ilmuisasi islam dalam perspektif kuntowijoyo dan...
Post on 02-Mar-2019
270 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
ILMUISASI ISLAM DALAM PERSPEKTIF KUNTOWIJOYO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
OLEH:
ROHMATUL ANWAR
11113293
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
ii
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : -
Hal : Naskah Skripsi
Saudara Rohmatul Anwar
Kepada:
Yth. Dekan FTIK IAIN
Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini, kami
kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama : Rohmatul Anwar
NIM : 111-13-293
Jurusan/Progdi : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Judul : Ilmuisasi Islam Dalam Perspektif Kuntowijoyo Dan Implikasinya
Bagi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya segera dimunaqosahkan.
Demikian agar menjadi perhatian.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Salatiga, 29 September 2017
Pembimbing
Dr. Miftahuddin, M.Ag.
NIP. 19700922 199403 1002
iv
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
Jalan Lingkar Salatiga Km.2 Telp. (0298) 6031364 Salatiga50716
Website: tarbiyah.iainsalatiga.ac.id Email: tarbiyah@iainsalatiga.ac.id
SKRIPSI
ILMUISASI ISLAM DALAM PERSPEKTIF KUNTOWIJOYO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDI KAN ISLAM
disusun oleh
ROHMATUL ANWAR
NIM :111-13-293
Telah dipertahankan didepan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan Agama
Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga,
pada tanggal 29 September 2017 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan.
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Dr. Mukti Ali, M.Hum. __________________
Sekretaris Penguji : Drs. Sumarno Widjadipa, M.Pd. __________________
Penguji I : Dr. Fatchurrohman, M.Pd. __________________
Penguji II : Dr. H. Sa‟adi, M.Ag. __________________
Salatiga, 29 September 2017
Dekan
Suwardi, M.Pd.
NIP. 19670121 199903 1 002
v
DEKLARASI DAN KESEDIAAN PUBLIKASI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : ROHMATUL ANWAR
NIM : 111-13-293
Fakultas : Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK)
Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Judul : ILMUISASI ISLAM DALAM PERSPEKTIF KUNTOWIJOYO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN KURIKULUM
PENDIDIKAN ISLAM
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan plagiasi atau karya orang lain.
Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk
berdasarkan kode etik ilmiah, dan tidak keberatan naskah skripsi ini di publikasikan di
perpustakaan IAIN Salatiga.
Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.
Salatiga, 29 September 2017
Penulis
Rohmatul Anwar
NIM: 111-13-293
vi
MOTTO
Artinya: kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah
(QS. Ali Imran: 110).
\
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Kupersembahkan sebuah karya kecilku ini untuk ayahandaku (Ngatimin) dan
ibundaku (Ngatiyem) tercinta yang tiada pernah berhenti memberiku semangat, do‟a,
nasihat dan kasih sayang yang tak pernah tergantikan. Terimalah bukti kecil ini
sebagai kado keseriusanku dalam belajar. Semoga diri ini bisa menjadi seorang yang
berguna bagi keluarga, nusa, bangsa dan agama. Ya Allah berikanlah kesehatan
dhahir batin, rezeki yang cukup dan Surga firdaus_Mu untuk kedua orang tuaku,
Amin.
2. Kepada kedua kakakku (Eni Siti Nur „Aini dan Ahmad Shidik), dan ketiga adikku
(Ika Sholihatul Marfu‟ah, M. Ria Khorudin, dan Dewi Shinta Fitria) yang aku
sayangi, raihlah cita-cita kalian setinggi mungkin, jangan jadikan penghalang semua
kekurangan yang ada pada keluarga kita, tapi jadikanlah semua kekurangan itu
menjadi sebuah motivasi terbesar kalian.
3. Kakek Nenekku dan seluruh keluarga besarnya yang tidak bisa kusebut namanya satu
persatu, terimakasih atas semua do‟a, dukungan, serta nasihat yang diberikan
kepadaku. Semoga diri ini bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan dewasa.
Membanggakan kelurga, dan bermanfaat ilmu ini.
4. Kepada Bapak Sukron Makmun, S.HI., M.Si selaku pengasuh Ma‟had al-Jami‟ah
IAIN Salatiga, serta teman-teman pengurus dan segenap santri kalian adalah keluarga
keduaku, terima kasih kebersamaan yang luar biasa ini.
5. Teruntuk Bapak KH. Mathori Mansur pengasuh Pondok Pesantren Mansya‟ul Huda
dan teman-teman santri, terima kasih atas semua pembelajaran yang telah kalian
berikan.
viii
6. Teruntuk teman-teman seperjuangan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) angkatan 2013, semoga kita dipertemukan
lagi dalam keadaan yang lebih baik.
ix
KATA PENGANTAR
Asslamu‟alaikum Wr.Wb
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, syukur dan
alhamdulillah senantiasa penulis haturkan kepada Allah swt yang telah memberi nikmat
sehat, iman, islam, ihsan dan memberi kesempatan serta ridha-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan dan menyajikan hasilnya dalam bentuk skripsi ini. Skripsi yang berjudul
“ilmuisasi Islam Dalam Perspektif Kuntowijoyo dan Implikasinya Bagi Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam” ini disusun dalam rangka menyelesaikan studi strata 1 dan
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada fakultas tarbiyah dan
ilmu keguruan IAIN Salatiga.
Bantuan dan dukungan baik materil maupun immateriil dari berbagai pihak telah
memberikan kontribusi positif dalam penyusunan skripsi ini. Dan atas kontribusi tersebut
penulis menyampaikan terimakasih dan do‟a semoga Allah swt berkenan membalas kebaikan
kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN
Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI).
4. Bapak Dr. H. Miftahuddin, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas
mencurahkan fikiran waktu dan tenaganya dalam upaya membimbing penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini.
x
5. Bapak M. Yusuf Khummaini. S.Hi., M.H. selaku dosen pembimbing akademik
yang telah membimbing saya dari awal memasuki perkuliahan sampai wisuda.
6. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu
penyelesaian skripsi ini.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah dan penulis sadar bahwa skripsi ini masih belum
sempurna. Oleh karena itu, saran, kritik yang membangun dan koreksi semua pihak, penulis
terima dengan tangan terbuka.
Wasslamu‟alaikum Wr.Wb
Salatiga, 29 September 2017
Penulis
ROHMATUL ANWAR
NIM: 111-13-293
xi
ABSTRAK
Anwar, Rohmatul, 2017. Ilmuisasi Islam Dalam Perspektif Kuntowijoyo dan Implikasinya
Bagi Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan (FTIK). Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing Dr. Miftahuddin, M.ag.
Kata Kunci: Ilmuisasi Islam, Pengembangan Kurikulum, Kuntowijoyo
Gerakan intelektual Islam harus melangkah lebih jauh, yakni bergerak dari teks
menuju konteks yang berarti intelektual Islam harus mengganti “Islamisasi Ilmu
Pengetahuan” dengan “Ilmuisasi Islam” dari reaktif mejadi proaktif yang berdampak pada
pengembagan kurikulum pedidikan Islam, dimana kurikulum menjadi suatu hal yang sangat
penting dalam suatu lembaga pendidikan. Tujuan dari dipilihnya judul dan topik dalam
skripsi ini yaitu untuk mendeskripsikan bagaimana konsep Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo,
serta untuk mengetahui implikasi Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo bagi pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam.
Penelitian ini termasuk penelitian literer yang berfokus pada referensi buku dan
sumber-sumber yang relevan. Pencarian data dicari dengan jenis penelitian libarary research
dan pendekatan kualitatif literatur yaitu suatu penelitian kepustakaan murni, menggunakan
metode yang mencari data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang berupa catatan
seperti buku-buku, majalah, dokumen, notulen harian, catatan rapat, jurnal, skripsi, makalah,
dan sebagainya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Kuntowijoyo memberikan harapan baru kepada
intelektual Islam untuk mengembangkan ilmu-ilmu Islam dengan adanya pemikiran
Kuntowijoyo tentang Pengilmuan Islam. Konsep yang diusung Kuntowijoyo adanya pilar-
pilar pengilmuan Islam yaitu: humanisasi, liberasi, dan transendensi serta metodologi
ilmuisasi Islam Kuntowijoyo yaitu integralisasi dan objektivikasi. Sebagaimana disampaikan
di atas, perlu kiranya penulis memberikan sumbangsih terhadap pemikiran Kuntowijoyo
tersebut dalam implikasinya bagi pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Penulis
memasukan dan merelevansikan konsep dan metodologi ilmuisasi Islam Kuntowijoyo ke
dalam komponen-komponen kurikulum yang empat, yaitu: tujuan, isi/materi, kegiatan belajar
mengajar, dan evaluasi.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
LEMBAR BERLOGO ........................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ............................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................. v
MOTTO ................................................................................................. vi
PERSEMBAHAN .................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ........................................................................... ix
ABSTRAK ............................................................................................. xi
DAFTAR ISI .......................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 11
E. Metode Penelitian .................................................................... 12
F. Telaah Pustaka ......................................................................... 18
G. Sistematika Penulisan .............................................................. 24
BAB II BIOGRAFI KUNTOWIJOYO
A. Lingkungan Keluarga ............................................................... 25
B. Masa kecil Kuntowijoyo ............................................................. 25
xiii
C. Riwayat Pendidikan Kuntowijoyo .............................................. 26
D. Peran Kuntowijoyo ..................................................................... 26
E. Kepenulisan Kuntowijoyo .......................................................... 28
F. Dukungan Sang Istri ................................................................... 29
G. Karya-Karya Kuntowijoyo .......................................................... 29
H. Penghargaan yang Diperoleh Kuntowijoyo ................................ 41
I. Kuntowijoyo Sebagai Akademisi ............................................... 43
J. Kuntowijoyo Sebagai Sastrawan ................................................ 43
K. Konteks Pemikiran Kuntowijoyo ................................................ 45
L. Akhir Hayat Kuntowijoyo ........................................................... 49
BAB III DIKOTOMI ILMU, INTEGRASI-INTERKONEKSI ILMU, ISLAMISASI ILMU,
DAN ILMUISASI ISLAM
A. Dikotomi Ilmu ............................................................................. 51
B. Integrasi-Interkoneksi Ilmu ......................................................... 56
C. Islamisasi Ilmu ............................................................................ 59
D. Ilmuisasi Islam ............................................................................ 55
E. Perbedaan Integrasi-interkoneksi Ilmu, Islamisasi Ilmu,
dan Ilmuisasi Islam ..................................................................... 72
F. Kritik konsep Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo ............................... 76
BAB IV ILMU SOSIALPROFETIK KUNTOWIJOYO DAN
IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN KURIKULUM
PENDIDIKAAN ISLAM
A. Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo .............................................. 79
1. Menuju Ilmu Sosial Profetik .................................................. 79
2. Pilar-Pilar Ilmu Sosial Profetik ............................................. 83
xiv
a. Humanisasi ...................................................................... 83
b. Liberasi ........................................................................... 85
c. Transendensi ................................................................... 87
3. Metodologi Ilmuisasi Islam .................................................. 90
a. Integralisasi ..................................................................... 90
b. Objektivikasi ................................................................... 96
B. Kurikulum Pendidikan Islam ...................................................... 99
1. Pengertian ............................................................................. 99
2. Komponen-Komponen Kurikulum ..................................... 106
a. Tujuan .......................................................................... 106
b. Materi ............................................................................ 508
c. Proses Belajar Mengajar ............................................... 112
d. Evaluasi ......................................................................... 113
3. Prinsip Dasar Pengembangan Kurikulum ........................... 116
a. Prinsip Relevansi .......................................................... 116
b. Prinsip Efektivitas ......................................................... 117
c. Prinsip Efesiensi ............................................................ 118
d. Prinsip Kesinambungan ................................................ 118
e. Prinsip Fleksiblitas ........................................................ 119
C. Implikasi Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo Bagi Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam .................................................... 120
1. Tujuan Kurikulum Pendidikan Islam .................................. 120
a. Humanisasi .................................................................... 120
b. Liberasi ........................................................................ 124
c. Transendensi ................................................................. 125
xv
d. Objektivikasi ................................................................. 127
2. Materi Kurikulum Pendidikan Islam .................................. 128
a. Humanisasi .................................................................... 128
b. Liberasi ......................................................................... 130
c. Transendensi ................................................................. 132
3. Proses Belajar Mengajar ..................................................... 134
a. Humanisasi .................................................................... 134
b. Liberasi ......................................................................... 136
c. Transendensi ................................................................. 136
d. Objektivikasi ................................................................. 144
4. Evaluasi Pembelajaran ........................................................ 145
a. Humanisasi .................................................................... 145
b. Transendensi ................................................................. 146
c. Objektivikasi ................................................................. 147
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 152
B. Saran ......................................................................................... 154
C. Penutup ..................................................................................... 155
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 156
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
1. DAFTAR RIWAYAT HIDUP
2. LEMBAR KONSULTASI SKRIPSI
3. NOTA PEMBIMBING SKRIPSI
4. KETERANGAN SKK
17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Beakang
Dikotomi ilmu dalam Islam dimulai dengan kemunculan
penafsiran dalam ajaran Islam bahwa Tuhan pemilik tunggal ilmu
pengetahuan (maha „alim). Ilmu pengetahuan yang diberikan pada
manusia hanya merupakan bagian tekecil dari ilmun-Nya, namun manusia
diberi kebebasan untuk meraih sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu,
sangatlah tidak pantas jika ada manusia yang bersifat sombong dalam
masalah ilmu atau memiliki kecongkakan intelektual. Keyakinan ini yang
pada puncaknya melahirkan perdebatan dikotomi ilmu dalam pemikiran
Islam, yaitu pertentangan dikotomi ilmu dengan istilah kelompok ilmu
“antroposentris” dihadapkan dengan kelompok ilmu “teosentris”.
Selain itu dikotomi ilmu, menurut Ayumardi Azra, bermula dari
historical accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu ketika imu-ilmu umum
yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio dan logika mendapat
serangan yang hebat dari kaum fuqaha.
Dunia Islam kemudian mengembangkan “ideologi ilmiah” dengan
menempatkan seluruh khazanah pemikiran Barat dan Yunani sebagai
kebatilan. Jarang ilmuan muslim berpikiran bahwa dalam beberapa hal,
dikotomi ilmu mempunyai sisi baik. Inti dari persoalan keberatan atau
18
tidak setuju keberadaan dikotomi ilmu semacam itu lebih banyak
berkaitan dengan persoalan politik.
Faktor lain yang mencolok, penyebab kemunculan dikotomi ilmu
adalah fanatisme dalam beragama. Sikap fanatisme dalam beragama dalam
kehiduan bermasyarakat meahirkan sikap ekslusivisme. Gerakan Islam
termasuk dalam kategori gerakan ekslusif tersebut.
Eklusif dalam arti kemunculan pemikiran bahwa kebenaran dan
keselamatan hanya ada pada agamanya semata, agama orang lain
semuanya salah dan penganutnya tidak akan mendapat keselamatan.
Agama orang lain sama sekalai berbeda dan tidak mempunyai kesamaan
sedikitpun, sehinngga tidak perlu ada dialog karena tidak akan mencapai
ttik temu. Mereka hanya bergaul dengan kelompoknya dan mengisolasi
diri dari yang lain, menlak untuk berdialog dan bekerja sama untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan, dan terkadang menggunakan
kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan dengan luar agamanya.
Akibatnya, pemikiran Islam tidak berkembang dan terisolasi dari
perubahan maupun perkembangan kemajuan zaman (Muliawan, 2005:
203).
Pandangan dari umat Islam sendiri yang menganggap seolah-olah
ajaran Islam hanya terikat sebatas tentang tentang agama saja. Sejatinya
dalam ajaran agama Islam juga mencakup ilmu pengetahuan umum, dapat
19
diketahui ketika Al-quran berbicara tentang reproduksi pada tumbuh-
tumbuhan, yang tersirat dalam QS. Ar-Ra‟du ayat 4:
yang artinya: “Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang
berdampingan, kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, pohon kurma
yang bercabang, dan tidak bercabang; disirami dengan air yang sama,
tetapi kami lebihkan tanaman yang satu dari yang lainya dalam hal
rasanya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi orang-orang yang mengerti”.
Yang harus dicatat dari ayat ini adalah ungkapan al-Quran tentang
reproduksi di dunia tumbuh-tumbuhan. Harus kita ingat bahwa reproduksi
di dunia tumbuh-tumbuhan terjadi dengan dua cara: cara seksual dan cara
non seksal. Sebenarnya yang berhak disebut reproduksi adalah cara yang
pertama saja. Cara inilah yang menentukan proses biologis yang bertujuan
untuk melahirkan individu baru yang sesuai dengan yang melahirkanya.
Reproduksi non seksual hanyalah sekedar memperbanyak diri
karena ia dihasilkan dari memecah satu bagian dari asalnya lalu tumbuh
mirip diri asal darimana ia muncul. Sedangkan reproduksi seksual
berlangsung dengan bersatunya organ maskulin dan feminim yang
berfiliasi ke unsur-unsur pembentuk reproduksi yang berkumpul atau
20
terpisah dari tumbuhan tersebut. Al-Quran tidak menyebut kecuali proses
dalam QS. Thaha ayat 53:
Artinya: “dan menurunkan dari langit air ujan. Maka kami
tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuhan yang
bermacam-macam”.
Kata “zauj” (bentuk pluralnya “azwaj” artinya: pasangan) berarti
sesuatu yang tersusun dari dua. Kata ini bisa dipakai untuk sepasang
sepatu, seperti dipakai untuk satu kesatuan yang tersusun dari laki-laki dan
perempuan (al-Fattah, 2010: 22).
Selain Al-Quran yang membuktikan bahwa Islam juga merupakan
sumber ilmu pengetahuan umum, bukti lain juga ada pada masa kejayaan
kerajaan islam yaitu Abbasiyah dan Umayyah di baghdad dan spanyol,
kemajuan peradaban Islam di Spanyol tidak lepas dari ajaran Islam yang
selalu mengagunggkan ilmu pengetahuan yang seakan memeberi
pencerahan pada semuanya, salah satunya Spanyol. Kemajuan spanyol
memang tidak bisa dipisahkan dari kontribusi Islam seperti yang
diungkapkan beberapa ilmuwan Barat yang dikutip Razak. Thatcher dan
Chewel, misalnya secara tegas mengatakan bahwa bangsa Eropa sangat
beruntung dengan kedatangan Islam. Banyak ilmu yang dapat ditemukan
sehingga dapat diadopsiya seperti ilmu falak, fisiologi dan masih banyak
21
lagi. Kesan serupa juga diungkapkan oleh Sartios dimana ia mengatakan
bahwa bidang-bidang ilmu pengetahuan yang dibawa Islam terutama ilmu
dan peneraanya lebih banyak daripada yang dibawa Byzantium. Sehingga
peradaban Islam meruakan satu terminal penting antara peradaban Yunani
di timur dan peradaban Eropa di abad pertengahan.
Sumbangan Islam pada dunia Eropa memang sebagian besar pada
bidang ilmu pengetahuan umum, meskipun pasti ada bidang lainya seperti
bidang perindustrian. Tokoh yang berkontribusi dispanyol diantaranya
ada Jabir bin Hayyan, yang ahli dalam bidang kimia, bukti kontribusinya
pada eropa yaitu Prof. Houlmyard guru besar kimia Inggris mnempatkan
gambar Jabir dalam bukunya “para ahli kimia terkemuka”, kemudian
Izzudin al-Jaidaki juga ahli dalam bidang kimia, bukti kontribusinya yaitu
buku-bukunya menjadi rujukan bagi sarjana kimia diberbagai perguruan
tinggi di dunia, kemudian abubakar ar-Razi ahli dalam bidang kedokteran
bukti kontribusinya yaitu 229 bukunya menjadi literatur ilmiah dalam ilmu
kedokteran seluruh dunia (Abubakar, 2008: 15).
Pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid yang
mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula.
Akan tetapi karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab
itu hilang bersama berlalunya zaman. Aliran-aliran teologi sudah ada pada
masa Bani Umayyah, seperti Khawariij, Murjiah, dan mu‟tazilah. Akan
tetapi perkemangan pemikiranya masih terbatas. Teologi rasional
mu‟tazilah muncul diujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun
22
pemikiran-pemikiran yang kompleks dan sempurna baru dirumuskkan
pada masa Bani Abbasiyah periode pertama. Setelah terjadi kontak dengan
pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam. Tokoh
perumus pemikiran Mu‟tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-
Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzzam (185-221 H/801-835M).
Asy‟ariah, aliran tradisional dibidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-
Hasan al-Asy‟ari (873-935M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga
banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi karena al-Asy‟ari
sebelumnya adalah pengikut Mutazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam
hal penulisann sastera. Penulisan hadis juga berkembang pesat pada masa
Bani Abbas hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas
dan transportasi, sehingga memudahkan para penulis dan pencari hadis
bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu
pengetahuan umum, terutama dalam bidang astronomi, kedokteran,
filsafat, kimia, dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-
Fazari sebagai astronomi Islam yang pertama kali yang menyusun
astrolobe, Al-Fargani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Farganus,
menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan kedalam bahasa
latin oleh Gerard Cremona dan Johanes Hispalensis. Dalam lapangan
kedokteran dikenal dengan nama Al-Razi dan Ibnu Sina. Al-Razi adalah
tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan maesles.
Dia juga orang pertama yang menusun buku tenang kedokteran anak.
23
Sesudahnya ilmu kedoktern berada ditangan Ibnu Sina. Ibnu Sina yang
juga seorang filosof, berhasil menemukan sistem peredaran darah pada
manusia. Di antara karyanya adalah alQanun fi al-Tahbi yang merupakan
ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optika Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythami, yang di
Eropa dikenal dengan nama Alhazen, tekenal sebagai orang yang
menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat.
Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya, bendalah yang
mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal dengan Jabir ibn
Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga
dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat
tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-
Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang
menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari namanya, al-jabrwa
al-Muqabbalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas‟udi. Ia juga
ahi dalam bidang ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muruj a-zahab
wa Ma‟adin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi,
Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang
filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasii terhadap filsafat
Aristoteles. Ibnu Sina juga anyak mengarang buku tentang filsafat. Yang
terkenal diantaranya ialah al-Syifa‟. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih
dikenal dengan nama Averros, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang
24
filsafat, sehingga disana terdapat aliran yang disebut denan Averroisme.
Sejarah telah mengungkap bahwa ternyata para ilmuan tesebut diatas tidak
pernah memisahkan akan ilmu pengetahuan dengan agama (Yatim, 1998:
58).
Pengilmuan Islam/Ilmuisasi Ilmu pengetahuan Kuntowijoyo
berangkat dari dari QS. Ali Imran: 110 yang berbunyi:
Artinya: kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma‟ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah (QS. Ali Imran: 110).
Kuntowijoyo berpendapat ada empat hal yang tersirat dalam ayat
itu, yaitu 1. Konsep tentang umat terbaik, 2. Aktivisme sejarah, 3.
Pentingnya kesadaran, 4. Etika profetik.
Pertama, konsep tentang umat terbaik (the chosen people). Umat
Islam menjadi umat terbaik (khaira ummah) dengan syarat mengerjakan
tiga hal sebagaimana disebut dalam ayat itu. Umat Islam tidak secara
otomatis menjadi the chosen people. Ini tentu saja berbeda dengan konsep
the chosen people dari Yudaisme, sebuah mandat kosong yang
menyebabkan rasialisme. Sama-sama tentang the chosen people,
Yudaisme menyebabkan rasialisme, konsep umat terbaik dalam Islam
justru berupa sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras, ke arah
aktivisme sejarah.
25
Kedua, aktivisme sejarah. Bekerja ditengah tengah manusia
(ukhrijat li an-nas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam adalah keterlibatan
umat dalam sejarah. Wadat (tidak kain), uzlah (mengasingkan diri), dan
kerahiban tidak dibenarkan. Demikian pula gerakan mistik yang
berlebihan (ngungkurake kadonyan) bukanlah kehendak Islam, karena
Islam adalah agama amal.
Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai ilahiyah (ma‟ruf nahi
mungkar, iman) menjadi tumpuan aktivisme Islam. Peran kesadaran ini
membedakan etika Islam dari etika materialistis. Pandangan kaum marxis
bahwa superstructure (kesadaran) ditentukan oleh structure (basis sosial,
kondisi amateriil) bertentangan dengan pandangan Islam tentang
independensi kesadran. Demikian pula pandangan yang selalu
menegembalikan pada individu, (individualisme, existensealisme,
liberalisme, kapitalisme) bertenangan dengan Islam, karena yang
menentukan bentuk kesadaran bukan individu tetapi Tuhan. Demikian
pula segala bentuk sekularisme bertentangan dengan lesadaran ilahiyah.
Keempat, etika profetik. Ayat ini bersifat umum, diperuntukan bagi
siapa saja. Baik individu (orang awam, ahli, super ahli), lembaga (ilmu,
universitas, ormas, orsospol), maupun kolektivitas (jamaah, umat,
kelompok masyarakat). Ilmu, sebagai pelembagaan dari pengalaman,
penelitian, dan pengetahuan, diharuskan melaksankan ayat ini, yaiatu amar
ma‟ruf (menyuruh kebaikan), nahi munkar (mencegah kejelekan), dan
tu‟minu nabillah (beriman kepada Allah). Ketiganya adalah unsur yang tak
26
terpisahkan dari ilmu sosial profetik, ilmu sosial profetik harus merupakan
gerakan yang sadar, yang buahnya akan dipetik dalam waktu lama.
Dibawah dominasi ilmu-ilmu sosial empiris-analitis Ilmu sosial profetik
memang tidak akan populer. Mungkin melalui semacam “gerilya
intelektual” mirip dengan gerakan intelektual underground dari sosiologi
akademis di Uni Sovyet waktu negeri itu masih dibawah dominasi Marx-
isme Ortodoks. Maka gerakan Ilmu sosial profetik hambatannya akan
lebih bersifat mental, rasa rendah diri intelektual (Kuntowijoyo, 1998: 64).
Gagasan pendidikan berparadigma ilmuisasi Islam sangat layak
untuk ditawarkan sebagai salah satu solusi pendidikan Islam diamasa
sekarang dan masa akan datang. Paradigma profetik yang dimaksud adalah
paradigma yang dapat dipahami seperangkat teori yang tidak hanya
mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial. Namun
diharapkan dapat mengarahkan keperubahan atas dasar cita-cita etik dan
profetik dengan 3 pilar humanisasi, liberasi dan transendensi.
Usaha memupuk nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi
akan lebih efektif dilakukan melalui proses pendidikan tidak akan pernah
lepas dari penampilan nilai-nilai, guna membentuk pribadi manusia yang
dewasa dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku serta berakhlakul
karimah. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan Prof. Ahmad Tafsir
bahwa tugas pendidikan termasuk pendidikan di sekolah yang paling
utama ialah menanamkan nilai-nilai (Tafsir, 2008: 49). Dengan demikian,
diperlukan penyegaran kembali terhadap Kurikulum pendidikan Islam
27
agar berfungsi sebagai praktek pembebasan dengan tetap mendasarkan diri
pada ayat-ayat Al-Qur‟an merujuk pada teori Kuntowijoyo tentang pilar-
pilar Pengilmuan Islam yaitu humanisasi, liberalisasi, dan transendensi
(Shofan, 2004: 33-34).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka penulis dapat mengambil
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep Ilmuisasi Islam menurut Kuntowijoyo?
2. Apa implikasi Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo bagi pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan Konsep Ilmu Profetik/Ilmuisasi Islam menurut
Kuntowijoyo.
2. Untuk mengetahui implikasi Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo bagi
pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritik
Penelitian ini secara teoritis bermanfaat untuk memperkaya wacana
keilmuan khususnya kajian ilmu sosial profetik atau Ilmuisasi Islam
menurut Kuntowijoyo bagi perpustakaan Institut Agama Islam Negeri
Salatiga.
28
2. Praktik
a. Guru
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
tentang pembelajaran yang sarat akan Ilmuisasi Islam menurut
Kuntowijoyo.
b. Lembaga
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai wacana agar lebih
meningkatkan pengetahuan Pengilmuan Islam terhadap Dosen,
Rektor maupun sivitas akademik IAIN Salatiga, agar dapat
mengimplementasikan Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo pada kurikulum
IAIN Salatiga.
c. Peneliti
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sarana penambahan
wawasan dan pengalaman dalam penelitian terkait Pengilmuan Islam
dan Kurikulum Pendidikan Islam.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitan
Pendekatan peenelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yaitu
penelitian dengan meggunakan metode kualitatif, dapat dijelaskan
pendekatan yang digunakan, proses pengumpulan dan analisis
informasi, proses penafsiran memaluli analisis, dan penyimpulan hasil
penelitian dan rekomendasi yang dapat diaukan (Maslikhah, 2013: 82).
29
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis (descriptive
of analiyze reseach). Dalam penelitian kepustakaan peneliti harus
mengenal beberapa koleksi alat bantu yang disebut bibilografi sebagai
deskripsi analisis. Bibilografi merupakan daftar informasi buku-buku
karya pengarang atau ahli daam berbagai bidang, pengarang, keahlian
dan penerbit tertentu. Dalam hal ini, bibilografi dibedakan menjadi 2
yaitu: a) bibilografi bernotasi adalah bibilografi yang lebih rinci, tidak
hanya berisi infomasi tentang identitas buku, tetapi juga memberikan
keterangan tentang synopsis isi buku dan literatur terkait. b) bibilografi
kerja yaitu daftar kepustakaan terpilih yang tercatat diatas lembaran
kartu atau ubuku catatan untuk kepentingan penelitian (Zed, 2008:83).
Penulis berusaha mengumpulkan data, menganalisis dan membuat
interpretasi secara mendalam tentang pemikiran tokoh Kuntowijoyo.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menganalisis proses dan makna
dari sudut pandang peneliti mengenai konsep dan pemikiran mengenai
Ilmu Sosial Profetik menurut Kuntowijoyo, serta relevansinya dengan
tokoh lain menggunakan teori yang telah ada.
2. Sumber Data
Yaitu subjek dari mana data diperoleh. Sumber data yang penulis
gunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan cara
mengumpulkan data-data dengan cara mempelajari, mendalami, dan
mengkaji teori-teori dan konsep-konsep dari sejumlah literatur baik
buku, jurnal, majalah, ataupun karya tulis lainya yang relevan dengan
30
topik penelitian. Penelitian ini sumber data yang dibutuhkan meliputi
sumber data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti dari sumber pertamannya (Suryabrata, 1996:84-85).
Sumber data primer dalam penelitian ini diambil langsung dari
buku-buku yang ditulis oleh Kuntowijoyo dan yang masih
berhubungan dengan dengan tema peneliti. Diantaranya yaitu
adalah buku Islam sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi, dan
Etika, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Identitas Politik
Umat Islam, dan Al-Jami‟ah: Journal Of Islamic Studeis.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang berupa buku-buku
yang secara kepustakaan yang berkaitan dengan objek material,
akantetapi tidak secara langsung karya tokoh agama atau filsuf
agama tertentu yang menjadi objek (Kaelen, 2004:144). Sumber
data sekunder dalam penelitian ini adalah iteratur yang sesuai
dengan ojek penelitian, naik itu teks buku, ,majalah, jurnal ilmiah,
artikel, rekaman atau kaet, arsip, dokumen pribadi, dikumen resmi
embaga-lembaga dan lain sebagainya serta hasil wawancara yang
terkait dengan penelitian ini.
Data sekunder yang penulis gunakan diantara yaitu buku
Pendidikan Profetik yang ditulis oleh Khiron Rosyidi, Pendidikan
31
Integratif yang ditulis oleh Ahmad Barizi, Integrasi Ilmu yang
ditulis oleh Mulyadhi Kertanegara, dll yang masih bersangkuan
dengan penelitian.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan penulis dalam mengumpulkan berbagai
sumbr data penelian, diantaranya yaitu:
a. Metode Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(Moleong, 2008:186). Wawancara bertujuan untuk memperoleh
informasi dengan menyelediki pengalaman masa lalu dan masa
kini para partisipan, guna menemukan perasaan, pemikiran dan
persepsi mereka (Daymon, 2008: 262).
Teknik ini bertujuan untuk memperoleh informasi secara
lengkap pemikiran Kuntowijoyo tentang Integrasi Ilmu
Pengetahuan. Teknik wawancara digunakan untuk mewancarai
tokoh-tokoh yang pernah berjumpa atau berhubungan dengan
Kuntowijyo, baik sahabat maupun keluarganya.
b. Metode Dokumentasi
Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, tarnskip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
32
notulen, rapat, legger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998:
236).
Metode dokumentasi ini, data mengenai penelitian yang
diperoleh dengan cara menghimpun data berbagai literatur, baik
artikel, jurnal, majalah, maupu buku-buku yang berkaitan dngan
pembahsan penelitian ini guna menjadi data penguat pembahasan
dalam penyusunan skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penulisan
skripsi ini adalah:
a. Deduktif
Metode deduktif adalah metode berfikir yang berdasarkan
pada pengetahuan umum dimana kita hendak menilai suat
kejadian yang khusus (Hadi, 1981: 42). Metode ini digunakan
untuk menjelaskan konsep Ilmu Sosial Profetik atau ilmuisasi
Islam.
b. Induktif
Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari
fakta-fakta peristiwa khusus dan konkret, kemudian ditarik
generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1981:42). Metode ini
digunakan untuk membahas data tentang konsep ilmuisasi Islam
dalam perspektif Kuntowijoyo guna ditarik kesimpulanya dan
dicari relevansinya dengan kurikulum pendidikan Islam.
33
Selain metode deduktif dan metode induktif, peneliti menggunakan
metode analisis isi (content analysis) yaitu konten yang terdapat dalam
buku-buku karya Kuntowijoyo.
Isi dalam metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten
dan ide komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen
dan naskah, sedangkan ide komunikasi adalah pesan yang terkandung
sebagai akibat komunikasi yang terjadi (Ratna, 2007: 48).
Dalam media massa penelitian dengan metode analisis isi
dilakukan terhadap paragraf, kalimat dan kata termasuk volume ruangan
yang diperlukan, waktu penulisan, diman ditulis dan sebagainya, sehingga
dapat diketahui isi pesan secara tepat (Ratna, 2007: 49).
Adapun tahapan-tahapan yang peneliti guanakan dalam pengolahan
isi adalah:
1. Tahapan deskripsi, yaitu menguraikan teks-teks dalam buku
yang ditulis oleh Kuntowijoyo yang berhubungan dengan
Integrasi Ilmu Pengetahuan.
2. Tahapan intepretasi, yaitu tahapan dimana peneiliti
menjelaskan teks-teks dalam buku karya Kuntowijoyo yang
berhubunagn dengan Integrasi Ilmu Pengetahuan.
3. Tahapan analisis, yaitu tahapan peneliti mengaalisis buku karya
Kuntowijoyo yang berhubungan dengan Integrai Ilmu
Pengetahuan.
34
4. Kesimpulan, yaitu proses mengambil kesimpulan dari
pembahasan dalam buku karya Kuntowijoyo yang berkaitan
dengan Integrasi Ilmu Pengetahuan dan implikasinya bagi
pengembangan Ilmu Pendidikan Islam.
F. Telaah Pustaka
Kajian tentang Integrasi Ilmu Pengetahuan yang dikaji oleh penulis
bukan untuk yang pertama dilakukan, penelitian yang berkaitan dengan
judul penulis sudah banyak dijumpai dalam bentuk skripsi, jurnal,
maupun buku. Berikut ini beberapa literatur yang menjadi acuan pustaka
dalam penelitian penulis, diantaranya yaitu:
1. Jurnal yang ditulis oleh Dr. H. Akbarizan M.Ag./M.Pd yang berjudul
Integrasi Ilmu Perbandingan UIN Suska Riau dan Universitas
UMMU Al-Quran Mekkah (Akbarizan, 2009). Dalam jurnal ini dapat
disimpulkan bahwa Integrasi Ilmu adalah penggabungan struktur
ilmu, struktur ilmu tidak memisahkan cabang ilmu agama dengan
cabang ilmu hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis. Kajian
yang bersumber dari ayat-ayat qauliyah, Al-Quran, hadist, dan ayat-
ayat kauniyah, hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis.
Pembagian yang amat popular untuk memahami ilmu adalah
pembagian menjadi ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
2. Peneltian yang dilakukan oleh Nurlena Rifai, Fauzan, Wahdi Sayuti,
dan Bahrissalim yang berjudul Integrasi Keilmuan dalam
Pengembangan Kurikulum di UIN se-Indonesia: Evaluasi Penerapan
35
Integrasi Keilmuan UIN dalam Kurikulum dan Proses Pembelajaran
(Rifai, dkk. 2014). Dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan
bahwa Konsep integrasi keilmuan yang dikembangkan di UIN se-
Indonesia, secara substansial sesungguhnya mengacu pada muara
yang sama, yakni peniadaan dikotomi antara kebenaran wahyu dan
kebenaran sains. Dengan kata lain, integrasi keilmuan sesungguhnya
ingin memadukan kebenaran wahyu (agama) dengan kebenaran sains
yang diimplementasikan dalam proses pendidikan. Namun demikian,
konsep integrasi keilmuan di masing-masing UIN ini memiliki
keragaman redaksional dan elaborasi yang sangat kontekstual dengan
lingkungan masing-masing UIN.
3. Buku yang ditulis oleh Jasa Ungguh Muliawan yang berjudul
Pendidikan Isam Integratif (Muliawan, 2005). Dalam buku ini dapat
disimpulkan bahwa secara normative konseptual, dalam Islam tidak
dijumpai dikotomi ilmu. Ulama-ulama terdahulu pun telah
membuktikan kesauan ilmu yang wajib dipelajari. Al-Kindi misalnya
adalah seorang filsuf sekaligus agamawan, begitu pula Al-Farabi.
Ibnu Sina, selin ahlii dalam bidang ilmu kedokteran, filsafat, psiologi,
dan music, beliau juga seorang ulama. Al-Khawarizmi adalah ulama
yang ahli mmatematika. AlGazali, walaupun belakangan popular
karena kehidupan dan ajaran sufistiknya, sebenarnya beliau telah
melalui berbagai bidang ilmu yang diketahuinya, mulai dari ilmu
fiqih, kalam, falsafah, hingga tasawuf. Ibnu Rusyd adalah seorang
36
faqih yang telah berhasil pada masa Renaissance. Last but least, Ibnu
Khaldun dikenal sebagai ulama peletak dasar sosiologi modern.
4. Buku yang ditulis oleh Khoiron rosyadi yang berjudul Pendidikan
Profetik (Rosyadi, 2004). Dalam buku ini dapat disimpulkan bahwa
integrasi ilmu pengetahuan atau islamisasi ilmu pengetahuan brusaha
untuk menghubungkan kembali sains dengan agama yang berarti
menghubungkan kembali sunnatullah dengan Al-Quran yang
keduanya pada dasarnya merupakan ayat-ayat tuhan. Hal ini dapat
dibuktikan dengan memperlihatkan bagaimanna Al-Quran selalu
mengaitkan perintah-perintah yang berhubungan dengan alam raya
dengan perintah pengealan dan pengakuan atas kebesaran dan
kekuasaanya.
5. Buku yang ditulis oleh Dr. H. Ahmad Barizi, M.A. yang berjudul
Pendidikan Integratif. (Barizi, 2011) Dalam buku ini dapat
disimpulkan bahwa kerja memadukan atau mengintegrasikan konsep
dan rumus-rumus, adalah mencari titik kesamaan atau perpaduan
antara sains dan Islam (atau konsep yang ada pada Al-Quran dan
hadist). Tegasnya antara A-Quran atau hadist dan sains dicoba
diintegrasikan sehingga satu sama lain saling memperkokoh dalam
membuka tabir kegaiban akan realitas kongkret yang disabdakan
Allah swt dalam ayat-ayat-Nya, baik yang qauliyah maupun yang
kauniyah.
37
6. Buku yang ditulis oleh DR. Mulyadhi Kertanegara yang berjudul
Integrasi Ilmu. (Kertanegara, 2005) dalam buku ini dapat diambil
kesimpulan bahwa Integrasi ilmu pengetahuan tidak mungkin
tercapai hanya dengan mengumpulkan dua himpunan keilmuan yang
mempunyai basis teoritis yang berbeda (religius dan sekuler).
Sebaliknya, integrasi ilmu ini harus diupayakan hingga tingkat
epistemologis. Menggabungkan dua himpunan ilmu yang berbeda,
religius dan sekuler, di sebuah lembaga pendidikan seperti yang
terjadi selam ini tanpa diikuti oleh konstruksi epistemologis. Untuk
mencapai tingkat integritas epistemologis maka integrasi harus
diusahakan pada beberapa aspek atau level: integrasi ontologis,
integrasi klasifikasi ilmu, integrasi ilmu-ilmu agama dan rasional
(sekuler) dan integrasi metodologis.
7. Skripsi yang ditulis oleh Abdul Latif jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam
Ngeri Sunan Kalijaga, Jogjakarta dengan judul “Masa Depan Ilmu
Sosial Profetik Dalam Studi Pendidikan Islam (telaah pemikiran
Kuntowijoyo) (Latif, 2014). Hasil skripsi tersebut dapat disimpulkan
bahwa teori Ilmu Sosial Profetik itu ada tiga, yaitu Humanisasi,
Liberasi, dan Transendensi. Dalam kaitanya dengan Studi Pendidikan
Islam Latif menyebut bahwa Humanisasi sebagai pijakan pendidkan
Islam artinya meskipun ssetiap sekolah mempunyai visi misi yang
berbeda, tetapi tetap harus menjadikan Humanisasi sebagai
38
pijakan/landasan pedoman sekolah tersebut. Liberasi sebagai
Orientasi Pendidikan Islam artinya untuk membekali sikap/pandang
peserta didik harus berlandaskan Liberasi, dimana sasaran Liberasi
itu ada empat, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem
ekonomi, dan sistem politik. Transendensi sebagai poros pendidikan
Islam artinya suatu Lemaga Pendidikan Islam harus berangkat dari
transendensi yaitu rasa keimanan dan ketakwaan terhadap Allah Swt.
8. Skripsi yang ditulis oleh Sahal Munir jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam
Ngeri Salatiga, dengan judul “Paradigma Profetik Dalam Pendidikan
Islam Menurut Kuntowijoyo (Munir, 2016). Dari penelitian tersebut
dapat disimpulkan bahwa Khaira Ummatin sebagai tujuan Pendidikan
Islam, Transendensi sebagai landasan Pendidikan Islam, Paradigma
Profetik sebagai Kurikulum Pendidikan Islam, Humanisme sebagai
aktor Pendidikan Islam, Liberasi sebagai subyek Pendidikan Islam,
dan Profetik sebagai lingkungan Pendidikan Islam.
9. Jurnal penelitian Vol. 9, No. 2, Agustus 2015; 259-271. Pengilmuan
Islam Dan Problem Dikotomi Pendidikan, oleh Muhammad
Mustaqim Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus.
Dalam tulisan ini menyatakan bahwa Islamisasi ilmu berupaya
menjadikan ilmu Islam tidak hanya meniru ilmu dari Barat, atau
hanya sekadar stempel terhadap ilmu umum saja. Namun, bagaimana
mengembalikan ilmu pengertahuan itu pada pusatnya, yakni tauhid.
39
Tauhid sendiri mensyaratkan adanya tiga kesatuan, yakni kesatuan
pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan sejarah. Jika
kesatuan pengetahuan merujuk pada kebenaran yang satu, maka
kesatuan hidup berarti hapusnya perbedaan antara ilmu yang sarat
nilai dengan ilmu yang bebas nilai. Adapun kesatuan sejarah
mengindikasikan bahwa ilmu pengetahuan harus mengabdi kepada
umat dan manusia.
Berdasarkan beberapa telaah pustaka di atas, belum ada satu
penelitian maupun sumber tulisan yang secara khusus membahas
Implikasi Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo bagi pengembangan
kurikulum pendidikan Islam, telaah pustaka diatas kebanyakan
merelevansikan dengan ilmu pendidikan Islam, dan itu masih bersifat
umum, tidak dengan kurikulum pendidikan Islam. Sebenarnya ada
satu penelitian yang ditulis oleh Nurlena Rifai, Fauzan, Wahdi
Sayuti, dan Bahrissalim yang membahas implikasinya bagi
pengembangan kurikulum, tetapi dengan objek seluruh UIN se-
Indonesia dan menghasilkan kesimpulan secara substansial
sesungguhnya pengembangan kurikulum UIN se-Indonesia mengacu
pada muara yang sama, yakni peniadaan dikotomi antara kebenaran
wahyu dan kebenaran sains. Sedangkan fokus penulis dalam
penelitian ini adalah imlplikasi Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo bagi
pengembangan kurikulum pendidikan Islam, dengan cara mengambil
pilar-pilar dan metodologi Ilmuisasi Islam Kuntowojoyo dan
40
memasukan serta merevansikannya terhadap komponen-komponen
yang ada pada kurikulum Pendidikan Islam.
G. Sistematika Penulisan
1. Bagian Awal
Bagian awal ini, meliputi: sampul, gambar berlogo, judul (sama
dengan sampul), persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan,
pernyataan keaslian tulisan, motto, persembahan, kata pengantar,
abstrak, daftar isi dan daftar lampiran.
2. Bagian Inti
BAB I :PENDAHULUAN memuat latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, telaah pustaka dan sistematika
penulisan.
BAB II :BIOGRAFI memuat riwayat hidup Kuntowijoyo, karya-
karya Kuntowijoyo, konteks pemikiran Kuntowijoyo, dan
penghargaan yang diraih Kuntowijoyo.
BAB III :LANDASAN TEORI memuat uraian tentang pengertian
Dikotomi Ilmu, Islamisasi Ilmu, Integrasi Ilmu, dan
Ilmuisasi Islam
BAB IV :PEMBAHASAN memuat uraian tentang pemikiran
kuntowijoyo dan implikasinya bagi pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam.
BAB V :PENUTUP memuat kesimpulan, saran dan penutup.
41
BAB II
BIOGRAFI KUNTOWIJOYO
A. Lingkungan Keluarga
Putra pasangan H. Abdul Wahid Sosroatmojo dan Hj. Warasti ini
lahir di Sorobayan, Sanden, Bantul, Yogyakarta, pada 18 eptember 1943
(Kuntowijoyo, 2003). Meski lahir di Yogyakarta, semasa hidupnya lebih
banyak dilewati di Klaten dan Solo.
Anak kedua dari Sembilan bersaudara ini dibesarkan di lingkungan
Muhammadiyah. Ayahnya yang Muhammadiyah juga suka mendalang. Ia
tergolong sebagai anak priyai. Kuntowijoyo diasuh dalam kedalaman
religius dan seni. Dua lingkungn yang sangat mempengaruhi
pertumbuhanya semasa kecil dan remaja.
Dari garis keturunanya, Kuntowijoyo berasal dari struktur kelas
priyayi. Kakeknya seorang lurah, yang juga seniman, ulama, pedagang,
bahkan seorang tukang. Keluarga Kuntowijoyo juga terdiri dari orang-
orang Muhamadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Dengan latar belakng
yang unik ini, tidak heran jika ada yang menyebutnya sebagai seorang
modernis, tradisionalis, reformis, dan konsevatif (Fahmi, 205: 30).
B. Masa kecil Kuntowijoyo
Masa kecil Kuntowijoyo adalah masa pergolakan, yaitu agresi
Belanda pada tahun 1947 dan 1948. Sejak kecil, ia aktif mengikuti
42
kegiatan-kegiatan kegamaan, yiatu belajar agama ke surau yag dilakukan
sehabis Dzuhur sepulang sekolah hingga selepas Ashar. Malamnya sehabis
Isya, ia kembali ke surau untuk mengaji.
Saat menjalani kehidupan surau inilah, Kuntowijoyo mulai belajar
menulis puisi, berdeklamasi dengan mendongeng. Di surau ini ia
memasuki kepanduan Hizbul Waton. Bakatnya dalam berdeklamasi,
bermain drama, dan menulis puisi semakin berkembang ketika ia
bergabung dalam organisasi pelajar Islam Indonesia. Selain belajar
mengaji dan deklamsi, Kuntiwijoyo gemar menyimak siaran sastra di
Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta.
C. Riwayat Pendidikan Kuntowijoyo
Pendidikn SD dan SMP ditempuhnya di Sekolah Rakyat Negeri
Klaten (1956) dan SMP Negeri Klaten (1959). Lalu melanjut ke SMA
Negeri Solo (1962). Kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Sastra
UGM Yogyakarta (1969). Kuntowijoyo meraih Master di University of
Connectitut, AS (1974) (Kuntowijoyo, 1999: 108) dan gelar doktor ilmu
sejarah dari Unversitas Columbia, AS (1980) dengan disertasi Social
Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940 (Kuntowijoyo, 2000).
D. Peran Kuntiwijoyo
Semasa kuliah, beliau sudah akrab dengan dunia seni dan teater.
Beliau mendirikan dan menjabat sebagai Sekretaris Lembaga
Kebuadayaan dan Seniman Isam (Leksi), dan ketua Studi Grup Mantika
43
hingga 1971 (beliau mendirikan Grup Mantika bersama Dawam Rahardjo,
Sju‟bah Asa, Chaerul Umam, Arifin C. Noer, Amri Yahya, Ikranegara,
dan Abdul Hadi W.M).
Sebagai seorang sejarawan, beliau sangat menghargai kearifan dan
budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah, memang
mengajrkanya kearifan itu. Baginya belajar sejarah adalah proses belajar
kearifan. Beliau mengimplementasikan dalam keseharianya.
Selain sebagai sastrawan dan budayawan yang arif, beliau juga
pemikir (iteektual) Islam yang cerdas, jujur dan berintrgrias. Buku-
bukunya sungguh menceminkan kecerdasan, kejujuran dan integritasnya
sebagai seorang intelektual muslim.
Kuntowjoyo juga seorang kyai. Dia ikut mmbangun dan membina
Pondok Pesantren Budi Mulia tahun 1980 dan mendirikan pusat
Pengkajian Strategi dan Keebijakan (PPSK) di Yogyakarta tahun 1980.
Beliau juga seorang Aktivis Pendiri Muhamadiyah. Beliau pernah
menjadi anggota Muhammadiyah. Bahkan beliau melahirkan sebuah karya
Intlektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru. Ketua PP
Muhammadiyah, Syafii Maarif, menyebut Kuntiwoyo mrupakan sosok
pemikir Islam dan sangat berjasa bagi perkembangan Muhammadiyah,
kritiknya sangat pedas tetapi merupakan pemkiran yang sangat mendasar.
Kuntowijoyo dijuluki sebagai seorang sejarawan beridentitas
paripurna karena dia menjalani hidup di beragam habitat dan identitas itu.
44
Beliau guru besar sejarah di Universitas Gadjah Mada. Pengarang berbagai
judul novel, cerpen dan puisi. Pemikir dan penulis beberpa buku tentang
Islam. Kolomnis di berbagai media. Aktivis berintegritas di Pendiri
Muhammdiyah. Sangat sering menjadi penceramah di berbagai masjid dan
sebagainya.
E. Kepenulisan Kuntowijoyo
Kuntowijoyo sudah bergelut dengan kegiatan tulis menulis sejak
1958 ketika masih duduk di bangku SMP, (Kuntowijoyo, 2000) kemudian
berlanjut sampai beliau duduk di bangku SMA. Beliau menulis cerita
pendek, kemudian drama, esai, roman. Baru ketika bermukim di Amerika
Serikat untuk mencapai gelar MA dan Ph.D., ia menulis sajak, sekaligus
dua buah kumpulan Isyarat (1976) dan Suluk Awung Uwung (1976).
Cerpenya dimuat dalam majalah “Horison”, harian “Kompas”, dan
terpilih menjadi cerpen terbaik harian Kompas, yakni Laki-laki yag Kawin
dengan Peri (1994), Sampan Asmara dan Pistol Perdamaian (1995).
Tulisanya berupa easi juga banyak dimuat di surat kabar.
Gagasanya yang sangat penting bagi pengembangan ilmu sosial di
Indonesia adalah idenya tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). Bagi
kuntowijoyo, lmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk
menjelaskan atau memahami realitas dana kemudian memaafkanya begiti
saja tapi leih dari itu, ilmu sosial harus juga mengeman tugas transformasi
menuju cita-cita yang di idealkan masyarakatnya. Ia kemudian meruskan
45
tiga nilai dasar sebagai pjakan ilmu sosal profetik, yaitu: humanisasi,
liberasi, dan trasendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji.
F. Dukungan Sang Istri
Pernikahanya dengan Susilaningsih, dikaruniai dua orang anak
yakni Punang Amari Puja dan Alun Paradipta Dukungan sang istri yang
dengan sabra dan tekun menemani, tlah menjadi kekuatan dan inspirasi
tersendiri bagi Kuntowijoyo. Ketika Kuntowijoyo jatuh sakit dan sulit
melafalkan kalimat-kalimat dengan jelas, Ning, selalu setia mendampingi
menerima tamu sekaligus menjadi penerjemah ucapan-ucapanya. Begitu
juga ketika wawancara dengan wartawan, Ning juga yang membacakan
makalah Kuntowijoyo dalam berbagai forum seminar.
Ning juga yang selalu setia mendampinginya melakukan olahraga
senam, joging atau jalan kaki. Sekali dua hari, dia berolahraga.
Kuntowijoyo biasanya sudah bangun tidur sekitar pukul 03.30 kemudian
shalat tahajud, shalat fajar an subuh. Setelah shalat subuh beliau
meneruskan menulis lagi.
G. Karya-karya Kuntowijoyo
Kuntowijoyo banyak melahirkan karya-karya dalam berbagai genre
yakni agama, politik, sosial, cerpen, Puisi, novel dan drama (Kuntowijoyo,
2017: 377).
46
1. Karya-karya dibidang sejarah, agama, politik, sosial, dan budaya
a. Dinamika Sejarah Umat Islam (1985).
b. Budaya dan Masyarakat (1987).
c. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991).
d. Radikalisasi Petani (1994) (Kuntowijoyo, 2017: 378)
e. Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994).
f. Metodologi Sejarah (1994).
g. Pengantar Ilmu Sejarah (1997).
h. Identitas Politik Umat Islam (1997).
i. Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik
dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (2001).
j. Selamat Tingggal Mitos, selamat Datang Realitas: Esai-esai
Budaya dan Politik (2002).
k. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940
(2002).
l. Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1950) (Kuntowijoyo,
2000).
47
2. Karya-Karya dibidang Sastra
a. Naskah Drama
1) Rumput-Rumput Danau Bento (1966).
2) Tidak Ada Waktu Bagi Nynya Fatma, Barda dan Cartas (1972).
3) Topeg Kayu (1973) (Kuntowijoyo, 2000).
b. Puisi
1) Isyarat (1976).
2) Suluk Awung-Awung (1976).
3) Daun Ma‟rifat, Ma‟rifat Daun (1995) (Kuntowijoyo, 2003).
c. Novel
1) Kereta Api yang Berangat Pagi hari (1996).
2) Pasar (1972).
3) Khotbah di Atas Bukit (1976).
4) Impian Amerika (1997).
5) Mantra Penjink Ular (2000).
6) Waspirin dan Satinah (2003) (Kuntowijoyo, 1999: 108).
d. Cerpen
1) Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1993).
48
2) Pistol Perdamaian (1995).
3) Laki-laki yang Kawin dengan peri (1996).
4) Anjing-anjng Menyerbu Kuburan (1997).
5) Mengusir Matahari: Fabel-fabel Politik (1999).
6) Hampir Sebuah Subversi (1995) (Kuntowijoyo, 2013: 150).
3. Karya-arya Makalah, Esai dan Artikel
Karya Kuntowijoyo dalam bentuk makalah, esai, dan artikel untuk
beberapa bahkan berbagai agenda ceramah ilmiah dan sumbangan
gagasan, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. “Angkatan Oemat Islam: Beberapa Catatan Mengenai Gerakan
Islam Lokal 1945-1950”, makalah disampaika dalam seminar
Sejarah Nasiona II, Yogyakarta, 26-29 Agustus 1970.
b. “Dunia Batin oarang Djawa: Analisa atas Kehidupan”, Majalah
Budaja Djaja, No. 25 tahun III, Juni 1970.
c. “Sastra, Suatu Anti Tiran”, Majalah Budaja Djaja, No. 42 Tahun
V, April 197 (semula esai ini adalah makalj yang disampaikan
dalam ceramah pada Triwarsa Persda Studi Klub Yogyakarta).
d. “Tentang Program Sastra”, Makalah Budaja Djaja, No. 59 Tahun
VI, April 19773 (semula esai ini adalah makalah Pertemuan
Sastrawan Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Desember 1972).
49
e. “Aspek-Aspek Sosial yang Melatarbelakangi Pergerakan
Mahasiswa”, makalah disampaikan dalam Seminar Pergerakan
Mahasiswa di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Oktober
1980.
f. “Peristiwa Sejarah dan Karya sastra:, makalah pada Seminar
Olmu dan Seni yang diselenggarakan olEh pusat Pusat Penelitian
an Studi Kebudayaan, UGM, tahun 1981.
g. “Saya Kira Kita Memerlukn juga Sebah Sastra Trasendental,
Harian Berita Buana, Selasa, 21 Desember 1982, hal. 4.
h. “The Dutch Administrative Reform and Thhe Local Nobility of
Madura, 1850-19000”, makalah dibacakan dalam sebuah seminar
di manila, 25-28 Januari 1982.
i. “Penokohan dan Perwataka dalam Sastra Indonesia”, Majalah
Basis No. 32, Januari 1983 (semula esai ini adalah makalah
seminar psikolog Ksenian, pada tanggal 20 September1982, di
Taman Budaya Yogyakarta).
j. “Umat Islam dan Industrialisasi Indonesia: Kancah Pergaulan
Baru”, makalah ini disampaikan dalam Panel Diiskusi Kebiakan
Operasional Pembangunan Nasional Purna Pelita II,
diselenggarakan oleh pusat Penegemangan Agribisnis dan
Universitas AS-Syafitiyah, Jakarta, 19 Maret 1983 (dengan judul
lain perenah dimuat dalam majalah Prisma No. 11-12,
50
November/Desember 1983, hal. 64-73 dan versi Inggrisnya juga
dimuat dalam Prisma edisi Inggris, No. 31 Maret 1984, hal. 57-
66.
k. “Membendung Kecnderungan Munculnya Kelas Kapitalis”,
Majalah Panji Msayarakat, No. 389, Tahun XXIV, 11 Maret
1983.
l. “Agama, Negara, dan Farmasi Sosisal: Sejarah Alienasi dan
Oposisi iSlam di Indonesia”, Majalah Prisma, No. Tahun 1984,
hal. 34-46. (semula dipesiapkan sebagai prasaran kuliah untuk
Faculty Center, Universita Filipina, Manila, 22 Februari 1984.
Dimuat juga salam Southeast Aian Journal of Sicial Science, No.
1/Vol. 15/1997, hal. 1-15).
m. “Konsep Teoritis Ilmu dan Konsep Normatif Agama: Kajian
Perkembangan Budaya”, makalah ini disampaikan dalam
simposium Citra Religius Kampus, Universitas Sultan Agung,
Semarang, 13 Mei 1985.
n. “Muslim Kelas Menengah Indonesia 1910-1950: Sebuah
Pencarian Identitas”, Makalah Prisma, No. 11 Tahun 1985, hal.
35-51. (semula merupakan makalah dalam seminar tentang
History and Underdevelopment: The Cambridge-Delhi-
Yogyakarta-Leiden Project for Comparative Study of Indonesi
and India, New Delhi, 2-6 Januari 1985 dan pernha juga dimuat
51
dalam India and Indonesia from he 1920s to 1950s: The Origin of
Planing, Leiden, Center of Hisoory of European Expansion,
1986).
o. “Teater Total, Eksperimen Serba Ada Teater Tikar Yogya”,
Harian Sinar Harapan, Sabtu, 5 Januari 1985, hal.7.
p. “Posisi Sosial Umat Islam Indonesia ari Masa ke Msa”, Makalah
disampaikan dalam ceramah ilmiah menambut HUT HMI ke-38,
pada taggal 5 Februari 1985, di Yogyakarta.
q. “Pembaruan Islam-Tioghoa: Tinjauan dari Aspek Sosio-
Kultural”, makalah disampaikan dalam Seminar Islam dan
Pembaruan, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, 6-7 Mei
1986.
r. “Sastra Indonesi Mencari Arah”, Harian Beriata Buana, Selasa,
16 Desember 1986. (dimuat kembali di Harian Berita Yudha,
Kamis, 13 April 1989, hal. 5. Dengan judul yang sama dengan isi
tulisan yang diperluas).
s. “Cita-Cita Transformasi Islam”, bahan Ceramah Ramadjan di
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1 Mei 1987.
t. “Strategi Budaya Islam: Mempertimbangkan Tradisi” makalah
disampaikan dalam diskusi IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 10
Mei 1987.
52
u. “Sebuah Program Reaktualisasi: Lima Model Reinterpretasi”,
Bahan Ceramah Ramadhan di Gelanggang Shalahudin UGM,
Yogyakarta, 21 Mei 1987.
v. “Transformasi Kehidupan Agama dan Organisasi-Organisasi
Islam: Perspektof Asia Tenggara”, makalah disampaikan pada
Konferensi Popular History of the Asean Countries, Bangkok, 2-5
Oktober 1987.
w. “Visi Teologis Islam dan Problrm Peradaban Modern”, bahan
Ceramah Ramadhan di Masjid Syuhada, Yogyakarta, 6 Mei 1987.
x. “Dampak Sosial Historis, Ekologi dan Kependudukan: Madura
pada Pertengahan Pertama Abad ke-20 dengan Rujukn
Permasalahan Masa Kini”, makalah disampaikan dalam Seminar
Kependidikan, yang diselenggarakan PAU-Studi Sosial, UGM,
28-29 November 1988.
y. “Islam dan Kelas Sosial: Upaya Konseptualisasi”, makalah
disampaikan dalam ceramah ilmiah di HMI Komisariat Fakultas
Syariah Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 11 September
1988.
z. “Masyarakat Desa dan Radikalisasi Petani”, makalah
disampaikan dalam Seminar Desa dalam Perspektif sejarah,
diselenggarakan oleh PAU-Studi Sosial, UGM, 10-11 Februari
1988.
53
aa. “Paradigma Islam tentang Transformasi Sosial”, makalah
disampaikan dalam Ceramah Ilmiah di Senat Mahasiswa Fakultas
Ekonomi Uiversitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 4 Juli 1988.
bb. “Peranan Pesantren dalam Pembangunan Dea: Potret Sebuah
Dinamika”, Majalah Prisma, No. 1, Januari 1988, hal. 102-115.
(semula adalah makalah untuk seminar bulanan P3PK, UGM,
Yogyakarta, 7 Januari 1988).
cc. “Sastra Priyayi Sebagai Sebuah Jenis Sastra Jawa”, Majalah
Basis, No. 9 Tahun 37, September 1988.
dd. “Geraka Sosial Muhammadiyah: Adaptasi atau Refoemasi”,
Jurnal Keadilan, No. 2/Th. XV/1989, hal. 26-28. (pernah juga
dimuat dala majalaj Suara Masjid, No. 170, November 1988).
ee. “Islam dan Agenda Nasioalisme Baru: Refleksi tentang Persatuan
dan Kesatuan Bangsa”, makalah disampaikan dalam Silaturahmi
Pimpinan ABRI dengan Cendikiawan, Yogyakarta, 17-18
Februari 1989. (pernah dimuat secara tidak utuh dalam jurnal
Prospek, No. 1, Th. I/1990, hal. 1-7)
ff. “Kebijakan Pengemangan Pendidkan Tingi Islam”, maalah
dismpaikan pada sarasehan di Pusat Pengkajian Strategi dan
Kebijakan, Yogyakarta, 18 Desember 1989.
gg. “Demitilogisasi Sejarah Indonesia”, jurnal Ulumul Qur‟an, No.7.
7/Vol. 11/1990, hal113115.
54
hh. “Integritas Sains Sosial dengan Nilai-Nilai Islam: Sebuah Upaya
Perintisan”, makalah disampaikan dalam seminar tentang Islam in
ASEAN‟s Institution of Higher Learning II: Islam and Social
Sciences, yang diselenggarakan Universitas Keangsaan Malaysia,
Darul Ehsan, 10-13, November 1990.
ii. “Mitos Politik dlam Historigrafi Tradisional: Kaliwungu dan
Serat Cebolek”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Gerakan Pembaharuan Abad ke-19: Gerakan Rifa‟iyah,
Yogyakarta, 12-13 Desember 1990.
jj. “Serat Cebelok dan Mitos tentang Pembangkangan Islam:
Melacak Asal-Usul Keterangan antara Islam”, Jurnal Ulumul
Qur‟an, No. 5/Vol/1990, hal. 63-72. (semula merupakan makalah
yang yang disampaikan pada Konferensi Sejahrawan Belanda-
Indonesia, Netherland, 23-27 juni 1986).
kk. “Budaya Birokrasi di Indonesia”, Majalah Editor, No. 38?IV/8,
Juni 1991, hal. 33-35.
ll. “Kebudayaan Indonesia Kontemporer”, Harian Singgalang, Senin
4 Februari dan 11 Februari 1991, hal. 4. (semula esai ini adalah
makalah pada Simposium Martabat Manusia Indonesia yang
diselenggarakan oleh Yayasan Soedjatmoko, tanggal 23 Januari
1991 di Jakarta, dalam rangka memperingati Prof. Soedjatmoko.
Esai ini dimuat juga di harian Kompas (28-29 Januari 1991),
55
Media Indonesia (26-29 Januari 1991), dan Pikiran Rakyat (28-29
Januari 1991), tulisan tersebut mendaat tanggapan baik dan kritik
tajam dari Arief Budiman (“Sistem Sosial dan Sistem Budaya”,
Harian Kompas, Rabu 13 Februari 1991).
mm. “Madura for Sale: Coping with Economic
Underdevelopment of A Secondary City”, makalah dibacakan
pada Konferensi tentan Madura yang diselengarakan KITLV di
Leiden, 6-12 Oktoer 1991.
nn. “Mitos, Sastra, ejarah, dan Pewarisan Pengalaman”, Harian
Republika, Sabtu, 29 April 1991.
oo. “Power and Culture: The Abipraya Society of Surakarta in The
Early Twentiets Century”, Makalah disampaikan pada A Conferee
on Modern Indonesia Culture: Asking the Right Question yang
diselenggarakan Asian Studies School of Social Sciences,
Flindeers University, Adelaide, South Australia, 28 September -3
Oktober 1991.
pp. “Sensibilitas Kelas Menengah: Pers Cenderung Mnyetujui
daripada Bersikap Kritis”, Harian Surabaya Post, senin, 15 Juli
1991, hal.4.
qq. “Sumur Ajaib: Dominasi dan Kesadaran Tandingan di Surakarta
Awal Abad XX”, makalah dsampaikan dalam Simposium Ilmu-
56
Ilmu Humaniora di Fakultas Sastra UGM, tanggal 4-5 Maret
1991.
rr. “Islam dan Kebangsaan”, Harian Kompas, selasa, 11 Oktober
1994, hal. 4.
ss. “Masalah Kritik sejarah”, Harian Republika, Kamis, 3 November
1994, hal. 6.
tt. “Kembali ke Fitrah; jangan Seorangpun Menangis”, Harian
Republika, Kamis, 2 Maret 1994.
uu. “Kesadaran Nasional, SI dan ICMI”, Harian Repubika Rabu, 14
Desember 1994, hal. 6.
vv. “Otak-atik, Otak otot, dan Otak-otak”, Harian Republika, Rabu,
16 Agustus 1994, hal. 6.
ww. “Tjokro, Natsir, dan Habibie”, Majalah Ummat, No. 9/I/3,
Oktober 1995, hal. 6.
xx. “Tragedi Moro: Ketidakadilan Berbuah Kekerasan, Kekerasan
Beranak Kekejaman” Harian Repulika, Rabu, 1 April 1995.
yy. “Bagaimana Membaca “Prahara Budaya”?: Budaya, Politik, dan
Teori Perubahan”, Harian Republika, Kamis, 13 april 1995.
zz. “Masalah-masalah Politik dalam Industrialisasi”, Majalah
Ummat, No. 26/I/24, Juni 1996.
57
aaa. “Membawa Tuhan ke dlam Lembaga dan Budget” (Esai Pemilu),
Majalah Ummat, No.20/I/24, Juni 1996.
bbb. “Menjadi Politisi yang Beriman”, Majalah Ummat, No.19/I11,
Maret 1996, Esai Pemilu, hal. 24-25.
ccc. “SOS Wayang Sadar”, Harian Republika, Kamis, 8 Januari, hal.
12.
ddd. “Selamat Tinggal Mitos”, harian Kompas, Kamis, 24 agustus
2000.
eee. “ Radikalisasi Pancasila”, Makalah disampaikan dalam seminar
ilmiah yang digelar oleh Pusat Penelitian Strategi dan Kebijakan
(PPSK) Yogyakarta di gedung Pusat Penelitian Kependudukan
(PPK) UGM, Rabu, 24 Januari 2001.
H. Penghargaan yang Diperoleh Kuntowijoyo
1. Hadih pertama dari majalah Sastra (1968) dan penghargaan Penulisan
Sastra dari Pusat Pembianaan Bahasa (1994) untuk cerpen Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga.
2. Hadiah harapan dari Badan Pembina Teater asional Indonesia (BTNI)
untuk naskah drama Rumput-rumput Danau Bento (1968).
3. Hadiah dari panitia Buku Internasional untuk novel Pasar (1972).
4. Peghargaan Sastra Indonesia dari Pemda DIY (1986) (Kuntowijoyo,
2013: 150).
58
5. Hadiah dari dewan Kesenian Jakarta untuk naskah drama Tidak Ada
Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas (1972), dan Topeng
Kayu (1973).
6. Ecara berturut-turut pada tahun 195, 1996, 1997, cerpen-cerpenya,
yaitu Pistol Perdamaian, Laki-laki yang Kawin dengan Peri, dan
Anjing-anjing Menyerbu Kuburan, ,eraih predikat ebagai cerpen
terbaik Kompas (Kuntowijoyo, 2000: 2073).
7. Penghargaan Kebudayaan ICMI (1995).
8. Asean Award on culture (1998).
9. Mizan Award (1998).
10. Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menteri Riset dan
Teknoogi (1999).
11. SEA Write dari Pemerintah Thailand (1999).
12. Penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat Pebinaan dan Pengembangan
Bahasa (199).
13. Penghargaan dari Majelis Sastera Asia Tenggara untuk buku Mantra
Penjinak Ular (2001). (Kuntowijoyo, 2003)
14. Anugrah kesetiaan berkarya di bidang kepenulisan cerpen dari Harian
Kompas (2002) (Kuntowijoyo, 2013: 150).
59
I. Kuntowijoyo Sebagai Akadmisi
Semasa hidupnya, Kuntowijoyo mengajar di jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya (sebelumnya Fakultas Sastra) Universitas Gadjah
Mada. Sebagai kademisi, ia banyak menghasilkan karya-karya, antara lain:
Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia(1985), Budaya dan
Masyarakat(1987), Paradigma Islam, Intrpretasi untuk Aksi(1991),
Radikalisasi Petani(1994), Demokrasi dan Budayya Brirokrasi(194)
Metododlogi Sejarah(1994),Pengantar Ilmu Sejarah(1995), Identitas
Politik Umat Islam(1997), Muslim Tanpa Majid: Esai-Esai Agama,
Budaya dan Politisi dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (2001),
dan Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas(2002).
J. Kuntowijoyo Sebagai Sastrawan
Sebagai sastrawan Kuntowijoyo cukup produktif. Karya-karyanya
meliputi cerpen, puisi, novel, dan drama. Dalam bidang sastra ini, ia
banyak memperoeh hadiah dan penghargaan, yakni hadiah yang pertama
dari majalah Satra (1968) dan penghargaan Penulisan Sastra dari Pusa
Pembinaan Bahasa(1994) untuk cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga;
hadiah harapan dari Badan Pembina Teater Nasional Indoneisa (BPTNI)
untuk naskah drama Rumput Rumput Danau Bento (1968); hadiah dari
Dewan Kesenian Jakarta unruk naskah drama Tidak ada Waktu Bagi
Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas (1972) dan Topeng Kayu (1973); hadiah
dari panitia Hari BukuInternasional untuk novel Pasar (1972); dan secara
60
berturut-turut pada tahun 1996-1996-1997, cerpen-cerpenya yakni, Pistol
Perdamian, Laki-Laki yang Kawin dengan Peri, dan Aning-Anjing
Menyerbu Kuburan meraih predikat sebagai cerpen terbaik Kompas.
Sejumlah pengargaan lain yang tidak ditunjuk secara khusus pada
karyanya juga pernah dia terima yakni penghaargaaan Sastra Indonesia
dari Pemda DIY (1986); penghargaan Kebudayaan ICMI (1995); Asean
Award on Culture (1997); Satyalancana Kebudayaan RI (1997); Mizan
award 1998); Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Satra dari Menteri
Riset dan Teknologi (1999); SEA Write Award dari Pemerintah Thailan
(1999); dan penghargaan penulisan Sastra dari Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (1999).
Karya-karyanya yang lain adalah Kereta Api yang Berangkat Pagi
Hari (novel, 1966), Pasar (novel, 1972; terbit ulang tahun 1994), Khotbah
di Atas Bukit (novel, 1976; terbit ulang pada tahun 1993), Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpe, 1992), Impian Amerika (novel,
1998), Hampir Sebuah Subversi (Kumpulan cerpen, 1999), Mengusir
Matahari (kumpulan fabel, 1999), Mantra penjinak ular (novel, 2000), dan
Topeng Kayu (naskah drama, 2001). Beliau juga menulis puisi. Adapun
kumpulan puisinya yang telah terbit adalah Isyarat (1976), Suluk Awang
Uwung (1976), dan Daun Makrifat, Makrifat Daun (1995) (Kuntowijoyo,
2002: 677).
61
K. Konteks Pemikiran Kuntowijoyo
Sebagai seorang cendekiawan yang lahir dari struktur kelas priyayi
dengan latar belakang keluarga yang taat beragama dan kompleks
berpengaruh besar dalam membentuk pemikiran Kuntowijoyo. Aktivitas
keagamaan yang mentradisi sejak kecil serta latar belakang keluarganya
yang aktif dalam organisasi Islam seperti Muhammadiyah sedikit banyak
menentukan cara pandangnya (Subhan, 1994: 36).
Selain itu, keterlibatan Kuntowijoyo dalam Leksi banyak memberi
manfaat bagi perkembangan pribadi, intelektualitas, dan keseniannya.
Lebih dari itu juga keakrabannya dalam melahap karya-karya Socrates,
Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Ibn Rusyd, Ibn Sina, Al-Ghazali,
Hamzah Fansuri, Karl Max, Jurgen Habermas, ataupun Muhammad Iqbal
dan Fazlur Rahman juga berpengaruh dalam meperluas wacana
pemikirannya (Subhan, 1994: 30).
Latar belakang yang kompleks, kesederhanaan hidupnya, serta
ketidaklelahannya dalam menyikapi realitas, maka tak mengherankan jika
ada yang menyebutnya sebagai seorang modernis, tradisionalis, reformis,
dan konservatif sekaligus, prinsipnya yang kuat tentang sosok ideal
seorang cendekiawan banyak memberi corak pada cetusan pemikirannya
yang tergambar dalam karya-karya yang telah dihasilkannya. Menurut
Kuntowijoyo, bagi seorang cendekiawan, bukan hanya keterpelajaran dan
kecerdasan yang terwujud dalam titel sarjana hingga profesor yang
diperlukan, tapi lebih dari itu, seorang cendekiawan haruslah sosok yang
62
memiliki kepedulian untuk membangkitkan kesadaran masyarakatnya dan
menjadi motor penggerak bagi perubahan menuju ke arah yang lebih baik
(transformasi). Seorang cendekiawan menurut Kuntowijoyo bukanlah
sosok yang melangit, berjalan di atas mega, atau tinggal di menara gading,
tapi sosok cendekiawan adalah mereka yang tidak tercerabut dari akar-akar
sosialnya, yang menginjakkan kaki di atas bumi dan memiliki kesadaran
akan tanggung jawab sosial untuk ikut serta dalam memusnahkan
kejahatan, memiliki kepedulian terhadap kaum dhu‟afa, orang-orang yang
lemah serta membela kaum mustadh‟afin, tertindas, orang-orang yang
dilemahkan oleh struktur kekuasaan yang dzalim atau dipinggirkan oleh
sistem ekonomi yang tidak adil (Subhan, 1994: 39-41).
Kuntowijoyo terdorong untuk ikut terlibat dalam mencari solusi
atas permasalahan yang menimpa umat Islam Indonesia. Sebagai modal
umat Islam Idonesia dalam menghadapi tantangan dan perubahan sosial di
masa depan, Kuntowujoyo memberikan wejangan yang ia sebut dengan
“agenda baru umat Islam” yait, Pertama, pengembangan penafsiran
struktural melebihi paenafsiran individual ketika memahami ketentuan-
ketentua tertentu didalam Al-Qur‟an. Misal dalam sebuah ayat yang
menyatakan larangan untuk hidup berlebih-lebihan, yang terjadi dalam
penafsiran individual, yang terfokus pada sistem ekonomi dan sistem
sosial, adalah sistem mengutuk terhadap orang yang hidup berfoya-foya,
yang memiliki vila-vila di puncak atau yang memiliki banyak simpanan
deposito di Bank-bank luar Negeri. Dalam penafsiran sosial struktural,
63
maka yang terjadi adalah bahasan tafsir yang lebih substansif dari sekedar
sistem ekonomi dan sistem sosial, yakni sistem kepemilikan sumber
penghasilan atas dasar keserakahan.
Kedua, mengubah cara berfikir subjektif kepada cara berfikir
objektiif dalam memandang Islam, sehingga Islam disuguhkan dengan
citra objektif. Tentang ketentuan zakat misalnya, secara subjektif tujuan
zakat memang diarahkan untuk “pembersihan” harta dan pembersihan
jiwa. Namun secara objektif, tujuan dari zakat adlah mendekatkan
umatIslam dalamkesejahteraan sosial (Kuntowijoyo, 2008: 474).
Ketiga, mengubah Islam yang normatif menjadi Islam yang
teoritis, karena selama ini penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟a hanya berhenti
pada leve normativ dan kurang berfikir untuk mengembangkan norma-
norma itu untuk menjadi kerangka teori ilmu. Konsepsi fuqara‟ dan
masakin hanya selesai pada tataran normativ sebagai orang-orang yang
perlu dikasihani sehingga sedekah, infaq, atau zakat menjad hak mereka
atas kewajiban kita. Namun secara teoritis, namun kita akan mengkaji
norma-norma yang berkembang, kondisi sosial, kondisi ekonomi, dan
kondisi kultural. Dengan begitu yang terjadi adalah fuqara‟ dan masakin
akan terlihat sebagai seseorang yang berada dalam masyarakat yang
berbagi dalam kelas sosial ekonomi.
Keempat, mengubah pemahaman yang a-historis mejadi hiistoris
terhadap kisah-kisah yang ditulisdalam Al-Qur‟an. Misal dalam ayat yang
menyebutkan bahwa bangsa Israel yang tertindas pada zaman Fir‟aun,
64
maka sebtas itulah kita mengetahui kisah dalam Al-Qur‟an denga
pemahaman a-historis. Namun, Kuntowijoyo menawarkan sudut pandang
yang lebih luas bahwasanya seyiap zaman, dispastikan ada sistem sosial,
dan Israel mengalami penindasan pada zaman Fir‟aun merupakan sistem
sosial-ekonomi yang terjadi pada masa itu, bahkan hingga hari ini terjadi
sistem sosial ekonomi yang memungkinkan terjadinya konsentrasi sumber
kapital di tangan segelintir eilte (Kuntowijoyo, 2008: 474-475).
Kelima, perumusan formulasi wahyu yang bersifat general menjadi
formulasi sosial yang bersifat spesifik dan empirik. Sebagai contoh dari
pernyataan yang bersifat umu dan normatif adalah Allah mengecam orang
yang melakukan sirkulasi kekayaan hanya dikalangan orang kaya. Secara
spesifik dan empirik, ayat tersebut berarti bahwa Allah mengecam keras
adanya monopoli dan oligopoli dalam kehidupan ekonomi politik, adanya
penguasaan kekayaan oleh kalangan tertentu di lngkungan elite yang
berkuasa (Munir, 2016: 61-62).
Pengaruh para filosof baik dari barat ataupun timur tak bisa
dipungkiri mewarnai hampir semua ide-ide Kuntowijoyo. Misalnya saja
ketika menjelaskan tentang teori tentang kebenaran serta karakteristik
pembeda antara kebenaran dan kemajuan, Ia menyinggung tentang
Idealismenya Plato, Rasionalismenya Rene Descartes, tokoh Filusuf Islam
Ibnu Sina, dan Pragmatismenya Willian James. Yang paling tampak tentu
saja pemikiran Muhammad Iqbal tentang etika profetik yang mengilhami
pemikirannya tentang Ilmu Sosial Profetik. Kita dapat melihat salah satu
65
karyanya, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, disitu Kuntowijoyo
mengungkapkan bahwa dalam konteks kekhalifahan, kaum cendekiawan
adalah golongan kecil yang harus kreatif, mampu mencandra arah
perjalanan sejarah, mengubahnya, dan menjadi ujung tombaknya. Nabi
Muhammad telah memimpin umat secara berhasil, dan telah mengubah
superstruktur (budaya musyrik, politeisme diubah menjadi budaya-budaya
tauhidi, monoteisme) dan mengubah struktur sosial (mengangkat derajat
wanita dan kaum budak pada kedudukan yang mulia) (Kuntowijoyo, 1994:
113-114).
L. Akhir Hayat Kuntiwijoyo
Kendati menjalani hidup dalam keadaan sakit, semenjak
mengalami serangan virus meningo enchepalitis pada 6 januari 1962,
beliau terus berkarya sampai detik-detik akhir hayatnya. Prof. Dr
Kuntowijoyo, yang akrab dipanggil Pak Kunto ini meniggal duni di
Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, selasa 22 Februari 205 pukul 16.00
akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare dan ginjal.
Jenazahnya disemayamkan di rumah duka Jl Ampel gading 429,
perumahan Condongcatur dan di baliurung Universitas Gadjah Mada
(UGM). Dikebumikan Rabu 23 Februari 2005 di makam keluarga UGM di
Sawitsari, Yogyakarta. Beliau meninggalkan seorang Istri, Drs
Susilaningsih MA yang dinikahi pada 8 November 1969, beserta dua
putra, yakni punang Amaripuja dan Alun Paradipta.
66
Kuntowijoyo adalah seorang yang tekun, pekerja keras, dan
berintegritas tinggi, meskipun dalam kondisi sakit, ia tetap berkarya.
Semoga karya-karya beliau dapat menginspirasi para genenrasi muda.
67
BAB III
DIKOTOMI ILMU, INTEGRASI-INTERKONEKSI ILMU, ISLAMISASI
ILMU, DAN ILMUISASI ISLAM
A. Dikotomi Ilmu
Secara etimologi, istilah dikotomi berasal bahasa Inggris
dichotomy yang berarti pembagian dua bagian, pembelahan dua,
bercabang dua bagian. Sementara, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dikotomi diartikan sebagai pembagian di dua kelompok yang saling
bertentangan. Secara umum, istilah dikotomi ini digunakan untuk
membedakan atau memilah dua hal yang berbeda (Echols, 1992: 180).
Adapun secara istilah atau terminologi, dikotomi dipahami sebagai
pemisahan antara ilmu (umum) dan agama yang kemudian berkembang
menjadi fenomena dikotomik lainnya. Dikotomi adalah pemisahan secara
teliti dan jelas dari suatu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain di
mana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukan ke dalam yang satunya
lagi dan sebaliknya (Nizar, 2008: 230).
Dikotomi merupakan istilah yang digunakan untuk memisahkan
antara karakter ilmu agama dan umum yang seakan digunakan secara
terpisah. Dan, hal ini tidak lepas dari latar belakang historis-kultural, di
mana dalam proses perkembangannya ada pemisahan yang demarkatis
antara kedua domain tersebut (Mustaqim, 2015: 259).
68
Dikotomi ilmu dalam Islam dimulai dengan kemunculan
penafsiran dalam ajaran Islam bahwa Tuhan pemilik tunggal ilmu
pengetahuan (maha „alim). Ilmu pengetahuan yang diberikan pada
manusia hanya merupakan bagian tekecil dari ilmu-Nya, namun manusia
diberi kebebasan untuk meraih sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu,
sangatlah tidak pantas jika ada manusia yang bersifat sombong dalam
masalah imu atau memiliki kecongkakan intelektual. Keyakinan ini yang
pada puncaknya melahirkan perdebatan dikoomi ilmu dalam pemikiran
Islam, yaitu pertentangan dikotomi ilmu dengan istilah kelompok ilmu
“antroposentris” dihadapkan dengan kelompok ilmu “teosentris”.
Selain itu dikotomi ilmu , menurut Ayumardi Azra, bermula dari
historical accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu ketika imu-ilmu umum
yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio dan logika mendapat
serangan yang hebat dari kaum fuqaha.
Dunia Islam kemudian mengembangkan “ideologi ilmiah” dengan
menempatkan seluruh khazanah pemikiran Barat dan Yunani sebagai
kebatilan. Jarang ilmuan muslim berpikiran bahwa dalam beberapa hal,
dikotomi ilmu mempunyai sisi baik. Inti dari persoalan keberatan atau
tidak setuju keberadaan dikotomi ilmu semacam itu lebih banyak
berkaitan dengan persoalan politik.
Faktor lain yang mencolok, penyebab kemunculan dikotomi ilmu
adalah fanatisme dalam beragama. Sikap fanatisme dalam beragama dalam
69
kehiduan bermasyarakat meahirkan sikap ekslusivisme. Gerakan Islam
termasuk dalam kategori gerakan ekslusif tersebut.
Eklusif dalam arti kemunculan pemikiran bahwa kebenaran dan
keselamatan hanya ada pada agamanya semata, agama orang lain
semuanya salah dan penganutnya tidak akan mendapat keselamatan.
Agama orang lain sama sekalai berbeda dan tidak mempunyai kesamaan
sedikitpun, sehinngga tidak perlu ada dialog karena tidak akan mencapai
ttik temu. Mereka hanya bergaul dengan kelompoknya dan mengisolasi
diri dari yang lain, menolak untuk berdialog dan bekerja sama untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan, dan terkadang menggunakan
kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan dengan luar agamanya.
Akibatnya, pemikiran Islam tidak berkembang dan terisolasi dari
perubahan maupun perkembangan kemajuan zaman (Muliawan, 2005:
203).
Dalam konteks pendidikan Islam, dikotomi lebih dipahami sebagai
dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan
pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu
pengetahuan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam
akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan
peradaban Islam yang kaffah dan universal (Mustaqim, 2015: 260).
Proses pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari proses
masuknya Islam di Indonesia. Meskipun ada beberapa versi tentang kapan
70
masuknya Islam di Indonesia, namun dapat dipahami bahwa masuknya
Islam tidak bisa lepas dari para penyebar Islam dan perdagangan.
Sehingga, akulturasi budaya dan agama menjadi berjalin kelindan di antara
keduanya. Dan, pendidikan Islam dalam konteks ini sangat dipengaruhi
oleh kondisi sosial budaya masyarakat yang ada pada saat itu.
Pesantren dalam hal ini merupakan manifestasi pendidikan Islam
awal di Indonesia. Keberadaan pesantren sejalan dengan dinamika
pendidikan Islam di Nusantara. Mengenai awal kemunculan pesantren ini,
ada beberapa pandangan. Abdurrahman Mas‟ud, misalnya, memandang
bahwa keberadaan pesantren tidak lepas dari peran Walisongo, figur
penyebar agama Islam di Jawa (Mas‟ud dkk, 2002: 4).
Dari catatan sejarah, lembaga pendidikan pesantren tertua adalah
Pesantren Tegalsari di Ponorogo, yang didirikan pada tahun 1724. Namun,
sekitar seabad kemudian, yakni melalui survey Belanda pada tahun 1819,
tampak sekali bahwa pesantren tumbuh dan berkembang secara sangat
pesat, terutama di seluruh pelosok pulau Jawa. Survey itu melaporkan
bahwa lembaga pendidikan pesantren sudah terdapat di Priangan,
Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo. Islamis
asal Belanda, Martin van Bruinessen, yakin bahwa sebelum abad ke-18
atau sebelum berdirinya Pesantren Karang, belum ada lembaga yang layak
disebut pesantren. Yang ada hanyalah tempat pengajaran perorangan atau
tidak terstruktur.
71
Selanjutnya, pada awal abad ke-20 M, pendidikan di Indonesia
terpecah menjadi dua golongan. Pertama, pendidikan yang diberikan oleh
sekolah-sekolah Barat (Hindia Belanda) yang sekuler yang tidak mengenal
ajaran agama. Kedua, pendidikan pondok pesantren yang hanya mengenal
pendidikan agama saja. Dengan istilah lain, terdapat dua corak pendidikan,
yaitu corak lama yang berpusat di pondok pesantren dan corak baru dari
perguruan (sekolah-sekolah) yang didirikan oleh pemerintah Belanda
(Muhaimin, 2004: 70).
Hal ini kemudian berimbas pada kemunculan dikotomi
kelembagaan dalam pendidikan Islam. Akibatnya, muncul pula istilah
sekolah-sekolah agama dan sekolah-sekolah umum. Dengan kata lain,
sekolah agama berbasis ilmu-ilmu “agama” dan sekolah umum berbasis
ilmu-ilmu “umum”.
Kemunculan dikotomi sekolah umum pada satu sisi dan sekolah
madrasah yang merupakan perwakilan sekolah agama pada sisi lain
merupakan wujud kongkret dikotomi dalam pendidikan Islam. Hal ini
diperparah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga
menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, dan Menteri Agama pada tahun 1975 yang mempersamakan
kedudukan sekolah umum dengan madrasah yang statunya masih sebagai
sekolah agama (Mustaqim, 2015: 264).
72
B. Integrasi-Interkoneksi Ilmu
Secara bahasa integrasi berasal dari kata integrated yang memiliki
arti pertama keseluruhan atau utuh, yang kedua berarti bersatunya antar
bagian menjadi satu, yang ketiga berarti menghilangkan hambatan.
Sedangkan interkoneksi berasal dari kata interconnection yang berarti
menghubungkan yang satu dengan yang lain. Dengan demikian penyatuan
dan keterhubungan dalam hal ini adalah sains dengan agama. Amin
Abdullah mengibaratkan integrasi-interkoneksi seperti halnya mata uang
yang memiliki dua bagian yang tidak bisa dipisahkan (Annur, 2017: 14).
Integrasi-interkoneksi merupakan dua kata yang berbeda, tapi
mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu menggabungkan dan
mengkaitkan dua persoalan yang dianggap terpisah. Dalam hal ini,
mengkaji atau mempelajari tentang satu bidang tertentu dengan tetap
melihat bidang keilmuan lainnya itulah integrasi; sedangkan melihat
kesaling-terkaitan dengan berbagai disiplin keilmuan adalah yang
dimaksud dengan interkoneksi. Kata integrasi-interkoneksi akhir-akhir ini
menjadi trend baru bagi civitas akademika dalam mengembangkan disiplin
keilmuan baik di tingkat pendidikan dasar maupun ditingkat perguruan
tinggi. Kata integrasi di dalam kamus ilmiah populer mempunyai makna
“penyatuan”, “penggabungan”, dan “penyatuan menjadi satu kesatuan
yang utuh” (Abdullah, 2006: viii) Jadi, pada hakikatnya paradigma
integrasi-interkoneksi ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang
keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang
73
yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan itu adalah realitas alam
semesta yang sama. Hanya saja, dimensi dan fokus yang dilihat oleh
masing-masing disiplin keilmuan berbeda.
Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah
dapat memperluas cakrawala keyakinan religius (teologi) dan bahwa
perspektif keyakinan religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang
alam semesta (kosmologi) (Haught, 2004: 19). Selanjutnya, jika ditelisik
lebih jauh, gagasan integrasi ilmu pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan umum sebenarnya bukan merupakan fenomena baru dalam
khazanah epistimologi keilmuan Islam, pada asasnya Islam tidak
mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal itu dapat dilihat
dari sabda Nabi Muhammad saw., “Menuntut ilmu pengetahuan wajib
bagi setiap muslim” Kata ilmu yang tertera di dalam hadis tersebut tidak
secara spesifik merujuk ilmu apa yang wajib dipelajari: apakah ilmu
agama (islamic studies) ataukah ilmu-ilmu umum (modern science). Hal
ini mengindikasikan bahwa Islam sebagai asas normatif-inklusif
memberikan kebebasan kepada umat Islam dalam mempelajari ilmu
pengetahuan dengan tidak memandang atau memilah-memilih terhadap
bidang keilmuan, baik ilmu yang berasal dari Islam (Al-Qur‟an dan hadis)
maupun ilmu yang berasal dari Barat (sekuler) Oleh sebab itu, gagasan
integrasi-interkoneksi tidak menjadi persoalan dan tidak pula
diperdebatkan ke permukaan karena semua itu merupakan ilmu yang
berasal dari Allah swt.
74
Secara epistemologis, paradigma integrasi-interkoneksi merupakan
jawaban atau respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama
ini. Kesulitan yang diwariskan dan diteruskan selama berabad-abad dalam
peradaban Islam tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan
pendidikan agama. Kedua disiplin ilmu ini berjalan sendiri-sendiri tanpa
perlu saling tegur sapa. Setelah adanya paradigma integrasi-interkoneksi
yang dilakukan dalam domain internal ilmu-ilmu keislaman, dan juga
dalam disiplin keilmuan ilmu-ilmu umum, masing-masing rumpun ilmu
menyadari keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada dirinya dan oleh
karena itu keduanya bersedia untuk berdialog dan bekerjasama satu sama
lain untuk melengkapi kekurangan masing-masing (Abdullah, 2006: 94).
Dr. M. Quraish Shihab mengatakan, membahas hubungan Alquran
dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang
ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan
menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya
diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan
kesucian al-Quran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu
sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam Alquran terdapat ilmu
matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll, tetapi yang lebih
utama adalah melihat adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi kemajuan
ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Alquran yang
bertentangan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan (Shihab, 1992: 41).
75
Kuntowijoyo mengatakan bahwa al-Quran sesungguhnya
menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara
berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan paradigma Alquran,
paradigma Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu
pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma Alquran jelas akan
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Kegiatan itu mungkin menjadi
pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa
premis-premis normatif Alquran dapat dirumuskan menjadi teori-teori
empiris dan rasional. Struktur transendental Alquran adalah sebuah ide
normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis.
Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan
empiris dan rasional yang orisinal, dalam arti sesuai dengan kebutuhan
pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya
pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk
kemaslahatan umat Islam (Kuntowijoyo, 2006: 25-26).
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha untuk
menjadikan sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan
umum. Muara dari pendekatan integratif-interkonektif menjadikan
keilmuan mengalami proses obyektivikasi dimana keilmuan tersebut
dirasakan oleh orang non-Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya),
tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang
mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan
76
keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi
semua orang (Kuntowijoyo, 2006: 62).
C. Islamisasi Ilmu
Gagasan Islamisasi ilmu sebenarnya bukanlah konsep baru tetapi
konsep lama yang kembali diaktualkan, mungkin hanya beda istilah saja.
Namun, ketika umat Islam berada pada posisi kemunduran dan ingin
bangun dari kemunduran gagasan Islamisasi ilmu dianggap baru, tepat dan
membumi. Karena itu, tidaklah mengherankan gagasan Islamisasi
disambut positif oleh kalangan dunia Islam dan para ilmuannya. Ada
sejumlah tokoh yang telah berbicara tentang Islamisasi ilmu, yaitu:
1. Al-Farabi, lahir di Turki di daerah Farab, dalam Filsafat Islam disebut
guru kedua, maksudnya Aristoteles disebut guru pertama, al-Farabi
guru kedua. Ia terkenal penganut filsafat emanasi yang diadopsi dari
filsafat emanasi Aristoteles. Karya-karyanya yang terkenal di
antaranya yaitu Ihsha‟ Al-Ulum (klasifikasi ilmu). Seperti yang
dijelaskan oleh Osman Bakar, klasifikasi ilmu menurut Al-Farabi yaitu
ilmu religious; tafsir, hadis, ushul fikih. Psikologi, ilmu kebahasaan
dan logika, ilmu-ilmu filosofis; matematika, ilmu alam, metafisika,
ilmu politik, yurispurdensi dan teologi.3 Klasifikasi ilmu ini pada
dasarnya merupakan kerangka berpikir untuk Islamisasi ilmu. Karena
pada waktu itu terdapat kebuntuan di kalangan ilmuan Islam mengenai
dikotomi antara ilmu dan agama (Islam). Sebagai solusinya maka Al-
Farabi menciptakan klasifikasi ilmu.
77
2. Al-Ghazali, (1058-1111 M) gelar hujjatul Islam, filosof, fuqaha, teolog
dan sufi, lahir di Thus, sekarang masuk wilayah Khurasan. Karya-
karyanya yang terkenal di antaranya Ihya Ulumuddin, al-Munkiz min
ad-dalal (penyelamat dari kesesatan), dan Tahafut al-Falasifah
(kerancuan filsafat). Para pencari ilmu menurutnya dibagi empat. 1)
Para teolog. 2) Filosof. 3) Taklimiyah dan 4) Sufi. Sedangkan
klasifkasi ilmu menurutnya dibagi dua. Pertama, ilmu syar‟iyah
(naqliyah) dan kedua ghairi syar‟iyah (aqliyah). Pembagian ini sering
juga disebut ilmu teoritis dan praktis.
3. Syed Muhammad An-Naquib Al-Attas. Lahir di Bogor pada tahun
1931, ibunya berasal dari Sunda dan ayahnya dari Johor, Malaysia. Ia
dikenal seorang militer, pendidik, intelektual muslim, ahli dalam
bidang filsafat dan tasawuf. Mengutip Arqom Kuswanjono Al-Attas
adalah tokoh Islamisasi ilmu dan ia yang pertama kali
memperkenalkan pentingnya Islamisasi ilmu pada World Confrence on
Islamic Education (Konfrensi Internasional tentang pendidikan Islam),
di Mekkah tahun 1977 dan di Islamabad, Pakistan tahun 1980 dan
kemudian gagasan ini dikembangkan dan dipopulerkan oleh Ismai
Rajiq Al-Faruqi.6 Gagasan inilah yang melambungkan nama Al-Attas
dipanggung pemikiran pendidikan Islam internasional, seorang
keturunan Indonesia yang mendunia.
4. Ismail Rajiq al-Faruqi. Lahir di daerah Jaffa, Palestina tahun 1921.
Pemikiran Islamisasi ilmu yang dikembangkan oleh Al-Faruqi diilhami
78
oleh pemikiran Naquib Al-Attas, salah satu karya terbesarnya ialah
Islamization of Knowledge; General Principles and Workplan. Buku
ini merupakan salah satu rujukan tentang pentingnya Islamisasi ilmu
pengetahuan di dunia Islam terutama pada era tahun 1980-an. Karena
itu, tidaklah heran dalam pandangan M. Dawam Rahardjo tokoh utama
Islamisasi ilmu adalah Ismail Rajiq Al-Faruqi, orang Malaysia
menyebut ide itu “dicuri “oleh Ismail Rajiq Al-Faruqi lalu
dipopulerkannya (Daulai, 2013: 71-74).
Secara historis, ide atau gagasan Islamisasi Ilmu pengetahuan
muncul pada saat diselenggarakan Konferensi Dunia Pertama tentang
Pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai
oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah
yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan
rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan
Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu
gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut Islamisasi Ilmu
pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad
Naquib al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “Preliminary Thoughts
on the Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of Education
dan Ismail R. al-Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing Social Science.”
(Thoib, 2013: 67)
Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas, yaitu Pembebasan
manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang
79
bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekuler terhadap
pemikiran. Untuk melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut,
menurut al-Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan.
Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-
konsep kunci yang membentuk kebudayaandan peradaban Barat, dan
kedua, memasukan elemen-elemen Islam dan konsepkonsepkunci ke
dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan (Daud,
1998: 336).
Menurut Al-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan berarti melakukan
aktifitas keilmuan seperti eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan
penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai world view Islam
(pandangan dunia Islam) dan menetapkan nilai-nilainya. Dengan
demikian, islamisasi ilmu pengetahuan dapat diartikan dengan
mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan
membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan
memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam.
Menuangkan kembali ilmu pengetahuan sebagaimana dikehendaki Islam,
yaitu memberi definisi baru, mengatur data, mengevaluasi kembali
kesimpulan dan memproyeksikan kembali tujuan-tujuannya (Zuhdiyah,
2016: 9).
Islamisasi ilmu pengetahuan ini memiliki banyak arti penting bagi
kaum muslimin. Pertama, kepentingan akidah. Islam adalah agama tauhid
yang menekankan kepada keesaan allah. Islam semata-mata karena allah,
80
iradah, kalimah, perintah dan larangan-nya, dan sunah dan aturan-nya di
alam dunia dan kehidupan ini. tidak ada perubahan dan pertentangan di
dalam sunah-nya. hal ini tentunya menuntut adanya pengetahuan terhadap
sunah-nya itu berikut dengan segala rahasia, susunan dan rinciannya.
Pengetahuan terhadap sunah-nya yang terdapat di alam semesta dan
kehidupan ini bertujuan untuk menunjang manusia dalam mencapai
kemajuan, kesenangan dan kebahagiaan di bawah sinar keimanan. Iman
menjadi pendorong utama bagi manusia dalam melakukan pengamatan
dan penyelidikan terhadap berbagai fenomena alam, baik itu yang tertulis
di dalam kitab suci, alam semesta, ataupun dalam diri manusia.
Kedua adalah kepentingan kemanusiaan. kepentingan kemanusiaan
dari agenda Islamisasi ilmu berkaitan erat dengan kepentingan akidah.
apabila akidah itu bertujuan untuk membina manusia yang beriman,
berpikir, seimbang dan bahagia, maka aktivitas keilmuwan yang
dikendalikan oleh pandangan iman itu akan mampu membantu
mewujudkan tujuan tersebut. hal ini tidak dapat dimengerti dengan jelas
kecuali dengan cara mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa dan
malapetaka besar yang melanda umat manusia akibat penggunaan hasil
temuan ilmu pengetahuan yang tidak dikendalikan oleh moral agama
seperti kasus bom nagasaki dan Hiroshima dan korban perang dunia
pertama dan kedua. Penyingkiran moral agama dalam kehidupan manusia
kontemporer saat ini menimbulkan banyak persoalan seperti kekecewaan,
kebimbangan, penderitaan batin dan berbagai persoalan sosial lainya,
81
walaupun mereka berhasil dari segi prestasi intelektual dan kemajuan fisik.
Dapat ditegaskan bahwa “aktivitas keilmuwan yang berlawanan dengan
tuntunan iman, akan mengarah pada mengikuti godaan kekuatan dan
kekuasaan, mengikuti seruan untuk lebih mendahulukan ras, negara, dan
sekte.”
Ketiga adalah kepentingan keilmuwan dan peradaban. Meniru
peradaban lain, terutama Barat, dan mengimpornya tidak akan
membangun suatu peradaban dan merehabilitasinya dari kehancuran dan
kerusakan. suatu peradaban itu dibangun oleh ilmu pengetahuan yang
memiliki kaitan yang sangat erat dengan pandangan dunia, kepercayaan
dan nilai-nilai yang dimiliki oleh peradaban tersebut. Walaupun sekarang
ini diakui bahwa peradaban Barat memiliki prestasi yang cukup berarti
dalam bidang pembangunan fisik, sains dan teknologi, namun peradaban
ini sedang mengalami krisis yang akut dalam bidang pemikiran (dan
falsafah), spiritual dan moral. Mengikuti langkah Barat, berarti kaum
muslimin akan menuju krisis yang serupa. sebagaimana dikatakan oleh
S.H. Nasr, “peradaban modern yang berkembang di Barat sejak zaman
renaissance adalah sebuah eksperimen yang telah mengalami kegagalan
sedemikian parahnya sehingga ummat manusia menjadi ragu apakah
mereka dapat menemukan cara-cara lain di masa yang akan dating”
(Fauzi, 2017: 10-11).
82
D. Ilmuisasi Islam
Gencarnya wacana islamisasi ilmu pengetahuan ternyata tidak
semudah yang dibayangkan. Faktanya, terjadi pro dan kontra dalam kubu
internal ilmuwan muslim. Diantara tokoh yang mendukung terhadap
proyek islamisasi ini antara lain adalah Seyyed Hossein Nasr (1933),
Ziauddin Sardar (1951) dan beberapa tokoh lain yang menolak adanya
westernisasi ilmu (Hossein Nasr, 1998). Sedangkan pihak yang menentang
terhadap gagasan islamisasi ini yaitu beberapa pemikir muslim
kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul
Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak akan
tetapi juga mengkritik gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. (Armas,
2007: 18).
Kritik yang dilontarkan pihak kontra cenderung mengarah pada
aspek metodologi dalam merealisasikan islamisasi itu sendiri, karena
langkah-langkah yang digagas oleh beberapa ilmuwan dinilai kurang
“ampuh” untuk mewujudkan islamisasi ilmu pengetahuan, bahkan
sebagian menganggap itu semua sebagai langkah yang sia-sia. Sementara
pihak pro menilai adanya perbedaan mencolok antara epistemologi Islam
dan barat dalam memproduksi ilmu pengetahuan, sehingga islamisasi
harus dilakukan untuk menangkal dampak dari pemikiran barat tersebut.
Mereka yang menolak Islamisasi ilmu berargumen bahwa ilmu
pengetahuan bersifat obyektif, dan karenanya selalu netral, seperti dalam
konsep netralitas etik. Gugatan dari kelompok yang menolak Islamisasi
83
Ilmu itu menyodorkan persoalan seperti bagaimana memberi label
matematika yang Islam. Adakah perbedaan arkeologi Islam dan arkeologi
non-Islam? (Suprayogo, 2005: 214). Pertanyaan-pertanyaan problematik
seperti ini tampaknya menjadi landasan kritik terhadap gagasan
“Islamisasi Pengetahuan”. Menyikapi hal ini, Fazlur Rahman berpendapat
bahwa pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di
dalam ilmu pengetahuan, masalahnya hanya dalam menyalahgunakan.
Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas, seperti
“Pisau bermata dua” yang harus digunakan dengan penuh kehati-hatian
dan bertanggungjawab, sekaligus sangat penting menggunakannya secara
benar ketika memperolehnya (Thoib, 2013: 81-82).
Tapi beberapa kritikan yang dilontarkan oleh para cendekiawan di
atas pun tidak kurang reaksioner serta emosional dengan para pendulu
proyek Islamisasi, namun sayangnya para pengkritik ini gagal meletakkan
landasan serta gagasan yang tandas sebagai jalan lain untuk mengeluarkan
dari dilema Islamisasi Ilmu, dan pada sisi lain hegemoni peradaban Barat.
Adalah Kuntowijoyo yang merampungkan payung epistemologis untuk
keluar dari ekslusivisme baju Islamisasi Ilmu. Di pengantar bukunya,
secara tegas Kuntowijoyo mengatakan, “gerakan intelektual Islam harus
melangkah ke arah Pengilmuan Islam. Kita harus meninggalkan Islamisasi
Pengetahuan” (Kuntowijoyo, 2006: 1). Permasalahan dari Islamisasi
Pengetahuan bagi Kuntowijoyo adalah bagaimana kedudukan pengetahuan
dalam Islam, bukankah pengetahuan adalah kebudayaan dan kebudayaan
84
adalah muamalah. Karena mua‟malah maka rumusannya adalah
“Semuanya boleh kecuali yang dilarang”. Jika pengetahuan sudah sangat
egoistik (secara berlebihan) mengklaim kebenaran maka statusnya tidak
lagi sebagai muamalah. Kuntowijoyo menyanggah gagasan Islamisasi
Ilmu pengetahuan lantaran mengingkari objektivasi ilmu. Menurutnya,
ilmu pengetahuan yang benar-benar objektif tidak perlu diislamkan sebab
Islam mengakui objektivitas. Suatu teknologi, akan tetap sama saja di
tangan orang Islam ataupun non-Islam. Asumsi inilah yang mendasari
Kuntowijoyo untuk lebih memilih konsep Pengilmuan Islam daripada
Islamisasi Ilmu (Thoib, 2013: 84).
Islam mengakui objektivitas, maka ilmu yang benar-benar objektif
tidak perlu diislamkan, suatu teknologi akan sama ditangan orang Islam
atau orang kafir. Metode dimanapun sama, apakah itu metode survey,
metode partisipan, atau metode grounded dapat dipakai dengan aman
tanpa resiko bertentangan dengan keimanan. Maka tidak perlu ada
kekhawatiran pada ilmu-ilmu yang benar-benar objektif dan sejati. Untuk
ilmu yang benar-benar objektif kiranya sangat bergantung pada niat
individu, maka niat individu itu yang memerlukan Islamisasi bukan
ilmunya.
Contoh konkret dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah
Ekonomi Syariah yang prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu
Tuhan. Islam menyediakan etika dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi
hasil (al-Mudharabah) dan kerja sama (al-Musyarakah). Di sini Islam
85
mengalami objektivitas dimana etika agama menjadi ilmu yang
bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim,
bahkan arti agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang
integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik dituntut
dapat memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti: psikologi,
sosiologi, antropologi, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan
internasional, hukum dan peradilan dan seterusnya (Shihab, 1992: 105).
Secara harfiah, frasa “Pengilmuan Islam” berarti menjadikan Islam
sebagai ilmu. Dengan “Pengilmuan Islam”, yang ingin ditujunya adalah
aspek universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta bukan
hanya bagi pribadi-pribadi atau masyarakat Muslim, tapi semua orang;
bahkan setiap makhluk di alam semesta ini. “Rahmat bagi alam semesta”
adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya
untuk Muslim tapi untuk semuanya. Tugas Muslim adalah
mewujudkannya; pengilmuan Islam.
Pengilmuan Islam dicoba dipahami dengan membandingkannya
dengan Islam sebagai mitos dan ideologi. Untuk lebih jauh memahami ini
dalam konteks yang lebih luas, kita bisa melihat alternatif lain bagi
gerakan Pengilmuan Islam. Dalam konteks yang berbeda, Kuntowijoyo
membandingkan pengilmuan Islam dengan kodifikasi Islam dan Islamisasi
Ilmu (Kuntowijoyo, 2006: 6-11). Pengilmuan Islam (yang dalam konteks
ini disebutnya sebagai demistifikasi Islam) adalah gerakan dari teks
(wahyu) ke konteks (realitas social);, Islamisasi adalah sebaliknya, dari
86
konteks ke teks; sementara kodifikasi berkutat di sekitar eksplorasi teks,
nyaris tanpa memperhatikan konteks. Ketiga gerakan ini adalah ragam
perwujudan dari keinginan untuk kembali kepada teks (al-Qur‟an dan
Sunnah). Islamisasi Ilmu, menurutnya, lebih bersikap reaktif, yaitu reaksi
terhadap bangunan keilmuan yang sudah wujud, yang dipandang tak
sesuai dengan nilai-nilai Islam, dan ingin dikembalikan kepada Islam yang
lebih dipahami sebagai teks (Kuntowijoyo, 2006: 8).
Konsep pengilmuan Islam pada dasarnya adalah bagaimana
membangun ilmu yang (sudah) ada dalam teks ajaran Islam. Jika
Islamisasi itu arusnya dari konteks ke teks, maka pengilmuan Islam ini
sebaliknya, dari teks ke konteks. Al-Qur‟an dan Sunnah yang bersifat
universal dan kaffah ini mengisyaratkan adanya bangunan teori-teori yang
dibutuhkan umat manusia. Bangunan teori atau grand theory ini nantinya
bisa dikembangkan menjadi sebuah ilmu yang relevan dengan realitas
yang ada. Di sinilah kemudian dibutuhkan apa yang oleh Kuntowijoyo
disebut perumusan teori dengan paradigma Al-Qur‟an (Mustaqim, 2015:
266-267).
Di atas semua itu, untuk menemukan momentum yang relevan
akan konsep pengilmuan Islam ini adalah memahami apa yang oleh
Kuntowijoyo disebut periodisasi. Periode yang dimaksud di sini adalah
periodisasi sistem pengetahuan masyarakat Muslim. Periodisasi penting
untuk memahami apa yang akan dikerjakan pada suatu periode tertentu.
Keputusan baik yang diambil di suatu periode belum tentu akan
87
bermanfaat di periode yang lain. Dalam periodisasi ini, umat Islam
bergerak dari periode pemahaman Islam sebagai mitos, lalu sebagai
ideologi, dan terakhir sebagai ilmu (Kuntowijoyo, 2006: 77).
Kuntowijoyo memaknai periode mitos sebagai cara berpikir
pralogis (mistik), pergerakan politik yang berlokasi di desa, bersifat lokal,
latar belakang ekonomi agraris, masyarakat petani, dan kepemimpinan
karismatik. Periodisasi yang sesungguhnya dibangun pada sejarah
masyarakat Nusantara ini, pada periode awal ditandai dengan berbagai
mitos akan kepemimpinan karismatik. Kuntowijoyo menyebut sampai
pada abad ke-20, masyarakat Indonesia masih masuk pada periode ini.
Pemberontakan Jawa pada tahun 1888 di Banten adalah akhir dari periode
ini.
Periode berikutnya adalah ideologi. Islam sebagai ideologi sudah
bersifat lebih rasional, tetapi masih terlalu apriori. Di sini Islam
ditampilkan sebagai ideologi tandingan bagi ideologi-ideologi dunia
seperti kapitalisme dan komunisme. Dalam bidang politik, ciri utama
gerakan ini adalah berdirinya organisasi-organisasi politik, dan ditandai
dengan gagasan pembentukan negara Islam. Kelahiran Sarekat Islam (SI)
pada tahun 1911 adalah penanda periode ideologi ini. Periode ini
menandai cara berpikir masyarakat yang sudah rasional, meskipun masih
apriori tentang nilai-niliai abstrak, lokasi di kota, perkumpulan bersifat
nasional, ekonomi komersial dan industri kecil, masyarakat pedagang dan
kepemimpinan intelektual.
88
Jika pada periode pertama gerakan masih bersifat
“pemberontakan”, maka pada periode ini berbentuk pengerahan massa
untuk tujuan damai. Misalnya dengan rapat, aksi solidaritas, pemogokan,
resolusi, penerbitan, gerakan ekonomi, dan gerakan kebudayaan. Menurut
Kuntowijoyo, periode ini berakhir sampai pada era 1985 ketika diadakan
perubahan dalam orsospol (organisasi sosial politik) di Indonesia oleh
Orde Baru.
Dan, periode yang terakhir adalah periode ilmu. Dalam periode
ilmu, yang diperlukan adalah objektivikasi Islam. Objektivikasi bermula
dari internalisasi nilai, tidak dari subjektivikasi kondisi objektif. Di sini
objektivikasi menerjemahkan nilai-nilai internal ke dalam kategori-
kategori objektif. Jadi, objektivikasi merupakan perilaku yang wajar dan
alamiah. Suatu perbuatan dikatakan objektif bila perbuatan tersebut
dirasakan oleh orang lain (non-Muslim) sebagai sesuatu yang natular
(sewajarnya), tidak sebagai perilaku keagamaan. Di sinilah objektivikasi
ini akan menghindarkan diri dari dua hal, sekuralisasi dan dominasi
(Mustaqim, 2015: 267-268).
E. Perbedaan Integrasi-interkoneksi Ilmu, Islamisasi Ilmu, Dan
Ilmuisasi Islam
Sebelum penulis membahas lebih dalam tentang perbedaan antara
Integrasi-Interkonkesi ilmu, Islamisasi ilmu, dan Ilmuisasi Islam, alangkah
baiknya jika penulis memaparkan pengertian secara singkat antara ketiga
89
istilah diatas. Sehingga tidak akan menimbulkan kerancauan dalam
pemahaman tentang perbedaan antara ketiganya.
Integrasi-interkoneksi merupakan dua kata yang berbeda, tapi
mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu menggabungkan dan
mengkaitkan dua persoalan yang dianggap terpisah (al-Barry, 1994: 264).
Dalam hal ini, mengkaji atau mempelajari tentang satu bidang tertentu
dengan tetap melihat bidang keilmuan lainnya itulah integrasi; sedangkan
melihat kesaling-terkaitan dengan berbagai disiplin keilmuan adalah yang
dimaksud dengan interkoneksi. Kata integrasi-interkoneksi akhir-akhir ini
menjadi trend baru bagi civitas akademika dalam mengembangkan disiplin
keilmuan baik di tingkat pendidikan dasar maupun ditingkat perguruan
tinggi. Kata integrasi di dalam kamus ilmiah populer mempunyai makna
“penyatuan”, “penggabungan”, dan “penyatuan menjadi satu kesatuan
yang utuh” (Abdullah, 2006: viii) Jadi, pada hakikatnya paradigma
integrasi-interkoneksi ingin menunjukkan bahwa antar berbagai bidang
keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang
yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan itu adalah realitas alam
semesta yang sama. Hanya saja, dimensi dan fokus yang dilihat oleh
masing-masing disiplin keilmuan berbeda.
Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas, yaitu Pembebasan
manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang
bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekuler terhadap
pemikiran (Daud, 1998: 336). Sedangkan Menurut Al-Faruqi Islamisasi
90
ilmu pengetahuan berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti eliminasi,
perubahan, penafsiran kembali dan penyesuaian terhadap komponen-
komponennya sebagai world view Islam (pandangan dunia Islam) dan
menetapkan nilai-nilainya (Zuhdiyah, 2016: 9). Islamisasi Ilmu berusaha
supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar
dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid
(Kuntowijoyo, 2006: 7).
Secara harfiah, frasa “Pengilmuan Islam” berarti menjadikan Islam
sebagai ilmu. Dengan “Pengilmuan Islam”, yang ingin ditujunya adalah
aspek universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta bukan
hanya bagi pribadi-pribadi atau masyarakat Muslim, tapi semua orang;
bahkan setiap makhluk di alam semesta ini. “Rahmat bagi alam semesta”
adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu dijanjikan bukan hanya
untuk Muslim tapi untuk semuanya. Tugas Muslim adalah
mewujudkannya; pengilmuan Islam.
Dari pengertian integrasi-interkoneksi ilmu, Islamisasi ilmu, dan
ilmuisasi Islam di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan perbedaan
dari ketiganya sebagai berikut: Integrasi-iterkoneksi ilmu mengambil ilmu
pengetahuan umum (sains) dan ilmu agama sebagai objeknya. Integrase
mengakaji ilmu pengetahuan umum (sains) tetapi dengan tetap melihat
ilmu agama, begitupun sebaliknya. Interkoneksi mengkaji saling
keterkaitan anatara ilmu pengetahuan umum (sains) dengan ilmu agama,
sehinga intgrasi-interkoneksi berusaha mengkaji kedua bidang ilmu
91
tersebut dengan mencari kesinambungan dan keterkaitan antara kedua
bidang ilmu tersebut, sehingga keduanya saling menyapa dan berjalan
saling beriringan.
Islamisasi ilmu berusaha mengembalikan ilmu (konteks) ke teks
(al-Qur‟an dan al-Hadis), dengan kata lain konteks ke teks. Artinya
islamisasi ilmu berusaha mengembalikan ilmu pengetahuan kepada
pusatnya yaitu tauhid, serta membebaskan manusia dari belenggu paham
sekular. Paham sekular yang berarti menganggap manusia sebagai pusat
ilmu dan kebenaran dengan mengganntikan kedudukan wahyu Tuhan
sebagai petunjuk kehidupan manusia. Namun timbulah pertanyaan, apakah
ilmunya Al-Kwarizm yaitu algoritma, ilmunya Al-bantani yaitu
trigonometri, dan ilmunya Ibnu Sina yaitu kedokteran, bisa di Islamkan?
Tentu jawaanya tidak. Maka dari itu, Islamisasi ilmu mengalami stagnasi.
Ilmuisasi Islam merupakan kebalikan dari Islamisasi ilmu,
Islamisasi ilmu bergerak dari konteks ke teks, sedangkan Ilmuisasi Islam
berangkat dari teks ke konteks yang berarti menjadikan Islam sebagai
ilmu. Dengan tujuan aspek universalitas, Islam sebagai rahmat bagi
seluruh alam semesta, bukan hanya bagi pribadi-pribadi ataupun bagi umat
muslim saja. Tapi bagi seluruh umat manusia bahkan setiap mahluk hidup
di alam semesta ini.
92
F. Kritik Konsep Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo
Sebagai perbandingan antara konsep ilmuisasi Islam Kuntowijoyo
dengan konsep integrasi-interkoneksi ilmu Amin Abdullah dapat
dipaparkan sebagai berikut.
Sejak tahun 2002 upaya pembahasan tentang paradigma integrasi-
intekoneksi di IAIN Sunan Kalijaga mulai serius dilakukan, pada tahun
tersebut dilaksanakan Seminar Nasional dalam rangka mensyukuri
kelahiran IAIN Sunan Kalijaga ke 51, tentang epistemologi keilmuan yang
tepat untuk UIN. Hasil seminar tersebutu kemudian diterbitksn SUKA
Press dengan judul “Menyatukan Ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya
Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum”. Berbagai ahli dan
pakar pun diundang, mulai dari para tokoh level nasional hingga yang
memiliki level internasional. Dilanjutkan dengan perumusan Kerangka
Dasar Kurikulum UIN Sunan Kalijaga oleh Tim Perumuus pada tanggal 3-
5 Juli 2004.
Pada tanggal 24 Juli 2004 diselenggarakan Dialog Interaktif
bersama para pakar, yaitu Prof. John Haugh dari Amerika, Prof. Mehdi
Golshani dari Iran, dan juga Prof. H.M. Amin Abdullah sendiri, yang pada
akhirnya disepakatilah sebuah paradigma keilmuan baru yang dikenal
sebagai Paradigma Integrasi-Interkoneksi. Dengan dipelopori oleh M.
Amin Abdullah sellaku rektor UIN Sunan Kalijaga sekaligus pengagas
paradigma ini, struktur keilmuan IAIN Sunan Kalijaga yang hampir lima
puluh tahun berjalan mulai ditata ulang (Abdullah, 2007: vi).
93
UIN Sunan Kalijaga sendiri telah melakukan berbagai upaya
sosialisasi, promosi dan implmentasi paradigma integrasi-interkoneksi.
Sebagaii contoh kecil dalam bidang kurikulum dilakukan upaya-upaya
sebagai berikut:
1. Penyusunan desain keilmuan integratif dan kerangka dasar kurikulum.
a. Diskusi yang dilaksanakan pada 28 Juni 2004, dengan
menghadirkan pemakalah kunci Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah
dengan tema makalah “Redesain Pengembangan Akademik IAIN
Menuju UIN Sunan Kajaga: dari pola pendekatan Dikotomis-
Atomistik ke arah Integratif-Interdisipliner”.
b. Perumusan kerangka dasar kurikulum UIN Sunan Kalijaga yang
dilaksanakan pada 3-5 juli 2004.
c. Lokakarya penyusunan desain keilmuan Integratif UIN Sunan
Kalijaga pada 18 Agustus 2004.
2. Penyusunan lima pedoman praktis pengembangan keilmuan dan
kurikulum pada 23 September 2004 (Abdullah, 2007: x-xi).
Paradigma integrasi-interkoneksi yang digagas oleh Amin
Abdullah memberikan pengaruh besar terhadap transformasi IAIN Sunan
Kalijaga menjadi UIN Sunan Kalijaga, bukan hanya berpengaruh terhadap
transformasi IAIN menjadi UIN, tetapi juga terhadap kurikulum yang
sudah hampir lima puluh tahun berjalan serta diterapkan di IAIN Sunan
Kalijaga juga mulai di desain ulang guna untuk mengimplementasikan
paradigma integrasi-interkoneksi.
94
Berbeda dengan Paradigma Integrasi-Interkoneksi Amin Abdullah
yang mempunyai hasil konkret transformasi IAIN Sunan Kalijaga menjadi
UIN beserta kurikulumnya juga turut ikut di desain ulang, Ilmuisasi Islam
atau pengilmuan Islam Kuntowijoyo masih dalam bentuk sebuah konsep,
belum ada hasil yang menunjukan secara konkret dari pemikiran
pengilmuan Islam Kuntowijoyo, sehingga masih membutuhkan kajian
yang lebih mendalam untuk gagasan pengilmuan Islam ini. Memang sudah
banyak penelitian yang membahas tentang implikasi pengilmuan Islam
Kuntowijoyo bagi pengembangan pendidikan Islam maupun bagi
kurikulum pemdidikan Islam, tetapi dari hasil penelitian tersebut belum
satupun yang menunjukan hasil konkretnya, yang bearti masih dalam
tahap sebuah konsep.
95
BAB IV
ILMU SOSIAL PROFETIK KUNTOWIJOYO
DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
A. Ilmui Sosial Profetik Kuntowijoyo
1. Menuju Ilmu Sosial Profetik
Dominasi pemikiran mengenai sistem di Amerika sangat terasa
antara PD I dan PD II, setelah dalam PD I negeri itu keluar sebagai
pemenang, Amerika menjadi sangat optimis akan sistemnya, maka
timbulah fungsionalisme dalam sosiologi. Optimisme akan “sistem
amerika” itu bertambah setelah Amerika juga menjadi pemenang PD
II. Fungsionalisme dianggap sebagai satu-satunya ilmu sosial yang
akademis, objektif, dan empiris.
Di Indonesia sendiri fungsionalisme sangat populer pada paska
1965, terutama setelah orde baru dikukuhkan, nama Talcot Persons
begitu dikenal dikalangan akademis Indonesia dan sadar atau tidak
kita banyak mempraktikan teori fungsionalisme dalam politik.
Fungsionalisme sangat menekankan sistem, ekuilibrium, adaptasi,
maintenance, dan latency, sehingga ia tampak konservatif.
Kecenderungan sistem itua dalah ideologi kaum borjuis.
Fungsionalisme sangat berjasa dalam mengantarkan Amerika menuju
Welfare State. Namun, tidak urung muncul juga kritik terhadap
96
Fungsionaismme. Kritik itu diantaranya datang dari gerakan
intelektual The New Left pada akhir 1960-an yang merupakan kritik
terhadap konservatisme kaum fungsionalis, karena tidak menekankan
perubahan dan transformasi. The New Left itu banyak dipengaruhi
oleh Critical Theory dari mazhab Frankurt, suatu varian dari
marxisme Eropa. Sosiologi akademis juga bersifat elitis, terjerat pada
prefesionalisme organisasi, terikat pada lembaga-lembaga yang
mapan, dan hanya menjalankan tugas yang sudah rutin. Sebagai jalan
keluar, Alvin W. Gouldner mengemukakan perlunya Reflexive
Sociology (Kuntowijoyo, 1998: 66).
Michael Root dalam Philosophy of Sosial Science (1993)
membedakan dua jenis ilmu sosial, yaiatu liberal dan perfeksionis.
Disebut liberal karena tidak berusaha mempromosikan satu cita-cita
sosial, nilai kebijakan tertentu. Asal usul dari gagasan liberal dalam
ilmu sosial adalah liberlisme dalam politik. Sebbagai doktrin politik
liberalisme dapat berjalan dengan baik. Tetapi liberalisme tidak
pernah berlaku sebagai diharapka dalam ilmu-ilmu sosial. Mungkin
dapat tingkat individual, penelitinya, ada usaha kearah netralisme,
tetapi itu tidak pernah terjadi pada tingkat institusional. Ilmmu sosial
perfeksionisme, sebaliknya, berusaha menjadi wahana dari cita-cita
mengenai kebijakan, jadi ilmu yang partisan. Kalau ilmu liberal
berusaha netral terhadap objek penelitinya dengan menjadikanya
sebagai objek penelitianya dengan menjadikanya sebagai objek
97
semata-mata, maka ilmu sosial perfeksionisme justru menghargai
pandangan-pandangan objek penelitian, tidak value-neutral.
Contoh dari Perfeksionisme dalam ilmu sosial adalah
Marxisme dan Feminisme. Marxisme mencita-citakan masyarakat
yang tanpa kelas, dan Feminisme masyarakat tanpa eksploitasi
seksual. Keduanya mempunyai kesamaan, yaitu anti eksploitasi dan
anti dominasi. Marxisme anti borjuasi, Feminisme anti laki-laki.
Marxisme berjuang untuk kaum buruh, Feminisme berjuang untuk
kaum perempuan. Contoh ini dapat ditambah Freudinamisme yang
mencita-citakan dunia tanpa tekanan jiwa, termasuk tekanan yang
berupa agama, yang disbeutnya sebaga ilusu. Ini hampir sama dengan
Mraxisme yang menyebut kesadaran agama sebagai False
consciousness. Marxisme, Freudanisme, dan Feminisme sekarang
mempunyai tempat yang terhormat dalam ilmu sosial, meskipun
ketiganya termasuk perfeksionis (Kuntowijoyo, 1998: 66-67).
Kritik terhadap ilmu sosial akademis (value-free, empiris,-
analistis, liberal) semuanya merujuk pada ilmu yang mmerhatikan
nilai (perfeksionis, berpihak). Diusulkanya ilmu-ilmu yang
communitarian ialah supaya demokrasi benar-benar terwujud. Maka
suatu ilmu yang mengandung niai-nilai Islam dan berpihak kepada
umat adalah sah sebagai ilmu.
Prospek Ilmuisasi Islam di masa datang rupanya didukung oleh
maraknya peradaban posmodernisme. Seperti diketahui, dunia modern
98
dimualai dengan Renaissance, suatu peradaban baru yang mencoba
keluar dari abad pertengahan. Ciri-ciri modernitas ialah
antroposentrsime, semangat yang menghargai nilai-nilai yang
dibangun oleh manusia-manusia itu sendiri, sebagai lawan dari
teosentrime abad pertenghan, waktu orang mengunggulkan wahyu
sebagai satu-satunya kebenaran. Maka modernitas juga differentation
(pemisahan). Pemisahan yang jelas ialah antara agama dengan
ekonomi, agama dengan politik, dan agama dengan ilmu.
Posmodernisme menolak pemisahan semacam itu, karena salah satu
ciri post-modernisme ialah dedifferentation (Lach, 1990: 11-15; dia
tidak menyebut secara khusus pemisahan/penggabungan agam dan
dunia). Kalau karakterisasi posmodernisme ini benar, maka suatu ilmu
yang tidak memisahkan antara agama dan ilmu tentu akan mendapat
temapat terhormat dimasa mendatang.
Desekularisasi akan memperoleh momentum untuk kembali
keperadaban. Ilmu Sosial Profetik juga mempunyai peluang sebagai
peradaan baru. Marxisme menawarkan paradigma baru dengan
kaidahnya mengenai structure (basis material) dan superstructure
(kesadaran), dengan menyatakan bahwa struktur menentukan
superstruktur. Kedudukan ekonomi itu menetukan kesadaran.
Feminisme yang banyak dipengaruhi oleh Marxisme mengatakan
bahwa seks itu menentukan kesadaran. Ilmu sosial Profetik
membalikan rumusan itu dengan meletakan kesadaran (supertucture)
99
lepas dari basis sosial (structure), Marxisme dijungkakan. Ini akan
begitu banyak pengaruhnya pada ilmu sosial dan humaniora. Dengan
cara ini Ilmuisasi Islam berkesempatan menjadi dari sejarah pemikiran
(Barat). Pemikiran dalam filasat, ilmu sosial, dan humaniora adalah
perdebatan antara pandangan idealisme dan materialisme, antara
Hegelianisme dan Marxisme, dan antara eksestentalisme dan
sosiologisme. Emile Durkhem yang menghargai agama dan
menjadikan collective sentiment sebagai dasar social action dapat
menjadi langkah pertama menuju integrasi dengan sosiologi Barat
(Kuntowijoyo, 2006: 95-97).
2. Pilar-Pilar Ilmu Sosial Profetik
Kuntowijoyo mengemukakan pilar Ilmu Soaial Profetik itu ada
tiga, yaitu amar ma‟ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), tu‟minu
nabillah (trasendensi). Liberalisme memetingkan yang pertaama,
Marxisme yang kedua, dan kebanyakan agama yang ketiga. Ilmu
Sosial Profetik berusaha untukk menggabungkan ketiganya, yang satu
tidak terpisah dengan lain. Tema-tema penelitian dapat dari ketiga pilar
itu, baik tema yang makro maupun mikro.
a. Humanisasi
Dehumanisasi terjadi diantaranya karena dipakainya
teknologi (baik berupa alat fisik maupun metode) dalam
masyarakat (Kuntowijoyo, 2006: 99). Jacques Tuk menjelaskan
betapa jauh pengaruh teknologi itu dalam kehidupan. Penelitian
100
disebuah pabrik yang menggunakan mesisn sepert pabarik tekstil,
pabrik konveksi, dan pabrik rokok akan menjawab masalah
objektivasi (manusia hanya menjadi objek) dan otomatisme
(manusia jadi otomaton, bergerak secara otomatis tanpa
kesadaran). Bagaimana peranan serikat-serikat buruh, jamaah
masjid, dan perkumpulan-perkumpulan yang lain dalam
mengangkat kembali martabat manusia, memanusiakan manusia?
Masayarakat teknologis juga masyarakat ekonomis, karena itu
ekonomi menentukan starifikasi, system pengetahuan, dan
lingkungan. Kedudukan ekonomi seseorang menjadi patokan
ketika seseorang mencoba untuk menggolong-golongkan
masyarakat. Sosiologi Barat akan keluar dengan kelas atas,
menengah, bawah, Marxisme dengan borjuasi dan proletariat.
Menegenai sistem pengetahuan, yaitu work dan leisure.
Lingkungan masyarakat ekonomis juga berubah. Masyarakat
tradisional agraris mempunyai lingkungna yang alamiah akantetapi
lingkungna itu menjadi artisifisial dengan industrialisasi kerana ada
kepentingan ekonomi, misalnya berdirinya pabrik-pabrik, jalan-
jalan, dan polusi (Kuntowijoyo, 1998, 72).
Agresivitas kolektif rupanya perlu diterangkan dengan
tentang prilaku kolektif. Neil Smelser yang menulis Collective
Behaviour (1961) mengatakan bahwa ada kondisi structural
mengapa suatu prilaku kolektif itu terjadi. Mungkin penyebab
101
kerusuhan di Indoonesia akhir-akhir ini adaka kekumuhan, satu hal
yang masih harus dibuktikan lewat penelitian. “Kekumuhan” itu
bisa bersifat individual bisa bersifat kolektif, bisa spiritual bisa
material. Persoalan kita bersma bagaimana “kumuh” material itu
tidak menjadikan kumuh spiritual. Ini adalah persoalan humanisasi.
Mausia pada zaman industri mudah sekali terjatuh.
Kehilangan kemanusiaan. Karenaya suatu usaha untu mangangkat
kembali martabat manusia, (emansipaai) manusia, humanization
(Fromm, 1968) sangat diperlukan. Dalam Qs Al-Tin (95):5, 6 di
katatakan bahwa orang dapat terjatuh ketempat yang paling rendah.
Kemudian ayat ituu mengecualikan orang-orang yang beriman dan
beramal saleh. Kiranya ayat ini merujuk pada humanisasi, yaitu
iman dan amal saleh. Tentu saja implikasi dari iman dan amak
saleh itu sangat luas (Kuntowijoyo, 2006: 102).
b. Liberasi
Teks Al-Quran bisia diturunkan menjadi empat hal: amal,
mitos, ideologi, dan ilmu. Islam sehari-hari adalah Islam smsl yang
harus sealu ada sepanjang zaman. Mitos sebagai sistem pengtahuan
suda ketinggalan zaman, meskipun masih ada orang yang hidup di
dunia mistis. Sekarang kita tinggal memilih antara idelogi dsn ilmu.
Rupanya, mengenai idelogi dan ilmu ada pembagian zamanya. Kita
menjadikan Islam sebagai ideologi ketika kita mendirikan partai-
partai, sejak Sarekat Islam sampai Masyumi. Mengenai ideologi
102
liberasi kita dapat belajar dari Theologi of Liberation, ideologi yang
terdapat pada kaum agamawan di Amerika Latin. Islam
meninggalkan ideologi dan bergerak kearah ilmu, tidak jauh
berbeda dengan sejarah Marxisme yang mula-mula ideologi
kemudian pada pertengahan kedua 1970-an berkembanglah ilmu-
ilmu Marxis di Eropa Barat, pada mulanya berdampingan dengan
ortodoksi Marxisme sebagai ideologi di Eropa Timur dan Uni
Sovyet. Karenanya liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik sekarang ini
adalah liberasi dalam konteks ilmu, bukan liberasi ala ideologi
(Kuntowijoyo, 206: 103). Berikut gambaran perbedaan ideologi
dengan ilmu:
ideologi subjektif normatif tertutup
ilmu objektif faktual terbuka
Gambar 1. Perbedaan ideologi dengan ilmu (Kuntowijoyo,
1997: 22).
Sasaran liberasi ada empat, yaitu sistem pengetahuan,
sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik. Liberasi sistem
pengetahuan adalah usaha untuk membebaskan orang dari sistem
pengetahuan materialistis, dari domidonasi struktur, misalnya dari
kelas dan seks. Pembebasan dari kesadaran kelas ini bertentangan
dengan Marxisme Timur dan Barat yang menekankan kesadaran
kelas sebagai objek penellitian. Demikian juga pembebasan dari
dominasi seks ini bertentangan dengan gerakan feminisme barat
103
yang serba anti pria. Islam dalam hal ini menndukung suatu
moderasi, yaitu kemitrasejajaran antara pria dan wanita, dengan
perspektif gender. Justru karena itu studi tekstual maupun
kontekstual mengenai hubungan seksual adalah perlu.
Liberasi politik berarti membebaskan sistem dari
otoritarianisme, diktator, dan neofeodalisme. Demokrasi, grgHAM,
dan masyarakat madani adalah juga tujuan Isam. Aktivisme politik
dari para ilmuan patut disyukuri, sebab biasanya justru ilmu-ilmu
sosial akan menjamin bahwa perubahan dan transformasi berjalan
secara rasional dan bertanggung jawab secara ilmiah. Reaksi keras
yang datang dari para pejabat berupa ketidak percayaan kepada
ilmu sebagai tidak relevan dengan masalah aktual tidak pada
tempatnya. Memang bukanlah tugas ilmu untuk menjawab
persoalan praktias jangka pendek, itu adalah tgas pejabat. Urusan
ilmu adalah perubahan dan trasnformasi sosial jangka panjang.
Ketakutan akan adanya aliansi antara intelekual dengan massa,
seperti tercermin dalam kata-kata “dalang”, “pihak ketiga”, dan
“aktor intelektual” tidak mempunyai dasar faktual. Intelektual
Islam tidak boleh takut bernahu munkar asal dilandasi dengan ilmu.
Mari kita dorong sejarah indonesia kerah perubahan dan
transformasi (Kuntowijoyo, 2006: 104-105).
104
c. Transendensi
Banyak yang meramalkan bahwa pada abad ke-21
spiritualisme akan berkembang, kalau betul ciri dari peradaban
post-modernism adalah de-differentation (agama akan menyatu
kembali dengan “dunia”), yang pasti akan ditafsirkan oleh orang
Barat sebagai “agama” yang lebih tinggi dari agama-agama yang
ada. Dalam filsafat sejarah Barat ada “Teori Spiral” yang
mengatakan bahwa sejarah itu bergerak melingkar seperti sebuah
per, setiap kali selalu kembali berputr seperti yang dulu selalu lebih
tinggi dari semula. Pendek kata, agama bukanlah agama yang
melembaga, karena dalam pandangan Barat dikatakan bahwa masa
depan manusia ialah sekularisme.
Bagi umat Islam sendiri tentu transendensi berarti beriman
kepada Allah WT. Kedua unsur Ilmu Sosial Profetik (emansiapasi,
liberasi) harus mempunyai rujukan Islam yang jelas. Menurut
Fromm siapa yang tidak menerima otoritas Tuhan akan mengikutu:
(1) relativisme penuh, dimana nilai dan norma sepenuhnya adalah
urusan pribadi, (2) nilai tergantung pada masyarakatt, sehingga
nilai dari golongan yang dominan akan menguasi, dan (3) nilai
tergantung pada kondisi biologis, sehingga darwinisme sosial,
egoitisme, kompetisi, agresivitas adalah nilai-nilai kebijakan.
Karena itu, sudah selayaknya kalau umat Islam meletakkan Allah
sebagai pemegang otoritas, Tuhan yang Maha Objektif, dengan 99
105
Nama Indah itu. Apa yang dipersangkakan oeh sekularisme sebagai
“Tuhan” (God is dead, spiritualisme, mistissisme, Taosisme, Zen
Budhisme, Children of God) jauh dari otoritas Tuhan yang Maha
Hakim dan karenanya tidak akan efektif sebagai gerakan
Ketuhanan (Kuntowijoyo, 1998: 77-76).
Mengenai transendensi ada garapan khusus bagi peneliti
masalah umat, yaitu gerakan-gerakan Islam yang merupakan
splinter group seperti darul Hadis, Jamah Tabligh, Darul Arqam,
dan sebagainya yang menggelisahkan mainstream umat karena itu
tiba-tiba muncul cadar, jubah, dan celana komprang. Belum pernah
ada penelitian mengenai mereka, mungkin karena sifatnya yang
mirip scret society. Jelas mereka adalah gejala anti industrialisme,
tetapi tidak anti industri. Namun kadang-kadang mereka
mengejutkan kalangan mainstream karena dengan mudah
mengkafirkan oralng lain.
Tentu saja konsep tentang humanisme dan liberasi yang
lebih luas seperti pada mainstream tidak pernah terlintas pada
benak splinter group, karena mereka masih bergulat dengan
survival. Kadang-kadang ada usaha Politisasi, seperti kasus Darul
Hadis dan perkumpulan tasawuuf sekitar Kyai Musta‟in Romly
(alm). Fakta-fakta itu sebenarnya perlu diketahui umat, supaya
umat bergerak secara rasional. Dengan demikian kita ada tema
penelitian sekitar transendensi sendiri. Sementara itu humanisasi
106
san liberasi harus menjadi satu dengan transendensi (Kuntowijoyo,
1998: 76).
3. Motodologi Ilmuisasi Islam
Ada dua metode yang dipakai dalam proses Ilmuisasi Islam
yaitu integralisasi dan objektifikasi. Pertama, integralisasi ialah
pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petuntuk
Alah dalam Al-Qur‟an beserta pelaksanaannya dalam sunah Nabi).
Kedua, objektivikasi ialah menjadikan pengilmuan Islam sebagai
rahmat untuk semua orang (rahmatan lil „alamin) (Kuntowijoyo, 2006:
49).
a. Integralisasi
Ada perrdaan paradigmatik antara ilmu-ilmu sekular dan ilmu-
ilmu integralistik. Perbedaan paradigma itu sesuai dengan
pengertian paradigma seagaimana dimaksud oleh Thomas Khn
dalam The Structure of Scientific Revolutions, dimana ilmu-ilmu
sekular sebagai normal sciences dan ilmu-ilmu Integralistik yang
sedang di rintis sebagai suatu revolusi. Paradigma baru ilmu-ilmu
integralistik itu kedudukanya akan mirip dengan kedudukan ilmu-
ilmu sosial Marxitis terhadap ilmu-imu sosial Barat yang
dianggap kapitalis. Jadi paradigma aru itu sebenarnya lebih luas
daripada perbedaan paradigma ilmu fisika (dinamika Newton,
teori elektromagnetik, mekanika quantum) atau perbedaan dalam
paradigma Psikologi (Freudianisme, Behaviorisme, Humanisme).
107
Kami berpendapat bahwa “ilmu-ilmu sekular adalah produk
bersma seluruh manusia, sedangkan ilmu-ilmu integralistik adalah
produk seluruh manusia beriman”. Karenanya, kami semua
adalah produk, partisipan, dan onsumen ilmu-ilm sekular. Maka
kami tidak akan segera gegabah memandang rendah dan
menistakan ilmu-ilmu sekular, tempat kami lahir. Sebaliknya,
kami ingin menghormatinya dengan mengkritisi dan meneruskkan
perjalanannya. Kami mengangga bahwa ilmu-ilmu sekular
sekarang ini sedang terjangkit krisis (tidak dapat memecahkan
banyak soal), mengalami kemandekan (tertutup untuk alternatif-
alternatif), dan penuh bias disana sini (filosofis, kegamaan,
peradaban, etnis, ekonomis, politis, dan gendner). Dengan tekad
itulah kami bertepatan hati memulai gerakan ilmu-ilmu
integralistik. Kami akan membuat perbedaan-perbedan antara
kedua kategori ilmu (sekular dan integralistik) untuk menunjukan
bahwa ilmu-ilmu integralistik justru diperlukan demi kepentingan
keerlangsungan eksistensi substansi ilmu-ilmu sekular sendiri.
Kami tidak berambisi mengganti ilmu-imu sekular, tapi dengan
kerendahan hati yang proporsonal kami sekedar ingin berada
dalam ilmu-ilm sekular (Barat dan Marxistis). Juga kami ingin
bekerja untuk mendukung kelangsungan hidup dan masa depan
manusia. Perbedaan itu terletak dalam tempat berangkat,
rangkaian proses produk keilmuan, dan tujuan-tujuan ilmu.
108
Gambar 2. Alur Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Sekular
(Kuntowijoyo, 2006: 50-51).
Keterangan:
Filsafat: tempat berangkat ilmu-ilmu sekular adalah
modernisme dalam filasaf. Filsafat rasionalime yang muncul pada
aad 15/16 menolak teosentrisme abad Tengah. Rasio (pikiran)
manusia diagungkan dan wahyu tuhan dinistakan. Sumber
kebenaran adalah pikiran, bukan wahyu tuhan. Tuhan masih
diakui keberadaanya, tetapi Tuhan yang lumpuh, tidak berkuasa,
tidak membuat hukum-hukum.
Antroposentrisme: dalam Rasionalisme manusia
menempati kedudukan yang tinggi. Manusia menjadi pusat
kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Manusia
adalah pencipta, pelaksana, dan konsumen produk-produk
manusia sendiri.
Diferensiasi: waktu manusia menganggap bahwa dirinya
menjadi pusat, terjadilah diferensiasi (pemisahan). Etika,
kebijaksanaan, dan pengetahuan tidak lagi berdasarkan wahyu
Tuhan. Karena itu kegiatan ekonomi, politik, huum, dan ilmu
harus dipisahkan dari agama. Kebenaran ilmu terletak dalam ilmu
filsafat diferensiasi antroposentrisme Ilmu
109
itu sendiri (tidak diluarnya: Kitab Suci), yaitu korespondensi
(kecocokan ilmu dengan objek), da koherensi (keterpaduan) di
dalam ilmu, antara bagian-bagiankeilmuan dengan seluruh
bangunan ilmu. Ilmu harus objektif, tidak ada cmpur tangan etika,
moral dan kepentingan. Dulu pada abad pertengahan ilmu hanya
berposisi sebagai pendudkung wahyu, kemudian dalam filsafat
moderen, ilmu menjadi otonom. Filsafat dan filsafat ilmu
mendapat bentuknya yang konkret dalam ilmu. Konkretisasi itu
berjalan sesuai persis dengan semangat (jiwa, spirit) filsafat dan
filsafat ilmunya. Ilmu hanyalah pelayan setia dari filsafat dan
filasafat ilmu.
Ilmu sekular: mengaku diri sebagai objektif, value free,
bebas dari kepentingan lainya. Tetapi, ternyata bahwa ilmu telah
melampui dirinya sendiri. Ilmu yang semula adalah ciptaan
mnusia telah menjadipenguasa atas manusia. Ilmu meggantikan
kedudukan wahyu Tuhan sebagai petunjuk kehidupan.
Suatu ilustrasi yang spesiifik akan memperjelas gamabaran
yang angat umum diatas. Ilustrasi diambil dari pragmatisme
Amerika, perkembangan ilmu, dan perkembangan filosofisnya.
Filsafat pragmatisme menganggap bahwa yang benar adalah what
works yang dengan sendirinya bersifat antroposentris. Karena itu
pragmatisme tergolong empirisme, bukan idealisme yang
spekulatif. Filsafat, ilmunya cenderung menekankan praktik,
110
bukan teori. Tumbuhnya industri adalah bukti bahwa ilmu harus
menjadi praktik, karena industri ialah teknologi terapan.
Demikian juga bisnis. Bisnis adalah ilmu ekonomi yang
diterapkan. Politik luar negeri adalah ilmu hubungan internasional
yang diterapkan.
Gambar 3. Alur Pertumbuhan Ilmu-Ilmu (Kuntowijoyo,
2006: 51-53).
Keterangan:
Agama, Al-Qur‟an merupakan wahyu Tuhan, yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan
lingkungan (fisik, sosial, budaya). Kitab yang diturunkan itu
merupakan petunjuk etika, kebijaksaan, dan dapat menjadi
setidaknya Grand Theory (e. G., sistem ekonomi). Wahyu tidak
pernah mengklaim seagai ilmu qua ilmu.
Teoantroposentrisme, agama memang mengklaim sebagai
sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan sedikit
pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuan
sebagai satu-satunya sumber pengethahuan dan melupakan
kecerdasan manusia, atau sebaliknya, menganggap pikiran
Teoantroposentrisme
Ilmu integralistik
Agama Dediferensiaasi
111
manusia sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan
melupakan Tuhan. Jadi sumber pengetahuan itu ada dua macam,
yaitu yang berasal dari Tuhan dan yang berasal dari manusia,
dengan kata lain Teoantroposentrisme.
Dediferensiasi, modernisme yang menghendaki diferensiasi
sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. Dengan
peradaban yang disebut Pascamodern perlu ada perubahan.
Perubahan itu kami berpendapat ialah Dediferensiasi. Kalau
diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-
sektor kehidupan lain, maka dediferensiasi adalah penyatuan
kembali antara agama dengan sektor-sektor kehidupan lain,
termasuk agama dan ilmu (Kuntowijoyo, 2006: 54).
Ilmu Integralistik ialah ilmu yang menyatukan (bukan
sekedar menggabungkan) wahyu tuhan dan temuan pikiran
manusia (imu-ilmu integralistik) tidak akan mengucilkan Tuhan
(sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly
asceticisme). Diharapkan bahwa integralisme akan sekaligus
menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-
agama radikal dalam banyak sektor.
Contoh dibawah ini akan memberikan gambaran. Contoh
ini yang akan diambil dari Ilmu Ekonomi Syariah ini karena
semata-mata sudah ada praktik penyatuan antara wahyu tuhan
sengan pikira manusia. Ada BMI (Bank Muamalat Indonesia).
112
Bank BNI yariah, Bank Mandiri Syariah, usaha-usaha agrobisnis,
usaha-usaha transportasi, usaha-usaha kelautan, dan sebagainya.
Agama menyediakan etika dalam prilaku ekonomi, diantarnaya
adalah bagi hasil (al-Mudharabah) dan kerjasama (al-
musyarakah). Di situ terjadi proses objektifikasi dari etika agama
tesebut menjadi ilmu ekonomi yang dapat bermanfaat bagi orang
dari semua agama, non agama, atau bahkan anti agama.
Pendeknya, dari orag beriman untuk seluruh manusia
(Kuntowijoyo, 2006: 55-56).
b. Objektivikasi
Orang yang sedang bekerja ditempat-tempat umum, sopir
bus, angkutan, taksi, pelayan toko, pegawai kantor pos, teller di
Bank, dan sebagainya tidak pernah menanyakan tentnag agama
orang yang dating. Kalu orang yang sedang bekerjja di pabrik,
kantor, sekolahan, pasar, juga tidak memperhitungkan siapa yang
diajak bicara. Sama saja apakah seorang aMuslim berhubungan
dengan sesame Muslim atau non-Muslim.
Objektifikasi bermula dari internalisasi nilai, tidak dari
subjektifikasi kondisi objektif. Itulah perbedaan pokok antara
objektifikasi dan sekularisasi. Objektivikasi adalah penerjemahan
nilai-nilai internal kedalam kategori-kategori objektif. Skema
berikut ini akan menjelaskan kedudukan Objektifikasi ditengah-
113
tengah terminologi lain, yaitu internalisasi, eksternalisasi,
subjektifikasi, dan gejala objektif:
internalisasi eksternalisasi
objektifikasi
subjektifikasi gejala objektif
Gambar 4. Objektifikasi ditengah-tengah terminologi lain
(Kuntowijoyo, 2006: 61).
Tulisan ini akan menyebut eksternalisasi, bila itu
merupakan konkretisasi dari keyakinan yang dihayati secara
internal. Misalnya, memebayar zakat. Zakat timbu setelah ada
keyakinan perlunya harta dibersihkan, keyakinan bahwa sebagian
harta itu bukan milik orang ayg mendapatkan, dan keyakinan
bahwa rezeki itu harus dinafkahkan. Kalau orang kemudian
membayar zakat, itulah yang disebut eksternalisasi.
Objektivikasi menempuh prosedur yang sama dengan
eksternalisasi, tapi ada tambahan. Objektivikasi adalah juga
konkretisasi dari keyakianan internal. Suatu perbuatan objektif
apabila perbuatan itu diraskan oleh orang non-Muslim sebagai
sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai peruatan
keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai
perbuatan, bila tetap menganggapnya sebagai perbutan kegamaan
termasuk amal. Objektivikasi juga dapat dilakukan oleh orang-
orang non-Islam, asal perbutan itu diarsakan oleh orang islam
114
sebagai sesuatu yang objektif, sementara orang non-Islam
dipersilakan menganggapnyasebagai perbuatan keagamaan
(Kuntowijoyo, 2008: 61-62).
Masalah baru muncul karena realitas objektif berbeda.
Karenaya, perlu ada peubahan pendekatan pada politik secara
fundamental. Jawaban baru itu harusah mencerminkan realitas
baru pula. Realitas menghendaki supaya umat bukan lagi berfikir
I versus you dalam politik, tetapi I versus it, bukan lagi orang ke-1
versus orang kedua, tetapi orang ke-1 versus benda ke-3.
Penantang umat bukan lagi mereka, tetapi realitas objektif. Umat
yang menjadi mayoritas di Negeri ini dituntut tanggung jawab
politis menghadapi realitas baru, seperti industrialisasi,
globalisasi, demokratisasi, dan nasionalisme baru. Kegagalan
melaksanakan tanggung jawab itu akan berakibat hilangnya
kredibilitas umat sebagai mayoritas.
Menurut M. Dawam Rahardjo dalam diskusi di News café,
Jakarta, 9 juli 1997, gagasan pokok dari Identitas Politik Umat
Islam adalah objektivikasi. Dalam Webster‟s New Twentieth
Century Dictionary (1978) kata objectification disamakan dengan
objektivation, karennya, dua kata itu memang dapat ditukar-tukar.
Namun kiranya kita perlu membedakan antara keduanya.
Sepengatahuan kami objektivikasi dapat mempunyai arti lain.
Objektivikasi dapat berasal dari kata objek, jadi objektivikasi
115
adalah “memandang sesuatu sebagai objek ata benda”. Misalnya
kalimat “Masyarakat teknologis cenderung melakukan objektivasi
terhadap manusia”. Sebagai ganti objektivasi dalam kalimat itu
sekarang lebih umum dipakai kata dehumnisasi atau menjadikan
manusia sebagai mesin, menghasilkan “manusia mesin”. Maka
buku kami tidak memakai objektivasi tetapi objektivikasi.
Kata objektivikasi berasal dari kata objektif, jadi artinya
“the act of objecctifying”, “membuat sesuatu menjadi objektif”.
Sesuatu itu objektif kalu keberadaanya tidak tergantung pada
pikiran sang subjek, tetapi berdiri sendiri secara independen. Jadi
bila A adalah objektifikasi dari B, maka berarti A adalah B yang
telah dibuat objektif oleh sang subjek (Kuntowijoyo, 2006: 72-
73).
B. Kurikulum Pendidikan Islam
1. Pengertian
Kata “kurikulum” mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia
pendidikan sejak kurang lebih satu abad yang lalu. Istilah kurikulum
muncul untuk pertama kalinya dalam kamus Webster tahun 1856. Pada
tahun itu kata kurikulum digunaan dalam bidang olah raga, yakni suau
lat yang membawa orang dari start sampai finish. Barulah pada tahun
1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti
sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan. Dalam kamus tersebut
kurikulum diartikan dua macam, yaitu:
116
a. Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa
di sekolah atau di perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah
tertentu.
b. Sejumlah mata peljaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga
pendidikan atau jurusan.
Pengertian diatas menimbukan paham bahwa dari sekian
banyak kegiatan dalam proses pendidikan di sekolah, hanya sejumlah
mata pelajaran yang ditawarkan itulah yang disebut kurikulum.
Kegiatan belajar selain yang mempelaari mata pelajaran itu, tidak
termasuk kurikulum. Padahal, sebagaimana kita ketahui bahwa
kegiatan di sekolah tidak hanya kegiatan mempelajari mata pelajaran
(Tafsir, 2008: 53).
Namun pngertian diatas masih dalam pengertian yang sempt
(tradisional) karena tidak mencakup aktivitas anak didik dalam proses
kependidikan. Kareanya menurut al-Syaibany, kelemahan yang
menonjol pada kurikulum tradisonal adalah sebagai berikut:
a. Sempitnya pengertian dan tidak dimasukannya segala pengalaman
yang diperoleh oleh anak didik dan jenis-jenis aktivitas yang
dikerjakan dibawah pengawasan sekolah.
b. Pusat perhatianya adalah mata pelajaran pengetahuan teori dan
hafalan. Adapun aspek amal dalam peajaran dilupakan sama sekali,
padaha mengandung kepentingan yang sngat besar.
117
c. Memusatkan perhatian pada mengaji yang telah lampau dan
berusaha menyiapkan murid-murid bagi masa depan berdasar pada
suasana masa lampau yang diharapkan generasi masa sekarang,
tanpa memberikan sedikitpun perhatian masa sekarang dari anak
didik, bahkan mungkin bertentangan dengan masa sekarang ini.
d. Tidak adanya relevansi kandungan dalam anyak hal, dengan
kesediaan-kesediaan anak didik, kecakapan khusus dan minat,
kebutuhan dan keinginanya sehari-hari. Juga tidak sanggup
menggerakan tenaga kreatif pada anak didik, asing dengan realitas
alam sekitar dan masalah-masalah kehidupan secara makro.
e. Tidak membedakan antara individu yang satu denga yang ainya,
tidak mengakui perbedaan anak didik pada tingkat kemampuan dan
kesediaaan, perbedaan suasana alam sekitar dan lain sebagainya.
f. Memecah-mecah pengetahuan dan fakta-fakta yang dikandungnya
kedalam berbagai ilmu yang berbeda, tidak terkait satu sama lain,
pengetahuan dan fakta-fakta tidak disusun sesuai logika (Rosyadi,
2004, 241-242).
Menurut pandangan modern, kurikulum lebih dari sekedar
rencana pelajaran atau bidng studi. Kurikulum dalam pandngan
modern ialah semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan
disekolah. Pandangan ini bertolak dari yang aktual, yan nyata, yaitu
yang aktual terjadi di sekolah dalam proses belajar. Di dalam
118
pendidikan, kkegiatan yang dilaukan siswa dapat memberikan
pengalaman belajar, atau dapat dianggap sebagai pengalaman belajar,
seperti berkebun, olah raga, pramuka, dan pergaulan, selain
mempelajari bidang studi. Pandangan moderen berpendapat bahwa
semua pengalaman belajar itulah kurikulum. (Tafsir, 2008: 53).
J. Galen Saylor dan William M. Alexander, dlam “Curiculum
Planning for Better Teaching and Learning” (1956) menjelaskan arti
kurikulum sebagai berikut:
The curiculum is the sum total of school‟s eforts to influence learning,
wether in the clasroom, on the playground, or out of school.
Jadi, segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak itu
belajar, apakah dalam ruangan kelas, di halaman sekolah, atau di luar
sekolah, termasuk kurikulum. Kurikulum meliputi segala pengalaman
yang diisajikan oleh sekolah agar anak mencapai tujuan yang di
inginkan. Suatu tujuan tidak tercapai dengan suatu pengalaman saja,
akan tetapi melalui berbagai pengalaman dalam bermacam-macam
situasi di dalam maupun luar sekolah (Rosyadi, 2004: 242).
Soedjiarto (1991) mengartikan kurikulum pada lima tingkatan,
yaitu: Pertama, sebagai serangkaian tujuan yang menggambarkan
berbagai kemampuan (pengetahuan dan keterampilan), nilai dan sikap
yang harus di kuasai dan dimilikioleh anak didik dari suatu satuan
pendidikan. Kedua, sebagai kerangka materi yang diberikan gambaran
119
tentang bidang-bidang studi yang perlu di plejari oleh anak didik untuk
menguasai serangkaian kemampauan, nilai dna sikap yang secara
institusional harus di kuasai oleh anak didikk setelah selesai dengan
pendidikanya. Ketiga, kurikulum diartikan sebagai garis besar materi
dari suatu bidang studi yang telah dipilih untuk dijadikan objek belajar.
Keempat, kurikulum diartikan sebagai panduan dan buku pelajaran
yang disusun untuk menunjang terjadinya proses belajar mengajar.
Kelima, kurikulum diartikan sebagai bentuk dan jenis kegiatan belajar
mengajar yang dialami oleh para pelajar, termasuk di dalamnya
berbagai jenis, bentuk dari frekuensi evaluasi yang yang digunakan
sebagai bagian terpadu dari strategi belajar mengajar yang
direncanakan untuk dialami para pelajar. Menurut Soedjiarto
pengertian kurikuum dari tingkatan pertama sampai keempat
dimasukan kedalam suatu gugus perangkat kurikulum nasional.
Sedangkan pada tingkatan kelima adalah suatu implementasi
kurikulum yang merupakan tanggung jawab guru pada khusunya dan
sekolah pada umumnya. Dan kelima pengertian di atas sebagai satu
kesatuan sistem yang berkaitan secara hirearkis dan konsekuentif
(Rosyadi, 2004: 242-243).
Menurut al-Syaibani, kurikulum pendidikan Islam seharusnya
mempunyai ciri sebagai berikut:
120
a. Kurikulum pendidikan Islam harus menonjolkan mata pelajaran
agama dan akhlak. Agama dan akhlak itu harus di ambil dari al-
Qur‟an dan al-Hadis.
b. Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan pengembangan
menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani, akal, dan
rohani. Untuk pengembangan menyeluruh ini kurikulum harus
berisi mata pe;ajaran yang banyak, sesuai dengan tujuan
pembinaan setiap aspek itu.
c. Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan antara
pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat, jasmani, akal, dan
rohani manusia. Keseimbangan tersebut tentulah bersifat relatif,
karena tidak bisa di ukur secara objektif.
d. Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan juga seni halus, yaitu
ukir, pahat, tulis indah, gambar dan sejenisnya. Selain itu
memperhatikan juga pendidikan jasmani, latihan militer, teknik,
keterampilam, dan bahasa asing sekalipun semuanya ini diberikan
kepada peseorangan secara efektif berdasrkan bakat, minat, dan
kebutuhan.
e. Kurikulum pendidikan Islam mempertimbangkan perbedaan-
perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia
karena perbedaan tempat dan juga perbedaan zaman. Kurikulum
dirancang sesuai dengan kebudayaan itu (Tafsir, 2008: 65-66).
121
Menurut al-Abrasyi yang harus diperhatikan dalam penyusuna
kurikulum pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh mata pelajaran itu dalam pendidikan jiwa serta
kesempurnaan jiwa. Dari itu diberikan pelajaran-pelajaran
keagamaan dan ketuhanan, karena ilmu paling mulia adalah
mengenai tuhan serta sifat-sifat yang pantas pada-Nya.
b. Pengaruh suat pelajaran dalam bidang petunjuk tuntunan dengan
menjalani cara hidup yang mulia dan sempurna, seperti dengan ilm
akhlak, ilmu hadits, fiqh dan sebagainya.
c. Disamping itu ada lagi mata pelajaran yang dipelajari oleh orang-
orang Islam karena mata pelajaran tersebut mengandung kelezatan
ilmiah dan kelezatan ideologi, yang oleh para ahli pendidikan
modern disebut menuntut ilmu karena ilmu itu sendiri.
d. Orang Islm mempelajari ilmu pengetahuan Karena ilmu itu
dianggap yang paling lezat bagi manusia. Menurut fitrahnya,
manusia itu senang sekali mengetahui sesuatu yang baru, Karena
itu para filosof muslim sangat memperhatikan berbagai cabang
ilmu pegetahuan dan kesenian. Demi utuk memuaskan pembawaan
fitrah fitrah manusia yang cinta pengetahuan dan ilmu.
e. Mempelajari beberapa mata pelajaran adalah alat dan pembuka
jalan untuk memeplajari ilmu-ilmu lain. Kaum msimin elah
mempelajari Bahasa Arab dan sastera Arab, Karena kedua jurusan
122
ini membantu untuk mengerti tafsir al-Qur‟an, Hadist dan fiqh
Islam (Rosyadi, 2004: 258-259).
David Pratt menyatakan bahwa kurikulum adalah sebuah
sistem, sebagai suatu sistem, ia pasti memepunyai komponen-
komponen atau bagian-bagian yang terpisahkan. Winarno Surachmad
menyatakan bahwa komponen-komponen pokok kurikulum adalah
tujuan, isi, organisasi, dan strategi. Sedangkan Hilda Taba mencoba
merinci isi kurikulum yaitu tujuan, isi (materi), pola belajar mengajar,
dan evaluasi. Pembagian ini diikuti oleh Ralph W. Tyler. Oleh karena
itu, bila orang ingin membuat atau menilai kurikulum, perhatianya
tentu tertuju pada pernyataan: apa tujuan kurikulum? Pengalaman
belajar apa yang disiapkan untuk mencapai tujuan? Bagaimana
pengalaman belajar itu dilaksanakan? Dan bagaimana menentukan
bahwa tujuan telah tercapai? (Rosyadi, 2004: 272).
2. Komponen-Komponen Kurikulum
a. Tujuan
Ada dua jenis tujuan yang terkandung di dam kurikulum
suatu lembaga pendidikan:
123
1) Tujuan yang ingin dicapai secara keseluruhan
Selaku lembaga pendidikan, setiap sekolah mempunyai
sejumlah tujuan yang ingin dicapainya (tujuan lembaga
pendidikan atau tujuan institusiona).
Tujuan-tujuan tersebut biasanya digambarkan dalam
bentuk pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diharapkan
dapat dimiliki murid atau siswa setelah mereka menyelesaikan
seluruh program pendidikan dari sekolah tersebut.
2) Tujuan yang ingiin dicapai dalam setiap bidang studi
Setiap bidang studi dalam kurikulum suatu sekolah juga
mempunyai sejumlah tujuan yang ingin dicapainya. Tujuan
inipun di gambarkan dalam bentuk pengetahuan, keterampilan
dan sikap yang dapat diharapkan dapat dimiliki siswa setelah
mempelajari suatu bidang studi pada suatu lembaga
pendidikan.
Tujuan-tujuan setiap bidang studi dalam kurikulumm
itu ada yang disebut tujuan kurikuler dan ada pula yang disebut
tujuan instruksional, dimana tujuan instruksional merupakan
penjabaran lebih lanjut dari tujuan kurikuler (Daradjat, 1984:
114-115).
124
Hilda Taba dalam Curiculum Development memberikan
petunjuk dalam merumuskan tujuan, yaitu:
1) Rumusan tujuan harus meliputi:
a) Bentuk kelakuan yang diterapkan (proses mental).
b) Bahan yang bertalian dengan itu (produk).
2) Tujuan yang kompleks harus dirumuskan secara analisis dan
spesifik, sehingga jelas bentuk kelakuan yang di harapkan.
3) Dalam rumusan tujuan, harus dinyatakan harus dinyatakan
dengan jeas bentuk kekuatan yang ingin dicapai dengan
kegiatan belajar tertentu.
4) Tujuan itu biasanya bersifat development, yaitu harus di
kembangkan secara kontinu, karena sering tidak tercapai
dengan satu pelajaran, seperti memupuk sikap kritis,
kesanggupan memecahkan masalah, dan lain sebagainya.
5) Tujuan itu hendaknya realistis dalam arti bahwa tujuan itu
benar-benar dapat diacapai oleh anak-anak pada tingkat usia
tertentu, atau selama pe;ajaran di sekolah itu. Tujun yang
terlalu idealis yang tidak mungkin untuk dicapai jangan
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.
6) Tujuan itu harus meliputi segala aspek perkembangan anak
didik yang menjad tanggung jawab sekolah. Pada umumnya
125
tujuan itu meliputi aspek kognitif, nilai dan sikap, serta
keterampilan (psikomotorik) (Rosyadi, 2004: 272).
b. Materi
Isi program kurikulum dari suatu lembaga Pendidikan dapat
dibedakan atas dua hal, yaitu:
1) Jenis-jenis bidang studi yang diajarkan
Jenis-jenis tersebut dapat digolongkan kedalam isi
kurikulum dan ditetakan atas dasar tujuan yang ingin dicapai
oleh lembaga penidikan yang bersangkutan, yaitu tujuan
institusional.
2) Isi program setiap bidang studi
Bahan pengajaran dari setap bidang studi termasuk
kedalam pengertian isi kurikulum, yang biaanya diuraikan
dalam bentuk pokok bahasan (topik) yang dilengkapi dengan
sub pokok bahasan (Daradjat, 1984: 115).
Untuk dapat mengorganisasikan materi secara tepat, kita
dapat melihat pola organisasi (design) dari kurikulum itu. Demi
keperluan ini menjadi penting untuk menurunkan usulan Nasution,
yaitu:
126
1) Separate subject curriculum
Kurikulum ini disebut demikian Karena, semuau bahan
pelajaran disajikan dalam subjek atau mata pelajaran yang
terpisah-pisah, yang satu lepas dari yang lain.
2) Correlated curriculum
Kurikulum ini berikhtiar untuk memberikan kepada
murid pengalaman-pengalaman yang ada hubunganya antara
pelajaran yang satu dengan yang lainya ada yang
menghubungkan mata pelajaran yang satu dengan yang lainya
dengan memelihara identitas pelajaran, ada pula yang
menyatukan mata peljaran denga menghilangakan identitas
mata pelajaran dalam bidang studi tertentu. Korelasi data
dilakukan dengan berbagai macam cara antara lain: 1. Antara
dua mata pelajaran diadakan hubungan secara incidental, 2.
Hubungan yang erat terdapat apabila suatu masalah tertentu
diperbincangkan dalam berbagai mata pelajaran, 3. Dapat pula
beberapa mata pelajaran disatukan, difusikan dengan
menghilangkan batas masing-masing.
3) Integrated curiculum
Integrated curiculum meniadakan batas-batas antara
berbagai mata pelajaran dan menyajikan bahan pelajaran dalam
bentuk unit atau keseluruhan. Suatu unit mempunyai tujuan
127
yang beramakna bagi anak dan biasanya dituangkan dalam
bentuk masalah. Untuk memecahkan maslah ini anak
melakukan serangkaian aktivitas yang saling berkaitan.
Menghadapkan anak kepada masalah berarti merangsangnya
untuk berpikir dan ia tidak akan merasa puas sebelum ia
memecahkan maslah itu.
Secara lebih spesifik dengan bersandar ketat pada al-Qur‟an
dan Hadist Nabi saw, Muhaimin mengemukakan bentuk orgnisasi
materi kurikulum sebagai berikut:
1) Pola korelatif dan broad field
Bila di telaah al-Qur‟an, surah a-Baqarah ayat 31
sampai 33, maka dapat ditemukan satu petunjuk bahwa pada
saat Islam pertama kali lahir di dunia, yaitu seak nai Adam,
kurikulum pendidikan Islam masih menggunakan satu pola,
yait semua ilmu dijadikan satu broad field), diajarkan oleh
Allah kepada nami Adam dan para malaikat. Namun pada ayat
33 Allah telah memberikan isyarat akan adanya disiplin ilmu
lainya, yait uilmu-ilmu langait, ilmu-ilmuu bumi, ilmu tingkah
laku manusia, baik yang tampak maupun tersembunyi. Al-
qur‟an banyak memberi dorongan kepada umat Islmaagar
mampu mengungkap dan menemukan ilmu-ilmu tersebut (QS.
88: 53; 56; 63; 22: 46: 29: 20: dan 10: 10).
128
2) Pola integratif
Pola integratif dikembangkan untuk megintegrasikan
antara kebutuhan kehidupan jasmani dengan rohani, antara
epentingan dunia dan akhirat (QS. 28: 77; 2: 201),
mengintegrasikan antara tuntunan individu dengan tuntunan
kemasyarakatan (QS 5: 92; 59: 9; 107: 1-7). Dan di dalam ayat
lain juga disebutkan: maka apakah mereka tiidak
memperhatikan (meneliti atau mempelajari) bagaimana onta di
ciptakan; dan langit bagaimana di tinggikan; dan bumi
bagaimana di hamparkan. Maka berilah ia peringatan, karena
sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi pperingatan
(QS. 88: 17-21).
3) Pola core kurikulum
Dengan berkembangnya disiplin ilmu yang semakin
luas maka perlu diadakan seleksi, mana imu-imu pokok yang
sangat dibutuhkan untuk diperbaiki umat dan manusia ecara
keseluruhan, dan mana pula ilmu penunjang. Dengan seleksi ini
diharapkan kehidupan umat dapat terpecahkan dan agama
Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam (Rosyadi,
2004: 279-280).
129
c. Proses belajar mengajar
Strategii pelaksanaan kurikulum tergambar dari cara yang
di tempuh dalam melaksanakan pengajaran, cara di dalam
mengadakan penilaian, cara dalam melaksanakan bimbingan dan
penyuluhan dan cara di dalam mengatur kwgiatan sekolah secara
keseluruhan.
Cara dalam melaksanakan pengajaran mencakup baik cara
yang berlaku secara umum, maupun cara yang berlaku dalam
menyajikan setiap bidang studi, termasukk metode mengajar dan
alat pembelajaran yang digunakan (Daradjat, 1984, 116).
Komponen proses belajar mengajar mempertimbangkan
kegiatan anak didik dan Pendidikan dalam proses belajar mengajar.
Dalam proses belajar anak sebaiknya tidak dibiarkan sendiarian.
Dibiarkkan mememang mungkin, tetapi hasil belajar oleh anak
sendirian biasanya kurang maksimal. Karena itu para ahli
menyebut proses belajar mengajar, Karena proses ini mmerupakan
gabungan kegiatan anak belajar dan guru mengajar yang tidak
terpisah. Proses belajar mengajar adalah kegiatan dalam mencapai
tujuan. Mutu proses itu banyak tergantung pada kemampuan
pendidik dalam menguasai, dan mengaplikasikan teori-teori
keilmuan, yaitu teori psikologis, khususnya psikologi Pendidikan,
130
metode belajar, penggunaan alat pengajalan, dan lain sebagainya
(Rosyadi, 2004: 283).
d. Evaluasi
Adapun yang mendasari, mengapa evaluasi diperlukan
dalam proses Pendidikan, menurut Sumadi Suryabrata dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu: dasr psikologis, dar
didaktis, dan dasar administratif.
Secara psikologis, orang selalu butuh untuk mengetahi
sejauh mana ia berjalan menuju tujuan yang ingin atau seharusnya
dicapai. Secara didaktis menunjukan bahwa hasil evaluasi
pembelajaran itu amat besar manfaatnya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan didaktis, misalnya untuk memotivai belajar,
menetahui cocok dan tidaknya bahan pelajaran dengan peserta
didik, mengetahui cocok tidaknya gaya atau metode belajar, untuk
mengetahui siapa saja yang perlu mendapatkan bantuan karena ada
kesulitan dan siapa saja yang memerlukan tambahan karena
kemajuan belajarnya melebihi peserta didik lainya. Secara
administratiif, evaluasi sangat diperlukan karena tanpa informasi
yang diperoleh dari evaluasi, orang tidak mungkin mengisi raport,
menentukan (IP) indeks prestasi, memberikan STB, untuk
mengetahui apakah seseorang memenuhi syarat sebagai peserta
didik baru atau tidak (Rosyadi, 2004: 284-285).
131
Sedangkan Suharmi Arikunto, denga ebih spesifik
mengemukakan fungsi evaluasi pendidikan sebagai berikut:
1) Evaluasi sebagai fungsi selektif
Dengan cara mengadakan penilaan, guru mempunyai cara
untuk mengadakan seleksi atau penelitian terhadap siswa.
Penilaian ini sendiri mempunyai berbagai tujuan, antara lain:
a) Untuk memilih siswa yang dapat diterima di sekolah
tertentu.
b) Untuk menentukan siswa yang layak naik kelas atau tingkat
berikutnya.
c) Untuk memilih siswa yang seharusnya mendapat beasiswa.
d) Untuk memilih siswa yang sudah berhak meningalkan
sekola atau belum.
2) Evaluasi berfungsi diagnostik
Apabila alat yang digunakan dalam evaluasi cukup
memenuhi syarat, maka dengan melihat hasilnya guru akan
mengetahui kelemahan siswa. Di samping itu diketahui pula
sebab-sebab kelemahan siswa. Jadi, dengan mengadakan
evaluasi, sebaiknya guru mengadakan diagnosa terhadap siswa
tentang kebaikan dan kelemahanya. Dengan dietahui sebab-
132
sebab kelemahan ini, maka akan lebih mudah dicari cara untuk
mengatasinya.
3) Evaluasi berfungsi sebagai penempatan
Sistem baru yang banyak dipopulerkn di negara Barat
adalah sistem belajar sendiri. Belajar sendir dapat dilakukan
dngan cara mempelajari paket belajar yang ain. Sehungga,
alasan dari timbulnya siistem ini adlah adanya pengakua bahwa
sejak lahirnya telah membawa bakat sendiri-sendiri, sehingga
pelajaran akan lebih efektif apabila disesuaikan dengan
pembawaan yang ada. Akantetapi disebabkan adanya
keterbatasan sarana dan tenaga, pendidikan yang bersifat
individual kadang-kadang sukar dilaksanakn. Pendekatan yang
lebih bersifat melayani perbedaan kemampua adalah
pengajaran secara kelompo. Untuk dapat menentukan dengan
pasti dikelompok mana siswa yang mempunyai hasil penelitian
yang sama, akan berada dalam kelompok yang sama dalam
belajar.
4) Evaluasi berfungsi sebagai pengukuru keberhasilan untuk
mengetahui sejauh mana suatu program berhasil diterapkan.
Telah disinggung pada bagian sebelum ini bahwa keberhasilan
program di tentukan oleh beberapa faktor, yaitu: guru, metode
133
mengajar, kurikulum, sarana dan sistem administrasi (Rosyadi,
2004: 289-290).
3. Prinsip Dasar Pengembangan Kurikulum
Dalam usaha mengembangkan kurikulum, ada beberapa prinsip
dasar ang harus diperhatikan yaitu:
a. Prinsip Relevansi
Secara umum, istilah relevansi pendidikan dapat diartikan
sebagai kesatuan atau keserasaian pendidikan dengan tututan
kehidupan. Maslah relevansi pendidikan dengan kehidupan dapat
ditinjau dari itga segi, yaitu:
1) Relevansi pendidikan dalam lingkungan hidup murid
Dalam menetapkan bahan pendidika yang akan
diajarkan, hendaknya dipertimbangkan sejauh mana bahan
tersebut sesuai dengan kehidupan nyata yang ada si sekitar
murid.
2) Relevansi dengan perkemangan kehidupan masa sekrang dan
masa yang akan datang
134
Disamping mempertimbangkan lingkungan hidup
murid, perlu diperhatikan pula perkembangan yang terjadi
dalam kehidupan di masa sekrang maupun yang aka datang.
3) Relevansi dengan tuntutan dalam dunia pekerjaan
Di samping relevansi dari isi pendidikan, tidak kala
pentingnya juga adalah relevansi dari segi kegiatan belajar.
Kurangnya relevansi dari segi kegiatan belajar mengajar ini
sering mengakibatnya sukarnya lulusan dalam menghadapi
tuntutan dari dunia pekerjaan.
b. Prinsip efektivitas
Efektivitas dalam suatu kegiatan berkenaan dengan sejauh
mana suatu yang direncanakan atau di inginkan dapat terlaksana
atau tercapai. Di dalam bidang pendidikan, efektifitas ini dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu:
1) Efektivitas mengajar guru, terutama menyangkut sejauh mana
jenis-jenis kegiatan belajar mengajar yang di rencanakan dapat
dilaksanakan dengan baik.
2) Efektivitas belajar murid, terutama menyangkut sejauh mana
tujuan-tujuan pelajaran yang di inginkan telah dapat dicapai
mealui kegiatan belajar-mengajar yang di tempuh.
c. Prinsip efesiensi
135
Efesiensi suatu usaha pada dasarnya merupakan
perbandingan antara hasil yang di capai (output) dan usaha yang
telah di keluarkan (input).
Dalam pengembangan kurikulum dan pendidikan pada
umumnya, prinsip efesiensi ini perlu sekali diperhatikan, baik
efesiensi dalam segi waktu, tenaga, peralatan, yang tentunya akan
menghasilkan efesiensi dalam segi biaya.
d. Prinsip kesinambungan
Dengan kesinambungan disini dimaksudkan adalah saling
hubungan atau jalin menjalin antara berbagai tingkat dan jenis
program pendidikan.
1) Kesinambungan antara berbagai tingkat sekolah
Bahan-bahan pelajaran yang diperlukan untuk belajar
lebih lanjut pada tingkat sekolah yang berikutnya hendaknya
sudah diajarkan pada tingkatt sekolah yang sebelumnya.
Bahan-bahan pelajaran yang sudah diajarkan pada tingkat
sekolah yang lebih rendah tidak perlu diajarkankanlagi pada
tingkat sekolah yang lebih tinggi.
2) Kesinambungan antara berbagai bidang studi
Bahan yang diajarkan dalam berbagai bidang studi
sering mempunyai hubungan satu sama lainya. Sehubungan
136
dengan hal itu urutan dalam penyajian berbagai bidang studi
hendaknya diusahakan sedemikian rupa agar hubungan tersebut
dapat terjalin dengan baik.
e. Prinsip fleksibilitas
Fleksibilitas disini dimaksudkan adalah tidak kaku, artinya
ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan di
dalam bertindak.
1) Fleksibilitas dalam memilih program pendidikan
Fleksibilitas ini dapat di wujudkan dalam bentuk pengadaan
program-program pilihan yang dapat berbenntuk jurusan,
program spesialisasi, ataupun program-program pendidikan
keterampilan yang dapat dipilih murid atas dasar kemampuan
dan minatya.
2) Fleksibilitas dalam mengembangkan program pengajaran
Fleksibilitas ini dapat diwujudkan antara lain dalam bentuk
memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk
mengembngkan sendiri program-program pengajaran dengan
berpegang pada tujuan dan bahan pengajaran di dalam
kurikulum yang masih agak bersifat umum (Daradjat, 1984,
123-124).
137
C. Implikasi Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo Bagi Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Islam
1. Tujuan Kurikulum Pendidikan Islam
a. Humanisasi
Berbicara tetang tujuan kurikulum Pendidikan Islam, sama
saja berbicara tentang tujuan pendidikan Islam. Sebab, kurikulum
pendidikan Islam adalah sarana guna untuk mencapai tujuan
Pendidikan Islam. Sebagaimana dikatakan Muhaimin dan Mujib
(1993: 153) bahwa perumusan tujuan Pendidikan Islam harus
berorientasi pada hakikat Pendidikan meliputi beberapa aspeknya,
antara lain:
1) Tujuan dan tugas hidup manusia
Manusia hidup bukan Karena kebetulan dan sia-sia, ia
diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu
(Q.S. 3:191). Diciptakan manusia adalah hanya untuk Allah
SWT. Indikasi tugasnya berupa ibadah (sebagai Abdullah) dan
tugas sebagai wakil Allah di muka bumi (kalifatullah).
2) Memperhatikan sifat-sifat dasar (nature) manusiai yang konsep
tentang manusia bahwa ia diciptakan sebagai khalifah Allah di
bumi (Q.S. 2: 30), serta untuk beribadah kepada-Nya (Q.S 51:
56), penciptaan itu dibekali dengan berbagai macam fitrah yang
138
berkencenderungan pada Al-hanief (rindu akan kebenaran dari
Tuhan) berupa agama Islam (Q.S. 18: 29) sebatas kemampuan
dan kapasitas ukuran yang ada.
3) Tuntutan masyarakat
Tuntutan ini baik berupa pelesarian nilai-nilai budaya
yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat,
maupun pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya
dalam mengantisipasi perkembangan dan tuntutan dunia
modern.
4) Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam
Dimensi kehidupan ideal Islam mengandung nilai yang
dapat meningkatakan kesejahteraan hidup manusia di dunia,
untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebai bekal
kehidupan di akhirat, serta mengandung nila yang mendorong
manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat
yang lebih membahagiakan, sehingga manusia ditunutut agar
tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi
yang dimiliki. Namun demikian, kemlaratan dan kemiskinan
duniiai harus di berantas, sebab kemlaratan duniai bias
menjadikan ancaman yang menjerumuskan manusia pada
kekufuran. Dimensi tersebt dapat memadukan antara
kepentingan duniawi dan ukhrowi (Q.S 28: 77). Keseimbangan
139
dan keserasian antara kedua kepentingan hidup inii menjadi
daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai
gejolak kehidupan yang menggoda ketentraman dan ketenangan
hidup manusia, baik yang bersifat spiritual, sosial, kultural,
ekonomis, maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia.
Melihat dari aspek-aspek tujuan pendidikan Islam diatas
yaitu: tujuan dan tugas hidup manusia, sifat-sifat dasar (nature),
tuntutan masyarakat, dan dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam.
dari ke-empat aspek tersebut, penulis melihat adanya hubungan
dengan humanisasi, yaitu memanusiakan manusia, menjadikan
manusia seutuhnya tanpa adanya objektivikasi (manusia hanya
menjadi objek) dan otomatisme (manusia jadi otomaton, bergerak
secara otomatis tanpa kesadaran) (Kuntowijoyo, 2006: 100).
Manusia hanya menjadi objek bagi pendidikan, sehingga para
peserta didik hanya disiapkan untuk menghadapi dunia pekerjaan,
dengan slogan menyiapka mental peserta didik dalam menghadapi
era globalisasi, yang berakibat manusia hanya bergerak secara
otomatis, yang berarti manusia bergerak sesuai irama mesin-mesin
pabrik yang sejatinya manusialah yang dikendalikan oleh mesin,
bukan manusia yang mengendalikan mesin.
Dalam teori hirarki kebutuhan, Maslow (1908-1970)
menyebutkan ada lima jenis kebutuhan dasar manusia secara
berjenjang dan bertingkat mulai dari yang paling rendah (bersifat
140
dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Pada
tingkat paling bawah terletak kebutuhan-kebutuhan fisiologis
(physiological needs), tingkat kedua terdapat kebutuhan akan rasa
aman dan perlindungan (need for self-security and security),
tingkat ketiga mencerminkan kebutuhan yang digolongkan dalam
kelompok kasih sayang (need for love and belongingness), tingkat
keempat mencerminkan kebutuhan atas penghargaan diri (need for
self-system), sedangkan tingkat kelima adalah kebutuhan
aktualisasi diri (need for self-actualization) (Nursikin, 2016: 325).
Pentingnya humanisasi sebagai tujuan dalam kurikulum
pendidikan islam adalah untuk menjawab dari persoalan-persoalan
di atas, yang menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya.
Rosyadi (2004: 161) menjelaskan perubahan yang di inginkan
dalam tujuan pendidikan pada tiga bidang, yitu:
1) Tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu,
pelajaran yang bertaut dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa
yang berkaitan dengan individu-individu tersebut. Perubahan
yang di inginkan terletak pada tingkah laku, aktivitas dan
pencapaianya, pertumbuhan yang diinginkan pada pribadi
mereka, dan persiapan yang dimestikan kepada mereka pada
kehidupan di dunia d na akhirat.
141
2) Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat
secara keseluruhan dengan tingkah laku masyarakat umumnya,
dan dengan apa yang berkaitan dengan kehidupan ini mengenai
perubahan yang di inginkan, pertumbuhan, kekayaan
pengamalan, dan kemajuan yang dinginkan.
3) Tujuan-tujuan profesional yang berkaitan d engan pendidikan
dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan
sebgai suatu aktivitas diantara aktivitas-aktivitas masyarakat.
b. Liberasi
Secara teoritis, salah satu tujuan kurikulum Pendidikan
adalah tujuan fungsional, yang berarti tujuan yang sasaranya
diarahkan pada kemampuan anak didik untuk menfungsikan daya
kognitif, afektif, dan psikomotorik dari hasil Pendidikan yang
diperoleh, sesuai yang ditetapkan. Tujuan ini meliputi:
1) Tujuan individual yang sasaranya pada pemberian kemampuan
individual untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah di
internalisasikan ke dalam pribadi berupa moral, intelektual, dan
skil.
2) Tujuan sosial yang sasaranya pada pemberian kemampuan
pengamalan nilai-niai kedalam kehidupan sosial, interpersonal,
dan interaksional dengan orang lain dalam masyarakat.
142
3) Tujuan moral yang bersasaran pada pemberian kemampuan
untuk berprilaku sesuai dengan tuntunan moral atas dorongan
motivasi yang bersumber pada agama, dorongan social, dan
dorongan biologis.
4) Tujuan professional yang bersasaran pada pemberian
kemampuan untuk mengamalkan keahlianya, sesuai dengan
kompetensi (Muhaimin dan Mujib, 1993: 157).
Dilihat dari tujuan fungsional kurikulum di atas, peran
liberasi sebagai tujuan kurikulum pendidikan Islam akan
membebaskan tujuan kurikulum yang hanya bersasaran pada satu
aspek. Dengan adanya liberasi maka tujuan kurikulum akan
mencakup seluruh aspek tujuan kurikulum pendidikan, yaitu aspek
kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. Sebagai contoh
dimana sasaran liberasi melakukan pembebasan dari sistem
pengetahuan materialistis, dari domidonasi struktur, misalnya dari
kelas dan seks. Pembebasan dari kesadaran kelas ini bertentangan
dengan Marxisme Timur dan Barat yang menekankan kesadaran
kelas sebagai objek penelitian. Demikian juga pembebasan dari
dominasi seks ini bertentangan dengan gerakan feminisme barat
yang serba anti pria. Islam dalam hal ini menndukung suatu
moderasi, yaitu kemitrasejajaran antara pria dan wanita, dengan
perspektif gender (Kuntowijoyo, 2006: 1003).
143
c. Transendensi
Seseorang yang taat beragama dan mempelajari ilmu-ilmu
alam (teknik, fisika, farmasi, pertanian, kedokteran) tidak banyak
mempunyai persoalan dengan aspek muamalah dari agama.
Sebaliknya, mereka yang belajar ilmu-ilmu kemanusiaan
(sosiologi, antropologi, politik, sejarah, filsafat) akan mempunyai
persoalan besar. Itu semua karena aspek muamalah dari agama
termasuk wilayah ilmu-ilmu kemanusiaan. Bagi mereka yang
mempelajari ilmu-ilmu agama saja mungkin terkejut dengan gejala
“modern” seperti cadar, jubah, dan bermacam-macam aliran yang
sedang berkembang saat ini. Bagaimana semua itu bisa terjadi pada
zaman modern? Mereka dan para penganut sendiri tidak bisa
membedakan “mana padi mana ganggang”, karena gejala-gejala itu
berada di luar sistem pengetahuan mereka. Mereka cenderung
melihat dari ilmu agama saja.
Transendental akan berguna bagi ketiganya untuk
menyadari adanya totalitas Islam dan adanya peruahan-perubahan.
Soal terbesar bagi Islam ialah bagaimana mengikuti perubahan
tanpa kehilangan jati dirinya sebagai agama yang kaffah
(Kuntowijoyo, 2006: 37-38).
Bagi umat Islam sendiri tentu transendensi berarti beriman
kepada Allah SWT oleh karena itu, transendental sebagai tujuan
144
kurikulum pendidikan Islam menurut Al-Ghazali tercermin dalam
dua segi, yaitu:
1) Insan purna yang betujuan mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
2) Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagian hidup di
dunia dan di akhirat.
Sedangkan menurut Ibnu Kholdun sebagai berikut:
1) Tujuan yang berorientasi ukhrowi yaitu membentuk seseorang
hamba agar melakukan kewajibanya kepada Allah.
2) Tujuan yang berorientasi duniawi yaitu membentuk manusia
yang mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih
layak dan bermanfaat bagi orang muslim.
Sedangkan menurut Abdur Rosid ibnu Abdil Aziz dalam
bukunya “at-tarbiyah Al-Islamiyah Wa Thuruqu Tadrisaha”
menukil dari pendapat para ahli seperi Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-
Ghazali, dan Ihwanus Shafa adalah sebagai berikut:
1) Adanya taqorrub pada Allah melalui pendidikan akhlak.
2) Menciptakan individu untuk memiliki pola pikir yang ilmiah
dan pribadi yag paripura, yaitu pribadi yang dapat
mengintegrasikan antara agama dengan ilmu seta amal saleh,
145
guna memperoleh ketinggian derajat dalam berbagai dimensi
kehidupan (Muhaimin dan Mujib, 1993: 160-161).
d. Objektivikasi
Objekivikasi menempuh prosedur yang sama dengan
eksternalisasi, tapi ada tambahan. Objektivikasi adalah juga
konkretisasi dari keyakianan internal. Suatu perbuatan objektif
apabila perbuatan itu diraskan oleh orang non-Muslim sebagai
sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai peruatan
keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai
perbuatan, bila tetap menganggapnya sebagai perbutan kegamaan
termasuk amal. Objektivikasi juga dapat dilakukan oleh orang-
orang non-Islam, asal perbutan itu diarsakan oleh orang islam
sebagai sesuatu yang objektif, sementara orang non-Islam
dipersilakan menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan
(Kuntowijoyo, 2008: 61-62).
Menurut Iqbal objektivikasi sebagai tujuan kurikulum
pendidikan Islam akan memiliki dimensi ilmiah, dimensi yang
mendiring mausia untuk selalu bersikap objektif dan realistis dalam
menghadapi tantangan zaman, serta berbagai kehidupan manusia
terbina untuk bertingkah laku secara kritis dan rasional, serta
berusaha mengembangkan keterampilan dan kreativitas berfikir
(Muhaimin dan Mujib, 1993: 160-161).
146
2. Materi Kurikulum Pendidikan Islam
a. Humanisasi
Manusia pada zaman industri mudah sekali terjatuh.
Kehilangan kemanusiaanya. Karenanya suatu usaha untuk
mengangkat kembali martabat manusia, (emansipasi) manusia,
humanization (Fromm, 1968) sangat diperlukan. Dalam QS Al-Tin
(95); 5, 6 di katakan bahwa orang dapat terjatuh ketempat paling
rendah. Kemudian ayat itu mengecualikan orang-orang yang
beriman dan beramal saleh. Kiranya ayat ini merujuk pada
humanisasi, yaitu iman dan amal saleh. Tentu saja implikasi dari
iman dan amal saleh itu sangat luas (Kuntowijoyo, 2006: 102).
Humanisasi sebagai materi kurikulum pendidikan Islam
yang berlandaskan al-Qur‟an akan menciptakan insan kamil yang
beriman dan beramal saleh. Maka humanisasi akan mengangkat
kembali martabat peserta didik, menurut Ibnu Kaldun dengan
mengajarka materi sebagai berikut:
1) Ilmu lisan (bahasa) yang terdir darii lima lughah, nahwu, sharaf,
balaghah, ma‟ani, bayan, adab, (sastra), dan syair-syair.
2) Ilmu nnaqli, yaitu ilmu yang di nukil dari kitab al-Qur‟an
(termasukk ilmju tafsir, tajwid, makharijul huruf, dan
sebagainya). Dan sunah Nabi saw (termasuk sanad-sanadnya
147
hadist dan pentashehanya, serta itimbath tentangg qanun-qanun
fiqhiahnya.
Ilmu aqli, yaitun ilmu yang dapat menunjukan manusia
melalui daya kemampuan berpikir seperti filsafat dan semua jenis
ilmu pengetahuan. Termasuk kelompok ilmu-ilmu ini adalah logika
(ilmu manthiq), imu alam, ilmu ketuhanan (teologi), ilmu teknik,
ilmu hitung, ilmj tentang tingkah laku manusia, dan lain
sebagainya (Rosyadi, 2004: 281).
b. Liberasi
Dilihat dari sasaran liberasi ada empat, yaitu sistem
pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik.
Maka liberasi sebagai materi kurikulum pendidikan Islam akan
berisi materi tentang sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem
ekonomi, dan sistem politik.
Liberasi sistem pengetahuan ialah usaha untuk
membebakan orang dari sistem pengetahuan materialistis, dari
dominasi struktur, misalnya dari kelas dan seks. Pembebasa dari
belenggu sistem sosial amat penting, karena pada umumnya umat
sedang keluar dari sistem soaial agraris ke sistem sosial idustrial
itullah the great transformation bagi umat manusia. Pembebasan
dari belenggu sistem ekonomi perlu mendapat perhatian, meskipun
masalah ini kadang sangat sensitif karena disangkutkan denga
148
pembangunan nasional stabilitas, dan keamanan. Liberasi politik
berarti membebaskan sistem dari otoritarianisme, diktator, dan
neofeodalisme (Kuntowijoyo, 2006: 103-105).
Liberasi/pembebasan dari belenggu sistem sosial amat
penting, karena pada umumnya umat sedang keluar dari sistem
sosial agraris ke sistem sosial industrial. Itulah the great
transformation bagi umat. Transformasi itu sudah berjalan sejka
awal abad ke-20, barangkali kita hanya mengalami ujungnya.
Pertanyaan-pertanyaan kritis sekitar kelembagaan tradisional kita
(pengelompokan sosial, pendidikan, kepemimpinan) mungkin
mendapat tantangan dari lembaga-lembaga tradisional.
Pembebasan dari belenggu sistem ekonomi perlu mendapat
perhatian, meskipun masalah ini kadang-kadang sangat sensitif
karena disangkutkan dengan pembangunan nasiona, stabilitas, dan
keamanan. Adalah kepentingan nasional kita untuk melihat
beberapa kesenjangan dan ketidakadilan deengan kepala dingin.
Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini kebanyakan pasti
disebabkan juga karena kesenjangan ekonomi. Ted Robert Gurr
dalam Why Men Rebel (1971) menyatakan bahwa penyebab utama
dari pemberontakan ialah relative deprivation. Dalam hal
kesenjangan ekonomi setidaknya ada dua ayat al-Qur‟an yang
dengan jelas menyebutkanya, yaitu QS Al-Hayir [59]: 7 yang
artinya "supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya
149
di antara kamu” dan QS al-Zukhruf [43]: 32 yang artinya “apakah
mereka (yang berhak) membagi-bagi rahmat Tuhanmu?”. Suatu
gerakan liberasi yang didasarkan akal sehat justru penting untuk
sitem ekonomi nasional.
Liberasi politik berarti membebaskan sistem dari
otoritarianisme, diktator, dan neofeodaisme. Demokrasi HAM, dan
masyarakat madani adalah juga tujuan Isam. Aktivisme politik dari
para ilmuan patut disyukuri, sebab biasanya justru ilmu-ilmu sosial
akan menjamin bahwa perubahan dan transformasi berjalan secara
rasional dan bertanggung jawab secara ilmiah. Reaksi keras yang
datang dari para pejabat berupa ketidak percayaan kepada ilmu
sebagai tidak relevan dengan masalah aktual tidak pada tempatnya.
Memang bukanlah tugas ilmu untuk menjawab persoalan praktias
jangka pendek, itu adalah tgas pejabat. Urusan ilmu adalah
perubahan dan trasnformasi sosial jangka panjang. Ketakutan akan
adanya aliansi antara intelekual dengan massa, seperti tercermin
dalam kata-kata “dalang”, “pihak ketiga”, dan “aktor intelektual”
tidak mempunyai dasar faktual. Intelektual Islam tidak boleh takut
bernahi munkar asal dilandasi dengan ilmu. Mari kita dorong
sejarah indonesia kerah perubahan dan transformasi (Kuntowijoyo,
2006: 104-105).
150
c. Transendensi
Mengenai transendensi ada garapan khusus untuk masalah
umat, yaitu gerakan-gerakan Islam yang merupakan splinter group
seperti Darul Hadis, Jamah Tabligh, Darul Arqam, dan sebagainya
yang menggelisahkan mainstream umat karena tiba-tiba muncul
cadar, jubah, dan celana komprang. Belum pernah ada penelitian
mengenai mereka, mungkin karean sifatnya yang mirip secret
society. Jelas bahwa mereka adalah gejala anti industrialisme,
tetapi tidak anti industri. Namun, kadang-kadang mereka
mengejutkan kalangan mainstream karena dengan mudah
mengkafirkan orang lain (Kuntowijoyo, 2006: 107).
Melihat gejala-gejala diatas, bagi mereka yang mempelajari
ilmu-ilmu agama saja mungkin terkejut dengan dengan gejala-
gejala modern seperti yang tersebut di atas. Maka dari itu
transendensi sebagai materi kurikulum tidak harus berisi ilmu-ilmu
agama saja, tetapi harus dibarengi dengan ilmu-ilmu umum seperti
yang di ungkapakan Al-Farabi sebagai berikut:
1) Ilmu bahasa.
2) Logika.
3) Sains persiapan, yang terdiri dari ilmu hitung, geometrik, optik,
sains tentang benda-benda samawi, seperti astronomi, dan lain
sebgainya.
151
4) Fisika dan metafisika yang terdiri dari berbagai jenis ilmu,
seperti ilmu-ilmu yang berkaitan dengan benda-benda alam,
elemen-elemenya, ciri-ciri dan hukumnya, serta faktor-faktor
yang merusaknya, tentang reaksi unsur-unsur dalam benda itu,
ilmu-ilmu mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan lain
sebagainya.
5) Ilmu kemasyarakatan terdiri dari yuridisprodensi (hukum atau
syariat) dan ilmu retorika (Rosyadi, 2004: 280-281).
3. Proses Belajar Mengajar
a. Humanisasi
Proses belajar mengajar mempertimbangkan kegiatan anak
didik dan Pendidikan dalam proses belajar mengajar. Dalam proses
belajar itu anak sebaiknya tidak di biarkan sendidirian. Dibiarkan
memang mungkin, tetapi hasil belajar oleh anak sendirian biasanya
kurang maksimal. Karena itu para ahli menyebut proses belajar
mengajar, Karena proses ini mmerupakan gabungan kegiatan anak
belajar dan guru mengajar yang tidak terpisah (Rosyadi, 2004:
283).
Sebagaimana tujuan humanisasi adalah memanusiakan
manusia (Kuntowijoyo, 2006: 87) oleh Karena itu, humanisasi
sebagai proses belajar mengajar akan menghormati akan adanya
kebebasan, bakat-bakat, kemampuan-kemampuan, kebutuhan-
152
kebutuhan, minat-minat, serta keinginan-kenginan antar individu
(Muhaimin dan Mujib, 1993: 92).
Pentingya humanisasi sebagai proses belajar mengajar
karena potensi dari setiap anak itu berbeda, serta dari kedua belah
pihak yaitu pendidik dan peserta didik hendaknya tanpa adanya
paksaan serta kekerasan. Berbicara tentang humanisasi maka akan
ada kaitanya dengan psikologi, sebab keduanya membahas tentang
manusia. Sebagaimana Asy-Syaibani menetapkan adanya dasar
psikologi dalam kurikulum, dasar ini mempertimbanagkan tahapan
psikis anak didik, yang berkaitan dengan perkembangan jasmaniah,
kematangan, bakat-bakat jasmaniah, intelektual, bahasa, emosi,
social, kebutuhan dan keninginan individu, minat dan kecakapan.
Dasar psikologis terbagi atas dua macam, yaitu psikologi pelajar
dan psikologi anak.
1) Psikologi pelajar, hakikat anak-anak itu dapat di didik, di
belajarkan dan diberi sejumalah materi dan pengetahuan. Di
samping itu hakikat anak-anak dapat mengubah sikapnya, serta
dapat menerima norma-norma, dapat mempelajari
keterampilan-keterampilan, berpijak dari kemampuan anak
tersebut. Oleh Karena itu, hal yang perlu diperhatikan adalah
bagaimana kurikulum memberikan peluang belajar untuk
peserta didik, dan bagaimana proses belajar berlangsung, serta
153
dalam keadaan bagaimana anak itu memberi hasil yang sebaik-
baiknya.
2) Psikologi anak, setiap anak mempunyai kepentingan yakni
untuk mendapatkan situasi-situasi belajar pada anak-anak agar
untuk mengembangkan bakatnya. Oleh karenaya, wajarlah jika
anak merupakan factor penentu dalam pembinaan kurikulum
yang berlangsung selama proses belajar mengajar (Muhaimin
dan Mujib, 1993: 193).
b. Liberasi
Menurut Kuntowijoyo tujuan liberasi adalah pembebasan
dari kekejaman kemiskinan structural, keangkuhan teknologi, dan
pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang
miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis,
dan mereka yag tergusur oleh ekonomi raksasa. Kita ingin
Bersama-sama membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang
kita bangun sendiri (Kuntowijoyo, 2006: 88).
Penulis mengartikan liberasi sebagai proses pembelajaran
dalam kurikulum pendidikan Islam berarti memberi kebebasan
penuh kepada peserta didik untuk mengambil keputusan untuk
menentukan masa depanya sendiri. Tetapi dengan catatan peserta
didik yang sudah mempunyai kriteria cukup. Liberasi tidak di
pakai untuk peserta didik yang masih duduk dibangku TK sampai
154
SMP, karena pada usia tersebut peserta didik masih dalam tahap
pendidikan jasmani dan pelatian pancaindra serta dalam tahap
pembentukan watak dan pendidikan agama (Muhaimin dan Mujib,
1993: 178-179).
c. Transendensi
Dalam kaitanya transendensi sebagai proses belajar
mengajar, penulis tidak akan terfokus pada pendidik dan peserta
didiknya, karena buku yang membahas tentang pendidik dan
peserta didik dalam Pendidikan Islam sudah teramat banyak.
Penulis akan membahas hal yang menjadi dasar atau
landasan kegiatan pendidik dan peserta didik lakukan, yaitu proses
belajar mengajar. Transendensi sebagai landasan kegiatan belajar
mengajar dibagi menjadi tiga pilar, yaitu: kalam qauliyah
(theological), ayat kauniyah (nomothetic), dan nafsiyah atau
insaniyah (humaniora) (Kuntowijoyo, 2006: 25).
1) Pilar qauliyah (theological)
Pilar qauliyah digunakan oleh Kuntowijoyo sebagai
landasan kegiatan belajar mengajar untuk mengakomodasi
perintah dan larangan yang ada di al-Qur‟an dan al-Sunah
dalam rangka menjadi landasan dasar pembentukan insan
kamil atau khaira ummatin.
155
a) Al-Qur‟an
Syed Mahmudansir (1991: 429) menyebutkan
bahwa al-Qur‟an diakui oleh orang-orang Islam sebagai
firman Allah, dan karenanya ia merupakan dasar bagi
hukum mereka. Sebenarnya, al-Qur‟an tidak diwahyukan
secara keseluruhan, tetapi turun secara sebagian-sebagian,
sesuai dengan timbulnya kebutuhn, dalam masa kira-kira
dua puluh tiga tahun. Fazlurrahman (1987: 55)
menambahkan bahwa pewahyuan total pada suatu waktu
adalah mustahil, karena al-Qur‟a turun menjadi peunjuk
bagi kaum muslimin dari waktu ke waktu yang selaras dan
sejalan dengan kebutuhan yang terjadi (Rosaydi, 2004:
153).
Menurut Ash-Shidieqy (1980: 189), al-Qur‟an
sebagai tempat pengambilan yang menjadi sandaran segala
dasar cabang, yang menjelaskan tentang pranata susila yang
benar bagi kehidupan manusia. Al-Qur‟an berisi aturan
yang sangat lengkap dan tidak punya cela, mempunyai nilai
universal dan tidak terikat ruang dan waktu, nilai ajaranya
mampu membahas segala dimensi ruang dan waktu.
Semisal tentang ajaranya yang serba mencakup dan
melingkupi, al-Qur‟an menyebut dirinya sebagai cahaya (4:
156
174); al-Qur‟an merupakan kitab pendidikan dan
pengajaran secara umum, juga merupakan kitab pendidikan
secara khusus, pendidikan sosial, moral, dan spiritual.
Menurut Al-Syaibany (1970: 40-41), jika falsafah
berusaha mengkaji pangkal segala hal sampai keujungnya,
juga mengkaji hubungan dan kaitan manusia dengan
manusia, laluu antara manusia dengan alam jagad raya,
antara manusia dan Sang Pencipta, maka falsafah Allah itu
meliputi wujud secara keseluruhan; langit, bumi, benda-
benda hidup, benda-benda spiritual dan material, yang
zhahir dan yang bathin, yang awal dan yang akhir, meliputi
segala wujud dengan keseluruhanya yang bersifat waktuu
dan empat. Falsafal al-Qur‟an memadukan antara individu
dan alam jagad, dan antara alam jagad dengan penciptanya.
Inilah yang merupakan penjelmaan universalisme dan
tauhid dalam al-Qur‟an (Rosyadi, 2004: 154).
Kalau al-Qur‟an merupakan sumber inspiasi dan
aktivitas manusia dalam setiap sendi kehidupanya, yang
akan mengantarkan manusia mampu berdialog secara ramah
dengan dirinya sendiri, dengan alam sekitar, dan dengan
Tuhanya, maka al-Qur‟an menjadi landasan yang kokoh dan
paling strategis bagi orientasi pengembangan intelektual,
157
spiritual, dan keparipurnaan hidup manusia secara hakiki
(Rosyadi, 2004: 155).
b) Al-Sunah
Rosyadi (2004: 155) menyamakan antara pengertian
al-Sunah dan al-Hadist, karena perkemangan pengertian
hadist dan sunah adalah menjadi sama. Secara substansial
keduanya mengacu kepada segala perkataan, tindakan, dan
persetujuan beliau Nabi Muhammad SAW terhadap hal-hal
baik.
Menurut Rosyadi (2004: 155), dijadikanya al-Sunah
sebagai sebagai dasar kegiatan belajar mengajar tidak lepas
ddari fungsi al-Sunah itu sendiri terhadap al-Qur‟an. Funsi
al-sunah terhadap al-Qur‟an ialah sangat peting. Ada
beberapa pembenaran yang mendesak untuk segera
ditampilkan, yaitu: pertama sunah menenrangakan ayat-
ayat al-Qur‟an yang bersifat umum. Maka dengan
sendirinya yang menerangkan itu terkemudian dari yang
diterangkan. Kedua Sunah mengkhidmati al-Qur‟an.
Memang al-Sunah menjelaskan mujmal al-Qur‟an,
menerangkan musykilnya, dan memanjangkan
keringkasanya (Shihab, 1992: 122).
158
Al-Qur‟an menekankan bahwa rasulullah berfungsi
menjelaskan maksud firman-firman Allah (16: 44). Abdul
Halim Mahmud, dalam bukunya al-sunah fi makanatiha wa
fi Tarikhiha, menulis bahwa al-Qur‟an mempunyai fungsi
yang berhubungan dengan al-Qur‟an dan fungsi berkaitan
dengan pembinaan hukum syara‟. Dengan menunjuk
pendapat al-Syafi‟i dalam al-risalah, Abdul Halim
menegaskan bahwa dalam kaitanya dengan al-Qur‟an ada
dua fungsi al-Sunah yang tidak di perselisihkan, yaitu apa
yang di distilahkan oleh sementara ulama dengan bayan
ta‟kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekedar menguatkan
atau menggaris bawahi kembali apa yang terdapat dalam al-
Qur‟an, sedang yang kedua; memperjelas, merinci, bahkan
membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur‟an
(Shihab, 1992: 122).
2) Pilar Kauniyah (Nomothetic)
Selain menurunkan kalam qauliyah kepada umat
manusia melalui penrantara Malaikat Jibril AS dan Nabi-
Nabinya, ia membentangkan ayat-ayat kauniyah secara nyata,
yaitu alam semesta dengan segala macam partikel dan
heterogenitas berbagai entitas yang ada di dalamnya; langit
yang begitu lua dengan gugusan-gugusan galaksinya, laut yag
begitu membahana dengan kekayaan dan aneka aprimatan
159
yang di kandungnya, bumii yang bulat dengan segala yang di
lahirkanya; pepohonan, bebukitan, pegunungan, dan berbagai
macam binatang yang lainya.
Sebagai contoh dari ayat kauniyah tersebut ialah, “Dia-
lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan guung-
gunung dan sungai-sungai padanya. Dia menjadikan padanya
buah-buahan berpasang-pasangan. Allah (jugalah) yang
menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang
demikian ituu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
kaum yang berpikir” (al-Ra‟du: 3).
Dilihat secara pedagogis, hal tersebut amatlah penting
bagi berlangsungnya proses pendidikan demi tercapainya
(setidaknya) dan hal sekaligus; bukan hanya tumpukan ilmu
dan kepandaian, tapi juga sikap arif dan kedewasaan jiwa
(Rosyadi, 2004: 157-158).
3) Pilar Nafsiyah atau Insaniyah (Humaniora)
Pilar ketiga yang menjadi landasan kegiatan belajar
mengajar adalah hal-hal yang berkenaan dengan makna, nilai,
dan kesadaran atau biasa disebut dengan pilar nafsiyah.
Maksudnya, segala makna, nilai dan kesadaran dalam
pendidikan Islam bertolak dari landasan qauliyah dan kauniyah
serta berakhir pula kepada Islam. sehingga pilar nafsiyah atau
160
insaniyah sebagai landasan dalam kegiatan belajar mengajar
dapat memungknkan adanya ikhtiar, perubahan, dan
transformasi sosial dalam rangka mendekatkan pendidikan
kepada tujuanya.
Salah satu bentuk kemungkinan dari adanya pilar
nafsiyah atau insaniyah sebagai landasan dalam kegiatan
belajar mengajar adalah ijtihad. Menurut A.M. Saifudin (1991:
13), ijtihad sebagai langkah untuk memperbarui interpretasi
dan pelembagaan ajaran Islam dalam kehidupan yang
berkembang merupakan semangat kebudayaan Islami. Ijtihad
yang dimaksud disini adalah pengertian yang luas, bukan
ijtihad yang oleh sementara para ulama disebut sebagai ijtihad
fardhi dan jama‟i. Kedua model ijtihad itu terjadi karena
adanya keterikatan ruang dan waktu (Rosyadi, 2004: 158).
Menurut Soebahar (1992: 22), ijtihad yang diarahkan
kepada interpretasi wahyu da al-kaun akan menghasilkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang
menggembirakan. Sebab interpretasi manusia atas akan wahyu
akan mengahsilkan pemahaman keagamaan atau agama yang
aktual. Sementara interpretasi terhadap al-kaun akan
menghasilkan ilmu pengetahuan (Munir, 2016: 93-95).
161
Seseorang yang melakukan kegiatan ijtihad disebut
sebagai mujtahid. Seorang mujtahid senantiasa menggunakan
akal budinya untuk memecahkan problematika kemanusiaan
dalam kehidupanya. Orang yang senantiasa menggunakan akal
budinya, oleh al-Qur‟an disebut sebagai ulul albab. Oleh
Jalaludin Rakhmat (1991: 211) di jelaskan bahwa kelompok
manusia tertentu yang diberi keistimewaan berupa hikmah dan
pengetahuan, di samping pengetahuan yang diperoleh secara
empiris (Rosyadi, 2004: 159).
d. Objektivikasi
Suatu perbuatan dikatakan objektif bila perbuatan itu
dirasakan oleh orang non-Muslim sebagai sesuatu yang natural
(sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan termasuk amal.
Objektivikasi juga dapat dilakukan oleh orang non-Islam, asal
perbuatan itu dirasakan oleh orang Islam sebagai sesuatu yang
objektif, sementara orang non-Islam dipersilakan menganggapnya
sebagai perbuatan keagamaan (Kuntowijoyo, 2006: 62).
Objektivikasi sebagai proses pembelajaran akan
menghilangkan sikap subjektif pendidik terhadap peserta didiknya,
seorang pendidik sudah selayaknya memiliki sikap objektif karena
seorang pendidik bertanggung jawab atas pendidikan dan
pengajaran (Rosyadi, 2004: 172). Al-Ghazali dalam Mizanul Amal,
162
mengatakan bahwa orang-orang yang mempunyai ilmu
(Muta‟alim) berada dalam keadaan sebagai berikut:
1) Mencari faedah dan guna ilmu.
2) Mencari hail ilmu pengetahuan sehingga ia tidak bertanya-
tanya.
3) Memberi wawasan ilmu dan mengajarkanya, dan inilah
keadaan termulya baginya. Jadi, barang siapa telah mencaai
ilmu pengetahuan, kemudian ia dapat mengambil faedahnya
dan selanjutnya di ajarkan maka ia adalah laksana matahari
bersinar yang menyinari lainya. Ia adalah laksana kasturi yang
dapat mengahrumkan, dan ia sendiri harum (rosyadi, 2004:
175).
Dalam mencapai keadaan yang tersebut di atas, seorang
pendidik harus memiliki sikap objektif. Jika pendidik tidak
mempunyai sikap objektif maka sudah dipastikan tidak akan
mencapai keadaan yang tersebut di atas, hanya akan menjadi pohon
yang rindang tetapi tidak berbuah, dalam artian ilmunya tidak
bermanfaat.
163
4. Evaluasi Pembelajaran
a. Humanisasi
Umat manusia sekarang ini sedang mengalami proses
dehumanisasi karena masyarakat industrial kita menjadikan kita
sebagai bagian dari mayarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan.
Kita mengalami objektivikasi ketika kita berada di tengah-tengah
mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu dan teknologi juga telah
membantu ecenderungan reduksionistik yang melihat manusia
dengan cara parsial (Kuntowijoyo, 2006: 87-88).
Dari fenomena di atas, penulis akan menjadikan humanisasi
sebagai fungsi dari evaluasi. Dimana tujuan humanisasi adalah
memanusiakan manusia, dalam artian evaluasi pembelajaran
humanisasi akan menyetarakan semua peserta didik, setara dalam
tingkat pengetahuan maupun akhlak. Menurut Muhhaimin dan
Mujib (1993: 277) fungsi evaluasi adalah membantu anak didik
agar ia dapat mengubah dan mengembangkan tingkah akunya
secara sadar, serta memberi bantuan padanya cara meraih suatu
kepuasan bila berbuat sebagaimana mestinya. Dengan
menambahkan humanisasi sebagai fungsi evaluasi maka antara
peserta didik satu dengan yang lainya akan mendapatkan prilaku
dan pengetahuan yang sama untuk bekal peserta didik dalam dunia
pekerjaan maupun kehidupan bermasyarakat.
164
b. Transendensi
Kata kerja transcend, yang darinya kata transendental
diambil, berasal dari bahasa latin transcendere yang artinya
memanjat di/ke atas (Kuntowijoyo, 2006: 34). Dalam Islam tentu
dapat di artikan hablumminallah yaitu hubungan antara manusia
dengan Tuhan atau lebih tepatnya rasa keimanan.
Evaluasi pembelajaran merupakan komponen yang sangat
penting dalam suatu kurikulum, sehingga seorang evaluator sudah
seharusnya memiliki rasa keimanan, Rosyadi (2004: 285)
menyebutkan salah satu dasar evaluasi adalah dasar religius.
Bagaimana Islam dengan seperangkat norma dan ajaranya
merupakan dasar yang fundamental bagi proses pendidikan Islam,
khususnya dalam evaluasi, sebagaimana kita ketahui bahwa sifat
manusia itu ada dua yang saling bertentangan, yaitu manusia
makhluk yang dhaif dan lemah (QS, 4: 28; 6: 78; 17: 85); manusia
makhluk yang mudah membantah dan ingkatr kepada Allah (QS.
18: 54; 17: 89) di satu pihak, dan manusia juga sebagai makhluk
terbaik dari semua prestasi Tuhan tentang penciptaan (QS. 95: 4);
manusia makhluk yang paling mulia (QS. 17: 70); manusia
diangkat menjadi khalifah (QS. 2: 30; 6: 165) untuk mengelola
alam serta isinya (QS. 2: 29; 31: 20) di lain pihak. Karena kondisi
yang tarik menarik seperti inilah perlu adanya kontrol terus
165
menerus, yang dalam terminologi pendidikan kita sebut evaluasi
(Rosyadi, 2004: 285).
c. Objektivikasi
Objektivikasi menempuh prosedur yang sama dengan
eksternalisasi, tapi ada tambahan. Objektivikasi adalah juga
konkretisasi dari keyakinan internal. Dengan objektifikasi akan
dihindari dua hal: sekularisasi dan dominasi (Kuntowijoyo, 2006:
62). Umat Islam di tuntut untuk berprilaku objektif secara aktif.
Islam adalah ramat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil
„alamin-QS Al-Anbiya‟ 21: 107), dengan artian Islam di turunkan
sebagai rahmat kepada siapapun, tanpa memandang agama, warna
kulit, budaya, dan sebagainya. Demikian pula diperintahkan
kepada umat Islam untuk berbuat adil, tanpa pandang bulu,
kerabat, status, kelas, golongan (baca QS Al-Maidah 5: 8).
Supaya Islam benar-benar dapat dirasakan sebagai rahmat yang
adil kepada siapa pun (Kuntowijoyo, 2006: 61).
Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa sebuah
prilaku dapat di katakan objektif jika prilaku tersebut dapat
dirasakan oleh orang non-Islam, yang berarti dapat diraskan oleh
seluruh umat manusia tanpa memandang agama, warna kulit,
budaya, kerabat, status, kelas, dan golongan. Dimana prilaku
objektivikasi menghindarkan dari sekularisasi dan dominasi.
166
Alangkah jauh lebih baik jika prilaku objektivikasi di terapkan
dalam evaluasi pembelajaran, dimana evaluasi pembelajaran
adalah suatu proses penaksiran terhadap kemajuan, pertumbuhan,
dan perkembangan anak didik untuk tujuan pendidikan
(Muhaimin dan Mujib, 1993: 276). Sehingga pendidik selaku
sebagai aktor dari evaluasi pembelajaran akan menilai setiap
peserta didiknya tanpa memandang agama, warna kulit, budaya,
kerabat, status, kelas, dan golongan yang berakibat evaluasi
pembelajaran akan diraskan seadil-adilnya oleh perserta didik.
Dengan menerapkan prilaku objektivikasi dalam evaluasi
pembelajaran, sasaran-sasaran evaluasi pembelajaran akan
menjadi tepat. Dimana sasaran-sasaran evaluasi pembelajaran
meliputi empat kemampuan peserta didik, yaitu:
1) Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan
Tuhannya.
2) Sikap dan pengalaman terhadap erti hubungan dirrinya dengan
masyarakat.
3) Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupanya
dengan alam sekitarnya.
4) Sikap dan pandanganya terhadap diri sendiri selaku hamba
Allah dan selaku angota masyarakat serta selaku khalifah Allah
SWT di bumi (Muhaimin dan Mujib, 1993: 277).
167
Dalam bukunya Khoiron Rosyadi (2004: 290-292)
disebutkan ada empat prinsip yang harus diperhatikan dalam
evaluasi pembelajaran, yaitu: prinsip kontinyuitas, prinsip
menyeluruh, prinsip objektivitas, dan prinsip mengacu pada
tujuan. Namun penulis akan terfokus kepada satu prinsip yang
berhubungan sengan sub pembahasan ini, yaitu prinsip
objektivitas. Objektif dalam arti bahwa evaluasi itu dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya, erdasarkan fakta dan data yang ada tanpa
di pengaruhi oleh unsur-unsur subjektivitas dari evaluator.
Objektiv dalam evaluasi itu antara lain ditunjukan dalam sikap
sebagai berikut:
1) Sikap al-sidqah, yakni berlaku benar dan jujur dalam
mengadakan evaluasi (QS. 9: 119). Dan dalam hadist Nabi saw
disebutkan, yang artinya sebagaimna berikut:
Dari Ibnu Mas‟ud ra.
Sesungguhnya al-shidiq (bersikap benar) itu membawa
kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang
yang membiaskan diri bersikap benar, maka iiai akan tercatat
di sisi Allahsebagai shidiq (orang-orang yang benar) (HR.
Bukhari dan Muslim) (Al-Suyuthi, Jami‟us Shaghir I: 82).
168
2) Sikap amanah, yakni suatu sikap pribadi yang setia, tulus hati
dan jujur dalam menjalankan sesuatu yang dioercayakan
kepadanya (QS. 44: 58). Dan hadist Nabi saw yang artinya:
Dari Abu Hurairah ra.
Tunaikanah amanah itu kepada orang yang mempercayakan
kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang-orang
yang yang mengkhianati engaku (HR. Turmudzi) (Al-Suyuthi,
Jami‟us Shaghir I: 14).
3) Sikap ramah dan ta‟awun, yaitu sikap kasih sayang terhadap
sesama dan saling tolong menolong menuju kebaikan. Sikap
ini harus dimiliki oleh evaluator (QS. 90:17; 5: 2) dan hadist
Nabi saw yang artinya:
Dari Anas ra., nabi saw bersabda:
Tidaklah (dipandang) beriman seseorang dari kamu sehingga
ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri (Muttafaqun Alaihi) (Al-Suyuthi, Jami‟us Shaghir II:
204) (Rosaydi, 2004: 291-292).
.
169
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep ilmuisasi Islam Kuntowijoyo ditandai dengan adanya pilar-
pilar Ilmuisasi Islam, yaitu: humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Pertama humanisasi, Manusia pada zaman industri mudah sekali terjatuh.
Kehilangan kemanusiaan. Karenaya suatu usaha untu mangangkat kembali
martabat manusia, (humanisasi) manusia, humanization (Fromm, 1968)
sangat diperlukan. Dalam Qs Al-Tin (95):5, 6 di katatakan bahwa orang
dapat terjatuh ketempat yang paling rendah. Kemudian ayat ituu
mengecualikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Kiranya ayat
ini merujuk pada humanisasi, yaitu iman dan amal saleh. Tentu saja
implikasi dari iman dan amak saleh itu sangat luas (Kuntowijoyo, 2006:
102).
Kedua liberasi, sasaran liberasi ada empat, yaitu sistem
pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik. Liberasi
sistem pengetahuan adalah usaha untuk membebaskan orang dari sistem
pengetahuan materialistis, dari domidonasi struktur, misalnya dari kelas
dan seks. Pembebasan dari kesadaran kelas ini bertentangan dengan
Marxisme Timur dan Barat yang menekankan kesadaran kelas sebagai
objek penellitian. Demikian juga oembebasan dari dominasi seks ini
bertentangan dengan gerakan feminisme barat yang serba anti pria. Islam
170
dalam hal ini mendukung suatu moderasi, yaitu kemitrasejajaran antara
pria dan wanita, dengan perspektif gender. Justru karena itu studi tekstual
maupun kontekstual mengenai hubungan seksual adalah perlu.
Ketiga transendensi, Bagi umat Islam sendiri tentu transendensi
berarti beriman kepada Allah SWT, seseorang yang taat beragama dan
mempelajari ilmu-ilmu alam (teknik, fisika, farmasi, pertanian,
kedokteran) tidak banyak mempunyai persoalan dengan aspek muamalah
dari agama. Sebaliknya, mereka yang belajar ilmu-ilmu kemanusiaan
(sosiologi, antropologi, politik, sejarah, filsafat) akan mempunyai
persoalan besar. Itu semua karena aspek muamalah dari agama termasuk
wilayah ilmu-ilmu kemanusiaan. Bagi mereka yang mempelajari ilmu-
ilmu agama saja mungkin terkejut dengan gejala “modern” seperti cadar,
jubah, dan bermacam-macam aliran yang sedang berkembang saat ini.
Bagaimana semua itu bisa terjadi pada zaman modern? Mereka dan para
penganut sendiri tidak bisa membedakan “mana padi mana ganggang”,
karena gejala-gejala itu berada di luar sistem pengetahuan mereka. Mereka
cenderung melihat dari ilmu agama saja. Transendental akan berguna bagi
ketiganya untuk menyadari adanya totalitas Islam dan adanya peruahan-
perubahan.
Untuk mengimplikasikan Ilmuisasi Islam Kuntowijoyo bagi
pengembangan kurikulum pendidikan Islam, penulis memasukan dan
merelevansikan konsep dan metodologi ilmuisasi Islam Kuntowijoyo yaitu
humanisasi, liberasi transendensi, dan objektivikasi kedalam komponen-
171
komponen kurikulum yaitu tujuan, isi/materi, kegiatan pembelajaran, dan
evaluasi. Dimana menurut kuntowijoyo tujuan humanisasi adalah
memanusiakan manusia. Tujuan liberasi adalah pembebasan dari
kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, dan perampasan
kelimpahan. Tujuan transendensi adalah memanmbahkan dimensi
keimanan dalam kebudayaan. Dan tujuan objektivikasi adalah menghindari
dari sikap sekularisasi dan dominasi.
B. Saran
Dengan adanya pembaharuan pemikiran dari Kuntowijoyo tentang
ilmuisasi Islam/pengilmuan Islam, penulis berharap atau memberikan
saran kepada:
1. Ilmuan Muslim
Seluruh ilmuan-ilmuan muslim dari berbagai penjuru dinia, harus
meningggalkan istilah “Islamisasi pengetahuan” yang bergerak dari
konteks ke teks, dan diganti dengan “Ilmuisasi Islam” yang bergerak
dari teks ke konteks.
2. Sekolah atau Instansi Pendidikan
Sekolah merupakan suatu instansi pendidikan yang bertujuan
mencetak generasi yang insan kamil, maka dalam mecapai tujuan
tersebut pendidik sebagai salah satu foktor terbesar dalam menentukan
keberhasilan tujuan harus menerapkan pengilmuan Islam atau ilmuisasi
172
Islam dalam pembelajaranya, yang artinya para pendidik tidak begitu
saja meniru metode-metode dari luar.
3. Pemerintah
Pemerintah ataupun Departemen Agama, selaku lembaga yang
berwenang atas pembuatan kurikulum, sudah selayaknya merancang
sebuah kurikulum yang berbasis kepada ilmuisasi Islam atau
pengilmuan Islam.
C. Penutup
Al-insanu mahalul khoto‟ wal-nisyan, itulah ungkapan yang pantas
penulis katakan, sebagai makhluk yang jauh dari kata sempurna, penulis
mengharapkan kritik yang konstruktif dan solusi yang membangun demi
kesempurnaan tulisan ini.
Akhirnya, ucapan terima kasih yang tak terhingga untuk semua
pihak yang telah memberikan dukungan, materiial, maupun spiritual,
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pendidikan di
Indonesia.
173
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. 2006. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abubakar, Istianah. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Malang: UIN Malang Press.
Al-Barry, M. Dahlan. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka.
Annur, Fauzi. 2017. Integrasi-Interkoneksi Sains Dan Agama Pemikiran Agus
Purwanto Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Agama Islam. Tesis,
Salatiga: Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Cetaka ke-11. Jakarta: PT.
Rineka Cipta anggota IKAPI.
Armas, Adnin. 2007. Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu. ISID Gontor:
Center for Islamic & Occidental Studies.
Barizi, Ahmad. 2011. Pendidikan Integratif. Malang: UIN Maliki Press Anggota
IKAPI.
Daradjat, Zakiyah, dkk. 1984. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Daulai, Afrahul Fadhila. 2013. Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Perspektif Filsafat
Pendidikan Isam. Analytica Islamica. 2(1): 71-74.
Daymon, Christin. 2008. Metode Metode Riset Kualitatif dalam Public Relationns
dan Marketing Cominicatios Cetakan ke-1. Yogyakarta: Bentang anggota
IKAPI.
174
Echols, John, dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris-Indonesia Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
M Fahmi. 2005. Islam Trasendental; Menelusuri jejak-jejak Pemikiran
Kuntowijoyo. Yogyakarta: Pilar Media.
Fauzi, Amin. 2017. Integrasi Dan Islamisasi Ilmu Dalam Perspektif Pendidikan
Islam. Jurnal Pendidikan Islam, 8(1): 10-11).
Hadi, sutrisno. 1981. Metodologi Reseach. Yogyakarta: UGM Fakultas Psikologi.
Hatta al-Fattah, Muhammad. 2010. Keajaiban Angka Al-Quran. Jakarta: Mirqat.
Kertanegara, Mulyadhi. 2005 Integrasi Ilmu. Jakarta: Mizan Media Utama.
Kuntowijoyo. 2000. Mantra Penjinak Ular. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
___________ 1998. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.
___________ 1994. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
___________ 1998. Ilmu Sosial Profetik. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (61):
70-76.
___________ 1999. Hampir Sebuah Subvervisi. Jakarta: PT Grasindo.
___________ 1999. Paradigma Umat Islam Interprestasi Untuk Aksi. Bandung:
Mizan (Anggota IKAPI).
175
___________ 2002. Perubahan sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-
1940. Jogjakarta: Mata Bangsa.
___________ 2003. Wapirin dan Satinah. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
___________ 2006. Islam Sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.
___________ 2013. Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi. Jakata: Kompas
Media Nusantara.
___________ 2017. Pasar. Yogyakarta: DIVA Press dan Mata Angin Anggota
IKAPI.
___________ 1999. Hampir Sebuah Subversi. Jakarta: PT Grasindo, Anggota
IKAPI.
___________ 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan (Anggota
IKAPI).
Mas‟ud, Abdurrahman dkk. 2002. Dinamika Pesantren dan Madrasah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maslikhah. 2013, melejitkan kemahiran menulis karya ilmiah. Yogyakarta:
Orbritrust Corp.
Moleong, lexy. J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif Cetakan ke-26.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muhaimin dan Abdul Mujib. 1993. Pemikirian Pendidikan Islam: (Kajian
Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya). Bandung: Trigenda
Karya.
Muhaimin. 2004. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: Pustaka
Pelajar.
176
Muliawan, Jasa Ungguh. 2005. Pendidikan Islam Integratif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Munir, Sahal. 2016. Paradigma Profetik dalam Pendidikan Islam menurut
Kuntowijoyo. Skripsi, Salatiga: Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN
Salatiga.
Mustaqim, Muhammad. 2015. Pengilmuan Islam dan Problem Dikotomi
Pendidikan, Jurnal Penelitian, 9(2): 259-260.
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Nursikin, Mukh. 2016. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Dan Implementasinya
Dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam. 1(2): 325.
Ratna, Nyoman Kuntha. 2009. Teori, Metode Penelitian Pendidikan Sastra (Dari
Strukturalistik hingga Postrukturalisme, Perspektif Wacana Naratif).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosyadi, Khoiron. 2004. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan.
Shofan, Moh. 2004. Pendidikan berparadigma Profetik: Upaya Konstruktif
Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.
Subhan, Arif. 1994. Dr. Kuntowijoyo: Al-Qur‟an Sebagai Paradigma. Jurnal
Ulumul Qur‟an 4 Vol. V Th. 1994, 96.
Suprayogo, Imam. 2014 “Membangun Integrasi Ilmu Dan Agama”, dalam Zainal
Abidin Bagir et. all., Integrasi Ilmu Dan Agama: Interpretasi Dan Aksi.
Bandung: Mizan.
177
Tafsir, Ahmad. 2008. Filsafat Pendidikan Islam: Integrasi Jasman, Rohani, dan
Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
____________ 2008. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Thoib, Ismail dan Mukhlis. 2013. Dari IslamisasI Ilmu Menuju Pengilmuan
Islam. Jurnal Studi Keislaman. 17(1): 67-84.
Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Prsada.
Zed, Mestika. 2008. Metodologi Penelitian Kepustakaan Cetakan Ke-2. Jakarta:
Yayasan Obur Inonesia anggota IKAPI.
Zuhdiyah, 2016, Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi. Tadrib, 2(2): 9.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Rohmatul Anwar
Tempat/ Tgl Lahir : Bengkulu, 14, April, 1994
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Kacangan, Andong, Kab. Boyolali
Riwayat Pendidikan :
- SDPerintis UPT IV Kepenuhan, 25Juni 2007
- MTs MiftahulUlumKepenuhan, 07Mei 2010
- SMAN 1 Andong, 24Mei 2013
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Salatiga, 29 September 2017
Penulis
Rohmatul Anwar
111-13-293
DAFTAR SATUAN KREDIT KEGIATAN (SKK)
Nama : Rohmatul Anwar Fak/Jurusan : FTIK/PAI
NIM : 111-13-293 Dosen PA : M. Yusuf Khummaini. S.Hi., M.H.
NO NAMA KEGIATAN PEAKSANAAN KETERANGAN NILAI
1 OPAK STAIN Salatiga
2013
26-27 Agustus
2013
Peserta 3
2 OPAK TARBIYAH
2013
29 Agustus 2013 Peserta 3
3 Pendidikan Pemakai
Perpustakaan 2013
16 September
2013
Peserta 2
4 Training pembuatan
Makalah (LDK STAIN
Salatiga) 2013
18 September
2013
Peserta 2
5 KSMIS (Kajian Intensif
Mahaiswa) LDK STAIN
Salatiga 2013
10 Oktober 2013 Peserta 2
6 DIKLATSAR V STAIN
Sport Club (SSC)
24 januari 2014 Peserta 2
STAIN Salatiga 2014
7 Sertifikat Penghargaan
“Longman TOEFL
Preparaion Course at
STAIN Salatiga Islamic
Boarding House 2014”
27-14 Februari
2014
Peserta 2
8 Pekan Olagraga STAIN
(PORS) VI “SPORT IS
MY LIVE) 2014
24-25 Mei 2014 Panitia 3
9 Akhirussanah Ma‟had
STAIN Salatiga Periode
2013/2014
21 juni 2014 Panitia 3
10 Orientasi Dasar
Keislaman (ODK) 2014
21 Agustus 2014 Peserta 2
11 Sertifikat Selesai
Menempuh Evaluasi
Belajar Tahap Akhir
Ma‟had Putra STAIN
Salatiga Tahun Ajaran
2013/2014
29 September
2014
Peserta
2
12 Sertifikat CEC Festifal
2014
20-22 November
2014
Panitia 3
13 SSC CUP IV FUTSAL
COMPETITION 2014
11 November
2014
Panitia 3
14 Laporan Pertanggung
Jawaban dan
Musyawarah Besar (LPJ
dan MUBES) SSC
STAIN Salatiga 2014
7 Desember
2014
Panitia 3
15 Pendidikan dan Pelatihan
Dasar (DIKLATSAR)
VI SSC STAIN Salatiga
2015
2 Februari 2015 Panitia 3
16 Sosialisasi Hasil
Pendelegasian dalam
Acara “Motivasi
Wawasan Keislaman
Dakwah Kampus dan
Sosialisasi FSLDKN
Pontianak Ke-17 2015
21 Maret 2015 Peserta 2
17 Certificate Recognizing 10 April 2015 Panitia 3
Her Valuable in
Lokakarya “Improving
Management for Getting
Better Learning
Qualitiy” 2015
18 Rihlah dan Wisata
Rohani Ma‟had Al-
Jami‟ah IAIN Salatiga
2015
5-8 Mei 2015 Panitia 3
19 Pekan Olahraga STAIN
(PORS) VII SSC IAIN
Salatiga 2015
24-27 Juni 2015 Panitia 3
20 Turnamen Futsal SSC
CUP V Tingkat
SMA/SMK/MA SSC
IAIN Salatiga 2015
15 Oktober 2015 Panitia 3
21 Lomba Cerdas Cermat
Ma‟had Al-Jami‟ah
IAIN Salatiga 2015
14-17 Desember
2015
Panitia 3
22 Certificate Recognizing
Her Valuable Participant
21-26 Desember
2015
Panitia 3
in Ma‟had
Championship
“Togetherness for
Improving At and Sport
Quality”
23 Certificate Recognizing
Her Valuable
Participatin in Week
Discussion “ The
Civilizatin of Islamic
Spain”
26 Desember
2015
Panitia 3
24 Acara Bersih Desa
“Kembangarum Bersama
Wujudkan Lingkungan
Nyaman dan Indah”
2015
28 Desember
2015
Panitia 3
25 Teacher of Al-Quran
Interpretation in Ma‟had
Al-Jami‟ah IAIN
Salatiga 2015-2016
2015-2016 Guru 4
26 Sertifikat Pengurus 2015-2016 Pengurus 4
Ma‟had Al-Jami‟ah
IAIN Salatiga 2015-2016
27 Pendidikan dan Pelatihan
Dasar (DIKLATSAR)
VII SSC IAIN Salatiga
2016
12-17 Januari
2016
Panitia 3
28 Sarasehan SSC (Student
Sprot Club) IAIN
salatiga
“Mengembangkan Jiwa
Solidaritas Dalam
Berorganisasi” 2016
25 Januari 2016 Panitia 3
29 Pekon Olahraga
Mahasiswa (POM)
UKSW “ Menumbuhkan
Jiwa Yang Mandiri Dari
Berolahraga” 2016
14-16 April 2016 Peserta 2
30 Peringatan Isra‟ Mi‟raj
Nabi Muhammad Saw
(Ma‟had Al-Jami‟ah
IAIN Saatiga) 2016
6 Mei 2016 Panitia 3
31 Certificate Recognizing
Her Valuable
Participatin in Speech
Championship “Having
Good Ability in
Language Speaking For
Reading Islam All Over
thr Word” 2016
8 Mei 2016 Panitia 3
32 Sima‟an Akbar Al-
Qur‟an Ma‟had al-
Jami‟ah bersama JQH
Al-Furqon IAIN Salatiga
2016
17 Mei 2016 Panitia 3
33 Certificate of Donation
“Made a Donatin to
YOU CAN
INDONESIA to
Enchance The Human
Development Index of
Indonesia 2016
11 November
2016
Peserta 2
34 Sertifikat Praktikum
Mata Kuliah
Kewirusahaan “Keren
Itu Mahasiswa Kreatif,
Inovatif, Mandiri dan
Berani Berwirausaha”
2016
14 Desember
2016
Peserta 2
35 Sertifikat Internasional
“International Certificate
of Pemuda Mendunia
Malaysia” 2017
16 Januari 2017 Peserta 8
TOTAL 101
Salatiga, 15 Agustus 2017
Wakil Dekan
Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama
Achmad Maimun, M.Ag.
NIP. 19700510 199803 1 003
top related