gambaran pasien dermatitis atopi anak umur 0-7 tahun … · 2015. 7. 24. · gambaran pasien...
Post on 23-Aug-2021
2 Views
Preview:
TRANSCRIPT
GAMBARAN PASIEN DERMATITIS ATOPI ANAK
UMUR 0-7 TAHUN DI RSUP FATMAWATI
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
Memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
Oleh
Bentito Zulyan Pamungkas
NIM: 1111103000068
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
ii
iii
iv
Kata Pengantar
Pertama-tama, penulis ucapkan puji dan syukur kepada ALLAH SWT karena
atas rahmat dan keajaibanNYA, penulis dapat menyelesaikan naskah skripsi yang
berjudul “Gambaran Pasien Dermatitis Atopi Anak Umur 0-7 Tahun di RSUP
Fatmawati”. Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis telah mendapatkan
dukungan dan bimbingan dari pelbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap:
1. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp.And, dr. HM. Djauhari Widjajakusumah
,AIF.,PFK, Dr. H. Arief Sumantri, SKM, M.Kes, dan Dr. Delina Hasan, M.Kes,
Apt selaku Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr.Witri Ardini, M.Gizi, Sp.GK selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter.
3. dr. Riva Auda, SpA, M. Kes, dan dr. Debbie Latupeirissa, SpA (K) selaku dosen
pembimbing yang telah merelakan waktu, tenaga, serta pikirannya untuk
membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. dr. Flori Ratnasari, Phd, selaku penanggung jawab modul riset yang senantiasa
mengingatkan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penelitian ini.
5. drg. Danik, selaku staf Diklit RSUP Fatmawati yang dengan sabar telah
memberikan kemudahan dan informasi bagi penulis
6. dr. Dewi, SpKK, selaku ketua komisi etik RSUP Fatmawati.
7. Ibu Dian dan Bapak Kholil, selaku staf IRMIK RSUP Fatmawati yang senantiasa
dengan sabar membantu mencarikan rekam medis pasien.
8. Ibu dan ayah saya, Ety Maftiyanti Noor dan DR. Ir. Sugiarto Soemario, M.Sc.
Yang dengan segala dukungan dan sumber dayanya dalam segala aspek
menjadikan peneliti dapat dengan tenang menjalankan penelitian ini.
9. Kakak-kakak perempuan saya, Tyagita Meyril Ramadhani, S.Si. dan Giafin
Bibsy Rahmaulita, S.T. yang dengan segala dukungan dan ilmu serta
pengalamannya dalam skripsi telah memberikan masukan bagi penulis.
v
10. Om, Tante, dan segenap keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungna
moril dan semangat.
11. Indra Nurakhir Raharja, Ahmad Riza Faisal Herze, dan Diana Nurmalasari,
selaku teman satu kelompok riset saya, yang telah berjuang bersama dan saling
mengingatkan demi kelancaran penelitian ini.
12. Teman-teman satu kontrakan saya, Akbar Sepadan, Andika Prasdipta Hidayat,
Apriangga Sastriawan, Faizal Rachmadi, Indra Fauzi, Seflan Syahir Ahliadi, dan
Yoga Eka Prayuda yang telah menciptakan suatu suasana kondusif bagi
pengerjaan dan penulisan skripsi.
13. Teman-teman angkatan 2011 yang telah saling mengingatkan satu sama lain
demi cepat selesainya skripsi.
14. Dan semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik
secara langsung maupun secara tidak langsung.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, begitu pula dengan skripsi ini, penulis
bersedia menerima kritik dan saran demi penyempurnaan hasil penulisan penelitian
ini.
Ciputat, September 2014
Bentito Zulyan Pamungkas
vi
Abstrak
Bentito Zulyan Pamungkas. Program Studi Pendidikan Dokter. Gambaran
Pasien Dermatitis Atopi Anak Umur 0-7 Tahun di RSUP Fatmawati
Prevalensi penyakit atopi diketahui meningkat signifikan setelah Strachan
mengemukakan hasil studinya yang akhirnya mengemukakan sebuah teori, yaitu
hygiene hypothesis. Diperkirakan angka kejadian dermatitis atopi di masyarakat
sekitar 1-2% dan meningkat 5-10% pada 20-30 tahun terakhir. Telah lama diketahui
beberapa gen yang berperan dalam terbentuknya penyakit alergi, namun, studi
beberapa tahun berakhir lebih banyak mengemukakan interaksi antara lingkungan
dengan kejadian alergi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran risiko
terjadinya dermatitis atopi pada anak di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode cross sectional.
Populasi penelitian ini adalah semua pasien anak yang terdiagnosis dermatitis atopi,
dengan atau tanpa riwayat penyakit lainnya di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
yang lahir antara tahun 2004-2014. Pengambilan sampel dilakukan dengan
consecutive sampling dengan sampel 100 anak didiagnosis dermatitis atopi.
Hasil penelitian menunjukkan 54 anak (54%) berjenis kelamin laki-laki, 46
anak (46%) berjenis kelamin perempuan, hanya 20 anak (20%) memiliki riwayat
orang tua alergi, 80 anak (80%) tidak memiliki riwayat orang tua alergi, 24 anak
(24%) sudah divaksinasi BCG, 76 anak (76%) belum divaksinasi BCG, 94 anak
(94%) memiliki status gizi buruk, kurang, dan baik, 6 anak (6%) dengan status gizi
overweight dan obesitas, 35 anak (35%) berusia 0-1 tahun, 13 anak (13%) usia 1-2
tahun, 12 anak (12%) berusia 2-3 tahun, 14 anak (14%) berusia 3-4 tahun, 9 anak
(9%) berusia 4-5 tahun, 11 anak (11%) berusia 5-6 tahun, dan 6 anak (6%) berusia 6-
7 tahun.
Kata kunci: alergi, atopi, hygiene hypothesis, genetik, BCG, jenis kelamin, status gizi,
usia.
vii
Abstract
Bentito Zulyan Pamungkas. Medical Study Department. Atopic Dermatitis
Depiction on 0-7 Years Old Patient in Fatmawati Teaching Hospital
The prevalence of atopic disease were known showing higher significantly
since Strachan presenting his study where he concluded a new theory on allergy,
called Hygiene Hypothesis. It believed that prevalence of atopic dermatitis 1-2% and
increased to 5-10% for last 20-30 years. For long time, it was believed that some gen
responsible for developing allergy disease, but recently, there was more study on
interaction between allergy and environment. The purpose of this study is for observe
depiction on children with atopic dermatitis in Fatmawati Teaching Hospital.
This descriptive study using cross sectional method. The population on this
studi was all children who diagnosed with atopic dermatitis with or without other
diagnoses in Fatmawati Teaching Hospital who were born between 2004-2014.
Sample obtained using consecutive method sampling with 100 child with atopic
dermatitis.
The result showed that 54 children (54%) were male, 46 children (46%)
female, 20 children (20%) with parental genetic risk for allergies, 80 children (80%)
without parental genetic risk, 24 children (24%) vaccinated BCG, 76 children (76%)
unvaccinated, 94 children (94%) child with low risk nutritional status, 6 children
(6%) with high risk nutritional status, 35 children (35%) aged between 0-1 years old,
13 children (13%) aged between 1-2 years old, 12 children (12%) aged between 2-3
years old, 14 children (14%) aged between 3-4 years old, 9 children (9%) aged
between 4-5 years old, and 6 children (6%) aged between 5-6 years old
Keyword: allergy, atopy, hygiene hypothesis, genetic, BCG, sex, nutritional status,
age
viii
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan………………………………………..……..……..……......... i
Lembar Persetujuan……..……..……..……..……..……..……..……..………... ii
Lembar Pengesahan……..……..……..……..……..……..……..……..………... iii
Kata Pengantar……..……..……..……..……..……..……..……..……..…….… iv
Abstrak……..……..……..……..……..……..……..……..……..……..……..…...... vi
Daftar Isi…………………………………………………………………………. viii
Daftar Gambar……………………………………………………………..…….... x
Daftar Tabel………………………………………………………………………. xi
Daftar Lampiran……………………………………………………………………. xii
Daftar Singkatan……………………………………………………………………. xiii
Bab I PENDAHULUAN……………………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang…………………………..................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah………………………...................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………………… 3
1.3.1 Tujuan Umum………………………………………..……………………… 3
1.3.2 Tujuan Khusus……………………………………………………………….. 3
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………….…………………………. 3
Bab II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………. 4
2.1 Tinjauan Pustaka…………………………………………………………………. 4
2.1.1 Definisi dan Konsep Dasar Alergi………………………………………...... 4
2.1.2 Definisi Dermatitis Atopi………………………………………………….. 5
2.1.3 Gen yang Berpengaruh pada Dermatitis Atopi………………………………. 6
2.1.4 Kriteria Diagnostik Dermatitis Atopi…………………………………………. 6
2.1.5 Gen Lain yang Berpengaruh pada Atopi……………………………………… 7
2.1.6 Faktor Risiko Alergi…………………………………………………………. 8
2.1.7 Hygiene Hypothesis, Alergi, dan Revolusi Industri di Britania Raya………. 8
2.1.8 Faktor Risiko yang Mempengaruhi Dermatitis Atopi……………………….. 10
2.1.9 Dermatitis Atopi dan Tidak Vaksinasi BCG…………………………………. 11
2.1.10 Dermatitis Atopi dan Obesitas…………………………………………… 12
2.1.11 Dermatitis Atopi dan Usia………………………………………………… 12
2.1.12 Dermatitis Atopi dan Jenis Kelamin………………………………………… 13
2.2 Kerangka Teori………………………………………………………………. 13
2.3 Definisi Operasional…………………………………………………………. 14
Bab III METODOLOGI PENELITIAN……………………………………….. 15
3.1 Desain Penelitian……………………………………………………………… 15
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian…………………………………………………. 15
3.3 Populasi Penelitian………………………………….………………………… 15
3.4 Sampel dan Cara Pemilihan Sampel………………………….………………. 15
3.5 Kriteria Inklusi…………………………………………………………………. 16
3.6 Kriteria Eksklusi…………………………………………………………………. 16
3.7 Identifikasi Variabel…………………………….……………………………. 16
3.8 Cara Kerja Penelitian……………………………………………………..…… 16
3.9 Etika Penelitian………………………………………………………………. 16
ix
3.10 Kerangka Konsep………………………………………………………............ 17
3.11 Jadwal Penelitian……………………………………………………………….. 17
3.12 Alur Penelitian…………………………………………………………………… 18
Bab IV Hasil dan Pembahasan…………………………………………………………. 19
4.1 Prevalensi Dermatitis Atopi Anak Umur 0-7 Tahun di RSUP Fatmawati………….. 19
4.2 Pembahasan………………………………………………………………………….. 20
4.6 Keterbatasan Penelitian……………………………………………………………………. 22
Bab V KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………… 23
5.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………………… 23
5.2 Saran………………………………………………………………………………………… 23
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………. 24
LAMPIRAN………………………………………………………………………………………… 26
x
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Frekuensi penyakit alergi………………………………………………... 5
Gambar 2 Penjelasan singkat Old Friends Hypothesis Graham Rook…………………… 10
xi
DAFTAR TABEL Tabel 1 Faktor risiko atopi pada anak dan hubungannya dengan orang tua………….. 7
Tabel 4.1 Prevalensi dermatitis atopi RSUP Fatmawati…………………………………… 19
Tabel 4.2 Sebaran usia pasien dermatitis atopi di RSUP Fatmawati…………………. 20
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian dari RSUP Fatmawati…..……………………….…………………… 26
Lampiran 2 Surat Etik dari RSUP Fatmawati…………….……………………………… 28
xiii
Daftar Singkatan
AB : Asma Bronkial
BCG : Bacil Calmette Guerin
DA : Dermatitis Atopi
IgE : Imunoglobulin E
RA : Rinitis Alergi
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
Th1 : T Helper 1
Th2 : T Helper 2
T-reg : T regulasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Alergi adalah suatu keadaan hipersensitif yang didapat melalui pajanan
terhadap alergen tertentu, dan pajanan ulang menimbulkan manifestasi akibat
kemampuan bereaksi yang berlebihan.1 Bentuk dari reaksi alergi ini dapat bermacam-
macam, seperti gatal pada kulit, asma, bahkan, pada tingkat yang paling parah, dapat
menjadi syok anafilaktik. Alergi dapat diterapi dengan beberapa preparat, paling
utama adalah dengan steroid. Namun, karena efek jangka panjang steroid yang
membahayakan, dipertimbangkan penggunaan terapi farmakologik lainnya seperti
antihistamin.2
Diperkirakan angka kejadian dermatitis atopi di masyarakat adalah sekitar
satu sampai dua persen. Kasus di Bristol pada anak <5 tahun sebesar 3,1% dan
meningkat 5-10% pada dua puluh sampai tiga puluh tahun terakhir.3 Salah satu yang
diperkirakan mempengaruhinya adalah hygiene hypothesis. Hygiene hypothesis,
secara sederhana, dapat dikatakan sebagai salah satu pencetus alergi dan autoimun,
seperti penyakit asma, hay fever, multiple sklerosis, bahkan diabetes mellitus tipe 1.
Hygiene hypothesis berpendapat bahwa seorang anak yang tinggal di perkotaan
memiliki peluang lebih tinggi untuk terkena asma dibandingkan dengan mereka yang
tinggal di daerah pedesaan.3 Hal ini dicurigai karena kebiasaan anak-anak di
perkotaan lebih sering di dalam rumah dan jarang keluar rumah, sehingga jarang
terpapar endotoksin, yang pada akhirnya akan terjadi ketidakseimbangan imunitas,
menyebabkan dominasi Th1 dibanding Th2. Pada akhirnya, anak perkotaan akan
lebih rentan menderita penyakit alergi dan autoimun. .
2
Pemikiran awal dari hygiene hypothesis dicetuskan oleh Strachan.4 Strachan
pada tahun 1989 mengemukakan bahwa rendahnya insidensi infeksi pada masa awal
kanak-kanak dapat menjadi penjelasan mengenai banyaknya insidensi penyakit alergi
seperti asma dan hay fever pada abad 20 ini di negara barat dan baru-baru ini di
negara berkembang.4,5
Pemikiran Strachan diperkuat oleh Graham Rook pada tahun
2003 yang mengemukakan old friends hypothesis yang mana merupakan penjelasan
lebih rasional terhadap hubungan antara paparan mikroba dan kelainan inflamasi.6
Telah lama dipercaya bahwa penyakit alergi dipengaruhi oleh berbagai hal,
diantaranya faktor genetik.7 Namun, beberapa tahun terakhir, studi yang membahas
hubungan kejadian alergi terhadap faktor lingkungan. Salah satu yang sering dibahas
adalah pengaruh riwayat vaksinasi BCG. Pada banyak studi, disimpulkan bahwa
terdapat penurunan yang bermakna pada anak yang divaksin BCG.7 Usia juga
merupakan salah satu yang berpengaruh terhadap kejadian atopi.2 Status gizi juga
salah satu variabel yang seing diteliti dan pada studi yang dilakukan Elden, 2008,
menunjukkan hasil korelasi yang positif antara obesitas dan kejadian atopi. Studi
tersebut juga menemukan hubungan antara jenis kelamin perempuan dan kejadian
atopi walaupun korelasinya lemah.8 Penelitian dan data mengenai dermatitis atopi di
Indonesia masih sedikit jumlahnya, sedangkan prevalensi penyakit-penyakit atopi di
seluruh dunia diketahui meningkat jumlahnya pada akhir dekade 2 dan 3 ini.2,4,5
Juga,
penyakit atopi masih menjadi perdebatan dan banyak teori yang berhubungan dengan
dermatitis atopi, bermakna secara statistika namun belum bisa dijelaskan secara
imunologi.9-14
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati merupakan rumah sakit pusat
rujukan untuk Jakarta Selatan. Atas dasar alasan tersebut, penulis tertarik untuk
mencari gambaran faktor risiko pasien dermatitis atopi di RSUP Fatmawati.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dari penelitian ini adalah apa saja
gambaran risiko terjadinya dermatitis atopi di RSUP Fatmawati?
3
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran risiko terjadinya dermatitis atopi pada anak di
RSUP Fatmawati.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui gambaran risiko dermatitis atopi dan riwayat vaksinasi
BCG.
2. Untuk mengetahui gambaran risiko dermatitis atopi dan usia.
3. Untuk mengetahui gambaran risiko dermatitis atopi dan jenis kelamin.
4. Untuk mengetahui gambaran risiko dermatitis atopi dan status gizi.
5. Untuk mengetahui gambaran risiko dermatitis atopi dan familial.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi peneliti
1. Dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman peneliti di bidang alergi,
terutama dermatitis atopi
2. Dapat mengaplikasikan ilmu yang selama ini didapat selama menjalani masa
pendidikan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
1.4.2 Bagi Institusi
1. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti tentang
gambaran risiko dermatitis atopi.
2. Sebagai wujud dari kontribusi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta untuk membantu mengurangi angka kejadian dermatitis atopi di
Indonesia
1.4.3 Bagi Masyarakat
Sebagai informasi untuk gambaran risiko pasien dermatitis atopi anak umur 0-
7 tahun.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Definisi dan Konsep Dasar Alergi
Konsep alergi pertama kali dikemukakan oleh The Clemens Freiherr von-
Pirquet pada tahun 1906 sebagai “perubahan reaktivitas spesifik yang didapat yang
diawali dengan paparan terhadap protein yang dianggap asing bagi tubuh”, suatu
deskripsi yang mengarah pada alergi dan imunitas. Walaupun alergi saat ini
dibedakan dengan imunitas karena terdapat suatu kerusakan yang tidak proporsional
pada jaringan pejamu, reaksi imunologis yang mendasari respon imun dan alergi
adalah sama, perbedaan hanya terdapat pada gejala klinis. Ketika terpapar oleh
schistosoma dan filaria, reaksi imun terkait IgE adalah imunitas, sedangkan ketika
terpapar oleh debu dan serbuk sari, reaksi imun terkait IgE adalah alergi.15
Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitif yang didapat melalui pajanan
terhadap antigen tertentu, dan pajanan ulang menimbulkan manifestasi akibat
kemampuan bereaksi yang berlebihan. Biasanya pada kulit ditandai dengan gatal
disertai kemerahan atau pada saluran respirasi terjadi penyempitan bronkus sehingga
terdengar bunyi seperti “ngik” ketika ekspirasi. Atopi didefinisikan sebagai produksi
IgE spesifik dikarenakan paparan alergen di lingkungan yang bersifat umum, seperti
debu, rumput, dan kucing. Atopi berkaitan erat dengan penyakit alergi seperti asma,
hay fever, dan eksema, namun tidak semua orang dengan atopi menunjukkan
manifestasi klinis alergi dan tidak semua orang yang menunjukkan sindrom klinis
alergi dapat dibuktikan atopi ketika dilakukan pemeriksaan IgE spesifiknya terhadap
alergen-alergen lingkungan. Hal tersebut terutama berlaku untuk asma.16
5
Gambar 1, Frekuensi penyakit alergi
Sumber: Baratawidjaja, 2009.2
2.1.2 Definisi Dermatitis Atopi
Dermatitis atopi (DA), yang sering disebut juga eksema karena agen eksogen,
dikarakteristikan dengan eritema, pruritus, dan vesikulasi. Pada kasus yang lebih
kronik, terjadi deskuamasi bersisik.17
Ekzema merupakan istilah umum yang digunakan untuk setiap jenis
dermatitis atau inflamasi kulit. DA, sinonim dengan ekzema konstitusional, ekzema
fleksularis, neurodermatitis diseminata, dan prurigo Besnier, merupakan jenis ekzema
yang paling berat dan kronis. Meskipun begitu, terdapat juga beberapa penyakit lain
yang disebut ekzema seperti ekzema numular, ekzema dishidrotik, ekzema seboroik,
dermatitis kontak iritan, dan dermatitis kontak alergi.2
DA atau ekzema atopi adalah penyakit inflamasi kulit kronis yang sering
kambuh, ditandai rasa sangat gatal, edema, eksudasi, krusta, dan bersisik. Oleh
karenanya, disebut juga itch that rashes karena tidak jelas lesi primernya. DA
ditemukan tersering pada anak. Anak dengan DA cenderung mengalami rinitis alergi
(RA) dan atau asma di kemudian hari, hal ini disebut juga alergy march atau atopic
march. Atopic march adalah tanda pertama penyakit alergi yang sering ditemukan
berupa dermatitis atopi pada anak yang biasa terjadi pada usia beberapa bulan atau
tahun pertama. Dengan perjalanan waktu, anak dengan DA biasanya sering
6
menghilang DAnya dan seiring dengan waktu digantikan dengan RA dan atau asma.
Sembilan puluh persen bayi dengan DA pada usia 3 bulan akan mengalami sedikitnya
alergi terhadap satu alergen pada usia 5 tahun. 2
Rasa gatal sudah ditemukan pada bayi yang baru lahir. Menggaruk tidak
ditemukan pada bayi <2 tahun, tetapi pruritus dapat menjadi sebab bayi sulit untuk
tidur di malam hari. Kerusakan kulit terbanyak disebabkan oleh efek garukan. Lesi
DA terbanyak merupakan lesi sekunder yang menimbulkan eksoriasi dan likenifikasi.
Rasa gatal dapat dipicu oleh berbagai faktor, seperti panas, keringat, wol, emosi,
makanan tertentu, alkohol, pilek, dan tungau debu rumah. DA termasuk ke dalam
kelompok penyakit atopi. Atopi pada awalnya hanya terdiri dari asma dan RA. DA
ditambahkan pada kelompok atopi karena sering terjadi bersamaan pada mereka yang
menderita asma dan atau RA atau anggota keluarga ada yang menderitanya,
karenanya ketiganya sering disebut triad atopi.2
2.1.3 Gen yang Berpengaruh pada Dermatitis Atopi
Studi klinis menunjukkan risiko atopi yang lebih tinggi di garis keturunan ibu.
Kromosom 5q31-33 yang menyandi IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF dilaporkan
berhubungan dengan insiden DA yang lebih tinggi.2
Faktor tersering yang memacu eksaserbasi DA dapat berupa perubahan suhu
dan keringat, kelembaban yang menurun, mencuci/mandi yang berlebihan, kontak
dengan iritan, alergi kontak, aeroallergen, mikroba seperti Straphyllococcus aureus,
makanan seperti telur, kacang tanah, susu, ikan, soya, gandum, terutama pada usia <2
tahun, emosi/stress, dan hormonal.2
2.1.4 Kriteria Diagnostik Dermatitis Atopi
Untuk diagnosis DA diperlukan 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Dalam
praktek, kriteria diagnosis DA sudah lebih disederhanakan. Di antara kriteria mayor
dan kriteria minor tersebut adalah:
Tiga kriteria mayor:
o Riwayat atopi pada keluarga
o Dermatitis di muka atau ekstensor
o Pruritus
7
Ditambah dengan tiga kriteria minor:
o Serosis/iktiosis, hiperliniaris palmaris
o Aksentuasi perifolikular
o Fisura belakang telinga
o Skuama di kulit yang kronis.
Hal-hal lain yang perlu ditanyakan kepada penderita misalnya asma, rinitis alergi, dan
konjungtivitis yang sering menyertai DA. Morfologi dan distribusi lesi kulit perlu
dievaluasi. Demikian pula komplikasi potensial yang berhubungan dengan terapi KS
kronis (strie atau atrofi kulit). Lesi akut, subakut, atau kronis biasanya terlihat pada
DA. Tanda-tanda infeksi juga perlu diperhatikan. Distribusi lesi pada dewasa dan
anak berbeda. DA dapat ditemukan pada semua usia, tetapi 60% DA timbul pada usia
sekitar 1 tahun, dan 90% pada usia 5 tahun.2, 18
Rinitis dapat didefinisikan secara klinis sebagai kondisi inflamasi pada hidung
dengan gejala khas yaitu obstruksi nasal, bersin, gatal, atau rhinorrhea, yang terjadi
selama satu jam atau sepanjang hari. Pada suatu studi di London, prevalensi rinitis
pada orang dewasa 16-65 tahun adalah 16%.19
Tabel 1 Faktor risiko atopi pada anak dan hubungannya dengan orang tua
Orang tua Risiko atopi (%) pada usia 12 tahun
Tanpa atopi Sekitar 10-25
Satu orang tua atopi Sekitar 20-30
Dua orang tua atopi (manifestasi organ berbeda Sekitar 30-40
Dua orang tua atopi (manifestasi organ sama) Sekitar 60-80
Sumber: Baratawidjaja, 2009.2
2.1.5 Gen Lain yang Berpengaruh pada Atopi
Atopi atau predisposisi genetik untuk memproduksi IgE spesifik setelah
pajanan alergen merupakan komponen dari penyakit atopi seperti asma, rinitis alergi,
alergi makanan, dan dermatitis atopi. Analisis genetik menjelaskan mekanisme
genetik yang terjadi dan menemukan kromosom dari penyakit genetik. Beberapa
regio yang terlibat dalam regulasi asma adalah 5q, 6p, 11q, 12q, 13q, dan 14q.
Penelitian multi senter di Amerika Serikat mendapatkan regio lain yang juga penting
yaitu 2q, 5p, 11p, 17p, 19q, dan 21q.20
8
2.1.6 Faktor Risiko Alergi
Telah lama disepakati bahwa faktor risiko tunggal dan mutlak untuk
terjadinya insidensi alergi adalah faktor genetik yang diturunkan dari orangtua.21
Namun, peningkatan prevalensi DA 5-10% pada 20-30 tahun terakhir diduga berasal
dari faktor lingkungan, seperti bahan kimia industri, makanan olahan, atau benda
asing lainnya. Ada dugaan bahwa peningkatan ini juga disebabkan karena perbaikan
prosedur diagnosis dan pengumpulan data.18
Hygiene hypothesis dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu faktor
risiko yang menyebabkan seorang anak mengalami kelainan perkembangan sistem
imun dalam pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga anak tersebut rentan
mengalami kelainan imun berupa alergi atau bahkan, dalam kasus parah, autoimun.
Hygiene hypothesis, dalam arti yang lebih dalam, adalah terganggunya sistem
imunitas berupa dominasi Th1 dibanding Th2 karena kurangnya paparan terhadap
endotoksin bakteri dalam proses tumbuh kembang sehingga akan rentan menderita
alergi.3
2.1.7 Hygiene Hypothesis, Alergi, dan Revolusi Industri di Britania Raya
Hygiene hypothesis disadari menjadi masalah serius di benua Eropa, terutama
Negara Britania Raya. Setelah tahun 1989, Strachan mengobservasi lebih dari 17000
anak di Britania Raya yang lahir pada tahun 1958. Observasi tersebut berkesimpulan
bahwa terjadi peningkatan insiden alergi di Negara Britania Raya, dan peningkatan
tersebut bersifat cukup signifikan. Strachan menyimpulkan bahwa peningkatan
tersebut berkaitan dengan revolusi industri di Britania Raya. Pada masa revolusi
industri, semakin sedikit anak-anak yang dibesarkan pada lingkungan pertanian,
peternakan, dan perkebunan, yang membuatnya jarang terpapar sinar matahari,
bergerak bermain di luar, terpapar bakteri-bakteri tertentu, dan cenderung menjadi
obesitas, yang mana membuatnya menjadi tidak mengenal dunia luar. Begitupun
dengan sistem imunnya, yang tidak mengenali bakteri-bakteri yang sebenarnya bukan
9
agen patogen bahkan merupakan flora normal usus dan kulit. Karena proses tersebut,
terjadi dominasi pada sistem imun Th1 dibanding Th2.6
Revolusi industri di Britania Raya sendiri dimulai pada tahun 1750 sampai
dengan 1850.21
Pada rentang tahun tersebut, Britania Raya membangun pabrik-pabrik
secara besar-besaran, perkebunan dan pertanian ditutup. Semua orang yang biasa
bertani dan berdagang, dipekerjakan untuk menjadi karyawan dan ditempatkan di
berbagai industri. Bahkan, karena masih kekurangan pekerja, pemilik pabrik
memutuskan untuk mempekerjakan anak-anak. Baru setelah beberapa dekade,
pemerintah Britania Raya menerapkan peraturan bagi pekerja anak-anak 22
Setelah revolusi, pekerja anak-anak yang telah beranjak dewasa, segera
menikah dan memiliki keturunan. Keturunan mereka bernasib lebih baik, karena
dibesarkan pada lingkungan yang relatif lebih bersih. Britania Raya terus mengalami
revolusi hingga menjadi salah satu negara yang maju dan makmur. Kemajuan dan
kemakmuran mengakibatkan perbaikan pada kebersihan lingkungan pada daerah
Britania Raya. Anak-anak tidak lagi bermain dengan sapi perah, padi, hamparan
rumput, semuanya tergantikan dengan sekolah-sekolah, taman bermain. Lingkungan
lama berganti menjadi lingkungan yang lebih bersih dari sebelumnya.23
Berdasarkan
studi epidemiologi Strachan tahun 1989, terjadi peningkatan insidensi hay fever pada
orang di Britania Raya yang lahir tahun 1959. Karenanya, Strachan menyimpulkan
peningkatan insidensi hay fever tersebut karena adanya peningkatan status higienitas.4
10
Gambar 2, Old Friends Hypothesis oleh Graham Rook
Sumber: Yazdanbakhsh, 2002.8
Gambar di atas menjelaskan secara garis besar teori yang dibuat oleh Rook.
Rook, yang menyempurnakan hygiene hypothesis Strachan berkesimpulan bahwa
ketika seseorang seimbang antara infeksi yang memicu Th1 dan Th2, maka akan
terjadi perkembangan T-regulasi sehingga terjadi keseimbangan yang mengarah pada
ketiadaan imunopatologi. Sedangkan ketika salah satunya lebih dominan, T-regulasi
tidak terbentuk sehingga akan terjadi autoimunitas (bila infeksi yang memicu Th1
lebih dominan), dan alergi (bila infeksi yang memicu Th2 lebih dominan).24
2.1.8 Faktor Risiko yang Mempengaruhi Dermatitis Atopi
Pada studi potong lintang deskriptif tahun 2011 yang dilakukan oleh Sidabutar
S dkk, menunjukkan bahwa sebagian besar subjek dermatitis atopi mengalami
sensitisasi oleh alergen makanan.20
Faktor risiko alergi sedang dan tinggi, tidak
mendapat ASI eksklusif, dan mendapat makanan padat usia dini ditemukan lebih
sering pada anak dermatitis atopi.20
Pada studi tersebut, ditemukan juga bahwa
pajanan asap rokok merupakan faktor risiko lingkungan yang memiliki proporsi lebih
besar pada anak DA yang mengalami sensitisasi.20
Faktor risiko seperti karpet bulu,
11
binatang peliharaan, kasur kapuk memiliki proporsi rendah.20
Pajanan asap rokok
tersebut didasarkan pada teori bahwa pajanan asap rokok dapat menimbulkan
sensitisasi dengan meningkatkan respons IgE.20
2.1.9 Dermatitis Atopi dan Riwayat Tidak Vaksinasi BCG
Riwayat tidak vaksinasi BCG juga merupakan salah satu faktor risiko atopi
yang pada beberapa studi terbukti kemaknaannya secara statistik, walaupun beberapa
studi yang lain menyimpulkan hal tersebut diperkirakan tidak memberikan efek
proteksi dari atopi. Pada studi yang dilakukan oleh Ahmadiasfhar tahun 2005,
didapatkan bahwa terdapat korelasi yang berkebalikan antara bekas luka BCG dengan
dermatitis atopi dan asma, namun gagal menunjukkan hubungan antara bekas luka
BCG dan rinitis alergi. Studi tersebut merupakan studi cross sectional yang
melibatkan 1000 anak yang berumur 10-15 tahun di kota Zanjan. Dari 1000 anak
tersebut, 501 anak adalah perempuan dan 499 anak adalah laki-laki. Didapatkan 137
anak dengan asma, 121 anak dengan dermatitis atopi, dan 141 anak dengan rinitis
alergi. Dalam studi tersebut, disebutkan bahwa diameter bekas luka BCG merupakan
marker untuk aktivitas limfosit Th1, sebagai efek inhibitor untuk limfosit Th2 dan
induksi alergi. 9
Pada studi lain yang dilakukan oleh Al-Yaseen, yang juga mencari hubungan
antara dermatitis atopi dan riwayat vaksinasi BCG, ditemukan bahwa persentase anak
dengan dermatitis atopi yang memiliki diameter bekas luka kurang dari 1mm (bekas
luka BCG negatif) lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol. Studi tersebut
menyimpulkan bahwa risiko dermatitis atopi pada anak dengan bekas luka BCG
negatif (diameter <1mm) lebih besar 3,2 kali dibanding dengan anak dengan reaksi
BCG lemah atau positif. Studi tersebut melibatkan 252 anak dengan dermatitis atopi
dibandingkan dengan kelompok kontrol sebanyak 350 anak. Adapun reaksi BCG
dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :
1. Reaksi BCG positif, ketika diameter bekas luka >5 mm.
2. Reaksi BCG lemah, ketika diameter bekas luka 1- 5mm.
3. Rekasi BCG negatif, ketika bekas luka tidak ada atau seperti titik (<1
mm)19
12
BCG merupakan vaksin yang paling sering dipakai di seluruh dunia. Vaksin
BCG dibuat dengan strain Mycobacterium bovis yang dilemahkan. BCG biasanya
secara rutin diberikan selama bulan pertama kehidupan, lalu luka terbentuk dalam
waktu 6 minggu setelah vaksinasi.21
Pada saat itu, imunitas telah terbentuk dan
seiring dengan berjalannya waktu, imunitas akan menghilang setelah 5-7 tahun.22
Namun, pada studi tersebut gagal menjelaskan hubungan antara jenis kelamin, usia,
dan kejadian dermatitis atopi.20
Pada editorial oleh Obihara, 2007, disebutkan juga
beberapa studi yang mencari hubungan antara riwayat vaksinasi BCG dan penyakit
atopi.23
2.1.10 Dermatitis Atopi dan Obesitas
Pada studi yang dilakukan oleh Eldin tahun 2008 yang mencoba mencari
hubungan antara obesitas dan atopi, ditemukan hubungan kuat yang positif antara
obesitas dan atopi: serum leptin lebih tinggi pada anak dengan obesitas ketika
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang merupakan anak anak tanpa atopi
walaupun tidak signifikan secara statistik. Studi tersebut melibatkan 47 anak dengan
obesitas dan 45 anak sehat sebagai kontrol, yang kemudian keduanya dibagi menjadi
dua kelompok yang didasarkan pada riwayat alergi nasal, asma bronkial, alergi kulit,
mata, ataupun makanan, kelompok satu adalah anak dengan atopi dan kelompok dua
adalah anak tanpa atopi. Hasilnya, ditemukan bahwa pada kelompok anak dengan
atopi memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih tinggi (33.35 ± 9.93) dibanding
dengan kelompok anak non atopi (23.70 ± 9.7). Namun, ditemukan korelasi negatif
antara leptin serum dengan kadar serum total IgE. Pada studi ini juga, ditemukan
hubungan yang lemah antara jenis kelamin dengan atopi. Perempuan sedikit lebih
banyak (56.4%) dibandingkan laki-laki (43.5%). Ditemukan hubungan yang lemah
antara atopi dan hormon leptin.24
2.1.11 Dermatitis Atopi dan Usia
Baratawidjaja tahun 2009 menjelaskan bahwa dermatitis atopi banyak pada
anak usia di bawah 3 tahun pada puncak pertamanya di usia 2 tahun. Setelah usia 2
tahun, terdapat penurunan lalu kemudian naik lagi untuk mencapai puncak keduanya
di usia sekitar 12 tahun.2
13
2.1.12 Dermatitis Atopi dan Jenis Kelamin
Dari penelitian yang dilakukan oleh Mandhane, 2005, terdapat hubungan yang
bermakna antara kejadian DA dan jenis kelamin. Studi tersebut menunjukkan bahwa
anak laki-laki tiga kali lebih banyak terdiagnosis penyakit atopi daripada perempuan.
Namun, di studi tersebut juga ditemukan bahwa prevalensi tersebut menjadi sama
jumlahnya antara laki-laki dan perempuan saat remaja, untuk kemudian prevalensinya
bergeser ke lebih banyak perempuan daripada laki-laki ketika dewasa. Hal tersebut
diperkirakan karena faktor hormonal, namun mekanismenya belum diketahui.25
2.2 Kerangka Teori
Masih
didominasi
respon imun
yang
diperantarai
TH2
Dominasi
respon imun
yang
diperantarai
TH2
Kelainan respon
imun yang
menyandi IL-3,
IL-4, IL-5, IL-13
Defek
genetic di
kromosom
5q31-33
Status gizi
berlebih
Usia di bawah
tiga tahun
Jenis kelamin
laki-laki
Belum vaksinasi
BCG Faktor
familial
Alergi
14
2.3 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Pengukuran Skala
Dermatitis atopi kelainan kulit yang merupakan
peradangan kronik, bersifat pruritik
dan eksematosa pada individu
dengan predisposisi herediter
terhadap pruritus pada kulit; sering
disertai dengan rinitis alergika, hay
fever, dan asma.
Sesuai rekam medis. Kategorik,
Ordinal
Vaksin BCG Vaksin Bacillus Calmette-Guerin,
biasa disebut BCG, dimana
diperuntukkan untuk memperkuat
dan mengenalkan sistem imun pada
bakteri yang memiliki dinding
guanine, terutama bakteri
Tuberkulosis.
Sesuai rekam medis, dibedakan atas ya dan
tidak.
Kategorik,
Ordinal
Status Gizi Status gizi pada pasien anak yang
didasarkan pada berat dibagi umur
dan tinggi dibagi umur.
Sesuai dengan rekam medis untuk
kemudian dihitung kembali dengan
growth chart dari Center for Disease
Control (CDC), atau telah tertera pada
rekam medis. Dalam penelitian ini, status
gizi dikategorikan lagi menjadi gizi buruk,
gizi kurang atau gizi baik dan overweight,
obesitas ringan, obesitas sedang, obesitas
berat.
Kategorik,
Ordinal
Usia Usia pasien dihitung dari pasien lahir
sampai pada saat pasien terdiagnosis
dermatitis atopi
Sesuai dengan rekam medis, dibedakan
menjadi 0-1, 1-2, 2-3, 3-4, 4-5, 5-6, dan 6-
7 tahun.
Kategorik,
Ordinal
Faktor Alergi
Familial
Suatu keadaan alergi yang
dikarenakan terdapat riwayat alergi
dari orang tua ataupun generasi
diatasnya.
Sesuai dengan rekam medis, dibedakan
menjadi ya dan tidak.
Kategorik,
Ordinal
Jenis Kelamin Sesuai dengan rekam medis, dibedakan
atas laki-laki dan perempuan
Kategorik,
Ordinal
15
BAB III
Metodologi Penelitian
3. 1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode potong lintang
(cross sectional design).
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Tempat Penelitian di IRMPDI Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta
Selatan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan
September 2014.
3.3 Populasi Penelitian
Populasi terjangkau p ada penelitian ini adalah semua anak dengan kejadian
alergi.
3.4 Sampel dan cara pemilihan sampel
Sampel target pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus analitik
deskriptif:
n = jumlah sampel minimal
Zα = derivate baku alfa
P = proporsi kategori variabel yang diteliti
Q = 1-P
d = nilai presisi
16
Ditetapkan kesalahan tipe 1 (α) pada penelitian ini sebesar 5%, didapatkan
nilai derivat baku alfa (Zα) sebesar 1,96. Nilai P yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 0,5 sehingga didapatkan nilai Q sebesar 0,5 agar didapatkan jumlah perkalian
P dan Q yang paling besar (0.25). nilai presisi yang ditetapkan peneliti sebesar 10%.
Berdasarkan nilai-nilai variabel yang telah ditentukan, didapatkan nilai n sebesar 96.
3.5 Kriteria Inklusi
Pasien yang datang ke poli anak atau kulit dan terdiagnosis DA, baik
diagnosis utama atau diagnosis penyerta yang berusia antara 0-7 tahun.
3.6 Kriteria Eksklusi
Pasien dengan rekam medis yang tidak lengkap atau pasien yang lebih dari
umur 7 tahun atau pasien dicurigai atau terdiagnosis tuberkulosis intra
maupun ekstra paru.
3.7 Identifikasi Variabel
- Variabel terikat adalah anak dengan dermatitis atopi.
- Variabel bebas dari penelitian ini terdiri dari faktor familial, riwayat
vaksinasi BCG, umur, jenis kelamin, dan status gizi.
3.8 Cara Kerja Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan dengan mengumpulkan data rekam medis
pasien dermatitis atopi pada tahun 2008-2014. Rekam medis yang dikumpulkan akan
diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Rekam medis yang memenuhi
kriteria inklusi kemudian akan dimasukkan data yang diperlukan ke Microsoft excel
2007 untuk kemudian ke SPSS 16 untuk kemudian diproses guna membuat profil
pasien dermatitis atopi.
17
3.9 Etika Penelitian
Ethical Clearance telah diajukan ke komisi etik FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan sedang diproses. Adapun untuk ethical clearance dari
RSUP Fatmawati telah mendapat persetujuan dari divisi pendidikan dan penelitian
RSUP Fatmawati pada Agustus 2014.
3.10 Kerangka Konsep
3.11 Jadwal Penelitian
No. Kegiatan Bulan
Juni Juli Agustus September
1. Proposal dan
pengajuan izin
√
2. Pelaksanaan
penelitian
√
3. Analisis data √
4. Penulisan laporan √ √
Faktor Risiko
Familial
Status Gizi
Alergi
Riwayat tidak
Vaksinasi BCG
Jenis Kelamin
Usia
18
3.11 Alur Penelitian
Pengurusan izin
penelitian di RSUP
Fatmawati pada
bulan Juni 2014
Didapatkan data
berupa grafik dan
tabel.
Pemrosesan
data pada bulan
Agustus 2014
Memindahkan data ke
software Statistical
Package for Social
Science (SPSS)
Input data sebanyak
100 data dari rekam
medis ke komputer
menggunakan
microsoft excel 2007
pada bulan Agustus
2014
Rekam Medis
didapatkan
sebanyak 112
rekam medis
Pengajuan
permintaan rekam
medis ke instalasi
rekam medis RSUP
Fatmawati pada
Agustus 2014
Izin penelitian di
RSUP Fatmawati
diterima pada
Agustus 2014
Sidang proposal di
RSUP Fatmawati
pada bulan Juli 2014
Dari 112 rekam medis,
hanya 100 rekam medis
yang masuk ke dalam
kriteria inklusi
Pembuatan laporan
penelitian pada bulan
Agustus 2014
Sidang laporan di
Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan
UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Prevalensi dermatitis atopi anak umur 0-7 tahun di RSUP Fatmawati
Tabel 4.1 Prevalensi dermatitis atopi RSUP Fatmawati
Variabel Kategori Jumlah Persentase %
Faktor familial Dengan faktor familial 20 20
Tanpa faktor familial 80 80
Riwayat Vaksinasi
BCG
Divaksin 24 24
Tidak Divaksin 76 76
Jenis Kelamin Laki-Laki 54 54
Perempuan 46 46
Status Gizi Gizi buruk, kurang,
dan baik
94 94
Overweight, obesitas
ringan, obesitas
sedang, obesitas berat.
6 6
Jumlah 100 100
Dari 112 rekam medis, hanya 100 rekam medis yang dapat masuk ke dalam
kriteria inklusi. Pada tabel 4.1, terlihat bahwa dari 100 anak di bawah 7 tahun dengan
dermatitis atopi, 80 anak (80%) diantaranya adalah tanpa riwayat alergi dari orang
tuanya, sedangkan 20 anak (20%) terdapat riwayat alergi dari orang tuanya. Pada
tabel 4.1 juga terlihat pada anak dengan dermatitis atopi, 24 anak (24%) sudah
divaksin BCG, sedangkan 76 anak (76%) tidak divaksin BCG. Anak dengan
dermatitis atopi, 54 anak (54%) merupakan anak laki-laki sedangkan pada anak
perempuan 46 anak (46%).
Pada tabel 4.1 dapat dilihat status gizi anak dengan dermatitis atopi, yang
dibagi lagi menjadi kategori gizi buruk, kurang, baik dan Overweight, obesitas
ringan, obesitas sedang, obesitas berat. Sembilan puluh empat anak (94%) merupakan
dari kategori gizi buruk, kurang, baik, sedangkan hanya 6 anak (6%) yang dari
kategori overweight, obesitas ringan, obesitas sedang, dan obesitas berat.
20
Tabel 4.2 Sebaran usia pada pasien dermatitis atopi RSUP Fatmawati
Variabel Kategori Jumlah Persentase %
Usia 0-1 35 35
1-2 13 13
2-3 12 12
3-4 14 14
4-5 9 9
5-6 11 11
6-7 6 6
Jumlah 100 100
Pada tabel 4.2, dapat dilihat bahwa dari 100 anak dengan dermatitis atopi, 35
(35%) anak diantaranya adalah anak di bawah 1 tahun, lalu cenderung menurun lalu
tetap pada umur 1-2 tahun, 2-3 tahun, dan 3-4 tahun dimana berturut-turut jumlahnya
adalah 13 (13%) anak, 12 (12%) anak, dan 14 (14%) anak. Lalu kejadian menurun
lagi pada anak 4-5 tahun, yaitu 9 (9%) anak dan meningkat kembali pada umur 5-6
tahun, yaitu 11 (11%) anak, dan pada 6-7 tahun didapatkan 6 (6%) anak.
Pembahasan
Dari data tersebut, ditemukan perbedaan dengan penemuan dari penelitian
sebelumnya dan referensi dengan data yang ditemukan penulis. Baratawidjaja
menjelaskan bahwa salah satu yang sangat mempengaruhi terjadinya penyakit atopi
adalah riwayat familial. Persentase risiko atopi bagi anak ketika tidak ada orang tua
alergi adalah 10-25%, meningkat menjadi 20-30% ketika salah satu orang tua alergi,
dan 30-40% ketika kedua orang tua alergi, namun manifestasi organ berbeda, lalu
terjadi peningkatan yang sangat signifikan bila kedua orang tua terdapat riwayat atopi
dengan manifestasi organ yang berbeda, yaitu sampai dengan 60-80%.16
Untuk riwayat vaksinasi BCG, ditemukan anak dengan DA lebih banyak yang
tidak diimunisasi BCG. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, bahwa
vaksinasi BCG pada awal kehidupan anak berpengaruh terhadap penurunan kejadian
dermatitis atopi. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan Strachan
mengenai hygiene hypothesis mengenai pergeseran dominasi Th1 daripada Th2 dapat
mengurangi hipersensitivitas terkait IgE. 5, 18-22
Rook, 2005, seorang ahli imunologi,
menentang hygiene hypothesis Strachan dan berpendapat bukan pergeseran dari Th2
21
ke Th1 lah yang mengurangi gejala atopi, namun karena berkembangnya sel T-
regulasi, sehingga menyebabkan terjadinya keseimbangan antara respon imun Th1
dan Th2. Pendapat Rook berdasarkan studi bahwa pada penderita diabetes melitus
tipe 1 (hipersensitivitas imun terkait Th1) juga insiden alergi (hipersensitivitas imun
terkait Th2) berkorelasi dekat di Eropa. Argumen Rook juga diperkuat oleh bukti
bahwa beberapa bakteri yang menginfeksi saluran nafas justru menjadi pemicu alergi.
Sebagai perlawanan terhadap teori Strachan, Rook mencetuskan teori “Old Friends
Hypothesis”. Old friends hypothesis berpendapat, bahwa bukan infeksi dan bukan
higienitaslah yang dapat menurunkan insiden alergi, namun lebih kepada flora normal
usus, seperti Lactobacillus, dan cacing helminth, dan Saprophytic mycobacteria.24
Untuk usia dan DA, didapatkan bahwa DA lebih banyak ditemukan pada anak
laki-laki. Tidak ada studi yang menemukan hubungan antara jenis kelamin dan
kejadian atopi. Studi yang dilakukan oleh Eldin, 2008, menemukan hubungan yang
lemah antara kejadian alergi dan jenis kelamin perempuan.24
Mandhane et al,
melaporkan bahwa kejadian atopi sebelum pubertas pada laki-laki 3 kali lebih banyak
dibandingkan dengan wanita, dan menjadi sama banyak saat remaja.25
Dari data tersebut dapat kita lihat kecenderungan dermatitis atopi seiring
peningkatan umur adalah menurun. Hal ini sesuai dengan Baratawidjaja, 2009, yang
menyatakan dalam bentuk grafik dengan puncak bifasik yang mana kejadian puncak
pertama dermatitis atopi pada anak adalah pada umur 0-2 tahun, lalu cenderung
menurun sampai umur 7-8 tahun untuk kemudian cenderung naik lagi sehingga
mencapai puncak keduanya pada umur 8-16 tahun.2
Untuk status gizi dan DA, status gizi dibagi lagi menjadi status gizi faktor
risiko atopi rendah (status gizi kurang dan baik) dan status gizi faktor risiko atopi
tinggi (status gizi overweight, obesitas ringan, obesitas sedang, dan obesitas berat).
Hasil yang didapatkan sedikit berbeda dengan teori yang disimpulkan pada studi
Eldin dkk tahun 2008 di Mesir, bahwa anak dengan obesitas memiliki kecenderungan
yang sangat kuat untuk menderita alergi, salah satunya adalah dermatitis atopi.
22
Namun, dalam studi tersebut justru ditemukan hubungan yang berkebalikan antara
serum hormon leptin dan serum total IgE.24
4.6 Keterbatasan penelitian
Dalam penelitian ini, ditemukan keterbatasan penelitian sebagai berikut:
1 Desain penelitian potong lintang
Penelitian ini berdesain penelitian potong lintang (cross sectional design),
penelitian ini hanya mendapatkan gambaran berupa variabel yang diteliti, baik
berupa variabel terikat atau variabel bebas, sehingga tidak bisa didapatkan
hubungan sebab akibat.
2 Data berupa rekam medis
Dikarenakan proses pengambilan data pada penelitian ini merupakan data
sekunder menggunakan rekam medis RSUP Fatmawati, ditemukan beberapa
kesulitan berupa sulitnya mengakses data rekam medis sehingga sampel yang
didapatkan tidak cukup besar untuk dilakukan penelitian yang meneliti
hubungan sebab akibat. Penulis juga beberapa kali mendapatkan data rekam
medis yang tidak lengkap ataupun cukup lengkap dengan keterangan tidak
terbaca sehingga mengakibatkan beberapa sampel dieksklusi, yang mana
mengurangi jumlah sampel total.
23
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Dari 100 anak dengan dermatitis atopi tahun kejadian 2008-2014 umur 0-7
tahun, 80% diantaranya tidak memiliki faktor risiko familial.
2. Dari 100 anak dengan dermatitis atopi tahun kejadian 2008-2014 umur 0-7
tahun di RSUP Fatmawati, 76% diantaranya belum divaksin BCG
3. Dari 100 anak dengan dermatitis atopi tahun kejadian 2008-2014 umur 0-7
tahun di RSUP Fatmawati, 56% diantaranya adalah anak laki-laki
4. Dari 100 anak dengan dermatitis atopi tahun kejadian 2008-2014 umur 0-7
tahun di RSUP Fatmawati, 35% diantaranya berumur 0-1 tahun, dan 6%
berumur 6-7 tahun.
5.2 Saran
1. Jumlah sampel sebaiknya diperbanyak lagi sehingga didapatkan data yang
lebih banyak, karena dengan data yang lebih banyak maka penelitian dapat
diteruskan menjadi case control, sehingga bisa didapatkan hubungan kausatif
antara variabel terikat dengan variabel bebas.
2. Mengingat sulitnya akses terhadap rekam medis, direkomendasikan untuk
studi selanjutnya agar mengambil data primer.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Mahode, Albertus Agung dkk. Kamus Saku Kedokteran Dorland, edisi 28.
Jakarta: EGC. 2012, h. 37.
2. Baratawidjaja, Karnen Garna & Iris Rengganis. Alergi Dasar. Jakarta: Interna
Publishing, 2009, h. 8-19.
3. Fauci, Anthony S et al. Harrison‟s Internal Medicine 18th
edition. New York:
Mc Graw-Hill, 2011.
4. Strachan DP. Hay fever, hygiene, and household size. BMJ. 1989;299:1259–
60.
5. Okada, H. The „hygiene hypothesis‟ for autoimmune and allergic diseases: an
update. British society for immunology. 2010;160:1-9.
6. Rook GA. Innate immune responses to mycobacteria and the downregulation
of atopic responses Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2003;3(5):337-42.
7. Smith, SR, Bloomfield S. The hygiene hypothesis and implications for home
hygiene, Lifestyle, and Public Health. International Scientific Forum on Home
Hygiene. 2012. http://www.ifh-
homehygiene.org/sites/default/files/publications/Hygiene%20hypothesis%20r
eview_19092012.pdf. Diunduh pada 13 September 2013.
8. Obihara, C. C. dan P.G. Bardin. Hygiene Hypothesis, allergy, and BCG: a
dirty mix?. Clinical experimental allergy. 2007;38:388-92.
9. Ahmadiafshar, Akefeh et al. A Study of Relation between BCG Scar and
Atopy in Schoolchildren of Zanjan City. Iran J Allergy Asthma Immunol.
2005;4(4):185-8.
10. Al-Yassen, Asaad KT. Relationship between Atopic Dermatitis and BCG
Vaccination. Kufa Med. Journal. 2008;11(1):328-33.
11. Bannon, MJ. BCG and Tuberculosis. Arch Diseases of Children. 1999;80:90-
3.
12. Sharquie, K E, Al-Rubaiee AH. The incidence of Skin Diseases among BCG
Vaccinated Individuals. Iraqi J. Comm. Med. 2001;14(2):257-9.
25
13. Eldin, Lerine B et al. Relation between Obesity, Lipid Profile, Leptin, and
Atopic Disorder in Children. Egypt J pediatr Allergy Immunol. 2008;6(1): 27-
34.
14. Mandhane, P J, Greene J M, Cowan J O, Taylor D R, Sears M R. Sex
Differences in Factors Associated with childhood and adolescent onset
wheeze. Am J Respir Crit Care Med. 2005;172(1):45-54.
15. Taylor, A J Newman. ABC of Allergies Asthma and Allergy. British Medical
Journal. 1994;316:997-9.
16. Jarvis, D. & P Burney. ABC of Allergies The Epidemiology of Allergic
Disease. British Medical Journal. 1994;316:607-10.
17. Friedmann, PS. ABC of Allergies Allergy and the Skin. Contact and Atopic
Eczema. British Medical Journal. 1994;316:1226-9.
18. Akib, Arwin AP, Munasir Z, dan Kurniati N. Buku Ajar Alergi-Imunologi
Anak Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2008, h. 234-44.
19. Mackay, I S & S `R Durham. ABC of Allergies Perennial Rhinitis. British
Medical Journal. 1994;316:917-20.
20. Sidabutar, Sondang et al. Sensitisasi Alergen Makanan dan Hirupan pada
Anak Dermatitis Atopik Setelah Mencapai Usia 2 Tahun. Sari Pediatri.
2011;13(2):147-151.
21. Guyton, Arthur C dan Hall J E. Textbook of Medical Physiology 11th
edition.
Philadelphia: Elsevier Inc. 2006, h. 449-450.
22. Galbi, Douglas A. Child Labor and the Division of Labor in the Early English
Cotton Mills. Journal of Population Economics. 1997;10:357-75.
23. Koot, Gerard M. Aspect of the Industrial Revolution in Britain. University of
Massachusetts. 2006.
24. Yazdanbakhsh, Maria, Peter G. Kremsner, and Ronald Van Ree. 2002.
Allergy, Parasites, and the Hygiene Hypothesis. Science. 2002;296:490-4.
25. Rook, G A W, L R Brunet. Microbes, Immunoregulation, and The Gut. Gut.
2005;54(3):317–20.
26
LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Izin Penelitian RSUP Fatmawati
27
28
Lampiran 2. Surat Etik dari RSUP Fatmawati
top related