case report gagal jantung kongestif ec demam rematik akut serangan pertama dengan gizi kurang
Post on 25-Jan-2016
43 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
GAGAL JANTUNG KONGESTIF ec DEMAM REMATIK AKUT
SERANGAN PERTAMA dengan GIZI KURANG
Case Report
Pembimbing
dr Etty Widyastuti, SpA
dr Murdoyo Rahmanoe, SpA
Disusun Oleh
DIAH ANDINI
PUTRI UTAMI HADIYATI
SANDRA RINI
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD ABDOEL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
2015
STATUS PENDERITA
No. Catatan Medik : 40.56.35
Masuk RSAM : Senin, 23 Maret 2015
Jam : 15:37:59 WIB
Anamnesis
Alloanamnesis dari Ibu pasien
Identitas
Nama : An. B
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : Jagabaya, Kecamatan Sukabumi Bandarlampung
Orang tua/wali :
Ayah
Nama : Tn. H
Umur : 39 tahun
Pekerjaan : petani
Pendidikan : SD
Ibu
Nama : Ny. A
Umur : 28 tahun
Pekerjaan : pedagang
Pendidikan : SD
Riwayat Penyakit
Keluhan Utama : Sesak nafas
Keluhan Tambahan : nyeri dada, demam, mual, batuk
Riwayat penyakit Sekarang
Satu bulan sebelum masuk rumah sakit, os mengeluh demam tinggi terus
menerus, os sudah minum obat penurun panas, demam turun tapi tidak sampai
1
normal kemudian naik kembali, tidak menggigil, berkeringat, kejang (-), ruam
dikulit (-). Os dibawa keluarga berobat ke puskesmas dan keluhan berkurang.
Dua minggu sebelum masuk rumah sakit, os mengalami sesak nafas hilang
timbul. Sesak dipengaruhi aktivitas dan tidak dipengaruhi cuaca maupun emosi.
Os mengalami sesak saat berjalan ± 20 meter dan juga mengeluh sesak saat
menaiki 4-5 anak tangga. Sesak akan berkurang jika beristirahat. Demam tidak
ada. Mual tidak ada, muntah tidak ada. Os juga mengeluh nyeri dada seperti
ditusuk-tusuk, yang dirasakan di dada sebelah kiri dan hilang timbul. Kelu. Os
juga mengeluh nyeri pada sendi kaki yang berpindah-pindah, terasa panas dan
bengkak serta nampak merah. Os tidak dibawa berobat.
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit, sesak nafas bertambah hebat, semakin
sering terbangun pada malam hari karena sesak nafas. Sesak nafas kadang timbul
walaupun os sedang istirahat, os lebih merasa nyaman jika menggunakan 2 bantal.
Os juga mengeluhkan mulai timbul batuk tanpa disertai dahak, demam tidak ada,
mual dan muntah tidak ada. Os mengeluh jantung berdebar-debar tanpa disertai
nyeri dada. Kaki mulai membengkak, buang air kecil (BAK) sedikit dan buang
air besar (BAB) tidak ada keluhan. Kemudian os berobat ke Rumah Sakit Daerah
Mayjend HM Ryacudu dan dirawat selama 3 hari, diberi obat tablet berwarna
putih tetapi tidak ada perubahan, kemudian os dirujuk ke Rumah Sakit Abdul
Moeloek.
Riwayat penyakit dahulu :
Menurut ibu pasien, satu bulan yang lalu pasien pernah menderita demam disertai
batuk, pilek dan nyeri menelan. Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada penyakit yang seperti ini.
2
Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Pasien merupakan anak tunggal dalam keluarga. Kehamilan pasien adalah
kehamilan yang diinginkan oleh kedua orang tua. Selama hamil ibu kontrol teratur
ke bidan setiap bulan. Ibu hanya minum obat dan vitamin dari bidan dan tidak
pernah mengkonsumsi obat-obatan lainnya. Pasien lahir spontan, cukup bulan,
ditolong oleh bidan, lahir langsung menangis, berat badan lahir 3100 gram,
panjang badan lahir 47 cm.
Kesan : riwayat kehamilan dan kelahiran dalam batas normal
Riwayat makanan
0 – 6 bulan : ASI Eksklusif, diberikan sesuai permintaan anak, ibu
mengkonsumsi nasi, sayur, dan lauk-pauk 3 porsi sehari selama
menyusui bayi
6 – 9 bulan : ASI + MPASI, ASI diberikan tergantung permintaan bayi.
Makanan pendamping yang diberikan berupa bubur susu yang
diberikan 3 x sehari sebanyak 100-200 ml
9 – 12 bulan : ASI + Nasi tim, ASI diberikan tergantung permintaan bayi.
Makanan pendamping yang diberikan berupa nasi tim yang
diberikan 3 x sehari sebanyak 250 ml.
1 tahun- 2 tahun : ASI + Makanan keluarga, ASI diberikan tergantung permintaan
bayi. Makanan pendamping yang diberikan berupa nasi biasa
yang diberikan 3 x sehari sebanyak 100 gram, dengan lauk pauk
seperti tempe, tahu, telur, ikan, ayam, dan daging cincang. Anak
juga sudah diberikan sayur bayam, katuk, wortel, kentang,
buncis, jagung manis. Buah jarang diberikan, sekitar 3 hari sekali.
Diatas 2 tahun hingga sekarang : makanan keluarga
Kesan: Kualitas cukup
Kuantitas cukup
3
Riwayat imunisasi
Pasien sudah mendapatkan imunisasi BCG 1 kali, DPT 3 kali, polio 3 kali,
hepatitis B 4 kali, dan imunisasi campak 1 kali.
Vaksin Lahir 2 4 6 9
BCG
Hepatitis B
Polio
Campak
DPwT
Kesan: Imunisasi dasar lengkap sesuai umur
Riwayat Sosial Ekonomi dan Kondisi Lingkungan
Pasien berasal dari golongan sosial ekonomi menengah kebawah. Pendidikan ayah
tamat SD dan ibu tamat SD. Ayah dan ibu pesien telah bercerai sejak pasien kecil
sehingga pasien tinggal hanya bersama ibu. Ibu kandung pasien bekerja sebagai
pedagang dengan pendapatan tidak tentu kurang dari 700 ribu. Pasien tinggal
bersama ibu dan neneknya yang semuanya sehat. Satu rumah dihuni oleh 4 orang
anggota keluarga. Rumah pasien adalah rumah pemanen berdinding bata. Jalan
menuju ke rumah merupakan jalan aspal. Rumah memiliki banyak jendela.
Memiliki 2 kamar. Terdapat kamar mandi dan tempat buang air besar dan kecil
khusus yang terletak didalam rumah. Untuk mandi dan aktivitas mencuci
dilakukan di rumah. Ventilasi baik. Sumber air minum diperoleh dari air sumur
yang dimasak sampai mendidih. Jarak fasilitas kesehatan puskesmas dekat dari
rumah, sedangkan dari rumah ke RSAM ditempuh dalam waktu ± 30 menit.
Pembiayaan kesehatan ditanggung BPJS dan Nilai UMR provinsi Lampung
adalah 1,7jt.
Kesan: Sosial ekonomi kurang
4
Pemeriksaan Fisik
a. Status Present
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Suhu : 36,80 C
Frekuensi Nadi : 120 x/menit
Frekuensi Nafas : 42 x/menit
Tekanan Darah :
100/70 100/70
100/60 100/80
Persentil :
P S D
50th 98 59
90th 112 74
95th 116 78
99th 23 86
Berat Badan : 24 kg
Tinggi Badan : 131 cm
Status Gizi :
BB/U = -3 SD sampai -2 SD (kurva WHO)
TB/U = -2 SD sampai +2 SD (kurva WHO)
BB/TB = -3 SD sampai -2 SD (kurva WHO)
Kesan:
1. BB/U : Kurus
2. PB/U : Normal
3. BB/PB : Gizi kurang
b. Status Generalis
5
Kelainan Mukosa Kulit / Subkutan Yang Menyeluruh
Pucat : ada
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Oedem : ada
- -
+ +
Turgor : Baik
Pembesaran KGB : Tidak ada
KEPALA
Muka : normal, bulat simetris
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Ubun-ubun besar : sudah tertutup
Mata : CA (-/-) SI (-/-) pupil isokor, reflek cahaya (+/+)
Telinga : normal / sekret (-/-)
Hidung : deviasi - / sekret (-/-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir kering dan pecah-pecah, sianosis(-), candidiasis(-)
LEHER
Bentuk : normal
Trachea : normal
JVP : 5 + 4 cmH2O (meningkat)
KGB : tidak ada pembesaran
THORAKS
Bentuk : normothoraks
Retraksi : retraksi +/+ subcostal
JANTUNG
6
Inspeksi : iktus kordis terlihat di ICSV garis aksila anterior sinistra
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V garis aksila anterior sinistra
Perkusi : redup
batas jantung
kanan atas : ICS II parasternal dekstra
kanan bawah: ICS IV parasternal dekstra
kiri atas: ICS II parasternal sinistra
kiri bawah: ICS V aksila anterior sinistra
kesan batas jantung melebar
Auskultasi : bunyi jantung I – II regular, murmur (+) pansistolik
derajat 2/6, pungtum maks apeks penjalaran ke aksila, thrill (-), gallop (-)
PARU-PARU
Anterior PosteriorSinistra Dextra Sinistra Dextra
InspeksiPergerakan
nafas = dextraPergerakan
nafas = sinistraPergerakan
nafas = dextra
Pergerakan nafas = sinistra
PalpasiEkspansi simetris
Ekspansi simetris
Ekspansi simetris
Ekspansi simetris
Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor
AuskultasiVesikuler +/+Wheezing -/-
Ronkhi -/-
Vesikuler +/+Wheezing -/-
Ronkhi -/-
Vesikuler +/+Wheezing -/-
Ronkhi -/-
Vesikuler +/+Wheezing -/-
Ronkhi -/-
ABDOMEN
Inspeksi : datar
Palpasi : perut lemas, lien tidak teraba, hepar teraba membesar 1/4-1/4
konsistensi lunak ujung tumpul, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) 5x / menit
GENITALIA EKSTERNA : oedema (-)
EKSTREMITAS
7
Superior : normal, oedema -
Inferior : normal, oedema (+/+) pitting
c. Status Neurologis
A. Motorik
Kekuatan :
5 5
5 5
Gerakan
Dextra : Aktif
Sinistra : Aktif
Tonus : Normotonus
Klonus : -
Reflek Fisiologis
Bisep : +/+
Trisep : +/+
Achilles : +/+
Patella : +/+
Reflek Patologis
Babinski : negatif
Chaddock : negatif
Gordon : negatif
Gonda : negatif
Schaefer : negatif
B. Sensorik
Anestesi : -
Hipoestesi : -
C. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : negatif
Brudzinsky I : negatif
8
Brudzinsky II : negatif
Lasseque sign : negatif
Kernig sign : negatif
D. Otonom
Miksi : normal
Defekasi : normal
II.RESUME
Pasien anak, laki-laki, usia 9 tahun, BB 24 kg, datang ke RSAM pada tanggal 23
Maret 2015 dengan keluhan sesak nafas sejak dua minggu yang bertambah hebat
sejak satu minggu terahir, sesak dipengaruhi aktivitas dan tidak dipengaruhi cuaca
maupun emosi. Os sering terbangun pada malam hari karena sesak dan
mengalami sesak saat berjalan ± 20 meter, sesak berkurang ketika beristirahat atau
tidur dengan menggunakan bantal tinggi ataupun duduk. Pasien mengeluh jantung
berdebar-debar, tidak disertai nyeri dada. Keluhan lain berupa adanya nyeri sendi
yang berpindah-pindah, kaki yang membengkak, batuk tanpa disertai dahak, serta
BAK yang sedikit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan KU tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, nadi 120 x/menit, pernafasan 42 x/menit, suhu 36,8 ºC
dan tekanan darah 100/70. Kepala normocephal, nafas cuping hidung (-), pada
leher ditemukan peningkatan JVP 5 + 4 cmH20, dan pada pemeriksaan thorak
ditemukan retraksi subcostal. Pada pemeriksaan jantung, iktus kordis terlihat dan
teraba di ICS V garis aksila anterior sinistra, perkusi redup, auskultasi terdengar
BJ I-II reguler, murmur (+) dengan sifat murmur pansistolik derajat 2/6. Pada
pemeriksaan abdomen, hepar teraba membesar 1/4 –1/4 konsistensi lunak ujung
tumpul. Edema pada ekstremitas inferior. Status gizi berdasarkan kurva WHO
BB/U, TB/U dan BB/TB berada dalam keadaan kurus, normal, dan gizi kurang.
III.DIAGNOSIS BANDING
9
1. Gagal jantung kongestif e.c susp. demam rematik akut serangan pertama
2. Gagal jantung kongestif e.c kardiomiopati
3. Gagal jantung kongestif e.c defek katup
IV.DIAGNOSIS KERJA
Gagal jantung kongestif e.c susp. demam rematik akut serangan pertama
dengan gizi kurang
V.PENATALAKSANAAN
1. IVFD RL X tetes permenit (mikro)
2. Injeksi Lasix (Furosemid) 20mg/24 jam
3. Captopril tab 1 x 12,5 mg
VI. RENCANA TINDAKAN
1. Echocardiography
2. Cek Lab DL, CRP, ASTO, LED
VII.PROGNOSIS
1. Quo ad Vitam : dubia
2. Quo ad Fungtionam : dubia
3. Quo ad Sanationam : dubia
10
FOLLOW UP
S O A PKeluhan Status Assesment Penatalaksanaan
Selasa,24/3/15Pkl. 07.00
Sesak nafas (+);Bedebar-debar (+);Demam (+);Batuk (+);BAB (+);BAK (+)
KU : Tampak Sakit SedangKS : Compos MentisTD : 100/70-100/70
: 100/60-110/80HR : 118 x/menitRR : 42 x/menitT : 37,8°CBB : 24 kgTB : 131 cm
KepalaHidung : nafas cuping hidung (-)ThoraxSimetris, retraksi subcostal (+)JantungIctus cordis terlihat dan teraba di ICS V aksila anterior sinistraBJ I/II Reguler, Murmur (+)AbdomenHepatomegali (+)EkstremitasEdema inferior +/+ pitting
EKG
Rontgen Thoraks
Gagal jantung kongestif e.c susp. demam rematik akut serangan pertama dengan gizi kurang
IVFD RL gtt XCaptopril 1 x 12,5 mgCeftriaxon 1 gr/12 jamFurosemide amp 2 x 20 mgGentamicin 60 mg/12 jam
Konsul Sp.A (pukul 09.00 WIB):Cek DL, LED, ASTO, CRP, echocardiography
11
Selasa,24/3/15Pkl. 07.00
Hasil Laboratorium Hematologi Anemia: dapat merupakan penyebab atau komplikasi gagal jantung.
Leukositosis: dapat terjadi karena adanya infeksi
Rabu,25/3/2015Pkl 07.00
Sesak nafas (+) sedikit;Bedebar-debar (+);Demam (+);Batuk (+);Nyeri pada kaki (+);BAB (+);BAK (+);
KU : Tampak Sakit SedangKS : Compos MentisTD : 90/60-100/70
: 90/70-100/70HR : 112 x/menitRR : 46 x/menitT : 36,7°CBB : 24 kgTB : 131 cm
ParuSimetris, retraksi subcostal (+)ThoraxIctus cordis terlihat dan teraba di ICS V aksila anterior sinistraBJ I/II Reguler, Murmur (+)AbdomenHepatomegali (+)
Gagal jantung kongestif e.c susp. demam rematik akut serangan pertama dengan gizi kurang
IVFD RL gtt XCaptopril 1 x 12,5 mgFurosemide amp 2 x 20 mgCeftriaxon 1 gr/12 jamGentamicin 60 mg/12 jam
12
Hb 8,9 g/dl N=13,5-18,0 g/dl
Ht 28,6 N=40-54 %Eritrosit 3,6 jt/µl N=4,6-6,2 jt/µlLED 80 mm/jam N=0-10
mm/jamLeukosit 15140/ul N=4500-
10700/ulHitung jenis:BasofilEosinofilBatangSegmenLimfositMonosit
02174176
N=0-1 %N=1-3 %N=2-6 %N=50-70 %N=20-40 %N= 2-8 %
Trombosit 399000/ul N=150000-400000/ul
EkstremitasEdema inferior +/+ pitting
Diuresis : 2Balance cairan : -280cc
Rabu,25/3/2015Pkl. 16.00
Laboratorium Imunologi dan SerologiASTO + (positif) N=negatifCRP kuantitatif
>24 mg/L N=< 6 mg/L
ASTO (anti streptolisin O) yang mendukung adanya infeksi streptokokus, dijumpai pada 70-80 % demam rematik akut
CRP (protein C-reaktif) meningkat pada gagal jantung kongestif
Kamis, 26/3/2015Pkl 07.00
Sesak nafas (+) sedikit;Bedebar-debar (+);Demam (+);Batuk (+);Nyeri pada kaki (-);BAB (+);BAK (+);
KU : Tampak Sakit SedangKS : Compos MentisTD : 100/70-100/70
: 90/60-90/60HR : 128 x/menitRR : 46 x/menitT : 37°CBB : 24 kgTB : 131 cm
ParuSimetris, retraksi subcostal (+)ThoraxIctus cordis terlihat dan teraba di ICS V aksila anterior sinistraBJ I/II Reguler, Murmur (+)AbdomenHepatomegali (+)EkstremitasEdema inferior +/+ pitting
Diuresis : 2,5
Gagal jantung kongestif e.c demam rematik akut serangan pertama dengan gizi kurang
- Benzatin penisilin 600 ribu unit per 4 minggu
- Prednison 4-3-3 (hari 1)- Captopril 2x12,5 mg- Ceftriaxone stop- Gentamycin stop- Daftar echocardiography- Furosemide amp 2 x 20
mg
13
Balance cairan : -240cc-
Jumat,27/3/2015Pkl 07.00
Sesak nafas (+) bila berbaring tanpa bantal;Bedebar-debar (+) berkurang;Demam (-);Batuk sesekali;Nyeri pada kaki (-);BAB (+);BAK (+)
KU : Tampak Sakit SedangKS : Compos MentisTD : 100/70-100/70
: 90/70-90/60HR : 82 x/menitRR : 32 x/menitT : 35,9°CBB : 24 kgTB : 131 cm
ThoraxSimetris, retraksi subcostal (+)JantungIctus cordis terlihat dan teraba di ICS V aksila anterior sinistraBJ I/II Reguler, Murmur (+)AbdomenHepatomegali (+)EkstremitasEdema inferior +/+ pitting
Diuresis : 2,3Balance cairan : -300cc
Gagal jantung kongestif e.c demam rematik akut serangan pertama dengan gizi kurang
- Prednison 4-3-3 (hari 2)- Captopril 2x12,5 mg- Daftar echocardiography- Furosemide 2 x 20 mg
Sabtu,28/3/2015Pkl 07.00
Sesak nafas berkurang;Bedebar-debar (+) berkurang;Batuk sesekali;BAB (+);BAK (+)
KU : Tampak sakit ringanKS : Compos MentisTD : 90/70-90/60
: 90/70-90/60HR : 100x/menitRR : 28 x/menitT : 36,1°CBB : 24 kgTB : 131 cm
ThoraxSimetris, retraksi (-)JantungIctus cordis terlihat dan teraba di ICS V
Gagal jantung kongestif e.c demam rematik akut serangan pertama dengan gizi kurang
- Prednison 4-3-3 (hari 3)- Captopril 2x12,5 mg- Echocadiography- -furosemide 2x20 mg
14
aksila anterior sinistraBJ I/II Reguler, Murmur (+)AbdomenHepatomegali (+)EkstremitasEdema inferior +/+ pitting
Diuresis : 2,1Balance cairan : -240cc
-
Sabtu,28/3/2015Pkl 16.00
Hasil Echocadiography
Kesan:MR severe e.c RHD, TR mild
Gagal jantung kongestif e.c demam rematik akut serangan pertama dengan gizi kurang
Senin, 30/3/2015Pkl.07.00
Sesak nafas (-);Bedebar-debar (+) berkurang;Batuk (-);BAB (+);BAK (+)
KU : Tampak sakit ringanKS : Compos MentisTD : 90/60-90/70
: 90/60-90/50HR : 96x/menitRR : 24 x/menitT : 36,0°CBB : 24 kgTB : 131 cm
JantungIctus cordis terlihat dan teraba di ICS V aksila anterior sinistraBJ I/II Reguler, Murmur (+)AbdomenHepatomegali (+)EkstremitasEdema inferior +/+ pitting
Gagal jantung kongestif e.c demam rematik akut serangan pertama dengan gizi kurang
- Prednison 4-3-3 (hari 5)- Captopril 2x12,5 mg- Furosemide amp 2x20
mg
Lapor Sp.A (pukul 09.00 WIB) :Lanjutkan prednison hingga 1 minggu di RS lalu pasien boleh pulang.
15
Diuresis : 1,5Balance cairan : -250cc
-
Selasa, 31/3/2015Pkl.07.00
Sesak nafas (-);Bedebar-debar sedikit;BAB (+);BAK (+)
KU : Tampak sakit ringanKS : Compos MentisTD : 110/70-90/70
: 100/60-90/60HR : 100x/menitRR : 24 x/menitT : 36,0°CBB : 24 kgTB : 131 cm
JantungIctus cordis terlihat dan teraba di ICS V aksila anterior sinistraBJ I/II Reguler, Murmur (+)AbdomenHepatomegali (+)EkstremitasEdema inferior +/+ pitting
Diuresis : 3,1Balance cairan : -200cc
Gagal jantung kongestif e.c demam rematik akut serangan pertama dengan gizi kurang
- Prednison 4-3-3 (hari 6)- Captopril 2x12,5 mg- Furosemide amp 2x20
mg
Rabu, 01/4/2015Pkl.07.00
Sesak nafas (-);Bedebar-debar sedikit;BAB (+);BAK (+)
KU : Tampak sakit ringanKS : Compos MentisTD : 100/70-90/70
: 90/70-90/60HR : 100x/menitRR : 24 x/menitT : 36,0°CBB : 24 kgTB : 131 cm
JantungIctus cordis terlihat dan teraba di ICS V aksila anterior sinistraBJ I/II Reguler, Murmur (+)Abdomen
Gagal jantung kongestif e.c demam rematik akut serangan pertama dengan gizi kurang
- Prednison hari ke 7- Boleh pulang
16
Hepatomegali (+)EkstremitasEdema inferior +/+ pitting
Diuresis : 3Balance cairan : -180cc
17
ANALISIS KASUS
Anamnesis pasien ini dilakukan secara alloanamnesis dan didapatkan pasien
mengalami sesak nafas hilang timbul sejak dua minggu, lalu satu minggu sebelum
masuk rumah sakit, sesak nafas bertambah hebat dan semakin sering terbangun
pada malam hari karena sesak nafas. Sesak nafas timbul walaupun os sedang
istirahat, os lebih nyaman jika menggunakan 2 bantal. Os juga mengeluhkan
demam. Os mengeluh jantung berdebar-debar tanpa disertai nyeri dada, nyeri
sendi dan merasakan kedua kaki mulai membengkak, serta BAK sedikit-sedikit.
Kemudian os berobat ke Rumah Sakit Daerah Mayjed HM Ryacudu dan dirawat
selama 3 hari, diberi obat tablet berwarna putih tetapi tidak ada perubahan
kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Abdul Moeloek.
Pada pemeriksaan fisik pasien ini, didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah superior 100/70, 100/70 dan
inferior 100/60, 100/80, nadi 120 x/menit, pernafasan 42 x/menit, suhu 36,8 ºC.
Kepala normocephal, nafas cuping hidup tidak ada, pada leher ditemukan
peningkatan JVP 5 + 4 cmH20, dan pada thorak ditemukan retraksi subcostal.
Pada pemeriksaan jantung dari inspeksi terlihat dan teraba iktus kordis di ICS V
garis aksila anterior sinistra, perkusi redup, auskultasi terdengar BJ I-II reguler,
murmur pansistolik (+). Pada pemeriksaan abdomen terlihat datar, teraba hepar
membesar 1/4-1/4 konsistensi lunak ujung tumpul, nyeri tekan (-) dan bising usus
(+), turgor baik. Edema pada ekstremitas inferior (+) pitting.
Berdasarkan keluhan pasien, sesak yang dialami mengarah kepada penyakit gagal
jantung kongestif, karena sesak nafas kadang tetap timbul walaupun os istirahat
dan lebih nyaman jika posisi kepala ditinggikan kemudian adanya bengkak pada
kedua kaki. Berdasarkan pemeriksaan fisik pada pasien ini, mengarah kepada
penyakit gagal jantung kongestif. Gagal jantung dapat disebabkan oleh infark
miokardium, miopati jantung, defek katup, malformasi kongenital dan hipertensi
kronik. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan Hb: 8,9 mg/dl; Ht: 28,6%;
eritrosit: 3,6 jt/µl; leukosit: 15140/µl; LED: 80 mm/jam dan trombosit 399.000/
18
µl. CRP positif >24 mg/L dan ASTO positif, pada rontgen thoraks ditemukan
kardiomegali dengan CTR 58%, pada EKG ditemukan adanya interval PR yang
memanjang, sedangkan pada echocardiography ditemukan mitral regurgitation
(MR) severe dan tricuspid regurgitation (TR) mild. Titer antistreptolisin O
(ASTO) yang positif menjadi bukti yang mendukung adanya infeksi
Streptokokus.4
Miokarditis atau insufisiensi katup yang berat dapat menyebabkan terjadinya
gagal jantung. Gagal jantung yang jelas terjadi pada sekitar 5% pasien demam
rematik akut. Manifestasi gagal jantung yang ditemukan pada kasus ini adalah
dipsneu, ortopneu dan anoreksia. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan
takikardi, kardiomegali dan hepatomegali serta peningkatan JVP. Pembesaran
jantung terjadi bila perubahan hemodinamik yang berat terjadi akibat penyakit
katup. Pembesaran jantung yang progresif dapat terjadi akibat pankarditis, yaitu
karena dilatasi jantung akibat miokarditis ditambah dengan akumulasi cairan
perikardium akibat perikarditis, yakni proses peradangan pada permukaan
perikardium parietal viseral.3 Dari penemuan tersebut, infark miokardium, miopati
jantung, defek katup, malformasi kongenital dan hipertensi kronik dapat
disingkirkan. Penyebab gagal jantung pada pasien ini dicurigai adalah penyakit
jantung rematik.
Pada kasus ini tanda manifestasi mayor yang ditemukan berdasarkan kriteria
Jones yaitu:
1. Karditis, karena pada rontgen thoraks ditemukan gambaran kardiomegali,
dan pasien menunjukkan klinis adanya gagal jantung.
2. Poliartritis migran akut, karena pasien mengeluh nyeri sendi pada kedua
lutut dan siku, dimana nyeri tersebut berpindah – pindah (tidak menetap).
Pada kasus ini tanda manifestasi minor yang ditemukan yaitu:
1. Demam
2. Peningkatan reaktan fase akut (C-reactive protein, laju endap darah)
3. Pemanjangan interval PR pada EKG
19
Pada pasien ini ditemukan karditis dengan insufisiensi mitral, termasuk ke dalam
kriteria karditis berat karena terdapat adanya gambaran kardiomegali yang nyata
dan gagal jantung. Endokarditis, radang daun katup mitral dan aorta serta kordae
katup mitral, merupakan komponen yang paling spesifik pada karditis reumatik.
Katup pulmonal dan trikuspid jarang terlibat. Insufisiensi mitral paling sering
terjadi pada karditis reumatik, seperti pada kasus ini yang ditandai dengan adanya
bising pansistolik halus dengan nada tinggi. Pungtum maksimum bising
ditemukan di apeks dengan penjalaran ke daerah aksila kiri.3
Berdasarkan penegakkan diagnosa menurut kriteria WHO tahun 2002-2003 utuk
diagnosis Demam Rematik & Penyakit Jantung Rematik (berdasarkan revisi
kriteria Jones), pasien termasuk ke dalam demam rematik akut serangan pertama
dimana ditemukan 2 kriteria major dan 3 kriteria minor + Streptokokus B
hemolitukus grup A bukti infeksi sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, maka
diagnosis yang ditegakkan adalah gagal jantung kongestif ec demam rematik akut
serangan pertama.4
Anemia pada pasien ini dapat merupakan penyebab atau komplikasi dari gagal
jantung. Anemia dapat terjadi pada gagal jantung karena produksi sitokin yang
berlebihan, seperti tumor necrosis factor-alfa (TNF-α) dan interleukin-6 (IL-6)
yang dapaat mengurangi sekresi erithropoietin (EPO) terkait dengan aktivitas EPO
di sumsum tulang dan mengurangi suplai zat besi ke sumsum tulang. Anemia juga
dapat memperburuk fungsi jantung, baik karena beban jantung melalui takikardia
dan peningkatan stroke volume maupun akibat berkurangnya aliran darah ke ginjal
dan retensi air yang mengakibatkan beban kerja jantung meningkat.1
Leukositosis pada pasien ini dapat menunjukkan adanya proses infeksi atau
inflamasi. Peningkatan kadar leukosit merupakan suatu respon normal sumsum
tulang terhadap proses infeksi atau inflamasi. Kebanyakan dari sel ini merupakan
polimorfonuklear leukosit (PML) yang berpindah ke tempat terjadinya injury
maupun infeksi sehingga diikuti oleh pelepasan leukosit yang banyak.
Leukositosis terkait inflamasi dapat terjadi pada nekrosis jaringan, infark, dan
arthritis.2
20
Penatalaksanaan pada kasus ini meliputi tirah baring, benzatin penisilin 600.000
IU, prednison 2 mg/kgBB/hari, captopril 2x12,5 mg, dan furosemid. Pasien ini
termasuk ke dalam karditis berat, yaitu karditis yang disertai dengan
kardiomegali. Lamanya tirah baring adalah 2-4 bulan atau selama masih terdapat
gagal jantung kongestif. Hal ini sudah sesuai dengan penatalaksanaan yang
seharusnya.15
Antibiotika yang diberikan pada pasien ini sudah tepat, yaitu benzatin penisilin
600.000 IU. Benzatin penisilin 600.000 IU diberikan untuk anak dengan berat
badan kurang dari 30 kg dan 1,2 juta IU untuk berat badan lebih dari 30 kg,
diberikan sekali, intramuskular. Pemberian profilaksis sekunder dari injeksi IM
dilakukan secara reguler setiap 3-4 minggu selama minimal 10 tahun karena
karditis ditemukan pada kasus ini.45 Pemberian injeksi penisilin tiap 3 minggu
lebih efektif pada kasus dengan resiko tinggi seperti insiden demam rematik yang
tinggi di lingkungan atau pada pasien beresiko tinggi seperti pasien dengan
karditis reumatik residual.567 Mekanisme aksi dari golongan antibiotik β-lactam ini
adalah menghambat pembentukan peptidoglikan di dinding sel. β-lactam akan
terikat pada enzim transpeptidase yang berhubungan dengan molekul
peptidoglikan bakteri, dan hal ini akan melemahkan dinding sel bakteri ketika
membelah. Dengan kata lain, antibiotika ini dapat menyebabkan perpecahan sel
(sitolisis) ketika bakteri mencoba untuk membelah diri.8
Sebelum diagnosis penyakit jantung reumatik ditegakkan, pasien ini mendapat
terapi ceftriaxon dan gentamicyn karena pasien mengeluhkan adanya demam,
sesak nafas dan batuk tanpa disertai dahak. Namun, setelah pemeriksaan lebih
lanjut dan diagnosis telah ditegakkan maka pemberian antibiotik golongan ini
dihentikan dan diganti dengan terapi yang sesuai.
Terapi anti-inflamasi pada pasien ini sudah tepat yaitu dengan pemberian
prednison 2 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi selama 2-6 minggu, sehingga
diberikan dengan dosis 48 mg per hari. Pemberian prednisone pada kasus ini
21
diindikasikan karena ditemukan kasus karditis berat.15 Pada kasus ini pasien
mendapatkan dosis 50 mg perhari dimana pasien menerima kelebihan dosis
sebesar 2 mg per hari. Sebaiknya prednisone diberikan dalam dosis 3,5-3-3. Dosis
prednisone di tapering off pada minggu terakhir pemberian dan mulai diberikan
aspirin. Aspirin diberikan dengan dosis 90-100 mg/kgBB/hari selama 4-8 minggu.
Untuk karditis ringan hingga sedang, penggunaan aspirin saja sebagai anti
inflamasi direkomendasikan dengan dosis 90-100 mg/kgBB perhari yang dibagi
dalam 4 sampai 6 dosis. Kadar salisilat yang adekuat di dalam darah adalah
sekitar 20-25 mg/100 mL. Untuk poliarthritis, terapi aspirin dilanjutkan selama 2
minggu dan dikurangi secara bertahap selama lebih dari 2 sampai 3 minggu.
Adanya perbaikan gejala sendi dengan pemberian aspirin merupakan bukti yang
mendukung poliarthritis migrans akut pada demam rematik akut.9,15
Pada pasien ini juga diberikan captopril 2x12,5 mg untuk mengurangi beban kerja
jantung yang disebabkan karena gagal jantung. Mekanisme kerja dari captopril
yang termasuk dalam golongan ACE inhibitor yaitu menghambat sistem renin-
angiotensin-aldosteron dengan menghambat perubahan Angiotensin I menjadi
Angiotensin II sehingga menyebabkan vasodilatasi dan mengurangi retensi
sodium dengan mengurangi sekresi aldosteron. Oleh karena ACE juga terlibat
dalam degradasi bradikinin maka ACE inhibitor menyebabkan peningkatan
bradikinin, suatu vasodilator kuat dan menstimulus pelepasan prostaglandin dan
nitric oxyde. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah
dari ACE inhibitor dan juga mengurangi mortalitas hampir 20% pada pasien
dengan gagal jantung yang simptomatik serta mengurangi gejala. ACE inhibitor
harus diberikan pertama kali dalam dosis yang rendah untuk menghindari resiko
hipotensi dan ketidakmampuan ginjal. Fungsi ginjal dan serum pottasium harus
diawasi dalam 1-2 minggu setelah terapi dilaksanakan terutama setelah dilakukan
peningkatan dosis. Dosis inisial yaitu 0,3 – 2 mg/kgbb/hari dan diberikan dengan
pengawasan yang tepat. Terapi ACEI diberikan pada anak dengan gagal jantung
dan gangguan hemodinamik termasuk disfungsi miokard penyakit jantung
bawaan, hipertensi pulmo dan regurgitasi aorta atau mitral. 10
22
Pada kasus ini diberikan furosemide dengan dosis 2x20 mg. Furosemide
merupakan diuretik yang bermanfaat mengurangi oedem namun tidak mengurangi
penampilan miokard. Furosemide diberikan dengan dosis 1mg/kgbb setiap 6-12
jam.15 Diuretik menyebabkan eksresi kalium bertambah sehingga pada dosis besar
atau pemberian jangka lama diperlukan tambahan kalium. Kombinasi antara
furosemide dan spironolakton dapat bersifat aditif yaitu menambah efek diuresis,
dan oleh karena spironolakton bersifat menahan kalium maka pemberian kalium
tidak diperlukan.11
Pada anak – anak yang menderita gagal jantung sering terjadi gangguan tumbuh
kembang dan berat badannya tidak mau naik. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
sejumlah faktor seperti serangan sesak, gangguan absorpsi makanan karena
penurunan perfusi darah ke usus dan infeksi yang menyertai gagal jantung.12
Pasien ini mengalami gizi kurang sehingga perlu diberikan penyuluhan gizi dan
nasehat pemberian makanan di rumah dan pemberian vitamin. Pada pasien gizi
kurang yang dirawat inap untuk penyakit lain, diberikan makanan sesuai dengan
penyakitnya dengan tambahan energi sebanyak 20% agar tidak jatuh pada gizi
buruk, serta untuk meningkatkan status gizinya.12
Diet pada pasien ini termasuk ke dalam diet jantung I pada anak karena anak
menderita gagal jantung dengan tujuan memberikan makanan secukupnya tanpa
memberatkan kerja jantung, mencegah atau menghilangkan penimbunan garam
dan air, yaitu cukup kalori, karbohidrat sedang, protein rendah yaitu 1-2 gr/kgbb,
lemak rendah yaitu 25-30% dari kebutuhan energi total, diet rendah garam yaitu
400 mg/hari, vitamin dan mineral, serta cairan cukup. Makanan sehari dibagi
menjadi 5-6 kali makan dengan porsi kecil dalam bentuk cair yang mudah
dicerna.13
Pada pasien ini seharusnya ditambahkan suplemen tablet besi dan mikronutrien
seperti kalsium, magnesium, selenium, zink, dan vitamin D. Ditemukan penelitian
bahwa pasien anemia dengan gagal jantung kongestif terjadi peningkatan kadar
Hb yang signifikan dalam pemberian suplemen Epo dan suplemen besi oral atau
23
intravena. Kenaikan kadar aldosteron dan penggunaan lama dari diuretik
meningkatkan ekskresi kalsium dan magnesium melalui urine yang dapat
mengakibatkan hiperparatiroid sekunder sehingga meningkatkan stres oksidatif.
Mikronutrien yang lain juga menurun pada pasien gagal jantung sehingga
diperlukan dalam jumlah yang lebih banyak. Ditemukan bahwa pemberian
suplemen mikronutrien dapat meningkatkan fungsi kerja ventrikel kiri dan
kualitas hidup.14,16
Prognosis pada pasien ini adalah dubia yang berarti bila kesembuhan pasien masih
diragukan, tergantung pada kepatuhan pasien dalam pengobatan. Perkembangan
penyakit jantung residual dapat dipengaruhi oleh kondisi jantung pada
penatalaksanaan awal, rekurensi demam rematik, dan regresi penyakit jantung.
Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata demam
rematik akut dengan gagal jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan
40% setelah 10 tahun. Serangan pertama dapat menghilang dalam 10%-25%
pasien setelah 10 tahun sejak serangan awal.15
Pada pasien penyakit jantung reumatik yang berat yang disertai gagal jantung,
maka obat – obat gagal jantung terus diberikan sementara pasien memperoleh
profilaksis sekunder berupa benzatin penisillin. Pengobatan yang disertai
profilaksis sekunder yang adekuat dapat memperbaiki keadaan jantung.
Pemberian edukasi pada pasien ini dirasa perlu terutama kepada kedua orangtua
pasien, maka kami mengedukasi pengobatan berkelanjutan pada pasien ini berupa
penjelasan mengenai pemberian obat benzatin penisilin 600.000 IU secara
intramuskular sebanyak 1 kali kemudian pemberian diulang pada minggu ke 4
diberikan selama minimal 10 tahun tiap 4 minggu karena pasien ini termasuk
dalam kategori demam rematik dengan karditis tetapi tanpa penyakit jantung
residual (tidak ada kelainan katup) maka disarankan kepada pasien untuk kontrol
rutin ke poli anak sehingga perkembangan dari penyakit jantung rematik ini
mengarah kepada prognosis yang lebih baik.
24
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEMAM REMATIK AKUT
1. Etiologi
Demam rematik akut disebabkan oleh respon imunologis yang terjadi sebagai
sekuel dari infeksi streptokokus grup A pada faring tetapi bukan pada kulit.
Tingkat serangan demam rematik akut setelah infeksi streptokokus bervariasi
tergantung derajat infeksinya, yaitu 0,3% - 3%. Faktor predisposisi yang penting
meliputi riwayat keluarga yang menderita demam rematik, status sosial ekonomi
rendah (kemiskinan, sanitasi yang buruk), dan usia antara 6 - 15 tahun (dengan
puncak insidensi pada usia 8 tahun).
2. Patologi
Lesi peradangan dapat ditemukan di berbagai bagian tubuh, terutama pada
jantung, otak, sendi dan kulit. Karditis akibat rematik sering disebut sebagai
pankarditis, dengan miokarditis sebagai bagian yang paling utama. Saat ini,
diketahui bahwa komponen katup yang mungkin sama atau lebih penting
dibandingkan keterlibatan otot jantung maupun pericardium. Pada miokarditis
rematik, kontraktilitas miokard jarang mengalami kerusakan dan kadar troponin
serum tidak mengalami peningkatan. Pada penyakit jantung rematik tidak hanya
terjadi kerusakan pada daun katup akibat timbulnya vegetasi pada permukaannya,
namun seluruh katup mitral mengalami kerusakan (dengan pelebaran annulus dan
tertariknya korda tendineae).
Katup mitral merupakan katup yang paling sering dan paling berat mengalami
kerusakan dibandingkan dengan katup aorta dan lebih jarang pada katup trikuspid
dan pulmonalis. Badan Aschoff yang ditemukan pada otot jantung atrium
merupakan salah satu tanda khas pada demam rematik. Badan Aschoff terdiri dari
25
lesi-lesi peradangan yang disertai dengan pembengkakan, serat kolagen yang
berfragmen, dan perubahan jaringan penyambung, yang saat ini dianggap sebagai
sel miokardium yang mengalami nekrosis.
3. Manifestasi Klinis
Demam rematik akut didiagnosis dengan menggunakan kriteria Jones. Kriteria
tersebut dibagi menjadi tiga bagian : (1) lima gejala mayor, (2) empat gejala
minor, dan (3) bukti pemeriksaan yang mendukung adanya infeksi streptokokus
grup A.
Tabel 1. Kriteria diagnosis Jones
Kriteria Mayor
1. Karditis terjadi pada 50% pasien yang merupakan manifestasi klinik
demam rematik yang paling berat karena merupakan satu-satunya
manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada fase
akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit
jantung rematik.
26
Tanda – tanda karditis berdasarkan adanya salah satu atau semua kriteria
dibawah ini :
a. takikardi
b. murmur jantung akibat valvulitis (disebabkan oleh regurgitasi mitral
atau regurgitasi aorta)
c. perikarditis (efusi perikardial, nyeri dada, perubahan EKG)
d. kardiomegali pada foto thorax merupakan indikasi perikarditis,
pankarditis, atau gagal jantung kongestif
e. tanda – tanda gagal jantung kongestif (kardiomegali) merupakan
indikasi karditis berat
2. Artritis, merupakan manifestasi demam rematik akut yang tersering,
terjadi pada 70% kasus, biasa melibatkan sendi yang besar. Ditandai oleh
adanya pembengkakan, kemerahan, nyeri, teraba panas, dan keterbatasan
gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik
paling sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah.
Kelainan ini hanya berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada
satu sendi dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis
yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama;
sementara tanda-tanda radang mereda pada satu sendi, sendi yang lain
mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu
sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu criteria mayor.
Selain itu, agar dapat digunakan sebagai suatu kriteria mayor, poliartritis
harus disertai sekurang-kurangnya dua kriteria minor, seperti demam dan
kenaikan laju endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO
atau antibodi anti Streptokokus lainnya yang tinggi.
3. Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak
bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral,
meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi
demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan ketidakstabilan
emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun atau
setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea
Sydenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian
27
penting sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam
rematik meskipun tidak ditemukan kriteria yang lain. Korea merupakan
manifestasi demam rematik yang muncul secara lambat, sehingga tanda
dan gejala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea
mulai timbul.
4. Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada
demam rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat
di bagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi
yang bergelombang dan meluas secara sentrifugal. Eritema marginatum
juga dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan terutama timbul di
daerah badan, pantat, anggota gerak bagian proksimal, tetapi tidak
pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat sementara
atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh
yang lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika
ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus
yang berat.
Gambar 1. Eritema marginatum
5. Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang
berat dan terdapat di daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta
kolumna vertebralis. Nodul ini berupa massa yang padat, tidak terasa
nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya, dengan diameter dan
beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak
akan ditemukan jika tidak terdapat karditis.
28
Gambar 2. Nodul Subkutan
Gambar 3. Manifestasi klinis demam rematik akut
Kriteria Minor
1. Riwayat demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah
satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis
yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat
demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah
diderita seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga
sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.
2. Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai
peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Artralgia tidak dapat
digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai
sebagai kriteria mayor.
3. Demam pada demam rematik biasanya ringan yaitu 38,80 C muncul di
29
awal mula dema rematik akut yang belum ditangani.
4. Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap
darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator
nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut
ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea
merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu
diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan
gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada
anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif.
Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada
semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah,
maka kemungkinan adanya infeksi Streptokokus akut dapat
dipertanyakan.
5. Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya
keterlambatan abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan
meskipun sering dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran
EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R
yang memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan
adanya karditis rematik.
Bukti yang mendukung
Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik standar untuk
demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi
Streptokokus. Titer ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd
pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun, dan
dapat dijumpai pada sekitar 70% sampai 80% kasus demam rematik akut. Infeksi
Streptokokus juga dapat dibuktikan dengan melakukan biakan usapan
tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut.
Bagaimanapun, biakan yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan
adanya infeksi Streptokokus akut.
30
4. Diagnosis
Demam rematik akut didiagnosis berdasarkan kriteria Jones dimana didapatkan
minimal dua gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua gejala minor, ditambah
adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan adanya infeksi streptokokus. Dua
gejala mayor selalu lebih kuat dibandingkan satu gejala mayor dengan dua gejala
minor. Arthralgia atau pemanjangan interval PR tidak dapat digunakan sebagai
gejala minor ketika menggunakan karditis dan arthritis sebagai gejala mayor.
Tidak adanya bukti yang mendukung adanya infeksi streptokokus grup A
merupakan peringatan bahwa demam rematik akut mungkin tidak terjadi pada
pasien (kecuali bila ditemukan adanya khorea). Murmur innocent (Still’s) sering
salah interpretasi sebagai murmur dari regurgitasi katup mitral (MR) dan oleh
karenanya merupakan penyebab yang sering dari kesalahan diagnosis dari demam
rematik akut. Murmur dari MR merupakan tipe regurgitan sistolik (berawal dari
bunyi jantung I) sedangkan murmur innocent merupakan murmur dengan nada
rendah dan tipe ejeksi.
Pengecualian dari kriteria Jones meliputi tiga keadaan berikut ini:
1. Khorea mungkin timbul sebagai satu-satunya gejala klinis dari demam
rematik.
2. Karditis indolen mungkin satu-satunya gejala klinis pada pasien yang
datang ke tenaga medis setelah berbulan-bulan dari onset serangan demam
rematik.
3. Kadang-kadang, pasien dengan demam rematik rekuren mungkin tidak
memenuhi kriteria Jones.
Penegakkan diagnosa menurut kriteria WHO tahun 2002-2003 utuk diagnosis
Demam Rematik & Penyakit Jantung Rematik (berdasarkan revisi kriteria Jones)
yaitu :
Demam Rematik serangan pertama: 2 kriteria major atau 1 kriteria
major dan 2 minor + Streptokokus B hemolitukus grup A bukti infeksi
sebelumnya
31
Demam Rematik serangan rekuren tanpa Penyakit Jantung Rematik : 2
major atau 1 major dan 2 minor + bukti Streptokokus B hemolitukus
grup A sebelumnya
Demam Rematik serangan rekuren dengan Penyakit Jantung Rematik :
2 minor + bukti Streptokokus B hemolitukus grup A sebelumnya
Korea Syndenham: tidak perlu kriteria major lainnya atau bukti
Streptokokus B hemolitukus grup A
Penyakit Jantung Rematik (stenosis mitral murni atau kombinasi
dengan insufisiensi dan atau gangguan aorta) : tidak perlu kriteria lain
5. Diagnosis Banding
Arthritis reumatoid juvenile sering didiagnosis sebagai demam rematik akut.
Temuan klinis yang mengarah ke arthritis reumatoid juvenile antara lain:
keterlibatan dari sendi-sendi kecil di perifer, sendi-sendi besar terkena secara
simetris tanpa adanya arthritis yang berpindah, kepucatan pada sendi yang
terkena, tidak ada bukti infeksi streptokokus, perjalanan penyakit yang lebih
indolen, dan tidak adanya respon awal terhadap terapi salisilat selama 24 sampai
48 jam.
Penyakit vaskular kolagen (systemic lupus erythematosus ; SLE, penyakit jaringan
penyambung campuran); arthritis yang reaktif, termasuk arthritis
poststreptococcal; serum sickness; dan infeksius arthritis (seperti gonokokus),
kadang-kadang perlu dibedakan.
Infeksi virus yang disertai arthritis akut (rubella, parvovirus, virus hepatitis B,
herpesvirus, enterovirus) lebih sering terjadi pada orang dewasa. Penyakit-
penyakit hematologi seperti anemia sel sabit dan leukemia, dianjurkan untuk tetap
dipikirkan sebagai diagnosis banding.
6. Penatalaksanaan
32
Ketika demam rematik akut ditemukan secara anamnesis dan pemeriksaan fisik,
selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium antara lain : pemeriksaan darah
lengkap, reaktan fase akut (LED, protein C-reaktif), kultur tenggorok, titer anti
streptolisin O (dan titer antibodi kedua, terutama pada pasien dengan khorea), foto
Rontgen, dan elektrokardiografi. Konsultasi ke ahli jantung diindikasikan untuk
menjelaskan apakah terjadi kerusakan pada jantung : pemeriksaan ekhokardiografi
dua dimensi dan Doppler yang biasa dilakukan.
Benzatin Penisillin G 0,6 sampai 1,2 juta unit disuntikkan secara intramuskular,
diberikan untuk eradikasi streptokokus. Pada pasien yang mempunyai alergi
penisilin, dapat diberikan eritromisin dengan dosis 40 mg/kgBB perhari dalam dua
sampai empat dosis selama 10 hari.
Terapi anti-inflamasi atau supresi dengan salisilat atau steroid tidak boleh
diberikan sampai ditegakkannya diagnosis pasti. Ketika diagnosis demam rematik
akut ditegakkan, diperlukan edukasi kepada pasien dan orang tuanya tentang
perlunya pemakaian antibiotik secara berkelanjutan untuk mencegah infeksi
streptokokus berikutnya. Adanya keterlibatan jantung, diperlukan pemberian
profilaksis untuk menangani endokarditis infektif.
Jangka waktu tirah baring bergantung pada tipe dan keparahan dari gejala dan
berkisar dari seminggu (untuk arthritis) hingga beberapa minggu untuk karditis
berat. Tirah baring diikuti periode untuk ambulasi di dalam rumah dengan durasi
bervariasi sebelum anak diperbolehkan untuk kembali ke sekolah. Aktivitas bebas
diperbolehkan bila laju endap darah sudah kembali ke normal, kecuali pada anak
dengan kerusakan jantung yang cukup berat.
Lama dan tingkat tirah baring tergantung sifat dan keparahan serangan.
33
Tabel 2.2 Durasi tirah baring dan ambulasi indoor
Terapi dengan agen anti inflamasi harus dimulai sedini mungkin saat demam
rematik akut sudah didiagnosis. Prednison (2mg/kg per hari untuk 2 – 6 minggu)
diindikasikan hanya untuk kasus karditis berat. Untuk karditis ringan hingga
sedang, penggunaan aspirin saja sebagai anti inflamasi direkomendasikan dengan
dosis 90-100 mg/kgBB perhari yang dibagi dalam 4 sampai 6 dosis. Kadar
salisilat yang adekuat di dalam darah adalah sekitar 20-25 mg/100 mL. Dosis ini
dilanjutkan selama 4 sampai 8 minggu, tergantung pada respon klinis. Setelah
perbaikan, terapi dikurangi secara bertahap selama 4-6 minggu selagi monitor
reaktan fase akut.
Untuk arthritis, terapi aspirin dilanjutkan selama 2 minggu dan dikurangi secara
bertahap selama lebih dari 2 sampai 3 minggu. Adanya perbaikan gejala sendi
dengan pemberian aspirin merupakan bukti yang mendukung arthritis pada
demam rematik akut. Pemberian prednisone (2 mg/kgBB perhari dalam 4 dosis
untuk 2 sampai 6 minggu) diindikasikan hanya pada kasus karditis berat.
Penanganan gagal jantung kongestif meliputi istirahat total dengan posisi setengah
duduk (orthopneic) dan pemberian oksigen. Prednison untuk karditis berat dengan
onset akut. Digoksin digunakan dengan hati-hati, dimulai dengan setengah dosis
rekomendasi biasa, karena beberapa pasien dengan karditis rematik sangat sensitif
34
terhadap pemberian digitalis. Furosemid dengan dosis 1 mg/kgBB setiap 6 sampai
12 jam, jika terdapat indikasi.
Penanganan khorea Sydenham dilakukan dengan mengurangi stres fisik dan
emosional. Terapi medikamentosa antara lain pemberian benzatin penisilin G 1,2
juta unit, sebagai awalan eradikasi streptokokus dan juga setiap 28 hari untuk
pencegahan rekurensi, seperti pada pasien dengan gejala rematik lainnya. Tanpa
profilaksis sekitar 25% pasien dengan khorea (tanpa adanya karditis) berkembang
menjadi penyakit katup jantung rematik pada follow-up 20 tahun berikutnya. Pada
kasus yang berat, obat-obatan berikut dapat diberikan: fenobarbital (15-30 mg
setiap 6-8 jam), haloperidol (dimulai dengan dosis 0,5 mg dan ditingkatkan setiap
8 jam sampai 2 mg setiap 8 jam), asam valproat, klorpromazine, diazepam, atau
steroid.
7. Prognosis
Ada maupun tidak adanya kerusakan jantung permanen menentukan prognosis.
Perkembangan penyakit jantung sebagai akibat demam rematik akut diperngaruhi
oleh tiga faktor, yaitu:
1. Keadaan jantung pada saat memulai pengobatan. Lebih parahnya
kerusakan jantung pada saat pasien pertama datang, menunjukkan lebih
besarnya kemungkinan insiden penyakit jantung residual.
2. Kekambuhan dari demam rematik : Keparahan dari kerusakan katup
meningkat pada setiap kekambuhan.
3. Penyembuhan dari kerusakan jantung : terbukti bahwa kelainan jantung
pada serangan awal dapat menghilang pada 10-25% pasien. Penyakit katup
sering membaik ketika diikuti dengan terapi profilaksis.
8. Pencegahan
a. Pencegahan primer
35
Pencegahan primer dari demam rematik dimungkinkan dengan terapi penisilin
selama 10 hari untuk faringitis karena streptokokus. Namun, 30% pasien
berkembang menjadi subklinis faringitis dan oleh karena itu tidak berobat lebih
lanjut. Sementara itu, 30% pasien lainnya berkembang menjadi demam rematik
akut tanpa keluhan dan tanda klinis faringitis streptokokus.
b. Pencegahan sekunder
Pasien dengan riwayat demam rematik, termasuk dengan gejala khorea dan pada
pasien dengan tidak adanya bukti pemeriksaan yang menunjukkan pasien
menderita demam rematik akut harus diberikan profilaksis. Sebaiknya, pasien
menerima profilaksis dalam jangka waktu tidak terbatas.
Kategori Durasi
Demam rematik tanpa karditis Minimal selama 5 tahun atau sampai
usia 21 tahun, yang mana lebih lama
Demam rematik dengan karditis tetapi
tanpa penyakit jantung residual (tidak
ada kelainan katup)
Minimal 10 tahun atau hingga dewasa,
yang mana lebih lama
Demam rematik dengan karditis dan
penyakit jantung residual (kelainan
katup persisten)
Minimal 10 tahun sejak episode
terakhir dan minimal sampai usia 40
tahun, kadang-kadang selama seumur
hidup
Tabel 4. Durasi profilaksis untuk demam rematik
B. PENYAKIT JANTUNG REUMATIK
1. Definisi Penyakit Jantung Reumatik
Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit jantung
didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik merupakan
kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya,
36
terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup
trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik
dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya.
Terkenanya katup dan endokardium adalah manifestasi paling penting dari demam
rematik. Lesi pada katup berawal dari verrucae kecil yang terdiri dari fibrin dan
sel-sel darah di sepanjang perbatasan dari satu atau lebih katup jantung. Katup
mitral paling sering terkena, selanjutnya diikuti oleh katup aorta; manifestasi ke
jantung-kanan jarang ditemukan. Sejalan dengan berkurangnya peradangan,
verrucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Dengan serangan
berulang dari demam rematik, verrucae baru terbentuk di bekas tempat tumbuhnya
verrucae sebelumnya dan endokardium mural dan korda tendinea menjadi terkena.
Gambar 5. Vegetasi pada katup jantung
2. Patofisiologi
Demam reumatik merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang disebabkan
Streptokokus beta hemolitik grup A. Reaksi autoimun terhadap infeksi
Streptokokus secara hipotetif akan menyebabkan kerusakan jaringan atau
manifestasi demam reumatik, sebagai berikut (1) Streptokokus grup A akan
menyebabkan infeksi pada faring, (2) antigen Streptokokus akan menyebabkan
pembentukan antibodi pada hospes yang hiperimun, (3) antibodi akan bereaksi
dengan antigen Streptokokus, dan dengan jaringan hospes yang secara antigenik
sama seperti Streptokokus ( dengan kata lain antibodi tidak dapat membedakan
37
antara antigen Streptokokus dengan antigen jaringan jantung), (4) autoantibodi
tesebut bereaksi dengan jaringan hospes sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan.
Gambar 6. Patofisiologi penyakit jantung rematik
Adapun kerusakan jaringan ini akan menyebabkan peradangan pada lapisan
jantung khususnya mengenai endotel katup, yang mengakibatkan pembengkakan
daun katup dan erosi pinggir daun katup. Hal ini mengakibatkan tidak
sempurnanya daun katup mitral menutup pada saat sistolik sehingga
mengakibatkan penurunan suplai darah ke aorta dan aliran darah balik dari
ventrikel kiri ke atrium kiri, hal ini mengakibatkan penurunan curah sekuncup
ventrikel sehingga jantung berkompensasi dengan dilatasi ventrikel kiri,
peningkatan kontraksi miokardium, hipertrofi dinding ventrikel dan dinding
atrium sehingga terjadi penurunan kemampuan atrium kiri untuk memompa darah
hal ini mengakibatkan kongesti vena pulmonalis dan darah kembali ke paru-paru
mengakibatkan terjadi edema intertisial paru, hipertensi arteri pulmonalis,
hipertensi ventrikel kanan sehingga dapat mengakibatkan gagal jantung kanan.
38
3. Pola Kelainan Katup
a. Regurgitasi mitral
Regurgitasi mitral merupakan akibat dari perubahan struktural yang biasanya
meliputi kehilangan beberapa komponen katup dan pemendekan serta penebalan
korda tendineae. Selama demam rematik akut dengan karditis berat, gagal jantung
disebabkan oleh kombinasi dari regurgitasi mitral yang berpasangan dengan
peradangan pada perikardium, miokardium, endokardium dan epikardium. Oleh
karena tingginya volume pengisian dan proses peradangan, ventrikel kiri
mengalami pembesaran. Atrium kiri berdilatasi saat darah yang mengalami
regurgitasi ke dalam atrium. Peningkatan tekanan atrium kiri menyebabkan
kongesti pulmonalis dan gejala gagal jantung kiri.
Perbaikan spontan biasanya terjadi sejalan dengan waktu, bahkan pada pasien
dengan regurgitasi mitral yang keadaannya berat pada saat onset. Lebih dari
separuh pasien dengan regurgitasi mitral akut tidak lagi mempunyai murmur
mitral setelah 1 tahun. Pada pasien dengan regurgitasi mitral kronik yang berat,
tekanan arteri pulmonalis meningkat, ventrikel kanan dan atrium membesar, dan
berkembang menjadi gagal jantung kanan. Regurgitasi mitral berat dapat
berakibat gagal jantung yang dicetuskan oleh proses rematik yang progresif, onset
dari fibrilasi atrium, atau endokarditis infekstif.
b. Stenosis Mitral
Stenosis mitral pada penyakit jantung rematik disebabkan adanya fibrosis pada
cincin mitral, adhesi komisura, dan kontraktur dari katup, korda dan muskulus
papilaris. Stenosis mitral yang signifikan menyebabkan peningkatan tekanan dan
pembesaran serta hipertrofi atrium kiri, hipertensi vena pulmonalis, peningkatan
rersistensi vaskuler di paru, serta hipertensi pulmonal. Terjadi dilatasi serta
hipertrofi atrium dan ventrikel kanan yang kemudian diikuti gagal jantung kanan.
39
Penatalaksanaan lebih kepada profilaksis terhadap demam rematik rekuren.
Cardiac output perlu diperhatikan agar kerja jantung tidak memberat. Terapi
antikongestif seperti diuretik dan digoksin diperlukan jika terdapat gagal jantung
kongestif. Jika terdapat fibrilasi atrium, digoksin diindikasikan untuk
memperlambat respon ventrikel.15
c. Regurgitasi aorta
Pada regurgitasi aorta akibat proses rematik kronik dan sklerosis katup aorta
menyebabkan distorsi dan retraksi dari daun katup. Regurgitasi dari darah
menyebabkan volume overload dengan dilatasi dan hipertrofi ventrikel kiri.
Kombinasi regurgitasi mitral dengan regurgitasi aorta lebih sering terjadi daripada
regurgitasi aorta saja. Tekanan darah sistolik meningkat, sedangkan tekanan
diastolik semakin rendah. Pada regurgitasi aorta berat, jantung membesar dengan
apeks ventrikel kiri terangkat.Murmur timbul segera bersamaan dengan bunyi
jantung kedua dan berlanjut hingga akhir diastolik. Murmur tipe ejeksi sistolik
sering terdengar karena adanya peningkatan stroke volume.
d. Kelainan Katup Trikuspid
Kelainan katup trikuspid sangat jarang terjadi setelah demam rematik akut.
Insufisiensi trikuspid lebih sering timbul sekunder akibat dilatasi ventrikel kanan.
Gejala klinis yang disebabkan oleh insufisiensi trikuspid meliputi pulsasi vena
jugularis yang jelas terlihat, pulsasi sistolik dari hepar, dan murmur holosistolik
yang meningkat selama inspirasi.
e. Kelainan Katup Pulmonal
Insufisiensi pulmonal sering timbul pada hipertensi pulmonal dan merupakan
temuan terakhir pada kasus stenosis mitral berat. Murmur Graham Steell hampir
sama dengan regurgitasi aorta, tetapi tanda-tanda arteri perifer tidak ditemukan.
40
Diagnosis pasti dikonfirmasi oleh pemeriksaan ekhokardiografi dua dimensi serta
Doppler.
4. Penatalaksanaan Operatif
a. Mitral stenosis
Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang
menyempit, tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional
III ke atas. Intervensi dapat bersifat bedah (valvulotomi, rekonstruksi aparat sub
valvular, kommisurotomi atau penggantian katup.
b. Regurgitasi mitral
Indikasi untuk dilakukan tindakan operatif bila terjadi gagal jantung kongestif
sudah tidak bisa ditangani, kardiomegali progresif dengan gejala, dan hipertensi
pulmonal.15 Penentuan waktu yang tepat untuk melakukan pembedahan katup
pada penderita regurgitasi mitral masih banyak diperdebatkan. Namun
kebanyakan ahli sepakat bahwa tindakan bedah hendaknya dilakukan sebelum
timbul disfungsi ventrikel kiri. Jika mobilitas katup masih baik, mungkin bisa
dilakukan perbaikan katup (valvuloplasti, anuloplasti). Bila daun katup kaku dan
terdapat kalsifikasi mungkin diperlukan penggantian katup (mitral valve
replacement). Katup biologik (bioprotese) digunakan terutama digunakan untuk
anak dibawah umur 20 tahun, wanita muda yang masih menginginkan kehamilan
dan penderita dengan kontra indiksi pemakaian obat-obat antikoagulan. Katup
mekanik misalnya Byork Shiley, St.Judge dan lain-lain, digunakan untuk penderita
lainnya dan diperlukan antikoagulan untuk selamanya.
c. Regurgitasi aorta
Pilihan untuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontra
indikasi untuk koagulan, serta lamanya umur katup. Penderita dengan katup
jaringan, baik porsin atau miokardial mungkin tidak membutuhkan penggunaan
antikoagulan jangka panjang. Risiko operasi kurang lebih 2% pada penderita
41
insufisiensi kronik sedang dengan arteri koroner normal. Sedangkan risiko operasi
pada penderita insufisiensi berta dengan gagal jantung, dan pada penderita
penyakit arteri, bervariasi antara 4 sampai 10%. Penderita dengan katup buatan
mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka panjang.
42
C. GAGAL JANTUNG KONGESTIF
a. Definisi
Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinis dimana jantung tidak mampu
memompa cukup darah ke seluruh tubuh, untuk mengembalikan darah melalui
vena tidak adekuat, maupun kombinasi keduanya.16
b. Etiologi
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh penyakit jantung kongenital
maupun didapat dengan overload volume atau tekanan atau dari insufisiensi
miokard.
Penyakit jantung didapat dapat menyebabkan gagal jantung kongestif, antara lain :
1. Abnormalitas metabolik (hipoksia berat dan asidosis) dapat menyebabkan
gagal jantung kongestif pada bayi baru lahir.
2. Fibroelastosis endokardial menyebabkan gagal jantung kongestif pada bayi.
3. Miokarditis viral sering terjadi pada anak lebih dari satu tahun.
4. Karditis rematik akut dapat menyebabkan gagal jantung kongestif yang
terjadi pada usia anak sekolah.
5. Penyakit katup jantung rematik berupa regurgitasi mitral atau regurgitasi
aorta menyebabkan gagal jantung kongestif pada anak yang lebih tua dan
dewasa.
6. Kardiomiopati dilatasi tipe idiopatik
7. Kardiomiopati yang berhubungan dengan distrofi muskular
8. Kardiomiopati doxorubicin
43
c. Manifestasi Klinis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan hasil rontgen thoraks. Kardiomegali pada rontgen thoraks merupakan tanda
penting gagal jantung kongestif.
Keluhan nafas pendek, sesak nafas terkait dengan aktivitas, mudah lelah serta kaki
membengkak merupakan gejala yang sering dikeluhkan pada anak – anak.
Manifestasi tersering dari gagal jantung kiri adalah dispnea, atau perasaan
kehabisan napas. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan compliance paru
akibat edema dan kongesti paru dan oleh peningkatan aktivitas reseptor regang
otonom di dalam paru. Dispnea paling jelas sewaktu aktivitas fisik (dyspneu
d’effort). Dispnea juga jelas saat pasien berbaring (ortopnea) karena
meningkatnya jumlah darah vena yang kembali ke toraks dari ekstremitas bawah
dan karena pada posisi ini diafragma terangkat. Dispnea nokturnal paroksismal
adalah bentuk dispnea yang dramatik, pada keadaan tersebut pasien terbangun
dengan sesak napas hebat mendadak disertai batuk dan sensasi tercekik.
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan takikardi, ritme gallop, kardiomegali,
gagal tumbuh, dingin, dan kulit basah sebagai respon kompensasi
ketidakmampuan fungsi jantung. Pada kongesti vena pulmonalis dapat ditemukan
takipneu, dispneu pada aktivitas dan ortopnea. Pada kongesti vena sistemik dapat
ditemukan hepatomegali, distensi vena leher dan edema tungkai.
Klasifikasi gagal jantung menurut NYHA (New York Heart Association) dapat
dibagi menjadi 4 klasifikasi. Pada NYHA derajat 1 tidak terdapat batasan dalam
melakukan aktivitas fisik, aktivitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak. Pada NYHA derajat II terdapat batasan aktivitas ringan.
Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktivitas fisik sehari-hari
menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas. Pada NYHA derajat III
terdapat batasan aktivitas bermakna, tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi
aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak. NYHA derajat
44
IV adalah apabila tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan, terdapat
gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas.
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal jantung kongestif terdiri dari :
1. Eliminasi penyakit yang mendasari
2. Eliminasi penyebab lain yang ikut menyebabkan gagal jantung seperti infeksi,
anemia, aritmia, demam
3. Kontrol gagal jantung dengan obat – obatan seperti inotropik, diuretik, dan
afterload reducing agents (vasodilator)
Pasien dengan gagal jantung kongestif baik diberikan diuretik seperti furosemide
sebelum pemberian digitalis. Furosemide merupakan diuretik dengan aksi cepat
yang menjadi obat pilihan pada gagal jantung kongestif, dengan mekanisme utama
di lengkung henle (loop diuretic). Digitalis glikosida (digoksin) paling sering
digunakan pada pasien anak. Digitalis digunakan atas indikasi lemah jantung
kongestif dan depresi nodus AV dengan tujuan untuk mengontrol respon ventrikel
terhadap takikardi supraventrikular paroksimal, flutter atrial atau fibrilasi atrial.
Vasodilator yang digunakan terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu vasodilator
arteriolar (hydralazine) dengan mekanisme primer pada arteriolar untuk
meningkatkan curah jantung sehingga terjadi penurunan afterload, venodilator
(nitrogliserin, isoborbit dinitrat) dengan mekanisme dilatasi vena sistemik dan
redistribusi darah dari pulmo ke sistemik, serta vasodilator campuran termasuk
ACEI (captopril) yang bekerja pada arterioral dan vena. ACEI mengurangi
resistensi vaskular sistemik dengan menghambat pembentukan angiotensin II dan
meningkatkan produksi bradikinin.
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyusun diet penderita penyakit jantung
menurut Persatuan Ahli Gizi Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Energi sesuai dengan kebutuhan
45
Untuk kelainan jantung bawaan dibutuhkan 175 -180 kkal/kgBB/hr. Bila
masukan kalori kurang dari 120 kkal/kgBB sehari akan terjadi defisiensi
vitamin D, asam folat, vitamin B12, zat tembaga dan seng.
2. Protein 3-4 gr/kgBB yang diperlukan untuk pembentukan otot jantung.
Pada gagal jantung, protein yang dianjurkan 1-2 gr/kgBB sehingga dapat
meringankan beban ginjal.
3. Lemak sedang; Formula dengan persentase lemak tidak jenuh ganda
(polyunsaturated fat) atau zat besi dapat meningkatkan kebutuhan akan
vitamin E; vitamin E hendaknya diberikan diantara waktu makan bila
diperlukan.
4. Vitamin dan mineral cukup; natrium dan cairan dikurangi bila ada sembab
atau hipertensi. Formula yang dianjurkan adalah yang kadar natriumnya 7-
8 meq sehari dan susu dengan protein dengan susunan whei/kasein: 60/40
5. Makanan yang mudah diserap, cukup mengandung serat sehingga
memudahkan buang air besar; bila perlu diberikan lewat pipa gastrik.
6. Rupa makanan menarik, rasa diperhatikan dan cara menyajikan menarik
dan suasana makan menyenangkan.
Jenis Diet Dan Indikasi Pemberian
DIET JANTUNG I
Indikasi : Diet jantung I diberikan bagi pasien dengan gagal jantung.
Dasar diet :
1. Karena fungsi jantung terganggu maka aliran darah ginjal juga akan
terganggu. Agar kadar ureum darah tidak meningkat maka perlu diberikan
protein yang rendah.
2. Sebagai akibat kegagalan jantung bisa menyebabkan timbulnya oedema.
Untuk mengurangi oedema, pemberian garam harus dibatasi.
Tujuan Diet :
1. Mengurangi beban ginjal
2. Mengurangi atau mencegah retensi natrium
46
Syarat-syarat :
1. Cukup kalori (sesuai dengan kecukupan normal)
2. Karbohidrat sedang
3. Lemak rendah
4. Air dibatasi
5. Mineral + vitamin cukup ( Ca dibatasi)
6. konsumsi protein rendah 1-2g/kgBB
7. konsumsi natrium dibatasi 150-180 mg/hr pada bayi, 400 mg/hr pada anak.
Bentuk makanan : Dihidangkan dalam bentuk makanan cair, mudah dicerna.
DIET JANTUNG II
Indikasi: Diet jantung II diberikan pada pasien dengan kemampuan kerja jantung
yang menurun, namun belum tampak adanya gejala kegagalan jantung.
Dasar diet :
1. Walaupun fungsi jantung terganggu, pengaruh terhadap fungsi ginjal
belum tampak, sehingga dapat diberikan tinggi protein.
2. Untuk mencegah terjadinya oedem perlu diberikan diet rendah garam.
Tujuan Diet :
1. Memberikan makanan secukupnya agar anak dapat tumbuh dan
berkembang secara normal
2. Mencegah terjadinya oedem
Syarat-syarat :
1. Tinggi kalori (175-180 kkal/BB/hr)
2. Tinggi protein (3-4 gr/kgBB/hr)
3. Cukup karbohidrat
4. Lemak, sedang
5. Garam dibatasi : Bayi 200-400mg/hr
6. Anak 600-800 mg/hr
7. Air dibatasi
8. Cukup vitamin dan mineral
Bentuk makanan : untuk bayi dalam bentuk makanan bayi. Untuk anak bentuk
makanan lunak atau biasa
47
Makanan yang tidak boleh diberikan :
1. Makanan yang diolah, diawetkan dengan garam dapur
2. Kecap, tauco,coklat
3. Minuman yang mengandung gas seperti air soda, coca cola, dan
sebagainya.
DIET JANTUNG III
Indikasi : Diberikan bagi pasien tanpa gagal jantung dan kemampuan kerja
jantung tidak menurun, seperti pada demam reumatik dan penyakit jantung
rematik.
Dasar diet :
1. Pada penderita CHD atau RHD umumnya berstatus gizi kurang karena
pengangkutan zat-zat gizi ke jaringan tidak berjalan sempurna, ditambah
dengan adanya sekunder infeksi. Oleh karena itu perlu diberikan makanan
tinggi protein dan tinggi kalori.
2. Pemberian garam dapur tidak dibatasi, karena pada penderita ini tidak
dijumpai oedem.
Tujuan Diet :
1. Memberikan makanan secukupnya agar anak dapat tumbuh dan
berkembang secara normal tanpa memberatkan kerja jantung.
2. Menyiapkan penderita CHD dalam keadaan baik untuk tindakan operasi.
1. Syarat-syarat 1,7 :
- Tinggi kalori (175-180 kkal/BB/hr)
- Tinggi protein (3-4 gr/kgBB/hr)
- Karbohidrat sedang
- Lemak cukup
- Garam tanpa dibatasi (seperti pada makanan biasa)
- Air tanpa dibatasi
- Cukup vitamin dan mineral
Bentuk makanan : lunak atau makanan biasa.
48
Pada diet jantung III hampir semua makanan boleh diberikan, kecuali makanan
yang merangsang saluran cerna dan mengandung gas seperti kol, lobak, sawi,
durian, nangka, cabai, dan lada.
Evaluasi diperlukan untuk mencegah komplikasi metabolisme yang timbul..
Evaluasi tersebut meliputi kebutuhan cairan, osmolaritas air kemih, dan perkiraan
solute ginjal.
1. Kebutuhan cairan pada bayi adalah 140-160 ml/KgBB dalam keadaan
normal. Pada bayi dengan kelainan jantung bawaan restriksi cairan
menjadi 110-120 ml/KgBB sehari.
2. Osmolaritas air kemih dipertahankan 400 mosm/L :
a. Bila terjadi gagal tumbuh dan konsentrasi air kemih di bawah 300
mosm/L, maka diperlukan formula densitas tinggi. (Biasanya
dipakai polycose atau minyak safflower bila tidak ada masalah
malabsorbsi atau minyak MCT dapat dipakai bila volume formula
memadai).
b. Bila terjadi gagal tumbuh dan konsentrasi air kemih 400 mosm/L,
maka diperlukan formula dengan beban solute yang lebih rendah.
c. Pada sembab, kenaikan BUN, diare, letargi, hiperamonemia, dan
atau asidosis metabolic, maka diperlukan formula densitas lebih
rendah.
d. Formula dengan konsentrasi kalori yang lebih tinggi hendaknya
tidak dibuat dengan cara menurunkan volume cairan, karena dapat
meningkatkan beban solut.
3. Perkiraan beban solut ginjal.
a. Untuk menilai beban solut ginjal, diperkirakan bahwa seluruh
protein yang dimakan diekskresi sebagai urea. Satu gram protein
menghasilkan 5,7 mosm urea. Nitrogen = gram protein dibagi 6,25.
Tiap molekul urea mengandung 2 atom nitrogen. Berat atom
nitrogen 14.
49
b. Semua natrium, kalium, dan klorida diperkirakan akan diekskresi.
Urea ditambah dengan ion-ion ini akan menghasilkan 75-80 %
beban solute ginjal pada bayi.
c. Kalsium, fosfor, dan mineral yang lain tidak diperhitungkan karena
diekskresi sedikit.
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Silverberg DS, Wexler D, Iaina . The role of anemia in the progression of
gagal jantung kongestif. Is there a place for erythropoietin and intravenous
iron. J Nephrol.2004. Nov; 17 (6) : 749-61.
2. Abramson N, Melton B. Leukocytosis : basics of clinical assessment. Am
Fam Physician. 2000. Nov; 62 (9) : 2053-60.
3. WHO technical report series. Rheumatic fever and rheumatic heart disease.
2004.
4. Wahab AS. Buku ajar kardiologi anak: demam rematik akut. 1994. Jakarta:
IDAI.
5. Dajani A, Taubert K, Ferrieri P. Treatment of acute streptococcal pharyngitis
and prevention of rheumatic fever. 1995.
6. Beggs S, Peterson G, Tompson A. Antibiotic use for the prevention and
treatment of rheumatic fever and rheumatic heart disease in children. WHO
report : 2008.
7. Hungchi, L. Three versus four week administration of benzathine penicillin G
: effects on incidence of streptococcal infections and recurrences of rheumatic
fever. Am Ac Pediatrics. 1996. 97 : 984.
8. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik : basic & clinical pharmacology,
8th.Ed. Jakarta : EGC.
9. Cilliers A, Manyemba J, Adler AJ, Solojee H. Anti-inflammatory treatment
for carditis in acute rheumatic fever (Review). Cochrane Lib. 2012.
10. Momma K. ACE inhibitors in pediatric patients with heart failure. Paediatr
Drugs. 2006; 8(1) : 55-69.
11. Oesman, IN. Buku ajar kardiologi anak: gagal jantung. 1994. Jakarta: IDAI.
12. IDAI. Pedoman pelayanan medis. 2009.
13. Hartono A. Terapi gizi dan diet rumah sakit. 2006. Jakarta : EGC.
14. Rothberg MB, Sivalingam SK. The new heart failure diet : lest salt restriction,
more micronutrients. J Gen Intern Med. 2010. 25 (10); 1136-7
15. Park, MK. Pediatric cardiology for practitioners. 2002. United States :
Mosby.
51
16. Tang YD, Katz SD. Anemia in chronic heart failure. Cir AHA. 2006 ;
113:2454-61.
17. Stollerman GH. Rheumatic Fever. In: Braunwald, E. etal (eds). Harrison's
Principles of Internal Medicine. 16th. ed. Hamburg. McGraw-Hill Book.
2005 :1977-79
18. Kliegman R, Behrman R, Jenson H. Rheumatic Heart Disease in Nelson
Textbook of Pediatric. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008.
p.1961-63
19. Price, Sylvia Anderson and Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-proses penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. p. 613-27
20. Pudjiadi, H, Antonius, dkk. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
52
top related