case an fikri (cp+epilepsi sekunder+ pneumonia orthostatik).doc
Post on 26-Oct-2015
138 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Pada tahun 1860, seorang dokter bedah kebangsaan Inggris bernama William Little
pertama kali mendeskripsikan satu penyakit yang pada saat itu membingungkan yang menyerang
anak-anak pada usia tahun pertama, yang menyebabkan kekakuan otot tungkai dan lengan. Anak-
anak tersebut mengalami kesulitan memegang obyek, merangkak dan berjalan. Penderita tersebut
tidak bertambah membaik dengan bertambahnya usia tetapi juga tidak bertambah memburuk.
Kondisi tersebut disebut little 's disease selama beberapa tahun, yang saat ini dikenal sebagai
spastic diplegia. Penyakit ini merupakan salah satu dari penyakit yang mengenai pengendalian
fungsi pergerakan dan digolongkan dalam terminologi cerebralpalsy atau umunya disingkat CP.
Sebagian besar penderita tersebut lahir premature atau mengalami komplikasi saat
persalinan dan Little menyatakan kondisi tersebut merupakan hasil dari kekurangan oksigen
selama kelahiran. Kekurangan oksigen tersebut merusak jaringan otak yang sensitif yang
mengendalikan fungsi pergerakan. Tetapi pada tahun 1897, psikiatri terkenal Sigmund Freud
tidak sependapat. Dalam penelitiannya, banyak dijumpai pada anak-anak CP mempunyai
masalah lain misalnya retardasi mental, gangguan visual dan kejang, Freud menyatakan bahwa
penyakit tersebut mungkin sudah terjadi pada awal kehidupan, selama perkembangan otak janin.
Kesulitan persalinan hanya merupakan satu keadaan yang menimbulkan efek yang lebih buruk
dimana sangat mempengaruhi perkembangan fetus.1
Disamping pengamatan oleh Freud, keyakinan yang menyatakan bahwa komplikasi
persalinan menyebabkan banyak kasus CP tersebar luas diantara dokter, keluarga dan tenaga riset
medis. Ditahun 1980, dianalisis data penelitian pemerintah pada >35.000 persalinan dan hasilnya
sangat mengejutkan dengan ditemukan kasus komplikasi hanya <10%. Sebagian besar kasus CP
sering dijumpai kasus tanpa faktor resiko. Penemuan dari NINDS tersebut dapat mengubah teori
medis mengenai CP dan sangat memotivasi peneliti masa kini untuk mencari lebih lanjut
penyebab lain dari CP.
Pada saat yang sama, penelitian biomedis juga telah memulai penelitian untuk lebih
memahami perubahan pemahaman secara bermakna dalam diagnosis dan penanganan penderita
CP. Faktor resiko yang sebelumnya tidak diketahui mulai dapat diidentifikasi, khususnya
paparan intrauterine terhadap infeksi dan penyakit koagulasi, dll. Identifikasi dini CP pada bayi
akan memberikan kesempatan pada penderita untuk mendapat penanganan optimal dalam upaya
memperbaiki kecacatan sensoris dan mencegah timbulnya kontraktur. Riset biomedis berhasil
dalam memperbaiki teknik diagnostik misalnya imaging cerebral canggih dan analisis gait
1
modern. Kondisi tertentu yang sudah diketahui menyebabkan CP, misalnya rubella dan ikterus,
pada saat ini sudah dapat diterapi dan dicegah. Terapi fisik, psikologis dan perilaku yang optimal
dengan metode khusus misalnya gerakan, bicara membantu kematangan sosial dan emosional
sangat penting untuk mencapai kesuksesan. Terapi medikasi, pembedahan dan pemasangan
braces banyak membatu dalam hal perbaikan koordinasi saraf dan otot, sebagai terapi penyakit
yang berhubungan dengan CP, disamping mencegah atau mengoreksi deformitas.2
2
BAB II
CEREBRAL PALSY
1. DEFINISI
Cerebral palsy (CP) adalah ensefalopati statis yang mungkin didefinisikan sebagai
kelainan postur dan gerakan, bersifat non-progresif, sering disertai dengan epilepsi dan
ketidaknormalan bicara, penglihatan, dan kecerdasan akibat dari cacat atau lesi otak yang
sedang berkembang.1
Cerebral palsy merupakan kumpulan gangguan yang bersifat permanen pada
perkembangan gerak dan posture, menyebabkan keterbatasan aktifitas, yang bersifat non-
progressif yang terjadi pada masa perkembangan otak bayi ataupun janin. Gangguan motorik
pada cerbral palsy sering disertai dengan gangguan sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi dan
kebiasaan; epilepsi dan oleh gangguan sekunder motorik.3
2. EPIDEMIOLOGI
Collaborative perinatal project, dimana sekitar 45.000 anak secara teratur dipantau
sejak dalam kandungan hingga umur 7 tahun, melaporan angka prevalensi CP sekitar 4/1000
bayi lahir hidup. Sedangkan perkiraan prevalensi di dunia sebesar 2/1000 populasi. Kejadian
pada laki-laki lebih banyak daripada wanita. Di Amerika Serikat sekitar 10.000 bayi
didiagnosis CP setiap tahunnya dan pada 1.200-1.500 kasus didiagnosis pada saat usia
sekolah.1,4
3. ETIOLOGI
Asfiksia pada saat kelahiran dikatakan sebagai penyebab cerebral palsy yang tidak
lazim, hal ini dikaitkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa kehamilan dengan resiko
tinggi sekalipun tetap membuahkan anak yang normal secara neurologis. Meskipun penyebab
CP tidak dapat dikenali pada sebagian besar kasus, ditemukan sebagian besar anak dengan
CP mengalami anomali kongenital di luar sistem saraf sentral, yang dapat menempatkan
mereka pada peningkatan reiko terjadinya asfiksia selama periode perinatal. Studi Australia
yang membandingkan anak dengan CP Spastik dengan kelompok kontrol yang sesuai
menunjukan temuan yang serupa. Kurang dari 10% anak dengan CP menunjukan bukti
adanya asfiksia intrapartum. Meskipun ketahanan hidup bayi premature karena perbaikan
perinatal telah mengakibatkan lebih banyak anak dengan CP, namun frekuensi daripada
3
kejadiannya tidak meningkat. Diharapkan pengembangan dimasa mendatang yang diarahkan
pada perbaikan perawatan perinatal akan mempunyai dampak minimal pada insidensi CP dan
bahwa riset mungkin diarahkan secara lebih menguntungkan pada bidang biologi
perkembangan agar memahami patogensis cerebral palsy.1,4,5,6
Berikut merupakan hal-hal yang mungkin menyebabkan terjadinya CP :
a. Masa prenatal:
1. Perdarahan antenatal
2. Infeksi dalam kandungan
3. Pemakaian obat-obatan, alkohol, merokok
4. Trauma pada ibu pada masa kehamilan
5. Malnutrisi
6. Anoksia dalam kandungan
b. Masa natal / perinatal
1. Anoksia / hipoksia dalam persalinan
2. Prematuritas / postmaturitas
3. Perdarahan otak
4. BBLR
5. Kelainan letak
6. Lahir spontan / partus lama
c. Postnatal
1. Trauma kepala
2. Meningitis
3. Encephalitis
4. Jaringan parut pada otak post operasi
5. Keang tonik/klonik lama
6. Keracunan bahan kimia
4. FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar
antara lain adalah:
a. Letak sungsang.
b. Proses persalinan sulit.
4
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan tanda awal yang
menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara
normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permanen.7
c. Apgar score rendah.
Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.8
d. BBLR dan prematuritas.
Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir <2500gram dan bayi lahir
dengan usia kehamilan <37 minggu. Resiko akan meningkat sesuai dengan rendahnya
berat lahir dan usia kehamilan.7
e. Kehamilan ganda.7
f. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP
yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali). Hal tersebut
menunjukkan bahwa masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam
kandungan.9
g. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan.
Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan peningkatan jumlah
protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi9
h. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.
i. Kejang pada bayi baru lahir7
5. KLASIFIKASI
Cerebral palsy dapat diklasifikasikan dengan gambaran cacat motorik dalam
kaitannya dengan kategori fisiologis, topografis, etiologis dan kapasitas fungsional.
Klasifikasi fisiologis mengenali kelainan motorik utama, sedang taksonomi topografis
menunjukan keterlibatan tungkai.
Klasifikasi cerebral palsy menurut Minear WL:1
a. Fisiologis :
- Spastik
- Atetoid
- Kaku
- Ataksik
- Tremor
- Atonik
5
- Campuran
- Tidak terklasifikasi
b. Topografis
- Monoplegia
- Paraplegia
- Hemiplegia
- Triplegia
- Kuadriplegia
- Diplegia
- Hemiplegia Ganda
c. Etiologis
- Prenatal
- Perinatal
- Postnatal
6
CP juga dapat diklasifikan berdasarkan estimasi derajat beratnya penyakit dan
kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas normal.4
Klasifikasi Perkembangan motorik Gejala Penyakit penyerta
Minimal Normal, hanya terganggu
secara kualitatif
Kelainan tonus sementar
Refleks primitif menetap terlalu
lama
Kelainan postur ringan
Gangguan gerak motorik kasar
dan halus, misalnya clumpsy
Gangguan
komunikasi
Gangguan belajar
spesifik
Ringan Berjalan umur 24 bulan Perkembangan refleks primitif
abnormal
Respon postular terganggu
Gangguan motorik seperti
tremor
Gangguan koordinasi
Sedang Berjalan umur 3 tahun
kadang memerlukan
bracing. Tidak perlu alat
khusus
Berbagai kelainan neurologis
Refleks primitif menetap
Respon postural terlambat
Retardasi mental
Gangguan belajar
dan komunikasi
Kejang
Berat Tidak bisa berjalan atau
berjalan dengan alat
bantu, kadang butuh
operasi
gejala neurologis dominan
refleks primitif menetap
respon postural tidak muncul
Sistem klasifikasi cerebral palsy yang terbaru saat ini dikembangkan berdasarkan
kemampuan motorik dari seorang anak, dimana dengan fungsi yang masih ada, diharapkan
seorang anak dapat tetap melakukan mobilitas secara mandiri. Derajat keparahan cerebral
palsy berdasarkan “Gross motor function classification system” (GMFCS), pada anak berusia
6 – 12 tahun :9
Derajat 1 : Anak dapat berjalan baik didalam maupun diluar rumah, menaiki tangga tanpa
keterbatasan. Anak dapat berlari maupun melompat, tetapi kecepatan,
keseimbangan dan koordinasi berkurang
Derajat 2 : Anak dapat berjalan baik didalam maupun diluar rumah, menaiki tangga dengan
memegang pegangan tangga. Mengalami kesulitan ketika berjalan di tempat yang
7
tidak rata ataupun yang ramai. Memiliki kesulitan untuk berlari ataupun
melompat.
Derajat 3 : Anak dapat berjalan baik didalam maupun diluar rumah pada permukaan yang rata
dengan alat bantu. Bergantung kepada kemampuan lengan atas untuk dapat
berpergian jauh, dapat menggunakan kursi roda secara manual..
Derajat 4 : Anak dapat berjalan pada jarak yang sangat pendek dengan penyangga, untuk
berpergian jarak jauh harus menggunakan kursi roda yang dapat digerakan
menggunakan listrik.
Derajat 5 : Keterbatasan aktifitas fisik secara volunter, kehilangan reflek postural untuk
mempertahankan kepala untuk tetap tegak, semua kemampuan motorik sangat
terbatas, anak tidak dapat bergerak secara mandiri dan harus dibantu untuk dapat
berpindah tempat.
6. PATOFISIOLOGI
CP bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab. CP merupakan grup
penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi dapat mempunyai penyabab yang berbeda.
Untuk menentukan penyebab CP, harus digali mengenai hal : bentuk CP, riwayat kesehatan
ibu dan anak, dan onset penyakit.
Adanya malformasi hambatan pada vaskuler, atrofi, hilangnya neuron dan degenerasi
laminar akan menimbulkan narrowergyiri, suluran sulci dan berat otak rendah. CP
digambarkan sebagai kekacauan pergerakan dan postur tubuh yang disebabkan oleh cacat
nonprogressive atau luka otak pada saat anak-anak. Suatu presentasi CP dapat diakibatkan
oleh suatu dasar kelainan (struktural otak : awal sebelum dilahirkan, perinatal, atau luka-
luka / kerugian setelah kelahiran dalam kaitan dengan ketidakcukupan vaskuler, toksin atau
infeksi).
Di USA, sekitar 10 – 20% CP disebabkan oleh karena penyakit setelah lahir. Dapat
juga merupakan hasil dari kerusakan otak pada bulan – bulan pertama atau tahun pertama
kehidupan yang merupakan sisa infeksi otak, misalnya meningitis bakteri atau ensefalitis
virus, atau merupakan hasil dari trauma kepala yang sering akibat kecelakaan lalu lintas,
jatuh atau penganiayaan anak.
Penyebab CP kongenital sering tidak diketahui. Diperkirakan terjadi kejadian spesifik
pada masa kehamilan atau sekitar kelahiran dimana terjadi kerusakan pusat motorik pada otak
yang sedang berkembang. Beberapa penyebab CP kongenital adalah :
1. Infeksi pada kehamilan
8
Rubella dapat menginfeksi ibu hamil dan fetus dalam uterus, akan menyebabkan
kerusakan sistem saraf yang sedang berkembang. Infeksi lain yang dapat
menyebabkan cedera otak fetus meliputi cytomegalovirus dan toxoplasmosis.
2. Ikterus neonatorum
Pada keadaan Rh/ABO inkompatibilitas, terjadi kerusakan eritrosit dalam waktu
singkat, sehingga bilirubin indirek akan menngkat dan menyebabkan ikterus. Ikterus
berat dan tidak diterapi dapat merusak sel otak secara permanen. 6
3. Kekurangan oksigen berat pada otak atau trauma kepala selama proses persalinan.
Asfiksia sering dijumpai pada bayi bayi dengan kesulitan persalinan. Asfiksia
menyebabkan rendahnya suplai oksigen pada otak bayi dalam periode lama, anak
tersebut akan mengalami kerusakan otak yang dikenal dengan hipoksik iskemik
ensefalopati. Angka mortalitas meningkat pada kondisi asfiksia berat, dimana daat
bersama dengan gangguan mental dan kejang. 6
7. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis daripada cerebral palsy dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
tipe, bergantung kepada lokasi, dan besarnya lesi pada otak, bagian tubuh yang terkena
dampaknya, jenis dari tonus dan kesulitan gerak, antara lain : 1,4,5,6
1. CP Spastik
Cedera pada kortex serebri dapat menghasilkan CP Spastik dimana akan
menyebabkan abnormalitas kekakuan otot. Merupakan bentuk CP yang terbanyak
(70-80%), otot mengalami kekakuan secara permanen dan akan menjadi kontraktur.
Jika kedua tungkai mengalami spastisitas, pada saat seseorang berjalan, kedua
tungkai tampak bergerak kaku dan lurus. Gambaran klinis ini membentuk
karakterisitik berupa ritme berjalan yang dikenal dengan gait gunting (scissor gait).
CP Spastic dibedakan menjadi beberapa jenis bergantung dari extrmitas mana yang
terkena.
a. Monoplegi : bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan
b. Diplegia : keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat
daripada kedua lengan, sering terjadi pada kasus bayi
premature.
c. Triplegia : bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah
mengenai kedua lengan dan kaki
9
d. Quadriplegia : keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang sama,
sering terjadi pada bayi yang mengalami asfiksia.
e. Hemiplegia : Mengenai salah satu sisi dari tubuh dan lengan terkena lebih
berat, sering pada bayi yang terkena stroke / mengalami cedera
kepala.
2. CP Athetoid / Dystonia
Cedera pada ganglia basal dapat menyebabkan athetoid cerebral palsy dengan
bentuk gangguan gerakan otot secara involunter. Bentuk CP ini mempunyai
karakteristik gerakan menulis yang tidak terkontrol dan perlahan. Gerakan abnormal
ini mengenai tangan, kaki, lengan atau tungkai dan pada sebagian besar kasus, otot
muka dan lidah, menyebabkan anak tampak selalu menyeringai dan selalu
mengeluarkan air liur. Gerakan sering meningkat selama periode peningkatan stress
dan hilang pada saat tidur. Penderita juga mengalami masalah koordinasi gerakan
otot bicara (disartria). CP atetoid terjadi pada 10-20% penderita CP.
3. CP Ataksid
Jarang dijumpai, mengenai keseimbangan dan persepsi dalam. Penderita yang
terkena sering menunjukkan koordinasi yang buruk, berjalan tidak stabil dengan
gaya berjalan kaki terbuka lebar, meletakkan kedua kaki dengan posisi yang saling
berjauhan, kesulitan dalam melakukan gerkan cepat dan tepat, misalnya menulis
atau mengancingkan baju. Mereka juga sering mengalami tremor, dimulai dengan
gerakan volunter misalnya mengambil buku, menyebabkan gerakan seperti
menggigil pada bagian tubuh yang baru akan digunakan dan tampak memburuk
sama dengan saat pendertia akan menuju obyek yang dikehendaki. Bentuk ataksid
ini mengenai 5-10% penderita CP.
4. CP Campuran
Sering ditemukan pada seorang penderita mempunyai lebih dari satu bentuk CP
yang akan dijabarkan di atas. Bentuk campuran yang sering dijumpai adalah
spastic dan gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga mungkin dijumpai.
10
7.1 Penyakit Penyerta Pada CP
Banyak penderita CP juga menderita penyakit lain. Kelainan yang mempengaruhi
otak dan menyebabkan gangguan fungsi motorik dapat menyebabkan kejang dan
mempengaruhi perkembangan intelektual seseorang, atensi terhadap dunia luar, aktivitas dan
perilaku, dan penglihatan dan pendengaran. Penyakit – penyakit yang berhubungan dengan
CP adalah : 1,10,11
1. Gangguan mental
Sepertiga anak CP memiliki gangguan intelektual ringan, sepertiga dengan
gangguan sedang hingga berat dan sepertiga lainnya normal. Gangguan mental
sering dijumpai pada anak dengan klinis spastik quadriplegia.
2. Kejang atau epilepsi
Setengah dari seluruh anak CP menderita kejang. Selam kejang, aktivitas elektri
dengan pola normal dan teratur di otak mengalami gangguan karena letupan listrik
yang tidak terkontrol. Pada pendertia CP dan epilepsi, gangguan tersebut akan
tersebar keseluruh otak dan menyebabkan gejala pada seluruh tubuh, seperti
kejang tonik-klonik atau mungkin hanya pada satu bagian otal dan menyebabkan
gejala kejang parsial. Kejang tonik-klonik secara umum menyebabkan penderita
menjerit dan diikuti dengan hilangnya kesadaran, twitching kedua tungkai dan
lengan, gerakan tubuh konvulsi dan hilangnya kontrol kandung kemih.
3. Gangguan pertumbuhan
Sindroma gagal tumbuh sering terjadi pada CP derajat sedang hingga berat,
terutama tipe quadriparesis. Gagal tumbuh secara umum adalah istilah untuk
mendeskripsikan anak – anak yang terhambat pertumbuhan dan perkembangannya
walaupun dengan asupan makanan yang cukup. Tampak pendek dan tidak tampak
tanda maturasi seksual. Sebagai tambahan, otot tungkai yang mengalami
spastisitas mempunyai kecenderungan lebih kecil dibanding normal. Kondisi
tersebut juga mengenai tangan dan kaki karena gangguan penggunaan otot tungkai
(disuse atrophy).
4. Gangguan penglihatan dan pendengaran
Mata tampak tidak segaris karena perbedaan pada otot mata kanan dan kiri
sehingga menimbulkan penglihatan ganda. Jika tidak segera dikoreksi dapat
menimbulkan gangguan berat pada mata.
11
5. Sensasi dan persepsi normal
Sebagian pendertia CP mengalami gangguan kemampuan untuk merasakan
sensasi misalnya sentuhan dan nyeri. Mereka juga mengalami stereognosia, atau
kesulitan merasakan dan mengidentifikasi obyek melalui sensasi.
8. DIAGNOSIS
8.1 Gejala Awal
Tanda awal CP biasanya tampak pada usia <3 tahun, dan orang tua sering mencurigai
ketika kemampuan perkembangan motorik tidak normal. Bayi dengan CP sering mengalami
kelambatan perkembangan, misalnya tengkurap, duduk, merangkak, tersenyum atau berjalan. 1,4,5,6
1) Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan reflek
Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang
meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya
pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sifat yang khas dengan kecenderungan
terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam aduksi, fleksi pada sendi siku dan
pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari
melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap aduksi, fleksi pada sendi paha dan
lutut, kaki dalam flesi plantar dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex
dan refleks neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya terletak di
traktus kortikospinalis. Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan
besarnya kerusakan yaitu monoplegia/ monoparesis. Kelumpuhan keempat anggota
gerak, tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya; hemiplegia/
hemiparesis adalah kelumpuhan lengan dan tungkai dipihak yang sama; diplegia/
diparesis adalah kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat
daripada lengan; tetraplegia/ tetraparesis adalah kelimpuhan keempat anggota gerak,
lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai
2) Tonus otot yang berubah
Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak flaksid (lemas) dan
berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor
neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah
hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak fleksid dan sikapnya seperti kodok
terlentang, tetapi bila dirangsang atau mulai diperiksa otot tonusnya berubah menjadi
12
spastis, Refleks otot yang normal dan refleks babinski negatif, tetapi yang khas ialah
refelek neonatal dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang
otak dan disebabkan oleh afiksia perinatal atau ikterus.
3) Koreo-atetosis
Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi
dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak flaksid,
tetapa sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan
tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia,
kerusakan terletak diganglia basal disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern
pada masa neonatus.
4) Ataksia
Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan
menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tamapak
bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan
canggung dan kaku. Kerusakan terletak diserebelum.
5) Gangguan pendengaran
Terdapat 5-10% anak dengan serebral palsi. Gangguan berupa kelainan neurogen
terutama persepsi nadi tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada
golongan koreo-atetosis.
6) Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental. Gerakan yang terjadi
dengan sendirinya dibibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut
sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.
7) Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi.pada
keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak.
8.2 Pemeriksaan fisik
Dalam menegakkan diagnosis CP perlu melakukan pemeriksaan kemampuan motorik
bayi dan melihat kembali riwayat medis mulai dari riwayat kehamilan, persalinan dan
kesehatan bayi. Perlu juga dilakukan pemeriksaan refleks dan mengukur perkembangan
lingkar kepala anak.6
Perlu juga memeriksa penggunaan tangan, kecenderungan untuk menggunakan
tangan kanan atau kiri. Jika dokter memegang obyek didepan dan pada sisi dari bayi, bayi
13
akan mengambil benda tersebut dengan tangan yang cenderung dipakai, walaupun obyek
didekatkan pada tangan yang sebelahnya. Sampai usia 12 bulan, bayi masih belum
menunjukkan kecenderungan menggunakan tangan yang dipilih. Tetapi bayi dengan spastik
hemiplegia, akan menunjukkan perkembangan pemilihan tangan lebih dini, sejak tangan
pada sisi yang tidak terkena menjadi lebih kuat dan banyak digunakan.
Langkah selanjutnya dalam diagnosis CP adalah menyingkirkan penyakit lain yang
menyebabkan masalah pergerakan. Yang terpenting, harus ditentukan bahwa kondisi anak
tidak bertambah memburuk. Walaupun gejala dapat berubah bersama waktu, CP sesuai
dengan definisinya tidak dapat menjadi progresif. Jika anak secara progresif kehilangan
kemampuan motorik, ada kemungkinan terdapat masalah yang berasal dari penyakit lain,
misalnya penyakit genetik, penyakit muskuler, kelainan metabolik, tumor SSP. Penelitian
metabolik dan genetik tidak rutin dilakukan dalam evaluasi anak dengan CP. Riwayat medis
anak, pemeriksaan diagnostik khusus, dan, pada sebagian kasus, pengulangan pemeriksaan
akan sangat berguna untuk konfirmasi diagnostik dimana penyakit lain dapat disingkirkan.1,4,5
8.3 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan khusus neuroradiologik untuk mencari kemungkinan penyebab CP perlu
dikerjakan, salah satu pemeriksaan adalah CT scan kepala, yang merupakan pemeriksaan
imaging untuk mengetahui struktur jaringan otak. CT scan dapat menjabarkan area otak yang
kurang berkembang, kista abnormal, atau kelainan lainnya. Dengan informasi dari CT Scan,
dokter dapat menentukan prognosis penderita CP.
MRI kepala, merupakan tehnik imaging yang canggih, menghasilkan gambar yang
lebih baik dalam hal struktur atau area abnormal dengan lokasi dekat dengan tulang
dibanding dengan CT scan kepala.
Dikatakan bahwa neuroimaging direkomendasikan dalam evaluasi anak CP jika
etiologi tidak dapat ditemukan.
Pemeriksaan ketiga yang dapat menggambarkan masalah dalam jaringan otak adalah
USG kepala. USG dapat digunakan pada bayi sebelum tulang kepala mengeras dan UUB
tertutup. Walaupun hasilnya kurang akurat dibanding CT dan MRI, tehnik tersebut dapat
mendeteksi kista dan struktur otak, lebih murah dan tidak membutuhkan periode lama
pemeriksaannya. 11
Pada akhirnya, klinisi mungkin akan mempertimbangkan kondisi lain yang
berhubungan dengan CP, termasuk kejang, gangguan mental, dan visus atau masalah
pendengaran untuk menentukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
14
Jika dokter menduga adanya penyakit kejang, EEG harus dilakukan (Level A, Class I-
II evidence. EEG akan membantu dokter untuk melihat aktivitas elektrik otak dimana akan
menunjukkan penyakit kejang. Pemeriksaan intelegensi harus dikerjakan untuk menentukan
derajat gangguan mental. Kadangkala intelegensi anak sulit ditentukan dengan sebenarnya
karena keterbatasan pergerakan, sensasi atau bicara, sehingga anak CP mengalami kesulitan
melakukan tes dengan baik.
9. TATALAKSANA CEREBRAL PALSY
Masalah utama yang dijumpai dan dihadapi pada anak yang menderita CP antara lain
1. Kelemahan dalam mengendalikan otot tenggorokan, mulut dan lidah akan
menyebabkan anak tampak selalu berliur. Air liur dapat menyebabkan iritasi berat
kulit dan menyebabkan seseorang sulit diterima dalam kehidupan sosial dan pada
akhirnya menyebabkan anak akan terisolir dalam kehidupan kelompoknya. Walaupun
sejumlah terapi untuk mengatasi drooling telah dicoba selama bertahun-tahun,
dikatakan tidak ada satupun yang selalu berhasil. Obat yang dikenal dengan
antikholinergik dapat menurunkan aliran saliva tetapi dapat menimbulkan efek
samping yang bermakna, misalnya mulut kering dan digesti yang buruk. Pembedahan,
walaupun kadang-kadang efektif, akan membawa komplikasi, termasuk
memburuknya masalah menelan. Beberapa penderita berhasil dengan teknik
biofeedback yang dapat memberitahu penderita saat drooling atau mengalami
kesulitan untuk mengendalikan otot yang akan membuat mulut tertutup. Terapi
tersebut tampaknya akan berhasil jika penderita mempunyai usia mental 2-3 tahun,
dimana dapat dimotivasi untuk mengendalikan drooling, dan dapat mengerti bahwa
drooling akan menyebabkan seseorang secara sosial sulit diterima.11
2. Kesulitan makan dan menelan, yang dipicu oleh masalah motorik pada mulut,
dapat menyebab gangguan nutrisi yang berat.
Nutrisi yang buruk, pada akhirnya dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi
dan menyebabkan gagal tumbuh. Untuk membuat menelan lebih mudah, disarankan
untuk membuat makanan semisolid, misalnya sayur dan buah yang dihancurkan.
Posisi ideal, misalnya duduk saat makan atau minum dan menegakkan leher akan
menurunkan resiko tersedak. Pada kasus gangguan menelan berat dan malnutrisi,
klinisi dapat merekomendasikan penggunaan selang makanan, yang digunakan untuk
memasukkan makanan dan nutrien ke saluran makanan, atau gastrostomy, dimana
dokter bedah akan meletakkan selang langsung pada lambung.11
15
3. Inkontinentia Urin.
Inkontinentia urin adalah komplikasi yang sering terjadi. Inkontinentia urin ini
disebabkan karena penderita CP kesulitan mengendalikan otot yang selalu menjaga
supaya kandung kemih selalu tertutup. Inkontinentia urin dapat berupa enuresis,
dimana seseorang tidak dapat mengendalikan urinasi selama aktivitas fisik (stress
inkonentia), atau merembesnya urine dari kandung kemih. Terapi medikasi yang
dapat diberikan untuk inkonensia meliputi olah raga khusus, biofeedback, obat-
obatan, pembedahan atau alat yang dilekatkan dengan pembedahan untuk mengganti
atau membantu otot.11
CP tidak dapat disembuhkan, terapi yang dilakukan ditujukan untuk memperbaiki
kapabilitas anak. Dalam perkembangannya, hingga saat ini tujuan terapi pada CP adalah
mengusahakan penderita dapat hidup mendekati kehidupan normal dengan mengelola
problem neurologis yang ada seoptimal mungkin. Disini tidak ada terapi standar yang berlaku
untuk semua penderita CP. Klinisi diharapkan dapat bekerja sama dalam tim, untuk
mengidentifikasi kebutuhan khusus masing-masing anak dan kelainan-kelainan yang ada dan
kemudian menentukan terapi individual yang cocok untuk setiap penderita.
9.1 Terapi Spesifik Cerebral Palsy
Terapi untuk pergerakan, bicara atau kemampuan mengerjakan tugas sederhana,
merupakan tujuan dari terapi CP. Terapi CP ditujukan pada perubahan kebutuhan penderita
sesuai dengan perkembangan usia.2
Terapi fisik selalu dimulai pada usia tahun pertama kehidupan, segera setelah
diagnostik ditegakkan. Program terapi fisik menggunakan gerakan spesifik mempunyai 2
tujuan utama yaitu mencegah kelemahan atau kemunduran fungsi otot yang apabila berlanjut
akan menyebabkan pengerutan otot (disuse atrophy) dan yang kedua adalah menghindari
kontraktur, dimana otot akan menjadi kaku yang pada akhirnya akan menimbulkan posisi
tubuh abnormal.2
Kontraktur adalah satu komplikasi yang sering terjadi. Pada keadaan normal, dengan
panjang tulang yang masih tumbuh akan menarik otot tubuh dan tendon pada saat berjalan
dan berlari dan aktivitas sehari-hari. Hal ini memastikan bahwa otot akan berkembang dalam
kecepatan yang sama. Tetapi pada anak dengan CP, spastisitas akan mencegah peregangan
otot dan hal tersebut akam menyebabkan otot tidak dapat berkembang cukup pesat untuk
mengimbangi kecepatan tumbuh tulang. Kontraktur dapat mengganggu keseimbangan dan
16
memicu hilangnya kemampuan yang sebelumnya. Dengan melakukan terapi fisik saja atau
dengan kombinasi penopang khusus (alat orthotik), kita dapat mencegah komplikasi dengan
cara melakukan peregangan pada otot yang spastik. Sebagai contoh, jika anak mengalami
spastik pada otot hamstring, terapis dan keluarga seharusnya mendorong anak untuk duduk
dengan kaki diluruskan untuk meregangkan ototnya.2
Tujuan ketiga dari program terapi fisik adalah meningkatkan perkembangan motorik
anak. Cara kerja untuk mendukung tujuan tersebut dengan tehnik Bobath. Dasar dari
program tersebut adalah refleks primitif akan tertahan pada anak CP yang menyebabkan
hambatan anak untuk belajar mengontrol gerakan volunter. Terapis akan berusaha untuk
menetralkan refleks tersebut dengan memposisikan anak pada posisi yang berlawanan. Jadi,
sebagai contoh, jika anak dengan CP normalnya selalu melakukan fleksi pada lengannya,
terapis seharusnya melakukan gerakan ekstensi berulang kali pada lengan tersebut.
Pendekatan kedua untuk terapi fisik adalah membuat pola, berdasarkan prinsip bahwa
kemampuan motorik seharusnya diajarkan dalam ururtan yang sama supaya berkembang
secara normal. Pada pendekatan kontrovesial tersebut, terapis akan membimbing anak sesuai
dengan gerakan sepanjang alur perkembangan motorik normal. Sebagai contoh, anak belajar
gerakan dasar seperti menarik badannya pada posisi duduk dan merangkak sebelum anak
mampu berjalan, yang berhubungan dengan tanpa melihat usianya.
Terapi perilaku merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan kemampuan anak.
Terapi ini, menggunakan teori dan tehnik psikologi, yang dapat melengkapi terapi fisik,
bicara dan okupasi. Sebagai contoh, terapi perilaku meliputi menyembunyikan boneka dalam
kotak dengan harapan anak dapat belajar bagaimana meraih kotak dengan menggunakan
tangan yang lebih lemah. Seperti anak belajar untuk berkata dengan huruf depan b dapat
menggunakan balon untuk menciptakan kata tersebut. Pada kasus yang lain, terapis dapat
mencoba menghindari perilaku yang tidak menguntungkan atau perilaku merusak, misalnya
menarik rambut atau menggigit, dengan menunjukkan hadiah pada anak yang menunjukkan
aktivitas yang baik.2
Pada saat anak CP tumbuh lanjut, kebutuhan mereka untuk dan tipe terapi dan
pelayanan bantuan lain akan berlanjut dan berubah. Terapi fisik berkelanjutan berdasarkan
masalah pergerakan dan disuplementasi dengan latihan vokal, rekreasi dan program yang
menyenangkan, dan edukasi khusus jika diperlukan. Konseling untuk perubahan emosi dan
psikologis dapat dibutuhkan pada setiap usia, tetapi paling sering pada masa remaja.
Tergantung pada kemampuan fisik dan intelektual, orang dewasa mungkin membutuhkan
pengasuh yang peduli, akomodasi hidup, transportasi atau pekerjaan.1
17
Dengan tanpa memandang usia dan bentuk terapi yang digunakan, terapi tidak
berhenti saat penderit keluar dari ruangan terapi. Pada kenyataannya, sebagian besar
pekerjaan sering dilakukan di rumah. Terapis berfungsi sebagai pelatih, menyiapkan orang
tua dan penderita dengan strategi dan melatihnya dimana dapat membantu meningkatkan
penampilan di rumah, sekolah dan dimasyarakat.10
9.2 Terapi Medikamentosa
Untuk penderita CP yang disertai kejang, dokter dapat memberi obat anti kejang yang
terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kejang ulangan. obat yang diberikan secara
individual dipilih berdasarkan tipe kejang, karena tidak ada satu obat yang dapat mengontrol
semua tipe kejang. Bagaimanapun juga, orang yang berbeda walaupun dengan tipe kejang
yang sama dapat membaik dengan obat yang berbeda, dan banyak orang mungkin
membutuhkan terapi kombinasi dari dua atau lebih macam obat untuk mencapai efektivitas
pengontrolan kejang 1,4,5
Dua macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi spastisitas pada penderita
CP adalah:
1. Baclofen
Obat ini bekerja dengan menutup penerimaan signal dari medula spinalis yang
akan menyebabkan kontraksi otot.
Dosis obat yang dianjurkan pada penderita CP adalah sebagai berikut:
■ 2 - 7 tahun:
Dosis 10 - 40 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 - 4 dosis. Dosis dimulai 2,5
- 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5 - 15 mg/hari,
maksimal 40 mg/hari
■ 8 - 11 tahun:
Dosis 10 - 60 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4 dosis. Dosis dimulai 2,5
- 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5 - 15 mg/hari,
maksimal 60 mg/hari
■ > 12 tahun:
Dosis 20 - 80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3-4 dosis. Dosis dimulai 5 mg
per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 15 mg/hari, maksimal
80 mg/hari
2. Dantrolene
18
Obat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi otot sehingga kontraksi
otot tidak bekerja.
Dosis yang dianjurkan dimulai dari 25 mg/hari, maksimal 40 mg/hari
Obat-obatan tersebut diatas akan menurunkan spastisitas untuk periode singkat, tetapi
untuk penggunaan jangka waktu panjang belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Obat - obatan
tersebut dapat menimbulkan efek samping, misalnya mengantuk, dan efek jangka panjang
pada sistem saraf yang sedang berkembang belum jelas. Satu solusi untuk menghindari efek
samping adalah dengan mengeksplorasi cara baru untuk memberi obat - obat tersebut
Penderita dengan CP atetoid kadang-kadang dapat diberikan obat-obatan yang dapat
membantu menurunkan gerakan-gerakan abnormal. Obat yang sering digunakan termasuk
golongan antikolinergik, bekerja dengan menurunkan aktivitas acetilkoline yang merupakan
bahan kimia messenger yang akan menunjang hubungan antar sel otak dan mencetuskan
terjadinya kontraksi otot. Obat-obatan antikolinergik meliputi trihexyphenidyl, benztropine
dan procyclidine hydrochloride.
Adakalanya, klinisi menggunakan membasuh dengan alkohol atau injeksi alkohol
kedalam otot untuk menurunkan spastisitas untuk periode singkat. Tehnik tersebut sering
digunakan klinisi saat hendak melakukan koreksi perkembangan kontraktur. Alkohol yang
diinjeksikan kedalam otot akan melemahkan otot selama beberapa minggu dan akan
memberikan waktu untuk melakukan bracing, terapi. Pada banyak kasus, teknik tersebut
dapat menunda kebutuhan untuk melakukan pembedahan.
Botulinum Toxin (BOTOX)
Merupakan medikasi yang bekerja dengan menghambat pelepasan acetilcholine dari
presinaptik pada pertemuan otot dan saraf. Injeksi pada otot yang kaku akan menyebabkan
kelemahan otot. Kombinasi terapi antara melemahkan otot dan menguatkan otot yang
berlawanan kerjanya akan meminimalisasi atau mencegah kontraktur yang akan berkembang
sesuai dengan pertumbuhan tulang. Intervensi ini digunakan jika otot yang menyebabkan
deformitas tidak banyak jumlahnya, misalnya spastisitas pada tumit yang menyebabkan gait
jalan berjinjit (Toe-heel gait) atau spastisitas pada otot flexor lutut yang menyebabkan crouch
gait. Perbaikan tonus otot sering akibat mulai berkembangnya saraf terminal, yang merupakan
proses dengan puncak terjadi pada 60 hari.
Intervensi botulinum dapat digunakan pada deformitas ekstremitas atas yang secara
sekunder akibat tonus otot abnormal dan tumbuhnya tulang. Kelainan yang sering dijumpai
19
adalah aduksi bahu dan rotasi internal, fleksi lengan, pronasi telapak tangan dan fleksi
pergelangan tangan dan jari-jari. Botulinum toksin sangat efektif untuk memperbaiki kekakuan
siku dan ekstensi ibu jari. Seperti sudah diduga sebelumnya, fungsi motorik halus tidak banyak
mengalami perbaikan. Keuntungan dari segi kosmetik untuk memperbaiki fleksi siku sangat
dramatik.
Komplikasi injeksi botulinum toksin dikatakan minimal. Nyeri akibat injeksi minimal,
biasanya akan hilang tidak lebih dari 5 menit setelah injeksi. Efikasi tercapai dalam 48-72 jam
dan akan menghilang dalam 2-4 bulan setelah injeksi. Lama waktu penggunaan botulinum toksi
dilanjutkan tergantung dari derajat abnormalitas tonus otot, respon penderita dan kemampuan
untuk memelihara fungsi yang diinginkan.
20
9.3 Terapi Bedah
Pembedahan sering direkomendasikan jika terjadi kontraktur berat dan menyebabkan
masalah pergerakan berat. Dokter bedah akan mengukur panjang otot dan tendon, menentukan
dengan tepat otot mana yang bermasalah. Menentukan otot yang bermasalah merupakan hal yang
sulit, berjalan dengan cara berjalan yang benar, membutuhkan lebih dari 30 otot utama yang
bekerja secara tepat pada waktu yang tepat dan dengan kekuatan yang tepat. Masalah pada satu
otot dapat menyebabkan cara berjalan abnormal. Lebih jauh lagi, penyesuaian tubuh terhadap
otot yang bermasalah dapat tidak tepat. Alat baru yang dapat memungkinkan dokter untuk
melakukan analisis gait. Analisis gait menggunakan kamera yang merekam saat penderita
berjalan, komputer akan menganalisis tiap bagian gait penderita. Dengan menggunakan data
tersebut, dokter akan lebih baik dalam melakukan upaya intervensi dan mengkoreksi masalah
yang sesungguhnya. Mereka juga menggunakan analisis gait untuk memeriksa hasil operasi.1
Oleh karena pemanjangan otot akan menyebabkan otot tersebut lebih lemah, pembedahan
untuk koreksi kontraktur selalu diamati selama beberapa bulan setelah operasi. Karena hal
tersebut, dokter berusaha untuk menentukan semua otot yang terkena pada satu waktu jika
memungkinkan atau jika lebih dari satu produser pembedahan tidak dapat dihindarkan, mereka
dapat mencopa untuk menjadwalkan operasi yang terkait secara bersama-sama.
Teknik kedua pembedahan, yang dikenal dengan selektif dorsal root rhizotomy, ditujukan
untuk menurunkan spastisitas pada otot tungkai dengan menurunkan jumlah stimulasi yang
mencapai otot tungkai melalui saraf. Dalam prosedur tersebut, dokter berupaya melokalisir dan
memilih untuk memotong saraf yang terlalu dominan yang mengontrol otot tungkai. walaupun
disini terdapat kontroversi dalam pelaksanaannya.1
Teknik pembedahan eksperimental meliputi stimulasi kronik cerebellar dan stereotaxic
thalamotomy. Pada stimulasi kronik cerebelar, elektroda ditanam pada permukaan cerebelum
yang merupakan bagian otak yang bertanggung jawab dalam koordinasi gerakan, dan digunakan
untuk menstimulasi saraf-saraf cerebellar, dengan harapan bahwa teknik tersebut dapat
menurunkan spastisitas dan memperbaiki fungsi motorik, hasil dari prosedur invasif tersebut
masih belum jelas. Beberapa penelitan melaporkan perbaikan spastisitas dan fungsi, sedang
lainnya melaporkan hasil sebaliknya
III. ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap: An. F.R.R
Tanggal lahir : 23 November 2003
Umur : 9 tahun 7/12
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : Tidak sekolah
Alamat : Pangkalan Jati 07/04, no 58, Cipinang Melayu, Makasar
ORANG TUA
Ayah
Nama Lengkap: Tn. M. A.
Tanggal lahir : 6 April 1977
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Muslim
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Penghasilan : ± Rp 5.000.000,- / bulan
Alamat : Pangkalan Jati 07/01, no 58 Cipinang Melayu, Makasar
Ibu
Nama Lengkap: Ny. S. J.
Tanggal lahir : 8 Mei 1978
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Penghasilan : -
Alamat : Pangkalan Jati 07/01, no 58 Cipinang Melayu, Makasar
Hubungan dengan orang tua : Anak Kandung
Tgl Masuk Pasien : 16 Juli 2013
Tgl Pulang pasien : 22 Juli 2013
II. RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN
KEHAMILAN
Perawatan Ante Natal : Trimester I 1x dalam sebulan di bidan praktek swasta
Trimester II 2x dalam sebulan di bidan praktek swasta
Trimester III 2x dalam sebulan di bidan praktek swasta
Riwayat kehamilan : Tidak ada penyulit
KELAHIRAN
Tempat lahir : Rumah sakit
Penolong persalinan : Dokter
Cara persalinan : Spontan
Penyulit : Partus lama
Masa gestasi : Cukup bulan
Keadaan Bayi
Berat badan lahir : 2800 g
Panjang badan : 49 cm
Lingkar kepala : 38 cm
Langsung Menangis
Nilai APGAR : 6/8
Kelainan bawaan : Tidak ada
III RIWAYAT TUMBUH KEMBANG
Gigi pertama : 3 bulan
Psikomotor
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 18 bulan
Berbicara : 18 bulan
Membaca : 24 bulan
Perkembangan Pubertas
Rambut pubis : belum ada
Perubahan suara : belum ada
IV RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin Dasar (Umur dalam bulan) Ulangan (Umur dalam bulan)
BCG 2
DPT/DT 2 4 6
POLIO 0 2 4
CAMPAK 9
Hepatitis B 0 2 6
MMR
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
V RIWAYAT MAKANAN
Umur/Bulan/Frekuensi ASI/PASI Buah/Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0-2 ASI 12x sehari - - -
2-4 ASI 10x sehari - - -
4-6 ASI 8x sehari - - -
6-8 ASI 5x sehari 2x sehari 1x sehari -
8-10 ASI 5x sehari 2x sehari 2x sehari 1x sehari
10-12 - 2x sehari 1x sehari 3x sehari
Kesan: Kualitas dan kuantitas cukup
Umur Lebih dari 1 tahun
Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah
Nasi / Pengganti 3x sehari
Sayur 1x sehari
Daging 1x sehari
Telur 1x sehari
Ikan 1x sehari
Tahu 1x sehari
Tempe 2x sehari
Susu (bendera/ gelas 100 cc) 1x sehari
VI RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DI DERITA
Penyakit Umur Penyakit
Diare - Morbili -
Otitis - Parotitis -
Radang Paru Sering batuk pilek
usia 5 tahun
Demam berdarah -
Tuberkulosis - Demam tifoid -
Kejang Saat berusia 4 tahun
hingga kini
Cacingan -
Ginjal - Alergi -
Jantung - Kecelakan -
Darah - Operasi -
Difteri - Lain-lain -
VII RIWAYAT KELUARGA
No Tanggal
Lahir
Jenis
Kelamin
Hidup Lahir
Mati
Abortus Mati Keteranga
n
1 23-11-2003 Laki-laki √ - - - Ini
2
Data Keluarga
Keterangan Ayah Ibu
Perkawinan ke 1 1
Umur Saat Menikah 30 31 tahun
Konsanquinitas - -
Keadaan Kesehatan Sehat Sehat
Data Perumahan
Kepemilikan rumah : Pribadi
Keadaan rumah : Ukuran 6 x 8 = 48 m2, satu lantai
Dinding terbuat dari : tembok
Atap terbuat dari : gunting
Ventilasi : kurang, hanya pada bagian depan rumah
Jarak septic tank ke sumber air bersih : 8m
Keadaan lingkungan : Berupa kompleks perumahan : ya
Tempat pembuangan sampah : ada
VII RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Keluhan utama : Kejang
Keluhan tambahan : Demam, batuk berdahak
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang dengan keluhan kejang ± 3 hari hilang timbul, awalnya berupa kejang
seluruh tubuh yang muncul secara tiba-tiba, pasien menjadi kaku, berlangsung ± 40 detik,
dalam sehari berlangsung lebih dari 5x. Ibu pasien menceritakan pada saat kejang biasanya
diawali oleh tatapan mata pasien yang kosong. Untuk mengurangi keluhan pasien diberikan
depakene dan luminal, keluhan hanya berkurang sementara. Pada hari kedua keluhan yang
sama terjadi, akhirnya pasien diberikan oksigen dan sempat dibawa ke RS “H”. Oleh dokter
di rumah sakit tersebut pasien diberikan stesolid sebanyak 3 kali, keluhan berkurang sehingga
akhirnya diperbolehkan pulang. ± 1 hari yang lalu pasien mengalami keluhan yang sama,
hilang timbul, berupa kejang pada seluruh tubuh, kaku, berlangsung lebih dari 5x dalam
sehari, sempat diberikan oksigen namun keluhan tidak berkurang. Pasien sempat terlihat
sangat sesak, akhirnya keluarga membawa pasien ke RS UKI untuk dirawat. Riwayat
pengobatan 6 bulan disangkal, riwayat bayi kuning disangkal, riwayat alergi disangkal.
Pasien sering tidak bisa menahan pipis dan buang air besar sulit sejak usia 4 tahun. Riwayat
cedera kepala disangkal.
Selain itu pasien juga merasa demam, keluhan timbul mendahului kejang, keluhan
berlangsung selama 3 hari, diberikan obat penurun panas namun hanya berkurang sementara.
Pasien juga mengalami batuk berdahak yang sulit dikeluarkan, keluhan mual dan muntah
disangkal.
VIII RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Keluarga menceritakan bahwa pasien sempat mengalami kejang pada usia 4 tahun.
Kejang tanpa diawali demam yang muncul secara tiba-tiba. Pada saat kejang mata pasien
seperti mendelik ke atas, mulut mengeluarkan busa dan kejang tidak berhenti sebelum
mendapat pengobatan Kejang seluruh tubuh, berlangsung cukup lama berkisar ± 20 menit,
berulang, hingga akhirnya dilarikan ke RS “T” dan dirawat di ICU selama 1 minggu,
keluarga pasien sempat mengira bahwa mereka akan kehilangan pasien pada hari itu, karena
pasien terlihat sangat pucat dan jari-jari tangan terlihat biru, dan nafasnya kadang-kadang
terhenti. Pada masa perawatan itu pasien didiagnosa mengalami meningoensefalitis tb yang
dibuktikan melalui pemeriksaan lumbal pungsi.
Semenjak keluhan itu keluarga pasien merasa pertumbuhan dan perkembangan pasien
menjadi terganggu. Banyak perubahan yang nampak seperti cara berjalan dan gerakan pasien
hingga saat ini. Pasien menjadi sering kejang selama ± 5 tahun terakhir hingga saat ini,
sampai akhirnya pasien tidak mampu untuk berjalan lagi.
Pasien sempat dibawa berobat dan dilakukan ct-scan pada tahun 2010, dari sana
keluarga pasien mengetahui bahwa terdapat pengecilan otak sebagian yang diduga menjadi
penyebab kelumpuhan ini.
Riwayat Penyakit Pada Anggota Keluarga Lain
Di dalam keluarga tidak ada yang pernah mengalami keluhan yang serupa dengan
pasien.
IX. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal : 22 Juli 2013 Jam : 12.00
KU : Tampak sakit sedang (Lemas, Sesak, Sianosis -)
Kes : Apatis, (kontak -)
TD : 90/60 mmhg
Frekuensi nadi : 108 x/menit Berat badan : 25 kg
Frekuensi nafas : 32 x/menit Tinggi badan : 125 cm
Suhu : 36,60C
Pemeriksaan sistem
Kepala : Bentuk normocephali, simetris
Rambut dan kulit kepala : Pertumbuhan rambut merata, bewarna hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Mendelik ke atas, kelopak mata cekung -/-, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
RCL +/+, RCTL +/+, pupil Anisokor 3mm/4mm,
Telinga : normotia +/+, liang telinga lapang +/+, sekret -/-
Hidung : Bentuk normal, deviasi septum -, konka hiperemis -/-, sekret -/-, nafas cuping
hidung -/-
Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis sentral -, T1-T1, tidak hiperemis, faring tidak
hiperemis
Leher : KGB teraba membesar di regio submandibula sinistra, sebesar biji jagung, kenyal,
suhu dan warna sama dengan sekitar.
Thorax: I: Pergerakan dinding dada simetris kanan = kiri, tampak retraksi pernafasan +
P: vokal fremitus sulit dinilai
P: redup kanan dan kiri
A: BND Bronchovesiculer, rhonki +/+, wheezing -/-
BJ I & II Normal, reguler, murmur -, gallop –
Abdomen: I: Perut tampak datar
A: Bising usus + 5x/menit
P: Timpani, nyeri ketuk –
P: Supel, nyeri tekan -, hepar dan lien tidak teraba membesar
Vertebrae: Scoliosis
Ekstremitas : Atas : Spastisitas +/+, CRT < 2”
Bawah: Spastisitas +/+, Equinovarus bilateral , CRT < 2”
Pemeriksaan Neurologis
I. Rangsang meningens
Kaku kuduk –
Brudzinski I -/-
Brudzinski II -/-
Kerniq : -/-
Laseque : > 700/> 700
II. Nervus Cranialis
N.I (Olfaktorius)
Lubang hidung Lapang/ lapang
Penciuman Sulit dinilai
N. II (Optikus)
Visus kasar Sulit dinilai Sulit dinilai
Lapangan pandang Sulit dinilai Sulit dinilai
Funduscopy Tidak dilakukan
N. III, IV, VI (Okolomotorius, Trochlearis, Abdusen)
Sikap bola mata : tidak simetris
Pergerakan bola mata : segala arah
Ptosis : tidak ada
Strabismus : tidak ada
Eksoftalmus : tidak ada
Endoftalmus : tidak ada
Diplopia : sulit dinilai
Deviasi Konjugee : +/-
Pupil : Anisokor 3mm/4mm
N. V (Trigeminus)
Motorik
- Membuka Mulut : Sulit dinilai
- Gerakan Rahang : Sulit dinilai
- Menggigit : Sulit dinilai
Menggigit (palpasi)
- Maseter : Sulit dinilai
- Temporalis : Sulit dinilai
Sensorik
- Rasa nyeri : Sulit dinilai
- Rasa Raba : Sulit dinilai
- Rasa Suhu : Sulit dinilai
Reflek: - Reflek Kornea : + +
N.VII (Fasialis)
Sikap wajah (saat istirahat): Simetris
Mimik : Tidak wajar
Angkat Alis : Sulit dinilai
Kerut Dahi : Sulit dinilai
Lagoftalmus : + / +
Kembung Pipi : Sulit dinilai
Menyeringai : Sulit dinilai
Fenomena “Chvostek” : -
N.VIII (Vestibulokokhlearis)
Vestibularis
- Nistagmus : + / +
- Vertigo : Sulit dinilai
Kokhlearis
- Suara bisik : Sulit dinilai
- Gesekan jari : Sulit dinilai
- Tes “Rinne” : Tidak dilakukan
- Tes “Weber” : Tidak dilakukan
- Tes “Schwabach” : Tidak dilakukan
N. IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
Arkus Faring : simetris, uvula ditengah
Palatum Mole : intak, simetris
Disfoni : Tidak ada
Rinolali : Tidak ada
Disfagi : +
Batuk : Tidak ada
Disartria : +
Refleks Faring : -
Refleks Okulokardiak : +
Refleks Sinus Karotikus : +
N.XI (Asesorius)
Menoleh (kanan,kiri,bawah) : Tidak dilakukan
Angkat Bahu : Tidak dilakukan
N.XII (Hipoglosus)
Sikap lidah dalam mulut : simetris
Julur lidah : tidak dilakukan
Gerakan lidah : sulit dinilai
Tremor : -
Fasikulasi : tidak ada
Tenaga otot lidah : Sulit dinilai
1. Motorik
Derajat kekuatan otot Tetraplegia dengan Lateralisasi pada kedua tungkai
Tonus otot (hiper,normo,hipo,atoni)
Lengan kanan kiri
- Fleksor : Normotonus Normotonus
- Ekstensor : Normotonus Normotonus
Tungkai
- Fleksor : Hipertonus Hipertonus
- Ekstensor : Hipertonus Hipertonus
Trofi Otot
Lengan : Atrofi Atrofi
Tungkai : Eutrofi Eutrofi
Gerakan Spontan Abnormal
Kejang : +
Tetani : tidak ada
Tremor : -
Khorea : tidak ada
Atetosis : +
Balismus : tidak ada
Diskinesia : tidak ada
Mioklonik : +
2. Koordinasi
Statis
- Duduk : tidak dilakukan
- Berdiri : tidak dilakukan
- Tes Romberg : tidak dilakukan
Dinamis
- Telunjuk Hidung : tidak dilakukan
- Jari-jari : tidak dilakukan
- Tremor Intensi : tidak dilakukan
- Disdiadokokinesis : tidak dilakukan
- Dismetri : tidak dilakukan
- Bicara (disartri) : tidak dilakukan
- Menulis : tidak dilakukan
3. Refleks
Refleks Tendo
- Biseps : ++ / ++
- Triseps : ++ / ++
- “Knee Pes Reflex” : +++ / +++
- “Achilles Pes Reflex” : +++ / +++
Refleks Abnormal
- Babinski : -/-
- Chaddock : -/-
- Oppenheim : -/-
- Gordon : -/-
- Schaeffer : -/-
- Hoffman Trommer : -/-
- Klonus lutut : -/-
- Klonus Kaki : +/+
4. Sensibilitas
Eksteroseptif
- Rasa raba : baik, kanan = kiri
- Rasa nyeri : baik, kanan = kiri
- Rasa suhu : tidak dilakukan
Propioseptif
- Rasa sikap : Sulit dinilai
- Rasa getar : Sulit dinilai
5. Vegetatif
Miksi : Gangguan
Defekasi : Gangguan
Salivasi : normal
Sekresi keringat : normal
6. Fungsi Luhur
Memori : Sulit dinilai
Bahasa : Afasia
Visuospatial : Sulit dinilai
Kognitif : Sulit dinilai
X. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
LED : 18 mm/jam Hit Jenis
Hb : 13,6 mg/dl Basofil 0 %
Leukosit : 18,9 ribu/ul Eosinofil 0 %
Eritrosit : 4,61 juta/ml Neutrofill batang 0 %
Ht : 38,5 % segment 81 %
Trombosit : 307 ribu/ul Limfosit 9 %
MCV : 83,4 Monosit 0 %
MCH : 29,6 Na+ : 151 mmol/L
MCHC : 35,4 k+ : 3,6 mmol/L
GDS 74 mg/dl Cl- : 106 mmol/L
Ureum 18 mg/dl
Kreatinin 0.78 mg/dl
Analisa Gas Darah
Ph 7,357
PCO2 34,2 mmhg (36 - 45)
Sat O2 98,4
Base Excess -6,3
HCO3 19,4 (21-25)
Thorax X-ray : Infiltrat paracardial
CT- Brain : hygrome fronto-temporo-parietalis dextra et sinistra, system ventricel agak
melebar
EEG : Gambaran EEG didominasi gelombang delta. 2-3 spd voltase bervariasi sedang dan
tinggi. Dengan stimulasi photic dari frontal timbul gelombang tajam terutama dari
frontal.
X. DIAGNOSA
Diagnosa Kerja :
- Cerebral Palsy
- Pneumonia
- epilepsi sekunder e.c. sikatriks ec riwayat meningoensefaliis TB
Diagnosa Banding :
- hygroma
- sepsis
- epilepsi sekunder e.c. hydrocephalus komunikans ec riwayat meningoensefaliis TB
XI. PENATALAKSANAAN
Diet : Saring TKTP
IVFD : Kaen 1B 18 tpm (makro)
MM : Cefotaxime 2 x 1000 mg
Amikosin 2 x 150 mg
Revilan 3 x 1 g
Ranitidine 3 x 25 mg
Sibital 3 x 25 mg
Sanmol 4 x 30 mg
Depakene 2 x 250 mg
Mukopect 6 tab
Ryvell 1 x 10 mg 3 x 1 pulv
Salbutamol 2mg x 21/2 tab
Inhalasi ( Ventolin + Pulmicort) 2 x sehari
Fisiotherapi
IV. ANALISA KASUS
Dari Anamnesis didapatkan temuan yang bermakna berupa :
Riwayat tumbuh kembang pasien menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan
anak baik pada masa awal kehidupannya. Namun didapatkan sedikit keterlambatan untuk
dapat berjalan dan berbicara yang seharusnya terjadi saat anak berusia 12 bulan. Hal ini
memberi kemungkinan adanya gangguan perkembangan motorik, meskipun data ini
sebenarnya kurang kuat untuk membuat suatu kesimpulan bahwa keluhan pasien saat ini telah
dimulai sejak masa awal kehidupan pasien.
Keluhan kejang pada riwayat penyakit saat ini memiliki gambaran berupa kejang
umum (generalisata) berulang yang didahului oleh aura, hal ini memberikan gambaran klinis
yang khas pada epilepsi sekunder dimana aura menggambarkan adanya kemunginan fokus
epileptikus pada otak. Bangkitan kejang kemungkinan dapat berawal dari fokus epileptikus
yang ada maupun dari keadaan umum pasien yang buruk karena sedang menderita
pneumonia.
Pada riwayat penyakit dahulu didapatkan riwayat kejang pertama pada usia 4 tahun
yang kemudian berlanjut hingga saat ini. Pada kejang yang pertama itu pasien mengalami
kejang yang cukup lama, bersifat umum, hingga dilarikan ke rumah sakit dan dirawat di ICU
karena kejang tidak berhenti sebelum mendapat pengobatan, pada saat perawatan pasien
didiagnosa meningoensefalitis tb setelah dibuktikan dengan pemeriksaan pungsi lumbal. Pada
saat kejang terjadi kontraksi daripada otot-otot yang ada di seluruh tubuh oleh karena lepasan
muatan listrik yang berlebihan. Hal ini juga terjadi pada otot-otot saluran nafas dan
ditakutkan apabila kejang yang cukup lama terjadi dapat mengakibatkan gangguan pertukaran
O2 dan CO2 pada paru-paru yang nantinya akan menyebabkan hipoksia jaringan dan salah
satunya adalah otak, hipoksia ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada otak dan
apabila hal ini terjadi pada masa awal kehidupan dimana perkembangan otak yang sangat
pesat terjadi pada saat itu, maka defisit neurologis akan sangat mungkin terjadi. Selain itu
pada pasien juga ditemukan adanya riwayat ensefalitis tb yang dapat menyebabkan kerusakan
langsung pada parenkim otak, hal ini memungkinkan fokus epileptikus terbentuk pada proses
penyembuhan. Pada kasus ini defisit neurologis itu menimbulkan kumpulan gejala atau
gangguan pada fungsi motorik, postural, kognitif, yang kita kenali saat ini sebagai cerebral
palsy.
Meningoensefalitis tuberkulosa dapat berkembang sebagai penjalaran infeksi
tuberkulosis secara hematogen. Pada kebanyakan kasus meningitis tb didapatkan bukti-bukti
bahwa korteks serebri atau batang otak selalu ikut terlibat. Meninges yang paling berat
sebagai komplikasi umum sering dijumpai hidrosefalus dan saraf otak juga dapat terjerat oleh
reorganisasi eksudat di bagian basal. Hemiplegia, afasia dan lain-lain manifesasi
ensefalomalasia regional dapat timbul sebagai komplikasi dari radang tuberkulosis, maka
produksi liquor cerebri dapat meningkat ataupun gangguan dari pada penyerapan lcs dapat
terjadi sehingga dapat menyebabkan hidrosefalus komunikans. Karena itu atrofi jaringan otak
akan dapat berkembang oleh karena penekanan yang terjadi.
Setelah kejang yang pertama itu, pertumbuhan dan perkembangan pasien menjadi
terhambat hal ini nampak dari cara berjalan dan bergerak pasien yang diakui keluarga
menjadi berbeda, hal ini menunjukan bahwa terjadi kerusakan yang bermakna, pada saat
kejang pertama itu muncul. Sehingga ketika tubuh pasien bertumbuh namun tidak
berkembang dengan baik, disinilah gambaran klinis daripada Cerebral palsy itu muncul. Pada
tahun 2010 pasien sempat menjalani pemeriksaan ct-brain dan dikatakan terjadi pengecilan
otak sebagian, hal ini semakin memperkuat adanya bukti kerusakan organik yang mendasari
klinis daripada pasien.
Gambaran klinis pasien menunjukan gangguan daripada fungsi motorik dengan tipe
spastik dimana terdapat peninggian tonus otot (Hipertonus pada kedua tungkai) dan refleks
(KPR, APR) yang disertai dengan klonus kaki. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan
tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama
derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sifat yang khas dengan
kecenderungan terjadi kontraktur, pada pasien ini terdapat, lengan dalam aduksi, fleksi pada
sendi siku dan pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi
ibu jari melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap aduksi, kaki dalam fleksi plantar
dan telapak kaki berputar ke dalam (equinovarus bilateral). Kerusakan biasanya terletak di
traktus kortikospinalis. Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan besarnya
kerusakan pada pasien ini didapatkan tipe diplegia dimana terjadi kelumpuhan keempat
anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan. Gambaran hipertonus pada refleks
fisiologis KPR dan APR disertai dengan refleks patologis berupa klonus kaki menunjukan
lesi bersifat UMN (upper motor neuron) yang semakin mendukung bahwa adanya gangguan
yang bersifat sentral (Intracranial).
Pada pasien ini juga didapatkan gangguan daripada fungsi N III, IV, VI, VII, VIII, IX,
X, yang bermanifestasi sebagai ganngguan daripada komunikasi dan makan, dimana pasien
memiliki kesulitan untuk berbicara (afasia), gerakan bola mata yang tidak simetris, mata
anisokor 3mm/4mm, deviasi konjuge, ekspresi wajah yang tidak wajar, lagoftalmus,
nistagmus, gangguan postural atau keseimbangan sehingga pasien tidak dapat duduk,
gangguan daripada fungsi faring sehingga pasien memiliki kesulitan untuk menelan, refleks
faring negatif dan batuk berkurang sehingga pasien mudah mengalami infeksi saluran
pernafasan (pasien juga mengalami pneumonia), selain itu imobilisasi yang lama dapat
memperberat keadaan. Pada pasien juga didapatkan tanda-tanda retardasi mental, gangguan
fungsi otonom berupa hipersalivasi, gangguan miksi dan defekasi.
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan temuan yang bermakna berupa :
Laboratorium darah : menunjukan adanya tanda2 infeksi dilihat dari peningkatan nilai
leukosit dan dari hitung jenis leukosit dapat diketahui penyebab
infeksi merupakan bakteri.
Thorax X-ray : Infiltrat paracardial, kesan bronchopneumonia
CT- Brain : hygrome fronto-temporo-parietalis dextra et sinistra, system ventricel agak
melebar, kesan hygrome fronto-temporo-parietalis bilateral dan hydrocephalus
ringan.
EEG : Gambaran EEG didominasi gelombang delta. 2-3 spd voltase bervariasi sedang dan
tinggi. Dengan stimulasi photic dari frontal timbul gelombang tajam terutama dari
frontal. Gambaran EEG abnormal dengan perlambatan berat dan irritatif
bitemporal.
Adapun penyebab kejang antara lain :
arteriovenosa malformasi (AVM).
Cedera kepala dapat menyebabkan non-epilepsi pasca-trauma kejang atau pasca-
trauma epilepsi, di mana kejang kronis kambuh.
Obat-obatan tertentu yang menurunkan ambang kejang, seperti antidepresan trisiklik,
keracunan dengan obat-obatan, untuk aminofilin contoh atau bius lokal
Infeksi, seperti ensefalitis atau meningitis
Demam menyebabkan kejang demam
gangguan metabolik, seperti hipoglikemia, hiponatremia atau hipoksia.
penarikan dari obat (antikonvulsan, antidepresan, dan obat penenang seperti alkohol,
barbiturat, dan benzodiazepin,)
lesi desak ruang (abses, tumor)
kejang selama (atau segera setelah) kehamilan dapat menjadi tanda eklampsia.
Hidrosefalus dapat mengindikasikan kegagalan shunt parah.
Stroke hemoragic, stroke non hemoragic umumnya jarang.
Apabila dibandingkan antara teori dan bukti klinis yang ditemukan pada pasien
berdasar dari anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang, maka telah
didapatkan kesesuaian. Oleh karenanya berdasarkan kesesuaian itu diagnosis cerebral palsy
dengan pneumonia dan epilepsi sekunder e.c. sikatriks ec riwayat meningoensefaliis TB
dapat ditegakkan pada kasus ini.
Penatalaksanaan :
Pada pasien ini telah dilakukan terapi medikamentosa berupa :
Cefotaxime, merupakan antibiotika golongan sefalosporin yang memiliki sprektum
luas baik unuk gram + maupun gram -, pemberiannya telah sesuai dengan indikasi
yaitu untuk mengatasi infeksi saluran pernafasan yang dialami oleh pasien.
Amikosin, merupakan aminoglikosida yang berfungsi sebagai bakterisid,
pemberiannya telah sesuai dengan indikasi yaitu untuk mengatasi infeksi saluran
pernafasan.
Revolan, memiliki komposisi piracetam, merupakan neuroprotektan yang diharapkan
dapat melindungi sel-sel syaraf terhadap kerusakan yang lebih berat, pemberiannya
sampai saat ini masih bersifat empiris.
Ranitidine, merupakan antihistamine penghambat reseptor h2, yang akan menurunkan
sekresi daripada asam lambung, penggunaanya pada kasus ini kurang sesuai dengan
indikasi karena pasien tidak memiliki keluhan mual dan gejala yang berkaitan dengan
lambung.
Sibital, memiliki kandungan phenobarbital yang dapat berperan baik sebagai
antikonvulsi, maupun sedatif, pada kasus ini penggunaannya telah sesuai untuk
mengatasi kejang baik sebagai pengobatan maupun sebagai pencegahan berulangnya
gejala.
Sanmol, memiliki kandungan paracetamol yang berfungsi sebagai antipiretik
analgetik, pemberiannya pada pasien ini telah sesuai dengan indikasi untuk mengatasi
demam.
Depakene, memiliki kandungan asam valproat, berperan sebagai terapi tambahan
pada kejang yang lebih berperan sebagai pencegahan terjadinya kejang berulang,
pemberiannya telah sesuai dengan indikasi.
Mucopect, memiliki kandungan ambroxol hcl yang berperan sebagai mucolitic,
dengan indikasi dan bermanfaat untuk mengeluarkan mukus yang sulit dikeluarkan
pada infeksi saluran nafas, pada kasus ini sangat bermanfaat dan pemberiannya telah
sesuai indikasi.
Salbutamol merupakan agonis ß2 kerja cepat yang berperan sebagai bronkodilator,
pada kasus ini pemberiannya secara peroral telah sesuai indikasi, karena pasien
memiliki keluhan sesak, namun pemberiannya sedikit berlebihan karena pasien juga
mendapatkan nebulasi dengan ventolin.
Ryvell merupakan antihistamin penghambat reseptor h1, yang berperan sebagai
antialergi terhadap aktifitas histamin, pemberiannya kurang bermanfaat pada kasus
ini.
Ventolin merupakan agonis ß2 kerja cepat yang berperan sebagai bronkodilator, pada
kasus ini pemberiannya secara inhalasi telah sesuai indikasi, karena pasien memiliki
keluhan sesak.
Pulmicort memiliki kandungan budesonide, merupakan kortikosteroid lokal secara
inhalasi, yang berperan sebagai antiinflamasi, penggunaannya dengan ventolin
memiliki khasiat yang baik, pemberiannya pada kasus ini telah sesuai indikasi.
Pada pasien ini Fisiotherapi memiliki peranan yang cukup penting untuk mengatasi
gejala yang ada pada pasien, terutama untuk mengatasi kontraktur, memperbaiki refleks
postural, meningkatkan kemampuan bicara, cara makan, program terapi fisik untuk
meningkatkan perkembangan motorik anak dan terapi perilaku untuk meningkatkan
kemampuan adaptif anak dengan menunjukkan aktivitas yang baik.
Dapat disimpulkan bahwa penatalaksanaan yang dilakukan pada saat ini memiliki
tujuan untuk memperbaiki keadaan umum pasien yang memburuk, sedangkan untuk terapi
jangka panjang pada pasien masih belum dilakukan dengan optimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegman, Alvin et all. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol 3. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.
2. Samuel R. Pierce, et all. Roles of Reflex Activity and Co-contractrion During
Assestment of Spasticity of the Knee Flexor and Knee Extensor Muscles in Children
With Cerebral Palsy and Different Functional Levels. Journal of the American
Physical Therapy. 2008; 88; 1124-1134
3. Peter Rosenbaum. The Definition and Classification of Cerebral Palsy. International
Workshop in Bethesda MD, July 11-13; 2004.
4. William W. Hay. Current Diagnosis & Treatment Pediatrics 20th Edition. Colorado:
McGraw-Hill Professional. 2010.
5. Abdelaziz Y. Elzouki, et all. Textbook of Clinical Pediatrics. Virginia: Springer
Lippincott Williams & Wilkins. 2001
6. Mahar Mardjono. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2009
7. Jerffrey M. Perlman. Intrapartum Hypoxic-Ischemic Cerebral Injury and Subsequent
Cerebral Palsy. Journal of the American Academic Pediatrics. 1997, 99; 851-859
8. Kari Kviem Lie, et all. Association of Cerebral Palsy with Apgar Score in Low and
Normal Birth Weigth Infant: population base Cohort Study. British Medical Journal.
2010; 341; c4990
9. Robert Palisano et all. Gross Motor Function Classification System for Cerebral
Palsy. Dev Med Child Neurol. 1997; 39; 214-223
10. Neil Marlow D.M. Neurologic and Develepmental Disability at Six Years of Age After
Extremely Preterm Birth. New England Journal of Medicine. 2005, 352; 9-19
11. Jean Pierre-Lin. The Cerebral Palsies: A Physiological Approach. J Neural Neurosurg
Psychiatry. 2003; 74; 123-129
12. Lumbantobing ,S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :
Penerbit FK-UI. 2010
top related