diktat pemilihan bahan dan proses, by godlief
Post on 24-Jul-2015
1.950 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PEMI
ILIHAN BAHHAN
DAN PRROS
D
Oleh
ES
iktat
:
GODLIEF HERYSON
Jurusan Teknik MesinFakultas Teknik
Universitas Nusa CendanaKupang
Daftar Isi
Topik hal KATA PENGANTAR JURUSAN i KATA PENGANTAR PENULIS ii 1. PENGANTAR MATERIAL TEKNIK 1 Pendahuluan, Sejarah Perkembangan, Sifat‐sifat Material
Teknik, Klasifikasi Material Teknik, Logam Besi,Logam Bukan Besi, Karakterisasi Material, Konsep Struktur.
2. KEGAGALAN MATERIAL 20 Pendahuluan, Kegagalan Akibat Beban Statis, Kegagalan
Akibat Beban fatik, Stress‐Life, Diagram S‐N, Faktor‐faktor Modifikasi, Temperatur, Lingkungan Kerja, Kasus Kegagalan Material.
3. LOGAM DAN PADUAN 45 Pendahuluan, Baja Tahan Karat, Pengaruh Unsur Paduan
pada Baja Tahan Karat Austenitik, Pengaruh Perlakuan Panas pada Baja Tahan Karat.
4. POLIMER 54 Pendahuluan, Struktur Polimer, Berat Molekul Polimer,
Bahan Tambahan, Proses Pencampuran Polimer, Faktor‐faktor Pemilihan, Sifat Mekanik, Aplikasi Polimer
5. KERAMIK 74 6. KOMPOSIT 80 Sejarah Komposit, Komposit dan Paduan, Konsep Dasar,
Klasifikasi Komposit, Komposit Partikel, Komposit Serat (KS), Komposit Struktur/Laminat (KSL), Phasa Pembentuk Komposit, Perilaku Umum dan Unsur Komposit
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT dengan rahmatnya penulis diberi kesehatan dan
waktu sehingga terselesainya penulisan Diktat tentang material teknik yang kiranya
menjadi bahan ajar untuk mata kuliah Pemilihan Bahan dan Proses dan juga Material
Teknik.
Diktat ini berisi uraian‐uraian yang mudah difahami dengan contoh contoh yang
simpel dan mudah untuk dimengerti mengenai jenis‐jenis material, cara‐cara pemilihan
material yang sesuai dengan fungsinya sehingga pemanfaatannya maksimal. Diktat ini
juga mebahas cara fabrikasi material‐material tersebut.
Atas terselesainya Diktat ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Zulmiardi, ST. MT., selaku Ketua Jurusan Teknik atas dukungan dan arahannya untuk
meningkatkan mutu penulisan buku ini. Demikian juga kepada Bapak Zulfikar, ST. MT.,
dan Maya yang telah banyak membantu dalam proses editing diktat ini. Sebagai karya
manusia sudah tentu beberapa kekurang akan ditemui pada diktat ini. Untuk itu, penulis
mohon saran‐saran dari rekan‐rekan dosen demi kesempurnaan penulisan ini. Wassalam
Penulis.
Godlief Heryson
KATA SAMBUTAN
Dalam rangka peningkatan mutu Perguruan Tinggi sesuai dengan Misi Visi Pendidikan
Nasional salah satunya adalah penerapan Kurikulum Berbasis kompentensi dimana diharapkan
mutu lulusan akan lebih berdaya guna dan memenuhi keinginan stake holders. Untuk ini
membutuhkan bacaan-bacaan yang beri bahan-bahan kuliah yang bermanfaat dan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan terbaru (up to date) sehingga mahasiswa tidak ketinggalan dalam
wawasan keilmuan yang mereka pelajari. Dalam ilmu material teknik, ada suatu kecenderungan
perkembangan ke depan bahan konvensional mulai ditinggalkan dan sebagai gantinya bahan non
konvensional seperti polimer dan komposit sangat mejnanjikan karena keunggulannya.
Dengan adanya Diktat yang berjudul Pemilihan Bahan dan Proses ini kami dari Jurusan
Teknik Mesin sangat mendukung dan kiranya dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa di Jurusan
Teknik Mesin Unimal, khususnya yang mengambil mata kuliah Pemilihan Bahan dan Proses
khususnya dan yang mengikuti mata kuliah yang berhubungan dengan Material Teknik umumnya.
Demikian kata sambutan dari kami semoga bermanfaat adanya
Penyusun Godlief Heryson Adoe
1
1PENGANTAR
MATERIAL TEKNIK
Pendahuluan
Pemilihan dan penggunaan suatu bahan dalam dunia keteknikan, terlebih dahulu
dilakukan analisis terhadap bahan tersebut. Proses pemilihan membutuhkan informasi
tentang sifat‐sifat bahan tersebut. Pengetahuan mengenai jenis‐jenis dan sifat‐sifat
bahan merupakan pengetahuan dasar yang harus dimiliki bagi seorang perencana di
bidang teknik mesin. Dengan pengetahuan ini, perencana akan dapat memperlakukan
bahan‐bahan yang digunakan sesuai dengan kondisi yang dipersyaratkan sehingga dapat
menghindari penggunaan yang berbahaya. Selain itu, perencana juga dapat
merekomendasikan bahan alternatif jika memang dibutuhkan atau untuk peningkatan
kekuatan misalnya.
Seorang perencana di bidang teknik mesin dituntut untuk mampu memilih bahan
yang paling sesuai untuk suatu kebutuhan yang khusus. Selain itu seorang perencana
teknik mesin juga harus mempertimbangkan pula aspek‐aspek di luar aspek teknologi,
misalnya aspek ekonomi.
2
Sejarah Perkembangan Bahan
Sejarah perkembangan bahan sama halnya dengan sejarah peradaban manusia.
Sejarah perkembangan bahan dapat dibagi 3 era yaitu era zaman batu, era zaman
perunggu dan era zaman besi. Setiap era tersebut melambangkan bahan‐bahan populer
yang digunakan di masing‐masing zaman tersebut.
Kemampuan pemanfaatan api manandai perobahan era/zaman tersebut. Semakin
tinggi suhu dari pemanfaatan api semakin maju teknik pengolahan bahan tersebut .
Untuk saat ini dan kedepan adalah era komposit dan polimer.
Sifatsifat Material Teknik/Bahan
Sifat‐sifat material teknik dapat dikatagorikan kedalam beberapa kelompok, yaitu ;
sifat mekanis, sifat fisis, dan sifat kimia. Sifat‐sifat mekanis merupakan sifat teknik yang
paling penting.
Sifat mekanis Sifat mekanis sangat penting diketahui dalam merancang suatu peralatan atau mesin
atau dalam perhitungan konstruksi. Informasi mengenai spesifikasi bahan teknik dapat
dilakukan dengan uji tarik dengan menggunakan alat uji tarik (tensile test machine)
seperti diperlihatkan pada gambar 1.1.
Informasi yang diperoleh dari uji tarik adalah kekuatan tarik (Mpa), perpanjangan
(mm atau %), reduksi penampang (mm), modulus elastis/kekuatan (Mpa), modulus
(Mpa), keuletan bahan/impak (J/m). Sementara itu, kekerasan dan tahan gores dapat
3
diuji dengan alat uji kekerasan brinnel hardness test, rockwell hardness test, atau vicker
hardness test.
Pengujian Tarik dilakukan dengan pemberian beban aksial secara berangsur‐angsur
dan kontinu sampai spesimen material yang di uji putus. Pengukuran besaran tegangan
(σ) dan regangan (ε) diperoleh dalam diagram HOOK (gbr.1.3). Kurva Tegangan vs
Regangan menunjukkan hubungan antara tegangan akibat tarikan dengan terjadinya
regangan pada spesimen uji.
Gambar 1.1 Alat uji tarik dan contoh spesimen uji tarik (ASTM M 40)
Kurva tegangan‐regangan menunjukkan hubungan antara tegangan akibat tarikan
dengan terjadinya regangan pada spesimen uji.
4
Gambar 1.2 Kurva tegangan regangan
Pada umunya, bahan‐bahan yang kaku akan menunjukkan kurva seperti gambar
Alignment dimana daerah plastis tidak jelas. Sedangkan kurva untuk baja logam akan
diperoleh seperti pada gambar B dimana daerah plastis tampak. Dari titik 0 ke 1
merupakan daerah elastis, dimana terjadi pemanjangan bila tegangan diberikan dan
aakan kembali ke keadaan semula bila tegangan dihilangkan. Dari titik 1 ke 2 merupakan
daerah plastis, dimana perpanjnagn batang tidak kembali ke keadaan semula bila
tegangan dihilangkan. Namun, batang akan memendek dari panjang ketika ada
pembenahan/tarikan dan diameter akan mengecil. Kurva dari titik 2 ke 3, perpanjangan
terjadi dengan cepat dan pemanjangan akan terus terjadi serta pengecilan diameter
secara drastis walaupun tegangan dikurangkan. Bila beban ditiadakan, panjang
batang/spesimen akan tetap. Dan jika pembebanan diteruskan maka batang akhirnya
akan patah.
Diantara sifat mekanis yang terpenting adalah tegangan tarik (σ), modulus elastis (E)
dan regangan/ pemanjangan (ε). Ketiga sifat ini dapat ditentukan dengan persamaan
dibawah ini.
2
ε
1
σε
ε
σ
5
)(1
MPaAP
=σ )(MPaEεσ
= %100
0
01 XL
LL −=ε
Sifat Fisis Sifat‐sifat yang dikatagorikan sifat fisis diantaranya berat jenis, titik lebur, titik didih,
titik beku, kalor lebur, kalor beku, perubahan volume, bentuk dan panjang terhadap
perubahan temperatur.
Sifat Kimia Sifat kimia meliputi reaksi antara logam dengan oksigen di udara (pengkaratan),
kadar bahan beracun, kemungkinan bereaksi dengan garam, asam dan basa.
Klasifikasi Material Teknik (Bahan Struktur):
Secara garis besar , material teknik dapat diklasifikasikan pada 4 kategori, yaitu :
logam, polimer, keramik dan komposit seperti diperlihatkan pada gambar 1.3. Sedangkan
secara lebih rinci, material teknik dapat diklasifikasikan seperti diperlihatkan pada
gambar 1.3.
Gambar. 1.3. Klasifikasi bahan struktur
BAHAN STRUKTUR
LOGAM POLIMER KERAMIKS KOMPOSIT
Konvensional Rekayasa Teknologi
6
Gambar. 1.4. Klasifikasi Material Teknik
Logam Besi (Ferrous)
Besi dan baja adalah logam terbanyak yang digunakan dalam bidang teknik, yaitu
95% produksi logam dunia. Untuk penggunaan tertentu, besi dan baja adalah satu‐
satunya logam yang memenuhi persyaratan teknis maupun ekonomi. Dalam beberapa
bidang tertentu, besi dan baja mulai mendapat persaingan dari logam bukan besi dan
bahan bukan logam Khususnya bahan komposit.
Termoplastik: Poliertilen (PE), Polipropilen (PP), Polistiren (PS), Polivinil Klorida (PVC), Poliamida (PA), Poli‐karbonat (PCO), Poliester/ Polietilen treftalat (PET).
Termoset: Resin: Fenol, Epoksi, Melamin. Poliester tak Jenuh, Poliuretan.
Elastomer: Karet Alam
Logam Murni Timah putih, seng timah hitam, nikel tembaga, wolfram
dll.
Logam Murni Aluminium, perunggu, beryllium.
PADUAN Kuningan, Patri
perunggu
PADUAN Anti corotal,
alumna, avional
Baja Tuang
Besi Tuang
Paduan Besi
Batu
Minyak
Kaca
Polimer/Bahan Sintetis Bahan Alami Logam Besi Bukan Besi
Bukan Logam Logam
Material Teknik
Termoplastisti
Termoseting
Elastomers
Logam Ringan Logam Mulia Logam Ringan
7
Penggolongan logam besi tergantung komposisikimia penyususunnya, khususnya
kadar karbon. Kadar karbon yang dimiliki oleh suatu logam mempengaruhi sifat‐sifat
mekanis/fisis besi tersebut. Jenis‐jenis besi menurut prosentase kadar carbon diberikan
di bawah ini.
Pembuatan baja diperkenalkan Sir Henry Bessemer (Inggris) pada tahun 1800.atau
terkenal dengan dapur Bessenger.
Pembuatan besi mampu tempa diperkenalkan Wiliam Kelly (Amerika) pada tahun
1800, bahan utamanya adalah besi dengan paduannya. Diolah melalui proses peleburan
pada tanur tinggi dengan menambahkan kokas dan gamping (batu kapur) sehingga
diperoleh hasil akhir berupa besi kasar.
Bijih besi yang paling banyak digunakan adalah jenis hematif (Fe2O3) yang banyak
ditambang di Cina. Jenis hematif mempunyai kadar besinya yang tinggi sedangkan kadar
kotorannya relatif rendah.
Gambar 1.5 tungku oxigem (oxygen furnace) yang dipakai untuk poduksi baja.
8
Logam Bukan Besi
Logan bukan besi diproduksi mencapai 20% dari logam produk industri. Umumnya,
logam bukan besi lemah. Oleh karena itu, pencampuran dengan logam lain dan
membentuk paduan perlu dilakukan untuk meningkatkan kekuatannya.
Paduan (alloy) Paduan (alloy) adalah komposisi lebih dari satu elemen . Ilmu teknik paduan
(engineering alloy) meliputi cast‐irons dan baja, paduan aluminium (alluminium alloy),
paduan magnesium (magnesium alloy), paduan titanium (titanium alloy), paduan nikel
(nickel alloy),paduan seng (zinc alloys) dan paduan tembaga (copper alloys). Sebagai
contoh adalah kuningan menrupakan paduan dari kuningan dan tembaga.
Sifat Secara umum, logam bukan besi memiliki sifat tahan korosi, daya hantar listrik baik
dan mudah dibentuk. Biasanya, kemmapuan tahan korosi ini semakin baik dengan
semakin berat massa jenisnya, kecuali aluminium. Pada permukaan terbentuk lapisan
oksida yang akan melindungi logam dari korosi selanjutnya. Logam bukan besi memiliki
warna sehingga menambah estetik, seperti perak, kuning, abu‐abu dll.
Pengolahan Logam bukan besi tidak ditemukan sebagai logam murni di alam bebas tapi terikat
sebagai oksida dengan kotoran‐kotoran dan membentuk bijih‐bijih. Untuk itu perlu
dilakukan pengolahan yang meliputi beberapa tahap, yaitu tahap penghalusan mineral,
tahap pencucian, tahap pemisahan antara logam dan kotoran serta tahap peleburan.
9
Proses peleburan dilakukan pada tanur tinggi atau dapur reverberasi. Pada dapur
jenis ini, bahan bakar kokas dicampur dengan bijih untuk mempercepat proses
pembakaran dan pencampuran dengan fluks dapat meningkatkan kemurnian logam
serta mengurangi viskositas terak. Ukuran kokas dan bijih lebih besar dari 1 cm dan tidak
akan terbawa keluar oleh hembusan udara.
Karakterisasi Material
Perbedaan karakterisasi terhadap suatu material sangat dipengaruhi oleh latar
keilmuan dari pengguna. Konsep ini bagi seorang ilmuan yang berfikir material dalam
konteks atom‐atom (mikroskopik) berbeda halnya dengan seorang insinyur proses yang
cenderung memikirkan sifat‐sifat, proses dan jaminan mutu dari material tersebut.
Berbeda pula dengan definisi dari seorang insinyur mesin yang lebih terfokus pada
distribusi tegangan dan perpindahan panas. Definsi yang diambil dari ASM‐International
Materials Characterization Handbook adalah sebagai berikut “ Karakterissasi
menjelaskan tentang komposisi dan struktur termasuk kerusakan dari suatu material
yang penting suatu perlakukan khusus, mempelajari sifat‐sifat, atau menggunakannya
dan untuk memenuhi reproduksi material.
Suatu komponen penting dari metodologi teknik material adalah pengetahuan
struktur material. Struktur khas dapat dilihat dengan menggunakan suatu miskroskop
optic atau mikroskrop elektro baik transmission electron microscope (TEM) atau
scanning electron microscope (SEM). Transmission electron microscope (TEM) adalah
miskroskop elektro yang pencitraan oleh elektron‐elektron yang melalui suatu specimen
yang tipis
pengempu
Gambar y
1.6.
Prinsip
sumber ca
electron
terbuat d
hampa (va
molekul u
s sedangkan
ulan elektro‐e
ang diperole
p pengoperas
ahaya (light s
(electron gu
dari optical‐g
acuum colum
dara dan aka
scanning ele
elektro yang
h dari pencit
Gam
sian miskrosk
source) untuk
un),sedangkan
grade glass.
mn) karena e
n mudah dise
Gambar
ectron micro
dipancarkan
raan miskros
mbar 1.6 Hasil
kop optic sam
k suatu miskro
n untuk ele
Miskroskop
lektro‐elektro
erap.
r 1.7 Hasil SEM
scope (SEM)
n dari permuk
skop elektron
SEM Dendrit
ma halnya den
oskop electro
ktromagnetik
electron me
on mudah be
M pada sebu
adalah pen
kaan materia
dapat diliha
te
ngan SEM ata
on adalah seb
k adalah len
embutuhkan
erinteraksi de
ah IC
citraan deng
al yang diama
at pada gamb
au TEM, kecu
buah penemb
nsa yang tid
sebuah rua
engan molek
10
gan
ati.
bar
uali
bak
dak
ang
kul‐
Gamb
sebuah in
tersebut,
yang terbe
Gm
bar 1.7, sebu
ntegrated cir
kita dapat m
entuk. Gamba
Gam
mabar 1.9 Fo
uan mikrogra
rcuit. Warna
melihat denga
ar 1.8, juga m
mbar 1.8. Pena
oto Pelapisan
f scanning e
putih menu
an normal pe
memperlihatk
ampang jalur
TiC pada gra
lectron dari
unjukkan jalu
ermukaan silic
an penampan
metal denga
phite dengan
suatu wilaya
ur metalisasi.
con wafer da
ng jalur meta
n SEM pada I
n menggunak
h peraltan d
. Pada gamb
an jalur kone
l pada suatu
C
an SEM
11
ari
bar
ksi
IC.
12
Konsep Struktur
Struktur suatu material dapat dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu struktur atom
(atomic structure), susunan atom (atomic arrangement), mikrostruktur (microstructure),
dan makrosruktur (macrostructure).
Gambar 1.10 koordinat polihedra pada IC
Meskipun penekanan utama bagi insinyur material untuk memahami dan mengatur
mikrostruktur dan makro‐struktur berbagai material, namun pengetahuan tentang
struktur‐struktur atom dan kristal terlebih dahulu harus dipahami.
Struktur atom mempengaruhi bentuk ikatan yang terbentuk sesama atom. Dengan
bentuk ikatan atom, kita dapat mengkatagorikan material tersebut sebagai logam,
keramik, dan polimer dan kita dapat mendapatkan gambaran beberapa hal penting dari
sifat‐sifat makanik dan fisik dalam ketiga kelas tersebut.
This first image shows the coordination polyhedra for a superconductor material as
shown on the fig. 1.10. It represents the basic repeat unit that, when aggregated with
13
about 10^20 similar units, will create a monolith of the superconductor somewhat less in
size than one cubic centimeter. The crystalline unit cell is one aspect of structure that the
materials engineer must understand to produce functional superconductor devices.
However, there are other aspects of a material's structure that too must be considered.
The purpose of this web page is to introduce the reader to the concept of structure.
Let us begin our discussion of structure by first considering the crystal structure of
perovskites. Perovskites are a large family of crystalline ceramics that derive their name
from a specific mineral known as perovskite.
Fig. 1.11 amethyst
They are the most abundant minerals on earth and have been of continuing interest
to geologists for the clues they hold to the planet's history. The parent material,
perovskite, was first described in the 1830's by the geoologist Gustav Rose, who named it
after the famous Russian mineralogist Count Lev Aleksevich von Perovski. Currently, the
most intensely studied perovskites are those that superconduct at liquid nitrogen
temperatures. Superconducting perovskites were first discovered by IBM researchers
Bednorz and Mueller who were examining the electrical properties of a family of
14
materials in the Ba‐La‐Cu‐O system. The coordination polyhedra is only one way to
represent a crystalline unit cell. Another way is to use a ball and stick model, with the
balls representing atoms and the sticks, bonds between the atoms. Two representations
of this are illustrated below.
First, let us consider a basic unit cell, a cubic crystal system, as seen in three
dimensions. Those of us who lack 3‐dimensional depth perception can sometimes gain
3D information by moving our heads slightly from left to right while looking at an object.
Similarly, all of us can project a 3‐dimensional cube onto a 2‐dimensional screen and
then rotate it to provide information on its 3D nature. In other words, we can use a 2D
perspective projection extrapolated to a 3D impression. To the left, you see a GIF
animation of a unit cell of a three‐dimensional (3D) crystal.
So, the unit cell is the basic repeat‐unit for describing a crystal. What is a crystal?
Well most of us have seen mineral crystals. For example, consider amethyst. Amethyst is
the purple variety of quartz and is a popular gemstone. If it were not for its widespread
availability, amethyst would be very expensive. The name "amethyst" comes from the
Greek and means "not drunken." This was maybe due to a belief that amethyst would
ward off the effects of alcohol, but most likely the Greeks were referring to the almost
wine‐like color of some stones that they may have encountered. Its color is unparalleled,
and even other, more expensive purple gemstones are often compared to its color and
beauty.
The amethyst crystals, above‐left, are large and well defined. Recall: there are
billions and billions and billions of unit‐cells that make up these individual crystals. Let us
15
now take a look at fluorite crystals which are smaller, more regular crystals, aggregated
as a group. Fluorite is a mineral with a veritable bouquet of brilliant colors. Fluorite is
well known and prized for its glassy luster and rich variety of colors..
Now, let us move from aggregate fluorite crystals to aggregate galena crystals.
Galena is PbS, or lead‐sulfide. This fine specimen of the mineral Galena consists of
hundreds of intergrown crystals. Most of these are tiny, not measuring more than 0.1" (3
mm) in diameter, but at least 20 of them exceed 0.3" (8 mm) in all dimensions. The
crystals shown are of octahedral form with their tips often truncated by small cube‐
oriented faces. They have the standard dark‐gray color, dull metallic luster, and opacity
of Galena, and are dusted with a thin layer of superfine pyrite (Fe‐S) or chalcopyrite
(Fe/Cu‐S), giving some of the crystals a dull golden appearance.
With the introduction above, the reader may appreciate that there are must
necessarily be defects associated with crystals. Defects too define structure. For example,
consider the boundaries between individual crystals (or grains). Since these crystalline
aggregates grow together with 'random' orientation, grain‐boundaries necessarily exist:
and they are defects as the atomic order along them is disrupted from that within
individual grains. These planar structures certainly must have something to do with, for
example, how the aggregate will break apart if struck by a hammer blow. Note too the
reference to a dull golden appearance of the galena specimen. The source of this
discoloration is impurity particles. Iron sulfide and iron/copper sulfide grow on (and then
into) the lead‐sulfide crystals. These sulfides have different color properties than the
lead‐sulfide. It is indeed impurities and imperfections in the crystal structure of the
16
amethyst and fluorite crystals, introduced above, that give those crystals color. Note in
the case of the amethyst the non‐uniformity of color, and thus the non‐uniformity of
chemical content! All of these concepts relate to the structure and associated defects of
the materials being discussed.
Fig. 1.12 view inside a perovskite material
Now I share with you a few micro‐structural images. The first will be a look "inside" a
perovskite material: lanthanum aluminate. Let's not concern ourselves with the
magnification. You can assume dimensions to be in the order of tens of microns. What
you will see is a non‐perfect, but beautiful state of matter. In one of the superconducting
perovskites, the degree of defect (such as that shown on the left) would determine how
well the crystal would work as a superconductor. The structure determines properties.
Enjoy the beauty and many natural wonders in the reference source,
For a second look at defect structure, consider fig. 1.13 that is the image on the right
from the NASA Science Academy web pages . Here, we are looking at rather high
magnification at a Group II‐VI semiconductor compound, possibly ZnS. The color electron
photomicrograph shows such common structural defects as a grain boundary (A), twin
17
boundaries (B), and triangular‐shaped dislocation etch pits (C). These defects were
revealed by chemical etching of a wafer cut from a crystal of a II‐VI semiconducting alloy,
which was produced by directional solidification. Dislocations are another type of defect
(line‐defect) common to crystalline solids, and very, very important to their properties.
Fig. 1.13 defect structure
Reflect again on the poly‐crystalline structure of the galena aggregate previously
introduced. This is essentially a three dimensional view of how metals and alloys are
structured. The sole difference is the scale of the grain‐array. Commercial alloys are fine‐
grained, with grains (ie, crystals) typically 0.075 mm or so, in diameter. Perhaps
comparison of the galena aggregate to fig. 1.15 will convince you that grain‐boundaries
play a role in the behavior of metals and alloys. Shown is the fracture surface of a high‐
strength alloy which failed by hydrogen embrittlement. This mode of failure is highly
dependent on the size, orientation and chemical make‐up of the grain boundaries.
Please note the similarity of the galena specimen and this failure specimen, which was
18
subject to inter‐granular (ie, along‐the‐grain‐boundary) fracture. The individual
polyhedra facets define the grains.
Fig. 1.14 galena aggregate
Metallography is a means to evaluate the grain‐structure of materials. Shown on the
right is a color photo‐micrograph (a two‐dimensional section through a poly‐crystalline
array) of a common alloy or metal (brass or nickel, for example). To the trained
metallurgist or materials engineer, the structure represents a face‐centered‐cubic
material that has been worked and then "recrystallized" during an annealing treatment.
The metal or alloy is in a soft, ductile state. I know you may not know what all of these
terms mean. I am trying to illustrate the link between structure, properties and
processing. I am trying to illustrate the perspective of the materials engineer and the
importance of the structure concept. This image is the work of George Vander Voort of
the International Metallographic Society.
19
Fig. 1.15 color photo‐micrograph
To reinforce the importance of grain structure to properties, please consider the
photo‐micrograph below. Again, failure along grain boundaries of an engineering alloy is
featured. The alloy is stainless steel (why is it called "stainless" steel.... do you know?).
The failure mode is caustic stress corrosion cracking. Here, in a micrograph of the
stainless steel, one can see how failure is proceding along the grain‐boundaries from the
free‐surface of the component (top edge). Besides grain boundaries, what other defects
do you see in this photomicrograph?
20
2KEGAGALAN
MATERIAL
Pendahuluan
Suatu material dinyatakan gagal apabila tidak berkemampuan untuk memenuhi
fungsi utama dari perencanaan yang dikehendaki. Faktor utama penyebab suatu bahan
mengalami kegagalan adalah beban maksimum yang bekerja melebihi tegangan patah
bahan. Namun, tidak semua bahan gagal dengan cara yang sama. Faktor kekuatan,
kemuluran dan kerapuhan mempengaruhi mekanikal gagal suatu bahan. Faktor‐faktor
yang mempengaruhi kegagalan sangat tergantung pada sifat dasar dan keadaan bahan
tersebut , jenis pembebanan yang dikenakan, kadar pembebanan yang dialami,
temperature dan keadaan lingkungan, pengaruh tumpuan beban, ketidaksempurnaan
permukaan, atau cacat bahan.
Kegagalan Akibat Beban Statis.
Kegagalan akibat beban static disebabkan mulur atau rapuh atau dipengaruhi
modulus kekenyalan.
21
Kegagalan Akibat Beban Fatik.
Gagal lelah atau fatik adalah kegagalan yang terjadi pada kondisi beban maksimum
yang lebih kecil dari kemampuan beban, namun terjadi karena berulang ulang dan terus
menerus sehingga terjadi penambahan mikro retak.
Fatik yang terjadi pada logam telah dipelajari sejak lebih dari 150 tahun yang lalu.
Salah satu peneliti awal tapi bukan yang pertama adalah August Wohler. Dalam kurun
waktu sejak tahun 1850 sampai dengan tahun 1875 berbagai percobaan telah dijalankan
guna mendapatkan sebuah tegangan alternative yang aman sehingga kegagalan tidak
akan terjadi. Hampir seratusan tahun para peneliti telah menampilkan secara
eksperimental efek dari beberapa variable yang mempengaruhi panjangnya usia
kekuatan fatik logam.
Fatik logam merupakan sebuah proses yang mengakibatkan kegagalan premature
atau kerusakan dari sebuah komponen yang dikenai beban berulang. Fatik logam adalah
sebuah proses metalurgi yang rumit dan sulit digambarkan secara akurat dan sulit
dimodelkan pada tingkatan mikroskopi. Meskipun kompleks, pengamatan kerusakan
fatik dalam desain komponen dan struktur harus dilaksanakan. Akibatnya metoda‐
metoda analisa fatik pun mulai tumbuh berkembang.
Stress – Life
Metoda S‐N merupakan sebuah pendekatan yang pertama sekali digunakan dalam
upaya memahami dan menghitung kelelahan pada logam. Metoda ini telah menjadi
metoda standar untuk desain fatik selama kurun waktu hamper 100 tahun. Pendekatan
22
dengan metoda S‐N masih banyak digunakan dalam aplikasi desain dimana tegangan
yang berlangsung menjadi faktor utama dengan batas elastis material dan resultan usia
pakai sangat panjang seperti pada poros transmisi, roda gigi, kopling dan sebagainya.
Metoda Stess‐life tidak dapat digunakan untuk aplikasi‐aplikasi putaran rendah
dimana regangan yang terjadi memiliki sebuah komponen plastis yang signifikan. Untuk
kasus ini pendekatan yang berbasis kepada regangan lebih sesuai untuk digunakan. Garis
pemisah antara fatik putaran rendah dengan fatik putaran tinggi adalah bergantung
kepada material, namun biasanya berkisar antara 10 sampai dengan 105 putaran.
Diagram SN
Dasar dari metoda Stress – Life ini adalah diagram S‐N atau disebut juga diagram
Wohler yang menggambarkan tegangan – tegangan alternatif (S) terhadap jumlah
putaran hingga patah (N). Prosedur yang paling umum untuk mendapatkan data S‐N
adalah melalui pengujian Rotating Banding dan Axial Tension. Data hasil uji S‐N ini
biasanya ditampilkan dalam grafik log dengan garis aktual S‐N merepresentasikan data
rata‐rata. Beberapa material, terutama logam BCC (Body Centered Cubic) memiliki
batasan endurance atau batas fatik (Se) dimana batasan tersebut merupakan batasan
tegangan dimana material memiliki usia pakai tak terhingga. Untuk kebutuhan
engineering, usia pakai tak berhingga biasanya diperhitungkan hingga putaran 1 juta.
Batas endurance dipengaruhi oleh elemen‐elemen penyusunnya, seperti karbon atau
nitrogen didalam besi dengan dislokasi pin. Hal ini mencegah mekanisme slip yang
memicu pembentukan mikrocrack. Bila endurance limit berkurang, maka hal – hal yang
harus diperhatikan sebagai penyebabnya adalah :
23
1. Terjadinya beban berlebih secara periodik (periodic overloads) dimana terjadinya
dislokasi unpin.
2. Lingkungan kerja yang korosif (corrosive environments) yang mengakibatkan
terjadinya interakasi fatik korosi.
3. Temperatur yang tinggi (high temperature) yang mengakibatkan terjadinya
dislokasi yang berpindah‐pindah.
Adalah penting untuk dicatat bahwa efek dari beban berlebih secara periodik
tersebut diatas memiliki hubungan dengan tingkat kemulusan spesimen yang diuji. Untuk
komponen bertakik memiliki perilaku yang sangat berbeda yang diakibatkan oleh adanya
residual stress (tegangan sisa) yang ditimbulkan oleh beban berlebih.
Kebanyakan material paduan non‐logam tidak memiliki endurance limit dan garis
kurva S‐N nya memiliki kemiringan yang kontinu. Batas endurance semu atau kekuatan
fatik dari material ini dianggap sama dengan harga tegangan dimana usia pakainya
berkisar 5 x 108 putaran.
Hubungan endurance limit terhadap hardness (kekerasan) yaitu:
Se (Ksi) ≈ 0.25 x BHN ; untuk BHN ≤ 400
Se ≈ 100 Ksi ; untuk BHN > 400
Hubungan endurance limit terhadap ultimate strength:
Se ≈ 0,5 x Su ; untuk Su ≤ 200 Ksi
Se ≈ 100 Ksi ; untuk Su > 200 Ksi
24
Tegangan bolak‐balik yang di hubungkan dengan usia pakai 1000 putaran (S1000)
dapat di estimasi 0,9 x Sut. Garis yang menghubungkan titik ini dan endurance limit
adalah merupakan estimasi yang digunakan untuk garis desain S‐N bila tidak ada data
titik aktual yang tersedia untuk material tersebut.
Guna melakukan pendekatan secara grafik sebuah hubungan power dapat digunakan
untuk memperkirakan kurva S‐N untuk baja:
S = 10cNb ( untuk 103 < N < 106)
Dimana eksponen c dan b pada persamaan diatas ditentukan dengan menggunakan
dua titik yang telah ditentukan dalam gambar 1.5.
Persamaan untuk menentukan usia pakai yang berkaitan dengan alternating stress
adalah:
N= 10 –c/b S 1/b (untuk 103 < N < 106)
Dicatat bahwa jika S1000 dan Se ditentukan:
S1000 ≈ 0,9 Su dan Se ≈ 0,5 Su
Maka kurva SN di definisikan sebagai:
S = 1.62 Su N‐0.085
25
Ada‐ hal‐hal penting yang harus diperhatikan mengenai kurva S‐N ini, diantaranya
yaitu:
1. Hubungan empiris yang disajikan sebagaimana diatas hanyalah merupakan
estimasi saja dan tergantung pada tingkatan keperluan dari analisa fatik.
Sehingga data‐data dari hasil uji aktual diperlukan.
2. Konsep yang paling berguna dari metoda S‐N ini adalah endurance limit yang
telah digunakan untuk menghitung usia pakai tak berhingga atau perancangan
untuk tegangan aman.
3. Secara umum, pendekatan dengan metoda S‐N seharusnya tidak digunakan
untuk mengestimasi usia pakai di bawah 1000 putaran.
FaktorFaktor Modifikasi
Selama beberapa tahun manfaat dari pengujian fatik kebanyakannya adalah untuk
memperoleh sebuah pemahaman empiris dari efek‐efek beberapa faktor terhadap base
line kurva S‐N untuk material besi paduan dalam usia pakai menengah hingga usia pakai
lama.
Variabel‐variabel yang diinvestigasi adalah :
1. Ukuran (size)
2. Jenis pembebanan (Type of loading)
3. Kehalusan pemukaan (surface finish)
26
4. Perlakuan terhadap pemukaan
5. temperatur
6. Lingkungan kerja (environment)
Efek Ukuran Kegagalan fatik pada material bergantung kepada interaksi antara sebuah tegangan
yang besar dengan sebuah cacat/ retak kecil yang kritis. Pada dasarnya, fatik di control
oleh link terlemaj dari material, dengan kemungkinan dari peningkatan sebuah link yang
lemah dengan volume material. Hal ini berbeda dengan sifat‐sifat dari iamati dari hasil‐
hasil uji fatik dari suatu material yang memakai specimen berdiameter variasi. Efek
ukuran telah dihubungkan dengan lapisan tipis dari permukaan material dikenai 95%
atau lebih dari tegangan permukaan maksimum.
Tabel 2.1 Pengaruh ukuran terhadap endurance limit .
Diameter Endurance limit (Ksi)
0.3
1.5
6.75
33.0
27.6
17.3
Ada hubungan empiris terhadap data efek ukuran yang paling konservatif adalah
Csize = 1.0 ; jika d ≤ 0.3 in
0.869 d (‐0.097) ; jika 0.3 in ≤ d ≤ 10 in
Csize = 1.0 ; jika d ≤ 8mm
1.189 d (‐0.097) ; jika 8 mm ≤ d ≤ 250mm
27
dimana d adalah diameter komponen. Beberapa hal lain yang perlu dipertimbangkan
jika kita memperhitungkan tentang efek ukuran adalah:
1. Efek kelihatan (muncul) nampak sekali pada usia pakai yang sangat lama.
2. efek ukuran akan bernilai kecil jika diameter komponennya diatas 2 in, walaupun
melalui uji bending atau torsi.
3. Berdasarkan problem proses yang inheren pada komponen yang besar, maka
tidak ada kesempatan untuk munculnya residual stress dan variasi variable
metalurgi yang dapat mempengaruhi kekuatan fatik.
Efek Beban Perbandingan endurance limit untuk sebuah material yang diperoleh dari uji aksial
dan uji rotating bending berkisar antara 0.6 hingga 0.9. Data ini termasuk beberapa error
akibat dari eksentisitas beban aksial. Perkiraan konservatifnya adalah:
Se (axial) ≈ 0.70 Se (bending)
Perbandingan endurance limit yang diperoleh dari uji rotating bending dan uji torsi
memiliki range dari 0.5 sampai dengan 0.6. Perkiraan yang logis adalah sbb:
Te (torsion) ≈ 0.577 Se (bending)
Finishing Permukaan Garis‐garis, lubang‐lubang kecil dan bekas–bekas pabrikasi pada permukaan sebuah
material dapat menambahkan konsentrasi tegangan terhadap salah satu komponen
28
geometri yang sudah ada. Material yang memiliki butiran halus yang seragam seperti
baja berkekuatan tinggi lebih dapat dipengaruhi oleh efek permukaan yang kasar jika
dibandingkan dengan material berbutir kasar seperti besi tuang.
Faktor koreksi untuk penyelesaian permukaan ditampilkan dalam grafik yang
memakai sebuah gambaran kualitatif dari surface finish seperti polished atau machined.
Beberapa hal penting mengenai efek dari surface finish adalah:
1. Kondisi dari permukaan lebih penting diperhitungkan bagi baja‐baja bekekuatan
tinggi.
2. Residual surface stress yang ditimbulkan oleh pekerjaan machining dapat
menjadi penting. Sebagai contoh tegangan tarik residual yang terkadang timbul
oleh beberapa pekerjaan gerinda.
3. Untuk usia pakai yang singkat, dimana terjadi domonasi propagasi retak, kondisi
surface finish membawa efek yang kecil terhadap fatiguelife.
4. Ketidak teraturan penempatan permukaan seperti tanda stamp dapat
menimbulkan konsentrasi tegangan dengan efektif dan tidak dapat diabaikan.
Perlakuan Permukaan Ketika retak fatik kerap sekali muncul pada sebuah permukaan bebas, beberapa
perlakuan permukaan dapat memberikan efek terhadap fatigue life.Diantara perlakuan
permukaan yang dapat dikatagorikan menjadi plating, thermal, dan mechanical. Ketiga
perlakuan permukaan tersebut memiliki efek fatigue life dikarenakan residual stresses.
29
Plating Proses plating dengan memakai unsur chrome dan nickel pada baja dapat
menyebabkan pengurangan hingga 60% endurance limit. Hal ini dikarenakan oleh
tegangan tarik residual stress yang dibangkitkan oleh proses plating itu sendiri. Tindakan‐
tindakan berikut yang dapat mengatasi permasalahan residual stress yaitu:
1. Lapisan dengan nitride sebelum dilakukan plating.
2. Shoot peen part sebelum atau sesudah plating.
3. Annealing atau bake part setelah plating.
Ada beberapa factor yang terjadi dalam proses plating yang dapat memberi efek
terhadap fatigue life, terutama untuk chrome dan nickel plating sbb:
1. Ada pengurangan yang besar terhadap kekuatan fatik seiring dengan kekuatan
luluh material yang diplating meningkat.
2. Pengurangan kekuatan fatik yang diakibatkan oleh proses plating lebih besar lagi
pada usia pakai yang lebih panjang.
3. pengurangan kekuatan fatik lebih besar ketika ketebalan plating meningkat.
4. ketika fatik terjadi di dalam lingkungan yang korosif, maka ketahanan korosi
ekstra yang ditimbulkan oleh proses plating akan lebih banyak ketimbang
pengurangan kekuatan fatik dilingkungan yang non korosif.
30
Thermal (panas) Proses difusi seperti carburizing dan nitriding sangat menguntungkan bagi kekuatan
fatik. Proses‐proses ini memiliki efek kombinasi dari peningkatan kekuatan material pada
permukaan sebaik mungkin sebaik akibat penambahan volumetric yang menghasilkan
tegangan‐tegangan permukaan tekan residu.
Nyala api dan pengerasan induksi mengakibatkan sebuah fase transformasi, yang
mengakibatkan ekspansi volumetrik. Jika proses ini dilakukan pada permukaan, maka
akan menghasilkan sebuah tegangan residual compressive yang menguntungkan
kekuatan fatik.
Hot rolling dan forging dapat mengakibatkan surface decarburization. Kehilangan
atom‐atom karbon dari permukaan material mengakibatkan proses tersebut memiliki
kekuatan yang lebih rendah dan juga dapat menghasilkan tegangan tarik residu. Kedua
faktor tersebut sangat detrimental terhadap kekuatan fatik. Efek dari decarburization
pada berbagai baja paduan berkekuatan tinggi dengan bentuk bertakik dan tidak bertakik
dapat dilihat dalam table 1.4.
Tabel 2.2 Efek Decarburization terhadap Endurance Limit
Steel Su Smooth Notched Smooth Notched
AISI 2340
AISI 2340
AISI 4140
AISI 4140
250
138
237
140
122
83
104
83
69
43
66
40
35
44
31
32
25
25
22
19
31
Harus dicatat pula bahwa beberapa proses manufacture. Seperti pengelasan, gerinda,
flame cutting dapat men‐setup detrimental residual zensile stress.
Mechanical Ada beberapa metode yang digunakan pada pengerjaan dingin (cold work)
permukaan sebuah komponen untuk menghasilkan sebuah residual compressive stress.
Dua proses yang penting yaitu cold rolling dan shot peening. Selama memproduksi
compressive residual stress, metode ini juga dapat mengeraskan permukaan material.
Peningkatan yang besar terhadap fatigue life terjadi dikarenakan oleh adanya residual
compressive stress.
Cold rolling melibatkan pressing stell rollers pada permukaan komponen yang
biasanya diputar dengan mesin bubut. Metoda ini digunakan pada bagian‐bagian yang
lebar dan dapat menghasilkan sebuah lapisan residual stress yang dalam.
Shot peening merupakan salah satu metode penting dalam memproduksi residual
compressive stress. Prosedur ini involves blasting permukaan dari sebuah komponen
dengan baja untuk kecepatan tinggi atau glass beads. Hal ini menjadikan bagian dalam
material berada dalam kondisi residual tension dan bagian kulit material berada dalam
residual compression. Lapisan residual compressive stress memiliki ketebalan ± 1mm
dengan sebuah nilai maksimum kira‐kira satu setengah kali kekuatan luluh material.
Beberapa hal penting mengenai pengerjaan dingin berkaitan dengan tegangan‐
tegangan residual compressive yaitu:
32
1. Cold rolling dan shot peening memiliki efek yang besar pada usia pakai yang lama
(panjang). Pada usia pakai yang sangat singkat tidak terdapat peningkatan
fatigue strengthnya. Pada usia pakai yang pendek tingkatan tegangan harus
cukup tinggi agar timbul uselding yang menghilangkan residual stress.
2. Beberapa situasi dapat menimbulkan/ membangkitkan tegangan sisa dalam
rangka relaksasi atau fade‐out. Situasi tersebut seperti high temperature dan
overstressing. Kira‐kira untuk baja situasi tersebut berlangsung jika temperature
mencapai 5000 F dan untuk alumunium 2500 F.
3. Baja‐baja yang kekuatan luluhnya dibawah 80 Ksi jarang sekali di lakukan cold
working atau shot peening. Hal ini disebabkan oleh titik luluh yang rendah sangat
mudah untuk menimbulkan regangan plastis yang wipe out residual stress.
4. Sebuah tegangan sisa tekan pada permukaan memiliki efek yang besar terhadap
fatigue life ketika tegangan tersebut berlangsung pada daerah dimana terdapat
stress gradient, umumnya pada daerah sekitar takikan.
5. Untuk melakukan overpeen sebuah permukaan adalah sangat mungkin untuk
dilakukan. Biasanya terdapat level optimum untuk peening sebuah komponen,
dan peening lebih lanjut akan mulai menurunkan fatigue strengthnya.
33
Temperatur
Ada sebuah tendensi untuk endurance limit baja untuk meningkat pada temperatur
yang rendah. Akan tetapi, pertimbangan penting dalam perancangan adalah bahwa
beberapa material mengajarkan pengalaman yaitu
Akan tetapi, yang menjadi pertimbangan penting dalam perancangan adalah bahwa
beberapa material telah memberikan pengalaman mengenai pengurangan yang
signifikan dalam fracture toughness pada temperature yang rendah.
Pada temperature yang tinggi, endurance limit baja menghilang dikarenakan oleh
bergeraknya dislokasi. Pada temperature diatas kira‐kira satu setengah titik leleh
(melting point) dari material tersebut, creep menjadi hal yang penting. Dalam batasan
ini, pendekatan dengan metoda stress‐life tidak dapat digunakan lagi. Perlu juga di catat
bahwa temperature yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya annealing yang mampu
menghilangkan residual compressive stress yang berguna.
Lingkungan Kerja
Ketika beban fatik ambil bagian didalam sebuah lingkungan yang korosif penghasilan
efek‐efek detrimental akan lebih signifikan dibanding dengan perkiraan yang
memperhitungkan fatik dan korosi secara terpisah.
Interaksi antara fatik dan korosi yang disebut juga dengan corrosion fatigue,
melibatkan mekanisme kegagalan yang unik dan sangat kompleks. Pengkajian dibanding
ini masih sangat banyak pada tahapan riset dan masih sangat sedikit teori yang berguna
dan data yang berjumlah banyak yang tersedia.
34
Mekanisme dasar fatik‐korosi pada tahapan awal dapat dijelaskan sebagai berikut:
sebuah lingkungan yang korosif menyerang permukaan dari sebuah logam dan
menghasilkan sebuah lapisan oxide‐film. Biasanya, oxide‐film ini akan membentuk
lapisan pelindung dan mencegah korosi yang lebih lanjut terhadap logam tersebut.
Namun, beban bersiklus (Cyclic loading)mengakibatkan terjadinya lokalisasi retak dari
lapisan ini dan selanjutnya lingkungan yang korosif dapat menyentuh langsung
permukaan logam yang terkoak itu. Pada saat yang sama, korosi mengakibatkan pitting
yang terlokalisasi pada permukaan, dan pit‐pit ini dapat dikatakan sebagai konsentrasi
tegangan. Mekanisme fatik‐korosi selama tahapan propagasi retak merupakan
permasalahan yang sangat rumit dan tidak mudah untuk dipahami.
Salah satu kesulitan‐kesulitan utama dalam mencoba untuk menghitung fatik‐korosi
adalah angka besar dari variable‐variable yang terlibat dalam pengujian.
Mempertimbangkan fatik‐korosi dari kombinasi yang penting dari baja di dalam
air.Beberpa variable yang harus diperhitungkan adalah elemen‐elemen alloy didalam
baja, unsur kimia air, temperature derajat aerasi, kecepatan aliran, dan kadar
garam.Salah satu trend adalah fatik‐korosi akan lebih jelek bila logam dispray dari pada
logam tersebut di fully immersed.Variabel lain yang paling penting yaitu frekuensi
pembebanan. Uji fatik yang dilakukan dilingkungan yang non korosif dapat dijalankan
pada hampir semua frekuensi dan data yang serupa akan diperoleh. Sementara itu data
fatik korosi sangat dipengaruhi oleh frekuensi pembebanan. Pengujian‐pengujian pada
frekuensi yang rendah memberi peluang terjadinya korosi dan menghasilkan usia fatik
yang lebih pendek.
35
Ada beberapa trend umum yang dapat diamati didalam fatik korosi. Gambar 1.25
menampilkan kurva S‐N secara umum untuk baja dalam 4 (empat) lingkungan kerja yang
berbeda. Kurva‐kurva yang diperoleh dari udara ruangan dan kondisi vakum
menunjukkan bahwa meskipun kelembaban dan oksigen dari udara ruangan dapat
menurunkan kekuatan fatik sedikit saja.
Kurva presoak diambil dalam kondisi lingkungan kerja yang korosif dan kemudian
pengujian fatik berlangsung dalam udara ruangan. Penurunan sifat‐sifat fatik untuk
kurva‐kurva ini disebabkan oleh permukaan yang kasar yang diakibatkan oleh corrosion
pithing. Kurva fatik korosi berada dibawah kurva dari udara air. Trend lainnya yaitu
bahwa fatik korosi dapat menghilangkan prilaku endurance limit dari beberapa jenis
baja.
Ada beberapa perlakuan terhadap permukaan material yang bisa meningkatkan
ketahanan fatik‐korosi. Surface coating seperti painting, plating dengan chrome, nickel,
cadmium atau zinc, dapat digunakan. Harus di catat bahwa nickel plating dapat
mengakibatkan penurunan kekuatan fatik diudara namun didalam lingkungan yang
corrosive nickel plating dapat meningkatkan kekuatan fatiknya. Keuntungan dalam
menggunakan metal lunak sebagai zat untuk coating adalah intact akan cenderung untuk
terjadi ketika retak telah terbentuk pada base metal. Satu masalah dengan surface
coating yaitu bahwa retak fatik dapat dimulai dari lapisan coating yang retak meski
sangat kecil.
Perlakuan terhadap permukaan yang menghasilkan tegangan‐tegangan tekan
permukaan residu (nitriding, shot peening, cold rolling dsb) dapat pula digunakan
36
perlakuan‐perlakuan seperti ini dapat menyebabkan terjadinya tegangan tarik
maksimum dibawah permukaan tersebut. Kebalikannya, tegangan‐tegangan sebenarnya
dan tegangan tarik permukaan residu sangat detrimental dan dapat menimbulkan fatik
korosi.
Kasus Kegagalan Material
Analisa kegagalan (failure analysis) adalah tindakan preventif (pencegahan) yang
penting dilakukan terhadap semua pemakaian material teknik. Insinyur material sering
memegang peranan penting dalam analisis kegagalan ketika suatu komponen atau
produk yang rusak dalam masa perbaikan, selama perakitan atau selama proses produksi
. Dalam beberapa kasus, satu hal yang harus ditentukan adalah penyebab‐penyebab dari
kegagalan tersebut sehingga dapat direncanakan langkah‐langkah pencegahan kedepan
dan/atau untuk meningkatkan performansi dari peralatan, komponen atau struktur
tersebut.
Gambar 2.1 Kecelakaan pesawat di pantai Miami Florida
37
Salah satu contoh aplikasi analisis kegagalan yang paling tampak adalah analisis
kegagalan pada industris dirgantara. Pada 19 Desember 2005, sebuah pesawat Grumman
G73T Turbo jatuh ke laut dekat pantai Miami Florida. Ledakan diikuti kebakaran dan
sayap sisi kanan terlepas terlebih dahulu sebelum pesawat jatuh ke laut. Penelitian
terhadap rongsokan pesawat menunjukkan adanya fatigue cracks pada bagian sayap
kanan. Penyebab dari kecelakaan masih dalam investigasi. Akan tetapi, Kegagalan
struktur yang diawali oleh fatik dicurigai sebagai penyebabnya.
Gambar 2.2 Kecelakaan pesawat di Lond Island July 17. 1996
Suatu jalur pipa gas ruptured ke jalan tol pada semptember 1993. A natural gas pipeline
in Venezuela ruptured next to a major highway in September, 1993. The subsequent gas
jet ignition resulted in an inferno that killed at least 50 people. Within hours of the initial
contact, Failure Analysis Association (a commercial firm engineers with expertise in
materials, combustion, and pipeline failure mechanisms arrived in Venezuela to start
investigating. Such rapid response is essential for examining conditions as close as
possible to the time of the incident.
38
Gambar 2.3. Pipa gas alam cair yang rusak di Venuezela.
Shown below is the Heverill Fire Department aerial ladder failure. Structural failure
of a ladder is not at all an uncommon event. Failure can result, for example, from poor
design, use of inferior material or fabrication methods, or from a phenomenon called
fatigue.
Gambar 2.4. Kerusakan pada tangga pemadam kebakaran
Fatik adalah suatu mode kegagalan yang terjadi pada material struktur dan
digerakkan oleh pembebanan yang berulang.
39
Dalam analisis kegagalan struktur, pengujian mekanikal sering dibutuhkan. Sebagai
contoh, coba perhatikan kegagalan fatik pada kegagalan dari pegas yang digunakan pada
pintu. Untuk memprediksi masa pakai dari suatu pegas, salah satu yang harus diketahui
adalah beban yang akan diterapkan pada pegas tersebut selama pemakaian dipintu, dan
berapa banyak beban ini diberikan dalam setahun. Metode analitik dan metode
pemodelan komputer menfokuskan dan menprediksi waktu dan siklus hingga terjadi
kegagalan. Model‐model dikembangkan dan dikonfirmasikan dengan data empirical dari
pengujian fatik yang dilakukan terhadap kedua spesimen tarik uniaxial dan springs
aktual. Sistem utama dari pengujian material struktur ditunjukkan di bawah ini. Sebuah
perangkat portable Instron Model 8511 telah dkembangkan untuk menprediksi fatik dan
didesain untuk gaya (pembebanan) yang rendah, aplikasi fatik siklik (berulang‐ulang) dan
untuk pengujian tarik/kompresi di tunjukkan.
Gambar 2.5 Alat pengujian fatik
40
Gambar 2.6 artificial hips, and stainless steel rods
Sistem tersebut telah dilaporkan digunakan oleh Laboratorium Bio‐Mekanik
Orthopedi di Sekolah Medkal Harvard untuk pengujian hips tiruan dan stainless steel rods
yang digunakan untuk memperbaiki scoliosis.
Kemungkinan kegagalan dari suatu struktur yang disbabkan fatik telah dibahas di
atas, lalu bagaimana dengan kegagalan yang disebabkan oleh selain fatik. Ada beberapa
penyebab kegagalan selain fatik, diantarannya metallic‐embrittlement mode. Keagalan
ini dapat dinalisi dengan fractography. Fractography merupakan tinjauan mikroskopi
sederhana dari permukaan fracture surface. Namun, sebelum advent scanning (SEM) dan
transmission (TEM) electron microscopes, fractography was lrather difficult to perform.
Fig. 2.8 is a detailed inspection [at approximately 5000X] of a fracture surface using
SEM. The presence of a series of marks approximately parallel to the crack front are
revealed. The marks are called fatigue striations and are characteristic of the growth of a
fatigue crack in a ductile material. This confirms crack growth by the fatigue process.
Now l
look‐see
componen
loading. N
characteri
origins are
Now r
what inve
Fig. 2
et's step bac
at the "ma
nt. The subje
Note the int
istic is due to
e a common f
recall the cras
stigators fou
Fig. 2.
2.8 viewed ins
k from the st
cro" feature
ect is the fat
teresting mu
o the presenc
feature of a fa
sh of the Gru
nd on a rear
.7 fatigue fail
spection of a
riations on a
es of the fra
igue failure o
ulti‐step char
ce of many cr
atigue failure
umman G73T
spar of the w
ure of a slind
fracture surfa
typical fatigu
acture plane
of a splinded
racteristic of
rack origins a
e.
Turbo Malla
wing structure
ed
ace using SEM
ue fracture su
e of a typic
d solid‐shaft
f the fractur
long the splin
rd mentioned
e; the wing th
M.
urface to have
cal engineeri
under torsion
re profile. T
nes. Multi‐cra
d above? This
hat separated
41
e a
ing
nal
his
ack
s is
d in
42
flight. Notive the tale‐tale fatigue characteristics? Follow‐on SEM fractography is needed
to confirm the fatigue crack‐growth mode.
Inspection of Non‐Metallic Components
Mari kita perhatikan suatu komponen bukan logam yang insinyur material musti
dipersiapkan untuk menganalisi untuk optimasi performansi. Lebih lajut, kebanyakan
jenis sil (seal) dinamik telah digunakan pada saat ini adalah sil oli (oil seal) atau rotary
shaft seal. While its initial cost is minimal, its impact on maintenance time and labor can
be significant. An early seal failure will throw even the best program off schedule. On the
web pages (or screens) of Chicago‐Rawhide were examples of the most common seal
failures found when investigating field problems. However, Chicago‐Rawhide was
recently bought‐out by SKF of Stockholm, Sweden, and the excellent failure analysis
pages have been dropped. Use an Internet search engine with 'seal failure' + 'failure
analysis' to pursue this topic.
Fig. 2.10 failure analysis to seal
43
The first image conveys an important message of any failure analysis. Examine
carefully, by eye and with low power lenses (5X to 10X), any failure or fracture to begin
the failure analysis procedure.
The second image illustrates one particular failure mechanism. When operating
speeds increase, seal lip temperatures may soar. One indication of high heat is a dry,
brittle lip. Flexing the lip may reveal fine axial cracks around the entire circumference.
Another indicator is a thin band of carbonized oil along the seal lip that results when
heat causes the lubricant to break‐down. These are clues to look for in examining failed
seals. Remember too to look at other seals of similar life in similar situations to gain
more knowledge about a particular failure mode; and to learn something about the
extent of the problem!
Failure Analysis of Devices [also termed 'Reliability Physics']
Now, let us switch gears to solid state device failure analysis methods. Electronic,
magnetic and optic devices too, can fail. The cause of failure must be ascertained to
improve reliability and to correct errant process steps. Here are examples which may
give you the idea of reliability physics or device failure analysis.
The application of Scanning‐Probe Microscopy (SPM) in the failure analysis of a
finished and packaged integrated circuit is illustrated in this chapter.
In the failure analysis of devices, it is often necessary to remove over‐layers, such as
the passivation (glass‐like) layer that is used to protect the device from moisture andbad
actor, mobile‐ion species. One must do this in such a way as to maintain the integrity of
44
the under‐lying defect or contaminant information. One device used to remove passive‐
films is the plasma etcher.
Suatu paket mikro‐elektronik dihasilkan dari teknologi IC dicetak pada papan sirkuit.
Satu imej kemungkinan berbagai kemungkinan kegagalan. Beberapa analitikal, teknik
inspeksi tidak merusak tersedia untuk untuk mengalisis kegagalan mikro‐elektronik dan
termasuk CSAM yang mana C‐mode Scanning Acoustic Microscopy (C‐SAM). Non‐
destructive failure analys terhadap IC packages menggunakan C‐SAM dapat
menidentifikasi critical defects (cacat kritik) dalam tiga dimensi paket tersebut. Scanning
Infrared Microscopy (SIR) dapat mengukur temperatur yang dibangkitkan Ics Impedansi
termal tanpa bersentuhan dengan permukaan paket Ic tersebut dan lainnya yang lebih
berguna. Peralatan non‐destructive tool to the failure analyst. Below is a C‐SAM image
showing delamination (red regions) in a micro‐electronics package.
Fig. 2.10 delimation in Ic
45
3LOGAM DAN
PADUAN
Pendahuluan
Dalam pandangan orang awam, struktur baja merupakan suatu material teknik
utama dalam praktek keteknikan moderen. Material konstruksi yang serbaguna ini
mempunyai beberapa karakteristik, atau keunggulan sebagai logam, yaitu : (1) kuat dan
dapat dibentuk ke dalam bentuk yang praktis. (2) Derformabilitas atau kelembutan
merupakan suatu aset yang penting dalam pembebanan yield mendadak. yang
menjengkelkan. (3) Suatu permukaan baja yang baru saja potong mempunyai suatu
karakteristik kilauan logam, dan (4) suatu batang‐baja bisa digabungkan karakteristik
utama dengan logam lainnya. Meskipun struktur baja merupakan suatu contoh umum
dan utama dari penggunaan logam pada keteknikan, namun tidak sedikit juga yang
memproduksi logam‐logam lainnya seperti emas, platina dan timah.
Fig. 3.1 native silver and galena
46
Suatu paduan adalah suatu logam paduan yang terdiri lebih dari satu elemen
pembentuk. Paduan‐pauan teknik termasuk besi cor dan besi‐besi, paduan‐paduan
aluminium, paduan‐paduan magnesium, paduan‐paduan titanium, paduan nikel, paduan
seng, dan paduan tembaga.
Jarang apakah kita temukan unsur‐unsur yang metalik di ` yang cuma‐cuma'' status.
Sebagai contoh, mempertimbangkan perak yang asli. Perak telah ditambang untuk
beribu‐ribu tahun dan telah selalu populer di barang barang perhiasan dan untuk
pembuatan uang logam. Hanya di masa ratus lalu tahun bagaimanapun, mempunyai
permintaan untuk perak sehingga besar.. Alasan untuk permintaan ini adalah
penggunaan dari perak di industri fotografi, yang mengambil keuntungan dari
kereaktifan perak untuk ringan.. Silver yang asli adalah jarang dan banyak perak
diproduksi dari mineral bearing/tegas‐perak seperti prousite, pyrargyrite, galena, dan
lain lain Specimens dari Native Silver [yang] [yang] [yang] pada umumnya terdiri atas
kawat yang dibengkokkan dan dijalin; terjalin bersama‐sama, membuat suatu kecurigaan
membangkitkan semangat mineralogical. Url sumber acuan adalah seorang penyalur
yang komersil tentang spesimen mineral. Gambaran mempunyai Copyright © 1995,1996
oleh Amethyst Galleries, Inc..
Logam‐logam dibuat dari suatu bijih‐bijih yang bukan dari unsur dari alam secara
alami. Bijih‐bijih tersebut sering berupa suatu kombinasi dari unsur‐unsur logam dan
unsur bukan logam. Sebagai contoh Galena (PbS), merupakan suatu mineral umum dan
populer untuk batu karang. Struktur Galena serupa dengan halit NaCl. Dua mineral
mempunyai yang sama kristal membentuk, perpecahan dan simetri. Beberapa Galena
47
mengandung perak hingga 1%. Galena dengan jumlah yang besar diproses untuk
memproduksi bijih perak.
Baja Tahan Karat
Baja tahan karat merupakan baja paduan (alloy steel) yang sengaja dikembangkan,
terutama untuk memenuhi kebutuhan akan material teknik yang mempunyai kombinasi
sifat mekanik dan sifat tahan korosi yang baik. Baja tipe ini mempunyai karekteristik
umum yaitu mengandung komponen utama khromium (Cr) lebih dari 11,5%. Apabila
kadar Cr yang dipadukan ke dalam Fe lebih dari 12 – 13 % maka proses korosi akan
dihambat, karena bersama oksigen dari udara akan membentuk lapisan stabil atau pasif
(Cr2O3). Selain komponen paduan Cr, pada baja tahan karat juga ditambahkan
komponen paduan lain, seperti Ni, Mo, Ti, Cu dan sebagainya. Berdasarkan
mikrostruktur, sifat mekanik dan ketahanan korosinya baja tahan karat ini dikategorikan
menjadi 4 golongan, yaitu :
• baja tahan karat martensitik
• baja tahan karat ferristik
• baja tahan karat pengerasan presipitasi
• baja tahan karat austenitik
Baja Tahan Karat Martensitik (Martensitic Stainless Steel) Baja tahan karat martensitik mengandung 11,5 – 18% Cr dan 0,15 – 1,2% C serta Ni
dalam jumlah tertentu. Baja jenis ini dapat dikeraskan dengan perlakuan panas. Oleh
kerana itu baja ini mempunyai kekuatan yang tinggi serta ketahanan panasnya juga
tinggi, tetapi ketahanan korosinya rendah.
48
Baja Tahan Karat Ferritik (Ferritic Stainless Steel) Baja tahan karat ferritik mengandung 10,,5 – 27% Cr; 0,09 – 0,2% C serta 1,5% Mn.
Baja ini mempunyai ketangguhan relatif rendah pada temperatur yang rendah/
temperatur kamar, tidak dapat diadakan perlakuan panas, serta mengalami pengkasaran
butir pada pemanasan lebih. Mikrostruktur ferrit dari baja ini terdapat dalam semua
daerah temperatur, oleh karena itu tidak ada perubahan fasa selama
pemanasan/pendinginan.
Baja Tahan Karat Pengerasan Presipitasi (Precipitation Hardening Stainless Steel) Baja tahan karat ini mengalami pengerasan akibat adanya perlakuan panas.
Menurut struktur matriksnya baja paduan ini digolongkan menjadi tipe austenitik, semi
austenitik dan martensitik. Matriks pada baja tahan karat tipe ini pada saat pengerasan
presipitasi adalah martensit.
Pada tipe austenitik, martensit terbentuk dengan jalan transformasi plastis setelah
perlakuan pelarutan atau dengan pendinginan dibawah temperatur kamar. Sedangkan
pada tipe semi austenitik dan martensitik, martensit terbentuk oleh pendinginan setelah
perlakuan pelarutan.
Baja Tahan Karat Austenitik Baja tahan karat austenitik adalah baja yang paling banyak digunakan diantara jenis‐
jenis baja tahan karat lainnya. Hal ini dikarenakan fabrikasi yang mudah, sifat mekanik
yang baik dan yang terpenting adalah mempunyai sifat ketahanan korosi yang tinggi.
Tabel dilembar lampiran I akan memperlihatkan komposisi kimia dari baja tahan karat
austenitik.
49
Sifat –sifat yang merupakan kelebihan dari baja tahan karat austenitik ini
ditimbulkan oleh komposisi dari sejumlah unsur yang dipunyai baja tsb, seperti : 16‐26%
Cr, 0,03 – 0,25% C, dan 6 – 22% Ni.
Disamping unsur‐unsur tsb, terdapat pula unsur paduan lain seperti : Mo, Mn, Ti, Ta
yang tentu ditambahkan untuk memperbaiki sifat baja ini.
Tipe yang terkenal dari baja tahan karat inimadalah tipe 18‐8 (304). Tipe ini hampir
selama 50 tahun telah digunakan sebagai material tahan korosi. Tipe 18‐8 dapat juga
disebut sebagai bahan dasar, karena kadar Cr yang dikandungnya dibatasi hanya sampai
dengan penambahan maksimal 18% Cr – 8% Ni. Untuk memperbaiki sifat dari baja ini
maka perlu dilakukan modifikasi terhadap komposisinya sehingga akan dihasilkan tipe‐
tipe lain yang memiliki sifat‐sifat tertentu.
Kelemahan utama dari baja tahan karat ini adalah tidak tahan terhadap perlakuan
panas pada selang temperatur 4500 – 8500C, dimana pada kondisi pemanasan ini akan
membuat baja menjadi sensitif terhadap serangan korosi apabila baja tahan karat ini
berada pada media korosif.
Pengaruh Unsur Paduan pada Baja Tahan Karat Austenitik
Khomium (Cr) Khromium adalah salah satu elemen pokok dalam pembentukan lapisan pasif pada
baja tahan karat. Elemen lain bisa berpengaruh pada efektifitas khrom dalam
membentuk dan menjaga film, walau elemen atau unsur tersebut tidak dapat
membentuk lapisan film sendiri. Kadar khrom dalam baja tahan karat austenitik adalah
16 – 26%)
50
Pembatasan kadar khrom ini disebabkan karena khrom yang tinggi bisa menurunkan
sifat mekanik, kemampuan las serta kemampuan untuk diaplikasikan pada tempertatur
tertentu. Karena itu untuk meningkatkan ketahanan korosi dari baja tahan karat
austenitik ini dilakukan dengan penambahan elemen lain pad kadar khrom tetap
(konstan).
Khromium mempunyai struktur yang sama dengan Fe yaitu fasa α (BCC), dimana
struktur ini akan bertambah luas dengan bertambahnya kadar khrom. Hal ini tidak
diinginkan karena akan mempersempit daerah γ dalam baja tahan karat austenitik.
Untuk meningkatkan kestabilan γ pada baja tahan karat ini, maka ditambahkan
unsur Ni.
Nikel (Ni) Dalam baja tahan karat austenitik, pebgaruh unsur nikel adalah sebagai stabilisator
austenit (γ), dimana unsur nikel ditambahkan kedalam baja tahan karat ini untuk
mengimbangi pengaruh dari unsur khrom.
Ni yang memiliki atruktur FCC, sama seperti struktur yang dimiliki fasa auntenit γ,
pada baja tahan karat ini dapat mempertinggi sifat mekanik dan farikasi. Di samping itu
untuk ketahanan korosi, nikel sangat efektif dalam membantu proses repasivasi.
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa fasa delta ferit (δ) terbentuk pada
temperatur yang tinggi. Pada temperatur yang lebih rendah terbentuk struktur dua fasa
δ + γ. Dengan perkatan lain dapatlah dikatakan bahwa Ni merupakan stabilisator dari
fasa γ, sehingga adanya Ni akan memperluas fasa γ (austenit).
51
Carbon (C) Kehadiran unsur C dalam baja tahan karat austenitik merupakan impuritis yang
ditinggalkan oleh proses pembuatan, biasanya dinyatakan pada kadar tertinggi untuk
suatu tipe baja.
Misalnya tipe 304 mempunyai kadar karbon maksimum 0,08%; tipe 304
Lmempunyai kadar C maksimum sampai dengan 0,03% dan sebagainya.
Dalam baja tahan karat austenitik, C (karbon0 mempunyai 2 (dua) fungsi utama,
yaitu sebagai stabilisator fasa γ yang kuat sehingga dengan berat dasar yang sma,
diperkirakan akan 30 kali lebih efektif daripada Ni. Pengaruh lainnya adalah dapat
membentuk struktur karbida khrom apabila baja tahan karat austenitik didinginkan
perlahan dari temperatur tinggi melewati tempertur sensitiasi 4500– 8500oC.
Presipitasi karbida khrom cenderung terjadi pada batas butir, akibatnya daerah
sekitar kekurangan kadar Cr dari batas minimal untuk terjadinya passivasi. Hal ini akan
memperlemah baja tahan karat austenitik terhadap korosi antar butir.
Molibdenum (Mo) Walaupun elemen ini merupakan stabilisator fasa karena mempunyai struktur BCC,
tetapi dalam baja tahan karat austenitik sengaja ditambahkan terutama untuk
meningkatkan ketahanan baja terhadap korosi lubang, selain itu untuk mempertinggi
kekuatan mekanis pada temperatur tinggi.
Mangan (Mn) Dalam baja tahan karat austenitik, mangan dapat menggantikan fungsi dari nikel
sebagai stabilisator austenit, walaupun efektifitasnya separuh dari nikel tetapi harganya
jauh lebih murah dari pada nikel.
52
Selain itu juga dapat menambahkan daerah passivasi, karena dengan bertambahnya
kadar Mn maka potensial korosinya semakin kecil.
Unsur Pembentuk Karbida (Ti, No, Ta) Unsur‐unsur tersebut ditambahkan untuk mencegah presipitasi karbida khrom,
sehingga kadar Cr dalam baja dapat dipertahankan pada batas minimal untuk terjadinya
passivasi.
Hal ini terjadi oleh karena sebelum membentuk karbida dengan Cr, (karbon) C akan
berpresipitasi dengan unsur‐unsur tersebut pada temperatur yang lebih tinggi. Karbida
ini tidak bersifat negatif, karena tidak menimbulkan aksi galvanik pada batas butir.
Nitrogen (N) Dalam paduan Fe‐Cr‐Ni yang nyata, selain karbon, juga tergandung nitrogen (N).
Seperti halnya C (karbon), N dalam baja tahan karat austenitik merupakan stabilisator
fasa austenit, juga dapat meningkatkan daerah range potensial passivasi.
Pengaruh LakuPanas pada Austenitic Stainless Steel
Dalam industri metalurgi, proses perlakuan panas sering dilibatkan dalam usaha
untuk meningkatkan mutu dari baja yang dihasilkan. Kecepatan pendinginan dari baja
yang telah mengalami perlakuan panas tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap
struktur‐mikronya. Sebagai contoh kasus: Adanya pendinginan lambat dari baja tahan
karat austenitik melewati temperatur sensitif 4500– 8500oC, akan menyebabkan baja ini
akan lemah terhadap korosi intergranular dalam lingkungan korosif, hal ini yang dikenal
sebagai kelemahan sensitasi dari baja tahan karat austenitik.
53
Kelemahan sensitasi terjadi oleh karena terjadinya pengurangan kadar Cr hingga
jauh di bawah kadar untuk terjadinya passivasi, membentuk karbida khrom yang
cenderung mengendap pada batas butir.
Logam induk mengandung kadar Cr sekitar 18% sedang endapan karbida dapat
mengandung 70‐95% berat Cr. Selama proses perlakuan panas sensitasi, difusi Cr dari
matriks kedaerah kurang Cr pada batas butir terlalu lambat untuk mengisi kembali
kekurngan Cr tersebut. Jika kadar Cr berkurang hingga di bawah 12%, maka lapisan pasif
tidak akan terbentuk dan baja tahan karat ini akan terkorosi lebih cepat.
Karbida yang akan terbentuk dalam baja tahan karat austenitik ini adalah M23C6
pengendapannya sejajar dengan orientasi austenit. Apabila dalam baja tahan karat
austenitik terdapat elemen‐elemen pembentuk karbida, maka karbida M23C6 akan
selalu dijumpai dalam kombinasi dengan karbida lainnya, tetapi pada dasarnya
kandungan dalam M23C6 adalah karbida Cr sehingga penulisannya sering digunakan
sebagai Cr23C6 dan jika ada elemen pembentuk karbida, dapat juga ditulis sebagai (Cr,
Fe)23C6 atau (Cr, Fe, Mo)23C6.
54
4POLIMER
Pendahuluan
Kata polimer dapat berarti "banyak komponen” .Material polimer boleh dianggap
sesuatu yang terdiri dari beberapa bagian yang diikat secara kimiawi atau stuan‐satuan
yang saling mengikat membentuk suatu padat (solid). Dua material polimer industry
penting adalah plastic dan elastomers. Plastik merupakan salah satu keluarga polimer
yang sangat banyak digunakan dewasa ini. Sulit dibayangkan, dunia dalam kehidupan
moderen saat ini tanpa kehadiran bahan yang dikenal dengan plastik. Hampir semua
keperluan hidup sehari‐hari mulai dari keperluan dapur, hingga kepada peralatan canggih
dan saintifik banyak menggunakan material jenis ini.
Dewasa ini teknologi pengolahan bahan sudah sedemikian maju, sehingga berbagai
jenis plastik dapat dihasilkan, sesuai dengan keperluan penggunaannya. Dengan
demikian penggunaan bahan teknologi dengan sendirinya telah banyak beralih kepada
penggunaan plastic sebagai pengganti material teknik logam maupun bukan logam.
Hal ini disebabkan plastik menawarkan berbagai kelebihan yang merupakan
gabungan cirri‐ciri yang terdapat pada bahan‐bahan lainnya, diantaranya : ringan, mulur,
tahan karat, mudah diproses, mudah diberi warna, tembus cahaya dll. Meskipun
55
demikian tentunya plastik juga memiliki berbagai kelemahan, sehingga mengandalkan
kelebihan‐kelebihannya hanya pada penggunaan sebagai material teknik yang terbatas.
Akan tetapi perkembangan kemajuan teknologi pemprosesan bahan dewasa ini telah
menghasilkan bahan handal yang dikenal dengan komposit sebagai hasil rekayasa
teknologi pengolahan bahan, menjadikan penggunaan plastic semakin meluas. Berbagai
komposit bermatrikskan plastik banyak dikembangkan dan digunakan sebagai material
teknik dengan menghasilkan kemampuan sifat‐sifat bahannya cukup meningkat.
Plastik dan Polimer Berbeda Perkataan plastik dan polimer umumnya dianggap sama, namun sebenarnya
berbeda. Plastik adalah bahan polimer yang telah mengalami pemprosesan yang telah
mengalami pemprosesan dan pencampuran dengan unsur‐unsur lain sebagai bahan
tambahan. Sedangkan polimer merupakan bahan asli yang dihasilkan dari proses
polimerisasi yang terdiri daripada molekul panjang seperti rantai makromolekul yang
dibentuk dari rantai atom yang terikat oleh ikatan kovalen. Nama polimer biasanya
diambil sebagai nama keluarga bahan (monomer) dengan penambahan perkataan poli.
Contoh : Polipropilena dan Polistirena adalah monomer Propilena dan Stirena. Polimer
asli jarang digunakan dalam keadaan biasa.
Polimer berasal dari kata poly dan mer. Poly berarti banyak, mer berarti komponen.
Polimer berarti ”banyak komponen” yang membentuk molekul rantai panjang ilmu
polimer merupakan bidang kajian yang agak baru dan berkembang dengan pesat dalam
30‐40 tahun belakangan ini.
56
Polimer merupakan bahan padat yang umumnya terdiri daripada senyawa karbon
dengan hidrogen dan oksigen dengan rangkaian molekul panjang yang mengandung
rantai atom yang terikat oleh ikatan kovalen atau juga disebut proses polimerisasi.
Polimerisasi Polimerisasi adalah proses pembentukan molekul besar dari pada molekul‐molekul
kecil. Proses Aglomerasi merupakan proses terbentuknya struktur Agregat dan
Aglomerat.
Mekanisme polimerasi dapat dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu :
1. Ikatan polimer, yaitu ikatan antara monomer satu dengan yang lain sejenis, seperti
etilena dan polictilena.
2. Kopolimerasi, yaitu ikatan antara monomer satu dengan lain yang berlainan jenis,
seperti butadiena dengan Stirena (sejenis karet tiruan).
3. Polimerasi kondensasi , yaitu ikatan molekul‐molekul monomer dari rangkaian
reaksi kimia yang menghasilkan molekul‐molekul yang ringkas, seperti air.
Polimer asli maupun tiruan terdiri dari pada rantaian molekul panjang dimana berat
molekulnya 10.000 – 10.000.000 g/mol. Atom bahan polimer menyatu dalam rantai
molekul yang panjang diikat oleh gaya yang lemah (ikatan van der waals/vdW). Proses
pembentukan (polimerisasi) terjadi karena molekul kecil diikat kovalen dan membentuk
molekul besar (proses aglomerasi) selanjutnya terbentuk agregat dan aglomerat.
Polimerisasi terdiri molekul‐molekul monomer bereaksi sesama sendiri secara
kimiawi dan membentuk rantai linear ataupun jaringan tiga dimensi rantai polimer.
Ciri utama hasil polimerisasi :
57
• Ikatan kimia menjadi kuat dan terarah disepanjang rantai polimer.
• Ikatan kimia lemah (vdW sekunder), pada sisinya dapat terjadi ikatan hidogen.
• Ukuran bertambah besar maka titik cair atau titik lembut bertambah tinggi sehingga
polimer bertamabh keras dan kuat.
Struktur Polimer
Penyususun dari suatu blok plastik adalah molekul polimer yang merupakan ikatan
kovalen , seperti diperlihatkan pada gambar 4.1.
Gambar 4.1. Molekul Polimer
Molekul Polimer memiliki kemampuan mengkristal dan bergantung kepada jenis dan
mikrostruktur molekul polimer. Polimer dapat dibedakan dengan bahan padat lainnya
karena polimer separuh mengkristal. Pengkristalan polimer merupakan proses penting
dari segi teknologi. Kebanyakan polimer termoplastik mengkristal jika polimer lebur
didinginkan di bawah suhu lebur.
Pembentukan kristal‐kristal memberikan pengaruh terhadap sifat‐sifat polimer.
Proses pengkristalan polimer : G – H TS, dimana nilai S tnggi maka G rendah. G adalah
grafnsi, H adalah entalpi, T adalah Temperatur termodinamika dan S adalah entropi.
58
Untuk memahami sifat polimer kita harus meninjau konsep strukturnya. Struktur dan
sifat bahan selalu berkaitan. Bentuk struktur geometri polimer dapat dibedakan dalam
beberapa jenis, diantaranya :.
1. Struktur Linear , yaitu struktur polimer yang ringkas sekali dan struktur ini jarang
terjadi. Struktur ini dibentuk oleh ikatan dua atau lebih antara :
a. Monomer‐monomer sejenis (gambar 4.2.a)
b. Monomer‐monomer berlainan jenis yang membentuk kopolimer acak atau
teratur. (gambar 4.2.b dan 4.2.c)
2. Struktural tak linear.
a. Rantai bercabang (gambar 4.2.d)
b. Rantai terpaut silang (gambar 4.2.e)
3. Struktur gabungan rantai lurus dengan tak beraturan.
4. Struktur rantai terpaut silang (jaringan).
59
‐ A – A – A – A – A ‐ ‐ A – B – B ‐ A – A – B – A ‐→ Amorfus
( a) (b)
‐ A – B – A – B – A – B –
(c)
A A A
A A A
‐ A – A – A – A – A – A – A ‐ A
A A
A A A – A – A – A – A – A – A ‐ A
‐ A – A – A – A – A – A – A ‐ A – A A
A ‐ A – A – A – A – A – A – A ‐ A
A A A A
(d) A A A
(e)
Gambar 4.2. struktur rantai polimer
60
Berat Molekul Polimer
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, rantai molekul tumbuh selama proses
polimerisasi memiliki panjang atau ukuran yang berlainan, namun masih dalam sutau
range ukuran rata‐rata tertentu. Dari ukuruan molekul polimer tersebut ditentukan nilai
rata‐rata molekul. Perlu diperhatikan, bahwa proses polimerisasi berlangsung secara
tidak merata, reaksi yang tidak sama akibat pengaruh keadaan lingkungan.
Ada dua kaedah utama yang berkenaan dengan berat molekul, yaitu :
1. Bilangan rata‐rata ukuran molekul , diperlukan untuk menentukan derajat
polimerisasi (DP).
2. Derajat polimerisasi (DP), yaitu bilangan rata‐rata unit monomer dalam suatu
rantaian molekul polimer. Derajat Polimerasasi dapat ditentukan dengan persamaan
berikut.
DP = M / m
Dimana : M = rata‐rata berat molekul polimer
m = rata‐rata berat monomer.
Contoh : (‐ CH2 – CH2‐)n dimana n adalah rata‐rata berat molekul polimer.
Klasifikasi Polimer
Polimer dapat digolongkan pada dua jenis, yaitu :
1. Biopolimer (polimer biologis) , golongan ini dapat ditemui pada segala kehidupan
dan berbagai bahan pangan.
61
2. Polimer sintetis (bukan biologis), polimer golongan ini dihasilkan dari reaksi kimia.
Unsur‐unsur penyusun polimer organik adalah unsur‐unsur C, H, N dan O.
Gambar 4.3 Klasifikasi material sintesis polimer
Gambar 4.3 memperlihatkan klasifikasi material sintesis polimer yang dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu : a. Termoset, b. Termoplastik, c. Elastomer.
Polimer Termoset. Polimerisasi polimer termoset dihasilkan oleh reaksi kimia yang melibatkan dua
tahap, yaitu ;
1. Prapolimer, pembentukan rantai molekul yang sangat panjang, sama seperti
termoplastik.
2. Pencetakan, pada tahap ini panas dan tekanan diberikan. Rantai molekul yang
panjang diikat melalui ikatan yang kuat agar bahan tidak menjadi lembut kembali.
Bila panas berikut diberikan maka bahan akan hangus dan rusak.
MATERIAL SINTESIS POLIMER
TERMOSET TERMOPLASTIK ELASTOMER
MATERIAL BUKAN LOGAM
MATERIAL ALAM
62
Polimer termoset jika dipanaskan akan mengalami perubahan kimia dan fasa dari
plastik padat menjadi suatu bahan yang keras dan kaku. Sebelum dipanaskan, polimer
termoset memiliki struktur rantai linear atau bercabang panjang. Namun, setelah
dipanaskan struktur molekul paut silang/ jalinan di antara rantaian polimer yang
berdekatan. Proses jalinan ini berlansung kekal.
Polimer termoset lembut jika dipanaskan pertama kali dan mengeras jika
didinginkan. Namun, termoset tidak akan lembut bila diberikan panas berikutnya dan
umumnya menjadi lebih keras, lebih kuat dan lebih rapuh dibandingkan dengan
termoplastik dan hanya sekali pakai. Contoh dari jenis ini adalah epoxy, phenoloc,
polyester dan lain‐lain.
Polimer Termoplastik Polimerisasi polimer termoplastik pembentukan rantai molekul yang panjang dengan
ikatan gaya Van der Waals yang lemah. Struktur rantai molekul seperti helai benang
kusut yang terserak secara tak beraturan. JIka dipanaskan ikatan antara molekul
melemah sehngga bahan menjadi lembut dan lentur.
Struktur Polimer termoplastik lembut jika dipanaskan dan mengeras jika didinginkan.
Dan tetap lembut kembali jika dipanaskan kembali. Proses ini dapat berulang‐ulang dan
polimer jenis ini dapat didaur ulang. Contoh polimer jenis ini adalah Poliprolilena (PP),
Polietilena (PE), Polistirena (PS), Poliamida (PA), Poliester dll.
Elastomer (Plastik Karet). Kebanyakan bahan padat yang dihasilkan yang melalui ikatan ion, logam atau
kovalen, mempunyai batas pemanjangan elastis yang kecil. Jika batas elastic tersebut
dilewati akan memasuki daerah plastis dimana ikatan antara atom akan terputus dan
63
bahan akan mengalami pemanjangan yang permanen (tidak kembali kekeadaan semula).
Elastomer sebagai bahagian bahan organic merupakan pengecualian, karena ia
mempunyai tingkat kekenyalan yang jauh lebih besar.
Elastomer merupakan salah satu jenis polimer yang terdiri dari rantai molekul. Rantai
molekul pembentuk polimer jenis ini bersimpul dan terpintal secara tak beraturan
sehingga mampu mengalami ubah bentuk yang besar. Tingakta kekenyalan yang besar ini
menjadikan elastomer dapat menngalami perubahan dimensi hingga Sembilan atau
sepuluh kali dari dimensi awal dan dapat kembali ke dimensi semula jika beban
dihilangkan. Ranati molekul elastoler berheliks (seperti spiral) jiak beban dihilangkan).
Karet dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu : karet asli dan karet tiruan. Dalam
keadaan alami, karet tidak dapat kembali kekeadaan semula sepenuhnya setelah terjadi
perubahan bentuk yang besar. Molekul‐molekulnya telah bergerak secara menggelusur
ke belakang dan melewati satu sama lain. Agar mampu kembali kekeadaan semula,
molekul diikat bersama melalui proses pemulihan, yaitui molekul membentuk pemaut
silang‐silang seperti pada termoset (karet tiruan) yang jika beban dihilangkan akna
kembali kekeadaan semula. Saat ini, elastomer yang banyak digunakan sebagai bahan
teknik adalah termoplastik karet. Contoh elastomer adalah Polipropilena Natural Rubber
(PPNR), Poliuretan, Stirenik, Poliester, Polibutadiena dan Butadiena‐Stirena.
Bahan Tambahan
Pembuatan material polimer membutuhkan beberapa bahan tambahan untuk
keperluan tertentu, diantaranya :
64
1. Zat Penggabung.
Zat ini digunakan untuk memperbaiki sifat ikatan plastik terhadap bahan‐bahan
pengisi bukan organik, seperti serat kaca, partikle kaca, dan lain‐lain. Contoh zat
penggabung adalah Silena dan Titanata.
2. Komponen Pengisi.
Penggunaan komponen pengisi untuk memperbaiki ciri‐ciri bahan. Komponen
pengisi dapat berupa serat‐serat pendek atau kepingan bahan bukan logam.
Penggunaan polimer yang lebih murah sebagai komponen pengisi juga dapat
dilakukan untuk menurunkan harga bahan.
3. Pelincir
Tujuan penggunaan pelincir untuk mengurangi kekentalan plastik lebur serta
memperbaiki ciri pembentukan.
4. Pewarna
Penggunaan zat pewarna untuk memberikan warna plastik yang sesuai dan menarik.
5. Bahan Pemplastik
Bahan pemplastik memilki berat molekul rendah sehingga mampu mengubah ciri
dan sifat kemampuan bentuk plastik.
6. Penstabil
Penstabil ini berfungsi untuk mencegah kerusakan dengan menigkatkan stabilitas
bahan terhadap pengaruh keadaan sekitar.
7. Komponen Penguat
Komponen ini akan meningkatkan kekuatan dan kekakuan polimer, seperti serat
kaca, serat karbon dan lain‐lain.
65
Proses Pencampuran Polimer
Selain penggunaan bahan‐bahan tambahan yang telah disebutkan di atas untuk
mendapatkan sifat mekanik yang diinginkan. Pencampuran juga dapat dilakukan dengan
bahan polimer yang berbeda. Contoh : PE dengan PP pada PE/PP untuk meningkatkan
sifat mekanik bahan. Perbedaan viskositas dan fraksi volume proses aglomerasi.
Fenomena lain yang mungkin terjadi adalah terbentuk phasa seperti serat.
Proses Aglomerasi Pada proses pencampuran dua atau lebih bahan‐bahan yang tidak homogen
(diskontinu) dan berbeda fraksi volume akan menghasilkan bahan baru yang tidak
homogen dengan phasa terserak (Callister 1994). Serakan komponen pengisi pada
komponen utama (komponen minor pada komponen mayor). Serakan komponen pengisi
ini akibat proses aglomerasi yaitu : proses pengempalan‐pengumpalan molekul polimer
membentuk struktur agregat dan aglomerat (struktur agregat yang mengumpal). Serakan
partikel pengisi harus terserak merata pada bahan utama dapat diperoleh bila hasil
pencampurannya baik yang merupakan sebagai hasil kesempurnaan proses pengadonan
bahan.
Fenomena aglomerasi dapat diamati melalui pengamatan pada mikrostruktur dari
struktur morfologi pada permukaan patah bahan akibat terjadinya mekanisme
kegagalan. Pengamatan dilakukan dengan pembesaran yang cukup mencapai 1000 s/d
2000x (1K – 2K).
Mikrograf struktur morfologi permukaan patah memperlihatkan serakan komponen
pengisi pada komponen utama melakukan pengamatan dengan SEM. Ketika mekanisme
66
kegagalan terjadi struktur agregat dan aglomerat akan tercabut dari komponen utama
dan meninggalkan bekas berupa lobang‐lobang. Struktur agregat dan aglomerat yang
berbentuk pencampuran yang dilakukan dengan lebih dari dua komponen yang berbeda
fraksi volume sebagai phasa terserak yang berwujud dalam bentuk unsur‐unsur masing‐
masing.
Sifat mekanik bahan berbilang phasa dipengaruhi keadaaan phasa terserak, yaitu :
a. Ukuran phasa terserak
b. Pemerataan sebaran
c. Perbedaan fraksi volume
d. Suhu pemerosesan.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi keadaan phasa terserak, diantaranya :
a. Fraksi folume komponen yang diadon
b. Kesempurnaan proses pengadonan.
Phasa seperti serat
Fenomena lain yang mungkin terjadi pada proses pengadonan polimer yang tidak
homogen adalah wujud morphologi baru seperti serat (fibrilar). Serat yang terbentuk,
bukan serat yang berfungsi sebagai phasa penguat kepada matriks (pada bahan
komposit) melainkan bahan komponen utama yang mengalami pemanjangan di dalam
aliran (perubahan morphologi) yang keluar dari komponen utama akibat perbedaan
fraksi volume antara komponen utama dengan komponen pengisi.
67
Serat tersebut mempengaruhi kekuatan impak bahan dan menghambat perambatan
mikroretak yang terjadi akibat impak sehingga meningkatkan kekuatan impak bahan.
Serat tersebut cenderung tidak mempengaruhi sifat mekanik lainnya.
Faktorfaktor Pemilihan
Sebelum pemilihan terlebih dahulu harus mengetahui tujuan dan fungsi bahan yang
direncanakan serta kondisi keadaan pengaruh sekitar serta mengetahui prilaku umum
bahan. Faktor‐faktor yang diperhatikan dalam pemilihan adalah :
a. Sifat mekanik, yang penting meliputi : kekuatan, kekakuan dan pemanjangan.
b. Kekukuhan, keliatan, pengaruh temperature terhadap sifat bahan.
c. Pengaruh karat dan tingkat kerusakan.
d. Rintangan keausan dan sifat geseran.
e. Sifat‐sifat khusus, seperti pengaruh panas, listrik, optik dan sifat kemagnitan.
f. Percetakan atau kaedah‐kaedah pembuatan lainnya
g. Harga bahan dan biaya pembuatan
Kerusakan pada bahan polimer disebabkan oleh dua cara :
a. Penurunan grade, makromolekul atau rangkaian molekul terpecah menjadi molekul‐
molekul kecil sehingga kehilangan sifat keplastikan.
b. Pengoksidasian, polimer bereaksi dengan oksigen dalam atmosphir dan terjadi paut
silang yang mengakibatkan polimer menjadi keras dan rapuh.
68
Sifat Mekanik
Sifat mekanik polimer merupakan hal penting yang harus diketahui untuk pemilihan
bahan di bidang teknik. Pada awalnya, sifat mekanik polimer diabaikan. Dengan
kemajuan teknologi pemrosesan bahan plastik, kini plastik yang dihasilkan telah mampu
digunakan sebagai material teknik yang mempunyai kemampuan tahan tegangan yang
tinggi.
Sifat mekanik polimer memiliki kekhasan dengan kelakukan viskoelastik (tidak
sepenuhnya elastis). Pemelaran dan relaksasi mudah terjadi. Pada pengujian tarik, laju
tarikan mempengaruhi. Sifat mekanik dipengaruhi oleh temperatur. Olehkarena itu
diperlukan pengetahuan yang cukup tentang prihal batasan temperatur setiap bahan
polimer sebelum penggunaan bahan polimer. Sifat mekanik polimer unik tidak bisa
diberikan oleh material teknik lainnya seperti logam.
Kekuatan dan Kekakuan Kekuatan tarik merupakan sifat dasar dari bahan yang menjelaskan hubungan
tegangan dan regangan melalui diagram Hooke.
2
ε
1
σ
1 2
3
ε
σ
(a) (b) Gambar 4.4 Kurva tegangan‐regangan
69
Gambar 4.4.a perubahan antara daerah elastis dengan plastik tidak terlihat jelas,
sedangkan pada gambar terlihat jelas (2).
Gambar 4.5 Tingkat keserasian pencampuran 2 bahan polimer berbeda fraksi volume
Kekuatan bahan polimer dapat ditingkatkan dengan teknologi pemerosesan bahan.
Komponen pengisi (pencampuran 2 bahan yang berbeda fraksi volume), bahan penserasi
menserasikan 2 fraksi volum yang berbeda menghasilkan kelebihan homogen.
a. Pencampuran tanpa zat penserasi. Kekuatan bahan campuran (3) mendekati batas
bawah (2) perhitungan mikromekanik menunjukkan ikatan antara muka campuran
lemah.
b. Pencampuran dengan menggunakan zat perserasi pada persentase tertentu.
Kekuatan bahan campuran (3) meningkat mendekati ke batas atas (1) dan ikatan
antara muka campuran semakin baik (kuat).
c. Pencampuran dengan peningkatan persentase zat perserasi pada persentase
tertentu. Kekuatan bahan campuran (3) semakin meningkat dan semakin dekat ke
batas atas (1) maka ikatan antara muka campuran semakin baik (kuat).
1
3
2
1
3
2
1
3
2
(a) (b) (c)
70
Kekuatan bahan dapat diperoleh melalui:
a. Mikromekanik. Perhitungan matematis terhadap sifat unsur‐unsur pembentuk.
b. Makromekanik. Hasil pengujian kekuatan bahan melalui uji tarik.
Gambar 4.6 Peralatan uji tarik
Hasil pengujian harus berada diantara batas atas dan batas bawah perhitungan
miromekanik. Bila hasil yang peroleh berada di bawah perhitungan, maka percobaan
tersebut gagal. Tetapi sebaliknya, semakin mendekat batas atas perhitungan
mikromekanik (3) semakin baik. Batas atas merupakan kekuatan berdasarkan unsur‐
unsur pembentuk yang sangat kuat. Sedangkan batas bawah merupakan kekuatan
sangat lemah akibat pencampuran tidak homogen.
Proses aglomerasi pada proses pencampuran menentukan kekuatan bahan.
Pengujian kekerasan permukaan bahan dilakukan tidak sampai merusak total benda uji
71
tapi hanya dilakukan penekanan/penusukan (penetrasi) pada permukaan benda uji.
Semakin tinggi kekerasan suatu bahan maka semakin tinggi ketahanan aus bahan
tersebut.
Pengujian kekerasan dapat dilakukan dengan beberapa metode pengujian, diantaranya :
a. Uji Rockwel, pengujian penusukan dan diukur kedalam tusukan.
b. Uji Brinell, pengujian penusukan dengan bola kemudian diukur diameter
penusukan
c. Uji Vickers, pengujian dengan penusukan kemudian diukur diagonal penusukan.
d. Uji Sekeleroskop, Jatuhan kepermukaan benda uji pada pantulan jatuhan.
e. Uji rayapan dan uji lelah.
Hubungan kekerasan dengan sifat mekanik meningkat dengan semakin keras.
Kekerasan bahan penting menentukan tingkat kemampuan menahan keausan.
Pengamatan Makro dan Mikro Pengamatan makro adalah pengamatan yang dilakukan secara kasat mata atau pada
pembesaran rendah permukaan patah. Pengamatan makro dapat menentukan beberapa
sifat bahan.
Pengamatan mikro adalah pengamatan stuktur mikro secara terperinci dengan
menggunakan peralatan dengan pembesaran 3000X atau lebih dengan bantuan
mikroskop optik, mikroskop elektron dan lain‐lain. Dengan pengamatan ini, kita dapat
mengetahui mekanisme kegagalan yang terjadi proses kegagalan, mikroretak,
kesempurnaan proses pencampuran.
72
Alplikasi Polimer
Dalam kehidupan sehari, kita dengan sadar telah menggunakan berbagai bentuk
menarik yang terbuat dari polimer.
Gambar 4.7. Berbagai produk dari plastik
Pengembangan polimer konduktif elektrikal telah memungkinkan penggunaan
polimer pada sebagai material semikonduktor. Sebagai contoh, polimer‐polimer
semikonduktif pertukaran antara dua elektroda telah dapat membangkitkan cahaya
dalam beberapa warna, seperti diperlihatkan pada gambar 4.8.
Gambar 4.8. Material Polimer dan lembaran LCD
73
Gambar di atas menunjukkan material‐material polimer dan produk yaitu sebuah
pelat glass dilapisi dengan lapisan tipis film polimer (bawah) dan tiga display operating
dari dua warna‐warna berbeda (dibagian tengah). Teknologi ini memimpin OLED (organic
light‐emitting diode), display panel flat dalam hal lebih ringan, konsumsi energi yang
relatif rendah, dan fleksibel.
Ceram
compound
are either
term cera
that desir
temperatu
Ceram
what adv
performan
and some
mic materials
ds between m
r totally ionic
mic comes fr
rable propert
ure heat treat
mic materials
antages it o
nce. Below a
of the intern
s are inorg
metallic and n
c or predomin
om the Greek
ties of these
tment proces
are importan
ffers in term
re three gif's
nal automotiv
ganic, nonm
nonmetallic e
nantly ionic b
k word keram
e materials a
ss called firing
nt in today's s
ms of fuel ec
s showing a
ve component
Fig. 5.1 Ceram
etallic mate
lements for w
but having so
mikos, which m
are normally
g.
society. Cons
conomy, effi
montage of
ts made from
mic Blade
KER
erials. Most
which the inte
ome covalent
means burnt
y achieved th
ider the cera
ciency, weig
a prototype
m ceramics.
5RAMIK
ceramics a
eratomic bon
t character. T
stuff, indicati
hrough a hig
mic engine a
ht savings a
ceramic engi
74
5K
are
nds
The
ing
gh‐
nd
nd
ine
75
Fig. 5.2 Ceramic rotors commercial production material : sintered silicon nitride
For more information about ceramic materials for gas‐turbine engines, read the
feature article in the Mechanical Engineering Magazine, "Ceramics for Turbine Engines",
September '97. What about fabricating a ceramic turbine in the millimeter range for
some very, very small engine of the future? The future is not that far off! To the left you
see a radial inflow turbine wheel manufactured from silicon using deep reactive ion
etching. This turbine wheel made at MIT measures just 4 millimeters in diameter. It is
part of a new technology for producing micro‐electromechanical systems, termed
MEMS. The entire device, complete with an integrated electric generator, is expected to
weigh in at just 1 gram. According to the MIT researchers, a prototype silicon
microturbine produced using semiconductor‐type microfabrication methods may be
operating by the turn of the century. If that initial effort meets success, the researchers
plan to use similar lithographic techniques to construct another radial inflow turbine
engine from silicon carbide, a refractory ceramic material. For more about the MIT
76
research, read this article in the Mechanical Engineering Online magazine. For more
information about micro‐machining, visit the following web pages at Sandia Laboratories.
Quartz envelopes make light bulbs and other lamps possible. Some of the lamp
applications are shown in the GE product montage. Quartz tubing is fabricated from
beach sand, and the sand is produced into a quartz ingot. A rather large ingot used to
produce furnace quartzware, is also shown. GE produces quartz products in great
quantity.
Fig. 5.3 Quartz envelopes, light lamp, quartz tubing fabricated from beach sand
77
You may think that copper is a good conductor of electricity. It is pretty good, really.
But do you realize that a ceramic can be a better conductor of electricity than copper!?
This is true of the recently discovered, high‐temperature superconducting ceramic
materials. At100 degrees Kelvin and below, these materials offer no resistance to
conduction of electrons. In addition, these materials reject magnetic flux lines (the
Meissner effect) so that a magnet can be suspended in the space above the
superconductor. This is shown in Fig. 5.4. In Japan, a high‐speed, levitated train is being
developed based on the principle illustrated in the photo. In the United States, research
at Purdue University is focused on superconductivity and other ceramic material's
performance.
Fig. 5.4 high‐temperature superconducting ceramic materials
The representation of inorganic crystals, silicate and aluminate aggregates, and other
elements and compounds, is often made with coordination polyhedra. Each vertex of the
polyhedra corresponds to a ligand position. In the image below, the crystal structure of a
78
high‐temperature superconductor material is represented. Visit the web pages of
Professor Woodward at Ohio State to get a better idea of the coordination polyhedra
description of crystals.
Fig. 5.5 coordination polyhedra
Some of you may be interested in knowing more about crystal structure and of the
role crystallography plays in the field of materials engineering. Please visit the Structure
web pages in this series.
Graphites are refractory, lightweight and corrosion resistant materials. These
properties are critical for many applications, such as dies for continuous casting, rocket
nozzles, and heat exchangers for the chemical industry. However, the relatively poor
resistance of graphites to wear and oxidation limits their use. The addition of titanium
carbide (TiC) coatings, which possess excellent resistance to wear, oxidation and
79
corrosion, as well as having other desirable properties, greatly extends the use of
graphites. Here we see TiC coated parts from Solar Atmospheres, Inc. in fig. 5.6.
Fig. 5.6 TiC coated parts
80
6KOMPOSIT
Sejarah Komposit
Kajian yang dilakukan Ashby (1987) menunjukkan Komposit alam seperti kayu
berserat, jerami, telah di temui sejak ribuan tahun sebelum masehi. Komposit buatan
manusia di mulai dengan pembuatan bata berserat jerami, kertas, namun perkembangan
selanjutnya adalah sangat lambat jika dibandingkan dengan bahan struktur lainnya
seperti Logam, Polimer dan Seramiks.
Memasuki abad ke 20 komposit mulai berkembang dengan penemuan Plastik yang
diperkuat Serat Kaca, Serat Karbon, Serat Kevlar R, Komposit Matriks Logam dan
Komposit Seramik. Ashby memperkirakan hingga abad 21, kedudukan Komposit masih
akan berkembang, menduduki tahap ke dua setelah Polimer dalam penggunaan bahan
struktur (Gbr. 1.5.) Prakiraan Ashby diperkuat oleh pengamatan ”The New York Times”
(1990), yang memprediksi sehingga tahun 2000 perkembangan penggunaan bahan
Komposit akan terus meningkat dan meluas hingga 10 kali lipat daripada penggunaan
komposit pada tahun 1989 ketika prediksi dibuat (Gibson 1994).
Penggunaan ”Komposit Termaju” (advanced composites) tahun 1989 : 80% untuk
kegunaan pesawat angkasa luar, 15 % kegunaan parawisata dan 5 % keperluan industri
lainyya. Pengunaan ”Komposit Dasar” (basic composite) yang terbagi pada delapan
sektor, penggunaan terbesar di sektor otomotif dan pengangkutan yang mencapai 26 %.
80
Composites: materials, usually man‐made, that are a three‐dimensional combination
of at least two chemically distinct materials, with a distinct interface separating the
components, created to obtain properties that cannot be achieved by any of the
components acting alone.
Composites are combinations of two materials in which one of the materials, called
the reinforcing phase, is in the form of fibers, sheets, or particles, and is embedded in the
other materials called the matrix phase. The reinforcing material and the matrix material
can be metal, ceramic, or polymer. Typically, reinforcing materials are strong with low
densities while the matrix is usually a ductile, or tough, material. If the composite is
designed and fabricated correctly, it combines the strength of the reinforcement with
the toughness of the matrix to achieve a combination of desirable properties not
available in any single conventional material. The downside is that such composites are
often more expensive than conventional materials. Examples of some current application
of composites include the diesel piston, brake‐shoes and pads, tires and the Beechcraft
aircraft in which 100% of the structural components are composites.
Recreational equipment is heavily dependent on materials technology. For example,
consider a snowboard. Snowboards are fabricated from advanced composite materials.
An example is in fig. 6.1. The Rooster snowboard (vintage 1998) is a free‐riding, twin‐tip
board with a cap and a full wrap around edge. These boards are stiff and torsionally rigid
so one can rail them at high speed and launch and land the hugest airs. Look at the
intricate design shown in the sectional view.
Fig. 6.
Shown
fibers inco
strengthe
mold, die
processing
Aircraft.
1 Snowboard
n in fig. 6.2
orporated in a
ned by the r
e or other t
g. Shown are
Fig. 6.2 pr
ds are fabricat
are various s
a polymeric r
reinforcemen
tooling that
aerospace a
roducts are fa
ted from adv
structural com
resin matrix. W
t. The shape
controls th
pplications, l
abricated from
anced compo
mposite mem
When the res
e of the finish
he geometry
ike the Space
m advanced c
osite materia
mbers. They
sin cures to a
hed part is d
of the com
e Boom and
composite ma
ls
consist of gla
hard state, it
dependent on
mposite duri
a High Veloc
aterial
81
ass
t is
n a
ing
city
A stru
influence
conductiv
In Fig.
shaft. The
the micro
alternative
Queenslan
understan
cellular a
interesting
uctural compo
the basic ten
ity, and therm
. 6.3 is a scan
e graphite rein
ograph shows
e SEM site. T
nd, Australia,
nding of the
nd macromo
g scanning ele
F
osite often b
nsile and com
mal expansion
nning electron
nforced golf c
s an area wh
The Centre fo
is an interdis
structure an
olecular scal
ectron micros
Fig. 6.3 image
egins with la
pressive stre
n of the final
n micrograph
club shaft has
here damage
or Microscop
sciplinary res
d compositio
es. Its 'Nan
scopic image
e a graphite c
ay‐up of prep
ngth and stiff
pre‐preg mat
h (SEM) of a g
s been cross
occurred wh
y and Microa
earch and se
on of all mat
oworld' web
s.
composite go
preg. The cho
fness, electric
terial.
graphite com
sectioned an
hile sectionin
analysis at th
rvice facility d
terials at ato
b pages offe
olf by SEM
oice of fiber w
cal and therm
posite golf cl
d polished, a
ng. Consider
he University
dedicated to
mic, molecul
er a gallery
82
will
mal
ub
nd
an
of
an
ar,
of
83
To illustrate one aspect of the interest of the materials engineer in composites,
consider the following. A micrograph of a vacuum processed, void‐free glass‐fiber/epoxy
composite is illustrated in fig. 6.4 (a). In fig. 6.4 (b), a special probe is being used to
determine how much force it takes to get the fiber to 'slip away' from the matrix under a
compressive load. From load versus deflection information, one can quantify the
structural integrity of the composite; or assess the quality of the processing steps used in
the manufacture of the composite.
(a)
(b)
Fig. 6.4 (a) void‐free glass‐fiber/epoxy composite (b) a special probe
The composite of the USC research image, illustrated above, is an aluminum alloy
composite reinforced with aluminum oxide fibers ~ 12µm in diameter. This is termed a
metal‐matrix composite..
The strength of the resin/fiber composite depends primarily on the amount,
arrangement and type of fiber (or particle) reinforcement in the resin. Typically, the
higher the reinforcement content, the greater the strength. In some cases, glass fibers
are combined with other fibers, such as carbon or aramid, to create a "hybrid" composite
that comb
composite
performan
A mou
advanced
also is an
[rubber!],
pounds an
The i
necessary
left. This
central IC
board). Th
of the pac
compleme
the system
bines the pro
e is often fo
nce paramete
untain bike is
material's te
integration o
etc). It is, thu
nd still meet t
Fig 6.5 Th
ntegration o
requirement
is a compos
(Integrated
he package ha
ckage. Anothe
entary mater
m? Certainly
operties of m
ormulated w
ers.
another piec
chnology. Th
f a number o
us, a composi
the rigors of t
he sport bycyc
of ceramic, m
t to the fabric
site system w
Chip) and the
as been de‐ca
er example o
rials, is shown
y this is not
more than on
ith fillers an
ce of recreatio
e mountain b
f other struct
ite system. Th
the sport..
cle is manufa
metallic, plas
cation of the
whose functio
e other item
apped (ie, a h
f a generalize
n on the righ
an example
ne reinforcin
nd additives
onal equipme
bike utilizes co
tural materia
hese bikes ca
ctured from c
stic and sem
micro‐electro
on is to prov
s on, for exa
hole made in
ed, composite
ht, below. Ca
e of a compo
g material. I
that change
ent that is de
omposite ma
ls (ie, metals,
n weigh less t
composite ma
miconductor
onics package
vide interfac
mple, a PCB
the top) to re
e system, usi
n you guess
osite materia
n addition, t
e processing
pendent on
terials; but it
, elastomers
than 16
aterial
materials is
e, shown belo
e between t
(printed circ
eveal the insi
ng a number
the function
al. It has be
84
the
or
s a
ow,
the
uit
ide
of
of
een
85
included to emphasize the point that many classes of materials are frequently used in
combination to make engineering devices, components or structures to best serve
society.
Fig. 6.6 Application of Composite System in Ic Technology
Komposit dan Paduan
Dalam ilmu logam, material dasar (base material) dapat diindifikasi sifat‐sifatnya
untuk suatu tujuan tertentu dengan mengkombinasikan material logam dasar tersebut
dengan material lain. Maka Komposit lahir sebagai material baru dan juga merupakan
hasil kombinasi beberapa material dasar. Komposit dan paduan memiliki keserupaan
yaitu sama‐sama terbentuk dari kombinasi 2 atau lebih material dasar, tetapi komposit
merupakan material kombinasi yang tidak dapat dicapai dari cara‐cara seperti
pembuatan paduan. Pada umumnya sifat‐sifat yang diinginkan dari suatu komposit
adalah sifat mekanik komposit itu. Meskipun secara struktur kelas kristalnya berbeda,
namun kombinasi tersebut akan memberikan sifat mekanik yang lain.
Komposite merupakan dua atau lebih bahan yang digabung atau dicampur secara
”Makroskopik”. Kata kunci makroskopik membedakan antara Kopmposit dengan paduan
yang penggabungan unsur‐unsurnya secara ”Mikroskopik”. Meskipun banyak bahan yang
86
mempunyai dua atau lebih konstituent (penyusun), tetapi bahan‐bahan tersebut
biasanya tidak dianggap sebagai komposit jika satuan struktur ysng terbentuk lebih
cenderung pada tingkat mikroskopik daripada tingkat makroskopik. Dengan demikian,
paduan‐paduan logam dan campuran‐campuran polimer biasanya tidak diklasifikasikan
sebagai komposit (Gibson 1994).
PADUAN/ ALOY KOMPOSIT
sifat‐sifat unsur pembentuknya tidak terlihat secara nyata
Sifat‐sifat unsur pembentuknya masih terlihat dengan dalam struktur baru.
Struktur paduan
Struktur komposit
Keunggulan bahan Komposit adalah terbentuknya struktur baru yang merupakan
penggabungan sifat‐sifat unggul dari masing‐masing unsur pembentuknya. Komposit
digunakan Komposit mempunyai sifat‐sifat yang diinginkan yang tidak dapat diperoleh
dari bahan‐bahan pebyusun (asal) jika bekerja sendiri‐sendiri (Gibson 1994).
(Struktur beton bertulang salah satu contoh seharian yang banyak digunakan
sebagai penyangga bangunan. Semen atau konkret berfungsi sebagai matriks, besi beton
sebagai penguat (tulangan).
Misalnya, pada paduan dikenal pearlit yaitu susunan lapisan selang‐seling antara α ‐
Fe yang bersifat lunak dengan Fe3C Cementite yang bersifat keras. Kombinasi α ‐ Fe dan
Fe3C akan memberikan sifat mekanik dengan ductility dan kekuatan yang sangat tinggi.
Hal yang sama juga terjadi pada komposit yang terbuat dari polimer dan serat akan
menghasilkan material yang keras dan kuat dibandingkan material dasarnya (polimer.)
A B A + B + = A B C+ + =
87
Konsep Dasar
Komposit adalah material multiphase. Namun kebanyakan komposit tersusun dari 2
phasa, dimana salah satu phasa penyusunnya disebut dengan nama MATRIK yang secara
kontinue mengisolasi fasa lainnya yang dikenal dengan nama ”fasa sebaran (penguata)”.
Gambar 6.7 Gabungan makroskopis fasa‐fasa pembentuk komposit.
Komposit terdiri dari dua atau lebih bahan‐bahan yang terpisah, dikmbinasikan
dalam berbagai komponen logam, polimer dan seramiks. Matriks berfungsi sebagai
pelindung, penyokong dan pengikat phasa penguat. Penggabungan unsur‐unsur
komposit terjadi secara ”Makroskopik” yaitu penggabungan sifat‐sifat unggul dari unsur‐
unsur pembentuk dimana unsur‐unsur pembentuk masih terlihat nyata dan merbentuk
struktur baru.
Paduan logam, campuran polimer tidak dikategorikan sebagai komposit tetapi
cenderung sebagai pancampuran secara ”Makroskopik” (Gibson 1994) ”Makroskopik”
Unsur‐unsur pembentuk tidak terlihat lagi.
Komposit di kenal sebagai bahan teknologi dan bukanlah bahan struktur
konvensional, melainkan bahan struktur diperoleh sebagai hasil teknologi pemerosesan
bahan. Kemajuan teknologi pemerosesan bahan dewasa ini telah menghasilkan rekayasa
bahan teknik yang dikenal sebagai ”Bahan Komposit”.
MATRIKS PENGUAT KOMPOSIT +
88
Sifat‐sifat dari komposit sangat tergantung kepada sifat‐sifat dari fasa‐fasa
pembentuknya, jumlah relatif masing‐masing fasa, bentuk dari fasa, ukuran fasa dan
distribusi ukuran dari fasa‐fasa dan sebarannya. Penemuan teknologi bahan Komposit
memungkinkan penggunaan bahan industri disesuaikan dengan keperluan yang semakin
menantang dalam bidang teknik.
Bahan Komposit merupakan bahan teknologi yang mempunyai potensi yang tinggi
yaitu dapat memberikan gabungan sifat‐sifat yang berbeda‐beda pada penggunaan yang
tidak akan diperoleh melalui penggunaan logam, polimer dan keramiks (Kusy 1986)
khususnya tentang sifat kekuatan spesifik serta kekakuan spesifik (Schwartz 1984).
Klasifikasi Komposit
Material komposit dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Gambar 6.8 Klasifikasi/skema struktur komposit (Callister 1994).
Large-particle
Composites
Particle - reinforced Fiber-reinforced Structural
Dispersion-strengthened
Continuous (aligned)
Continuous (short)
Laminates Sanwidch panels
Aligned Randomly
89
Komposit Partikel
Komposit Partikel yang diperkuat oleh partikel. Partikel penguat terdiri dari satu
atau lebih dan terserak dalam/ diikat oleh mantriks yang berbeda phasa. Partikel bukan
serat yang tidak mempunyai ukuran panjang.
Dari segi ukuran, partikel dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu :
• Partikel Besar
• Partikel Kecil
Komposit Partikel:
• Partikel Logam → Dalam Matriks logam
• Partikel Logam → Dalam matriks bukan logam (polimer, keramik)
• Partikel polimer → Dalam matriks polimer
• Partikel keramik → Dalam matriks polimer
Partikel Besar (> 1μm)
Interaksi antara matriks‐partikel tidak bisa dibicarakan pada tingkat atom atau
molekul, tetapi lebih kepada mekanika rangkaian kesatuan (Callister 1994). Partikel
cenderung memelihara pergerakan rantai molekul phasa matriks. Phasa partikel lebih
keras dan lebih kaku daripada phasa matriks. Partikel merubah atau memperbaiki sifat‐
sifat bahan. Kekuatan ikatan antaramuka partikel‐matriks (menyerupai komposit
diperkuat serat ,semacam 1/d) menetukan tingkat penguatan atas sifat mekanik. Contoh
: Concrete (campuran semen dengan kerikil).
90
Gambar 6.9 komposit dengan partikel besar
Partikel Kecil (0,010,1 μm)
Interaksi antara matriks‐partikel bisa dibicakaran pada tingkat ataom atau molekul.
Partikel kecil menahan pergerakan dislokasi sehingga menguatkan komposit. Ukuran
partikel kecil (fasa terserak) mencapai 0,01~0,1 µm (Callister 1994). Penguatan relatif
akan terjadi bila phasa terserak (partikel) tersebar secara merata pada matriks (Callister
1994). Komposit partikel kecil lebih kuat dan kaku dibandingkn komposit partikel besar.
Untuk penguatan komposit hanya diperlukan partikel dalam jumlah kecil ( beberapa
persen saja). Komposit partikel dalam bentuk phasa terserak dapat berupa logam dan
bukan logam dan bahan oksida.
Gambar 6.10 komposit dengan partikel kecil
Komposit jenis ini tidak lembut dan proses penuaan seperti pada paduan terjadi
penuan mendadak. Sebagai contoh : kekuatan paduan nikel pada suhu tinggi bisa
ditingkatkan dengan penambahan 3% Th02 (thoria) sebagai serakan partikel yang dikenal
sebagai Thoria‐serakan nikel (TD).
91
Komposit partikel kecil lebih tahan terhadap aus namun lebih lemah berbanding
komposit serat. Berbeda halnya dengan komposit matriks keramik. Komposit keramit
menyimpang dari keadaan umum komposit, yaitu keramik bahan yang keras dan getas
(matriks biasanya bahan lunak, liat). Dengan mekanisme penguatan tertentu. Partikel
sebagai phasa terserak dalam matriks keramik berfungsi mencegah perambatan
mikroretak yang terjadi.
Komposit matriks logam pada umumnya diperkuat oleh partikel logam. Hal ini dapat
meningkatkan kekuatan logam dan ketahanan terhadap temperatur yang tinggi. Matriks
dari logam lunak Aluminium, tembaga, perak, magnesium dan titanium terdiri dari
partikel logam penguat dari logam keras (tungsten, chromium, moly bdenum, titanium).
Kesulitan dalam pembuatan menyebabkan harga masih tinggi untuk komposit logam.
sebagai contoh: dawai filamen Tungstun diperkuat serakan Toria dan serbuk aluminium
tersinter (10% serakan alumina). Kekuatan tarik pada temperatur kamar 390 Mpa
berbanding 90 Mpa Aluminium asli yang telah disepuh.
Bahan komposit keramik dan logam/metal banyak digunakan untuk High Speed
cutting toll (pahat potong kecepatan tinggi), pipa proteksi termokopel serta piranti‐
piranti lainnya yang memerlukan suhu tinggi dan tahan aus (abrasi). Komposit ini juag
sulit dalam pembuatannya sehingga harganya masih cukup tinggi.
Hukum pencampuran banyak diaplikasikan pada komposit diperkuat partikel. Bilamana
pada alloy terjadi suatu proses ikatan kimia, maka pada komposit hanya terjadi proses
ikatan adheli. Komposit‐komposit dengan partikel besar menggunakan ketiga jenis
material : metal, polimer dan keramik sebagai matriknya.
92
Hukum Pencampuran (Rule of Mixtures)
Hukum pencampuran banyak diaplikasikan pada komposit diperkuat partikel.
Bilamana pada alloy terjadi suatu proses ikatan kimia, maka pada komposit hanya terjadi
proses ikatan adheli. Komposit‐komposit dengan partikel besar menggunakan ketiga
jenis material : metal, polimer dan keramik sebagai matriknya.
Bila komposite (C) tersusun dari 2 material yaitu M sebagai matriks dan P sebagao
penguat maka secara teoritis sifat‐sifat hasil pencampuran kedua material tersebut
memiliki sifat diantara sifat dari masing‐masing material yang bercampur. Modulus
elastis E dari komposity akan mengikuti Hukum Pencampuran ini yaitu :
Ek = Em 9m + Ep 9p ...................(1). → Batas atas/upper bond
Dimana E Modulus Young. 9 = fraksi volume
Ek = Em . Ep ...................(2) → Batas bawah/lower bond
Ep Vm + Em Vp
Nilai terukur E sebagai modulus young komposit adalah di daerah antara upper bond dan
lower bond.
Contoh : CERMET (atau komposit keramik – metal) misalnya Fe3C (sementit) karbida
tersusun oleh partikel sangat keras, seperti W‐C atau T1‐C dalam matriks logam Co
maupun nikel.
93
Komposit Serat (KS)
Komposit serat merupakan komposit yang diperkuat serat. Phasa penguat berbentuk
serat dalam/dan diikat oleh matriks. Diameter serat antara 0,01~10 µm dengan
perbandingan panjang dan diameter (L/d) lebih besar dari 103 (John 1992). Berdasarkan
ukuran panjang serat, serat dapat dikatagorikan menjadi dua kelompok, yaitu : serat
panjang atau kontiniu dan serat pendek.
Ukuran serat menentukan kemampuan bahan komposit menerima gaya atau gaya
luar. Semakin panjang ukuran serat maka semakin efisien dalam menerima gaya searah
serat. Dan semakin panjang serat maka menghilangkan kemungkinan retak sepanjang
batas pertemuan (antaramuka) serat dengan matriks sehingga serat mencegah cacat
pemukaan. Campuran yang telah dikenal dan paling banyak digunakan dalam bidang
teknik, yaitu campuran bahan serat (kuat, keras dan rapuh) dengan matriks (mulur dan
lembut).
Efisien dalam menerima beban merupakan keunggulan bahan kkomposit serat.
Beban dilimpahkan kepada serat oleh matriks. Jika ada serat putus beban tersebut
dipindahkan kembali kepada matriks, untuk selanjutnya akan kembali
dialihkan/didistribusikan keserat yang lain. Namun, sifat mekanik tidak hanya tergantung
kepada sifat daripada serat, tetapi juga tergantung pada arah serat terhadap beban,
penyebaran serat (serat pendek) Terhadap phasa matriks.
Tujuan utama yang ingin didapat dari komposit ini adalah didapat material yang
berkekuatan tinggi, kaku akan tetapi ringan (low density). Sifat mekanik dari material ini
tidak tergantung hanya pada sifat‐sifat seratnya saja tetapi juga bagaimana matriks pada
94
komposit memindahkan sebagian tegangan beban kepada seratnya (fasa sebarannya).
Hal ini sangat ditentukan oleh ikatan antar‐muka (interface) antara serat dan matriksnya.
Disisni terdapat panjang kritis serat sebagai fungsi kekuatan dan kekakuan efektif.
Panjang kritis serat (lC) tentunya tergantung pada diameter serat (d) dan kekuatan
tariknya (σf) serta kuat ikatan antara serat dan matriks (tC) dalam suatu material
komposit, yang dinyatakan dalam suatu persamaan sbb:
Berdasarkan hal ini, serat dengan ukuran panjang 1>>> lC (misalnya 1‐15 lC) disebut
dengan nama serat kontinue. Sedangkan serat dengan 1 < lC disebut serat discontinue
(serat pendek).
Bila 1 <<< lC dapat dipandang sebagai partikel yang kompositnya disebut sebagai
komposit‐partikular. Matriks dengan serat saling bekerjasama di dalam mengatasi gaya‐
gaya yang bekerja pada komposit. Gaya yang diterima matriks akan diteruskan kepada
serat secara merata, jika ada serat yang putus. Gaya pada serat yang putus akan
dikembalikan kepada matris dan selanjutnya didistribusikan kepada serat‐serat lain.
95
Gambar 6. 11 komposit diperkuatn serat
Fungsi Serat
Serat berfungsi sebagai unsur penguat kepada matriks. (Ikatan antamuka antara
serat dengan matriks sangat menentukan kekuatan Komposit). Biasanya matriks
mempunyai kerapatan/ densitas, kekukuhan dan kekuatan yang jauh lebih rendah
daripada serat. Namun gabungan matriks dengan serat bisa mempunyai kekuatan dan
ketegaran yang tinggi, tetapi masih mempunyai kerapatan yang rendah.
Kemajuan di bidang teknologi dewasa ini → Banyak mengarah kepada penggunaan
Komposit dengan fasa penguat serat. Sebagai contoh keunggulan bahan Komposit
berbanding bahna/unsur pembentuknya adalah : retak Plastik 8,688 Mpa, kaca 0,0276
Mpa. Gabungan keduanya dalam bentuk struktur baru komposit ”plastik diperkuat serat
kaca” (glass fibre reiforced plastic/GFRP). Menghasilkan kekuatan retak berlipat ganda
Komposit diperkuat Serat
Serat Dawai Serat Halus
Dimensi: D=0,1‐0,3 μm, l=2‐3mm, Kekuatan : Sangat kuat dan sempurna, Contoh :Graphit, silicon karbida, silicon nitride, Al oksida Harga :Mahal
Dimensi : D=6‐10 μm, L/D > 103 Kekuatan : Kuat Contoh : Kaca, Graphit, silicon karbida karbon, boron Al.oksida, polimer aramid Kevlar, nilon
Dimensi : D > 10 μm, Kekuatan : Kurang kuat Contoh : Baja, molybdenum, wolfram
96
yaitu 6.895 Mpa. (Plueddemann 1974). Kekuatan dan sifat menyeluruh dapat
ditingkatkan dengan memasukkan fasa terdispersi (terserak) kedalam matriks.
Orientasi Serat
Kekuatan dari komposit yang diperkuat serat dipengaruhi orientasi serat, fraksi serat,
distribusi serat serta jenis seratnya Orientasi serat sebagai berikut :
Gambar 6.12 klasifikasi orientasi serat
Orientasi serat merupakan faktor penentu kekuatan komposit diperkuat serat.
Kekuatan tangguh komposit Serat adalah kemampuan menahan beban searah orientasi
sedangkan kekatuan lemah merupakan kemampuan menahan beban tegak lurus
orientasi serat. Kekuatan tangguh merupakan nilai batas atas sedangkan kekuatan lemah
merupakan atas bawah.
Gambar 6.13 Pengaruh serat putus terhadap tegangan matrik dan serat
Matriks akan berfungsi sebagai pengikat serat yang menyokong dan melindungi serat
(penguat), serta akan mendistribusikan beban yang di alami secara merata di antara
ORIENTASI SERAT Orientasi Serat
Serat Paralel dan satu arah Serat Random
Serat
Matriks
97
serat‐serat. Fungsi penting selanjutnya apabila ada serat yang putus, beban serat
tersebut akan dipindahkan kembali kepada matriks untuk selanjutnya akan
didistribusikan kepada serat‐serat yang lain (gbr. 6.12). Sehingga beban tetap
terdistrubusi secara merata pada struktur komposit. Fenomena ini telah menjadikan
salah satu dari keunggulan bahan Komposit tersebut.
Ada beberapa macam model orientasi pada model, yaitu :
• Kontiniu dan searah ; serat panjang (gambar 6.14 a),
• Tidak kontinu da searah ; serat pendek (gambar 6.14 b),
• Tidak kontiniu dan acak/tidak beraturan , serat pendek (gambar 6.14c).
Gambar 6.14 orientasi serat dalam matriks
Dari ketiga orientasi serat di atas, orientasi (a) memberikan kekuatan paling tinggi
jika ditarik pada arah panjang serat. Komposit ini mempunyai sifat mekanik yang berbeda
pada arah melintang dan tegak (anisotropik).
Untuk serat panjang, umumnya tersusun lurus dalam matriks dan dapat diarahkan
sesuai arah pembebanan yang diterima. Hal ini menjadikan sangat kuat, namun lemah
terhadap pembebanan arah tegak lurus serat. Sebagai contoh : Besi dalam concrete,
(a) (b) (c)
98
serat dalam polimer. Untuk serat pendek, serakan lurus beraturan atau dalam keadaan
acak/arah tidak beraturan.
Komposit Serat Kontinue dan Terarah.
Misalkan stress diberikan pada arah memanjang (longitudinal) dimana ikatan antara
serat dan matriks seperti gambar 6.12 Sehingga deformasi pada matriks dan serat adalah
sama (ISO‐STRAIN) maka dalam hal ini dapat dianggap matrik pada komposit akan
memindahkan sebagian tegangan beban kepada fasa sebarannya (fibrousnya) yaitu
isostrain yang terjadi.
Fk = F m + Fs
Gambar 6.15 Gaya pada searah serat
Dengan perkataan lain, beban yang dialami oleh komposit adalah sama dengan jumlah
beban yang dialami oleh matrik dan seratnya.
Bila τ = F/A, maka
σk . Ak = σm . Am + σs . As ,
dimana A = luas penampang masing‐masing, atau dapat juga ditulis :
. . . .
Maka : Am / Ak dan As / Ak adalah fraksi luas, masing‐masing untuk matriks dan serat.
Sehingga dalam hal ini, bila panjang komposit, matrik dan serat adalah sama, maka Am /
99
Ak tentunya sama dengan fraksi volume dari matris (δm) dan Af / Ac sama dengan fraksi
volume dari serat (δf) dengan kata lain : Am / Ak = ( δm ) dan As / Ak = (δs)
Kekuatan Komposit Serat
Tujuan utama yang ingin didapat dari komposit ini adalah didapat material yang
berkekuatan tinggi, kaku akan tetapi ringan (low density). Sifat mekanik dari material ini
tidak tergantung hanya pada sifat‐sifat seratnya saja tetapi juga bagaimana matriks pada
komposit memindahkan sebagian tegangan beban kepada seratnya (fasa sebarannya).
Hal ini sangat ditentukan oleh ikatan antar‐muka (interface) antara serat dan matriksnya.
Disisni terdapat panjang kritis serat sebagai fungsi kekuatan dan kekakuan efektif.
Panjang kritis serat (lC) tentunya tergantung pada diameter serat (d) dan kekuatan
tariknya (σf) serta kuat ikatan antara serat dan matriks (tC) dalam suatu material
komposit, yang dinyatakan dalam suatu persamaan sbb:
LC = σf . d yang berlaku untuk 1 ~ (20 s/d 150) Φ
Gambar 6.16 Profil stress position
L=lc σ
σ
lc/2
100
Berdasarkan hal ini, serat dengan ukuran panjang 1>>> lC (misalnya 1‐15 lC) disebut
dengan nama serat kontinue. Sedangkan serat dengan 1 < lC disebut serat discontinue
(serat pendek).
Bila 1 <<< lC dapat dipandang sebagai partikel yang kompositnya disebut sebagai
komposit‐partikular. Matriks dengan serat saling bekerjasama di dalam mengatasi gaya‐
gaya yang bekerja pada komposit. Gaya yang diterima matriks akan diteruskan kepada
serat secara merata, jika ada serat yang putus. Gaya pada serat yang putus akan
dikembalikan kepada matris dan selanjutnya didistribusikan kepada serat‐serat lain.
Penguat serat sangat efektif bila :
• I/d yang besar dengan perbandingan lebih besar 103 (John 192).
• Serat lebih kuat dan kaku daripada bulk. Rentang diameter 6‐10 μm (John 1992).
• Penempatan orientasi serat dapat disesuaikan dengn keperluan pada penggunaan.
Kajian Griffith (1920) membuktikan semakin tipis sebuah batang atau serat, semakin
kuat.
Gambar 6.17 hubungan kekuatan tegangan terhadap tebal
Tebal serat, in
Kekuatan
Tegangan, lb/in2
X10
000
101
Kesimpulan Griffith adalah:
• Diameter yang sangat kecil, kekuatan serat mencapai kekuatan Kohensif teoritis
antara lapisan‐lapisan batas atom.
• Diameter besar, kekuatan serat menurun mendekati kekauatan bulk kaca.
Ada beberapa kerugian penggunaan penguat dalam bentuk serat, diantaranya :
• Tidak dapat mendukung beban tekan longitudinal.
• Sifat mekanik transversal tidak begitu baik
• Tanpa matriks, tidak bisa digunakan sebagai bahan struktur.
Komposit Struktur/Laminat (KSL)
Komposit laminat meruapakan susunan beberapa lamina di mana arah utama bahan
ditujukan kepada berbagai arah dalam lamina tersebut. Komposit jenis in paling kurang
disusun dari dua susunan lembaran bahan (lamina) berlainan dan berdekatan (Gbr.6.16).
Gambar 6.18 Susunan lamina
Komposit yang terbentuk dari susunan lamina mendapatkan sifat‐sifat unggul
masing‐masing bahan pembentuk (lamina).
102
Lamina
Lamina merupakan susunan rata atau lengkung serat satu arah atau serat terjalin
dalam matriks. Laminat dapat terdiri dari beberapa susunan lamina. Arah utama serat
dalam lamina dapat diarahkan ke berbagai arah untuk mendapatkan kekuatan komposit
pada berbagai arah yang dikehendaki.
Komposit struktur laminat terdiri atas susunan phasa penguat & matriks dalam
bentuk lamina. Susunan laminat bisa dalam arah searah dan tegak lurus/dalam arah
tidak beraturan. Struktur laminat merupakan penguat dalam bentuk lamina/ lapisan
diantara matriks.
Struktur susunan panel merupakan penguat dalam bentuk panel tersusun diantara
matriks (dapat berlapis‐lapis). Rasio kekakuan bengkok yang sangat tinggi terhadat serat
banyak digunakan dalm struktur aerospace (angkasa luar). Fleksibel dalam disain,
memiliki konfigurasi yang menarik. Penguatan tidak hanya pada struktur, tetapi juga
bahannya.
Phasa Pembentuk Komposit
Phasa pembentuk komposit merupakan phasa penguat dan phasa matrik (berbeda
phasa). Phasa penguat adalah partikel, serat dan laminat.
Partikel Penguat
Partikel bahan keras dan rapuh dikelilingi oleh matriks yang lembut dan mulur.
Struktur menyerupai logam dan paduan, namun pada komposit, perubahan phasa tidak
terjadi untuk mendapatkan partikel. Agar efektif terjadi penguatan, maka diameter
partikel antara 0,01~0,1 µm dan disebut juga phasa terserak. Pada ondisi ini dapat
103
meningkatkan kekuatan komposit partikel. Sedangkan untuk diameter > 0,1 µm phasa
terserak, ada kemungkinan penurunan kekuatan terjadi pada komposit partikel.
Serat Penguat
Serat merupakan jenis penguatan yang paling banyak digunakan sebagai penguat
dalam konstruksi bahan komposit sebagai bahan struktur. Serat memiliki berbagai
kelebihan dibandingkan penguatan partkel, diantaranya lebih kuat, kaku dan kukuh.
Agar efektif terjadinya penguatan maka diameter antara 0,01~10 µm (John ’92) dan
perbandingan panjang terhadap diameter >103. Arah serat harus sesuai terhadap beban.
Penguatan serat pada komposit akan semakin besar jika ukuran serat semakin panjang
diikat dalam matriks.
Serat terdiri dari serat Kaca, Karbon, polimer, aramid, Baron, Kevlar®, Karbida Silikon,
Graphat, serat ash (bambu, jeram). Komposit dasar telah banyak digunakan Serat Kaca‐E,
Karbon. Komposit maju merupakan komposit yang sering digunakan, seperti Karbon,
Polimer Aramid, Kaca‐S, Boron, Kevlar® Karbida Silikon, Graphit.
Secara umum paling banyak d gunakan Serat Kaca‐E :
• Tidak mahal, mudah diperoleh
• Modulus kekenyalannya lebih tinggi dari matriks polimer
• Mudah dibuat menjadi serat kekuatan tnggi dalam phasa cair.
• Komposit matriks polimer diperkuat kaca tahan karat
• Banyak cara yang bisa dilakukan dalam proses pembuatan komposit plastik diperkuat
kaca.
Serat kaca –S mempunyai sifat mekanik yang lebih baik dari kaca‐E dan harga sangat
mahal. Sehingga jarang digunakan untuk keperluan yang bersifat tidak khusus.
104
Laminat & Panel Penguat
Penguat secara prinsip berbentuk laminat yaitu susunan lamina atau dapat juga
berbentuk panel susunan berlapis‐lapis. Susunan lamina atau panel yang berbeda
merupakan gabungan sifat‐sifat unggul masing‐masing. Lamina dapat disusun dalam
beragai arah untuk memperoleh kekuatan, keringanan, tahan gores, penahan panas,
penhan akustik, permukaanyang menarik.
Phasa Matriks
Matriks merupakan phasa kedua yang berfungsi untuk melindungi dan mengikat
penguat bersama‐sama dalam sebuah unit struktur sehingga akan saling menyokong
dalam meningkatkan kemampaun atau sifat mekanik komposit.
Pada komposit diperkuat serat , matriks berfungsi sebagai pendistribusian transfer
beban yang dialami bahan komposit kepada serat. Jika ada serat yang putus, maka
matriks akan mengalihkan beban pada serat putus kepada serat lain.
Komponen Pengisi
Komponen pengisi dicampur dengan bahan matriks komposit sewaktu proses
fabrikasi bahan matriks. Pada umumnya, komponen pengisi dilakukan tidak dengan
tujuan untuk meningkatkan sifat mekanik bahan. Tetapi, cenderung untuk merobah
karakteristik bahan, dan mengurangkan biaya keseluruhan bahan. Seperti partikel kaca
untuk mengurangi berat, karbon hitam untuk perlindungan terhadap radiasi sinar ultra
violet, tanah liat/mika untuk menurunkan harga dan alumina trihydrate untuk menekan
nyala dan asap.
105
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan:
• Derajat keserasian yaitu antara komponen pengisi (minor) dengan komponen utama
(mayor). Semakin serasi antara keduanya maka akan semakin baik hasilnya (Vaccaro
et.al 1997).
• Kawasan permukaan, distribusi partikel atau serakan yang merata, penyerapan atau
reaksi dengan permukaan pengisi dan ukuran serta permukaan partikel (Ferrigno
1987)
• Komposisi, tegangan antaramuka, pemerosesan dan perbandingan kelikatan (Tjong
1997).
Pada proses penggunaan komponen pengisi umumnya terjadi proses Aglomerasi
akibat ketidak serasian kedua komponen yang digabungkan (mayor & minor). Proses
Aglomerasi yaitu proses terbentuknya struktur agregat dan aglomerat. Ukuran partikel
pengisi yang kecil serta luas permukaan yang kecil menjadikan ikatan hidrogen pada
permukaan hidrofilik pengisi. Sehingga bergabungnya beberapa struktur agregat pengisi
yang terbentuk yang disebut Aglomerat. Pada proses Aglomerasi, partikel pengisi (fasa
terserak) memiliki diameter 0,01~10 µm adalah skala mikro, sedangkan skala makro
untuk partikel mesar besar > 100 µm seperti semen dengan batu kerikil dan skala meso
merupakan phasa terserak dengan diameter 10~100 µm (Li et.al ,1994).
106
Zat Penggabung/ Penyerasi
Zat Penggabung berfungsi untuk meningkatkan derajat ikatan antara muka penguat
dengan matriks dan antaramuka komponen utama dengan komponen pengisi pada
phasa matriks.
Ikatan antar‐muka serat dengan matriks umumnya sukar dibentuk. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, diantaranya :
• Pembasahan matriks polimer atas permukaan serat kurang baik
• Terdapatnya lapisan batas antaramuka oleh pengotor (pelumas, antistatik)
• Adanya difusi lembapan (multilapis air)
Ada beberapa zat penggabung yang penggunaannya dapat meningkatkan kekuatan
mekanik dan ketahanan kimia, diantaranya :
• Silena digunakan sebagai zat penggabung pada komposit berserat gelas.
• Vinil dan alil digunakan sebagai zat penggabung pada komposit poliester
• Amino digunakan sebagai zat penggabung pada komposit epoksida
Perilaku Umum dan Unsur Komposit
Penggabungan secara Makroskopik akan melahirkan tegangan geser antar
permukaan antara fasa‐fasa yang digabungkan, utamanya pada komposit yang diperkuat
serat. Beban gaya geser dipikul oleh ikatan kimia dan bukan oleh ikatan mekanis. Pada
penguatan dengan serat yang tidak kontiniu tegangan geser antar permukaan menjadi
faktor penting. Untuk serat putus, tegangan dalam menjadi nol pada titik putus. Beban
diteruskan dalam matriks melalui tegangan geser.
107
Hal yang harus diperhatikan ketika transfer beban menjadi :
• Ikatan antaramuka fasa penguat dan fasa matriks harus cukup baik untuk
mendukung tegangan geser yang terjadi.
• Peningkatan penguatan efektif bila penguatan kontiniu, atau I/d harus besar (rasio
aspek/ perbandingan panjang serat dengan diameter serat) sehingga beban dapat
diteruskan melintasi titik perpatahan potensial.
• Fasa penguat harus memiliki modulus elastisitas (modulus Young) yang lebih tinggi
daripada matriks.
• Regangan yang terjadi pada kedua matriks dan penguat harus sama.
Persamaan yang berlaku adalah :
dan σσ
EE
Dimana E adalah modulus elastisitas, σ adalah tegangan dan ε adalah regangan.
Sebagai contoh Komposit A1/St (Kawat almunium diperkuat serat baja. Ketika
mengalami beban tarik, kedua logam tersebut mengalami deformasi secara bersama‐
sama. Missal: regangan (ε) = 0,001, modulus elastisitas baja (Ebj) = 205.000 Mpa, Eal =
70.000 Mpa, maka tegangan yang dialami baja (σbj) = 0,001 x 205.000 = 205 MPa, (σa1)
= 0,001 x 70.000 = 70 MPa..
108
DAFTAR PUSTAKA
Ashby, M. F. 1987. ”Technology of the 1990s: Advanced materials and predictive design”.
Philosophical Transactiona of Tha Royal Society of London, A 22: 393 407.
Ferigno, T. H. 1987. Principles of filler selection and use. Dlm. Katz H.S. & Milewski J.V.
(peny.). Handbook of Fillers for Plastics, hlm 8 61. New York : Van Norstrand Reinhold
Comp.
Gibson, R.F. 1994 Principles of composite material mechanics. New York : Mc Graw – Hill.
Griffith A. A., 1920. The phenomena of repture and flow in solid. Philosophical
Transactions of the Royal Society, 221 a, 163 – 198.
John, V. 1992. Introduction to engineering materials. London : The Macmillan Press
Lmtd.
Jones R.M. 1975. Mechanics of composite material. New York : Hemisphere Pub. Corp.
Judge & John F.1969. Composite materials : The coming revolutioan. Airplane
management and marketing : 85 91
Kaga, H. 1997. Vacum effect on the mechanish of composite particle formatioan in
physical preparation. Powder Technology, 143 149.
Kamaruzzaman Sopian, Rozli Zulkifli, Jafar Sahari & Othman, M.J., 1998, AMPT ’98 : 247
Kusy, R. P. 1986. Metal‐filled polymers. Dlm. Bhattacharya S.K. (edt). Metal‐filled
polymers properties and applications, 1142. New York: Marcel Dekker Inc.
Plueddemann. E.P. 1974. Interface in polymer matrix composites. Dlm Broutman L.J. &
Krock R.H (pnyt). Composite Materials, 6, hlm. xiii xv. New York: Academic Press.
109
Sadagopan, D. & Pichumani, R. 1998. Property‐based optimal design of composite
materials and their internal architectures. J. Compo‐sites Materials, 32 (19): 1714 1752
Schwartz, M. M. 1984. Composite material handbook, New York : Mc Graw Hill.
Sulaiman Kamil, Bambang Kismono Hadi. 1990. Prilaku aerostruktur dengan bahan
komposit. Bandung : PAU ITB,.
Tjong, S., C. 1977. The falling weight impact properties of malic anhyride compatibilized
polypropylene – polymide blends. J. of Materials Sci., 32 : 4613 4617
top related