ii - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/37295/1/riski... ·...
Post on 07-Mar-2019
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabatnya.
Untuk menyelesaikan penelitian ini saya mendapat bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terimakasih
kepada:
1. Prof. Dr. H. Arief Sumantri, M.Kes. selaku dekan fakultas kedokteran dan ilmu
kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. dr.Achmad Zaky, M.epid, Sp.OT selaku kepala program studi pendidikan
DOKTER FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh dosen di
program studi ini yang selalu membimbing serta memberikan ilmu kepada saya
selama menjlani masa pendidikan di program studi pendidikan DOKTER FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ibu Rr. Ayu Fitri Hapasari M.biomed. dan dr. Dyah Ayu Woro M. Biomed.
Selaku dosen pembimbing yang telah membantu, menyediakan waktu, Tenaga,
dan pikiran untuk membimbing saya dari awal hingga akhir penelitian ini.
4. Kedua orang tercinta, Gani Ginting . S.T dan Nurbaiti, S.Kep, NERS yang
selalu memberikan semangat , motivasi, dan cinta kasihnya sepanjang hidup
saya. Juga adik dan kakak saya, Reka Anindia Mulyanur dan Fergi Medisa G
yang senantiasa membuat saya bersemangat dalam menjalani pendidikan di
Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah.
5. Ibu Nurlaeley Mida Rachmawati, S.si, M. Biomed., Ph. D selaku penanggung
jawab (PJ) Animal house. Ibu Silvia Fitrina, M.Biomed selaku penanggung
jawab laboratorium parasit yang telah memberikan izin atas pengunaan
laboratorium dalam penelitian ini.
vi
6. Isna Akmalia selaku teman seperjuangan PSPD 2013 yang turut memberi
motivasi dan semangatnya dalam menjalankan Riset ini.
7. Teman-teman seperjuangan saya yaitu kelompok Binahong Jaya, Wildana aqilla
D, Raissa Pramudya W, Alfi Alfina dan Fadli F dan seluruh laboran yang
terlibat, antara lain: Mba Novi, Mba Din yang telah membantu dalam proses
penelitian ini.
8. Teman-teman rumah Mediterania, yang telah membantu dalam berjalannya
penelitian ini
9. Teman – teman PSPD 2012, 2013, 2014 yang selalu memberikan dukungan
kepada saya.
10. Bapak-bapak satpam dan OB FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
senantiasa meminjamkan kunci laboratorium hewan dan dengan sabar
menunggu kami sampai kami selesai memakai laboratorium.
Saya menyadari bahwa laporan penilitian ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak agar laporan penelitian ini dapat menjadi lebih baik.
Demikian laporan penelitian ini saya tulis. Semoga dapat bermanfaat bagi
para pembaca umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Ciputat, 12 Oktober 2016
Peneliti
vii
ABSTRAK
Riski Bastanta Ginting. Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter. Efek
Pemberian Ekstrak Daun Binahong (Anrederacordifolia (Tenore) Steenis)
Terhadap Jumlah Sel Radang Pada Luka Bakar Derajat Ii Tikus Sprague
Dawley. 2016
Pendahuluan: Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) sering
digunakan untuk penyembuhan luka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh salep dan oral ekstrak daun Binahong (Anrederacordifolia (Tenore)
Steenis) terhadap jumlah sel radang pada luka bakar derajat II dan untuk
mengetahui perbedaan efektifitas ekstrak daun Binahong yang diberikan secara oral
maupun topikal. Metode: Penelitian ini menggunakan desain eksperimental. Subjek
penelitian adalah tikus strain Sprague dawley dengan jumlah 25 ekor. Tikus ini
dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan masing-masing perlakuan terdiri atas 5 tikus.
Kelompok 1 adalah tikus yang diberikan salep ekstrak daun Binahong dengan
konsentrasi 40%. Kelompok 2 adalah tikus yang diberikan ekstrak daun Binahong
sediaan oral. Kelompok 3 adalah tikus yang diberikan salep ekstrak daun Binahong
konsentrasi 40% dan ekstrak daun Binahong sediaan oral. Kelompok 4 adalah tikus
yang diberikan kontrol positif berupa krim silver sulfadiazine kelompok 5 adalah
tikus yang diberikan kontrol negatif berupa adeps lane dan Vaseline album tanpa
campuran ekstrak daun Binahong. Tikus diberikan luka bakar selama 30 detik
menggunakan plat besi dan pada hari ke enam terapi dihentikan. Hasil: Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kelompok negatif P5 memiliki jumlah sel radang
paling banyak di antara kemlopok perlakuan yang lain. Sementara kelompok
dengan perlakuan salep Binahong mendapatkan jumlah sel radang yang paling
rendah. Kesimpulan: ekstrak Binahong memiliki pengaruh terhadap jumlah sel
radang pada luka bakar tikus derajat II
Kata Kunci: Binahong (Anredera cordifolia (Tenore)Steenis), luka bakar, sel
radang, Tikus
ABSTRACT
Riski Bastanta Ginting. Medical profession and education study program. The
Effect Of Giving Binahong Leaf Extract (Anredera Cordifolia (Tenore)
Steenis) On The Number Of Inflammatory Cell In Burn Injury Second
Degree Sprague Dawley Rat. 2016
Introduction: Binahong leaf (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) can be used to
improve wound healing activity. The aims of this research were to study the
effectivity of Binahong leaf (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) in ointment and
oral treatment to the number of inflammation cell in burn wound second degree.
and to know the difference effectivity of Binahong leaf extract in topical and oral
treatment. Methods: This research using experimental desigm. The subject of
research is the Sprague dawley rat strain with the number of 25 head. Rats were
viii
divided into five treatment group and of each treatment consisted about 5 rats.
Group 1 was treated rats with ointment of Binahong leaf extract with concentration
of 40%. Group 2 was treated rats with Binahong extract oral preparation. Group 3 is
treated rats with ointment leaf extract concentration 40% and Binahong extract oral
preparation. Group 4 was a positif control rats that were administered in the form of
silver sulfadiazine. Group 5 was negatif control rats that were administered in the
form of adeps lanae and Vaseline album without Binahong extract. Rats given burn
30 seconds using an iron plate and sixth day therapy was dismissed. Result: the
results showed that the negatif control group P5 has a number of inflammatory cell
were most numerous and among other treatment. And the lowest number of
inflammatory cell was in P1 the ointment with extract of Binahong. Conclusion:
Binahong extract have influence on the number of inflammatory cell in rats with
second degree burns.
Keyword: Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis), burn injury,
inflammatory cell, rat
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
ABSTRAK ................................................................................................................ vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiii
DAFTAR GRAFIK ................................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 3
1.3 Hipotesis .............................................................................................................. 3
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 3
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................................ 3
1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 4
1.5.1 Bagi Peneliti .............................................................................................. 4
1.5.2 Bagi Institusi ............................................................................................. 4
1.5.3 Bagi Kelimuan .......................................................................................... 4
1.5.4 Bagi Sosial ................................................................................................ 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 6
2.1 Landasan Teori ........................................................................................... 6
2.1.1 Tanaman Binahong ........................................................................... 6
2.1.1.1 Klasifikasi botani tanaman ini menurut Badan POM RI ... 6
2.1.1.2 Kandungan zat aktif dari Binahong..................................... 7
2.1.2 Kulit.................................................................................................... 8
2.1.2.1 Definisi Kulit ........................................................................ 8
2.1.2.2 Fungsi Kulit .......................................................................... 8
2.1.2.3 lapisan kulit ........................................................................... 9
2.1.3 Penyebab Luka Bakar ...................................................................... 12
2.1.4 Klasifikasi Berdasarkan Derajat dan Kedalaman Luka Bakar ...... 12
2.1.5 Proses Penyembuhan Luka .............................................................. 14
x
2.1.5.1 Macam-Macam Luka .......................................................... 14
2.1.5.2 Fase Penyembuhan Luka .................................................... 15
2.1.6 Tujuan Pengobatan Luka Bakar ....................................................... 18
2.1.7 Penanganan Luka Bakar .................................................................. 20
2.1.8 Pertolongan Pertama Pada Luka Bakar .......................................... 24
2.1.9 Initial Treatment Wound Care ........................................................ 25
2.1.10 Treatment Wound Care ................................................................... 25
2.1.11 Antibiotik Topikal Silver Sulfadiazine .......................................... 26
2.1.12 Pemberian Obat Secara Oral .......................................................... 28
2.1.12.1 Proses Ekskresi Obat ....................................................... 30
2.1.13 Pemberian Obat Secara Topikal ..................................................... 30
2.1.14 Vehikulum ....................................................................................... 32
2.1.14.1 Klasifikasi Vehikulum ..................................................... 32
2.1.15 Salep ................................................................................................ 32
2.1.16 Pengertian Ekstrak ......................................................................... 32
2.1.17 Ekstraksi .......................................................................................... 33
2.1.17.1 Maserasi ........................................................................... 34
2.1.18 Metode Freeze Dry .......................................................................... 34
2.2 Kerangka Teori .................................................................................................... 35
2.3 Kerangka Konsep ................................................................................................ 36
2.4 Definisi Operasional .......................................................................................... 37
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 38
3.1 Desain Penelitian ................................................................................................. 38
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................................ 38
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ......................................................................... 38
3.3.1 Besar Sampel ............................................................................................ 38
3.3.2 Kriteria Inklusi .......................................................................................... 39
3.3.3 Kriteria Eksklusi ....................................................................................... 39
3.3.4 Pembagian Kelompok sampel ................................................................. 39
3.4 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................................. 40
3.4.1 Alat Penelitian .................................................................................................. 40
3.4.2 Bahan Penelitian......................................................................................... 40
3.5 Adaptasi dan Pemeliharaan hewan sampel........................................................ 41
3.6 Pembuatan Konsentrasi Ekstrak ......................................................................... 41
3.7 Perlakuan luka pada tikus ................................................................................... 42
3.8 Cara Pemberian Salep Ekstrak dan Ekstrak Oral Daun Binahong................... 42
3.9 Pengambilan Jaringan ......................................................................................... 42
xi
3.10 Pembuatan sediaan histopatologi ..................................................................... 43
3.11 Pengamatan histopatologi ................................................................................. 45
3.12 Manajemen analisis data sel radang............................................................... 45
3.13 Alur kerja penelitian ......................................................................................... 46
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 47
4.1 Jumlah Sel Radang ............................................................................................. 47
4.2 Pembahasan ........................................................................................................ 50
4.3 Keterbatasan Penelitian ..................................................................................... 52
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 53
5.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 53
5.2 Saran .................................................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 54
LAMPIRAN ............................................................................................................. 57
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Definisi Operasional ................................................................................. 35
Tabel 4.1 Rerata Jumlah Sel Radang ....................................................................... 47
Tabel 4.2 Hasil Analisis ............................................................................................ 49
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Daun Binahong ..................................................................................... 7
Gambar 2.2 Lapisan-Lapisan Kulit .......................................................................... 9
Gambar 2.3 Lapisan Epidermis ................................................................................ 9
Gambar 2.4 Luka Bakar Derajat II Parsial .............................................................. 13
Gambar 2.5 Rule of Nine ........................................................................................... 22
Gambar 2.6 Lund Browder Chart............................................................................. 23
Gambar 2.7 Oral administration of drug .................................................................. 28
Gambar 2.8 Skema Ilustratif Mekanisme terjadinya Pengeringan Beku ............... 34
Gambar 4.1 Gambaran histopatologi luka bakar pada tikus .................................. 47
Gambar 4.2 Gambaran mikroskopik jumlah sel radang ........................................ 48
xiv
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Rerata Jumlah Sel Radang ...................................................................... 49
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Determinasi /Identifikasi Bahan Uji .......................................... 57
Lampiran 2 Hasil Ekstraksi Bahan Uji .................................................................... 58
Lampiran 3 Surat Keterangan Tikus Sehat .............................................................. 59
Lampiran 4 Gambar Proses Penelitian ..................................................................... 60
Lampiran 5 Hasil Uji Statistik .................................................................................. 62
Lampiran 6 Riwayat Hidup Penulis ......................................................................... 64
xvi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh api atau oleh penyebab lain
misalnya pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia serta
radiasi.1
Menurut WHO (2016) terdapat sekitar 265000 kematian tiap tahunnya dan
sebanyak 96% kejadian fatal akibat luka bakar terjadi di negara ekonomi kelas
bawah hingga menegah. Dari kejadian tersebut banyak yang hidup dengan
kecacatan seumur hidup dan mengalami gangguan fungsi sosial.2
Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS 2013) prevalensi cedera
(jatuh, luka bakar, KDRT) secara nasional adalah 8,2%, prevalensi tertinggi
ditemukan di Sulawesi Selatan 12,8% dan terendah di Jambi 4,5%3
Sementara prevalensi cedera luka bakar di Indonesia adalah 0,7% dengan
provinsi Papua menjadi yang tertinggi yaitu 2,0% dan Kalimantan Timur menjadi
yang terendah yaitu 0%. Menurut usia prevalensi tertinggi yaitu pada usia 1-4
tahun sebesar 1,5%.3
Luka bakar dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik infeksi maupun
non infeksi antara lain: Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD), pulmonary emboli, heart failure, syok
hipovolemia dan multi organ failure.4
Luka bakar memiliki klasifikasi berdasarkan kedalaman luka dan luas luka
antara lain: luka bakar derajat I yang meliputi bagian superfisial atau epidermis
Luka bakar derajat II meliputi epidermis dan dermis juga ditemukan adanya
blister (bula), dan luka bakar derajat III yang meliputi seluruh dermis. Salah satu
yang mempengaruhi mortalitas luka bakar yaitu > 70% Total Body Surface Area
(TBSA).5
2
Krim Silversulfadiazin merupakan antibiotik rujukan yang diberlakukan
oleh WHO untuk penaganan luka bakar. Namun sekarang banyak ditemui bakteri-
bakteri yang resisten terhadap pengunaan silversulfadiazine seperti S. aureus,
Enterococcus spp dan Providensia stuartii.2,7
Tak dapat dipungkiri juga bahwa kecenderungan menggunakan tanaman
tradisional sebagai obat dikalangan masyarakat Indonesia terutama di pedesaan
masih tinggi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya akses dan biaya
untuk pengobatan modern yang relatif lebih mahal dan sulit dijangkau oleh
mereka.8
Salah satu tanaman yang digunakan untuk pengobatan adalah daun
Binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis). Daun Binahong merupakan
tanaman yang memiliki nama genus Anredera dan tergolog family Basellaceae
(Walters 1989 dalam Rahmawati dkk 2012). Daun Binahong adalah tanaman obat
dari daratan tiongkok yang dikenal dengan nama asli Dheng Sac Chi sedangkan di
dunia internasional dikenal dengan nama Heartleaf Madeiravine. Sementara di
Indonesia tanaman ini dikenal sebagai gondola yang sering digunakan sebagai
gapura yang melingkar diatas jalan taman. Tanaman merambat ini perlu
dikembangkan dan diteliti lebih jauh terutama untuk mengungkapkan khasiat dari
bahan aktif yang dikandungnya. Berbagai pengalaman yang ditemui di
masyarakat bahwa pengunaan daun Binahong dapat dimanfaatkan dalam proses
penyembuhan penyakit berat.9
Daun Binahong mengandung beberapa zat seperti asam askorbat, asam
oleanolik dan saponin. Asam akorbat dapat mempercepat penyembuhan luka.
Asama oleanolik mempunyai khasiat untuk mengurangi rasa nyeri pada luka
bakar (Rohmawati, 2007). Sementara saponin mempunyai efek sebagai
pembentukan kolagen tipe I yang berperan dalam penyembuhan luka.10
Pengobatan tradisional menggunakan tanaman telah berkembang diantara
pengobatan modern saat ini karena besarnya potensi kesembuhan dan beban
keuangan yang lebih ringan. Salah satu tanaman yang memiliki khasiat dalam
mengobati luka bakar derajat II adalah daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten)
Steenis).10
3
Cara pengunaan daun Binahong sebagai salah satu pengobatan luka bakar
masih sangat sederhana yaitu daun Binahong ditumbuk sampai halus kemudian di
balurkan pada kulit yang terkena luka bakar (Webb &Harrington, 2005)10
Berdasarkan hal diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pemberian salep dan ekstrak oral daun Binahong terhadap Jumlah sel radang pada
luka bakar tikus Sprague dawley. Penelitian ini meliputi uji histopatologi jumlah
sel radang pada luka bakar tikus Sprague dawley yang diberikan ekstrak daun
Binahong dalam bentuk salep dengan konsentarsi 40% dan oral 100mg/kgbb/hari
dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah pemberian ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolisa (Ten)
Steenis) berpengaruh pada jumlah sel radang pada luka bakar derajat II tikus
Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi.
1.3 Hipotesis
Ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolisa (Ten) Steenis) dapat
menurunakan jumlah sel radang pada luka bakar derajat II tikus Sprague dawley
dengan lama paparan 30 detik dengan plat besi.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore)
Stennis) terhadap jumlah sel radang pada luka bakar tikus Sprague dawley.
4
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengaruh ekstrak Binahong terhadap jumlah sel radang
pada luka bakar derajat II tikus Sprague dawley yang diberikan salep
ekstrak Binahong 40%.
2. Mengetahui pengaruh ekstrak Binahong terhadap jumlah sel radang
pada luka bakar derajat II tikus Sprague dawley yang diberikan oral
ekstrak Binahong dengan dosis 100mg/kgbb/hari
3. Mengetahui pengaruh ekstrak Binahong terhadap jumlah sel radang
pada luka bakar derajat II tikus Sprague dawley yang diberikan salep
ekstrak Binahong 40% dan ekstrak oral ekstrak Binahong dengan
dosis 100 mg/kgbb/hari.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti:
Sebagai salah satu prasyarat kelulusan dalam menyelesaikan program sarjana
kedokteran
Sebagai pengalaman melakukan penelitian histopatologi
Peneliti mengetahui pengaruh pemberian salep, oral dan kombinasi salep dan
oral ekstrak Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Stennis) terhadap jumlah
dari sel radang pada luka bakar tikus Sprague dawley.
1.5.2 Bagi Institusi
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pengaruh pemberian
salep, oral dan kombinasi oral dan salep ekstrak daun Binahong (Anredera
cordifolia (Tenore) Stennis) terhadap jumlah sel radang pada luka bakar tikus
Sprague dawley
1.5.3 Bagi Keilmuan
Dapat dijadikan bahan refrensi bagi peneliti yang tertarik melakukan
penelitian histopatologi.
5
1.5.4 Bagi sosial
Menambah pengetahuan masyarakat tentang manfaat daun Binahong yang
berfungsi sebagai obat herbal untuk kesehatan
Dapat dikembangkan menjadi obat herbal dalam bentuk sediaan salep dalam
penyembuhan luka bakar.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Tanaman Binahong
Daun Binahong atau (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) adalah
tumbuhan yang berasal dari Brazil, Bolivia, Paraguay dan Uruguay. Sifatnya
berupa tumbuhan menjalar, berumur panjang, bisa mencapai panjang lebih dari 6
m. Batang lunak silindris, saling membelit, berwarna merah, bagian dalam solid,
permukaan halus, kadang membentuk semacam umbi yang melekat di ketiak daun
dengan bentuk tak beraturan dan bertekstur kasar. Daun tunggal, bertangkai
sangat pendek, tersusun berseling, berwarna hijau, bentuk jantung , panjang 5-10
cm, lebar 3-7 cm, helaian daun tupis lemas, ujung runcing, pangkal berlekuk, tepi
rata,permukaan licin, bisa dimakan. Bunga majemuk berbentuk tandan, bertangkai
panjang, muncul di ketiak daun, mahkota berwarna krem keputih-putihan
berjumalh 5 helai tidak berlekatan, panjang mahkota 0,5-1cm, berbau harum.
Akar berbentuk rimpang, berdaging lunak.11
Keberadaan tanaman ini di Indonesia cukup baik karena pengaruh dari
iklim tropis. Tanaman ini memiliki pertumbuhan hingga ketinggian 4-5 meter.
Temperatur yang cocok untuk tanaman ini berkisar antara 10-300C dengan
kelembaban yang ideal 70-80%.Tanaman ini tumbuh baik pada tanah yang
lembab, humus cukup, jumlah air dan udara yang baik.Tanaman ini tumbuh pada
awal tahun dan pertengahan tahun yaitu pada bulan Januari dan Juli.11
2.1.1.1 Klasifikasi Botani menurut Badan POM RI11
Sinonim: Boussingaultia gracilis miers
Boussingaultia cordifolia
Boussingaultia basselloides
Klasifikasi:
Divisi : Spermatophyte
Sub divisi : Angiosperma
7
Kelas : Dicotyledone
Bangsa : Caryophyllales
Marga : Anredera
Jenis : Anredera cordifolia( Ten.) Steenis
Nama Umum : Binahong
Gambar 2.1 Daun Binahong
(sumber: Dokumentasi dari Badan POM RI, 2008)
2.1.1.2 Kandungan Zat Aktif Dari Binahong
Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) adalah tanaman
obat yang sudah tumbuh mulai dari beberapa tahun yang lalu. Banyak zat aktif
yang terkandung dalam ekstrak Daun Binahong yaitu: Saponin, Alakloid,
Polyphenol, Flavonoid, dan berbagai macam mono atau polisakarida (L-
arabinose, D-galaktose, L-rhamnose) (Rachmawati, 2008). Flavonoid yang
dihasilkan dari daun Binahong berasal dari daun, batang , umbi dan bunga.
Flavonoid mempunyai efek sebagai anti mikroba (Antibiotik) dengan kemampuan
spektrum luas.12
Selain itu pada daun dari pohon Binahong mempunyai zat aktif sebagai
antioksidan. Zat aktif itu ialah asam akorbat dan senyawa fenol. Senyawa fenol
8
selain sebagai antioksidan ternyata dapat sebagai anti bakterisidal broad spektrum
dan banyak bersifat inhibisi dan digunakan dalam penyakit menular seksual.12
Daun Binahong juga mengandung asam oleanolic yang bersifat sebagai anti-
inflammasi yang dapat mengurangi rasa nyeri pada luka bakar. Asam oleanolic
mengandung triterpenoid dan bagian dari umbi pohon Binahong mengandung
protein (Ancordin) sebagai immunostimulan untuk menstimulasi pembentukan
antibodi . Protein Ancordin dapat merangsang pertumbuhan nitrit oxide (NO)
yang berfungsi untuk vasodilatasi pembuluh darah sehingga aliran darah ke
daerah luka membaik.12
2.1.2 Kulit
2.1.2.1 Definisi kulit
Kulit adalah organ terbesar pada tubuh manusia, dengan berat sekitar 5 Kg
dan luas 2 m2
bila di asumsikan pada seseorang dengan berat badan 70 kg. Bila
diamati dengan lebih teliti, terdapat variasi kulit sesuai dengan area tubuh. Kulit
yang tidak berambut disebut kulit glabrosa, ditemukan pada telapak tangan dan
telapak kaki. Pada kedua lokasi tersebut kulit memiliki relief yang jelas
dipermukaanya yang disebut dermatoglyphics13,14
2.1.2.2 Fungsi kulit
Kulit menjalankan berbagai tugas dan memelihara kesehatan manusia secara
utuh yang meliputi fungsi yaitu14
:
1. Perlindungan fisik (terhadap gaya mekanik, sinar ultra violet, bahan
kimia).
2. Perlindungan imunologik
3. Ekskresi
4. Pengindera
5. Pengatur suhu tubuh
6. Pembentukan vitamin D
7. Kosmetis
9
2.1.2.3 Lapisan kulit15
Gambar 2.2 Lapisan-Lapisan Kulit
Sumber: Junqueira Histologi ed 12 Tahun 2012
A. LapisanEpidermis15
Gambar 2.3 lapisan epidermis
Sumber: Junqueira Histologi ed 12 Tahun 2012
10
Stratum basalis atau stratum germinativum14
Stratum basal atau disebut juga lapisan basal adalah lapisan paling dalam
dari epidermis. Terdiri dari tall columnar cell secara konstan melakukan
pembelahan sel dan membentuk keratinosit baru yang gunanya untk mengganti
keratinosit yang sudah hilang pada stratum korneum. Proses ini berlangsung
selama kurang lebih 27 hari.
Stratum spinosum14
Keratinosit stratum spinosum memiliki bentuk polygonal, berukuran lebih
besar daripada keratinosit stratum basal, pada stratum spinosum dan granulosum
terdapat sel Langerhans (SL), sel dendritik yang merupakan sel penyaji antigen,
antigen yang menerobos sawar kulit akan difagosit dan diproses oleh sel
langerhans, untuk kemudian dibawa dan disajikan kepada limfosit untuk dikenali,
dengan demikian sel Langerhans berperan penting dalam pertahanan imunologi
manusia.
Stratum granulosum14,15
Terdiri atas 3-5 lapisan sel polygonal gepeng yang mengalami diferensiasi
terminal. Sitoplasmanya berisikan massa basofilik yang dinamakan granul
keratoihialin.struktur tersebut tidak berikatan dengan membrane dan terdiri atas
massa filaggrin dan protein lain yang berhubungan dengan keratin tonofibril dan
menguhubungkannya dengan struktur sitoplasma besar pada proses keratinisiasi.
Elanjutnya dalam lapisan ini akan di temukan granul lamella yang dibentuk oleh
berbagai lipid.lapisan selubung lipid ini menjadi sawar epidermis dar kehilangan
air dari kulit. Granul lamella yang berisi lipid bersama-sama dengan keratinisasi
akan membentuk sawar terhadap benda asing.
Stratum lusidum13,14
Lapisan ini terdapat pada kulit tebal, biasanya terdapat pada telapak kaki
dan tangan. Lapisan ini berisi sel-sel yang sudah mati sehingga sel kehilangan
nukleusnya dan terlihat transparan. Fungsi lapisan ini adalah sebagai barrier dan
lapisan water proof atau tahan air.
11
Stratum korneum13,14
Stratum korneum terdiri dari keratinosit (flat squamosal cell)yang
mengandung protein yaitu keratin. Lapisan yang tebal berfungsi untuk menahan
penguapan air dan infeksi dari bakteri. Ketebalan dari lapisan ini dapat terjadi di
lokasi-lokasi teretentu contohnya seperti di telapak tangan dan kaki karena kedua
organ tersebut yang paling terlebih dahulu kontak dengan dunia luar sehingga
rentan untuk terjadinya luka. Stratum ini biasanya di regenerasi dengan suplai
dari stratum basal. Stratum korneum terdiri dari 15- 20 lapisan.14
B. Dermo – Epidermal junction13
Dermo – Epidermal junction adalah batas antara epidermis dan dermis.
C. Dermis13,14
Suatu lapisan jaringan ikat yang mengandung banyak serat elastin (untuk
peregangan) dan serat kolagen (untuk kekuatan), serta banyak terdapat pembuluh
darah dan ujung saraf khusus. Serabut kolagen dan serabut elastik memberikan
kulit kekuatan dan elastisnya. Keduanya tertanam pada matriks yang disebut
ground substance yang terdiri dari proteoglikans dan glikosaminoglikan.
Pembuluh darah dermis tidak saja memasok darah untuk dermis dan epidermis
tetapi juga berperan pada pengaturan suhu tubuh. Pada dermis juga terdapat
ujung-ujung perifer serat saraf aferen untuk mendeteksi adanya tekanan,
suhu,nyeri, dan input somatosensorik yang lain. Sementara ujung saraf eferen
mengatur besar pembuluh darah, ereksi rambut dan sekresi kelenjar eksokrin
kulit(kelenjar keringat dan kelenjar sebasea serta folikel rambut). Begitu juga
fibrobals makrofag dan sel mast rutin ditemukan dalam dermis.25
D. Hipodermis13,14
Kulit merekat pada jaringan dibawahnya(otot atau tulang) melalui
hypodermis yang juga dikenal sebagai jaringan subkutis.Suatu jaringan ikat
longgar sebagian besar sel lemak berada pada hypodermis endapan lemak di
seluruh tubuh ini secara kolektif disebut sebagai jaringan adipose.
12
2.1.3 Penyebab luka bakar1,16
Luka bakar dapat disebabkan oleh karena berbagai hal , diantaranya adalah
luka bakar suhu tinggi(thermal burn): gas, cairan , bahan padat.
A. Luka bakar (thermal burn)
Biasanya di sebakan oleh air panas (scald) jilatan api ke tubuh (flash),
kobaran api di tubuh(flame), dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek
panas lainnya(logam panas dan lain-lain)
B. Luka Bakar Bahan Kimia (chemical burn)
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa
di gunakan dalam bidang industri militer ataupun bahan pembersih yang sering
digunakan untuk keperluan rumah tangga.
C. Luka Bakar Sengatan Listrik ( electrical burn)
Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api dan
ledakan. Aliran listrik menjalar di sepanjang bagian tubuh yang memiliki
resistensi paling rendah. Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya
tunikagangguan intima sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal
D. Luka Bakar Radiasi (radiasi injury)
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif.
Tipe injury disebabkan oleh pengunaan radioaktif untuk keperluan teurapetik
dalam kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama
juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi.
2.1.4 Klasifikasi Berdasarkan Derajat dan Kedalaman Luka
Bakar1,16
Luka bakar dapat digolongkan mejadi beberapa derajat termasuk di bagi
berdasarkan derajat ketebalan dan kedalaman.
1. Luka Bakar Derajat Iatau Luka Bakar Superficial
Luka bakar derajat I adalah luka bakar yang mengenai epidermis sehingga
menghasilkan reaksi inflamasi yang sederhana, biasanya disebabkan oleh kulit
yang terkena oleh paparan sinar matahari(radiasi) atau berkontak dengan baramg-
barang yang panas, cairan atau bunga api. Luka bakar derajat pertama dapat
13
sembuh dalam waktu 1 minggu dengan tidak menyebabkan perubahan yang
permanen pada warna kulit, teksture dan ketebalan.
2. Luka Bakar Derajat IIatau Luka Bakar Parsial
Gambar 2.4 luka bakar derajat II parsial
sumber : ATLS manual student course. 2009
Luka bakar derahat II adalah luka bakar yang tidak hanya mengenai
epidermis tetapi juga bagian dermis, luka bakar mengakibatkan kerusakan pada
elemen-elemen kulit.
Luka bakar derajat II di bagi dalam 2 kelompok :
1. Luka bakar derajat 2 superficial: adalah luka bakar yang membutuhkan waktu
kurang dari 3 minggu untuk sembuh
2. Luka bakar derajat 2 deep burn: adalah luka bakar yang membutuhkan waktu
lebih dari 3 minggu untuk penyembuhan dan biasanya terbentuk hypertropic
scar.
3. Luka Bakar Derajat 3 atau Luka Bakar Keseluruhan
Luka bakar derajat III adalah luka bakar yang menghancurkan mulai dari
elemen epidermis, dermis, dan bagian subkutan bahkan lebih dalam sampai ke
folikel-folikel rambut, akibat proses penghancuran yang amat luas dan dalam,
luka bakar derajat 3 tidak bisa kembali seperti semula kecuali melalui proses
grafting.
14
2.1.5 Proses penyembuhan luka
2.1.5.1 Macam macam luka17
Luka dapat di klasifikasikan dalam beberapa kriteria , waktu adalah salah
satu faktor terpenting dalam kasus menangani luka dan memperbaikinya. Maka
dari itu luka dapat dikategorikan menjadi akut, kronik tergantung mengenai waktu
luka tersebut.
1. Acute Wound ( Luka Akut)
Luka yang dapat sembuh melalui jalur normal seiring waktu sesuai dengan
jalur normal (Healing Pathway). Dengan hasil akhir adalah kembalinya fungsi
kulit sesuai fisiologi dan anatominya. Luka akut biasanya sembuh pada waktu 5-
10 hari. Penyebab luka akut dikarenakan trauma atau prosedur operasi
2. Chronic Wound ( Luka Kronik)
Luka yang gagal sembuh melalui proses normal dan tidak dapat sembuh
sesuai waktunya. Proses penyembuhannya tidak komplit dan terganggu karena
beberapa faktor. Contoh: Luka terlalu lama dalam fase hemostasis, inflamasi,
proliferasi dan juga remodeling. Faktor yang dapat mencetuskan nya biasanya
adalah luka terkena infeksi , hipoksia, nekrosis, eksudat yang terlalu banyak dan
lain-lain. Karen hal-hal tersebut meghasilkan hasil akhir yang kurang baik bagi
fungsional maupun anatomi dari kulit tersebut . Luka kronik biasanya disebabkan
oleh insufisiensi vena dan arteri, vaskulitis dan luka bakar.
3. Complicated Wound ( Lukadengan Komplikasi)
Luka dengankomplikasi adalah luka yang spesial karena merupakan
kombinasi dari infeksi dan luka pada jaringan. Manifestasi dari keadaan ini
tergantung berdasarkan mikroorganisme yang menginfeksi, frekunsi dan jumlah
ynag sudah samapai ke aliran darah. Ada lima tanda khas dari infeksi :
1. Kemerahan ( redness)
2. Panas ( Heat)
3. Nyeri ( Pain)
4. Bengkak ( edema)
5. Penurunan fungsi (Functio laesa)
15
2.1.5.2 Fase Penyembuhan Luka17,18
Penyembuhan luka dapat terjadi dimana saja di bagian tubuh. Fase – fase
penyembuhan ini terbagi menjadi beberapa fase yaitu:
Fase Koagulasi dan Haemostasis
Secepatnya setelah terjadi luka, koagulasi dan haemostasis akan mengambil
tempatnya sendiri-sendiri pada luka. Fungsi keduanya adalah untuk menghindari
terjadinya perdarahan lebih lanjut. Kedua mekanisme tersebut akan melindungi
pembuluh darah dan menjaganya untuk tetap utuh (intact) sehingga fungsi-fungsi
organ yang penting tetap terjaga perfusinya walau terjadi luka. Pada saat
pembuluh darah terluka atau terjadi cedera (defect) maka pembuluh darah
mempunyai kekuatannya sendiri dalam beberapa menit untuk melakukan
kontraksi sampai dalam keadaan hipoksia dan asidosis pada dinding pembuluh
darah sehinga terjadi dimana kondisi pasif relaksasi sehingga perdarahan akan
kembali terjadi. Pada saat terjadinya luka maka darah akan keluar ke tempat
terjadinya luka. Komponen dari darah dan keping darah (Platelet) akan berkontak
dengan kolagen dan matriks ekstrselluler yang terpajan dari pembuluh darah yang
rusak. Dari hasil kontak tersebut akan memicu disekresikannya faktor – faktor
pembekuan darah dari platelet dan pembentukan bekuan darah. Bekuan darah ini
terdiri dari fibronectin, fibrin, vitonectin, dan thrombospondin. Bekuan darah ini
penting bukan hanya untuk mencegah perdarahan melainkan untuk pembentukan
matriks untuk migrasi dari sel – sel inflamasi. 18,19
Sitoplasma dari sel platelet mengandung α- granul yang terdiri dari growth
factor dan sitokin seperti :Platelet derived growth factor ( PDGF), Transforming
growth factor – β ( TGF- β), Epidermal growth factor (EGF) dan Insulin – like
growth factor.12
Molekul-molekul ini penting untuk terjadinya migrasi sel-sel
radang seperti: neutrofil dan selanjutnya makrofag. Sel-sel endotel dan fibroblas.
Keping darah (Platelet) juga mengandung protein vasoactive (memperlebar
pembuluh darah). Sehingga meningkatkan permeabilitas vaskular dan memicu
terjadinya ekstravasasi cairan sehingga bermanifestasi sebagai bengkak (edema)
pada jaringan luka. Beberapa hasil dari metabolisme asam arakidonat juga
dilepaskan ke jaringan luka dan menjadi molekul yang poten untuk terjadinya
inflamasi.18,19
16
Fase Inflamasi
Fungsi dari fase ini adalah untuk mencegah invasi dari mikroorganisme
yang akan menginfeksi pada luka, fase inflamasi ini akan membuat barier imun
sehingga luka tidak terinfeksi. Fase inflamasi di bagi menjadi 2 fase yaitu early
inflammation phase dan late inflammation phase.18
Early Inflammation Phase
Fase ini berlangsung selama 24-36 jam setelah terjadinya luka. Fungsi dari
fase ini sangat banyak yaitu mengaktifkan sistem komplemen, memulai terjadinya
infiltrasi oleh neutrofil yang fungsi utamanya adalah untuk mencegah terjadinya
infeksi pada luka dengan cara memfagosit dan menghancurkan bakteri pada
daerah luka. Migrasi dari neutrofil ke daerah luka di bantu oleh agen-agen
kemoattraktanseperti, TGF-β, C3a, C5a, formylmethionyl peptides yang
diproduksi oleh platelet dan bakteri. Kerja dari neutrofil semakin lama semakin
berkurang (Gradually changes) seiring dengan banyaknya bakteri yang sudah di
hilangkan dari jaringan luka. Neutrofil juga harus di eliminasi atau dihilangkan
dari luka tujuannya adalah agar luka dapat memasuki fase penyembuhan
berikutnya .18
Late Inflammatory Phase
Terjadi dalam kurun waktu 48-72 jam setelah cedera terjadi. Kali ini
makrofag terlihat pada luka dan siap untuk melakukan proses fagosit, sebenarnya
makrofag adalah monosit(Mono nuclear), namun apabila monosit sudah sampai
ke jaringan yang luka maka disebut makrofag. Karena adanya kemoattraktan
seperti PDGF, TGF-beta, Leukotrien B4, dan platelet faktor IV, elastin dan
collagen breakdown product menyebabkan makrofag memiliki umur lebih
panjang di banding neutrofil dan dapat bekerja pada PH rendah. Berkurangnya
monosit dan makrofag pada jaringan luka menandakan terjadinya gangguan pada
proses penyembuhan luka. Pemanjangan waktu proliferasi fibroblas dan
penundaan terjadinya angiogenesis sehingga terjadilah penyembuhan luka yang
kurang baik.18
17
Setelah 72 jam akan terjadi infiltrasi jaringan luka oleh limfosit. IL-1
mempunyai peran yang sangat penting untuk terjadinya regulasi dari kolagen yang
nantinya dibutuhkan untuk fase remodeling.
Fase proliferasi
Setelah fase hemostasis telah tercapai dan fase inflamasi telah mengambil
perannya masing- masing. Maka luka akan masuk ke fase perbaikan. Fase
proliferasi di mulai pada hari ke 3 setelah luka dan dapat bertahan sampai 2
minggu. Ditandai dengan adanya migrasi dari fibroblas dan terjadinya
penumpukan dari matriks ekstraseluler yang baru. Apabila dilihat secara
makroskopik maka jaringan ini terlihat seperti jaringan granulasi.
Migrasi dari fibroblas pada fase ini di perantarai oleh TGF-β dan PDGF
yang di sekresikan oleh sel – sel radang. Fibroblas terlihat pada hari ke -3 setelah
terjadinya luka. pada saat sel fibroblas melakukan proliferasi akan menghasilkan
matriks ekstraseluller hialuronat, fibronektin, proteoglikan, prokolagen tipe I dan
III.Setelah 1 minggu matriks ekstraseluller sudah terbentuk sehingga dapat dengan
baik memfasilitasi migrasi sel yang dibutuhkan untuk perbaikan luka. pada saat
ini juga fibroblas berubah menjadi miofibroblas yang mempunyai pseudopodia
yang akitif dan akan menempel dengan fibronektin dan kolagen pada matriks
ekstraseluler. Penempelan ini akan membetuk wound contraction (kontraksi luka)
yang akan menutup luas luka. setelah selesai, nantinya fibroblas yang tidak
terpakai akan dieliminasi secara apoptosis.Pembentukan kolagen amat sangat
penting. Kolagen dibentuk dari fibroblas. Kolagen megambil peran pentung
sebagai penguat dari berbagai jaringan terutama pada jaringan luka yang
memasuki fase proliferasi. Kolagen sebagai bahan dasar dari pembetukan matriks
pada luka. Pada jaringan granulasi jaringan megekspresikan sekitar 40% dari
kolagen tipe 3. Pembentukan pembuluh darah baru juga tak kalah penting pada fae
ini. FGF, Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) , PDGF, Angiogenin,
TGF-α dan TGF-β. Tentunya ada juga yang mengatur atau mengontrol
pembentukan pembuluh darah yaitu faktor- faktor penginhibisi seperti angiostatin
dan sterol.18,19
18
.Fase maturasi
Fase terakhir pada proses penyembuhan adalah proses maturasi. Pada fase
ini terjadi remodeling dari jaringan granulasi, pembentukan epitel-epitel baru dan
pembentukan scar. Fase ini dapat berlangsung 1 sampai 2 tahun. Fase maturasi ini
di kontrol oleh sistem sintesis dan degradasi. Karena pembentukan matriks
ekstraselluler yang sudah matang maka serat kolagen meningkatkan pembentukan
asam hialuronat dan menyebabkan degradasi dari fibronektin. Kekuatan dari luka
meningkat secara progresif perlahan – lahan. Serat kolagen mengakibatkan
jaringan yang mengalami luka 80 % lebih kuat dibandingkan dengan jaringan
yang sehat.
Sintesis dan penghancuran dari kolagen sejalan dengan matangnya matriks
ekstraseluller untuk mencapai keseimbangan. Terjadi sekitar 3 minggu setelah
luka. enzim matrixmetalloprotease yang disekresikan oleh neutrofil, makrofag
dan fibroblast pada luka berfungsi untuk mendegradasi kolagen.
Setelah luka mengalami penyembuhan kadar fibroblas dan makrofag akan
hilang dikarenakan apoptosis. Maka hasil akhir dari penyembuhan luka ialah
terbentuknya scar. Penurunan jumlah sel- sel radang dan pembuluh darah dan
luka semakin kuat
Ada 2 macam scar yaitu scar atropik dan scar hipertropik. Scar atropik
terjadi apabila banyak kolagen yang di degradasi sehingga menyebabkan
penurunan kekuatan dari scar. Sementar scar hipertropik atau keloid terjadi
karena degradasi kolagen tak berjalan dengan baik dan deposisi kolagen yang
meningkat.18,19
Sel Radang18
Respon radang atau inflammasi memiliki banyak pemain yaitu sel dan protein
plasma dalam sirkulasi dan matriks ekstraselluler. Sel dalam sirkulasi salah satu
contohnya adalah leukosit PMN (Polimorfonuklear) yang berasal dari sum-sum
tulang (neutrofil, eosinophil,basophil,limfosit dan monosit serta trombosit).
Sementara sel jaringan yang berperan dalam proses inflamasi adalah sel mast,
makrofag serta fibroblas yang menyintesis matriks ekstraseluller dan dapat
berproliferasi untuk mengisi luka.
19
Neutrofil, monosit, eosinfpil dan limfosit menggunakan molekul yang
berbeda untuk melakukan proses rolling dan adhesi. Jenis leukosit yang direkrut
tergantung pada sifat rangsang yang menyerang dan usia dari peradangan. Untuk
itu maka inflamasi dibagi menjadi dua waktu dan sel radang yang berbeda dalam
waktu-waktu tersebut.
Sel Radang Pada Inflamasi akut
Inflamasi akut dengan waktu 6-24 jam akan di dominasi sel radang neutrofil
dan akan digantikan oleh monosit pada 24-48 jam berikutnya. Usia neutrofil agak
pendek karena neutrofil akan mengalami apoptosis dalam 24-48 jam setelah
keluar dari aliran darah. Sementara monosit pada dasarnya bertahan hidup lebih
lama dan dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama sebagai makrofag. Fungsi
dari neutrofil pada jaringan yang mengalami peradangan adalah sebagai
fagositosis dan degranulasi. Dengan fagositosis maka neutrofil akan mendegradasi
bakteri yang ada dalam jaringan yang mengalami peradangan. Selain itu neutrofil
juga akan mensekresikan berbagai macam sitokin yang berfungsi untuk merekrut
fibroblas.18
Sel Radang Pada Inflamasi Kronik
inflamasi kronik dapat di anggap sebagai inflamasi yang memanjang
(berminggu-minggu hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Sel ranag
pada fase ini banyak di dominasi oleh makrofag. Sel radang makrofag merupakan
sel radang yang berasal dari monosit dalam sirkulasi setelah bermigrasi dari aliran
darah. Makrofag normalnya tersebar difus pad ebagian besar jaringan ikat.
Makrofag yang telah teraktivasi akan memiliki kekuatan fagosit yang lebih besar
disbanding neutrofil. Dengan pewarnaan HE standar sel ini tampak besar, pipih,
dan berwarna mrah muda. Terkadang menyerupai sel skuamosa. Selain efek
fagositnya makrofag juga akan mesekresikan mediator yang akan memicu
terjadinya pertumbuhan fibroblas.18
20
2.1.6 Tujuan Pengobatan Luka Bakar6,19
Menghindari kerusakan pada kulit lebih lanjut
Menghambat dan mencegah masuknya bakteri ke dalam jaringan yang
mengalami luka seminimal mungkin
Menjaga pembentukan sel epitel dan jaringan granulasi yang terbentuk pada
kulit yang mengalami luka bakar
Mempercepat proses penyembuhan dan memperkuat jaringan yang mengalami
luka bakar.
2.1.7 Penanganan Luka Bakar16
Luka bakar dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan baik.
Pasien luka bakar sama prioritasnya dengan pasien trauma sehingga perlu
dilakukan pengananan baik secara primer maupun sekunder (lanjutan). Pada
penaganan luka bakar perlu dilakukan penilaian terhadap hal-hal berikut16
:
1. Jalan Nafas (Airway)
Luka bakar dapat menyebabkan edema yang luas. Terutama paling bahaya
apabila terjadi pada saluran nafas atas. Faktor-faktor yang memperberat terjadinya
obstruksi saluran nafas atas adalah: luas dan dalamnya luka bakar, terdapat luka
bakar di leher dan wajah, trauma inhalasi, dan terdapat luka bakar pada bagian
rongga mulut. Tanda luka bakar pada bagian wajah dan mulut paling berbahaya
dan paling berisiko menyebabkan penurunan fungsi saluran nafas.
Cara mengetahui terjadinya trauma inhalasi :
Luka bakar pada wajah atau leher
Terdapat carbon (arang) pada mulut dan ata hidung mengeluarkan sputum
bercampur carbon
Terjadi proses inflammasi akut pada orofaring dan disertai eritema
Terdapat gangguan suara seperti suara serak atau parau
Ada riwayat terkurung dalam lokasi kebakaran
Terksplosi/ terpapar dengan luka bakar mengenai kepala dan badan
Karboksihemoglobin lebih tinggi 10% pada pasien yang terpapar dengan api
21
Tanda- tanda diatas merupakan tanda dari trauma inhalasi dan butuh segera
penaganan berupa intubasi.
1. Pernapasan (Breathing)16
Hipoksia sangat erat hubungannya dengan trauma inhalasi. Inadekuat
ventilasi dikarenakan chest burn atau cedera pada dada. Suplemen oksigen dengan
atau tanpa intubasi harus segera diberikan. Pasien dengan kadar CO <20%
biasanya tanpa gejala. Cherry red skin adalah tanda-tanda keracunan CO.
pemeriksaan X-ray dan AGD (Analisa Gas Darah) perlu dilakukan untuk
mengevaluasi keadaan fungsional paru.16
2. Sirkulasi (circulation)
Luka bakar dapat menyebabkan shock hypovolemic. Maka dari itu resusitasi
cairan harus segera diterapkan. Pemeriksaan tekanan darah sulit dilakukan pada
psein dengan trauma luka bakar. Tetapi monitoring dari produksi urin per jam
dapat mengevaluasi sirkulasi pasien. Karena itu pemasangan kateter harus segera
dilakukan. Pasien dengan derjat luka bakar fulll atau deep thickness burn di
resusitasi dengan cairan ringer laktat 2-4 ml/ Kgbb X TBSA dalam 24 jam
pertama. Setenag dari volume dimasukan dalam 8 jam pertama dan sisanya
dimasukan dalam 16 jam berikutnya. Lakukan resusitasi sampai urin target sekitar
0.5ml/Kgbb/jam. Apabila urin rate > 0.5 ml/Kgbb/jam maka IV line cairan harus
diturunkan16
.
Beberapa Cara Menhitung TBSA (Total Body Surface Area) untuk
Menghitung Volume Cairan
22
Gambar 2.5 rule of nine
Sumber: ATLS book student course manual 2009
Rule of Nine Wallace
Penghitungan dengan metode ini sangat baik, cepat untuk menghitung luas
permukaan tubuh yang terkena luka bakar dengan skala medium samapi besar.
Tubuh dibagi bagi menjadi area –area dengan skala 9%. Dan total tubuh yang
terkena luka bakar dapat dihitung. Metode ini kurang efektif untuk luka bakar
pada anak kecil.16,20,21
23
Gambar 2.6 Lund Browder Chart
Sumber: Initial management of major burn
Lund and Browder chart
Metode ini apabila dipakai secara benar maka merupakan metode yang
paling akurat. Metode ini menggunakan seluruh variasi dari bentuk tubuh dan
menggunkan umur. Maka metode ini sangat baik untuk dipakai pada
anak.Morbiditas dan mortalitas luka bakar bergantung pada luas permukaan luka
bakar. 21
4. Kecacatan (Dissability)16
Nilai pasien apakah ada kecacatan atau tidak.
5. Paparan (Exposure
Presentase area luka bakar pada pasien
Setelah semua paten. Maka berlanjut ke tahap berikutnya yaitu secondary survey22
1. Physical examination 16
Untuk mengakuratkan treatment untuk pasien, mengukur seberapa parah
luka bakar, menilai cedera dari pasien
24
2. Pemeriksaan penunjang16
CBC (complete blood count), cross match , AGD, HbCO, serum glukosa,
elektrolit, dan pemeriksaan kehamilan. Pemeriksaan X-ray dibutuhkan pada
pasien dngan intubasi.
3. Pemeriksaan vaskular perifer
Untuk mengetahui apakah pada pasien terdapat sindroma kompartemen.
Tekanan kompartemen > 30 mmhg dapat menyebabkan nekrosis pada otot.
4. Pemasakan Gastric Tube.
Pemasangan gastric tube dibutuhkan pada pasien luka bakar untuk
menghindari bila pasien muntah dan nantinya menyebabkan aspirasi.
5. Nakotik, Analgesik dan sedatif
Diberikan kepda pasien setelah penanganan dari syok hipovolemik dan
hipoksia terlebih dahulu. Narkotik, analgetik dan sedatif harus diberikan dalam
jumlah dosis yang kecil dan melalui jalur intra vena. Pemberian narkotik,
analgetik dan sedative ini bertujuan untuk menahan rasa nyeri pada pasien luka
bakar.16
6. Teatanus
Pemberian imunisasi tetanus sangat penting diberikan pada pasien luka
bakar.
2.1.8 Pertolongan Pertama pada Luka Bakar5
Apabila pasien datang tanpa diberikan pertolongan pertama terlebih dahulu,
maka alirkan luka bakar dengn air dingin yang mengalir unutk mengurangi
perluasan kerusakan luka bakar.
Jika area luka bakar tidak terlalu luas, alirkan dengan air dingin sekitar 30
menit untuk mengurangi rasa nyeri dan edema
25
Apabila luas luka bakar terlalu luas, setelah di alirkan air dingin segera
bungkus pasien dengan kain yang bersih untuk encegah pengeluaran panas
dan mencegah hipotermia.
Pada 6 jam pertama luka bakar adalah fase kritis : rujuk segera pasien dengan
luka bakar yang parah ke rumah sakit.
2.1.9Initial Treatment Wound Care 5
A. Luka bakar harus steril
B. Pemberian profilaksis tetanus
C. Bersihkan semua bulla dengan debridement. Keuali pada luka bakar kecil.
Debridement pada semua jringan nekrosis yang menepel
D. Setelah di- debridement bersihkan luka bakar dengan larutan 0.25% (2.5
g/liter) chlorhexidine, 0.1% ( 1g/litre) larutan cimetidine, atau antiseptic lain
dengan bahan dasar air.
E. Tidak diperbolehkan menggunakan larutan yang mengandung alcohol
F. Penggosokan secara hati-hati dapat menyebabkan pelepasan jaringan nekrotik.
Dan berikan lapisan tipis krim antibiotik ( silversulfadiazine)
G. Balutkan kain kasa pada luka. Gunakan kain kasa kering yang tebal untuk
mencegah terjadinya kebocoran pada lapisan luar.
2.1.10 Treatment Wound Care 5
a) Ganti balutan kasa setiap hari (2 kali sehari bila mungkin). Atau seering
mungkin untuk mencegah terjadinya rembesan cairan. Ketika mengganti kain,
bersihkan juga jaringan yang lepas pada luka
b) Inspeksi pada luka. Apakah terjadi perubahan warna atau hemorargik yang
menandakan terjadinya infeksi.
c) Demam bukan merupakan tanda pasti, bias saja demam terus ada sampai pada
saat luka tertutup
d) Apabila terdapat selulitis mengindikasikan adanya infeksi
e) Berikan antibiotic sistemik apabila terinfeksi Streptococcus hemolyticus
26
f) Infeksi dari pseudomonas akan menyebabkan septicemia dan kematian . atasi
dengan pemberian aminoglikosida.
g) Berikan antibiotik topikal setiap hari. Pilihan antibiotic topikal nya adalah
sebagai berikut:
- Nitrat silver (0.5% aqueous), paling murah , dapat diberikan di kassa oklusif
tetapi tidak dapat penetrasi ke jaringan parut. Dapat menurunkan kadar
elektrolit.
- Silver sulfadiazine (1% miscible ointment) dapat di aplikasikan pada kasa
tipis, memiliki daya penetrasi ke jaringan parut yang terbatas dan
menyebabkan neutropenia
- Mafenidin acetate (11% miscible ointment), digunakan tanpa ada balutan kasa.
Dapat menembus jaringan parut tetapi menyebabkan asidosis.
2.1.11 Antibiotik Topikal Silver Sulfadiazine
Silver sulfudiazine merupakan antibiotik topikal pilihan untuk luka bakar.
Dan pada saat percobaan klinis nya 1% cream dapat dengan baik mengontrol
infeksi. Walaupun dalam beberapa laporan kasus bahwa silversulfadiazin gagal
untuk mengontrol infeksi dikarenakan terdapat resistensi.7,20
Silver sulfadiazine adalah campuran logam dan antibacterial yang dapat
memerangi jamur, dermatophyta dan mikroorganisme lainnya. Sulfadiazine
memiliki efek bakteriostatik dengan mekanisme kerja pada membrane sel
mikroorganisme. Sementara silver sebagai logam berfungsi sebagai dressing
(penutup) dan mengurangi rasa nyeri. Silver sebagai logam sebetulnya amat susah
di serap oleh bakteri, tetapi silver dapat terionisasi menjadi silver yang lebih aktif
oleh sekeresi mediator dari luka dan dapat berikatan pada membrane sel dan
protein dari bakteri. Silver bekerja dengan mekanisme menginhibisi replikasi dari
bakteri dengan berikatan pada DNA bakteri. Silver sebagai dressing dapat
mengontrol eksudat.7
Pegunaan silversulfadiazine ini memiliki beberapa kontra indikasi yaitu:
Pasien dengan hipersensitif terhadap silver sulfadiazine
27
Sulfonamide dapat meningkatkan resiko kernickterus pada bayi sehingga tidak
diperkenankan untuk dipakai ibu hamil pada trimester III.
Tidak diperkenankan untuk bayi umur 2 bulan.
Silver sulfadiazine juga memiliki beberapa efek samping obat seperti:
Agranulositosis, Aplastic anemia
Thrombositopenia
Leukopenia
Hemolytic anemia
Dermatologi allergic
SJS ( Steve Johnson Syndrome)
TEN (Toxic Epidermal Necrosis)
Hepatitis
28
2.1.12 Pemberian Obat Secara Oral
Gambar 2.7 oral administration of drug
Sumber: colour athlas of pathology thieme (2000)
Absorbsi23
Kebanyakan obat yang dikonsumsi secara oral harus diabsorbsi
menggunakan passive diffusion. Rata- rata penyerapan obat tergantung pada
konsentrasi obat saat melewati gradien barrier. Menurut hukum Ficks obat dapat
di absorbsi secara pasif melalui lemak dan air. Difusi dengan lemak terjadi pada
obat-obatan yang larut dengan lemak. Sementara yang larut air dapat berdifusi
melalui aquaporin pada membrane sel. Tetapi ada juga beberapa obat yang di
29
absorbsi secara aktif yang berarti melawan gradien dan membuthkan ATP untuk
prosesnya.16
Proses Distribusi Obat
Obat akan di distribusikan ke jaringan yang membutuhkan melalui sirkulasi
darah. Obat-obatan yang larut lemak dapat berdifusi secara pasif dari membran ke
sel.
Faktor- faktor yang mempengaruhi distribusi obat:
1. Perfusi Darah ke Organ Tersebut
Perfusi darah ke berbagai organ sangat bervariasi, obat sangat cepat di
distribusikan ke temapt- tempat yang mendapatkan perfusi tinggi sepert: hati,
jantung, dan ginjal. Sementara itu obat sangat rendah sekali di distribusikan ke
organ- organ yang mendapatkan sedikit perfusi seperti otot, kulit , tulang dan sel
lemak.22
2. Protein Plasma Pengikat Obat
Hampir semua oabt terikat pada protein plasma. Terutama albumin. Adapun
substansi yang lain adalah lipoprotein, glikoprotein, dan βglobulin. Kekuatan
ikatan antara protein dan obat tergantung dari afinitas dari obat berikatan dengan
protein dengan besaran < 10% sampai > 99% dari konsentrasi plasma. Sementara
obat-obatan yang tidak terikat pada albumin akan masuk ke intersistial sel. Pada
umumnya obat-obatan yang bersifat asam akan berikatan dengan albumin dan
obat yang bersifat basa kan berikatan dengan glikoprotein dan β globulin.
Protein untuk mengikat obat adalah suatu substansi yang mudah larut. Obat
yang sudah berikatan dengan protein plasma bias saja digantikan oleh obat lain
tergantung dari afinitas obat itu masing-masing.22
Obat yang sudah di serap oleh usus akan mencapai hati melalui vena porta
dn memasuki sirkulasi sistemik. Fase pertama dari biotransformai meliputi
Oxidative
Hydrolytic
Reductive reaction
30
Fase oksidatif ialah fase dimana obat di metbolisme oleh suatu enzim yang
terisolasi dalam mikrosom hati yaitu microsomal cythocrome P450. Banyak dari
obat yang di katalisis dengan enzim CYP1,CYP2, dan CYP3. Perbedaan dari jenis
CYP ini dikarenakan gene duplication. Banyak obat yang cara kerjanya adalah
dengan menginhibisi ataupun menginduksi dari CYP.
Sementara proses hidrolitik seperti contoh senyawa ester dan amida yang
melalui proses hidrolisis oleh beberapa enzim seperti kolinesterase dan plasma
esterase lainnya.
Fase reduktif jarang terjadi. Seperti contoh obat vasodilator Nitroglicerin
yang melalui fase reduktif hidrolisis oleh gluthatione organic nitrat
reductase.Pada fase biotransformasi yang kedua molekul dari obat-obatan
mengalami konjugasi dengan substansi endogen seperti asetat, glukoronat, sulfat
atau glycine dan enzim konjugsi yang terdapat pada hepar. Terjadinya konjugasi
pada obat – obatan tersebut menjadikan obat dapat terlarut dalam air (water
soluble metabolit) yang dengan mudah dapat disekresikan. Biasanya obat-obatan
yang sudah mengalami konjugasi metabolitnya sudah mengalami inaktifasi.
2.1.12.1 Proses Ekskresi Obat
Kebanyakan obat yang sudah di metabolisme diekskresikan melalui urin.
Pada ginjal obat-obat tersebut melalui proses filtrasi oleh glomerulus, active
tubular secretion, dan passive tubular reabsorption. Selain melalui ginjal
terdapat juga ekskresi obat melalui siklus bilier dan enetrohepatik. Obat-obatan
yang terkonjugasi dengan glukoronat dapat meningkatkan pengeluaran obat
melalui siklus bilier. Setelah kandung empedu mengosongkan isinya ke usus, ada
beberapa fraksi obat yang masih di reabsorbsi ke sirkulasi kembali dan di
kemalikan ke hati kembali. Fenomena ini dinamakan enterohepatic cycling.23
2.1.13 Pemberian Obat secara Topikal23,24
Terapi topikal di definisikan sebagai aplikasi obat dengan formula tertentu
pada kulit yang bertujuan mengobati penyakit kulit atau penyakit sistemik yang
bermanifestasi kepada kulit. Terapi topikal telah lama digunakan pada berbagai
31
kebudayaan kuno menggunakan sejenis rumput papyrus yang dicampur dengan
minyak binatang untuk mengobati alopesia.
Terapi topikal merupakan metode yang nyaman, namun keberhasilannya
bergantung dengan pemahaman kita mengenai fungsi sawar kulit. Keuntungan
utamanya ialah dapat memintas jalur metabolisme pertama di hati. Terapi topikal
juga dapat menghindari risiko dan ketidaknyamanan seperti terapi yang deiberikan
secara intravena, serta berbagai hal yang mempengaruhi penyerapan obat pada
terapi peroral24
Meskipun demikian, pengobatan topikal juga memiliki beberapa kelemahan
misalnya menimbulkan iritasi dan alergi (dermatitis kontak), permeabilitas
beberapa obat melalui kulit yang relatif rendah sehingga tak semua obat dapat
diberikan secara topikal dan terjadinya denaturasi obat oleh enzim pada kulit.
Pengetahuan mengenai farmakokinetik pada kulit sangat diperlukan dalam
keberhasilan suatu pengobatan topikal. Farmakokinetik obat topikal
menggambarkan perubahan konsentrasi obat setelah aplikasinya pada permukaan
kulit, perjalanannya menembus sawar kulit dan jaringan dibawahnya, dan
distribusinnya ke dalam sirkulasi sistemik. Beberapa jenisnya seperti berikut:
Difusi kedalam Stratum Korneum23,24
Bahan aktif yang terlepas dari vehikulumnya akan berinteraksi dengan
permukaan kulit/ stratum korneum. Bahan aktif yang sudah berkontak
dengan stratum korneum akan segera berdifusi ke dalam stratum korneum.
Difusi tersebut dimungkinkan karena adanya gradien konsentrasi. Difusi
bahan aktif terutama berlangsung pada folikel rambut ( jalur transfolikular)
1. Jalur Transfolikular
Bahan aktif yang masuk kedalam folikel rambut aakn berdifusi kedalam
sebum yang terdapat dalam folikel rambut
2. Jalur transkorenal
Hingga saat ini penyerapan obat interselular (Melalui celah kornesoit)
menjadi jalur utama penyerapan obat transkorneal.
Epidermis dan Dermis
Difusi bahan aktif melalui kedua jalur diatas pada akhirnya nanti akan
mencapai epidermis hingga sampai ke dermis. Dengan adanya pembuluh darah
32
pada dermis, bahan aktif yang mencapai lapisan dermis kemudian akan diresorpsi
oleh system sirkulasi.
2.1.14 Vehikulum
Vehikulum adalah zat inaktif/inert yang digunakan dalam sediaan topikal
sebagai pembawa obat /zat aktif agar dapat berkontak dengan kulit. Meskipun
inaktif aplikasi suatu vehikulum pada kulit dapat memberikan beberapa efek
menguntungkan meliputi efek fisik misalnya efek proteksi, mendinginkan, hidrasi,
megeringkan/mengangkat eksudat, dan lubrikasi24
2.1.14.1 Klasifikasi Vehikulum
Berdasarkan komponen penyusunnya, vehikulum dapat digolongkan dalam
monofasik, bifasik dan trifasik. Yang termasuk vehikulum monofasik diantaranya
adalah bedak, salep, dan cairan. Bedak kocok, pasta dan krim ergolong dalam
vehikulum bifasik. Sementara pasta pendingin termasuk vehikulum trifasik.24
2.1.15 Salep
Salep merupakan sediaan semisolid yang dapat digunakan pada kulit
maupun mukosa. Bahan dasar salep yang digunakan dalam dermatoterapi dibagi
dalam empat kelompok yaitu:24
1. Hidrokarbon
2. Bahan penyerapan
3. Bahan dasar emulsi
4. Bahan yang larut air ( water soluble based)
Salep yang berbahan dasar hidrokarbon memiliki efek sebagai emolien, efek
oklusi dan mampu bertahan paermukaan kulit dalam waktu lama tanpa
mengering.25
2.1.16 Pengertian Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani dengan menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut yang diuapkan dan
33
massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi
baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995) 25
.
Ekstrak dapat dikelompokkan berdasarkan dasar sifatnya yaitu
(voight,1995):
a. Ekstrak encer adalah ekstrak sediaan yang memiliki konsistensi semacam
madu dan dapat dituang
b. Ekstrak kental adalah sediaan yang diliht dalam keadaan dingin dan tidak
dapat dituang. Kandungan airnya sampai 30%. Tingginya kandungan air
menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat karena cemaran bakteri
c. Ekstrak kering adalah sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah
dituang, sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%
d. Ekstrak cair, ekstrak yang dibuat sedemikiannya sehingga 1 bagian simplisia
sesuai dengan 2 bagian ekstrak cair
2.1.17 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu metoda operasi yang digunakan dalam proses
pemisahan suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan sejumlah
massa bahan (solven) sebagai tenaga pemisah. Apabila komponen yang akan
dipisahkan (solute) berada dalam fase padat, maka proses tersebut dinamakan
pelindihan atau leaching. Proses pemisahan dengan cara ekstraksi terdiri dari tiga
langkah dasar.
1 Proses penyampuran sejumlah massa bahan kedalam larutan yang akan
dipisahkan komponen-komponennya.
2 Proses pembentukan fase seimbang
3 Proses pemisahan kedua fase seimbang
Sebagai tenaga pemisah, solven harus dipilih sedemikian sehingga
kelarutannya terhadap salah satu komponen murninya adalah terbatas atau sama
sekali tidak melarutkan. Karenanya, dalam proses ekstraksi akan terbentuk dua
fase cairan yang saling bersinggungan dan selalu mengadakan kontak. Fase yang
banyak mengandung diluen (zat pembawa) disebut fase rafinat sedangkan fase
yang banyak mengandung solven dinamakan ekstrak.25
34
2.1.17.1 Maserasi
Maserasi merupakan cara penyaringan sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan solven. Cairan solven akan
menembus didnding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif, dan zat aktif akan larut. Simplisia yang diekstraksi ditempatkan pada wadah
atau bejana yang bermulut lebar bersama larutan solven yang telah di tetapkan,
bejana kemudian ditutup rapat kemudian dikocok berulang-ulang sehingga
memungkinkan pelarut masuk ke seluruh permukaan dari simplisia ( Ansel,
1989). Rendaman tersebut terlindung dari cahaya langsung untuk mencegah reaksi
katalisi oleh sinar matahari. Waktu maserasi umumnya 5 hari.25
2.1.18 Metode Freeze dry
Pengerinagn beku (freeze drying) merupakan salah satu teknik pengeringan
pangan. Proses pengeringan beku mulai dikembangkan pada saat perang dunia
(PD II), sebagai teknik pemilihan untuk pengawetan plasma darah guna keperluan
darurat di medan perang
Sebagaimana tersirat dari namanya prinsip teknologi pengeringan beku ini
di mulai dengan proses pembekuan pangan, dilanjutkan dengan pengeringan, yaitu
mengeluarkan/memisahkan hamper sebagian besar air dalam bahan melalui
mekanisme sublimasi26
.
Gambar 2.8 Skema ilustratif mekanisme terjadinya pengeringan beku.
Sumber: freeze drying technology
35
(-)
2.2 Kerangka Teori
Daun
Binahong
Saponin
Triterpenoid
Steroidal
hormon
Inhibisi
phospolipase
Inhinbisi
pembentukan
leukotriene dan
prostaglandin
↓kemoatrkatan
sel radang
Asam
oleanat
Inhibisi
COX-2
↓pembentukan
postaglandin
Inhibisi 5-
lipoksigenase
Inhibisi
leukotrien
Tikus
Sprague
dawley
Induksi
besi panas
Kerusakan
jaringan
kulit
Sekresi
faktor
pembekuan
darah
Aktivasi
agregasi
platelet
α-granul
PDGF TGF-β EGF IGF
Migrasi
sel
radang (+)
36
(+)
2.3 Kerangka Konsep
Keterangan :
= variabel dependen
= variabel independen
Tikus
Sprague
dawley
Induksi
besi panas
Kerusakan
jaringan kulit
Sekresi
faktor
pembekuan
darah
Aktivasi
agregasi
platelet
α-granul
PDGF TGF-β EGF IGF
Migrasi
sel radang
↑ Jumlah sel
radang
Daun Binahong
↓ Jumlah sel
radang
37
2.4 Definisi Operasional
Tabel 2.1 Definisi Operasional
NO Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Skala ukur
1. Sel Radang
Sel berbentuk bulat/
pipih
berwarna merah
-Mikroskop
olympus BX41
-Program
Adobe
photoshop 6.0
Jumlah sel
radang
pada
daerah
luka bakar
Numerik
2. Salep ekstrak
daun Binahong
Salep ekstrak daun
Binahong dengan
konsentrasi ekstrak
daun Binahong
sebesar 40%
Timbangan
analitik
Jumlahh
salep
ekstrak
daun
Binahong
kategorik
3. Basis salep Salep yag diberi
vaselin album dan
adeps lanae tanpa
ekstrak daun
Binahong
- - kategorik
4. kontrol positif Salep
silversulfadiazine
- - kategorik
5. Ekstrak oral
Binahong
100mg/kgBB
Ekstrak etanol 96%
daun Binahong
dengan dosis
100mg/kgbb
Timbangan
analitik
Jumlah
ekstrak
oral daun
Binahong
kategorik
38
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain penelitian
analitik dengan menggunakan evaluasi histopatologi untuk melihat pengaruh
ekstrak daun binahong terhadap jumlah sel radang pada luka bakar tikus Sprague.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan proses determinasi di lembaga ilmu
pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, Jawa Barat. Kemudian dilakukan
pembuatan ekstraksi daun Binahong di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat (BALITRO) Bogor, Jawa Barat dan di BATAN Lebak Bulus,Jakarta Selatan
pembuatan salep ekstrak daun Binahong dilakukan di laboratorium Farmakologi
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk perlakuan terhadap hewan
percobaan dilakukann di Animal House FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Proses pembuatan preparat dilakukan di Laboratorium Cito depok, Jakarta.
Setelah itu dilakukan pengamatan preparat di laboratorium Histologi FKIK UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, waktu penelitian dilakukan pada bulan Maret 2016.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah tikus strain Sprague dawley yang didapatkan
dari penyedia hewan coba (iRATCo) yang sudah disertakan dengan surat
keterangan sehat dari Rumah Sakit Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor (IPB).
3.3.1 Besar Sampel
Pada penelitian ini terdapat 5 kelompok perlakuan. Untuk menentukan besar
sampel yang dibutuhkan pada setiap kelompok perlakuan, digunakan rumus
Faderer:
39
(N-1) (T-1)≥ 1, dengan N= Jumlah sampel dan T= jumlah kelompok
(N-1)(5-1) ≥15
(N-1) (4) ≥15
(N-1) ≥15/4
N-1 ≥3.75
N ≥ 4.75( bulatkan 5)
Berdasarkan perhitungan tersebut maka jumlah sampel minimal yang
diperlukan adalah 5 tikus untuk masing-masing kelompok perlakuan.
3.3.2 Kriteria Inklusi
Tikus Sprague dawley jenis kelamin jantan, kondisi sehat, usia 12 minggu,
berat badan 350-400 gr.
3.3.3 Kriteria Eksklusi
Tikus Sprague dawley yang mengalami bekas luka di daerah dorsal atau
memiliki kelainan kulit lainnya.
3.3.4 Pembagian Kelompok sampel
Terdapat 5 kelompok tikus pada penelitian ini kelompok 1 (P1) adalah tikus
yang diberikan salep ekstrak daun Binahong konsentrasi 40%, Kelompok 2 (P2)
adalah tikus yang diberikan ekstrak daun Binahong dengan dosis 100 mg/kgbb/
hari secara oral 37
, kelompok 3 (P3) adalah tikus yang diberikan salep ekstrak
daun Binahong konsentrasi 40% dan ekstrak daun Binahong dengan dosis 100
mg/kgbb/hari secara oral, kelompok 4 (P4) adalah kelompok K+ yang diberikan
salep silversulfadiazine, selanjutnya Kelompok 5 (P5) K- adalah kelompok yang
diberikan salep mengandung adeps lanae dan Vaseline album tanpa campuran
ekstrak daun Binahong.
40
3.4 Alat dan Bahan Penelitian
3.4.1 Alat Penelitian
1. Kandang Tikus
2. Tempat minum dan makanan tikus
3. Serbuk kayu untuk tikus
4. Sabun dan alat pembersih tikus
5. Head collar yang terbuat dari kertas rontgen
6. Plat besi berukuran 4x2 cm dengan benang kasur
7. Toples untuk anestesi
8. Alat bedah minor dan pisau cukur
9. Gelas dan alat pemanas air
10. Lumpang dan Alu
11. Timbangan Elektronik
12. Sarung tangan
13. Termometer
14. Mikroskop, Komputer dan DVD RW
15. Masker
16. Pot urin
17. Kompor
18. Thermometer
19. Panci
20. Air
21. Sonde
22. Mikroskop Olympus
3.4.2 Bahan Penelitian
1. Ekstrak daun Binahong
2. Adeps lanae
3. Vaseline album
4. Eter
5. Formalin
41
3.5 Adaptasi dan Pemeliharaan Hewan Sampel
Setelah tikus Sprague dawley yang berasal dari penyedia hewan coba
(iRATCo) sampai dikampus FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tikus ini
dilakukan adaptasi di Animal House selama 7 hari. Tikus ini dipelihara dengan
baik dengan memperhatikan kondisi kandangnya, serta tikus ini diperhatikan juga
pemberian makanan dan minuman yang diberikan secara teratur pada semua
kelompok tikus.
3.6 Pembuatan Konsentrasi Ekstrak
Setelah daun Binahong telah dilakukan proses pembuatan ekstrak di
BALITRO dan BATAN, tahap selanjutnya ekstrak daun Binahong dijadikan salep
dengan cara ditambahkan basis berupa adeps lanae dan vaselin album. Proses
pembuatan ekstrak dilakukan di laboratorium Farmasi, FKIK UIN Syarif
hidayatullah Jakarta. Ekstrak daun Binahong dibuat dengan cara pertama-tama
panaskan lumpang dan alu di dalam oven dengan suhu 500C agar panas dan
meninimalisir adanya mikroorganisme yang menempel pada lumpang dan alu,
kemudian keluarkan lumpang dan alu dari oven, masukan adeps lanae terlebih
dahulu kedalam lumpang kemudian aduk secara perlahan sampai rata. kemudian
tambahkan Vaseline album kemudian aduk secara perlahan sampai rata, kemudian
tambahkan vaselin album kedalam lumpang lalu diaduk secara perlahan dengan
gerakan tangan mengaduk secara konstan sehingga campuran adeps lane dan
Vaseline album homogen. selanjutnya tambahkan ekstrak daun Binahong sesuai
konsentrasi yang dibutuhkan dan diaduk sehingga homogen.
Formula standar menurut Agoes Goeswin (2008) ialah27
R/ Adeps lane 7,5 gr
Vaselin album 42,5 gr
m.f salep 50 gr
Sedian salep yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari atas campuran
adeps lanae dan Vaseline album dengan penambahan konsentrasi daun Binahong
sebesar 40%.
42
Salep Binahong 40% sebanyak 37,5 gram
R/ Ekstrak Binahong 15 gr
Basis salep 22,5 gr
m.f ung 37,5 gr
3.7 Perlakuan Luka pada Tikus
Sebelum melakukan perlakuan pada tikus , rambut disekitar punggung tikus
di cukur menggunakan pisau cukur rambut bermesin dan ditambahkan sedikit
cream penghilang rambut guna mengurangi adanya iritasi yang disebabkan oleh
pisau cukur. Setelah rambut tikus pada bagian punggung sudah tercukur, tahap
selanjutnya tikus akan di anestesi . Selanjutnya anestesi secara inhalasi
menggunakan eter, anestesi dilakukan dalam durasi 5 – 10 detik. Setelah tikus
teranestesi, proses selanjutnya bagian punggung tikus dilakukan pembuatan luka
bakar. Plat besi berukuran 4x2 cm dicelupkan ke dalam air panas dengan suhu
1000C selama 5 menit. Luka bakar dibuat dengan cara menempelkan plat besi
pada bagian punggung tikus selama 30 detik.
3.8 Cara Pemberian Salep Ekstrak dan Ekstrak Oral Daun
Binahong
Setelah dilakukan pembuatan luka bakar pada bagian punggung tikus.
Selanjutnya bagian Punggung tikus di berikan terapi yang di tentukan
pemberiannya pada masing-masing kelompok, pemberian terapi dilakukan 2 kali
untuk salep dan 1 kali sehari untuk terapi oral yang dilakukan pada sore hari.
Pemberian terapi dilakukan dalam durasi 5 hari. Terapi diberikan secara topical
pada bagian punggung tikus dan secara oral melalui mulut.
3.9 Pengambilan Jaringan
Setelah tikus mendapatkan perlakuan berupa pemberian terapi yang berbeda
pada masing-masing kelompok tikus selama 5 hari, selanjutnya tikus di anestesi
secara total dengan cara tikus dimasukan kedalam toples lalu di berikan cairan
eter lalu toples ditutup dengan rapat sehingga tikus akan teranestesi secara total.
Setelah itu tikus dikeluarkan dari dalam toples. Setelah itu bagian kulit tikus yang
43
mengalami perlakuan akan diambil kulitnya dengan cara memisahkan jaringan
kulit yang mengalami perlakuan dengan kulit yang sehat dengann menggunakan
alat bedah minor. Setelah jaringan terambil lalu jaringan kulit dibentangkan di
atas kertas mika tebal lalu di masukan kedalam plastic biohazard yang telah terisi
formalin 10% untuk selanjutnya dilakukan pembuatan sediaan preparat di
laboratorium Cito, Depok.
3.10 Pembuatan Sediaan Histopatologi
Pembuatan sediaan histopatologi dilakukan di Laboratorium Patologi
Anatomi Cito, Depok dengan menggunakan pewarnaan Hematoxylin Eosin (HE).
Pewarnaan HE dilakukan untuk melihat jumlah sel radang. Jaringan yang akan
dibuat sediaan terlebih dahulu direndam di dalam larutan formalin 10% selama 24
jam, proses ini disebut proses fiksasi.
Selanjutnya dilakukan proses dehidrasi, untuk menghilangkan kandungan
air dan larutan fiksasi yang ada di dalam jaringan. Proses ini dilakukan dengan
merendam jaringan secara berseri dalam urutan sebagai berikut :
Etanol 70% selama 2 jam
Etanol 80% selama 2 jam
Etanol 90% selama 2 jam
Etanol absolut selama 2 jam
Etanol absolut selama 2 jam
Xylol selama 2 jam
Xylol selama 2 jam
Setelah proses dehidrasi selesai, selanjutnya dilakukan proses embedding
yaitu dengan merendam jaringan di dalam parafin cair dengan suhu 60⁰C di dalam
tempat cetakan. Posisikan jaringan sedemikian rupa sehingga seluruh bagian
jaringan terendam oleh parafin. Parafin yang merendam jaringan dibiarkan
membeku lalu keluarkan dari cetakan sehingga membentuk blok parafi. Blok
parafin kemudian disimpan dalam suhu -20⁰C sebelum dilakukan pemotongan.
Pemotongan blok parafin dilakukan dengan alat pemotong mekanis yaitu
mikrotom dengan ketebalan 3-4 μm. Irisan blok parafin tersebut kemudian
44
diletakkan di atas permukaan air di dalam waterbath dengan suhu 46⁰C. Irisan
tersebut selanjutnya ditempelkan pada kaca objek yang telah diolesi albumin
kemudian tempatkan kaca objek pada suhu 60⁰C.
Selanjutnya kaca objek yang berisi jaringan dilakukan proses pewarnaan.
Proses pewarnaan dilakukan dengan merendam objek glass dalam larutan secara
berseri dengan urutan sebagai berikut :
Xylol selama 3 menit
Xylol selama 3 menit
Etanol absolut selama 3 menit
Etanol absolut selama 3 menit
Etanol 90% selama 3 menit
Etanol 80% selama 3 menit
Bilas dengan aquades selama 1 menit
Larutan hematoksilin selama 6-7 menit
Bilas dengan aquades selama 1 menit
Alkaline selama 1 menit
Aquades selama 1 menit
Larutan eosin selama 1-5 menit
Bilas dengan aquades selama 1 menit
Etanol 80% sebanyak 10 celupan
Etanol 90% sebanyak 10 celupan
Etanol absolut pertama sebanyak 10 celupan
Etanol absolut kedua selama 1 menit
Xylol selama 3 menit
Xylol selama 3 menit
Xylol selama 3 menit
Kemudian objek glas diangkat dalam keadaan basah kemudian diteteskan
Canada Balsom dan ditutup dengan kaca penutup. Selanjutnya sediaan sudah
dapat diamati pada mikroskop.
45
3.11 Pengamatan Histopatologi
Setelah proses pembuatan preparat telah selesai tahap selanjutnya adalah
pengamatan preparat untuk mengamati tentang jumlah sel radang yang terdapat
pada sediaan preparat. Preparat diamati menggunakan mikroskop Olympus BX41
dengan perbesaran 40 kali lensa objektif dan dilakukan pemotretan 10 lapang
pandang pada setiap preparat. Setelah semua foto sudah dilakukan pemotretan
pada mikroskop, selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah komponen yang
ingin dicari.
Setelah sediaan preparat sudah difoto kemudian dilakukan penghitungan
dan pengamatan pada sel radang yang ada pada jaringan luka bakar. Pengamatan
dilakukan menggunakan aplikasi Image J untuk menghitung berapa jumlah sel
radang.
3.12 Manajemen Analisis Data sel Radang
Dalam pengambilan data pada penelitian ini, dilakukan eksperimen
langsungterhadap luka bakar tikus Sprague dawley yang diberikan pemberian
ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis). Setelah dilakukan
penghitungan nilai rata-rata dari jumlah sel radang. Kemudian data yang
terkumpul dilakukan pengolahan data dengan menggunakan program SPSS versi
16.0.
46
3.13 Alur kerja penelitian
Persiapan penelitian meliputi
persiapan seluruh alat dan bahan
Determinasi di LIPI, Bogor
Ektraksi daun di balitro bogor
Pembuatan salep ekstrak daun Binahong dengan
konsentrasi 40% dan ekstrak oral dengan dosis
100mg/kgbb
Pemberain terapi pada kelompok tikus
P1(salep ekstrak 40%) P2( ekstrak oral)
P3( salep ekstrak 40% plus oral) P4(k+
dengan silversulfadiazine) P5( k- salep
hanya basis)
Adaptasi tiku selama 7 hari di
animal house
Perlakuan luka bakar 30 detik
dengan plat besi berukuran 4x2 cm
yang sudah dipanaskan dalam air
mendidih 1000C
Di berikan terapi oral 1 kali sehari
dan terapi salep topikal 2 kali sehari
selama 5 hari
Eksisi kulit yang mengalami perlakuan
pada hari ke 6
Kulit tikus dibuat sediaan preparat di
Laboratorium Cito Depok
Pembelian tikus sehat dari
iRATCo
Pembelian daun Binahong di
Desa Cikopo, Bogor Jawa Barat
Tiku di anestesi
menggunakan eter
Pengamatan preparat di laboratorium
Parasitologi FKIK UIN Jakarta
Pengolahan analisis data
47
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Luka bakar dalam penelitian ini di buat denngan cara menempelkan plat
besi yang dipanaskan dengan suhu 95-1000C ke kulit punggung tikus strain
Sprague dawley yang sebelumnya telah dicukur bulunya menggunakan alat cukur
rambut dan di bantu dengan krim penghilang rambut. Plat besi di tempelkan
selama 30 detik, setelah itu kulit di eksisi dan di beri pewarnaan HE. Setelah
dilakukan pengamatan secara histopatologi di dapatkan keerusakan jaringan kulit
hingga mencapai dermis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa luka merupakan
derajat II.
Gambar 4.1: gambaran histopatologi pada kulit tikus setelah pajanan plat besi 30 detik.
Terdapat diskontinuitas dan kerusakan dermis (tanda panah)
4.1 Jumlah sel radang
Berikut ini adalah gambaran histopatologi dari jumlah sel radang pada luka
bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar selama 30 detik
dengan plat besi. Terlihat sel radang dengan bentuk pipih/bulat dan inti berwarna
merah.
48
Gambar 4.2 gambaran mikroskopik jumlah sel radang pada jaringan luka bakar.
(a)kelompok P1 (Salep); (b)kelompok P2 (oral) (c) kelompok P3 (Salep Oral) (d)
kelompok P4 (Kontrol +) (e)kelompok P5 (Kontrol -) (Tanda panah putih : sel
radang)
A
B. P1 A. P2
D. P3 C. P4
E. P5
49
Pada penelitian ini data dari jumlah sel radang yang di analisis secara
kualtitatif dengan menghitung jumlah sel radang yang berbentuk bulat dan inti
berwarna ungu. penghitungan menggunakan program Image J. dari semua
kelompok penelitian diperoleh data sebagai berikut.
Tabel 4.1 Rerata Jumlah Sel Radang
Kelompok N Rearata jumlah sel radang
P1(salep) 5 15.3
P2(oral) 5 18.6
P3(salep oral) 5 45.46
K+ 5 28.42
K- 5 56.16
Keterangan: N, Jumlah, P1, perlakuan salep, P2, perlakuan obat oral, P3, Perlakuan salep dan
oral, K+, Kontrol positif, K-, kontrol negatif
Grafik 4.1 Rerata jumlah sel radang
Keterangan : P1= Salep konsentrasi daun Binahong sebesar 40%
P2= obat oral dengan dosis 100 mg/kgbb
P3= salep dengan konsentrasi Binahong sebesar 40% dan obat oral
K+= krim silversulfadiazin
K- = basis salep
0
10
20
30
40
50
60
salep oral oral salep positif negatif
Re
arat
a ju
mla
h s
el r
adan
g
Kelompok Penelitian
Grafik Rerata Jumlah Sel Radang
Grafik rerata jumlah selradang
50
4.2 Pembahasan
Dari tabel 4.1 dan grafik 4.1 dapat disimpulkan bahwa jumlah sel radang
pada kulit yang mengalami inflamasi paling tinggi terdapat pada kelompok
Kontrol negatif yaitu sebesar 56,16. Sementara jumlah sel radang pada kelompok
yang di berikan perlakuan salep ekstrak daun Binahong lebih rendah dibanding
dengan kelompok kontrol. Begitupun dengan pemberian ekstrak oral lebih rendah
dibanding dengan pemberian krim silversulfadiazin pada kelompok kontrol
positif. Sementara jumlah sel radang paling rendah pada perlakuan pemberian
ekstrak daun Binahong terdapat pada perlakuan yang diberikan salep ekstrak daun
Binahong dengan konsentrasi 40% (kelompok P1).
Selanjutanya dilakukan penghitungan statistik menggunakan metode kruskal
wallis karena distribusi data yang tidak normal atau p <0.05.29
Tabel 4.2 Hasil Analsis
Perlakuan N Mean Rank P Value
Rata-rata sel
radang
Salep 5 5,20 0,001
Oral 5 6,80
Salep oral 5 19,60
Kontrol + 5 12,60
Kontrol - 5 20,80
Keterangan: N, Jumlah, Mean Rank, Rata-rata sel radang
Dari tabel 4.2 diatas diperoleh bahwa nilai P sebesar 0,001 (p<0,005)
menunjukan bahwa minimal terdapat 2 kelompok yang memiliki perbedaan
bermakna. Hal ini bersesuaian dengan artikel yang dituliskan (Singh, 2006)
menunjukan efek antiinflamasi dari saponin. Begitu juga penelitian yang
dilakukan oleh (Rohmawati, 2007) bahwa daun Binahong mengandung asam
oleanolik yang berperan sebagai antiinflamasi.10,12
Kandungan zat saponin pada akar dan daun dari Binahong bersifat steroidal
dalam tubuh. Saponin adalah glikosida steroid dan strukturnya seperti
triterpenoid12. Saponin steroid hormone adalah saponin yang bekerja seperti
steroid hormone dan dapat dikelompokkan berdasarkan reseptor tempat dimana
dia berikatan glikokortikoid, mineralokortikoid, androgen, estrogen dan
51
prostagen. Maka dari itu saponin setelah berikatan dengan reseptornya akan
memberikan efek steroidal 12
. Saponin akan menghambat fosfolipase sehingga
fosfolipid membran sel tidak dirubah menjadi asam arakhidonat dimana asam
arakhidonat nantinya dengan bantuan enzin siklooksigenase akan dirubah menjadi
prostaglandin. Sementara dengan bantuan 5-lipoksigenase asam arakhidonat akan
di rubah menjadi leukotrien (A4,C4,D4,E4) dan dengan bantuan 12-lipoksigenae
asam arakidonat akan diubah menjadi lipoksin. Fungsi dari prostaglandin
leukotrien dan lipoksin adalah sebagai kemokin yang poten untuk merangsang
terjadinya migrasi sel radang ke tempat luka. Karena mekanisme semua kemokin
tersebut di hambat oleh saponin maka disini terlihat efek saponin sebagai efek
antiinflammasi.12,13
Selain dari saponin daun Binahong juga mengandung senyawa aktif
berupa asam oleanat (oleanic acid). Asam oleanat dapat di dapatkan dari daun
pohon Binahong. Asam oleanat bekerja sebagai anti-inflammatori dengan cara
menghambat COX-2 sehigga tidak adanya pembentukan prostaglandin yang
berfungsi sebagai kemoatraktan untuk migrasi sel radang. Selain itu asam oleanat
juga akan menginhibisi 5-lipoksigease sehingga menghambat pembentukan
leukotriene B4 dari asam arakidonat yang berfungsi sebagai kemotaksis juat untuk
sel radang.30
Dalam penelitian ini terdapat 5 kelompok. Dari kelompok P1 (Salep)
didapatkan data bahwa terdapat sel radang dengan jumlah paling rendah
dibanding dengan kelompok lain. Sementara jumlah sel radang tertinggi terdapat
pada P5 (kontrol-). Ini dikarenakan tidak ada nya senyawa aktif baik asam oleanat
dan saponin sebagai agen antiinflamasi. Sementara untuk P2 (oral) medapatkan
jumlah sel radang terendah ke-2. Untuk P3 (salep oral) didapatkan jumlah sel
radang dengan rata-rata tertinggi ke-2. Ini dikarenakan pada saat terjadi proses
luka bakar maka tubuh akan berisiko untuk terpajan radikal bebas. Radikal bebas
akan mengoksidasi apapun namun target yang paling disukai nya adalah sel lemak
sehingga sel lemak akan dioksidasi membentuk lipid peroksidase. Salah satu
produk dari lipid peroksidase yaitu malondialdehyde (MDA) menurut (Arti
parihar, 2008) peningkatan jumlah MDA akan seiring dengan meningkatnya
kerusakaan system reperfusi pada keadaan iskemi.30
52
Zat aktif dari daun Binahong yaitu saponin sukar untuk diserap oleh usus.
Menurut penelitian (Cayen 1979) dengan memberikan saponin steroidal
(Diosgenin) secara oral dengan dosis 3 gram per hari dan hanya ditemukan sekitar
1 μg/mL di dalam serum subjek29
. Menandakan bahwa absorbsi saponin via
tersebut oral buruk. Sementara pada kelompok P3 (K+) dengan pemberian salep
silver sulfadiazine ialah mengacu kepada guideline WHO. Salep silver
sulfadiazine dipilih karena selain dari guidline WHO5,6
, Salep ini juga sebagai anti
bakteri spektrum luas, rendah toksisitas, mudah untuk digunakan, dan minimal
efek nyeri pada saat pemakaian. Dua zat aktif nya yaitu silver nitrat yang
berfungsi untuk menekan replikasi dari bakteri sekaligus sebagai dressing pada
luka dan sodium sulfadiazine sebagai anti bacterial spektru luas. Karena dua zat
aktif ini memungkinkan luka untuk tidak terkena infeksi dan mencegah terjadinya
inflammasi lebih lanjut.4,6
4.3 Keterbatasan Penelitian
1 Pada perlakuan salep ekstrak Binahong dan krim silversulfadiazine kontrol
positif volume yang diberikan tidak sama antar kelompok perlakuan.
2 Terminasi pada tikus tidak pada hari terjadinya inflammasi sehingga
pengamatan pada sel radang kurang adekuat.
53
53
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
3.11 Kesimpulan
1. Terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia
(Tenore) Steenis) terhadap jumlah sel radang (p value = 0,0001) pada luka
bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan
plat besi secara bermakna.
2. Pengunaan salep ekstrak Binahong dengan konsentrasi 40% menghasilkan
rata-rata jumlah sel radang paling sedikit dibandingkan dengan kelompok
lainnya.
3.12 Saran
Saran bagi peneliti selanjutnya adalah
1. Diharapkan pada peneltian selanjutnya agar meneliti dosis salep ekstrak
Binahong secara beragam.
2. Diharapkan pada penelitian selanjutnya agar meneliti dosis oral ekstrak
Binahong secara beragam.
3. Diharapkan pada penelitian selanjutnya agar dapat meneliti efek toksisitas dari
ekstrak Binahong.
54
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Burns (Chapter 4). Adapted from www.firechildren.org pada
tanggal 9 juni 2008.
2. WHO. Burn and prevention and care. Switzerland: Geneva . 2008
3. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan Depkes RI. Riset Keshatan
dasar ( Riskesdas 2013). Kementrian Kesehatab Republik Indonesia. 2013.
P101-109
4. Baris C. Systemic response to burn injury. Turkey: Murmara Unversity,
Istanbul. 2004
5. WHO. Management of burn. WHO surgical at the district hospital. Malta:
Interprint Limited.2003
6. Koller J. Topical Treatmet of Partial Thickness Burns By Silver
Sulfadiazine Plus Hyaluronic Acid Compared To Silver Sulfadiazine
Alone. Slovakia: University Hospital Bratis Ruzinov. 2004
7. Yang B, Xudong W, Zhonghua L. Beneficial effect of silver foam dressing
on healing of wounds with ulcer and infection control burn patient. Pak J
med scl 31(6):1334-1339. 2015
8. Isnaini W. Uji aktivitas salep ekstrak daun Binahong (Anredera Cordifolia
(Ten) Steenis) sebagai penyembuh luka bakar pada kulit punggung kelinci.
Surakarta: UMS . 2009
9. www. 2013-2-84204 Tanaman Binahong.pdf diunduh pada tanggal 22
september 2016
10. Persada , AN. The second degree burns healing rate comparison between
topical mashed Binahong (Anredera Cordifolia (Tenore) Steenis).
Lampung. 2014
11. Perpustakaan.pom.go.id/ebook Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis
12. Sri murni A. Determination Of Saponin Compounds From Anredera
Cordifolia (Ten.) Steenis to Potential Treatment For Several Disease .
Malysia: Faculty of Chemical and Nature Resources Engineering (Bio-
Process). 2011
55
13. Jones and Bartlett. Chapter 3 basic biology of skin p 29-31. John and
Bartlett publisher.
14. Linuwih S. ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN. Jakarta: Badan
penerbit FKUI. 2015
15. Junqueira. Histology book. 2012. Jakarta; EGC
16. American college of surgeon. Advanced Traumatic Life support sudent
course manual 9th
edition. Chicago: ACS Committee on trauma. 2012
17. Velnar T. The Wound Healing Process : an overview of the cellular and
molecular mechanism. Slovenia: Departement of Neurosurgery University
medical Centre. 2009
18. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. 7nd
ed, Vol. 1.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC , 2007: 189-1.
19. Cherrylan M. An Overview Of The Topical Antimicrobial Agent Used In
The Treatment Of Burn Wound. Philadhelphia: University of Pensylvania
. 2004
20. Emilia C. Outpatient Burns: Prevention And Care. American Family
Physician .2012
21. Shehan H, Reno p. Initial management of a major burn II-assesment and
resuscitation. Clinical review BMJ Vol 329. 2004
22. www. Zxcv.pdf (Pharmakokinetics). Diunduh pada tanggal 27 september
2016
23. Anroop N, Shery J, Bandar A. Basic consideration in the dermatokinetics
of topical formulations. Univerisity of King Faisal Saudi Arabia:
Departement of Pharmaceutical Science Vol 49. 2013
24. Anjas A, Sjaiful F, Tantien N. Vehikulum dalam dermatologi Topikal. FK
UI: Departemen Ilmu kesehatan kulit dan kelamin. Vol 39.No1 (25-35).
2012
25. Istiqomah. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Sokletasi
terhapap Piperin Buah Cabe Jawa. Ciputat: UIN. 2013
26. Food review Indoneisia. Freeze Drying Technology: For Better Quality
and Flavour of Dried Products. Vol VIII/NO 2. 2013
27. Fachrial P. Uji Efektivitas Salep Ekstrak Etanol Dan Bakau Hitam
(Rhizopora muncronata Lamk) dan Pengajian Terhadap Proses
56
Penyembuhan Luka Punggung Kelinci Yang Diinfeksi Bakteri
Staphylococcus aureus Vol 3 NO 1. 2014
28. Sopiyudin M. Besar Sample Dan Cara Pengambilan Sample. 2010
29. Diandian S. Development of Anti-Inflammatory Agents From The
Aromatic Plants, Origanum spp. And Mentha spp And Analytical Methods
On The Quality Control of Bioactive Phenolic Compounds. New Jersey:
University of New Jersey. 2008
30. Arti P. Oxidative stress and anti-oxidative mobilization in burn injury.
Baltimore: department of surgery.2008
57
LAMPIRAN
lampiran 1
Hasil determinasi /identifikasi bahan uji
Gambar 6.1 Hasil determinasi tanaman
58
Lampiran 2
Hasil Ekstraksi bahan uji
Gambar 6.2 Hasil Ekstraksi Tanaman
59
Lampiran 3
Surat Keterangan Tikus Sehat
Gambar 6.3 surat keteranngan tikus sehat
60
Lampiran 4
Gambar Proses Penelitian
Gambar 6.4 pengelompokkan sampel Gambar 6.5 pencukuran bulu tikus
Gambar 6.6 proses pembuatan besi Gambar 6.7 pembuatan luka bakar
Panas pada sampel
Gambar 6.8 keadaan luka bakar pada sampel Gambar 6.9 pemberian salep
penelitian Ekstrak daun binahong
61
Gambar 6.10 pemberian secara oral ekstrak daun inahong
Gambar 6. 11 proses pebukuran luas luka secara Gambar 6.12 pengambilan jaringan kulit
makroskopik
Gambar 6.13 jaringan kulit di dalam cairan Gambar 6.14 preparat yang sudah jadi
formalin dan siap untuk dibuat preparat
Gambar 6.15 proses pengambilan foto preparat gambar 6.16 foto preparat
62
Lampiran 5
Hasil uji statistik
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
rerata sel radang .159 25 .103 .869 25 .004
a. Lilliefors Significance Correction
Gambar 6.17 tes normalitas SPSS metode Shapiro Wilk
Kruskal-Wallis Test
Ranks
perlakuan N Mean Rank
rerata sel radang salep 5 5.20
oral 5 6.80
salep oral 5 19.60
kontrol+ 5 12.60
kontrol- 5 20.80
Total 25
Test Statisticsa,b
rerata sel radang
Chi-Square 18.816
df 4
Asymp. Sig. .001
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: perlakuan
Gambar 6.18 Uji Kruskal wallis
63
Mann-Whitney Test
Ranks
perlakuan N Mean Rank Sum of Ranks
rerata sel radang salep 5 3.00 15.00
salep oral 5 8.00 40.00
Total 10
Test Statisticsb
rerata sel radang
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 15.000
Z -2.611
Asymp. Sig. (2-tailed) .009
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: perlakuan
Gambar 6.19 Uji Mann-whitney test untuk membandingka tiap kelompok.
64
Lampiran 6
Riwayat Hidup Penulis
Identitas
Nama : Riski Bastanta G
Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal, Lahir : Tangerang, 07 Oktober 1995
Agama : Islam
e-mail : gebegebege@gmail.com
Riwayat Pendidikan
2001-2003 : TK Aisyah
2003-2009 : SDIT AL-ISTIQOMAH
2009-2011 : SMPN 2 TANGERANG
2011-2013 : SMAN 1 TANGERANG
2013-sekarang : UIN Syarif Hidayatuallah Jakarta
54
top related