depresi psikotik.doc
Post on 26-Oct-2015
100 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
GANGGUAN MOOD
Mood didefinisikan sebagai “alam perasaan” atau “suasana perasaan” yang bersifat
internal. Ekspresi eksternal dari mood disebut afek, atau “eksternal display”. Sejak lama
dalam literatur psikiatri mood yang terganggu disebut gangguan afektif. Tapi kurang lebih
dalam 5 tahun terakhir, gangguan afektif ini diubah namanya dengan gangguan mood. Yang
paling utama dalam gangguan mood ini adalah mood yang menurun atau tertekan yang
disebut depresi, dan mood yang meningkat atau ekspansif yang disebut mania (manik). Baik
mood yang menurun atau terdepresi dan mood yang meningkat bersifat graduil , suatu
kontinuum dari keadaan normal ke bent6uk yang jelas-jelas patologik. Pada beberapa
individu gejala-gejalanya bisa disertai dengan ciri psikotik.
Gejala-gejala ringan dapat berupa peningkatan dari kesedihan atau elasi normal sedang
gejala-gejala berat dikaitkan dengan sindrom gangguan mood yang terluhat berbeda secara
kualitatif dari proses normal dan membutuhkan terapi spesifik.
Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang
manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders (DSM-IV) merupakan salah satu instrumen yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis depresi, selain PPDGJ-III (ICD-X) yang digunakan di RSJ-RSJ di
Indonesia. Bila manifestasi gejala depresi muncul dalam bentuk keluhan yang berkaitan
dengan mood (seperti murung, sedih, putus asa), diagnosis depresi dengan mudah dapat
ditegakkan. Tapi bila gejala depresi muncul dalam keluhan psikomotor atau somatik seperti
malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati, sakit kepala terus menerus, adanya gejala depresi
yang melatarbelakangi sering tidak terdiagtnosis. Ada masalah yang juga dapat menutupi
diagnosis depresi, misalnya individu penyalahguna alkohol atau napza untuk mengatasi
depresi, atau depresi muncul dalam bentuk gangguan perilaku.
Gangguan depresi sering dijumpai. Prevalensi selama kehidupan pada wanita 10%-25%
dan pada laki-laki 5%-12%. Walaupun depresi lebih sering pada wanita, bunuh diri lebih
sering pada laki-laki terutama usia muda dan tua.
Penyebab depresi dan mania secara pasti belum diketahui. Faktor-faktor yang diduga
berperan pada terjadinya gangguan mood ini, yaitu peristiwa-peristiwa kehidupan yang
berakibat stressor (problem keuangan, perkawinan, pekerjaan, dll), faktor kepribadian,
genetik, dan biologik lain seperti ganggtuan hormon, keseimbangan neurotransmiter,
biogenik amin, dan imunologik.
1
Klasifikasi
Gangguan mood berbeda dalam hal manifestasi klinik, perjalanan penyakit, genetik, dan
respons pengobatan. Kondisi ini dibedakan satu sama lain berdasarkan: (1) ada tidaknya
mania (bipolar atau unipolar); (b) berat ringannya penyakit (mayor atau minor); (c) kondisi
medik atau psikiatrik lain sebagai penyebab gangguan. Maka diklasifikasikan sebagai
berikut:
Klasifikasi menurut DSM IV membedakan gangguan mood menjadi dua kelompok
besar, yaitu gangguan depresif berat dan gangguan bipolar. Disini kami akan membahas
mengenai gangguan depresi.
GANGGUAN DEPRESIF BERAT
Beberapa gejala Gangguan Depresi adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan
setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan
gangguan pola tidur. Depresi merupakan salah satu penyebab utama kejadian bunuh diri.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual IV - Text Revision (DSM IV-TR) (American
Psychiatric Association, 2000), seseorang menderita gangguan depresi jika: A. Lima (atau
lebih) gejala di bawah telah ada selama periode dua minggu dan merupakan perubahan dari
keadaan biasa seseorang; sekurangnya salah satu gejala harus (1) emosi depresi atau (2)
kehilangan minat atau kemampuan menikmati sesuatu.
1. Keadaan emosi depresi/tertekan sebagian besar waktu dalam satu hari, hampir setiap
hari, yang ditandai oleh laporan subjektif (misal: rasa sedih atau hampa) atau
pengamatan orang lain (misal: terlihat seperti ingin menangis).
2. Kehilangan minat atau rasa nikmat terhadap semua, atau hampir semua kegiatan
sebagian besar waktu dalam satu hari, hampir setiap hari (ditandai oleh laporan
subjektif atau pengamatan orang lain)
3. Hilangnya berat badan yang signifikan saat tidak melakukan diet atau bertambahnya
berat badan secara signifikan (misal: perubahan berat badan lebih dari 5% berat badan
sebelumnya dalam satu bulan)
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5. Kegelisahan atau kelambatan psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh orang
lain, bukan hanya perasaan subjektif akan kegelisahan atau merasa lambat)
6. Perasaan lelah atau kehilangan kekuatan hampir setiap hari
7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak wajar (bisa
merupakan delusi) hampir setiap hari
2
8. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau sulit membuat
keputusan, hampir setiap hari (ditandai oleh laporan subjektif atau pengamatan orang
lain)
9. Berulang-kali muncul pikiran akan kematian (bukan hanya takut mati), berulang-kali
muncul pikiran untuk bunuh diri tanpa rencana yang jelas, atau usaha bunuh diri atau
rencana yang spesifik untuk mengakhiri nyawa sendiri
Gejala-gejala tersebut juga harus menyebabkan gangguan jiwa yang cukup besar dan
signifikan sehingga menyebabkan gangguan nyata dalam kehidupan sosial, pekerjaan atau
area penting dalam kehidupan seseorang.
Cara menanggulangi depresi berbeda-beda sesuai dengan keadaan pasien, namun
biasanya merupakan gabungan dari farmakoterapi dan psikoterapi atau konseling. Dukungan
dari orang-orang terdekat serta dukungan spiritual juga sangat membantu dalam
penyembuhan.
Menurut DSM IV Gangguan depresi terbagi dalam 3 kategori (Wenar & Kerig, 2000), yaitu:
1. Gangguan depresi berat (Mayor depressive disorder). Mensyaratkan kehadiran 5
atau lebih simptom depresi menurut kriteria DSM-IV selama 2 minggu. Kriteria
terebut adalah:
a. Suasana perasaan depresif hampir sepanjang hari yang diakui sendiri oleh
subjek ataupun observasi orang lain. Pada anak-anak dan remaja perilaku
yang biasa muncul adalah mudah terpancing amarahnya.
b. Kehilangan interes atau perasaan senang yang sangat signifikan dalam
menjalani sebagian besar aktivitas sehari-hari.
c. Berat badan turun secara siginifkan tanpa ada progran diet atau justru ada
kenaikan berat badan yang drastis.
d. Insomnia atau hipersomnia berkelanjutan.
e. Agitasi atau retadasi psikomotorik.
f. Letih atau kehilangan energi.
g. Perasaan tak berharga atau perasaan bersalah yang eksesif.
h. Kemampuan berpikir atau konsentrasi yang menurun.
i. Pikiran-pikiran mengenai mati, bunuh diri, atau usaha bunuh diri yang
muncul berulang kali.
j. Distres dan hendaya yang signifikan secara klinis.
k. Tidak berhubugan dengan belasungkawa karena kehilangan seseorang.
3
2. Gangguan distimik (Dysthymic disorder) Suatu bentuk depresi yang lebih kronis
tanpa ada bukti suatu episode depresi berat. Dahulu disebut depresi neurosis.
Kriteria DSM-IV untuk gangguan distimik:
a. Perasaan depresi seama beberapa hari, paling sedikit selama 2 tahun (atau 1
tahun pada anak-anak dan remaja)
b. Selama depresi, paling tidak ada dua hal berikut yang hadir: tidak nafsu
makan atau makan berlebihan, insomnia atau hipersomnia, lemah atau
keletihan, self esteem rendah, daya konsentrasi rendah, atau sulit membuat
keputusan, perasaan putus asa.
c. Selama 2 tahun atau lebih mengalami gangguan, orang itu tanpa gejala-gejala
selama 2 bulan.
d. Tidak ada episode manik yang terjadi dan kriteria gangguan siklotimia tidak
ditemukan.
e. Gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh efek psikologis langsung darib
kondisi obat atau medis.
f. Signifikansi klinis distress (hendaya) atau ketidaksempurnaan dalam fungsi.
3. Gangguan afektif bipolar atau siklotimik (Bipolar affective illness or cyclothymic
disorder). Kriteria menurut DSM-IV:
a. Kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) sebuah sebuah
episode depresi berat atau lebih.
b. Kemunculan (atau memiliki riwayat pernah mengalami) paling tidak satu
episode hipomania.
c. Tidak ada riwayat episode manik penuh atau episode campuran.
d. Gejala-gejala suasan perasaan bukan karena skizofrenia atau menjadi gejala
yang menutupi gangguan lain seprti skizofrenia.
e. Gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh efek-efek fisiologis dari substansi
tertentu atau kondisi medis secara umum.
f. Distres atau hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis.
4
Klasifikasi Gangguan suasana Perasaan (Mood /AFEKTIF) berdasarkan PPDGJ - III
1. Episode Manik
a. Hipomania
b. Mania tanpa gejala psikotik
c. Mania dengan gejala psikotik
d. Episode manik lainnya
e. Episode manik YTT
2. Gangguan afektif bipolar
a. Gangguan afektif bipolar,episode kini hipomania
b. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan tanpa psikotik
c. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
d. Gangguan afektif bipolar,episode kini depresif ringan atau sedang
i. Tanpa gejala somatik
ii. Dengan gejala somatik
e. Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala psikotik
f. Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala psikotik
g. Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
h. Gangguan afektif bipolar,kini dalam remisi
i. Gangguan afektif bipolar lainnya
j. Gangguan afektif bipolar YTT
3. Episode Depresif
a. Episode depresif ringan
i. Tanpa gejala somatik
ii. Dengan gejala somatik
b. Episode depresif sedang
i. Tanpa gejala somatik
ii. Dengan gejala somatik
c. Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
d. Episode depresif berat dengan gejala psikotik
e. Episode depresif lainnyaepisode depresif YTT
4. Gangguan depresif berulang
a. Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
i. Tanpa gejala somatik
ii. Dengan gejala somatik
5
b. Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
i. Tanpa gejala somatik
ii. Dengan gejala somatik
c. Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik
d. Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala psikotik
e. Ganguan depresif berulang, kini dalam remisi
f. Gangguan depresif berulang lainnya
g. Gangguan depresif berulang YTT
5. Gangguan suasana perasaan mood/afektif menetap
a. Siklotimia
b. Distimia
c. Gangguan suasana perasaan menetap lainnya
d. Gangguan suasana perasaan menetap YTT
6. Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) lainnya
a. Gangguan suasana perasaan tunggal lainnya
i. Episode afektif campuran
b. Gangguan suasana perasaan berulang lainnya
i. Gangguan depresif singkat berulang
c. Gangguan suasana perasaan lainnya YTD
7. Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) YTT
6
EPISODE DEPRESI
PENDAHULUAN
Depresi bisa berdiri sendiri maupun bersamaan dengan penyakit organik. Depresi
akan sulit di diagnosis jika depresi ditemukan bersamaan dengan penyakit lain.
Banyak gangguan medis dan neurologis serta agen farmakologis dapat menghasilkan
gejala depresi. Biasanya pasien datang dengan gangguan depresi pertama kali pergi ke dokter
umum dengan keluhan somatik, mereka mengeluh gangguan sistem endokrin, gangguan
infeksi dan peradangan, serta penyakit medis lain seperti kanker dan penyakit
kardiopulmonal.
Baik depresi yang berdiri sendiri maupun yang bersamaan dengan penyakit lain harus
diobati dengan sungguh-sungguh, karena depresi dapat mempengaruhi dan memperburuk
penyakit organik yang sudah ada.
Pemilihan obat anti depresan yang tepat sangat diperlukan agar mendapatkan efek terapi yang
optimal dan menghindari efek samping yang mungkin timbul.
DEFINISI
Gangguan depresif merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dengan gejala penyerta termasuk perubahan pola
tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, tak
berdaya dan gagasan bunuh diri.
Depresi adalah penyakit yang menyerang "keseluruhan hidup seseorang", meliputi
seluruh tubuh, suasana perasaan dan pikiran. ia juga mempengaruhi pola makan dan tidur.
Gangguan ini tidak sama dengan seorang yang dalam keadaan kelelahan atau malas. Seorang
yang mengalami gangguan depresi tidak dapat "menguasai diri" dan keadaaannya untuk dapat
kembali pada keadaannya seperti semula. Tanpa penanganan yang baik maka gejala-gejala
tersebut mengakibatkan terganggunya fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya
dari seseorang dan gejala tersebut berlangsungnya jadi lebih lama. Penatalaksanaan yang
sesuai dapat menolong seseorang yang mengalami depresi untuk cepat kembali seperti
semula lebih baik. Definisi gangguan depresi adalah gangguan mental yang dikarakteristikan
dengan rasa sedih yang dalam dan berkepanjangan. Penderita hilang minat (interest) pada
sesuatu yang sebelumnya menyenangkan baginya. Biasanya disertai dengan perubahan-
perubahan lain pada dirinya misalnya berkurangnya energi, mudah lelah dan berkurangnya
aktivitas, konsentrasi dan perhatian yang berkurang, harga diri dan kepercayaan diri yang
7
berkurang, rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan
pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, dan
nafsu makan berkurang.
EPIDEMIOLOGI
Gangguan depresi berat adalah suatu gangguan yang sering terjadi, dengan prevalensi
seumur hidup kira-kira 15 % dan kemungkinan sekitar 25 % terjadi pada wanita.
Terlepas dari kultur atau negara, prevalensi gangguan depresi berat dua kali lebih
besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Rata-rata usia onset untuk gangguan depresi berat
kira-kira 40 tahun, 50 % dari semua pasien mempunyai onset antara 20 dan 50 tahun.
Beberapa data epidemiologi baru-baru ini menyatakan bahwa insidensi gangguan
depresi berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia kurang dari 20 tahun. Jika
pengamatan tersebut benar, mungkin berhubungan dengan meningkatnya penggunaan
alkohol dan zat-zat lain pada kelompok usia tersebut.
Pada umumnya gangguan depresi berat terjadi paling sering pada orang tua yang tidak
memiliki hubungan interpersonal yang erat atau berpisah.
ETIOLOGI
Dasar umum untuk gangguan depresi berat tidak diketahui, tetapi diduga faktor-faktor
dibawah ini berperan :
Faktor Biologis
Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan depresi
berat adalah berhubungan dengan disregulasi pada amin biogenik (norepineprin dan
serotonin). Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi dan pada beberapa pasien yang
bunuh diri memiliki konsentrasi metabolik serotonin di dalam cairan serebrospinal yang
rendah serta konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit.
Faktor neurokimiawi lain seperti adenylate cyclase, phospotidylinositol dan regulasi kalsium
mungkin juga memiliki relevansi penyebab. Kelainan pada neuroendokrin utama yang
menarik perhatian dalam adalah sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan.
Neuroendokrin yang lain yakni penurunan sekresi nokturnal melantonin, penurunan
pelepasan prolaktin karena pemberian tryptopan, penurunan kadar dasar folikel stimulating
hormon (FSH), luteinizing hormon (LH) dan penurunan kadar testoteron pada laki-laki.
8
Faktor Genetika
Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita
gangguan depresi berat kemungkinan 1,5 sampai 2,5 kali lebih besar daripada sanak saudara
derajat pertama subyek kontrol untuk penderita gangguan.
Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan angka kesesuaian pada kembar
monozigotik adalah kira-kira 50 %, sedangkan pada kembar dizigotik mencapai 10 sampai 25
%.
Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu pengamatan klinis yang telah lama
direplikasi bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului
episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya, hubungan tersebut telah
dilaporkan untuk pasien dengan gangguan depresi berat.
Data yang paling mendukung menyatakan bahwa peristiwa kehidupan paling
berhubungan dengan perkembangan depresi selanjutnya adalah kehilangan orang tua sebelum
usia 11 tahun. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset satu episode
depresi adalah kehilangan pasangan.
Beberapa artikel teoritik dan dari banyak laporan, mempermasalahkan hubungan fungsi
keluarga dan onset dalam perjalanan gangguan depresi berat. Selain itu, derajat psikopatologi
didalam keluarga mungkin mempengaruhi kecepatan pemulihan, kembalinya gejala dan
penyesuaian pasca pemulihan.
PATOFISIOLOGI
Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter aminergik.
Neurotransmiter yang paling banyak diteliti ialah serotonin. Konduksi impuls dapat
terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di celah sinaps atau
adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter tersebut di post sinaps sistem
saraf pusat.
Pada depresi telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin yaitu reseptor
5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang terlibat dalam mekanisme biokimiawi
depresi dan memberikan respon pada semua golongan anti depresan.
Pada penelitian dibuktikan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena menurunnya
pelepasan dan transmisi serotonin (menurunnya kemampuan neurotransmisi serotogenik).
Beberapa peneliti menemukan bahwa selain serotonin terdapat pula sejumlah
neurotransmiter lain yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin, asetilkolin dan
9
dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu atau beberapa
neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama pada sistem limbik. Oleh
karena itu teori biokimia depresi dapat diterangkan sebagai berikut:
1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya kemampuan
neurotransmisi serotogenik.
2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi aktivitas
norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor presinaptik.
3. Menurunnya aktivitas dopamin.
4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.
Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya neurotransmisi
akibat kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung oleh bukti-bukti klinis yang
menunjukkan adanya perbaikan depresi pada pemberian obat-obat golongan SSRI (Selective
Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan trisiklik yang menghambat re-uptake dari neurotransmiter
atau pemberian obat MAOI (Mono Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme
neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase.
Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang menyebutkan
bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas neurotransmisi serotogenik
yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau kelebihan serotonin semata.
Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan gangguan pada sistem serotonergik, jadi
depresi timbul karena dijumpai gangguan pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis
yang belakangan ini dibuktikan dengan pemberian anti depresan golongan SSRE (Selective
Serotonin Re-uptake Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan
menghambat. Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat dan sistem
neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki gejala-gejala depresi.
Mekanisme biokimiawi yang sudah diketahui tersebut menjadi dasar penggunaan dan
pengembangan obat-obat anti depresan.
GAMBARAN KLINIS
Suatu mood depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta berkurangnya energi
yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit
saja) dan menurunnya aktivitas merupakan tiga gejala utama depresi.
Gejala lainnya dapat berupa :
a) Konsentrasi dan perhatian berkurang
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
10
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan berkurang.
Gejala-gejala diatas dialami oleh pasien hampir setiap hari dan di nilai berdasarkan ungkapan
pribadi atau hasil pengamatan orang lain misalnya keluarga pasien.
DIAGNOSIS
Dalam klasifikasi Pedoman Diagnosis Gangguan Jiwa-III terbitan Departemen
Kesehatan, yang menganut klasifikasi WHO : ICD-X, digunakan istilah gangguan jiwa dan
tidak ada istilah penyakit jiwa. Pendekatan gangguan jiwa adalah pendekatan sindrom atau
kumpulan gejala, dalam hal ini sindroma atau pola perilaku, atau psikologik seseorang yang
secara klinik cukup bermakna dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala
penderitaan atau hendaya di dalam satu atau lebih fungsi penting dari manusia. Pemahaman
diatas memberi gambaran bahwa untuk membuat diagnosis gangguan jiwa perlu didapatkan
butir-butir :
1. Adanya gejala klinis yang bermakna berupa sindrom atau pola perilaku, sindrom atau
pola psikologik
2. Gejala klinis tersebut menimbulkan penderitaan, seperti rasa nyeri, tidak nyaman,
gangguan fungsi organ dsb.
3. Gejala klinis menimbulkan disabilitas dalam aktivitas sehari-hari seperti mengurus
diri (mandi, berpakaian, makan dsb).
Mengumpulkan gambaran klinis menuju diagnosis untuk mendapatkan terapi setiap
gangguan emosi termasuk gangguan depresif, maka langkah pertama yang harus ditempuh
adalah menghubungi dokter, psikiater dan psikolog klinis yang tersebar di puskesmas, rumah-
rumah sakit yang mempunyai bagian psikiatri, atau rumah sakit jiwa.
Para profesional dalam bidang kesehatan jiwa akan memulai evaluasi keadaan
kesehatan melalui wawancara terstruktur. Departemen Kesehatan cq Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik telah menerbitkan Modul Anxietas dan Gangguan depresif bagi Dokter,
dimana di dalamnya terdapat algoritma MINI (Mini International Neuropsychiatric
Interview). MINI merupakan alat diagnostik untuk mengenali gangguan jiwa secara cepat
setelah suatu pelatihan. Alat ini berupa rangkaian pertanyaan yang diajukan melalui
wawancara, yang harus dijawab penderita dengan ya atau tidak. Mini Gangguan depresif
11
dibuat oleh Lecrubier dan Sheehan (1998) dan dialih bahasakan oleh Yayasan Depresi
Indonesia bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik (2002) MINI terlampir
dalam buku ini. Dengan alat wawancara ini kita dapat mengenal berbagai jenis gangguan
depresif. Uraian riwayat sakit fisik dan jiwa, riwayat keluarga, obat yang pernah diberikan
terapis sebelumnya serta gangguan di masa lalu perlu diambil dalam memahami terjadinya
gangguan depresif dalam diri individu untuk penanganan selanjutnya. Riwayat penggunaan
obat antidepresan atau obat lainnya perlu diperoleh, guna membantu menentukan obat dan
efektivitas obat yang dipilih. Berikut ini klasifikasi gangguan depresif menurut Pedoman
Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa-III (PPDGJ-III, Departemen Kesehatan) :
PEDOMAN DIAGNOSTIK (PPDGJ-III)
F.32 Episode depresif
Gejala utama pada gangguan depresif ringan, sedang dan berat :
afek depresi
kehilangan minat dan kegembiraan
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas
Gejala lainnya : konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri
berkurang, pikiran rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan
pesimistik, pikiran atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu
dan nafsu makan terganggu.
F.32.0 Episode depresi ringan
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama gangguan depresif seperti
tersebut di atas
Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari 3 gejala lainnya (a) sampai (g)
Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang dilakukannya
F.32.1 Episode depresi sedang
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama gangguan depresif seperti
tersebut diatas
Ditambah sekurang-kurangnya 3 gejala lainnya (a) sampai (g)
12
Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya
Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
Menghadapi kesulitan nyata dalam meneruskan kegiatan dan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga
F.32.2 Episode depresi berat tanpa gejala psikotik
Semua 3 gejala utama gangguan depresif harus ada
Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus
berintensitas berat
Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikometer) yang mencolok,
maka penderita mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak
gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap
episode gangguan depresif berat masih dapat dibenarkan
Episode depresi biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan
tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu
Sangat tidak mungkin penderita akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
atau rumah tangga kecuali pada tarif yang sangat terbatas.
F32.3 Episode depresi berat dengan gejala psikotik
Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut diatas Disertai
waham, halusinasi atau stupor. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa,
kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan penderita merasa bertanggung
jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi
psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor
Jika diperlukan, waham atau halusisnasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak
serasi dengan afek (mood congruent)
13
F 32.8 Episode Depresif Lainnya
F 32.9 Episode Depresif YTT
F 33. Gangguan Depresif Berulang
Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari : episode depresi ringan (F32.0),
episode depresi sedang (F32.1) dan episode depresi berat (F32.3).
Episode masing-masing rata-rata lamanya sekitar 6 bulan. Akan tetapi frekuensinya
lebih jarang dibandingkan dengan gangguan bipolar.Tanpa riwayat adanya episode tersendiri
dari peninggian afek dan hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania (F30.1 dan F30.2).
Namun kategori ini tetap harus digunakan jika ternyata ada episode singkat dari peninggian
afek dan hiperaktiviats ringan yang memenuhi kriteria hipomania (F30.0), segera sesudah
suatu episode depresif (kadang-kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan
depresi). Pemulihan keadaan biasanya sempurna di antara episode, namun sebagian kecil
pasien mungkn mendapat depresi yang akhirnya menetap, teruatam pada usia lanjut (untuk
keadaan ini, kategori ini harus tetap digunakan).
Episode masing-masing, dalam berbagai tingkat keparahan seringkali dicetuskan oleh
perisitiwa kehidupan yang penuh stres atau trauma mental lain (adanya stres tidak essensial
untuk penegakan diagnosis).
Diagnosis banding : Episode depresif singkat berulang (F38.1)
F33.0 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Ringan
Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33) harus dipenuhi, dan episode
sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif ringan (F32) dan
Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal
dua minggu dengan selang waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang
bermakna
F33.1 Gangguan Depresif Berulang Episode Kini Sedang
Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33) harus dipenuhi, dan episode
sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif sedang (F32.1) dan
Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal
dua minggu dengan selang waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang
bermakna
F33.2 Gangguan Depresif Berulang Episode Kini Berat Tanpa Gejala Psikotik
14
Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33) harus dipenuhi, dan episode
sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat tanpa gejala psikotik
(F32.2) dan
Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal
dua minggu dengan selang waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang
bermakna
F33.3 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat Dengan Gejala Psikotik
Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33) harus dipenuhi, dan episode
sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat dengan gejala psikotik
(F32.3) dan
Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal
dua minggu dengan selang waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang
bermakna
F33.4 Gangguan Depresif Berulang Kini Dalam Remisi
Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33) harus pernah dipenuhi di masa
lampau, tetapi keadaan sekarang seharusnya tidak memenuhi kriteria untuk episode
depresif dengan derajat keparahan apapun atau gangguan lain apapun (F30-F39)
Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama minimal
dua minggu dengan selang waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif yang
bermakna
F33.8 Gangguan Depresif Berulang Lainnya
F33.9 Gangguan Depresif Berulang YTT
15
PENATALAKSANAAN
Bila diagnosa depresi sudah dibuat, maka perlu dinilai taraf hebatnya gejala depresi
dan besarnya kemungkinan bunuh diri. Hal ini ditanyakan dengan bijkasana dan penderita
sering merasa lega bila ia dapat mengeluarkan pikiran-pikiran bunuh diri kepada orang yang
memahami masalahnya, tetapi pada beberapa penderita ada yang tidak memberitahukan
keinginan bunuh dirinya kepada pemeriksa karena takut di cegah. Bila sering terdapat
pikiran-pikiran atau rancangan bunuh diri, maka sebaiknya penderita dirawat di rumah sakit
dengan pemberian terapi elektrokonvulsi di samping psikoterapi dan obat anti depresan.
Sebagian besar klinisi dan peneliti percaya bahwa kombinasi psikoterapi dan
farmakoterapi adalah pengobatan yang paling efektif untuk gangguan depresi berat. Tiga
jenis psikoterapi jangka pendek yaitu terapi kognitif, terapi interpersonal dan terapi perilaku,
telah diteliti tentang manfaatnya di dalam pengobatan gangguan depresi berat.
Terapi Fisik dan Terapi Perubahan Perilaku
Electro Convulsive Therapy (ECT)
ECT adalah terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak. Metode terapi semacam ini
sering digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko bunuh diri yang besar dan
respon terapi dengan obat antidepresan kurang baik. Pada penderita dengan risiko bunuh diri,
ECT menjadi sangat penting karena ECT akan menurunkan risiko bunuh diri dan dengan
ECT lama rawat di rumah sakit menjadi lebih pendek.
Pada keadaan tertentu tidak dianjurkan ECT, bahkan pada beberapa kondisi tindakan
ECT merupakan kontra indikasi. ECT tidak dianjurkan pada keadaan:
Usia yang masih terlalu muda ( kurang dari 15 tahun )
Masih sekolah atau kuliah
Mempunyai riwayat kejang
Psikosis kronik
Kondisi fisik kurang baik
Wanita hamil dan menyusui
Selain itu, ECT dikontraindikasikan pada : penderita yang menderita epilepsi, TBC
milier, tekanan tinggi intra kracial dan kelainan infark jantung. Depresif berisiko kambuh
manakala penderita tidak patuh, ketidaktahuan, pengaruh tradisi yang tidak percaya dokter,
dan tidak nyaman dengan efek samping obat. Terapi ECT dapat menjadi pilihan yang paling
efektif dan efek samping kecil. Terapi perubahan perilaku meliputi penghapusan perilaku
yang mendorong terjadinya depresi dan pembiasaan perilaku baru yang lebih sehat. Berbagai
16
metode dapat dilakukan seperti CBT (Cognitive Behaviour Therapy) yang biasanya
dilakukan oleh konselor, psikolog dan psikiater.
Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi
keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku
maladaptif. Terapi dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan profesional antar terapis
dengan penderita. Psikoterapi pada penderita gangguan depresif dapat diberikan secara
individu, kelompok, atau pasangan disesuaikan dengan gangguan psikologik yang
mendasarinya. Psikoterapi dilakukan dengan memberikan kehangatan, empati, pengertian dan
optimisme. Dalam pengambilan keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi
oleh penilaian dari dokter atau penderitanya.
Terapi Farmakologi
Saat merencanakan intervensi pengobatan, penting untuk menekankan kepada penderita
bahwa ada beberapa fase pengobatan sesuai dengan perjalanan gangguan depresif:
Fase akut bertujuan untuk meredakan gejala
Fase kelanjutan untuk mencegah relaps
Fase pemeliharaan/rumatan untuk mencegah rekuren
Penggolongan Antidepresan
1. Antidepresan Klasik (Trisiklik & Tetrasiklik)
Mekanisme kerja : Obat–obat ini menghambat resorpsi dari serotonin dan
noradrenalin dari sela sinaps di ujung-ujung saraf.
Efek samping :
Efek jantung ; dapat menimbulkan gangguan penerusan impuls jantung
dengan perubahan ECG, pada overdosis dapat terjadi aritmia berbahaya.
Efek anti kolinergik ; akibat blokade reseptor muskarin dengan menimbulkan
antara lain mulut kering, obstipasi, retensi urin, tachycardia, serta gangguan
potensi dan akomodasi, keringat berlebihan.
Sedasi
Hipotensi ortostatis dan pusing serta mudah jatuh merupakan akibat efek
antinoradrenalin, hal ini sering terjadi pada penderita lansia, mengakibatkan
gangguan fungsi seksual.
17
Efek antiserotonin; akibat blokade reseptor 5HT postsinaptis dengan
bertambahnya nafsu makan dan berat badan.
Kelainan darah; seperti agranulactose dan leucopenia, gangguan kulit
Gejala penarikan; pada penghentian terapi dengan mendadak dapat timbul
antara lain gangguan lambung-usus, agitasi, sukar tidur, serta nyeri kepala dan
otot.
Obat-obat yang termasuk antidepresan klasik :
a) Imipramin
Dosis lazim : 25-50 mg 3x sehari bila perlu dinaikkan sampai maksimum 250-300
mg sehari.
Kontra Indikasi : Infark miokard akut
Interaksi Obat : anti hipertensi, obat simpatomimetik, alkohol, obat penekan SSP
Perhatian : kombinasi dengan MAO, gangguan kardiovaskular, hipotensi,
gangguan untuk mengemudi, ibu hamil dan menyusui.
b) Klomipramin
Dosis lazim : 10 mg dapat ditingkatkan sampai dengan maksimum dosis 250 mg
sehari.
Kontra Indikasi : Infark miokard, pemberian bersamaan dengan MAO, gagal
jantung, kerusakan hati yang berat, glaukoma sudut sempit.
Interaksi Obat : dapat menurunkan efek antihipertensi penghambat neuro
adrenergik, dapat meningkatkan efek kardiovaskular dari noradrenalin atau
adrenalin, meningkatkan aktivitas dari obat penekan SSP, alkohol.
Perhatian : terapi bersama dengan preparat tiroid, konstipasi kronik, kombinasi
dengan beberapa obat antihipertensi, simpatomimetik, penekan SSP, anti
kolinergik, penghambat reseptor serotonin selektif, antikoagulan, simetidin.
Monitoring hitung darah dan fungsi hati, gangguan untuk mengemudi.
c) Amitriptilin
Dosis lazim : 25 mg dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis maksimum 150-
300 mg sehari.
Kontra Indikasi : penderita koma, diskrasia darah, gangguan depresif sumsum
tulang, kerusakan hati, penggunaan bersama dengan MAO.
Interaksi Obat : bersama guanetidin meniadakan efek antihipertensi, bersama
depresan SSP seperti alkohol, barbiturate, hipnotik atau analgetik opiate
18
mempotensiasi efek gangguan depresif SSP termasuk gangguan depresif saluran
napas, bersama reserpin meniadakan efek antihipertensi
Perhatian : ganguan kardiovaskular, kanker payudara, fungsi ginjal menurun,
glakuoma, kecenderungan untuk bunuh diri, kehamilan, menyusui, epilepsi.
d) Lithium karbonat
Dosis lazim : 400-1200 mg dosis tunggal pada pagi hari atau sebelum tidur
malam.
Kontra Indikasi : kehamilan, laktasi, gagal ginjal, hati dan jantung.
Interaksi Obat : diuretik, steroid, psikotropik, AINS, diazepam, metildopa,
tetrasiklin, fenitoin, carbamazepin, indometasin.
Perhatian : Monitor asupan diet dan cairan, penyakit infeksi, demam, influenza,
gastroentritis.
2. Antidepresan Generasi ke-2
Mekanisme kerja :
SSRI ( Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor ) : Obat-obat ini menghambat
resorpsi dari serotonin.
NaSA ( Noradrenalin and Serotonin Antidepressants ): Obat-obat ini tidak
berkhasiat selektif, menghambat re-uptake dari serotonin dan noradrenalin.
Terdapat beberapa indikasi bahwa obat-obat ini lebih efektif daripada SSRI.
Efek samping :
Efek seretogenik; berupa mual ,muntah, malaise umum, nyeri kepala,
gangguan tidur dan nervositas, agitasi atau kegelisahan yang sementara,
disfungsi seksual dengan ejakulasi dan orgasme terlambat.
Sindroma serotonin; berupa antara lain kegelisahan, demam, dan menggigil,
konvulsi, dan kekakuan hebat, tremor, diare, gangguan koordinasi.
Kebanyakan terjadi pada penggunaan kombinasi obat-obat generasi ke-2
bersama obat-obat klasik, MAO, litium atau triptofan, lazimnya dalam waktu
beberapa jam sampai 2- 3 minggu. Gejala ini dilawan dengan antagonis
serotonin (metisergida, propanolol).
Efek antikolinergik, antiadrenergik, dan efek jantung sangat kurang atau sama
sekali tidak ada.
Obat-obat yang termasuk antidepresan generasi ke-2 :
a) Fluoxetin
Dosis lazim : 20 mg sehari pada pagi hari, maksimum 80 mg/hari dalam dosis
19
tunggal atau terbagi.
Kontra Indikasi : hipersensitif terhadap fluoxetin, gagal ginjal yang berat,
penggunaan bersama MAO.
Interaksi Obat : MAO, Lithium, obat yang merangsang aktivitas SSP, anti
depresan, triptofan, karbamazepin, obat yang terkait dengan protein plasma.
Perhatian : penderita epilepsi yang terkendali, penderita kerusakan hati dan
ginjal, gagal jantung, jangan mengemudi / menjalankan mesin.
b) Sertralin
Dosis lazim : 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum 200 mg/hr.
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap sertralin.
Interaksi Obat : MAO, Alkohol, Lithium, obat seretogenik.
Perhatian : pada gangguan hati, terapi elektrokonvulsi, hamil, menyusui,
mengurangi kemampuan mengemudi dan mengoperasikan mesin.
c) Citalopram
Dosis lazim : 20 mg/hari, maksimum 60 mg /hari.
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap obat ini.
Interaksi Obat : MAO, sumatripan, simetidin.
Perhatian : kehamilan, menyusui, gangguan mania, kecenderungan bunuh diri.
d) Fluvoxamine
Dosis lazim : 50mg dapat diberikan 1x/hari sebaiknya pada malam hari,
maksimum dosis 300 mg.
Interaksi Obat : warfarin, fenitoin, teofilin, propanolol, litium.
Perhatian : Tidak untuk digunakan dalam 2 minggu penghentian terapi MAO,
insufiensi hati, tidak direkomendasikan untuk anak dan epilepsi, hamil dan laktasi.
e) Mianserin
Dosis lazim : 30-40 mg malam hari, dosis maksimum 90 mg/ hari
Kontra Indikasi : mania, gangguan fungsi hati.
Interaksi Obat : mempotensiasi aksi depresan SSP, tidak boleh diberikan dengan
atau dalam 2 minggu penghentian terapi.
Perhatian : dapat menganggu psikomotor selama hari pertama terapi, diabetes,
insufiensi hati, ginjal, jantung.
f) Mirtazapin
Dosis lazim : 15-45 mg / hari menjelang tidur.
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap mitrazapin.
20
Interaksi Obat : dapat memperkuat aksi pengurangan SSP dari alkohol,
memperkuat efek sedatif dari benzodiazepine, MAO.
Perhatian : pada epilepsi sindroma otak organic, insufiensi hati, ginjal, jantung,
tekanan darah rendah, penderita skizofrenia atau gangguan psikotik lain,
penghentian terapi secara mendadak, lansia, hamil, laktasi, mengganggu
kemampuan mengemudi atau menjalankan mesin.
g) Venlafaxine
Dosis lazim : 75 mg/hari bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 150-250 mg
1x/hari.
Kontra Indikasi : penggunaan bersama MAO, hamil dan laktasi, anak < 18
tahun.
Interaksi Obat : MAO, obat yang mengaktivasi SSP lain.
Perhatian : riwayat kejang dan penyalahgunaan obat, gangguan ginjal atau sirosis
hati, penyakit jantung tidak stabil, monitor tekanan darah jika penderita mendapat
3. Antidepresan MAO
Inhibitor Monoamin Oksidase (Monoamine Oxidase Inhibitor, MAOI)
Farmakologi
Monoamin oksidase merupakan suatu sistem enzim kompleks yang terdistribusi luas
dalam tubuh, berperan dalam dekomposisi amin biogenik, seperti norepinefrin,
epinefrin, dopamine, serotonin. MAOI menghambat sistem enzim ini, sehingga
menyebabkan peningkatan konsentrasi amin endogen.
Ada dua tipe MAO yang telah teridentifikasi, yaitu MAO-A dan MAO-B. Kedua
enzim ini memiliki substrat yang berbeda serta perbedaan dalam sensitivitas terhadap
inhibitor. MAO-A cenderungan memiliki aktivitas deaminasi epinefrin, norepinefrin,
dan serotonin, sedangkan MAO-B memetabolisme benzilamin dan fenetilamin.
Dopamin dan tiramin dimetabolisme oleh kedua isoenzim. Pada jaringan syaraf,
sistem enzim ini mengatur dekomposisi metabolik katekolamin dan serotonin. MAOI
hepatic menginaktivasi monoamin yang bersirkulasi atau yang masuk melalui saluran
cerna ke dalam sirkulasi portal (misalnya tiramin).
Semua MAOI nonselektif yang digunakan sebagai antidepresan merupakan inhibitor
ireversibel, sehingga dibutuhkan sampai 2 minggu untuk mengembalikan metabolism
amin normal setelah penghentian obat. Hasil studi juga mengindikasikan bahwa terapi
21
MAOI kronik menyebabkan penurunan jumlah reseptor (down regulation) adrenergic
dan serotoninergik.
Farmakokinetik
Absorpsi/distribusi – Informasi mengenai farmakokinetik MAOI terbatas. MAOI
tampaknya terabsorpsi baik setelah pemberian oral. Kadar puncak tranilsipromin dan
fenelzin mencapai kadar puncaknya masing-masing dalam 2 dan 3 jam. Tetapi,
inhibisi MAO maksimal terjadi dalam 5 sampai 10 hari.
Metabolisme/ekskresi – metabolisme MAOI dari kelompok hidrazin (fenelzin,
isokarboksazid) diperkirakan menghasilkan metabolit aktif. Inaktivasi terjadi terutama
melalui asetilasi. Efek klinik fenelzin dapat berlanjut sampai 2 minggu setelah
penghentian terapi. Setelah penghentian tranilsipromin, aktivitas MAO kembali dalam
3 sampai 5 hari (dapat sampai 10 Hari). Fenelzin dan isokarboksazid dieksresi melalui
urin sebagian besar dalam bentuk metabolitnya. Populasi khusus – “asetilator
lambat”: Asetilasi lambat dari MAOI hidrazin dapat memperhebat efek setelah
pemberian dosis standar
Indikasi
Depresi: Secara umum, MAOI diindikasikan pada penderita dengan depresi atipikal
(eksogen) dan pada beberapa penderita yang tidak berespon terhadap terapi
antidpresif lainnya. MAOI jarang dipakai sebagai obat pilihan.
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap senyawa ini; feokromositoma; gagal jantung kongestif; riwayat
penyakit liver atau fungsi liver abnormal; gangguan ginjal parah; gangguan
serebrovaskular; penyakit kardiovaskular; hipertensi; riwayat sakit kepala; pemberian
bersama dengan MAOI lainnya; senyawa yang terkait dibenzazepin termasuk
antidepresan trisiklik, karbamazepin, dan siklobenzaprin; bupropion; SRRI; buspiron;
simpatomimetik; meperidin; dekstrometorfan; senyawa anestetik; depresan SSP;
antihipertensif; kafein; keju atau makanan lain dengan kandungan tiramin tinggi.
Peringatan
Memburuknya gejala klinik serta risiko bunuh diri: Penderita dengan
gangguan depresif mayor, dewasa maupun anak-anak, dapat mengalami perburukan
depresinya dan/atau munculnya ide atau perilaku yang mengarah pada bunuh diri
(suicidality), atau perubahan perilaku yang tidak biasa, yang tidak berkaitan dengan
pemakaian antidepresan, dan risiko ini dapat bertahan sampai terjadinya pengurangan
22
jumlah obat secara signifikan. Ada kekhawatiran bahwa antidepresan berperan dalam
menginduksi memburuknya depresi dan kemunculan suicidality pada penderita
tertentu. Antidepresan meningkatkan risiko pemikiran dan perilaku yang mengarah
pada bunuh diri (suicidality) dalam studi jangka pendek pada anak-anak dan dewasa
yang menderita gangguan depresif mayor serta gangguan psikiatrik lainnya.
Krisis hipertensif: reaksi paling serius melibatkan perubahan tekanan darah;
tidak dianjurkan untuk menggunakan MAOI pada penderita lanjut usia atau
berkondisi lemah atau mengalami hipertensi, penyakit kardiovaskular atau
serebrovaskular, atau pemberian bersama obat-obatan atau makanan tertentu.
Karakteristik gejala krisis dapat berupa: sakit kepala pada daerah oksipital (belakang)
yang dapat menjalar ke daerah frontal (depan), palpitasi (tidak beraturannya pulsa
jantung), kekakuan/sakit leher, nausea, muntah, berkeringat (terkadang bersama
demam atau kulit yang dingin), dilatasi pupil, fotofobia. Takhikardia atau bradikardia
dapat terjadi dan dapat menyertai sakit dada. Pendarahan intrakranial (terkadang fatal)
telah dilaporkan berkaitan dengan peningkatan tekanan darah paradoks. Harus sering
diamati tekanan darah, tapi jangan bergantung sepenuhnya pada pembacaan tekanan
darah, melainkan penderita harus sering pula diamati. Bila krisis hipertensi terjadi,
hentikan segera penggunaan obat dan laksanakan terapi untuk menurunkan tekanan
darah.
Jangan menggunakan reserpin parenteral. Sakit kepala cenderung mereda
sejalan dengan menurunnya tekanan darah. Berikan senyawa pemblok alfa adrenergik
seperti fentolamin 5 mg i.v. perlahan untuk menghindari efek hipotensif berlebihan.
Tangani demam dengan pendinginan eksternal.
Peringatan kepada penderita: Peringatkan penderita agar tidak memakan
makanan yang kaya tiramin, dopamine, atau triptofan selama pemakaian dan dalam
waktu 2 minggu setelah penghentian MAOI. Setiap makanan kaya protein yang telah
disimpan lama untuk tujuan peningkatan aroma diduga dapat menyebabkan krisis
hipertensif pada penderita yang menggunakan MAOI. Juga peringatkan penderita
untuk tidak mengkonsumsi minuman beralkohol serta obat- obatan yang mengandung
amin simpatomimetik selama terapi dengan MAOI. Instruksikan kepada penderita
untuk tidak mengkonsumsi kafein dalam bentuk apapun secara berlebihan serta
malaporkan segera adanya sakit kepala atau gejala lainnya yang tidak biasa,
Risiko bunuh diri: Pada penderita yang mempunyai kecenderungan bunuh diri,
tidak ada satu bentuk penanganan pun, seperti MAOI, elektrokonvulsif, atau terapi
23
lainnya, yang dijadikan sandaran tunggal untuk terapi. Dianjurkan untuk melakukan
penanganan ketat, lebih baik dilakukan perawatan di rumah sakit.
Pemberian bersamaan antidepresan: Pada penderita yang menerima suatu
SRRI dalam kombinasi dengan MAOI, telah dilaporkan reaksi serius yang terkadang
fatal termasuk hipertermia, kekakuan, mioklonus, instabilitas otonom disertai
fluktuasi cepat pada tanda vital, dan perubahan status mental termasuk agitasi hebat,
yang meningkat menjadi delirium dan koma. Reaksi ini telah terjadi pada penderita
yang baru saja menghentikan SRRI dan baru mulai menggunakan MAOI. Bila terjadi
pengalihan dari SRRI ke MAOI, maka harus ada selang 2 minggu diantara pergantian.
Setelah penghentian fluoxetin, maka harus ada selang 1 atau 2 minggu
sebelum mulai menggunakan MAOI. Jangan memberikan MAOI bersama atau segera
setelah antidepresan trisiklik. Kombinasi ini menyebabkan seizure, koma,
hipereksitabilitas, hipertermia, takhikardia, takhipnea, sakit kepala, midriasis,
kemerahan kulit, kebingungan, koagulasi intravaskular meluas, dan kematian. Beri
selang paling tidak 14 hari diantara penghentian MAOI dan mulainya antidepresan
trisiklik.
Pemutusan obat: Pemutusan obat dapat menyebabkan nausea, muntah, dan
kelemahan. Suatu sindrom putus obat setelah pemutusan mendadak jarang terjadi.
Tanda dan gejala penghentian dapat bervariasi mulai dari mimpi buruk dengan agitasi
sampai psikosis yang jelas dan konvulsi. Sindrom ini umumnya dapat mereda dengan
PROGNOSIS
Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan. Keadaan ini
cenderung merupakan gangguan yang kronis dan pasien cenderung mengalami relaps. Pasien
yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif memiliki
kemungkinan 50 % untuk pulih di dalam tahun pertama.
Rekurensi episode depresi berat juga sering, kira-kira 30 sampai 50 % dalam dua
tahun pertama dan kira-kira 50 sampai 70 % dalam 5 tahun. Insidensi relaps adalah jauh lebih
rendah dari pada angka tersebut pada pasien yang meneruskan terapi psikofarmakologis
profilaksis dan pada pasien yang hanya mengalami satu atau dua episode depresi.
KESIMPULAN
24
Gangguan depresi berat merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
psikomotor, kemampuan kognitif, pembicaraan dan fungsi vegetatif.
Penyebab dari gangguan depresi terdiri dari faktor biologis, faktor genetika dan faktor
psikososial. Pada hipotesis timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa
neurotransmiter aminergik. Hipotesis tersebut menjadi dasar penggunaan dan pengembangan
obat-obat anti depresan.
Untuk menegakkan diagnosis gangguan depresi berat, PPDGJ III mensyarati harus
didapati tiga gejala utama gangguan depresi dan minimal empat gejala lainnya dan beberapa
di antaranya harus berintensitas berat.
Pada gangguan depresi yang sering terdapat pikiran-pikiran atau rancangan bunuh diri, maka
sebaiknya penderita dirawat di rumah sakit dengan pemberian terapi elektrokonvulsi di
samping psikoterapi dan obat anti depresan.
Pemberian anti depresan diberikan melalui tahapan-tahapan, yaitu dosis initial, titrasi,
stabilisasi, maintenance dan dosis tapering. Dimana dosis dan lama pemberiannya berbeda-
beda.
Kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi adalah pengobatan yang paling efektif untuk
gangguan depresi berat.
25
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan & Sadock: Sinopsis Psikiatri Jilid 1, Edisi 7, Penerbit Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997.
Maslim. R: Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, edisi 3, Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2002.
W.F . Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran jiwa, Universitas Airlangga, 1980
> KURANG DAPUS PPDGJ yaaaa..
26
top related