icaserd working paper no -...
Post on 20-Mar-2019
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ICASERD WORKING PAPER No.37
PERMINTAAN KOMODITAS PANGAN :ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI UNTUK RUMAHTANGGA DANBAHAN BAKU INDUSTRI
Handewi P.S. Rachman
Maret 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No.37
PERMINTAAN KOMODITAS PANGAN :ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI UNTUK RUMAHTANGGA DANBAHAN BAKU INDUSTRI
Handewi P.S. Rachman
Maret 2004
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini,pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono, dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : caser@indosat.net.id
No. Dok.046.37.02..04
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
1
PERMINTAAN KOMODITAS PANGAN:ANALISIS PERKEMBANGAN KONSUMSI UNTUK RUMAHTANGGA DAN
BAHAN BAKU INDUSTRI
Handewi P.S. Rachman
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl. A. Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRAK
Permintaan terhadap komoditas dapat berupa permintaan langsung dan atau permintaan turunan. Permintaan langsung mengacu pada permintaan untuk konsumsi rumahtangga, sementara permintaan turunan merupakan masukan (input antara) dalam proses produksi komoditas lain. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan permintaan langsung dan permintaan turunan, permasalahan yang dihadapi, serta prospek permintaan komoditas tanaman pangan di masa depan. Metoda yang digunakan adalah analisis deskriptif-kualitatif, metoda akuntansi sederhana dan analisis trend. Data yang digunakan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bulog, dan data hasil penelitian lain yang relevan. Komoditas yang dianalisis dibatasi pada komoditas tanaman pangan utama yaitu beras, jagung, ubi kayu, kacang tanah dan kedelai. Secara umum permintaan berbagai komoditas tanaman pangan sebagian besar merupakan permintaan untuk konsumsi rumah tangga, kecuali kedelai, proporsi permintaan untuk bahan baku lebih dominan. Namun demikian pada periode 1990-1993 terdapat kecenderunganadanya peningkatan proporsi permintaan untuk bahan baku industri untuk komoditas beras, jagung, ubi kayu, kacang tanah, dan kedelai. Volume permintaan komoditas tersebut oleh industri pengolahan pangan dan industri pakan ternak selama periode 1986-1997 juga menunjukkan peningkatan. Fenomena tersebut menunjukkan adanya potensi pasar domestik yang perlu ditangkap oleh pelaku usaha pertanian untuk meningkatkan produksi sesuai dengan permintaan. Peningkatan produksi tanaman pangan dapat dilakukan dengan intensifikasi pada lahan-lahan yang telah diusahakan dibarengi dengan pemanfaatan lahan potensial yang belum didayagunakan secara optimal.
Kata kunci : permintaan pangan, tanaman pangan
PENDAHULUAN
Permintaan terhadap komoditas dapat berupa permintaan langsung dan atau
permintaan turunan. Permintaan langsung mengacu pada permintaan untuk konsumsi
rumahtangga, dimana secara teoritis merupakan fungsi dari harga komoditas
bersangkutan, tingkat pendapatan, harga komoditas lain baik yang bersifat substitusi
maupun komplemen, jumlah penduduk, serta selera dan preferensi konsumen.
Sementara itu permintaan terhadap komoditas dikatakan sebagai permintaan turunan
apabila komoditas tersebut merupakan masukan (input antara) dalam proses produksi
komoditas lain. Dalam hal ini, permintaan terhadap input antara ditentukan oleh tingkat
produksi dan permintaan terhadap produk yang akan dihasilkan dalam proses produksi
yang menggunakan input antara tersebut. Permintaan turunan terhadap jagung dan
2
kedelai misalnya, sangat ditentukan oleh tingkat produksi dan permintaan produk yang
menggunakan jagung dan kedelai sebagai bahan baku dalam proses produksinya.
Dengan berkembangnya industri pengolahan, baik pengolahan makanan maupun
industri pakan ternak (kondisi sebelum krisis ekonomi), semakin besar permintaan
terhadap komoditas pertanian (sebagai permintaan turunan) yang pada gilirannya akan
membuat permintaan terhadap komoditas pertanian tersebut semakin elastis. Dalam
kondisi tersebut, dugaan akan terus merosotnya harga komoditas primer pertanian akan
berkurang, sehingga pendapatan petani diharapkan dapat meningkat seiring dengan
meningkatnya hasil produksi mereka. Dengan pertimbangan inilah, pengembangan
industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) dipandang sangat strategis tidak hanya
dalam upaya meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga dalam membuka kesempatan
kerja, meningkatkan nilai tambah dan devisa melalui ekspor, dan pada akhirnya memacu
sektor pertanian itu sendiri.
Dalam pembangunan ekonomi jangka panjang, sektor agroindustri merupakan
salah satu sektor yang mendapat prioritas untuk dikembangkan. Hal ini mengingat: (a)
bahan baku agroindustri cukup tersedia dari sektor pertanian dan memiliki kandungan
lokal yang tinggi, (b) sektor agroindustri merupakan jembatan antara sektor pertanian
dan sektor industri (memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat), (c) upaya meningkatkan
nilai tambah dari produk-produk pertanian sehingga tambahan devisa dari pengolahan
produk pertanian dapat ditransfer ke dalam negeri, (d) sektor pertanian merupakan
penghidupan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia terutama masyarakat
pedesaan, sehingga upaya mengefisienkan pertanian melalui pengembangan
agroindustri berarti meningkatkan permintaan (turunan) domestik untuk hasil-hasil
pertanian, (e) agroindustri merupakan lapangan kerja bagi pekerja-pekerja yang tidak
tertampung lagi bekerja di sektor pertanian dan sektor-sektor lain, dan (f) komponen
impor dari produk agroindustri relatif rendah dari pada produk manufaktur, sehingga
kenaikan ekspor agroindustri hanya akan diikuti oleh kenaikan impor yang relatif kecil,
hal ini menyebabkan kenaikan dalam surplus neraca perdagangan relatif tinggi
(Ratnawati, 1998).
Mengingat pentingnya pengembangan agroindustri di masa mendatang, yang
berarti pula memberikan peluang terhadap peningkatan permintaan hasil pertanian
sebagai bahan baku industri, maka pemahaman terhadap perkembangan dan perilaku
permintaan komoditas pertanian tanaman pangan sebagai bahan baku industri penting
3
untuk dipelajari. Namun demikian mengingat hasil produksi pertanian tanaman pangan
juga sebagian besar merupakan komoditas yang dapat langsung dikonsumsi, maka
perkembangan dan perilaku permintaan untuk konsumsi langsung juga perlu dipelajari.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan permintaan untuk konsumsi
rumahtangga (permintaan langsung) dan permintaan turunan bagi komoditas pertanian
tanaman pangan, permasalahan yang dihadapi, serta prospek permintaan komoditas
tanaman pangan di masa depan.
METODA PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Secara umum permintaan suatu komoditas (pangan) dalam suatu negara
merupakan penjumlahan dari permintaan domestik (dalam negeri) dan permintaan untuk
ekspor (luar negeri). Bagi negara-negara maju umumnya mampu memenuhi kebutuhan
pangan penduduknya, sehingga kelebihan produksi dapat dialokasikan untuk memenuhi
permintaan pasar luar negeri (ekspor). Sementara itu bagi negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, permintaan terhadap komoditas tanaman pangan cenderung untuk
memenuhi permintaan dalam negeri, bahkan untuk beberapa komoditas pemenuhan
kebutuhan dalam negeri masih harus didatangkan dari luar negeri (impor). Terkait
dengan kondisi tersebut dalam tulisan ini pembahasan permintaan komoditas tanaman
pangan dibatasi pada permintaan domestik. Permintaan domestik secara garis besar
dibedakan menjadi permintaan langsung (konsumsi rumahtangga) dan permintaan
turunan (tidak langsung) yaitu permintaan untuk bahan baku industri.
Permintaan untuk konsumsi rumah tangga dihitung dari rata-rata konsumsi per
kapita pada tahun tertentu untuk masing-masing komoditas dikalikan dengan jumlah
penduduk pada pertengahan tahun yang bersangkutan. Sementara itu, penghitungan
permintaan untuk bahan baku industri dipisahkan antara permintaan untuk industri
pengolahan makanan dan permintaan oleh industri pakan ternak. Dalam hal ini,
permintaan oleh industri pengolahan makanan merupakan penjumlahan total dan
berbagai jenis industri pengolahan makanan (skala sedang dan besar) yang
menggunakan komoditas yang diamati sebagai bahan baku dalam industrinya. Demikian
halnya permintaan untuk industri pakan ternak juga dibatasi pada industri skala sedang
dan besar. Dalam hal ini permintaannya sangat dipengaruhi oleh industri hilirnya yang
4
menggunakan produk (output) industri pakan sebagai inputnya yaitu industri peternakan.
Secara sederhana alur pemikiran yang diuraikan di atas dapat dilihat pada Gambar 1.
Data
Data yang digunakan dalam kajian ini merupakan data sekunder dari berbagai
instansi terkait. Dalam hal ini data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bulog, dan data hasil
penelitian lain yang relevan digunakan sebagai dasar dalam analisis. Komoditas yang
dianalisis dibatasi pada komoditas tanaman pangan utama yaitu beras, jagung, ubi kayu,
kacang tanah dan kedelai.
Metoda Analisis
Metoda yang digunakan dalam studi ini adalah analisis deskriptif-kualitatif melalui
tabel-tabel. Metoda akuntansi sederhana digunakan untuk mendapatkan besaran
permintaan langsung dan tidak langsung. Sementara itu, analisis trend digunakan untuk
menganalisis perkembangan pada selang waktu tertentu.
Gambar 1. Alur Permintaan Komoditas Tanaman Pangan
KERAGAAN PERMINTAAN KOMODITAS TANAMAN PANGAN
Sebelum menelaah permintaan berbagai jenis komoditas tanaman pangan oleh
rumah tangga maupun industri, ada baiknya untuk melihat terlebih dahulu gambaran
alokasi proporsi permintaan oleh masing-masing konsumen. Untuk keperluan tersebut,
Permintaan komoditas tanaman pangan
Permintaan luar negeri (ekspor)
Permintaan dalam negeri(domestik)
Permintaan langsung (konsumsi rumah tangga) = konsumsi/kapita x jumlah penduduk
Permintaan tidak langsung (turunan)
Permintaan industri pakan ternak skala sedang dan besar
Permintaan untuk pengolahan makanan = n∑ jenis industrii=1 skala sedang dan besar
5
data pada Tabel 1 menyajikan keragaan alokasi permintaan komoditas tanaman pangan
untuk konsumsi rumah tangga dan untuk bahan baku industri.
Berdasarkan data input-output, Indonesia tahun 1990 dan 1993 (updated 1990),
dari lima komoditas tanaman pangan yang diamati, secara umum pangsa permintaan
untuk konsumsi rumah tangga masih dominan dibandingkan permintaan untuk bahan
baku industri untuk komoditas beras, jagung, ubi kayu, dan kacang tanah, seiring adanya
kecenderungan penurunan permintaan konsumsi rumah tangga untuk keempat
komoditas tersebut. Berbeda halnya untuk komoditas kedelai, pada periode 1990-1993
justru terjadi peningkatan permintaan untuk konsumsi rumah tangga dan penurunan
permintaan untuk bahan baku industri. Dari Tabel 1 juga terlihat bahwa nilai transaksi
total untuk beras, jagung, dan kedelai mengalami peningkatan cukup signifikan. Untuk
komoditas ubi kayu dan kacang tanah, selama periode 1990-1993 nilai transaksi total
permintaan mengalami penurunan. Dari gambaran umum tersebut terlihat adanya variasi
pola permintaan hasil pertanian tanaman pangan untuk bahan baku industri. Bahasan
berikut ditujukan untuk lebih memahami pola permintaan masing-masing komoditas
tanaman pangan baik untuk konsumsi rumah tangga maupun oleh berbagai jenis industri
pengolahan makanan dan industri pakan ternak.
Permintaan Untuk Konsumsi Rumah Tangga
Untuk menghitung total permintaan konsumsi rumah tangga pada suatu tahun
tertentu digunakan data konsumsi per kapita dikalikan dengan jumlah penduduk pada
(pertengahan) tahun yang bersangkutan. Data pada Tabel 2 menunjukkan
perkembangan permintaan komoditas tanaman pangan pada periode 1990-1999. Untuk
komoditas beras, konsumsi per kapita pada periode 1990-1993 sedikit terjadi penurunan
(walaupun secara umum, permintaannya tetap meningkat), namun untuk periode 1993-
1996 dan 1996-1999 konsumsi per kapita terus mengalami peningkatan. Dengan
demikian konsumsi atau permintaan beras untuk konsumsi rumah tangga dari waktu ke
waktu terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan
konsumsi per kapita. Peningkatan konsumsi beras per kapita antara tahun 1996-1999
cukup signifikan, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ariani, et al., (2000) yang
menunjukkan bahwa dengan adanya krisis ekonomi rata-rata rumah tangga
berpendapatan rendah tidak menurunkan kuantitas konsumsi pangan pokok,
6
Tabel 1. Permintaan komoditas tanaman pangan untuk bahan baku industri (input antara), konsumsi rumah tangga (permintaan akhir) dan nilai transaksi dari total permintaan, tahun 1990 dan 1993 *)
Permintaan untukNilai transaksi
total permintaan(milyar Rp)
Bahan baku industri(%)
Konsumsi rumah tangga(%)
Komoditi
1990 1993 1990 19931990 1993
BerasJagung Ubi kayuKacang tanahKedelai
7,7635,1211,9312,7281,00
8,4041,3812,8213,1870,29
92,1465,0188,0791,330,24
80,6058,6274,7276,1917,51
15.6161.6041.9821.0871.423
24.7521.6371.799
9921.551
Sumber : Tabel Input-Output tahun 1990, BPS *) Tabel Input-Output tahun 1990 yang di-“update”
kalaupun terjadi penurunan hanya pada kualitas pangan. Dengan meningkatnya rata-rata
harga pangan, komposisi pangan pokok menjadi makin dominan dibanding lauk-pauk,
oleh karena itu adalah wajar apabila pada periode krisis ekonomi tersebut tingkat
konsumsi beras per kapita rata-rata penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang
cukup tajam.
Tabel 2. Perkembangan permintaan komoditas tanaman pangan untuk konsumsi rumah tangga,tahun 1990-1999
1990 1993 1996 1999Komoditas
Kg/kap Total *) Kg/kap Total *) Kg/kap Total *) Kg/kap Total *)
Beras
Jagung
Kedelai
Ubi kayu
Kac. tanah
150,06
28,73
10,22
15,70
0,78
26.873
5.145
1.830
2.811
139
148,40
25,41
11,63
12,74
0,68
947
785
190
399
128
154,49
35,01
11,09
7,85
1,14
30.505
6.923
2.190
1.550
225
159,98
36,05
11,09
9,72
0,53
33.039
7.445
2.290
2.007
107
Sumber : BPS Susenas dan Statistik IndonesiaKeterangan : *) dalam ribu ton
Jagung yang semula menjadi konsumsi pangan pokok di beberapa wilayah di
Indonesia dan diharapkan dapat mensubstitusi beras ternyata dalam perkembangannya
tidak menunjukkan pola seperti yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan
tingkat konsumsi per kapita maupun konsumsi total yang dari tahun ke tahun hanya
sedikit sekali mengalami peningkatan, bahkan pada periode 1990-1993 justru mengalami
7
penurunan baik konsumsi per kapita maupun total permintaan untuk konsumsi rumah
tangga.
Untuk komoditas kedelai, sesuai dengan pola permintaan yang didominasi oleh
permintaan untuk bahan baku industri, adalah wajar apabila konsumsi per kapita maupun
konsumsi kedelai secara total dari tahun 1990-1999 mengalami peningkatan yang tidak
terlalu nyata. Peningkatan permintaan untuk konsumsi rumah tangga secara relatif lebih
banyak disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah penduduk.
Komoditas ubi kayu maupun kacang tanah yang secara umum permintaannya
masih didominasi oleh permintaan untuk konsumsi rumah tangga memiliki pola
perkembangan permintaan yang serupa. Dalam hal ini meningkatnya permintaan lebih
disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah penduduk. Kecenderungan tersebut dapat
diamati dari data konsumsi per kapita yang relatif tetap (bahkan cenderung menurun),
kalaupun terjadi peningkatan, jumlahnya relatif kecil. Pola permintaan untuk kedua
komoditas tersebut searah dengan pola yang terlihat pada data input-output yang
memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan proporsi permintaan untuk konsumsi
rumah tangga (Tabel 1).
Permintaan Untuk Bahan Baku Industri
Permintaan Bahan Baku Industri Pangan
Berbagai jenis industri pengolahan makanan (pangan) yang menggunakan beras,
jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan gandum sebagai bahan baku
industrinya antara lain adalah industri pengolahan susu, es krim, pengawetan dan
pengolahan ikan, penggilingan, pelumatan buah-buahan dan sayuran, tepung, roti dan
kue, makaroni, mie, bihun, kerupuk dan sejenisnya, keripik dan peyek, kecap, tahu,
tempe dan tauco, malt dan minuman, serta industri makanan lainnya. Tabel 3
menunjukkan perkembangan permintaan beberapa komoditas tanaman pangan oleh
industri pengolahan skala sedang dan besar tahun 1986-1997. Secara umum terlihat
bahwa terdapat fluktuasi dan variasi permintaan berbagai komoditas untuk bahan baku
industri pengolahan. Sedikit berbeda dengan gambaran makro yang telah diuraikan
sebelumnya, permintaan untuk bahan baku industri pengolahan pangan secara kuantitas
bagi komoditas tanaman pangan semuanya menunjukkan adanya peningkatan. Khusus
untuk komoditas gandum, dimana komoditas ini tidak dihasilkan di dalam negeri,
8
menunjukkan adanya peningkatan permintaan terhadap produk olahan gandum yang
cukup menonjol.
Tabel 3. Perkembangan penggunaan berbagai komoditas pertanian tanaman pangan oleh industri pengolahan pangan skala sedang dan besar (ton)
Komoditas 1986 1990 1995 1997
Beras
Jagung
Ubi jalar
Ubi kayu
Kacang tanah
Kedelai
Gandum
502.632
12.503
749
1.027.081
2.494
17.240
1.710.203
662.709
133.813
2.561
1.146.308
26.704
26.236
1.868.174
710.280
214.889
8.865
1.663.712
30.922
45.434
3.609.306
2.561.476
108.055
13.493
2.746.775
39.400
43.867
2.048.343
Sumber: BPS Statistik Industri Besar dan Sedang
Gejala ini di satu sisi menunjukkan adanya peningkatan diversifikasi konsumsi pangan
sumber karbohidrat yang notabene akan dapat mengurangi konsumsi beras, namun di
sisi lain akan membebani neraca perdagangan nasional, mengingat bahan baku industri
produk gandum dan olahannya berasal dari impor.
Gambaran secara rinci penggunaan masing-masing komoditas tanaman pangan
oleh industri pengolahan skala sedang dan besar dapat disimak pada Tabel Lampiran 1
sampai Tabel Lampiran 7. Dari data yang tersaji dalam lampiran-lampiran tersebut dapat
diungkap bahwa dari ketujuh jenis komoditas pangan yang diamati, ubi kayu merupakan
komoditas yang paling beragam jenis industri pengolahan yang menggunakan ubi kayu
sebagai bahan baku industrinya. Hal ini mempunyai implikasi bahwa pengembangan
agroindustri di wilayah-wilayah sentra produksi ubi kayu mempunya keunggulan
kompetitif dari sisi kemudahan perolehan bahan baku dan efisiensi biaya pengangkutan.
Selain itu tentu saja diharapkan terjadinya peningkatan pendapatan petani dari nilai
tambah industri pengolahan, dan penciptaan lapangan kerja di wilayah pedesaan.
Apabila diversifikasi ragam jenis industri pengolahan dengan bahan baku ubi kayu ini
dapat dikembangkan, diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar petani ubi kayu
kepada industri karena adanya beberapa alternatif pilihan menjual hasil. Sudah
merupakan isu lama bahwa petani ubi kayu di wilayah sentra produksi (Lampung dan
Jawa Timur, misalnya) selalu dalam posisi yang lemah dalam menjual hasil ke industri
(pakan ternak). Hal yang sama juga dapat dilakukan untuk komoditas kedelai dan kacang
tanah, dimana masing-masing menempati urutan kedua dan ketiga (dari ketujuh jenis
9
komoditas tanaman pangan yang diamati) dilihat dari jumlah macam industri pengolahan
yang menggunakan komoditas tersebut sebagai bahan bakunya.
Untuk komoditas beras (padi), penggunaan oleh industri penggilingan padi dan
beras merupakan permintaan yang paling menonjol. Selanjutnya diikuti penggunaan oleh
industri makaroni, mie dan bihun, industri penggilingan dan pembersihan padi-padian
lainnya, industri tepung, dan industri malt dan minuman.
Penggunaan oleh industri penggilingan juga merupakan permintaan yang paling
besar untuk komoditas jagung, dimana dari waktu ke waktu juga menunjukkan adanya
peningkatan permintaan. Selain itu, permintaan yang juga mengalami peningkatan dari
waktu ke waktu untuk komoditas jagung adalah oleh industri roti dan kue kering, industri
mie, bihun dan macaroni, serta oleh industri berbagai macam kerupuk.
Permintaan oleh industri pengolahan untuk ubi jalar ternyata relatif kecil volume
maupun macam jenis industrinya serta terdapat fluktuasi permintaan. Pada tahun 1995
penggunaan ubi jalar oleh industri pelumatan buah-buahan dan sayuran serta industri
tepung cukup menonjol. Sementara itu, penggunaan ubi jalar oleh industri kecap
walaupun kontinyu pada periode tahun 1986-1997 namun volume permintaannya sangat
berfluktuasi.
Untuk ubi kayu, permintaan yang cukup besar adalah oleh industri pati ubi kayu
dan berbagai macam pati, industri makan sejenis kerupuk, dan industri makaroni, mie,
dan bihun. Pada periode 1986-1997 terjadi peningkatan penggunaan ubi kayu oleh
industri pengolahan makaroni, mie dan bihun yang sangat mengesankan. Namun pada
periode 1995-1997 mengalami penurunan. Pada tahun 1986 permintaan tersebut sekitar
18 ribu ton meningkat menjadi 1,4 juta ton pada tahun 1995 dan menjadi 36 ribu ton
pada tahun 1997. Sementara itu, permintaan ubi kayu oleh industri pati dan makanan
sejenis kerupuk walaupun cukup kontinyu namun volume permintaannya sangat
berfluktuasi dan pada periode 1995-1997 terjadi peningkatan permintaan yang signifikan.
Permintaan komoditas kacang tanah oleh industri pengolahan walaupun cukup
beragam namun fluktuasinya tinggi. Namun demikian terdapat kecenderungan
peningkatan permintaan oleh industri makanan dari kacang-kacangan, industri
pengolahan dan pengawetan daging, industri keripik/peyek serta industri kerupuk.
Untuk komoditas kedelai, permintaan oleh industri pengolahan tahu dan industri
kecap merupakan potensi pasar yang cukup besar, mantap, dan ada kecenderungan
peningkatan volume penggunaannya selama periode 1986-1997. Penggunaan kedelai
10
oleh industri pengolahan tahu pada tahun 1986 hanya sekitar 14 ribu ton meningkat
menjadi 41 ribu ton pada tahun 1995, dan 37 ribu ton pada tahun 1997. Sementara itu,
permintaan kedelai oleh industri kecap pada tahun 1986 sebesar 2.800 ton meningkat
menjadi 6.679 ton pada tahun 1997.
Seperti telah diungkap sebelumnya, permintaan gandum oleh industri pengolahan
tepung terigu menunjukkan volume peningkatan yang nyata. Pada tahun 1986
penggunaan gandum oleh industri tepung terigu sebesar 1,6 juta ton meningkat menjadi
3,6 juta ton pada tahun 1995, dan pada 1997 menurun menjadi 1,8 juta ton. Peningkatan
permintaan gandum (dalam hal ini dalam bentuk tepung terigu) yang juga cukup besar
adalah oleh industri roti dan kue kering serta industri pengolahan makaroni, mie, dan
bihun. Hasil penelitian Erwidodo dan Ariani (1997) menunjukkan bahwa kelompok
pendapatan menengah ke atas dan terutama di wilayah perkotaan terjadi pergeseran
pola konsumsi ke arah pangan yang siap saji. Dalam kaitan ini makanan seperti mie
instan, roti, dan kue-kue merupakan pilihan yang sesuai, padahal seperti diketahui
makanan tersebut dibuat dengan menggunakan bahan baku gandum (terigu). Dengan
demikian tidak mengherankan apabila permintaan terhadap gandum pada dekade
terakhir menunjukkan volume peningkatan yang pesat. Hal ini berimplikasi pada
pengurasan devisa untuk mengimpor gandum dari luar negeri. Pada kondisi ekonomi
yang mengalami krisis dan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang melemah, hal tersebut
sangat membebani neraca perdagangan nasional. Kondisi ini membuka peluang bagi
sector pertanian tanaman pangan untuk menggali dan mengembangkan komoditas lokal
yang dapat mensubstitusi (walaupun tidak sepenuhnya) kebutuhan gandum.
Pengembangan sorgum merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tepung sorgum dapat digunakan sebagai campuran
makanan pengganti tepung terigu juga sebagai sumber pakan ternak pengganti jagung
(Mudjisikono dan Damardjati, 1987; Mudjisikono, dkk, 1994; Siregar dan Togatorop,
1975).
Permintaan Bahan Baku Industri Pakan Ternak
Seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat selama dekade terakhir
(sebelum krisis ekonomi) terdapat kecenderungan peningkatan permintaan dan
konsumsi rumah tangga terhadap pangan sumber protein hewani (Erwidodo, et al.,1998).
Peningkatan konsumsi pangan hewani memacu pula peningkatan permintaan pakan
ternak dalam proses produksi budidaya ternak. Pada gilirannya peningkatan permintaan
11
pakan ternak oleh peternak akan mendorong permintaan komoditas tanaman pangan
sebagai salah satu bahan baku oleh industri pakan ternak. Dari ketujuh komoditas
pertanian tanaman pangan yang diamati, beras dan ubi jalar tidak memiliki permintaan
untuk input antara bagi industri pakan ternak selama periode 1986-1997.
Permintaan jagung oleh industri pakan ternak dari sisi volume menunjukkan
peningkatan yang pesat dimana pada tahun 1986 sekitar 300 ribu ton meningkat menjadi
hampir 2,2 juta ton pada tahun 1997 (Tabel 4). Demikian halnya permintaan untuk
kacang tanah dan kedelai, pada tahun 1986 permintaan masing-masing sebesar 13 ribu
ton dan 132 ribu ton meningkat menjadi 41 ribu ton dan 700 ribu ton pada tahun 1997.
Dari Tabel 4 juga terlihat bahwa penggunaan ubi kayu dan gandum oleh industri
pakan ternak mengalami perubahan, dimana dari tahun 1986-1990 penggunaan kedua
komoditas oleh industri pakan ternak mengalami peningkatan walaupun relatif kecil.
Namun untuk periode 1990-1995 permintaan gandum oleh industri pakan ternak
mengalami peningkatan yang cukup mengesankan yaitu sekitar 24 ribu ton pada tahun
1990 meningkat menjadi sekitar 73 ribu ton pada tahun 1995, namun pada periode 1995-
1997 menurun menjadi sekitar 41 ribu ton. Sedangkan untuk ubi kayu justru pada
periode 1990-1997 mengalami penurunan permintaan dari 623 ribu ton pada tahun 1990
menjadi 75 ribu ton pada tahun 1997.
Tabel 4. Perkembangan penggunaan berbagai komoditas pertanian tanaman pangan oleh industri pakan ternak skala sedang dan besar (ton)
Komoditas 1986 1990 1995 1997
Jagung
Ubi kayu
Kacang tanah
Kedelai
Gandum
301.373
414.395
12.536
131.518
23.790
404.756
623.111
30.243
111.354
23.824
1.526.347
133.933
52.582
263.853
73.407
2.181.993
75.139
41.269
700.433
41.443
Sumber: BPS Statistik Industri Besar dan Sedang.
Seperti halnya permintaan oleh industri pengolahan pangan, ternyata permintaan
gandum oleh industri pakan ternak mengalami lonjakan yang pesat terutama pada
periode 1990-1995, walaupun pada tahun 1997 menurun lagi. Sekali lagi hal ini
membuka peluang bagi pengembangan komoditas pertanian tanaman pangan lokal yang
dapat mensubstitusi gandum. Hal ini mengingat gandum merupakan bahan pangan yang
12
diimpor, dimana dalam kondisi perekonomian yang tidak menguntungkan akan sangat
memberatkan cadangan devisa negara.
Mencermati potensi permintaan berbagai komoditas tanaman pangan oleh
industri pakan ternak cukup potensial dan menunjukkan peningkatan yang cukup berarti,
maka pemenuhan permintaan tersebut perlu diimbangi dari sisi produksi. Program
“Gema Palagung” yang dilaksanakan Departemen Pertanian merupakan salah satu
jawaban untuk memenuhi tantangan tersebut (Deptan, 1998). Walaupun dari sisi
produksi telah terdapat program gerakan masal untuk meningkatkan produksi, namun
masalah pemberdayaan petani dalam hal manajemen produksi dan pemasaran hasil
juga perlu mendapat perhatian. Manajemen produksi yang dimaksud antara lain dalam
hal efisiensi pemupukan, partisipasi dan pemanfaatan fasilitas kemudahan kredit
usahatani dan pengaturan pola tanam. Sementara itu dari sisi pemasaran hasil,
pengorganisasian pemasaran hasil produksi secara kelompok patut dikembangkan
dalam kaitannya meningkatkan posisi tawar petani, efisiensi pengangkutan dan nilai
tambah.
PERMASALAHAN PERMINTAAN TANAMAN PANGAN
Permasalahan Konsumsi Pangan Rumah Tangga
Di antara berbagai faktor yang mempengaruhi konsumsi dan permintaan pangan
rumah tangga adalah faktor harga pangan dan tingkat pendapatan rumah tangga. Pada
kondisi faktor-faktor lainnya tetap, peningkatan harga-harga pangan akan menurunkan
permintaan terhadap jumlah konsumsi pangan. Mengingat pangan (terutama pangan
pokok, beras misalnya) merupakan kebutuhan untuk dapat bertahan hidup secara sehat
memerlukan suatu jumlah tertentu, apabila terjadi kenaikan harga-harga pangan padahal
dari sisi pendapatan dan daya belinya tidak mencukupi, maka penurunan konsumsi pada
awalnya akan beralih ke penurunan kualitas, pada tahap berikutnya apabila daya beli
makin tidak mencukupi akan menurunkan kuantitas pangan yang dikonsumsi.
Masa krisis ekonomi antara lain ditandai oleh meningkatnya harga-harga
termasuk harga pangan, sementara tingkat pendapatan nominal relatif tetap. Hal tersebut
mengakibatkan pendapatan riil atau daya beli rumah tangga terhadap komoditas yang
dikonsumsi mengalami penurunan. Sebagai gambaran meningkatnya harga-harga
secara umum yang digambarkan oleh laju inflasi dapat disimak data pada Tabel 5.
13
Terlihat bahwa selama 1990-1996 Indonesia mampu mempertahankan laju inflasi di
bawah 10 persen, mulai tahun 1997 sudah melebihi 11 persen, bahkan pada tahun 1998
tingkat inflasi di Indonesia sudah lebih dari 70 persen. Seperti diketahui bersama krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia dimulai sekitar bulan September 1997 yang diawali
oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Tabel 5. Laju inflasi di Indonesia tahun 1990-1999.
Tahun Inflasi (%)
199019911992199319941995199619971998
1999 (s/d Sept)
9,539,524,949,779,248,646,47
11,0570,380,02
Sumber: Bulog, Laporan Ka. Bulog pada Raker Bidang Ekuin. (berbagai terbitan)
Apabila ditelaah lebih lanjut tingginya laju inflasi pada tahun 1998, ternyata
secara kumulatif laju inflasi khusus untuk bahan makanan menempati porsi tertinggi,
diikuti oleh sandang. Besarnya laju inflasi bahan makanan selama tahun 1998 mencapai
lebih dari 100 persen (Tabel 6).
Peningkatan harga secara nyata juga terlihat pada berbagai komoditas tanaman
pangan yang diamati. Perkembangan harga rata-rata bulanan untuk enam jenis
komoditas tanaman pangan selama empat tahun terakhir dapat disimak pada Tabel 7.
Nampak bahwa untuk semua komoditas kenaikan harga rata-rata setiap bulan selama
tahun 1996-1997 relatif kecil. Mulai Januari 1998 kenaikan harga-harga komoditas
pertanian tanaman pangan menunjukkan peningkatan yang sangat tajam. Peningkatan
harga-harga komoditas pertanian tanaman pangan di satu sisi menguntungkan petani
dari sisi meningkatkan penerimaan tani. Hal ini mengingat petani tanaman pangan (padi
khususnya), selain sebagai produsen petani juga bertindak sebagai konsumen. Di
samping itu, walaupun penerimaan usahatani meningkat, namun pengeluaran (biaya)
usahatani juga mengalami peningkatan karena naiknya harga-harga sarana produksi.
14
Dengan demikian, walaupun keuntungan usahatani meningkat, namun secara relatif
dibandingkan sebelum masa krisis ekonomi kesejahteraan petani masih perlu dicermati
lebih lanjut.
Tabel 6. Laju inflasi bulanan di Indonesia tahun 1998
Bulan UmumBahan
makanan
Mkn. jd, min,rokk, tembakau
Peruma-han Sandang
Keseha-tan
Pend,rekre
o.raga
Trans+ komuni
kasiJanuari
PebruariMaretAprilMeiJuniJuli
AgustusSept.
OktoberNop.Des.
7,1712,665,274,705,244,658,566,303,75
-0,270,081,42
10,5518,415,655,913,907,07
12,169,108,61
-1,85-0,182,94
5,1415,957,157,684,005,429,588,702,960,610,691,41
5,528,344,322,294,141,595,584,481,570,920,480,58
15,1214,0111,204,344,53
10,9512,262,96
-0,23-1,89-2,251,72
8,7919,934,635,292,402,338,406,213,282,001,020,87
3,728,312,281,501,421,556,826,471,240,41
-0,30-0,31
5,855,811,594,94
17,252,073,452,742,100,26
-0,080,14
Jan-Des 70,38 101,36 83,37 44,28 98,56 76,64 35,80 52,98Sumber : Bulog, Laporan Ka. Bulog pada Raker Bidang Ekuin.Catatan : Mulai bulan April ’98 perhitungan inflasi dari 27 kota menjadi 44 kota
Dari apa yang telah diuraikan di atas permasalahan konsumsi rumah tangga di
masa krisis yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut adalah pada kondisi harga
pangan yang meningkat, tingkat pendapatan relatif tetap, yang berarti daya beli rumah
tangga menurun, akan berdampak pada menurunnya konsumsi pangan rumah tangga
baik dari sisi kualitas atau kuantitas. Menurunnya kualitas/kuantitas konsumsi rumah
tangga akan mempengaruhi bahkan menurunkan status gizi dan kesehatan rumah
tangga (terutama pada kelompok penduduk rawan gizi yaitu balita, ibu hamil dan
menyusui) dalam jangka panjang akan menurunkan kualitas sumberdaya manusia.
Penelitian Syarief (1997) menunjukkan bahwa gizi merupakan zat kehidupan yang
sangat esensial bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia sepanjang hayatnya.
Tanpa gizi yang memadai tidak mungkin terwujud sumberdaya manusia yang sehat, aktif
dan produktif.
Permasalahan Pangan untuk Bahan Baku Industri Pakan
Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa pada periode 1986-1997 secara
keseluruhan terjadi peningkatan permintaan berbagai komoditas pertanian tanaman
pangan. Studi yang dilakukan Saptana et al., (1998) menunjukkan adanya penurunan
15
kapasitas produksi dari industri pakan ternak sekitar 30 persen dibanding produksi
sebelum terjadi krisis ekonomi. Beberapa penyebab terjadinya penurunan kapasitas
produksi pakan ternak antara lain karena sebagian besar bahan baku pakan ternak
terkandung komponen impor yang cukup tinggi. Pada kondisi nilai tukar rupiah yang
melemah pada krisis ekonomi hal tersebut sangat membebani industri pakan ternak.
Penurunan kapasitas produksi pakan ternak akan berdampak pada penurunan
permintaan berbagai komoditas pertanian tanaman pangan sebagai bahan baku industri
pakan.
Apabila ditelaah lebih lanjut, komponen impor yang relatif tinggi untuk bahan baku
pakan ternak adalah untuk bungkil kedelai. Pada kondisi nilai tukar rupiah yang lemah
terhadap dolar, impor bahan baku tersebut akan memberatkan industri pakan, di
samping itu secara makro juga akan membebani cadangan devisa nasional. Hal tersebut
merupakan peluang sektor pertanian menangkap potensi pasar untuk mengembangkan
kedelai dan industri minyak kedelai yang menghasilkan produk ikutan bungkil kedelai.
Sebagai gambaran akibat adanya krisis ekonomi terhadap industri pakan ternak,
Tabel 8 menunjukkan perkembangan harga pakan ternak (unggas) selama 1994-1998.
Terlihat bahwa laju peningkatan harga pakan ternak selama periode tersebut berkisar
antara 21-43 persen per tahun. Peningkatan harga pakan ternak akan berdampak pada
menurunnya kinerja industri peternakan (perunggasan khususnya) secara nasional. Hasil
kajian Saptana dkk (1998) memperkirakan akibat adanya krisis ekonomi menurunkan
jumlah peternak skala kecil antara 75-95 persen dibanding sebelum kondisi krisis
ekonomi. Dengan gambaran seperti itu akibat adanya krisis ekonomi praktis menggulung
seluruh peternak (unggas) skala kecil, dan yang dapat bertahan hanya peternak skala
besar.
16
Tabel 7. Perkembangan harga komoditas tanaman panganHarga bulanan (Rp/kg)Komoditi
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des1. Beras 1996
199719981999
2. Tepung terigu 1996199719981999
3. Jagung pipilan 1996199719981999
4. Ketela pohon 1996(ubi kayu) 1997
19981999
5. Kedelai 1996199719981999
6. Kacang tanah 1996199719981999
858965
12902802
879959
10863203
536681910
1481
305314386905
1263141118884098
2384262944778060
860973
14392758
890972
11643114
544675
10041445
304316433906
1265143121713931
2423267453407831
856101314752768
880966
11153022
547670958
1410
305321474907
1282145323293818
2331263953387551
851101715332735
888980
16252982
561669925
1410
305322542899
1282147025703697
2289262956127338
850102216212793
894100018172850
578670977
1478
306326615880
1304147226333606
2284259860657169
855103319882787
896994
19352792
506675
10691497
308325675859
1315148528123398
2285257964756666
868104722022708
907988
29492749
624672
13011552
309325725838
1318148528123398
2342253267986308
913106325292626
917993
36762667
685676
14341524
305333766813
1332147432913149
2394253372366130
910108030102570
923100937532628
693709
15521487
313339857773
1382147639613081
2455264377865911
905120726122507
927101834962556
685750
15321507
347353850753
1378170742043104
2459264377865911
915120726122507
927101834962556
685750
15321507
347353850753
1378154942113069
2459282178205987
918121527732811
931101533702540
681794
14941519
313365907755
1392166741863114
2550317879366553
Sumber: Bulog. Laporan Ka. Bulog pada Raker Bidang Ekuin 3 Agustus 1998
17
Tabel 8. Perkembangan harga pakan ternak unggas di tingkat peternak, tahun 1994-1997(Rp/kg)
Jenis pakan 19941) 19951) 19961) 19971) 19982) Trend (%/th)
Jagung pipil
Dedak/bekatulPakan starter petelur
Pakan grower petelur
Pakan layer petelur
Pakan starter boiler
Pakan finisher boiler
434
222
694
609
624
691
686
324
278
822
708
773
765
825
639
310
875
806
816
929
912
624
329
932
870
877
998
964
2.000
550
3.325
3.150
2.625
3.300
3.300
40,45
20,93
41,57
42,68
35,92
40,08
40,13
Sumber: 1) Dari Monitoring Pasar, Ditjen Peternakan, 1994-1997/98 2) Dinas Peternakan Propinsi Dati I Jawa Barat per Agustus 1998
(dikutip dari Saptana dkk, 1998)
KESIMPULAN DAN SARAN
Secara umum permintaan berbagai komoditas tanaman pangan sebagian
besar merupakan permintaan untuk konsumsi rumah tangga, kecuali kedelai,
proporsi permintaan untuk bahan baku lebih dominan. Namun demikian pada
periode 1990-1993 terdapat kecenderungan adanya peningkatan proporsi
permintaan untuk bahan baku industri untuk komoditas beras, jagung, ubi kayu,
kacang tanah, dan kedelai. Demikian pula halnya dengan volume permintaan
komoditas tersebut oleh industri pengolahan pangan dan industri pakan ternak
selama periode 1986-1997 menunjukkan adanya peningkatan. Fenomena tersebut
menunjukkan adanya potensi pasar domestik yang perlu ditangkap oleh pelaku
usaha pertanian untuk meningkatkan produksi sesuai dengan permintaan.
Peningkatan produksi tanaman pangan dapat dilakukan dengan intensifikasi pada
lahan-lahan yang telah diusahakan dibarengi dengan pemanfaatan lahan potensial
yang belum didayagunakan secara optimal.
Pada periode 1986-1997 terjadi peningkatan yang signifikan pada permintaan
gandum oleh industri pengolahan tepung terigu. Mengingat gandum merupakan
produk impor, permintaan gandum dalam negeri yang meningkat berimplikasi pada
pengurasan devisa negara dimana pada kondisi perekonomian yang tidak
menguntungkan akan membebani neraca perdagangan nasional. Kondisi tersebut
merupakan peluang dan tantangan bagi sektor tanaman pangan untuk menggali dan
mengembangkan komoditas lokal yang dapat mensubstitusi kebutuhan gandum,
dalam hal ini pengembangan komoditas sorgum merupakan salah satu alternatif.
Adanya krisis ekonomi yang antara lain berdampak pada meningkatnya
harga-harga komoditas tanaman pangan di satu sisi menguntungkan petani
18
produsen, namun mengingat di samping sebagai produsen para petani juga sebagai
konsumen produk pangan lainnya dikhawatirkan berdampak pada menurunnya
konsumsi rumah tangga baik dari kuantitas maupun kualitas. Gejala ini apabila
terjadi dalam jangka panjang akan berakibat menurunnya status gizi/kesehatan dan
kualitas sumberdaya manusia. Untuk itu kebijakan yang bertujuan melindungi
kelompok masyarakat khususnya yang berpendapatan rendah perlu dilakukan.
Bantuan berupa jaminan kesehatan, pangan murah khusus bagi kelompok yang
membutuhkan, serta peningkatan keterampilan dan penciptaan lapangan kerja bagi
mereka merupakan beberapa kegiatan yang perlu diprogramkan.
Permintaan komoditas tanaman pangan untuk industri pakan ternak juga
masih terbuka. Hal ini mengingat bungkil kedelai merupakan komponen industri
pakan yang sebagian besar dipenuhi dari impor. Oleh karena itu, pengembangan
usahatani kedelai dan industri minyak kedelai yang menghasilkan produk ikatan
bungkil kedelai merupakan peluang dan potensi pasar dalam negeri yang patut
dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M; H.P. Saliem; S.H. Suhartini; Wahida; H. Supriadi. 2000. Analisis Kebijaksanaan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berpendapatan Rendah di Pedesaan. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Departemen Pertanian. 1998. Arah Pembangunan Pertanian Dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar Penyusunan Sasaran Pembangunan Pangan dan Gizi Tahunan Tahun 1999-2004. Jakarta, 8 Oktober. Kantor MenPangan & Hortikultura bekerjasama dengan PSKPG-LPIPB.
Erwidodo, B. Santoso, M. Ariani, V. Siagian dan E. Eriningsih. 1998. Perubahan Pola Konsumsi Sumber Protein Hewani di Indonesia: Analisis Data Susenas. Laporan Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
_________ dan M. Ariani. 1997. Penawaran, Permintaan dan Konsumsi Serelia di Indonesia: Beras, Jagung dan Gandum. Makalah Pra Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Permintaan, Penawaran dan Konsumsi Pangan Nabati. Jakarta, 22-23 Juli.
Mudjisikono, R dan D.S. Damardjati. 1987. Prospek Kegunaan Sorgum Sebagai Sumber Pangan dan Pakan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. VI No 7 (hal 1-5). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
__________, Sutrisno, dan Setyono. 1994. Status Perkembangan Komoditas Sorgum Sebagai Sumber Pangan, Pakan dan Industri di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. XIII No. 3 (hal 70-77). Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Ratnawati, A. 1998. Agroindustri, Sektor Andalan Dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Bahan Diskusi Pakar. Diselenggarakan oleh PERHEPI, Bogor, 14 Maret.
Saptana, E. Basuno, dan Erwidodo.1998. Analisis Kebijakan Situasi dan Prospek Industri Perunggasan di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
19
Siregar, A. P dan M.H. Togatorop. 1975. Pengaruh Penggantian Jagung Kuning dengan Sorgum Terhadap Pertumbuhan Kutuk dari Lima Jenis Ayam Ras. Buletin LPP, No. 13: 42-47.
Syarif, Hidayat. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas (Suatu Telaah Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga). Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.
20
Tabel Lampiran 1. Penggunaan beras oleh industri pengolahan ukuran sedang dan besar (ton)
Jenis Industri 1986 1990 1995 1997
Susu dan makanan dari susu
Pelumatan buah-buahan dan sayuran
Penggilingan padi dan beras
Penggilingan dan pembersihan padi-padian lainnya
Tepung dari padi-padian
Makaroni, mie, bihun, soun dsb.
Roti/kue-kue basah
Pati ubi kayu
Keripik/peyek
Kerupuk dan sejenis kerupuk
Kecap
Malt dan minuman
115
-
483.354
6.637
-
10.122
226
157
10
506
65
1.440
3.452
125
610.963
3.042
8.728
30.602
1.960
285
35
397
472
2.468
4,5
-
680.141
5.455
19.940
90
72,2
-
75,4
197,6
-
4.304
1.937
-
1.531.725
5.701
3.168
18.430
754.062
98
72.550
170.932
-
2.873
Sumber: BPS. Statistik Industri Besar dan Sedang
Tabel Lampiran 2. Penggunaan jagung oleh industri pengolahan ukuran sedang dan besar(ton)
Jenis industri 1986 1990 1995 1997
Penggilingan
Tepung
Mie, bihun, makaroni
Roti dan kue kering
Makanan lain
Pengolahan kopi
Berbagai macam kerupuk
Makanan ternak
Malt dan minuman
6.258
1.339
1.099
2.276
-
-
263
301.373
1.268
104.753
14.810
2.962
2.406
459
5.483
438
404.756
2.502
186.685
6.396
4.320
9.685
685
5.700
1.251
1.526.347
167
84.421
3.886
19
5.986
55
13.962
661
2.181.993
25
Sumber: BPS. Statistik Industri Besar dan Sedang
Tabel Lampiran 3. Penggunaan ubi jalar *) oleh industri pengolahan ukuran sedang dan besar (ton)
Jenis Industri 1986 1990 1995 1997
Pelumatan buah-buahan dan sayuran
Tepung
Sirop
Pengolahan kopi
Kecap
Kerupuk
Makanan lainnya
-
-
29
-
720
-
-
-
-
15
405
1.903
238
-
7.395
1.300
-
-
48
-
122
3.061
8.792
-
23
191
708
718
Sumber: BPS. Statistik Industri Besar dan Sedang
21
Tabel Lampiran 4. Penggunaan ubi kayu *) oleh industri pengolahan ukuran sedang dan besar (ton)
Jenis industri 1986 1990 1995 1997
Es krim
Pelumatan buah-buahan dan sayuran
Pengalengan ikan
Pengolahan ikan
Penggilingan padi dan penyosohan beras
Pengupasan dan pembersihan biji-bijian
Pengupasan dan pembersihan umbi-umbian
Tepung & padi-padian
Makaroni, mie, bihun
Roti, kue, biskuit
Coklat
Pati ubi kayu
Berbagai macam pati
Kecap
Keripik/peyek
Makanan sejenis kerupuk
Bumbu masak/penyedap masakan
Makanan lainnya
Konsentrat makanan ternak
Makanan ternak
13
-
-
-
22.982
-
-
-
18.120
2.984
1.845
951.674
-
307
919
27.972
265
-
15.849
398.546
7
126
-
-
73.820
28.338
-
278
40.395
-
-
818.411
144.796
176
9
39.952
-
-
1.775
621.336
44
996
205
4.349
-
28.496
29.892
37,44
1.451.290
-
-
143.790
307,5
-
315,4
3.804
-
186
-
133.933
31
4.625
5
-
5.018
-
-
126.275
36.154
13.508
16.018
2.431.664
923
64
113
61.019
17.813
33.545
11.238
63.901
Sumber : BPS. Statistik Industri Besar dan Sedang*) termasuk tepung tapioka dan gaplek
Tabel Lampiran 5. Penggunaan kacang tanah oleh industri pengolahan ukuran sedang dan besar (ton)
Jenis industri 1986 1990 1995 1997
Pengolahan dan pengawetan dagingEs krimPelumatan buah-buahan dan sayuranMinyak dari tumbuh-tumbuhanPenggilingan padiPengupasan & pembersihan biji-bijianPengupasan dan pembersihan kacang-kacanganRoti, kue, biskuitCoklatKripik/peyekMakanan lainnya dari kacang-kacanganKerupukRansum makanan ternakKonsentrat makanan ternakMakanan lainnyaMakanan coklat & kembang gula
-3-
224357
--
9541
---
5812.478
1.774-
5994
15---
194--
2825.646
727.5373.066
2047
148,2227
15-
1.034306814
--
12128.207
49,938.88913.693
--
1101,2
--
5922,5
77854,8
-182
37.66712,2
37.1154.154
--
Sumber: BPS. Statistik Industri Besar dan Sedang
22
Tabel Lampiran 6. Penggunaan kedelai *) oleh industri pengolahan ukuran sedang dan besar (ton)
Jenis Industri 1986 1990 1995 1997
Pengolahan dan pengawetan daging
Pengalengan ikan
Minyak goreng
Penggilingan
Roti, kue, biskuit
Coklat dan kembang gula
Makanan dari coklat
Kecap
Tauco
Tahu
Keripik/peyek
Kerupuk
Bumbu masak
Ransum makanan ternak
Konsentrat makanan ternak
Makanan lainnya
Minuman ringan
54
-
-
29
125
56
-
2.823
-
13.857
-
-
131
131.518
-
130
35
-
11
-
-
-
-
56,7
3.459
203
22.389
15
-
-
109.940
1.414
5
97
-
-
190
-
-
-
26,8
3.621
-
41.425
98
72,8
-
247.696
16.157
-
-
-
-
-
-
18,2
-
-
6.679
-
37.054
65,8
1.5
-
630.173
70.260
-
48,9
Sumber: BPS. Statistik Industri Besar dan Sedang*) termasuk bungkil kedelai dan tepung kedelai
Tabel Lampiran 7. Penggunaan gandum *) oleh industri pengolahan ukuran sedang dan besar (ton)
Jenis industri 1986 1990 1995 1997
Pengolahan dan pengawetan dagingPengolahan susuEs krimPelumatan buah-buahan dan sayuranPembekuan ikanTepung teriguMakaroni, mie, bihunRoti dan kue keringSiropMakanan dan coklatKecapKeripik/peyekMakanan lain dari kacang-kacanganKerupukIndustri kue-kue basahTauco/industri makanan lainnyaMakanan ternakKonsentrat makanan ternak
2711.359
9--
1.625.06634.74946.368
-16
281-
1571.918
-9
23.790-
----
261.714.339
6.092108.561
-3.300
15719
32.4423.238
---
23.824
---
336-
3.607.917-
1.053---------
73.407
258,5106
-83
-1.840.598
-170.884
4.106-
785,951
51911.200
1.41918.33339.943
1.500Sumber: BPS. Statistik Industri Besar dan Sedang*) termasuk tepung terigu
top related