dari proses pembakaran batu bara dihasilkan dua jenis...

16
FTIP001648/023 [2] [3] [1] HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumber tulisan Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Batu Bara Batu bara adalah mineral organik yang terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap dan mengalami perubahan bentuk akibat proses fisika dan kimia yang terjadi selama jutaan tahun. Proses perubahan sisa tumbuhan purba yang mengendap menjadi batu bara disebut sebagai coalification (pembatu baraan). Karena berasal dari sisa tumbuhan purba dan proses pembentukannya memakan waktu jutaan tahun, maka batu bara masuk ke dalam kategori bahan bakar fosil (Budiraharjo, 2009). Menurut Budiraharjo (2009) perbedaan jenis batu bara disebabkan oleh: 1. Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya. 2. Lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan. 3. Tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian. Gambar 2.1 Proses pembentukan batu bara. (Sumber : Kuri-n ni Riyou Sareru Sekitan, 2004 dalam Budiraharjo, 2009)

Upload: doandat

Post on 02-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

FTIP001648/023

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Batu Bara

Batu bara adalah mineral organik yang terbentuk dari sisa tumbuhan

purba yang mengendap dan mengalami perubahan bentuk akibat proses fisika

dan kimia yang terjadi selama jutaan tahun. Proses perubahan sisa tumbuhan

purba yang mengendap menjadi batu bara disebut sebagai coalification (pembatu

baraan). Karena berasal dari sisa tumbuhan purba dan proses pembentukannya

memakan waktu jutaan tahun, maka batu bara masuk ke dalam kategori bahan

bakar fosil (Budiraharjo, 2009).

Menurut Budiraharjo (2009) perbedaan jenis batu bara disebabkan oleh:

1. Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda – beda sesuai dengan

jaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya.

2. Lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan.

3. Tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang

berlangsung kemudian.

Gambar 2.1 Proses pembentukan batu bara.(Sumber : Kuri-n ni Riyou Sareru Sekitan, 2004 dalam Budiraharjo, 2009)

FTIP001648/024

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

9

Dari proses pembakaran batu bara dihasilkan dua jenis limbah padat yang

dibedakan berdasarkan ukuran partikel dan massanya, yaitu bottom ash dan fly

ash. Bottom ash adalah sisa pembakaran batu bara yang memiliki massa yang

lebih berat dari fly ash sehingga menumpuk di bawah tungku pembakaran,

sementara itu fly ash adalah abu sisa pembakaran yang memiliki massa yang kecil

sehingga dapat terbang oleh tiupan angin atau hembusan udara tungku

pembakaran (Sondari dan Arifin, 2000 dalam Sondari, 2009).

Pada industri listrik biasanya digunakan tiga type pembakaran batu bara

yaitu dry bottom boilers, wet bottom boilers dan cyclon furnace. Type yang

paling umum untuk pembakaran batu bara adalah pembakaran dry bottom seperti

dapat dilihat pada Gambar 2. Pembakaran type dry bottom boiler meninggalkan

kurang lebih 80% fly ash dan masuk dalam corong gas. Pembakaran wet-bottom

boiler menghasilkan 50% abu pembakaran dan 50% lainnya masuk dalam corong

gas. Pada cyclon furnace, di mana potongan batu bara digunakan sebagai bahan

bakar, 70-80 % dari abu tertahan sebagai boiler slag dan hanya 20-30%

meninggalkan pembakaran sebagai dry ash pada corong gas.

Gambar 2.2 Type pembakaran dry bottom boiler dengan electrostatic precipitator.(Sumber : Wardani, 2008)

Fly Ash (Recovery or Disposal)

PowerPlant

Coal

CoalPolverizer

Heater Air Precipitator

Flame

AshHoppers

Bottom Ash (Recovery or Reuse)

ToStack

FTIP001648/025

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

10

2.1.1 Fly ashKomposisi mineral dan sifat kimia dari fly ash bergantung pada asal dan

komposisi jenis batu bara induk, kondisi selama pembakaran batu bara, efisiensi

jenis alat kontrol emisi, penyimpanan dan penanganan produk samping dan

kondisi iklim. Fly ash mengandung Fe, Ca, Al, Si, K dan Mg dalam persentase

yang tinggi dan Zn, B, Mn, dan Cu dengan persentase sedang, sedangkan N, P, S

dan unsur lainnya sangat kecil. Unsur-unsur tersebut terdapat dalam bentuk

silikat, oksida, sulfat dan karbonat (Thyvahary, 2004 dan Kishor, Ghosh and

Kumar, 2010). Konsentrasi semua elemen/unsur hara di dalam fly ash lebih tinggi

dibandingkan tanah kecuali nitrogen (N) (Sharma and Kalra, 2006).

Tabel 2.1 Karakteristik fisik fly ash.

Parameter Keterangan

Warna Abu-abu hingga hitam

Bentuk Bulat (Spherical)

Rapat Massa (g/cm3) 1 – 1,8

Gravitasi Spesifik (g/cm3) 1,90 – 2,55

Plastisitas Tidak plastis

Kandungan Air (%) 18 – 38

Kohesi (kg/m2) Tidak Berarti (Negligible)

Liat (%) 1 – 10

Debu (%) 8 – 85

Pasir (%) 7 – 90

kerikil (%) 0 – 10

Sumber : Kishor, Ghosh and Kumar (2010)

Menurut ASTM C618 fly ash dibagi menjadi dua kelas yaitu kelas F dan

kelas C, berdasarkan banyaknya calsium, silika, aluminium dan kadar besi,

dengan spesifikasi sebagai berikut (Wardani, 2008):

a. Fly ash kelas F: merupakan fly ash yang diproduksi dari pembakaran

batu bara anthracite atau bituminous, mempunyai sifat pozzolanic dan

FTIP001648/026

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

11

untuk mendapatkan sifat cementitious harus diberi penambahan quick

lime, hydrated lime, atau semen. Fly ash kelas F ini kadar kapurnya

rendah (CaO < 10%).

b. Fly ash kelas C: diproduksi dari pembakaran batu bara lignite atau

sub-bituminous selain mempunyai sifat pozolanic juga mempunyai

sifat self-cementing (kemampuan untuk mengeras dan menambah

kekuatan apabila bereaksi dengan air) dan sifat ini timbul tanpa

penambahan kapur. Biasanya mengandung kapur (CaO) > 20%.

Gambar 2.3 Abu terbang (fly ash).(Sumber : Wardani, 2008)

Keasaman (pH) fly ash bervariasi dari mulai 4,5 – 12 tergantung kepada

banyaknya kandungan sulphur di dalam batu bara induk (Plank and Martens, 1974

dalam Kishor, Ghosh and Kumar, 2010). Beberapa fly ash bersifat sangat asam

(pH 3 – 4) meskipun pada umumnya bersifat basa (pH 10 – 12). Secara fisika fly

ash batu bara tersusun dari partikel seukuran debu (silt) yang memiliki kapasitas

pengikatan air dari sedang sampai tinggi. Namun, meskipun demikian, sifat-sifat

pembentuk semen yang ada di dalamnya dapat menghambat perkembangan akar

tanaman (Muhammad, 2004 dalam Hadijah dan Damayanti, 2006). Penambahan

fly ash 30 gram/2,5 kg tanah dapat meningkatkan pH dari 5,02 (control) menjadi

6,62 dan bahkan lebih dari 7,49 pada pemberian 90 gram/2,5 kg tanah (Tsadilas et

al., 2002).

FTIP001648/027

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

12

Penggunaan fly ash diketahui dapat meningkatkan aktivitas respirasi dan

nitrifikasi dari beberapa organisme tanah. Jumlah bakteria, actinomycetes dan

jamur meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah fly ash yang diberikan.

Pemberian fly ash 100 ton/ha diketahui tidak memberikan dampak yang berarti

terhadap keberlangsungan aktivitas organisme di dalam tanah (Sharma dan Kalra,

2006).

Penggunaan fly ash dapat memperbaiki tekstur tanah kasar, meningkatkan

porositas tanah, daya ikat air, kapasitas air tersedia, laju infiltrasi dan drainase

secara keseluruhan. Penambahan fly ash sebesar 70 ton/ha dilaporkan dapat

mengubah tekstur tanah berpasir (sandy soil) dan tanah liat (clay soil) menjadi

tanah lempung (loamy soil) (Fail dan Wochock, 1977 dalam Thyvahary, 2004).

Pengaruh pemberian fly ash limbah batu bara terhadap sifat fisik tanah

diketahui dapat meningkatkan kestabilan tanah dalam menahan rainfall runoff,

dimana tanah yang diberi campuran fly ash limbah batu bara memiliki tingkat

sedimentasi yang rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Sondari, 2009).

Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Adha (2009) pada tanah

gambut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kapasitas dukung tanah dari

tanah asli sebesar 85,67 ton/m2 dengan tanah campuran fly ash 15% dengan

pemeraman 14 hari sebesar 701,33 ton/m2. Penelitian di Australia menunjukkan

bahwa pemberian fly ash 100 ton/ha pada tanah pasir dapat menghemat

penggunaan 75% air (Smith, 2005).

Pemberian 10 ton/ha fly ash pada tanaman padi di India dapat

meningkatkan hasil gabah yang setara dengan 4.310 kg/ha atau 4,31 ton gabah per

ha, sementara perlakuan kontrol hanya menghasilkan 2,559 ton gabah per ha

(Mittra et al, 2003). Sementara itu, pemberian fly ash di sekitar tajuk tanaman

sebanyak 4 gram/m2/hari telah meningkatkan bobot kering serta hasil panen

tanaman jagung dan kedelai (Sharma and Kalra, 2006).

FTIP001648/028

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

13

Tabel 2.2 Hasil analisis komposisi kimia abu batu bara PLTU Asam-asam.

No. Parameter Satuan Abu batu bara Asam-asam

1. pH - 7,0

2. SiO2 % 59,3

3. Al2O3 % 19,40

4. Fe2O3 % 12,52

5. TiO2 % 0,98

6. CaO % 2,13

7. MgO % 2,50

8. K2O % tt

9. Na2O % 0,16

10. MnO % 0,19

11. SO3 % 0,53

12. P2O3 % 0,104

13. LOI % 1,30

14. Pb ppm 19

15. Cu ppm 298

16. Zn ppm 391

17. Cr ppm 224

18. As ppm 10

19. H2O % 0,033

Keterangan:

Contoh diperiksa dari bahan kering (105 – 110 °C) kecuali H2O- yang

ditentukan dari bahan asal.

tt : tidak terdeteksi

Sumber : Hadijah dan Damayanti (2006)

FTIP001648/029

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

14

2.1.2 Bottom ash

Bottom ash adalah aglomerasi partikel abu, terbentuk di dalam tungku batu

bara, yang ukuran partikelnya terlalu besar untuk terbuang bersama gas buang,

sehingga jetuh melalui dinding tungku atau jatuh melalui panggangan terbuka

menuju pengumpul abu di bagian bawah tungku. Secara fisik bottom ash memiliki

warna abu-abu sampai hitam, memiliki bentuk yang bersudut, dan memiliki

struktur permukaan berpori (U.S. Environmental Protection Agency (EPA),

2010).

Komponen utama dari bottom ash adalah oksida-oksida/mineral yang

mengandung silikon, alumunium, besi, kalsium, natrium dan magnesium

(Hartanto dan Widiastuti, 2009).

Sondari (2006) dalam Sondari (2009) menyatakan bahwa pemberian

bottom ash dan pupuk hijau dapat memperbaiki beberapa sifat fisika dan kimia

Typic Kanhapludults, serta pada tanah ultisols Kentrong Propinsi Banten

diketahui dapat meningkatkan hasil shorgum (hermada). Bottom ash diberikan

dengan cara dibuat menjadi bokashi. Dengan mengubah bottom ash menjadi

pupuk bokashi, logam berat yang terkandung dalamnya menjadi berkurang,

karena selama terjadi proses dekomposisi oleh EM4, senyawa-senyawa organik

yang diproduksi dapat mengkhelat logam berat.

2.2 Logam dan logam berat

Logam didefinisikan sebagai unsur yang memiliki karakteristik sebagai

berikut (Watts, 1998 dalam Notodarmojo, 2005):

menghantarkan listrik

mempunyai konduktivitas terhadap panas (termal) yang tinggi,

mempunyai densitas yang tinggi

mempunyai karakteristik malleability dan kelenturan

Menurut Schnoor (1996) dalam Notodarmojo (2005) logam berat ialah

logam yang terletak antara Skandium (Sc) dengan Polonium (Po) dalam deret

berkala unsur-unsur, walaupun logam yang terletak diluar itu seperti Alumunium,

FTIP001648/030

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

15

Arsen dan Selenium juga sering dimasukkan dalam kategori logam berat.

Sedangkan menurut Spellman (2003) logam berat ialah logam dengan densitas

lebih dari 5 kg/dm3. Logam berat termasuk ke dalam unsur trace element, yaitu

unsur yang keberadaannya di alam sangat sedikit, dimana dalam batas-batas

konsentrasi tertentu dapat mengganggu makhluk hidup (Adriano, 1986 dalam

Notodarmojo, 2005).

Secara umum, sumber keberadaan logam sebagai bahan pencemar berasal

dari dua sumber, pertama hasil pelapukan batuan induk (parent materials) yang

mengandung logam tersebut; kedua berasal dari aktivitas manusia

(anthropogenic) seperti pupuk, biosides, program reklamasi, buangan

pertambangan, industri, dan emisi kendaraan bermotor (Notodarmojo, 2005).

Tabel 2.3 Karakteristik beberapa jenis logam.

KarakteristikLogam

Cu As Pb

Volume Atom (cm3/mol) 7,10 13,10 18,30

Titik Didih (K) 2840 876 2023

Titik Lebur (K) 1356,6 1090 600,65

Massa Jenis (gram/cm3) 8,96 5,78 11,35

Kapasitas Panas (J/g K) 0,385 0,33 0,129

Potensial Ionisasi (Volt) 7,726 9,81 7,416

Konduktivitas Listrik (ohm-1cm-1) 60,7 x 106 3,8 x 106 4,8 x 106

Konduktivitas Kalor (W/m K) 401 50 35,3

Harga Entalpi Pembentukan (kJ/mol) 13,14 27,7 4,77

Harga Entalpi Penguapan (kJ/mol) 300,5 32,4 177,9

Sumber : Sunardi (2008) dengan penyesuaian format.

Timbal (Pb) termasuk kategori logam berat, karena memiliki densitas

11,35 gr/cm3 atau 11,35 kg/dm3 dan terletak antara Sc dan Po dengan valensi IV

A (Sunardi, 2006). Timbal sering disebut juga dengan timah hitam (Pb) atau Lead

dalam Bahasa Inggris. Timbal memiliki kelarutan yang rendah, sehingga

FTIP001648/031

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

16

kandungannya dalam air relatif sedikit, hal ini tergantung pada kesadahan, pH,

alkalinitas dan kadar oksigen yang mempengaruhi kadar dan toksisitas timbal.

Secara alami, jumlah timbal di dalam kerak bumi sekitar 15 mg/kg, yang berasal

dari galena (PbS), gelesite (PbSO4), dan cerrusite (PbCO3) (Novotny dan Olem,

1994; Moore, 1991 dalam Fardiaz, 2003). Timbal diserap oleh tumbuhan ketika

timbal terpisah dari mineral utama karena proses pelapukan. Di dalam tanah,

timbal cenderung terikat oleh bahan organik dan sering terkonsentrasi pada bagian

atas tanah karena menyatu dengan tumbuhan, ketika terjadi proses pelapukan

tumbuhan tersebut, timbal terakumulasi di dalamnya sebagai hasil pelapukan di

dalam lapisan humus (Herman, 2006). Timbal relatif larut dalam air dengan pH <

5 dimana air yang bersentuhan dengan timah hitam dalam suatu periode waktu

dapat mengandung > 1μg Pb/dm3 (Herman, 2006).

Tabel 2.4 Penyerapan logam oleh biji tanaman gandum padapemberian fly ash yang bervariasi.

Lokasi

Jumlah

pemberian

ton/ha

Konsentrasi, ppm

Zn Cu Fe Mn Cd

Gulawathi 0 38,4 5,7 762,3 15,8 ND

10 41,6 6,1 809,8 20,1 0,4

20 39,8 7,3 819,8 20,2 0,5

Muthiani 0 40,4 5,3 612,1 23,4 0,3

10 44,6 5,8 663,3 30,8 0,4

20 46,6 6,1 683,3 27,1 0,5

IARI Farm 0 31,4 5,2 620,9 16,9 0,6

10 34,3 4,8 634,6 18,0 0,9

20 38,2 5,3 631,5 22,0 1,1

Sumber : Sharma and Kalra (2006)

FTIP001648/032

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

17

Penyerapan logam berat (di antaranya Pb) oleh tanaman yang diberi fly

ash dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah kandungan logam di

dalam fly ash, jumlah pemberian fly ash, jenis tanah, pH tanah, jenis tanaman dan

lain-lain. Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh pada tanah yang diberi fly

ash. Konsentrasi elemen B meningkat secara signifikan terutama pada tanaman

legum, Se meningkat terutama pada tanaman rumput-rumputan, sementara Mo

meningkat hampir di semua jenis tanaman yang diberi fly ash. Trace elements

(Zn, Pb, Cu, Fe, Mn dan Cd) biasa dijadikan sebagai indikator pada tanaman yang

diberi pupuk fly ash. Pemberian fly ash di Singareni Thermal Power Plant

diketahui telah menyebabkan terjadinya pelindian (leaching) element logam oleh

air, terutama yang paling signifikan adalah elemen Ca, Na dan Hg, sedangkan

logam lain tidak dianggap signifikan (Sharma and Kalra, 2006).

Pada umumnya logam berat tidak dibutuhkan oleh hewan dan manusia dan

cenderung berdampak negatif secara fisiologis terhadap tubuh manusia dan

hewan, terutama organisme tingkat tinggi. Timbal memiliki efek racun terhadap

susunan syaraf pusat, terutama pada kanak-kanak (balita). Pada orang dewasa,

efek yang ditimbulkan oleh timbal antara lain menyebabkan tekanan darah tinggi,

penurunan hemoglobin, pusing dan pada dosis tinggi dapat menyebabkan

encelophaty (Sullivan dan Krieger, 1992 dalam Notodarmojo, 2005).

Konsentrasi Pb di dalam makanan sangat dibatasi. Menurut Widaningrum,

Miskiyah dan Suismono (2007), batas kandungan Pb yang diperbolehkan di dalam

makanan menurut Ditjen BPOM sebesar 2 ppm. Berdasarkan SNI 7387 (2009),

kandungan Pb yang diperbolehkan di dalam produk sayur dan buah sebesar 0,5

mg/kg atau 0,5 ppm.

2.3 Pengkhelatan (Chelation)

Penyerapan unsur hara oleh tanaman dilakukan oleh berbagai cara, yaitu

melalui aliran massa, difusi dan intersepsi akar. Dengan berbagai cara tersebut,

penyerapan unsur hara mikro oleh tanaman ditentukan oleh berbagai macam

faktor, diantaranya adalah pH tanah, drainase tanah, jerapan liat dan reaksi kimia,

serta ikatan dengan bahan organik (Hardjowigeno, 2003).

FTIP001648/033

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

18

Faktor yang terakhir, yaitu ikatan dengan bahan organik seringkali

menyebabkan beberapa unsur hara berbentuk logam seperti Cu dan Zn tidak

terserap oleh tanaman karena kation Cu dan Zn terikat terlalu kuat dengan bahan

organik, sehingga proses pertukaran ion tidak terjadi. Ikatan antara kation logam

dengan bahan organik dalam struktur cincin (ring) ini sering disebut sebagai

pengkhelatan (chelate) (Hardjowigeno, 2003).

Dengan memanfaatkan prinsip pengkhelatan tersebut, maka beberapa

logam dalam limbah seperti limbah batu bara bottom ash maupun fly ash dapat

dikurangi karena terikat kuat dengan bahan organik saat proses dekomposisi

terjadi, seperti ketika limbah tersebut dicampur dengan bahan organik untuk

bahan pembuatan bokashi dengan bantuan EM4 (Sondari, 2009).

2.4 Bokashi Fly Ash

Bokashi merupakan pupuk kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi

atau peragian bahan organik dengan teknologi EM4 (Effective Microorganism 4)

yang berisi sekitar 80 genus mikroba pengurai (Andoko, 2005). Berbagai macam

jenis bahan organik bisa digunakan untuk pembuatan bokashi, setidaknya dalam

satu formula bokashi digunakan tiga macam bahan organik agar keragaman

mikroba dapat ditingkatkan. Bahan campuran terbaik adalah dedak, karena dedak

memiliki kandungan gizi yang baik dan sangat penting bagi mikroorganisme

(Sutanto, 2002).

Pembuatan bokashi tidak memerlukan tempat khusus. Hal terpenting yang

harus diketahui dalam pembuatan bokashi adalah menghindarkan tumpukan

bokashi dari panas dan hujan. Panas dan hujan dapat menyebabkan suhu tidak

terkontrol dengan baik. Dalam pembuatan bokashi, suhu harus dipertahankan

antara 40oC – 50oC. Suhu yang terlalu tinggi dapat diturunkan dengan membolak-

balik tumpukan. Jika proses pembuatan berhasil, maka setelah tujuh hari suhu

tumpukan akan turun dan bokashi siap untuk digunakan (Andoko, 2005).

Pada dasarnya semua jenis bahan organik dapat dibuat menjadi bokashi

dengan syarat mengandung selulosa yang rendah. Semakin tinggi kandungan

selulola, maka proses pembuatan bokashi akan semakin lama (Purwendro dan

FTIP001648/034

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

19

Nurhidayat, 2006). Pembuatan bokashi fly ash dapat dilakukan dengan

mencampur semua bahan organik yang mengandung selulosa rendah. Bahan-

bahan yang mengandung selulosa rendah di antaranya kulit sekam, dedak dan

jerami padi. Perbandingan antara bahan utama pembuat bokashi dengan bahan

campuran pada umumnya 1 : 1 atau lebih dari itu, seperti 1 : 1,2 dengan syarat

bahan campuran dapat menyerap dan menyimpan air serta tidak mengembang

ketika kandungan air telah mencapai 30% (Andoko, 2005; Purwendro dan

Nurhidayat, 2006). Bokashi yang telah matang berwarna kehitaman, tidak berbau

dan tidak menyerupai bentuk bahan aslinya lagi (Purwendro dan Nurhidayat,

2006).

2.5 Tanaman Cabai Merah Besar

2.5.1 Biologi dan agroekologi cabai merah besar

Menurut Pitojo (2003), cabai besar memiliki tujuh varietas, yaitu var.

cerasiforme, var. conoides, var. abbreviatum, var. fasciculatum, var. acuminatum,

var. grossum, dan var. longum. Sementara itu, menurut Tjahjadi (1991) cabai

merah (Capsicum annuum) terbagi menjadi dua varietas utama, yaitu cabai merah

keriting (Capsicum annuum L. var. longum Sendt.) dan cabai merah besar

(Capsicum annuum L. var. abreviata Eingerhuth).

Gambar 2.4. Dua varietas utama cabai merah (Capsicum annuum L.).(Sumber : http://www.florabiz.net/wp-content/uploads/2011/03/cabe11.jpg)

FTIP001648/035

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

20

Cabai merah keriting memiliki bentuk buah memanjang, mengikal atau

mengeriting dengan bagian ujung yang meruncing, memiliki rasa yang relatif

pedas dengan jumlah biji yang cukup banyak bila dibandingkan dengan ukuran

buahnya. Cabai merah besar memiliki bentuk buah pendek sampai panjang,

dengan bagian ujung yang tumpul atau bulat. Tingkat kepedasan buah cabai

merah besar kurang pedas dibandingkan dengan cabai merah keriting dengan rasa

agak manis. Sebagaimana cabai merah keriting, warna buah cabai merah besar

saat muda adalah hijau, lalu coklat dan setelah tua berwarna tua (Tjahjadi, 1991).

Gambar 2.5 Cabai merah besar varietas hot beauty.

Tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 2000 m dpl. Suhu ideal

untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah antara 24o C – 27o C, sedangkan suhu

ideal untuk pertumbuhan buah adalah 16o C – 23o C. Perbedaan suhu antara siang

dan malam tidak terlalu signifikan agar pertumbuhan dan produktivitas tanaman

optimal. Tanaman cabai akan berproduksi dengan baik pada kelembaban sedang

sampai tinggi, sedangkan pada kelembaban rendah, produktivitas tanaman

biasanya rendah. Kelembaban yang rendah menyebabkan gugurnya kuncup bunga

dan buah-buah kecil.

FTIP001648/036

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

21

Selain itu, untuk pertumbuhan yang baik, tanaman cabai memerlukan

penyinaran matahari setidaknya 9 jam per hari, dengan tingkat curah hujan antara

600 mm – 1.250 mm. Pada umumnya, cabai kurang baik jika ditanam di musim

hujan, kecuali untuk varietas cabai rawit (Capsicum frutescens L.) (Tjahjadi,

1991; Pitojo, 2003).

2.5.2 Karakteristik tanah ideal untuk pembudidayaan cabai merah besar

Secara umum tanaman cabai menghendaki tanah dengan sifat fisik

gembur, remah, dengan drainase yang baik. Tanah-tanah yang dapat dijadikan

media penumbuhan cabai di antaranya adalah tanah lempung berpasir, liat

berpasir, lempung liat berpasir, dan liat berdebu (Pitojo, 2003).

Menurut Rukmana (2002), penanaman cabai banyak dijumpai pada jenis

tanah mediteran dan alluvial. Karakteristik tanah mediteran adalah memiliki

solum tanah antara 1 m – 2 m, warna tanah coklat sampai merah, tekstur lempung

hingga liat, dan juga memiliki struktur gumpal dengan konsistensi gembur, pH 6 –

7,5, kandungan bahan organik rendah dan produktivitas tanah yang bervariasi dari

sedang sampai tinggi. Sementara itu, tanah alluvial memiliki karakteristik

perkembangan profil yang belum terbentuk, berwarna kelabu atau coklat,

bertekstur liat atau pasir, dengan kandungan pasir kurang dari 50% dan

kandungan bahan organik yang rendah. Penanaman pada tanah berpasir cenderung

menghasilkan buah yang lebih cepat dari pada penanaman pada tanah liat.

Tabel 2.5 Jadwal waktu pemupukan untuk tanaman cabai per tanaman.

JenisPupuk

dasar

Pupuk susulan setelah tanaman di lapangan

0 hari 30 hari 60 hari 90 hari 120 hari

Pupuk kandang 1-2 kg - - - - -

Urea 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr

TSP 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr

KCl 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr 10 gr

Sumber : Tjahjadi (1991).

FTIP001648/037

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

22

Menurut Tjahjadi (1991) tanah liat atau pasir yang memiliki kandungan

bahan organik yang tinggi sangat baik untuk pertumbuhan cabai. Selain itu,

tanaman cabai juga menghendaki tanah yang lembab dengan pH 5,0 – 7,5 dengan

syarat tidak tergenang.

Tanaman cabai sangat responsif terhadap pemupukan, namun pemupukan

tersebut harus dilakukan secara bertahap. Pemupukan pada cabai merah besar

cukup dilakukan sampai hari ke-120. Pemupukan untuk meningkatkan

produktivitas juga dapat dilakuka melalui daun, yaitu berupa pemberian pupuk

mikro. Peran pupuk mikro sangat besar dalam memperbanyak bunga dan

memperkuat buah agar tidak mudah rontok (Tjahjadi, 1991).

2.6 Evapotranspirasi Tanaman

Evapotranspirasi tanaman adalah jumlah total air yang dikonsumsi

tanaman untuk penguapan (evaporasi), transpirasi dan aktivitas metabolisme

tanaman. Dalam kondisi lapangan (field condition) tidak mungkin membedakan

antara evaporasi dengan transpirasi jika tanah tersebut tertutup oleh tumbuh-

tumbuhan, karena kedua proses tersebut satu sama lain saling berkaitan

(Soemarto, 1987). Menurut FAO (1987) ada berbagai rumus empirik untuk

menduga evapotranspirasi tanaman acuan (ETo), yaitu: Metode Blaney-Criddle,

Penman, Radiasi dan Panci Evaporasi.

Menurut Jensen (1980) nilai koefisien tanaman (Kc) diperoleh dari hasil

perbandingan antara evapotranspirasi aktual tanaman (ETc) dengan

evapotranspirasi potensial (ETo). Dengan demikian, ETc merupakan hasil kali

antara ETo dengan Kc.

ETc = Kc × Eto

Dimana :

ETc = Evapotranspirasi aktual tanaman (mm/hari)

ETo = Evapotranspirasi potensial tanaman (mm/hari)

Kc = Koefisien tanaman

FTIP001648/038

[2]

[3]

[1]

HA

K C

IPTA

DIL

IND

UN

GI U

ND

AN

G-U

ND

AN

G

Tidak diperkenankan m

engumum

kan, mem

ublikasikan, mem

perbanyak sebagian atau seluruh karya inidalam

bentuk apapun tanpa izin tertulis

Tidak diperkenankan m

engutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan m

encantumkan sum

ber tulisan

Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akadem

ik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan

23

Kofisien tanaman (Kc) besarnya tergantung pada jenis tanaman dan tahap

(fase) pertumbuhan tanaman. Koefisien tanaman dapat ditentukan dari hasil

penelitian langsung menggunakan lisimeter.

Tabel 2.6 Koefisien tanaman (Kc) beberapa jenis tanaman hortikulturapada setiap fase pertumbuhan.

TanamanFase pertumbuhan

Rata-rataAwal Vegetatif Pembungaan Pembuahan Pemasakan

Cabai 0,30-0,40 0,60-0,75 0,95-1,10 0,85-1 0,80-0,90 0,70-0,80

Bawang

merah0,40-0,60 0,70-0,80 0,95-1,10 0,85-0,90 0,75-0,85 0,80-0,90

Semangka 0,40-0,50 0,70-0,80 0,95-1,05 0,80-0,90 0,65-0,75 0,75-0,85

Tembakau 0,30-0,40 0,70-0,80 1-1,20 0,90-1 0,75-0,85 0,85-0,95

Sumber : Doorenbos dan Kassam (1979)

Menurut Hansen dkk. (1986) kebutuhan air tanaman akan terus meningkat

seiring dengan pertumbuhan tanaman. Kebutuhan air ini akan mencapai

puncaknya pada fase pembungaan, yang merupakan fase pertumbuhan yang

paling banyak memerlukan air. Setelah fase pembungaan selesai, kebutuhan air

akan menurun sampai akhirnya tanaman tersebut mati.