dari proses pembakaran batu bara dihasilkan dua jenis...
Post on 02-Mar-2019
214 Views
Preview:
TRANSCRIPT
FTIP001648/023
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Batu Bara
Batu bara adalah mineral organik yang terbentuk dari sisa tumbuhan
purba yang mengendap dan mengalami perubahan bentuk akibat proses fisika
dan kimia yang terjadi selama jutaan tahun. Proses perubahan sisa tumbuhan
purba yang mengendap menjadi batu bara disebut sebagai coalification (pembatu
baraan). Karena berasal dari sisa tumbuhan purba dan proses pembentukannya
memakan waktu jutaan tahun, maka batu bara masuk ke dalam kategori bahan
bakar fosil (Budiraharjo, 2009).
Menurut Budiraharjo (2009) perbedaan jenis batu bara disebabkan oleh:
1. Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda – beda sesuai dengan
jaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya.
2. Lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan.
3. Tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang
berlangsung kemudian.
Gambar 2.1 Proses pembentukan batu bara.(Sumber : Kuri-n ni Riyou Sareru Sekitan, 2004 dalam Budiraharjo, 2009)
FTIP001648/024
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
9
Dari proses pembakaran batu bara dihasilkan dua jenis limbah padat yang
dibedakan berdasarkan ukuran partikel dan massanya, yaitu bottom ash dan fly
ash. Bottom ash adalah sisa pembakaran batu bara yang memiliki massa yang
lebih berat dari fly ash sehingga menumpuk di bawah tungku pembakaran,
sementara itu fly ash adalah abu sisa pembakaran yang memiliki massa yang kecil
sehingga dapat terbang oleh tiupan angin atau hembusan udara tungku
pembakaran (Sondari dan Arifin, 2000 dalam Sondari, 2009).
Pada industri listrik biasanya digunakan tiga type pembakaran batu bara
yaitu dry bottom boilers, wet bottom boilers dan cyclon furnace. Type yang
paling umum untuk pembakaran batu bara adalah pembakaran dry bottom seperti
dapat dilihat pada Gambar 2. Pembakaran type dry bottom boiler meninggalkan
kurang lebih 80% fly ash dan masuk dalam corong gas. Pembakaran wet-bottom
boiler menghasilkan 50% abu pembakaran dan 50% lainnya masuk dalam corong
gas. Pada cyclon furnace, di mana potongan batu bara digunakan sebagai bahan
bakar, 70-80 % dari abu tertahan sebagai boiler slag dan hanya 20-30%
meninggalkan pembakaran sebagai dry ash pada corong gas.
Gambar 2.2 Type pembakaran dry bottom boiler dengan electrostatic precipitator.(Sumber : Wardani, 2008)
Fly Ash (Recovery or Disposal)
PowerPlant
Coal
CoalPolverizer
Heater Air Precipitator
Flame
AshHoppers
Bottom Ash (Recovery or Reuse)
ToStack
FTIP001648/025
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
10
2.1.1 Fly ashKomposisi mineral dan sifat kimia dari fly ash bergantung pada asal dan
komposisi jenis batu bara induk, kondisi selama pembakaran batu bara, efisiensi
jenis alat kontrol emisi, penyimpanan dan penanganan produk samping dan
kondisi iklim. Fly ash mengandung Fe, Ca, Al, Si, K dan Mg dalam persentase
yang tinggi dan Zn, B, Mn, dan Cu dengan persentase sedang, sedangkan N, P, S
dan unsur lainnya sangat kecil. Unsur-unsur tersebut terdapat dalam bentuk
silikat, oksida, sulfat dan karbonat (Thyvahary, 2004 dan Kishor, Ghosh and
Kumar, 2010). Konsentrasi semua elemen/unsur hara di dalam fly ash lebih tinggi
dibandingkan tanah kecuali nitrogen (N) (Sharma and Kalra, 2006).
Tabel 2.1 Karakteristik fisik fly ash.
Parameter Keterangan
Warna Abu-abu hingga hitam
Bentuk Bulat (Spherical)
Rapat Massa (g/cm3) 1 – 1,8
Gravitasi Spesifik (g/cm3) 1,90 – 2,55
Plastisitas Tidak plastis
Kandungan Air (%) 18 – 38
Kohesi (kg/m2) Tidak Berarti (Negligible)
Liat (%) 1 – 10
Debu (%) 8 – 85
Pasir (%) 7 – 90
kerikil (%) 0 – 10
Sumber : Kishor, Ghosh and Kumar (2010)
Menurut ASTM C618 fly ash dibagi menjadi dua kelas yaitu kelas F dan
kelas C, berdasarkan banyaknya calsium, silika, aluminium dan kadar besi,
dengan spesifikasi sebagai berikut (Wardani, 2008):
a. Fly ash kelas F: merupakan fly ash yang diproduksi dari pembakaran
batu bara anthracite atau bituminous, mempunyai sifat pozzolanic dan
FTIP001648/026
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
11
untuk mendapatkan sifat cementitious harus diberi penambahan quick
lime, hydrated lime, atau semen. Fly ash kelas F ini kadar kapurnya
rendah (CaO < 10%).
b. Fly ash kelas C: diproduksi dari pembakaran batu bara lignite atau
sub-bituminous selain mempunyai sifat pozolanic juga mempunyai
sifat self-cementing (kemampuan untuk mengeras dan menambah
kekuatan apabila bereaksi dengan air) dan sifat ini timbul tanpa
penambahan kapur. Biasanya mengandung kapur (CaO) > 20%.
Gambar 2.3 Abu terbang (fly ash).(Sumber : Wardani, 2008)
Keasaman (pH) fly ash bervariasi dari mulai 4,5 – 12 tergantung kepada
banyaknya kandungan sulphur di dalam batu bara induk (Plank and Martens, 1974
dalam Kishor, Ghosh and Kumar, 2010). Beberapa fly ash bersifat sangat asam
(pH 3 – 4) meskipun pada umumnya bersifat basa (pH 10 – 12). Secara fisika fly
ash batu bara tersusun dari partikel seukuran debu (silt) yang memiliki kapasitas
pengikatan air dari sedang sampai tinggi. Namun, meskipun demikian, sifat-sifat
pembentuk semen yang ada di dalamnya dapat menghambat perkembangan akar
tanaman (Muhammad, 2004 dalam Hadijah dan Damayanti, 2006). Penambahan
fly ash 30 gram/2,5 kg tanah dapat meningkatkan pH dari 5,02 (control) menjadi
6,62 dan bahkan lebih dari 7,49 pada pemberian 90 gram/2,5 kg tanah (Tsadilas et
al., 2002).
FTIP001648/027
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
12
Penggunaan fly ash diketahui dapat meningkatkan aktivitas respirasi dan
nitrifikasi dari beberapa organisme tanah. Jumlah bakteria, actinomycetes dan
jamur meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah fly ash yang diberikan.
Pemberian fly ash 100 ton/ha diketahui tidak memberikan dampak yang berarti
terhadap keberlangsungan aktivitas organisme di dalam tanah (Sharma dan Kalra,
2006).
Penggunaan fly ash dapat memperbaiki tekstur tanah kasar, meningkatkan
porositas tanah, daya ikat air, kapasitas air tersedia, laju infiltrasi dan drainase
secara keseluruhan. Penambahan fly ash sebesar 70 ton/ha dilaporkan dapat
mengubah tekstur tanah berpasir (sandy soil) dan tanah liat (clay soil) menjadi
tanah lempung (loamy soil) (Fail dan Wochock, 1977 dalam Thyvahary, 2004).
Pengaruh pemberian fly ash limbah batu bara terhadap sifat fisik tanah
diketahui dapat meningkatkan kestabilan tanah dalam menahan rainfall runoff,
dimana tanah yang diberi campuran fly ash limbah batu bara memiliki tingkat
sedimentasi yang rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Sondari, 2009).
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Adha (2009) pada tanah
gambut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kapasitas dukung tanah dari
tanah asli sebesar 85,67 ton/m2 dengan tanah campuran fly ash 15% dengan
pemeraman 14 hari sebesar 701,33 ton/m2. Penelitian di Australia menunjukkan
bahwa pemberian fly ash 100 ton/ha pada tanah pasir dapat menghemat
penggunaan 75% air (Smith, 2005).
Pemberian 10 ton/ha fly ash pada tanaman padi di India dapat
meningkatkan hasil gabah yang setara dengan 4.310 kg/ha atau 4,31 ton gabah per
ha, sementara perlakuan kontrol hanya menghasilkan 2,559 ton gabah per ha
(Mittra et al, 2003). Sementara itu, pemberian fly ash di sekitar tajuk tanaman
sebanyak 4 gram/m2/hari telah meningkatkan bobot kering serta hasil panen
tanaman jagung dan kedelai (Sharma and Kalra, 2006).
FTIP001648/028
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
13
Tabel 2.2 Hasil analisis komposisi kimia abu batu bara PLTU Asam-asam.
No. Parameter Satuan Abu batu bara Asam-asam
1. pH - 7,0
2. SiO2 % 59,3
3. Al2O3 % 19,40
4. Fe2O3 % 12,52
5. TiO2 % 0,98
6. CaO % 2,13
7. MgO % 2,50
8. K2O % tt
9. Na2O % 0,16
10. MnO % 0,19
11. SO3 % 0,53
12. P2O3 % 0,104
13. LOI % 1,30
14. Pb ppm 19
15. Cu ppm 298
16. Zn ppm 391
17. Cr ppm 224
18. As ppm 10
19. H2O % 0,033
Keterangan:
Contoh diperiksa dari bahan kering (105 – 110 °C) kecuali H2O- yang
ditentukan dari bahan asal.
tt : tidak terdeteksi
Sumber : Hadijah dan Damayanti (2006)
FTIP001648/029
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
14
2.1.2 Bottom ash
Bottom ash adalah aglomerasi partikel abu, terbentuk di dalam tungku batu
bara, yang ukuran partikelnya terlalu besar untuk terbuang bersama gas buang,
sehingga jetuh melalui dinding tungku atau jatuh melalui panggangan terbuka
menuju pengumpul abu di bagian bawah tungku. Secara fisik bottom ash memiliki
warna abu-abu sampai hitam, memiliki bentuk yang bersudut, dan memiliki
struktur permukaan berpori (U.S. Environmental Protection Agency (EPA),
2010).
Komponen utama dari bottom ash adalah oksida-oksida/mineral yang
mengandung silikon, alumunium, besi, kalsium, natrium dan magnesium
(Hartanto dan Widiastuti, 2009).
Sondari (2006) dalam Sondari (2009) menyatakan bahwa pemberian
bottom ash dan pupuk hijau dapat memperbaiki beberapa sifat fisika dan kimia
Typic Kanhapludults, serta pada tanah ultisols Kentrong Propinsi Banten
diketahui dapat meningkatkan hasil shorgum (hermada). Bottom ash diberikan
dengan cara dibuat menjadi bokashi. Dengan mengubah bottom ash menjadi
pupuk bokashi, logam berat yang terkandung dalamnya menjadi berkurang,
karena selama terjadi proses dekomposisi oleh EM4, senyawa-senyawa organik
yang diproduksi dapat mengkhelat logam berat.
2.2 Logam dan logam berat
Logam didefinisikan sebagai unsur yang memiliki karakteristik sebagai
berikut (Watts, 1998 dalam Notodarmojo, 2005):
menghantarkan listrik
mempunyai konduktivitas terhadap panas (termal) yang tinggi,
mempunyai densitas yang tinggi
mempunyai karakteristik malleability dan kelenturan
Menurut Schnoor (1996) dalam Notodarmojo (2005) logam berat ialah
logam yang terletak antara Skandium (Sc) dengan Polonium (Po) dalam deret
berkala unsur-unsur, walaupun logam yang terletak diluar itu seperti Alumunium,
FTIP001648/030
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
15
Arsen dan Selenium juga sering dimasukkan dalam kategori logam berat.
Sedangkan menurut Spellman (2003) logam berat ialah logam dengan densitas
lebih dari 5 kg/dm3. Logam berat termasuk ke dalam unsur trace element, yaitu
unsur yang keberadaannya di alam sangat sedikit, dimana dalam batas-batas
konsentrasi tertentu dapat mengganggu makhluk hidup (Adriano, 1986 dalam
Notodarmojo, 2005).
Secara umum, sumber keberadaan logam sebagai bahan pencemar berasal
dari dua sumber, pertama hasil pelapukan batuan induk (parent materials) yang
mengandung logam tersebut; kedua berasal dari aktivitas manusia
(anthropogenic) seperti pupuk, biosides, program reklamasi, buangan
pertambangan, industri, dan emisi kendaraan bermotor (Notodarmojo, 2005).
Tabel 2.3 Karakteristik beberapa jenis logam.
KarakteristikLogam
Cu As Pb
Volume Atom (cm3/mol) 7,10 13,10 18,30
Titik Didih (K) 2840 876 2023
Titik Lebur (K) 1356,6 1090 600,65
Massa Jenis (gram/cm3) 8,96 5,78 11,35
Kapasitas Panas (J/g K) 0,385 0,33 0,129
Potensial Ionisasi (Volt) 7,726 9,81 7,416
Konduktivitas Listrik (ohm-1cm-1) 60,7 x 106 3,8 x 106 4,8 x 106
Konduktivitas Kalor (W/m K) 401 50 35,3
Harga Entalpi Pembentukan (kJ/mol) 13,14 27,7 4,77
Harga Entalpi Penguapan (kJ/mol) 300,5 32,4 177,9
Sumber : Sunardi (2008) dengan penyesuaian format.
Timbal (Pb) termasuk kategori logam berat, karena memiliki densitas
11,35 gr/cm3 atau 11,35 kg/dm3 dan terletak antara Sc dan Po dengan valensi IV
A (Sunardi, 2006). Timbal sering disebut juga dengan timah hitam (Pb) atau Lead
dalam Bahasa Inggris. Timbal memiliki kelarutan yang rendah, sehingga
FTIP001648/031
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
16
kandungannya dalam air relatif sedikit, hal ini tergantung pada kesadahan, pH,
alkalinitas dan kadar oksigen yang mempengaruhi kadar dan toksisitas timbal.
Secara alami, jumlah timbal di dalam kerak bumi sekitar 15 mg/kg, yang berasal
dari galena (PbS), gelesite (PbSO4), dan cerrusite (PbCO3) (Novotny dan Olem,
1994; Moore, 1991 dalam Fardiaz, 2003). Timbal diserap oleh tumbuhan ketika
timbal terpisah dari mineral utama karena proses pelapukan. Di dalam tanah,
timbal cenderung terikat oleh bahan organik dan sering terkonsentrasi pada bagian
atas tanah karena menyatu dengan tumbuhan, ketika terjadi proses pelapukan
tumbuhan tersebut, timbal terakumulasi di dalamnya sebagai hasil pelapukan di
dalam lapisan humus (Herman, 2006). Timbal relatif larut dalam air dengan pH <
5 dimana air yang bersentuhan dengan timah hitam dalam suatu periode waktu
dapat mengandung > 1μg Pb/dm3 (Herman, 2006).
Tabel 2.4 Penyerapan logam oleh biji tanaman gandum padapemberian fly ash yang bervariasi.
Lokasi
Jumlah
pemberian
ton/ha
Konsentrasi, ppm
Zn Cu Fe Mn Cd
Gulawathi 0 38,4 5,7 762,3 15,8 ND
10 41,6 6,1 809,8 20,1 0,4
20 39,8 7,3 819,8 20,2 0,5
Muthiani 0 40,4 5,3 612,1 23,4 0,3
10 44,6 5,8 663,3 30,8 0,4
20 46,6 6,1 683,3 27,1 0,5
IARI Farm 0 31,4 5,2 620,9 16,9 0,6
10 34,3 4,8 634,6 18,0 0,9
20 38,2 5,3 631,5 22,0 1,1
Sumber : Sharma and Kalra (2006)
FTIP001648/032
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
17
Penyerapan logam berat (di antaranya Pb) oleh tanaman yang diberi fly
ash dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah kandungan logam di
dalam fly ash, jumlah pemberian fly ash, jenis tanah, pH tanah, jenis tanaman dan
lain-lain. Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh pada tanah yang diberi fly
ash. Konsentrasi elemen B meningkat secara signifikan terutama pada tanaman
legum, Se meningkat terutama pada tanaman rumput-rumputan, sementara Mo
meningkat hampir di semua jenis tanaman yang diberi fly ash. Trace elements
(Zn, Pb, Cu, Fe, Mn dan Cd) biasa dijadikan sebagai indikator pada tanaman yang
diberi pupuk fly ash. Pemberian fly ash di Singareni Thermal Power Plant
diketahui telah menyebabkan terjadinya pelindian (leaching) element logam oleh
air, terutama yang paling signifikan adalah elemen Ca, Na dan Hg, sedangkan
logam lain tidak dianggap signifikan (Sharma and Kalra, 2006).
Pada umumnya logam berat tidak dibutuhkan oleh hewan dan manusia dan
cenderung berdampak negatif secara fisiologis terhadap tubuh manusia dan
hewan, terutama organisme tingkat tinggi. Timbal memiliki efek racun terhadap
susunan syaraf pusat, terutama pada kanak-kanak (balita). Pada orang dewasa,
efek yang ditimbulkan oleh timbal antara lain menyebabkan tekanan darah tinggi,
penurunan hemoglobin, pusing dan pada dosis tinggi dapat menyebabkan
encelophaty (Sullivan dan Krieger, 1992 dalam Notodarmojo, 2005).
Konsentrasi Pb di dalam makanan sangat dibatasi. Menurut Widaningrum,
Miskiyah dan Suismono (2007), batas kandungan Pb yang diperbolehkan di dalam
makanan menurut Ditjen BPOM sebesar 2 ppm. Berdasarkan SNI 7387 (2009),
kandungan Pb yang diperbolehkan di dalam produk sayur dan buah sebesar 0,5
mg/kg atau 0,5 ppm.
2.3 Pengkhelatan (Chelation)
Penyerapan unsur hara oleh tanaman dilakukan oleh berbagai cara, yaitu
melalui aliran massa, difusi dan intersepsi akar. Dengan berbagai cara tersebut,
penyerapan unsur hara mikro oleh tanaman ditentukan oleh berbagai macam
faktor, diantaranya adalah pH tanah, drainase tanah, jerapan liat dan reaksi kimia,
serta ikatan dengan bahan organik (Hardjowigeno, 2003).
FTIP001648/033
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
18
Faktor yang terakhir, yaitu ikatan dengan bahan organik seringkali
menyebabkan beberapa unsur hara berbentuk logam seperti Cu dan Zn tidak
terserap oleh tanaman karena kation Cu dan Zn terikat terlalu kuat dengan bahan
organik, sehingga proses pertukaran ion tidak terjadi. Ikatan antara kation logam
dengan bahan organik dalam struktur cincin (ring) ini sering disebut sebagai
pengkhelatan (chelate) (Hardjowigeno, 2003).
Dengan memanfaatkan prinsip pengkhelatan tersebut, maka beberapa
logam dalam limbah seperti limbah batu bara bottom ash maupun fly ash dapat
dikurangi karena terikat kuat dengan bahan organik saat proses dekomposisi
terjadi, seperti ketika limbah tersebut dicampur dengan bahan organik untuk
bahan pembuatan bokashi dengan bantuan EM4 (Sondari, 2009).
2.4 Bokashi Fly Ash
Bokashi merupakan pupuk kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi
atau peragian bahan organik dengan teknologi EM4 (Effective Microorganism 4)
yang berisi sekitar 80 genus mikroba pengurai (Andoko, 2005). Berbagai macam
jenis bahan organik bisa digunakan untuk pembuatan bokashi, setidaknya dalam
satu formula bokashi digunakan tiga macam bahan organik agar keragaman
mikroba dapat ditingkatkan. Bahan campuran terbaik adalah dedak, karena dedak
memiliki kandungan gizi yang baik dan sangat penting bagi mikroorganisme
(Sutanto, 2002).
Pembuatan bokashi tidak memerlukan tempat khusus. Hal terpenting yang
harus diketahui dalam pembuatan bokashi adalah menghindarkan tumpukan
bokashi dari panas dan hujan. Panas dan hujan dapat menyebabkan suhu tidak
terkontrol dengan baik. Dalam pembuatan bokashi, suhu harus dipertahankan
antara 40oC – 50oC. Suhu yang terlalu tinggi dapat diturunkan dengan membolak-
balik tumpukan. Jika proses pembuatan berhasil, maka setelah tujuh hari suhu
tumpukan akan turun dan bokashi siap untuk digunakan (Andoko, 2005).
Pada dasarnya semua jenis bahan organik dapat dibuat menjadi bokashi
dengan syarat mengandung selulosa yang rendah. Semakin tinggi kandungan
selulola, maka proses pembuatan bokashi akan semakin lama (Purwendro dan
FTIP001648/034
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
19
Nurhidayat, 2006). Pembuatan bokashi fly ash dapat dilakukan dengan
mencampur semua bahan organik yang mengandung selulosa rendah. Bahan-
bahan yang mengandung selulosa rendah di antaranya kulit sekam, dedak dan
jerami padi. Perbandingan antara bahan utama pembuat bokashi dengan bahan
campuran pada umumnya 1 : 1 atau lebih dari itu, seperti 1 : 1,2 dengan syarat
bahan campuran dapat menyerap dan menyimpan air serta tidak mengembang
ketika kandungan air telah mencapai 30% (Andoko, 2005; Purwendro dan
Nurhidayat, 2006). Bokashi yang telah matang berwarna kehitaman, tidak berbau
dan tidak menyerupai bentuk bahan aslinya lagi (Purwendro dan Nurhidayat,
2006).
2.5 Tanaman Cabai Merah Besar
2.5.1 Biologi dan agroekologi cabai merah besar
Menurut Pitojo (2003), cabai besar memiliki tujuh varietas, yaitu var.
cerasiforme, var. conoides, var. abbreviatum, var. fasciculatum, var. acuminatum,
var. grossum, dan var. longum. Sementara itu, menurut Tjahjadi (1991) cabai
merah (Capsicum annuum) terbagi menjadi dua varietas utama, yaitu cabai merah
keriting (Capsicum annuum L. var. longum Sendt.) dan cabai merah besar
(Capsicum annuum L. var. abreviata Eingerhuth).
Gambar 2.4. Dua varietas utama cabai merah (Capsicum annuum L.).(Sumber : http://www.florabiz.net/wp-content/uploads/2011/03/cabe11.jpg)
FTIP001648/035
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
20
Cabai merah keriting memiliki bentuk buah memanjang, mengikal atau
mengeriting dengan bagian ujung yang meruncing, memiliki rasa yang relatif
pedas dengan jumlah biji yang cukup banyak bila dibandingkan dengan ukuran
buahnya. Cabai merah besar memiliki bentuk buah pendek sampai panjang,
dengan bagian ujung yang tumpul atau bulat. Tingkat kepedasan buah cabai
merah besar kurang pedas dibandingkan dengan cabai merah keriting dengan rasa
agak manis. Sebagaimana cabai merah keriting, warna buah cabai merah besar
saat muda adalah hijau, lalu coklat dan setelah tua berwarna tua (Tjahjadi, 1991).
Gambar 2.5 Cabai merah besar varietas hot beauty.
Tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 2000 m dpl. Suhu ideal
untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah antara 24o C – 27o C, sedangkan suhu
ideal untuk pertumbuhan buah adalah 16o C – 23o C. Perbedaan suhu antara siang
dan malam tidak terlalu signifikan agar pertumbuhan dan produktivitas tanaman
optimal. Tanaman cabai akan berproduksi dengan baik pada kelembaban sedang
sampai tinggi, sedangkan pada kelembaban rendah, produktivitas tanaman
biasanya rendah. Kelembaban yang rendah menyebabkan gugurnya kuncup bunga
dan buah-buah kecil.
FTIP001648/036
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
21
Selain itu, untuk pertumbuhan yang baik, tanaman cabai memerlukan
penyinaran matahari setidaknya 9 jam per hari, dengan tingkat curah hujan antara
600 mm – 1.250 mm. Pada umumnya, cabai kurang baik jika ditanam di musim
hujan, kecuali untuk varietas cabai rawit (Capsicum frutescens L.) (Tjahjadi,
1991; Pitojo, 2003).
2.5.2 Karakteristik tanah ideal untuk pembudidayaan cabai merah besar
Secara umum tanaman cabai menghendaki tanah dengan sifat fisik
gembur, remah, dengan drainase yang baik. Tanah-tanah yang dapat dijadikan
media penumbuhan cabai di antaranya adalah tanah lempung berpasir, liat
berpasir, lempung liat berpasir, dan liat berdebu (Pitojo, 2003).
Menurut Rukmana (2002), penanaman cabai banyak dijumpai pada jenis
tanah mediteran dan alluvial. Karakteristik tanah mediteran adalah memiliki
solum tanah antara 1 m – 2 m, warna tanah coklat sampai merah, tekstur lempung
hingga liat, dan juga memiliki struktur gumpal dengan konsistensi gembur, pH 6 –
7,5, kandungan bahan organik rendah dan produktivitas tanah yang bervariasi dari
sedang sampai tinggi. Sementara itu, tanah alluvial memiliki karakteristik
perkembangan profil yang belum terbentuk, berwarna kelabu atau coklat,
bertekstur liat atau pasir, dengan kandungan pasir kurang dari 50% dan
kandungan bahan organik yang rendah. Penanaman pada tanah berpasir cenderung
menghasilkan buah yang lebih cepat dari pada penanaman pada tanah liat.
Tabel 2.5 Jadwal waktu pemupukan untuk tanaman cabai per tanaman.
JenisPupuk
dasar
Pupuk susulan setelah tanaman di lapangan
0 hari 30 hari 60 hari 90 hari 120 hari
Pupuk kandang 1-2 kg - - - - -
Urea 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr
TSP 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr
KCl 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr
Sumber : Tjahjadi (1991).
FTIP001648/037
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
22
Menurut Tjahjadi (1991) tanah liat atau pasir yang memiliki kandungan
bahan organik yang tinggi sangat baik untuk pertumbuhan cabai. Selain itu,
tanaman cabai juga menghendaki tanah yang lembab dengan pH 5,0 – 7,5 dengan
syarat tidak tergenang.
Tanaman cabai sangat responsif terhadap pemupukan, namun pemupukan
tersebut harus dilakukan secara bertahap. Pemupukan pada cabai merah besar
cukup dilakukan sampai hari ke-120. Pemupukan untuk meningkatkan
produktivitas juga dapat dilakuka melalui daun, yaitu berupa pemberian pupuk
mikro. Peran pupuk mikro sangat besar dalam memperbanyak bunga dan
memperkuat buah agar tidak mudah rontok (Tjahjadi, 1991).
2.6 Evapotranspirasi Tanaman
Evapotranspirasi tanaman adalah jumlah total air yang dikonsumsi
tanaman untuk penguapan (evaporasi), transpirasi dan aktivitas metabolisme
tanaman. Dalam kondisi lapangan (field condition) tidak mungkin membedakan
antara evaporasi dengan transpirasi jika tanah tersebut tertutup oleh tumbuh-
tumbuhan, karena kedua proses tersebut satu sama lain saling berkaitan
(Soemarto, 1987). Menurut FAO (1987) ada berbagai rumus empirik untuk
menduga evapotranspirasi tanaman acuan (ETo), yaitu: Metode Blaney-Criddle,
Penman, Radiasi dan Panci Evaporasi.
Menurut Jensen (1980) nilai koefisien tanaman (Kc) diperoleh dari hasil
perbandingan antara evapotranspirasi aktual tanaman (ETc) dengan
evapotranspirasi potensial (ETo). Dengan demikian, ETc merupakan hasil kali
antara ETo dengan Kc.
ETc = Kc × Eto
Dimana :
ETc = Evapotranspirasi aktual tanaman (mm/hari)
ETo = Evapotranspirasi potensial tanaman (mm/hari)
Kc = Koefisien tanaman
FTIP001648/038
[2]
[3]
[1]
HA
K C
IPTA
DIL
IND
UN
GI U
ND
AN
G-U
ND
AN
G
Tidak diperkenankan m
engumum
kan, mem
ublikasikan, mem
perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis
Tidak diperkenankan m
engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m
encantumkan sum
ber tulisan
Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem
ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
23
Kofisien tanaman (Kc) besarnya tergantung pada jenis tanaman dan tahap
(fase) pertumbuhan tanaman. Koefisien tanaman dapat ditentukan dari hasil
penelitian langsung menggunakan lisimeter.
Tabel 2.6 Koefisien tanaman (Kc) beberapa jenis tanaman hortikulturapada setiap fase pertumbuhan.
TanamanFase pertumbuhan
Rata-rataAwal Vegetatif Pembungaan Pembuahan Pemasakan
Cabai 0,30-0,40 0,60-0,75 0,95-1,10 0,85-1 0,80-0,90 0,70-0,80
Bawang
merah0,40-0,60 0,70-0,80 0,95-1,10 0,85-0,90 0,75-0,85 0,80-0,90
Semangka 0,40-0,50 0,70-0,80 0,95-1,05 0,80-0,90 0,65-0,75 0,75-0,85
Tembakau 0,30-0,40 0,70-0,80 1-1,20 0,90-1 0,75-0,85 0,85-0,95
Sumber : Doorenbos dan Kassam (1979)
Menurut Hansen dkk. (1986) kebutuhan air tanaman akan terus meningkat
seiring dengan pertumbuhan tanaman. Kebutuhan air ini akan mencapai
puncaknya pada fase pembungaan, yang merupakan fase pertumbuhan yang
paling banyak memerlukan air. Setelah fase pembungaan selesai, kebutuhan air
akan menurun sampai akhirnya tanaman tersebut mati.
top related