evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi
Post on 16-Oct-2021
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI
KANKER OVARIUM DI RSUP DR. SARDJITO
YOGYAKARTA PERIODE MEI-JULI 2007
SKRIPSI
Oleh :
RISE TRIYUSBERNA
03 613 144
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
NOVEMBER 2007
EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI
KANKER OVARIUM DI RSUP DR. SARDJITO
YOGYAKARTA PERIODE MEI-JULI 2007
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi
(S. Farm)
Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
RISE TRIYUSBERNA
( 03613144 )
Oleh :
RISE TRIYUSBERNA
03 613 144
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
OKTOBER 2007
SKRIPSI
EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI
KANKER OVARIUM DI RSUP DR. SARDJITO
YOGYAKARTA PERIODE MEI-JULI 2007
Yang diajukan oleh :
RISE TRIYUSBERNA
03 613 144
Telah disetujui oleh :
Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,
Saepudin, MSi., Apt Suci Hanifah, S.F., Apt
SKRIPSI
EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI
KANKER OVARIUM DI RSUP DR. SARDJITO
YOGYAKARTA PERIODE MEI-JULI 2007
Oleh :
RISE TRIYUSBERNA
03 613 144
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi
Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Islam Indonesia
Tanggal : 18 Desember 2007
Ketua Penguji,
Saepudin, MSi., Apt
Anggota Penguji, Anggota Penguji,
Nanang Munif Yasin, M.Pharm., Apt Suci Hanifah, S.F., Apt
Mengetahui
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Islam Indonesia
Akhmad Fauzy, S.Si., M.Si., Ph.D.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skrpisi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan
Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atu pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan diterbitkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 18 Desember 2007
Penulis,
Rise Triyusberna
HALAMAN PERSEMBAHAN
Setiap pagi datang, maka berkuranglah jatah usia kita dimuka bumi ini
Jangan sedih...walau banyak cobaan menghadang perjalanan kehidupan
Teruslah melangkah,,,meskipun harus gagal dan mati nanti
Jangan pernah menyerah!!
Buatlah hanya satu pilihan, harus bangkit dan melangkah lagi
Persiapkan perbekalan agar terus bernafas panjang
Tak ada kata berhenti kecuali Mati!
Thank’s to:
Allah SWT..Jika aku bertobat, itu atas anugrah-Nya kepada ku dan jika aku
berbuat dosa, Dia adalah harapanku. Jika aku berpaling, Dia menyeruku dan
jika aku menghadap Dia mendekatkan ku ( kepada-Nya) Jika aku mencintai(-
Nya), Dia memelihara ku dan jika aku ikhlas, Dia membisikiku. Jika aku
berbuat lalai, Dia memaafkan ku. Dan jika aku berbuat baik, dia membalasku..
Nabi Muhammad SAW
My Lovely Parent’s
Papa dan Mama Tercinta…
Terima kasih ya rabb, telah menjadikan aku anak mereka..
My Lovely Brother’s
Terima kasih ya..rabb telah memberiku 3 pangeran yang senantiasa mengawal
ku lewat ucapan dan tindakan..
My big Famili in jogja
.
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puji syukur penulis ucapkan
kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga pada akhirnya
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul ’’Evaluasi
Pelaksanaan Protokol Kemoterapi Kanker Ovarium di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Periode Mei-Juli 2007’’.
Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah pada junjungan dan uswah kita
Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikutnya, yang senantiasa
istiqomah mengikuti risalah-Nya. Amin
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar
Sarjana Farmasi pada Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan
Farmasi Universitas Islam Indonesia.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
bimbingan, dorongan, dan bantuan baik material maupun spiritual dari berbagai
pihak. Oleh karena itu perkenankanlah penulis menghaturkan ucapan terima kasih
kepada :
1. Bapak Saepudin, MSi., Apt selaku Pembimbing utama yang telah banyak
memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian hingga penyusunan
skripsi ini.
2. Ibu Suci Hanifah, S.F., Apt selaku Pembimbing pendamping yang telah
banyak memberi masukan-masukan hingga terselesaikannya skripsi ini.
3. Bapak Nanang Munif Yasin, M.Pharm., Apt selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan arahan dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.
4. Ayah dan Ibu, atas cinta, do’a dan kasih yang menjadi semangat penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Akhmad Fauzy, S.Si., M.Si., Ph.D selaku Dekan Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Islam Indonesia.
6. Seluruh staf bagian Diklit (Pendidikan dan Penelitian) dan Seluruh staf
karyawan IRNA RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta atas bantuan yang diberikan
untuk kesuksesan penelitian ini.
7. Bapak Yandi Syukri, M.Si., Apt. Selaku Ketua Jurusan Farmasi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Islam Indonesia.
8. Dosen-dosen, seluruh karyawan, Almamaterku tercinta.
9. Semua pihak yang tidak bisa tersebutkan satu persatu, yang telah memberikan
bantuan dan dukungan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan skripsi ini masih banyak
sekali terdapat kekurangan, dan penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak dan
bagi dunia kesehatan. Amin.
Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, 18 Desember 2007
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………...i
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………………...iii
HALAMAN PERNYATAAN................................................................................v
HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................................vi
KATA PENGANTAR...........................................................................................vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...ix
INTI SARI..............................................................................................................xi
ABSTRACT...........................................................................................................xii
DAFTAR TABEL.................................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xiv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………….1
B. Perumusan Masalah………………………………………………………3
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………………4
D. Manfaat Penelitian………………………………………………………..4
BAB II. STUDI PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………5
1. Anatomi dan Fisiologi Ovarium…………………………………….....5
2. Kanker Ovarium………………………………………………………..7
a. Defenisi……………………………………………………………. 7
b. Epidemiologi………………………………………………………..7
c. Etiologi…………………………………………………………….. 8
d. Patofisiologi………………………………………………………..10
e. Gejala dan Tanda…………………………………………………..11
f. Diagnosis…………………………………………………………..12
g. Tata Laksana Terapi……………………………………………….13
3. Kemoterapi…………………………………………………………...15
a. Defenisi……………………………………………………...............15
b. Efek samping kemoterapi……………………………………….......15
c. Contoh jenis protokol dan regimen kemoterapi kanker ovarium…..18
B. KETERANGAN EMPIRIK……………………………….......….........21
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Batasan Operasional Penelitian…………………………………………..22
B. Bahan Penelitian………………………………………………………….22
C. Rancangan Penelitian…………………………………………………….22
D. Jalannya Penelitian……………………………………………………….22
E. Analisis Hasil…………………………………………………………….23
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik subyek penelitian..................................................................25
B. Evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi.................................................34
C. Analisis hubungan antara pelaksanaan protokol dengan kejadian emesis..40
D. Keterbatasan penelitian...............................................................................45
BAB V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan.................................................................................................46
B. Saran...........................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………48
LAMPIRAN……………………………………………………………………...50
EVALUASI PELAKSANAAN PROTOKOL KEMOTERAPI
KANKER OVARIUM DI RSUP DR. SARDJITO
YOGYAKARTA PERIODE MEI-JULI 2007
INTISARI
Kanker ovarium merupakan penyebab kematian ke-5 pada wanita. Secara
umum pasien yang didiagnosa menderita kanker ovarium merupakan pasien
dengan kondisi stadium lanjut sehingga hanya kemoterapi yang tepat bagi pasien
stadium lanjut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik
pasien terkait dengan faktor risiko kanker ovarium dan kejadian emesis,
mengevaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi pada pengobatan pasien kanker
ovarium di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito dan untuk mengetahui
hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol dengan kejadian emesis. Penelitian ini
menggunakan data rekam medik pasien kanker ovarium dan wawancara dengan
pasien, yang diambil secara prospektif dan dianalisis dengan menggunakan
metode case series. Hasil penelitian ini dengan jumlah pasien 30 orang
menunjukkan bahwa karakteristik pasien yang paling berperan terkait dengan
faktor risiko kejadian kanker ovarium adalah faktor usia (36.3%), usia melahirkan
anak pertama diluar usia yang aman (20-24 tahun) sebesar 30% dan pola hidup
yang tidak sehat (86.6%). Karakteristik pasien yang berperan terkait dengan faktor
risiko kejadian emesis adalah siklus kemoterapi yaitu pada siklus ke-2 sebesar
33.3% dan tingkatan stadium yaitu pada stadium IIIC
sebesar 36.6%, kesesuaian
pelaksanaan protokol dengan protokol yang telah ditetapkan adalah 100%. Hasil
olah data dengan uji regresi logistik dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa variabel independent (umur, status paritas, siklus kemoterapi, dan
pekerjaan) tidak menunjukkan hasil yang signifikan yaitu lebih dari 0,05.
Sehingga secara statistik keempat variabel independent tersebut tidak memiliki
pengaruh terhadap kejadian emesis.
Kata kunci : Kanker ovarium, protokol kemoterapi, prospektif, emesis, RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta
EVALUATION OF CHEMOTHERAPY PROTOCOL OF OVARIAN
CANCER AT DR. SARDJITO HOSPITAL YOGYAKARTA PERIOD
MAY-JULY 2007
ABSTRACT
Ovarian cancer is the fifth leading cause of death in women. Generally
patient who diagnosed for ovarian cancer is patient at advanced ovarian cancer,
hence only chemotherapy that matches for advanced ovarian cancer patient. This
research aim to know about patient characteristic associated with risk factor of
ovarian cancer and emesis prevalent and to evaluate chemotherapy protocol
ovarian cancer, and to find out relation between suitability protocol ovarian cancer
with emesis occurrence. This research used medical record of patient ovarian
cancer and interview with patient, which is taken prospectively and analyzed
using case series method. Result showed that the most important characteristic
related with prevalence of ovarian cancer is age (36.3%), age when bera first child
beyond the safe age (age 20-24) as big as 30%, and unhealthy life pattern. The
most important characteristic related to emesis is chemoterapy cycle at second
cycle of 33.3% and staging with prevalence of ovarian cancer is stage IIIC
(36.6%), The suitability of protocol ovarian cancer with defined protocol is 100%.
There is no relation between the suitability of appropriate protocol ovarian cancer
with emesis occurence. Result of chi-square test and logistic regreesion showed
that from four variable independent (age, parity status, chemotherapy cycle, and
job) not significant more than 0,05. Thus those four variables statistically do not
have influence toward emesis occurrence.
Keyword : Ovarian cancer, chemotherapy protocol, prospective, emesis, Dr.
Sardjito hospital Yogyakarta.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kanker ovarium merupakan suatu kanker yang menduduki urutan kelima
kanker non-cutaneus paling umum yang ditemukan pada wanita. Diantara semua
jenis kanker ginekologi, kanker ovarium merupakan pemicu kelima yang
menyebabkan kematian dari berbagai macam keganasan yang terjadi pada wanita.
Kejadian kanker ovarium tertinggi ditemukan di Amerika Serikat, Eropa, dan
Israel, dan sangat rendah di Jepang. Di Amerika sendiri, diperkirakan 22.220
kasus baru kanker ovarium yang terdiagnosis dan pada tahun 2005 diperkirakan
16.210 wanita akan meninggal karena penyakit ini. Berdasarkan Surveillance,
Epidemiologi, and End Result (SEER) data yang dikumpulkan dari tahun 1995
sampai tahun 2000, harapan untuk bertahan hidup pada wanita kulit putih untuk
semua stadium diperkirakan 50 %, dan secara dramatis bisa menurun pada pasien
dengan penyakit tertentu (Dipiro et al., 2005). Di negara maju kecuali Jepang,
kanker ovarium berada pada urutan keenam dari tumor ganas pada wanita setelah
karsinoma payudara, kolorektal, serviks uteri, paru dan limfoma. Penyakit ini
mempunyai mortalitas tertinggi dari tumor ganas ginekologik. Di Indonesia,
kanker ovarium terdapat pada urutan keenam terbanyak dari tumor ganas pada
wanita setelah kanker serviks, uteri, payudara, kolekteral, kulit, dan limfoma
(Tambunan,1995).
Penyebab kanker ovarium tidak diketahui secara pasti dan bersifat
multifaktorial. Risiko berkembangnya kanker ovarium berkaitan dengan
lingkungan, endokrin dan faktor genetik. Insidens tertinggi terdapat di negara-
negara industri barat. Pola makan yang tidak sehat, kopi dan merokok, adanya
asbestos dalam lingkungan dan penggunaan bedak talk pada daerah vagina, semua
itu dianggap mungkin menyebabkan kanker (Sylvia dan Wilson, 2006).
Pada umumnya kanker ovarium ditemukan pada stadium lanjut. Sebagian
besar tumor membesar dan menyebar ke organ sekitarnya tanpa keluhan. Itulah
sebabnya tumor ini dikenal sebagai penyakit yang muncul secara diam-diam tapi
mematikan (silent killer) (Ozols et al., 2001). Sebagian besar pasien ketika
didiagnosis kanker ovarium penyakitnya sudah menyebar. Hal ini disebabkan
gejala-gejala yang dialami biasanya tidak muncul sampai penyakit ini terdeteksi.
Hal tersebut menyebabkan kanker ovarium merupakan salah satu kanker dengan
prognosis terburuk dan penyebab kematian kelima diantara kanker ginekologi
pada perempuan (Dipiro et al., 2005).
Kemoterapi adalah suatu pengobatan kanker dengan obat atau zat yang
berkhasiat menghambat pertumbuhan atau membunuh sel kanker. Obat antikanker
yang digunakan dikenal juga dengan nama sitotoksik, sitostatik atau
antineoplasma (Siswandono, 2000). Konsep pada pemberian kemoterapi kanker
didasarkan pada siklus pertumbuhan dan pembelahan sel, sifat sel itu sendiri
berbeda dari sel normal dan sasaran yang dapat dicapai. Penatalaksanaan
kemoterapi secara umum berbeda dengan pengobatan yang dilakukan pada jenis
penyakit yang lain. Pemberian kemoterapi dilakukan berdasarkan pada protokol
yang telah ditetapkan baik oleh suatu rumah sakit, standar nasional, maupun
standar internasional. Protokol itu sendiri merupakan suatu SOP (Standar
Operasional Prosedur) pada pemberian suatu regimen kemoterapi.
Salah satu mekanisme kerja dari obat-obat kemoterapetik adalah
memanfaatkan sifat tumor yang tumbuh secara cepat sehingga banyak memiliki
sel yang sedang bereplikasi dan membelah sehingga cenderung rentan terhadap
kemoterapi. Namun sel-sel normal juga rentan terhadap efek merusak dari obat-
obat kemoterapetik sehingga hal tersebut menyebabkan timbulnya efek yang tidak
diinginkan dari kemoterapi seperti penekanan sum-sum tulang, yang sebaliknya
menyebabkan kelelahan, anemia, kecendrungan pendarahan, dan meningkatan
resiko terjadinya infeksi. Sel-sel normal yang lain yang juga rentan terhadap obat
sititoksik adalah sel saluran cerna dan sel folikel rambut. Sehingga efek samping
yang sering ditemukan adalah emesis dan rambut rontok (Corwin, 2001).
Emesis merupakan efek samping yang sering ditemukan pada pengobatan
kemoterapi. Adapun faktor yang dapat memicu terjadinya emesis ini bervariasi,
selain karena pemberian kemoterapi, emesis juga dapat disebabkan oleh kondisi
klinis pasien, faktor makanan, dan riwayat perjalanan pasien. Emesis tidak hanya
mempengaruhi kualitas hidup pasien, tetapi juga dapat menyebabkan penolakan
pengobatan dengan antineoplasma yang mempunyai potensi penyembuhan. Selain
itu, emesis yang tidak terkendali dapat menyebabkan dehidrasi,
ketidakseimbangan metabolisme dan berkurangnya asupan nutrisi. Oleh karena itu
emesis harus mendapat perhatian yang serius dan secepatnya diatasi. Pengatasan
emesis ini menggunakan antiemesis yang keberhasilannya sebagian besar
ditentukan oleh kesesuaian antara regimen kemoterapi dengan antiemesis yang
diberikan.
Masalah klinis yang dialami oleh pasien kanker tidak hanya terkait
dengan penyakitnya sendiri tetapi juga terkait dengan terapinya yang di antaranya
berupa efek samping dan efek toksik terapi. Dengan adanya masalah klinis yang
terkait dengan faktor terapinya sendiri, maka dibutuhkan pendekatan
multidisipliner dengan modalitas terapi yang terdiri dari kombinasi antara
pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi. Kerja sama yang erat serta
dilakukannya evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi kanker ovarium ini
mutlak diperlukan untuk mencapai efektivitas maksimal pengobatan dan
meminimalisir efek samping yang tidak diinginkan serta tumpang tindihnya
berbagai toksisitas.
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta merupakan rumah
sakit pendidikan sekaligus sebagai rumah sakit rujukan tipe A. Kasus kanker
ovarium relatif lebih banyak ditemukan dibanding Rumah Sakit lain di Jawa
tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil observasi awal ditemukan
sebagian besar penderita kanker ovarium yang di rawat inap di Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Sardjito merupakan pasien dengan diagnosa kanker ovarium
stadium II dan III, Sehingga memungkinkan untuk dilakukan penelitian di RSUP
Dr. Sardjito.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik pasien terkait dengan faktor risiko kanker
ovarium dan kejadian emesis ?
2. Apakah pemberian kemoterapi pada pengobatan pasien kanker ovarium di
instalasi rawat inap RSUP Dr.Sardjito telah terlaksana sesuai dengan
protokol yang ditetapkan ?
3. Bagaimana hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol dengan kejadian
emesis ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui karakteristik pasien terkait dengan faktor risiko kanker
ovarium dan kejadian emesis.
2. Untuk mengevaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi pada pengobatan
pasien kanker ovarium di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito.
3. Untuk mengetahui hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol dengan
kejadian emesis.
D. Manfaat Penelitian
1. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber
informasi pemberian kemoterapi secara tepat.
2. Dapat dijadikan sebagai salah satu sumber acuan dalam peningkatan mutu
pelayanan medik pada penatalaksanaan kemoterapi kanker ovarium.
BAB II
STUDI PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Anatomi dan Fisiologi Ovarium
Organ reproduksi dapat dibagi atas organ externa dan interna (Pearce,
2002). Organ-organ internal sistem reproduksi perempuan terdiri dari dua ovarium
dan dua tuba fallopi atau saluran telur, uterus dan vagina. Genitalia externa secara
keseluruhan disebut vulva dan terdiri dari struktur-struktur yang tampak dari luar,
mulai dari pubis sampai ke perineum, yaitu mons pubis, labia mayora, labia
minora, klitoris, vestibulum, yang berbentuk seperti buah almond di dalam labia
minora (Sylvia dan Wilson, 2006)
Anatomi Ovarium (indung telur)
Gambar 1. Anatomi manusia (wanita) (Anonim, 2006b)
Struktur kedua ovarium adalah kelenjar berbentuk biji buah kenari, terletak di
kanan dan kiri uterus, di bawah tuba uterine dan terikat di sebelah belakang oleh
ligamentum latum uteri. Ovarium berisi sejumlah besar ovum belum matang, yang
disebut oosit primer. Setiap Oosit dikelilingi oleh sekelompok sel folikel pemberi
makanan. Pada setiap siklus haid salah satu dari ovum primitif ini mulai
mengalami pematangan dan kemudian dengan cepat berkembang menjadi folikel
ovario yang vesikuler ( folikel Graaf ) (Pearce, 2002).
Ovarium memiliki tiga fungsi yaitu sebagai tempat produksi ova, produksi
estrogen, dan produksi progesterone (Pearce, 2002). Pada perempuan dewasa,
ovarium berkembang menghasilkan sel telur (oogenesis) dan menghasilkan
hormon-hormon steroid : estrogen-estron (E1), Estradiol (E2), dan estriol ( E3)
dan androgen serta progesteron. Sejumlah kecil estrogen dan androgen juga
disekresi oleh korteks adrenal. Androgen diubah menjadi estrogen perifer pada
jaringan lemak. Estradiol adalah estrogen yang disekresi dalam jumlah banyak
oleh ovarium (Sylvia dan Wilson, 2006). Ovarium berfungsi mengeluarkan
hormon steroid dan peptida seperti estrogen dan progesteron. Kedua hormon ini
penting dalam proses pubertas wanita dan ciri-ciri seks sekunder. Estrogen dan
progesteron berperan dalam persiapan dinding rahim untuk implantasi telur yang
telah dibuahi. Selain itu juga berperan dalam memberikan sinyal kepada kelenjar
hipotalamus dan pituitari dalam mengatur sikuls menstruasi (Anonim, 2006b)
Setelah mengalami ovulasi, sel telur akan masuk ke dalam tuba fallopi dan
bergerak pelan menuju rahim. Jika dibuahi oleh sperma (di tuba fallopi), sel telur
akan melakukan implantasi pada dinding uterus dan selanjutnya berkembang
menuju proses kehamilan. Jika pembuahan tidak terjadi di tuba fallopi, maka
dapat terjadi kehamilan ektopik, yaitu suatu kehamilan yang terjadi di luar rahim.
Perkembangan janin pada kehamilan ektopik dapat terjadi di tuba fallopi sendiri,
bibir rahim, bahkan ovarium (Anonim, 2006b).
Ovarium jarang sekali menjadi tempat timbulnya penyakit primer, kecuali
neoplasma. Ini memang benar, karena kanker ovarium menyebabkan kematian
(kira-kira 12.000) yang lebih banyak daripada kanker serviks dan korvus uteri
secara bersama-sama. Bukan dari sisi frekuensi, tetapi dari sisi letalitasnya yang
menyebabkan kanker ini menjadi ganas. Radang primer ovarium merupakan
sesuatu yang jarang terjadi , tetapi salpingitis pada tuba seringkali menimbulkan
reaksi periovarium yang disebut salpingooforitis. Sebagaimana telah dibicarakan,
ovarium sering terkena secara sekunder pada endometriosis. Hanya kista non-
neoplasma dan neoplasma yang memerlukan perhatian lebih lanjut Neoplasma
ovarium ditemukan dalam variasi yang menakjubkan, baik tipe histogenesis
maupun bentuknya. Perbedaan ini dapat dihubungkan dengan tiga macam sel yang
membentuk ovarium yang normal-epitel permukaan yang multipotensial, sel benih
yang totipotensial, dan sel stroma pita kelamin (sex cord-stromal cells) yang
multipotensial (Robins, 1995).
2. Kanker Ovarium
a. Definisi
Kanker ovarium merupakan suatu penyakit yang disebabkan adanya
kelainan genetik yaitu pada gen BRCA 1, BRCA2, p21, Her2Neu, p53, OVAC1,
OVAC2, dan gen fungsi Rb, serta kehilangan heterozygot pada kromosom 6, 9,
13q, 17, 18q, 19p, dan 22q. Perubahan pada gen ini bisa menyebabkan terjadinya
gangguan atau mutasi pada BRCA 1 dan BRCA2 (Dipiro et al., 2005). Salah satu
perubahan gen yang penting menyebabkan kanker ovarium adalah perubahan
pada Gen p53. Gen p53 adalah gen regulator yang banyak ditemukan di sel
manusia. Apabila diaktifkan, gen ini menyebabkan pembentukan suatu faktor
transkripsi yang melekat ke DNA sel dan bekerja seperti tombol untuk
mencetuskan transkripsi (replikasi) DNA. Gen regulator juga digambarkan
sebagai”tombol hidup-mati “ yang memungkinkan sel bereproduksi atau tidak,
bergantung pada kondisi. Apabila control dari gen regulator menghilang, atau
apabila gen regulator itu sendiri yang rusak, maka sel akan berproliferasi secara
liar yang akhirnya membentuk kanker (Corwin, 2001).
b. Epidemiologi
Kanker ovarium biasanya muncul pada masa postmenopose pada wanita
kulit putih sebelum usia 60 tahun. Hanya 5-10 % kanker ovarium yang dikenal ;
sebagian besar kanker ovarium muncul secara diam-diam. Di Amerika Serikat,
selama masa hidupnya risiko berkembangnya kanker ovarium pada wanita adalah
1,4 % sampai 1,8 %. Sebagian besar faktor risiko yang paling penting sebagai
penyebab munculnya kanker ovarium adalah adanya riwayat keluarga yang
menderita kanker ovarium. Risiko berkembangnya kanker ovarium meningkat 3,4
% pada wanita yang sering mengalami keguguran, 7%-9% pada wanita dengan
riwayat keluarga penderita kanker ovarium dan menurun sampai 0,6 % pada
wanita yang mengalami kehamilan, khususnya pada wanita yang hamil pertama
kali diusia sebelum 25 tahun. Adanya saran bahwa menghalangi peristiwa ovulasi
kemungkinan dapat memberikan faktor kontribusi atau mengurangi risiko
terjadinya kanker ovarium. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka panjang
atau menyusui dapat memperendah resiko berkembangnya kanker ovarium.
Risiko peningkatan kanker ovarium juga terkait dengan lingkungan perokok atau
penggunaan talk (Dipiro et al., 2005).
Kanker ovarium menduduki urutan ke-14 dunia (negara maju maupun
negara berkembang). Di Indonesia pada tahun 1990, kanker ovarium menduduki
urutan ke-6 terbanyak diantara kanker ginekologi. Sementara di dunia, Indonesia
menduduki urutan ke-7 negara yang paling banyak ditemukan kasus kanker
ovarium pada wanita dan merupakan urutan ke-3 penyebab kematian karena
keganasan pada wanita setelah kanker serviks. Ketahanan hidup dapat dicapai
72.8% apabila ditemukan pada stadium I, 95% pada stadium II dan semakin
menurun menjadi 8% apabila ditemukan pada stadium lanjut. Adanya prognosis
yang buruk dalam penanganan kanker ovarium, misalnya di RSCM disebabkan
oleh 85% merupakan kasus rujukan, 36% datang pada stadium III – IV, dan 37%
penatalaksanaan tidak dapat optimal (Nurana et al., 2007).
Di negara maju frekuensi kanker ovarium merupakan 5% dari seluruh
penyakit kanker yang ada pada wanita. Akan tetapi di Jepang yang juga dikenal
sebagai negara maju, kanker ovarium jarang ditemukan. Sebagian besar kanker
ovarium berasal epitel superfisial dan lebih banyak ditemukan pada umur 50 tahun
atau lebih, sedang tumor yang berasal dari germ cell lebih banyak ditemukan pada
anak-anak ataupun wanita muda (Tambunan, 1995).
c. Etiologi
Penyebab pasti kanker ovarium belum diketahui namun bersifat
multifaktorial. Risiko berkembangnya kanker ovarium memiliki kaitan dengan
lingkungan, endokrin, dan faktor genetik. Insidens tertinggi terdapat di negara-
negara industri barat. Kebiasaan makan, kopi, dan merokok, adanya asbestos
dalam lingkungan, dan penggunaan bedak talk pada daerah vagina, semua itu
dianggap mungkin menyebabkan kanker (Sylvia dan Wilson, 2006).
Karena letaknya dalam panggul, gejala awal jarang ditemukan. Sering ditemukan
pada usia pasca-menopose, 80% kasus ditemukan pada wanita usia di atas 50
tahun. Insidens tertinggi ditemukan pada wanita dengan usia 60-65 tahun. Jenis
yang sering adalah jenis karsinoma sel epitelial. Pada usia muda juga ditemukan
jenis karsinoma sel germinal. Adapun kanker ovarium diduga disebabkan oleh
faktor-faktor berikut :
1) Ovulasi yang terus menerus. Akibat seringnya ovulasi menyebabkan
trauma pada ovarium. Pemberian pil KB atau seringnya melahirkan kemungkinan
dapat melindungi ovarium dari risiko keganasan ini. Tapi teori ini tidak dapat
menjelaskan faktor usia lanjut / postmenopause, atau insidens yang rendah pada
wanita Jepang yang jarang memakai pil KB.
2) Adanya kontaminasi benda asing. Permukaan ovarium bisa terkontaminasi
oleh bahan-bahan yang mengalir dari tuba, misalnya darah/jaringan menstruasi,
bedak, obat-obatan dan lain sebagainya.
3) Hipergonadotropik-hipogonadisme. Gonadotropin meningkat bila
ovarium tidak dapat mengontrol balik hipofisis (gangguan feedback mechanism).
Kegagalan ovarium ini menyebabkan hipogonadisme, dapat terjadi misalnya
karena defisiensi oosit secara kongenital, infeksi virus, galaktosemia, radiasi, atau
toksin hidrokarbon polisiklik akibat rokok, kafein, dan oksidan lainnya. Wanita
yang infertil karena hipogonadisme termasuk kelompok risiko tinggi. Kehamilan
dan pemakaian pil-KB mempunyai efek protektif, karena dapat mengubah sekresi
hormon tropik ini. Kehamilan dilaporkan mempunyai efek protektif terhadap
kanker ovarium. Meningkatnya insiden kanker ovarium ada kaitannya dengan
faktor kehamilan antara lain jumlah wanita hamil sedikit, proporsi wanita mandul
lebih banyak, kehamilan pertama pada umur lanjut dan proporsi yang gagal hamil
lebih banyak. Pada populasi wanita pemakai kontrasepsi oral ataupun suntikan,
insiden kanker ovarium juga menurun (Tambunan,1995).
4) Genetik (perubahan/gangguan pada gen yang diturunkan). Faktor risiko
bisa meningkat menjadi 11 kali pada wanita dengan riwayat kanker ovarium
dalam keluarga (sindroma famili) ( Nurana et al., 2007).
5) Faktor makanan mungkin memiliki kaitan dengan meningkatnya kanker
ovarium pada imigran wanita Jepang di Amerika Serikat.
d. Patofisiologi
Zat-zat karsinogenik
Tumor primer
Infiltrasi ke jaringan sekitar
Implantasi (ciri khas kanker ovarium)
Ascites (kelebihan volume cairan)
Gejala samar (nafsu makan menurun, makan sedikit terasa cepat
kenyang, sering kembung, dan perut sebah) yang mengakibatkan anemia,
kelelahan, dan resiko infeksi.
Lebih dari 30 jenis neoplasma ovarium telah diidentifikasi. Tumor
ovarium dikelompokkan dalam tiga kategori besar.
1) Tumor-tumor epitelial
2) Tumor stroma gonad
3) dan tumor-tumor sel germinal.
Tumor-tumor epitelial menyebabkan 60 % dari semua neoplasma ovarium dan
diklasifikasikan sebagai neoplasma jinak, perbatasan ganas dan ganas. Bentuk
neoplasma epithelial yang ganas menyebabkan 90 % dari semua kanker ovarium.
Keganasan epithelial yang paling sering adalah adenokarsinoma serosa (Sylvia
dan Wilson, 2006)
Kebanyakan neoplasma epithelial mulai berkembang dari permukaan
epithelium, atau serosa ovarium. Dalam embrio, tuberkulum genitale (ovarium)
dan saluran mullerian (tuba fallopi, uterus, dan vagina) memiliki bentuk awal
mesodermal. Oleh karena itu, neoplasma epithelial ovarium mencerminkan jenis-
jenis sel differensiasi mullerian yaitu serosa yang mirip dengan tuba fallopi, 46 %;
musinosin yang mirip dengan endoserviks, 36 %; endometrioid yang mirip
dengan endometrium, 8 %; dan sel terang mirip dengan kelenjar endometrium saat
hamil, 3 %. Tumor lain adalah jenis sel urotelial, karsinoma campuran, dan
karsinoma tidak terdiferensiasi.
Kanker ovarium bermetastis dengan menginvasi secara langsung struktur
yang berdekatan dengan abdomen atau pelvis dan sel-sel yang menempatkan diri
pada rongga abdomen dan pelvis. Sel-sel ini mengikuti sirkulasi alami cairan
peritoneal sehingga implantasi dan pertumbuhan keganasan selanjutnya dapat
timbul pada semua permukaan intraperitoneal. Limfatik yang disalurkan ke
ovarium juga merupakan jalur untuk penyebaran sel-sel ganas. Semua kelenjar
pada pelvis dan kavum abdominal pada akhirnya akan terkena. Penyebaran awal
kanker ovarium pada jalur intraperitoneal dan limfatik muncul tanpa gejala atau
tanda spesifik (Sylvia dan Wilson, 2006).
Kanker ovarium menyebar secara cepat melalui rongga perut, aliran limfe,
dan pembuluh darah. Biasanya apabila penyebaran diluar rongga perut akan
masuk kerongga dada dan membentuk cairan abnormal di dalam paru-paru.
Penyebaran ruangan lain sangat jarang (Corwin, 2000).
Tumor ovarium menyebar secara langsung pada jaringan atau organ
sekitarnya melalui cairan peritoneum. Tumor sering menyebar pada lapisan serosa
tuba fallopi, uterus, vesika urinaria, dan rektum secara langsung.
e. Gejala dan Tanda
Secara tipikal, gejala tergantung pada besarnya tumor. Beberapa penderita
wanita pada stadium awal mengalami gangguan perut yang samar-samar. Sesudah
kanker berkembang, gejala yang kelihatan yaitu sering buang air kecil, sembelit,
panggul terasa tidak enak, dan mengalami penurunan berat badan. Pada kanker
yang telah berkembang jauh akan dijumpai cairan dalam rongga perut. Apabila
kanker pecah, akan terjadi infeksi yang menyebabkan rasa sakit. Pada wanita
muda, rasa sakit ini hampir bersamaan dengan apendiksitis sedangkan pada wanita
yang tua sesuai dengan gejala pendarahan dan gejala post menopose.
Kanker ovarium atau indung telur mendapat julukan the silent lady killer
atau pembunuh wanita diam-diam, karena menjadi penyebab kematian tertinggi
wanita. Julukan itu juga menyiratkan sifat kanker ovarium yang sulit dideteksi
pada stadium dini. Gejala penyakitnya baru dirasakan setelah memasuki stadium
lanjut. Gejala biasanya berupa pembesaran perut karena terdapat penggumpalan
cairan di dalam perut. Kondisi ini memberi rasa sakit di perut dan terjadi
pendarahan cukup banyak ketika menstruasi (Anonim, 2006b).
Gangguan menstruasi terjadi ketika tumor menyerang hormon. Gejala
lainnya, perut terasa kembung dan merasa tidak nyaman. Bila stadium berlanjut,
maka gejala selanjutnya selain perut membesar akan terasa ada benjolan di perut
ketika diraba, nyeri pada panggul, gangguan buang air besar atau buang air kecil
akibat penekanan pada saluran pencernaan dan saluran kencing. Kemudian
penderita dapat mengalami penimbunan cairan di rongga perut sampai mengalir
ke rongga dada. Perut pun tampak semakin membuncit. Bahkan bisa juga sampai
terjadi sesak napas (Anonim, 2006b)
f. Diagnosis
Diagnosis kanker mencakup tinjauan kondisi klinis pasien, pengumpulan
keterangan mengenai kebiasaan perorangan misalnya merokok, dan penelitian
latar belakang genetik pasien untuk kanker. Dugaan kanker ovarium merupakan
hasil pemeriksaan seorang dokter dengan sangat hati-hati termasuk juga
pemeriksaan payudara, pap smear, dan pemeriksaan rektovaginal. Pemeriksaan
menjadi sangat terbantu dengan adanya keterangan riwayat keluarga secara detail,
terutama ada tidaknya angka dan kejadian yang berhubungan dengan
pertumbuhan kanker. Pemeriksaan darah lengkap, gambaran kimiawi (termasuk
tes fungsi hati dan ginjal), dan uji CA-125 harus dilakukan. CA-125 antigen
umum untuk sebagian besar epitel nonmucinous kanker ovarium dan dideteksi
dilaboratorium dengan antibody monoclonal secara langsung pada antigen ini.
CA-125 merupakan penanda tumor yang sangat berguna karena ditemukan lebih
dari 80 % pada tumor ovarium naik atau turunnya titer berhubungan dengan
penyebaran penyakit. Nilai CA-125 kurang dari 35 unit/mL. Penyakit yang sukar
disembuhkan sering dihubungkan dengan level CA-125 dimana tidak dapat
kembali normal atau bekasnya diangkat setelah pemberian kemoterapi yang
lengkap. Test diagnosis lainnya termasuk chest x-ray, pyelogram intravena,
cystoscopy, prostoscopy, dan barium enema. Penyebaran klinis, computed
tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), atau ultrasound dapat
digunakan sebagai indikasi (Dipiro et al., 2005)
Menjelang diagnosis massa adeksa ditemukan dalam pemeriksaan pelvik
tergantung dari berbagai faktor, termasuk usia reproduktif, ukuran massa adneksa,
status menopose, dan gejala-gejalanya. Penyelidikan laparotomi diindikasikan
untuk wanita premenarce, wanita dengan massa tumor bilateral, atau wanita
dengan sakit intraabdominnal atau asites (Dipiro et al., 2005).
Stadium kanker biasanya ditentukan sebelum tindakan bedah. Akan tetapi pada
tumor ovarium, stadium ditentukan berdasarkan pemeriksaan sesudah laporatomi.
Penentuan stadium dengan laporatomi lebih akurat, oleh karena perluasan tumor
dapat dilihat dan ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi (sitologi atau
histopatologi), maka terapi dan prognosis dapat ditentukan lebih akurat pula.
Klasifikasi stadium yang biasa dipergunakan untuk tumor ganas adalah menurut
FIGO (Tambunan, 1995).
Tabel I. Klasifikasi Stadium menurut FIGO (Tambunan, 1995)
Stadium Interpretasi
I
Ia
Ib
Ic
II
IIa
IIb
IIc
III
IV
Khusus
Tumor terbatas diovarium
Pertumbuhan tumor ganas disatu ovarium dan tidak ada asites
Tumor terbatas dikedua ovarium tanpa asites
Tumor terbatas disatu atau kedua ovarium, sitologi asites atau air
cucian peritoneum positif maligna
Tumor disatu atau kedua ovarium dengan pertumbuhan dalam pelvis
Tumor disatu atau kedua ovarium dengan pertumbuhan dipelvis minor
dan pada pembedahan tumor terangkat seluruhnya.
Tumor meluas pada jaringan pelvis dan pada pembedahan tumor tidak
terangkat seluruhnya
Tumor stadium II a atau II b, tapi asites atau cairan Peritoneum
positif sel maligna
Tumor disatu atau kedua ovarium dengan metastasis pada Peritoneum
diluar panggul dan kelenjar KGB retroperitoneal atau keduanya. Tumor
terbatas pada panggul kecil dengan metastasis ke dinding usus dan
omentum, dibuktikan dengan hispatologik.
Tumor pada satu atau kedua ovarium dengan metastasis jauh.
Metastasis kehati atau adanya efusi pleura yang dibuktikan dengan
sitologi juga digolongkan stadium IV
Kasus yang tidak dilakukan laporatomi, tapi diduga karsinoma ovarium.
g. Tatalaksana Terapi
Manajemen atau tata laksana terapi kanker ovarium didasarkan atas tipe
jaringan, tingkat patologi, dan stadium dari penyakit yang telah terdiagnosis. Pada
umumnya terapi pada pasien kanker ovarium pada permulaannya meliputi
pembedahan pada tempat lesi pada waktu stadium laparotomi yang diikuti dengan
kemoterapi adjuvant. Bagaimanapun, efek dari pemindahan lesi pada pasien
dengan tahap stadium IV hasilnya tidak bisa sembuh secara total. Terapi pada
tahap kedua direkomendasikan apabila sisa-sisa penyakit ditemukan setelah
pemberian kemoterapi adjuvant. Walaupun, memberikan respon yang tinggi,
banyak pasien penderita kanker ovarium masih tidak bisa diselamatkan atau
meninggal akibat penyakit yang mereka derita, sehingga penting dilakukan
diagnosa sedini mungkin, dan daftar pasien yang tepat sesuai dengan tingkatan
stadium penyakitnya (Dipiro et al., 2005).
Pengobatan berdasarkan Stadium
1) Stadium Awal ( Stadium I dan II)
Diperkirakan satu-tiga pasien penderita kanker ovarium dengan penyakit
tertentu (stadium I atau II) yang telah terdiagnosis. Pada pasien yang penyakitnya
jelas terdiagnosa stadium awal, tindakan pembedahan yang komprehensif sangat
penting dilakukan sepenuhnya karena kira-kira satu-tiga pasien akan mempunyai
fase metastase yang tidak jelas besarnya pada organ secara keseluruhan.
Selama laparotomi, pasien harus menjalani stadium komprehensif, total
abdominal histerectomy, dan bilateral salpingooporectomi. Wanita dengan
stadium IA, tingkat 1 tumor ovarian menginginkan pemeliharaa ovarian fungsi
reproduksi bisa menjalani sebuah unilateral salpingo-oophorectomi tanpa
penurunan resiko untuk bertahan hidup secara signifikan. Manfaat dari
kemoterapi tambahan pada penyakit tertentu tidak tergantung pada stadium dan
jenis penyakitnnya.
Kemoterapi adjuvant post operatif tidak dianjurkan pada tahap 1, Stadium
IA atau IB kanker ovarium, yang pasien dengan tahap 2 atau 3, stadium IA atau
IB, dan stadium IC, kanker ovarium bermanfaat dari kemoterapi adjuvant.
Seluruh pasien degan stadium II harus menerima pengobatan tambahan (Dipiro et
al., 2005).
2) Stadium III dan IV
Mayoritas wanita dengan kanker ovarium dideteksi sudah tahap III dan IV.
Pengobatan pada Stadium III dan IV ini jelas berupa tindakan pembedahan pada
tempat yang mengandung lesi kemudian diikuti dengan kemoterapi tambahan atau
konsolidatif dengan menggunakan paclitaxel + Cisplatin atau Carboplatin untuk 6
siklus. Secara keseluruhan, fungsi dari pengobatan stadium ini (III dan IV) adalah
bertujuan untuk memelihara hidup pasien dan mengendalikan sisa-sisa kanker
setelah tahap pembedahan (Dipiro et al., 2005).
3. Kemoterapi
a. Definisi
Obat anti kanker adalah senyawa kemoterapetik yang digunakan untuk
pengobatan tumor yang membahayakan kehidupan (kanker). Obat antikanker
sering dinamakan pula sebagai obat sitotoksik, sitostatik atau antineoplasma.
Tujuan utama kemoterapi kanker adalah merusak secara selektif sel tumor yang
berbahaya tanpa mengganggu sel normal. Tujuan ini sering mengalami kegagalan
dan sampai sekarang masih sedikit sekali obat antikanker yang bekerja secara
selektif untuk pengobatan jenis kanker tertentu (Siswandono, 2000)
b. Efek samping kemoterapi
Konsep mengenai pemberian kemoterapi kanker didasarkan pada siklus
pertumbuhan dan pembelahan sel, sifat sel kanker itu sendiri yang berbeda dari
sel normal, dan sasaran yang dicapai. Kemoterapi bersifat sistemik dan bervariasi.
Pemberian regimen kemoterapi yang bervariasi tersebut menyebabkan tingkatan
efek samping yang dihasilkan juga bervariasi. Berikut tingkatan potensi kejadian
efek samping yang disebabkan oleh pemberian regimen kemoterapi diatas :
1) Potensi kejadian emesis
Pada batang otak terdapat dua tempat yang mempunyai peranan penting
dalam jalur muntah. Daerah pemicu kemoreseptor, berada di area postrema
(suatu struktur sirkumventrikular pada ujung kaudal ventrikel keempat ) berada
diluar sawar otak. Jadi obat ini dapat memberi respon secara langsung terhadap
rangsangan kimiawi didalam darah atau cairan serebrospinalis. Tempat penting
yang kedua, pusat muntah, terletak di formasio lentikular lateral dari medula,
mengkoordinasi mekanisme motor dari refleks muntah. Pusat muntah juga
memberikan respons terhadap input aferen dari sistem vestibular, bagian perifer
( faring dan saluran pencernaan ) dan bagian lebih tinggi dari batang otak dan
struktur kortikal. Sistem vestibular berfungsi terutama pada mabuk perjalanan
(Mycek et al., 2001).
Obat-obat kemoterapi (atau metabolitnya) dapat mengaktivasi langsung
daerah pemicu kemoreseptor di medula atau pusat muntah; beberapa
neuroreseptor, termasuk dopamin tipe 2 dan serotonin tipe 3 , memainkan peranan
kritis. Sering, warna dan bau obat-obat kemoterapi dapat mengaktivasi pusat
muntah yang lebih tinggi di dalam pusat otak dan memicu muntah. Obat-obat
kemoterapi juga dapat bekerja secara perifer dengan menyebabkan kerusakan sel
di saluran pencernaan dan melepaskan serotonin dari sel enterokromafin dari
mukosa usus halus. Serotonin yang dilepaskan mengaktivasi reseptor 5-HT3 pada
saraf vagus dan serat aferen nervus splanknikus yang kemudian membawa sinyal
sensoris ke medula, menyebabkan respon muntah (Mycek et al., 2001).
Sebelum menentukan obat antiemesis yang akan digunakan, penting untuk
mengetahui obat kemoterapi yang digunakan termasuk dalam kelompok yang
mana menurut kemampuannya dalam menimbulkan emesis. Obat-obat
kemoterapi, menurut kemampuannya dalam menimbulkan emesis, dibagi atas 3
kelompok, yaitu ringan, sedang, dan berat. Disebut ringan bila kurang dari 10%
pasien yang mendapat obat kemoterapi tertentu mengalami emesis, sedang bila
50% pasien yang mendapat obat kemoterapi tertentu mengalami emesis, dan berat
bila semua pasien yang mendapat obat kemoterapi tertentu mengalami emesis.
Berikut ini adalah pembagian obat kemoterapi menurut kemampuannya
dalam menimbulkan emesis.
Tabel II. Obat kemoterapi menurut kemampuannya dalam menimbulkan
emesis (Anonim, 2007)
Ringan Bleomisin, busulfanoral, steroid, fludarabin,
hidroksiurea Interferon, melfalan (Oral),
merkaptopurin, methotrexate < 1 g/m2, tioguanin,
vinblastin, vinkristin.
Sedang Asparagin, sitarabin < 1 g/m2, etoposid, fluorasil
< 1000mg/m2, gemcitabin, metotreksat >1 g/m
2,
tiotepa, topotekan, siklofosfamid<750mg/m2,
epirubisin, idarubisin, mitoxantron< 15 mg/m2
Berat karboplatin, karmustin, sisplatin, siklofosfamid>
750 mg/m2 sitarabin > 1 g/m
2, aktinomisin,
doksorubisin, irinotekan melfalan (IV),
metotreksat > 2 g/m2, mitoxantron >15 mg/m2,
prokarbazin
2) Faktor-faktor yang memicu kejadian emesis
Kejadian emesis dapat dipicu oleh adanya penyakit pada lambung, pada
kandung empedu, pankreatitis kronis, uremia, koma hepatika, peningkatan
tekanan di otak serta infeksi akut. Selain itu emesis merupakan gejala utama
kinetosis (penyakit perjalanan), yang dapat terjadi jika seseorang melakukan
perjalanan dan terjadi gerakan pasif terhadap kesetimbangan secara cepat dan
berulanga-ulang., kurangnya fiksasi mata pada benda-benda yang bergerak cepat
dan adanya rangsang psikis. Disamping itu emesis juga dapat terjadi pada wanita
yang dalam kondisi hamil muda baik dalam bentuk vomitus matunitus (muntah
pada pagi hari) maupun dalam bentuk hiperemesis gravidarum (muntah pada saat
hamil yang tidak dapat dihindari) ( Mutscler, 1991).
3) Tipe emesis
(a) Akut
Suatu kejadian emesis yang terjadi dalam durasi 24 jam, biasanya terjadi
pada saat sedang pemberian sitostatika. Tanpa pengobatan antiemesis, obat
sitostatika dengan potensial mual muntah sedang sampai berat diperkirakan dapat
menyebabkan mual muntah yang berulang atau terus menerus (Anne et al., 2002)
(b) Tertunda
Suatu tipe emesis yang terjadi setelah 24 jam pertama sejak pemberian
obat sitostatika dan akan mengalami onset 3-5 hari, pada beberapa kasus pada
emesis tipe ini dapat menyebabkan anoreksia. Puncaknya mencapai 48-72 jam
setelah pemberian cisplatin dan mungkin sampai satu minggu bahkan lebih
(Anne et al., 2002).
(c) Antisipator
Ini terjadi pada pasien yang sudah merasa mual atau rasa tidak enak perut
dean cemas, padahal obat sitostatika belum diberikan (Anne et al., 2002).
4) Pemilihan antiemesis
Setelah ditentukan termasuk dalam kelompok mana obat kemoterapi yang
digunakan, selanjutnya adalah pemilihan obat anti muntah yang sesuai. Mengenai
pilihan obat antiemesis berikut dosisnya dapat dilihat pada tabel III di bawah ini.
Tabel III. Obat antiemesis (Anne et al., 2002).
Tingkatan emesis Antiemesis Dosis Rute pemberian
Tinggi (level 3-5) Ondansetron
Granisetron
Dolasetron
Deksametason
8 mg-24mg
10µg/kg-2 mg
1.8 mg/kg-
100mg
20mg
IV,PO
IV,PO
IV
IV/PO
Sedang (level 2) Ondansetron
Granisetron
Dolasetron
Deksametason
8 mg
2 mg
100mg
8 mg
PO
PO
PO
PO
Ringan Tidak diperlukan
atau
Domperidone
atau
Promethazine
3 mg/kg
0,5 mg/kg
PO
PO
Pediatri(level3-5) Ondansetron
Granisetron
Dolasetron
Deksametason
0.15 mg/kg/dose
20-40 µg/kg
1.8 mg/kg/
5-10 mg/m2
IV
IV
IV
PO/IV
Obat-obatan antiemesis di atas harus diberikan 30 menit sebelum
pemberian pertama obat kemoterapi dan dilanjutkan hingga obat kemoterapi
selesai diberikan. Bagi pasien yang menggunakan obat kemoterapi yang termasuk
dalam kelompok yang berat dalam menimbulkan muntah, dianjurkan agar
ondansetron dilanjutkan hingga 3 hari setelah penghentian pemberian obat
kemoterapi guna mengantisipasi muntah yang bisa timbul justru satu hari setelah
obat kemoterapi dihentikan (delayed emesis). Khusus untuk sisplatin, selain
ondansetron seperti ketentuan di atas, juga ditambah dexamethasone yang
dilanjutkan hingga 2 hari setelah penghentian obat kemoterapi (Anonim, 2007).
c. Contoh jenis protokol dan regimen kemoterapi kanker ovarium
1) Sisplatin dan Siklofosfamid
Jika dari hasil pemeriksaan didapat jumlah WBC> 3.0 x 109/1 dan platelet
> 100 x 109/1 maka dosis dari obat yang dipakai adalah 100% sementara jika
jumlah WBC 2.0 x 109/1 dan platelet 100 x 10
9/1 kurangi siklofosfamid sampai
75% dari dosis sebelumnya. Jumlah WBC 2.0 x 109/1 dan platelet 100 x 10
9/1
maka penanganan secara perlahan-lahan selama satu minggu kemudian kurangi
sisplatin dan siklofosfamid sampai 75% dari dosis utuh. Pengurangan ini mulai
dilakukan untuk semua siklus berikutnya.
Pada gangguan renal/ototoksisitas
Tahap 1-2, mengurangi dosis sisplati 80% dari dosis sebelumnya.
Tahap 3-4, dihentikan penggunaan sisplatin
2) Regimen kemoterapi kombinasi (BEP, CAP, Carbo + Paclitaxel)
Tabel IV. Regimen kemoterapi kombinasi (BEP, CAP, Carbo + Paclitaxel)
Jenis regimen Indikasi Regimen
BEP Kanker ovarium Bleomisin I.V 30 unit hari 2, 9, 15
Etoposid I.V 100mg/m2 hari 1-5
atau 120 hari 1-3
Sisplatin I.V 20mg/m2 hari 1-5
Ulangi siklus tiap 21 hari
CAP Kanker ovarium Siklofosfamid I.V 500 mg/m2 hari 1
Doxorubicin I.V 50 mg/m2 hari 1
Sisplatin I.V 50 mg/m2 hari 1
Ulangi siklus tiap 21 hari
Karboplatin +
Paclitaxel
Kanker ovarium Paclitaxel I.V 135 mg/m
2 (infus 24
jam) hari ke-1 atau 175 mg/m2 I.V
selama 3 hari diikuti karboplatin I.V
target AUC 5
Ulangi siklus tiap 21 hari
Tabel V. Regimen kemoterapi utama pada kanker ovarium (Dipiro et al., 2005).
Jenis regimen Dosis Interval siklus
Sisplatin 100 mg/m2 I.V hari ke -1 Setiap 28 hari
Karboplatin
400-800 mg/m2 I.V hari ke -
1
Setiap 28-35 hari
Sisplatin+
Siklofosfamid
50-100 mg/m2 I.V hari ke -1
500-1000 mg/m2 I.V hari
ke-1
Setiap 21-28 hari
Karboplatin +
Siklofosfamid
200-300 mg/m2 I.V hari ke-
1
500-1000 mg/m2 I.V hari
ke-1
Setiap 28 hari
Sisplatin+ Doxorubisin
+ Siklofosfamid
50-60 mg/m2 I.V hari ke-1
40-50 mg/m2 I.V hari ke-1
500-750 mg/m2 I.V hari ke-
1
Setiap 28 hari
Paclitaxel+ Sisplatin
135 mg/m2 I.V(infus 24
jam) hari ke-1
75 mg/m2 I.V hari ke-1
Setiap 21 hari
Paclitaxel+ Karboplatin
175 mg/m2 I.V (infus 3 jam)
hari ke-1.Dosis untuk AUC
5-7.5 I.V hari ke-1
Setiap 21 hari
Doxetaxel+ Karboplatin
75 mg/m2 I.V hari ke-1
Dosis untuk AUC 5 I.V hari
ke-1
Setiap 21 hari
3) Protokol kemoterapi RS. Dr. Sardjito yogyakarta
Protokol Kemoterapi Siklofosfamid 500 mg, Adriamisin 50 mg, Platosin
50mg/70mg/100mg
Waktu
Pelaksanaan
Protokol CAP
16.00 Dektrosa 5% botol I 30 tpm
21.00 NaCl botol II 30 tpm
02.00 Dektrosa 5% botol III tpm
09.30 Primperan, Vomceran
10.00 Siklofosfamid dalam NaCl 100cc
10.30 Adriamisin dalam NaCl 100cc
11.00 Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc 30 tpm
14.30 Spol NaCl
17.30 Spol dektrosa II
Keterangan : Setelah habis, dievaluasi. Jika keadaan umum baik, boleh pulang.
Protokol Kemoterapi Bleomisin 30mg, Etoposid 165mg, Platosin 50mg
Waktu
Pelaksanaan
Protokol BEP
16.00 Dektrose 5% botol I 30 tpm
21.00 NaCl botol II 30 tpm
02.00 Dektrosa 5% botol III tpm
09.30 Primperan, Deksametason
10.00 Bleomisin dalam NaCl 100cc
10.30 Etoposid dalam NaCl 100cc
11.00 Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc 30 tpm
14.30 Spol NaCl
17.30 Spol dektrosa II
Keterangan : Setelah habis, dievaluasi. Jika keadaan umum baik, boleh pulang
Protokol Paxus/Karboplatin 450mg
Waktu
Pelaksanaan
Protokol Paxus/Karboplatin 450mg
10.00 Infus NaCl 500ml, sisakan 100ml
Injeksi Kalmetazon 2 amp (2cc) iv
Injeksi Decadryl 2cc
Injeksi Ranitidin 2 amp iv (1 amp= 1cc)
12.30 Kemudian masuk paxus dalam cairan 500cc intralit, habis 3 jam
16.00 Karboplatin 450mg dalam dektrosa 5% 100cc habiskan 30 menit,
diteruskan dektrosa 5% 1 kantong 500cc
K/P Klinimik9 gr/40 tetes/menit dalam 2 hari
B. Keterangan Empiris
Penelitian mengenai evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi pada
pengobatan pasien kanker ovarium di instalasi rawat inap RSUP Dr.Sardjito
Yogyakarta periode Mei-Juli 2007 merupakan penelitian deskriptif yang
menggambarkan karakteristik pasien yang terkait dengan faktor risiko kanker
ovarium dan kejadian emesis serta evaluasi kesesuaian antara pelaksanaan
protokol kemoterapi pada pengobatan pasien kanker ovarium dengan prosedur
yang telah ditetapkan dan analisis hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol
dengan kejadian emesis yang diharapkan hasilnya nanti dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan para tenaga medis, terutama dokter dan apoteker untuk lebih
meningkatkan mutu pelayanan pengobatan pada pasien kanker ovarium.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Batasan Operasional Penelitian
1. Subjek penelitian adalah pasien yang menderita kanker ovarium sesuai dengan
diagnosa dokter yang sedang menjalani rangkaian kemoterapi yang tertera di
rekam medis dan pasien tersebut dirawat di Insatalasi rawat inap RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta pada bulan Mei-Juli 2007.
2. Protokol kemoterapi adalah prinsip atau tata laksana terapi kanker ovarium
secara lengkap dan dijadikan panduan terapi yang digunakan di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta.
3. Efek samping adalah keluhan atau gejala yang dirasakan oleh pasien setelah
mendapat kemoterapi yang berupa emesis yang tertulis dalam rekam medik
dan hasil dari wawancara dengan pasien.
4. Emesis adalah suatu kejadian mual dan muntah yang dirasakan sesudah
kemoterapi sampai 120 jam dari pemberian kemoterapi yang tidak disertai
dengan obat-obatan lain yang tertera di rekam medis dan hasil wawancara
dengan pasien.
B. Bahan Penelitian
Bahan penelitian adalah rekam medik untuk penderita kanker ovarium di
instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta
pada periode Mei-Juli 2007
C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Case Series dengan pengumpulan data
secara prospektif
D. Jalannya Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan 2 tahap yaitu :
Tahap I : Survei
Tahap ini dimulai dengan observasi lapangan ke unit rekam medik pasien
rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada bulan Mei- Juli 2007
Tahap II : Pengambilan Data
Data diperoleh dari kartu rekam medik pasien di unit rawat inap dan
wawancara dengan pasien. Data yang digunakan adalah jenis kelamin, dianosis,
macam dan golongan obat, cara pemberian, frekuensi pemberian, variasi jumlah
obat, dosis, lama perawatan, efek samping dan pemeriksaan laboratorium. Data
yang diambil merupakan data rekam medik dan hasil wawancara dengan pasien
penderita penyakit kanker ovarium dijadikan sampel penelitian. Sampel
ditentukan secara populasi utuh kasus penyakit kanker ovarium pada pasien pada
periode Mei-Juli 2007.
E. Analisis Hasil
Data yang didapat dianalisis berdasarkan parameter-parameter yakni
karakteristik subyek penelitian, evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi dan
analisis hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol dengan kejadian emesis.
Adapun parameter karakteristik subyek penelitian pertama adalah karakteristik
pasien berdasarkan faktor resiko terkait dengan kejadian kanker ovarium yaitu
karakteristik pasien berdasarkan status paritas, usia pada kelahiran anak yang
pertama, riwayat keluarga, dan pola hidup. Kemudian karakteristik pasien yang
kedua adalah karakteristik pasien berdasarkan faktor resiko yang terkait dengan
kejadian emesis yaitu karakteristik paasien berdasarkan usia, stadium, dan siklus
kemoterapi yang dijalani. Adapun parameter evaluasi pelaksanaan protokol
kemoterapi meliputi kesesuaian regimen yang diberikan, kesesuaian antiemesis
dengan regimen yang diberikan, dan kesesuaian pelaksanaan protokol kemoterapi
dengan protokol yang telah ditetapkan. Parameter ketiga adalah analisis hubungan
karakteristik pasien (umur, status paritas, siklus kemoterapi dan pekerjaan pasien)
dengan kejadian emesis dan analisis hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol
dengan kejadian emesis.
1. Karakteristik Subyek Penelitian
a. Karakteristik pasien berdasarkan faktor resiko terkait dengan kejadian kanker
ovarium.
1) Karakteristik pasien berdasarkan status paritas,
2) Karakteristik pasien berdasarkan usia pada kelahiran anak yang
pertama dan penggunaan kontrasepsi hormonal,
3) Karakteristik pasien berdasarkan riwayat keluarga,
4) Karakteristik pasien berdasarkan usia,
5) Karakteristik pasien berdasarkan pola hidup.
b. Karakteristik pasien berdasarkan faktor resiko terkait dengan kejadian emesis
1) Karakteristik pasien berdasarkan stadium,
2) Karakteristik pasien berdasarkan siklus kemoterapi yang dijalani.
Data setiap parameter disajikan dalam bentuk persentase ( univariate ).
2. Evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi
Evaluasi pelaksanaan protokol meliputi kesesuaian regimen yang
diberikan, kesesuaian antiemesis dengan regimen yang diberikan, dan kesesuaian
pelaksanaan protokol kemoterapi dengan protokol yang telah ditetapkan. Data
setiap parameter disajikan dalam bentuk persentase ( univariate )
3. Analisis hubungan antara pelaksanaan protokol dengan kejadian emesis.
meliputi analisis hubungan karakteristik pasien (umur, status paritas,
siklus kemoterapi dan pekerjaan pasien) dengan kejadian emesis dan analisis
hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol dengan kejadian emesis. Data setiap
parameter dianalisis dengan SPSS 11,5 melalui analisis Regresi Binary Logistik
dengan taraf kepercayaan 95%.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelusuran data yang telah dilakukan diketahui bahwa pasien yang
menderita kanker ovarium periode Mei-Juli 2007 di RSUP Dr.Sardjito adalah 39
pasien dengan 9 pasien yang tidak termasuk kedalam kategori penelitian
dikarenakan ada yang belum menjalani operasi dan pasien dengan kondisi gagal
ginjal sehingga tidak bisa menjalani kemoterapi. Pasien yang memiliki
kelengkapan data hanya 30 pasien sehingga dapat dilakukan analisis berdasarkan
parameter-parameter diatas.
A. Karakteristik Subyek Penelitian
1. Karakteristik pasien berdasarkan faktor risiko terkait dengan
kejadian kanker ovarium
a. Karakteristik pasien berdasarkan riwayat paritas
Salah satu faktor risiko yang paling terkait dengan kejadian kanker
ovarium adalah riwayat keluarga. Namun resiko tersebut dapat menurun sampai
0,6 % pada wanita yang mengalami kehamilan, khususnya wanita yang hamil
pertama kali diusia sebelum 25 tahun (Dipiro et al., 2005).
Tabel VI. Karakteristik pasien berdasarkan riwayat paritas
Riwayat paritas Status
paritas
Jumlah Persentase
Belum pernah
Hamil dan abortus
Sub Total
Partus (Hamil dan tidak abortus)
Sub Total
Partus/Abortus (Hamil dan abortus)
Sub Total
P0A0
P1A0
P2A0
P3A0
P4A0
P5A0
P1A3
P3A1
P7A2
9
9
5
4
4
3
2
18
1
1
1
3
30
30
16.66
13.33
13.33
10
6.66
60
3.33
3.33
3.33
10
Total 30 100
Data pada tabel VI menunjukkan adanya kecendrungan bahwa riwayat
persalinan juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya kanker ovarium. Wanita
yang jarang melahirkan, belum pernah hamil, dan abortus cenderung lebih besar
terkena kanker ovarium dibandingkan dengan wanita yang sering melahirkan.
Pada wanita yang hamil, sering melahirkan dan memakai pil KB memiliki efek
protektor yang dapat mencegah keseringan ovulasi yang dapat menimbulkan
trauma pada ovarium. Ovulasi yang terus menerus terbukti meningkatkan risiko
terjadinya kanker ovarium dengan OR 27. Keadaan ini sejalan dengan
peningkatan mutasi dari p53, peningkatan ovulasi menyebabkan pula peningkatan
mutasi p53. Sehingga dengan semakin seringnya melahirkan faktor risiko tersebut
dapat diturunkan (Andrijono, 2003).
Data pada tabel VI menunjukkan bahwa persentase tertinggi kejadian
kanker ovarium terjadi pada wanita dengan riwayat persalinan P0A0 yaitu pada
wanita yang belum pernah melahirkan dengan persentase sebesar 30% dan pada
pasien yang memiliki riwayat abortus, ternyata memiliki persentase kecil yaitu
3.3%.
b. Karakteristik pasien berdasarkan usia pada kelahiran anak yang pertama
Risiko berkembangnya kanker ovarium meningkat 7-9% pada wanita
dengan riwayat keluarga penderita kanker ovarium dan menurun sampai 0,6 %
pada wanita yang mengalami kehamilan, khususnya wanita yang hamil pertama
kali diusia sebelum 25 tahun (Dipiro et al., 2005). Usia kehamilan untuk seorang
wanita yang bisa menurunkan terjadinya kanker ovarium adalah pada usia 20-24
tahun.
Tabel VII. Karakteristik pasien berdasarkan usia pada kelahiran anak yang
Interval usia kehamilan
pertama kali (tahun)
Jumlah pasien Persentase
15-19
20-24
25-29
30-35
-
7
7
5
2
9
23.3
23.3
16.6
6.6
30
Total 30 100
Data pada tabel VII menunjukkan persentase usia kehamilan anak pertama
yang aman sangat kecil yaitu sebesar 23.3 %. Sedangkan persentase tertinggi
merupakan pasien dengan status belum pernah melahirkan yaitu sebesar 30 %.
Berdasarkan status perkawinan, 96.6 % pasien sudah menikah. Sehingga hal ini
secara tidak langsung menunjukkan kemungkinan terdapat 2 faktor risiko yang
memicu terjadinya kanker ovarium, yaitu faktor resiko belum pernah melahirkan
dan rendahnya angka penggunaan kontrasepsi hormonal. Rendahnya angka
penggunaan kontrasepsi hormonal umumnya disebabkan wanita yang belum
memiliki anak tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, padahal penggunaan
kontrasepsi hormonal bisa menurunkan resiko kanker ovarium dengan Odds ratio
0.29-0.4 (Andrijono, 2003).
Efek protektif pada ovarium terkait dengan kehamilan dan penggunaan
kontrasepsi hormonal diduga disebabkan pada kehamilan dan penggunaan
kontrasepsi hormonal dapat mengontrol sekresi hormon gonadotropik.
Gonadotropik adalah suatu hormon yang sekresinya sangat dipengaruhi oleh
ovarium. Hormon ini bisa meningkat apabila ovarium tidak dapat mengontrol
balik hipofisis (gangguan feedback mechanism). Kegagalan ovarium
mengakibatkan hipogonadisme yang juga dapat memicu terjadinya kanker
ovarium. Kehamilan dan penggunaan kontrasepsi hormonal mempunyai efek
protektif, karena dapat mengubah sekresi hormon tropik ini. Sehingga pada
populasi wanita pemakai kontrasepsi hormonal ataupun suntikan dan wanita yang
hamil pertamakali diusia 20-24, insiden kanker ovarium dapat diturunkan
(Tambunan,1995).
c. Karakteristik pasien terkait riwayat keluarga
Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko yang paling penting
terkait dengan kejadian kanker ovarium. Sedikitnya lebih dari 10 % kasus bisa
didefinisikan sebagai kanker ovarium hereditas (Robert et al., 2001). Penelitian
biologi molekular mendapatkan adanya mutasi HER-2/neu baik pada tumor jinak,
boderline ataupun pada kanker ovarium. Kedua gen tersebut diduga memegang
peranan pada mutasi boderline dan kanker ovarium. Jenis boderline dan kanker
ovarium memiliki perbedaan mutasi pada beberapa gen. Pada kanker ovarium
gen yang terjadi mutasi adalah pada gen p 17 yang merupakan tempat dari p53.
Adanya gangguan pada p53 menyebabkan peningkatan agresivitas sifat tumor.
Umumnya terjadinya peningkatan agresivitas ini dijumpai pada kanker ovarium.
Beberapa TSG yang ditemukan mutasi pada kanker ovarium, antara lain ARHI
(Aplysia Ras Homology member 1-1p31, berfungsi merangsang p21 dan
menghambat cyclin D1)MMAC-1 (PTEN), LOT-1(6q25 yang berfungsi pada Zn
finger). Onkogen HER-2/neu yang mengkode reseptor growth faktor serta K-ras,
tumor suppressor gene pada chromosom 17 p ataupun 17 q merupakan gen yang
ikut berperan terjadinya kanker ovarium bila terjadi mutasi. Dengan demikian
faktor genetik merupakan salah satu faktor yang mungkin berperan. Dua sindrom
kelainan genetik yang berhubungan dengan kejadian kanker ovarium berdasarkan
penelitian molekuler.
Tabel VIII. Karakteristik pasien terkait riwayat keluarga
Riwayat Keluarga Jumlah pasien Persentase
Memiliki riwayat keluarga 3 10
Tidak memiliki riwayat
keluarga
27 90
Total 30 100
Berdasarkan data pada tabel VIII, dari 30 pasien yang diteliti persentase
tertinggi terjadinya kanker ovarium ternyata tidak memiliki riwayat keluarga yaitu
sebesar 90 %. Hal ini berbeda dengan teori di atas yang menyatakan salah satu
faktor risiko yang paling berperan terkait dengan kejadian kanker ovarium adalah
riwayat keluarga. Hal tersebut menggambarkan bahwa kejadian kanker ovarium
tidak hanya dipicu oleh adanya riwayat keluarga tetapi bisa juga dipicu oleh faktor
lain seperti lingkungan dan gaya hidup yang tidak sehat.
d. Karakteristik pasien berdasarkan pola hidup
Menurut literatur, peningkatan jumlah penderita kanker di Indonesia
disebabkan berbagai hal, mulai dari perubahan pola hidup sampai dengan polusi.
Orang Indonesia umumnya senang makan gurih atau goreng-gorengan yang
mengandung minyak. Hal ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah, yang
pada akhirnya menyebabkan sel tidak mendapat cukup oksigen (Anonim, 2006c).
Semakin pesatnya kemajuan zaman, ternyata tidak semuanya memberikan
dampak positif pada lingkungan tetapi juga memberikan suatu dampak negatif
bagi manusia. Salah satunya adalah pola hidup yang mulai berubah. Hal ini
umum terjadi di negara berkembang. Perkembangan yang demikian cepat
tersebut seringkali diterima oleh masyarakat awam secara meyeluruh, tanpa ada
pemikiran yang lebih matang sehingga menyebabkan adanya perubahan
kebiasaan hidup yang semula baik menjadi suatu kebiasaan yang buruk Hal ini
dapat dilihat pada pola makan. Di Indonesia, junkfood dinilai lebih berkelas
daripada makanan yang alami. Hal tersebut kemungkinan turut memberikan andil
yang besar dalam menyebabkan timbulnya suatu penyakit modern salah satunya
adalah kanker.
Besarnya persentase perubahan pola hidup yang sehat menjadi pola hidup yang
tidak sehat terlihat pada tabel IX.
Tabel IX. Karakteristik pasien berdasarkan pola hidup sehat dan tidak sehat
Pola Hidup Jumlah pasien Persentase
Pola hidup tidak sehat
Penggunaan penyedap pada masakan
Penggunaan minyak goreng bekas yang berulang
Konsumsi masakan yang dibakar
Lingkungan keluarga yang perokok.
Sub Total
5
6
1
14
26
16.6
20
3.3
46.6
86.6
Pola hidup sehat 4 13.3
Total 30 100
Pada tabel IX terlihat persentase terbesar pola hidup pasien adalah pola
hidup yang tidak sehat yaitu sebesar 86.6 % yang bisa memicu terjadinya kanker
ovarium. Adapun parameter pola hidup yang tidak sehat pada penelitian kali ini
meliputi penggunaan penyedap pada masakan, penggunaan minyak goreng bekas
yang berulang, konsumsi masakan yang dibakar, dan lingkungan keluarga yang
perokok.
Sebagian besar penyebab terjadinya kanker ovarium adalah karena faktor
lingkungan. Salah satu faktor dari lingkungan tersebut adalah keluarga yang
perokok. Asap rokok merupakan hasil pembakaran dari tembakau, essence dan
kertas pembungkus. Asap rokok terbagi menjadi dua yaitu asap utama (main
stream smoke) dan asap samping (side stream smoke). Asap samping lebih toksik
daripada asap utama (Anonim, 2004a). Dalam lingkungan masyarakat, orang yang
merokok dicap sebagai orang yang egois. Hal tersebut dikarenakan keegoisan
mereka menyebabkan asap rokok yang terhirup oleh perokok pasif berdampak
hampir sama dengan perokok aktif. Absorpsi asap rokok oleh perokok pasif
dipengaruhi oleh jumlah produksi asap, dalamnya isapan dari perokok, ada
tidaknya ventilasi untuk penyebaran atau pergerakan asap, jarak antara bukan
perokok dengan perokok dan lamanya paparan. Pada penelitian ini, 36.6 % pasien
kanker ovarium hidup dengan keluarga perokok aktif. Rata-rata interaksi mereka
dengan keluarga perokok aktif diatas 5 tahun. Sehingga hal tersebut menunjukkan
salah satu faktor yang bisa memicu terjadinya kanker ovarium kemungkinan
disebabkan oleh lamanya paparan dengan lingkungan keluarga yang perokok.
Pola hidup tidak sehat yang lain adalah pola makan yang tidak sehat
seperti penggunaan penyedap pada masakan, penggunaan minyak goreng bekas
yang berulang, dan konsumsi masakan yang dibakar yang umumnya banyak
melepaskan zat-zat karsinogenik. Lamanya paparan dengan zat-zat karsinogenik
kemungkinan bisa memicu terjadinya kanker ovarium. Pada penelitian ini terbukti
dari hasil wawancara dengan pasien bahwa umumnya mereka baru menghentikan
kebiasaan tersebut atas saran dokter ketika telah didiagnosis mengidap kanker,
padahal saran tersebut sebaiknya dilakukan pada waktu kita masih sehat, bukan
ketika telah didiagnosa menderita kanker sehingga faktor resiko yang dapat
memicu terjadinya kanker tersebut bisa diturunkan.
e. Karakteristik pasien berdasarkan usia
Salah satu faktor risiko terjadinya kanker ovarium adalah usia. Umumnya
kejadian kanker ovarium terjadi pada usia menopose dan meningkat pada usia
postmenopose. Distribusi pasien berdasarkan usia dengan mengikuti
pengelompokkan usia menurut Guyton dan Hall (1996) disajikan pada tabel X.
Tabel X. Persentase pasien berdasarkan usia
Interval usia (tahun) Jumlah pasien Persentase
Usia reproduksi ( 13-44)
Usia menopose (45-50)
Usia postmenopose (>50)
10
9
11
33.3
30
36.6
Total 30 100
Berdasarkan data pada tabel X, dari 30 pasien yang diteliti persentase
tertinggi terjadinya kanker ovarium terdapat pada wanita usia postmenopose yaitu
36.6%. Sedangkan kejadian pada usia menopose sedikit lebih rendah
dibandingkan pada usia reproduksi yaitu 30 %. Menurut literatur, usia
postmenopose merupakan salah satu faktor risiko yang paling umum sebagai
penyebab utama kanker ovarium. Hal ini kemungkinan terkait dengan adanya
penurunan sekresi hormon estrogen pada wanita menopause dan postmenopause.
Wanita yang mengalami penurunan hormon tersebut seringkali memicu terjadinya
endometriosis. Wanita yang menderita endometriosis mempunyai OR sebesar 4.
Sedangkan resiko kanker ovarium pada populasi kurang lebih Odds Ratio 0,6.
Semakin meningkat kejadian endometriosis yang salah satu pemicunya adalah
penurunan sekresi hormon estrogen pada wanita postmenopause akan semakin
meningkatkan resiko kejadian kanker ovarium (Dipiro et al., 2005). Sehingga,
peningkatan usia seseorang sejalan dengan menurunnya sekresi hormon diduga
dapat memicu terjadinya endometriosis yang dapat menyebabkan kanker ovarium.
Penelitian ini dilakukan secara prospektif pada periode mei-juli 2007
sehingga terkait dengan jumlah sampel yang sangat sedikit yang menyebabkan
kecilnya selisih angka antara usia postmenopose dan usia reproduksi.
2. Karakteristik pasien berdasarkan faktor resiko terkait dengan kejadian
emesis
a. Karakteristik pasien berdasarkan stadium
Staging adalah suatu sistem yang mengklasifikasi informasi mengenai
kanker, termasuk lokasi dan seberapa jauh kanker telah menyebar (Anonim,
2006). Secara umum, penanganan kanker ovarium tergantung pada stadium dari
kanker tersebut. Penentuan derajat diferensiasi histologi suatu kanker
dimaksudkan untuk menetapkan beberapa dugaan sifat agresif atau tingkat
keganasan yang didasarkan atas diferensiasi sitologi sel-sel tumor dan jumlah
mitosis di dalamnya, sehingga kanker dapat diklasifikasi dalam derajat I, II, III,
atau IV dengan bertambahnya anaplasi (Robbins dan Kumar, 1995).
Penetapan stadium kanker ovarium dilakukan dengan pemeriksaan klinis
dan pembedahan. Pemeriksaan klinik yang mempengaruhi penetapan stadium
antara lain pemeriksaan radiologis untuk mengetahui proses metastasis jauh
misalnya metastasis ke hepar ataupun metastasis paru. Karena kanker ovarium
berada intraabdominal maka penetapan stadium dilakukan dengan pembedahan
(Andrijono, 2003).
Tabel XI. Persentase pasien berdasarkan stadium
Tingkat stadium Jumlah pasien Persentase
IA
IC
IIC
III
IIIC
Khusus
1
4
4
1
13
7
3.3
13.3
13.3
3.3
36.6
20
Total 30 100
Prognosis kanker ovarium yang buruk disebabkan oleh kenyataan bahwa
70 % penderita baru datang untuk penanganan pada stadium lanjut. Prognosis
buruk kanker ovarium ini kemungkinan besar disebabkan pada stadium dini
hampir sama sekali tidak memberi gejala sesuai dengan julukannya sebagai
sillentkiller. Walaupun demikian, hal tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan
pemeriksaan sedini mungkin. Misalnya dengan tumor marker CA-125 atau
pemeriksaan pap smear pada wanita yang memiliki faktor risiko. Menurut literatur
kendala di Indonesia adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk
memeriksakan diri ke dokter. Sekitar 63 % pasien yang datang, biasanya sudah
berada pada stadium lanjut (Anonim, 2006c). Pada penelitian ini melalui hasil
wawancara terlihat bahwa 70 % pasien umumnya kurang mengetahui informasi
mengenai kanker seperti faktor risiko dan gejala yang menunjukkan kemungkinan
adanya kanker, sehingga ketika mengalami gejala masih dianggap sebagai suatu
hal yang biasa. Bahkan beberapa pasien ada yang menduga gejala yang
dialaminya adalah akibat ilmu santet atau guna-guna yang mereka percayai bisa
disembuhkan dengan pengobatan alternatif.
Tingginya persentase jumlah pasien yang memeriksakan diri dalam
stadium lanjut juga terlihat pada tabel XI yang menunjukkan bahwa dari 30
pasien yang diteliti, persentase terbesar adalah pada stadium IIIC yaitu sebesar
36.6 %. Tingginya kasus kejadian kanker ovarium pada stadium III dan IV ini
juga terlihat pada penelitian evaluasi pemberian regimen kemoterapi pada stadium
III dan IV diRSUP Dr.Sardjito Yogyakarta periode Agustus 2005-Agustus 2006
yang ditulis oleh Lestari (2006) yaitu sebesar 78,8 % pada stadium III dan 21.2 %
pada stadium IV dari 33 kasus.
Pada Stadium I masih dapat dicapai ketahanan hidup 5 tahun antara 60 dan
80%, dalam stadium II ini menjadi lebih rendah yaitu 50% prognosis menjadi
sangat buruk antara stadium IIA
dan IIB.
Perkembangan kemoterapi dalam
memperbaiki harapan bagi penderita pada stadium III dan IV untuk dapat
mencapai kesembuhan belum ada kepastian. Pada stadium ini kemoterapi hanya
dapat meningkatkan ketahanan hidup lima tahun sebesar 30 % (Nurana et al.,
2007).
b. Karakteristik pasien berdasarkan siklus kemoterapi
Regimen kemoterapi yang diberikan pada penanganan atau pelaksanaan
terapi pada pasien kanker ovarium telah ditetapkan berdasarkan masing-masing
siklus terapi. Pada penelitian ini, 83.3 % pasien mendapatkan terapi dengan
regimen kemoterapi CAP. Rata-rata siklus kemoterapi yang dijalani pasien adalah
6 siklus. Adanya penetapan siklus ini bertujuan untuk memberikan kesempatan
pada sel-sel normal untuk mengadakan perbaikan atau proliferasi akibat sitotoksik
dan pengembalian sistem imun yang telah tertekan, sehingga dapat mencegah
terjadinya infeksi. Distribusi pasien berdasarkan siklus kemoterapi yang dijalani
disajikan pada tabel XII.
Tabel XII. Persentase pasien berdasarkan siklus kemoterapi yang sudah dijalani
Siklus kemoterapi Jumlah pasien Persentase
1
2
3
4
5
6
6
11
3
5
1
4
20
33.3
10
16.6
3.3
13.3
Total 30 100
Siklus kemoterapi yang dijalani masing-masing pasien bervariasi. Hal ini
kemungkinan ditentukan oleh regimen kemoterapi yang diberikan. Secara umum,
karena 83.3 % pasien mendapatkan regimen kemoterapi CAP maka siklus yang
dijalani oleh pasien adalah 6 siklus. Tabel XII menunjukkan bahwa dari 30 pasien
yang diteliti persentase terbesar berada pada siklus yang ke-2. Adapun yang
terkait dengan siklus kemoterapi ini adalah efek samping yang ditimbulkannya.
Pemberian antiemesis yang sesuai dengan regimen yang direkomendasikan dan
penanganan yang baik dalam mencegah timbulnya emesis yang hebat pada siklus
pertama dapat menekan kejadian emesis yang hebat pada pasien untuk siklus
berikutnya. Artinya potensi kejadian emesis pada siklus berikutnya secara umum
tergantung pada keberhasilan penanganan pada siklus ke-1. Dari tabel XII dapat
dilihat persentase tertinggi terkait dengan pelaksanaan siklus kemoterapi terdapat
pada siklus ke-2 yaitu sebesar 33.3%. Berdasarkan hasil wawancara dengan
pasien, umumnya setelah kemoterapi siklus I mereka mengalami mual dan muntah
2 jam setelah pemberian kemoterapi dengan frekuensi rata-rata 5 kali sehari
selama 3 hari bahkan ada yang sampai seminggu walaupun mereka telah
mendapatkan antiemesis yang diberikan secara intravena sebelum pemberian
kemoterapi.
B. Evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi
Pada pengobatan kanker, seringkali terdapat masalah yang berhubungan
dengan kemoterapi, seperti timbulnya resistensi, resistensi berbagai obat, adanya
toksisitas dan munculnya tumor baru akibat dari penggunaan obat-obat sitotoksik.
Protokol kemoterapi merupakan salah satu cara untuk meminalisir potensi
timbulnya efek tersebut. Hal ini akan dapat dicapai apabila ada kedisiplinan antara
pelaksanaan dengan protokol yang telah ditetapkan.
1. Regimen kemoterapi yang digunakan
Manajemen terapi pada pasien kanker ovarium didasarkan atas tipe
histologi, tingkat patologi dan stadium penyakit. Penanganannya membutuhkan
kerjasama yang baik antara ginekolog, onkolog medik, radiolog dan patolog.
Secara umum, terapi yang tepat adalah pengangkatan uterus dengan kedua
adneksa, dikombinasi dengan pengangkatan omentum dan sebanyak mungkin
jaringan tumor yang masih ada (pembedahan sitoreduktif atau debulking). Pada
wanita muda yang menginginkan fertilitas, terapi dengan cara adneksektomi
unilateral dapat dipertimbangkan.
Tabel XIII. Persentase regimen kemoterapi yang digunakan oleh pasien
Regimen kemoterapi Jumlah Persentase
CAP
Paclitaxel + Carboplatin
BEP
VYCAD
25
2
2
1
83.3
6.6
6.6
3.3
Total 30 100
Keterangan : CAP = Cyclophospamide, Adryamicin (Doxorubicin), Platocin (Cisplatin)
BEP = Bleomicin, Etoposide, Platocin ( Cisplatin )
VYCAD = Vyncristine, Cyclophospamide, Doxorubicin
Pemberian kemoterapi pada kanker ovarium bertujuan sebagai kemoterapi
adjuvan. Konsep ini merupakan pendekatan terapeutik terpenting dalam
pengobatan modern penyakit keganasan. Cara ini bertujuan memberantas
mikrometastasis yang tersebar jauh sehingga diharapkan terjadi peningkatan
angka kesembuhan. Secara umum regimen kemoterapi yang digunakan dalam
terapi kanker ovarium terbagi atas tiga yaitu kombinasi Paxus + Carboplatin,
Bleomisin + Etoposide + Platosin (BEP) serta Cyclophosphamide + Adryamicin
(Doxorubicin)+ Platocin (CAP).
Berdasarkan data pada tabel XIII, persentase tertinggi regimen kemoterapi
yang digunakan pada terapi pasien kanker ovarium adalah regimen kemoterapi
CAP yaitu sebesar 83.3%. Regimen CAP merupakan suatu bentuk kemoterapi
kombinasi yang bermanfaat untuk mengendalikan kanker dalam jangka waktu
cukup lama, bahkan kadang- kadang bisa sembuh. penggunaan kemoterapi
kombinasi lebih efektif daripada pengobatan dengan satu obat pada kebanyakan
kanker yang masih efektif dengan kemoterapi (Mycek et al., 2001). Adanya
kombinasi dapat memberikan respon yang lebih tinggi daripada obat tunggal. Hal
ini disebabkan oleh adanya pengaruh adiktif atau potensiasi efek psikotoksik dan
toksisitas pada hospes yang tidak saling tindih. Adanya masalah klinis yang
ditimbulkan akibat penggunaan regimen kemoterapi harus diwaspadai. Adapun
masalah klinis yang mungkin muncul pada pemberian regimen CAP adalah
ekstravasasi pada saat penginjeksian, nefrotoksik, supresi sum-sum tulang
belakang, rambut rontok, dan emesis.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada penggunaan regimen CAP antara
lain : 1. Pada pasien yang berusia diatas 60 tahun atau yang mempunyai riwayat
gangguan fungsi hati harus memiliki data ekokardiogram atau scan MUGA
2. Pasien harus menerima informasi tentang adanya kemungkinan terjadinya
kerontokan pada rambut.
3. Pasien harus menjalani pemeriksaan klirens kreatinin sebelum mendapatkan
terapi dengan regimen CAP. Dosis sisplatin harus dikurangi pada pasien yang
memiliki klirens kreatinin di bawah 60mL/Min, dan mengurangi dosis
siklofosfamid pada pasien yang memiliki klirens kreatinin di bawah 50mL/min.
4. Cek elektrolit terlebih dahulu terutama magnesium, kalsium dan potasium pada
pasien yang akan mendapatkan terapi dengan sisplatin. Jika dianggap perlu pasien
sebaiknya diberi tambahan elektrolit.
5. Cek FBC (biasanya jumlah neutrofil >1,5 X 109/L dan jumlah angka platelet
>100X109)sebelum kemoterapi diberikan.
6. Cek antiemesis yang digunakan. Diutamakan pasien mendapatkan hight
antiemesis (Summerhayes et al., 2003).
Adapun pada penelitian ini, sebelum menjalani rangkaian kemoterapi
pasien juga menjalani pemeriksaan seperti yang disarankan pada literatur di atas,
sehingga pelakaksanaan protokol kemoterapi dapat dikatakan telah sesuai.
Penggunaan obat sitotoksik secara kombinasi dilakukan dengan
pertimbangan bahwa setiap obat harus mempunyai aktivitas terapeutik dan sasaran
tertentu serta harus dapat diberikan dalam dosis efektif. Obat sitotoksik ini secara
umum memiliki sifat toksisitas yang tidak tumpang tindih (overlapping) maupun
resistensi silang. Sehingga dengan adanya pertimbangan tersebut, dengan terapi
kombinasi dapat memberikan keuntungan meningkatkan daya bunuh sel ganas
serta mengurangi resistensi. Tingginya persentase penggunaan regimen
kemoterapi CAP pada penelitian ini kemungkinan disebabkan karena umumnya
kanker ovarium yang diderita oleh pasien berasal dari tumor epitel. Karena
berdasarkan penelitian, regimen kemoterapi CAP memberikan respon yang baik
pada pasien kanker ovarium yang tumornya berasal dari sel epitel (Andrijono,
2003).
Pada penelitian ini, terapi lain yang diberikan pada pasien kanker ovarium
adalah obat-obat tambahan yang bertujuan sebagai terapi paliatif. Obat tambahan
yang digunakan dalam terapi paliatif pada pasien kanker ovarium yang dirawat di
RSUP Dr. Sardjito umumnya berupa obat dari golongan analgetik, antiemesis,
antianemia, antibiotik, dan vitamin. Jenis obat tersebut adalah ; Sulfa ferosus,
Grahabion, Viliron, Dexamethason, Vit.C, Vit. B comp, metoklopramid, dan
ondansetron.
2. Persentase kesesuaian antiemesis dengan regimen kemoterapi.
Obat-obat kanker merupakan toksin yang memberikan bahan yang letal
untuk sel. Karena itu, tidak heran bahwa sel-sel yang bersangkutan akan
memberikan mekanisme pertahanan untuk melindungi diri dari toksisitas kimia
termasuk kemoterapi. Tingginya kemungkinan kejadian emesis pada pasien yang
menjalni kemoterapi, harus mendapatkan penanganan yang serius. Sebelum
menentukan antiemesis yang tepat, penting sekali untuk mengetahui tingkatan
regimen kemoterapi dalam menimbulkan kejadian emesis. Adapun kesesuaian
regimen kemoterapi dan antiemesis terlihat pada tabel XIV.
Tabel XV. Persentase kesesuaian antiemesis dengan regimen yang diberikan
Regimen
kemoterapi
Tingkat
emetogenik
Antiemesis Jumlah pasien
sesuai
(persentase)
Jumlah pasien
tidak ssesuai
(persentase)
CAP Tinggi Metoklopramid_HCL
Ondansetron
25 (83.3)
-
Paxus +
Carbo
VYCAD
Sedang Metoklopramid_HCL
Ondansetron
3 (10) -
BEP Rendah Metoklopramid_HCL
Ondansetron
2 (6.6) -
Total 30 (100) -
Tabel XVI. Protokol Kemoterapi Cyclophospamide 500 mg, Adryamicin 50 mg,
Platosin 50mg/70mg/100mg
Waktu
Pelaksanaan
Protokol CAP Jumlah pasien
dilakukan
(persentase)
Jumlah pasien
tidak dilakukan
(persentase)
16.00 Dektrose 5% botol I 30 tpm 25 (100) -
21.00 NaCl botol II 30 tpm 25 (100) -
02.00 Dektrosa 5% botol III tpm 25 (100) -
09.30 Primperan, Vomceran 25 (100) -
10.00 Cyclophosphamide dalam NaCl
100cc
25 (100) -
10.30 Adriamicyn dalam NaCl 100cc 25 (100) -
11.00 Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc
30 tpm
25 (100) -
14.30 Spol NaCl 25 (100) -
17.30 Spol dektrosa II 25 (100) -
Total 25 (100) -
Keterangan : setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang.
Tabel XVII. Protokol Kemoterapi Bleomisin 30mg, Etoposide 165mg, Platosin 50mg
Waktu
Pelaksanaan
Protokol BEP Jumlah
pasien
dilakukan
(persentase)
Jumlah
pasien tidak
dilakukan
(persentase)
16.00 Dektrose 5% botol I 30 tpm 2 (100) -
21.00 NaCl botol II 30 tpm 2 (100) -
02.00 Dektrosa 5% botol III tpm 2 (100) -
09.30 Primperan, Deksamethason 2 (100) -
10.00 Bleomisin dalam NaCl 100cc 2 (100) -
10.30 Etoposide dalam NaCl 100cc 2 (100) -
11.00 Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc 30 tpm 2 (100) -
14.30 Spol NaCl 2 (100) -
17.30 Spol dektrosa II 2 (100) -
Total 2 (100) -
Keterangan : setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang.
Tabel XVIII. Protokol Paxus/Karboplatin 450mg
Waktu
Pelaksanaan
Protokol Paxus/Karboplatin 450mg Jumlah pasien
dilakukan
(persentase)
Jumlah
pasien tidak
dilakukan
(persentase)
10.00 Infus NaCl 500ml, sisakan 100ml 2 (100) -
Injeksi Kalmetazon 2 amp (2cc) iv
Injeksi Decadryl 2cc
Injeksi Ranitidin 2 amp iv (1 amp=
1cc)
12.30 Kemudian masuk paxus dalam cairan
500cc intralit, habis 3 jam
2 (100) -
16.00 Karboplatin 450mg dalam dektrosa
5% 100cc habiskan 30 menit,
diteruskan dektrosa 5% 1 kantong
500cc
K/P Klinimik9 gr/40 tetes/menit
dalam 2 hari
2 (100) -
Total 2 (100) -
Dari tabel XVI, XVII, dan XVIII menggambarkan secara umum bahwa
pelaksanaan protokol kemoterapi dengan protokol yang telah ditetapkan telah
berjalan dengan baik dengan persentase 100%.
C. Analisis hubungan antara pelaksanaan protokol dengan kejadian emesis
1. Analisis hubungan kesesuaian pelaksanaan protokol dengan kejadian
emesis
Beberapa kemoterapi mempunyai indeks terapeutik sempit. Muntah hebat,
stomatitis, dan alopesia sering terjadi selama pengobatan. Pada penelitian ini, efek
samping yang diteliti adalah kejadian efek samping yang dapat diamati secara
langsung, yaitu potensi timbulnya kejadian emesis.
a. Potensi timbulnya kejadian emesis pada pasien
Umumnya mual dan muntah dapat terjadi pada berbagai kondisi (misalnya
mabuk perjalanan, keracunan obat-obatan tertentu, kehamilan dan hepatitis) dan
hal tersebut kebanyakan membuat pasien seringkali merasa tidak nyaman, namun
demikian pada kejadian mual dan muntah yang disebabkan oleh kemoterapi
berbeda dengan kondisi yang disebutkan di atas. Kejadian mual dan muntah yang
disebabkan oleh kemoterapi memerlukan penatalaksanaan yang efektif. Hampir
70-80% dari semua pasien yang diberikan kemoterapi mengalami mual dan
muntah. Berbagai faktor yang mempengaruhi insidens dan beratnya muntah
adalah jenis kemoterapi yang spesifik, dosis, cara dan jadwal pemberian, dan
variabel pasien (misalnya 10 sampai 40 % pasien yang mengalami mual dan
muntah dalam antisipasi kemoterapi mereka. Muntah tidak hanya mempengaruhi
kualitas kehidupan, tetapi dapat menyebabkan penolakan akan pengobatan dengan
antineoplastik yang mempunyai potensi penyembuhan. Selain itu muntah yang
tidak terkendali dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan metabolisme
yang mencolok dan pengurangan masukan zat makanan.
Dari tabel XIV, persentase tertinggi adalah potensi timbulnya kejadian
emesis yaitu sebesar 93.3%. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena 83.3%
pasien pada penelitian ini mendapatkan regimen kemoterapi CAP yang memiliki
potensi tinggi dalam menimbulkan emesis. Adapun alasan lain kemungkinan
terkait dengan ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat antiemesis yang
telah direkomendasikan dikarenakan mereka kurang mendapatkan informasi yang
cukup tentang hal tersebut. Pada penelitian ini melalui hasil wawancara,
Umumnya pasien kesulitan dalam mengkonsumsi obat antiemesis dikarenakan
dari awal kemo telah mengalami emesis yang hebat dan sebagian kecil pasien
mengatakan enggan menebus resep karena faktor biaya.
Berdasarkan perbandingan data pada literatur potensi kejadian emesis
yang ditimbulkan pada pemberian regimen kemoterapi pada penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Tabel XIX. Persentase regimen kemoterapi berdasarkan tingkat emetogenik
Tingkat
emetogenik
Regimen
kemoterapi
Jumlah
pasien
Persentase
Tinggi CAP 25
83.3
Sedang Paxus + Carbo
VYCAD
3 10
Rendah BEP 2 6.6
Total 30 100 Keterangan : CAP = Cyclophospamide, Adryamicin (Doxorubicin), Platocin (Cisplatin)
BEP = Bleomicin, Etoposide, Platocin ( Cisplatin )
VYCAD = Vyncristine, Cyclophospamide, Doxorubicin
Data pada tabel XIX menggambarkan potensi kejadian emesis umumnya
sangat tinggi dengan persentase 83.3 %. Hal ini dikarenakan pasien penderita
kanker ovarium mendapatkan regimen kemoterapi CAP yang termasuk kedalam
kategori potensi kejadian emesis tingkat tinggi (Mycek et al., 2001).
Pada penelitian ini melalui wawancara, 93.3% pasien mengalami emesis yang
hebat. Hal tersebut kemungkinan karena sebagian besar mereka mendapatkan
regimen kemoterapi CAP sebagaimana yang tergambar pada tabel XIX.
Pada kemoterapi kanker ovarium, untuk mengatasi mual dan muntah yang
muncul digunakan antiemesis. Pemberian antiemesis tersebut disesuaikan dengan
regimen kemoterapi yang diberikan. Regimen CAP termasuk kedalam kategori
potensi tinggi, maka antiemesis yang sesuai untuk regimen tersebut adalah
golongan antagonis serotonin, benzamid pengganti dan fenotiazin. Pada regimen
kemoterapi yang mempunyai efek menimbulkan emesis tingkat sedang, seperti
regimen Paxus + Carbo dan VYCAD antiemesis yang sesuai adalah butirofenon,
kortikosteroid, dan kanabinoid. Pada regimen kemoterapi yang mempunyai
potensi menimbulkan emesis tingkat rendah, antiemesis yang sesuai adalah
antihistamin, antikolinergik, dan benzodiazepin.
Pada penelitian ini, antiemesis yang digunakan pada regimen CAP adalah
metoklopramid-HCL dan ondansentron. Kedua antiemesis tersebut telah sesuai
dengan SPM, karena antiemesis tersebut bisa mengantisipasi kejadian emesis pada
penggunaan regimen CAP. Sehingga berdasarkan hal tersebut tidak terdapat
hubungan antara kesesuaian protokol dengan kejadian emesis. Hal ini terlihat dari
tabel bahwa 93.3% pasien masih mengalami emesis walaupun pelaksanaan
protokol telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut
kemungkinan ada hal lain yang harus mendapat perhatian lebih lanjut, seperti
meningkatkan pelayanan informasi mengenai pengobatan kepada pasien. Hal
tersebut dikarenakan walaupun protokol yang ada telah baik, 93.3% pasien masih
mengeluhkan adanya kejadian emesis akibat dari terapi tersebut. Hasil wawancara
dengan pasien, umumnya mereka mengatakan kurang mengetahui pentingnya
mengkonsumsi obat-obat antiemesis dalam upaya menurunkan potensi kejadian
emesis. Sehingga pasien cenderung enggan mengkonsumsi dan menebus resep
antiemesis yang berakibat kejadian emesis tetap mereka alami.
Disamping itu, hal lain yang harus dipertimbangkan adalah kemungkinan
penyebab masih munculnya emesis walaupun antiemesis yang diperoleh telah
tepat kemungkinan memiliki kaitan dengan waktu pemberian antiemesis sebelum
mendapatkan regimen kemoterapi. Pada protokol kemoterapi, pemberian
antiemesis dilakukan 30 menit sebelum pemberian regimen. Sebaiknya bagi
pasien yang menggunakan obat kemoterapi yang termasuk dalam kelompok yang
berat dalam menimbulkan muntah, dianjurkan agar ondansetron dilanjutkan
hingga 3 hari setelah penghentian pemberian obat kemoterapi guna mengantisipasi
muntah yang bisa timbul justru satu hari setelah obat kemoterapi dihentikan
(delayed emesis). Khusus untuk cisplatin, selain ondansetron seperti ketentuan di
atas, juga ditambah dexamethasone yang dilanjutkan hingga 2 hari setelah
penghentian obat kemoterapi (Anonim, 2007).
Permasalahan lain yang seringkali bisa menyebabkan munculnya emesis
adalah ketidaktepatan waktu pelaksanaan kemoterapi dengan jadwal pada siklus
yang telah ditetapkan karena keterbatasan ruangan diRumah sakit untuk pasien
penderita kanker. Hal kecil seperti diatas ternyata juga memberikan dampak pada
pasien baik dari psikologis maupun kedispilinan pengobatan. Dari sisi psikologis
seringkali memicu terjadinya stress pada pasien yang kadangkala berdampak pada
kurangnya perhatian pasien dalam menjaga kesehatan seperti menurunnya nafsu
makan dan berkurangnya jam istirahat. Adapun terkait dengan tidak tercapainya
kedisiplinan waktu pengobatan dengan siklus yang telah ditetapkan bisa
menyebabkan tidak maksimalnya hasil terapi dan dari segi ekonomi menyebabkan
pasien harus mengeluarkan biaya yang lebih banyak, karena umumnya rata-rata
pasien berasal dari luar daerah.
2. Analisis hubungan faktor eksternal (umur, status paritas, siklus
kemoterapi dan pekerjaan pasien) dengan kejadian emesis
Menurut literatur, kejadian emesis dapat dipicu oleh berbagai faktor antara
lain umur, kondisi klinis pasien, riwayat perjalanan dan status paritas. Pada
penelitian ini dapat dilihat apakah ada hubungan antara kejadian emesis dengan
faktor eksternal yang meliputi umur, status paritas, siklus yang dijalani, dan
pekerjaan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif analitik dengan
menggunakan metode statistik SPSS 11.5 melalui analisis Regresi Binary Logistik
dengan taraf kepercayaan 95%. Data menunjukkkan signifikan jika hasil yang
diperoleh kurang dari 0,05 dan tidak signifikan jika hasil yang diperoleh lebih dari
0.05 dengan tujuan untuk memprediksi variabel dependent (tergantung) yang
berupa sebuah variabel binary (pasangan) dengan menggunakan data variabel
bebas yang sudah diketahui besarnya.
Hasil olah data uji regresi linier berganda menunjukkan hasil bahwa semua
variabel independent tidak terdapat satupun faktor ekternal (umur, status paritas,
siklus kemoterapi, dan pekerjaan) yang memiliki pengaruh terhadap kejadian
emesis secara statistik. Karena secara statistik keempat variabel independent
tersebut tidak memberikan nilai yang signifikan yaitu lebih dari 0,05 sehingga
keempat variabel independent tersebut tidak memiliki pengaruh secara signifikan
terhadap kejadian emesis.
Secara statistik dikatakan bahwa variabel umur tidak memiliki pengaruh
secara signifikan terhadap kejadian emesis. Menurut teori, pasien yang memiliki
usia lebih muda yaitu kurang dari 50 tahun memiliki potensi yang besar
mengalami kejadian emesis daripada pasien diatas usia 50 tahun. Sehingga dapat
dikatakan bahwa variabel umur tidak selalu berpengaruh terhadap kejadian
emesis.
Berdasarkan hasil analisis secara statistik, variabel status paritas juga
didapatkan tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian emesis.
Berdasarkan teori, status paritas merupakan salah satu faktor resiko kejadian
emesis. Pada pasien yang memiliki status paritas pernah melahirkan dan abortus
berpotensi lebih besar mengalami kejadian emesis daripada pasien yang memiliki
status paritas belum pernah hamil dan abortus. Sehingga belum dapat dikatakan
bahwa status paritas berpengaruh secara umum terhadap kejadian emesis.
Begitu juga dengan variabel siklus kemoterapi, secara statistik siklus
kemoterapi didapatkan tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian emesis.
Menurut teori terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kejadian emesis
yakni ketidak berhasilan penanganan emesis pada siklus pertama akan berdampak
pada munculnya kejadian emesis yang hebat pada siklus berikutnya. Sementara
berdasarkan statistik hasil yang diperoleh dengan taraf kepercayaan 95%
menunjukkan nilai yang diperoleh lebih dari 0,05. Sehingga dapat dikatakan
bahwa siklus kemoterapi tidak selalu berpengaruh terhadap kejadian emesis.
Pada variabel pekerjaan, secara statistik didapatkan tidak memiliki
pengaruh terhadap kejadian emesis. Berdasarkan teori pekerjaan memiliki kaitan
terhadap kejadian emesis. Hal ini disebabkan pada pasien yang bekerja di luar
rumah diasumsikan memiliki riwayat perjalanan. Sedangkan pada pasien yang
tidak bekerja diasumsikan tidak memiliki riwayat perjalanan yang mempunyai
potensi lebih besar dalam mengalami kejadian emesis. Sehingga dapat dikatakan
bahwa pekerjaan tidak selalu berpengaruh terhadap kejadian emesis.
Ketidak sesuaian hasil analisis secara statistik dengan teori yang ada bisa
saja terjadi, karena model analisis secara statistik ini memang belum merupakan
jaminan utama terhadap kebenarannya dan masih harus ditentukan lagi oleh uji
hipotesis yang lain.
Dengan memperhatikan hasil penelitian yang diperoleh maka diharapkan
perlu adanya monitoring pada penggunaan antiemesis untuk pasien yang
mendapatkan kemoterapi, terutama yang memperoleh regimen kemoterapi yang
memiliki risiko tinggi terhadap munculnya kejadian emesis.
D. Keterbatasan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat prospektif yang
tergantung pada keterangan yang didapat dari pasien serta kelengkapan data
pasien di rekam medik. Keterbatasan penelitian ini jika pasien tidak berterus
terang mengatakan akan kondisinya serta rekam medik yang tidak lengkap misal
keluhan lain yang dialami pasien dan pengobatan yang ditulis kurang lengkap.
Kemudian data waktu terjadinya emesis hanya diperoleh dari keterangan pasien
yang masih bersifat perkiraan sehingga emesis yang terjadi belum bisa
diklasifikasikan. Disamping itu, karena tidak menggunakan data wawancara
dengan tenaga kesehatan melainkan hanya sebagai masukan saja menyebabkan
informasi yang diperoleh kurang lengkap seperti pertimbangan dokter dalam
memilih strategi terapi untuk pasien tertentu. Analisis data dilakukan dengan
membandingkan pengobatan yang diberikan dengan Standar Pelayanan Medik
yang sangat mungkin tidak bisa meliputi semua kondisi pasien yang bervariasi.
.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari data hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal terkait dengan
evaluasi pelaksanaan protokol kemoterapi dengan prosedur yang telah ditetapkan
pada pasien kanker ovarium di Instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
periode Mei-Juli 2007.
1. Pada penelitian ini yang terkait dengan karakteristik pasien adalah
a. Karakteristik pasien yang terkait dengan faktor risiko kejadian kanker
ovarium yaitu faktor usia (36.3%), usia melahirkan anak pertama diluar
usia yang aman (20-24 tahun) sebesar 30% dan pola hidup yang tidak
sehat (86.6%).
b. Karakteristik pasien yang palin berperan terkait dengan faktor risiko
kejadian emesis adalah siklus kemoterapi yaitu pada siklus ke-2 sebesar
33.3%.
2. Kesesuaian pelaksanaan protokol dengan protokol yang telah ditetapkan
adalah 100%.
a. Emesis adalah efek samping yang sering muncul akibat pemberian
regimen kemoterapi dengan persentase 93.3%
b. Kesesuaian antiemetik yang diberikan dengan SPM adalah 100%
c. Tidak terdapat hubungan antara kesesuaian pelaksanaan protokol dengan
kejadian emesis.
3. Hasil olah data uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa dari keempat
variabel independent (umur, status paritas, siklus kemoterapi, dan pekerjaan)
tidak menunjukkan hasil yang signifikan yaitu lebih dari 0,05. Sehingga keempat
variabel independet tersebut secara statistik. dikatakan tidak memiliki pengaruh
terhadap kejadian emesis.
Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei-Juli 2007 dengan metode
penelitian prospektif dan mendapatkan sejumlah responden sebanyak 30 pasien.
B. Saran
Untuk R.S. Sardjito, agar dapat meminimalisir kejadian emesis
penggunaan antiemetik setelah pemberian kemoterapi hendaknnya dimonitoring 3
hari setelah mendpatkan kemoterapi terutama pada pasien yang mendapatkan
regimen kemoterapi yang berpotensi tinggi dalam menimbulkan kejadian emesis.
Kemudian hal lain yang harus diperhatikan adalah pemberian informasi yang tepat
tentang peggunaan antiemesis dan manfaatnya untuk menghindarkan dari
ketidakpatuhan pasien dan untuk penelitian selanjutnya agar dapat memperoleh
informasi secara lengkap hendaknya disertai dengan data wawancara dengan
tenaga kesehatan dari rumah sakit yang bersangkutan. Sedangkan untuk pasien,
hendaknya mematuhi setiap pelaksanaan pengobatan yang disarankan oleh pihak
rumah sakit terutama terkait dengan kepatuhan dalam mengkonsumsi obat-obatan
yang diberikan dalam upaya tercapainya efektivitas pengobatan yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Anne, M., young, L., Kradjan, W., Gueglielmo, B., 2002, Nausea and vomiting,
dalam Williams, Klower, W.A., (Eds.), Handbook of Applied
Therapeutics, Seventh Edition, New york.
Anonim, 2001, Chemotherapy Protocol For Common Cancer in Malaysia,
Penerbit bagian perkembangan Perubatan Kementrian Kesehatan,
Malaysia
Anonim, 2004a, Sengsara Paru dalam Jeratan Polusi, Farmacia, Agustus 2004
Anonim, 2004b, Saat Lingkungan Menghamburkan Karsinogen, Etichal Digest,
Agustus 2004
Anonim, 2005, Kanker Rahim Kenali Gejala dan Penyebabnya, Available at
http://www.Suara Karya-Online.Com (Diakses 11 Pebruari 2007)
Anonim, 2006a, Ancaman Kanker Paru, Ethical Digest, November 2006)
Anonim, 2006b, Ovarium, Available at http://www.Wikipedia.Org (Diakses 11
pebruari 2007)
Anonim, 2006c, Selamatkan dengan Deteksi Dini, Ethical Digest, April 2006
Anonim, 2007, Tata Laksana Muntah Bagi Anak yang Menjalani Kemoterapi
Available at http://www.dharmais.co.id (Diakses 1 Nopember 2007)
Andrijono, 2003, Sinopsis Kanker Ginekologi
Corwin, E.J., 2001, Buku Saku Patofisiologi, diterjemahkan oleh Brahm
U. Pendit, Penerbit EGC, Jakarta
Dipiro, J.T.,2005, Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach, International
edition, Mc Graw-Hill Medical Publishig Devisi Companies
Guyton and Hall,1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9, Jakarta
Kumar, N., dan Robbins, S.L., 1995, Buku Ajar Patologi II, Edisi Keempat,
diterjemahkan oleh Staf Pengajar Laboratorium Patologi Anatomia,
Penerbit Fakultas Kedokteran Airlangga, Jakarta
Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, diterjemahkan oleh Widianto dan Anna
setiadi, Institut Teknologi Bandung, Bandung
Mycek, M., Harvey, R., Champe, P., 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar,
Edisi kedua, diterjemahkan oleh Agoes Azwar, Penerbit Widya Medika,
Jakarta
Nurana, L., Sjamsuddin, S., Azis, F., 1999, Kanker Ginekologi,
Available at http://www. geocities.com (Diakses 11 Pebruari
2007)
Ozols, R., Schwartz, P., Eilfel, P., 2001, Ovarian Cancer, Fallopian Tube
Carcinoma, and peritoneal Carcinoma, dalam Williams, Klower, W.A.,
(Eds.), Handbook of Applied Therapeutics, Sixth Edition, New york.
Pearce, E., 2002, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, diterjemahkan oleh
Kartono Mohammad, Penerbit PT . Gramedia, Jakarta
Price, S.A dan Wilson, L.M., 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, Edisi Keenam, Penerbit EGC, Jakarta
Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal II, Edisi Kedua
Penerbit Airlangga University Press, Surabaya
Tambunan, G.W., 1995, Diagnosis dan Tata Laksana Sepuluh Jenis Kanker
Terbanyak di Indonesia, Penerbit EGC, Jakarta
Protokol Kemoterapi Cyclophospamide 500 mg, Adryamicin 50 mg, Platosin
50mg/70mg/100mg
Waktu
Pelaksanaan
Protokol CAP Dilakukan Tidak
dilakukan
16.00 Dektrose 5% botol I 30 tpm
21.00 NaCl botol II 30 tpm
02.00 Dektrosa 5% botol III tpm
09.30 Primperan, Vomceran
10.00 Cyclophosphamide dalam NaCl 100cc
10.30 Adriamicyn dalam NaCl 100cc
11.00 Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc 30 tpm
14.30 Spol NaCl
17.30 Spol dektrosa II
Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang
Protokol Kemoterapi Bleomisin 30mg, Etoposide 165mg, Platosin 50mg
Waktu
Pelaksanaan
Protokol BEP Dilakukan Tidak
dilakukan
16.00 Dektrose 5% botol I 30 tpm
21.00 NaCl botol II 30 tpm
02.00 Dektrosa 5% botol III tpm
09.30 Primperan, Deksamethason
10.00 Bleomisin dalam NaCl 100cc
10.30 Etoposide dalam NaCl 100cc
11.00 Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc 30 tpm
14.30 Spol NaCl
17.30 Spol dektrosa II
Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang
No.
Kasus
No.RM Usia
(th)
Regimen
kemoterapi
Anti emetik Rute
pemberian
Potensi
kejadian
Emesis
Obat
tambahan
1 1285417 37 CAP Primperan I.V
Oral
Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
2 1265308 50 CAP Primperan I.V
Oral
Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
3 1295573 49 CAP Primperan I.V
Oral
Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
4 1250925 51 CAP Primperan I.V
Oral
Emesis Grahabion
5 1292211 53 CAP Sofran I.V Emesis Viliron
Grahabion
Sulfa
ferosus
6 1286411 52 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
7 1282182 39 CAP Sofran I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
8 1292107 41 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
9 1206832 49 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
10 1263675 47 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
11 0638946 27 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
12 1263675 47 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
13 1277276 65 BEP Primperan I.V Emesis Viliron
Dexametha
son
Vit.C
Vit. B
comp
14 1278201 26 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
15 1264204 67 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
16 1290560 36 CAP Primperan I.V Emesis Dexametha
son
Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
17 1275654 37 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
18 1276518 48 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
19 1285715 50 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
20 1295904 41 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
21 11900 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
22 1282091 35 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
23 1217774 49 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
24 1306129 62 BEP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
25 1042909 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
26 1296961 17 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
27 1277433 47 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
28 1279364 65 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
29 1286411 37 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
30 1284807 52 CAP Primperan I.V Emesis Sulfa
ferosus
Vit.C
Vit. B
comp
No
kasus
No.RM Protokol CAP Waktu
pelaksanaan
Dilakukan Tidak
dilakukan
1 1285417 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ - Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang
2 1265308 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ - Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang
3 1295573 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang
No.
kasus
No.RM Protokol CAP Waktu
pelaksanaa
n
Dilakukan Tidak
Dilakuka
n
4 1250925 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam NaCl
100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl 100cc 10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc
30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ - Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang
5 11292211 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam NaCl
100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl 100cc 10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc
30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ - Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang
6 1286411 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam NaCl
100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl 100cc 10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl 500cc
30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
Setelah habis, dievaluasi jika keadaan umum baik, boleh pulang
No.
kasus
No.RM Protokol CAP Waktu
pelaksanaan
Dilakukan Tidak
dilakukan
7 1282182 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
8 1292107 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
9 1206832 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
No.
kasus
No.RM Protokol CAP Waktu
pelaksanaan
Dilakukan Tidak
dilakukan
10 1263675 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
11 0638946 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
12 1263675 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
No.
kasus
No.RM Protokol BEP Waktu
pelaksanaan
Dilakukan Tidak
dilakukan
13 1277276 Dektrose 5% botol I 30
tpm
16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan,
Deksamethason
09.30 √ -
Bleomisin dalam NaCl
100cc
10.00 √ -
Etoposide dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam
NaCl 500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
No
.kasus
No.RM Protokol CAP Waktu
pelaksanaan
Dilakukan Tidak
dilakukan
14 1278201 Dektrose 5% botol I 30
tpm
16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam
NaCl 500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
15 1264204 Dektrose 5% botol I 30
tpm
16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam
NaCl 500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
No.
kasus
No.RM Protokol CAP Waktu
pelaksanaan
Dilakukan Tidak
dilakukan
16 1290560 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
17 1275654 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
18 1276518 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ - Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ - Spol dektrosa II 17.30 √ -
No.
kasus
No.RM Protokol CAP Waktu
pelaksanaan
Dilakukan Tidak
dilakukan
19 1285715 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ - Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ - Spol dektrosa II 17.30 √ -
20 1295904 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ - Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ - Spol dektrosa II 17.30 √ -
21 11900 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ - Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ - Spol dektrosa II 17.30 √ -
No.
kasus
No.RM Protokol CAP Waktu
pelaksanaan
Dilakukan Tidak
dilakukan
22 1282091 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ - Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ - Spol dektrosa II 17.30 √ -
No
.kasus
No.RM Protokol BEP Waktu
pelaksanaan
Dilakukan Tidak
dilakukan
23 1306129 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Deksamethason 09.30 √ - Bleomisin dalam NaCl 100cc 10.00 √ - Etoposide dalam NaCl 100cc 10.30 √ - Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
No
.kasus
No.RM Protokol PAXUS +
CARBOPLATIN
Waktu
pelaksanaan
Dilakukan Tidak
dilakukan
24 1042909 Infus NaCl 500ml, sisakan
100 ml
10.00 √ -
Injeksi Kalmetazon 2 amp
(2cc) I.V
√ -
Injeksi Decadryl 2 cc √ - Injeksi Ranitidin 2 amp I.V √ - Kemudian masuk paxus
dalam cairan 500cc intralit,
habis 3 jam
12.30 √ -
Carboplatin 450mg dalam
dextrosa 5% 100cc habiskan
setengah jam, diteruskan
dextrosa 5% 1 kantong
( 500cc)
16.00 √ -
K/P Klinimik 9 gr/40
tetes/menit dalam 2 hari
√ -
25 1296961 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ - Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
26 1277433 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ - Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
27 1279364 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ - Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
No.
kasus
No.RM Protokol CAP Waktu
pelaksanaan
Dilakukan Tidak
dilakukan
28 1286411 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ - NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
29 1284807 Dektrose 5% botol I 30 tpm 16.00 √ -
NaCl botol II 30 tpm 21.00 √ -
Dektrosa 5% botol III tpm 02.00 √ -
Primperan, Vomceran 09.30 √ -
Cyclophosphamide dalam
NaCl 100cc
10.00 √ -
Adriamicyn dalam NaCl
100cc
10.30 √ -
Platosin 500 mg dalam NaCl
500cc 30 tpm
11.00 √ -
Spol NaCl 14.30 √ -
Spol dektrosa II 17.30 √ -
30 1217774 Protokol CYVAD
Form Pemantauan Pasien
1. Identitas Pasien
No. Kode :
Nama :
Alamat :
Usia :
Ruang :
Tgl masuk :
2. Perincian Pasien
Diagnosa :
Terapi :
3. Pengobatan yang dilakukan
Kemoterapi :
Obat tambahan : 1.
2.
3.
4.
4. Hasil Pengamatan
Efek Samping :
Durasi :
Frekuensi : x/hari
Jenis Anti emetik :
Dosis :
Cara Pemberian :
5. Riwayat Keluarga :
6. Status perkawinan
Jumlah anak :
Usia pada kelahiran anak yang pertama :
Penggunaan kontrasepsi :
7. Pendidikan terakhir :
8. Riwayat penyakit penyerta :
top related