anasir profetik dalam tiga cerpen kuntowijoyo

19
1 Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo Sapuroh dan Ibnu Wahyudi Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Kuntowijoyo adalah sastrawan yang cukup berpengaruh bagi kesusastraan Indonesia. Kontribusinya dalam bidang sastra tidak hanya diwujudkan melalui karya sastra, tetapi juga melalui ide sastra profetik. Sastra profetik adalah sastra yang mengandung tiga nilai, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Dengan metode kualitatif dan pendekatan sosiologi sastra, penelitian ini berusaha mengungkap apakah konsep sastra profetik yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo diterapkan dalam cerpen-cerpennya atau tidak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cerpen-cerpen Kuntowijoyo mengandung nilai-nilai profetik, namun cerpen-cerpen tersebut tidak dapat dikatakan sebagai sastra profetik. Hal ini karena ketiga unsur yang ada dalam sastra profetik dihadirkan secara terpisah dalam cerpen-cerpennya. Kata Kunci: Cerpen; Kuntowijoyo; Sastra Profetik. The Prophetic Elements in Three Short Stories of Kuntowijoyo Abstract Kuntowijoyo is one of the most influential man of letters for Indonesian literature. His contribution in the field of literature is not only formed within the literature itself, but also by the ideas of prophetic. Prophetic literature is consisted by three values, namely: humanization, liberation, and transcendence. By using qualitative and literature sociology methods, this research was aimed to express the concept of prophetic literature used in Kuntowijoyo‟s short stories. The result of this research shows that those short stories contain of prophetic values, but they cannot fully categorized as prophetic literature because the three values in the prophetic literature were presented separately in those short stories. Keywords: Kuntowijoyo; Prophetic Literature; Short Story. Pendahuluan “Karya sastra adalah hasil ekspresi individual penulisnya. Kepribadian, emosi, dan kepercayaan penulis akan tertuang dalam karya sastra yang diciptakannya” (Griffth dalam Siswanto, 2008: 72). Pernyataan Griffth yang dikutip oleh Wahyudi Siswanto ini membenarkan pandangan bahwa karya sastra mengandung gagasan pengarangnya. Gagasan ini muncul sebagai gambaran, kritik, atau lebih jauh, kondisi ideal yang diinginkan oleh pengarang atas lingkungan sosial yang ada di sekitarnya. Salah satu pengarang yang menggunakan karya sastra sebagai media penyampai gagasannya adalah Kuntowijoyo. Menurut Abdul Hadi W. M., dalam esainya yang berjudul Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

1

Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

Sapuroh dan Ibnu Wahyudi

Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Kuntowijoyo adalah sastrawan yang cukup berpengaruh bagi kesusastraan Indonesia. Kontribusinya dalam

bidang sastra tidak hanya diwujudkan melalui karya sastra, tetapi juga melalui ide sastra profetik. Sastra profetik

adalah sastra yang mengandung tiga nilai, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Dengan metode kualitatif

dan pendekatan sosiologi sastra, penelitian ini berusaha mengungkap apakah konsep sastra profetik yang

dicetuskan oleh Kuntowijoyo diterapkan dalam cerpen-cerpennya atau tidak. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa cerpen-cerpen Kuntowijoyo mengandung nilai-nilai profetik, namun cerpen-cerpen tersebut tidak dapat

dikatakan sebagai sastra profetik. Hal ini karena ketiga unsur yang ada dalam sastra profetik dihadirkan secara

terpisah dalam cerpen-cerpennya.

Kata Kunci: Cerpen; Kuntowijoyo; Sastra Profetik.

The Prophetic Elements in Three Short Stories of Kuntowijoyo

Abstract

Kuntowijoyo is one of the most influential man of letters for Indonesian literature. His contribution in the field

of literature is not only formed within the literature itself, but also by the ideas of prophetic. Prophetic literature

is consisted by three values, namely: humanization, liberation, and transcendence. By using qualitative and

literature sociology methods, this research was aimed to express the concept of prophetic literature used in

Kuntowijoyo‟s short stories. The result of this research shows that those short stories contain of prophetic values,

but they cannot fully categorized as prophetic literature because the three values in the prophetic literature were

presented separately in those short stories.

Keywords: Kuntowijoyo; Prophetic Literature; Short Story.

Pendahuluan

“Karya sastra adalah hasil ekspresi individual penulisnya. Kepribadian, emosi, dan

kepercayaan penulis akan tertuang dalam karya sastra yang diciptakannya” (Griffth dalam

Siswanto, 2008: 72). Pernyataan Griffth yang dikutip oleh Wahyudi Siswanto ini

membenarkan pandangan bahwa karya sastra mengandung gagasan pengarangnya. Gagasan

ini muncul sebagai gambaran, kritik, atau lebih jauh, kondisi ideal yang diinginkan oleh

pengarang atas lingkungan sosial yang ada di sekitarnya.

Salah satu pengarang yang menggunakan karya sastra sebagai media penyampai

gagasannya adalah Kuntowijoyo. Menurut Abdul Hadi W. M., dalam esainya yang berjudul

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 2: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

2

“Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia” (1999: 24-

29), Kuntowijoyo merupakan sastrawan sufistik karena ia memiliki kecenderungan

mengangkat nilai-nilai kesufian pada beberapa karyanya. Pernyataan Abdul Hadi ini

dibenarkan oleh Memen Durachman dalam hasil penelitiannya. Menurut Durachman (1996:

167), ada gagasan sufi/tasawuf yang dihadirkan Kuntowijoyo dalam novel Khotbah di Atas

Bukit. Konsep sufi yang ditampilkan dalam novel ini adalah perjalanan rohani (suluk) yang

disebut salik. Orang yang akan melakukan perjalanan ini harus memenuhi syarat-syarat

tertentu, salah satunya adalah seseorang harus memutuskan diri dari belenggu kepemilikan

materi dan sarana serta menjauhkan diri dari berbagai keterikatan duniawi.

Namun, Wan Anwar pada tahun 2007 mengemukakan hasil penelitian yang berbeda

mengenai gagasan yang ada dalam karya-karya Kuntowijoyo. Anwar (2007: 8-9) mengatakan

bahwa karya Kuntowijoyo adalah karya sastra profetik. Hal ini karena Kuntowijoyo selalu

menghadirkan dikotomi dua dunia, baik dalam cerpen, novel, sajak, maupun esai-esainya.

Melalui dua dunia ini, Kuntowijoyo tidak sekadar mencari perbedaan dikotomis, melainkan

mencari sintetis yang dapat “menyatukan” keduanya. Dengan kata lain, Kuntowijoyo ingin

membuat fisik dan metafisik berjalan berdampingan, bukan memisahkannya seperti yang

dilakukan dalam konsep sufi.

Sastra profetik itu sendiri adalah sastra yang mengandung nilai humanisasi, liberasi,

dan transendensi. Gagasan ini disampaikan oleh Kuntowijoyo secara resmi melalui esainya

“Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra” yang dimuat dalam majalah

Horison pada tahun 2005. Sastra profetik sebenarnya merupakan “pembaruan” atas konsep

sastra transendental yang disampaikan oleh Kuntowijoyo pada Temu Sastra Dewan Kesenian

Jakarta, 6-8 Desember 1982.

Melalui esainya, “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Transendental”,

Kuntowijoyo menggagas sastra transendental sebagai upaya pembebasan atas pengekangan

aktualitas. Menurut Kuntowijoyo, modernisasi yang masuk dalam kehidupan masyarakat

telah membuat manusia terkungkung pada realitas yang hanya ditangkap oleh alat indera dan

akalnya. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengembalikan ruh dalam dirinya dengan

menanamkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupannya. Salah satu usaha menanamkan nilai

spiritual ini adalah dengan sastra transendental.

Akan tetapi, sastra transendental yang dicetuskan oleh Kuntowijoyo ini pada akhirnya

hanya mengarah pada satu dimensi, yaitu transendensi (ketuhanan). Padahal, ia menghendaki

keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan

manusia. Oleh karena itu, melalui sastra profetik, Kuntowijoyo berusaha “membumikan”

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 3: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

3

sastra transendental yang selama ini dianggap hanya berurusan dengan dimensi ketuhanan. Ia

menghadirkan nilai humanisasi dan liberasi sebagai bentuk realitas duniawi yang juga harus

diperhatikan agar seseorang tidak lupa pada tugas-tugas kemanusiaannya.

Ada tiga nilai yang terdapat dalam sastra profetik, yaitu humanisasi, liberasi, dan

transendensi. Humanisasi adalah usaha memanusiakan manusia. Konsep ini muncul sebagai

upaya untuk menentang dehumanisasi modern dan dehumanisasi tradisional yang ada dalam

masyarakat. Dehumanisasi modern terjadi ketika manusia tanpa sadar terikat oleh modernitas

yang menjadikannya manusia mesin, yaitu manusia yang bekerja tanpa berdasar pada akal

sehat, nilai, dan norma. Ia hanya mengikuti perilaku mayoritas masyarakat. Sementara,

dehumanisasi tradisional terjadi ketika masyarakat terikat pada mitos dan tradisi mistik yang

membuatnya terkungkung pada cara berpikir irasional.

Aspek kedua yang ada dalam sastra profetik adalah liberasi. Kata liberasi diambil dari

kata liberation yang artinya „pembebasan‟, „tindakan memerdekakan‟. Istilah ini kemudian

dipilih oleh Kuntowijoyo untuk mewakili gagasan liberasi dalam sastra profetik, yaitu

pembebasan manusia dari pengekangan dan penindasan yang dilakukan oleh manusia lain,

masyarakat, atau bahkan negara. Penindasan ini dapat dilakukan oleh kelompok mayoritas

kepada minoritas, kelompok borjuis kepada kaum proletar, dan kelompok adikuasa kepada

kelompok yang lemah.

Selain humanisasi dan liberasi, sastra profetik juga mengandung nilai-nilai

transendensi. Transendensi atau kesadaran ketuhanan diambil dari bahasa Latin, transcendere

yang artinya „melampaui‟. Dalam Islam, transendensi akan terwujud dalam khauf (penuh rasa

takut), raja’ (sangat berharap), tawakkal (pasrah), qana’ah (menerima pemberian Tuhan),

syukur, dan ikhlas.

Gagasan profetik yang dirumuskan oleh Kuntowijoyo ini didasarkan pada Alquran,

surat Ali Imran ayat 110, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,

menyuruh kepada yang ma‟ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”.

Kuntowijoyo melakukan transformasi nilai-nilai normatif yang ada dalam ayat ini menjadi

sebuah teori. Menyuruh kepada yang ma‟ruf (humanisasi), mencegah dari yang mungkar

(liberasi), dan beriman kepada Allah (transendensi).

Konsep ini sebenarnya merupakan adopsi dari gagasan ego terbatas dan ego tak

terbatas yang disampaikan oleh Muhammad Iqbal, seorang sastrawan dan pemikir Islam dari

Pakistan. Menurut Iqbal, kesempurnaan manusia tercapai ketika manusia yang telah bertemu

dengan ego tak terbatas atau Tuhan tidak hanyut dalam dimensi ketuhanan, tetapi ia justru

menyerap nilai-nilai ketuhanan dalam dirinya, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 4: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

4

Kemampuan Nabi Muhammad untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dengan dimensi

ketuhanan inilah yang menjadi ide munculnya sastra profetik.

Dengan adanya gagasan sastra profetik yang disampaikan oleh Kuntowijoyo ini,

penulis ingin melihat apakah gagasan sastra profetik ini tercermin dalam karya-karyanya atau

tidak. Untuk membuktikan hal tersebut, penulis melakukan telaah intrinsik pada cerpen-

cerpen Kuntowijoyo.

Tinjauan Teoretis

Dalam analisis cerpen Kuntowijoyo ini, penulis menggunakan pendapat Panuti

Sudjiman tentang konsep tokoh, latar, alur, dan tema sebagai dasar analisis. Unsur-unsur

intrinsik yang membangun cerita ini selanjutnya akan dijelaskan secara singkat sebagai

berikut.

a. Tokoh

Dalam bukunya, Memahami Cerita Rekaan (1988: 16-19), Panuti Sudjiman

mengatakan bahwa tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa. Ia merupakan

unsur pembangun keutuhan sebuah karya sastra. Berdasarkan fungsinya, kedudukan tokoh ini

dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Pembagian ini didasarkan

pada intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita.

Tokoh sentral yang memegang peran pimpinan disebut tokoh utama atau protagonis.

Protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan

dalam kisahan. Adapun tokoh yang merupakan penentang utama dari protagonis disebut

antagonis atau tokoh lawan. Antagonis juga merupakan tokoh sentral.

Selain tokoh sentral, di dalam cerita ada pula tokoh yang berfungsi sebagai tokoh

bawahan. Josep E. Grimes, seperti yang dikutip oleh Panuti Sudjiman (1988: 19), mengatakan

bahwa tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi

kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama.

b. Latar

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu,

ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra. Dengan mengacu pada

pembagian latar yang dilakukan oleh William Henry Hudson, Panuti Sudjiman membagi latar

menjadi dua, yaitu latar fisik dan latar sosial. Latar fisik adalah tempat dalam wujud fisik,

seperti bangunan dan daerah, sedangkan latar sosial adalah penggambaran keadaan

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 5: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

5

masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan

lain-lain yang melatari peristiwa (Sudjiman, 1988: 44).

Panuti Sudjiman (1988: 45) juga mengatakan bahwa dalam suatu cerita, sering kali

pelukisan latar hanya sekadar melengkapi cerita. Kapan dan di mana peristiwa tersebut terjadi

tidak terlalu dipentingkan. Oleh karena itu, biasanya pengarang hanya menyebutkan “pada

suatu pagi” tanpa menjelaskan pukul berapa dan “di sebuah kota” tanpa merinci di kota mana.

Bentuk latar seperti ini disebut latar netral.

Akan tetapi, tidak selamanya penyebutan latar yang tidak spesifik ini merupakan latar

netral. Jika penggambaran latar fisik dalam suatu cerita memunculkan dugaan-dugaan atau

tautan pikiran tertentu pada pembaca maka bisa jadi cerita tersebut memiliki latar spiritual.

c. Alur dan Pengaluran

Dalam sebuah cerita rekaan berbagai peristiwa disajikan dalam urutan tertentu. Urutan

peristiwa yang membangun tulang punggung cerita inilah yang disebut alur. Alur dalam

sebuah cerita dapat ditentukan berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa, maupun

hubungan sebab-akibat yang melatari terjadinya peristiwa (Sudjiman, 1988: 29-30).

Peristiwa yang dialami tokoh dalam sebuah cerita dapat tersusun menurut urutan

waktu terjadinya (temporal sequence). Dalam hal ini, menurut Sudjiman (1988: 29), tidak

berarti semua kejadian dalam hidup tokoh ditampilkan secara berurutan dari kelahiran si

tokoh, tetapi peristiwa yang ditampilkan dipilih dengan memperhatikan kepentingannya

dalam membangun cerita. Cerita dengan susunan peristiwa yang kronologis ini memiliki alur

linear.

Selain menyajikan rentetan peristiwa dalam urutan temporal, seperti yang Panuti

Sudjiman kutip dari E.M. Forster, peristiwa-peristiwa dalam cerita juga dapat tersusun dengan

memperhatikan hubungan kausalnya (sebab-akibat). Akan tetapi, dalam sebuah cerita yang

tersusun rapi, hubungan kausalitas ini tidak selalu tampak. Kuncinya mungkin terdapat dalam

urutan waktu peristiwa yang meloncat-loncat atau gerakan dan ucapan tertentu dari salah

seorang tokoh.

Untuk menyusun peristiwa-peristiwa menjadi sebuah cerita, dibutuhkan pengaluran,

yaitu pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita. Jika sebuah cerita memuat peristiwa

pertama hingga akhir secara berurutan, dapat dikatakan bahwa cerita tersebut disusun secara

ob ovo. Sebaliknya, jika peristiwa-peristiwa yang ada di cerita dihadirkan secara tidak

berurutan, cerita tersebut dikatakan berawal in medias res (Sudjiman, 1988: 31).

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 6: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

6

Panuti Sudjiman (1998: 33) juga mengatakan bahwa jika urutan kronologis peristiwa-

peristiwa yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya,

dalam cerita tersebut terjadi alih balik atau sorot balik. Sorot balik ini dapat ditampilkan

dalam dialog, mimpi, lamunan, atau ingatan pada peristiwa masa lalu.

d. Tema

Pengarang tidak hanya menyampaikan cerita dalam karya sastranya. Ada sebuah

gagasan yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang melalui karya sastra yang ia

ciptakan. Gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra inilah yang

disebut tema (Sudjiman, 1988: 50).

Tema dalam karya sastra yang bersifat didaktis adalah pertentangan baik dan buruk.

Secara lebih konkret, tema pertentangan ini dinyatakan dalam bentuk kebohongan melawan

kejujuran, kezaliman melawan keadilan, dan korupsi melawan hidup sederhana.

Tema cerita juga dapat dinyatakan secara eksplisit maupun implisit. Menurut Panuti

Sudjiman (1988: 50-57), tema yang dinyatakan secara eksplisit biasanya terlihat pada judul

karya sastra tersebut, sedangkan tema yang implisit hanya bisa ditemukan dengan pembacaan

yang tekun dan cermat pada karya sastra. Karya sastra dengan tema implisit inilah yang

biasanya memunculkan multitafsir. Gagasan yang ditemukan pembaca dalam karya sastra

(makna muatan) dapat berbeda dengan gagasan yang dimaksud oleh penulis (makna niatan).

Tema sebuah karya sastra didukung oleh pelukisan latar, tokoh atau penokohan, dan alur.

Unsur-unsur pembentuk karya sastra ini diikat dan menopang tema. Jika gagasan dalam

sebuah karya sastra begitu dominan, tema di sini berfungsi sebagai kekuatan yang

mempersatukan unsur-unsur yang membentuk karya sastra.

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis memilih tiga cerpen sebagai sampel penelitian untuk

membuktikan apakah cerpen-cerpen Kuntowijoyo merupakan bentuk sastra profetik atau

bukan. Ketiga cerpen tersebut adalah “Ikan-Ikan dalam Sendang”, “Samurai”, dan “Dilarang

Mencintai Bunga-Bunga”.

Pemilihan tiga cerpen tersebut sebagai sampel penelitian didasarkan pada dua alasan.

Pertama, tiga cerpen tersebut telah berhasil menampilkan permasalahan mistik, sosial, dan

religius yang merupakan kecenderungan tematik cerpen-cerpen Kuntowijoyo. Kedua, tiga

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 7: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

7

cerpen ini tergolong dalam sastra majalah yang memiliki deskripsi alur, tokoh, dan latar lebih

detail jika dibandingkan dengan cerpen lain yang termasuk dalam sastra koran.

Selanjutnya, penulis menggunakan metode kualitatif untuk memahami objek

penelitian lebih dalam. Penulis melakukan analisis struktural pada unsur-unsur intrinsik yang

ada di ketiga cerpen tersebut. Dari analisis ini, penulis akan melihat apakah nilai-nilai yang

ada dalam sastra profetik ditanamkan Kuntowijoyo melalui unsur intrinsik yang membangun

ketiga cerpen tersebut atau tidak.

Analisis Intrinsik pada Tiga Cerpen Kuntowijoyo

Dalam penelitian ini, penulis melakukan telaah intrinsik pada tiga cerpen

Kuntowijoyo, yaitu “Ikan-Ikan dalam Sendang”, “Samurai”, dan “Dilarang Mencintai Bunga-

Bunga”. Unsur intrinsik yang diteliti pada cerpen-cerpen tersebut adalah alur, tokoh, tema,

dan latar. Namun, pada cerpen “Samurai” dan “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” unsur latar

tidak dipentingkan oleh pengarang sehingga deskripsinya tidak terlalu kuat. Oleh karena itu,

latar dalam kedua cerpen tersebut tidak akan dibahas lebih lanjut. Hasil telaah intrinsik pada

ketiga cerpen tersebut selanjutnya dipaparkan secara singkat sebagai berikut.

1. Ikan-Ikan dalam Sendang

Secara garis besar, cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang” bercerita tentang terbongkarnya

kebohongan seorang kakek tentang cerita kekeramatan sendang yang selalu ia sampaikan

kepada warga dusun. Kepercayaan warga dusun pada sendang keramat hilang setelah seorang

warga melihat kakek memancing di sendang keramat. Padahal, memancing di sendang

keramat adalah larangan bagi semua warga dusun. Warga pun sadar bahwa selama ini mereka

ditipu oleh kakek. Kakek mengatakan bahwa sendang tersebut keramat dan melarang warga

memancing di tempat itu agar seluruh ikan dalam sendang menjadi miliknya.

Selanjutnya, untuk analisis alur yang ada dalam cerpen ini, penulis membagi alur

berdasarkan peristiwa-peristiwa yang membangunnya. Pembagian ini didasarkan pada

pendapat Panuti Sudjiman (1988: 29) yang mengatakan bahwa suatu cerita dapat dibangun

oleh peristiwa-peristiwa yang tersusun menurut urutan waktu terjadinya (temporal sequence).

Oleh karena itu, berdasarkan urutan waktu terjadinya, cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”

tersusun atas delapan peristiwa.

Delapan peristiwa yang membangun cerita ini selanjutnya dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu peristiwa utama yang membentuk alur utama dan peristiwa pelengkap yang

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 8: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

8

membentuk alur bawahan. Secara sederhana peristiwa utama dan peristiwa pelengkap yang

ada dalam cerpen ini akan digambarkan pada skema berikut.

Gambar 1. Peristiwa Utama dan Peristiwa Pelengkap dalam Cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”

Peristiwa utama dalam cerpen ini muncul pada peristiwa 1, peristiwa 3, peristiwa 6,

peristiwa 7, dan peristiwa 8. Pada peristiwa utama ini digambarkan bahwa kepercayaan warga

pada sendang keramat telah hilang. Adapun peristiwa 2, peristiwa 4, dan peristiwa 5 adalah

peristiwa pelengkap yang ditampilkan melalui ingatan tokoh kakek. Pada peristiwa pelengkap

ini digambarkan kondisi awal ketika warga dusun masih percaya bahwa sendang di dusunnya

keramat. Jika mengacu pada pendapat Panuti Sudjiman (1988: 33), dalam cerita ini terjadi

alih balik atau sorot balik.

Untuk mengetahui hubungan sebab-akibat yang ada dalam cerpen “Ikan-Ikan dalam

Sendang”, delapan peristiwa di dalam cerpen ini akan diurutkan dari peristiwa masa lalu

hingga peristiwa yang terjadi sekarang. Perubahan susunan peristiwa tersebut dapat dilihat

pada bagan di bawah ini.

Gambar 2. Urutan Peristiwa dalam Cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang” Berdasarkan Waktu Terjadinya Peristiwa

Awalnya, warga percaya bahwa sendang di dusun mereka keramat. Warga dusun juga

percaya bahwa kakek adalah orang tertua di dusun yang memiliki kesaktian. Mereka menuruti

perintah kakek untuk tidak memancing di sendang. Keadaan sosial ini digambarkan melalui

peristiwa 4, peristiwa 2, dan peristiwa 5.

Namun, warga tidak percaya lagi pada kekeramatan sendang setelah mereka

mengetahui bahwa kakek melanggar larangan untuk tidak memancing di sendang. Peristiwa 7

yang menggambarkan seorang laki-laki mengetahui kakek memancing di sendang merupakan

penyebab dari ketidakpercayaan warga dusun kepada kekeramatan sendang. Jika digambarkan

melalui skema, hubungan sebab-akibat dalam cerpen ini sebagai berikut.

1 2 3 4 5 6 7 8

4 2 5 1 3 6 7 8

Peristiwa utama

Peristiwa pelengkap

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 9: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

9

Gambar 3. Hubungan Sebab-Akibat dalam Cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”

Dalam setiap peristiwa yang menyusun cerita ini, ada enam tokoh yang berlakuan di

dalamnya. Keenam tokoh tersebut adalah kakek, anak-anak dusun, anak-anak dusun lain, laki-

laki 1, laki-laki 2, dan warga dusun. Keenam tokoh ini jika dilihat dari fungsinya dalam cerita,

dapat dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan (Sudjiman, 1988: 16).

Kakek merupakan tokoh sentral, sedangkan lima tokoh lainnya merupakan tokoh

bawahan. Hal ini karena intensitas keterlibatan tokoh kakek dalam peristiwa lebih besar

dibandingkan dengan tokoh lain. Ini terbukti dari delapan peristiwa yang ada di cerpen, tokoh

kakek selalu terlibat di dalamnya. Berikut ditampilkan tokoh yang berperan dalam setiap

peristiwa.

Gambar 4. Keterlibatan Tokoh pada Setiap Peristiwa dalam Cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”

Keterangan:

AAD = Anak-anak dusun

AADL = Anak-anak dusun lain

LK 1 = Laki-laki 1

LK 2 = Laki-laki 2

WD = Warga dusun

Selain alur dan tokoh, latar dalam cerita ini juga memiliki kedudukan yang cukup

penting. Mengacu pada pembagian latar yang dilakukan oleh William Henry Hudson, seperti

yang dikutip oleh Panuti Sudjiman (1988: 44), pada analisis kali ini penulis menemukan

adanya latar fisik dan latar sosial dalam cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”. Deskripsi latar

4 2 5 1 3 6 7 8

1 2 3 4 5 6 7 8

Warga percaya pada

kekeramatan

Kebohongan

terungkap

Warga tidak

percaya pada

kekeramatan

Kakek

1. Kakek

2. AAD

3. AADL

1. Kakek

2. LK 1

Kakek

1. Kakek

2. AAD

1. Kakek

2. WD

1. Kakek

2. LK 2

3. WD

Kakek

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 10: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

10

fisik (latar waktu dan latar tempat) dalam cerpen ini dilakukan secara sederhana. Pengarang

hanya menggambarkan latar waktu dan tempat tanpa menyebutkannya secara spesifik.

Misalnya, latar tempat dalam cerita ini adalah pedusunan. Namun, tidak dijelaskan secara

rinci dusun tersebut bernama apa dan terletak di mana.

Akan tetapi, deskripsi latar sosial yang ada di cerpen ini cukup memunculkan dugaan-

dugaan mengenai latar tempat yang ada dalam cerpen ini secara lebih spesifik. Tradisi, mitos,

dan karakter warga yang digambarkan dalam cerpen ini memunculkan dugaan bahwa

masyarakat dusun yang ada dalam cerpen tersebut adalah masyarakat Jawa. Hal ini diperkuat

dengan penyebutan wali, raja Jawa, dan simbol-simbol yang ada pada tradisi Jawa. Karena

deskripsi latar pada cerita ini memunculkan dugaan-dugaan, cerpen “Ikan-Ikan dalam

Sendang” ini memiliki latar spiritual.

Dari analisis alur, tokoh, dan latar yang telah dilakukan, gagasan yang ingin

disampaikan oleh Kuntowijoyo melalui cerpen ini adalah penolakan atas budaya mistik Jawa

(kejawen). Penolakan tradisi kejawen ini ditunjukkan dengan adanya perubahan cara berpikir

masyarakat dari mitos ke logis. Masyarakat dusun yang awalnya percaya pada kekeramatan

sendang pada akhirnya menjadi tidak percaya karena mereka sadar bahwa kekeramatan

sendang hanyalah sebuah kebohongan.

2. Samurai

Cerpen “Samurai” bercerita tentang seorang istri yang melakukan perlawanan atas

penganiayaan fisik dan batin yang dilakukan suami kepada dirinya. Cerita ini diawali dengan

pengakuan seorang laki-laki yang merasa disalahkan oleh orang-orang atas permasalahan

rumah tangganya. Kemudian, cerita dilanjutkan dengan kisah hidup laki-laki tersebut dari

awal pernikahan hingga saat istrinya mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama.

Peristiwa akhir dalam cerpen ini ditampilkan di awal cerita, sedangkan peristiwa

lainnya yang merupakan peristiwa utama ditampilkan secara berurutan setelah peristiwa akhir

tersebut. Jika mengacu pada pendapat Panuti Sudjiman (1988: 33), terjadi sorot balik dalam

cerpen ini. Alur yang ada pada cerpen “Samurai” ini dapat dilihat pada skema berikut.

Gambar 5. Alur dalam Cerpen “Samurai”

Peristiwa:

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 11: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

11

Alur cerita:

Untuk mengetahui hubungan sebab-akibat yang ada dalam cerpen ini, peristiwa-

peristiwa yang membangun cerita disusun dari peristiwa awal hingga peristiwa akhir. Secara

singkat, susunan peristiwa awal hingga akhir dalam cerpen ini dapat dilihat pada skema

berikut.

Gambar 6. Urutan Peristiwa dalam Cerpen “Samurai” Berdasarkan Waktu Terjadinya Peristiwa

Dari skema di atas, dapat dilihat bahwa peristiwa 9, yaitu seorang istri yang

menggugat cerai suaminya terjadi karena peristiwa 8, yaitu sang suami menghunuskan

samurai kepada istrinya. Akan tetapi, pemicu terjadinya peristiwa penghunusan itu

sebenarnya telah muncul dari peristiwa 2, yaitu saat laki-laki tersebut merasa terhina dan

kalah dari istrinya.

Pada peristiwa 3 juga ditunjukkan bahwa sang suami merasa rendah diri karena status

status sosial istrinya lebih tinggi dari dirinya. Ia merasa cemburu karena istrinya seorang guru,

sedangkan ia hanya seorang buruh. Perbedaan status sosial ini mengakibatkan munculnya

keinginan pada sang suami untuk menunjukkan kekuasaannya pada istrinya.

I A B C D E F G H

2

Seorang laki-laki menikah dengan seorang

perempuan

3

Laki-laki tersebut cemburu kepada sang

istri karena status sosial istrinya lebih tinggi

4

Ia menduga istrinya tidak menyukai pekerjaannya

5

Ia memasang samurai di dinding untuk menunjukkan kekuasaannya

6

Laki-laki tersebut menceritakan asal usul samurai kepada istrinya

7

Ia mengasah samurai di depan istrinya

8

Laki-laki tersebut menghunuskan samurai

ke tubuh istrinya

9

Sang istri menggugat cerai suaminya

1

Laki-laki tersebut merasa semua orang menyalahkan dirinya atas perceraiannya

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 12: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

12

Segala cara dilakukan oleh suami untuk menunjukkan bahwa istrinya lemah. Usaha

sang suami ini ditampilkan melalui peristiwa 4, peristiwa 5, peristiwa 6, dan peristiwa 7.

Akan tetapi, semua yang dilakukannya itu gagal. Ia merasa istrinya selalu menang dengan

ketenangannya. Akhirnya, di suatu malam ia menghunuskan samurai ke tubuh istrinya.

Hubungan sebab-akibat yang ada dalam cerpen ini dapat dilihat pada skema berikut.

Gambar 7. Hubungan Sebab-Akibat dalam Cerpen “Samurai”

Dalam cerpen “Samurai”, ada empat tokoh yang membangun cerita. Keempat tokoh

tersebut adalah aku (suami), istri, masinis, dan petugas dari pengadilan agama. Tokoh suami

dan istri dalam cerita ini merupakan tokoh sentral, sedangkan tokoh masinis dan petugas dari

pengadilan agama adalah tokoh bawahan. Seperti pada cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”,

penentuan tokoh sentral dan tokoh bawahan pada cerita ini juga didasarkan pada intensitas

keterlibatan masing-masing tokoh dalam membangun cerita.

Tokoh suami dan tokoh istri, keduanya merupakan tokoh sentral. Suami merupakan

tokoh protagonis dalam cerpen ini karena ia merupakan tokoh utama yang menjadi pusat

sorotan. Kehadiran suami sebagai tokoh aku dalam cerpen ini menjadikan ia lebih dominan

dari tokoh istri. Tokoh istri yang juga berfungsi sebagai tokoh sentral dalam cerita ini

merupakan tokoh penentang dari tokoh suami sehingga ia merupakan tokoh antagonis.

Tokoh suami dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang yang sensitif, namun

tidak peka. Ia mudah tersinggung dengan sikap orang lain, namun ia tidak mampu memahami

orang lain. Sang suami selalu menganggap istrinya sebagai saingan. Ia akan menentang semua

yang dikatakan istrinya. Sikap negatif sang suami ini berawal dari kecemburuannya pada

istrinya karena istrinya memiliki status sosial yang lebih tinggi darinya. “Aku seorang buruh

kereta api rendahan, beristerikan seorang guru!” (Kuntowijoyo, 2003: 69).

Kecemburuan sang suami ini membuat dirinya selalu berpikir negatif kepada istrinya.

Ia menduga istrinya tidak menyukai pekerjaannya. Ia pun berusaha untuk menutupi rasa

rendah dirinya dengan menunjukkan kekuasaannya pada sang istri. Berbagai cara dilakukan

oleh sang suami untuk menunjukkan kelemahan istrinya, termasuk dengan menghunuskan

pedang ke tubuh istri.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Pemicu Penyebab Akibat

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 13: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

13

Tokoh istri yang merupakan tokoh penentang dari tokoh suami dalam cerpen ini

digambarkan memiliki karakter yang lembut, sopan, dan cerdas. Sifat-sifat sang istri ini juga

membuat sang suami bersikap sinis. Awalnya, sikap sang suami ditanggapi biasa oleh sang

istri. Ia berusaha memahami dan menenangkan suaminya saat gelisah. Akan tetapi, sikap

otoriter dan penganiayaan yang dilakukan oleh suaminya secara terus-menerus membuat sang

istri melakukan perlawanan, yaitu dengan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama.

Dari analisis alur dan tokoh tersebut, dapat diketahui bahwa gagasan atau ide yang ada

dalam cerpen ini adalah perlawanan seorang istri atas penindasan yang dilakukan oleh

suaminya. Rasa cemburu sang suami pada status sosial istrinya yang lebih tinggi membuat ia

bersikap kasar, sewenang-wenang, dan otoriter. Ini dilakukan oleh sang suami sebagai usaha

untuk menunjukkan kekuasaannya. Sikap otoriter sang suami ini dilawan dengan gugatan

cerai yang diajukan oleh sang istri ke pengadilan agama.

3. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga

Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” bercerita tentang seorang anak yang

dihadapkan pada dua pilihan tentang kesempurnaan hidup. Menurut sang ayah, kesempurnaan

hidup didapat dengan bekerja, sedangkan menurut kakek, kesempurnaan hidup hanya

diperoleh dengan mencintai bunga-bunga. Sang anak akhirnya mengikuti konsep

kesempurnaan hidup menurut ayah dan ibunya. Ayahnya selalu mengajarkan kerja, sedangkan

ibunya selalu mengingatkannya untuk mengaji.

Jika dilihat dari urutan waktu terjadinya, peristiwa-peristiwa yang membangun cerpen

“Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” disusun secara berurutan. Jika peristiwa-peristiwa dalam

cerpen ini dilihat berdasarkan urutan waktu terjadinya, ada sembilan peristiwa yang

membangun cerpen ini.

Pilihan sang anak untuk mengikuti konsep kesempurnaan hidup menurut ayah dan

ibunya merupakan akibat dari adanya dua kondisi yang dialami oleh sang anak. Sang kakek

menawarkan ketenangan jiwa, sedangkan ayahnya menuntut untuk bekerja. Oleh karena itu,

hubungan sebab-akibat yang ada dalam cerpen ini adalah anak memilih karena adanya kondisi

yang memaksanya untuk memilih. Pilihan sang anak ini ditampilkan pada peristiwa 9,

sedangkan kondisi yang menjadi penyebab sang anak untuk memilih dihadirkan melalui

peristiwa 3, peristiwa 4, peristiwa 5, peristiwa 6, peristiwa 7, dan peristiwa 8.

Akan tetapi, munculnya pilihan atas dua konsep kesempurnaan hidup ini dipicu oleh

perkenalan anak dengan kakek. Anak yang awalnya telah mengenal konsep kerja dari sang

ayahnya, dihadapkan pada pilihan lain yaitu konsep kesempurnaan hidup dengan mencintai

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 14: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

14

bunga-bunga yang ditawarkan oleh sang kakek. Perkenalan anak dengan kakek ini

ditampilkan melalui peristiwa 2. Hubungan sebab-akibat dalam cerpen ini dapat dilihat dalam

skema berikut.

Gambar 8. Hubungan Sebab-Akibat dalam Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”

Ada empat tokoh yang berperan dalam cerpen ini, yaitu aku (anak), kakek, ayah, dan

ibu. Berdasarkan fungsinya dalam cerita, tokoh anak, kakek, dan ayah merupakan tokoh

sentral, sedangkan tokoh ibu merupakan tokoh bawahan. Tokoh anak, kakek, dan ayah dalam

cerpen ini merupakan tokoh sentral karena ketiga tokoh tersebut memiliki intensitas

keterlibatan yang tinggi pada setiap peristiwa.

Berbeda dengan ketiga tokoh lainnya, tokoh ibu merupakan tokoh bawahan dalam

cerpen ini karena kehadirannya dan keterlibatannya dalam permasalahan yang diangkat dalam

cerpen ini sangat sedikit apabila dibandingkan dengan tokoh lain. Keterlibatan tokoh dalam

setiap peristiwa yang ada dalam cerpen ini terlihat dalam bagan berikut.

Gambar 9. Keterlibatan Tokoh pada Setiap Peristiwa dalam Cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”

Tokoh anak, yang dalam cerita ini merupakan tokoh aku, memiliki sifat ramah,

lembut, penurut, dan cerdas. Akan tetapi, ia mudah terpengaruh, saat kakek mengajarinya

tentang konsep ketenangan jiwa melalui bunga-bunga. Kecintaannya pada bunga

memunculkan rasa sombong dalam diri sang anak. Ia merasa hanya dia yang memiliki

ketenangan jiwa yang sempurna.

Selain itu, kecintaannya pada bunga yang berlebihan membuat perubahan sikap pada

dirinya. Ia yang awalnya senang bermain dengan teman-temannya menjadi tertutup dan

mengurung diri dalam kamar. Ia lebih suka berlama-lama dengan bunganya daripada

bersosialisasi dengan temannya.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Pemicu Kondisi (penyebab) Akibat

Anak 1. Anak

2. Kakek

1. Anak

2. Ayah

1. Anak

2.Kakek

1. Anak

2. Kakek

3. Ibu

1. Anak

2. Ayah

1. Anak

2. Ayah

3. Kakek

1. Anak

2. Ayah

3. Ibu

1. Anak

2. Ayah

3. Kakek

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 15: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

15

Sifat antisosial ini juga dimiliki oleh kakek. Kakek adalah orang yang menutup diri. Ia

tidak pernah bergaul dengan orang lain. Kakek menganggap rendah dunia. Ia berpendapat

bahwa kesempurnaan hidup hanya dicapai dengan ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa ini

diperoleh melalui bunga-bunga. Dunia hanyalah nafsu, sedangkan bunga-bunga adalah budi.

Menurutnya, tidak ada yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan keteguhan batin.

Konsep kesempurnaan hidup dengan ketenangan jiwa yang disampaikan kakek ini

berlawanan dengan kesempurnaan hidup menurut ayah. Bagi ayah, seorang laki-laki harus

bekerja, bukan bermain bunga. Orang tidak akan bisa hidup hanya dengan bunga.

Kesempurnaan hidup bagi ayah adalah dengan bekerja karena dunia ini butuh dibangun.

Awalnya, sang anak lebih mencintai kakek daripada ayahnya. Menurut sang anak,

kakek orang yang lembut, sedangkan ayah orang yang keras. Sang anak lebih mencintai

kakek daripada ayahnya karena kakek membuat hatinya menjadi tenang, sedangkan ayahnya

selalu membuatnya gelisah. Akan tetapi, ketika sang anak dihadapkan pada dua pilihan, yaitu

antara kakek dan ayahnya, ia lebih memilih ayahnya. Namun, ia tidak sepenuhnya memilih

ayahnya. Ia memilih ayah karena ada ibu sebagai pendampingnya. Ayah selalu mengajarkan

tentang kerja, sedangkan ibu mengingatkannya untuk mengaji.

Dari analisis alur dan tokoh tersebut, dapat dilihat bahwa dalam cerpen “Dilarang

Mencintai Bunga-Bunga” terdapat kritik yang disampaikan oleh Kuntowijoyo atas zuhud,

yaitu salah satu pandangan dalam ajaran sufi/tasawuf. Zuhud, yaitu cara hidup yang

terkonsentrasi penuh dengan ibadah kepada Allah serta meninggalkan kemewahan dan

perhiasan duniawi. Melalui tokoh kakek, pengarang menggambarkan keadaan orang yang

menjalankan zuhud. Ia mencari kesempurnaan hidup hanya dengan mencintai bunga-bunga.

Kecintaan kakek pada bunga-bunga yang terlalu berlebihan menjadikannya pribadi

yang tertutup dan antisosial. Ia tidak peduli pada orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia

menjadi sombong karena merasa memiliki ketenangan jiwa lebih tinggi dari orang lain. Ia pun

menjadi sinis memandang dunia. Ia menganggap dunia sebagai nafsu, sedangkan bunga

adalah budi.

Kecintaan kakek pada bunga-bunga merupakan simbol dari kecintaan seorang hamba

pada Tuhannya. Kecintaan seorang hamba kepada Tuhan yang terlalu berlebihan hingga

membuat dirinya lupa pada tugas kemanusiaannya tidak dibenarkan. Hal ini karena Tuhan

tidak pernah menyuruh hambanya untuk beribadah pada Tuhan saja, tetapi juga mewajibkan

manusia bekerja demi kelangsungan hidup manusia.

Kritik pengarang atas sikap kakek ini ditunjukkan dengan menghadirkan tokoh anak

yang menolak untuk mengikuti jejak sang kakek. Awalnya, sang anak merasa kagum pada

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 16: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

16

konsep ketenangan jiwa dengan mencintai bunga-bunga yang diajarkan oleh kakek. Dia pun

mengikuti perilaku sang kakek. Akan tetapi, ia sadar bahwa seseorang tidak akan hidup hanya

dengan bunga-bunga. Manusia juga harus bekerja karena dunia ini harus dibangun.

Kesempurnaan hidup tidak akan dicapai oleh seseorang hanya dengan beribadah pada

Tuhan. Seseorang juga harus menunaikan tugas kemanusiaanya. Keseimbangan hubungan

manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia ini dalam Islam dikenal dengan konsep

habluminallah (hubungan dengan Allah) dan habluminannas (hubungan dengan manusia).

Dalam cerpen, keseimbangan ini ditunjukkan dengan sikap anak yang memilih mengikuti

ayah dan ibunya. Ayah mengajarkan konsep kerja padanya dan ibu selalu mengingatkannya

untuk mengaji.

Tiga Cerpen Kuntowijoyo dalam Tinjauan Sastra Profetik

Dari analisis intrinsik yang telah dilakukan pada tiga cerpen Kuntowijoyo, yaitu “Ikan-

Ikan dalam Sendang”, “Samurai”, dan “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”, ada usaha yang

dilakukan oleh Kuntowijoyo untuk menanamkan nilai profetik di dalam karyanya. Hal ini

terlihat dari adanya kecenderungan tokoh dan tema yang diangkat dalam cerpen-cerpennya.

Dalam cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang” dan “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”,

pengarang menghadirkan kakek dan anak sebagai tokoh. Tokoh kakek dan anak yang

dihadirkan oleh Kuntowijoyo dalam cerpennya merupakan simbol dari tradisi dan modernitas

serta materi dan spiritual. Dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”, tokoh kakek

merupakan simbol dari spiritual (hubungan dengan Tuhan), sedangkan tokoh anak merupakan

simbol dari materi (realitas duniawi). Kedua karakter ini dikontraskan bukan untuk

dipisahkan, melainkan disatukan. Artinya, ada keseimbangan antara hubungan manusia

dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan realitas duniawi.

Tokoh kakek dan anak juga merupakan simbol dari tradisi dan modernitas. Kakek

mewakili masyarakat tradisional, sedangkan anak merupakan simbol masyarakat modern.

Penolakan tradisi kejawen yang ada dalam masyarakat tradisional ditampilkan melalui cerpen

“Ikan-Ikan dalam Sendang”. Cara berpikir mitos yang ada dalam masyarakat tradisional

digantikan dengan cara berpikir logis yang ada dalam masyarakat modern.

Dari pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa ada nilai-nilai profetik yang disampaikan

oleh Kuntowijoyo melalui tokoh anak dan kakek. Tokoh anak dan kakek yang merupakan

simbol materi dan spiritual dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” digunakan

Kuntowijoyo untuk menyampaikan konsep transendensi. Konsep transendensi ini berupa

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 17: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

17

keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan (habluminallah) dan manusia dengan

manusia (habluminannas).

Selain itu, melalui tokoh anak dan tokoh kakek yang merupakan simbol dari tradisi

dan modernitas, Kuntowijoyo juga menyampaikan konsep humanisasi. Dalam cerpen “Ikan-

Ikan dalam Sendang”, Kuntowijoyo menolak dehumanisasi tradisional berupa pemujaan

terhadap mitos dan kebudayaan kejawan.

Selain kecenderungan tokoh, cerpen-cerpen Kuntowijoyo juga memiliki

kecenderungan tematik. Dalam cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”, tema yang diangkat

adalah penolakan atas mistik Jawa (kejawen). Gagasan yang diusung cerpen ini selaras

dengan konsep humanisasi yang berbentuk penolakan atas dehumanisasi tradisional. Warga

dusun yang awalnya percaya pada kekeramatan sendang pada akhirnya sadar bahwa

kekeramatan sendang hanyalah sebuah kebohongan. Masyarakat yang awalnya memiliki cara

pandang mitos, berubah menjadi berpikir logis.

Namun, tidak hanya humanisasi, Kuntowijoyo juga menghadirkan nilai liberasi yang

merupakan unsur sastra profetik melalui cerpen “Samurai”. Dalam cerpen ini digambarkan

ada seorang istri yang mengalami penganiayaan fisik dan batin yang dilakukan oleh

suaminya. Penganiayaan ini akhirnya dilawan dengan gugatan cerai (khulu’) yang diajukan

sang istri kepada pengadilan agama. Melalui cerpen ini, Kuntowijoyo menegaskan bahwa

seorang perempuan juga memilki hak dalam rumah tangga. Anggapan bahwa agama memihak

kaum laki-laki dipatahkan dalam cerpen ini.

Selain humanisasi dan liberasi, cerpen-cerpen Kuntowijoyo juga mengandung nilai

transendensi, seperti yang terdapat dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Pada

cerpen ini pengarang menampilkan konsep yang ada dalam ajaran tasawuf. Ia menampilkan

konsep tersebut bukan untuk mengukuhkan, melainkan mengkritiknya. Seorang anak yang

pada awalnya tertarik pada ketenangan jiwa yang diajarkan oleh seorang kakek, akhirnya

memutuskan untuk menolak konsep tersebut. Seseorang tidak akan hidup hanya dengan

beribadah pada Tuhan. Ia juga harus bekerja karena dunia ini butuh dibangun.

Dari pemaparan tersebut, dapat dilihat bahwa cerpen-cerpen Kuntowijoyo

mengandung nilai-nilai profetik. Akan tetapi, meski mengandung nilai-nilai profetik, cerpen-

cerpen Kuntowijoyo tidak dapat dikatakan sebagai sastra profetik. Hal ini karena, jika

kembali kepada konsep sastra profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo, yang dinamakan

sastra profetik adalah sastra yang mengandung tiga nilai, yaitu humanisasi, liberasi, dan

transendensi. Sementara, cerpen-cerpen Kuntowijoyo hanya mengandung satu nilai profetik

pada masing-masing cerpen.

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 18: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

18

Terpisahnya nilai-nilai profetik pada cerpen-cerpen Kuntowijoyo inilah yang

mengakibatkan gagasan profetik Kuntowijoyo tidak diterima dengan baik oleh pembaca. Ini

terlihat pada gelar sastrawan sufistik yang diberikan Abdul Hadi W.M. kepadanya. Dalam

esainya yang berjudul “Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di

Indonesia” (1999: 24-29), melalui cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”, “Sepotong

Kayu untuk Tuhan”, dan “Burung Kecil Bersarang di Pohon”, Abdul Hadi mengatakan bahwa

Kuntowijoyo merupakan sastrawan sufistik. Ini karena cerpen-cerpen Kuntowijoyo tersebut,

menurut Abdul Hadi, menampilkan nilai-nilai sufistik/transendental.

Namun, berdasarkan analisis yang telah penulis lakukan, gagasan transendensi yang

disampaikan Kuntowijoyo sebenarnya menghendaki keseimbangan antara hubungan manusia

dengan Tuhan dan manusia dengan manusia, bukan pengkultusan atas konsep zuhud, yaitu

pemisahan ibadah dengan kerja yang terdapat dalam aliran sufi. Oleh karena itu, Kuntowijoyo

juga tidak dapat dikatakan sebagai sastrawan sufistik.

Kesimpulan

Ada kecenderungan tokoh dan tema dalam tiga cerpen Kuntowijoyo. Kecenderungan

ini digunakan sebagai sarana penyampai tiga nilai yang ada dalam sastra profetik, yaitu

humanisasi, liberasi dan transendensi. Kuntowijoyo menggunakan tokoh anak dan kakek

dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” sebagai simbol atas penyatuan materi dan

spiritual (transendensi), serta tokoh anak dan kakek dalam cerpen “Ikan-Ikan dalam Sendang”

sebagai simbol atas modernitas dan tradisi (humanisasi).

Tiga cerpen Kuntowijoyo ini juga memiliki tema yang idenya sama dengan nilai-nilai

yang ada dalam sastra profetik. Gagasan penolakan tradisi kejawen yang ada dalam cerpen

“Ikan-Ikan dalam Sendang” sejalan dengan nilai humanisasi berupa penolakan atas

dehumanisasi tradisional yang ada dalam sastra profetik. Begitu pula dengan perlawanan

seorang istri atas penindasan yang dilakukan oleh suaminya yang ada dalam cerpen

“Samurai”. Gagasan perlawanan atas ketidakadilan ini sama dengan ide pembebasan (liberasi)

yang ada dalam sastra profetik. Selain itu, nilai transendensi yang ada dalam sastra profetik

juga tercermin melalui gagasan penolakan konsep zuhud yang ada dalam cerpen “Dilarang

Mencintai Bunga-Bunga”. Melalui transendensi, Kuntowijoyo berusaha menghadirkan

keseimbangan antara realitas dunia dengan dimensi ketuhanan.

Akan tetapi, meskipun mengandung nilai-nilai profetik, cerpen-cerpen Kuntowijoyo

tidak dapat dikatakan sebagai sastra profetik. Hal ini karena nilai-nilai profetik dalam cerpen-

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013

Page 19: Anasir Profetik dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

19

cerpen Kuntowijoyo dihadirkan terpisah. Terpisahnya nilai-nilai profetik dalam karya

Kuntowijoyo inilah yang mengakibatkan Kuntowijoyo mendapat gelar sastrawan sufistik dari

beberapa kritikus. Hal ini karena kritikus hanya melihat nilai transendensi di beberapa karya

Kuntowijoyo.

Saran

Terpisahnya nilai-nilai profetik dalam cerpen-cerpen Kuntowijoyo mengakibatkan

cerpen-cerpennya tidak dapat digolongkan sebagai sastra profetik. Namun, apakah karya-

karya Kuntowijoyo yang lain, seperti novel, drama, dan puisi juga memiliki nilai-nilai

profetik yang terpisah. Untuk melihat hal tersebut, penelitian lanjutan tentang sastra profetik

ini dapat dilakukan, mengingat novel dan drama memiliki media yang lebih luas

dibandingkan cerpen.

Selain itu, pembaca juga dapat meneliti apakah sastrawan Indonesia, selain

Kuntowijoyo, ada yang telah berhasil menulis karya sastra yang tergolong sebagai sastra

profetik. Penelitian ini sangat mungkin dilakukan karena penelitian tentang sastra profetik di

Indonesia masih jarang dilakukan.

Daftar Referensi

Anwar, Wan. (2007). Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo.

Durachman, Memen. (1996). “Khotbah di Atas Bukit, Novel Gagasan Karya Kuntowijoyo”.

Program Studi Susastra, Bidang Ilmu Budaya, Program Pascasarjana, Universitas

Indonesia.

Iqbal, Muhammad. (1966). Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. terj. Ali

Audah, dkk. Jakarta: Tintamas.

Kuntowijoyo. (2003). Dilarang Mencintai Bunga-bunga Jakarta: Pustaka Firdaus.

---. (2006). Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.

---. “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Transendental”. Esai yang dibacakan

dalam Temu Sastra Dewan Kesenian Jakarta, 6-8 Desember 1982.

Muthari, Abdul Hadi Wiji. (1999). Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra

Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Siswanto, Wahyudi. (2008). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo.

Sudjiman, Panuti. (1988). Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Anasir profetik..., Sapuroh, FIB UI, 2013