderita
sirosis hati Hepatoma biasa dan sering terjadi pada pasien dengan sirosis hati yang
merupakan komplikasi hepatitis virus kronik.
Hepatitis virus kronik adalah faktor risiko penting hepatoma, virus
penyebabnya adalah virus hepatitis B dan C. Bayi dan anak kecil yang terinfeksi virus
ini lebih mempunyai kecenderungan menderita hepatitis virus kronik daripada dewasa
yang terinfeksi virus ini untuk pertama kalinya.
Pasien hepatoma 88% terinfeksi virus hepatitis B atau C. Virus ini mempunyai
hubungan yang erat dengan timbulnya hepatoma. Hepatoma seringkali tak
1
terdiagnosis karena gejala karsinoma tertutup oleh penyakit yang mendasari yaitu
sirosis hati atau hepatitis kronik. Jika gejala tampak, biasanya sudah stadium lanjut
dan harapan hidup sekitar beberapa minggu sampai bulan. Keluhan yang paling sering
adalah berkurangnya selera makan, penurunan berat badan, nyeri di perut kanan atas
dan mata tampak kuning.
Pemeriksaan Alfa Feto Protein (AFP) sangat berguna untuk menegakkan
diagnosis penyakit hepatoma ini. Penggunaan ultrasonografi ( USG ), Computed
Tomographic Scanning (CT Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI) penting
untuk menegakkan diagnosis dan mengetahui ukuran tumor.
Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran
cerna bagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal. Sindrom
hepatorenal adalah suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan
fungsi hati, hipertensi portal, yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan
sirkulasi darah. Sindrom ini mempunyai risiko kematian yang tinggi(3).
II. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi,
epidemiologi, faktor risiko, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan
penunjang dan pengobatan karsinoma hepatoseluler. Selain itu penulisan referat ini
juga bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik
Ilmu Radiologi di RSUD Setjonegoro Wonosobo.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Kanker hati (hepatocellular carcinoma) adalah suatu kanker yang timbul dari
hati. Ia juga dikenal sebagai kanker hati primer atau hepatoma. Hati terbentuk dari
tipe-tipe sel yang berbeda (contohnya, pembuluh-pembuluh empedu, pembuluh-
pembuluh darah, dan sel-sel penyimpan lemak). Bagaimanapun, sel-sel hati
(hepatocytes) membentuk sampai 80% dari jaringan hati. Jadi, mayoritas dari kanker-
kanker hati primer (lebih dari 90 sampai 95%) timbul dari sel-sel hati dan disebut
kanker hepatoselular (hepatocellular cancer) atau Karsinoma (carcinoma)(4).
Hepatoma (karsinoma hepatoseluler) adalah kanker yang berasal dari sel-sel
hati. Hepatoma merupakan kanker hati primer yang paling sering ditemukan. Tumor
ini merupakan tumor ganas primer pada hati yang berasal dari sel parenkim atau epitel
saluran empedu atau metastase dari tumor jaringan lainnya(5).
II. EPIDEMIOLOGI
Kanker hati adalah kanker kelima yang paling umum di dunia. Suatu kanker
yang mematikan, kanker hati akan membunuh hampir semua pasien-pasien yang
menderitanya dalam waktu satu tahun. Pada tahun 1990, organisasi kesehatan dunia
(WHO) memperkirakan bahwa ada kira-kira 430,000 kasus-kasus baru dari kanker
hati diseluruh dunia, dan suatu jumlah yang serupa dari pasien-pasien yang meninggal
sebagai suatu akibat dari penyakit ini. Sekitar tiga per empat kasus-kasus kanker hati
ditemukan di Asia Tenggara (China, Hong Kong, Taiwan, Korea, dan Japan). Kanker
3
hati juga adalah sangat umum di Afrika Sub-Sahara (Mozambique dan Afrika
Selatan).
Frekwensi kanker hati di Asia Tenggara dan Afrika Sub-Sahara adalah lebih
besar dari 20 kasus-kasus per 100,000 populasi. Berlawanan dengannya, frekwensi
kanker hati di Amerika Utara dan Eropa Barat adalah jauh lebih rendah, kurang dari
lima per 100,000 populasi. Bagaimanapun, frekwensi kanker hati diantara pribumi
Alaska sebanding dengan yang dapat ditemui pada Asia Tenggara. Lebih jauh, data
terakhir menunjukan bahwa frekwensi kanker hati di Amerika secara keseluruhannya
meningkat. Peningkatan ini disebabkan terutama oleh hepatitis C kronis, suatu infeksi
hati yang menyebabkan kanker hati(4).
Di Amerika frekwensi kanker hati yang paling tinggi terjadi pada imigran-
imigran dari negara-negara Asia, dimana kanker hati adalah umum. Frekwensi kanker
hati diantara orang-orang kulit putih (Caucasians) adalah yang paling rendah,
sedangkan diantara orang-orang Amerika keturunan Afrika dan Hispanics, ia ada
diantaranya. Frekwensi kanker hati adalah tinggi diantara orang-orang Asia karena
kanker hati dihubungkan sangat dekat dengan infeksi hepatitis B kronis. Ini terutama
begitu pada individu-individu yang telah terinfeksi dengan hepatitis B kronis untuk
kebanyakan dari hidup-hidupnya.
III. FAKTOR RISIKO
a. Infeksi Hepatitis B
Peran infeksi virus hepatitis B (HBV) dalam menyebabkan kanker hati
telah ditegakkan dengan baik. Beberapa bukti menunjukkan hubungan yang
kuat. Seperti dicatat lebih awal, frekwensi kanker hati berhubungan dengan
(berkorelasi dengan) frekwensi infeksi virus hepatitis B kronis. Sebagai
4
tambahan, pasien-pasien dengan virus hepatitis B yang berada pada risiko
yang paling tinggi untuk kanker hati adalah pria-pria dengan sirosis, virus
hepatitis B dan riwayat kanker hati keluarga. Mungkin bukti yang paling
meyakinkan, bagaimanapun, datang dari suatu studi prospektif yang dilakukan
pada tahun 1970 di Taiwan yang melibatkan pegawai-pegawai pemerintah pria
yang berumur lebih dari 40 tahun. Pada studi-studi ini, penyelidik-penyelidik
menemukan bahwa risiko mengembangkan kanker hati adalah 200 kali lebih
tinggi diantara pegawai-pegawai yang mempunyai virus hepatitis B kronis
dibandingkan dengan pegawai-pegawai tanpa virus hepatitis B kronis.
Pada pasien-pasien dengan keduanya virus hepatitis B kronis dan
kanker hati, material genetik dari virus hepatitis B seringkali ditemukan
menjadi bagian dari material genetik sel-sel kanker. Diperkirakan, oleh
karenanya, bahwa daerah-daerah tertentu dari genom virus hepatitis B (kode
genetik) masuk ke material genetik dari sel-sel hati. Material genetik virus
hepatitis B ini mungkin kemudian mengacaukan/mengganggu material genetik
yang normal dalam sel-sel hati, dengan demikian menyebabkan sel-sel hati
menjadi bersifat kanker(4).
b. Infeksi Hepatitis C
Infeksi virus hepatitis C (HCV) juga dihubungkan dengan
perkembangan kanker hati. Di Jepang, virus hepatitis C hadir pada sampai
dengan 75% dari kasus-kasus kanker hati. Seperti dengan virus hepatitis B,
kebanyakan dari pasien-pasien virus hepatitis C dengan kanker hati
mempunyai sirosis yang berkaitan dengannya. Pada beberapa studi-studi
retrospektif-retrospektif (melihat kebelakang dan kedepan dalam waktu) dari
sejarah alami hepatitis C, waktu rata-rata untuk mengembangkan kanker hati
5
setelah paparan pada virus hepatitis C adalah kira-kira 28 tahun. Kanker hati
terjadi kira-kira 8 sampai 10 tahun setelah perkembangan sirosis pada pasien-
pasien ini dengan hepatitis C. Beberapa studi-studi prospektif Eropa
melaporkan bahwa kejadian tahunan kanker hati pada pasien-pasien virus
hepatitis C yang ber-sirosis berkisar dari 1.4 sampai 2.5% per tahun.
Pada pasien-pasien cirus hepatitis C, faktor-faktor risiko
mengembangkan kanker hati termasuk kehadiran sirosis, umur yang lebih tua,
jenis kelamin laki, kenaikkan tingkat dasar alpha-fetoprotein (suatu penanda
tumor darah), penggunaan alkohol, dan infeksi berbarengan dengan virus
hepatitis B. Beberapa studi-studi yang lebih awal menyarankan bahwa
genotype 1b (suatu genotype yang umum di Amerika) virus hepatitis C
mungkin adalah suatu faktor risiko, namun studi-studi yang lebih akhir ini
tidak mendukung penemuan ini.
Caranya virus hepatitis C menyebabkan kanker hati tidak dimengerti
dengan baik. Tidak seperti virus hepatitis B, material genetik virus hepatitis C
tidak dimasukkan secara langsung kedalam material genetik sel-sel hati.
Diketahui, bagaimanapun, bahwa sirosis dari segala penyebab adalah suatu
faktor risiko mengembangkan kanker hati. Telah diargumentasikan, oleh
karenanya, bahwa virus hepatitis C, yang menyebabkan sirosis hati, adalah
suatu penyebab yang tidak langsung dari kanker hati.
Pada sisi lain, ada beberapa individu-individu yang terinfeksi virus
hepatitis C kronis yang menderita kanker hati tanpa sirosis. Jadi, telah
disarankan bahwa protein inti (pusat) dari virus hepatitis C adalah tertuduh
pada pengembangan kanker hati. Protein inti sendiri (suatu bagian dari virus
hepatitis C) diperkirakan menghalangi proses alami kematian sel atau
6
mengganggu fungsi dari suatu gen (gen p53) penekan tumor yang normal.
Akibat dari aksi-aksi ini adalah bahwa sel-sel hati terus berlanjut hidup dan
reproduksi tanpa pengendalian-pengendalian normal, yang adalah apa yang
terjadi pada kanker(4).
c. Alkohol
Sirosis yang disebabkan oleh konsumsi alkohol yang kronis adalah
hubungan yang paling umum dari kanker hati di dunia (negara-negara) yang
telah berkembang.
Tatacara yang biasa adalah suatu individu dengan sirosis akhoholik
yang telah menghentikan minum untuk waktu 10 tahun, dan kemudian
mengembangkan kanker hati. Itu agaknya tidak umum untuk pecandu
minuman alkohol yang minum secara aktif untuk mengembangkan kanker
hati. Yang terjadi adalah bahwa ketika minum alkohol dihentikan, sel-sel hati
mencoba untuk sembuh dengan regenerasi/reproduksi. Adalah selama
regenerasi yang aktif ini bahwa suatu perubahan genetik (mutasi) yang
menghasilkan kanker dapat terjadi, yang menerangkan kejadian kanker hati
setelah minum alkohol dihentikan.
Pasien-pasien yang minum secara aktif adalah lebih mungkin untuk
meninggal dari komplikasi-komplikasi yang tidak berhubungan dengan kanker
dari penyakit hati alkoholik (contohnya gagal hati). Tentu saja, pasien-pasien
dengan sirosis alkoholik yang meninggal dari kanker hati adalah kira-kira 10
tahun lebih tua daripada pasien-pasien yang meninggal dari penyebab-
penyebab yang bukan kanker. Akhirnya, seperti dicatat diatas, alkohol
menambah pada risiko mengembangkan kanker hati pada pasien-pasien
dengan infeksi-infeksi virus hepatitis C atau virus hepatitis B yang kronis.
7
d. Aflatoxin B1
Aflatoxin B1 adalah kimia yang diketahui paling berpotensi
membentuk kanker hati. Ia adalah suatu produk dari suatu jamur yang disebut
Aspergillus flavus, yang ditemukan dalam makanan yang telah tersimpan
dalam suatu lingkungan yang panas dan lembab. Jamur ini ditemukan pada
makanan seperti kacang-kacang tanah, beras, kacang-kacang kedelai, jagung,
dan gandum. Aflatoxin B1 telah dilibatkan pada perkembangan kanker hati di
China Selatan dan Afrika Sub-Sahara. Ia diperkirakan menyebabkan kanker
dengan menghasilkan perubahan-perubahan (mutasi-mutasi) pada gen p53.
Mutasi-mutasi ini bekerja dengan mengganggu fungsi-fungsi penekan tumor
yang penting dari gen.
e. Obat-Obat Terlarang, Obat-Obatan, dan Kimia-Kimia
Tidak ada obat-obat yang menyebabkan kanker hati, namun hormon-
hormon wanita (estrogens) dan steroid-steroid pembentuk protein (anabolic)
dihubungkan dengan pengembangan hepatic adenomas. Ini adalah tumor-
tumor hati yang ramah/jinak yang mungkin mempunyai potensi untuk menjadi
ganas (bersifat kanker). Jadi, pada beberapa individu-individu, hepatic
adenoma dapat berkembang menjadi kanker.
Kimia-kimia tertentu dikaitkan dengan tipe-tipe lain dari kanker yang
ditemukan pada hati. Contohnya, thorotrast, suatu agen kontras yang dahulu
digunakan untuk pencitraan (imaging), menyebabkan suatu kanker dari
pembuluh-pembuluh darah dalam hati yang disebut hepatic angiosarcoma.
Juga, vinyl chloride, suatu senyawa yang digunakan dalam industri plastik,
dapat menyebabkan hepatic angiosarcomas yang tampak beberapa tahun
setelah paparan.
8
f. Sirosis
Individu-individu dengan kebanyakan tipe-tipe sirosis hati berada pada
risiko yang meningkat mengembangkan kanker hati. Sebagai tambahan pada
kondisi-kondisi yang digambarkan diatas (hepatitis B, hepatitis C, alkohol, dan
hemochromatosis), kekurangan alpha 1 anti-trypsin, suatu kondisi yang
diturunkan/diwariskan yang dapat menyebabkan emphysema dan sirosis,
mungkin menjurus pada kanker hati. Kanker hati juga dihubungkan sangat erat
dengan tyrosinemia keturunan, suatu kelainan biokimia pada masa kanak-
kanak yang berakibat pada sirosis dini.
Penyebab-penyebab tertentu dari sirosis lebih jarang dikaitkan dengan
kanker hati daripada penyebab-penyebab lainnya. Contohnya, kanker hati
jarang terlihat dengan sirosis pada penyakit Wilson (metabolisme tembaga
yang abnormal) atau primary sclerosing cholangitis (luka parut dan
penyempitan pembuluh-pembuluh empedu yang kronis). Begitu juga biasanya
diperkirakan bahwa kanker hati adalah jarang ditemukan pada primary biliary
cirrhosis (PBC). Studi-studi akhir ini, bagaimanapun, menunjukan bahwa
frekwensi kanker hati pada PBC adalah sebanding dengan yang pada bentuk-
bentuk lain sirosis(4).
IV. GEJALA KLINIS
Pada permulaannya penyakit ini berjalan perlahan, dan banyak tanpa keluhan.
Lebih dari 75% tidak memberikan gejala-gejala khas. Ada penderita yang sudah ada
kanker yang besar sampai 10 cm pun tidak merasakan apa-apa. Keluhan utama yang
sering adalah keluhan sakit perut atau rasa penuh ataupun ada rasa bengkak di perut
kanan atas dan nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan rasa lemas.
9
Keluhan lain terjadinya perut membesar karena ascites (penimbunan cairan dalam
rongga perut), mual, tidak bisa tidur, nyeri otot, berak hitam, demam, bengkak kaki,
kuning, muntah, gatal, muntah darah, perdarahan dari dubur, dan lain-lain(6).
V. DIAGNOSIS
Dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih dan maju pesat, maka
berkembang pula cara-cara diagnosis dan terapi yang lebih menjanjikan dewasa ini.
Kanker hati selular yang kecil pun sudah bisa dideteksi lebih awal terutamanya
dengan pendekatan radiologi yang akurasinya 70 – 95%1,4,8 dan pendekatan
laboratorium alphafetoprotein yang akurasinya 60 – 70%(7).
Kriteria diagnosa Kanker Hati Selular (KHS) menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti
Hati Indonesia), yaitu:
1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.
2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 500 mg per ml.
3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT
Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron
Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya KHS.
4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya KHS.
5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan KHS.
Diagnosa KHS didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya satu
yaitu kriteria empat atau lima.
VI. STADIUM PENYAKIT
Stadium I : Satu fokal tumor berdiametes < 3cm yang terbatas hanya pada salah
satu segment tetapi bukan di segment I hati
10
Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada segement
I atau multi-fokal terbatas pada lobus kanan/kiri
Stadium III : Tumor pada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atas ke
lobus kanan segment V dan VIII atau tumor dengan invasi peripheral
ke sistem pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (billiary
duct) tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati.
Stadium IV : Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus
kiri hati.
atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati (intra
hepaticvaskuler) ataupun pembuluh empedu (biliary duct)
atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra
hepatic vessel) seperti pembuluh darah vena limpa (vena
lienalis)
atau vena cava inferior
atau adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic
metastase).
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Alphafetoprotein
Sensitivitas Alphafetoprotein (AFP) untuk mendiagnosa KHS 60% – 70%,
artinya hanya pada 60% – 70% saja dari penderita kanker hati ini menunjukkan
peninggian nilai AFP, sedangkan pada 30% – 40% penderita nilai AFP nya
normal. Spesifitas AFP hanya berkisar 60% artinya bila ada pasien yang diperiksa
darahnya dijumpai AFP yang tinggi, belum bisa dipastikan hanya mempunyai
kanker hati ini sebab AFP juga dapat meninggi pada keadaan bukan kanker hati
seperti pada sirrhosis hati dan hepatitis kronik, kanker testis, dan terratoma(8).
11
b. AJH (aspirasi jarum halus)
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy)
terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada
pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu
hepatoma. Tindakan biopsi aspirasi yang dilakukan oleh ahli patologi anatomi ini
hendaknya dipandu oleh seorang ahli radiologi dengan menggunakan peralatan
ultrasonografi atau CT scann fluoroscopy sehingga hasil yang diperoleh akurat.
Cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CT scann mudah,
aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi dapat terlihat
jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang berjalan persis menuju
tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan
akurasi yang tinggi karena benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum
biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat di sekitar tumor.
c. Gambaran Radiologi
Pesatnya kemajuan teknologi dan komputer membawa serta juga kemajuan
dalam bidang radiologi baik peralatannya maupun teknologinya dan memaksa
dokter spesialis radiologi untuk mengikuti training dan workshop baik di dalam
ataupun di luar negeri sehingga dengan demikian menghantarkan radiologi berada
di barisan depan dalam penanggulangan penyakit kanker hati ini dan
membuktikan pula dirinya berperan sangat penting untuk mendeteksi kanker hati.
Kanker hepato selular ini bisa dijumpai di dalam hati berupa benjolan berbentuk
kebulatan (nodule) satu buah, dua buah atau lebih atau bisa sangat banyak dan
diffuse (merata) pada seluruh hati atau berkelompok di dalam hati kanan atau kiri
membentuk benjolan besar yang bisa berkapsul(9).
12
Dengan peralatan radiologi yang baik dan ditangani oleh dokter spesialis
radiologi yang berpengalaman sudah terjamin dapat mendeteksi tumor dengan
diameter kurang dari 1 cm dan dapatlah menjawab semua pertanyaan seputar
kanker ini antara lain berapa banyak nodule yang dijumpai, berapa segment hati-
kah yang terkena, bagaimana aliran darah ke kanker yang dilihat itu apakah sangat
banyak (lebih ganas), apakah sedang (tidak begitu ganas) atau hanya sedikit
(kurang ganas), yang penting lagi apakah ada sel tumor ganas ini yang sudah
berada di dalam aliran darah vena porta, apakah sudah ada sirrhosis hati, dan
apakah kanker ini sudah berpindah keluar dari hati (metastase) ke organ-organ
tubuh lainnya. Kesemua jawaban inilah yang menentukan stadium kankernya,
apakah pasien ini menderita kanker hati stadium dini atau stadium lanjut dan juga
menentukan tingkat keganasan kankernya sehingga dengan demikian dapatlah
ditaksir apakah penderita dapat disembuhkan sehingga bisa hidup lama ataukah
sudah memang tak tertolong lagi dan tak dapat bertahan hidup lebih lama lagi dari
6 bulan.
Radiologi mempunyai banyak peralatanan seperti Ultrasonography
(USG), Color Doppler Flow Imaging Ultrasonography, Computerized
Tomography Scann (CT Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI),
Angiography, Scintigraphy dan Positron Emission Tomography (PET) yang
menggunakan radio isotop. Pemilihan alat mana saja yang akan digunakan apakah
dengan satu alat sudah cukup atau memang perlu digunakan beberapa alat yang
dipilih dari sederetan alat-alat ini dapat disesuaikan dengan kondisi penderita(10).
i. Ultrasonography (USG)
Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana
(conventional) hati yang normal tampak warna ke-abuan dan texture
13
merata (homogen). Bila ada kanker langsung dapat terlihat jelas berupa
benjolan (nodule) berwarna kehitaman, atau berwarna kehitaman campur
keputihan dan jumlahnya bervariasi pada tiap pasien bisa satu, dua atau
lebih atau banyak sekali dan merata pada seluruh hati, ataukah satu
nodule yang besar dan berkapsul atau tidak berkapsul. Sayangnya USG
conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker hati diameter
2 cm – 3 cm saja. Tapi bila USG conventional ini dilengkapi dengan
perangkat lunak harmonik system bisa mendeteksi benjolan kanker
diameter 1 cm – 2 cm13, namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya
hanya 60%. Rendahnya nilai akurasi ini disebabkan walaupun USG
conventional ini dapat mendeteksi adanya benjolan kanker namun tak
dapat melihat adanya pembuluh darah baru (neo-vascular).
Neo-vascular merupakan ciri khas kanker yaitu pembuluh darah
yang terbentuk sejalan dengan pertumbuhan kanker yang gunanya untuk
menghantarkan makanan dan oksigen ke kanker itu. Semakin banyak
neo-vascular ini semakin ganas kankernya. Walaupun USG color yang
sudah dapat memberikan warna dan mampu memperlihatkan pembuluh
darah di sekeliling nodule tetapi belum dapat memastikan keberadaan
neovascular sehingga dengan demikian akurasi diagnostik hanya sedikit
bertambah menjadi berkisar 60% – 70%. Dengan pesatnya
perkembangan teknologi, kini sudah ada alat USG yang lebih canggih
dan lebih lengkap lagi yaitu Color Doppler Flow Imaging (CDFI) yaitu
USG yang selain mampu melihat pembuluh darah di sekitar kanker juga
mampu pula memperlihatkan kecepatan dan arah aliran darah di dalam
pembuluh darah itu, sehingga dapat ditentukan resistensi index dan
14
pulsatily index yang dengan demikian sudah dapat memastikan apakah
pembuluh darah yang mengelilingi nodule itu adalah benar neo-
vascularisasi dan berapa banyak adanya. Dengan dapat dipastikan
keberadaan neo-vascularisasi ini maka akurasi diagnosa kanker
meningkat jadi 80%. Neo-vascularisasi yang baru terbentuk yang
memang ada tapi belum terlihat dengan teknik CDFI ini masih bisa
dilihat dengan cara diberikan suntikan zat kontras pada penderita
sewaktu dilakukan pemeriksaan CDFI USG, zat kontras itu mampu
menembus masuk ke dalam neo-vascularisasi yang menyusup di dalam
nodule. Dengan demikian akurasi diagnosa meningkat menjadi 90% dan
lebih-lebih lagi dapat mendeteksi kanker berukuran lebih kecil dari 1 cm.
Dengan Color Doppler Flow Imaging USG ini juga
memungkinkan kita melihat apakah ada portal vein tumor thrombosis
yaitu sel-sel kanker (tumor thrombus) yang lepas dan masuk ke dalam
vena Porta. Penting sekali memastikan keberadaan tumor thrombus di
dalam vena porta ini karena thrombus ini dapat menyumbat aliran darah.
Pada keadaan normal semua makanan yang telah dicernakan oleh usus
akan dihantarkan ke hati oleh vena porta ini. Bila vena ini tersumbat oleh
tumor thrombus maka hati tidak menerima nutrisi lagi dengan kata lain
hati tak dapat makanan lagi sehingga sel-sel hati akan mati (necrosis)
secara perlahan tetapi pasti dan ini sangat membahayakan penderita
karena dapat terjadi gagal hati (liver failure). Tumor thrombus ini bisa
ukurannya besar sehingga menutup seluruh lumen vena porta, bisa kecil,
dan hanya menutup sebahagian lumen saja sehingga masih bisa ada
aliran darah di dalam vena porta ini. Dari hasil USG ini sudah bisa
15
diarahkan dengan tepat tindakan pengobatan apa yang paling sesuai dan
bermanfaat untuk penderita apakah akan dilakukan operasi membuang
sebahagian hati (reseksi hepatektomi partial) atau tidak, apakah bisa di-
embolisasi atau tidak ataukah hanya dilakukan infuse kemoterapi intra-
arterial saja. Tapi bila sudah jelas terdapat tumor thrombus di dalam
vena porta dan sudah pula menyumbat vena ini, maka tindakan operatif
dan embolisasi sudah hampir tidak berarti lagi dan satusatunya cara
untuk menyelamatkan penderita adalah dengan cara transplantasi hati
(liver transplantation).
ii. CT Scan
Di samping USG diperlukan CT scann sebagai pelengkap yang
dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu potongan gambar yang
dengan USG gambar hati itu hanya bisa dibuat sebagian-sebagian saja.
CT scann yang saat ini teknologinya berkembang pesat telah pula
menunjukkan akurasi yang tinggi apalagi dengan menggunakan teknik
hellical CT scann, multislice yang sanggup membuat irisan-irisan yang
sangat halus sehingga kanker yang paling kecil pun tidak terlewatkan.
Lebih canggih lagi sekarang CT scann sudah dapat membuat gambar
kanker dalam tiga dimensi dan empat dimensi dengan sangat jelas dan
dapat pula memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan tubuh
sekitarnya.
iii. Angiografy
Dicadangkan hanya untuk penderita kanker hati-nya yang dari
hasil pemeriksaan USG dan CT scann diperkirakan masih ada tindakan
terapi bedah atau non-bedah masih yang mungkin dilakukan untuk
16
menyelamatkan penderita. Pada setiap pasien yang akan menjalani
operasi reseksi hati harus dilakukan pemeriksaan angiografi. Dengan
angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker
yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan
ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih
besar. Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya.
Lebih lengkap lagi bila dilakukan CT angiography yang dapat
memperjelas batas antara kanker dan jaringan sehat di sekitarnya
sehingga ahli bedah sewaktu melakukan operasi membuang kanker hati
itu tahu menentukan di mana harus dibuat batas sayatannya(14).
iv. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Bila CT scann mengunakan sinar X maka MRI ini menggunakan
gelombang magnet tanpa adanya Sinar X. CT angiography
menggunakan zat contrast yaitu zat yang diperlukan untuk melihat
pembuluh darah. Tanpa zat ini pembuluh darah tak dapat dilihat.
Pemeriksaan dengan MRI ini langsung dipilih sebagai alternatif bila ada
gambaran CT scann yang meragukan atau pada penderita yang ada risiko
bahaya radiasi sinar X dan pada penderita yang ada kontraindikasi
(risiko bahaya) pemberian zat contrast sehingga pemeriksaan CT
angiography tak memungkinkan padahal diperlukan gambar peta
pembuluh darah. MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic
Resonance Angiography (MRA) sudah pula mampu menampilkan dan
membuat peta pembuluh darah kanker hati ini. Sayangnya ongkos
pemeriksaan dengan MRI dan MRA ini mahal, sehingga selalu CT scan
yang merupakan pilihan pertama.
17
v. PET (Positron Emission Tomography)
Salah satu teknologi terkini peralatan kedokteran radiologi adalah
Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat
pendiagnosis kanker menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal
sebagai flourine18 atau Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu
mendiagnosa kanker dengan cepat dan dalam stadium dini. Caranya,
pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel
kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam
tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena kanker.
PET dapat menetapkan tingkat atau stadium kanker hati sehingga
tindakan lanjut penanganan kanker ini serta pengobatannya menjadi
lebih mudah. Di samping itu juga dapat melihat metastase (penyebaran).
VIII. PENGOBATAN
Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan
radiologi. Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan besarnya ukuran
kanker, lokasi kanker di bahagian hati yang mana, apakah lesinya tunggal (soliter)
atau banyak (multiple), atau merupakan satu kanker yang sangat besar berkapsul, atau
kanker sudah merata pada seluruh hati, serta ada tidaknya metastasis (penyebaran) ke
tempat lain di dalam tubuh penderita ataukah sudah ada tumor thrombus di dalam
vena porta dan apakah sudah ada sirrhosis hati(12).
Tahap tindakan pengobatan terbagi tiga, yaitu tindakan bedah hati digabung
dengan tindakan radiologi dan tindakan non-bedah dan tindakan transplantasi
(pencangkokan) hati.
1. Tindakan Bedah Hati Digabung dengan Tindakan Radiologi
18
Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan bedah
yaitu reseksi (pemotongan) bahagian hati yang terkena kanker dan juga reseksi daerah
sekitarnya. Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan membuang seluruh kanker dan
tidak akan menyisakan lagi jaringan kanker pada penderita, karena bila tersisa tentu
kankernya akan tumbuh lagi jadi besar, untuk itu sebelum menyayat kanker dokter ini
harus tahu pasti batas antara kanker dan jaringan yang sehat. Radiologilah satu-
satunya cara untuk menentukan perkiraan pasti batas itu yaitu dengan pemeriksaan CT
angiography yang dapat memperjelas batas kanker dan jaringan sehat sehingga ahli
bedah tahu menentukan di mana harus dibuat sayatan. Maka harus dilakukan CT
angiography terlebih dahulu sebelum dioperasi.
Dilakukan CT angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah kanker
sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung jawab memberikan
makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk dapat tumbuh subur. Sesudah
itu barulah dilakukan tindakan radiologi Trans Arterial Embolisasi (TAE) yaitu suatu
tindakan memasukkan suatu zat yang dapat menyumbat pembuluh darah (feeding
artery) itu sehingga menyetop suplai makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikian
kemampuan hidup (viability) dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai
menghilang.
Sebelum dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans Arterial
Chemotherapy (TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih dahulu
kanker-nya disirami racun (chemotherapy) sehingga sel-sel kanker yang sudah kena
racun dan ditutup lagi suplai makanannya maka sel-sel kanker benar-benar akan mati
dan tak dapat berkembang lagi dan bila selsel ini nanti terlepas pun saat operasi tak
perlu dikhawatirkan, karena sudah tak mampu lagi bertumbuh. Tindakan TAE
digabung dengan tindakan TAC yang dilakukan oleh dokter spesialis radiologi disebut
19
tindakan Trans Arterial Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk
tujuan supportif yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk
mengecilkan ukuran kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah. Setelah
kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan pada dokter ahli
patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompentensi dan yang dapat menentukan
dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir sayatan sudah bebas kanker. Bila
benar pinggir sayatan bebas kanker artinya sudahlah pasti tidak ada lagi jaringan
kanker yang masih tertinggal di dalam hati penderita. Kemudian diberikan
chemotherapy (kemoterapi) yang bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampu
lagi tumbuh berkembang biak. Pemberian Kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis
penyakit dalam bahagian onkologi (medical oncologist) ini secara intra venous
(disuntikkan melalui pembuluh darah vena) yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg
digabung dengan mitomycine C 10 mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia
harapan hidup penderita per lima tahun 90% dan per 10 tahun 80%.
2. Tindakan Non-bedah Hati
Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada
stadium lanjut. Tindakan non-bedah dilakukan oleh dokter ahli radiologi. Termasuk
dalam tindakan non-bedah ini adalah:
a. Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE)
Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen yang
datangnya bersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada kanker timbul
banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan dan oksigen, dengan
demikian terjadi banyak pembuluh darah baru (neovascularisasi) yang merupakan
cabang-cabang dari pembuluh darah yang sudah ada disebut pembuluh darah pemberi
makanan (feeding artery) Tindakan TAE ini menyumbat feeding artery. Caranya
20
dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha (arteri femoralis) yang
seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di perut (aorta abdominalis) dan
seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery hepatica) dan seterusnya
masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding artery ini disumbat (diembolisasi)
dengan suatu bahan seperti gel foam sehingga aliran darah ke kanker dihentikan dan
dengan demikian suplai makanan dan oksigen ke selsel kanker akan terhenti dan sel-
sel kanker ini akan mati. Apalagi sebelum dilakukan embolisasi dilakukan tindakan
trans arterial chemotherapy yaitu memberikan obat kemoterapi melalui feeding
artery itu maka sel-sel kanker jadi diracuni dengan obat yang mematikan. Bila kedua
cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar terjamin mati dan tak berkembang
lagi.
Dengan dasar inilah embolisasi dan injeksi kemoterapi intra-arterial
dikembangkan dan nampaknya memberi harapan yang lebih cerah pada penderita
yang terancam maut ini. Angka harapan hidup penderita dengan cara ini per lima
tahunnya bisa mencapai sampai 70% dan per sepuluh tahunnya bisa mencapai 50%.
b. Infus Sitostatika Intra-arterial.
Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal berasal
dari vena porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga sel-sel ganas mendapat nutrisi
dan oksigenasi terutama dari sistem arteri hepatika. Bila Vena porta tertutup oleh
tumor maka makanan dan oksigen ke sel-sel hati normal akan terhenti dan sel-sel
tersebut akan mati. Dapatlah dimengerti kenapa pasien cepat meninggal bila sudah
ada penyumbatan vena porta ini.
Infus sitostatika intra-arterial ini dikerjakan bila vena porta sampai ke cabang
besar tertutup oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat dilakukan
21
tindakan transplantasi hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena pasien menolak
atau karena ketidakmampuan pasien.
Sitostatika yang dipakai adalah mitomycin C 10 – 20 Mg kombinasi dengan
adriblastina 10-20 Mg dicampur dengan NaCl (saline) 100 – 200 cc. Atau dapat juga
cisplatin dan 5FU (5 Fluoro Uracil). Metoda ballon occluded intra arterial infusion
adalah modifikasi infuse sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah
double lumen ballon catheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri hepatika.
Setelah ballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika diinjeksikan
dalam keadaan ballon mengembang selama 10 – 30 menit, tujuannya adalah
memperlama kontak sitostatika dengan tumor. Dengan cara ini maka harapan hidup
pasien per lima tahunnya menjadi 40% dan per sepuluh tahunnya 30% dibandingkan
dengan tanpa pengobatan adalah 20% dan 10%.
c. Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI)
Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak semua
tindakan atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan tak mampu
membiayai tindakan lainnya maka tindakan PEI-lah yang menjadi pilihan satu-
satunya. Tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman, efek samping
ringan, biaya murah, dan hasilnya pun cukup memberikan harapan. PEI hanya
dikerjakan pada pasien stadium dini saja dan tidak pada stadium lanjut. Sebagian
besar peneliti melakukan pengobatan dengan cara ini untuk kanker bergaris tengah
sampai 5 cm, walaupun pengobatan paling optimal dikerjakan pada garis tengah
kurang dari 3 cm.
Pemeriksaan histopatologi setelah tindakan membuktikan bahwa tumor
mengalami nekrosis yang lengkap. Sebagian besar peneliti menyuntikkan etanol
perkutan pada kasus kanker ini dengan jumlah lesi tidak lebih dari 3 buah nodule,
22
meskipun dilaporkan bahwa lesi tunggal merupakan kasus yang paling optimal dalam
pengobatan. Walaupun kelihatannya cara ini mugkin dapat menolong tetapi tidak
banyak penelitian yang memadai dilakukan sehingga hanya dikatakan membawa
tindakan ini memberi hasil yang cukup menggembirakan.
d. Terapi Non-bedah Lainnya
Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya dilakukan
bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE) ataupun Trans Arterial
Chemoembolisation ataupun Trans Arterial Chemotherapy tak mungkin dilakukan
lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio Frequency Ablation Therapy (RFA), Proton
Beam Therapy, Three Dimentional Conformal Radiotherapy (3DCRT), Cryosurgery
yang kesemuanya ini bersifat palliatif (membantu) bukan kuratif (menyembuhkan)
keseluruhannya.
3. Tindakan Transplantasi Hati
Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada sirrhosis hati dan
ditemukan kerusakan hati yang berkelanjutan atau sudah hampir seluruh hati terkena
kanker atau sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke vena porta (thrombus vena porta)
maka tidak ada jalan terapi yang lebih baik lagi dari transplantasi hati. Transplantasi
hati adalah tindakan pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam tubuh seseorang.
Langkah ini ditempuh bila langkah lain seperti operasi dan tindakan radiologi seperti
yang disebut di atas tidak mampu lagi menolong pasien (13).
23
BAB III
GAMBARAN RADIOLOGIS
A. Gambaran Ultrasonografi (USG)
Perkembangan yang cepat dari gray-scale ultrasonografi menjadikan gambaran
parenkim hati lebih jelas. Keuntungan hal ini menyebabkan kualitas struktur eko
jaringan hati lebih mudah dipelajari sehingga identifikasi lesi-lesi lebih jelas, baik
merupakan lesi lokal maupun kelainan parenkim difus(14).
Pada hepatoma/karsinoma hepatoselular sering diketemukan adanya hepar yang
membesar, permukaan yang bergelombang dan lesi-lesi fokal intrahepatik dengan
struktur eko yang berbeda dengan parenkim hati normal.
24
Gambaran USG KHS; tampak nodul gema bulat dengan densitas gema rendah.
USG karsinoma hepatoseluler, tampak nodul hipoecoic dengan diameter 2,3cm pada
pasien laki-laki umur 67 th.
25
Color doppler US, menunjukkan aliran darah ke tumor di postero-anterior segmen
dari lobus kanan.
Color doppler US pada KHS, tampak aliran darah ke tumordi antero-inferior segmen
pada lobus kanan.
26
B. Gambaran CT-Scan
Di samping USG diperlukan CT scann sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh
segmen hati dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya
bisa dibuat sebagian-sebagian saja. CT scann yang saat ini teknologinya berkembang
pesat telah pula menunjukkan akurasi yang tinggi apalagi dengan menggunakan
teknik hellical CT scann, multislice yang sanggup membuat irisan-irisan yang sangat
halus sehingga kanker yang paling kecil pun tidak terlewatkan.
MD-CTScan pada wanita 57 tahun dengan riwaya hepatitis B, tampak nodul
karsinoma hepatoselular.
CT-scan dengan kontras memperlihatkan masa pada karsinoma hepatoselular.
27
C. Angiografi
Pada setiap pasien yang akan menjalani operasi reseksi hati harus dilakukan
pemeriksaan angiografi. Dengan angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang
sebenarnya. Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai
dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar.
Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya.
28
Celiac angiogram menunjukkan pembuluh darah hepar dengan multipel karsinoma
hepatoseluler sebelum terapi (kiri), dan sesudah terapi (kanan) menunjukkan
penurunan vaskular dan respon terapi.
D. Gambaran MRI
Pemeriksaan dengan MRI ini langsung dipilih sebagai alternatif bila ada gambaran CT
scann yang meragukan atau pada penderita yang ada risiko bahaya radiasi sinar X dan
pada penderita yang ada kontraindikasi (risiko bahaya) pemberian zat contrast
sehingga pemeriksaan CT angiography tak memungkinkan padahal diperlukan
gambar peta pembuluh darah.
29
Pada gambaran MRI diatas terlihat multipel hipervaskular kecil pada karsinoma
hepatoselular.
Gambaran MRI pada karsinoma hepatoselular, tampak lesi dengan diamer 2,5cm pada
aspek infero-medial.
30
a. Gambaran MRI pada karsinoma hepatoselular di segmen VI hepar saat arterial phase
menggunakan gadolinium ethoxybenzyl diethylenetriaminepentaacetic acid (GD-
EOB-DTPA), tampak nodul kecil ukuran 2,8cm.
b. MRI dengan T1-weightened pada hepatobiliar fase, 20 menit setelah injek GD-EOB-
DTPA, tampak gambaran hipointens yang dpat dibedakan dengan soft tissue normal
lainnya.
E. Gambaran PET
Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat pendiagnosis
kanker menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine18 atau
Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat dan
dalam stadium dini. Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk
mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme
di dalam tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena kanker.
31
Pasien diinjeksikan FGD, kemudian bisa dimonitor radioaktinya.
Tampak FGD mengelilingi tumor, kemudian divalidasi dengan US Color Dopler dan
histologi
32
Diambil jaringan hatinya dan ditemukan bagian yang nekrosis.
33
BAB IV
KESIMPULAN
1. Karsinoma hepatoseluler (KHS) atau hepatoma adalah suatu tumor ganas primer pada
hati yang paling sering ditemukan.
2. Faktor risiko KHS adalah infeksi hepatitis B, infeksi hepatitis C, alkohol, aflatoxin
B1, obat-obat terlarang dan sirosis.
3. Gejala klinis KHS adalah sakit perut, rasa penuh, bengkak di perut kanan, nafsu
makan berkurang dan rasa lemas.
4. Diagnosis KHS ditegakkan bila ditemui dua atau lebih dari lima kriteria atau hanya
satu yaitu kriteria empat atau lima dari PPHI.
5. Pemeriksaan KHS terdiri dari laboratorium, biopsi, radiologi imaging berupa USG,
CT Scan, MRI, dan PET.
6. Pengobatan KHS meliputi tindakan bedah hati digabung dengan tindakan radiologi,
tindakan non bedah hati dan transplantasi hati.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Rifai A., 1996. Karsinoma Hati. dalam Soeparman (ed). Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2. Singgih B., Datau E.A., 2006, Hepatoma dan Sindrom Hepatorenal. Diakses dari http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08_150_HepatomaHepatorenal.pdf/08_150_HepatomaHepatorenal.html
3. Jacobson R.D., 2009. Hepatocelluler Carcinoma. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/369226-overview
4. Anonym, 2009. Kanker Hati. Diakses dari http://www.totalkesehatananda.com/kankerhati.html
5. Bangfad, 2008. Hepatoma. Diakses dari http://info-medis.blogspot.com/2008/11/hepatoma-karsinoma-hepatoseluler.html
6. Abdul Rasyad. 2006. Pentingnya Peranan Radiologi Dalam Deteksi Dini dan Pengobatan Kanker Hati Primer. USU Press. Sumatra.
7. Tariq Parvez., Babar Parvez., and Khurram Parvaiz et al. Screening for Hepatocellular Carcinoma. Jounal JCPSP September 2004 Volume 14 No. 09.
8. Soresi M., Maglirisi C., Campgna P., et al. Alphafetoprotein in the diagnosis of hepatocellular carcinoma. Anticancer Research. 2003;23;1747-53.
9. Rasyid A. Temuan Ultrasonografi Kanker Hati Hepato Selular (Hepatoma). The Journal of Medical School University of Sumatera Utara. Vol 39. No 2 Juni 2006.
10. Richard L. Baron, M.D. and Mark S. Peterson M.D. Screening the Cirrhotic Liver for Hepatocellular Carcinoma with CT and MR Imaging: Opportunities and Pitfalls. RSNA 2001 Volume 21: 117 – 132.
11. Bolondi L., Gaiani S., Celli N., Golfieri R., et al. Characterization of small nodules in cirrhosis by assessment of vascularity: The problem of hypovascular hepatocellular carcinoma. Hepatology 2005; 42: 27 – 34.
12. S. D. Ryder. Guidelines for the diagnosis and treatment of hepatocellular carcinoma (HCC) in adults. Gut 2003; 52 – 56.
13. Abdul Rasyid. Satu Kasus Karsinoma Hepato Selular Diameter Lebih dari 10 cm Diagnostik dan Terapi. Majalah Radiologi Indonesia Thn III No. 1 1994.
14. Rasad S., 2005. Radiologi Diagnostik. FKUI; Jakarta.
35