buletin trp. konsep dan kebijakan untuk tata ruang dan pertanahan. edisi i tahun 2010
Post on 29-Nov-2015
117 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 2
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
perkenan-Nya jugalah Buletin Tata Ruang dan Pertanahan edisi
pertama ini dapat hadir di tengah-tengah pembaca. Di dalam edisi
perdana ini, redaksi mengangkat tema ―Kebijakan Tata Ruang dan
Pertanahan‖ dengan tujuan memberikan pengantar dan
pandangan umum (overview) mengenai isu-isu terkini di bidang
tata ruang dan pertanahan.
Tata ruang dan pertanahan adalah isu lintas sektoral yang
penanganannya membutuhkan penanganan khusus pula.
Beragam kepentingan politik, ekonomi, sosial dan budaya
bercampur-baur di dalam menentukan wujud ruang dan kebijakan
pertanahan yang akan diimplementasikan. Demi menjaga
keseimbangan dan keadilan di dalam pemenuhan
kepentingan-kepentingan tersebut, maka pelaku dan para
pengambil kebijakan di bidang tata ruang dan pertanahan harus
mampu memainkan peran sentral yang dapat menjadi titik temu.
Di dalam menjalankan perannya itulah, Direktorat Tata Ruang dan
Pertanahan Bappenas mencoba menghadirkan ruang publik ini
sebagai wadah dialog dan diseminasi isu-isu terkait tata ruang dan
pertanahan.
Besar harapan kami Buletin Tata Ruang dan Pertanahan ini
dapat menjadi media tematik alternatif yang dapat berkontribusi
tidak hanya bagi perluasan khasanah wawasan para pelaku
kegiatan bidang tata ruang dan pertanahan, namun juga bagi
perbaikan kebijakan bidang tata ruang dan pertanahan di
Indonesia. Semoga!
Redaksi Buletin Tata Ruang dan Pertanahan
Pelindung
Penanggung
Jawab
Pemimpin Redaksi
Dewan Redaksi
Editor
Redaksi
Desain &
Tata Letak
Desain Sampul
Distribusi &
Administrasi
Alamat Redaksi
Deputi Bidang
Pengembangan Regional
dan Otonomi Daerah
Direktur Tata Ruang dan
Pertanahan
Nana Apriyana
Rinella Tambunan
Dwi Hariyawan S
Mia Amalia
Lusi Silviani
Hernydawati
Santi Yulianti
Aswicaksana
Agung Dorodjatoen
Kiki Rachmawati
Idham Khalik
Adhitya Wirayasa
Ester Fitrinika
Micania Camillang
Indra Ade Saputra
Akhmad Gunawan
Dodi Rahadian
Sylvia Krisnawati
Sukino
Yulia Hartati
Jl. Taman Suropati No. 2
Gedung Madiun Lt. 3
021 - 392 66 01
trp@bappenas.go.id
landspatial.bappenas.go.id
pengantar redaksi
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 3
Tata Ruang & Pertanahan
Sosialisasi Peraturan Pemerintah terkait Penataan Ruang
melihat dari dekat
Buletin
daftar isi
Tata Ruang dalam Konteks Perencanaan Pembangunan Wawancara dengan
Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA
4 Concepts, Principles, and Guidlines for Land Policy Formulation and Development Planning Dr. Gerhardus Schultink
6
Kompaksi Perkotaan: Prinsip dan Potensi Pengembangannya dalam Pengembangan Kawasan Perkotaan yang Lebih Berkelanjutan Dr. Iwan Kustiwan
11 14
18
4 6 11 15
edisi I tahun 2010
daftar isi 3 ringkas buku 16
kajian 19
agenda 23
koordinasi trp 15
dalam berita 21
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 4
Tata Ruang dalam
Konteks Perencanaan Pembangunan
Wawancara dengan
Dr. Ir. Max H. Pohan, CES, MA
Sumber: www.swisscontact.org
D i siang hari itu, redaksi Buletin TRP mendapat
kesempatan untuk berbincang dengan Deputi Bidang
Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Bapak
Dr. Ir. Max Pohan, CES, MA. mengenai pelaksanaan
perencanaan pembangunan dan isu-isu nasional yang sedang
hangat dibicarakan saat ini. Ketika ditemui, Pak Max terlihat
sedang sibuk di antara berkas-berkas yang menggunung.
Tetapi begitu melihat kami datang, beliau langsung tersenyum
dan meninggalkan pekerjaannya sejenak untuk berdiskusi
dengan kami. Berikut petikan wawancara redaksi Buletin TRP
(TRP) dengan Bapak Max Pohan (MP).
TRP: Salah satu fokus Bidang Wilayah dan Tata Ruang dalam
RPJMN 2010-2014 adalah pengurangan kesenjangan antar
wilayah. Bagaimana hal itu bisa dicapai dalam 5 tahun ke
depan?
MP: Usaha untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah
adalah usaha jangka panjang yang sudah tertuang dalam
RPJPN UU No. 17/2007 dan tahapannya telah dijabarkan 5
tahunan dalam RPJMN yang saat ini sudah memasuki tahap ke
2 tahun 2010-2014. Usaha ini adalah usaha yang continuous,
terus menerus. Mungkin dalam 5 tahun ke depan kita
membangun koridornya dahulu, 5 tahun kemudian tahapan
berikutnya, begitu seterusnya, seperti building bricks yang pada
akhirnya bertujuan untuk mengatasi kesenjangan ini.
Kesenjangan wilayah adalah masalah ekonomi yang diukur
melalui berbagai indikator, salah satunya PDRB. Dari sisi
pemerintah, untuk mendorong investasi dan pembangunan
ekonomi di daerah dalam rangka mengurangi kesenjangan
dilaksanakan melalui instrumen fiskal seperti pengelolaan
APBN dengan DAK (Dana Alokasi Khusus) dan DAU (Dana
Alokasi Umum) yang lebih berpihak kepada Luar Jawa, serta
kebijakan non fiskal berupa penyiapan berupa peraturan
insentif bagi daerah di Luar Jawa sebagai pusat pertumbuhan.
Hal ini dapat dicapai apabila ada kebijakan nasional yang lebih
radikal (affirmative policy) dan kemauan politik yang besar yang
didukung oleh semua komponen bangsa.
TRP: Penataan Ruang merupakan salah satu aspek kunci untuk
mencapai misi pengembangan wilayah dalam 5 tahun ke
depan. Menurut Bapak bagaimanakah penataan ruang dapat
digunakan untuk mencapai tujuan tersebut?
MP: Penataan Ruang adalah sesuatu yang prerequisite, mutlak ada
terlebih dahulu sebelum semua pembangunan ekonomi, sosial dan
lingkungan dilaksanakan, serta menjadi panduan untuk
investasi. Dalam kaitannya dengan pengurangan kesenjangan
antar wilayah, RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Red) telah memberi arahan pembangunan yang memberi
keberpihakan kepada kawasan di luar Jawa, melalui rencana
pengembangan berbagai infrastruktur baru untuk mendorong
investasi di kawasan tersebut. Percepatan penyelesaian Perda
RTRW Provinsi juga dapat mengakselerasi pertumbuhan
investasi di berbagai daerah. Yang juga penting untuk
diperhatikan adalah harmonisasi fungsi ruang antara kawasan
budidaya dan kawasan lindung agar dampak penataan ruang
dapat dirasakan secara optimal.
TRP: Salah satu isu yang hangat saat ini adalah cara mengatasi
kemacetan DKI Jakarta yang semakin kronis. Dalam salah satu
wawancara dengan stasiun TV, menurut Bapak opsi untuk
pemindahan Ibukota RI bukan prioritas jangka pendek,
bagaimana menurut Bapak penanganan yang paling cocok
diterapkan bagi Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia?
MP: Kita harus dapat melihat secara jernih akar permasalahan
Jakarta ini terlebih dahulu, jangan langsung mengambil solusi
instan yang sebenarnya tidak menjawab permasalahan.
Masalah DKI sekarang adalah kemacetan, kualitas hidup dan
daya dukung lingkungan yang rendah. Berbagai masalah ini
terjadi karena seluruh pusat kegiatan perekonomian nasional
bertumpu di Jakarta. Jakarta memiliki daya tarik (pull factors)
yang sangat besar bagi warga pendatang karena menjanjikan
kesempatan yang lebih besar untuk mencari kehidupan yang
lebih baik dan memiliki prestise tinggi. Hal ini ditambah dengan
daya dorong (push factors) dari kota asal mereka dimana
pekerjaan kurang menjanjikan pendapatan yang layak, serta
pencitraan media terhadap
Jakarta yang seakan-akan hidup
dan bekerja di Jakarta sangat
nyaman yang semakin
mendorong penduduk
berbondong-bondong ke Jakarta.
Sebenarnya akar permasalahan
ini adalah kesenjangan wilayah,
bukan karena adanya kegiatan
pemerintah di Ibukota. Oleh
karena itu solusi memindahkan
ibukota tidak akan menjawab
permasalahan, karena tarikan
yang paling besar adalah dari kegiatan ekonomi. Solusi yang
lebih tepat adalah melalui pengembangan wilayah dan
melaksanakan rencana tata ruang secara nasional agar
pembangunan merata dan daya tarik kota-kota yang lain juga
berkembang.
Jakarta memiliki pull
factors bagi warga
pendatang karena
menjanjikan
kesempatan yang
lebih besar untuk
mencari kehidupan
yang lebih baik.
Sumber: www.swisscontact.org
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 5
TRP: Saat ini pengembangan wilayah juga dilakukan dengan
pendekatan kawasan seperti KEK (Kawasan Ekonomi Khusus)
dan KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu).
Bagaimana implementasi pendekatan ini dan instrumen apa
yang perlu dipersiapkan?
MP: Intinya adalah bagaimana mengembangkan daya tarik di
wilayah KEK terpilih untuk mengurangi kesenjangan wilayah
yang saat ini terjadi melalui instrumen fiskal, moneter, dan
terutama infrastruktur. Untuk KEK, sampai saat ini, masih
dalam tahap pemilihan lokasi dan tahapan administratif karena
berdasarkan RPJMN 2010-2014, sampai akhir tahun 2014
akan ada 5 lokasi yang ditetapkan menjadi KEK dan
penetapannya menjadi kewenangan Dewan Nasional KEK. Jadi,
sekarang kita masih menunggu keputusan Dewan Nasional
KEK.
TRP: Dalam berbagai kesesempatan Musrenbang atau
konsultasi dengan Daerah bahkan DPR juga mengindikasikan
bahwa pembangunan saat ini kurang terkoordinasi, salah
satunya karena peran Bappenas yang kurang optimal? Menurut
Bapak, bagaimana kita menyikapi tantangan tersebut?
MP: Bappenas telah berperan banyak dalam koordinasi
perencanaan pembangunan. Bappenas bisa dikatakan menjadi
garda depan atau punggawa dalam pencapaian sasaran RPJMN
agar bisa dicapai nasional maupun daerah. Saat ini sudah era
desentralisasi dan demokratisasi, dan di dalam PP No.
38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan telah diatur
hal-hal yang menjadi kewenangan pusat dan daerah sehingga
sudah jelas tugas kita masing-masing. Mungkin masih ada
beberapa daerah yang mengacu pada hirarki yang tertera pada
UU No. 22/1999 bahwa Bupati tidak bertanggung jawab
langsung pada Gubernur, yang menyebabkan penilaian
terhadap koordinasi masih kurang baik. Saya anggap ini
sebagai tantangan yang harus kita (Bappenas, Red.) sikapi
dengan lebih berani dan all-out, terutama dalam memahami
tugas pokok dan fungsi kita dalam koordinasi, monitoring dan
evaluasi mulai dari urusan pusat, propinsi dan kabupaten/kota
sehingga tercapai sinergi pembangunan.
TRP: Bagaimana prospek unit kerja yang menangani
desentralisasi dan otonomi daerah ke depan? Juga peran apa
yang harus diemban oleh provinsi untuk meningkatkan sinergi
pembangunan antara pusat dan daerah?
MP: Provinsi berperan sebagai mediator antara pemerintah
pusat dan pemerintah kabupaten/kota dengan ditetapkannya
PP No. 19/2010 (Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah di Wilayah Provinsi, Red). Gubernur harus memiliki
blue print dalam bentuk RPJMD (Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah, Red.) yang harus menggambarkan
pembagian wewenang antara provinsi, kabupaten dan kota.
RPJM dan RTRW merupakan panduan koordinasi pelaksanaan
dan pencapaian pembangunan di daerah. Hal-hal yang telah
kita lalui sampai saat ini adalah proses pembelajaran yang
harus kita lakukan secara cermat dan yang terpenting adalah
harus dilakukan terus menerus dan tidak boleh letih.
Lebih lanjut lagi, dalam desentralisasi ini ada pembagian
urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota. Kewenangan pusat yang ada di daerah adalah
konsekuensi logis dan harus dievaluasi kembali. Dulu pada
saaat penyusunan UU No. 22/1999 ada hal-hal yang sangat
―emosional‖, hal-hal ekstrim dan dianggap sangat sentralisasi
harus dihapuskan, contohnya menghapus Kanwil-Kanwil.
Padahal, fakta saat ini memang ada kebutuhan untuk hal-hal
itu (Kanwil, Red.), yang disebabkan kurangnya kapasitas daerah
dalam penanganan pembangunan. Jadi adanya kecenderungan
beberapa kementerian untuk menghidupkan kembali Kanwil,
tidak akan mengancam keberlangsungan proses desentralisasi
dan otonomi daerah. Namun demikian hal ini juga menjadi PR
terutama Kemendagri, Kementerian Keuangan, dan Bappenas
untuk melakukan evaluasi dan mengawal pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah ke arah yang lebih baik.
TRP: Sekitar 3 (tiga) tahun terkahir ini, Pelayanan Pertanahan
di Provinsi Kalimantan Tengah terhambat karena belum adanya
kesepakatan batasan kawasan hutan dan non hutan serta
belum disahkannya RTRW Provinsi. Permasalahan tersebut
menyangkut kewenangan lintas sektor dan pusat-daerah, apa
yang menurut Bapak perlu dilakukan untuk mengatasi
permasalahan tersebut?
MP: Menurut saya, konflik seperti ini sebaiknya diselesaikan
dalam forum BKPRN yang merupakan forum lintas institusi.
Parlemen juga sebaiknya diminta keterlibatannya dalam usaha
penyelesaian konflik ini. Akan tetapi, yang paling penting, sekali
lagi saya tegaskan, adalah keberadaan Rencana Tata Ruang
Wilayah itu sendiri. Solusi pasti ada dan seharusnya telah diatur
dalam RTRW ini.
TRP: Salah satu amanat Inpres 1/2010 adalah Pengembangan
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Karakteristik yang menonjol di Papua umumnya adalah
kepemilikan tanah adat. Menurut Bapak upaya apa yang sejak
dini perlu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan
munculnya konflik berkenaan dengan tanah adat tersebut?
MP: Tanah adat memiliki nilai historis bahkan magis. Komunitas
adat menganggap tanah ini memberi kehidupan secara
komunal. Pengelolaannya berbeda, tidak ada sertifikasi.
Sampai kapanpun akan dianggap
milik adat dan hanya bisa
dipinjamkan atau dialihkan
penggunaannya melalui proses
atau ritual tertentu. Hukum adat
yang mengatur tanah ulayat
sudah ada terlebih dahulu
dibandingkan Agrarian Law yang
mendorong pelaksanaan sertifikasi. Oleh karena itu sebaiknya
kita tetap menjunjung tinggi dan menghormati hak-hak adat
terhadap tanah ulayat serta melakukan pendekatan dengan
komunitas adat setempat agar tercapai kesepakatan mengenai
pengelolaan tanah adat mereka dan menghindarkan terjadinya
konflik horizontal maupun vertikal. Pendataan mau tidak mau
harus tetap ada.
Sumber: jrpurba.wordpress.com; mhayang.wordpress.com; rumamemet.com; tentanghanny.multiply.com
...tetap menjunjung
tinggi dan
menghormati hak-
hak adat...
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 6
Concepts, Principles, and Guidelines for Land Policy Formulation and Development Planning
Dr. Gerhardus Schultink*)
A ny systematic attempt to address sustainable
development planning should include baseline
performance indicators and representative productivity
indices. In rural areas, this means defining the productivity of
the renewable land resource base and its derived uses, such as
represented by the products and services from the agricultural,
forestry, and tourism sectors, as well as outputs (ecological
functions and derived social values) from natural ecosystems.
Realistically, this should reflect both sustainable resource
production capacity and economic feasibility. In rural sector
planning, this may include the following assessment phases:
1. Assessment of basic agro-ecological production capacity on
a cropping system or commodity-specific basis;
2. Assessment of sustainable productivity levels using
adjustment for locally relevant production opportunities and
input constraints (e.g. irrigation, fertilization, technology,
capital); and the
3. Economic viability of production options (input costs and
product prices).
This relationship is further identified in Figure 1, below.
Assessment of sustainable natural resource productivity levels
includes yield adjustment for locally relevant production
opportunities and input constraints (e.g. irrigation, fertilization,
technology, and capital). In essence, this includes a compilation
of :
1. Additional biophysical factors indirectly affecting crop
moisture availability, such as soil depth/texture, organic
content, net irrigation application, rooting depth, water
infiltration rate based on slope/textural classes, and crop
nutrient availability; and
2. Socioeconomic conditions that effect the farm input level
and long-term effectiveness of management practices
(e.g., fertilizer and pesticide inputs, cropping intensity, labor
or capital constraints, profit margins, land degradation),
which effect sustainable productivity; and
3. Off-farm impacts such as environmental externalities
resulting from soil erosion, fertilizer impacts, pesticide
applications or general impacts on water quality and
availability.
This resource productivity assessment must be further
expanded into a socioeconomic evaluation of needs and
suitability. Here, need addresses the social demand resulting
from expressed social expectations related to the quality of life
and associated availability and price or goods and services,
while suitability reflects the economic viability of production
opportunities, such as land use types or farming systems under
prevailing input costs and commodity price scenarios.
The use of the comprehensive and relevant indicators,
suggested above, must be incorporated into the larger decision-
support framework for policy analysis and rural development
planning. In essence, this transforms the reductionistic
Figure 1 – Relevant indicators, derived indices and linkages in natural resource production capacity assessment.
AGROECOLOGICAL RESOURCE PRODUCTION
CAPACITY INDICES
SOIL RESOURCES Soil physical and chemical properties Topography
CLIMATE RESOURCES Use-specific carrying capacity index (e.g. rangeland) Length of growing period Crop moisture availability Crop-specific productivity index Use-specific (farming system) suitability indices
AQUATIC RESOURCES Irrigation potential Aquatic Ecosystem properties (biotic and abiotic) Water quality indices (organic and inorganic) Eutrophication index Wetland resources and productivity indices Aquifer vulnerability and recharge indices
Surface and subsurface supply and cost
PLANT RESOURCES Ecosystem classes and productivity indices Vegetation association and biomass productivity Biodiversity indices (species) Genetic resource indices (biomedical)
WILDLIFE RESOURCES Ecosystem and carrying capacity indices Species, environment and human resource competition indices
NON-RENEWABLE RESOURCES Mineral Resource Oil an gas resources Strategic mineral index (for all, calculate self-sufficiency and economic supply index)
HUMAN-INDUCED LAND AND ECOSYSTEM DEGRADATION
IMPACTS AND INDICES LAND DEGRADATION IMPACTS Soil erosion (wind, water) and compaction Desertification index Salinization (Irrigation and saltwater intrusion)
WATER RESOURCE IMPACTS (In)Organic pollution Use rates and water scarcity
ECOSYSTEM QUALITY AND BIODIVERSITY Ecosystem productivity, diversity and stability
SOCIOECONOMIC NEED AND SUITABILITY INDICES
Resource Status, Depletion Rates, Supplies (stock and flow re-
sources
Projected Resource Quality, Physical and Economic Scarcity and
Prices
Mix of Resource Products and Services
Political/Administrative District Impacts
Natural System (e.g. ecosystem, agroecological zone, watershed)
Impacts
Planning districts—Integrated impacts
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 7
Approach — reducing problem solving to a segmentation of the
problem by using descriptive indicators — to a holistic or
systems approach. A holistic approach uses composite
indicators of social preferences and performance and can,
therefore, accommodate a variety of social assumptions,
opinions, and group desires, accounting for public policy
tradeoffs involving complex costs, benefits, and risk.
A key requirement in this process is that environmentally-
referenced indicators, reflecting economic productivity
opportunities and environmental impacts, by agro-ecological
zones, watersheds or major ecosystems, must be directly
related to political or administrative regions for the comparative
analysis of relevant socioeconomic impacts, and as the basis for
strategic planning and implementation. As pointed out earlier,
this relationship (Figure 2) among indicators is reflected in the
hierarchy of planning and management and may also be
illustrated in the analytical
sequence of single issue
resource management or
comprehensive planning. The
key challenge, then, is to
define specific management
objectives at each level that
operationalize private and
public development goals.
This involves seeking
complimentarity of
socioeconomic and
environmental goals that are
specifically identified as
indicators representing
needs and opportunity, as
well as measures of performance and impact. For example, in
sustainable land management and policy formulation this
involves indicators that measure land degradation trends and
quality, and denote intervention needs and development
opportunities, representing various land use types as natural or
managed production ecosystems.
Fundamentally, resource use capacity is reflected in land
quality indicators representing a potential sustainable use
condition of landscape units on a comparative basis and may
also expressed at the aggregate level at the local, regional or
national scales.
Focusing Land Policy and Development Initiatives: Applying the
Concept of Unrealized Production Potential
Comparative advantage, expressed as relative measure of
productivity or economic performance, can be defined on an
agro-ecological zone basis. An agro-ecological zone reflects a
relatively homogeneous mapping unit -- based on soil
characteristics (primarily soil texture or particle size reflecting
soil moisture holding capacity), climate and topographic
variables. This so-called Resource Production Unit (RPU) will
provide a given level of crop productivity (output) based on its
agro-ecologically defined production capacity for specific
cropping options and its associated inputs. The theoretical
maximum is based on local agro-ecological constraints. This
maximum can be compared with the actual productivity level
and the difference expressed as Unrealized Production Potential
(UPP). Where the UPP is the largest (Figure 3) the largest set of
local production constraints exist (e.g. input availability, cost,
land access, technology, etc.) and the greatest opportunity exist
to increase productivity in the context of an agrarian reform
program. This provides the spatial analytical framework for the
prioritization of integrated rural development and planning
initiatives at the regional or national level.
Land Information Systems and Indicators for Land Policy and
Development Initiatives
One of the most significant challenges in development planning
is to derive information cost-effectively and ensure that it is
thematically, spatially, and temporally relevant in supporting
policy analysis and decision making. Beyond the traditional data
P
U
B
L
I
C
B
E
N
E
F
I
T
S
UNREALIZED
PRODUCTION
POTENTIAL
NET SOCIO-
ECONOMIC
BENEFITS
CURRENT
LAND USE
NET SOCIO-ECONOMIC
BENEFITS MAXIMUM
MAXIMUM POTENTIAL
SUSTAINABLE
LAND USE
DEVELOPMENT STRATEGY – PLANNING TIME FRAME
Figure 3 - The Concept of Unrealized Production Potential -- the Difference be-
tween Current Constrained Land Use Outputs (Total Production of Goods and
Services subject to Input and Performance Constraints) and the Theoretical Maxi-
mum (Unconstrained) Outputs. Were the Difference is the Greatest, the largest
Constraint Conditions exists and the Greatest Potential exists to improve Produc-
tivity.
Figure 2 – Sustainable Environmental Management and Planning using Descrip-
tive Suitability Indicators and Composite Indices of Social Preferences, Perform-
ance and Impact
SUSTAINABLE SOIL MANAGEMENT (LAND DEGRADATION,
SOIL MOISTURE AND NUTRIENT BALANCE)
SUSTAINABLE AGRO-ECOLOGICAL ASSESSMENT AND
CROP PRODUCTION MANAGEMENT
SUSTAINABLE AGRICULTURAL SECTOR MANAGE-
MENT (CROPPING SYSTEMS AND LIVESTOCK)
SUSTAINABLE ECOSUSTEM AND
(TERRESTRIAL AND AQUATIC) BIODIVERSITY
MANAGEMENT
SUSTAINABLE NATURAL RESOURCE
MANAGEMENT
SUSTAINABLE ECONOMIC
DEVELOPMENT PLANNING
HO
LIS
M
RE
DU
CTIO
NIS
M
resource use capacity
is reflected in land
quality indicators
representing a poten-
tial sustainable use
condition of landscape
units on a comparative
basis and may also
expressed at the aggre-
gate level at the local,
regional or national
scales.
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 8
quality standards of precision and accuracy, it is important to
identify the MINIMUM information content necessary to meet
decision-support objectives, at a given point in time. It may be
argued that any redundant information constitutes inefficient
use of human and capital resources.
In the process of compiling information a distinction has to be
made with regard to the sequence and characteristics of basic
data capture and analysis and the use and distribution of
relevant information. This process sequence is illustrated above
(Figure 4).
It is especially important to differentiate among the various
information compilation steps, namely:
The use of relevant, descriptive qualitative and quantitative
diagnostic indicators in the problem identification;
Problem-oriented fact finding involving the use of primary and
secondary data sets compiled in a spatially referenced
information system (GIS), linked with analytical performance
assessment models, such as agronomic productivity
forecasting and socioeconomic impact assessment models;
The compilation of single indicators or composite prescriptive
indices that identify potential solutions and alternative
problem solving approaches; and
The selection of planning and implementation alternatives
based on composite performance indices that reflect planning
impacts, intended public policy consequences, and the
aggregate impact on the quality of life over time, by location
and the populations affected.
The formulation of the latter two categories - involving the
identification of potential solutions, the selection of preferred
alternatives, and implementation strategies - must be
addressed effectively by the compiled information. To this end,
consideration should be given to the formulation of a National
Spatial Data Infrastructure (NSDI) that may be viewed as a
network of Spatial Data Infrastructures (SDI) linked to address
specific applications by specific government agencies. The
primary purpose of a SDI is to provided improved access to
spatial data (reflecting time, cost, quality, relevancy, and
standardization issues) and support NSDI policy analysis needs
on a economic sector or issue basis (e.g. environmental impact
analysis, rural development planning, transportation planning or
agricultural or tourism sector analysis).
If a truly integrated national data base infrastructure is
envisioned, the principal users may include the National
Mapping Agency, BPN, BAPPENAS, the Ministries of Public
Works, Agriculture, Forestry, Environment, and agencies with
responsibilities for public health and safety. The institutional
role of LIS/GIS in inter-agency collaboration and public policy
support is outlined below (Figure 5). It is essential to form an
inter-agency task force to develop a National Spatial Data
Information (NSDI) infrastructure with centralized data capture
and archiving, universally accepted standards, networked data Figure 4 – Hierarchical information flow and use of basic data, indicators and
indices in development planning and public policy formulation
Figure 5 – Integration of National GIS Support Functions based on mandates of
the national Mapping Agency, BPN, Bappenas, Ministries of Public Works, Agricul-
ture, Forestry, Environment and Tourism, and agencies with responsibilities for
public health and safety
PUBLIC
SAFETY BUILDING
PUBLIC
WORKS
PLANNING
GIS
Figure
4 – Hierarchical information flow and use of basic data, indicators and
PROBLEM IDENTIFICATION
Problem Indicators—thematic, quantitative and qualitative measures
Need indicators—measures of intervention need and opportunity
COMPREHENSIVE DATA BASE COMPILATION
Environmental Information System (GIS)
Primary Data Capture
Secondary Data Capture
ENVIRONMENTAL ASSESSMENT APPROACHES
AND IMPACTS ASSESSMENT MODELS (thematic
examples)
Crop Productivity
Climate Change
Air Quality
Water Quality
Biodiversity
INDICATORS—prescriptive
Intervention Opportunities
Planning Guidelines
Land Suitability
Comparative Advantage
Sustainability
Carrying Capacity
INDICES—performance
Performance and Risk Assessment
Monitoring
Aggregate Impact
Quality of life
DECISION MAKING AND POLICY
IMPLEMENTATION
FE
ED
BA
CK
Urban Quality
Soil Degradation
Coastal Zone Manage-ment
Wildlife Management
PO
LIC
Y IN
FO
RM
ATIO
N
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 9
access, down and upload capacities based on unique needs
(such as the cadastral information used by BPN).
This will not only create a cost-effective national spatial
information system capacity but will also permit networked data
base linkages with dedicated abilities and security features
based on specific
agency needs.
The NSDI involves the
identification of critical
qualitative and
quantitative indicators
and derived indices, as
viewed from the
perspective of the
various national or
regional agencies with
associated mandates in
economic development
and environmental
protection.
Environmental quality and public health risk are directly
associated with the impacts of land use policy on quality of life
and are receiving increased attention, world-wide. Land policy
initiatives should not only address economic development but
also deteriorating air and water quality, restoration of
ecosystems functions, and nature preservation needs. It is
important to seek legislative agreement and support for these
initiatives in the early stages of environmental degradation. We
view this as critically important in Indonesia. Intervention
scenarios will be much more cost efficient that retroactive
mitigation efforts. This represents a critical opportunity for
Indonesia to address significant environmental concerns,
particularly in land and water quality management.
The primary need exists to establish harmony among laws and
regulations, and to develop the political willingness to create an
effective environmental policy agenda for the 2010, and
beyond. Environmental and land use policy should be primarily
directed toward the prevention of water and air pollution and
reflects proactive, comprehensive laws and regulations
regarding the impacts of land use (including deforestation and
mining) on environmental quality.
The challenge is to evolve an integrated systems approach to
natural resource evaluation and impact assessment that fosters
the development of a decision support system which is effective
in making informed public policy choices. Such a policy analysis
system, as outline below (Figure 6) consists of three major
functional components, comprising diagnostic, prescriptive, and
performance (monitoring) indicators and their derived resulting
indices. It includes:
A comprehensive Resource Evaluation System – to assess
primary production capacities (agro-ecological productivity)
A Land Use Evaluation System – the assess comparative land
suitability (economic viability and environmental and public
risk variables), and
A Public Policy Analysis System – to conduct macro socio-
economic analysis
Public interests largely reflect the long-term environmental
stewardship principle that includes public interests in resource
conservation and environmental quality. Private interests largely
reflect more short-term economic interests that are directly
affected by ownership rights, laws, and regulations. In this
regard, the goal of public land use policy is to balance public
and private interest (reduce human risks, preserve
environmental quality and stimulate economically viable
production opportunities) by the formulation of multi-
jurisdictional (e.g. national regional and local), resource policy
systems that include the institutional controls and capacity to:
a) Identify the comparative advantage of resource use
opportunities (e.g., resource endowment, use capacity and
use efficiencies) in the context of environmental constraints
(e.g., carrying capacity and resource depletion rates) – the
resource evaluation framework
b) Evolve guidelines and decision-support systems to evaluate
public and private sector benefits (e.g., benefit/cost,
benefit/risk) of land use alternatives and associated
environmental impacts – the policy analysis framework
c) Development implementation and evaluation through
effective development strategies, land use plans, laws and
regulations, and performance monitoring – the policy
implementation framework
In general, public
development policy
attempts to guide the
identification and selection
of ―best resource use‖
options reflecting both
public land use alternatives
and the aggregate
socioeconomic and
environmental impacts of
private land use choices. It
aims to mobilize the
production of goods and
services as resource
outputs to meet societal
needs and to improve
resource productivity, input, and management efficiency, while
attempting to optimize product distribution and availability. In
this context, natural resource assessment is a systematic
process of fact finding, interpretation, and identification of
development alternatives and associated impacts. This process
is by nature holistic of ecosystems and the linkages among a
complex set of biotic and abiotic factors.
Sustainable development fundamentally reflects this
understanding and, therefore, the perceived opportunities and
environmental limits that provide guidelines for improved
decision making, environmental management, and
development planning. This understanding is never absolute,
lacking essential knowledge about complex ecological
relationships, complicated by spatial and temporal inaccuracies,
affected by adaptive impacts and policy changes, and
influenced by changing valuations of public benefits, costs and,
risks.
It is essential to form an
inter-agency task force to
develop a National
Spatial Data Information
(NSDI) infrastructure with
centralized data capture
and archiving, universally
accepted standards,
networked data access,
down and upload
capacities
public development
policy attempts to guide
the identification and
selection of ―best
resource use‖ options
reflecting both public
land use alternatives
and the aggregate
socioeconomic and
environmental impacts
of private land use
choices
EDISI 01/TAHUN I/2010
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 10
To effectively challenge this decision-making complexity, a
systems approach to economic development and
environmentalassessment is needed. The approach should be:
1) Issue-oriented to improve ability to identify the qualitative
and quantitative dimensions of the problem(s),
2) Diagnostic in its analytical approach to identifying potential
solutions that are sustainable and economically viable , and
3) Focus on problem solving by providing the minimum
information needed to make informed decisions.
Land Evaluation and Suitability Assessment for Land Policy and
Development Planning
The critical analytical process that determines the comparative
land suitabilities associated with different production options if
referred to as Land Evaluation for Development Planning. Land
evaluation is designed to:
Identify inappropriate land uses that lead to inefficient use
or exploitation of natural resources resulting in the
degradation or destruction of land resources and undermine
the long-term productive capacity of our natural resources
based, and eventually lead to poverty and scarcity of
products and ecosystem services;
identify the best land use alternatives for a given parcel of
land given prevailing inputs, costs, technology and public
preference, thereby seeking the long-term creation and
preservation of prosperity
develop rational land use planning and select appropriate
and sustainable uses of natural and human resources on a
parcel and administrative district basis
Land evaluation is the assessment of land performance for a
specified land use – the land use objective or alternative – the
so-called Land Utilization Type (LUT) subject to local constraints
and input regimes. Land evaluation reflects the notion that land
*) Professor, International Resource Development and Planning. College of Agriculture and Natural Resources, MICHIGAN STATE UNIVERSITY. Email: schultin@msu.edu
Figure 6 – Major system linkages of resource assessment, land evaluation, eco-
nomic development planning and land use policy formulation
PUBLIC POLICY SYSTEM
(EVALUATION OF QUALITY-OF-LIFE IMPACTS)
AGGREGATE SOCIOECONOMIC PERFORMANCE MODELS AND SPATIAL
INDICATORS
LAND USE SELECTION BASED ON SOCIOECONOMIC PERFORMANCE
AND ENVIRONMENTAL CAPACITY AND QUALITY INDICATORS
POLICY IMPLEMENTATION THROUGH SELECTIVE DEVELOPMENT
STRATEGIES, INCENTIVES, LAND USE PLANS AND CONTROLS
NATURAL
RESOURCE
SYSTEM
Bio-physical diag-
nostic and prescrip-
tive indicators:
ecological resource
base quality, pro-
duction capacities
and constraints
SUSTAINABLE
PRODUCTIVITY
CONSTRAINTS:
Agro-ecological,
Technological,
Socioeconomic,
Institutional,
Cultural, and
Political.
COMPARATIVE
OPPORTUNITY
INDICATORS (e.g.
crop yields and
economic return
LAND USE
SYSTEM
(viable) Land Use
Types (LUTs) evalu-
ated on the basis of
resource capacity
and socio-economic
performance and
prognostic indica-
tors - development
guidelines and
strategies
(and its use) varies in its bio-physical and socio-economic
properties and that for each use a suitability determination can
be made and expressed in physical and/or economic terms.
This suitability assessment for agricultural, forestry (or any other
land use including industrial or tourism) provide a parcel-based
and aggregate (political or administrative district-based)
comparative framework that provide users and decision makers
-- such as land use planners, state institutions, politicians and
agricultural support services – with spatial information to make
predictions and guide land use decisions and policy formulation.
Tahukah Anda???
Tahapan kegiatan pendaftaran untuk pertama kali
Pengukuran,
Pemetaan
Bidang Tanah &
Pembuatan
Peta Pendaftaran
Tanah
Pembuatan Daftar
Tanah
• Sistematik
• Sporadik
PenyimpananDaftar Umum &
Dokumen
Pembuatan Peta
Dasar Pendaftaran
Tanah
Penetapan Batas
Bidang Tanah
Pembuatan Surat
Ukur
Pembuktian
Hak &
Pembukuan
Penerbitan
Sertipikat
Penyajian
Data Fisik &
Yuridis
Sumber: PP No. 24/ 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Larasita adalah Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 11
Kompaksi Perkotaan: Prinsip dan Potensi
Penerapannya dalam Pengembangan
Kawasan Perkotaan yang Lebih Berkelanjutan Dr. Iwan Kustiwan
Pendahuluan
Pertumbuhan perkotaan di Indonesia, terutama di kota
besar dan metropolitan, secara fisik ditandai oleh pesatnya
pertumbuhan kawasan pinggiran kota yang dikenal sebagai
proses suburbanisasi. Suburbanisasi yang terjadi cenderung
menjadikan kawasan perkotaan secara fisik meluas secara
acak/terpencar (urban sprawl), dan menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan, sehingga mengarah pada
perkembangan perkotaan yang
tidak berkelanjutan.
Urban sprawl, menyangkut
bentuk perkotaan (urban form—
ukuran, shape dan intensitas
permukiman perkotaan) yang
merupakan salah satu isu
keberlanjutan pada skala spasial
kota/lokal (Wheeler, 2004; Knaap
et al., 2007). Hasil kajian empirik
di negara-negara maju
menunjukkan keterkaitan antara bentuk perkotaan dan
keberlanjutannya. Pemahaman terhadap keterkaitan ini
diperlukan dalam pengembangan strategi untuk mewujudkan
struktur dan pola ruang kawasan perkotaan yang lebih
berkelanjutan.
Dalam kaitan dengan kota-kota di Indonesia yang sedang
mengalami pertumbuhan pesat, kompaksi perkotaan (urban
compaction) yang diterapkan dalam konteks pembangunan
wilayah yang selama ini cenderung ekspansif dan bersifat
sprawl, mempunyai potensi untuk mengurangi ecological
footprint. Tulisan ini secara singkat memaparkan prinsip-
prinsip kompaksi perkotaan dan potensi penerapannya dalam
konteks perkembangan kawasan metropolitan di Indonesia.
Bentuk Perkotaan yang Berkelanjutan
Perdebatan mengenai bentuk perkotaan (urban form) yang
berdampak positif terhadap keberlanjutan perkotaan,
berkembang pada isu terkait bentuk perkotaan ‗terbaik‘ untuk
memfasilitasi transportasi berkelanjutan yang mencakup:
pengurangan panjang dan waktu perjalanan; pengurangan
ketergantungan pada kendaraan bermotor, peningkatan
transportasi umum secara efisien, promosi untuk berjalan kaki
dan bersepeda, serta pengurangan emisi (Breheny, 1992;
Williams et.al, 2000; de Roo dan Miller, 2000; Williams, 2005).
Wheeler (2004) mengidentifikasi 5 prinsip bentuk
perkotaan yang berkelanjutan, yaitu: bentuk kompak yang
membatasi suburban sprawl, menerus, terhubungkan,
beragam, dan ekologis. Compact city dinilai sebagai bentuk
perkotaan yang paling berkelanjutan, karena paling sesuai
dengan prinsip anti-sprawl dibandingkan dengan 3 tipe/bentuk
lainnya yang selama ini diakui sebagai kota yang berkelanjutan
neotraditional development, urban containment, compact city,
dan eco-city.
Compact city sebagai strategi pengembangan kota diarahkan
untuk meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan
penduduk perumahan; mengintensifkan kegiatan ekonomi,
sosial dan budaya perkotaan; memanipulasi ukuran kota,
bentuk dan struktur perkotaan, serta sistem permukiman
melalui pemusatan fungsi-fungsi perkotaan (Jenk, 2000).
Keterkaitan Bentuk Perkotaan dengan Keberlanjutan
Lingkungan
Bentuk perkotaan pada skala neighborhood, diukur dari
dimensi kepadatan, diversitas (penggunaan lahan dan tipe
hunian), aksesibilitas, serta desain jaringan jalan. Hasil analisis
keterkaitan bentuk perkotaan dengan pola perjalanan
menegaskan beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan
perjalanan yaitu: kepadatan, ukuran kawasan, penggunaan
lahan campuran, dan lokasi pengembangan. Faktor-faktor
tersebut menggambarkan derajat kekompakan (compactness)
suatu kawasan. Hal ini berarti kompaksi bentuk perkotaan,
melalui unsur-unsurnya (densitas, diversitas penggunaan lahan,
desain kawasan, dan aksesibilitas), dapat mempengaruhi pola/
perilaku perjalanan, terutama panjang perjalanan dan
konsekuensinya terhadap konsumsi energi, emisi yang
dihasilkan dan kualitas udara (Gambar 1).
Prinsip-prinsip Kompaksi Perkotaan
Dari aspek pengembangan lahan, perkembangan kawasan
perkotaan yang bersifat sprawl mengancam keberadaan
kawasan pertanian subur dan ruang terbuka hijau di pinggiran
kota, yang merupakan unsur kota yang berkelanjutan. Dengan
menerapkan prinsip-prinsip kompaksi perkotaan melalui
intervensi terhadap unsur-unsur bentuk perkotaan (densitas,
kompaksi perkotaan
yang diterapkan
dalam konteks
pertumbuhan
perkotaan yang
cenderung ekspansif,
berpotensi mengu-
rangi ecological
footprint.
Sumber: www.mori.co.jp
Gambar 1. Kompaksi terhadap Unsur-unsur Bentuk Perkotaan, Pengaruhnya
terhadap Keberlanjutan Lingkungan Perkotaan
Bentuk Perkotaan Manfaat terhadap keberlanjutan
lingkungan
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 12
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Kompaksi perkotaan dapat diadopsi dalam perencanaan tata
ruang kawasan perkotaan yang bersifat lintas-wilayah
administratif. Untuk itu perlu adanya sinergi perencanaan tata
ruang wilayah Kota dan Kabupaten dalam menerapkan prinsip-
prinsip kompaksi perkotaan, baik dalam rencana struktur
maupun rencana pola ruang wilayah.
Dalam rencana struktur ruang, kompaksi perkotaan diakomodir
dalam penetapan hirarki pusat-pusat permukiman (dalam
lingkup kabupaten) dan pusat-
pusat pelayanan perkotaan
serta sistem jaringan
prasarana yang berfungsi
sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat
yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional,
sehingga dapat
mengintegrasikan
kepentingan antar-wilayah. Sedangkan dalam rencana pola
ruang, perlu adanya sinergi pada kawasan pinggiran yang
menjadi perbatasan Kota dan Kabupaten, baik untuk
pengembangan kawasan perumahan maupun kawasan
pertanian dan ruang terbuka hijau.
Kompaksi perkotaan yang merekomendasikan pengembangan
perumahan yang lebih kompak perlu diakomodasikan dalam
peraturan zonasi sebagai instrumen utama dalam pengendalian
pemanfaatan ruang. Rekomendasi tersebut dapat ditempuh
melalui penerapan ketentuan peruntukan pada zona/kawasan
campuran yang lebih luwes dan adanya insentif untuk
melakukan pengembangan secara lebih kompak. Pada
kawasan pusat kota, perlu dikembangkan peraturan zonasi
yang memberikan insentif untuk pengembangan kegiatan/
penggunaan lahan campuran perumahan pada zona komersial
secara intensif dalam bentuk vertikal.
Residentialisation merupakan upaya untuk mengembalikan
vitalitas pusat kota yang mengalami kemunduran. Selain itu,
kompaksi perkotaan mempunyai implikasi terhadap perlunya
menerapkan insentif zoning, berupa izin peningkatan intensitas
dan kepadatan pembangunan (tinggi bangunan) yang diberikan
kepada pengembang dengan imbalan penyediaan fasilitas
publik. Dalam konteks ini, kompaksi perkotaan dapat menjadi
strategi untuk meningkatkan penyediaan ruang terbuka hijau
dan fasilitas publik. Sementara itu, untuk kawasan pinggiran,
perlu dikembangkan peraturan zonasi yang memberikan
insentif untuk pengembangan kegiatan/penggunaan lahan
campuran komersial pada zona perumahan. Pengembangan
diversitas penggunaan lahan, desain kawasan, dan
aksesibilitas), diharapkan akan diperoleh manfaat dalam
konteks keberlanjutan perkotaan secara lingkungan, sosial, dan
ekonomi. Prinsip-prinsip kompaksi perkotaan ini meliputi:
densifikasi perumahan, diversifikasi penggunaan lahan,
intensifikasi penggunaan lahan, residentialisation, diversifikasi
tipe bangunan, dan kedekatan (proximity) terhadap pusat kota
dan sistem angkutan umum. Secara diagmatis, kaitan unsur-
unsur bentuk perkotaan, prinsip-prinsip kompaksi perkotaan,
dan manfaat potensialnya terhadap keberlanjutan perkotaan,
dapat disajikan melalui Gambar 2.
Potensi Penerapan Kompaksi Perkotaan
Berdasarkan model yang dikembangkan oleh Holden (2003),
diidentifikasi 4 bentuk perkotaan yang mengacu pada
kecenderungan perkembangan (sprawl, atau terkonsentrasi)
dan upaya/strategi untuk mengubahnya (sentralisasi atau
desentralisasi), yakni: urban
sprawl, compact city, green city,
dan decentralized concentration.
Bentuk konsentrasi
terdesentralisasi (decentralized
concentration) merupakan
strategi pengembangan spasial
yang pengembangannya
difokuskan pada pusat-pusat
pengembangan baru di kawasan
pinggiran, pusat-pusat baru
berkepadatan tinggi, berlokasi baik dalam sistem transportasi
umum metropolitan sehingga dapat dicapai efisiensi energi dan
minimasi dampak lingkungan. Dengan kata lain, konsentrasi
terdesentralisasi dapat dipandang sebagai perluasan dari
konsep compact city dalam konteks wilayah metropolitan, yang
mempunyai karakteristik pertumbuhan pesat dengan daya
dukung lingkungan yang terbatas.
Di kawasan pusat kota, strategi kompaksi yang dapat ditempuh
adalah regenerasi kawasan melalui pengembangan perumahan
yang lebih kompak (berkepadatan tinggi, penggunaan lahan
campuran, dan aksesibilitas tinggi). Penerapan strategi
kompaksi di pusat kota memberi manfaat: (1) pengurangan
ancaman terhadap alih fungsi kawasan pertanian subur dan
ruang terbuka hijau; dan (2) efisiensi penggunaan ruang
melalui intensifikasi kawasan terbangun yang sudah ada.
Sementara itu, di kawasan pinggiran kota, strategi yang dapat
ditempuh adalah pengembangan dengan pola konsentrasi
terdesentralisasi melalui pengembangan perumahan yang lebih
kompak (berkepadatan tinggi dan penggunaan lahan
campuran) pada pusat-pusat primer dan sekunder serta koridor
transportasi umum sebagai kawasan yang mempunyai
aksesibilitas tinggi.
kompaksi perkotaan
menjadi strategi
peningkatan
penyediaan ruang
terbuka hijau strategi kompaksi di
pusat kota dapat
ditempuh melalui
pengembangan
perumahan
Lingkungan
1. Pengurangan kebergantungan pada kenda-
raan bermotor.
2. Pengurangan tekanan thd alih fungsi
kawasan pertanian/RTH.
3. Pengurangan konsumsi energi, emisi dan
pencemaran udara.
Sosial
1. Peningkatan interaksi sosial.
2. Interaksi sosial/kohesivitas masyarakat.
3. Akses thd fasilitas sosial.
Ekonomi 1. Komplementaritas antar kegiatan.
2. Efisiensi ruang dan prasarana.
3. Regenerasi/revitalisasi kawasan pusat/
dalam kota.
Densifikasi perumahan
Diversifikasi penggunaan lahan
Intensifikasi penggunaan lahan
Residentialisation
Diversifikasi tipe hunian & bangunan
Proximity thd pusat kota dan sistem
angkutan umum
Manfaat terhadap
Keberlanjutan Prinsip-prinsip
Kompaksi Perkotaan
Densitas
Diversitas
Penggunaan
Lahan
Design
Ukuran kawasan, tata
letak, tipe hunian
Aksesibilitas
Distance, Destination
Bentuk
Perkotaan
Gambar 2. Prinsip Kompaksi Perkotaan dan Manfatnya terhadap Keberlanjutan Perkotaan
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 13
penggunaan campuran ini merupakan upaya untuk mengurangi
kebutuhan perjalanan yang selama ini menjadi konsekuensi
pengembangan perumahan baru yang bersifat mono-
fungsional.
Glossary
Neotraditional development (Jabareen, 2006) adalah konsep
pengembangan yang didasarkan pada bentuk perkotaan
tradisional untuk menahan kecenderungan suburban sprawl
dan penurunan kawasan pusat kota.
Urban containment (Jabareen, 2006) adalah konsep/strategi
untuk mencegah perluasan kawasan perkotaan ke arah luar
dan mendorong perkembangan ke dalam kawasan perkotaan,
dengan pelestarian bentang alam dan kawasan pertanian.
Eco-city (Jabareen, 2006) adalah bentuk perkotaan ekologis
yang dimaksudkan untuk mencapai keberlanjutan perkotaan,
baik secara lingkungan, sosial, ekonomi dan kelembagaan.
Daftar Pustaka
Burton, Elizabeth. 2001. The compact city and social justice,
Housing Studies Association Spring Conference, Housing,
Environment and Sustainability, University of New York, New
York
Holden, Erling. 2004. Ecological footprints and sustainable
urban form, Journal of Housing and the Built Environment, 19.
Jabareen, Y.R. 2006. Sustainable urban forms. Their typologies,
models, and concepts, Journal of Planning Education and
Research, 26.
Jenks, M., R. Burgess. 2000. Compact cities: sustainable urban
form for developing counties. SPON Press, London.
Jenks, M., C. Jones (eds). 2010. Dimensions of the sustainable
city. Springer, London.
*) Ringkasan dari disertasi yang berjudul Bentuk dan Pengembangan Kawasan Perkotaan Berkelanjutan (Kajian Potensi Kompaksi di Kawasan Perkotaan Bandung) pada Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas
Indonesia.
**) Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota; Ketua Kelompok
Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota Sekolah Arsitektur,
Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB.
Perencanaan tata ruang menghasilkan:
1. Rencana umum tata ruang
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
ditetapkan melalui PP No. 26/2008.
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)
ditetapkan melalui Peraturan Daerah.
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
(RTRWK) ditetapkan melalui Peraturan Daerah.
2. Rencana rinci tata ruang
a. RTR Pulau/Kepulauan dan RTR Kawasan Strate-
gis Nasional ditetapkan melalui Peraturan Presi-
den.
b. Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi
ditetapkan melalui Peraturan Daerah..
c. Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota
dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis
Kabupaten/Kota ditetapkan melalui Peraturan
Daerah.
Sumber: UU 26/2007; PP 15/2010.
Tahukah Anda???
Status Penyelesaian
Peraturan Daerah RTRW Provinsi
KETERANGAN:
A : Proses Revisi
B : Proses Persetujuan Substansi
B1 : Proses Persetujuan Kementerian PU
B2 : Proses Persetujuan Kementerian Kehutanan
C : Memperoleh Persetujuan Substansi
C1 : Memperoleh Persetujuan Substansi Kementerian PU
C2 : Memperoleh Persetujuan Substansi Kehutanan
D : Pembahasan DPRD
E : Evaluasi di Kementerian Dalam Negeri
F : Penetapan Perda RTRW
Sumber : Sekretariat BKPRN, September 2010
No. Provinsi A
B C
D E F B1 B2 C1 C2
1. NAD
2. Sumatera Utara
3. Sumatera Barat
4. Riau
5. Jambi
6. Bengkulu
7. Sumatera Selatan
8. Lampung
9. Kep. Riau
10. Kep. Bangka Belitung
11. DKI Jakarta
12. Banten
13. Jawa Barat
14. Jawa Tengah
15. DI Yogyakarta
16. Jawa Timur
17. Bali
18. Nusa Tenggara Barat
19. Kalimantan Barat
20. Kalimantan Tengah
21. Kalimantan Selatan
22. Kalimantan Timur
23. Sulawesi Utara
24. Sulawesi Tengah
25. Sulawesi Selatan
26. Sulawesi Tenggara
27. Sulawesi Barat
28. Gorontalo
29. Nusa Tenggara Timur
30. Maluku
31. Maluku Utara
32. Papua Barat
33. Papua
JUMLAH 33 25 22 11 10 11 7 6
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 14
K ementerian PPN/Bappenas menggelar acara Sosialisasi
Peraturan Pemerintah terkait Penataan Ruang pada
Selasa, 13 Juli 2010 di Jakarta. Peraturan Pemerintah
(PP) yang disosialisasikan adalah PP No. 15/2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang, PP No. 10/2010 tentang
Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan,
dan PP No. 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
Acara dibuka dengan Keynote Speech oleh Deputi Bidang
Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah,
Dr. Ir. Max Pohan, CES, MA dilanjutkan dengan pemaparan
setiap PP dan diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Tata
Ruang dan Pertanahan Ir. Deddy Koespramoedyo, MSc. Hadir
sebagai narasumber adalah Direktur Jenderal Penataan Ruang,
Kementerian PU, Ir. Imam Santoso Ernawi, MCM, MSc., Direktur
Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Kementerian
Kehutanan, Dr. Ir. Dwi Sudharto, Msi., dan Kasubdit Informasi
Kawasan Hutan, Kementerian Kehutanan, Ir. Chaerudin
Mangkudisastra, MSc. Acara tersebut mengundang perwakilan
deputi dan direktorat terkait di Bappenas, perwakilan Lembaga
Swadaya Masyarakat, dan perwakilan Perguruan Tinggi.
Penataan ruang merupakan upaya pengalokasian ruang bagi
kegiatan pembangunan untuk menjaga keberlanjutan fungsi
ruang. Penerbitan ketiga PP ditujukan untuk mewujudkan
harmonisasi dan keterpaduan penyelenggaraan penataan
ruang di berbagai kawasan, termasuk pengaturan
pembangunan di kawasan hutan.
PP No. 15/2010
PP Penyelenggaraan
Penataan Ruang
memberi perhatian
pada pentingnya
sinkronisasi antara
rencana
pembangunan
dengan rencana tata
ruang serta
pentingnya rencana
detail tata ruang di
wilayah perkotaan
yang akan menjadi dasar pemberian izin pemanfaatan ruang.
Kebijakan mengenai insentif dan disinsentif juga diperlukan
dalam rangka mendukung upaya pemanfaatan ruang yang
sejalan dengan rencana tata ruang.
PP No. 10/2010 dan PP No. 24/2010
Sementara PP kehutanan mengatur mengenai ketentuan,
persyaratan, dan prosedur bagi pemerintah, pemerintah
daerah, ataupun kelompok masyarakat yang membutuhkan
ruang untuk kegiatan pembangunan yang berada di dalam
kawasan hutan. Melalui kedua PP kehutanan ini, dibuka
kemungkinan pemanfaatan kawasan hutan untuk pemanfaatan
di luar kehutanan dengan tetap menjaga keseimbangan
manfaat lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi.
Pemanfaatan kawasan hutan harus mempertimbangkan fungsi
pokok hutan, jenis dan intensitas kegiatan, batasan luas,
jangka waktu dan upaya reboisasi dan reklamasi, yang
bertujuan untuk tetap menjaga manfaat kawasan hutan secara
lestari dan berkelanjutan.
Poin-poin Penting
Pentingnya sinkronisasi indikasi program dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan program dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)/Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) di pusat dan
daerah.
Perubahan
peruntukan dan
fungsi kawasan
hutan diakomodasi
pada proses
penyusunan RTRW
dengan
memperhatikan
kelestarian fungsi
hutan.
Penilaian kawasan
hutan yang
tercakup dalam
kajian Tim Terpadu bertujuan untuk menginventarisasi
penggunaan kawasan hutan dengan mempertimbangkan
prinsip sosial, ekonomi, dan ekologi.
Hasil inventarisasi digunakan untuk menahan laju
deforestasi, bukan untuk mendukung akselerasi perubahan
kawasan hutan.
PP No. 10/2010 mengamanatkan kewajiban untuk
menyediakan lahan pengganti sebagai penukar kawasan
hutan dengan rasio 1:1 untuk kepentingan umum dan rasio
1:2 untuk kepentingan komersil. Lahan pengganti tersebut
harus dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang
diamanatkan oleh UU No. 32/2009 sudah diterapkan dalam
proses penyusunan RTRW dan dalam proses perubahan
peruntukan kawasan hutan.
Kebijakan insentif/disinsentif fiskal tengah dipersiapkan,
termasuk di dalamnya kewenangan pemerintah daerah
dalam penerapan insentif/disinsentif tersebut.
Untuk kelancaran pelaksanaan ketiga PP tersebut perlu
peningkatan koordinasi antara pemerintah provinsi dengan
pemerintah kabupaten/kota.
Sosialisasi Peraturan
Pemerintah terkait Penataan Ruang
Sumber: Dokumentasi Dit. Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas, 2010.
Sumber: Kementerian PU, 2010.
Sumber: Kementerian Kehutanan, 2010.
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 15
Institution Building for the Integration of National-Regional Development
and Spatial Planning
S istem perencanaan pembangunan di Indonesia diatur
melalui UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional melalui penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) serta UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang melalui
penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kedua
aturan ini memiliki keterkaitan erat yang semestinya
terintegrasi dan saling menguatkan.
Proses integrasi kedua rencana ini masih menghadapi
tantangan dan permasalahan, terkait dengan aspek peraturan
pendukung, kelembagaan pelaksanaan, dan aspek-aspek
sektoral yang (terkadang) saling bertentangan. Pada tingkat
nasional telah dilakukan upaya integrasi antara RPJP Nasional
dengan RTRW Nasional melalui RPJM Nasional 2010-2014
(RPJM ke-2 dari RPJP 2005-2025). Pemerintah Provinsi/
Kabupaten/Kota juga diharapkan dapat melaksanakan
integrasi kedua rencana ini sehingga dapat memenuhi 4
(empat) aspek integrasi, yaitu: integrasi muatan, integrasi
antarsektor, integrasi antarwilayah, serta integrasi antarwaktu.
Bappenas bekerja sama dengan DSF (Decentralization Support
Facility) - The World Bank berupaya untuk membantu melalui
pendampingan dan pelatihan kepada pemerintah daerah
dalam hal mengintegrasikan rencana pembangunan dan
rencana tata ruang melalui kegiatan Institution Building for the
Integration Of National-Regional Development and Spatial
Planning. Kegiatan ini berlangsung dari bulan Mei 2010-Mei
2011, di 9 lokasi pilot project, yaitu Provinsi Sumatera Barat,
U ndang— undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang mengamanatkan agar seluruh provinsi di
Indonesia menyesuaikan/merevisi Rencana Tata Ruang
Wilayah-nya sesuai dengan muatan dan ketentuan yang
berlaku dalam UU Penataan Ruang tersebut dan Peraturan
Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN) dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak UU tersebut diterbitkan. Namun hingga saat ini masih
banyak RTRW Provinsi yang belum ditetapkan menjadi
Peraturan Daerah (Perda).
Keterlambatan penetapan Perda tentang RTRW Provinsi salah
satunya disebabkan karena masih banyaknya permasalahan
tumpang tindih perizinan dan pemanfaatan ruang. Oleh karena
itu, dalam rangka percepatan penyelesaian Perda RTRW
Provinsi dan resolusi konflik pemanfaatan ruang, Badan
Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) memutuskan
untuk melakukan audit pemanfaatan ruang nasional (stock
taking). Kegiatan stock taking bertujuan untuk mengambil
potret dari pemanfaatan ruang terkini dan tumpang tindih
berbagai penetapan ijin/status kawasan yang dilekatkan pada
ruang tersebut. Hasil dari kegiatan stocktaking diharapkan
koordinasi trp
dapat menjadi bahan pertimbangan BKPRN dalam
memberikan rekomendasi penyelesaian konflik pemanfaatan
ruang dalam rangka mempercepat penyelesaian RTRW
Provinsi. Stock taking dilakukan dengan cara: (i) melakukan
pemetaan eksisting tutupan lahan (landcovering) dan
membandingkannya dengan berbagai penetapan kawasan dan
pemberian izin kawasan pemanfaatan ruang, dan (ii)
mengklasifikasi tipologi-tipologi permasalahan tumpang tindih
dan konflik pemanfaatan ruang antarsektor.
Stock taking dilakukan pada provinsi-provinsi yang dinilai
memiliki permasalahan tumpang tindih pemanfaatan ruang
antarsektor paling mendesak dan perlu diprioritaskan. Pada
tahun 2009 stock taking dilakukan untuk Provinsi Kalimantan
Tengah, dan pada tahun 2010 dilanjutkan untuk Provinsi
Sumatera Utara, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Hingga saat
ini, BKPRN masih merumuskan rekomendasi keluaran dari
kegiatan stock taking tersebut.
Audit Pemanfaatan Ruang Nasional (Stock Taking)
Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Jawa Timur,
Kabupaten dan Kota Mojokerto, Provinsi Gorontalo serta
Kabupaten dan Kota Gorontalo.
Kegiatan ini dilaksanakan dalam 2 (dua) kelompok kegiatan,
yaitu:
1. Kegiatan pendampingan, melalui penyertaan tenaga ahli
pendamping di setiap lokasi untuk menggali
permasalahan dan kebutuhan sebagai masukan untuk
kegiatan pelatihan;
2. Kegiatan pelatihan, melalui penyiapan modul-modul
pelatihan berdasarkan tipologi permasalahan dalam
pengintegrasian dan dilanjutkan dengan pelatihan
pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan
pemahaman aparat pemerintah daerah dalam
pelaksanaan integrasi rencana pembangunan dengan
rencana tata ruang.
Di awal kegiatan pendampingan, diketahui masih terdapat
perbedaan muatan dan jangka waktu penyusunan RPJP, serta
perbedaan pemahaman dari pemangku kepentingan di daerah
mengenai pelaksanaan integrasi RPJP yang telah disusun ke
dalam RTRW yang sedang disusun. Kegiatan ini diharapkan
dapat menjadi masukan bagi pemerintah pusat untuk
menyusun kebijakan yang lebih tepat dalam upaya
pengintegrasian rencana pembangunan dengan rencana tata
ruang, baik secara vertikal maupun horizontal.
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 16
ringkas buku:
Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi
B uku Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi adalah
kumpulan tulisan Prof. Emil Salim dalam surat kabar dan
majalah lingkungan. Tulisan Pak Emil selalu konsisten
menggabungkan antara prinsip pengelolaan lingkungan hidup
dengan menggunakan berbagai instrumen ekonomi. Pak Emil
betul-betul menyadari bahwa manusia adalah makhluk
ekonomi, Homo economicus, (h.144) yang selalu berpikir
untung-rugi dalam setiap tindakannya (h.214). Dengan
demikian, segala eksploitasi lingkungan dan sumberdaya alam
yang berakar dari pencarian keuntungan semata hanya dapat
dikendalikan dengan instrumen ekonomi. Instrumen ekonomi
secara tidak langsung dapat memaksa pengguna sumberdaya
alam dan lingkungan untuk berpikir ulang dan
mempertimbangkan kembali biaya yang harus dia keluarkan
(h.xxv). Pemikiran utama ini konsisten dipertahankan, manfaat
harus lebih tinggi dari biaya pembangunan. Namun demikian,
bila menyangkut nyawa, setinggi apapun manfaat
pembangunan, tidak dapat diterima bila mengorbankan nyawa
manusia (h.9; h.100) dan ‗memperparah kemiskinan yang
diderita oleh rakyat‘ (h.xvii).
Buku ini merangkum seluruh tulisan Pak Emil dan
menggolongkannya ke dalam enam tema utama. Penjelasan
dan rangkuman seluruh tema ini dijabarkan dalam Kata
Pengantar. Dasar pemikiran pembentukan tema dapat
dimengerti dengan baik setelah membaca Kata Pengantar,
namun demikian, pengulangan materi tidak dapat dihindari
karena setiap artikel ditulis dan dipublikasikan secara terpisah
dalam media massa yang berbeda.
Bab 1, Bumi Semakin Panas menjelaskan tentang pencemaran
gas rumah kaca yang dampaknya dapat dirasakan secara
global (h.14-15; h.20; h.30; h.35). Dalam bab ini konflik yang
terjadi di forum internasional dijelaskan secara detail namun
mudah dimengerti, termasuk di dalamnya proses negosiasi
antara negara maju dan berkembang (h.18-19). Selain itu Pak
Emil menjabarkan juga berbagai ketidakadilan yang dituntut
oleh negara maju dari negara-negara berkembang. Contohnya
seperti tuntutan negara maju agar negara berkembang harus
menurunkan emisi
gas rumah kaca
(GRK) dalam daftar
setingkat dengan
negara maju (h.5).
Penataan ruang
dapat menjadi salah
satu langkah mitigasi
bagi negara dengan
luasan hutan besar
seperti Indonesia,
sayangnya ‗perencanaan jaringan jalan cenderung menerabas
kawasan hijau yang mengurangi daya serap GRK secara
alami‘ (h.14). Hal lain yang dapat dilakukan adalah
menghilangkan distorsi harga yang pro pada energi terbarukan
(h.16) serta kontra pada energi fosil. Selain langkah mitigasi,
masyarakat juga harus didorong untuk beradaptasi dengan cara
meningkatkan ketahanan masyarakat agar mampu berproduksi
menghasilkan kebutuhan pokok seperti pangan, kesehatan dan
pendidikan (h.16; h.25-27) dalam iklim yang berbeda.
Bab 2, Pengelolaan Sumberdaya Alam, dibagi pembahasan
pada sumberdaya alam strategis seperti pertambangan, air,
hutan dan pesisir. Industri pertambangan yang sangat penting
bagi Indonesia karena ‗telah membuka banyak lapangan kerja
dan meningkatkan kegiatan ekonomi di daerah terpencil‘ (h.43)
serta ‗meningkatkan pendapatan negara dari negara
berpenghasilan rendah menjadi negara berpenghasilan
menengah‘ (h.44) ternyata memiliki dampak negatif pada
lingkungan dan masyarakat lokal (h.44; h.47). Strategi khusus
untuk mengkonversi hasil dari sumberdaya pertambangan yang
tidak terbarukan menjadi sumberdaya terbarukan (h.46) dan
digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas
kehidupan masyarakat lokal. Untuk mencegah dampak negatif
dari industri pertambangan pada masyarakat lokal, pemerintah
harus mengkoreksi pasar agar industri pertambangan
memperhitungkan biaya pencemaran dalam biaya produksinya
(h.47).
Untuk hutan, Pak Emil melakukan tinjauan kritis atas
penerbitan peraturan yang mengorbankan lingkungan (h.64-69)
seperti penambangan di kawasan lindung yang diperbolehkan
oleh Perpu No. 1 Tahun 2004 yang dalam penetapannya ‗tidak
memenuhi ketentuan hukum‘ yang berlaku, termasuk asas ‗hal
ihwal kegentingan yang memaksa‘ (h.65). Menurut Pak Emil,
penggunaan hutan secara adil dan berkelanjutan perlu
memperhatikan: (1) penggunaan hutan untuk mengentaskan
kemiskinan; (2) perlindungan dan imbalan bagi penduduk lokal
... seharusnya’ pembangunan
masyarakat dunia dilaksanakan
berdasarkankan prinsip
tanggung jawab yang sama
namun dengan pembedaan
pemikulannya (common but
differentiated
responsibility)’ (h.87).
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 17
yang memiliki plasma nutfah; (3) pengakuan hak penduduk
yang hidup di hutan yang kehidupannya sangat sinergi dengan
lingkungan; (4) perlindungan akses masyarakat lokal pada
hutan; serta (5) penerapan teknologi penebangan hutan
dengan dampak kerusakan sekecil mungkin walaupun dengan
biaya tinggi (h.72-73).
Bab 3, Menata Ruang Pembangunan difokuskan pada alokasi
ruang dalam pembangunan nasional. Khusus untuk UU No. 26
Tahun 2007, Pak Emil menuliskan kritik yang cukup tajam
terkait dengan fungsi penataan ruang ‗untuk mengalokasikan
penggunaan sumberdaya alam dan ekosistem bagi sebesar-
besarnya kesejahteraan rakyat‘. Untuk itu, menurut Pak Emil,
tanggung jawab penataan ruang nasional seharusnya ‗diemban
oleh seorang menteri yang tidak memikul tugas sektoral,
melainkan koordinatif seperti menteri koordinator dan lintas
sektor‘ (h.91) seperti yang tercantum dalam UU No. 24 Tahun
1992: ‘Presiden menunjuk menteri yang bertugas
mengkoordinasikan penataan ruang‘ bukan seperti dalam UU
No. 26 Tahun 2007: ‗Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam bidang penataan ruang‘ (h.92).
Catatan khusus untuk penataan ruang Pulau Jawa yang ‗paling
subur dengan tanah vulkanis, curah hujan berlimpah dan iklim
yang tidak ekstrem fluktuasinya‘ (h.93) sehingga perlu
diselamatkan untuk menjamin ketersediaan pangan di masa
yang akan datang. ‗Karena itu tanah subur Jawa tidak boleh
dialihkan fungsinya untuk jalan, industri atau
permukiman‘ (h.98). Caranya adalah dengan mengalihkan dana
‗pembangunan jalan yang memakan lahan sawah produktif‘
untuk merehabilitas jalan desa, agar terbuka aksesibilitas
penduduk desa untuk memasarkan hasil kerjanya melalui
pelabuhan yang mempertautkan berbagai provinsi kita ke
dalam satu pasar nasional‘ (h.105).
Bab 4, Pengelolaan Lingkungan, prinsip keterpaduan antara
ekonomi dan lingkungan (h.133) yang dianut oleh Pak Emil
terlihat sangat jelas. Alasan pentingnya memadukan kedua
bidang yang dinilai memiliki prinsip yang berlawanan sangatlah
jelas: ‗lingkungan yang rusak mematikan pembangunan
ekonomi‘ (h.133). Untuk itu diperlukan perubahan dalam cara
membangun yaitu dengan cara
‗menggunakan sumberdaya
alam yang lebih sedikit,
menurunkan jumlah energi
yang digunakan, menggunakan
ruang lebih kecil, membuang
limbah dan sampah lebih
sedikit dan dengan mendaur ulang hasil produksi yang telah
selesai dikonsumsi‘ (h.135).
Pembangunan ekonomi konvensional yang ‗berhasil menaikkan
PDB tahun 2000 sampai dengan tujuh kali PDB tahun 1950‘
tidak memberi tempat bagi pembangunan sosial dan
perlindungan lingkungan yang membutuhkan perencanaan
jangka panjang namun dimarjinalkan oleh kepentingan
ekonomi berjangka pendek‘ (h.145; h.146; h.149). Terbukti
pada ‗Tahun 2000, hampir 40 persen penduduk masih hidup di
bawah garis kemiskinan‘ (h.145). Hal ini disebabkan karena
‗pola pembangunan konvensional ini memiliki tiga kelemahan :
(1) kegagalan pasar untuk menampung kebutuhan sosial, jasa
lingkungan yang dianggap sebagai hal lumrah dan tidak bernilai
ekonomi; (2) kegagalan institusi yang dapat dikoreksi oleh
pemerintah dan lembaga resmi tingkat internasional; (3)
kegagalan kebijakan untuk melaksanakan pembangunan
secara simultan dan lintas sektoral‘ (h.149).
Bab 5, Alam Terkembang jadi Guru, menjelaskan secara logis
pergeseran cara pandang manusia pada alam, khususnya
Manusia Indonesia yang awalnya berguru pada alam (h.206),
menghormati dan memperlakukan alam dengan kasih sayang
‘lingkungan yang rusak
mematikan
pembangunan
ekonomi‘ (h.133)
sehingga nenek moyang kita memiliki kearifan untuk membaca
‗tanda-tanda alam‘ (h.208). Kemudian, saat rasionalitas
meningkat, ‗alam tidak lagi untuk dihormati tapi untuk
ditundukkan dengan modal uang dan peralatan‘ (h.xxvii; h.209).
Menurut Pak Emil, ‗rasionalitas dan kasih sayang harus saling
melengkapi, yang berarti ‗daya nalar rasional harus diimbangi
oleh kearifan lokal‘. Untuk itu, perlu dikembangkan pengakuan
pada hak masyarakat adat dan penghargaan pada ‗jasa
lingkungan yang tidak dapat dinilai harganya oleh
pasar‘ (h.214). Dengan demikian maka diharapkan tekanan
pada lingkungan akan dapat diturunkan bila masyarakat hidup
serasi dengan alam (h.217) serta perencanaan pembangunan
yang memperhitungkan dampaknya pada lingkungan (h.236).
Bab 6, Membangun Manusia Seutuhnya, membahas cukup
banyak tema, salah satunya adalah pembangunan manusia.
Pembangunan manusia, seperti menjaga kecukupan nilai gizi,
air minum, pelayanan kesehatan, angkutan, permukiman serta
lapangan kerja, pada awalnya mendapatkan tentangan karena
dianggap ‗mengalihkan perhatian dunia keluar dari
pembangunan ekonomi‘ (h.255). Seluruh langkah yang
diperlukan untuk membangun manusia membutuhkan jangka
waktu yang cukup panjang sehingga diperlukan alokasi
anggaran tinggi yang konsisten dari pemerintah karena peran
swasta untuk
investasi jangka
panjang seperti ini
sulit untuk
diharapkan (h.259).
Padahal, dampak
akhirnya sangat
jelas, meningkatnya
produktivitas
(h.267). Untuk itu,
menurut Pak Emil,
kebijakan pemerintah sangat penting dalam memilih mana
yang lebih dominan antara ‗kepentingan bersama‘ (common
interests) dalam pembangunan sosial dan lingkungan atau
‗kepentingan diri‘ dalam ekonomi‘ (h.264-265).
Walaupun buku ini sarat nilai, pengetahuan, dan pengalaman
beliau yang sangat berharga, namun Pak Emil berhasil
menuliskannya dengan bahasa yang ringan, mudah dimengerti
bahkan cenderung jenaka. Salah satu artikel jenaka sekaligus
mengharukan adalah artikel ‗Sompret‘ yang didedikasikan
kepada Prof Koesnadi Hardjasoemantri. Keahlian mengolah
konsep sulit dengan bahasa yang mudah memperlihatkan
bahwa walaupun Pak Emil banyak berkecimpung di
...namun demikian, saat
rasionalitas meningkat, ‗alam
tidak lagi untuk dihormati
tapi untuk ditundukkan
dengan modal uang dan
peralatan‘ (h.209).
Apa saja hak masyarakat dalam penataan ruang?
1. Masyarakat dapat melihat dokumen dan peta
rencana tata rang di Kantor Kelurahan atau kantor
yang menyususn rencana tata ruang.
2. Pemanfaatan ruang yang baik dapat meningkatkan
nilai ruang seperti kenaikan harga tanah,
kemudahan akses dan kenyamanan lingkungan.
3. Masyarakat dapat memperoleh ganti rugi atas
pembebasan tanah miliknya untuk kepentingan
pembangunan.
4. Masyarakat dapat mengajukan keberatan dan
menuntut pembatalan izin jika ada pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Sumber: PP 15/2010
Tahukah Anda???
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 18
M enyusuri Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) yang
terletak di pantai barat Pulau Sumatera, maka kita
akan mendapati keindahan alam khas yang
terbentang dari utara hingga ke selatan di provinsi tersebut.
Pesona keindahan tersebut berbaur dengan bangunan-
bangunan khas yang menjadi landmark di Provinsi Sumatera
Barat. Kali ini, tim ekspedisi Direktorat Tata Ruang dan
Pertanahan, Bappenas mengunjungi Kota Padang, Kabupaten
Padang Pariaman dan Kabupaten Pesisir Selatan dalam rangka
pemantauan pembangunan bidang tata ruang dan pertanahan,
khususnya pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
tahun 2010.
Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman dipilih karena
dianggap sebagai wilayah yang cukup parah terkena dampak
gempa bumi tahun 2008 dan telah mulai dapat bangkit dari
kerusakan. Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) sendiri dipilih
untuk mewakili sebuah kabupaten yang agak terpencil namun
masih berbatasan dengan Kota Padang. Pemantauan bidang
tata ruang difokuskan pada Kota Padang dan Kabupaten
Pessel dengan tema sinkronisasi rencana pembangunan dan
rencana tata ruang; sementara, pemantauan bidang
pertanahan difokuskan pada Kota Padang dan Kabupaten
Padang Pariaman dengan titik berat pemantauan pada tanah
hak ulayat.
Pemantauan Bidang Tata Ruang
Kabupaten Pesisir Selatan
Kabupaten Pesisir Selatan adalah salah satu ―laboratorium
bencana‖ di Indonesia. Beragam potensi bencana terdapat di
kabupaten tersebut, mulai dari longsor, puting beliung, banjir
dan gempa. Delapan belas sungai yang bermuara di pantai
barat Pulau Sumatera melewati kabupaten ini. Di samping itu,
Kabupaten Pessel adalah salah satu kabupaten termiskin di
Indonesia, di mana jumlah KK miskinnya terbanyak di Provinsi
Sumatera Barat.
Dengan latar belakang kondisi seperti itu, maka Pemkab Pessel
telah mengusulkan alih fungsi kawasan hutan seluas 14.000
ha di Kecamatan Indrapulo untuk diubah fungsinya menjadi
kawasan hutan yang dapat dikonversi. Di samping itu,ada pula
usulan perubahan fungsi di lahan seluas 56.000 ha karena
sudah dibudidayakan. Hal ini dilakukan karena pada kondisi
eksisting, areal yang tidak dapat dibudidayakan di Kabupaten
Pessel, karena ditetapkan sebagai kawasan hutan, mencapai
76% dari total luas area.
Di Kabupaten Pessel sendiri, seringkali yang menjadi kendala
adalah belum kuatnya komitmen politik untuk melaksanakan
dokumen rencana pembangunan (RPJPD, RPJMD dan RKPD)
dan dokumen rencana tataruang (RTRW). Oleh sebab itu, dua
hal dilakukan Pemkab Pessel: (1) menetapkan Perda
penyusunan rencana tata ruang dan rencana pembangunan,
dengan tujuan memberikan landasan bagi pelaksanaan
dokumen rencana pembangunan dan rencana tata ruang yang
telah ditetapkan; dan (2) menyusun RPJPD dan RTRW secara
swakelola untuk menjamin keterpaduan kedua rencana
tersebut.
Kota Padang
RTRW Kota Padang disusun dengan bantuan dana bantuan
teknis Kementerian Pekerjaan Umum. Sebelumnya, telah ada
RTRW Kota Padang periode 2008-2028, namun kemudian
dokumen tersebut diubah karena adanya gempa. Rancangan
RTRW yang baru diharapkan selesai pada bulan Agustus 2010,
dengan mengakomodasi aspek mitigasi bencana.
Dokumen rencana pembangunan Kota Padang juga relatif
cukup lengkap; di mana RPJPD periode 2003-2023 telah ada
dan RPJMD terakhir masih akan berlaku hingga tahun 2010.
Oleh sebab itu, mengingat RPJMD yang baru akan segera
disusun, Pemkot Padang menganggap penting isu keselarasan
antara dokumen rencana pembangunan dan rencana tata
ruang.
Adapun hal menarik terkait Bappeda Kota Padang adalah
bahwa di samping menyusun dokumen RTRW, institusi tersebut
juga menyusun beberapa rencana induk, seperti transportasi,
pusat pemerintahan, pendidikan, dan sebagainya. Rencana
induk ini kemudian diterjemahkan ke dalam rencana rinci/detil
dan Detailed Engineering Design (DED) oleh SKPD yang
bersangkutan.
Pemantauan Bidang Pertanahan
Kegiatan pengelolaan pertanahan di Provinsi Sumatera Barat
memiliki corak tersendiri dan secara umum belum dapat
mencerminkan kegiatan pertanahan secara nasional terutama
karena adanya pemberlakuan sistem adat (ulayat) dalam
tanah komunal, sehingga kerap memunculkan dilema antara
mereduksi sistem kekerabatan dengan meningkatkan
kepastian hukum hak atas tanah individual.
Kepemilikan tanah adat tersebut mempengaruhi pelaksanaan
beberapa kegiatan contohnya seperti Proyek Operasi Nasional
Pertanahan (PRONA), Redistribusi Tanah dan Konsolidasi
Tanah, yang sering terkendala oleh munculnya berbagai
sengketa tanah adat, baik dalam tahap pelaksanaan maupun
menjelang atau tidak lama setelah terbitnya sertipikat tanah.
Sampai tahun 2010 tercatat sekitar 6.000 sengketa tanah
yang terjadi di Sumbar. Bahkan ada kantor pertanahan yang
lebih banyak menerima pengaduan sengketa tanah daripada
permohonan sertifikasi tanah, umumnya yang berlokasi di
bagian tengah wilayah Sumbar. Sengketa tanah adat relatif
melihat dari dekat:
Provinsi Sumatera Barat
Gambar 1. Kondisi Sebagian dari Kantor Pertanahan Padang Pariaman
EDISI 01/TAHUN I/2010
Buletin Tata Ruang dan Pertanahan 19
lebih rendah jumlahnya di wilayah perbatasan Sumbar yang
masyarakatnya relatif lebih heterogen, salah satunya seperti
di Kabupaten Damas Raya.
Walaupun telah diterbitkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi
Sumatera Barat No. 16 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan
Pemanfaatannya, gugatan-gugatan tanah adat masih tetap
berlangsung sehingga turut menyebabkan kurang kondusifnya
iklim investasi. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera
Barat, Ir. Tri Suprijanto, SH, MSi, mengangkat usulan
pendekatan untuk dapat mengakomodasi atau
mempertemukan sistem kepemilikan tanah adat/ulayat
dengan sistem hukum tanah nasional (tidak dengan
mempertentangkan kedua sistem hukum tersebut), yakni
dengan cara pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak
Pakai (HP) di atas tanah adat/ulayat.
Kerjasama dengan pemda setempat juga sangat penting bagi
kelancaran pengelolaan pertanahan. Dalam kegiatan
konsolidasi tanah, contohnya, diperlukan sinergi pemda
setempat terutama dalam penyediaan prasarana
permukiman. Apabila tidak didukung prasarana yang
memadai, kawasan yang telah dikonsolidasikan menjadi
terbengkalai karena belum layak huni. Kegiatan yang berjalan
relatif cukup lancar di Sumbar salah satunya adalah
pembuatan peta pertanahan. Peta pertanahan merupakan
data spasial yang sangat penting untuk akurasi/kepastian
lokasi tanah, sehingga turut mereduksi resiko sengketa tanah.
Kesadaran pentingnya penataan sistem informasi pertanahan
sangat perlu ditanamkan, baik untuk kemudahan
pemantauan, penentuan baseline dan indikator kinerja.
Kualitas pelayanan pertanahan amat dipengaruhi oleh
kapasitas sumberdaya manusia serta ketersediaan dan
kelayakan sarana-prasarana, salah satunya kondisi kantor
pertanahan. Kantor Pertanahan Kabupaten Padang Pariaman
dan Kota Padang mengalami kerusakan akibat musibah
gempa bumi tahun 2008 lalu. Kerusakan bangunan dan ruang
arsip pertanahan mempengaruhi kualitas layanan pertanahan,
padahal permintaan layanan dari masyarakat terus
berdatangan. Mengingat ketersediaan anggaran pada tahun
2010 ini belum memadai, perbaikan kedua kantor tersebut
direncanakan dapat dilakukan pada tahun 2011. [rt/ik/ad]
Gambar 2. Salah Satu Ruang di Kantor Pertanahan Kota Padang paska
gempa bumi 2008
Apa itu WTPD?
Peringatan World Town Planning Day dicetuskan pertama kali pada tahun 1949 oleh Professor Carlos Maria della Paolera dari Universitas Buenos Aires di Argentina. Sejak tahun 1995 peringatan WTPD dikoordinasikan oleh International Society of City and Re-
gional Planners (IsoCaRP) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Sejak saat itu diperkirakan lebih dari 30 negara di dunia memperingatinya setiap tahun, termasuk negara - negara Malaysia, Singapura, dan Australia.
Sejak kapan WTPD diperingati di Indonesia?
Peringatan WTPD pertama diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2008 di Jakarta. Pada peringatan kedua tahun 2009, diperkenalkan istilah Hari TARU sebagai bentuk adaptasi lokal terhadap istilah WTPD dan dilakukan secara serentak di Jakarta dan Semarang Jawa Tengah.
Apa Tujuan Peringatan Hari TARU (WTPD)?
Peringatan Hari TARU (WTPD) dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi publik dan pemangku kepentingan terhadap aspek penataan ruang (kawasan perko-taan) serta mengkampanyekan isu-isu dan kebijakan-kebijakan di bidang penataan ruang kepada masyarakat luas.
Kapan peringatan WTPD 2010 dilaksanakan?
Launching peringatan WTPD 2010 akan dilakukan di Jakarta pada bulan Agustus 2010, sedangkan puncak Perayaan WTPD 2010 akan dilaksanakan di Denpasar pada tanggal 6-8 Novem-ber 2010. Penyelenggaraan acara perayaan dalam rangka WTPD 2010 dapat dilaksanakan antara bulan Agustus hingga akhir Oktober 2010. Selain itu akan diselenggarakan National Side Events di Banjarmasin pada 24 - 25 September 2010.
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 20
B erdasarkan tahapan ke-2 pencapaian visi dan misi Ren-
cana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
2005-2025, RPJMN 2010-2014 memiliki prioritas
agenda pembangunan yang difokuskan pada pemantapan
penataan kembali Indonesia dengan penekanan pada upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia, perkembangan
kemampuan ilmu dan teknologi, serta penguatan daya saing
perekonomian. Dalam arahan RPJPN 2005-2025 bidang tata
ruang dan pertanahan tercakup dalam misi ke-5 yaitu mewujud-
kan pemerataan pembangunan dan berkeadilan, dan misi ke-6
yaitu mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari. Tantangang
yang dihadapi adalah kompetisi dalam perekonomian yang
semakin ketat oleh daerah-daerah di Indonesia melalui
peningkatan efisiensi pemanfaatan ruang, maksimasi potensi
wilayah dan sinkronisasi program lintas sektor yang dapat
menghasilkan penyediaan infrastruktur yang memadai di
seluruh wilayah Indonesia. Tantangan lain yang harus dihadapi
adalah dari isu lingkungan, mengingat fenomena global
warming dan perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia
akibat kegiatan manusia yang terlalu banyak merusak alam dan
menghasilkan polusi, tentunya penataan ruang harus mampu
merespon hal tersebut. Pelanggaran-pelanggaran dalam
penataan ruang yang telah terjadi saat ini masih mungkin dapat
terjadi dalam 5 tahun mendatang jika penataan ruang tidak
mampu memenuhi tuntutan untuk meningkatkan pengawasan
dan penertiban terhadap pelanggaran tata ruang.
Dalam bidang pertanahan, tanah merupakan sumber daya
penting dan strategis karena menyangkut hajat hidup seluruh
masyarakat Indonesia yang sangat mendasar. Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Prinsip tersebut telah diakomodasikan
dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (disingkat UUPA), dimana negara menjamin hak-hak
masyarakat atas tanahnya dan memberikan pengakuan atas
hak-hak atas tanah yang ada, termasuk hak ulayat. Ketetapan
MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, telah menetapkan prinsip-
prinsip dan arah kebijakan pembaruan agraria dan
pemanfaatan sumber daya alam secara berkeadilan dan
berkelanjutan. Ketetapan tersebut memberikan mandat kepada
Pemerintah Indonesia untuk melakukan penataan peraturan
perundang-undangan maupun penataan penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, sebagaimana
yang juga digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJPN) 2005-2025.
Untuk mengantisipasi tantangan tersebut, sasaran
Pembangunan Bidang Penataan Ruang
1. Terpenuhinya peraturan perundang-undangan untuk
mendukung implementasi UU No. 26 Tahun 2007.
2. Terlaksananya pembinaan penataan ruang kepada
pemangku kepentingan.
3. Terwujudnya peningkatan peran kelembagaan yang andal
mencakup SDM dan sistem informasi.
4. Terwujudnya peningkatan kualitas produk Rencana Tata
Ruang yang disertai dengan peningkatan layanan peta
dasar dan tematik,
5. Terwujudnya sinkronisasi program pembangunan
antarsektor dan antarwilayah yang mengacu kepada RTRW.
6. Terwujudnya kesepakatan kerjasama pembangunan
antarwilayah.
7. Terlaksananya pengendalian pemanfaatan ruang dan
pengawasan teknis.
Sedangkan sasaran Pembangunan Bidang Pertanahan adalah:
1. Bertambahnya cakupan wilayah yang memiliki peta pertana-
han seluas 10.500.000 ha.
2. Bertambahnya luas tanah yang telah terdaftar.
3. Meningkatnya kepastian hukum hak atas tanah, termasuk
di dalamnya bagi masyarakat kurang mampu, untuk men-
gakses sumberdaya produktif.
4. Meningkatnya penerapan sistem informasi dan manajemen
pertanahan.
5. Meningkatnya ketersediaan informasi mengenai kesesuaian
pola tata guna tanah dengan RTRW.
6. Terlaksananya pemberian aset tanah yang layak terutama
bagi kalangan kurang mampu sebanyak 1.050.000 bidang.
7. Meningkatnya pengendalian penguasaan tanah terlantar.
8. Terlaksananya penataan dan penegakan hukum
pertanahan.
9. Meningkatnya kualitas SDM dalam pengelolaan pertanahan.
kajian:
Arah Kebijakan dan Indikator
Bidang Tata Ruang dan Pertanahan
EDISI 01/TAHUN I/2010
Buletin Tata Ruang dan Pertanahan 21
dalam berita
T ahun 2010 dapat dikatakan penataan ruang sedang
banyak diberitakan, hampir tiap bulan terutama harian
kompas dan media indonesia banyak memberitakan
tentang penataan ruang. Namun demikian pemberitaan masih
berorientasi pada sisi “gelap” penataan ruang antara lain
masalah kurang berfungsinya rencana tata ruang sebagai
arahan pembangunan dan sebagai alat pengendaliaan
pemanfaat ruang guna tercapainya pembangunan
berkelanjutan. Berikut beberapa kliping berita terkait penataan
ruang yang kami ambil dari berberapa koran yang terbit di
Jakarta:
Januari 2010
Kerusakan lingkungan dan pencemaran akibat masifnya kuasa
penambangan batu bara di wilayah Kalimantan membutuhkan
penegakan hukum. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinilai
lebih ‖bergigi‖ atau lebih kuat untuk menindak. (Kompas,
27/01/2010).
Praktik penambangan batu bara di Kalimantan saat ini sudah
sangat memprihatinkan. Tak hanya hutan produksi yang habis
digarap secara membabi buta, tetapi juga kawasan konservasi
dan lahan pertanian masyarakat (Kompas, 25/01/2010).
Ahli tata kota Jakarta meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
melibatkan partisipasi warga dalam penyusunan rencana tata
ruang wilayah 2010-2030. Keterlibatan warga sangat penting
karena mereka ikut menentukan wajah kota 20 tahun
mendatang. (Kompas, 22/01/2010)
Februari 2010
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan segera
menertibkan ribuan izin kuasa pertambangan yang telah
diterbitkan pemerintah daerah dalam 10 tahun terakhir. Hal ini
akan dilakukan setelah empat peraturan pemerintah turunan
UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara diberlakukan.(Kompas,05/02/2010).
Masyarakat bisa melihat tata kota DKI Jakarta tahun 2030
dengan mengunjungi galeri perencanaan kota yang terletak di
lantai III Gedung Dinas Teknis Abdul Muis, Jakarta Pusat.Galeri
bernama Jakarta City Planning Gallery itu diresmikan Gubernur
Fauzi Bowo, Jumat (29/1). Galeri dibuka gratis untuk umum
setiap Senin hingga Jumat pukul 08.00-16.00.
(Kompas,05/02/2010).
Proses revisi tata ruang di beberapa provinsi masih terhambat
sikap pemerintah daerah. Pemda bersikeras memasukkan
kawasan hutan lindung yang telah beralih fungsi tanpa izin ke
dalam tata ruang provinsi. Demikian disampaikan Menteri
Kehutanan Zulkifli Hasan dalam jumpa pers program kerja 100
hari di Jakarta. Dia didampingi pejabat eselon I dan II
Kementerian Kehutanan. (Kompas, 10/02/2010).
Bencana tanah longsor di perkebunan teh, Desa Tenjolaya,
Kabupaten Bandung, bagaikan puncak gunung es dari
beberapa kejadian musibah pada musim hujan, tahun ini.
Provinsi Jawa Barat adalah yang paling parah, dengan
banyaknya peristiwa bencana di wilayah ini. (Kompas,
01/03/2010).
Maret 2010
Saat ini masih banyak daerah yang belum menyelesaikan
rencana umum tata ruang dan wilayah. Padahal, hal tersebut
sangat dibutuhkan dalam pembangunan daerah. Akibat
ketidakberesan itu, yang tidak jarang menimbulkan konflik,
menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta
Rajasa, pembangunan lebih dari 400 infrastruktur terbengkalai
dan potensi pertambangan tak bisa dimanfaatkan.
(Kompas,08/03/2010).
April 2010
Kalangan aktivis lingkungan di Maluku Utara (Malut)
mengkhawatirkan kelestarian hutan menjadi terancam
sehubungan cukup banyaknya perusahaan tambang yang
beroperasi di Kabupaten Kepulauan Sula (Kepsul). "Sekarang
ini sudah ada 128 perusahaan tambang yang telah
mendapatkan izin kuasa pertambangan (IKP) dari Pemkab
Kepsul untuk menggarap potensi tambang di daerah itu. Ini
jelas merupakan ancaman bagi kelestarian kawasan hutan,"
kata Djafar, seorang aktivis lingkungan di Malut, kepada pers di
Ternate.(Media Indonesia,08/04/2010).
Mei 2010
Sebanyak 62 daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia dengan
seluas 18,5 juta hektare (ha) dalam kondisi kritis. Kondisi itu
memicu penurunan cadangan sumber air, fluktuasi debit air,
serta tingginya laju sedimentasi dan erosi. Selain itu juga
menurunkan kualitas air yang tajam karena polusi pada badan
air. Akibatnya, biaya pengolahan air meningkat dan
memperburuk sanitasi publik. (Media Indonesia, 07/05/2010).
DPRD DKI Jakarta mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
agar segera menuntaskan penyegelan ratusan bangunan yang
melanggar peruntukan lahan. Meskipun sudah disegel selama
lebih dari tiga bulan, ratusan pengusaha tetap memfungsikan
bangunan yang sudah disegel. (Kompas,18/05/2010).
Proses penataan ruang di Pulau Sumatera, termasuk Provinsi
Jambi, belum mempertimbangkan aspek keselamatan warga
dan lingkungan. Lahan yang ada cenderung dibagi habis untuk
kawasan berbasis industri modern. Praktik ini berlangsung
masif.(Kompas,18/05/2010).
EDISI 01/TAHUN I/2010
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 22
Juni 2010
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menghentikan proses
reklamasi pantai utara Jakarta setelah Mahkamah Agung
mengabulkan kasasi Kementerian Lingkungan Hidup.
Reklamasi pantai utara Jakarta dinilai telah merusak
lingkungan sehingga tidak boleh dilanjutkan.
(Kompas,02/06/2010)
Wakil Presiden Boediono terpaksa harus turun tangan
mengurusi lambatnya penyelesaian Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR) setiap daerah yang harus diselesaikan pada tahun ini
juga. Pasalnya, hingga 18 Juni lalu, dari 33 provinsi di
Indonesia, tercatat baru lima provinsi yang menyelesaikan
RUTR-nya. Kelima daerah itu adalah Provinsi Bali, Sulawesi
Selatan, Lampung, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Nusa
Tenggara Barat (NTB). (Kompas, 22/06/2010).
Agustus 2010
Indonesia setiap tahun berpotensi mengalami kerugian hingga
Rp300 triliun akibat kegagalan dalam penataan tata ruang.
Demikian catatan organisasi pemerhati lingkungan.(Media
Indonesia, 11/08/2010).
Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) disinyalir masih jauh dari target. Hal ini disebabkan oleh
adanya konflik pemanfaatan ruang baik antarsektor maupun
antarwilayah. (Media Indonesia, 11/08/2019).
Menteri Kehutanan, Zulkifili Hasan, mengungkapkan hingga kini
penyelesaian persoalan perubahan tata ruang wilayah provinsi
baru selesai 50 persen. Provinsi yang sudah selesai itu antara
lain Kalimantan Selatan, Gorontalo, Jawa Tengah, Lampung,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa
Barat, dan Banten.(Republika, 12/06/2010).
Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, mengatakan, daerahnya
akan mempertahankan areal sawah yang ada agar tidak
berubah fungsi menjadi bangunan lainnya. Oleh karena itu
Pemprov Banten melarang alih fungsi sawah menjadi lahan
lainnya.(Republika).
Kampung turis Ubud, Provinsi Bali yang meraih penghargaan
"The Best City in Asia" layak menjadi contoh penataan ruang
bagi kota lain, kata Dirjen Penataan Ruang Kementerian
Pekerjaan Umum Imam Ernawi. (Republika,12/08/2010).
M JUSUF KALLA Wakil Presiden (2004-2009): Ibukota sekaligus
kota besar tidak selalu macet selama diatur dengan
baik.Lihatlah Tokyo dan London. Bangkok pernah macet hebat,
tetapi setelah dibangun jalan layang dan monorel ia menjadi
lebih baik. Begitu pulakota besar yang bukan ibu kota juga tidak
dijamin tanpa macet.Surabaya, Bandung, Makassar dan
Medan, juga Mumbai di India sudah macet karena
pertumbuhan yang cepat. Jadi, kemacetan bukan karena ibu
kota,tetapi kecepatan mobilitas tak sebanding jalan. Hal lain
memindahkan ibu kota hanya mengurangi sedikit penduduk.
Pegawai pemerintah pusat yang pindah mungkin sekitar
200.000 orang lebih, 5 persen dari jumlah pegawai negeri sipil.
(Kompas,31/08/2010).
September 2010
Pengusaha kelapa sawit, yang bergabung dalam Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, meminta bantuan Komisi IV
DPR untuk menengahi masalah rencana tata ruang dan wilayah
provinsi. Para pengusaha itu merasa menjadi korban kebijakan
pemerintah tahun 2000-2006 soal status lahan.(Kompas,
01/09/2010).
Wacana pemindahan ibukota Indonesia terus bergulir. Menurut
ahli tata kota Universitas Trisakti (Usakti), Yayat Supriyatna,
syarat utama pemindahan ibukota yaitu lokasi ibukota baru
harus dekat dengan Jakarta dan dipindahkan secara bertahap.
(Detik.com,06/09/2010).
Jakarta terancam tenggelam. Kalimat ini tak berlebihan.
Setidaknya berkaca pada pengalaman banjir besar yang pernah
melanda Ibu Kota pada beberapa tahun silam. Saat itu,
sebagian besar wilayah Jakarta terendam banjir. Jika
disaksikan dari udara, nyaris lebih dari 50 persen wilayah
Jakarta tampak terendam. Wilayah Jakarta Utara merupakan
wilayah administrasi di Ibu Kota yang paling sering mengalami
musibah banjir. Sebagian wilayah Jakarta Utara telah
mengalami perubahan wajah yang sangat drastis. (Media
Indonesia, 20 September 2010).
Amblesnya Jakarta yang ditandai dengan miringnya gedung-
gedung bertingkat, amblesan tanah, kemunculan rongga di
gedung, dan amblesnya ruas jalan adalah konsekuensi logis
pengambilan air tanah berlebihan secara terus- menerus, serta
makin besarnya beban tanah akibat berat bangunan yang
mendorong terjadinya pemampatan lapisan tanah.Di Jakarta,
layanan air leding perpipaan belum mampu melayani seluruh
penduduk. Hal ini membuat sebagian besar penduduk Jakarta
bergantung pada penggunaan air tanah untuk kebutuhan
sehari-hari sehingga mendorong ekstrasi air tanah dalam
jumlah besar. (Kompas, Senin, 20 September 2010).
Sumber: www.bkprn.org
Sumber: www.bkprn.org
Sumber: www.bkprn.org
Buletin Tata Ruang & Pertanahan 23
Oktober 2010
Pertengahan Oktober:
Diskusi terfokus dan terbatas untuk uji coba kajian ―Toolkit
Sosialisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah
untuk Tata Ruang dan Pertanahan‖.
Mengikuti rapat kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang
Daerah (BKPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota se-
Indonesia di Batam. Raker ini diselenggarakan oleh
Kementerian Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Bina
Pembangunan Daerah) sebagai anggota Badan
Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Rakerda
ini akan diikuti oleh instansi-instansi pusat anggota
BKPRN, para Gubernur seluruh Indonesia, Bappeda
tingkat provinsi dari seluruh Indonesia serta perwakilan
dari kabupaten/kota terpilih.
Akhir Oktober:
Diskusi terfokus dengan beberapa nara sumber tata ruang
dan pertanahan untuk finalisasi substansi kajian ―Toolkit
Sosialisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah
untuk Tata Ruang dan Pertanahan‖.
November 2010
Awal November:
Berkoordinasi dengan mitra kerja Kementerian/Lembaga
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (Badan Pertanahan
Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian
Dalam Negeri, dll) untuk mulai menyusun Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) tahun 2012.
Pertengahan November:
Mengikuti peringatan Hari Tata Ruang Nasional yang
diadakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang,
Kementerian Pekerjaan Umum. Kegiatan-kegiatan
peringatan Hari Tata Ruang Nasional ini berupa seminar,
perlombaan-perlombaan dan pameran.
Desember 2010
Awal Desember:
Pembahasan lanjutan penyusunan RKP tahun 2012
dengan mitra kerja Kementerian/Lembaga.
Akhir Desember:
Diseminasi hasil kajian strategi sosialisasi RPJMN Bidang
Tata Ruang dan Pertanahan.
agenda
Sumber: Dokumentasi Dit.Tata Ruang & Pertanahan, Bappenas, 2010
TRP dalam Gambar
“
“
Nyiur melambai di Pulau Sabang....
Pulau indah yang dikelilingi lautan...
Patuhilah rencana tata ruang...
Untuk kehidupan yang berkelanjutan...
Runa Tarna
top related