diabetes melitus kapita selekta lumayan
Post on 04-Aug-2015
48 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolic kronik yang mengenai
segala lapisan masyarakat didunia.1 Penyakit ini sering disebut the great imitator
karena penyakit ini dapat mengenai semua organ dan menimbulkan berbagai macam
keluhan.2 Penyakit ini tidak dapat sembuh meskipun dapat diatasi.3 Berdasarkan
klasifikasi yang baru diabetes dibagi menjadi bebeparapa kelas dan yang termasuk
dalam kelas utama ialah diabetes tipe 1 atau insulin dependent diabetes mellitus
(IDDM) dan diabetes tipe 2 atau non insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM).4 i.
Sebanyak lebih dari 85% kasus DM adalah DM tipe 2.5 DM dapat menimbulkan
berbagai macam komplikasi baik akut misalnya hipoglikemia, ketoasidosis diabetika,
asidosis laktat dan Hiperosmolar non ketotik (HONK) maupun komplikasi kronik
berupa retinopati diabetika, neuropati, nefropati maupun aterosklerosis yang dapat
menyebabkan penyakit jantung koroner, stroke, kaki diabetes dan sebagainya. Oleh
karena itu perlu penanganan serius terhadap diabetes yang dilakukan melalui Panca
Usaha Pengelolaan Diabetes yaitu edukasi, pengaturan makan, latihan jasmani,
penggunaan obat (OHO,insulin) serta mengatasi gangguan dan komplikasi juga
perubahan pola hidup penderita diabetes mellitus.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFENISI
Diabetes Mellitus adalah kelainan yang bersifat kronik yang ditandai oleh
gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang diikuti oleh komplikasi
mikrovaskuler maupun makrovaskuler, dan telah diketahui berkaitan dengan faktor
genetik dengan gejala klinik yang paling utama adalah intoleransi glukosa.6
Diabetes Mellitus tipe 2 terdiri dari berbagai macam kelainan dengan
karakteristik yang sama yaitu insufisiensi kerja insulin untuk mempertahankan kadar
glukosa darah dalam batas normal. Insufiesinsi kerja insulin merupakan kombinasi dari
resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal.5
2. EPIDEMIOLOGI 4
Jumlah penderita diabetes diseluruh dunia, menurut data tahun 1993 adalah 100
juta, yang berarti suatu kenaikan 3 kali lipat dibandingkan tahun 1987. Di Indonesia,
angka kejadian diabetes berkisar antara 1-2% berarti satu diantara 50-100 penduduk
Indonesia menderita diabetes. Salah satu faktor yang diduga meningkatkan kejadiannya
di Asia (dan Afrika) ialah adanya perubahan yang nyata dalam pola makan, yaitu yang
banyak berlemak dengan kurang sayur ( antara lain “junk food” ), kegemukan, dan
hidup yang sangat santai.
3. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes mellitus bermacam-
macam. Akan tetapi penyakit ini sering dihubungkan dengan faktor genetik yang
autosomal dominan dimana faktor lingkungan memiliki kontribusi pada manifestasinya
terutama pada orang-orang dengan predisposisi genetik. Dari penelitian diketahui bahwa
pada kembar monozigot kejadian DM tipe 2 meningkat hingga 91% dan tidak berubah
meskipun perbedaan berat badan telah dihitung. Besarnya resiko terkena DM tipe 2
adalah sebesar 14%jika tak satu pun orang tua menderita DM, 25% jika salah satu orang
tua menderita DM dan 45% jika kedua orang tua menderita DM. Berbeda dengan DM
tipe 1, pada DM tipe 2 tidak didapatkan hubungan yang jelas antara HLA dengan DM
tipe 2.5
a. Sekresi insulin
Selain faktor genetik, patogenesis DM tipe 2 juga dihubungkan dengan gangguan
sekresi insulin. Semua penelitian menunjukkan bahwa pada fase awal penderita
dengan DM tipe 2 memiliki kadar insulin yang normal atau meningkat, yang
kemudian dihubungkan dengan terjadinya obesitas meski obesitas tidak selalu
terjadi. Peningkatan kadar insulin ini menunjukkan bahwa pada saat itu lebih banyak
insulin harus disekresikan untuk mempertahankn kadar glukosa darah dalam batas
normal.5 Selanjutnya kadar insulin menjadi normal, baik dalam proporsi proinsulin
maupun bioaktivitasnya.7 Meski kadar insulin normal, abnormalitas sekresi insulin
dapat diidentifikasi setelah stimulasi sel β pankreas dengan cara memberikan
glukosa intra vena. Dimana kadar insulin meningkat akan tetapi glukosa darah tetap
normal, menunjukkan adanya resitensi insulin.5 Pada fase kedua, resistensi insulin
cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak
intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan.7,8 Bagi beberapa
penderita intolereansi glukosa ini dapat bertahan bertahun-tahun tanpa berkembang
menjadi DM, tapi bagi sebagian besar penderita, ini adalah fase intermediate
sebelum menjadi diabetes. Umumnya pasian tidak memiliki keluhan, akan tetapi
perubahan makroangiopati dan lesi-lesi vaskuler telah dapat ditemukan pada fase
ini.5 Akhirnya pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah tetapi sekresi insulin
menurun dengan akibat kadar glukosa darah yang sangat tinggi meyebabkan
hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.7,8
b. Resistensi Insulin
Kadar insulin plasma yang normal atau meningkat pada penderita DM tipe 2
menunjukkan resistensi insulin yang muncul sebagai akibat adanya defek pada
beberapa tahapan kerja insulin. Dalam keadaan normal, insulin terikat pada reseptor
di membran sel yang selanjutnya mentransmisikan second messenger untuk
memulai perubahan metabolisme glukosa didalam sel. Pada DM tipe 2 defek
pertama adalah adanya penurunan jumlah reseptor insulin, sedangkan defek kedua
atau post reseptor defect adalah adanya defek pada pengiriman sinyal / pesan
intraseluler yang diduga terkait dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat.7
4. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik
defisiensi insulin. Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa
sesudah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya parah dan melebihi ambang ginjal,
maka timbul glukosuria. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang
meningkatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran kemih (poliuri) dan
timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama kemih, maka pasien
mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Polifagi akan
timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk. Pada
pasien NIDDM mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan
diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan
tes toleransi glukosa.9 Pertolongan medis paling sering dicari karena gejala yang
berkaitan dengan hiperglikemia, tetapi kejadian pertama mungkin berupa dekompensasi
metabolik akut yang menyebabkan koma diabetik. Kadang-kadang penampakan awal
berupa penyulit degeneratif seperti neuropati tanpa hiperglikemia bergejala.10
Gambaran klinis yang khas dari NIDDM:
· Umur awitan > 40
· Bentuk tubuh Gemuk atau tidak gemuk
· Insulin plasma normal hingga tinggi
· Penyulit akut koma hiperosmolar
· Responsif hingga resisten terhadap terapi insulin
· Responsif terhadap terapi sulfonilurea 10,1
5. DIAGNOSIS12
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas
DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup
kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan
mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl,
kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari lain, atau dari hasil tes toleransi
glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO,1994) :
3 hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air
putih diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.
Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Keluhan Klasik (+) Keluhan Klasik (-)
GDP 126 atau GDS 200
GDP < 126 atau GDS < 200
GDP 126 atau GDS 200
GDP = 110 - < 126
GDP < 110
GDS = 110 – 199
Ulangi GDS atau GDP
GDP 126 atau GDS 200
GDP < 126 atau GDS < 200
TTGO GD 2 jam
> 200 140 – 199 < 140
DM TGT GDPT Normal
Evaluasi status giziEvaluasi penyakit DMEvaluasi dan perencanaan
makan sesuai kebutuhan
Nasihat umumPerencanaan makanLatihan jasmaniBerat idamanBelum perlu obat
penurun glukosa
Keluhan Klinis Diabetes
GDP : Kadar Glukosa Darah Puasa
GDS : Kadar Glukosa Darah Sewaktu
TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral
TGT : Toleransi Glukosa Terganggu
Langkah diagnostik Diabetes Mellitus12
Kriteria diagnostik diabetes mellitus * dan gangguan toleransi glukosa
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl atau
3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram
pada TTGO**
* Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari lain, kecuali
untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik berat,
seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan
menurun cepat.
** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik. Untuk penelitian
epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar glukosa
darah puasa dan 2 jam pasca pembebanan. Untuk DM gestasional juga dianjurkan
kriteria diagnostik yang sama.
Pemeriksaan untuk diagnosis banding:13
1. Kadar C peptida darah
Pemeriksaan ini dapat menggambarkan potensi sel untuk memproduksi insulin
dan dapat dipakai sebagai pegangan dalam penentuan terapi insulin. Pada semua
tipe DM kadarnya lebih rendah dibandingkan orang normal. Makin lemah
respon C peptida terhadap rangsang glukosa berarti makin tinggi ketergantungan
terhadap insulin. Pemeriksaan C peptida dilakukan dengan metoda RIA (Radio
Immuno Assay).
2. Kadar insulin darah
NIDDM dijumpai dalam kadar rendah, normal, atau bahkan tinggi.
3. Pemeriksaan HLA
Pemeriksaan HLA DR dan B dilakukan untuk memperjelas tipe DM, karena IDDM
berkaitan dengan HLA DR 3, DR 4, Bb, B15.
6. PENATALAKSANAAN
Pengelolaan diabetes mempunyai tujuan sebagai berikut :3
1. menghilangkan keluhan dan gejala pasien
2. mencegah komplikasi akut seperti ketoasidosis diabetik, koma hiperglikemik
nonketotik
3. mencegah komplikasi kronik makrovaskuler dan mikrovaskuler
4. Mengusahakan Usia Harapan Hidup (UHH) yang sama dengan UHH pada orang
normal.
Tujuan diatas dapat dicapaai dengan melaksanakan kegiatan yang sasarannya adalah :3
1. Menormalkan kadar glukosa, lipid dan insulin darah
2. Mengelola pasien secara holistik
3. Dibawah 200 mg% pasti 3P (polifagi,polidipsi,poliuri) membaik, sedangkan
antara 150-165 mg% rasa “ sehat “ dan kalau normal maka tercegah dari
komplikasi mikrovaskuler dan tak mengganggu kehamilan.
4. Mematuhi sasaran “biokimiawi” yang ditentukan.
Kerangka utama penatalaksanaan DM tipe 2 yaitu Penyuluhan dan pendidikan,
perencanaan makan, latihan jasmani, penggunaan obat dan mengatasi gangguan /
komplikasi serta perubahan pola hidup.3,12
1. Penyuluhan dan Pendidikan3
DM merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup sehingga
keikutsertaan pasien dan keluarga merupakan faktor penting dalam
pengeelolaannya. Pasien harus mengetahui apa itu diabetes, obat apa yang
dimakannya, juga bagaimana memantau dirinya. Meningkatkan motivasi untuk
menangani diri sendiri harus ditekankan pada setiap pasien diabetes dan pasien
harus dapat menjadikan dirinya manager ulung, mengingat masalaah praktis yang
harus dilaksanakaan oleh pasien diabetes ini amat mejemuk, sehingga pantas saja
ketaatan ini sulit dilaksanakan dengan baik, contohnya ia harus berperilaku positif
sebab ia harus mengatur pola makanan, mengatur dan aktif dalam berolahraga,
menggunakan obat suntik dan obat oral, datang untuk memonitor gulaa darahnya,
sekaligus mengendalikan komplikasinya dan memperhatikan higiene pribadinya
misalnya soal perawatan kakinya. Komplikasi pengobatan maupun tanda-tanda akan
terjadinya kegawatan sudah harus diketahui sedini mungkin sehingga dapat
dicegahnya. Makin banyak ia tahu tentang penyakitnya makin patuh penderita
tersebut.
Faktor stress buffering termasuk salah satu yang harus diperhatikan oleh penderita
diabetes, dimana tipe perilaku yang dapat menekan stres dan yang tidak dapat
menekan stres berbeda reaksinya bagi pengendalian gula darah. Stres, khususnya
yang stres yang kronik, berkorelasi dengan peningkatan HbA1c yang meningkat.
Kelompok stoicism ( pasien yang mengendalikan emosinya dengan cenderung tidak
berespon secara emosional terhadap situasi stres ), gula darahnya tidak dipengaruhi
oleh stres, sedangkan yang sifat stoicism nya rendah, gula darahnya sangat
terpengaruh. Kesimpulan dari penelitian ini adalah stres psikososial kronik akan
meningkatkan kadar glukosa hanya pada mereka yang tidak dapat mengatasi stres
secara efektif.
2. Perencanaan makan12
Pada konsensus PERKENI telah ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah
santapan dengan komposisi seimbang berupa karbohidrat (60-70%), protein (10-
15%), dan lemak (20-25%).Apabila diperlukan, santapan dengan komposisi
karbohidrat sampai 70-75% juga memberikan hasil yang baik terutama untuk
golongan ekonomi rendah. Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/dl.
Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA, Mono
Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan
asam lemak jenuh.
Jumlah kandungan serat 25 gr/hari, diutamakan serat larut. Konsumsi garam
dibatasi bila terdapat hipertensi. Pemanis buatan yang aman dan dapat diterima
untuk digunakan pasien diabetes termasuk yang sedang hamil adalah: sakarin,
aspartame, acesulfame potassium dan sucralose.
Untuk penentuan status gizi, dapat dipakai Indeks Massa Tubuh (IMT) dan rumus
Broca. Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB (Kg) / TB (m2)
Klasifikasi IMT (klasifikasi Asia Pasifik ) :
* BB kurang < 18,5
* BB normal 18,5 – 22,9
* BB lebih 23,0
* dengan resiko 23,0 – 24,9
* Obes I 25,0 – 29,9
* Obes II 30
Untuk menghitung kebutuhan kalori dapat dipakai rumus Broca, yaitu :
Berat badan Idaman (BBI) = (TB – 100) -10%
Status gizi : BB aktual x 100% / TB (cm) – 100
* BB kurang bila BB< 90% BBI
* BB normal bila BB 90 – 110% BBI
* BB lebih bila BB 110 – 120% BBI
* Gemuk bila BB > 120% BBI
3. Latihan jasmani
Banyak sekali manfaat olahraga bagi penderita diabetes. Secara singkat manfaat
olahraga bagi penderita DM antara lain :14
Menurunkan konsentrasi glukosa selama dan sesudah
olahraga
Menurunkan kadar basal dan postprandial insulin
(terutama pada DM tipe2)
Meningkatkan sensitivitas sel terhadap insulin
Menurunkan kadar HBA1c
Peningkatan profil lipid :
- Penurunan trigliserida
- Penurunan low density lipoprotein (LDL) kolesterol yang tidak baik bagi
jantung dan pembuluh darah
- Peningkatan high density lipoprotein (HDL) kolesterol yang bersifat
melindungi jantung
Membantu mengontrol hipertensi ringan sampai sedang
Meningkatkan pemakaian energi sehingga :
- Membantu menurunkan berat badan
- Mengurangi lemak tubuh
- Meningkatkan massa otot
Meningkatkan fungsi kardiovaskuler (jantung dan
pembuluh darah).
Peningkatan kekuataan dan fleksibilitas tubuh
Menurunkan stres dan meningkatkan kepercayaan diri
dalam melawan emosi sedih karena merasa mempunyai penyakit kronis yang
tidak bisa disembuhkan.
Menurunkan nafsu makan sehingga membantu
mengontrol kadar gula darah.
Jenis olahraga yang baik untuk penderita DM adalah olahraga yang memperbaiki
kesegaran jasmani. Oleh karena itu jenis olahraga yaang memperbaiki semua
komponen kesegaran jasmani yaitu yang memenuhi ketahanan, kekuatan, kelenturan
tubuh (fleksibilitas), keseimbangan, ketangkasan, tenaga dan kecepatan. Agar
memenuhi hal tersebut, latihan olahraga sebaiknya bersifat kontinyu, ritmis,
interval, progresif, dan latihan ketahanan. Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4
kali/minggu selama 0,5 jam.2
Sebelum melakukan olahraga maka penderita diabetes harus mengetahui pula resiko
olahraga pada penderita diabetes, antara lain:14
a. Terjadinya hipoglikemia atau menurunnya kadar gula darah secara
berlebihan. Hal ini terjadi oleh karena olahraga akan meningkatkan
pemakaian glukosa sehingga akan menginduksi terjadinya hipoglikemia.
Kondisi ini dapat terjadi selama atau sesudah olahraga.
Tanda hipoglikemia adalah :
- Lelah
- Sulit konsentrasi
- Irritability (mudah emosi )
- Lapar
- Gemetar
- Bicara gagap
- pucat,dingin atau kulit basah berkeringat
b. Hiperglikemia setelah olahraga berat dan berlebihan. Terutama terjadi pada
semua tipe diabetes dengan gula darah >300 mg/dl.
Tanda hiperglikemia : - lelah
- sangat haus
- ingin kencing berkali-kali
- mata kabur
c. Presipitasi dan eksaserbasi terjadinya penyakit jantung
d. Memburuknya komplikasi diabetes yang lama
4. Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.12
4.1 Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 3 golongan :12
* Pemicu sekresi insulin (Insulin secretagogue) : Sulfonilurea dan Glinid
* Penambah sensitivitas terhadap insulin : Metformin, Tiazolidindion
* Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
Pemicu Sekresi Insulin :
a. Sulfonilurea
Obat golongan sulfonilurea bekerja dengan cara:12
· Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.
· Menurunkan ambang sekresi insulin
· Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.18
Kontra indikasi pemberian sulfonilurea adalah DM tipe 1, DM gestasional,
infeksi berat, stress, trauma dan operasi mayor.18
Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan berat badan normal
dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih. 12
b. Glinid
Glinid merupakan obat generasi terbaru yang cara kerjanya sama dengan
Sulfonilurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu : Repaglinid ( derivate asam benzoate ) dan
Nateglinid ( derivate fenilalanin ).12
Penambah Sensitivitas Terhadap Insulin :
a. Biguanid
Biguanid bekerja dengan cara :
- menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai dibawah normal.12
- memperbaiki ambilan glukosa oleh jaringan perifer dan
- meningkatkan jumlah reseptor insulin.18
Preparat yang aman adalah metformin. Obat ini dianjurkan untuk pasien gemuk
(BMI > 30) sebagai obat tunggal.12
Biguaid dikontra indikasikan pada DM tipe 1, gangguan fungsi ginjal atau hepar,
kelainan paru atau jantung yang dapat menyebabkan hipoksia, alkoholisme, DM
gestasional.18
b. Tiazilidindion
Thiazolidindion adalah golongan obat baru yang mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah pentranspor glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolinindion dikontrainikasikan
pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema /
retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Saat ini Tiazolidindion tidak
digunakan sebagai obat tunggal.12
Penghambat Alfa Glukosidase ( Acarbose )
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorsi glukosa di usus halus , sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
mengakibatkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan adalah kembung dan flatulen.12
4.2 Insulin
Indikasi penggunaan insulin pada NIDDM adalah:12
· DM dengan berat badan menurun cepat
· Ketoasidosis, asidosis laktat, dan koma hiperosmoler
· DM yang mengalami stress berat (infeksi sistemik, operasi berat, dan lain-
lain)
· DM dengan kehamilan / DM gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanan makan
· DM yang tidak berhasil dengan obat hipoglikemik oral dosis maksimal atau
ada kontradiksi dengan obat tersebut.
Efek samping pemberian insulin :16,17
a. Hipoglikemia
Efek samping insulin yang paling sering terjadi adalah hipoglikemia. Keadaan
ini terjadi karena (a) dosis insulin yang berlebihan, (b) saat pemberian insulin
yang tidak sesuai dengan saat makan, penggunaan glukosa yang berlebihan
seperti pada saat olahraga, atau (c) ada faktor lain yang meningkatkan kepekaan
individu terhadap insulin, misalnya defisiensi adrenal maupun hipofisis.
Hipoglikemia ringan sampai sedang dapat diatasi dengan memberikan
makanan/minuman bergula yang kalau perlu dapat diulang setelah 15 menit.
Bila pasien tidak sadar, diperlukan infus glukosa 50% sampai sebanyak 50 ml.
Terapi alternatifnya adalah glukagon.
b. Hiperglikemia pagi
Keadaan ini diduga timbul karena respon terhadap insulin kerja sedang yang
disuntikkan malam hari kurang baik bersamaan dengan terjadinya dawn
phenomene. Untuk mengatasinya, dianjurkan memberi lebih banyak insulin
kerja sedang pada malam sebelumnya, misalnya menjelang tidur.
c. Lipodistrofi
Pada beberapa pasien dapat terjadi lipoatrofi (lekukan di kulit) atau
lipohipertrofi (penimbunan lemak subkutan di tempat suntikan).
d. Reaksi alergi dan resistensi insulin
Secara teoritis insulin rekombinan lebih rendah sifat imunogeniknya, tetapi
kelebihan ini belum terbukti pada uji klinik. Resistensi insulin biasanya terjadi
bila kebutuhan insulin lebih dari 200 unit/hari.
4.3 Terapi Kombinasi 12
Tujuan terapi kombinasi (kombinasi 2-4 macam OHO atau kombinasi 2-4
macam OHO dan insulin) adalah untuk meningkatkan efektivitas masing-masing
obat dan menurunkan efek samping. Terapi kombinasi diberikan bila target
pengendalian glukosa belum tercapai dengan OHO dosis mendekati maksimal.
Kombinasi insulin secretogogues dan metformin diberikan jika target
pengendalian glukosa darah puasa dan postprandial belum tercapai dengan
insulin secretogogues. Kombinasi ini dapat menurunkan kadar glukosa darah
puasa dari 240 mg/dl menjadi 140 mg/dl tanpa penambahan berat badan
Kombinasi insulin secretogogues dan penghambat alfaglukosidase diberikan
jika target glukosa darah puasa telah tercapai dengan insulin secretogogues
tetapi target glukosa darah puasa postprandial belum tercapai. Kombinasi ini
dapat memperbesar penurunan kadar glukosa darah sampai 27-36 mg/dl pada
kelompok yang hanya mendapat sulfonilurea.
Kombinasi insulin secretogogues, penghambat alfa glukosidase dan
metformin diberikan bila dengan 2 macam obat OHO target pengendalian
glukosa belum tercapai.
Kombinasi insulin secretogogues dan insulin diberikan bila terjadi gagal
sekunder dengan terapi insulin secretogogues. Kombinasi ini dapat
mengurangi kebutuhan dosis insulin untuk mencapai target glukosa darah
yang sama.
Kombinasi insulin dan metformin diberikan bila terjadi gagal sekunder terapi
metformin. Kombinasi ini akan memperbaiki pengendalian kadar glukosa
darah dan resiko kardiovaskular, kebutuhan dosis insulin kurang, berat badan
tidak berubah dan tekanan darah turun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soegondo S, Soewondo P, Semiardji G, dkk. Dalam: Endokrinologi klinik 2000.
Mahisur Johan, Hartini Sri (editor). Bandung : PB Perkeni,2000: 131
2. Waspadji S. Diabetes mellitus. Dalam : Noer SM (editor). Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi III. Jilid 1. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996 : 586-664
3. Djokomoeljanto R. DM : faktor resiko keberhasilan pengobatan. Disampaikan pada
forum pertemuan Fak. Psikologi Unika. 2 November 1998.
4. Hartati Sri. Mengapa diabetes banyak mengakibatkan kerusakan organ tubuh dan
bagaimana kejadiannya. Naskah Lengkap Kongres Nasional V Persatuan Diabetes
Indonesia. Semarang: Balai Penerbit Undip, 2002: 39-43
5. Darmono. Seri kuliah endokrinologi-metabolik. Semarang: Laboratorium Ilmu
Penyakit Dalam FK UNDIP, 1991. Foster DW.
6. Diabetes mellitus. Dalam: Isselbacher, Braunwald, Wilson, et al, Asdie AH
(Editor). Harrison, prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13. Jakarta: EGC,
2000: 2196 – 217.
7. Diabetes mellitus. Dalam : Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC,1995:1115 – 1119.
8. Sidartawan, Pradana, Imam Subekti, dkk. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes
Mellitus Tipe 2. Jakarta : PB Perkeni, 2002.
9. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, editor. Kapita
selekta kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius, 2001: 580-88.
10. Rachmawati B. Diabetes mellitus. Dalam: Diktat pegangan kuliah Patologi Klinik
II. Semarang: Bagian Patologi Klinik FK UNDIP, 1999.
11. Myers AR. NMS Medicine. 4th ed. USA: Lippincott Wilkins, 2001: 508-23.
12. Kaufman KD, Karam JH. Diabetes mellitus. Dalam: Skach W, Daley CL, Forsmark
CE; Secilia I, alih bahasa; Ronardy DH, editor. Penuntun terapi medis. Edisi 18.
Jakarta: EGC, 1996: 440-63.
13. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan. Informatorium obat nasional Indonesia 2000. Jakarta: CV. Sagung
Seto, 2000: 263-66.
14. Handoko T, Suharto B. Insulin, glukagon, dan antidiabetik oral. Dalam:
Farmakologi dan terapi. Edisi 4. Jakarta: Gaya Baru, 1994: 467-81.
top related